BAB II KAJIAN TEORITIS DAN HIPOTESIS TINDAKAN 2.1
Kajian Teoritis
2.1.1 Pengajaran Bahasa Indonesia di Sekolah Dasar Sejak lama telah diketahui bahwa tujuan pengajaran bahasa Indonesia di sekolah-sekolah agar para siswa mampu menggunakan bahasa Indonesia untuk berkomunikasi. Oleh karena itu, pembelajaran bahasa Indonesia diarahkan untuk meningkatkan kemampuan siswa dalam berkomunikasi dengan bahasa Indonesia baik lisan maupun tertulis (Depdiknas, 2004:11). Hal ini terkait dengan fungsi utama bahasa sebagai alat untuk berkomunikasi. Dengan demikian, setiap warga negara dituntut untuk terampil berbahasa. Bila setiap warga negara sudah terampil berbahasa,
komunikasi
antarwarga
pun
akan
berlangsung
dengan
baik.
Ilmu bahasa seperti layaknya ilmu pengetahuan lainnya, merupakan ilmu yang memiliki disiplin tersendiri dan diajarkan di sekolah-sekolah. Pengajaran bahasa secara umum dilaksanakan disekolah-sekolah berkaitan dengan empat kemampuan berbahasa. Dalam pengajaran, keempat kemampuan berbahasa itu berhubungan erat satu sama lain. Keempat kemampuan itu meliputi: kemampuan menyimak, berbicara, membaca, dan menulis. Standar kompetensi mata pelajaran Bahasa Indonesia untuk SD (Sekolah Dasar) dan MI (Madrasah Ibtidaiyah) yang terkait dengan kemampuan berbicara yaitu mengungkapkan gagasan dan perasaan, menyampaikan sambutan, berdialog, menyampaikan pesan, mendeskripsikan, dan bermain peran (Depdiknas, 2004:32). Adapun materi berbicara yang terdapat dalam Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) di antaranya, yaitu: a) Menyapa orang b)Memperkenalkan diri, c) Menjelaskan isi gambar, d) Menceritakan pengalaman, e) Mendeskripsikan benda; tumbuhan; binatang; tempat, f) 8
Melakukan percakapan sederhana, g) Bertanya, h) Melakukan percakapan melalui telepon, i) Menjelaskan urutan, j) Menjelaskan petunjuk, k) Menceritakan kembali isi dongeng Di muka telah diuraikan bahwa fungsi bahasa yang utama adalah sebagai alat untuk berkomunikasi. Untuk itu, pembelajaran bahasa Indonesia diarahkan agar siswa mampu berkomunikasi. Siswa dilatih lebih banyak menggunakan bahasa untuk berkomunikasi, bukan dituntut lebih banyak untuk menguasai pengetahuan tentang bahasa. Standar kompetensi mata pelajaran bahasa Indonesia ini merupakan kerangka tentang standar kompetensi mata pelajaran bahasa Indonesia yang harus diketahui, dilakukan, dan dimahirkan oleh siswa pada setiap tingkatan (Depdiknas, 2003). Kerangka ini disajikan dalam lima komponen utama, yaitu (1) standar kompetensi, (2) kompetensi dasar, (3) hasil belajar, (4) indikator, dan (5) materi pokok. Standar kompetensi mencakup aspek mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis. Aspek-aspek tersebut dalam pembelajarannya dilaksanakan secara integratif. Integratif artinya bersifat memadukan. Dalam kaitannya dengan pendekatan pengajaran bahasa Indonesia, keterapaduan itu sangat penting. Dalam GBPP kurikulum 2004 dinyatakan bahwa pembelajaran berbahasa yang mencakup aspek mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis sebaiknya mendapat porsi yang seimbang dan dilaksanakan secara terpadu (Depdiknas, 2004:13). 2.1.2 Pengertian Berbicara Berbicara merupakan kegiatan berbahasa lisan yang dilakukan oleh manusia. Berbicara adalah kemampuan mengucapkan bunyi-bunyi artikulasi atau kata-kata untuk mengekspresikan pikiran, gagasan, dan perasaan. Pendapat yang hampir sama juga dikemukakan oleh (Trisuyoto,2003), bahwa berbicara atau bertutur adalah perbuatan menghasilkan bahasa untuk berkomunikasi sebagai salah satu keterampilan dasar dalam berbahasa. Berbicara adalah proses
berpikir dan bernalar. Pembelajaran berbicara dimaksudkan untuk meningkatkan kemampuan berpikir dan bernalar. Pendapat lain mengemukakan, “Berbicara adalah kemampuan memproduksi arus sistem bunyi artikulasi untuk menyampaikan kehendak, kebutuhan, perasaan, dan keinginan pada orang lain” (Carolina, 2001:18). Bukian (2004:15) menyatakan, “Berbicara adalah peristiwa atau proses penyampaian gagasan secara lisan.” Berdasarkan pendapat yang disampaikan oleh para ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa berbicara adalah salah satu kemampuan berbahasa yang bersifat ekspresif dan produktif lisan. Dikatakan produktif karena orang yang berbicara (pewicara) dituntut untuk menghasilkan paparan secara lisan yang merupakan cermin dari gagasan, perasaan, dan pikiran yang disampaikan kepada orang lain.
