BAB II KAJIAN TEORITIS
2.1 Tinjauan Tentang Keluarga 2.1.1
Pengertian Keluarga Keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat yang terdiri atas kepala
keluarga dan beberapa orang yang terkumpul dan tinggal di suatu tempat di bawah suatu atap dalam keadaan saling ketergantungan. Dalam keluarga terdapat dua atau lebih dari dua pribadi yang tergabung karena hubungan darah, hubungan perkawinan atau pengangkatan, di hidupnya dalam satu rumah tangga, berinteraksi satu sama lain dan di dalam perannya masing-masing dan menciptakan serta mempertahankan suatu kebudayaan. (Sugeng, 2010:19). Menurut Pratikno (2005:13) ada beberapa jenis keluarga, yakni: keluarga inti yang terdiri dari suami, istri, dan anak atau anak-anak, keluarga konjugal yang terdiri dari pasangan dewasa (ibu dan ayah) dan anak-anak mereka, di mana terdapat interaksi dengan kerabat dari salah satu atau dua pihak orang tua. Selain itu terdapat juga keluarga luas yang ditarik atas dasar garis keturunan di atas keluarga aslinya. Keluarga luas ini meliputi hubungan antara paman, bibi, keluarga kakek, dan keluarga nenek. Peranan keluarga menggambarkan seperangkat perilaku antar pribadi, sifat, kegiatan yang berhubungan dengan pribadi dalam posisi dan situasi tertentu. Peranan pribadi dalam keluarga didasari oleh harapan dan pola perilaku dari keluarga, kelompok dan masyarakat. (BKKBN, 2012:45).
Berbagai peranan yang terdapat dalam keluarga adalah sebagai berikut: Ayah sebagai suami dari istri dan anak-anak, berperan sebagai pencari nafkah, pendidik, pelindung dan pemberi rasa aman, sebagai kepala keluarga, sebagai anggota dari kelompok sosialnya serta sebagai anggota dari kelompok sosialnya serta sebagai anggota masyarakat dari lingkungannya. Sebagai istri dan ibu dari anak-anaknya, ibu mempunyai peranan untuk mengurus rumah tangga, sebagai pengasuh dan pendidik anak-anaknya, pelindung dan sebagai salah satu kelompok dari peranan sosialnya serta sebagai anggota masyarakat dari lingkungannya, disamping itu juga ibu dapat berperan sebagai pencari nafkah tambahan dalam keluarganya. Anak-anak melaksanakan peranan psikosial sesuai dengan tingkat perkembangannya baik fisik, mental, sosial, dan spiritual. Menurut Sugeng, (2010:42). Pada dasarnya tugas keluarga ada delapan tugas pokok sebagai berikut: 1.
Pemeliharaan fisik keluarga dan para anggotanya.
2.
Pemeliharaan sumber-sumber daya yang ada dalam keluarga.
3.
Pembagian tugas masing-masing anggotanya sesuai dengan kedudukannya masing-masing.
4.
Sosialisasi antar anggota keluarga.
5.
Pengaturan jumlah anggota keluarga.
6.
Pemeliharaan ketertiban anggota keluarga.
7.
Penempatan anggota-anggota keluarga dalam masyarakat yang lebih luas.
8.
Membangkitkan dorongan dan semangat para anggotanya.
2.1.2. Fungsi Keluarga Secara hukum keluarga adalah sekelompok orang yang terikat oleh darah, perkawinan atau adopsi. Namun dalam sebuah survei nasional yang melibatkan 1.200 orang dewasa yang dipilih secara acak, hanya 22 persen yang merasa puas dengan definisi itu. Hampir 75 persen menyukai definisi sekolompok orang yang saling mencintai dan saling mempedulikan” (BPS, 2012:15). Salah saatu definisi keluarga yang luas dan berguna adalah jaringan orangorang yang berbagi kehidupan mereka dalam jangka waktu yang lama; yang terikat oleh perkawinan, darah, atau komitmen, legal atau tidak; yang menganggap diri mereka sebagai keluarga; dan yang berbagai pengharapan-pengharapan masa depan mengenai hubungan yang berkaitan. Keluarga adalah unit sosial terkecil yang memberikan fondasi primer bagi perkembnagan anak. Sedang lingkungan sekitar dan sekolah ikut memberikan nuansa pada perkembangan anak. Karena itu baik buruknya struktur keluarga dan masyarakat sekita memberikan pengaruh baik atau buruknya pertumbuhan kepribadian anak (Kartono, 2002:57) Hal ini disebabkan karena keluargalah merupakan lingkungan pertama yang berhubungan dengan kegiatan individu sejak lahir sampai dewasa. Dalam rentang kehidupan individu, keluarga mempunyai peranan penting terhadap seluruh aspek kepribadiannya (Praktikto, 2005:40)
Fungsi yang dijalankan keluarga adalah: 1.
Fungsi
Pendidikan
dilihat dari bagaimana keluarga
mendidik dan
menyekolahkan anak untuk mempersiapkan kedewasaan dan masa depan anak. 2.
Fungsi Sosialisasi anak dilihat dari bagaimana keluarga mempersiapkan anak menjadi anggota masyarakat yang baik.
3.
Fungsi Perlindungan dilihat dari bagaimana keluarga melindungi anak sehingga anggota keluarga merasa terlindung dan merasa aman.
4.
Fungsi Perasaan dilihat dari bagaimana keluarga secara instuitif merasakan perasaan dan suasana anak dan anggota yang lain dalam berkomunikasi dan berinteraksi antar sesama anggota keluarga. Sehingga saling pengertian satu sama lain dalam menumbuhkan keharmonisan dalam keluarga.
5.
Fungsi Agama dilihat dari bagaimana keluarga memperkenalkan dan mengajak anak dan anggota keluarga lain melalui kepala keluarga menanamkan keyakinan yang mengatur kehidupan kini dan kehidupan lain setelah dunia.
6.
Fungsi
Ekonomi dilihat dari bagaimana kepala keluarga mencari
penghasilan, mengatur penghasilan sedemikian rupa sehingga dapat memenuhi rkebutuhan-kebutuhan keluarga. 7.
Fungsi Rekreatif dilihat dari bagaimana menciptakan suasana yang menyenangkan dalam keluarga, seperti acara nonton TV bersama, bercerita tentang pengalaman masing-masing, dan lainnya.
8.
