11
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1
Definisi Pengaruh Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Pengaruh adalah: “Daya yang ada atau timbul dari ssesuatu (orang atau benda) yang ikut membentuk watak, kepercayaan atau perbuatan seseorang.” Menurut Badudu (2002:849) pengaruh adalah: “Pengaruh adalah daya yang ada atau timbul dari suatu (orang, benda) yang ikut membentuk watak, kepercayaan atau perbuatan seseorang.” Dalam penelitian ini maka pengertian pengaruh adalah suatu keadaan
yang mempunyai hubungan timbal balik atau hubungan sebab akibat antara yang mempengaruhi dengan yang dipengaruhi. Disisi lain pengaruh merupakan daya yang bisa memicu sesuatu, atau menjadikan sesuatu dapat berubah. Penelitian ini menggunakan Kompetensi, Skeptisme Profesional, dan Independensi Auditor sebagai yang mempengaruhi Ketepatan Pemberian Opini Audit. Maka jika salah satu di antara Kompetensi, Skeptisme Profesional, dan Independensi Auditor yang tersebut berubah, akan ada akibat yang ditimbulkannya terhadap Ketepatan Pemberian Opini Audit.
2.2
Kompetensi
2.2.1
Pengertian Kompetensi Menurut Arens et al (2012) menegaskan tentang kompetensi, bahwa: “Auditor harus memiliki kualifikasi untuk memahami kriteria yang digunakan dan harus kompeten untuk mengetahui jenis serta jumlah bukti
12
yang akan dikumpulkan guna mencapai kesimpulan yang tepat setelah memeriksa bukti itu.” Mulyadi (2002:19) mengatakan kompetensi adalah: “Kompetensi menunjukan terdapatnya pencapaian dan pemeliharaan suatu tingkatan pemahaman dan pengetahuan yang memungkinkan seseorang anggota untuk memberikan jasa dengan kemudahan dan kecerdikan”. Menurut Gondodiyoto (2007:35) adalah yang bersangkutan terlatih (melalui suatu pendidikan formal) untuk mengerjakan suatu jenis pekerjaan khusus/sulit yang memerlukan pengetahuan dan keterampilan tinggi” Prinsip-prinsip fundamental IFAC menyebutkan bahwa: “Seorang akuntan profesional mempunyai kewajiban untuk memelihara pengetahuan dan keterampilan profesional secara berkelanjutan pada tingkat yang diperlukan untuk menjamin seorang klien atau atasan menerima jasa profesional yang kompeten yang didasarkan atas perkembangan praktik, legislasi, dan teknik.” Berdasarkan pernyataan tersebut dapat diartikan bahwa kompetensi auditor adalah kemampuan yang dimiliki seorang auditor dalam melaksanakan pekerjaan profesionalnya. Kemampuan atau kehalian tersebut diperoleh auditor melalui pendidikan, pelatihan, serta pengalamannya dalam melakukan audit. Hal tersebut dapat membuat auditor melakukan audit secara objektif, cermat, dan seksama. Maka, audit yang berkualitas tinggi akan dihasilkan apabila auditor dapat memenuhi kualifikasi tersebut. 2.2.2
Indikator Kompetensi Menurut Mulyadi (2006:20) yang berdasarkan Prinsip Etika Profesi
Ikatan Akuntan Indonesia (Prinsip Kelima: Kompetensi dan Kehati-hatian
13
Profesional), maka dalam penelitian ini mengukur kompetensi akan menggunakan 2 indikator yaitu pendidikan dan pengalaman. 1.
Pendidikan Pendidikan adalah pencapaian keahlian dalam akuntansi dan auditing
dimulai dimulai dengan pendidikan formal, yang diperluas melalui pengalaman dalam praktik audit, untuk memenuhi persyaratan sebagai seorang profesional, auditor harus menjalani pelatihan teknis yang cukup (IAI 2001). Pendidikan dalam arti luas meliputi: a. Pendidikan formal: yaitu kemampuan yang diperoleh melalui bangku universitas dan pendidikan keprofesian akuntan. b. pelatihan atau pendidikan berkelanjutan: diperoleh melalui pelatihan lebih mendalam mengenai bidang yang bersangkutan seperti pendidikan akuntansi dan auditing menyangkut standar yang digunakan dan dapat melalui seminar atau lain sebagainya. 2.
Pengalaman Pengalaman audit adalah kemampuan yang dimiliki auditor atau akuntan
pemeriksa untuk belajar dari kegiatan-kegiatan masa lalu yang berkaitan dengan seluk-beluk audit atau pemeriksaan. Pengalaman audit akan meningkatkan kompetensi dalam menjalankan setiap penugasan. Audit berpengalaman memakai analisis yang lebih teliti, terinci dan runtut dalam mendeteksi gejala kekeliruan dibandingkan dengan analisis yang tidak berpengalaman. Pencapaian kompetensi harus memperoleh pengalaman profesional dengan mendapatkan supervisi
14
memadai dan review atas pekerjaan dari atasan yang lebih berpengalaman. Pengalaman auditor dapat dilihat dari: a. Lamanya mengaudit perusahaan klien. b. Berapa banyak klien yang sudah diaudit.
2.3
Skeptisme Profesional Menurut International Federation of Accountants (IFAC) dalam
Tuanakotta (2011:78) skeptisme profesional auditor adalah: “skepticism means the auditor makes a critical assessment, with a questioning mind, of the validity of audit evidence obtained and is alert to audit evidence that contradicts or brings into question the reliability of documents and responses to inquiries and other information obtained from management and those charged with governance” (ISA 200.16). Berdasarkan kutipan diatas skeptisme adalah sikap seorang auditor yang membuat asersi kritis, dengan pikiran yang selalu mempertanyakan akan validitas bukti audit yang diperoleh dan waspada untuk mengaudit buktinya, menyangkut yang bertentangan dan membawa pertanyaan tentang keandalan dokumen dan tanggapan terhadap pertanyaan dan informasi lainnya yang diperoleh dari manajemen dan orang yang bertanggungjawab. Pada ISA No. 200 (IFAC 2004) juga ditekankan bahwa auditor harus merencanakan dan melaksanakan audit dengan sikap skeptisme profesional, dengan mengakui bahwa ada kemungkinan terjadinya salah saji dalam laporan keuangan. Menurut Kurtz 1992 (dalam Quadackers et al,2007) skeptisme yaitu: “Skeptikos means to consider or examine, skeptics means inquiry and doubt, skeptics means seeking clarification and definition, demanding reason, evidence or proof.”
15
Dapat diambil kesimpulan dari pengertian sebelumnya, bahwa skeptisme merupakan sikap seseorang untuk mempertimbangkan, menilai dari suatu kejadian untuk mencari nilai kebenaran dari kejadian tersebut, berusaha untuk mencari bukti, klarifikasi, dan penyesuaian, dengan berbagai perspekstif dan argumen. Messier (2005:108) menjelaskan skeptisme profesional auditor sebagai berikut: “Skeptisme profesional adalah tingkah laku yang melibatkan sikap yang selalu mempertanyakan dan penentuan kritis atas bukti audit”. Berdasarkan pengertian skeptisme profesional yang dijelaskan oleh Messier di atas dapat disimpulkan bahwa skeptisme profesional auditor merupakan suatu perilaku yang harus ditanamkan dalam setiap penugasan audit, karena melalui perilaku tersebut auditor bisa dengan kritis mempertanyakan akan kelengkapan dan keakuratan bukti audit yang ditemukan, serta menilai secara kritis setiap informasi yang disajikan oleh klien. Untuk meningkatkan kualitas audit yang diberikan oleh auditor sangat dibutuhkan sikap skeptisme profesional. Karena dengan ditanamkannya sikap skeptisme profesional pada diri seorang auditor akan lebih meningkatkan inisiatif untuk mencari informasi lebih dalam mengenai semua informasi yang dibutuhkan untuk mendukung pengambilan setiap keputusan. Seorang auditor harus menerapkan skeptisme profesional dalam mengevaluasi bukti audit, dengan begitu auditor tidak akan menerima begitu saja bukti-bukti audit yang diperoleh dari manajemen, tetapi juga memperkirakan kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi, seperti bukti yang diperoleh dapat menyesatkan, tidak lengkap, atau pihak
16
yang menyediakan bukti tidak kompeten bahkan sengaja menyediakan bukti-bukti yang menyesatkan atau tidak lengkap. Auditor harus menyadari bahwa semakin tinggi risiko audit yang dihadapi, maka harus semakin tinggi juga ia menerapkan sikap skeptisnya sebagai seorang auditor.
2.3.1
Unsur-unsur Skeptisme Profesional International Federation of Accountant (IFAC) (Tuanakotta, 2011:78)
mendefinikasn unsur-unsur skeptisme profesional kedalam 6 macam unsur, yaitu: a.
A critical assessment IFAC menjelaskan skeptisme profesional adalah a critical assessment, maksud dari penjelasan di atas adalah adanya penilaian yang kritis dan tidak menerima begitu saja untuk setiap informasi yang diberikan oleh manajemen klien.
b.
