BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Pengertian konsep dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2003:588) adalah gambaran mental dari suatu objek, proses, atau apapun yang ada di luar bahasa, yang digunakan oleh akal budi untuk memahami hal-hal lain. Peneliti akan menggambarkan objek yang diteliti yaitu gambaran berupa pengertian-pengertian yang berkaitan dengan penelitian.
2.1.1 Kebudayaan Kebudayaan merupakan kebiasaan yang dipelajari. Menurut Veegar dalam buku Ilmu Budaya Dasar, kebudayaan adalah hasil pengungkapan diri manusia ke dalam materi sejauh diterima dan dimiliki oleh suatu masyarakat dan menjadi warisannya. Manusia harus menciptakan suatu kebudayaan, sebab tanpa kebudayaan ia makhluk yang tidak berdaya, yang menjadi korban dari keadaannya yang tidak lengkap dan naluri-nalurinya yang tidak terpadu. Jadi menurutnya kebudayaan adalah faktor kekuatan manusia dalam rangka merespons alam sekitarnya.
2.1.2 Masyarakat Tionghoa Masyarakat Tionghoa mulai masuk ke negara Indonesia pada abad ke-7. Pada abad ke-11, mereka mulai tinggal di wilayah Indonesia, terutama di pesisir timur Sumatra dan Kalimantan Barat. Kemudian pada abad ke-14, ada warga Tionghoa yang mulai bermigrasi ke Pulau Jawa, terutama di sepanjang pantai utara
9 Universitas Sumatera Utara
Jawa. Perpindahan ini merupakan akibat dari aktivitas perdagangan antara India dan Tiongkok melalui jalur laut. Istilah Tionghoa dibuat sendiri oleh keturunan Cina, berasal dari kata zhonghua. Zhonghua dalam bahasa Mandarin dilafalkan sebagai Tionghoa. Kehidupan masyarakat Tionghoa mulai mewarnai lembaran ritual di Indonesia. Masyarakat Tionghoa juga memiliki berbagai jenis adat istiadat budaya yang kita kenal dengan perayaan-perayaan ataupun festival-festival tradisional.
2.1.3 Kota Tebing Tinggi Kota Tebing Tinggi berada diantara 30°9'3" sampai 30°4'50" Lintang Utara dan 99°4'1" sampai 99°0'0" Bujur Timur. Terletak sekitar 80 km dari Kota Medan, Sumatera Utara Indonesia. Kota Tebing Tinggi merupakan salah satu pemerintahan kota dari 34 kabupaten/kota di Sumatera Utara. Luas kota ini berkisar 38,438 km2. Berdasarkan sensus penduduk tahun 2010, rerata kepadatan penduduk Kota Tebing Tinggi adalah 3,777 orang per kilometer persegi. Kota Tebing Tinggi terletak pada lintas utama Sumatera, yaitu menghubungkan Lintas Timur dan Lintas Tengah Sumatera melalui lintas diagonal pada ruas Jalan Tebing Tinggi, Pematang Siantar, Parapat, Balige, dan Siborong-borong.
2.1.4 Wayang Potehi Wayang merupakan salah satu kebudayaan seni pertunjukkan rakyat yang masih banyak penggemarnya hingga saat ini. Pertunjukkan wayang dimainkan oleh seorang dalang dengan menggerakkan tokoh-tokoh pewayangan yang dipilih sesuai dengan cerita yang dibawakan. Dalam setiap pagelaran sang dalang dibantu para
10 Universitas Sumatera Utara
swarawati atau sindhen dan para penabuh gamelan atau niyaga, sehingga pertunjukkan wayang melibatkan banyak orang (Gunarjo, 2011:9). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2003:538), wayang adalah boneka tiruan orang yang terbuat dari pahatan kulit atau kayu dsb yang dapat dimanfaatkan untuk memerankan tokoh dalam pertunjukan drama tradisional (Bali, Jawa, Sunda, dsb), biasanya dimainkan oleh seseorang yang disebut dalang. Wayang boneka yang terbuat dari kain ini dimainkan oleh dua yang masingmasing memegang dua boneka. Dari kedua orang tersebut, satu orang dalang inti dan satu orang sebagai asisten dalang. Pertunjukan wayang potehi ini menceritakan tentang sejarah atau tokoh-tokoh penting di Cina dan biasanya dibawakan secara serial.
Gambar 1: Wayang Potehi
2.1.5 Pertunjukan Pertunjukan
adalah
sesuatu
yang
dipertunjukan
atau
ditontonkan.