2.1.3 Ciri-ciri Berbicara Kegiatan berbicara (wicara) mempunyai ciri-ciri tertentu yang tidak sama dengan kegiatan berbahasa yang lain. Ciri-ciri tersebut, seperti yang dikemukakan oleh Mas’ud (2005:62-64), yaitu: (1) ciri-ciri manusia dalam berbicara, (2) ciri-ciri konvensional dalam berbicara, (3) ciri-ciri prosedural dalam berbicara, (4) c iri-ciri vitalitas dalam berbicara, dan (5) ciri-ciri penalaran dalam berbicara. (1) Ciri-ciri manusia dalam berbicara Yang dimaksud dengan ciri-ciri manusia dalam berbicara adalah keterlibatan unsur atau sifat yang hanya dimiliki manusia, baik berupa rasa cinta, perhatian maupun persahabatan (Suparno, 2002). Tiga unsur yang terdapat dalam ciri-ciri manusia meliputi, 1) Perhatian, 2)
Keramah-tamahan, 3) Rasa cinta yang akan melahirkan sifat keterbukaan, kerendahan hati, dan sifat sopan santun. Perhatian merupakan perwujudan rasa cinta yang tercermin dalam perilaku pembicara yang berusaha memahami minat, situasi, kondisi maupun responssi pendengar serta berusaha menyesuaikan diri dengannya (Trisuyoto, 2003). Ramah tamah merupakan perwujudan sifat pembicara terhadap pendengar dengan penampilan yang ramah. (2) Ciri-ciri konvensional dalam berbicara Ciri-ciri konvensional dalam berbicara yaitu pembicara menggunakan bunyi-bunyi ujaran lingual dan lisan sebagai alatnya untuk menyampaikan gagasan dengan diperkaya aspek gerak dan mimik, baik dalam berkomunikasi searah maupun dua arah. Unsur-unsur konvensional dalam berbicara, yaitu : 1) Alat ucapan, 2) Pita suara, 3) Saluran pernapasan, 4) Arus udara yang keluar masuk, dan 5) Tubuh dengan segala unsurnya yang berfungsi dalam kegiatan berbicara. (3) Ciri-ciri prosedural dalam berbicara Ciri prosedural sebagai salah satu ciri berbicara adalah tahapan kegiatan yang merupakan persiapan seorang sebagai calon pembicara untuk melaksanakan kegiatan berbicara. Unsur-unsur dalam kegiatan berbicara sebagai salah satu tahapan dalam kegiatan berbicara meliputi : 1) Perumusan atau perencanaan tujuan dengan memperhatikan beberapa faktor, 2) Pemilihan dan penentuan bahan pembicaraan yang sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan, 3) Pemaparan atau penguraian bahan yang telah ditetapkan secara langkap dan utuh, 4) Penentuan garis besar isi gagasan yang akan disampaikan, dan 5) Penyusunan bahan pembicaraan yang akan disampaikan pada saat mengawali dan mengakhiri bahan pembicaraan. (4) Ciri-ciri vitalitas dalam berbicara
Vitalitas adalah semangat seseorang pembicara dalam menyampaikan suatu gagasan sebagai salah satu kekuatan yang tumbuh dari suatu keterlibatan pembicara dengan gagasan yang ditampilkan maupun pendangannya serta dari kedalaman emosi pembicara itu sendiri sehingga dapat lebih menarik minat pendengarnya. Unsur-unsur yang membangkitkan vitalitas pembicara meliputi : 1) Keterlibatan seseorang pembicara dengan gagasan yang disampaikan, 2) Keterlibatan pembicara dengan pendengar, 3) Pengaturan dan penguasaan emosi yang baik, 4) Kekuatan dan kedalaman emosi pembicara, 5) Kemauan atau karsa, 6) Keikhlasan, dan 7) Sikap positif pembicara terhadap kehidupan dan kemanusiaan. Vitalitas ini akan memberikan peranan yang sangat besar dalam proses berbicara. (5) Ciri-ciri penalaran dalam berbicara Penalaran dalam berbicara adalah bentuk proses penjelasan suatu gagasan kepada pendengar, baik melalui kemampuan emosional maupun intelektual sesuai dengan tingkat kemampuan pendengarnya (Goleman, 2000). Bentuk penalaran dalam berbicara meliputi : 1) Bentuk deduktif, yaitu penalaran yang berangkat