Fungsi Biologis dilihat dari bagaimana keluarga meneruskan keturunan sebagai generasi selanjutnya.
9.
Memberikan kasih sayang, perhatian, dan rasa aman di antara keluarga, serta membina pendewasaan kepribadian anggota keluarga. Menurut Sugeng (2010:69) terdapat beberapa macam pola otoritas yaitu :
a.
Patriarkal, yakni otoritas di dalam keluarga dimiliki oleh laki-laki (laki-laki tertua, umumnya ayah)
b.
Matriarkal, yakni otoritas di dalam keluarga dimiliki oleh perempuan (perempuan tertua, umumnya ibu)
c.
Equalitarian, yakni suami dan istri berbagi otoritas secara seimbang.
2.1.3. Subsistem Keluarga dalam Pendidikan Terdapat tiga jenis subsistem dalam keluarga, yakni subsistem suami-istri, subsistem orang tua-anak, dan subsitem sibling (kakak-adik). Subsistem suamiistri terdiri dari seorang laki-laki dan perempuan yang hidup bersama dengan tujuan eksplisit dalam membangun keluarga. Pasangan ini menyediakan dukungan mutual satu dengan yang lain dan membangun sebuah ikatan yang melindungi subsistem tersebut dari gangguan yang ditimbulkan oleh kepentingan maupun kebutuhan darti subsistem-subsistem lain. Subsistem orang tua-anak terbentuk sejak kelahiran seorang anak dalam keluarga, subsistem ini meliputi transfer nilai dan pengetahuan dan pengenalan akan tanggungjawab terkait dengan relasi orang tua dan anak.
Struktur sosial dalam peradaban umat manusia sejatinya dibangun dari unit lembaga sosial terkecil ini yang disebut sebagai keluarga. Satuan lembaga sosial tekecil ini terdiri dari bapak, ibu dan anak. Keluarga merupakan sistem sosial yang dinamis, yang memiliki peran khusus di segenap institusi sosial lainnya. Keluarga adalah fundamen paling dasar seluruh peradaban yang pernah diketahui oleh sejarah. Keluarga merupakan unit ekonomi dan produksi masyarakat. Pasalnya, seluruh anggota keluargalah yang telah menanami bumi. Kekuasaan seorang bapak terhadap keluarganya, menjadikannya sebagai pemerintahan kecil yang mendukung pemerintahan besar. Keluarga adalah unit budaya, melalui pendidikan dan pengajaran anak-anaknya, ia wariskan tradisi dan seni para penduhulunya. Keluarga juga merupakan unit moral, yang mengajarkan pada anggotanya bahwa kerjasama dan prinsip kedisiplinan merupakan fondasi spritualitas masyrakat. Dalam situasi tertentu, peran keluarga lebih penting dari pemerintah. Ketika tidak ada lagi pemerintahan, namun bangunan keluarga masih bertahan, maka peluang tetap terjaganya keteraturan sosial masih terbuka lebar. Hancurnya bangunan keluarga, tempat di mana kedua orangtua dan anakanaknya hidup besama, telah melahirkan ragam keluarga yang baru. Munculnya model keluarga singel parents. Sejumlah permasalahan pelik, seperti tekanan mental, masalah pendidikan, dan masa depan anak-anak mereka serta krisis psikologis dan fisik yang menyertai keluarga single parent merupakan problema pokok masyarakat saat ini.
Model keluarga tradisional yang terdiri dari suami, istri dan anak telah berubah menjadi model yang lain. Kian berkembangnya keluarga tanpa bapak dan ibu, anak-anak tanpa wali, atau anak-anak yang terbiasa hidup dengan kakek dan nenek mereka, ataupun kehidupan bersama tanpa ikatan suami-istri, merupakan model lain keluarga modern yang telah menuai banyak kekhawatiran di tingkat global. Sejumlah sosiolog seperti, Simon Duncan dan Rosalind Edwards, menilai, sekarang ini tengah terjadi perubahan jangka panjang pada model keluarga dan hubungan antara lelaki dan perempuan. Tekanan ekonomi, tuntutan karier masingmasing pasangan, dan kian bebasnya hubungan di luar nikah merupakan sejumlah faktor penyebab terjadinya perubahan tersebut. Komunikasi yang terjadi antara anggota yang satu dengan yang lain berbeda, tergantung pada kepekaan tiap-tiap keluarga dan hubungan diantara anggota keluarga tersebut. Kualitas komunikasi mempunyai peran yang sangat penting dalam pengembangan hubungan interpersonal yang positif diantara anggota keluarga. Dengan kata lain, komunikasi dalam keluarga akan berjalan baik apabila didukung oleh hubungan baik diantara anggota keluarga tersebut. Komunikasi adalah proses pengalihan informasi dari satu orang atau sekelompok orang dengan menggunakan simbol-simbol tertentu kepada satu orang atau satu kelompok lain. Proses pengalihan informasi tersebut selalu mengandung pengaruh tertentu. Proses pengaruh tersebut merupakan suatu proses yang bersifat psikologis yang pada gilirannya membentuk proses sosial. (KKGI, 2011:47)