Pertunjukan adalah sebuah komunikasi yang dilakukan satu orang atau lebih, pengirim pesan merasa bertanggung jawab pada seseorang atau lebih penerima pesan dan kepada sebuah tradisi yang mereka pahami bersama melalui seperangkat 11 Universitas Sumatera Utara
tingkah laku yang khas (Murgianto, 1996:156). Dalam sebuah pertunjukan harus ada pemain, penonton, pesan yang dikirim dan cara penyampaian yang khas. Berhasilnya sebuah pertunjukan, jika terjadi komunikasi dua arah antara pelaku seni pertunjukan dengan para penontonnya. Dalam sebuah seni pertunjukan atau yang lazim juga disebut dengan seni budaya dan budaya pertunjukan, biasanya dilakukan pada masa tertentu dan ruang tertentu (seperti pentas, lapangan, dan sejenisnya. Istilah seni pertunjukan atau sering juga disebut seni pertunjukan serta pertunjukan budaya dalam bahasa Indonesia dan Melayu Malaysia adalah sebagai padanan istilah perfoming art atau cultural perfomance dalam bahasa Inggris. Menurut Murgiyanto (1995) kajian-kajian keilmuan mengenai seni terbagi ke dalam rumpun-rumpun seni: (a) seni pertunjukan, yang di dalamnya terdiri lagi dari percabangan seni musik, tari, dan teater. Bidang kajian disiplin ini meluaskan diri sampai kepada sirkus, kabaret, olah raga, ritual, upacara, prosesi pemakaman dan lain-lainnya. (b) Seni visual atau seni rupa yang terdiri dari seni mumi, seni patung, kerajinan atau kriya, lukis, disain grafis, disain interior, disain eksterior, reklame dan lain-lainnya. (c) Seni media rekam, yang terdiri dari: televisi, radio, komputer, intemet dan lain-lainnya. Seni sastra umumnya menjadi bahagian kajian dari ilmu sastra atau linguistik, seni arsitektur atau seni bina menjadi bahagian kajian ilmu teknik. Namun kesemua bidang ini saling memiliki hubungan teoretis, metodologis dan sejarah dalam ilmu pengetahuan manusia. Ilmu seni pertunjukan telah menjadi sebuah disiplin ilmu yang mencoba menerapkan berbagai kajian dan metodologi, yang sifatnya integratif dan interdisiplin. Dalam disiplin seni pertunjukan ini, para ilmuwannya selalu
12 Universitas Sumatera Utara
menggunakan pendekatan perbandingan. Bahwa seni pertunjukan dilakukan oleh manusia dalam perayaan, upacara yang sifatnya sosial. Begitu pula pelbagai aktivitas yang sifatnya lebih menekankan kepada aspek estetika seperti dalam seni musik, tari, dan teater. Seni pertunjukan sebagai sebuah disiplin ilmu coba dikembangkan pelbagai metode dan teorinya oleh para ilmuwannya. Para ilmuwan seni pertunjukan ini mencoba mengembangkan sekumpulan konsep dan pendekatan keilmuan yang bersifat saintifik, menjelajahi pelbagai teori dan metodologi merangkum disiplindisiplin antropologi, sosiologi, sejarah, teori sastra, semiotika, analisis struktural, analisis fungsional, teori feminimisme, etnologi, analisis gerak tari dan teater, psikologi perseptual, estetika dan teori seni pertunjukan itu sendiri. Dalam rangka memberikan perspektif pertunjukan yang terintegrasi, tari, musik, dan teater tidak hanya dipelajari sebagai pertunjukan yang berdiri sendiri tetapi merupakan bahagian dari teater, upacara dan kehidupan sosiobudaya manusia. Seni pertunjukan yang didukung oleh musik, tari, dan teater menjadi satu bahagian dari konsep estetika. Musik sendiri adalah sebuah aktivitas yang material dasamya adalah bunyi-bunyian yang mengandung nada dan ritem tertentu. Sementara seni tari menggunakan medium utamanya yaitu gerak-geri tubuh manusia, dan teater melibatkan pelbagai medium baik bunyi-bunyian, gerak-gerik, alam sekitar maupun bahasa dan sastera. Dengan demikian dalam seni pertunjukan pendekatan struktural atau teks dan fungsional atau konteks menjadi bahagian yang saling berintegrasi dan saling mendukung. Dalam seni pertunjukan biasanya satu genre tertentu telah mengandung musik atau tari dan teater sekaligus. Namun ada yang mengandung satu bidang saja (Sal Murgiyanto 1995).
