BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1
Pengertian Analisis Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), pengertian analisis adalah
penyelidikan terhadap suatu peristiwa (karangan, perbuatan, dsb) untuk mengetahui keadaan yang sebenarnya (sebab-musabab, duduk perkaranya dsb) (KBBI, 2008: 58). Analisa berasal dari kata Yunani Kuno “analusis” yang berarti melepaskan. Analusis terbentuk dari dua suku kata yaitu “ana” yang berarti kembali dan “luein” yang berarti melepas. Sehingga pengertian analisa yaitu suatu usaha dalam mengamati secara detail pada suatu hal atau benda dengan cara menguraikan komponen-komponen pembentuknya atau menyusun komponen tersebut untuk dikaji lebih lanjut. Menurut Gorys Keraf, analisa adalah sebuah proses untuk memecahkan sesuatu ke dalam bagian-bagian yang saling berkaitan satu sama lainnya. Sedangkan menurut Komarrudin mengatakan bahwa analisis merupakan suatu kegiatan berfikir untuk menguraikan suatu keseluruhan menjadi komponen sehingga dapat mengenal tanda-tanda dari setiap komponen, hubungan satu sama lain dan fungsi masingmasing
dalam
suatu
keseluruhan
yang
terpadu
(2013.www.
http://pengertiandefinisi.com, diakses pada 26 April 2016 pada pukul 23.44).
Universitas Sumatera Utara
2.2
Remaja 2.2.1
Pengertian Remaja
Remaja adalah waktu manusia berumur belasan tahun. Menurut psikologi, remaja adalah suatu periode transisi dari masa awal anak-anak hingga awal masa dewasa, yang dimasuki pada usia kira-kira 10 hingga 12 tahun dan berakhir pada usia 18 tahun. Dilihat dari bahasa Inggris “teenager”, remaja yaitu manusia berumur belasan tahun, dimana usia tersebut merupakan perkembangan untuk menjadi dewasa (www. id.wikipedia.org, diakses pada 22 April 2016 pukul 12.26 WIB). Menurut WHO dalam Badriah (2011) mengatakan remaja adalah individu yang telah mencapai umur 10-18 tahun. Pada masa remaja terjadi perubahanperubahan yang mencolok secara fisik dan psikis yang biasa disebut sebagai masa pubertas. Terjadinya banyak perubahan tersebut sering menimbulkan kebingungankebingungan atau kegoncangan-kegoncangan jiwa remaja, sehingga ada orang yang menyebutnya sebagai periode “sturm und drang” atau pubertas. Mereka bingung karena pikiran dan emosinya berjuang untuk menemukan diri sendiri, memahami dan menyeleksi serta melaksanakan nilai-nilai yang ditemui di masyarakatnya, disamping perasaan ingin bebas dari segala ikatan pun muncul dengan kuatnya. Sementara fisiknya sudah cukup besar, sehingga disebut anak tidak mau dan disebut orang dewasa tidak mampu. Tepatlah kiranya kalau ada ahli yang menyebutnya sebagai “masa peralihan” sebagaimana diungkapkan: “a period during which growing person makes the transition from childhood to adulthood”. (Jersild, dalam Mubin & Cahyadi, 2006: 103).
Universitas Sumatera Utara
Sarlito Wirawan Sarwono memberikan batasan usia remaja Indonesia adalah antara usia 11-24 tahun dan belum menikah, dengan pertimbangan sebagai berikut: 1. Usia 11 tahun adalah usia di mana pada umunya tanda-tanda seksual sekunder mulai nampak (kriteria fisik). 2. Usia 11 tahun sudah dianggap akil balik, baik menurut adat maupun agama, sehingga masyarakat tidak lagi memperlakukan mereka sebagai anak-anak (kriteria sosial). 3. Pada usia tersebut mulai ada tanda-tanda penyempurnaan perkembangan jiwanya seperti tercapainya identitas diri, tercapainya fase genital dari perkembangan psikoseksual, dan tercapainya puncak perkembangan kognitif maupun moral (kriteria psikologik). 4. Batas usia 24 tahun merupakan batas maksimal untuk memberi peluang bagi mereka untuk mencapai kedewasaan. 5. Status perkawinan sangat menentukan. Seseorang yang sudah menikah di usia berapa pun akan dianggap dan diperlakukan sebagai orang dewasa penuh baik secara hukum maupun dalam kehidupan masyarakat dan keluarga. Pada tahun 1974, WHO memberikan defenisi tentang remaja yang lebih bersifat konseptual. Dalam defenisi tersebut dikemukakan 3 kriteria yaitu biologik, psikologik, dan sosial ekonomi, sehingga secara lengkap definisi tersebut berbunyi sebagai berikut: Remaja adalah suatu masa dimana: 1. Individu berkembang dari saat pertama kali ia menunjukkan tanda-tanda seksual sekundernya sampai saat ia mencapai kematangan seksual.
