BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA BERPIKIR, DAN HIPOTESIS A. Kajian Pustaka dan Hasil Penelitian Relevan 1. Hakikat Motivasi a. Pengertian Motivasi Motivasi merupakan energi aktif yang menyebabkan terjadinya suatu perubahan pada diri seseorang yang tampak pada gejala kejiwaan, perasaan, dan juga emosi sehingga mendorong individu untuk bertindak atau melakukan sesuatu dikarenakan adanya tujuan, kebutuhan, atau keinginan yang harus terpuaskan (Majid, 2013: 309). Pendapat yang senada juga disampaikan oleh Aunurrahman (2012: 114) bahwa motivasi sebagai kekuatan yang mampu mengubah energi dalam diri seseorang dalam bentuk aktivitas nyata untuk mencapai tujuan tertentu. Gray dalam Majid (2013: 307) menyatakan bahwa motivasi merupakan sejumlah proses yang bersifat internal atau eksternal bagi seseorang individu yang menyebabkan timbulnya antusiasme dan persistensi dalam hal melaksanakan kegiatan-kegiatan tertentu. Hamalik (2013: 158) mengartikan motivasi sebagai perubahan energi dalam diri (pribadi) seseorang yang ditandai dengan timbulnya perasaan dan reaksi untuk mencapai tujuan. Sementara Sardiman (2004: 75) mengartikan motivasi sebagai serangkaian usaha untuk menyediakan kondisikondisi tertentu, sehingga seorang mau dan ingin melakukan sesuatu, dan bila ia tidak suka, maka akan berusaha untuk meniadakan atau mengelakkan perasaan tidak suak itu. Jadi, motivasi dapat dirangsang oleh faktor dari luar tetapi motivasi itu adalah tumbuh di dalam diri seseorang. Motivasi berasal dari kata motif yang dapat diartikan sebagai kekuatan yang terdapat dalam diri individu yang menyebabkan individu tersebut bertindak atau berbuat (Uno, 2008: 3). Adapun Djamarah dalam Aunurrhaman (2012: 115) menyatakan bahwa motivasi terkait erat dengan kebutuhan. Semakin besar kebutuhan seseorang akan sesuatu yang ingin dicapai, maka akan kuat motivasi untuk mencapainya. Kebutuhan yang kuat terhadap sesuatu akan mendorong seseorang untuk mencapainya dengan sekuat tenaga. 8
9
Dari berbagai pendapat di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa motivasi adalah dorongan dari diri seorang baik disebabkan faktor internal maupun eksternal yang ditandai dengan perubahan perasaan dan emosi yang diwujudkan dalam tindakan untuk mencapai tujuan tertentu. b. Pengertian Motivasi dalam Pembelajaran Motivasi dalam pembelajaran merupakan hal penting yang saling memengaruhi. Dalam peoses pembelajaran, motivasi dapat dikatakan sebagai keseluruhan daya penggerak di dalam diri siswa yang menimbulkan kegiatan belajar, yang menjamin kelangsungan dari kegiatan belajar, sehingga tujuan yang dikehendaki oleh subjek belajar itu dapat tercapai. Motivasi belajar menurut Sardiman (2004: 75) adalah faktor psikis yang bersifat nonintelektual. Perannya yang khas adalah dalam hal penumbuhan gairah, merasa senang, dan semangat belajar. Siswa yang memiliki motivasi kuat akan mempunyai banyak energi untuk melakukan kegiatan belajar. Suprijono (2009: 163) mendefinisikan motivasi belajar sebagai proses yang memberi semangat belajar, arah, dan kegigihan perilaku. Artinya, perilaku yang termotivasi adalah perilaku yang penuh energi, terarah, dan bertahan lama. Pendapat lain dikemukakan oleh Wena (2014: 33) bahwa motivasi belajar dapat dilihat dari karkteristik tingkah