With a questioning mind IFAC menjelaskan cara berfikir seorang auditor yang harus terusmenerus bertanya dan mempertanyakan tentang kelengkapan dan keakuratan informasi yang diberikan manajemen klien.
c.
Of the validity of audit evidence obtained IFAC menjelaskan bahwa auditor harus memastikan validitas dari bukti audit yang didapat atau diperoleh.
d.
Alert to audit evidence that contradicts IFAC menjelaskan bahwa auditor diharuskan untuk waspada terhadap semua bukti audit yang kontradiktif.
17
e.
Brings into question the reliability of document and responses to inquiries and other information IFAC menjelaskan bahwa auditor harus terus menerus mempertanyakan tentang keandalan dokumen dan peka terhadap setiap tanggapan atas semua pertanyaan serta informasi lain.
f.
Obtained from management and those charged with governance IFAC menjelaskan tentang data yang diperoleh dari manajemen dan mengkoordinasikan kepada pihak yang berwenang dalam pengelolaan perusahaan.
2.3.2
Karakteristik Skeptisme Profesional Hurt et al, 2010 dalam Alwee (2010) menerangkan tentang karakteristik
skeptisme profesional yang dibentuk oleh beberapa faktor, seperti: 1. Memeriksa dan Menguji Bukti (Examination of Evidence) Karakteristik yang berhubungan dengan pemeriksaan dan pengujian bukti (examination of evidence) yang terdiri dari questioning mind, suspension on judgement, dan search for knowledge. 2. Memahami Penyedia Informasi (Understanding Evidence Providers) Karakteristik
yang
berhubungan
dengan
pemahaman
terhadap
karakteristik penyedia informasi (understanding evidence providers) adalah interpersonal understanding.
18
3. Mengambil Tindakan atas Bukti (Acting in the Evidence) Karakteristik yang berhubungan dengan pengambilan tindakan atas bukti yang diperoleh (acting in the evidence) adalah self confidence dan self determination. Penjelasan karakteristik: a. Questioning Mind Merupakan karakter skeptis seseorang yang kerap mempertanyakan suatu alasan, penyesuaian, dan pembuktian akan sesuatu yang dihadapinya atau diperoleh. Karakteristik skeptis ini bentuk dari beberapa indikator, yaitu: 1) Menolak suatu pernyataan atau statement tanpa pembuktian yang jelas. 2) Mengajukan banyak pertanyaan untuk pembuktian akan suatu hal. b. Suspension on judgement Merupakan karakter skeptis yang yang membuat seseorang membutuhkan waktu lebih lama dalam suatu kondisi tertentu untuk dapat membuat pertimbangan yang matang, dan menambahkan informasi tambahan untuk mendukung pertimbangan tersebut. Karakter skeptis ini dibentuk dari beberapa indikator: 1) Membutuhkan informasi yang lebih banyak. 2) Membutuhkan waktu yang lama namun matang untuk membuat suatu keputusan. 3) Tidak akan membuat keputusan jika semua informasi belum terungkap.
19
c. Search for Knowledge Merupakan karakter skeptis yang didasari oleh rasa ingin tahu (curiosity) yang tinggi. Rasa ingin tahu tersebut ditujukan semata-mata untuk menambah pengetahuan yang dapat digunakan dalam melakukan audit berdasarkan setiap pengetahuan yang peroleh. Karakteristik skepis ini dibentuk dari beberapa indikator: 1) Lebih banyak untuk mencari dan berusaha untuk menemukan informasi-informasi baru yang up-to-date. 2) Menjadi sesuatu yang menyenangkan bila menemukan hal-hal yang baru. 3) Tidak akan membuat keputusan jika semua informasi belum terungkap. d. Interpersonal Understanding Adalah karakter skeptis seseorang yang dibentuk dari pemahaman tujuan, motivasi, dan integritas dari penyedia informasi. Karakter skeptis ini dibentuk dari beberapa indikator: 1) Berusaha untuk memahami perilaku orang lain. 2) Berusaha untuk memahami alasan mengapa seseorang berperilaku. e. Self Confidence Merupakan karakter skeptis seseorang yang percaya akan kemampuan dirinya sendiri untuk secara profesional dapat merespon dan mengolah semua bukti yang sudah dikumpulkan. 1) Perccaya akan kapasitas dan kapabilitas diri sendiri.
20
f. Self Determination Merupakan sikap seseorang yang selalu menyimpulkan sesuatu secara objektif atas bukti yang sudah dikumpulkan. Karakter skeptis ini dibentuk dari beberapa indikator: 1) Tidak langsung menerima atau membenarkan pernyataan dari orang lain. 2) Mempertimbangkan penjelasan dan tanggapan dari orang lain. 3) Menekankan
pada
suatu
hal
yang
bersifat
tidak
konsisten
(inconsistent). 4) Tidak mudah untuk dipengaruhi oleh orang lain atau suatu hal. 2.3.3
Etika Profesi Akuntan Publik Menurut Wheelwright dalam Jack C. Rebertson dan Timothy J. Louwers
(2002:462) etika sebagai berikut: “That branch of philosophy which is the systematic study of reflective choice, of the standards of right and wrong by which it is to be guide, and of the goods towards which it may ultimately directed.” Berdasarkan pernyataan diatas dapat diartikan etika adalah filsafat yang merupakan studi pemilihan reflektif yang sistematis sebagai acuan terhadap penggunaan standar yang tepat dan batasan terhadap penggunaan standar yang salah untuk menuju kearah yang benar pada akhirnya. Menurut Arens et al (2008:98) Etika (ethics) secara garis besar dapat didefinisikan sebagai serangkaian atau nilai moral. Perilaku etis sangat diperlukan oleh masyarakat agar dapat berfungsi secara teratur. Kebutuhan akan etika dalam masyarakat cukup penting sehingga banyak nilai etika yang umum dimasukan ke
21
dalam undang-undang. Namun, sebagian besar nilai etika tidak dapat disajikan undang-undang karena etika tersebut tidak dapat didefinisikan dengan cukup baik agar diberlakukan. Akan tetapi, tidak tersirat bahwa prinsip-prinsip yang tidak dapat didefinisikan dengan cukup baik tersebut kurang penting bagi masyarakat yang teratur. Berdasarkan beberapa uraian diatas dapat disimpulkan bahwa etika merupakan suatu nilai moral yang harus dimiliki setiap orang dalam melakukan interaksi dengan orang lain yang sebagiannya didasarkan kepada aturan, hukum, dan pedoman, dan sebagian lainnya merupakan persepsi masing-masing orang, namun seharusnya persepsi tersebut tetap sejalan dengan kaidah yang baik agar dapat melakukan suatu perbuatan dengan baik dan sesuai kaidah yang telah diberlakukan. Menurut Sukrisno (2012:48) Sejak 1 Januari 2011, IAPI memberlakukan Kode Etik Profesi Akuntan Publik yang terdiri dari: Bagian A Prinsip Dasar Etika Profesi dan Bagian B Aturan Etika Profesi. Kode Etik ini mengacu pada kode etik dari International Federation of Accountant (IFAC). Kode etik IAPI yang baru disusun berdasarkan sistematik sebagai berikut: Bagian A berisi Prinsip Dasar Etika Profesi yang terdiri atas: Seksi 100 Prinsip-Prinsip Dasar Etika Profesi Seksi 110 Prinsip Integritas Seksi 120 Prinsip Objektivitas Seksi 130 Prinsip Kompetensi serta Sikap Kecermatan dan Kehati-hatian
22
Profesional Seksi 140 Prinsip Kerahasiaan Seksi 150 Prinsip Perilaku Profesional Bagian B Aturan Etika Profesi yang terdiri atas: Seksi 200 Ancaman dan Pencegahan Seksi 210 Penunjukan Praktisi, KAP, atau jaringan KAP Seksi 220 Benturan Kepentingan Seksi 230 Pendapat Kedua Seksi 240 Imbalan Jasa Profesional dan bentuk Remunerasi Lainnya Seksi 250 Pemasaran Jasa Profesional Seksi 260 Penerimaan Hadiah atau Bentuk Keramah-tamahan Lainnya Seksi 270 Penyimpanan Aset milik Klien Seksi 280 Objektivitas Semua Jasa Profesional Seksi 290 Independensi dalam Perikatan Assurance 2.3.4
Profesionalisme Profesionalisme menurut KBBI (2008) adalah mutu, kualitas, dan tindak
tanduk yang merupakan ciri dari seorang profesional. Berdasarkan pengertian tersebut dapat diartikan bahwa seseorang dapat dikatakan profesional apabila dapat melaksanakan pekerjaannya sesuai dengan aturan-aturan dan batasanbatasan yang telah diatur dalam melaksanakan pekerjaan profesionalnya. Seseorang yang profesional dapat menggunakan semua ilmu pengetahuannya
23
dengan terampil, cermat, dan seksama untuk dapat meningkatkan mutu dan kualitas pekerjaannya. Arens et al (2008:43) mengatakan dalam standar umum yang ketiga menyangkut kecermatan dalam melakukan aspek audit. Secara sederhana, ini berarti bahwa auditor adalah profesional yang bertanggungjawab melaksanakan tugasnya dengan tekun dan seksama. kecermatan mencakup pertimbangan mengenai kelengkapan dokumentasi audit, kecukupan bukti audit, serta ketepatan laporan audit. Sebagai profesional, auditor tidak boleh bertindak ceroboh atau dengan niat buruk, tetapi mereka tidak juga diharapkan selalu sempurna. Jadi profesionalisme auditor merupakan suatu tanggung jawab dalam melakukan tugasnya dengan tekun dan seksama untuk dapat memperoleh semua informasi yang dibutuhkan untuk mendukung pengambilan keputusan dalam mengeluarkan suatu laporan audit. Auditor juga harus berperilaku lebih dari sekedar memenuhi tanggung jawab kepada instansi dan memenuhi undangungdang dan peraturan saja, namun sebagai profesional, auditor juga harus mengakui dan menjunjung tinggi tanggungjawabnya terhadap masyarakat, terhadap klien, dan terhadap rekan seprofesi, termasuk untuk berperilaku yang terhormat, sekalipun ini berarti pengorbanan pribadi.
