15
BAB II LANDASAN TEORI
A. KONSEP DIRI 1. Pengertian Konsep Diri Dalam kamus besar bahasa Indonesia istilah ―konsep‖ memiliki arti gambaran, proses atau hal-hal yang digunakan oleh akal budi untuk memahami sesuatu. Istilah ―diri‖ berarti bagian-bagian dari individu yang terpisah dari yang lain. Konsep diri dapat diartikan sebagai gambaran seseorang mengenai dirinya sendiri atau penilaian terhadap dirinya sendiri (KBBI, 2008). Konsep diri merupakan sebuah konstruk psikologis yang telah lama menjadi pembahasan dalam ranah ilmu-ilmu sosial (Marsh & Craven, 2008). Shavelson, Hubner, & Stanton (1976) menyatakan bahwa konsep diri merupakan persepsi seseorang terhadap dirinya sendiri, dimana persepsi ini dibentuk melalui pengalaman dan interprestasi seseorang terhadap dirinya sendiri. Marsh (1990) juga menambahkan bahwasanya konsep diri merupakan nilai dari hasil proses pembelajaran yang dilakukan dan dari hasil situasi psikologis yang diterima. Menurut Purkey (1988), konsep diri merupakan totalitas dari kepercayaan terhadap diri individu, sikap dan opini mengenai dirinya, dan individu tersebut merasa hal tersebut sesuai dengan kenyataan pada dirinya. Menurut Rice & Gale (1975) konsep diri terdiri diri dari berbagai aspek, misalnya aspek sosial, aspek fisik, dan moralitas. Konsep diri merupakan suatu proses yang terus selalu berubah, terutama pada masa kanak-kanak dan remaja. Menurut Gage dan Berliner (1998) selain merupakan cara bagaimana individu melihat tentang diri
15
16
mereka sendiri, konsep diri juga mengukur tentang apa yang akan dilakukan di masa yang akan datang, dan bagaimana mereka mengevaluasi performa diri mereka. Konsep diri merupakan hal yang penting dalam kehidupan sebab pemahaman seseorang mengenai konsep dirinya akan menentukan dan mengarahkan perilaku dalam berbagai situasi. Jika konsep diri seseorang negatif, maka akan negatiflah perilaku seseorang, sebaliknya jika konsep diri seseorang positif, maka positiflah perilaku seseorang tersebut (Fits dan Shavelson, dalam Yanti, 2000). Hurlock (1999) menambahkan bahwasanya konsep diri individu dapat menentukan keberhasilan dan kegagalan seseorang dalam hubungannya dengan masyarakat. Dari beberapa definisi di atas, dapat disimpulkan bahwasanya konsep diri adalah sebuah pandangan ataupun persepsi individu mengenai dirinya sendiri yang terbentuk melalui interaksi dengan lingkungan serta berpengaruh terhadap aktivitas kehidupan individu tersebut. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan teori konsep diri Shavelson ,dkk (1976). 2. Perkembangan Teori Konsep diri Freud pada tahun 1900 mengungkapkan bahwasanya hal yang terpenting dari diri individu adalah proses mental. Freud mengatakan bahwasanya konsep diri merupakan sebuah unit psikologis yang paling dasar untuk memahami proses mental individu. Konsep ini terus dikembangkan oleh Freud dalam perkembangan teori ego dan dalam interpretasi terhadap diri individu. Dalam perkembangannya, konsep diri semakin luas digunakan dalam dunia terapi dan konseling. Lecky pada tahun 1945 menggunakan istilah konsistensi diri yang mengacu pada dasar-dasar
16
17
perilaku individu dalam terapi dan pada tahun 1948, Raimy memperkenalkan istilah konsep diri dalam wawancara konseling karena ia melihat bahwasanya dasar-dasar dari konseling adalah bagaimana individu tersebut melihat dirinya secara utuh dalam konsep dirinya (Purkey, 1988). Selanjutnya, Roger pada tahun 1947 mencoba untuk mengembangkan pola “self” dalam sebuah sistem psikologis. Roger menilai bahwa ―self” merupakan dasar atau hal utama yang menjadi bagian dari kepribadian dan penyesuaian individu. Roger juga mengatakan bahwasanya ―self” merupakan produk sosial yang tumbuh dari proses interpersonal yang dilakukan. Teori konsep diri semakin berkembang pada tahun 1970 sampai tahun 1980-an dengan pola konsep diri umum. Pada saat itu semakin banyak peneliti yang menyadari betapa pentingnya mempelajari konsep diri karena konsep diri sangat mempengaruhi perilaku individu. Dalam permasalahan seperti penggunaan alkohol, permasalahan keluarga, penyalahgunaan obat-obatan, masalah akademis dan lain sebagainya, sangat dipengaruhi oleh konsep diri seseorang. Sehingga banyak para peneliti mengembangkan suatu cara bagaimana agar dapat menguatkan konsep diri untuk menjadi lebih baik (Purkey, 1988). Pada awalnya konsep diri merupakan suatu konstruk yang bersifat umum atau yang lebih dikenal dengan istilah unidimensional (Prasetyo, 2006). Konsep diri umum merupakan generalisasi pemahaman konsep diri tanpa melihat deskripsi spesifik dari apa yang dilihat secara khusus. Hal ini mengandung arti bahwa konsep diri umum merupakan pemahaman seorang individu terhadap diri mereka secara umum tanpa melihat bagian-bagian yang lebih spesifik dari diri mereka (Puspasari, 2007).
17
18
Perkembangan konsep diri selanjutnya lebih mengarah pada konsep diri yang bersifat spesifik atau yang lebih dikenal dengan istilah multidimensional. Konsep diri spesifik merupakan pola penilaian konsep diri individu yang melihat ke dalam perspektif yang lebih luas terhadap diri individu, sehingga bisa mendapatkan gambaran diri individu dari berbagai sudut pandang yang beragam dan dinamis (Metivier, 2009). Jika hanya ada satu penjelasan mengenai konsep diri unidimensional, maka pada konsep diri multidimensional dapat melihat diri seseorang dari berbagai konteks, seperti konsep diri spiritual, konsep diri sosial, konsep diri terhadap lingkungan dan lain sebagainya (James, dalam Metivier, 2009). Pada seperempat abad terakhir, penelitian mengenai konsep diri semakin meningkat.
Hal
ini
disebabkan karena keinginan para peneliti
untuk
mengembangkan konstruk konsep diri pada diri individu. Salah satu pola pengembangan konsep diri yang banyak dilakukan adalah dengan menggunakan pola konsep diri yang bersifat multidimensional (Marsh & Craven, 2008). Marsh & Parker (dalam Metivier, 2009) mengatakan bahwasanya pola pengukuran konsep diri yang bersifat multidimensional memiliki beberapa keuntungan dibandingkan dengan pola unidimensional. Dalam konsep diri yang bersifat multidimensional kita dapat melihat karakteristik individu dari berbagai macam konteks pada diri individu, dapat memprediksi perilaku seseorang, dapat membantu
menyelesaikan
permasalahan
pada
individu,
dan
dapat
mengembangkan integrasi antar konstruk daripada konsep diri yang bersifat unidimensional.
