BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Alwi (2007:588) mengatakan “konsep adalah gambaran mental dari suatu objek, proses, atau apa pun yang ada di luar bahasa, yang digunakan oleh akal budi untuk memenuhi hal-hal lain”. 2.1.1 Konflik Batin 2.1.1.1 Konflik Konflik berasal dari kata kerja latin ‘configere’ yang berarti ‘saling memukul’. Konflik adalah pertentangan yang dialami seseorang maupun dengan orang lain yang ada disekelilingnya terhadap suatu masalah, baik di dalam maupun di luar. Wirawan (2010:5) mengatakan, “Konflik adalah proses pertentangan yang dideskrifsikan di antara dua pihak atau lebih yang saling tergantung mengenai suatu objek dengan menggunakan pola perilaku dan interaksi”. 2.1.1.2 Batin Batin merupakan salah satu unsur pembentuk cerita yang dialami oleh tokoh. “Batin adalah sesuatu yang terdapat di dalam hati; sesuatu yang menyangkut jiwa (perasaan hati dsb), sesuatu yang tersembunyi (tidak kelihatan), dan semangat; hakikat”(Alwi, dkk, 2003: 588).
Universitas Sumatera Utara
2.1.1.3 Konflik Batin Hatikah (2006:70) mengatakan bahwa, konflik batin merupakan suatu pertentangan (problematika) yang dialami oleh individu melalui jiwanya terhadap sebuah objek disekelilingnya yang muncul karena adanya sesuatu yang tidak berterima oleh jiwanya dan memilih salah satu terhadap dua pertimbangan yang ada. 2.1.2 Tokoh Utama Nurgiyantoro (2010: 176) mengatakan, “Tokoh utama adalah tokoh yang diutamakan penceritaannya dalam novel yang bersangkutan. Ia merupakan tokoh yang paling banyak diceritakan, baik sebagai pelaku kejadian maupun yang dikenai kejadian”. Jadi, tokoh utama adalah tokoh yang sering muncul dalam cerita serta mengalami berbagai macam peristiwa berupa konflik, sehingga menjadi perhatian utama pembaca dalam memahami sebuah karya sastra.
2.2
Landasan Teori
2.2.1 Psikologi Sastra Psikologi merupakan ilmu yang mempelajari dan menyelidiki aktivitas dan tingkah laku manusia. Aktivitas dan tingkah laku tersebut merupakan gambaran ungkapan kehidupan jiwanya. Sedangkan sastra merupakan hasil cipta manusia yang salah satunya dapat diperoleh melalui interaksi. Walgito (2004:1) menjelaskan bahwa, “Ditinjau dari segi bahasa, psikologi berasal dari kata psyche yang berarti 'Jiwa' dan logos berarti 'ilmu' atau 'ilmu pengetahuan', karena itu
Universitas Sumatera Utara
psikologis sering diartikan dengan ilrnu pengetahuan tentang jiwa”. Jiwa manusia terdiri dari dua alam, yaitu alam sadar (kesadaran) dan alam taksadar (ketidaksadaran). Alam sadar menyesuaikan terhadap dunia luar, sedangkan alam taksadar menyesuaikan terhadap dunia dalam. Jadi, psikologi sastra dapat diartikan sebagai ilmu yang mempelajari gejala jiwa yang mencakup segala aktivitas dan tingkah laku manusia yang dipengaruhi oleh alam sadar dan taksadar melalui hasil cipta manusia melalui interaksi. Psikologi dipelajari dalam berbagai bidang ilmu, seperti psikologi sosial, kesehatan, agama, politik, ekonomi, maupun dalam sastra yang disebut dengan psikologi sastra. Untuk psikologi sastra, bidang ini digunakan untuk mengungkapkan kejiwaan yang terkandung dalam karya. Ratna (2010: 342) menjelaskan bahwa, “secara defenitif, tujuan psikologi sastra adalah memahami aspek-aspek kejiwaan yang terkandung dalam suatu karya”. Di dalam karya sastra, aspek-aspek kejiwaan dapat dipahami. Aspek-aspek kejiwaan dapat ditemukan dalam karya sastra, antara lain kejiwaan pengarang, tokoh dalam karya sastra, dan kejiwaan pembaca. Dapat disimpulkan bahwa tujuan psikologi sastra yaitu untuk mengungkapkan kejiwaan yang terkandung dalam karya sastra melalui penggambaran masalah-masalah di dalam cerita. 2.2.2 Hubungan Psikologi dengan Karya Sastra. Psikologi dan karya sastra adalah dua hal yang saling berhubungan. Psikologi merupakan ilmu yang mempelajari dan menyelidiki tentang tingkah laku manusia sebagai perwujudan kejiwaannya. Karya sastra merupakan hasil