laku siswa yang menyangkut minat, ketajaman perhatian, konsentrasi, dan ketekunan dalam kegiatan belajar. Selain itu, motivasi belajar dapat juga dilihat dari indikator-indikator seperti keantusiasan dalam belajar, rasa ingin tahu pada sisi pembelajaran, ketekunan dalam belajar, selalu berusaha mencoba, dan aktif mengatasi tantangan yang ada dalam pembelajaran. Dari berbagai asumsi yang telah disampaikan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa motivasi dalam pembelajaran adalah dorongan dalam diri siswa untuk melakukan kegiatan belajar secara lebih aktif sehingga tujuan belajar tercapai. c. Fungsi Motivasi dalam Pembelajaran Menurut Sardiman (2004: 85), ada tiga fungsi motivasi, yaitu (1) mendorong manusia untuk berbuat, jadi sebagai penggerak atau motor yang melepaskan energi; (2) menentukan arah perbuatan, yakni ke arah tujuan yang
10
hendak dicapai; dan (3) menyeleksi perbuatan, yakni menentukan perbuatan mana yang harus dikerjakan yang serasi guna mencapai tujuan dengan menyisihkan perbuatan-perbuatan yang tidak bermanfaat bagi tujuan tersebut. Adapun pendapat Uno (2008: 17) tentang fungsi motivasi dalam belajar adalah sebagai berikut: (1) mendorong manusia untuk melakukan suatu aktivitas yang didasarkan atas pemenuhan kebutuhan; (2) menentukan arah tujuan yang hendak dicapai; dan (3) menentukan perbuatan yang harus dilakukan. Berdasarkan pendapat di atas, dapat disimpulkan fungsi motivasi dalam pembelajaran antara lain adalah untuk mendorong, menggerakkan, dan mengarahkan aktivitas-aktivitas siswa dalam proses pembelajaran sehingga dapat mencapai proses belajar dan hasil belajar yang maksimal. d. Cara Membangkitkan Motivasi dalam Pembelajaran Motivasi dalam pembelajaran yang tinggi tercermin dari perilaku siswa yang tidak mudah putus asa dalam mencapai proses dan hasil belajar yang tinggi meskipun mendapat berbagai kesulitan. Keller (dalam Wena, 2014: 35) mengajukan empat jenis strategi dalam pengelolaan motivasi, yaitu 1) Strategi pengelolaan motivasional untu menarik perhatian, meliputi: membangkitkan daya persepsi; keinginann untuk bertanya; dan penggunaan strategi belajar yang bervariasi. 2) Strategi pengelolaan motivasional meningkatkan relevansi, diantaranya: menyajikan isi pembelajaran yang berorientasi pada tujuan/ kompetensi; menggunakan strategi yang sesuai; dan menciptakan keakraban. 3) Strategi pengelolaan motivasional menumbuhkan keyakinan diri siswa, meliputi: menyajikan prasyarat belajar; memberi kesempatan untuk suskses; dan memberi kesempatan untuk melakukan kontrol pribadi. 4) Strategi pengelolaan motivasional menumbuhkan kepuasan, meliputi: memberi kesempatan mengaplikasikan pengetahuan yang dikuasai; merencanakan umpan balik/ penguatan positif; dan mempertahankan standar konsekuensi secara konsisten. Strategi pengelolaan motivasional di atas perlu dilakukan dengan langkah konkret. Berikut beberapa langkah konkret yang dikemukakan oleh Sardiman (2004: 92-95). Ada beberapa contoh dan cara untuk menumbuhkan motivasi dalam kegiatan belajar di sekolah. Beberapa bentuk dan cara motivasi tersebut diantaranya (a) memberi angka; (b) hadiah; (c) saingan atau kompetisi; (d) ego-
11