dari suatu penalaran yang bersifat umum menuju ke penalaran yang khusus, 2) Penalaran bentuk induktif, yaitu penalaran yang berangkat dari penalaran yang bersifat khusus ke penalaran yang bersifat umum, 3) Klasifikasi penghubung, yaitu penalaran yang dilaksanakan dengan cara memilah-milahkah kenyataan atau konsep dan berusaha menghubungkan antara yang satu dengan yang lainnya, sehingga dapat menumbuhkan konsep atau gagasan yang baru, 4) Jalinan sebab akibat, yaitu model penalaran yakni pembicara menjelaskan suatu gagasan secara runtut berdasarkan hubungan sebab akibat, 5) Analisis perbandingan, yaitu bentuk proses penilaian yang berusaha membandingkan dua fakta yang bersifat kontradiktif, mengembangkan ciri-cirinya dan membentuk gagasan, konsep atau simpulan (Mas’ud, 2005:62-64).
2.1.4 Tujuan Berbicara Tujuan utama berbicara adalah untuk berkomunikasi (Tarigan, 1990:15). Agar dapat menyampaikan pikiran secara efektif, pembicara harus memahami makna segala sesuatu yang ingin dikomunikasikannya; dia harus mampu mengevaluasi efek dari komunikasinya terhadap para pendengarnya; dan dia harus mengetahui prinsip-prinsip yang mendasari segala situasi pembicaraan, baik secara umum maupun perorangan. Pada dasarnya, berbicara mempunyai tiga maksud umum, yaitu : 1) Memberitahukan, melaporkan (to inform), 2) Menjamu, menghibur (to entertain), membujuk, mengajak, mendesak, dan meyakinkan (to persuade). Gabungan dari maksud-maksud itu pun mungkin saja terjadi. Dalam hal ini Mas’ud, 2005:65 mengemukakan bahwa suatu pembicaraan mungkin saja merupakan gabungan dari melaporkan dan menjamu. Begitu pula, mungkin saja sekaligus menghibur dan meyakinkan. Menurut Mas’ud, (2005:65) manusia melakukan wicara dengan tujuan, yaitu : 1) Bersifat primer dan 2) Bersifat sekunder. Tujuan yang bersifat sekunder dibedakan menjadi dua berdasarkan sudut pandangan yang berbeda: (a) sudut pandang psikologi, dan (b) sudut pandangan perspektif. Sedangkan tujuan primer adalah (a) menyampaikan pikiran, perasaan, pengalaman kepada orang lain, (b) memengaruhi orang lain, dan (c) sekadar mengekspresikan perasaannya yang bersifat individual. Berdasarkan sudut pandangan psikologis, dengan berbicara seseorang dapat memperoleh dukungan (gaining acceptace), dan dapat menyesuaikan diri dalam masyarakat (adjusting to society). Sementara tujuan sekunder dari sudut pandang perspektif yang lebih luas tampak bahwa
dengan berbicara manusia (a) dapat mentransmisikan nilai-nilai kultural, (b) memelihara kohesi sosial, (c) mengestafetkan suatu generasi ke generasi lain, dan sebagainya. 2.1.5 Karakteristik Berbicara Mas’ud (2005:66-68) mengatakan bahwa berbicara memiliki ciri khas yang tidak dimiliki oleh bentuk-bentuk komunikasi yang lain. 1. Berbicara bersifat purposif Dengan pemahaman yang baik tentang karakteristik ini, pembicara diharapkan tahu pasti bahwa bercerita dilakukan seseorang dengan tujuan tertentu, misalnya (a) memberi tahu, (b) meyakinkan orang lain, (c) memengaruhi orang lain, (d) menghibur, (e) memberikan inspirasi, (f) mendamaikan atau melerai, dan sebagainya. 2. Berbicara bersifat interaktif Pembicara sadar bahwa berbicara dilakukan karana ingin berhubungan dengan orang lain. Kita tiak perlu berbicara bila tidak ada lawan bicara (reicever). 3. Berbicara bersifat fana Berbicara memiliki sifat mudah berubah, cepat berlalu dan hilang. Sekali kata-kata yang mengandung pesan tertentu diucapkan, sekali itu pula ia berlalu. Berbicara secara alami tidak bisa didengar ulang. Ini berarti bahwa pada detik pesan disampaikan dengan simbol-simbol fonetis, pada detik itu pula pendengar harus memahaminya. Hal ini menyarankan kepada pembicara agar memaksimalkan kecerdasannya alam berbicara, mulai dari persiapan hingga pelaksanaannya. Kecermatan dan ketepatan sangat diperlukan mulai dari ucapan, pemilihan kata, penyusunan kelompok kata, struktur kalimat, paraton sampai dengan persendian, tekanan, dan intonasinya. 4. Berbicara selalu terjadi pada bingkai tertentu