Universitas Sumatera Utara
cipta manusia berupa lisan maupun tulisan yang berasal dari pengalaman, interaksi, maupun perasaan seseorang. Aspek-aspek psikologi dalam karya sastra terdapat dalam teksnya. Begitu juga dalam menciptakan karya sastra seorang pengarang tidak terlepas dari unsur kejiwaannya. Kejiwaan dalam karya sastra dapat berupa kejiwaan pengarang sebagai seorang penulis, kejiwaan tokoh-tokoh dalam karya sastra, dan kejiwaan pembaca sebagai penikmat karya sastra. Kejiwaan dalam karya sastra sering dipaparkan pengarang melalui karakter tokohtokoh dalam cerita. Pengungkapan kejiwaan dalam karya sastra digambarkan melalui bahasa teks. Bahasa teks merupakan simbol ataupun ungkapan perasaan pengarang. Maka, bahasa yang digunakan dalam karya sastra merupakan cerminan kejiwaan yang lahir dari kehidupan seseorang. Lebih lanjut Endraswara, (2008:4) mengatakan, “Bahasa dalam sastra adalah simbol psikologis. Bahasa sastra adalah bingkisan makna psikis yang dalam”. Karya sastra merupakan hasil ciptaan penulis yang dipengaruhi kejiwaaan pengarang dan dituangkan dalam bentuk cerita dan menampilkan beberapa aspek kejiwaan tokohnya, sehingga pembaca dapat memasuki alam jiwanya. Jadi, untuk mengetahui hubungan psikologi dengan karya sastra, dapat digunakan tiga cara, yaitu memahami unsur-unsur kejiwaan seorang pengarang, tokoh dalam karya sastra, dan pembaca. Lebih lanjut, untuk mengetahui hubungan psikologi dengan karya sastra, Ratna (2010: 343) mengatakan seperti berikut. “Untuk memahami hubungan antara psikologi dengan karya sastra, dapat digunakan beberapa cara, yaitu: Memahami unsur-unsur kejiwaan pengarang sebagai penulis, memahami unsur-unsur kejiwaan
Universitas Sumatera Utara
tokoh-tokoh fiksional dalam karya sastra, memahami unsur-unsur kejiwaan pembaca”. Hubungan antara psikologi dengan karya sastra menurut Jatman dan Roekhan dalam Endraswara (2008:88) bahwa, antara sastra dan psikologi terdapat hubungan lintas yang bersifat tak langsung dan fungsional (nilai guna). Hubungan lintas yang bersifat tak langsung antara psikolog (ahli psikologi) dan pengarang (pencipta karya sastra), harus mampu mengungkapkan kejiwaan manusia secara mendalam melalui proses pengolahan untuk menjadi sebuah karya. Jika pengarang mengungkapkan dalam bentuk karya sastra, psikolog mengungkapkannya dalam bentuk formulasi teori-teori psikologi untuk dijadikan acuan yang relevan untuk studi ilmu (ilmiah). Dalam hubungan fungsional psikologi dengan sastra, kedua bidang bermanfaat untuk mempelajari kondisi kejiwaan seseorang. Dalam karya sastra kejiwaan seseorang yang dialami seorang tokoh berasal dari manusia yang bukan sebenarnya (khayal) atau tidak nyata dalam kehidupan sehari-hari, sedangkan psikologi sastra merupakan keadaan jiwa manusia sesungguhnya (nyata). Namun, pada hakekatnya kedua bidang ilmu saling melengkapi. Artinya, gejala kejiwaan yang tidak dapat dibuktikan oleh psikolog dalam teorinya dapat dibantu oleh gejala kejiwaan yang dapat dibuktikan oleh seorang pengarang, atau sebaliknya.