18
19
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan konsep diri yang bersifat multidimensional. Hal ini dilakukan untuk mengetahui konsep diri secara spesifik sehingga mendapatkan berbagai macam konsep diri individu dari sudut pandang yang beragam selain dari beberapa keunggulan pola konsep diri multidimensional yang telah disebutkan di atas. 3. Jenis dan Struktur Konsep Diri Shavelson, Hubner, dan Stanton (1976) membagi konsep diri menjadi beberapa bagian, yakni general-esteem, konsep diri akademis dan konsep diri non akademis. Dimana konsep diri akademis dan non akademis dibagi menjadi beberapa bagian lagi seperti dalam tabel berikut : Gambar 1 Struktur konsep diri Shavelson, Hubner, & Stanton (1976)
Konsep diri secara umum dibagi ke dalam 4 jenis konsep diri, yakni : 1. Konsep diri akademis (Academic self concept), yang terdiri dari konsep diri mengenai kemampuan berbahasa inggris, sejarah, matematika, dan ilmu pengetahuan alam.
19
20
2. Konsep diri Sosial (social self-concept), yang terdiri dari konsep diri teman sebaya (peers) dan konsep diri terhadap orang berpengaruh (significant others). 3. Konsep diri emosional (emotional self-concept). 4. Konsep diri fisik (physical self-concept), yang terdiri dari konsep diri kemampuan fisik dan konsep diri mengenai penampilan diri. Kemudian pada tahun 1985, Marsh merevisi struktur konsep diri bersama dengan Shavelson dengan pola sebagai berikut : Gambar 2 Struktur Konsep Diri Marsh & Shavelson (1985)
Dalam pola ini Marsh & Shavelson tidak membentuk pola hierarkial. Namun lebih kepada pola multifacet dari general konsep diri kepada banyak jenis konsep diri seperti konsep diri penampilan fisik, hubungan dengan orangtua, akademis, problem-solving, spiritual, hubungan teman sebaya baik yang sejenis maupun lawan jenis, kejujuran, emosional dan lain-lain. Marsh & Shavelson (1985) dalam teorinya membuat 13 jenis konsep diri yang dapat diteliti dalam diri individu, yakni : 1. Konsep diri umum (general self-concept). 2. Konsep diri akademis (academic self-concept). 3. Konsep diri matematika (mathematic self-concept).
20
21
4. Konsep diri problem-solving. 5. Konsep diri spiritual. 6. Konsep diri kestabilan emosi (emotional self-concept). 7. Konsep diri yang berhubungan dengan teman yang berjenis kelamin sama (same sex peers self-concept). 8. Konsep diri yang berhubungan dengan teman yang berjenis kelamin berbeda (opposite sex peers self-concept). 9. Konsep diri hubungan orangtua (parent self-concept). 10. Konsep diri penampilan fisik (physical appearance self-concept). 11. Konsep diri kekuatan fisik (physical ability self-concept). 12. Konsep diri verbal (verbal self-concept). 13. Konsep diri kejujuran (honesty self-concept). Dari berbagai macam jenis konsep diri Marsh & Shavelson di atas, peneliti hanya mengambil tujuh jenis konsep diri yang akan diteliti. Hal ini dilakukan peneliti karena ketujuh jenis konsep diri ini dianggap berpengaruh oleh peneliti terhadap proses mentoring Agama Islam yang dilaksanakan. Ketujuh jenis konsep diri tersebut adalah : 1. konsep diri akademis, dalam prosesnya mentoring mengajarkan tentang motivasi belajar dan strategi untuk memaksimalkan potensi akademis peserta mentoring. 2. konsep diri problem-solving, dalam prosesnya mentoring melatih peserta untuk berfikir untuk memecahkan permasalahan yang ada. 3. konsep diri spiritual, dalam prosesnya mentoring memiliki tujuan utama untuk meningkatkan potensi spiritual dalam diri peserta.
21
22
4. konsep diri kejujuran, dalam prosesnya mentoring mengajarkan tentang moral (akhlak) yang di dalamnya terdapat poin-poin mengenai kejujuran. 5. konsep diri parent-relation, dalam prosesnya mentoring juga membicarakan mengenai cara berbakti dengan orangtua. 6. konsep diri emotional, dalam prosesnya mentoring melatih peserta untuk dapat mengelola diri dan emosinya. 7. konsep diri umum (general-esteem), dalam prosesnya mentoring memiliki tujuan untuk membangun individu untuk menjadi insan yang lebih berguna secara paripurna (keseluruhan). 4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Konsep Diri Konsep diri seseorang dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor eksternal (Marsh, 2003; Burger, 2008). Faktor internal tersebut diantaranya adalah intelegensi, motivasi dan emosi (Marsh, 2003; Stuart & Sudeen, 1998; Hurlock, 1999), kompetensi personal (Marsh, 2003; Hurlock, 1999; Christa, 2007;), episode keberhasilan dan kegagalan (Burger, 2008; Stuart & Sudeen, 1998; Hurlock, 1999; Ulfah, 2007), episode dalam kehidupan (Burger, 2008; Stuart & Sudeen, 1998) keberhasilan personal (Marsh, 2003), status kesehatan (Burger, 2008; Hurlock, 1999), usia (Burger, 2008; Stuart & Sudeen, 1998; Ulfah, 2007; Rola, 2006), kondisi dan penampilan fisik (Hurlock, 1999; Rola, 2006), persepsi individu tentang kegagalan (Burger, 2008; Stuart & Sudeen, 1998), jenis kelamin (Rola, 2006), aktualisasi diri (Fits, dalam Agustiani, 2006), religiusitas (Agustiani, 2006) dan tingkat stres seseorang (Burger, 2008). Sedangkan faktor eksternal diantaranya adalah lingkungan keluarga (Marsh, 2003; Stuart & Sudeen, 1998; Hurlock; Ulfah, 2007; Shavelson & Roger,
22
23
1981; Christa, 2007), teman sebaya (Marsh, 2003; Stuart & Sudeen, 1998; Ulfah, 2007; Shavelson & Roger, 1981; Christa, 2007), peran pendidik (Marsh, 2003; Stuart & Sudeen, 1998; Hurlock, 1999; Ulfah, 2007; Shavelson & Roger, 1981; Christa, 2007), kebudayaan (Hurlock, 1999; Ulfah, 2007; Shavelson & Roger, 1981), status sosial (Hurlock, 1999; Ulfah, 2007; Shavelson & Roger, 1981), dan pengalaman interpersonal (Fits, dalam Agustiani, 2006). Dari berbagai faktor yang mempengaruhi konsep diri seseorang, maka peneliti
mengambil
kesimpulan
bahwasanya
faktor-faktor
utama
yang
mempengaruhi konsep diri pada mahasiswa adalah : 1. Faktor internal : a. Intelegensi, motivasi dan emosi (karakter mahasiswa). b. Kompetensi personal (kemampuan dan keterampilan tertentu yang dimiliki oleh mahasiswa). c. Episode dalam kehidupan (pengalaman mahasiswa yang berpengaruh besar dalam hidup, seperti masa sekolah). d. Episode keberhasilan dan kegagalan (pengalaman dalam memanfaatkan peluang, misalnya pengalaman berorganisasi). e. Keberhasilan personal (pengalaman berprestasi). f. Status kesehatan (riwayat kesehatan mahasiswa). g. Penampilan fisik (kepercayaan diri mahasiswa terhadap penampilannya). h. Aktualisasi diri, (misalnya hobi mahasiswa). i. Persepsi tentang kegagalan (pengalaman kegagalan di masa lalu). j. Jenis kelamin. k. Religiusitas.