Berbicara tidak pernah terjadi dalam kevakuman. Berbicara selalu terjadi dalam tempat, waktu, situasi, dan kondisi tertentu. Berbicara yang efektif memperhitungkan and menyesuaikan diri dengan waktu, tempat, situasi, dan kondisi. Tipe dan tindak komunikasinya sangat ditentukan oleh keempat faktor tersebut. 5. Berbicara diwarnai perbendaharaan pengalaman Pengalaman membuktikan bahwa kita sering mengalami kesulitan melakukan komunikasi berbicara dengan orang yang memiliki latar pengalaman yang berbeda. Sebuah kata yang sama bisa ditafsirkan berbeda oleh kedua belah pihak yang sedang berkomunikasi karana mereka memiliki latar pengalaman dan kehidupan yang berbeda (Slamet. 2003). 6. Berbicara alpa tanda baca Dalam komunikasi tertulis, pemahaman dapat dibantu dengan penggunaan tanda baca, penggunaan huruf kapital, dan indentasi. Dalam komunikasi berbicara, hal itu tidak didapatkan. Oleh karena itu, ketepatan dan kejelasan ucapan, persendian, intonasi, dan gerak-gerik fisik merupakan faktor penting dalam rangka memahami pesan yang disampaikan. 7. Berbicara memiliki kosakata yang lebih terbatas dan distingtif Pada umumnya, orang lebih banyak menangkap kosakata dari apa yang dibaca daripada yang didengarkan. Menyadari keadaan seperti ini, pembicara cenderung menyederhanakan kosakata yang dipakainya, baik secara kualitas maupun kuantitas. 2.1.6 Metode Simulasi dalam Meningkatkan Aktivitas Belajar dan Hasil Belajar Siswa Pada hakikatnya, pembelajaran bahasa Indonesia diarahkan untuk meningkatkan kemampuan siswa dalam berkomunikasi dengan bahasa Indonesia, baik lisan maupun tulisan (Depdiknas, 2003:11). Hal itu dapat dirujuk dari fungsi bahasa itu sendiri sebagai alat untuk berkomunikasi. Dalam kurikulum (baik di SD, SMP, maupun SMA), bahasa Indonesia
mendapatkan alokasi waktu mengajar tiga kali dalam seminggu. Hal ini tidak lepas dari kompleksnya materi bahasa Indonesia yang meliputi kemampuan berbahasa (menyimak, membaca, berbicara, dan menulis), apresiasi sastra, serta komponen kebahasaan yang lain. Kemampuan maupun pengetahuan bahasa ini menuntut penguasaan siswa. Kompleksnya materi serta banyaknya alokasi waktu mengajar menyebabkan motivasi siswa menurun. Rendahnya motivasi siswa dengan sendirinya akan berpengaruh terhadap aktivitas dan hasil belajar siswa. Kondisi ini terbukti dari data hasil observasi awal bahwa prestasi belajar siswa pada semester ganjil tahun ajaran 2005/2006 diperoleh bahwa nilai rata-rata kelas untuk kemampuan berbicara siswa adalah 65. Kondisi ini makin diperburuk oleh adanya anggapan bahwa bahasa Indonesia adalah bahasa sendiri, sehingga tidak terlalu penting untuk dipelajari. Penerapan metode simulasi dapat menjadi solusi untuk meningkatkan hasil dan aktivitas belajar siswa dalam pembelajaran bahasa Indonesia yang berkaitan dengan kemampuan berbicara. Metode simulasi esensinya adalah suatu bentuk rekreasi yang memberikan kesenangan. Metode ini dapat memberikan pengalaman yang menarik bagi siswa dalam memahami konsep, menguatkan konsep yang dipahami, atau memecahkan masalah. Unsur-unsur yang merupakan