2.2.3 Psikoanalisis Sigmund Freud Psikoanalisis merupakan salah satu cabang psikologi yang mempelajari alam ketidaksadaran manusia terhadap alam batinnya sendiri. Lebih lanjut, Freud
Universitas Sumatera Utara
dalam Endraswara (2008: 196) mengatakan bahwa, “Manusia banyak dikuasai oleh alam batinnya sendiri”. Ada beberapa tokoh yang mencetuskan tentang teori psikoanalisis, diantaranya Lacan, Bloom, Cixous, Hartman, Mithchell, dan juga Sigmund Freud. Menurut Endaswara (2008: 47) mengatakan bahwa dari beberapa tokoh yang mencetuskan teori psikoanalisis, Freud menduduki peranan utama dibandingkan tokoh lainnya yang memiliki konsep yang bercabang-cabang. Freud (1856 – 1939)
merupakan
seorang sarjana
kedokteran
berbangsa Jerman
yang
mempelopori teori psikoanalisis. Psikoanalisis yang dikemukakan Freud tidak terbatas untuk menganalisis usul-usul proses penciptaan karya. Teori yang lahir dari penelitiannya mengenai penemuan penyakit yang tidak dapat disembuhkan dengan obat-obatan, melainkan disebabkan oleh kelainan-kelainan kejiwaan daripada kelainan organik seorang pasien. Ia menyamakan dengan menghadapi seorang pasien. Untuk mengobati penyakit pasien, seorang psikolog tidak melakukannya dengan cara menguraikan asal-usul penyakit yang dialami pasiennya, melainkan dengan bercakap-cakap, berdialog, sehingga terungkap seluruh depresi mentalnya melalui pernyataan-pernyataan ketidaksadaran bahasanya. Hal yang sama juga dilakukan dalam analisis terhadap karya sasta. Teori Freud dimanfaatkan untuk mengungkapkan berbagai gejala psikologis dibalik gejala bahasa. Sehingga menurut Freud psikologi adalah alam bawah sadar, yang disadari secara samar-samar oleh individu yang bersangkutan. Lebih lanjut Freud dalam Atkinson, Rita.L dkk (2000:271) mengatakan:
Universitas Sumatera Utara
“Freud menyamakan pikiran manusia dengan gunung es. Bagian kecil yang terlihat diatas permukaan air merupakan pengalaman sadar. Massa yang jauh lebih besar dipermukaan air merupakan bawah sadar, suatu gudang untuk inpuls, keinginan, dan kenangan yang tidak dapat diraih yang mempengaruhi pola pikir dan prilaku manusia”.
Dalam Alwisol (2009:26) Freud mengatakan bahwa berbagai kelainan tingkah laku seseorang disebabkan karena beberapa faktor yang terdapat dalam alam ketidaksadaran (unconsciousness), seperti mimpi, berkhayal, melamun, merenung, mite, maupun fantasi. Untuk mempelajari jiwa seseorang kita harus melihat keadaan alam ketidaksadarannya yang terletak jauh didalam diri seseorang. Faktor-faktor yang berada dalam ketidaksadaran bukan merupakan faktor yang statis, melainkan masing-masing mempunyai kekuatan yang membuatnya dinamis. Psikoanalisis Freud dikenal adanya tiga aspek, yaitu teori kepribadian, teknik evaluasi kepribadian, dan sebagai teknik terapi. Pada penelitian ini penulis memfokuskan berdasarkan teori kepribadian. Teori kepribadian menurut Sigmund Freud terdiri atas 3 aspek, yaitu struktur kepribadian, perkembangan kepribadian, dan distribusi kepribadian. Maka, batasan penelitian ini menggunakan aspek struktur kepribadian.