13 Universitas Sumatera Utara
2.1.6 Teks dan Konteks Teks adalah naskah yang berupa kata-kata asli dari seorang pengarang; kutipan dari kitab suci untuk pangkal ajaran atau ulasan; bahan tertulis untuk dasar memberikan pelajaran, pidato, dan sebagainya. Menurut Luxemburg, et.al. (1992:86, dalam jurnal) mendefinisikan teks sebagai ungkapan bahasa yang menurut isi, sintaksis, pragmatik merupakan suatu kesatuan. Teks yang baik harus mengungkapkan gagasan-gagasan atau gambaran-gambaran yang ada dalam kehidupan. Gagasan-gasasan atau gambaran-gambaran tersebut dituangkan dalam bentuk bahasa yang berupa penceritaan, lazimnya dalam bentuk drama dan prosa maupun untaian kata-kata, lazimnya dalam bentuk puisi. Konteks menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti bagian suatu uraian atau kalimat yang dapat kejelasan makana; situasi yang ada hubungannya dengan suatu kejadian. Konteks bias juga diartikan kondisi dimana suatu keadaan terjadi. Ada beberapa jenis konteks. Konteks fisik meliputi ruangan, obyek nyata, pemandangan, dan lain sebagainya. Konteks menurut factor sosio-psikologis menyangkut faktor-faktor seperti status orang-oraang yang terlibat dalam hubungan komunikasi, peran mereka, dan tingkat kesungguhannya. Dimensi pemilihan waktu atau tempo suatu konteks meliputi hari dan rentetan peristiwa yang dirasakan terjadi sebelum peristia komunikasi (http://id.m.wikipedia.org/wiki/konteks).
2.2 Landasan Teori Teori merupakan alat yang terpenting dari suatu pengetahuan. Menurut Koenjaraningrat (dalam jurnal, 2008) bahwa tanpa teori hanya ada pengetahuan tentang serangkaian fakta saja, tetapi tidak akan ada ilmu pengetahuan. Sebagai
14 Universitas Sumatera Utara
pedoman dalam menyelesaikan tulisan ini penulis menggunakan beberapa teori yang berhubungan dengan pokok-pokok permasalahan yang akan dibahas dalam tulisan ini. Dalam menyelesaikan penelitian ini, penulis menggunakan teori Edy Sedyawati (1981:48-66) yang mengemukakan bahwa suatu analisis pertunjukan selalu dikaitkan dengan kondisi lingkungan dimana seni pertunjukan tersebut dilaksanakan atau didukung masyarakatnya. Bagi Umar Kayam (2000:21) mengajukan sebuah teori bahwa seni pertunjukkan Indonesia memiliki ciri yang istimewa. Ia adalah sosok seni pertunjukkan yang sangat lentur dan “cair” sifatnya. Ia memiliki sifat yang demikian karena lingkungan masyarakatnya selalu barada dalam kondisi yang terus berubah-ubah. Kondisi tersebut berada, pada suatu kurun waktu tertentu, mapan dan mengembangkan suatu sosok yang tumbuh sebagai suatu “tradisi.” Untuk melihat apa-apa saja komponen dalam sebuah pertunjukan, penulis memakai teori Milton Singer (dalam jurnal, 1996: 164-165) yang mengungkapkan bahwa pertunjukan selalu memiliki, waktu pertunjukan yang terbatas, awal dan akhir, acara kegiatan yang terorganisir, sekelompok pemain, sekelompok penonton, tempat pertujukan dan kesempatan untuk mempertunjukannya.
2.2.1 Teori Semiotik Pertunjukan Untuk mengkaji pertunjukan wayang potehi di Kota Tebing Tinggi Sumatera Utara ini, penulis menggunakan teori semiotik pertunjukan yang ditawarkan oleh dua pakar seni pertunjukan yaitu Pavis dan Kowzan. Keduanya mendasarkan analisis semiotik yang bersumber dari Saussure dan Peirce, namun
15 Universitas Sumatera Utara
diterapkan pada seni pertunjukan, bukan bahasa seperti yang diurai oleh saussure dan Peirce. Pendekatan untuk mengkaji seni, salah satunya mengambil teori semiotik dalam rangka usaha untuk memahami bagaimana makna diciptakan dan dikomunikasikan melalui sistem simbol yang membangun sebuah peristiwa seni. Dua tokoh perintis semiotika adalah Ferdinand de Saussure seorang ahli bahasa dari Swiss dan Charles Sanders Peirce, seorang filosof dari Amerika Serikat. Saussure melihat bahasa sebagai sistem yang membuat lambang bahasa itu terdiri dari sebuah imaji bunyi (sound image) atau signifier yang berhubungan dengan konsep (signified). Setiap bahasa mempunyai lambang bunyi tersendiri. Peirce juga menginterpretasikan bahasa sebagai sistem lambang, tetapi terdiri dari tiga bagian yang saling berkaitan: (1) representatum, (2) pengamat (interpretant), dan (3) objek.