23
24
l. Usia. m. Tingkat stres. 2. Faktor Eksternal a. Orangtua dan keluarga (hubungan dengan orangtua, termasuk tempat tinggal individu). b. Teman sebaya (misalnya teman bermain/peers,teman kuliah, dan lainlain). c. Peran pendidik (misalnya peran dosen, pementor, pembina, dan lain-lain). d. Kebudayaan (misalnya suku, agama, adat istiadat, dan lain-lain). e. Status sosial (misalnya status pendidikan orangtua, pendapatan orangtua, dan lain-lain). f. Pengalaman interpersonal (misalnya riwayat pembinaan yang pernah dilakukan). Dalam penelitian ini, hal yang difokuskan untuk meningkatkan konsep diri mahasiswa muslim adalah melalui faktor religiusitas dari faktor internal, dan peran pendidik dari faktor eksternal. 5. Pengukuran Konsep Diri Burns (dalam Strein, 1995) mengemukakan dua cara yang dapat dilakukan untuk mengukur konsep diri, yaitu : 1. Melalui respon atas aitem-aitem dalam skala konsep diri spesifik yang diberikan kepada subjek. 2. Melalui pengamatan individual atas pola perilaku yang muncul dari subjek. Untuk metode pelaporan yang dapat digunakan dalam mengukur konsep diri individu di antaranya :
24
25
1. Skala Penilaian Skala ini dapat berupa kuesioner, inventori, atau skala-skala sikap yang diberikan kepada subjek. 2. Daftar ceklist Metode ini mengarahkan subjek untuk memilih aitem-aitem yang sesuai dengan kondisi subjek yang sebenarnya. 3. Teknik Sort-Q Metode ini mengarahkan subjek untuk melakukan sortir ataupun pengurutan terhadap kumpulan aitem-aitem yang ada dalam tes. Sehingga didapatkan sebuah kontinum penilaian yang sesuai dengan diri subjek. 4. Metode respons yang tidak terstruktur (bebas) Metode ini meminta subjek untuk memberikan jawaban yang tidak terstruktur (bebas). Jenis soal yang ditawarkan biasanya tertulis dalam bentuk essay, dimana subjek disuruh untuk menuliskan kata-kata dalam kolom yang kosong. 5. teknik-teknik proyektif Teknik ini sering digunakan dalam mengukur konsep diri yang tidak sadar (unconscious self-concept). 6. Wawancara Alat ukur yang dapat digunakan dalam mengukur konsep diri ini cukup banyak. Marsh (1992) membuat beberapa alat ukur konsep diri yang dapat digunakan di berbagai negara, diantaranya adalah SAS (Sydney Attributional Scale), SDQI, SDQII, & SDQIII (Self Description Questionnaire), ASDQI & ASDQII (Academic Self Description Questionnaire), EASDQ (Elite Athlete Self
25
26
Description Questionnaire), PSDQ (Physical Self Description Questionnaire), dan NSCQ (Nurse Retention Index Questionnaire). Selain di atas, alat ukur konsep diri lainnya yang sering digunakan adalah adalah Tennessee Self-Concept Scale –Second Edition, Coopersmith Self-Esteem Inventory, Multidimensional Self Concept Scale, Piers-Harris Children’s SelfConcept Scale (Ellie, Hoffman, & Kemple, 2011). Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan alat ukur SDQIII (Self Description Questionnaire) yang dikembangkan oleh Marsh (1984). SDQIII merupakan alat ukur lanjutan dari SDQI dan SDQII. Alasan peneliti menggunakan alat ukur ini karena SDQIII dapat digunakan untuk subjek yang berusia remaja akhir hingga dewasa. Sejalan dengan tujuan penelitian ini adalah untuk mengukur konsep diri remaja akhir (mahasiswa). Sedangkan metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah melalui teknik ceklist dan wawancara. Teknik ceklist dilakukan dengan memberikan ceklist pada skala SDQIII yang sesuai dengan keadaan diri subjek. Teknik wawancara dilakukan untuk memperkuat hasil penelitian dari skala.
B. RELIGIUSITAS 1. Pengertian Religiusitas Drikarya (dalam Widiyanta, 2005) mendefinisikan religiusitas sebagai kewajiban-kewajiban atau aturan-aturan yang harus dilaksanakan yang berfungsi untuk mengikat dan mengutuhkan seseorang atau kelompok orang dalam hubungannya dengan Tuhan atau sesama manusia serta alam sekitarnya. Menurut
26
27
Joni (2008), religiusitas adalah suatu penghayatan ajaran agama yang mengarah kepada ketaatan dan komitmen seseorang dalam melaksanakan ajaran agamanya. Menurut Rahmat (1989), religiusitas adalah kepercayaan individu tentang ajaran-ajaran agama tertentu yang dianut dan dampak dari ajaran agama dalam kehidupan sehari-hari. Mangunwijaya (1986) mengungkapkan bahwa religiusitas lebih melihat kepada segala sesuatu yang ada dalam lubuk hati, getaran hati nurani pribadi, serta sikap personal yang menjadi misteri bagi orang lain karena menapaskan intimitas jiwa, yaitu cita rasa yang mencakup totalitas kedalaman isi pribadi manusia. Dari segenap definisi di atas dapat disimpulkan bahwasanya religiusitas merupakan keyakinan atau kerpercayaan individu terhadap ajaran agama yang berasal dari nurani pribadi seseorang yang diaplikasikan dalam bentuk komitmen ibadah dan pengamalan nilai-nilai hidup sehari-hari. 2. Aspek-Aspek Religiusitas Menurut Marsal (2008) ada 5 dimensi dari religiusitas, yaitu : a. Religious belief atau disebut juga dimensi keyakinan adalah tingkatan sejauh mana seseorang menerima hal-hal yang dogmatik dalam agamanya, misalnya kepercayaan kepada Tuhan, malaikat, surga dan neraka. b. Dimensi praktis keagamaan (religious practice), yaitu tingkatan sejauh mana seseorang mengerjakan kewajiban-kewajiban ritual dalam agamanya yang berupa ibadah, misalnya shalat, berdoa, sembahyang, meditasi. c. Dimensi pengalaman keagamaan (the experience dimension or religious experience), yaitu tingkatan sejauh mana seseorang mengerjakan kewajibankewajiban ritual dalam agamanya. yang mencakup kenyataan bahwa semua
27
28
agama punya harapan yang standar (umum) namun setiap pribadi penganutnya bisa memperoleh suatu pengalaman langsung dan pribadi (subyektif) dalam berkomunikasi dengan realitas supranatural itu. Misalnya merasa dekat dengan Tuhan, merasa takut berbuat dosa, merasa doanya dikabulkan, diselamatkan oleh Tuhan, dan sebagainya. d. Dimensi pengetahuan (the knowledge dimension) adalah dimensi yang menerangkan seberapa jauh seseorang mengetahui tentang ajaran-ajaran agamanya, terutama yang ada di dalam kitab suci manapun yang lainnya. yang merujuk pada ekspektasi bahwa penganut agama tertentu hendaknya memiliki pengetahuan minimum mengenai hal-hal pokok dalam agama: iman, kristus, Kitab Suci dan tradisi. e. Dimensi konsekuensi sosial (the consequences dimension) yaitu dimensi yang mengukur sejauh mana prilaku seseorang dimotivasi oleh ajaran-ajaran agamanya dalam kehidupan sosial, misalnya apakah ia mengunjungi tetangganya sakit, menolong orang yang kesulitan, mendermakan hartanya, dan sebagainya. Dimensi ini mengidentifikasi efek dari keempat dimensi diatas dalam praktek, pengalaman serta kehidupan sehari-hari. 3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Religiusitas Thouless (1992), membedakan faktor-faktor yang mempengaruhi sikap keagamaan menjadi empat macam, yaitu : a. Pengaruh pendidikan atau pengajaran Faktor ini mencakup semua pengaruh sosial dalam perkembangan keagamaan itu, termasuk pendidikan dari orang tua, sekolah, kampus, tradisi-