2.2.3.1 Struktur Kepribadian Struktur kepribadian merupakan tingkatan kepribadian dalam jiwa seseorang dalam suatu gejala peristiwa melalui tingkah lakunya di masyarakat. Freud dalam Minderop (2011:20), “Faktor-faktor yang memengaruhi kepribadian adalah faktor historis masa lampau dan faktor kontemporer, analoginya faktor bawaan dan
Universitas Sumatera Utara
faktor lingkungan dalam pembentukan kepribadian individu”. Oleh karena, menurutnya kehidupan jiwa seseorang memiliki tiga tingkat kesadaran, yakni sadar (conscious), prasadar (preconscious) dan tak sadar (unconscious). Lebih lanjut dalam Alwisol (2009:13) Freud menyatakan bahwa struktur kepribadian didukung oleh tiga elemen yaitu Id, ego, dan superego. Struktur yang pertama adalah id. Id merupakan kepribadian seseorang berupa pola tingkah laku bersifat turun-temurun yang dibawa sejak lahir maupun dorongan hati dan berada di alam bawah sadar. Id tidak ada hubungan dengan kebenaran atau dilihat secara realita. Cara kerja id berhubungan dengan prinsip ingin memperoleh kesenangan (kenikmatan), yakni dengan menghindari pertikaian atau sesuatu yang dianggap membahayakan dan berharap masalah dapat diselesaikan. Lebih lanjut dalam Alwisol (2009:13) Freud menyatakan: “...id adalah sistem kepribadian yang dibawa sejak lahir yang berisi semua aspek psikologik yang diturunkan, seperti insting, imfuls, dan drives. Dengan kata lain, Id beroperasi berdasarkan prinsip kenikmatan, yaitu berusaha memperoleh kenikmatan dan menghindari rasa sakit”.
Lebih lanjut, dalam Minderop (2011:21-22) Freud mengatakan bahwa id merupakan energi kejiwaan dan dorongan hati atau nafsu yang dibawa sejak lahir yang menekan manusia agar memenuhi kebutuhan dasarnya seperti kebutuhan makan, seks menolak rasa sakit. Struktur yang kedua adalah ego. Ego berada diantara dua kekuatan yang bertentangan (id dengan super ego) yang memiliki prinsip realitas dengan mencoba memenuhi kesenangan individu yang dibatasi oleh kenyataan secara logika dan dapat dibuktikan secara tampak. Lebih lanjut Freud mengatakan, dalam
Universitas Sumatera Utara
menolong manusia ego digunakan untuk mempertimbangkan apakah ia dapat memuaskan diri tanpa mengakibatkan kesulitan atau penderitaan bagi dirinya sendiri. Ego berada di antara alam sadar dan alam bawah sadar. Dalam Alwisol (2009:13) Freud menyatakan: “The ego. Merupakan eksekutif pelaksana dari kepribadian yang memiliki dua tugas utama. Pertama, memilih stimuli yang hendak direspon atau insting yang akan dipuaskan sesuai dengan prioritas kebutuhan. Kedua, menentukan kapan dan bagaimana kebutuhan itu dipuaskan sesuai dengan tersedianya peluang yang resikonya minimal”.
Tugas ego memberi tempat pada fungsi mental utama, misalnya: penalaran, penyelesaian masalah dan pengambilan keputusan. Dengan alasan ini, ego merupakan pimpinan utama dalam kepribadian. Struktur yang ketiga adalah superego. Jika id dan ego tidak memiliki moralitas karena keduanya ini tidak mengenal nilai baik dan buruk, berbeda dengan super ego yang mengacu pada moralitas dan aturan yang harus dipatuhi dalam kepribadian seseorang terhadap suatu masalah yang dihadapi. Lebih lanjut, dalam Alwisol (2009:13) Freud menyatakan: “The Super ego. Merupakan kekuatan moral dan etik dari kepribadian yang beroperasi memakai prinsip idealistik sebagai lawan dari prinsip kepuasan id dan prinsip realistik dari ego”.
Super ego sama halnya dengan ‘hati nurani’ yang mengenali nilai baik dan buruk tentang kepribadian seseorang (conscience). Sama halnya dengan id, super ego tidak mempertimbangkan kenyataan karena tidak bergelut dengan hal-hal realistik, kecuali ketika dorongan hati (impuls) seksual dan agresivitas id dapat terpuaskan dalam pertimbangan moral.