Pada hakikatnya komunikasi antar pribadi adalah komunikasi antara seseorang komunikator dengan seorang komunikan. Jenis komunikasi tersebut dianggap paling efektif untuk mengubah sikap, pendapat, atau perilaku manusi berhubung prosesnya yang dialogis. Untuk mengubah sebuah perilaku komunikasi yang terjadi haruslah bersifat terbuka dari dua arah. Masing-masing pihak haruslah ada keterbukaan antara satu dengan yang lain sehingga terjadi saling pengertian diantara keduanya. Menurut Praktiko (2005:45) menyatakan bahwa keterbukaan dalam sebuah proses komunikasi antara anak dan orang tua merupakan hal terpenting untuk menciptakan salaing pengertian diantara keduanya. Dalam keluarga-keluarga yang tingkat kepaduannya sangat rendah, sebaliknya, anggota-anggota keluarga secara fisik dan emosional terpisah, tidak terlibat, jadi ada sedikit ada hubungan.. Sedikit saja kegiatan yang yang dilakukan bersama, kegiatan keluarga menempati prioritas yang rendah, dan setiap anggota tampaknya punya jadwal kegiatan masing-masing. Ketika menulis tentang bagaimana teknologi modern mengikis kehidupan kontemper, seorang psikog melukiskan pola ini ketika menyinggung “Hubungan gelombang mikro” (Microwave relationship) dalam kehidupan keluarga pada saat rumah menjadi kurang berfungsi sebagai tempat berteduh keluarga (KKGI, 2011:17) Suatu dimensi lainnya yang penting dalam komunikasi keluarga adalah adaptasi terhadap perubahan : Meskipun ahli-ahli teori terdahulu memandang keluarga sebagai suatu sistem yang tetap seimbang dan tetap, jelas bahwa sistersister keluarga berubah. Terkadang secara tiba-tiba. Ada keluarga-keluarga yang
sulit menyesuaikan diri dengan setiap perubahan yang terjadi. Keluarga-keluarga demikian dianggap kaku; mereka hidup dengan aturan-aturan yang tidak luwes. Dalam suatu sistem yang tertutup aturan-aturan tidak manusiawi. Kebanyakan keluarga berada diantara kedua titik eksterm ini dan punya kemampuan beradaptasi yang bervariasi terhadap perubahan. Meskipun semua keluarga mengalami tekanan, cara keluarga menangani tekanan itulah yang menentukan. 2.2 Pengertian Lingkungan Keluarga Pengertian lingkungan keluarga berasal dari kata lingkungan dan keluarga. Menurut Abu Ahmadi (2003:54) mengemukakan bahwa “Orang tua adalah pemimpin di keluarga, sebagai penanggung jawab atas keselamatan anak-anaknya dan orang tua mempunyai tugas sebagai pembimbing, Pembina, pelindung, pengasuh maupun sebagai guru dan pemimpin terhadap anak-nanknya”. Dalam bentuk yang paling umum dan sederhana baik ayah maupun ibu keduanya adalah pengasuh utama dan pertama bagi sang anak dalam lingkungan keluarga, baik karena alas an biologis maupun psikologis (Aly, 2000:23). Menurut Pujosowarno (1994:11) keluarga merupakan sesuatu persetujuan hidup atas dasar perkawainan antara orang dewasa yang berlainan jenis yang hidup bersama atau seorang laki-laki, perempuan yang sudah sendirian dengan atau tanpa anak baik anaknya sendiri atau adopsi dan tinggal dalam rumah tangga. Adapun menurut Bustaman (2001:89) keluarga adalah kelompo-kelompok orang yang dipersatukan oleh ikata-ikatan perkawinan darah yang membentuk satu sama lain dan berkaitan dengan melalui peran-peran tersendiri sebagai
anggota keluarga dan pertahanan kebudayaan masyarakat yang berlaku dan menciptakan kebudayaan itu sendiri. Pengertian
lain
juga
dikemukakan
oleh
Siti
Meichati
(dalam
Pujowuwarno, 1994:54) keluarga adalah suatu ikatan sehuluan hidup atas dasar perkawinan antara orang dewasa yang berlainan jenis yang hidup bersama atau seseorang laki-laki atau perempuan yang sudah sendirian dengan atau tanpa anakanak baik anak sendiri atau adopsi yang tinggal dalam sebuah rumah tangga. Sedangkan menurut Soekanto (1992:1) keluarga meruapakan kelompok social terkecil yang terdiri dari suami,istri berserta anak-anaknya. Keluarga sebagai unit social terkecil dalam masyarakat yang meruapakan pondasi pertama bagi perkembangan anak selanjutnya. Menurut Kartono (2003:57) keluarga merupakan unit social terkecil yang memberikan pondasi primer bagi perkembangan anak. Jadi,dari pendapat para ahli di atas dapat disimpulkan keluarga merupakan kelompok social terkecil yang diikat dengan tali perkawinan yang terdiri atas ayah, ibu, dan anak. Jadi, lingkungan keluarga adalah jumlah semua benda hidup dan mati serta seluruh kondisi yang ada di dalam kelompok social kecil tersebut, yang terdiri atas aya,ibu dan anak yang mempunyai hubungan social karena adanya ikatan darah, perkawinan dan atau adopsi. 2.2.1 Lingkungan Keluarga Kaitanya dengan Perilaku Anak Lingkungan keluarga merupakan media pertama dan utama yang secara langsung atau tak langsung berpengaruh terhadap perilaku anak. Dalyono (2009:55-60) menyebutkan bahwa yang mempengaruhi suskses belajar anak dapat digolongkan menjadi dua faktor yaitu: (1) Faktor internal (yang berasal dari dalam
diri siswa) yaitu faktor fisik yang meliputi kesehatan, inteligensi, bakat, minat, motivasi, dan cara belajar, (2) Faktor eksternal yang berasal dari luar diri siswa) yaitu meliputi lingkungan keluarga, lingkungan sekolah dan lingkungan masyarakat. Slameto (2003:60) menyatakan bahwa anak akan menerima pengaruh dari keluarga berupa cara orang tua mendidik anak, relasi antara anggota keluarga, suasana rumah tangga dan keadaan ekonomi keluarga. Faktor-faktor tersebut apabila dapat menjalankan sesuai dengan fungsi dan peranannya masing-masing dengan baik,kemungkinan dapat menciptakan situasi dan kondisi yang dapat mendorong anak untuk lebih giat belajar. Pendapat
Slameto
(2003:61)
sebagai
berikut
orang
tua
kurang
memperhatikan pendidikan anaknya,mereka acuh tak acuh terhadap belajar anaknya,tidak
memperhatikan
sama
sekali
kepentingan-kepentingan
dan
