BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI DAN TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Konsep Pengertian konsep dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2003:588) adalah
gambaran mental dari suatu objek, proses, atau apapun yang ada di luar bahasa, yang digunakan oleh akal budi untuk memahami hal-hal lain. Oleh karena itu, konsep penelitian ini adalah mengenai : 2.1.1 Bahasa Nonverbal Bahasa nonverbal sebagai bentuk komunikasi yang digunakan oleh manusia untuk mengadakan kontak dengan lingkungannya. Bahasa nonverbal merupakan bentuk komunikasi yang tidak menggunakan kata-kata baik lisan maupun tulisan. Menurut Linda Beamer (dalam www.edwias.com) bahasa nonverbal adalah bahasa yang tidak memakai kata-kata. Sedangkan menurut Larry A. Samovar dan Richard E. Porter, komunikasi nonverbal mencakup semua rangsangan (kecuali rangsangan verbal) dalam suatu setting komunikasi, yang dihasilkan oleh individu yang mempunyai nilai pesan potensial bagi pengirim atau penerima (Mulyana, 2002). Sejalan dengan ini, Liliweri (1994: 89) menyatakan bahwa bahasa nonverbal ini biasanya dipergunakan untuk menggambarkan perasaan dan emosi.
Universitas Sumatera Utara
2.1.2 Makna Makna adalah hubungan antara bahasa dengan dunia luar yang telah disepakati bersama oleh para pemakai bahasa sehingga dapat saling dimengerti, Grice (dalam Aminuddin, 2001: 53). Dari batasan pengertian tersebut dapat diketahui adanya tiga unsure pokok yang tercakup di dalmnya, yakni: 1) Makna adalah hasil hubungan bahasa dengan dunia luar 2) Penentuan hubungan terjadi karena kesepakatan para pemakai, serta 3) Perwujudan makna itu dapat digunakan untuk menyampaikan informasi sehingga dapat saling mengerti. Berbeda dengan Tubs (dalam Sobur, 2004: 255), yang mengatakan bahwa komunikasi adalah proses pembentukan makna di antara dua orang atau lebih. Pearson (dalam Sobur, 2004: 255) juga mengungkapkan hal yang sama, bahwa komunikasi adalah proses memahami dan berbagi makna.
2.1.3 Warna Warna adalah corak rup seperti merah, putih, hitam, hijau, dan sebagainya; untuk menyatakan corak rupa yang sebagai benda di belakangnya, Kridalaksana (dalam Kartika, 2007: 9). Hal yang senada juga dikemukakan oleh Berlin dan Kay (dalam Matsumoto, 2004) yang menyatakan bahwa warna adalah sifat-sifat desain universal dari sistem persepsi visual manusia sangat kuat membatasi sistem terminology yang ditemukan dalam bahasa dunia, dari subkelompok yang sangat kecil sampai besar. Sejalan dengan kedua pengertian sebelumnya, Haruyahya (2005) juga menyatakan bahwa warna dipahami sebagai suatu konsep yang membantu kita mengenali sifat-sifat berbagai objek dan mendefinisikannya dengan tepat. Jadi, bahasa nonverbal sebagai makna warna adalah komunikasi tanpa kata yang berhubungan dengan dunia luar dan membantu untuk mengenali sifat-sifat berbagai objek
Universitas Sumatera Utara