involvement; (e) memberi ulangan; (f) mengetahui hasil; (g) pujian; (h) hukuman; (i) hasrat untuk belajar; (j) minat; (k) tujuan yang diakui. Adapun menurut Hamalik (2013: 166), guru dapat menggunakan berbagai cara untuk menggerakan atau membangkitkan motivasi belajar siswanya, yaitu (a) memberi angka; (b) pujian; (c) hadiah; (d) kerja kelompok; (e) persaingan; (f) tujuan dan level of aspiration; (g) sarkasme; (h) penilaian; (i) karyawisata dan ekskursi; (j); film pendidikan; (k) dan belajar melalui radio. Secara umum pendapat Sardiman maupun Hamalik hampir sama, akan tetapi pada pendapat Hamalik cenderung menggunakan cara yang lebih menarik dalam meningkatkan motivasi belajar siswa yaitu lewat karyawisata, film pendek, dan belajar melalui radio. Cara-cara tersebut merupakan beberapa contoh cara menigkatkan motivasi belajar yang menarik sehingga motivasi belajar siswa meningkat. Sementara menurut pendapat Kyriacou (2009: 137), peran dorongan keluarga dan orang tua diakui amat penting dalam memengaruhi level motivasi akademis murid, meskipun keterikatannya bersifat kompleks, seperti dialami oleh banyak orang tua dari para murid yang “tidak termotivasi”. Sejumlah studi tentang praktik pengasuhan anak telah menyoroti bagaimana motivasi
murid untuk
berprestasi di sekolah bisa dikembangkan oleh orang tua. Hal tersebut dapat dilakukan dengan cara guru menugaskan siswa agar setiap hasil ulangan ditandatangani oleh orang tua dan dikumpulkan kembali sebagai bukti. Dengan demikian, orang tua bisa memberi apresiasi nilai melalui pujian ataupun nasihat agar anaknya selalu belajar dengan baik. Dari beberapa pendapat yang telah dijelaskan dapat diambil kesimpulan bahwa motivasi dalam pembelajaran dapat ditumbuhkan melalui kompetensi yang dimiliki guru dalam melakukan kegiatan pembelajaran secara bervariasi dan pemberian apresiasi terhadap setiap proses dan hasil yang telah dicapai siswa dapat tercapai. Termasuk penggunaan metode dan media pembelajaran yang digunakan.
12
2. Keterampilan Mengonversi Teks Anekdot menjadi Puisi Berdasarkan Kurikulum 2013 pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah dilaksanakan dengan berbasis teks. Pembelajaran berbasis teks tersebut dituangkan dalam empat rumusan kompetensi, salah satunya yakni kompetensi penggunaan atau keterampilan. Pada kompetensi penggunaan, pembelajaran difokuskan pada kegiatan menginterpretasi makna, memproduksi, menyunting, mengabstraksi, dan mengonversi suatu teks ke dalam bentuk yang lain sesuai dengan struktur dan kaidah teks baik secara lisan maupun tulisan. Salah satu teks yang wajib dipelajari oleh siswa kelas X SMA/MA/SMK adalah teks anekdot. Pembelajaran teks anekdot dalam mata pelajaran bahasa Indonesia diwujudkan secara tersurat dan runtut dalam bentuk Kompetensi Dasar (KD). Untuk lebih jelasnya Kompetensi Inti (KI) dan Kompetensi Dasar (KD) yang harus dikuasi tentang keterampilan mengonversi teks anekdot dapat dilihat pada Tabel 1 berikut.
Tabel1. KI dan KD Keterampilan Mengonversi Teks pada Kelas X
Kompetensi Inti (KI) 4. Mengolah, menalar, dan menyaji
Kompetensi Dasar (KD) 4.5
Mengonversi teks anekdot,
dalam ranah konret dan ranah
laporan, hasil observasi, prosedur
abstrak terkait dengan
komplkes, dan negosiasi ke dalam
pembangunan dari yang
bentuk yang lain sesuai dengan
dipeljainya di sekolah secara
struktur dan kaidah teks baik
mandiri, dan mampu
secara lisan maupun tulisan.