Dalam kajian kesenian berarti kita harus
memperhitungkan peranan seniman pelaku dan penonton sebagai pengamat dari lambang-lambang dan usaha kita untuk memahami proses pertunjukan atau proses penciptaan. Peirce membedakan lambang-lambang ke dalam tiga kategori: ikon, indeks, dan simbol. Apabila lambang itu menyerupai yang dilambangkan seperti foto, maka disebut ikon. Jika larnbang itu menunjukkan akan adanya sesuatu seperti timbulnya asap akan diikuti api, disebut indeks. Jika lambang tidak menyerupai yang dilambangkan, seperti burung garuda melambangkan negara Republik Indonesia, maka disebut dengan simbol. Dengan mengikuti pendekatan semiotika, maka dua pakar pertunjukan budaya, Tadeuz Kowzan dan Patrice Pavis (dalam Turner, 1983) dari Perancis, mengaplikasikannya dalam pertunjukan. Kowzan dan Pavis menawarkan 13 sistem
16 Universitas Sumatera Utara
lambang dari sebuah pertunjukan teater--8 berkaitan langsung dengan pemain dan 5 berada di luarnya. Ketiga belas lambang itu adalah: kata-kata, nada bicara, mirnik, gestur, gerak, make-up, gaya rarnbut, kosturn, properti, setting, lighting, musik, dan efek suara. Kowzan dan Pavis menyusun daftar pertanyaan yang lebih lugas dan detil untuk mengkaji sebuah pertunjukan. Pertanyaan-pertanyaannya menekankan perlunya dijelaskan bagaimana makna dibangun dan mengapa demikian. Pertanyaan ini menekankan pentingnya sebuah proses pertunjukan. Adapun pertanyaan-pertanyaan itu adalah yang mencakup: (1) diskusi umum tentang pertunjukan, yang meliputi: (a) unsur-unsur apa yang mendukung pertunjukan, (b) hubungan antara sistem-sistem pertunjukan, (c) koherensi dan inkoherensi, (d) prinsip-prinsip estetis produksi, (e) kendala-kendala
apa yang dijumpai tentang produksi seni, apakah
momennya kuat, lemah, atau membosankan. (2) skenografi, yang meliputi: (a) bentuk ruang pertunjukan--mencakup: arsitektur, gestural, keindahan, imitasi tata ruang, (b) hubungan. antara tempat penonton dengan panggung pertunjukan, (c) sistem pewarnaan dan konotasinya, (d) prinsip-prinsip organisasi ruang yang meliputi hubungan antara on-stage dan off-stage dan keterkaitan antara ruang yang diperlukan dengan gambaran panggung pada teks drama.