dan mendefinisikannya dengan tepat. Dalam penelitian ini, defenisi yang digunakan sebagai acuan adalah menurut Haruyahya (2005). 2.1.4 Etnis Tionghoa Etnis Tionghoa mulai datang ke Sumatera Utara sekitar abad ke-16 sampai kira-kira pertengahan abad ke-19. Para imigran dari Tiongkok ini berasal dari beberapa suku bangsa dan dari daerah yang berbeda. Umumnya mereka berasal dari Propinsi Fukien bagian selatan dan Kwantung. Mayarakat Tionghoa di Medan terdiri atas berbagai kelompok suku bangsa dan satu hal yang dapat membedakan kesukuan mereka adalah bahasa pergaulan yang mereka gunakan. Sedikitnya, ada empat suku bangsa Tionghoa yang terdapat di Medan, diantaranya adalah suku Hokkian, Hakka, Khek, dan Kwan Fu. Dari tahun ke tahun jumlah orang Tionghoa di Medan terus bertambah. Menurut Harian Medan Bisnis, hingga saat ini, sesuai dengan data yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik (BPS) Sumatera Utara, jumlah masyarakat Tionghoa di Medan sekitar 202.839 jiwa. Kehidupan masyarakat Tionghoa mulai mewarnai lembaran ritual di Indonesia. Masyarakat Tionghoa memiliki berbagai adat istiadat. Mereka mengenal bermacam-macam perayaan atau festival tradisional. Adat istiadat ini merupakan suatu bentuk penggambaran kebiasaan sehari-hari, tradisi, dan mitos yang berkembang di masyarakat. Kesenian seperti Barongsai bisa disaksikan pada saat perayaan tahun baru Imlek. Perayaan tahun baru Imlek adalah dunia simbolis. Cassirer (dalam Sartini, 2006) mengatakan bahwa dunia simbolis manusia dapat terungkap melalui bahasa, mitos, seni dan religi atau agama. Imlek beserta wacana ritualnya dikaji dengan penelusuran melalui interpretasi masyarakatnya terhadap simbol-simbol warna yang digunakannya. Pada awalnya bermacam-macam perayaan ini mempunyai sejarahnya sendiri-sendiri, kemudian hal ini mengalami perubahan karena pengaruh dari berbagai agama di sekeliling masyarakat Tionghoa. Secara umum, agama dan kepercayaan masyarakat Tionghoa dapat
Universitas Sumatera Utara
dikelompokkan (1) Konghucu, (2) Taoisme dan Budha, (3) Kristen Protestan, (4) Kristen Katolik, (5) Islam, (6) ajaran Tridharma.
2.1.5 Perayaan Imlek Perayaan tahun baru Imlek adalah tradisi yang sudah diwariskan ratusan tahun yang lalu. Perayaan ini dimulai pada tanggal 30 bulan ke-12 dan berakhir pada tanggal 15 bulan pertama. Ada beberapa tradisi yang sudah turun-temurun dilakukan oleh kalangan etnis Tionghoa dalam merayakan Imlek. Di antaranya, hidangan Imlek, pakaian baru, membakar petasan, saling mengunjungi dan memberi hormat dan memberi angpao. Pada perayaan Imlek, masyarakat Tionghoa selalu menggantungkan lampion/lentera merah. Dalam perayaan ini, anak-anak atau orang yang lebih muda memberi hormat kepada orang tua dengan cara mengepalkan kedua tangan sambil digoyang-goyang ke depan dan belakang lalu mengucapkan Gong Xi Fa Cai. Setelah itu orang tua memberikan angpao. Angpao adalah amplop berwarna merah yang berisi uang. Lalu, bersama-sama membakar petasan atau kembang api yang berwarna merah dan keemasan. Ini merupakan simbol kegembiraan karena rejekinya ”meledak”. Ada pula yang memanggil barongsai, sebagai tanda untuk mengundang rejeki dan menolak bala. Barongsai merupakan seekor naga yang berwarna merah dan keemasan yang dimainkan dua sampai delapan pemain. Perayaan Imlek ini adalah penggambaran harapan-harapan masyarakat Tionghoa seperti keselamatan, kemakmuran dan kesejahteraan. Selain itu, perayaan Imlek merupakan sebuah introspeksi diri terhadap apa yang telah dilakukan pada tahun-tahun yang lalu. Perayaan Imlek juga mempunyai makna spiritual yang perlu digali dari pengalaman kehidupan dan dunia makna yang berkembang di antara etnis Tionghoa. Dalam perjalanan
Universitas Sumatera Utara