Universitas Sumatera Utara
2. Individu mengalami perkembangan psikologik dan pola identifikasi dari kanak-kanak menjadi dewasa. 3. Terjadi peralihan dari ketergantungan sosial-ekonomi yang penuh kepada keadaan yang relatif lebih mandiri (Sarwono, 2000: 9).
2.2.2
Ciri- ciri Remaja
Seorang remaja berada pada batas peralihan kehidupan anak dan dewasa. Dilihat dari sudut batas usia sudah tampak bahwa remaja adalah golongan yang labil. Tubuhnya sudah “dewasa”, akan tetapi bila diperlakukan seperti orang dewasa ia gagal menunjukkan kedewasaannya. Pengalaman mengenai alam dewasa masih belum banyak karena itu sering terlihat pada mereka adanya: 1. Kegelisahan: keadaan yang tidak tenang menguasai diri si remaja. Mereka mempunyai banyak macam keinginan yang tidak selalu dapat dipenuhi. Di satu pihak ingin mencari pengalaman, karena diperlukan untuk menambah pengetahuan dan keluwesan dalam tingkah laku. Di pihak lain mereka merasa diri belum mampu melakukan berbagai hal. Mereka ingin tahu segala peristiwa yang terjadi di lingkugan luas, akan tetapi tidak berani mengambil tindakan untuk mencari pengalaman dan pengetahuan langsung dari sumbersumbernya. Akhirnya mereka hanya dikuasai oleh perasaan gelisah karena keinginan-keinginan yang tidak tersalurkan. 2. Pertentangan: pertentangan-pertentangan yang terjadi di dalam diri mereka juga menimbulkan kebingungan baik bagi diri mereka sendiri maupun orang lain. Pada umumnya timbul perselisihan dan pertentangan pendapat dan pandangan antara si remaja dan orangtua. Selanjutnya pertentangan ini menyebabkan timbulnya keinginan yang hebat untuk melepaskan diri dari
Universitas Sumatera Utara
orangtua. Akan tetapi pertentangan untuk melepaskan diri ini ditentang lagi oleh keinginan memperoleh rasa aman di rumah. Mereka tidak berani mengambil resiko dari tindakan meninggalkan lingkungan yang aman diantara keluarganya. Tambahan pula keinginan melepaskan diri secara mutlak belum disertai kesanggupan untuk berdiri sendiri, tanpa memperoleh lagi bantuan dari keluarga dalam hal keuangan. 3. Berkeinginan besar mencoba segala hal yang belum diketahuinnya. Mereka ingin mengetahui macam-macam hal melalui usaha-usaha yang dilakukan dalam berbagai bidang. 4. Aktifitas kelompok: antara keinginan yang satu dengan keinginan yang lain sering timbul tantangan, kebanyakan remaja menemukan jalan keluar dengan kumpul-kumpul melakukan kegiatan bersama, mengadakan penjelajahan secara berkelompok. Keinginan berkelompok ini tumbuh sedemikan besarnya dan dapat dikatakan merupakan ciri umum masa remaja (Gunarsa, 2003: 6771). Dapat dikatakan bahwa dari sudut kepribadiannya remaja mempunyai ciri tertentu, baik yang bersifat spiritual maupun badaniah. Ciri-ciri tersebut adalah sebagai berikut: 1. Perkembangan fisik yang pesat, sehingga ciri-ciri fisik sebagai laki-laki atau wanita tampak semakin tegas, hal mana secara efektif ditonjolkan oleh para remaja, sehingga perhatian terhadap jenis kelamin kian semakin meningkat. 2. Keinginan yang kuat untuk mengadakan interaksi sosial dengan kalangan yang lebih dewasa atau yang dianggap lebih matang pribadinya. Kadangkadang diharapkan bahwa interaksi sosial itu mengakibatkan masyarakat menganggap remaja sudah dewasa.