24
2.3.5
Standar Auditing Tabel 2.1 International Standards on Auditing
ISA/ ISQC 1 ISQC 1
Kontrol Mutu Untuk Perusahaan Yang Melakukan Audit dan Review Atas Laporan Keuangan dan jaminan lainnya dan jasa terkait.
200
Tujuan Keseluruhan Auditor Independen Dan Pelaksanaan Suatu Audit Berdasarkan Standar Audit
210
Persetujuan Syarat-syarat Perikatan Audit
220
Pengengdalian Mutu Untuk Audit Atas Laporan Keuangan
230
Dokumentasi Audit
240
Tanggungjawab Auditor Terkait Dengan Kecurangan Dalam Suatu Audit Atas Laporan Keuangan
250
Pertimbangan Atas Peraturan Perundang-undangan Dalam Audit Laporan Keuangan
260
Komunikasi Dengan Pihak Yang Bertanggungjawab Atas Tata Kelola
265
Pengomunikasian Defisiensi Dalam Pengendalian Internal Kepada Pihak Yang Bertanggungjawab Atas Tata Kelola Dan Manajemen
300
Perencanaan Suatu Audit Atas Laporan Keuangan
315
Pengidentifikasian Dan Penilaian Risiko Salah Saji material Melalui Pemahaman Atas Entitas Dan Lingkungannya
320
Materialitas Dalam Tahap Perencanaan Dan Pelaksanaan Audit
330
Respons Auditor Terhadap Risiko Yang Dinilai
402
Pertimbangan Audit Terkait Dengan Entitas Yang Menggunakan Suatu Organisasi Jasa
450
Pengevaluasian Atas Kesalahan Penyajian yang Diidentifikasi Selama Audit
500
Bukti Audit
501
Bukti Audit - Pertimbangan Spesifik Atas Unsur Pilihan
505
Konfirmasi Eksternal
510
Perikatan Audit Tahun Pertama – Saldo Awal
25
520
Prosedur Analitis
530
Sampling Audit
540
Audit Atas Estimasi Akuntansi, Termasuk Estimasi Akuntansi Nilai Wajar, Dan Pengungkapan Yang Bersangkutan
550
Pihak Berelasi
560
Peristiwa Kemudian
570
Kelangsungan Usaha
580
Representasi Tertulis
600
Pertimbangan Khusus – Audit Atas Laporan Keuangan Grup (Termasuk Pekerjaan Auditor Komponen)
610
Penggunaan Pekerjaan Auditor Eksternal
620
Penggunaan Pekerjaan Seseorang Pakar Auditor
700
Perumusan Suatu Opini Dan Pelaporan Atas Laporan Keuangan
705
Modifikasi Terhadap Opini Dalam Laporan Auditor Independen
706
Paragraf Penekanan Suatu Hal Dan paragraf Hal Lain Dalam Laporan Auditor Independen
710
Informasi komparatif – Dalam Laporan Keuangan Komparatif
720
Tanggungjawab Auditor Atas Informasi Lain Dalam Dokumen Yang Berisi Laporan Keuangan Auditan
800
Pertimbangan Khusus – Audit Atas Laporan Keuangan Yang Disusun Sesuai Dengan Kerangka Bertujuan Khusus
805
Pertimbangan Khusus – Audit Atas Laporan Keuangan Tunggal Dan Unsur, Akun, Atau Pos Spesifik Dalam Suatu Laporan Keuangan
810
Perikatan Untuk Melaporkan Ikhtisar Laporan Keuangan
2.3.6
Prosedur Audit Menurut KBBI Prosedur merupakan tahap kegiatan untuk menyelesaikan
suatu aktivitas, metode langkah demi langkah secara pasti dalam memecahkan suatu masalah.
26
Menurut Mulyadi (2006:86): “Prosedur audit adalah instruksi rinci untuk mengumpulkan tipe bukti audit tertentu yang harus diperoleh pada saat tertentu dalam audit. Prosedur audit yang disebutkan dalam standar tersebut meliputi: inspeksi, pengalaman, permintaan keterangan, dan konfirmasi.” Menurut Sukrisno (2012:24) prosedur audit adalah: “Langkah-langkah yang harus dijalankan auditor dalam melaksanakan pemeriksaannya dan sangat diperlukan oleh asisten agar tidak melakukan penyimpangan dan dapat bekerja.” Menurut Messier et al. (2006:155) pengertian prosedur audit (procedure audit) adalah: “Tindakan spesifik yang dilakukan oleh auditor untuk mengumpulkan bukti dengan maksud untuk menentukan apakah asersi tertentu telah dipenuhi.” Prosedur audit dilakukan untuk: a. Mendapatkan pemahaman mengenai entitas dan lingkungannya, termasuk pengendalian internalnya dalam rangka menentukan risiko salah saji material pada tingkat laporan keuangan dan asersi. b. Menguji efektivitas pengendalian operasi dalam mencegah atau mendeteksi dan mengoreksi, salah saji material pada tingkat asersi. c. Mendeteksi salah saji material pada tingkat asersi. International Standards on Auditing (ISA) dalam Tuanakotta (2013) menyebutkan ada tiga tahap dalam Prosedur Audit, yaitu: A.
Tahap 1: Penilaian Risiko (risk assessment) a) Memutuskan untuk menerima (jika ini merupakan penugasan atau perikatan audit yang pertama), melanjutkan (jika ini merupakan
27
penugasan atau perikatan audit ulangan), atau menolak penugasan atau perikatan audit. b) Merencanakan audit: menentukan materialitas, melakukan pertemuan dengan tim audit dalam rangka perencanaan, dan merumuskan strategi audit yang menyeluruh. c) Melaksanakan prosedur penilaian risiko, yang bertujuan untuk menilai risiko salah saji (karena kecurangan dan/ atau kesalahan) ditingkat laporan keuangan dan di tingkat asersi. Menentukan dan menilai risiko bawaan,
menentukan
dan
menilai
risiko
pengendalian,
dan
mengkomunikasikan kelemahan dan kekurangan yang ditemukan, sebagai hasil pelaksanaan prosedur penilaian risiko. d) Dokumentasi temuan dan segala perubahan atas rencana audit semula. B.
Tahap 2: Menanggapi Risiko (risk responses) Tahap ini bertujuan untuk memperoleh bukti audit yang cukup dan tepat
mengenai risiko yang dinilai (assessed risk). Hal ini dapat dicapai dengan merancang dan mengimplementasi tanggapan yang tepat (appropriate responses) terhadap risiko salah saji materialyang dinilai, pada tingkat laporan keuangan maupun tingkat asersi. Auditor dapat melakukannya dengan cara sebagai berikut: a) Menangani setiap risiko yang dinilai, secara bergantian sesuai dengan sifatnya (misalnya, ketika perekonomian sedang menurun) dan dengan merancang tanggapan audit yang tepat dalam bentuk prosedur audit selanjutnya.