kebutuhan-kebutuhan anak dalam belajar ,tidak mengatur waktu belajarnya,tidak menyediakan/melengkapi alat belajar,tidak perhatikan apakah anak belajar atau tidak,tidak mau tahu kemajuan belajar anaknya, kesulitan-kelsulitan dalam belajar dan lain-lain, dapat menyebabkan anakan tidak/kurang berhasil dalam belajarnya. Menurut Slameto (2003:54) faktor-faktor lain yang berpengaruh terhadap prestasi belajar dapat dibagi atas dua, yaitu faktor intern atau yang berasal dari dalam diri manusia dan faktor ekstern yang bersumber dari luar diri manusia. Faktor-faktor yang bersumber dari dalam diri manusia dapat diklasifikasikan menjadi dua yakni faktor biologis dan faktor psikologis. Faktor biologis meliputi usia, kematangan, dan kesehatan, sedangkan yang dapat dikategorikan sebagai
faktor psikologis adalah kelelahan, suasana hati, motivasi, minat, dan kebiasaan belajar. Faktor yang bersumber dari luar diri manusia dapat diklasifikasi menjadi dua, yakni faktor manusia (kelaurga, sekolah, masyarakat) dan faktor lingkungan fisik. Keluarga memegang peranan penting dalam menanamkan norma dan mengembangkan berbagai kebiasaan dan perilaku anak. Hal ini sesuai dengan pendapat Slameto (2003:60) anak akan menerima pengaruh dari keluarga berupa cara orang tua mendidik anak, relasi anatara anggota keluarga, suasana rumah tangga, dan ekonomi keluarga. Selain lingkungan, faktor yang mempengaruhi pretasi belajar siswa adalah fasilitias belajar. Menurut Suharsimi Arikunto (2002:82) fasilitas adalah segala sesuatu yang dapat memudahkan dan memperlancar pelaksanaan suatu usaha. Fasilitas belajar meruapakan segala sesuatu yang dapat memudahkan dan memperlancarkan belajar. Siswa yang mempunyai fasilitas belajar yang lengkap akan lebih mudah dan lebih bersemangat dalam belajar, sehingga dapat dicapaikan hasil belajar yang optimal. Berbeda denga siswa yang fasilitas belajarnya kurang, maka mereka akan mengalami kesulitan akan mengurangi semangat untuk belajar. Winarno
(2002:56)
mengemukakan
bahwa
perkembangan
anak
dipengaruhi oleh status sosial ekonomi keluarga. Menurut Goleman (2009:268318) kecerdesan emosional dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu keluarga dan pengalaman. Berdasarkan uraian diatas jadi lingkungan keluarga mempunyai pengaruh yang sangat penting dalam kehidupan anak-anak dan mempersiapkan anak-anak untuk mencapai masa depan yang baik bagi diri sendiri, lingkungan keluarga serta
orang lain. Keluargalah yang mula-mula bertanggung jawab atas pendidikan anakanak. Keluarga dapat dikatakan sebagai peletak dasar bagi pola tingkah laku serta perkembangan
pribadi
anak-anak
serta
keluarga
juga
berperan
dalam
membimbing mengawasi dan melindungi anak-anaknya juga berusaha untuk menemukan, menganalisis dan memecahkan kesulitan yang dihadapi anak dalam hidupnya. 2.2.2 Lingkungan Keluarga Sebagai Unit terkecil Dari Masyarakat Keluarga sebagai unit sosial terkecil dalam masyarakat merupakan lingkungan budaya pertama dan utama dalam rangka menanamkan norma dan mengembangkan berbagai kebiasaan dan perilaku yang dianggap penting bagi kehidupan pribadi, keluarga dan masyarakat. Pengaruh norma dalam keluarga ini terutama sangat berpengaruh terhadap seorang anak. Hal ini dikarenakan Sejak lahir, seorang anak telah mengalami proses sosialisasi. Artinya, sejak lahir seseorang melakukan proses belajar mengenai bagaimana bertindak dan berperilaku sesuai dengan nilai dan norma norma sosial yang berlaku di dalam masyarakat melalui refleksi terhadap orang lain. Dengan demikian, nilai dan norma tersebut telah menjadi bagian dari dirinya. Ia akan selalu berperilaku atau bertindak sesuai dengan nilai dan norma norma tersebut. Selain itu nilai dan norma sosial juga menjadi bagaimana pola sosialisasi akan berlangsung dalam diri seseorang.
Pada hakikatnya sosialisasi primer dalam keluarga merupakan langkah penting bagi anak dalam beradaptasi dan mempelajari nilai dan norma dalam masyarakat, karena apa yang telah dipelajari sejak kecil akan menentukan bagaimana seorang anak di masa depan maupun dalam memilih pergaulan. Manusia yang tumbuh kembang dalam kehidupan keluarga sebagai unti terkecil didalam kehidupan masyarakat, merupakan sumber daya manusia yang paling esensial bagi pembangunan bangsa, pembangunan bangsa itu sendiri bersumber dari dalam diri keluarga. Slater (Elizabeth Hurlock 1974:353) mengungkapkan tentang empat pola dasar relasi orang tua-anak yang bipolar beserta pengaruhnya terhadap kepribadian anak, yaitu : 1. tolerance-intolerance Pengaruh yang mungkin dirasakan dari adanya sikap orang tua yang penuh toleransi, memungkinkan anak untuk dapat memiliki ego yang kuat. Sebaliknya, sikap tidak toleran cenderung akan menghasilkan ego yang lemah pada diri anak. 2. permissiveness – strictness Relasi orang tua-anak yang permisif dapat membentuk menunjang proses pembentukan kontrol intelektual anak, namun sebaliknya kekerasan berdampak pada pembentukan pribadi anak yang impulsif. 3. involvement – detachment Seorang anak cenderung akan menjadi ekstrovert, manakala orang tua dapat menunjukkan sikap mau terlibat dan peduli . Sebaliknya, sikap orang
tua yang terlalu membiarkan berdampak terhadap pembentukan pribadi anak yang introvert. 4. warmth – coldness Relasi orang tua-anak yang diwarnai kehangatan memungkinkan anak memiliki kemampuan untuk dapat melibatkan diri dengan lingkungan sosialnya.