waktu, Imlek juga dirayakan oleh masyarakat etnis Tionghoa yang tersebar di seluru dunia. Adapun makna spiritual yang terkandung di dalam perayaan Imlek, adalah: a. Kasih sebagai faktor pemersatu kehidupan. Imlek memperlihatkan pengalaman perjumpaan etnis Tionghoa dengan kenyataan kehidupan yang ada di sekitarnya. Bagi masyarakat Tionghoa, kenyataan di dunia ini disatukan, disemangati, ditumbuhkan oleh kasih. Karena itu, mereka menemukan dan menggunakan berbagai macam barang, tanaman, atau binatang yang ada di lingkungan mereka untuk menunjukkan pengalaman kasih yang menghidupkan. Mereka mengungkapkan harapan kehidupan yang lebih berkualitas dengan menggunakan obyek-obyek tersebut. b. Perayaan pengalaman kasih yang membahagiakan dan terbagikan kepada sesama. Bagi masyarakat Tionghoa, kasih yang membahagiakan diterima dari kemurahan alam. Oleh sebab itu, masyarakat Tionghoa harus belajar bermurah hati kepada sesama. Kasih yang membahagiakan itu dinikmati dalam kebersamaan dengan orang lain, dalam semangat solider kepada sesama, terutama yang lemah, miskin, dan papah. Dalam perayaan Imlek, dibagikan kepada anak-anak, orang-orang miskin, sederhana, dan papah, hal-hal yang dapat membahagiakan mereka: uang, makanan, hadiah, atau berbagai bentuk bantuan yang lain. Dengan berbagi kebahagiaan, kasih yang berlimpah diharapkan dapat semakin membuat kehidupan memberikan kebahagiaan lebih besar lagi. c. Pengalaman kasih dimulai dari keluarga. Inti kasih tidak terletak dalam banyaknya kata-kata, tetapi dalam tindakan untuk saling memberikan diri kepada orang yang dikasihi. Kemampuan mengasihi disadari oleh masyarakat Tionghoa, berawal di dalam keluarga. Pusat perayaan Imlek terletak pada kesediaan seluruh anggota keluarga untuk berkumpul bersama, meninggalkan kepentingan diri, dan berbagi pengalaman kasih dalam keluarga. Puncak perayaan diungkapkan dengan kesediaan makan bersama, saling menghormati, bercerita pengalaman hidup yang
Universitas Sumatera Utara
membahagiakan, mengampuni, berbagi rezeki, menyampaikan salam berupa doa atau harapan untuk hidup lebih baik lagi, dan sebagainya. d. Keempat, Perayaan kebebasan yang inklusif. Kesederhanaan alam pikiran tidak banyak memberi tempat pada rumitnya aturan yang harus ditaati. Pada dasarnya Imlek tidak memiliki aturan baku. Seandainya ada, peraturan itu amat umum, tidak menyertakan hukuman bagi pelanggarnya. Dengan demikian, dunia tidak mengenal adanya model tunggal perayaan Imlek. Setiap pribadi, keluarga, atau kelompok masyarakat apa pun, diizinkan merayakan Imlek dengan segala kemampuan, keterbatasan, latar belakang, simbol, dan sistem pemaknaan masing-masing. Kebebasan seperti ini menjadikan Imlek perayaan yang inklusif karena tidak mengeliminasi siapa pun untuk tidak diizinkan merayakannya. Di Indonesia, selama tahun 1965-1998, perayaan tahun baru Imlek dilarang dirayakan di depan umum. Dengan Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967, rezim Orde Baru di bawah pemerintahan Presiden Soeharto, melarang segala hal yang berbau Tionghoa, diantaranya Imlek. Masyarakat Tionghoa di Indonesia kembali mendapatkan kebebasan merayakan tahun baru Imlek pada tahun 2000 ketika Presiden Abdurrahman Wahid mencabut Inpres Nomor 14/1967. Kemudian Presiden Megawati Soekarno Putri menindaklanjutinya dengan mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 19/2002 tertanggal 9 April 2002 yang meresmikan Imlek sebagai hari libur nasional. Mulai 2003, Imlek resmi dinyatakan sebagai salah satu hari libur nasional.