Universitas Sumatera Utara
3. Keinginan yang kuat untuk mendapatkan kepercayaan dari kalangan dewasa, walaupun mengenai masalah tanggung jawab secara relatif belum matang. 4. Mulai memikirkan kehidupan secara mandiri, baik secara sosial, ekonomis, maupun politis, dengan mengutamakan kebebasan dan pengawasan yang terlalu ketat oleh orang tua dan sekolah. 5. Adanya perkembangan taraf intelektualitas (dalam arti netral) untuk mendapatkan identitas diri. 6. Menginginkan sistem kaidah dan nilai yang serasi sesuai kebutuhan atau keinginannya, yang tidak selalu sama dengan sistem kaidah dan nilai yang dianut oleh orang dewasa (Soekanto, 1990: 23). Menurut Elizabeth B. Hurlock (1992: 207), masa remaja mempunyai ciri-ciri tertentu yang membedakannya dengan masa sebelum dan sesudahnya. Ciri-ciri tersebut akan diterangkan secara singkat sebagai berikut: 1. Masa remaja merupakan periode
yang penting: dimana
ada
dua
perkembangan pada masa periode ini yang penting yaitu perkembangan fisik dan perkembangan psikologis. 2. Masa remaja sebagai periode peralihan: masa ini merupakan peralihan dari satu tahap perkembangan ke tahap perkembangan berikutnya. Bila masa remaja beralih ke masa dewasa, maka remaja harus meninggalkan segala yang bersifat kekanak-kanakan dan harus mempelajari pola perilaku yang baru. 3. Masa remaja sebagai periode perubahan: dimana selama masa remaja, ketika perubahan fisik terjadi dengan pesat maka perubahan perilaku dan sifat juga berlangsung cepat.
Universitas Sumatera Utara
4. Masa remaja sebagai usia bermasalah: pada periode ini, masalah yang paling sering muncul disebabkan oleh pertumbuhan dan perkembangan seksual yang normal. 5. Masa remaja sebagai masa mencari identitas: penyesuaian diri dengan kelompok masih tetap penting, tetapi lambat laun remaja remaja mulai mendambakan identitas diri dan tidak puas lagi menjadi sama dengan temantemannya dalam segala hal seperti sebelumnya. 6. Masa remaja sebagai usia yang menimbulkan ketakutan: anggapan yang buruk terhadap citra diri remaja dianggap sebagai gambaran yang asli sehingga remaja membentuk perilakunya sesuai dengan gambaran tersebut. 7. Masa remaja sebagai masa yang tidak realistik: remaja sering memandang kehidupan melalui kaca mata merah jambu. Ia melihat dirinya dan orang lain sebagaimana yang ia inginkan bukan sebagaimana adanya. 8. Masa remaja sebagai ambang masa dewasa: para remaja biasanya mulai bertindak, berperilaku dan berpakaian seperti orang dewasa.