28
b) Menangani setiap risiko yang dinilai, sesuai dengan materialiatas dari area laporan keuangan atau disclosure yang terkena dampak risiko tersebut. Auditor kemudian merancang tanggapan dalam bentuk prosedur audit selanjutnya yang tepat. c) Memulai dengan daftar prosedur audit baku untuk setiap area laporan keuangan dan asersi yang material dan membuat penyesuaian (menambah,
memodifikasi,
dan
mengeliminasi
prosedur)
untuk
merancang tanggapan yang tepat terhadap risiko yang dinilai. Prosedur audit selanjutnya: Prosedur Substantif dapat dilaksanakan auditor untuk: 1) Mengumpulkan bukti tentang asersi yang menjadi dasar dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan (embedded) dalam saldo akun dan jenis transaksi. 2) Mendeteksi salah saji yang material. Prosedur substantif meliputi pemilihan sampel (saldo akun atau transaksi) yang representatif (artinya mewakili seluruh populasi) untuk: 1) Menghitung
ulang
(recalculate)
angka-angka
untuk
memastikan
ketelitian (accuracy); 2) Meminta konfirmasi saldo (piutang, rekening bank, investasi, dan lainlain); 3) Memastikan transaksi dicatat dalam periode yang benar (cut-off tests atau uji pisah batas);
29
4) Membandingkan angka-angka antar periode atau dengan harapan/ ekspektasi (analytical procedures); 5) Menginspeksi dokumen pendukung (seperti invoices atau kontrak penjualan; 6) Mengamati eksistensi fisik dari aset yang dicatat (misalnya mengamati perhitungan persediaan); dan 7) Menelaah kecukupan penyisihan untuk penurunan nilai seperti piutang ragu-ragu atau persediaan yang usang (obsolete inventory). C.
Tahap 3: Melaporkan (reporting) Tahap terakhir proses audit ini terdiri atas dua bagian utama, yakni
mengevaluasi bukti audit yang sudah dikumpulkan dan membuat laporan auditor. Mengevaluasi Bukti Audit: a) Selesaikan semua review yang harus dilakukan. b) Perhatikan salah saji yang ditemukan. c) Selesaikan semua masalah dengan manajemen. d) Komunikasikan semua temuan audit dengan TCWG (those charged with governance, mereka yang bertanggungjawab atas pengawasan secara umum dan menyeluruh dalam entitas tersebut). Membuat Laporan Auditor: e) Selesaikan semua dokumentasi audit. f) Dokumentasikan keputusan-keputusan (audit) yang penting. g) Rumuskan pendapat/opini. h) Terbitkan laporan auditor.
30
2.4
Independensi Menurut Arens et al. (2012:111) independensi dalam auditing adalah: “A member in public practice shall be independence in the performance a professional service as require by standards promulgated by bodies designated by a council.” Independensi berarti sikap mental yang bebas dari pengaruh, tidak
dikendalikan oleh pihak lain, tidak tergantung pada orang lain. Independensi juga berarti adanya kejujuran dalam diri auditor dalam mempertimbangkan fakta dan adanya pertimbangan yang objektif tidak memihak dalam merumuskan dan menyatakan pendapatnya, maka audit yang dihasilkan akan sesuai dengan fakta tanpa ada pengaruh dari luar. Dalam Standar Pemeriksaan Keuangan Negara (SPKN,2007) pada paragraph 14 juga menekankan tentang independensi, yaitu: “Dalam semua hal yang berkaitan dengan pekerjaan pemeriksaan, organisasi pemeriksa dan pemeriksa, harus bebas dalam sikap mental dan penampilan dari ganguan pribadi, ekstern, dan organisasi yang dapat mempengaruhi independensinya.” Mulyadi (2002:26) menyebutkan bahwa: “Independensi berarti sikap mental yang bebas dari pengaruh, tidak dikendalikan oleh pihak lain, tidak tergantung pada orang lain. Independensi juga berarti adanya kejujuran dalam diri auditor dalam mempertimbangkan fakta dan adanya pertimbangan yang objektif tidak memihak dalam diri auditor dalam merumuskan dan menyatakan pendapatnya.” International Standard on Auditing (ISA) (200, Alinea 14) dalam Tuanakotta (2013) mengatakan: “Auditor wajib mematuhi kewajiban etika yang relevan, termasuk yang berkenaan dengan independensi, sehubungan dengan penugasan audit atas laporan keuangan.”
31
Masih dalam Tuanakotta (2013) Code of Ethics mengklarifikasi ketentuan, kewajiban, dan persyaratan, dan secara signifikan memperketat ketentuan mengenai independensi, sebagai berikut: 1) Memperluas ketentuan mengenai independensi untuk audit listed entities (perusahaan yang terdaftar di pasar modal) ke semua PIE (public-interest entities atau entitas dengan kepentingan umum). 2) Mengharuskan adanya “periode pembekuan” (cooling-off period) sebelum “orang” tertentu dalam KAP bergabung dengan publicinterest audit clients dalam posisi tertentu. 3) Memperluas kewajiban partner-rotation untuk semua key audit partners. 4) Memperketat ketentuan mengenai pemberian jasa non-asurans kepada audit clients, seperti tax planning dan jasa konsultasi lain. Beberapa larangan berlaku untuk kasus-kasus non-public interest entities audits (audit untuk entitas dengan yang tidak ada kepentingan umum) untuk tax planning dan jasa konsultasi lain, maupun bantuan dalam penyelesaian masalah perpajakan (assistance in resolution of tax services). 5) Mewajibkan pre-or-post-issuance review jika total fees dari publicinterest clients audit melampaui 15% total fees dari KAP tersebut untuk dua tahun berturut-turut.
32
6) Melarang key audit partners dievaluasi kinerjanya terhadap (atau menerima imbalan untuk) menjual saham non-asurans kepada audit clients. 2.4.1
Klasifikasi Independensi IFAC
(2013)
dalam
Tuanakotta
(2013)
menggunakan
istilah
independensi yang didefinisikan dalam IESBA (International Ethics Standards Board for Accountant) Code of Ethics for Professional Accountant sebagai berikut: 1. Independensi dalam pikiran (independence of mind). Independensi dalam pikiran adalah hal-hal yang ada didalam pikiran (the state of mind) auditor yang memungkinkannya memberikan pendapat (opinion) tanpa dipengaruhi hal-hal yang mengompromikan (compromise) kearifan profesional atau professional judgement, dan dengan demikian orang dapat bertindak dengan integritas penuh, tidak berpihak, dan melaksanakan skeptisme profesional (professional scepticism). 2. Independensi dalam penampilan (independence in appearance). Independence dalam penampilan adalah penghindaran fakta dan kondisi yang sedemikian signifikan sehingga pihak ketiga yang paham dan berfikir rasional dengan memiliki pengetahuan akan semua informasi yang relevan, termasuk pencegahan yang diterapkan akan tetap dapat menarik kesimpulan bahwa skeptisme profesional,
33
objektivitas, dan integritas anggota firma, atau tim penjamin (assurance team) telah dikompromikan. Prinsip-prinsip fundamental etika tidak dapat dinegosiasikan atau dikompromikan bila seorang akuntan ingin menjaga citra profesinya yang luhur.
2.4.2
Ancaman Terhadap Independensi IFAC dalam Tuanakotta (2013), menjelaskan tentang ancaman terhadap
independensi dapat terbentuk dari hal berikut: a. Kepentingan Diri (Self-Interest) Kepentingan diri (self-interest) adalah wujud sifat yang lebih mengutamakan kepentingan pribadi atau keluarga dibandingkan dengan kepentingan publik yang lebih luas. Contoh langsung kepentingan diri untuk akuntan publik, antara lain: 1) Kepentingan keuangan dalam perusahaan klien, atau kepentingan keuangan bersama pada suatu perusahaan klien. 2) Kekhawatiran berlebihan bila kehilangan suatu klien. b. Review Diri (Self-Review) Contoh ancaman review diri untuk akuntan publik antara lain: 1) Temuan kesalahan material saat dilakukan evaluasi ulang. 2) Pelaporan operasi sistem keuangan setelah terlibat
dalam
perancangan dan implementasi sistem tersebut. c. Advokasi (Advocacy) Ancaman advokasi dapat timbul bila akuntan profesional mendukung
34
suatu posisi atau pendapat sampai titik di mana objektivitas dapat dikompromikan. Contoh langsung ancaman untuk akuntan publik antara lain: 1) Mempromosikan saham perusahaan publik dari klien, dimana perusahaan tersebut merupakan klien audit. 2) Bertindak sebagai pengacara (penasihat hukum) untuk klien penjaminan dalam suatu litigasi atau perkara perselisihan dengan pihak ketiga. d. Kekerabatan (Familiarity) Ancaman kekerabatan (Familiarity) timbul dari kedekatan hubungan sehingga akuntan profesional menjadi terlalu bersimpati terhadap kepentingan orang lain yang mempunyai hubungan dekat dengan akuntan tersebut. Contoh langsung ancaman kekerabatan untuk akuntan publik, antara lain: 1) Anggota tim mempunyai hubungan keluarga dekat dengan seorang direktur atau pejabat perusahaan klien. 2) Anggota tim mempunyai hubungan dekat dengan seorang karyawan klien yang memiliki jabatan yang berpengaruh langsung dan signifikan terhadap pokok dari penugasan. e. Intimidasi (Intimidation) Ancaman intimidasi (Intimidation) dapat timbul jika akuntan
35
profesional dihalang untuk bertindak objektif, baik secara nyata maupun dipersepsikan. Contoh ancaman intimidasi untuk akuntan publik, antara lain: 1) Diancam dipecat atau diganti dalam hubungannya dengan penugasan klien. 2) Diancam dengan tuntutan hukum. 3) Ditekan secara tidak wajar untuk mengurangi ruang lingkup pekerjaan dengan maksud untuk mengurangi fee.