Universitas Sumatera Utara
Dalam sebuah kasus misalnya, ego seseorang ingin melakukan seks secara teratur agar karirnya tidak terganggu oleh kehadiran anak; tetapi id orang tersebut menginginkan hubungan seks yang memuaskan karena seks adalah sesuatu yang dapat membuat seseorang merasa nikmat. Kemudian super ego timbul dan menengahi dengan anggapan merasa berdosa dengan melakukan hubungan seks.
2.2.4 Konflik Batin Menurut Wirawan dalam bukunya yang berjudul “Konflik dan manajemen konflik” (2000:55) konflik batin dibagai atas tiga jenis, antara lain: Pertama, konflik pendekatan ke pendekatan. Konflik yang terjadi karena harus memilih dua pilihan yang berbeda, tetapi sama-sama memiliki nilai positif dan menguntungkan. Sebagai contoh seorang pemain sepakbola yang akan dibeli klub lain harus memilih klub yang sama kayanya. Kedua, konflik menghindar ke menghindar. Konflik yang terjadi karena harus memilih dua hal yang sebenarnya tidak menguntungkan dan harus dihindari. Sebagai contoh, seseorang harus memilih apakah harus menjual rumah untuk sekolah, atau tidak menjual rumah, tetapi tidak bisa melanjutkan sekolah. Ketiga, konflik pendekatan ke menghindar. Konflik yang terjadi karena seseorang mempunyai perasaan positif dan negatif terhadap sesuatu yang sama, sehingga Ia harus memilih dua pilihan yang dapat menyenangkan perasaannya untuk menghindari kesalahan. Sebagai contoh Umar ingin menekan tombol sebagai petanda menjawab pertanyaan kuis. Akan tetapi, Umar takut jawabannya salah. sehingga, Umar tidak jadi menekan tombol.
Universitas Sumatera Utara
2.2.5 Mekanisme Pertahanan Konflik Freud dalam Minderop (2011: 29) mengatakan bahwa mekanisme pertahanan mengacu pada proses alam bawah sadar seseorang yang mempertahankannya terhadap anxitas; mekanisme ini melindunginya dari ancaman ancaman eksternal atau danya impuls-impuls yang timbul dari anxitas internal dengan mendistorsi realitas dengan berbagai cara. Ia juga menambahkan bahwa dalam teori kepribadian, mekanisme pertahanan merupakan karakteristik yang cenderung kuat dalam diri setiap orang. Mekanisme pertahanan ini tidak mencerminkan kepribadian secara umum, tetapi juga dalam pengertian penting dapat memengaruhi perkembangan kepribadian. Namun, disatu sisi kegagalan mekanisme pertahanan memenuhi fungsi pertahanannya bisa berakibat pada kelainan
mental.
Selanjutnya,
kualitas
kelainan
mental
tersebut
dapat
mencerminkan mekanisme pertahanan karakteristik. Dalam hal mempertahankan ego terdapat beberapa pokok yang harus diperhatikan. Pertama, bahwa mekanisme pertahanan merupakan konstruk psikologis. Berdasarkan observasi terhadap prilaku individu. Kedua, perilaku seseorang membutuhkan informasi deskriptif yang bukan penjelasan tentang perilaku. Ketiga, semua mekanisme pertahanan dapat dijumpai dalam kehidupan sehari-hari orang normal.