Universitas Sumatera Utara
2.2
Landasan Teori
2.2.1 Semiotika Disiplin ilmu yang relevan dalam penelitian ini adalah teori semiotika. Semiotika berasal dari kata Yunani: Semeion, yang berarti tanda. Menurut Saussure, semiologi didasarkan pada anggapan bahwa selama perbuatan dan tingkah laku manusia membawa makna atau selama berfungsi sebagai tanda, harus ada dibelakangnya sistem perbedaan dan konvensi yang memungkinkan makna itu. Di mana ada tanda di sana ada sistem. Artinya, sebuah tanda (berwujud kata atau gambar) mempunyai dua aspek yang ditangkap oleh indra yang disebut dengan signifier, bidang penanda atau bentuk dan aspek lainnya yang disebut signified, bidang petanda atau konsep atau makna. Aspek kedua terkandung di dalam aspek pertama. Penanda terletak pada tingkatan ungkapan dan mempunyai wujud atau merupakan bagian fisik seperti bunyi, huruf, kata, gambar, warna, objek, dan sebagainya. Petanda terletak pada tingkatan isi atau gagasan dari apa yang diungkapkan melalui tingkatan ungkapan. Hubungan antara kedua unsur melahirkan makna. 2.2.2 Charles Sanders Peirce Bagi Charles Sanders Peirce (dalam Sobur, 2004: 46) dalam teori Ground Triadik-nya mengemukakan tiga hubungan tanda. Adapun tiga hubungan tanda yang dimaksudkan adalah representament (R) “bagian tanda yang dapat dipersepsi”, Objek (O) “sesuatu diwakili olehnya”, dan interpretant (I) “bagian dari proses yang menafsirkan hubungan R dengan O. Menurut Hoed (2008: 42), konsep ketiga tahap ini penting untuk memahami bahwa dalam suatu kebudayaan kadar pemahaman tanda tidak sepenuhnya sama pada semua anggota kebudayaan tersebut.
Universitas Sumatera Utara
Tanda tidak hanya representatif, tetapi juga interpretatif. Peirce membedakan tiga jenis tanda, yakni, ikon, indeks dan simbol. Bagi Peirce tanda bukan sesuatu yang terstruktur. Pemakaian tanda mengikuti suatu proses tiga tahap. Contoh: Apabila seseorang melihat potret sebuah mobil, ia melihat sebuah R yang membuatnya merujuk pada suatu O, yakni mobil yang bersangkutan. Proses selanjutnya ialah ia menafsirkannya sebuah mobil sedan berwarna merah miliknya sendiri (I). tanda dengan proses pemaknaan seperti itu disebut ikon, yaitu hubungan antara R dan O menunjukkan identitas. Apabila dalam perjalanan di luar kota seseorang melihat asap mengepul di kejauhan, ia melihat R. apa yang dilihatnya itu membuatnya merujuk pada sumber asap itu, yaitu cerobong pabrik (O). Setelah itu, ia menafsirkan bahwa ia sudah mendekati sebuah pabrik ban mobil (I). Tanda dengan proses pemaknaan seperti itu disebut indeks, yaitu hubungan antara R dan O bersifat langsung. Apabila di tepi pantai seseorang melihat bendera merah (R), maka dalam hubungannya ia merujuk pada ‘larangan untuk berenang’ (O). Selanjutnya, ia menafsirkan bahwa ‘adalah berbahaya untuk berenang disitu” (I). tanda seperti itu disebut simbol, yaitu hubungan antara R dan O bersifat konvensional (seseorang harus memahami konvensi tentang hubungan antara ‘bendera merah’ dan ‘larangan berenang’)
2.2.3 Roland Barthes Barthes (dalam Sobur, 2004:viii) menjelaskan dua tingkat dalam pertandaan, yaitu denotasi (denotation) dan konotasi (connotation). ‘Denotasi’ adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan antara penanda dan petanda, atau antara tanda dan rujukannya pada
Universitas Sumatera Utara
realitas, yang menghasilkan makna yang eksplisit, langsung dan pasti. Sementara, ‘konotasi’ adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan antara penanda dan petanda, yang didalamnya beroperasi makna yang tidak eksplisit, tidak langsung dan tidak pasti (artinya terbuka terhadap berbagai kemungkinan tafsiran). Selain itu, Barthes juga melihat makna yang lebih dalam tingkatnya, akan tetapi lebih bersifat konvensional, yaitu makna-makna yang bersifat dengan mitos. Mitos, dalam pemahaman semiotika Barthes adalah pengkodean makna dan nilai-nilai sosial (yang sebetulnya arbitrer atau konotatif) sebagai sesuatu yang dianggap ilmiah. Menurut Santosa (1993), Roland