menggunakan metoda sesuai kaidah keilmuan
Mengonversi adalah mengubah suatu bentuk, rupa, dan sebagainya ke dalam bentuk atau rupa yang lain (Depdiknas, 2008: 74). Adapun mengonversi teks adalah mengubah teks dalam bentuk lain sesuai dengan kaidah dan struktur tanpa mengubah isinya. Kaitannya dengan keterampilan mengonversi teks
13
anekdot, menurut Kosasih (2013: 38) suatu teks anekdot dapat dikonversikan baik ke dalam puisi, prosa ataupun drama. Mengonversi teks anekdot menjadi puisi dapat diartikan sebagai mengubah teks anekdot menjadi puisi. Puisi hasil konversi tersebut harus sesuai dengan tema teks anekdot yang telah ditentukan dengan mencermati pemilihan diksi serta memiliki kemampuan untuk menuangkan ide atau gagasan sehingga menarik untuk dibaca. Dengan demikian, tujuan dari penulisan anekdot dapat tersampaikan dengan bahasa yang lebih kreatif lewat puisi. Mengonversi teks termasuk dalam keterampilan menulis. Hal ini berkaitan dengan kemampuan mengubah atau membuat tulisan dari suatu bentuk kebentuk lain sesuai dengan kaidah dan struktur tanpa mengubah isinya. Untuk itu, dalam mengonversi teks anekdot menjadi puisi dibutuhkan keterampilan menulis yang baik sehingga mampu menciptakan puisi yang baik pula. Sebelum mengkaji lebih jauh tentang keterampilan menulis dalam kompetensi mengonversi teks anekdot menjadi puisi, akan dijelaskan terlebih dahulu mengenai kajian teori teks anekdot dan puisi. Berikut pembahasan mengenai teks anekdot dan puisi. a. Teks Anekdot 1) Pengertian Teks Anekdot Sebagai salah satu genre teks yang wajib dipelajari siswa SMA/MA dalam Kurikulum 2013, teks anekdot memberi banyak efek positif bagi siswa. Penggunaan teks anekdot sebagai materi, sumber belajar, maupun sebagai sisipan dalam pengembangan strategi pembelajaran mengarah pada pencapaian keberhasilan belajar siswa. Dengan kata lain, teks anekdot mampu menjadi salah satu sarana dalam pengembangan diri siswa, baik bagi perkembangan dan peningkatan kompetensi kebahasaan, berbahasa, bersastra, maupun pembentukan akhlak luhur dalam pembentukan karakter. Teks anekdot adalah cerita singkat yang mengandung humor. Kadar humornya terlihat dari ketidakmasukakalannya, keanehannya, kejutannya, kebodohannya, sifat pengecohannya, kejanggalannya, kekontradiksiannya, dan kenakalannya (Darmansyah, 2012: 148). Sesuai dengan jenis humor berbentuk
14
tulisan, maka kelucuan yang dimunculkan adalah melalui kata-kata. Baik arti yang terkandung di dalamnya, maupun bentuk kata yang digunakan, seperti plesetan, kata aneh, dan lain-lain. Menurut Martin (2003), istilah humor muncul pada abad ke-18 seiring dengan dimulainya masa pendekatan humanistik. Istilah humor digunakan untuk membedakan perilaku tertawa yang disebabkan hal-hal kurang positif seperti saling ledek (comedy), celaan (sarcasm), sindiran (satire), dan keanehan yang terjadi pada orang lain (ridicule). Oleh karena itu, uraian mengenai humor juga menjelaskan tentang anekdot. Berdasarkan dua pendapat di atas, teks anekdot sangat menonjolkan humor baik melalui kata-kata celaan, sindiran, maupun plesetan. Menurut Fatimah (2013: 219), teks anekdot merupakan cerita narasi ataupun percakapan yang lucu dengan berbagi tujuan, baik hanya sekadar hiburan atau senda gurau, sindirin, atau kritik tidak langsung. Dalam anekdot, cerita menjadi menarik dan mengesankan karena biasanya mengenai orang penting atau terkenal dan berdasarkan kejadian yang sebenarnya. Namun, ada pengertian lain bahwa anekdot dapat merupakan cerita rekaan yang tidak harus didasarkan pada kenyataan yang terjadi di masyarakat. Partisipan atau pelaku di dalamnya pun tidak harus orang penting. Sementara menurut pendapat ahli lainnya, teks anekdot menjadi lucu karena adanya hal konyol yang terkandung dalam cerita tersebut. Pendapat tersebut didukung oleh Mahsun (2014: 18), teks anekdot merupakan teks yang bertujuan untuk menceritakan berbagai reaksi emosional dalam sebuah cerita. Peristiwa yang ditampilkan dalam teks anekdot membuat partisipan yang mengalaminya merasa jengkel atau konyol. Pengertian tersebut juga senada dengan pendapat Danandjaya (1997: 117), lelucon dan anekdot adalah dongengdongeng yang dapat menimbulkan rasa menggelikan hati, sehingga menimbulkan ketawa bagi yang mendengarkannya maupun yang menceritakannya. Walaupun demikian, bagi kolektif atau tokoh tertentu, yang menjadi sasaaran dongeng itu, dapat menimbulkan rasa sakit hati. Perasaan jengkel dan konyol dalam teks anekdot merupakan krisis yang ditanggapi dengan reaksi dari pertentangan antara nyaman dan tidak nyaman, puas dan frustrasi, serta tercapai dan gagal.