Universitas Sumatera Utara
Sistem pertahanan konflik batin dapat dibedakan atas beebrapa macam, antara lain: (a) Penggantian (pengalihan) Mekanisme pertahanan ego dalam bentuk penggantian merupakan pengalihan perasaan tidak senang terhadap suatu objek ke objek lainnya yang lebih memungkinkan. (b) Sublimasi Minderop (2011:34) mengatakan bahwa sublimasi terjadi apabila tindakantindakan yang bermanfaat dan dapat diterima secara sosial untuk menggantikan perasaan yang tidak nyaman dan merugikan orang yang mengalami konflik batin. (c) Melawan Diri Sendiri Mekanisme pertahanan dalam bentuk melawan diri sendiri adalah suatu bentuk penggantian paling khusus, dimana seseorang menjadikan dirinya sendiri sebagai target pengganti. (d) Rasionalisasi Menurut Hilgard, dalam Minderop (2011:35), rasionalisasi merupakan sistem pertahanan ego yang memiliki tujuan untuk mengurangi kekecewaan ketika gagal mencapai suatu tujuan dengan memberikan motif (alasan) yang dapat diterima atas perilakunya (sesuai kenyataan), dengan cara menyalahkan orang lain atau lingkungannya, rasa suka atau tidak suka, maupun demi kepentingan.
Universitas Sumatera Utara
(e) Proyeksi (menutupi kesalahannya kepada orang lain) Terkadang sesuatu yang tidak kita inginkan dan tidak kita terima sering melimpahkan masalah itu kepada orang lain. Misalnya, seseorang harus bersifat kritis dan bersikap kasar kepada orang lain. (f) Regresi (sifat primitif) Menurut Boeree (2004:53), regresi adalah salah satu mekanisme pertahanan ego dimana individu akan kembali ke masa-masa di mana dia mengalami tekanan psikologis. (g) Pembentukan Reaksi Pembentukan reaksi merupakan sistem pertahanan ego yang dilakukan seseorang dengan cara melakukan dan menentukan sikap berpura-pura terlihat meyakinkan, dan agar dihormati di lingkungannya untuk menghindari rasa takut dan ejekan dari orang lain karena adanya tekanan sehingga membuatnya merasa aman. (h) Represi (dekat dan mengenang pengalaman masa kecil) Menurut Freud, salah satu sistem pertahanan ego yang paling kuat untuk mengatasi konflik batin yang dialami oleh seorang individu adalah represi. Freud menjelaskan bahwa pengalaman masa kecil seseorang yang diyakini banyak pakar, bersumber dari dorongan seks, sangat mengancam dan konfliktual untuk diatasi secara sadar oleh manusia. Untuk mengatasi kecemasannya, seseorang harus mengambil keputusan yang dilatarbelakangi pengalaman traumatik.
Universitas Sumatera Utara
(i) Keadaan Tertahan (menyembunyikan) Keadaan tertahan merupakan proses mengatasi kecemasan seseorang dengan cara menyembunyikan sesuatu rahasia dari permasalahan yang melimpahnya, yang dapat membuatnya nyaman dan tidak menyakiti orang lain serta tanpa menyinggung perasaannya. (j) Agresi dan Apatis Menurut Hilgard dalam Minderop (2011: 39) agresi merupakan proses mekanisme pertahanan dengan penyerangan tertuju kepada orang-orang yang tidak bersalah dan mencari kambing hitam untuk proses pelampiasan terhadap seseorang karena mengalami frustasi. Sedangkan apatis adalah cara menarik diri dan bersikap seakan-akan pasrah terhadap keadaan guna meredam rasa kecemasan atas konflik yang dialami seseorang. (k) Fantasi dan stereotype Menurut Hilgard dalam Minderop (2011: 39) Fantasi adalah mekanisme pertahanan ego dengan cara masuk ke dunia khayal, daripada realitas untuk mendapatkan solusi terhadap masalah yang ada. Sedangkan Stereotype adalah prilaku pertahanan diri dengan memperlihatkan prilaku pengulangan terus menerus dengan mengulangi perbuatan yang tidak bermanfaat dan tampak sangat aneh.