2.4.3
Definisi Auditing Arens (2010:4) mengemukakan definisi Auditing adalah sebagai berikut: “Auditing is the accumulation and evaluation of evidence about information to determine and report on the degree of correspondence between the information and established criteria. Auditing should be done by a competent, independence person”. Dari penjelasan diatas dijelaskan bahwa auditing adalah pengumpulan
dan pengevaluasian bukti tentang informasi untuk menentukan dan melaporkan derajat kesesuaian antara informasi dan kriteria yang telah ditetapkan. Auditing harus dilakukan oleh orang yang kompeten dan independen. Dari teori diatas untuk dapat melakukan suatu proses audit yang mencakup pengumpulan dan pengevaluasian bukti dalam menentukan derajat kesesuaian antara informasi dan kriteria yang telah ditetapkan harusnya dilakukan oleh orang yang memiliki kompetensi dibidang tersebut, kompetensi seseorang dalam melakukan audit juga harus diiringi dengan sikap independensi yang terbebas dari hubungan kepentingan.
36
Pengertian Auditing menurut Mulyadi (2002:9) adalah: “Secara umum auditing adalah suatu proses sistematik untuk memperoleh dan mengevaluasi bukti secara objektif mengenai pernyataan-pernyataan tentang kegiatan dan kejadian ekonomi, dengan tujuan untuk menetapkan tingkat kesesuaian antara pernyataanpernyataan tersebut dengan kriteria yang telah ditetapkan, serta penyampaian hasil-hasilnya kepada pemakai yang berkepentingan”. Seorang auditor harus mempunyai kemampuan memahami kriteria yang digunakan serta mampu menentukan sejumlah bahan bukti yang diperlukan untuk mendukung kesimpulan yang akan diambilnya. Auditor harus objektif dan mempunyai sikap mental yan independen. Sekalipun auditor mempunyai kehalian yang cukup, tetapi dia tidak memiliki sikap independen dalam melaksanakan audit, maka informasi yang digunakan untuk mengambil kepetusan dapat dipengaruhi oleh pihak yang menyajikan informasi. Tahap akhir setelah selesai melakukan audit adalah penyusunan laporan audit yang merupakan alat penyampaian informasi kepada pemakai laporan. Pengertian auditing menurut Tuanakotta (2011:52) adalah: “Auditing is analytical, not contructive, it is critical, investigative, concerned with the basis for accounting measurements and assertions”. Dalam pengertian auditing yang besifat analitikal, tidak bersifat menyusun atau membangun. Auditing lebih bersifat kritikal (mempertanyakan) akan keberadaan, ketepatan, kelengkapan, kebenaran, menilai atau mengalokasi, presentasi dan penyimpangan pada objek yang diaudit, investigatif (menyelidiki), berurusan dengan dasar-dasar pengukuran dan asersi accounting. Definisi auditing secara umum memiliki unsur-unsur penting yang diuraikan sebagai berikut:
37
a. Suatu proses sistematik Merupakan suatu proses sistematik, yaitu berupa rangkaian langkah atau prosedur yang logis, berkerangka, dan teroganisir. b. Untuk memperoleh dan mengevaluasi bukti secara objektif Proses sistematik tersebut ditujukan untuk memperoleh bukti yang mendasari pernyataan yang dibuat oleh individu atau badan usaha, serta untuk mengevaluasi tanpa memihak atau berprasangka terhadap bukti-bukti tersebut. c. Pernyataan mengenai kegiatan dan kejadian ekonomi Yang dimaksud dengan pernyataan mengenai kegiatan dan kejadian ekonomi disini adalah hasil proses akuntansi. Akuntansi merupakan proses pengidentifikasian, pengukuran, dan penyampaian informasi ekonomi yang dinyatakan dalam satuan uang. Proses akuntansi inilah yang menghasilkan suatu pernyataan yang disajikan dalam laporan keuangan. d. Menetapkan tingkat kesesuaian Pengumpulan bukti mengenai persyaratan dan evaluasi terhadap hasil pengumpulan
bukti
tersebut
dimaksudkan
untuk
menetapkan
kesesuaian pernyataan tersebut dengan kriteria yang telah ditetapkan. Tingkat kesesuaian antara pernyataan dengan kriteria tersebut kemungkinan dapat dikuantifikasikan, kemungkinan pula bersifat kualitatif.
38
e. Kriteria yang telah ditetapkan Kriteria atau standar yang dipakai sebagai dasar untuk menilai pernyataan (yang berupa hasil proses akuntansi) dapat berupa: 1) Peraturan yang ditetapkan oleh suatu badan legislatif. 2) Anggaran atau ukuran prestasi lain yang ditetapkan oleh manajemen. 3) Prinsip akutansi berterima umum di Indonesia (generally accepted accounting principles). f. Penyampaian hasil Penyampaian
hasil
auditing
sering
disebut
dengan
atestasi
(attestation). Penyampaian hasil dilakukan secara tertulis ddalam bentuk laporan audit (audit report). Atestasi dalam bentuk laporan tertulis ini dapat menaikan atau menurunkan tingkat kepercayaan pemakai informasi keuangan atas asersi yang dibuat oleh pihak yang diaudit. g. Pemakai yang berkepentingan Dalam dunia bisnis, pemakai yang berkepentingan terhadap laporan audit adalah para pemakai informasi keuangan seperti: pemegang saham, manajemen, kreditur, calon investor dan kreditur, organisasi buruh, dan kantor pelayanan pajak.
39
2.4.4
Jenis Audit Arens et al (2008:16-18) menyebutkan jenis audit antara lain: 1. Audit Laporan Keuangan Audit Laporan Keuangan bertujuan untuk menentukan apakah laporan keuangan secara keseluruhan yang merupakan informasi terukur yang akan diverifikasi telah sesuai dengan kriteria-kriteria tertentu. 2. Audit Operasional Audit Operasional merupakan penelaahan atas bagian manapun dari prosedur dan metode operasi suatu organisasi untuk menilai efisiensi dan efektifitasnya. 3. Audit Ketaatan (Complience audit) Audit yang dilakukan untuk menentukan apakah pihak yang diaudit telah mengikuti prosedur, aturan, dan ketentuan tertentu yang
ditetapkan oleh otoritas yang lebih tinggi.
2.4.5
Jenis Auditor Jenis-jenis auditor menurut Messier, Glover, Prawitt, dan Douglas
(2006:5) klasifikasi auditor terbagi menjadi empat kelompok, yaitu: 1. Auditor Eksternal (External Auditor) Sering disebut juga auditor independen atau bersertifikat akuntan publik (disingkat BAP, atau certified public accountant-CPA). Disebut ekternal
40
atau independen karena mereka tidak dipekerjakan oleh entitas yang diaudit. 2. Auditor Internal (Internal Auditor) Auditor yang dipekerjakan oleh satu perusahaan persekutuan, badan pemerintah, individu, dan entitas lainnya. Institute of Internal Auditor (IIA) adalah organisasi utama yang mendukung auditor internal. Mereka dapat membantu auditor eksternal dengan audit laporan keuangan tahunan. 3. Auditor Pemerintah (Governance Auditor) Dipekerjakan oleh badan federal, Nergara bagian, dan lokal. Secara umum mereka dapat dianggap sebagai bagian dari kategori yang lebih luas dari auditor internal.. 4. Auditor Forensik (Forensic Auditor) Dipekerjakan oleh perusahaan, badan pemerintah, kantor akuntan publik, dan perusahaan jasa konsultasi dan investigasi. Mereka dilatih untuk mendeteksi, menginvestigasi, dan mencegah kecurangan serta kejahatan kerah putih. The Association of Certified Fraud Examiners (ACFE) adalah organisasi utama yang mendukung auditor forensik.
2.5
Ketepatan Pemberian Opini Audit Tahap terakhir dalam proses pemeriksaan audit, yaitu auditor
menyatakan pendapatnya mengenai kewajaran laporan keuangan yang didasarkan
41
atas kesesuaian penyusunan laporan keuangan tersebut dengan prinsip akuntansi yang berterima umum. Menurut Guy et al (2003) Opini audit merupakan satu bagian dari laporan audit, yaitu kesimpulan yang ditarik. Dalam keadaan tersebut auditor dapat memodifikasi kata-kata dalam laporan standar, namun masih tetap menyatakan pendapat wajar tanpa pengecualian, yang pada gilirannya akan memerlukan modifikasi kata-kata pada laporan standar, termasuk pendapatnya. Dalam semua hal jika nama auditor dikaitkan dengan laporan keuangan, laporan audit harus memuat petunjuk yang jelas mengenai sifat pekerjaan auditor, jika ada, dan tingkat tanggungjawab auditor bersangkutan. Auditor menyatakan pendapatnya mengenai kewajaran laporan keuangan auditan, dalam semua hal yang material, yang didasarkan atas kesesuaian penyusunan laporan keuangan tersebut dengan prinsip akuntansi berterima umum (Mulyadi,2002:19). ISA (200.12) dalam Tuanakotta (2013) menyebutkan dalam semua hal ketika asurans yang layak tidak dapat diperoleh dan suatu qualified opinion (Opini Wajar Dengan Pengecualian) dalam laporan auditor tidak cukup dalam situasi yang dihadapi untuk tujuan pelaporan bagi pemakai laporan keuangan yang dituju (intended users), ISAs mengharuskan auditor menolak memberikan pendapat (disclaim an opinion) atau mengundurkan diri [withdraw (or resign)] dari penugasan, jika mengundurkan diri dimungkinkan oleh ketentuan perundangundangan yang berlaku.