Sebaliknya,
relasi
orang
tua-anak
yang
dingin
akan
menyebabkan anak senantiasa menarik diri dari lingkungan sosialnya. Sikap dan perlakuan orang tua yang toleran, permisif, turut terlibat dan penuh kehangatan merupakan manifestasi dari penerimaan orang tua terhadap anak. Sedangkan sikap dan perlakuan orang tua yang tidak toleran, keras, membiarkan dan dingin merupakan bentuk penolakan terhadap anak. Dalam upaya memenuhi kebutuhan harga diri anak, orang tua seyogyanya dapat memberikan kesempatan kepada anak untuk belajar bertanggung jawab dan menentukan dirinya sendiri. Di sini, orang tua hanya berperan sebagai fasilitator, yang berupaya untuk memberikan kesempatan yang luas kepada anak dalam meraih harga dirinya melalui pengembangan minat dan kecakapannya. Buss (1973) mengemukakan bahwa kasih sayang orang tua yang tulus (unconditional parental love) merupakan faktor penting yang dapat membentuk inti (core) dari harga diri anak. Berbagai studi yang dilakukan menunjukkan bahwa seorang anak menjadi anti demokratis, prejudice, dan memiliki sikap permusuhan dari adanya sikap perlakuan orang tua yang keras (Hoffman, 1960; Harris, Gough & Martin, 1950; Lyle & Levitt, 1955). Studi yang dilakukan Radke (1946) menunjukkan
bahwa anak merasa sedih, kurang bahagia, dan merasa sakit dengan adanya perlakuan orang tua yang disertai hukuman fisik. Sementara itu, studi yang dilakukan Symonds (1939) menyimpulkan bahwa : “… accepted children engaged predominantly in society behaviors, whereas rejected children menifested a number unacceptable behaviors.” 2.2.3 Pengaruh Keluarga Terhadap Pendidikan Anak Di Sekolah Beriyamin S. Bloom (1976) menyatakan bahwa lingkungan keluarga dan faktor-faktor luar sekolah yang telah secara luas berpengaruh terhadap siswa. Siswa-siswa hidup di kelas pada suatu sekolah relatif singkat, sebagian besar waktunya dipergunakan siswa untuk bertempat tinggal di rumah. Keluarga telah mengajarkan anak berbahasa, kemampuan untuk belajar dari orang dewasa dan beberapa kualitas dan kebutuhan berprestasi, kebiasaan bekerja dan perhatian terhadap tugas yang merupakan dasar terhadap pekerjaan di sekolah. Dari uraian ini dapat diketahui lebih lanjut bahwa kecakapan-kecakapan dan kebiasaan di rumah merupakan dasar bagi studi anak di sekolah. Suasana keluarga yang bahagia akan mempengaruhi masa depan anak baik di sekolah maupun di masyarakat, dalam lingkungan pekerjaan maupun dalam lingkung keluarga kelak (Sikun Pribadi, 1981, p. 67). Dari kutipan ini dapat diketahui bahwa suasana dalam kelaurga dapat mempengaruhi kehidupan di sekolah. Menurut Erikson yang dikutip oleh Sikun Pribadi (1981) bahwa pendidikan dalam keluarga yang berpengaruh terhadap kehidupan anak di masa datang ditentukan oleh (1) rasa aman, (2) rasa otonomi, (3) rasa inisiatif. Rasa aman ini merupakan periode perkembangan pertama dalam perkembangan anak.
Perasaan aman ini perlu diciptakan, sehingga anak merasakan hidupnya aman dalam kehidupan keluarga. Rasa aman yang tertanam ini akan menimbulkan dari dalam diri anak suatu kepercayaan pada diri sendini. Anak yang gagal mengembangkan rasa percaya diri ini akan menimbulkan suatu kegelisahan hidup, ia merasa tidak disayangi, dan tidak mampu menyayangi. Fase perkembangan yang kedua adalah rasa otonomi (sense of autonomy) yang terjadi pada waktu anak berumur 2 sampai 3 tahun. Orang tua harus membimbing anak dengan bijaksana agar anak dapat mengembangkan kesadaran, bahwa ia adalah pribadi yang berharga, yang dapat berdiri sendiri dan dengan caranya sendiri ia dapat memecahkan persoalan yang ia hadapi. Kegagalan pembentukan rasa otonomi, suatu sikap percaya pada diri sendiri dan dapat berdiri sendiri akan menyebabkan anak selalu tergantung hidupnya pada orang lain. Setelah ia memasuki bangku sekolah ia selalu harus dikawal oleh orang tuanya. Ia selalu tidak percaya diri sendiri untuk menghadapi persoalan yang dihadapi di sekolah. Pada fase perkembangan ketiga disebut perkembangan rasa inisiatip (sense of initiative) yaitu pada umur 4 sampai 6 tahun. Anak harus dibiasakan untuk mengatasi hambatan-hambatan dalam lingkungan keluarga. Sebab dengan dibiasakan menangani masalah hidupnya maka anak akan mengembangkan inisiastipnya dan daya kreatifnya dalam rangka menghadapi tantangan hidupnya. Jika orang tua selalu membantu dan bahkan melarang anaknya untuk mengerjakan sesuatu hal maka inisiatif dan daya kreasi anak akan lemah dan akan mempengaruhi hidup anak dalam belajar di sekolah.
2.3 Konsep Tentang Siswa Bolos Sekolah Membolos itu berasal dari kata "bolos" yang artinya "hilang". Assegaf
dalam
bukunya
“Pendidikan
Tanpa
Kekerasan”,
mengatakan
perilaku membolos sekolah dimasukkan dalam kategori kekerasan dalam pendidikan karena perilaku ini merupakan pelanggaran aturan sekolah khususnya berkenaan dengan jam belajar. (http/www/bolossekolah.com/diakses tanggal 20 Oktober 2013) Membolos merupakan perilaku yang dilakukan siswa untuk tidak masuk sekolah tanpa alasan yang tidak dapat dipertanggung jawabkan, Perilaku ini manifestasi dari keenggan siswa untuk belajar karena adanya tekanan psikologis yang bervariasi antara siswa yang satu dengan siswa yang lain. Namun demikian apapun alasan dari membolos, jelas kebiasaan yang melekat pada siswa. Kartono (2008:12), ilmuwan sosiologi kenakalan remaja atau dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah juvenile delinquency merupakan gejala patologis sosial pada remaja yang disebabkan oleh satu bentuk pengabaian sosial. Akibatnya, mereka mengembangkan bentuk perilaku yang menyimpang. Perilaku menyimpan itu seperti membolos sekolah, tawuran pelajar. Menurut Sunarwiyati S (1985:4) (1) Kenakalan Biasa contoh: suka berkelahi, keluyuran, bolos sekolah dan pergi dari rumah, (2) Kenakalan Menjurus Pelanggaran contoh: mengendarai mobil tanpa SIM, mengambil barang orang tua tanpa izin
Menurut Singgih D. Gunarso (1998:19), (1) Kenakalan yang bersifat amoral dan sosial, (2) Kenakalan yang bersifat melanggar hukum, contoh: menggunakan narkoba, seks bebas, dan ugal-ugalan di jalan. Berdasarkan uraian diatas maka membolos dapat diartikan sebagai perilaku menyimpang pada siswa yang tidak masuk sekolah dengan alasan yang tidak tepat, atau membolos juga dapat dikatakan sebagai ketidakhadiran siswa tanpa adanya suatu alasan yang jelas disebabkan oleh beberapa hal, seperti kurangnya kesadaran anak akan pendidikan itu, kurangnya perhatian dari orang tua, juga dengan begitu banyak pengaruh lingkungan yang bersifat negatif. 2.4 Lingkungan Keluarga yang Mempengaruhi Perilaku Membolos Sekolah 2.4.1 Orang Tua yang Tidak Peduli Terhadap Pendidikan Sikap orang tua terhadap sekolah juga member pengaruh yang besar pada anak. Jika orang tua menganggap bahwa sekolah itu tidak penting dan hanya membuang-buang waktu saja atau juga jika mereka menanam perasaan pada anak bahwa ia tidak akan berhasil, anak ini akan berkurang semangatnya untuk masuk sekolah. Biasanya sikap orang tua yang menganggap bahwa pendidikan itu tidak penting karena mereka sendiri orang yang kurang berpendidikan. Akibatnya penghargaan terhadap pendidikan hanya dipandang sebelah mata. Bahkan mereka menuntut agar anak-anaknya bekerja untuk mencari uang. Orang tua seperti itu tidak memiliki pandangan jauh kedepan sebagai dampaknya masa depan anaklah menjadi korban.