15
Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa teks anekdot merupakan teks cerita singkat yang lucu berupa sindiran, kritik, maupun pengalaman yang didalamnya termuat hal-hal konyol sehingga partisipan merasa terhibur. 2) Struktur Teks Anekdot Struktur teks anekdot terdiri atas lima bagian atau struktur generik. Lima bagian tersebut antara lain abstract, orientation, crisis, reaction, dan coda (Gerot dan Wignell dalam Fatimah, 2013: 219). Abstraksi, yaitu bagian di awal paragraf yang berfungsi memberi gambaran tentang isi teks secara umum. Orientasi, yaitu bagian yang menunjukkan awal kejadian cerita atau latar belakang bagaimana peristiwa terjadi. Krisis, yaitu bagian di mana terjadi hal atau masalah yang unik atau tidak biasa yang terjadi pada si penulis. Reaksi merupakan bagian bagaimana cara penulis atau orang yang ditulis menyelesaikan masalah yang timbul di bagian krisis tadi. Sementara yang terakhir yaitu koda, berisi simpulan dari cerita yang dialami oleh penulis. Mahsun (2014: 26) menyatakan pada teks anekdot perlu adanya reaksi dari pelaku yang dialaminya. Hal tersebut yang membedakan dari struktur teks anekdot dengan teks lainnya. Oleh karena itu, struktur pada teks anekdot berisi orientasai, krisis, dan reaksi. Dalam setiap struktur teks anekdot tersebut termuat beberapa kaidah bahasa anekdot di antaranya: (1) penggunaan kata yang menunjukkan pengandaian, (2) penggunaan kata yang maknanya bertentangan dengan kenyataan, (3) penggunaan kata konjungsi urutan peristiwa, (4) dan penggunaan konjungsi yang menyatakan akibat. Kaidah bahasa tersebut penting guna tesusunnya teks anekdot yang baik. 3) Klasifikasi Teks Anekdot Brunvand dalam Danandjaya (1997: 123) mengusulkan agar anekdot diklasifikan menjadi tiga golongan, yakni jokes abaout religion (lelucon agama), jokes about nationalities ( lelucon bangsa), dan jokes about sex (lelucon seks). Sementara Danandjaya (1997: 123) mengklasifikasikan anekdot Indonesia ke dalam tujuh kategori dengan perincian sebagai berikut:
16
1) Lelucon dan anekdot agama: tokoh agama, tokoh agama tertentu, dan ajaran agama tertentu. 2) Lelucon dan anekdot seks: seks bangsa atau suku-suku bangsa, seks tokoh agama, seks angkatan bersenjata, seks politik, seks orang biasa dewsa, seks orang biasa kanak-kanak, dan lainnya. 3) Lelucon dan anekdot bangsa atau suku-bansga: bangsa atau suku bangsa, tokoh tertentu suatu bangsa atau suku-bangsa. 4) Lelucon dan anekdot politik: tokoh politik dan paham politik tertentu. 5) Lelucon dan anekdot angkatan bersenjata: tokoh angkatan bersenjata tertentu dan kesatuan angkatan bersenjata. 6) Lelucon dan anekdot seorang profesor: profesor tertentu dan profesor pada umumnya. 7) Lelucon dan anekdot anggota kolektif lainnya. Klasifikasi di atas semakin berkembang, tidak hanya menceritakan kisah orang-orang terkenal saja namun juga orang atau masyarakat bisa dengan tema yang lebih luas lagi.