daya kreativitas akan muncul ketika anak bermain. Hal ini akan menimbulkan motivasi dan keinginan untuk bekerja dengan baik, sehingga akan terjadi proses belajar sampai menghasilkan produk. Belajar dan bermain memberikan kesempatan kepada anak untuk memanipulasi, mengulang-ulang, menemukan sendiri, bereksplorasi, mempraktekkan, dan mendapatkan bermacam-macam konsep serta pengertian yang tidak terhitung banyaknya. Metode yang akan diterapkan dalam penelitian ini adalah simulasi. Metode simulasi merupakan sebuah metode pembelajaran yang memperhatikan pengetahuan awal siswa yang diperoleh dalam kehidupan sehari-hari. Dalam permainan ini, siswa yang terlibat memiliki
peranan masing-masing dan berinteraksi dengan siswa yang lainnya. Metode pembelajaran simulasi merupakan metode yang tepat dipergunakan untuk melatih sekaligus meningkatkan kemampuan berbicara siswa, karena metode ini dapat menyesuaikan permasalahan dengan pengetahuan yang diperoleh siswa dalam kehidupan sehari-hari (Syaefudin, 2005). 2.1.7 Pengertian metode simulasi Kata simulasi beasal dari kata bahasa Inggris yaitu simulation yang berarti pekerjaan tiruan/menirukan. Sementara menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI, 2002:1068) bahwa metode simulasi adalah metode belajar mengajar dengan cara menirukan situasi tiruan untuk memahami konsep, prinsip atau kemampuan tertentu. Metode ini digunakan sebagai asumsi bahwa tidak semua proses pembelajaran bisa dilakukan secara langsung pada obyek yang sebenarnya. Menurut Pusat Bahasa Depdiknas (2003) simulasi adalah satu metode pelatihan yang memperagakan sesuatu dalam bentuk tiruan (imakan) yang mirip dengan keadaan yang sesungguhnya; simulasi: penggambaran suatu sistem atau proses dengan peragaan memakai model statistic atau pemeran. Menurut Syaefudin (2005: 129) simulasi adalah sebuah replikasi atau visualisasi dari perilaku sebuah sistem, misalnya sebuah perencanaan pendidikan, yang berjalan pada kurun waktu yang tertentu. Jadi dapat dikatakan bahwa simulasi itu adalah sebuah model yang berisi seperangkat variabel yang menampilkan ciri utama dari sistem kehidupan yang sebenarnya. Simulasi memungkinkan keputusan-keputusan yang menentukan bagaimana ciri-ciri utama itu bisa dimodifikasi secara nyata. Sri Anitah, W. dkk (2007: 5.22) metode simulasi merupakan salah satu metode pembelajaran yang dapat digunakan dalam pembelajaran kelompok. Proses pembelajaran yang menggunakan metode simulasi cenderung objeknya bukan benda atau kegiatan yang sebenarnya, melainkan kegiatan mengajar yang bersifat pura-pura. Kegiatan simulasi dapat dilakukan oleh siswa pada kelas tinggi di sekolah dasar.
Dalam pembelajaran yang menggunakan metode simulasi, siswa dibina kemampuannya berkaitan dengan keterampilan berinteraksi dan berkomunikasi dalam kelompok. Di samping itu, dalam metode simulasi siswa diajak untuk dapat bermain peran beberapa perilaku yang dianggap sesuai dengan tujuan pembelajaran.
a.
Karakteristik Metode Simulasi Sri Anitah, W. dkk (2007: 5.23) memaparkan tentang karakteristik metode simulasi sebagai berikut:
Banyak digunakan pada pembelajaran PKn, IPS, pendidikan agama dan pendidikan apresiasi,
Pembinaan kemampuan bekerja sama, komunikasi, dan interaksi merupakan bagian dari keterampilan yang akan dihasilkan melalui pembelajaran simulasi,
Metode ini menuntut lebih banyak aktivitas siswa,
Dapat digunakan dalam pembelajaran berbasis kontekstual, bahan pembelajaran dapat diangkat dari kehidupan sosial, nilai-nilai sosial, maupun masalah-masalah sosial.
b.