2.4.2 Keluarga Broken Home Keluarga broken home sangat mempengaruhi perkembangan emosi, social, dan kepribadian anak. Menurut Hather Sall (dalam Prayitno 2006:960) emosi merupakan situasi psikologi yang merupakan pengalaman subjektif yang dapat dilihat dari reasksi wajah dan tubuh. Peceraian adalah suatu hal yang harus dihindarkan, agar emosi anak tidak menjadi terganggu. Perceraian adalah suatu penderitaan atau pengalaman traumatis bagi anak (Gunarso, 1998:166). Adapun
dampak
pandangan
keluarga
broken
home
terhadap
perkembangan emosi remaja menurut Madeah (1993:42) adalah penceraian orang tua membuat terpramen anak terpengaruh, pengaruh yang tampak secara jelas dalam perkembangan emosi ini membuat anak menjadi pemurung,pemalas (menjadi agresif) yang ingin mencari perhatian orang tua/ orang lain. Mencari jati diri dalam susana rumah tangga yang tumpang dan kurang serasi. Berdasarkan pendapat diatas maka disimpulkan bahwa anak yang tinggal dalam lingkungan keluarga yang broken home memiliki dampak besar terhadap kecenderungannya untuk bolos sekolah hal ini disebabkan adanya ketidaknyamanan dalam diri anak seperti, pemurung, malas dan agresif serta anak merasa ditelantarkan dan mereka mencari perhatian ditempat lain. Menurut Brim (dalam Elide Pryitno, 2006:81) tingkah laku social kelompok yang memungkinkan seseorang berpartisipasi secara efektif dalam kelompok atau masyarakat. Dampak keluarga Broken Home terhadap perkembangan social tua menyebabkan tumbbuh program infenority terhadap
kemampuan dan kedudukannnya, dia merasa rendah diri menjadi takut untuk meluarkan pergaulannya dengan teman-teman. Sedangkan Wilson Nadeeh (1993:42) (dalam http://www.geschool.net/ sumayaaljufri/blog/post/pengaruh-keluarga-broken-home-pada-anak) menyatakan bahwa : Anak sulit menyesuaikan diri dengan lingkungan. Anak yang dibesarkan dikeluarga pincang, cenderung sulit menyesuaikan diri dengan lingkunga, kesulitan itu datang secara alamiah dari diri anak tersebut. Dan dampak bagi anak perempuan menurut Hethagton (dalam Santrock 2008:20) menyatakan bahwa anak perempuan yang tidak mempunyai ayah berperilaku dengan salah satu cara yang ekstrim terhadap anak laki-laki, mereka sangat menarik diri pasif dan minder kemungkinan yang kedua terlalu aktif, agresif dan genit. Perceraian
ternyata
memberikan
dampak
kurang
baik
terhadap
perkembangan kepribadian anak. Menurut Westima dan Haller (dalam Yusuf 2004:99) Yaitu bahwa remaja yang orang tuanya bercerai cenderung menunjukkan cirri-ciri: (a) berperilaku nakal, (b) mengalami depresi, (c) melakukan
hubungan seksual secara aktif, (d) Kecenderung pada obat-obat
terlarang. Satiadarma (2001:121) keluarga merupakan tempat pertama bagi anak untuk belajar berinteraksi social. Maslow (dalam Yusuf, 2001:38) tahap perkembangan psikologi dalam kehidupan seseorang individu dan itu semua bergantung pengalaman dalam keluarga”. Jadi dari keluargalah semua itu berasal, kalau anak perkembangan anaknya akan mengarah kearah yang baik atau
sebaiknya, menurut Kartono (2003:57) keluarga merupakan unit social terkecil yang memberikan fondasi primer bagi perkembangan anak. Berdasarkan uraian diatas maka disimpulkan bahwa keluarga sangat berpengaruh pada perkembangan kepribadian anak utamanya perilaku membolos karena keluarga yang tidak harmonis menyebabkan stress dalam diri anak sehingga anak merasa tidak nyaman dan kurang bahagia, bahkan anak mencari perhatian ditempat lain. 2.4.3 Pola Asuh Yang Membeda-bedakan Anak. Rumah yang damai adalah jika didalamnya tidak ada intri-intri yang ditimbulkan oleh perbedaan perlakuaan (Surbakti, 2008:87) ada orang tua yang beranggapan bahwa pendidikan bagi anak laki-laki lebih penting dari pada anak perempua. Anak laki-lakilah yang menjadi tumpuan dan kebanggaan keluarga, sementara anak perempuan pada akhinya akan kawin dan hanya mengurusi masalah dapur,sehingga tidak memerlukan pendidian yang telalu tinggi,sehingga akibatnya pada anak tersebut ialah ia menjadi malas untuk masuk sekolah. Menurut Singgih D. Gunarsa (2003), berdasarkan gaya orang tua membedakan tiga cara yaitu (1) cara otoriter, (2) cara bebas, (3) cara demokrasi, (Singgih D Gunarsa dan Ny. Y. Singgih D. Gunarsa, 2003, p. 82-84). Pola asuh yang otoriter akan terjadi komunikasi atu dimensi atau satu arah. Orang tua menentukan aturan-aturan dan mengadakan pembatasan-pembatasan terhadap perilaku anak yang boleh dan tidak boleh dilaksanakannya. Anak harus tunduk dan patuh terhadap orang tuanya, anak tidak dapat mempunyai pilihan lain. Orang tua memerintah dan memaksa tanpa kompromi. Anak melakukan perintah orang