b. Puisi 1) Pengertian Puisi Menurut Waluyo (1995: 29), puisi adalah bentuk karya sastra yang mengungkapkan pikiran dan perasaan penyair secara imajinatif dan disusun dengan mengonsentrasikan semua kekuatan bahasa dengan pengonsentrasian struktur fisik dan struktur batin. Dalam puisi bahasa yang digunakan bersifat konotatif yang ditandai dengan kata konkret lewat pengimajinasian, pelambangan, pengiasan, dan penggunaan bahasa figuratif. Sementara Hasnun (2006: 203) menyatakan bahwa puisi adalah jenis sastra yang terbentuk dari kata-kata tertentu yang memiliki kemudahan dan pengertian tertentu. Dalam puisi terdapat makna tersirat yang disampaikan penulis pada pembaca. Menurut Sulistyono (2008: 57) puisi adalah bentuk tulisan yang kata-katanya memiliki pemusatan makna, mempunyai arti dalam tulisan, serta adanya bentuk khusus dalam puisi. Dapat diartikan puisi mempunyai bentuk pemilihan kata yang akan membentuk suatu rima sehingga tercipta puisi yang indah. Pendapat tersebut juga didukung oleh Damayanti (2013: 12) bahwa puisi merupakan karya seni imajinatif berbentuk sajian bahasa yang bernilai dan disusun dengan memerhatikan irama, rima, dan kata-kata perlambangan.
17
Adapaun pendapat Burdick (2011: 4) mengenai puisi yaitu Poetry as a form is not only a different way of writing, it is a different way of presenting and viewing the world: metaphorically, symbolically and in a condensed form. These effects allow a stronger impressionistic meaning for the reader or listener. Usually in poetry, hefty ideas are represented through relatively few words. Pendapat Burdick di atas menjelaskan bahwa puisi tidak hanya berbeda dalam bentuk penulisan, tetapi juga berbeda dalam penayajian metaforis dan simbolis yang padat. Efek tersebut memungkinkan arti impresionik yang kuat tentang puisi bagi pembaca atau pendengar. Biasanya dalam puisi, ide besar dan kuat dipresentasikan melalui kata-kata yang relatif sedikit. Dari pendapat tersebut dapat dikatakan bahwa puisi adalah metaforis dan simbol yang padat yang disajikan melalui tulisan dengan kata-kata yang relatif sedikit. Mengacu pada pendapat para ahli, dapat diambil kesimpulan bahwa puisi adalah karya sastra yang menuangkan pemikiran dan perasaan penulis dengan ciri khusus yaitu adanya penggunaan bahasa yang indah dan sarat makna dengan memerhatikan rima. 2) Unsur yang Membangun Puisi Puisi adalah sebuah struktur yang terdiri dari unsur-unsur pembangun. Unsur-unsur tadi dinyatakan bersifat padu karena tidak dapat dipisahkan tanpa mengaitkan unsur yang lainnya, Waluyo (1995: 28) membagi unsur pembangun puisi menjadi dua, yaitu unsur batin dan unsur fisik. a) Unsur Batin Unsur batin adalah sesuatu yang hendak diungkapkan penyair dengan perasaan dan suasana. Ada empat unsur batin dalam puisi. (1) Tema Tema adalah ide pokok, gagasan utama, atau subjek yang diungkapkan oleh penyair. Seorang penyair dalam menulis puisi tertentu ingin mengungkapkan sesuatu yang dirasakan atau dipikirkannya pada pembaca. (2) Perasaan Penyair (Feeling) Perasaan (feeling) merupakan sikap penyair terhadap pokok persoalan yang ditampilkannya. Perasaan penyair dalam puisinya dapat dikenal melalui penggunaan ungkapan-ungkapan yang digunakan dalam puisinya karena dalam
18
menciptakan puisi suasana hati penyair juga ikut diekspresikan dan harus dapat dihayati oleh pembaca. (3)