Prosedur Penggunaan Metode Simulasi Prosedur yang harus ditempuh dalam penggunaan metode simulasi adalah:
Menetapkan topik simulasi yang diarahkan oleh guru,
Menetapkan kelompok dan topik-topik yang akan dibahas,
Simulasi diawali dengan petunjuk dari guru tentang prosedur, teknik, dan peran yang dimainkan,
Proses pengamatan pelaksanaan simulasi dapat dilakukan dengan diskusi,
Mengadakan kesimpulan dan saran dari hasil kegiatan simulasi.
Adapun kondisi dan kemampuan siswa yang harus diperhatikan dalam penerapan metode simulasi adalah:
c.
Kondisi, minat, perhatian, dan motivasi siswa dalam bersimulasi,
Pemahaman terhadap pesan yang akan disimulasikan,
Kemampuan dasar berkomunikasi dan berperan. Keunggulan Metode Simulasi Keunggulan dari metode simulasi sebagai berikut:
1. Siswa dapat melakukan interaksi sosial dan komunikasi dalam kelompoknya, 2. Aktivitas siswa cukup tinggi dalam pembelajaran sehingga terlibat langsung dalam pembelajaran, 3. Dapat membiasakan siswa untuk memahami permasalahan sosial (merupakan implementasi pembelajaran yang berbasis kontekstual), 4. Dapat membina hubungan personal yang positif, 5. Dapat membangkitkan imajinasi, 6. Membina hubungan komunikatif dan bekerja sama dalam kelompok. d.
Peranan guru dalam simulasi Dalam pembelajaran menggunakan model yang menuntut siswa berpartisipasi secara
aktif, peranan guru sangat minimal. Guru tidak lagi menjadi sumber pengetahuan bagi siswa, yang sepanjang jam pelajaran berceramah menumpahkan pengetahuan untuk siswanya. Guru hanyalah menjadi fasilitator yang mengatur dan menjaga agar pembelajaran dapat berlangsung sesuai dengan apa yang diharapkan dan mencapai tujuan pembelajaran. Sehubungan dengan model pembelajaran simulasi, peranan guru dalam pembelajaran dibagi atas empat bagian (Bruce Joyce dalam Sukmadewi, 2003:13). Keempat peranan dimaksud
yaitu: (1) memberikan penjelasan (explaining), (2) pengawasan (controlling), (3) pembinaan (coaching), dan (4) diskusi (discussion). 1) Memberikan Penjelasan Memberikan penjelasan yang dimaksud di sini, bukanlah menjelaskan materi pelajaran, tetapi penjelasan yang dimaksud adalah memberikan siswa penjelasan tentang aturan-aturan permainan yang akan digunakan siswa dalam permainan simulasi. Dalam belajar simulasi, siswa memerlukan pengertian terhadap aturan-aturan yang digunakan dalam simulasi. 2) Pengawasan Sebelum pelaksanaan simulasi, guru perlu menyiapkan siswa, apakah perlu pengelompokan atau tidak, alat dan bahan pelajaran apa saja yang diperlukan. Dalam pelaksanaan simulasi, guru mempunyai tugas mengontrol jalannya simulasi agar berjalan sesuai dengan rencana pembelajaran yang telah disiapkan. Guru mengawasi bagaimana aturan-aturan dalam permainan simulasi diikuti oleh siswa. (3) Pembinaan Guru berperanan sebagai pembina dalam metode simulasi, memberikan beberapa saran jika diperlukan agar simulasi dapat berjalan dengan lebih baik. Mengeksploitasi seoptimal mungkin pembelajaran menggunakan model simulasi agar diperoleh manfaat yang sebesarbesarnya bagi siswa. (4) Diskusi Setelah proses pembelajaran yang menggunakan model simulasi, diperlukan adanya suatu diskusi tentang permainan simulasi dan hubungannya dengan dunia nyata. Termasuk juga kesulitan-kesulitan yang dialami siswa selama pelaksanaan simulasi.
Dengan melihat keempat peranan guru dalam simulasi di atas, maka dapat dikatakan guru mempunyai fungsi manajerial. Seperti yang dikatakana Bruce Joyce (dalam Sukmadewi, 2003:13) : “the teacher has an important role to play in raising student’s consciousness about the concepts and principles underpinning the simulation and their own reactions. In addition, the teacher has important
managerial
functions.