2.2.3
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Remaja
Sejak dalam kandungan hingga lahir, seorang individu tumbuh menjadi anak, remaja, atau dewasa. Hal ini berarti terjadi proses perubahan pada diri setiap individu. Aspek-aspek perubahan yang dialami oleh setiap individu meliputi fisik, kognitif, maupun psikososialnya. Menurut pandangan Gunarsa dan Gunarsa bahwa secara umum ada 2 faktor yang mempengaruhi perkembangan individu, yakni: 1. Faktor endogen (nature). Dalam pandangan ini dinyatakan bahwa perubahanperubahan fisik maupun psikis dipengaruhi oleh faktor internal yang bersifat herediter yaitu yang diturunkan oleh orangtuanya, misalnya: postur tubuh
Universitas Sumatera Utara
(tinggi badan) ,bakat-minat, kecerdasan, kepribadian, dan sebagainya. Kalau kondisi fisik individu dalam keadaan normal berarti ia berasal dari keturunan yang normal pula yaitu tida memiliki gangguan/ penyakit. Hal ini dapat dipastikan, orang tersebut akan memiliki pertumbuhan dan perkembangan fisik yang normal. Hal ini juga berlaku untuk aspek psikis dan psikososialnya. Perlu diketahui bahwa kondisi fisik, psikis atau mental yang sehat, normal dan baik menjadi predisposisi bagi perkembangan berikutnya. Hal itu menjadi modal bagi individu agar mampu mengembangkan kompetensi kognitif, afektif maupun kepribadian dalam proses penyesuaian diri (adjustment) di lingkungan hidupnya. 2. Faktor exogen (nurture). Pandangan faktor exogen menyatakan bahwa perubahan dan perkembangan individu sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor yang berasal dari luar diri individu itu sendiri. Faktor ini diantaranya berupa tersedianya sarana dan fasilitas, letak geografis, cuaca, iklim, dan sebagainya. Sedangkan lingkungan sosial ialah lingkungan di mana seseorang mengadakan relasi/ interaksi dengan individu atau sekelompok individu di dalamnya. Lingkungan sosial ini dapat berupa: keluarga, tetangga, teman, lembaga pendidikan, lembaga kesehatan, dan sebagainya,. Seorang individu yang hidup dalam lingkungan keluarga yang berkecukupan (yakni memiliki status sosial ekonomi menengah ke atas), serta orang tua memberi perhatian, kasih sayang (pola asuh) yang baik, memberi biaya, fasilitas dan kesempatan luas anaknya untuk berkembang secara baik; maka ia akan tumbuh berkembang menjadi individu yang mampu mengaktualisasi potensinya dengan baik pula. Hal ini berbeda dengan mereka yang tidak memperoleh kesempatan-kesempatan tersebut. Mereka yang tidak memperoleh kasih
Universitas Sumatera Utara
sayang dengan baik, cenderung menjadi anak yang sulit mempercayai lingkungannya. Dengan demikian, rasanya akan sulit untuk mengembangkan potensi kognitif maupun kemampuan yang lain ( Dariyo, 2004: 14-15).
2.3
Kenakalan Remaja 2.3.1
Pengertian Kenakalan Remaja
Kenakalan remaja biasa disebut dengan istilah Juvenile delinquency. Kata juvenile dan delinquent berasal dari bahasa latin juvenilis yang artinya anak-anak, anak muda, ciri karakter pada anak muda bersifat khas pada periode remaja. Sedangkan delinquent berarti terabaikan, mengabaikan yang kemudian diperluas artinya menjadi kejahatan sosial, kriminal, pelanggaran aturan, pembuat ribut, pengacau dan lain-lain. Dapat diartikan bahwa kenakalan remaja adalah perilaku jahat (dursila), atau kejahatan/ kenakalan anak-anak muda yang disebabkan oleh satu bentuk pengabaian sosial, sehingga mereka itu mengembangkan bentuk tingkah laku yang menyimpang ( Kartono, 2008: 6). Dalam pengertian yang lebih luas tentang kenakalan remaja ialah perbuatan/kejahatan/pelanggaran yang dilakukan oleh anaka remaja yang bersifat melawan hukum, anti sosial, anti susila, dan menyalahi norma-norma agama. Paham kenakalan dalam arti luas, meliputi perbuatan-perbuatan anak remaja yang bertentangan dengan kaidah-kaidah hukum tertulis, baik yang terdapat dalam KUHP (pidana umum) maupun perundang-undangan di luar KUHP (pidana khusus). Dapat pula terjadi perbuatan anak remaja tersebut bersifat anti sosial yang menimbulkan keresahan masyarakat pada umumnya, akan tetapi tidak tergolong delik pidana umum maupun pidana khusus. Ada pula perbuatan anak remaja yang bersifat anti susila, yakni durhaka pada orangtua, sesaudara saling bermusuhan. Di
Universitas Sumatera Utara
samping itu dapat dikatakan kenakalan remaja, jika perbuatan tersebut bertentangan dengan norma-norma agama yang dianutnya, misalnya remaja Muslim enggan berpuasa, padahal sudah tamyis bahkan sudah baligh, remaja Kristen enggan melakukan sembahyang/ kebaktian ( Sudarsono, 1995: 11-12).