28
29
tradisi sosial, tekanan dari lingkungan sosial untuk menyesuaikan diri dengan berbagai pendapat dan sikap yang disepakati oleh lingkungan itu. b. Faktor kebutuhan Berkaitan dengan berbagai jenis pengalaman yang membentuk sikap keagamaan. Terutama pengalaman mengenai keindahan, konflik moral dan pengalaman emosional keagamaan. c. Faktor kehidupan Kebutuhan-kebutuhan ini secara garis besar dapat menjadi empat, yaitu : 1. kebutuhan akan keamanan atau keselamatan 2. kebutuhan akan cinta kasih, 3. kebutuhan untuk memperoleh harga diri, dan 4. kebutuhan yang timbul karena adanya ancaman kematian. d. Faktor intelektual Berkaitan dengan berbagai proses penalaran verbal atau rasionalisasi. Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwasanya ada dua faktor umum yang mempengaruhi religiusitas seseorang, yakni faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal mencakup faktor kebutuhan, intelektual serta pengalaman. Sedangkan faktor eksternal mencakup pendidikan dan pengajaran. Dalam hal ini peneliti akan melakukan intervensi untuk meningkatkan religiusitas melalui metode pendidikan dan pengajaran Islam. d. Metode pendidikan Islam untuk meningkatkan religiusitas Menurut Uhbiyati (1997), ada beberapa metode pendidikan Islam yang efektif dilaksanakan dalam upaya peningkatan religiusitas, yaitu : 1. Metode Mutual Education
29
30
Metode Mutual Education adalah suatu metode pendidikan secara kelompok seperti yang dicontohkan oleh Nabi SAW, misalnya mentoring Agama Islam atau halaqoh, ceramah terbuka, dan praktek sholat berjama’ah. 2. Metode Pendidikan Dengan Cara Instruksional Metode ini mengajarkan tentang ciri-ciri orang yang beriman dalam bersikap dan bertingkah laku agar mereka dapat mengetahui bagaimana seharusnya mereka bersikap dan berbuat dalam kehidupan sehari-hari. 3. Metode Bercerita Metode ini mengisahkan peristiwa atau sejarah hidup manusia masa lampau yang menyangkut ketaatan dan kemungkarannya dalam hidup terhadap perintah Tuhan yang dibawakan oleh Nabi SAW yang hadir ditengah-tengah mereka. 4. Metode Bimbingan Dan Penyuluhan Metode ini adalah metode dimana individu diajarkan bagaimana mengatasi segala bentuk kesulitan hidup yang dihadapi atas dasar iman dan taqwanya terhadap Tuhan Yang Maha Esa. 5. Metode Pemberian, Contoh, Atau Teladan Metode ini dilakukan dengan menunjukkan contoh keteladan dari kehidupan Nabi Muhammad SAW yang mengandung nilai paedagogis bagi manusia. 6. Metode Diskusi Metode ini mengajarkan manusia dengan tujuan lebih memantapkan pengertian dan sikap pengetahuan mereka terhadap suatu masalah dari sudut pandang Al-Quran.
30
31
7. Metode Tanya Jawab Metode ini merupakan metode paling tua dalam pendidikan dan pengajaran disamping metode khutbah. 8. Metode Imstal/Perumpamaan Metode ini digunakan untuk menyampaikan materi tentang kekuasaan Tuhan dalam menciptakan hal-hal yang haq dan yang bathil. Contoh perumpamaan: ―orang-orang yang berlindung kepada selain Allah SWT adalah seperti laba-laba yang membuat rumah‖. Padahal rumah yang paling lemah adalah rumah laba-laba. 9. Metode Targhib Dan Tarhib Targhib adalah janji terhadap kesenangan dan kenikmatan akhirat yang disertai bujukan. Sedangkan tarhib adalah ancaman karena dosa yang dilakukan. 10. Metode Taubat Dan Ampunan Cara membangkitkan jiwa dari rasa frustasi kepada kesegaran hidup dan optimisme dalam belajar seseorang, dengan memberikan kesempatan bertaubat dari kesalahan/kekeliruan yang telah lampau yang diikuti dengan pengampunan atas
dosa
dan
kesalahan.
Dengan
cara
ini
orang
akan
mengalami katarisasi (pembersihan batin) sehingga memungkinkan timbulnya sikap dan perasaan mampu untuk berbuat yang lebih baik dan diiringi dengan sikap optimisme dan harapan hidup dimasa depan. Meskipun dalam pelaksanaanya digunakan semua metode di atas, namun metode yang utama digunakan dalam penelitian ini adalah melalui metode mutual education. Mutual education adalah metode pembelajaran melalui pendekatan kelompok, salah satu contoh yang disebutkan diatas adalah dengan mentoring
31
32
agama Islam. Listyaningsih (2009) dan Rusmiyati (2003) juga menguatkan bahwasanya upaya untuk meningkatkan religiusitas seseorang adalah dengan melalui pembinaan keislaman atau mentoring agama Islam.
C. MENTORING AGAMA ISLAM 1. Pengertian Mentoring Mentoring merupakan sebuah pola pengembangan diri yang terus berkembang dari waktu ke waktu. Pada tahun 1970 hingga tahun 1980-an, mentoring adalah suatu proses yang hanya diberikan untuk proses penjenjangan karir. Namun seiring berjalannya waktu, mentoring hingga saat ini juga diterapkan dalam dunia pendidikan (Ingrid, 2005). Mentoring merupakan bimbingan yang diberikan melalui demonstrasi, instruksi, tantangan dan dorongan secara teratur selama periode waktu tertentu. Mentoring biasanya dilakukan oleh individu yang lebih tua untuk meningkatkan kompetensi serta karakter individu yang lebih muda. Selama proses ini berlangsung, pementor dan mentee mengembangkan suatu ikatan komitmen bersama yang melibatkan karakter emosional dan diwarnai oleh sikap hormat serta kesetiaan (Santrock, 2007). Mentoring adalah suatu proses yang lebih mengarah kepada keinginan untuk saling berbagi pengetahuan khususnya kepada seseorang yang belum memiliki pengalaman sehingga dapat meningkatkan hubungan kepercayaan diantara sesama (David dalam Brewerton, 2002). Inti dari proses mentoring adalah membangun hubungan interpersonal yang berhubungan dengan konteks pekerjaan tertentu (Belle & Rose, 2007).