Universitas Sumatera Utara
2.3 Tinjauan Pustaka Penelitian terhadap karya ilmiah dapat diperoleh melalui beberapa teknik dan metode untuk mengkaji. Termasuk mencari referensi bacaan dan bahan untuk memperoleh data dan hipotesa. Untuk memperkuat pengkajian, selain dipaparkan beberapa tinjauan pustaka yang telah dimuat dalam bentuk skripsi, tesis, maupun disertasi, akan dipaparkan pula beberapa kajian terhadap novel Saman karya Ayu Utami yang pernah diteliti oleh penulis dalam berbagai pendekatan. Penelitian yang dilakukan oleh Ririn Ambarini (UDS, 2008) dalam tesisnya yang berjudul Konflik Batin Dolour Darcy Dengan Pendekatan Psikoanalisis Freud Terhadap Tokoh Utama Novel Poor Man’s Orange Karya Ruth Park. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui berbagai konflik batin yang dialami oleh tokoh utama (Dolour Darcy), dan bagaimana solusi yang digunakan tokoh utama untuk menyelesaikan konflik yang dialaminya. Untuk mengetahui tujuan itu akan dikumpulkan data dari novel Poor Man’s Orange dengan menggunakan metode pembacaan heuristik dan hermeneutik dengan teknik catat pada kartu data. Setelah data terkumpul, data tersebut dianalisis dengan menggunakan teori psikoanalisis yang dikemukakan oleh Sigmund Freud. Dari hasil analisis dapat ditarik kesimpulan bahwa di dalam novel Poor Man’s Orange terdapat konflik batin berupa ketragisan yang dialami Dolour Darcy dikarenakan adanya hubungan yang erat antara tokoh utama dengan struktur novel berupa alur dan latar sehingga konflik tokoh utama mendomisi setiap kejadian yang dialami dalam cerita.
Universitas Sumatera Utara
Penelitian yang dilakukan oleh Annisa Imania Yunar (UDS, 2014) dalam skripsinya yang berjudul Konflik Batin Tokoh Cecile dalam Novel Bonjour Tristesse Karya Francoise Sagan: Pendekatan Psikoanalitis. Penelitian kali ini bertujuan menjawab rumusan masalah penelitian, yaitu berupa unsur-unsur intrinsik novel Bonjour Tristesse, dan problematika yang dialami tokoh Cécile dalam novel Bonjour Tristesse yang memengaruhi mekanisme pertahanan tokoh utama. Untuk
mengetahui tujuan itu akan dikumpulkan data dari novel Bonjour Tristesse dengan metode deskriptif analisis yang dilakukan dengan cara mendeskripsikan data-data yang didapat dari sumber data yaitu novel Bonjour Tristesse dan terjemahannya, kemudian menganalisisnya. Dari hasil analisis dapat disimpulkan bahwa di dalam
novel Bonjour Tristesse struktur kepribadian tokoh Cécile mempengaruhi mekanisme pertahanan dirinya yang didominasi oleh represi dan pembentukan reaksi. Penelitian yang dilakukan oleh Yesca Marcelino (UDS, 2010) dalam skripsinya yang berjudul Konflik Batin yang Dialami Tokoh Utama Chris Taylor dalam Film Platoon. Penelitian kali ini bertujuan mengetahui bagaimana tekanan mental dan konflik batin Chris Taylor dalam menghadapi perang yang terjadi di lingkungannya. Untuk mengetahui tujuan penelitian akan dikumpulkan data dari
film Platoon dengan dua sumber data yaitu dilakukan dengan cara mendeskripsikan data-data yang didapat dari data utama (film) dan data pembantu berupa buku dan internet, kemudian menganalisisnya dengan metode Pikoanalisis Sigmund Freud.
Dari hasil analisis dapat ditarik kesimpulan bahwa di dalam film Platoon, konflik batin yang dialami tokoh Chris Taylor diakibatkan perang yang berkecamuk sehingga memengaruhi mental kepribadiannya.