2.3.2
Wujud Kenakalan Remaja
Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, kenakalan remaja yang dimaksud adalah perilaku yang menyimpang atau melanggar hukum. Singgih D. Gunarsa (2003: 19) membagi kenakalan remaja itu menjadi dua kelompok besar, yaitu: 1. Kenakalan yang bersifat a-moral dan a-sosial dan tidak diatur dalam undang-undang sehingga tidak dapat atau sulit digolongkan sebagai pelanggaran hukum, yaitu; a. Membohong, memutar-balikkan kenyataan dengan tujuan menipu orang atau menutup kesalahan. b. Membolos, pergi meninggalkan sekolah tanpa pengetahuan pihak sekolah. c. Kabur, meninggalkan rumah tanpa ijin orangtua ataupun menentang keinginan orang tua. d. Keluyuran, pergi sendiri maupun berkelompok tanpa tujuan, dan mudah menimbulkan perbuatan iseng yang negatif. e. Memiliki dan membawa benda yang membahayakan orang lain, sehingga
mudah
terangsang
untuk
mempergunakannya.
Misalnya,pisau, pistol, dan lainnya. f. Bergaul dengan teman yang memberi pengaruh buruk, sehingga mudah terjerat dalam perkara yang benar-benar kriminal.
Universitas Sumatera Utara
g. Berpesta pora semalam suntuk tanpa ada pengawasan, sehingga mudah timbul tindakan-tindakan yang kurang bertanggung jawab (amoral dan a-sosial). h. Membaca buku-buku cabul dan kebiasaan mempergunakan bahasa yang tidak sopan, tidak senonoh seolah-olah menggambarkan kurang perhatian dan pendidikan dari orang dewasa. i. Secara berkelompok makan di rumah makan tanpa membayar atau naik bis tanpa membeli karcis. j. Turut dalam pelacuran atau melacurkan diri baik dengan tujuan kesulitan ekonomi maupun tujuan lainnya. k. Berpakaian tidak pantas dan minum-minuman keras atau menghisap ganja sehingga merusak diri sendiri maupun orang lain. 2. Kenakalan yang bersifat melanggar hukum dengan penyelesaian sesuai dengan undang-undang dan hukum yang berlaku sama dengan perbuatan melanggar hukum bilamana dilakukan orang dewasa yaitu: a. Perjudian dan segala macam bentuk perjudian yang mempergunakan uang. b. Pencurian dengan kekerasan maupun tanpa kekerasan: pencopetan, perampasan, penjambretan. c. Penggelapan barang. d. Penipuan dan pemalsuan. e. Pelanggaran tata susila, menjual gambar-gambar porno dan film porno, serta pemerkosaan. f. Pemalsuan uang dan pemalsuan surat-surat keterangan resmi.
Universitas Sumatera Utara
g. Tindakan-tindakan anti sosial,perbuatan yang merugikan milik orang lain. h. Percobaan pembunuhan. i. Menyebabkan kematian orang, turut tersangkut dalam pembunuhan. j. Pembunuhan. k. Pengguguran kandungan (Gunarsa, 2003: 20-22). Jensen mengemukakan pembagian kenakalan remaja menjadi empat jenis (Jensen, dalam Sarwono,2000: 200), antara lain: 1. Kenakalan yang menimbulkan korban fisik pada orang lain: perkelahian, perkosaan, perampokan, pembunuhan, dan lain-lain. 2. Kenakalan yang menimbulkan korban materi: perusakan, pencurian, pencopetan, pemerasan, dan lain-lain. 3. Kenakalan sosial yang tidak menimbulkan korban di pihak orang lain: pelacuran, penyalahgunaan obat. Di Indonesia mungkin dapat juga dimasukkan hubungan seks sebelum menikah dalam jenis ini. 4. Kenakalan yang melawan status, misalnya mengingkari status anak sebagai pelajar dengan cara membolos, mengingkari status orangtua dengan cara minggat dari rumah atau membantah perintah mereka dan sebagainya.