Nada dan Suasana
Nada adalah sikap sang penyair terhadap pembacanya atau dengan kata lain sikap sang penyair terhadap para penikmat karyanya. Suasana adalah keadaan jiwa pembaca setelah membaca puisi/ akibat psikologis yang ditimbulkan puisi terhadap pembaca. (4) Amanat (Pesan) Amanat adalah maksud yang hendak disampaikan atau imbauan, pesan, tujuan yang hendak disampaikan penyair melalui puisinya. (b) Unsur Fisik Struktur fisik puisi adalah unsur pembangun puisi dari luar. Terdapat enam unsur pembangun fisik dalam puisi (1) Diksi atau Pilihan Kata Diski adalah pilihan kata yang digunakan penyair dalam menulis suatu karya puisi. Bahasa yang digunakan tidak hanya bermakna denotatif tetapi juga konotatif untuk menggambarkannya. (2) Pengimajian Pengimajian dibatasi dengan pengertian kata atau susunan kata-kata yang dapat mengungkapkan pengalaman sensoris seperti penglihatan, pendengaran, dan perasaan. (3) Kata Konkret Kata konkret adalah kata-kata yang dapat menyarankan kepada pembaca tentang
suatu
pengertian
menyeluruh.
Semakin
tepat
sang
penyair
menggunakan kata-kata atau bahasa dalam karya sastranya maka akan semakin kuat juga daya pemikat untuk penikmat sastra sehingga penikmat sastra akan merasakan sensasi yang berbeda. (4) Majas atau Bahasa Figuratif Bahasa figuratif adalah bahasa yang digunakan oleh penyair untuk menyatakan sesuatu dengan cara yang tidak biasa, yakni secara tidak langsung
19
mengungkapkan makna kata atau bahasanya bermakna kias atau makna lambang. (5)
Versifikasi (Rima, Ritma, dan Metrum)
Versifikasi terdiri dari rima, ritma, dan metrum. Rima adalah pengulangan bunyi dalam puisi untuk membentuk musikalisasi atau orkestrasi sehingga puisi menjadi menarik untuk dibaca. Ritma adalah pertentangan bunyi, tinggi rendah, panjang pendek, keras lemah, yang mengalun dengan teratur dan berulang-ulang sehingga membentuk keindahan. Metrum adalah perulangan kata yang tetap bersifat statis. (6)Tipografi atau Perwajahan Tipografi
puisi merupakan bentuk visual yang bisa memberi makna
tambahan dan bentuknya bisa didapati pada jenis puisi konkret. Tipografi bentuknya bermacam-macam antara lain berbentuk grafis, kaligrafi, kerucut, dan sebagainya. 3) Jenis-jenis Puisi Waluyo (1995:135-144) mengungkapkan jenis-jenis puisi, antara lain: a) Puisi Naratif, Lirik, dan Deskriptif Klasifikasi ini berdasarkan cara penyair mengungkapkan isi atau gagasan yang hendak disampaikan. (1) Puisi Naratif Mengungkapkan cerita atau penjelasan penyair. Ada puisi naratif yang sederhana, ada yang sugestif, dan ada pula yang kompleks. Puisi-puisi naratif, misalnya: epik, romansa, balada, dan syair. Balada adalah puisi yang berisi cerita tentang orang-orang perkasa, tokoh pujaan, atau orang-orang yang menjadi pusat perhatian. Romansa adalah jenis puisi cerita yang menggunakan bahasa romantis yang berisi kisah percintaan yang berhubungan dengan kesatria, dengan diselingi perkelahian dan petualangan yang menambah percintaan mereka lebih memesonakan. (2) Puisi Lirik Mengungkapkan gagasan pribadi penyair atau aku liriknya. Jenis puisi ini misalnya : elegi, ode, dan serenade. Elegi adalah puisi yang mengungkapkan
20