tua karena takut, bukan karena suatu kesadaran bahwa apa yang dikerjakan itu akan bermanfaat bagi kehidupannya kelak. Orang tua memberikan tugas dan menentukan berbagai aturan tanpa memperhitungkan keadaan anak, keinginan anak, keadaan khusus yang melekat pada individu anak yang berbeda-beda antara anak yang satu dengan yang lain. Perintah yang diberikan berorientasi pada sikap keras orang tua, sikap keras merupakan suatu keharusan bagi orang tua. Sebab tanpa sikao keras ini anak tidak akan melaksanakan tugas dan kewajibannya. Pola asuh bebas : berorientasi bahwa anak itu makhluk hidup yang berpribadi bebas. Anak adalah subiek yang dapat bertindak dan berbuat menurut hati nuraninya. Seorang anak yang lapar, ia harus memasukan nasi ke dalam mulutnya sendiri, mengunyah sendiri dan menelan sendini. Tidak mungkin orang tua yang mengunyah dan memasukkan makanan ke dalam perut anaknya. Orang tua membiarkan anaknya mencari dan menemukan sendiri apa yang diperlukan untuk hidupnya. Anak telah terbiasa mengatur dan menentukan sendiri apa yang dianggap baik. Orang tua sering mempercayakan anaknya kepada orang lain, sebab orang tua terlalu sibuk dalam pekerjaan, organisasi sosial dan sebagainya. Orang tua hanya bertindak sebagai polisi yang mengawasi permainan menegur dan mungkin memarahi. Orang tua kurang bergaul dengan anak-anaknva, hubungan tidak akrab dan anak harus tahu sendini tugas apa yang harus dikerjakan. Jika perhatikan dua pola asuh tersebut di atas kita dapat mengetahui bahwa pola otoriter memandang anak tidak ada pilihan lain, kecuali mengikuti perintah dan orang tua. Pada pola yang kedua anak dipandang sebagal subjek yang
diperbolehkan berbuat menurut pilihannya sendiri. Segala tugas diserahkan sepenuhnya pada anak. Dua pola ini memang memiliki kelebihan dan kekurangan. Pola asuh memang memiliki kelebihan dan kekurangan. Pola asuh otoriter memang memungkinkan terlaksananya proses transformasi nilai dapat berjalan lancar. Akan tetapi anak mengerjakan tugas dengan rasa tertekan dan takut. Akibatnya jika orang tua tidak ada mereka akan bertindak yang lain. Dia akan melakukan hal-hal yang menyimpang dari aturan yang telah ditetapkan. Pola asuh bebas memang memandang anak sebagai subyek, anak bebas menentukan pilihannya sendiri. Akan tetápi anak justru menjadi berbuat semau-maunya; ia berbuat dengan mempergunakan ukuran diri sendiri. Pada hal anak berada dalam dunia anak dan dia harus masuk pada dunia nilai dan dunia anak. Oleh karena itu anak akan kebingungan ibarat anak ayam yang ditinggalkan induknya. Akhirnya anak akan lari ke sana-kemari tanpa arah. Dalam dua kondisi tersebut di atas tidak akan terjadi pola asuh yang bersifat bineka antara orang tua dan anak. Relasi antara orang tua dan anak tampak renggang pada pola asuh bebas dan ada batas yang kuat serta jurang pemisah antara anak dan orang tua pada pola asuh yang otoriter. Pola asuh domokratis : Pola asuh ini berpijak pada dua kenyataan bahwa anak adalah subjek yang bebas dan anak sebagal makhluk yang masih lemah dan butuh bantuan untuk mengembangkan diri. Manusia sebagai subjek harus dipandang
sebagal
pribadi.
Anak
sebagai
pribadi
yang
masih
perlu
mempribadikan dirinya, dan terbuka untuk dipribadikan. Proses pempribadian anak akan berjalan dengan lancar jika cinta kasih selalu tersirat dan tersurat dalam
proses itu. Dalam suasana yang diliputi oleh rasa cinta kasih ini akan menimbulkan pertemuan sahabat karib, dalam pertemuan dua saudara. Dalam pertemuan itu dua pdbadi bersatu padu. Dalam pertemuan yang bersatu padu akan timbul suasana keterbukaan. Dalam suasana yang demikian ini maka akan terjadi pertumbuhan dan pengembangan bakat-bakat anak yang dimiliki oleh anak dengan subur 2.4.4 Ekonomi Keluarga Pendapatan orang tua dipengaruhi oleh tingkat pendidikan yang dimiliki. Dengan pendidikan yang tinggi mereka akan dapat memperoleh kesempatan yang lebih luas untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih baik disertai pendapatan yang lebih besar. Sedangkan bagi penduduk yang berpendidikan rendah akan mendapat pekerjaan dengan pendapatan yang kecil. Salah satu pengaruh yang timbulkan oleh kondisi ekonomi seperti ini adalah orang tidak sanggup menyekolahkan anaknya pada jenjang yang lebih tinggi,akibatnya anak harus membantu orang tua mencari
nafkah.