Universitas Sumatera Utara
2.3.3
Teori- Teori Penyebab Kenakalan Remaja
Kenakalan remaja yang merupakan gejala penyimpangan dan patologis secara sosial mempunyai sebab-musabab yang majemuk, dan menggolongkannya menjadi 4 teori, yaitu: 1. Teori Biologis Tingkah-laku sosiopatik atau delinkuen pada anak remaja dapat muncul karena faktor-faktor fisiologis dan stuktur jasmaniah seseorang, juga dapat oleh cacat jasmaniah yang dibawa sejak lahir. Kejadian ini berlangsung: (a) Melalui gen atau plasma pembawa sifat dalam keturunan, atau melalui kombinasi gen; dapat juga disebabkan oleh tidak adanya gen tertentu yang semuanya bisa memunculkan penyimpangan tingkah-laku, dan anak-anak menjadi delinkuen secara potensial. (b) Melalui pewarisan tipe-tipe kecenderungan yang luar biasa (abnormal), sehingga membuahkan tingkah-laku delinkuen. (c) Melalui pewarisan kelemahan konstitusional jasmaniah tertentu yang menimbulkan tingkah-laku delinkuen. Misalnya cacat jasmaniah bawaan brachyda ctylisme (berjari- jari pendek) dan diabetes insipidius (sejenis penyakit gula) itu erat berkorelasi dengan sifat-sifat kriminal serta penyakit mental. 2. Teori Psikogenis Teori ini menekankan sebab-sebab tingkah-laku delinkuen remaja dari aspek psikologis dan dan isi kejiwaannya. Antara lain faktor intelegensi, ciri kepribadian, motivasi, sikap-sikap yang salah, fantasi, rasionalisasi, internalisasi diri yang keliru, konflik batin, emosi yang kontroversial, kecenderungan psikopatologis, dan lain-lain.
Universitas Sumatera Utara
Argument sentral dari teori ini ialah sebagai berikut: delinkuen merupakan “bentuk penyesuaian” atau kompensasi dari masalah psikologis dan konflik batin dalam menanggapi stimuli eksternal/ sosial dan pola-pola hidup keluarga yang patologis. Kurang lebih 90% dari jumlah anak-anak delinkuen berasal dari keluarga berantakan (broken home). Kondisi keluarga yang tidak bahagia dan tidak beruntung, jelas membuahkan masalah psikologis personal dan adjustment (penyesuaian diri) yang terganggu pada diri anak-anak; sehingga mereka mencari kompensasi di luar lingkungan keluarga guna memecahkan kesulitan batinnya dalam bentuk perilaku delinkuen. Ringkasnya, delinkuensi merupakan reaksi terhadap masalah psikis anak remaja itu sendiri. 3. Teori Sosiogenesis Para sosiolog berpendapat penyebab tingkah-laku delinkuen pada remaja adalah murni sosiologis atau sosial-psikologis sifatnya. Misalnya disebabkan oleh pengaruh struktural sosial, tekanan kelompok, peranan sosial, status sosial, atau oleh internalisasi simbolis yang keliru. Maka faktor-faktor kultural dan sosiologis itu sangat mempengaruhi, bahkan mendominasi struktur lembaga-lembaga sosial dan peranan sosial tiap individu di tengah masyarakat, status individu di tengah kelompoknya partisipasi sosial, dan pendefinisian diri atau konsep dirinya. Healy dan Broner banyak mendalami