Universitas Sumatera Utara
Pada dasarnya, masih banyak penulis yang meneliti mengenai konflik batin tokoh utama melalui pendekatan psikoanalisis Sigmund Freud dalam karya sastra. namun, penulis hanya memasukkan beberapa kajian guna mewakili sebuah hipotesa. Berdasarkan tinjauan pustaka tersebut, dapat diketahui bahwa ada beberapa penelitian terdahulu yang sama dengan penelitian ini yaitu dalam analisis psikoanalisis Sigmund Freud. Adapun yang membedakan antara penelitian terdahulu dengan penelitian ini adalah judul buku yang dijadikan sebagai objek penelitian. Dengan demikian, orisinilitas penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan secara akademik. Selain penelitian yang membahas tentang konflik tokoh utama, saya juga memaparkan beberapa kajian terhadap novel Saman karya Ayu Utami yang pernah diteliti oleh penulis dalam berbagai pendekatan. Penelitian yang dilakukan Lina Puspita Yuniati (UNS, 2005) skripsinya “Pandangan Dunia Pengarang dalam Novel Saman Karya Ayu Utami” menyimpulkan bahwa pandangan dunia pengarang yang terefleksi dalam novel Saman ini terlihat dari solusi yang diberikan oleh pengarang dari permasalahan yang dihadapi oleh tokoh problematik. Tokoh problematik dalam novel Saman yaitu tokoh yang bernama Saman. Berdasarkan solusi yang diberikan oleh pengarang pada tokoh problematik ini dapat disimpulkan bahwa pandangan dunia pengarang yaitu pengarang mempunyai rasa simpati pada nasib yang dialami oleh penduduk transmigrasi Sei Kumbang dan pengarang berusaha untuk menolak pandangan bahwa laki-laki selalu mendominasi perempuan.
Universitas Sumatera Utara
Penelitian yang dilakukan Oktivita (UMS, 2009) skripsi yang berjudul “Perilaku Seksual dalam Novel Saman Karya Ayu Utami : Tinjauan Psikologi Sastra” disimpulkan bahwa perilaku seksualitas yang dilakukan oleh tokoh-tokoh dalam cerita merupakan gambaran perilaku manusia sekarang yang sangat mengutamakan
kesenangan
duniawi
daripadi
memikirkan
resiko
serta
pengaruhnya untuk masa sekarang dan yang akan datang. Kaitannya dengan penelitian kami ini yaitu teori yang digunakan dengan referensi tersebut juga menerapkan teori psikologi sastra tetapi analisis yang saya gunakan adalah pendekatan psikoanalisis Freud. Skripsi Agustina Fridomi (USM 2005) yang berjudul “Perlawanan Perempuan Terhadap Hegemoni Laki-Laki dalam Novel Saman dan Larung Karya Ayu Utami: Sebuah Pendekatan Feminisme” menyimpulkan bahwa perkembangan zaman seperti saat ini, perempuan menuntut adanya persamaan hak. Tokoh perempuan modern dalam Saman dan Larung terbuka terhadap perubahan-perubahan
yang
dianggap
dapat
memperbaiki
kondisi
kaum
perempuan. Karena itu mereka menolak hegemoni laki-laki yang merendahkan kaum perempuan dengan melakukan deskontruksi atau mempertanyakan kembali segala sesuatu yang menyangkut nasib perempuan dalam agama maupun budaya. Penelitian yang dilakukan Hani Solikhah (USM 2011) yang berjudul “Potret Seksualitas dan Kritik Sosial dalam Novel Saman Karya Ayu Utami: Kajian Semiotika” menyimpulkan bahwa seksualitas yang dipaparkan oleh pengarang ternyata merupakan potret dan kritik terhadap realita. Tokoh Upi yang begitu menyedihkan ataupun tokoh-tokoh wanita lain yang menggambarkan
Universitas Sumatera Utara
sebuah potret perilaku seksual yang di dalamnya mengkaji perilaku seks menyimpang, terutama adalah keterkaitan antara seksual dengan hak-hak perempuan. Dari beberapa analisis yang mengkaji novel Saman Karya Ayu Utami, umumnya membahas persoalan tentang seksualitas dan hak-hak perempuan. Dengan demikian, dibutuhkan pembahasan baru terhadap novel Saman agar memperkaya dan membuka pesan dalam novel. Maka, penulis mencoba mengkaji novel tersebut dari segi konflik yang dialami oleh tokoh utamanya, terutama konflik batin. Jadi, sepengetahuan penulis belum ada yang membahas novel Saman menggunakan teori Psikoanalisis Sigmund Freud. Maka penelitian ini berjudul “Konflik Batin Tokoh Utama dalam Novel Saman Karya Ayu Utami Pendekatan Psikoanalisis Freud”.
Universitas Sumatera Utara