32
33
Menurut McCreath (2000), mentoring merupakan sebuah pendekatan yang lebih bersifat persahabatan. Dimana dalam proses persahabatan tersebut ada visi untuk meningkatkan kualitas diri antar sesama baik secara pemikiran maupun emosional. Dari definisi di atas, dapat disimpulkan bahwasanya mentoring adalah suatu proses peningkatan kualitas diri yang dilakukan secara interpersonal baik dalam hal pendidikan dan pekerjaan melalui pendekatan emosional diantara pementor dengan para mentee-nya. 2. Pengertian Mentoring Agama Islam Satria (2010) mengatakan bahwasanya mentoring Agama Islam merupakan sebuah metode pendidikan Islam yang efektif dilakukan untuk para mahasiswa di perguruan tinggi. Dalam Islam, istilah mentoring Agama Islam lebih dikenal dengan istilah halaqah atau usroh. sebuah istilah yang berhubungan dengan pendidikan dan pengajaran Islam. Mentoring terdiri dari sekelompok kecil individu yang secara rutin mengkaji ajaran Islam. Jumlah peserta dalam kelompok kecil tersebut berkisar antara 3-12 orang. Mereka mengkaji Islam dengan kurikulum tertentu. Biasanya kurikulum tersebut berasal dari lembaga yang menaungi mentoring tersebut. Mentoring Agama Islam adalah suatu proses pendidikan yang harus dilalui setiap mahasiswa muslim yang mengambil mata kuliah Islam. Pengelolaan mentoring Agama Islam ini dilakukan oleh Unit Kegiatan Mahasiswa Islam (UKMI) dari tingkat Universitas hingga tingkat Jurusan melalui koordinasi langsung dengan seluruh dosen Agama Islam. Mentoring Agama Islam dilakukan satu minggu sekali dengan waktu yang telah disepakati dalam kelompok tersebut.
33
34
Proses jalannya mentoring Agama Islam diawali dengan adanya pembukaan mentoring Agama Islam. Pada acara tersebut, setiap mahasiswa muslim akan dibagi menjadi beberapa kelompok oleh departemen mentoring yang kemudian akan didampingi oleh satu orang pementor (Muhammad, 2011). Rusmiyati (2003) dalam bukunya yang berjudul ―panduan mentoring Agama Islam‖ menambahkan bahwasanya dalam proses mentoring Agama Islam kegiatan pembinaan yang dilakukan kepada mahasiswa berlangsung secara periodik dengan bimbingan seorang pementor. Pola pendekatan teman sebaya yang diterapkan menjadikan program ini lebih menarik dan efektif serta memiliki keunggulan tersendiri. 3. Komponen Mentoring Agama Islam Ada 3 komponen yang mempengaruhi jalannya proses mentoring, yakni : 1. Pementor Pementor merupakan seseorang yang ditunjuk sebagai pembina dalam proses mentoring. Biasanya pementor merupakan kakak kelas atau senior dari suatu tingkatan yang telah mengikuti pelatihan dan seleksi pementor di tingkat kampus sebelumnya (Ridwansyah, 2008). Berdasarkan pedoman dakwah lembaga mentoring Agama Islam LDK USU (2012), syarat – syarat untuk menjadi seorang pementor adalah : a. Masih mengikuti kegiatan follow up mentoring. b. Minimal telah mengikuti mentoring selama setahun di kampus. c. Telah mengikuti kegiatan dauroh/ sekolah pementor universitas. d. Lulus dari seleksi pementor universitas ataupun fakultas. e. Mendapatkan izin dan rekomendasi dari pementornya.
34
35
Berikut profil umum yang harus dimiliki oleh seorang pementor (Modul mentoring LDK USU, 2012): 1. Memiliki kepribadian Islam (Islamic personality). 2. Memiliki pemikiran Islam yang baik (Islamic thinking). 3. Study oriented. 4. Rela berkorban (high dedication). 5. Openness, friendly, flexible. 2. Kurikulum Kurikulum merupakan kumpulan dan urutan materi yang akan disampaikan kepada kelompok mentoring (mentee) secara periodik. Biasanya kurikulum tersebut berasal dari organisasi yang menaungi mentoring seperti melalui lembaga dakwah kampus (LDK) yang ada di masing-masing perguruan tinggi (Satria, 2010). 3. Mentee Peserta mentoring atau yang lebih dikenal dengan istilah mentee adalah sekelompok individu yang mendapatkan perlakuan mentoring dari para pementor dalam jumlah yang berkisar antara 3-12 orang (Satria, 2010). Mentee biasanya merupakan mahasiswa muslim yang baru masuk di perguruan tinggi (semester pertama). 4. Pelaksanaan Mentoring Agama Islam Ruswandi dan Adeyasa (2012) dalam modulnya yang berjudul ―manajemen mentoring‖ mengemukakan beberapa hal yang terkait dalam proses mentoring agama Islam : a. Latar belakang
35
36
Mentoring sebagai metode pembinaan mahasiswa dalam memahami Islam dengan cara yang menyenangkan lahir dari suatu pemikiran sebagai berikut : 1. Metode tradisional yang ada saat ini untuk mempelajari Islam tidak komprehensif. 2. Tidak cocoknya metode tradisional untuk mahasiswa. 3. Konsep pendidikan Islam yang selama ini ada hanya sekedar keilmuan saja, dan jarang mencapai tataran amal dalam aplikasi kehidupan seharihari. b. Visi Membentuk insan muslim dengan kepribadian dan gaya hidup Islam. c. Misi 1. menjadikan program mentoring sebagai suatu sarana pendidikan Islam bagi mahasiswa muslim. 2. Kaderisasi mahasiswa muslim untuk bergerak menyeru pada hal yang ma’ruf dan mencegah yang munkar. d. Tujuan Mentoring Peserta memperoleh pemahaman yang benar tentang Islam dan bersemangat untuk beribadah kepada Allah swt. e. Sasaran Mentoring Mentoring ditujukan kepada mahasiswa muslim dan dibimbing oleh para pementor. f. Waktu Mentoring dilaksanakan satu pekan sekali selama lebih kurang 2 jam dalam kurun waktu lebih kurang 12 kali pertemuan.