(Guru memiliki peranan yang penting dalam meluruskan ketidakpahaman siswa tentang konsepkonsep dan dasar-dasar simulasi dan reaksi mereka sendiri, dan guru mempunyai fungsi pengaturan yang penting)”. e. Fase-fase dalam Metode Simulasi Fase-fase dalam model pembelajaran metode simulasi telah dikembangkan oleh Bruce Joyce et al (Sukmadewi, 2003:18). Fase-fase dalam model pembelajaran permainan simulasi dibagi atas empat bagian, yaitu: (1) orientasi (orientations), (2) penyiapan peserta, dalam hal ini siswa (participant preparations), (3) pelaksanaan simulasi (simulation/enactment operations), (4) diskusi hasil-hasil simulasi (debriefing discussion). Paparan tentang fase-fase model pembelajaran permainan simulasi akan memberikan pedoman dalam operasional permainan. 1)
Orientasi Fase ini dibagi menjadi tiga bagian, yaitu: a. menjelaskan aturan permainan simulasi, b. pandangan terhadap permasalahan yang akan disimulasikan, c. penjelasan terhadap tujuan yang ingin dicapai. Siswa memerlukan orientasi terhadap simulasi yang akan diikuti. Fase ini bermanfaat
bagi siswa jika sebelumnya tidak pernah mengikuti kegiatan pembelajaran yang menggunakan
simulasi. Perlu dijelaskan kepada siswa mengenai permasalahan yang akan disimulasikan, termasuk juga mengapa digunakan metode ini dalam pembelajaran. Bagian terpenting dalam fase ini adalah penjelasan terhadap situasi simulasi. Siswa diberikan bayangan-bayangan dalam pelaksanaan simulasi. Hal lain yang perlu dijelaskan kepada siswa adalah tentang tujuan yang akan dicapai setelah permainan simulasi selesai. Penjelasan terhadap situasi permainan dimaksudkan untuk memberikan arah dan pedoman dalam melakukan pembahasan terhadap hasil-hasil simulasi. 2)
Penyiapan peserta Bagian-bagian dari fase ini adalah: a. menyusun skenario simulasi b. menetapkan prosedur c. mengorganisasikan peserta Pada fase ini, guru menyusun dan menjelaskan kepada siswa skenario simulasi, yaitu
tentang apa saja yang akan dilakukan oleh peserta simulasi. Termasuk di dalamnya adalah aturan-aturan yang harus diikuti siswa, prosedur dan keputusan-keputusan yang harus dilakukan siswa
dalam
simulasi.
Langkah selanjutnya adalah mengorganisasikan peserta. Jika siswa perlu dikelompokkan, maka guru membagi siswa dalam kelompok-kelompok. Berikutnya adalah pembagian peranan dalam metode simulasi. Siapa atau kelompok mana yang mempunyai suatu peranan perlu dijelaskan kepada siswa. Juga, apa yang dilakukan oleh masing-masing pemegang peran. 3)
Pelaksanaan simulasi Bagian-bagian fase ini terdiri atas simulasi, dan penutup simulasi. Fase pelaksanaan
simulasi adalah bagian utama dari metode ini. Pada fase ini, semua komponen berinteraksi untuk
memperoleh pengalaman-pengalaman yang disimulasikan, selanjutnya hal itu dipahami sebagai bagian dari pelajaran. Siswa menerapkan permainan, sementara guru memfasilitasi pelaksanaan simulasi. Fasilitasi yang dilakukan oleh guru sangat penting, karena guru menginginkan siswa mempunyai cukup kebebasan untuk menganalisis situasi, menyelesaikan permasalahan, dan membuat keputusan tanpa terlalu banyak campur tangan dari guru. Siswa akan mempunyai pengertian di dalam dirinya bahwa mereka telah melakukan sesuatu untuk memperoleh pengetahuan bagi mereka sendiri. Singkatnya, guru hanya mengarahkan jika perlu, khususnya menjaga siswa agar berada dalam perannya masing-masing. Akhirnya, guru menutup simulasi, jika simulasi tersebut sudah berakhir. 4)
Diskusi
Bagian dari fase diskusi adalah berikut ini. a. Refleksi terhadap pelaksanaan simulasi, b. Menghubungkan simulasi dengan dunia nyata Simulasi bukanlah pengalaman belajar, tetapi pembelajaran yang sebenarnya baru ditentukan setelah diskusi. Setalah diskusi berakhir, barulah siswa memperoleh pelajaran yang dituntut untuk dikuasai oleh siswa. Menurut Stadsklev, pada fase ini terdapat empat hal yang harus diperhatikan, yaitu: pengalaman, identifikasi, analisis, dan generalisasi. Pada fase ini, semua pengalaman yang diperoleh selama simulasi perlu direview agar nantinya dihubungkan dengan pelajaran dan dunia nyata. Identifikasi bermakna mendeskripsikan pengalaman dalam data-data yang terkumpul. Analisis dilakukan untuk melihat simulasi secara lebih mendalam dan bermakna, sehingga diperoleh pemahaman yang lebih baik. Terakhir adalah generalisasi, yaitu membuat generalisasi dari hasil-hasil yang diperoleh selama simulasi untuk memperoleh pengetahuan yang dituntut untuk dikuasai oleh siswa.