42
2.5.1
Perumusan Opini Audit Berikut adalah kutipan ISA 700 yang relevan dengan perumusan opini
audit, yaitu: Tabel 2.2 ISA 700 - Perumusan Opini Auditor ISA 700.10
700.11
Pokok Bahasan Penjelasan Sesuai kerangka Auditor wajib merumuskan opini mengenai apakah pelaporan laporan keuangan dibuat, dalam segala hal yang material, sesuai dengan kerangka pelaporan keuangan yang berlaku umum. Kesimpulan Untuk merumuskan opini, auditor wajib menyimpulkan untuk mengenai apakah auditor telah memperoleh asurans merumuskan yang memadai/wajar tentang apakah laporan keuangan opini secara keseluruhan bebas dari salah saji material, apakah karena kecurangan atau kesalahan. Kesimpulan ini akan memperhitungkan: a) Kesimpulan auditor, sesuai ISA 330, apakah bukti audit yang cukup dan tepat telah diperoleh b) Kesimpulan auditor, sesuai ISA 450, apakah salah saji yang belum dikoreksi, secara terpisah atau tergabung, adalah material. c) Evaluasi atas laporan keuangan. Evaluasi atas laporan keuangan
700.12
Auditor wajib mengevaluasi apakah laporan keuangan dibuat, dalam segala hal yang material, sesuai dengan ketentuan/persyaratan kerangka pelaporan keuangan yang berlaku. Evaluasi ini harus meliputi pertimbangan mengenai aspek kualitatif dari praktik akuntansi entitas itu, termasuk indikator mengenai kemungkinan bias dalam pandangan dan pemikiran manajemen.
43
Pertimbangan persyaratan dalam kerangka pelaporan keuangan
700.13
700.14
700.15
Secara khusus, auditor wajib mengevaluasi apakah, dengan mempertimbangkan persyaratan dalam kerangka pelaporan keuangan yang berlaku: a) Laporan keuangan cukup mengungkapkan kebijakan akuntansi yang signifikan yang dipilih dan diterapkan. b) Kebijakan akuntansi yang dipilih dan yang diterapkan konsisten dengan kerangka pelaporan keuangan yang berlaku dan memang tepat. c) Estimasi akuntansi yang dibuat manajemen adalah wajar. d) Informasi yang disajikan dalam laporan keuangan adalah relevan, andal, dapat dibandingkan, dan dapat dipahami. e) Laporan keuangan memberikan cukup disclosures yang memungkinkan pemakai memahami dampak transaksi dan peristiwa yang material terhadap informasi yang disampaikan dalam laporan keuangan.\ f) Terminologi dalam laporan keuangan, termasuk judul setiap laporan keuangan, sudah tepat. Apakah laporan Ketika laporan keuangan dibuat sesuai dengan kerangka keuangan penyajian yang wajar (fair presentation framework), memenuhi evaluasi yang diwajibkan pada alinea 12-13 juga syarat penyajian termasuk apakah laporan keuangan memenuhi syarat yang wajar? penyajian yang wajar. Evaluasi auditor mengenai apakah laporan keuangan memenuhi syarat penyajian yang wajar akan meliputi pertimbangan mengenai: a) Presentasi, struktur, dan isi secara keseluruhan dari laporan keuangan. b) Apakah laporan keuangan, termasuk catatan atas laporan keuangan mencerminkan transaksi dan peristiwa yang mendasarinya, dengan cara yang mencapai penyajian yang wajar. Merujuk kerangka pelaporan yang berlaku?
Auditor wajib mnegevaluasi apakah laporan keuangan merujuk atau menjelaskan dengan cukup, kerangka pelaporan keuangan yang berlaku.
44
WTP 700.16
Auditor wajib memberikan opini yang tidak dimodifikasi (WTP) ketika auditor menyimpulkan bahwa laporan keuangan dibuat, dalam segala hal yang material, sesuai dengan kerangka pelaporan keuangan yang berlaku.
Bukan WTP
700.17
700.18
Jika auditor: a) Menyimpulkan, berdasarkan bukti audit yang diperoleh, laporan keuangan secara keseluruhan tidak bebas dari salah saji yang material; atau b) Tidak dapat memperoleh bukti audit yang cukup dan tepat untuk menyimpulkan bahwa laporan keuangan secara keseluruhan bebas dari salah saji yang material; c) Auditor wajib memodifikasi opini (artinya memberikan opini yang bukan WTP) dalam laporan auditor sesuai dengan ISA 705. Perlu modifikasi Jika laporan keuanga dibuat sesuai dengan kerangka opini sesuai ISA penyajian yang wajar, tidak mencapai penyajian yang 705? wajar, auditor wajib membahas hal ini dengan manajemen dan, tergantung pada persyaratan kerangka pelaporan keuangan yang berlaku dan bagaimana masalah itu diselesaikan, auditor wajib menentukan apakah perlu memodifikasi opini dalam laporan auditor sesuai ISA 705. Laporan keuangan menyesatkan
700.19
Ketika laporan keuangan dibuat sesuai dengan kerangka kepatuhan (compliance framework), auditor tidak harus mengevaluasi apakah laporan keuangan mencapai penyajian yang wajar. Namun, jika dalam situasi yang sangat jarang, auditor wajib membahas hal ini dengan manajemen dan, tergantung pada bagaimana masalah itu diselesaikan, auditor wajib menentukan apakah dan bagaimana mengkomunikasikannya dalam laporan auditor.
45
2.5.2
Macam-macam Opini Audit Opini audit menurut Arens et al (2008:61-71) terdiri dari 5 macam opini
berserta penjelasannya, yaitu: 1.
Wajar Tanpa Pengecualian (Unqualified Opinion) Laporan audit standar tanpa pengecualian diterbitkan bila kondisi-kondisi berikut terpenuhi: a) Semua laporan neraca, laporan laba rugi, laporan laba ditahan, dan laporan arus kas sudah termasuk dalam laporan keuangan. b) Standar yang berkaitan dengan penugasan telah dipenuhi. c) Bukti audit yang cukup memadai telah terkumpul, dan auditor telah melaksanakan penugasan audit ini dengan cara yang memungkinkannya untuk menyimpulkan bahwa standar yang berkaitan dengan pekerjaan lapangan terlah terpenuhi. d) Laporan keuangan telah disajikan sesuai dengan prinsip-prinsip akuntansi yang berlaku umum. Hal itu juga berarti bahwa pengungkapan yang memadai telah tercantum dalam catatan kaki dan bagian-bagian lain dari laporan keuangan. e) Tidak terdapat situasi yang membuat auditor merasa perlu untuk menambahkan sebuah paragraf penjelasan atau modifikasi kata-kata dalam laporan audit. Wajar Tanpa Pengecualian Dengan Paragraf Penjelas (Unqualified
Opinion with Explanatory Language) Sesuai dengan kriteria audit yang lengkap dengan hasil yang memuaskan dan laporan keuangan yang disajikan secara wajar,
46
tetapi auditor merasa penting atau wajib untuk memberikan informasi tambahan. Berikut adalah penyebab paling penting dari penambahan paragraf penjelasan atau modifikasi kata-kata pada laporan wajar tanpa pengecualian: 1) Tidak adanya aplikasi yang konsisten dari prinsip-prinsip akuntansi yang berlaku umum (GAAP). 2) Keraguan yang substansial mengenai going concern. 3) Auditor setuju dengan penyimpangan dari prinsip akuntansi yang dirumuskan. 4) Penekanan pada suatu hal atau masalah. 5) Laporan yang melibatkan auditor lain. 2.
Pendapat Wajar Dengan Pengecualian (Qualified Opinion) Pendapat ini diterbitkan akibat pembatasan ruang lingkup audit atau kelalaian untuk mematuhi prinsip akuntansi yang berlaku umum. Laporan pendapat wajar dengan pengecualian dapat diterbitkan hanya apabila auditor menyimpulkan bahwa laporan keuangan secara keseluruhan telah disajikan secara wajar.
3.
Pendapat Tidak Wajar (Adverse Opinion) Pendapat Tidak Wajar digunakan hanya apabila auditor yakin bahwa laporan keuangan secara keseluruhan mengandung salah saji yang material atau menyesatkan sehingga tidak menyajikan secara wajar posisi keuangan atau hasil operasi dan arus kas sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum (GAAP). Laporan pendapat tidak wajar hanya dapat diterbitkan
47
apabila auditor memiliki pengetahuan, setelah melakukan investigasi yang mendalam, bahwa tidak ada kesesuaian dengan GAAP/PSAK. Hal ini jarang terjadi sehingga pendapat tidak wajar jarang sekali diterbitkan. 4.