36
37
g. Tempat Mentoring biasanya dilaksanakan di masjid-masjid atau mushala kampus. Namun hal ini bisa tidak tetap setiap minggunya. Mentoring terkadang dapat dilakukan di alam terbuka dan dimana saja sesuai dengan kesepakatan antara pementor dengan para mentee. 5. Tahapan Proses Dalam Mentoring Agama Islam Dalam buku modul mentoring LDK UKMI Addakwah USU (2012), tahapan-tahapan dalam proses mentoring yang dilakukan adalah sebagai berikut : 1. Pembukaaan Untuk mentoring perdana, pembukaan dapat dibuka oleh pementor. Namun untuk selanjutnya, mentee dapat ditunjuk secara bergilir sesuai kesepakatan untuk membukanya. Pembukaan merupakan sarana pengkondisian antusiasme mentee, sehingga perlu dilakukan pengkodisian pembukaan yang menarik dan membangun semangat dalam proses mentoring. 2. Pembacaan dan penghayatan Al-Qur’an Pembacaan Al-Qur’an merupakan proses dimana para mentee membaca Al-Qur’an secara bergiliran dan dibimbing oleh pementor. Jumlah ayat yang dibaca tidak dibatasi, namun disesuaikan antara jumlah peserta dengan waktu. Dalam hal ini umumnya pembacaan Al-Qur’an dilakukan sebanyak setengah sampai satu halaman Al-Qur’an per individu. Penghayatan Al-Qur’an adalah proses perenungan ayat dan makna dari ayat-ayat Qur’an yang telah dibacakan baik dari segi arti ayat, makna ayat, asbabun nuzul (sebab turunnya ayat), dan relevansinya dalam kehidupan sehari-
37
38
hari. Dalam hal ini yang membawakan adalah para mentee secara bergantian tiap minggunya yang selanjutnya diarahkan oleh pementor. 3. Penyampain Materi Selain penguasaan materi, efektifitas cara penyampaian materi mentoring juga menjadi hal yang penting. Materi mentoring ini terdapat dalam buku modul mentoring yang biasanya dikeluarkan oleh lembaga dakwah di setiap kampus. Dalam hal ini pementor menyampaikan materi dengan pola pendekatan yang lebih aplikatif dengan realita kehidupan sehari-hari dan fakta yang ada dalam kehidupan nyata sehingga tidak terkesan menggurui para mentee, namun lebih saling mengingatkan dan menyadarkan peserta mentoring. 4. Diskusi Diskusi tidak harus dilakukan di akhir mentoring, namun dapat juga dilakukan di sela-sela materi. Diskusi bisa berupa pertanyaan-pertanyaan dari mentee atau kasus-kasus yang berkaitan dengan materi. Diskusi juga tidak mesti selalu mengarah kepada pertanyaan seputar materi yang baru dibahas. Mentee juga dapat menanyakan perihal apapun mengenai problematika keIslaman yang mungkin sedang dialami oleh para mentee. 5. Sharing Agenda ini merupakan agenda dimana para mentee dan pementor saling menanyakan kabar pribadi, keluarga, dan perihal-perihal seputar ibadah, kuliah, serta aktifitas lainnya. Agenda ini merupakan sarana yang dapat mempererat hubungan diantara sesama kelompok mentoring dan proses pertukaran pikiran menjadi semakin lebih terbuka di dalamnya. 6. Penutup
38
39
Penutupan biasanya dilakukan dengan lafaz hamdalah dan doa penutup majelis yang dilakukan secara bersama-sama oleh kelompok mentoring. 6. Aspek- Aspek dalam Mentoring Agama Islam Ada beberapa aspek yang perlu ditinjau untuk mengetahui sejauh mana keberhasilan proses mentoring dilakukan (Zein dalam Romli, 2007), diantaranya adalah : 1. Kognitif,
yaitu penguasaan pengetahuan yang menekankan pada
mengenal dan mengingat kembali materti yang disampaikan dan telah diajarkan. Secara kognitif materi yang disampaikan akan menjadi sebuah pola fikir (mindset) yang dapat menjadi sebuah peta pemikiran (fikroh). Sehingga dapat menghasilkan pola fikir yang positif melalui Islam terhadap semua kondisi kehidupan yang dilakukan. 2. Psikomotorik, yaitu aspek yang berkaitan dengan keterampilan yang bersifat amal nyata. Hal ini dapat dilihat dari tingkah lakunya dan dapat diamati melalui ibadah-ibadah yang dilakukan serta etika dalam bergaul dan adab-adab tertentu. 3. Afektif, yaitu aspek yang terkait dengan sikap mental, perasaan dan kesadaran siswa. Hasil ini akan diperoleh melalui suatu proses internalisasi ke arah rohaniyah. Pertumbuhan itu terjadi ketika peserta menyadari nilai yang terkandung dalam pembelajaran agama dan kemudian nilai-nilai tersebut dijadikan sebagai suatu sistem nilai diri, sehingga menuntun segenap pernyataan sikap, tingkah laku dan perbuatan moralnya dalam menjalani kehidupan ini. 7. Materi mentoring Agama Islam
39
40
Materi-materi di dalam mentoring merupakan materi yang dapat mendukung pelajaran Agama Islam, juga dapat menumbuhkan pemahamanpemahaman yang lebih baik tentang Agama Islam seperti materi tentang akidah, ibadah, dan akhlak (Rusmiyati, 2003). Berikut judul-judul materi yang dibawakan dalam proses mentoring (Modul Mentoring LDK USU, 2012) : 1. Mentoring versus me Tujuan instruksional umum dari materi ini adalah diharapkan peserta mampu memahami urgensi mentoring / pendidikan Islam. 2. Yuk pedekate ke Allah swt. Tujuan instruksional umum dari materi ini adalah agar peserta memahami pentingnya mengenal Allah swt. dalam kehidupan manusia dan memahami bahwa dengan ma'rifatullah seseorang dapat menambah keimanan dan ketakwaannya. 3. D’ messenger Tujuan instruksional umum dari materi ini adalah agar peserta memahami pentingnya mengenal dan mengimani Rasul. 4. Islam forever Tujuan instruksional umum dari materi ini adalah memberikan pemahaman mengenai Islam kepada peserta mentoring. 5. Ukhuwah never die! Tujuan instruksional umum dari materi ini adalah agar peserta mentoring diharapkan dapat memahami indahnya persaudaraan dalam Islam dan dapat mengaplikasikannya.
40
41
6. Be a nice person, guys! Tujuan instruksional umum dari materi ini adalah agar peserta dapat menginternalisasi akhlak Islami dan selalu berusaha menjaga akhlak Islami. 7. Musuh abad 21 (ghozwul fikri) Tujuan instruksional umum dari materi ini adalah agar peserta mampu mengerti dan memahami tentang ghozwul fikri atau perang pemikiran dari dunia barat. 8. Al-Qur’an kitab cinta Tujuan instruksional umum dari materi ini adalah agar peserta dapat menanamkan cinta pada Al-Qur’an, agar lahirnya generasi yang memiliki keterikatakan dengan kitabullah, baik untuk memahaminya, maupun mengamalkannya. 9. Sempurnakan baktimu! Tujuan instruksional umum dari materi ini adalah agar peserta memahami makna dan mempraktekkan birrul walidain atau berbakti kepada orangtua dalam kehidupan sehari-hari Selain dari 9 judul materi di atas, masih terdapat materi lain yang disampaikan dalam tiga pertemuan berikutnya. Dalam hal ini, pementor memberikan materi sesuai dengan kebutuhan para menteenya. Materi yang disampaikan dapat berupa materi pengembangan diri seperti mengenal diri (who am i), Komunikasi efektif (effective communication), pemecahan masalah (Problem-solving), dan lain lain. Selain materi pengembangan diri juga disampaikan materi profesi keIslaman sesuai dengan fakultas masing masing. Misalnya di fakultas psikologi
41
42
diberikan materi psikologi Islami, pengobatan ala nabi di farmasi, hukum Islam di fakultas hukum, ekonomi syariah di fakultas ekonomi dan lain sebagainya. 8. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Efektifitas Pelaksanaan Mentoring Agama Islam Menurut gopee (2011) ada beberapa hal yang mempengaruhi efektifitas pelaksanaan mentoring, yakni : 1. Efektifitas dari pola hubungan kekerabatan antara mentee dengan pementor 2. Efektifitas komunikasi yang terbangun antara mentee dan pementor 3. Karakter dari seorang pementor 4. Tindakan dari pementor untuk mendukung mentee dalam belajar Mahasri dan Najmuddin (2008) mengemukakan beberapa aspek yang dapat mempengaruhi efektifitas mentoring, yakni : 1. Kesesuaian materi yang disajikan dengan buku panduan. 2. Ketertarikan mentee terhadap materi yang disajikan oleh pementor. 3. Penyimpangan materi yang disajikan oleh pementor. 4. Waktu penyajian materi. 5. Variasi penggunaan metode pembelajaran. 6. Sikap mentee terhadap metode yang digunakan pementor. 7. Penggunaan alat dan media pembelajaran. 8. Kesiapan pementor. 9. Kedisiplinan pementor. 10. Penguasaan materi oleh pementor. 11. Pola hubungan pementor dengan mentee.