sebab-sebab sosiogenis kemunculan delikuensi remaja. Mereka menyatakan, frekuensi delinkuen remaja itu lebih tinggi dari frekuensi kejahatan orang dewasa di kota-kota besar. Karakteristik sosio-kultural yang stereotypis itu selalu saja ada berkaitan dengan kualitas kejahatan tingkat tinggi yang ada pada umumnya dilakukan secara bersama-sama. Sebab-sebab kenakalan remaja itu tidak hanya terletak pada lingkungan pada lingkungan familial dan tetangga saja, tetapi terutama sekali disebabkan konteks
Universitas Sumatera Utara
kulturalnya. Maka kenakalan remaja itu jelas dipupuk oleh lingkungan sekitar yang buruk dan jahat, ditambah dengan kondisi sekolah yang kurang menarik bagi anak – bahkan adakalanya justru merugikan perkembangan pribadi anak. Karena itu, konsep-kunci untuk dapat memahami sebab-musababnya terjadi kenakalan remaja itu ialah: pergaulan dengan anak-anak muda lainnya yang sudah delinkuen. Teori Sutherland menyatakan bahwa remaja menjadi delinkuen disebabkan oleh partisipasinya di tengah-tengah suatu lingkungan sosial, ide dan teknik delinkuen tertentu dijadikan sarana yang efisien untuk mengatasi masalah hidupnya. Karena itu, semakin lama anak bergaul dan dan semakin intensif relasinya dengan anak-anak jahat lainnya, akan menjadi semakin lama pula proses berlangsungnya asosiasi diferensial tersebut. Dan semakin besar kemungkinan remaja menjadi benarbenar kriminal. 4. Teori Subkultur Delinkuensi “Kultur” atau “kebudayaan” dalam hal ini menyangkut satu kumpulan nilai dan norma yang menuntut bentuk tingkah-laku responsive sendiri yang khas pada anggota-anggota kelompok. Sedang istilah “sub” mengindikasikan bahwa bentuk “budaya” tadi bisa muncul ditengah suatu sistem yang lebih inklusif sifatnya. Subkultur
delinkuen
remaja
ini
mengkait
sistem
nilai,
kepercayaan/keyakinan, ambisi-ambisi tertentu (misalnya ambisi materiil, hidup bersantai, pola kriminal, relasi heteroseksual bebas, dan lain-lain) yang memotivasi timbulnya
kelompok-kelompok
remaja
berandalan
dan
kriminal.
Sedang
perangsangnya bisa berupa: hadiah mendapatkan status sosial “terhormat” di tengah kelompoknya, prestise sosial, relasi sosial yang intim, dan hadiah-hadiah materiil lainnya.
Universitas Sumatera Utara
Menurut teori subkultur ini, sumber juvenile delinquency ialah: sifat-sifat suatu struktur sosial dengan pola budaya (subkultur) yang khas dari lingkungan familial, tetangga dan masyarakat yang didiami oleh para remaja delinkuen tersebut. Sifat-sifat masyarakat tersebut antara lain adalah: (1) Punya populasi yang padat (2) Status sosial-ekonomis penghuninya rendah (3) Kondisi fisik perkampungan yang buruk (4) Banyak disorganisasi familial dan sosial bertingkat tinggi Karena itu sumber utama kemunculan kenakalakan remaja ialah subkultursubkultur delinkuen dalam konteks yang lebih luas dari kehidupan masyarakat slum (Kartono, 2008: 25-32).