Menolak Memberikan Pendapat (Disclaimer of Opinion) Menolak mamberikan pendapat diterbitkan apabila auditor tidak dapat meyakinkan dirinya sendiri bahwa laporan keuangan secara keseluruhan telah disajikan secara wajar. Kebutuhan untuk menolak memberikan pendapat akan timbul apabila terdapat pembatasan ruang lingkup audit atau terdapat hubungan yang tidak independen menurut Kode Perilaku Profesional antara auditor dengan kliennya. Kedua situasi ini menghalangi auditor untuk mengeluarkan pendapat atas laporan keuangan secara keseluruhan.
2.5.3
Tujuan Audit International Standards on Auditing (ISA) menyatakan tujuan audit
dalam ISA 200.3 adalah mengangkat tingkat kepercayaan dari pemakai laporan keuangan yang dituju, terhadap laporan keuangan itu. Tujuan itu dicapai dengan pemberian opini oleh auditor mengenai apakah laporan keuangan disusun, dalam segala hal yang material, sesuai dengan kerangka pelaporan keuangan yang berlaku. Pada umumnya, dalam kerangka pelaporan keuangan dengan tujuan umum, opini tersebut menyatakan apakah laporan keuangan disajikan secara wajar, dalam segala hal yang material, atau memberikan gambaran yang benar dan wajar sesuai kerangka pelaporan keuangan. Suatu audit yang dilaksanakan sesuai
48
dengan ISAs dan persyaratan etika yang relevan memungkinkan auditor memberikan pendapat tersebut.
49
2.6
Penelitian Sebelumnya Tabel 2.3 Penelitian Sebelumnya
No 1
Peneliti Ida Suraida (2005)
2
Gusti dan Ali (2008)
Judul Pengaruh Etika, Kompetensi, Pengalaman Audit, dan Resiko Audit Terhadap Skeptisme Profesional Auditor dan Ketepatan Pemberian Opini Audit Hubungan Skeptisme Profesional Auditor dan Situasi Audit, Etika, Pengalaman serta Keahlian Audit Dengan Ketepatan Pemberian Opini Auditor Oleh Akuntan Publik
Variabel Variabel: 1. Etika 2. Kompetensi 3. Pengalaman Audit Variabel: 1. Skeptisme profesional auditor 2. Faktor situasi audit 3. Faktor etika 4. Pengalaman 5. Keahlian audit 6. Ketepatan opini audit
Hasil Penelitian Etika, kompetensi, pengalaman audit, dan risiko audit berpengaruh terhadap skeptisme profesional auditor baik secara parsial maupun secara simultan. Secara parsial pengaruh etika, kompetensi, pengalaman audit dan risiko audit terhadap skeptisme profesional auditor kecil, namun secara simultan pengaruhnya cukup besar. Skeptisme profesional auditor mempunyai hubungan yang signifikan dengan ketepatan pemberian opini audit. Situasi audit mempunyai hubungan yang signifikan dengan ketepatan opini audit. Faktor etika tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan ketepatan opini audit. Pengalaman tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan ketepatan opini audit. Keahlian audit tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan ketepatan opini audit. Skeptisme profesional auditor dan situasi audit mempunyai hubungan yang signifikan dengan ketepatan opini audit.
50
3
4
5
6
Ali Monsouri, Reza Pirayesh, Mahdi Salehi (2009) Surroh Zu’amah (2009)
Wayan Ari Prasetya dan Maryana M. Ratna Sari (2014)
Audit Competence and Audit Quality: Case in Emerging Economy
Variabel: 1. Audit Competence 2. Audit Quality
Independensi dan kompetensi Variabel: Auditor Pada Opini Audit 1. Independensi (Studi BPKP Jateng) auditor 2. Kompetensi auditor 3. Opini auditor
Independensi, Variabel: Profesionalisme, Dan 1. Independensi Skeptisme Profesional Adutor auditor Sebagai Prediktor Ketepatan 2. Kompetensi Pemberian Opini Auditor auditor 3. Profesionalisme auditor 4. Opini auditor Fanny Professional Influence Variabel: Surfeliya, Dr. Scepticism, Competention, 1. Professional Andreas, Audit Situation, Audit Ethics, scepticism
Ada hubungan positif antara independensi audit dan kualitas audit dan kompetensi audit. Kompetensi auditor memiliki pengaruh paling signifikan terhadap mendeteksi kecurangan.
Independensi auditor mempunyai pengaruh yang positif terhadap hasil opini auditor. Kompetensi auditor mempunyai pengaruh yang positif terhadap hasil opini auditor.
Independensi berpengaruh positif dan signifikan terhadap ketepatan pemberian opini auditor. Profesionalisme auditor berpengaruh positif dan signifikan terhadap ketepatan pemberian opini auditor. Skeptisme profesional berpengaruh positif dan signifikan terhadap ketepatan pemberian opini auditor.
Skeptisme profesional bernilai positif berarti secara signifikan dapat meningkatkan opini audit. Situasi audit tidak berpengaruh signifikan terhadap ketepatan
51
7
M.M.,Ak.,CP A, Dra.Hj.Yusra laini,S.E.,M. M.Ak. (2014)
Experience, and Expertise Make an Audit of to Accuracy of Audit Opinion by Auditor BPK
2. 3. 4. 5. 6.
Audit situation Competence Ethics Experience Expertise
I Putu Sukendra, Gede Adi Yuniarta, Anantawirakr ama Tungga Atmadja (2015)
Pengaruh Skeptisme Profesional, Pengalaman Auditor, Dan Keahlian Auditor Terhadap Ketepatan Pemberian Opini Oleh Auditor
Variabel: 1. Skeptisme profesional 2. Pengalaman Auditor 3. Keahlian audit 4. Opini Auditor
pemberian opini auditor. Kompetensi auditor tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap ketepatan pemberian opini auditor. Etika tidak memiliki pengaruh signifikan terhadap ketepatan opini auditor. Pengalaman auditor tidak memiliki pengaruh signifikan terhadap opini auditor. Keahlian auditor tidak berpengaruh secara signifikan terhadap ketepatan pemberian opini auditor. Namun pengujian pengaruh variabel skeptisme, situasi audit, kompetensi, etika auditor, pengalaman dan keahlian secara bersama-sama berpengaruh signifikan terhadap opini auditor. Skeptisme profesional berpengaruh signifikan terhadap ketepatan pemberian opini audit opleh auditor. Pengalaman auditor berpengaruh signifikan terhadap ketepatan pemberian opini oleh auditor. keahlian audit berpengaruh signifikan positif terhadap ketepatan pemberian opini oleh auditor.