(http/www/ekonomi
keluarga.com/diakses
tanggal
21
Oktober2013) Berdasarkan uraian diatas maka orang tua sibuk bekerja dan permasalahan ekonomi sangat dominan menjadi penyebab anak bolos sekolah. 2.4.5 Faktor Motivasi Belajar Orang Tua yang tidak ada. Sistem persekolahan kita dan juga banyak kehidupan rumah tangga sering ditandai oleh ambisi mewujudkan prestasi belajar anak yang optimal. Ini adalah suatu pertanda yang baik. Hanya seringkali caranya yang kurang baik. Orang tua dan guru yang memahami fungsi otak dan ciri serta kerja dua belahan otak kiri
dan kanan,tidak akan membenahi peserta didik dengan tumpukan pengetahuan. Hal ini dikarenakan,mengutamakan beberapa triliun informasi untuk diketahui, dihafalkan, dan dipelajari tanpa terlalu memperdulikan cara bagaimana informasi itu sampai kepada anak, bukanlah cara yang tepat untuk meraih prestasi belajar. Belajar konsep, fakta dan prinsip sangat tergantung pada apa yang diajarkan. Biasanya dikelola oleh fungsi otak sebelah kiri. Namun belajar segumpal informasi tanpa menghayati maknanya dan penghayatan makna ini hanya dapat diperoleh bila dipahami konteks dan keseluruhannya, tidak meningkatkan motivasi belajar, bahkan mengurangi sikap untuk belajar lebih baik lagi yang akhirnya menghasilkan sasaran buntu. Oleh karena itu penting bagi orang tua dan lingkungan rumah tangga memaklumi bahwa motivasi itu dapat ditingkatkan bila pengembangan dan penguasaan konsep melalui cara belajar yang wajar akan diperoleh bila ada kemungkinan seluas mungkin untuk menemukan sendiri arti berbagai fakta dan prinsip ilmu tersebut dengan melatih mengelola perolehnya. Suatu lingkungan keluarga baru akan dapat dikatakan berusaha memenuhi tuntutan motivasi belajar bila ia dapat dikatakan berusaha memenuhi tuntutan motivasi belajar bila ia dapat mengusaha suatu suasana dan sarana belajar yang memberikan
kesempatan
kepada
peserta
untuk
secara
spontan
dapat
memperhatikan dan menyatakan diri terhadap berbagai kejadian di dalam lingkungannya. Peran orang tua dalam pendidikan keluarga adalah menumbuhkan suasana
kondusif
untuk
tumbuh
kembang anak atas kebebasannya.
Mewujudkan sosialisasi mencapai kemandirian. Bila orang tua berupaya menjadi anak sesuai apa yang dipersyaratkan dengan sengaja, seringkali, apalagi, pada masa puberitas, anak berbuat sebaliknya. Ini karena anak merupakan invidu yang ingin menjadi dirinya sendiri. Oleh karena itu orang tua dalam strateginya harus tidak terlalu menonjolkan kemauannya, tetapi merencanakan hal yang
ingin
dicapai. 2.4.6 Faktor Orang Tua yang Tidak Ada Waktu Untuk Anak-Anaknya. Orangtua adalah orang yang pertama dan paling utama dalam proses pembentukan kepribadian seorang anak. Orang tua menentukan kemana anak itu akan dibawa. Anak masih sangat menggantungkan diri, meminta isi, bekal, cara berpikir dan bertindak dari orang tuanya. Dalam beralihnya masyarakat kitta dari peradaban secara agraris dalam pertumbuhan ke peradaban yang cepat. Hal ini diakibatkan karena peningkatan IPTEK mempunyai dampak terhadap seluruh dimensi kehidupan. Oleh karena itu, dalam era industry dan informatika ketepatan waktu adalah condition sine qua non, karena berbagai kesibukan sehubungan dengan tugas diluar rumah, masalah waktu menjadi pesoalan tersendiri. Lalu lintas macet, rapat yang berkepanjangan, kecepatan kehidupan teknologi modern, kecenderungan mengukur sukses seorang dengan meningkatnya penhasilan sehingga sibuk sekali sepanjang hari, dan keterkaitan kegiatan tertentu dengan hal yang lain, menjadi saling berinteraks, bahkan untuk dalam arti fisik bersama anak. Mereka hidup bersama tanpa banyak mengetahui tempat sang mitra berada dan apa yang dikerjanya.
Untuk memenuhi kebutuhan keluarga, orang tua tentu harus bekerja. Bahkan tidak jarang seorang anak yang memiliki ayah dan ibu yang berkarir. Namun bila orang tua terlalu sibuk, dan biasanya sibuk dalam bekerja, juga bisa membawa dampak negative juga bagi sang anak, Anak yang memiliki orang tua seperti ini biasanya cenderung “ haus kasih sayang “. Karena kurang mendapatkan kasih sayang, sang anak biasanya cenderung mudah percaya dengan orang lain dan apalagi sudah percayya sekali dengan orang tersebut. Biasanya anak seperti ini lebih berbahaya saat usianya mulai menginjak remaja. Banyak orang tua yang dua-duanya berkarier sehingga mereka sibuk dengan usahanya sampai kadang-kadang mereka lupa akan kewajiban sebagai orang tua. Si anak sering merasa kurang perhatian dan kasih sayang dari orang tuanya tersebut. Banyak keluarga menjadi tidak harmonis akibat orang tua yang terlalu sibuk mengurusi pekerjaan dan melalaikan tugasnya sebagai orangtua. Banyak anak menjadi menggantungkan dirinya kepada oranglain yang dianggapnya bisa memberikan kasih sayang dan hingga si anak pergi dari rumah guna melampiaskan kekesalannya karena kurangnya perhatian dan kasih sayang orang tua yang terlalu sibuk, keadaan ini sangat mempengaruhi kepribadian sang anak utamanya dalam hal psikologi anak. Menurut George Kelly (2005), menyatakan bahwa kepribadian sebagai cara yang unik dari individu dalam mengartikan pengalaman – pengalaman hidupnya. Menurut Gordon Allport (2005), menyatakan bahwa kepribadian merupakan suatu organisasi yang dinamis dari system psikofisik individu yang menentukan tingkah laku dan pemikiran individu secara khas.
Menurut Sigmund freud (2005), menyatakan bawa kepribadian merupakan suatu struktur yang terdiri dari tiga system, yakni id,ego, dan super ego,sedangkan tingkah laku lain merupakan hasil dari konflik dan rekonsiliasi ketiga unsure dalam system kepribadin tersebut. Menurut browner (2005), menyatakan bahwa keperibadian adalah corak tingkah laku social, corak ketakutan, dorongan dan keinginan, corak gerak-gerik, opini, dan sikap. Dari beberapa pendapat tersebut maka dapat disimpulkan bahwa kepribadian adalah suatu totalitas psikhophisis yang kompleks dari individu sehingga Nampak di dalam tingkah laku anak yang negative. Dampak negative tersebut di antaranya: (1) Anak akan lebih senang berada di luar rumah dan merasa tidak betah di rumah Karena kesepian , (2) Anak lebih sering melawan orang tuanya untuk melampias kekesalan hatinya, (3) Anak sering berkelahi dengan teman, (4) Melakukan perbuatan seksual, (5) menyalahgunakan narkotika.
2.4 Rumusan Hipotesis Berdasarkan kajian teoretis, maka hipotesis yang diajukan adalah “Lingkungan keluarga berpengaruh terhadap kecenderungan siswa bolos sekolah di Kelurahan Bugis Kecamatan Dumbo Raya Kota Gorontalo.