42
43
12. Sikap mentee terhadap pementor. 13. Harapan mentee terhadap pementor. Dalam penelitian ini, faktor-faktor yang telah dikemukakan di atas tidak dikontrol oleh peneliti.
D. MAHASISWA 1. Definisi Mahasiswa Mahasiswa adalah orang yang belajar di perguruan tinggi, baik di universitas, institut atau akademi. Mereka yang terdaftar sebagai murid di perguruan tinggi dapat disebut sebagai mahasiswa. usia mahasiswa meliputi rentang usia 18/19 tahun sampai 24/25 tahun (Takwin, 2008). Para mahasiswa khususnya mahasiswa baru masuk ke dalam kategori remaja akhir yang berusia sekitar 18 - 21 tahun (Monks dkk, 2001). Masa remaja adalah periode tengah dalam kehidupan manusia (life-span) dimana seseorang mulai bertanya-tanya mengenai berbagai fenomena yang terjadi di lingkungan sekitarnya sebagai dasar bagi pembentukan nilai diri mereka. Usia remaja merupakan masa peralihan antara masa kanak-kanak menuju masa dewasa (Papalia, 2007). Rentang umur mahasiswa ini masih dapat dibagi atas periode 18/19 tahun sampai 20/21 tahun, yaitu mahasiswa dari semester 1 sampai dengan semester IV, dan periode 21/22 tahun sampai 24/25 tahun, yaitu mahasiswa semester V sampai dengan semester VIII (Winkel dalam Ahmaini, 2010). Sedangkan mahasiswa muslim adalah mahasiswa yang beragama Islam, terdata sebagai mahasiswa Islam di kampus dan terdaftar sebagai umat Islam dalam catatan kependudukan di Indonesia.
43
44
2. Perkembangan Konsep Diri Pada Remaja dan Mahasiswa Konsep diri belum ada ketika lahir, kemudian berkembang secara bertahap sejak lahir seperti mulai mengenal dan membedakan dirinya dengan orang lain (Salbiah, 2003). Konsep diri itu terbentuk melalui proses belajar yang berlangsung sejak usia dini hingga dewasa. Saat individu semakin beranjak dewasa, maka keberadaan konsep diri juga semakin kompleks (Dianingtyas, 2012). Pada masa remaja konsep diri berkembang dengan sangat cepat. Oleh karenanya, pada masa inilah remaja diharapkan dapat mengembangkan konsep dirinya untuk menjadi lebih baik (Sebastian, Burnett & Blakemore, 2008). Masa remaja merupakan masa penghubung antara masa anak-anak menuju masa dewasa (Rola, 2006). Pada masa ini, terdapat banyak perubahan pada remaja. Oleh karena itulah masa remaja disebut dengan masa-masa yang rentan (Reyna, Chapman, Dougherty, Confrey, 2011). Perubahan-perubahan tersebut diantaranya adalah perubahan intelektual dan cara berpikir remaja, perkembangan seksual, terjadinya perubahan fisik yang sangat cepat, serta meningkatnya hubungan sosial, dimana remaja mulai berintegrasi dengan masyarakat luas (Barbara, Robert & Edmund, 1986). Hal yang dominan dalam mempengaruhi konsep diri remaja adalah lingkungan, diantaranya adalah lingkungan keluarga, teman sebaya, sekolah, dan reaksi dari lingkungan lainnya (Dusek & Jerome, 1978). Namun diantara banyak lingkungan tersebut, kelompok teman sebaya lebih dominan dalam mempengaruhi konsep diri remaja. Teman sebaya menggantikan peran orang tua sebagai orang yang turut berpengaruh dalam pembentukan konsep diri mereka. Remaja mengidentifikasi dirinya dengan remaja seusianya dan mengadopsi bentuk-bentuk
44
45
tingkah laku dari kelompok teman sebaya dari jenis kelamin yang sama (Agustiani, 2006). Secara umum, konsep diri antara remaja pria sama dengan remaja wanita sama. Meskipun pada remaja wanita cenderung lebih rentan dalam menghadapi tantangan hidup dibandingkan dengan remaja pria. Namun, remaja wanita lebih memiliki konsep diri sosial dan kesadaran diri yang lebih tinggi daripada pria (Florence & Roberta, 1975). Pada pria, rasa percaya mereka juga lebih tinggi daripada perempuan (Sutary, Lilis, & Yulianeta, 2007). Ketika terjadi perubahan-perubahan yang mempengaruhi remaja pada beberapa permasalahan kehidupan, konsep diri juga berada dalam keadaan terus berubah. Ketidakpastian masa depan membuat formulasi tujuan mereka menjadi sulit. Namun, dari penyelesaian masalah dan konflik remaja inilah lahir konsep diri orang dewasa. Ketika individu hampir mendekati 25 tahun biasanya ego orang dewasa sudah terbentuk dengan lengkap, ketika saat itu tiba maka konsep diri seseorang sudah menjadi semakin sulit untuk berubah (Agustiani, 2006). Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa pembentukan konsep diri remaja khususnya pada remaja akhir sangat menentukan. Sebab, masa remaja merupakan gerbang utama yang dekat menuju kepada masa dewasa. Peran teman sebaya menjadi sangat berarti bagi remaja, yang terkadang lebih utama daripada peran orangtua. Oleh karena itu, untuk membentuk konsep diri yang lebih baik bagi remaja perlu dilakukan kontrol yang membangun bagi orangtua terhadap anak remajanya.
45
46
D.
PENGARUH
MENTORING
AGAMA
ISLAM
TERHADAP
PERUBAHAN KONSEP DIRI MAHASISWA MUSLIM Kehadiran mahasiswa seharusnya dapat menjadi teladan bagi kaum muda lainnya. Namun pada kenyataannya, banyak perilaku moral yang kurang baik yang ditunjukkan mahasiswa yang perlu menjadi perhatian utama bagi orangtua dan civitas akademika kampus. Tak jarang mahasiswa menjadi sumber konflik dengan aksi demonstrasi dan tawuran yang meresahkan warga masyarakat (Noe, 2012). Konflik internal dan penyimpangan perilaku etis juga kerap terjadi pada mahasiswa. Penyimpangan perilaku yang sering dilakukan mahasiswa sering tampak di media seperti gank motor, penyalahgunaan obat-obatan, merokok, seks bebas, dan lainnya (Monks, Knoers, & Hadinoto, 2001). Perilaku-perilaku negatif yang ditunjukan oleh mahasiswa tersebut menunjukkan bagaimana konsep diri mereka (Ulfah, 2007). Konsep diri tidak hanya bersifat unidimensional, yang artinya hanya dilihat dari satu aspek diri secara menyeluruh. Konsep diri juga ada yang bersifat spesifik atau yang lebih dikenal dengan istilah multidimensional. Konsep diri spesifik merupakan pola penilaian konsep diri individu yang melihat ke dalam perspektif yang lebih luas terhadap diri individu, sehingga bisa mendapatkan gambaran diri individu dari berbagai sudut pandang yang beragam dan dinamis (Metivier, 2009). Pada konsep diri multidimensional kita dapat melihat beberapa macam konsep diri seperti konsep diri akademis, konsep diri problem solving, konsep diri spiritual, konsep diri kejujuran, konsep diri parent-relation, konsep diri emosional, konsep diri umum dan konsep diri lainnya (James, dalam Metivier, 2009).