52
2.7
Kerangka Pemikiran
2.7.1
Hubungan Kompetensi Auditor Dengan Ketepatan Pemberian Opini audit Kompetensi
dapat
diartikan
sebagai
aspek-aspek
pribadi
yang
memungkinkan auditor untuk mencapai kinerja yang baik. Pada pelaksanaan suatu audit untuk mencapai suatu pernyataan pendapat, auditor harus senantiasa bertindak sebagai seorang ahli dalam bidang akuntansi dan auditing, untuk dapat dikatakan sebagai seorang yang ahli auditor harus melewati pelatihan (pendidikan) formal, pendidikan berkelanjutan, dan mempunyai pengalaman yang cukup dalam mengaudit. Pendidikan formal dapat berupa pendidikan ditingkat universitas dan pendidikan keprofesian akuntan, pendidikan yang berkelanjutan dan pengalaman dapat diperoleh melalui pelatihan khusus dan seminar atau jam terbang yang tinggi dalam mengaudit yang memberikan auditor pengetahuan melalui pengalamannya saat mengaudit perusahaan kliennya. Faktor-faktor tersebut dapat meningkatkan objektivitas dan kecermatan auditor dalam mengaudit laporan keuangan klien dan melaporkannya dalam laporan keuangan auditan. Dimana dalam pelaksanaan tugasnya tersebut auditor berpedoman pada standar auditing dan kode etik akuntan publik yang relevan. Oleh karena itu dapat dipahami bahwa seorang auditor yang memiliki pengetahuan dan pengalaman yang memadai menunjukan seberapa banyak auditor melakukan audit atas laporan keuangan dari segi lamanya waktu atau banyaknya penugasan yang pernah ditangani. Semakin banyak pengalaman dan ditunjang dengan banyaknya
53
sertifikat yang diperoleh, auditor akan lebih memahami dan mengetahui berbagai masalah secara lebih mendalam dan lebih mudah dalam mengikuti perkembangan yang semakin kompleks dalam lingkungan audit kliennya yang dapat berpengaruh terhadap ketepatan pemberian opini audit. Pernyataan diatas sejalan seperti yang dikatakan Surroh Zu’amah (2009) dalam penelitiannya bahwa kompetensi auditor yang baik akan membantu mengumpulkan dan menganalisa bukti-bukti audit, sehingga bisa memberikan opini yang tepat. Pengalaman juga merupakan faktor pendukung ketepatan opini yang dihasilkan auditor. Seorang auditor yang mempunyai pengalaman lebih banyak dalam pemeriksaan laporan keuangan tentu memiliki beraneka ragam penemuan
dalam
setiap
pemeriksaannya,
seperti
indikasi
kecurangan,
ketidaklengkapan dokumen, manipulasi data, serta berbagai kasus yang melibatkan pihak internal perusahaan. Dengan demikian, auditor dapat lebih peka terhadap hal-hal yang bersifat merusak ketepatan pemberian opini yang diberikan pada pemeriksaan-pemeriksaan berikutnya. 2.7.2
Hubungan Skeptisme Profesional Auditor Dengan Ketepatan Pemberian Opini Audit Skeptisme profesional menjadi salah satu faktor dalam menentukan
kemahiran profesional seorang auditor. Kemahiran profesional akan sangat mempengaruhi ketepatan pemberian opini oleh seorang auditor. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa semakin tinggi tingkat skeptisme profesional seorang auditor dalam melakukan audit, maka diduga akan berpengaruh pada ketepatan pemberian opini auditor tersebut. Salah satu penyebab kegagalan auditor dalam
54
mendeteksi kesalahan dalam laporan keuangan adalah rendahnya tingkat skeptisme profesional auditor tersebut. Hal ini membuktikan bahwa auditor sebagai profesi yang bertanggungjawab atas opini yang diberikan, harus memiliki sikap skeptisme profesional dalam melaksanakan auditnya untuk dapat memberikan opini yang tepat pula. Menurut Shaub et al, (1996) auditor yang masa kerjanya lebih lama cenderung lebih skeptis, sehingga opini atas laporan keuangan klien dibberikan dengan tepat. Berdasarkan uraian di atas maka dalam melaksanakan audit, auditor harus bertindak sebagai seorang ahli dalam bidang akuntansi dan auditing. Pencapaian keahlian dimulai dengan pendidikan formal. Kusharyanti (2003) mengatakan bahwa untuk melakukan tugas pengauditan, auditor memerlukan pengetahuan mengenai bidang auditing dan akuntansi serta memahami industri klien. Menurut Ida Suraida (2005) kehalian yang memadai akan meningkatkan skeptisme profesional auditor, dan berpengaruh terhadap ketepatan pemberian opini auditor. Skeptisme profesional yang dimiliki auditor akan mempengaruhi auditor dalam melaksanakan serangkaian prosedur audit hingga menghasilkan opini atas laporan keuangan yang diauditnya. Faktor-faktor situasi terdiri dari related party transaction dan transaksi antara pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa seperti bisnis keluarga. Pihak yang lebih kuat dalam hubungan istimewa ini memiliki kecendrungan untuk mengendalikan pihak lain dalam mengambil keputusan keuangan dan operasional.
55
Dalam melaksanakan prosedur audit hingga pemberian opini auditor harus mengumpulkan bukti-bukti sebagai dasar pemberian opini. Bukti-bukti itu termasuk informasi dari klien. setiap klien yang merahasiakan atau tidak menyajikan informasi akan menyebabkan keterbatasan ruang lingkup audit, dalam menghadapi
situasi
ini,
maka
auditor
harus
meningkatkan
skeptisme
profesionalnya agar opini yang diberikan tepat (Gusti & Ali,2008). 2.7.3
Hubungan Independensi Auditor Dengan Ketepatan Pemberian Opini Audit Independensi merupakan sikap yang diharapkan dari seorang akuntan
publik untuk tidak mempunyai kepentingan pribadi dalam melaksanakan tugasnya, yang bertentangan dengan prinsip integritas dan objektivitas. Achmad Badjuri (2012) mengatakan dalam penelitiannya bahwa independensi pada dasarnya merupakan state of mind atau sesuatu yang dirasakan oleh masingmasing auditor menurut apa yang diyakini sedang berlangsung (Pusdiklatwas BPKP,2008). Independensi auditor dapat ditinjau dan dievaluasi dari dua sisi, independensi praktisi dan independensi profesi. Independensi praktisi yakni independensi yang nyata atau faktual yang diperoleh dan dipertahankan oleh auditor dalam seluruh rangkaian audit, mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan, sampai tahap pelaporan. Sedangkan independensi profesi yakni independensi yang ditinjau menurut citra (image) auditor dari pandangan publik atau masyarakat umum terhadap auditor yang bertugas. Independensi menurut tinjauan ini sering pula dinamakan independensi dalam penampilan (independencce in appearance).
56
Untuk menghasilkan audit yang berkualias hingga sampai kepada tahap terakhir yaitu penyampaian opini audit diperlukan sikap independen dari auditor. Karena jika auditor kehilangan independensinya maka laporan audit yang dihasilkan tidak sesuai dengan kenyataan yang ada sehingga tidak dapat digunakan sebagai dasar pengambilan keputusan. Surroh Zu’Amah (2009) mengatakan dalam penelitiannya bahwa tingkat independensi auditor yang tinggi menggambarkan bahwa auditor melaporkan semua kesalahan klien walaupun telah lama menjalin hubungan dengan klien dan setelah mendapat peringatan dari klien, fasilitas yang diterima dari klien tidak menjadikan auditor sungkan terhadap klien. 2.7.4
Hubungan Kompetensi, Skeptisme Profesional, dan Independensi Auditor Dengan Ketepatan Pemberian Opini Audit Dalam
pelaksanaan
praktik
jasa
auditing,
seorang
auditor
bertanggungjawab untuk melaksanakan pekerjaan profesionalnya dengan sebaikbaiknya yang dapat memberikan manfaat sebagai dasar dalam pengambilan keputusan oleh publik melalui opini auditor. Opini yang dikeluarkan auditor sebagai final report atas audit yang dilakukan harus sesuai dengan kode etik yang berlaku, tentu ini akan membawa citra yang positif bagi masyarakat dan dunia usaha. Begitu pentingnya opini yang diberikan oleh auditor bagi sebuah perusahaan dan publik, maka sesorang auditor harus mempunyai kompetensi yang baik untuk mengumpulkan dan menganalisa bukti-bukti sehingga bisa memberikan opini yang tepat.
57
Para pengguna jasa Kantor Akuntan Publik (KAP) sangat mengharapkan agar auditor dapat memberikan opini yang tepat, namun dalam praktiknya masih sering terjadi pemberian opini akuntan yang tidak sesuai dengan kriteria yang ditetapkan dalam Standar Akuntan Publik. Salah satu penyebab terjadinya kegagalan audit adalah lemahnya sikap skeptisme profesional auditor. Dalam memberikan opini seorang auditor juga harus memiliki sikap skeptis untuk bisa menentukan sejauhmana tingkat keakuratan dan kebenaran atas bukti-bukti maupunun
informasi
yang
diberikan
klien.
Kemudian
dengan
sikap
independensinya auditor melaporkan semua temuan audit baik itu yang berupa kesalahan atau kecurangan dalam laporan keuangan kliennya pada laporan auditan. Sehingga berdasarkan logika diatas kompetensi, skeptisme profesional, dan independensi memiliki pengaruh terhadap opini yang dikeluarkan auditor. 2.8
Hipotesis Penelitian Berdasarkan uraian-uraian tersebut, maka penulis menyajikan hipotesis
sebagai berikut: H1: Kompetensi auditor berpengaruh terhadap ketepatan pemberian opini auditor. H2: Skeptisme professional auditor berpengaruh terhadap ketepatan pemberian opini auditor. H3: Independensi auditor berpengaruh terhadap ketepatan pemberian opini auditor. H4: Kompetensi, skeptisme professional, dan independensi auditor berpengaruh terhadap ketepatan pemberian opini auditor.
58
Gambar 2.1 Kerangka Pemikiran
KOMPETENSI AUDITOR (X1) 1. Pendidikan 2. Pengalaman (Mulyadi , 2006:20) SKEPTISME PROFESIONAL AUDITOR (X2)
H1 H4
1. 2. 3. 4.
Questioning Mind Suspension on judgement Search for Knowledge Interpersonal Understanding 5. Self Confidence 6. Self Determination
KETEPATAN PEMBERIAN OPINI AUDIT (Y) H2
(Hurt et al, 2010) INDEPENDENSI AUDITOR (X3) 1. Tidak mengutamakan kepentingan diri sendiri atau keluarga 2. Review diri 3. Tidak berpihak pada manajemen 4. Tidak memiliki hubungan kekerabatan dengan klien 5. Tidak Mudah terintimidasi oleh klien untuk bertindak objektif. (IFAC, 2013)
Pemberian Opini yang sesuai dengan kriteriakriteria yang ditetapkan dalam International Standards on Auditing. (ISA, 700)
H3 Keterangan : : Parsial ---------------
: Simultan