2.4
Kerangka Pemikiran Masa remaja dikatakan sebagai masa krisis, karena pada periode itu
seseorang meninggalkan tahap kehidupan kanak- kanak menuju tahap selanjutnya yaitu tahap remaja. Masa ini dirasakan krisis karena belum adanya pegangan, sedangkan kepribadiannya mulai berkembang. Perubahan fisik dan psikis
yang
sangat cepat menyebabkan perubahan-perubahan yang sangat signifikan juga terhadap remaja, seperti meningkatnya emosi, perubahan terhadap minat dan peran, perubahan pola perilaku, rasa ingin tahu yang menonjol, nilai-nilai dan sikap ambivalen terhadap setiap perubahan. Pada masa ini remaja sangat rentan untuk melakukan tindakan-tindakan yang sifatnya melanggar hukum dan norma dalam masyarakat, yang disebut kenakalan remaja. Dapat diartikan bahwa kenakalan remaja adalah perilaku jahat (dursila), atau
Universitas Sumatera Utara
kejahatan/ kenakalan anak-anak muda yang disebabkan oleh satu bentuk pengabaian sosial, sehingga mereka itu mengembangkan bentuk tingkah laku yang menyimpang. Kenakalan-kenalakan yang dilakukan para remaja disebabkan oleh beberapa faktor, yakni faktor biologis yang dibawa sejak lahir, faktor psikogenis dimana faktor ini menekankan sebab-sebab tingkah-laku delinkuen remaja dari aspek psikologis dan dan isi kejiwaannya, faktor sosiogenesis dimana penyebab tingkah-laku delinkuen pada remaja adalah murni sosiologis atau sosial-psikologis sifatnya, dan faktor subkultur delinkuensi, yang menjadi penyebab kenakalan remaja ialah sifatsifat suatu struktur sosial dengan pola budaya (subkultur) yang khas dari lingkungan familial, tetangga dan masyarakat yang didiami oleh para remaja delinkuen tersebut.
Universitas Sumatera Utara
Bagan Alur Pikir
Remaja
Faktor- faktor Penyebab Kenakalan Remaja: •
Faktor biologis
•
Faktor psikogenis
•
Faktor sosiogenesis
•
Faktor subkultur delinkuensi
Analisis Kenakalan Remaja • • • • • • • • • • • • • •
Berkelahi Membolos sekolah Di skors oleh sekolah Tawuran Perjudian Kebut-kebutan Melihat, membaca, dan menonton video porno Seks bebas Pemalsuan surat penting Pelacuran Minum-minuman keras Penyalahgunaan narkoba Mencuri Terlibat kasus hukum
Universitas Sumatera Utara
2.5
Defenisi Konsep dan Defenisi Operasional
2.5.1
Defenisi Konsep Konsep adalah bagian penting dari metodologi penelitian, karena apabila
konsep penelitian dibangun secara asal-asalan maka akan mengacaukan bagian penting lainnya. Konsep merupakan istilah khusus yang digunakan para ahli dalam upaya menggambarkan secara cermat fenomena sosial yang akan dikaji. Konsep adalah proses dan upaya penegasan dan pembatasan makna konsep dalam suatu penelitian. Cara untuk menghindari salah pengertian atas makna konsep dalam suatu penelitian, maka seorang peneliti harus menegaskan dan membatasi makna konsepkonsep yang diteliti (Siagian, 2011: 136-138). Adapun batasan konsep dalam penelitian ini adalah: 1. Remaja adalah individu yang telah mencapai umur 10-18 tahun dan pada masa ini terjadi perubahan-perubahan yang mencolok secara fisik dan pisikis yang biasa disebut sebagai masa pubertas. 2. Kenakalan remaja adalah perbuatan atau pelanggaran yang dilakukan oleh anak remaja yang berusia 10 sampai 18 tahun dan bersifat melawan hukum, anti sosial, anti susila, dan menyalahi norma-norma masyarakat.
2.5.2
Defenisi Operasional Perumusan langkah operasional adalah langkah lanjutan dari perumusan
defenisi konsep. Defenisi operasional sering disebut sebagai proses operasionalisasi konsep. Operasionalisasi konsep berarti menjadikan konsep yang semula bersifat statis menjadi dinamis. Defenisi operasional merupakan petunjuk bagaimana suatu variabel dapat diukur (Siagian, 2011: 141).
Universitas Sumatera Utara
Adapun yang menjadi indikator dalam penelitian ini adalah kenakalan yang sering dilakukan oleh remaja, seperti: 1. Perkelahian 2. Membolos sekolah 3. Di skors oleh sekolah 4. Tawuran 5. Perjudian 6. Kebut-kebutan 7. Membaca buku porno 8. Melihat video porno 9. Seks bebas 10. Pemalsuan surat penting 11. Pelacuran 12. Minum-minuman keras 13. Penyalahgunaan narkoba 14. Mencuri 15. Terlibat kasus hukum
Universitas Sumatera Utara