17 Universitas Sumatera Utara
(3) sistem tata cahaya (4) properti panggung: tipe, fungsi, hubungan antara ruang dan para pemain (5) kostum: bagaimana mereka mengadakannya serta bagaimana hubungan kostum antar pemain (6) pertunjukan: (a) gaya, individu atau konvensional, (b) hubungan antara pemain dan kelompok, (c) hubungan antara. teks yang tertulis dengan yang dilakukan, antara pemain dan peran, (d) kualitas gestur dan mimik, (e) bagaimana dialog dikembangkan. (7) fungsi musik dan efek suara (8) tahapan pertunjukan: (a) tahap keseluruhan, (b) tahap-tahap tertentu sebagai sistem tanda seperti tata cahaya, kostum, gestur, dan lain-lain, tahap pertunjukan yang tetap atau berubah tiba-tiba. (9) interpretasi cerita dalam pertunjukan: (a) cerita apa yang akan dipentaskan, (b) jenis dramaturgi apa yang dipilih, (c) apa yang menjadi ambiguitas dalam pertunjukan dan poin-poin apa yang dijelaskan, (d) bagaimana struktur plot, (e) bagaimana cerita dikonstruksikan oleh para pemain dan bagaimana pementasannya,
18 Universitas Sumatera Utara
(f) termasuk genre apakah teks dramanya. (10) teks dalam pertunjukan: (a) terjemahan skenario, (b) peran yang diberikan, teks drama dalam produksi (c) hubungan antara teks dan imaji (11) penonton: (a) di mana pertunjukan dilaksanakan, (b) prakiraan penonton tentang apa yang akan terjadi dalam pertunjukan, (c) bagaimana reaksi penonton, dan (d) peran penonton dalam konteks menginterpretasikan makna-makna. (12) bagaimana mencatat produksi pertunjukan secara teknis: (a) imaji apa yang menjadi fokus. (13) apa yang tidak dapat diuraikan dari tanda-tanda pertunjukan: (a) apa yang tidak dapat diinterpretasikan dari sebuah pertunjukan, (b) apa yang tidak dapat direduksi tentang tanda dan makna pertunjukan (dan mengapa). (14) apakah ada masalah-masalah khusus yang perlu dijelaskan, serta berbagai komentar dan saran lebih lanjut untuk melengkapi sejumlah pertanyaan dan memperbaiki produksi pertunjukan.
2.2.2 Teori Linguistik Sistemik Fungsional Penelitian ini mengunakan pendekatan Linguistik Systemic Functional (LSF). Dalam pendekatan ini Halliday (1994), mengatakan bahwa bahasa adalah
19 Universitas Sumatera Utara
sistem arti dan sistem. Konsep sistem dan arti yang digagas Halliday dirangkum dalam linguistik. Dalam penelitian konsep yang mendasari yaitu: (a) Bahasa adalah suatu sistem semiotik, (b) Bahasa merupakan teks berkonstrual (saling menentukan dan merujuk) dengan konteks sosial, (c) penggunaan bahasa adalah fungsional, (d) Fungsi bahasa membuat makna, (e) bahasa adalah sistem, (f) hubungan bahasa dan teks direalisasikan melalui konteks sosial. Bahasa lisan dan tulisan adalah bahasa yang difungsikan sesuai dengan fungsi – fungsi bahasa yang disebut metafungsi yang memiliki sistem – sistem yaitu sistem ideasional. interpesona dan tekstual. Tiga sistem di atas dikenal dengan tiga konsep fungsional yaitu konsep pertama bahwa bahasa teruktur berdasarkan fungsi bahasa dalam kehidupan manusia. Ketiga fungsi bahasa dalam kehidupan manusia terdiri atas tiga hal yaitu (1) fungsi memaparkam atau menggambarkan, (2) mempertukarkan, dan (3) merangkaikan pengalaman manusia. Kedua konsep bahwa setiap unit bahasa adalah fungsional berlaku terhadap unit yang lebih besar, yang di dalamnya unit itu menjadi unsur. Dengan pengertian seperti ini grup nomina, verba, preposisi klausa sisipan, atau unit lain berfungsi dalam tugas masing masing untuk membangun klausa. Konsep keempat menetapkan teks atau wacana dalam kontek sosial. Teks sebagai unit bahasa yang fungsional dalam kontek sosial adalah unit bahasa yang fungsional memberi arti atau unit semantik bukan unit tata bahasa (grammatical unit).
20 Universitas Sumatera Utara
Selanjutnya untuk menganalisis teks berupa prolog, dialog, dan epilog yang diucapkan atau dituturkan oleh dalang, maka penulis juga menggunakan teori Linguistik Systemic Functional (LSF) dari Martin. Menurutnya, secara global dan umum, bahwa bahasa merupakan bahagian dari kebudayaan. Menurut Martin peranan bahasa dalam konteks sosial adalah: (1) bahasa tidak hidup dan berkembang secara sendirian, bahasa merupakan bahagian dari lingkungan atau konteks sosial, (2) untuk mengetahui bahasa tersebut, maka para pengkaji bahasa mestilah melihat kenapa dan mengapa bahasa tersebut mencerminkan makna-makana dalam konteks sosial, (3) untuk mengetahui bahasa dan hubungannya dengan konteks sosial di mana hasa itu hidup, (4) untuk mengetahui para penutur bahasa tersebut menggunakan bahasa untuk berbicara sesama mereka; (5) hubungan antara bahasa dan konteks sosial adalah terekspresi dari konstruksi keduanya; (6) hubungan itu adalah: bahasa sebagai sistem semiotik mengekspresikan konteks sosial sebagai sistem. Hubungan bahasa dengan konteks sosial tersebut dapat dilihat dalam bagan berikut ini.