Barthes menawarkan lima kode untuk mendapatkan amanat, yaitu : 1. Kode teka-teki, yaitu merupakan sebuah pertanyaan bagi si penerima atau si penikmat yang dapat meningkatkan hasrat dan kemauan untuk menemukan jawaban dari sebuah pertanyaan yang dikandung. Contoh : Mengapa perayaan Imlek identik dengan warna merah dan keemasan? Warna merah dan keemasan merupakan dua warna yang digunakan dalam perayaan imlek. Etnis Tionghoa hanya menyukai kemeriahan warna merah dan suasana yang dianggap dapat lebih menyemarakkan Perayaan Tahun Baru Imlek. Dan, warna keemasan merupakan simbol dari uang (rejeki). 2. Kode konotatif, yaitu merupakan dunia yang ditransformasikan ke dalam deretan tanda tulis yang bersifat lihatan. Contoh : Warna merah sebagai identitas pada perayaan Imlek. Bermula dari mitos yang mengungkapkan bahwa tepat pada malam tahun baru, ada seekor monster besar datang dan menyerang manusia juga memangsa hewan
Universitas Sumatera Utara
ternak. Lalu, untuk menghindari monster tersebut, etnis Tionghoa menempel kertas berwarna merah di depan pintu rumah yang diyakini sangat ditakuti monster yang bernama Nian ini. 3. Kode simbolik, yaitu merupakan dunia perlambang, yakni dunia personifikasi manusia dalam menghayati arti hidup dan kehidupan. Contoh : Lampion/Lentera merah Lampion merupakan simbol penerangan dan keberuntungan bagi etnis Tionghoa. 4. Kode aksian, yaitu merupakan prinsip bahwa di dalam tuangan bahasa secara tulis perbuatan-perbuatan itu harus disusun secara linier. Contoh : Angpao Angpao berupa amplop berwarna merah yang berisi uang. Dan, pada perayaan tahun baru Imlek setiap anak-anak yang mengucapkan selamat tahun baru imlek kepada orang yang lebih tua akan diberikan angpao. Yang berarti rejeki yang sudah diterima pada tahun lalu haruslah dibagi kepada setiap orang, jika tidak maka di tahun berikutnya, tidak akan menerima rejeki yang berkelimpahan. 5. Kode budaya atau kode acuan, yaitu merupakan peranan metalingual atau mengacu pada benda-benda yang sudah diketahui dan dikondisikan oleh budaya. Contoh : Barongsai Barongsai merupakan seekor naga berwarna merah dan keemasan yang dimainkan dua sampai delapan pemain. Barongsai ini hanya ada pada perayaan-perayaan besar seperti Perayaan Tahun Baru Imlek.
Universitas Sumatera Utara
2.3
Tinjauan Pustaka Tinjauan adalah hasil meninjau, pandangan, pendapat sesudah menyelidiki atau
mempelajari (KBBI, 2003:1198). Pustaka adalah kitab-kitab; buku; buku primbon (KBBI, 2003:912). Sartini (2006), seorang dosen Fakultas Sastra Universitas Airlangga, Surabaya pernah meneliti konsep dan nilai kehidupan masyarakat Tionghoa. Dalam penelitiannya dinyatakan bahwa simbol-simbol yang digunakan pada perayaan tahun baru Imlek sarat dengan makna dan nilai kehidupan. Tidak ada benda yang tidak melambangkan nilai-nilai kehidupan dalam perayaan tahun baru Imlek. Dan, hampir seluruh peralatan yang digunakan dalam perayaan tahun baru Imlek berwarna merah dan keemasan. Kartika, skripsi (2007) : Konsep Warna dalam Bahasa Batak Toba. Skripsi ini meneliti tentang konsep warna dan menggunakan teori Metabahasa Semantik Alami (MSA). Saul, skripsi (2007) : Wacana Iklan Kematian pada Harian Analisa sebagai Identitas Budaya Etnis Tionghoa. Skripsi ini mengungkapkan fungsi dan makna wacana iklan kematian dengan menggunakan teori Barthes tentang pemaknaan tahap kedua pada sebuah tanda dan teori Peirce tentang tiga hubungan tanda. Dari uraian diatas, penelitian terhadap Bahasa Nonverbal Sebagai Makna Warna Dalam Etnis Tionghoa Dalam Perayaan Imlek di Kecamatan Medan Petisah dengan menggunakan teori ground triadik oleh Charles Sanders Peirce serta pendekatan Barthes sama sekali belum pernah dilakukan oleh para peneliti sebelumnya. Oleh karena itu, pada kesempatan ini peneliti akan meneliti bagaimanakah bentuk ground triadik serta makna kode amanat yang muncul pada bahasa nonverbal sebagai makna warna dalam etnis tionghoa pada perayaan imlek di kecamatan medan petisah.
Universitas Sumatera Utara