46
47
Konsep diri akademis (academic self-concept adalah konsep diri seseorang mengenai kemampuan dirinya dalam hal akademis. Konsep diri emotional (emotional self-concept), adalah konsep diri seseorang mengenai kemampuannya dalam mengelola emosinya. Konsep diri kejujuran (honesty self-concept) adalah konsep diri seseorang mengenai kejujuran dan kepercayaan terhadap dirinya. Konsep diri yang berhubungan dengan orang orang tua (parent relation) adalah bagaimana seseorang individu memandang hubungan mereka dengan orangtua mereka. Konsep diri spiritual (spiritual self-concept) adalah kapasitas individu mengenai hubungannya dengan Agama dan Tuhan. Konsep diri pemecahan masalah (problem solving) adalah kemampuan individu untuk dapat memecahkan suatu masalah atau persoalan. Konsep diri umum (general esteem) adalah konsep diri individu secara keseluruhan mengenai kemampuan dirinya secara umum beserta penerimaan dirinya. Menurut Brooks (dalam Debby, 2011) Semakin tinggi nilai konsep diri seseorang tentu pribadi individu tersebut semakin baik dan semakin positif pula. Individu dengan konsep diri yang positif dapat dilihat dengan perilaku sebagai berikut : merasa mampu mengatasi masalah, merasa setara dengan orang lain, menerima pujian tanpa rasa malu, merasa mampu memperbaiki diri. Conger (dalam Mönks dkk, 2001) menyatakan bahwa konsep diri yang negatif pada individu dapat membentuk sifat memberontak, mendendam, curiga, dan implusif. Menurut Agustiani (2006), salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan konsep diri adalah dengan menanamkan nilai-nilai religiusitas pada remaja tersebut. Drikarya (dalam Widiyanta, 2005) mendefinisikan religiusitas sebagai kewajiban-kewajiban atau aturan-aturan yang harus dilaksanakan yang
47
48
berfungsi untuk mengikat dan mengutuhkan seseorang atau kelompok orang dalam hubungannya dengan Tuhan atau sesama manusia serta alam sekitarnya. Kresnawati (dalam Kusuma, 2010) pada penelitiannya terhadap 114 orang pelajar SMA di Jakarta menemukan bahwasanya ada hubungan positif antara religiusitas dengan kemampuan pemecahan masalah pada remaja. Dari hasil analisis deskriptif diperoleh hasil bahwa pemahaman tingkat agama berbanding lurus dengan kemampuan individu dalam memecahkan masalah. Sebanyak 76 orang (66,7%) berkategori baik dalam memecahkan masalah, dan yang berkategori tidak baik sebanyak 38 orang (33,3%). Cole (dalam Rahayu, 2008) juga menambahkan bahwasanya agama atau religiusitas dalam diri individu terbukti berperan dalam mengurangi tingkat konflik yang terjadi, terutama konflik yang berkaitan dengan ketidakpuasan terhadap dirinya sendiri dan lingkungan sekitarnya. Beberapa ahli sepakat bahwa agama sangat potensial untuk mendorong dan mengarahkan hidup manusia pada perubahan-perubahan ditingkat mikro individual dan makro sosial ke arah yang baik dan benar. Konsep diri belum ada ketika lahir, kemudian berkembang secara bertahap sejak lahir seperti mulai mengenal dan membedakan dirinya dengan orang lain (Salbiah, 2003). Konsep diri itu terbentuk melalui proses belajar yang berlangsung sejak usia dini hingga dewasa. Saat individu semakin beranjak dewasa, maka keberadaan konsep diri juga semakin kompleks (Dianingtyas, 2012). Pada masa remaja pembentukan konsep diri berada pada tahapan yang kritis. Selama masa remaja kelompok teman sebaya mulai memainkan peran yang dominan menggantikan orang tua sebagai orang yang turut berpengaruh dalam
48
49
pembentukan konsep diri mereka. Remaja mengidentifikasi dirinya dengan remaja seusianya dan mengadopsi bentuk-bentuk tingkah laku dari kelompok teman sebaya dari jenis kelamin yang sama (Agustiani, 2006). Untuk merubah konsep diri mahasiswa ke arah yang lebih baik maka diperlukan sebuah treatment atau perlakuan melalui penanaman nilai-nilaireligiusitas kepada mahasiswa. Salah satu program treatment religiusitas yang tepat diberikan untuk mahasiswa adalah melalui program mentoring Agama Islam (Rusmiyati, 2003). Program mentoring Agama islam yang dikembangkan dengan pola pendidikan teman sebaya efektif diterapkan kepada mahasiswa. Hal ini disebabkan karena mahasiswa yang berada pada tahap perkembangan remaja akhir, lebih mudah mengidentifikasi dirinya dengan remaja seusianya sebagai significant other baginya daripada kelompok individu lain (Agustiani, 2006). Dalam penelitian yang pernah dilakukan mengenai dampak mentoring terhadap konsep diri ditemukan bahwasanya individu yang mengikuti mentoring menunjukkan peningkatan kesejahteraan psikologis, mentoring dapat membuat konsep diri menjadi lebih positif dan mengurangi kecenderungan untuk melakukan perilaku-perilaku beresiko (Darrick & David, 2007). Mentoring juga dapat menurunkan tingkat penggunaan alkohol dan obat-obatan terlarang dari 46% hingga 70%, meningkatnya semangat belajar, serta terbangunnya keharmonisan hubungan dengan keluarga dan teman sebaya (Bilchik, 1997).
E. HIPOTESIS PENELITIAN Hipotesis dalam penelitian ini didasarkan kepada 7 jenis konsep diri yang akan diukur, yaitu:
49
50
1. Ada pengaruh mentoring Agama Islam terhadap perubahan konsep diri akademis mahasiswa muslim USU. 2. Ada pengaruh mentoring Agama Islam terhadap perubahan konsep diri problem-solving mahasiswa muslim USU. 3. Ada pengaruh mentoring Agama Islam terhadap perubahan konsep diri spiritual mahasiswa muslim USU. 4. Ada pengaruh mentoring Agama Islam terhadap perubahan konsep diri kejujuran mahasiswa muslim USU. 5. Ada pengaruh mentoring Agama Islam terhadap perubahan konsep diri parent-relation mahasiswa muslim USU. 6. Ada pengaruh mentoring Agama Islam terhadap perubahan konsep diri emotional mahasiswa muslim USU. 7. Ada pengaruh mentoring Agama Islam terhadap perubahan konsep diri umum (general-esteem) mahasiswa muslim USU.
50