21 Universitas Sumatera Utara
Bagan Hubungan antara Bahasa dan Konteks Sosial (Martin, 1993:142)
Dalam konteks penelitian ini, bahasa yang dituturkan oleh dalang wayang potehi, yang penulis sebut sebagai teks pertunjukan, akan dianalisis berdasarkan konteks sosialnya. Teks itu sendiri sebagai bahasa memiliki struktur internalnya seperti diksi, susunan atau sintaksis, serta lebih jauh makna-makna semantiknya. Untuk itu, penulis nantinya di dalam skripsi sarjana ini akan mengkaji teks pertunjukan wayang potehi berdasarkan konteks sosialnya, yaitu dalam kebudayaan masyarakat Tionghoa di Kota Tebing Tinggi yang heterogen secara budaya.
22 Universitas Sumatera Utara
2.3 Tinjauan Pustaka Tinjauan adalah hasil meninjau, pandangan, pendapat sesudah ,menyelidiki atau mempelajari (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2003:1198). Pustaka adalah kitab-kitab; buku; buku primbon (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2003:912). Penulis menemukan beberapa buku, skripsi yang isinya relevan dengan judul penelitian ini. Adapun buku dan jurnal yaitu : Dinanike (1997), dalam skripsi yang berjudul “Pertunjukan Wayang Potehi di Tempat Ibadat Tri Dharma Hok Tek Bio, Gombong.” Dalam skripsi ini , penulisnya menjelaskan sejarah munculnya wayang potehi di Cina, sejarah masuknya wayang potehi di Indonesia serta menjelaskan tentang bagaimana struktur konteks pertunjukan wayang potehi di Gombong, Jawa Tengah. Dengan membaca skripsi ini penulis dapat mengetahui bahwa wayang potehi telah ada di Indonesia sejak tahun 1930. Dinanike juga menuliskan unsur-unsur pendukung dalam pertunjukan wayang potehi seperti adanya panggung, alat musik, wayang boneka, sehingga penulis mengetahui apa-apa saja instrumen yang digunakan selama pertunjukan wayang potehi berlangsung di Gombong. Dwi (2004), dalam makalahnya yang berjudul “Wayang Cina di Jawa Sebagai Wujud Akulturasi Budaya dan Perekat Negara Kesatuan Republik Indonesia.” Dalam makalah ini, pembicara menjelaskan sejarah masuknya wayang Tiongkok-Jawa serta wayang potehi ke Indonesia. Ia juga mengungkapkan adanya asimilasi antara budaya Tionghoa dengan budaya Indonesia sehingga adanya perpaduan wayang Tionghoa dan wayang Jawa sehingga memunculkan wayang Tiongkok-Jawa. Dengan membaca makalah ini penulis dapat mengetahui adanya perubahan-perubahan yang terjadi setelah adanya akulturasi budaya Tiongkok
23 Universitas Sumatera Utara
dengan budaya Indonesia dan mengetahui apa-apa saja perubahan yang telah terjadi dari wujud asalnya seperti adanya perubahan bahasanya. Veronica (2011), dalam artikel berjudul Kebudayaan Tionghoa. Dalam tulisan ini Veronica mengungkapkan cerita-cerita yang sering dilakonkan dalam pementasan wayang potehi berupa legenda Tiongkok, seperti Sampek Engthay, Sih Djienkoei, Capsha Thaypoo, Sungokong, dan lain-lain. Dengan membaca jurnal ini penulis lebih mengetahui lakon-lakon apa saja yang lebih sering dimainkan dalam pertunjukan wayang potehi dan bagaimana cara melakonkannya. Ananda dan Anastasi (2013), dalam bukunya berjudul Pecinan Semarang. Dalam bukunya ini, penulis menjelaskan sekilas tentang sejarah munculnya wayang potehi. Penulis juga menceritakan biografi dari seorang Tiong Gie sebagai salah satu ikon pecinan yang cukup terkenal dan bisa dibilang sebagai dalang wayang potehi yang paling senior di pulau Jawa. Adapun manfaat buku ini bagi penulis yaitu dapat membantu penulis memaparkan sejarah awal munculnya wayang potehi di Negeri Tiongkok dan persebarannya di Indonesia terutama di Semarang, Jawa Tengah.
24 Universitas Sumatera Utara