f. Langkah-langkah simulasi: Menurut Kompetensi Supervisi Akademik Education, langkah-langkah metode simulasi dibagi menjadi 3 bagian yaitu : 1) Persiapan Simulasi
Menetapkan topik atau masalah serta tujuan yang hendak dicapai oleh simulasi.
Guru memberikan gambaran masalah dalam situasi yang akan disimulasikan.
Guru menetapkan pemain yang akan terlibat dalam simulasi, peranan yang harus dimainkan oleh para pemeran, serta waktu yang disediakan.
Guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk bertanya khususnya pada siswa yang terlibat dalam pemeranan simulasi.
2) Pelaksanaan Simulasi
Simulasi mulai dimainkan oleh kelompok pemeran.
Para siswa lainnya mengikuti dengan penuh perhatian.
Guru hendaknya memberikan bantuan kepada pemeran yang mendapat kesulitan.
Simulasi hendaknya dihentikan pada saat puncak. Hal ini dimaksudkan untuk mendorong siswa berpikir dalam menyelesaikan masalah yang sedang disimulasikan.
3) Penutup
Melakukan diskusi baik tentang jalannya simulasi maupun materi cerita yang disimulasikan.Guru harus mendorong agar siswa dapat memberikan kritik dan tanggapan terhadap proses pelaksanaan simulasi.
2.2
Merumuskan kesimpulan. Kajian Penelitian Yang Relevan Jaurah A. Palilati, Tahun 2011 berjudul “Meningkatkan Keterampilan Berbicara Melalui
Metode Permainan Simulasi Pada Siswa Kelas IV SDN Pohuwato Kecamatan Marisa Kabupaten
Pohuwato”. Hasil penelitiannya adalah keterampilan berbicara dapat ditingkatkan melalui metode permainan simulasi. Hasil penelitian tersebut sekaligus memberikan penguatan bahwa penerapan pembelajaran metode simulasi cocok diterapkan pada berbagai bidang ilmu, dan dapat memberikan hasil yang lebih baik dalam meningkatkan aktivitas dan hasil belajar siswa. Berdasarkan hasil penelitian di atas, peneliti mencoba menerapkan metode simulasi dalam pelajaran bahasa Indonesia yang berkaitan dengan kemampuan berbicara. Pada hakikatnya, berbicara
dan metode simulasi,
khususnya metode
simulasi
berpotensi
menumbuhkan motivasi siswa dalam berbicara, karena simulasi memungkinkan siswa bebas berekspresi dan melakukan aktivitas apa pun. Dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa penerapan metode yang tepat (simulasi) melalui dua siklus akan menuntun guru dan siswa ke arah kesuksesan pembelajaran. Metode simulasi jika diterapkan dengan baik dan tepat mampu meningkatkan kemampuan berbicara siswa. 2.3
Hipotesis Tindakan Berdasarkan kerangka teoretik diatas, maka hipotesis tindakan dalam penelitian ini
adalah : “ Jika digunakan metode simulasi maka kemampuan berbicara dalam pelajaran Bahasa Indonesia pada siswa kelas IV SDN Pohuwato Kecamatan Marisa Kabupaten Pohuwato dapat ditingkatkan “. 2.4
Indikator Keberhasilan Hasil capaian yang menjadi acuan untuk menentukan keberhasilan dalam penelitian ini
yaitu sebagian besar siswa yang menunjukkan kemampuan yang tinggi terhadap berbicara (70%) dari jumlah siswa 26 orang.