perasaan duka. Serenade adalah sajak percintaan yang dapat dinyanyikan. Ode adalah puisi yang berisi pujaan terhadap seseorang, sesuatu hal, atau suatu keadaan. (3) Puisi Deskriptif Puisi Deskriptif adalah puisi yang di dalamnya penyair bertindak sebagai pemberi kesan terhadap keadaan/peristiwa, benda, atau suasana yang dapat dipandang menarik perhatian penyair. Jenis puisi ini antara lain puisi satire, kritik sosial, dan puisi-puisi impresionistik. Satire adalah puisi yang mengungkapkan perasaan tidak puas penyair terhadap suatu keadaan, namun dengan cara menyindir atau menyatakan keadaan sebaliknya. Kritik sosial adalah puisi yang juga menyatakan ketidaksenagan penyair terhadap keadaan atau terhadap diri seseorang, namun dengan cara membeberkan kepincangan atau ketidakberesan orang lain. b) Puisi Auditorium dan Puisi Kamar Puisi Auditorium disebut pula puisi Hukla (puisi yang mementingkan suara atau serangkai suara). Puisi auditorium adalah puisi yang cocok untuk dibaca di auditorium, di mimbar yang jumlah pendengarnya dapat mencapai ratusan orang. Adapun puisi kamar adalah puisi yang cocok dibaca sendirian atau dengan satu dua orang pendengar saja dikala berada di kamar atau sebuah ruangan cukup kecil. c) Puisi Fisikal, Platonik, dan Metafisik Puisi Fisikal bersifat realistis, artinya menggambarkan kenyataan apa adanya, seperti hal-hal yang dapat dilihat, didengar dan dirasakan objek ciptaannya. Puisi Platonik adalah puisi yang sepenuhnya berisi hal-hal bersifat spiritual atau kejiwaan. Puisi metafisik adalah puisi yang bersifat filosofis dan mengajak pembaca merenungkan kehidupan dan merenungkan Tuhan. Puisi religius disatu pihak dapat dinyatakan sebagai puisi platonik (menggambarkan ide atau gagasan penyair) di lain pihak dapat disebut juga sebagai puisi metafisik (mengajak pembaca merenungkan hidup, kehidupan, dan Tuhan). d) Puisi Subjektif dan Puisi Objektif
21
Puisi subjektif juga disebut puisi personal, yakni puisi yang mengungkapkan gagasan, pikiran, perasaan, dan suasana dalam diri penyair sendiri. Puisi objektif berarti juga puisi yang mengungkapkan hal-hal di luar diri penyair itu sendiri. Puisi objektif disebut juga puisi impersonal. e) Puisi Konkret Puisi Konkret adalah puisi yang bersifat visual, yang dapat dihayati keindahan bentuknya dari sudut penglihatan. Dalam puisi konkret, tanda baca dan huruf-huruf sangat potensial membentuk gambar yang memiliki arti. f) Puisi Diafan, Gelap, dan Prismitis Puisi Diafan atau puisi polos adalah puisi yang kurang sekali menggunakan pengimajian, kata konkret, dan bahasa figuratif sehingga puisinya mirip dengan bahasa sehari-hari. Pusi yang demikian akan sangat mudah dihayati maknanya. Puisi Gelap adalah puisi yang terlalu banyak mengandung lambang, kiasan, majas dan sebagainya. Puisi gelap biasanya sukar ditafsirkan. Dalam puisi prismatis penyair
mampu menyelaraskan
kemampuan menciptakan majas, versifikasi, diksi, dan pengimajian sedemikian rupa sehingga pembaca tidak terlalu mudah menafsirkan makna puisinya, namun tidak terlalu gelap. g) Puisi Pernasian dan Puisi Inspiratif Pernasian adalah sekelompok penyair Prancis pada pertengahan akhir abad 19 yang menunjukan sifat puisi-puisi yang mengandung nilai keilmuan. Puisi Inspiratif diciptakan berdasarkan mood atau passion. Penyair benarbenar masuk ke dalam nuansa yang hendak dilukiskan. Suasana batin penyair benar-benar terlibat ke dalam puisi itu. h) Stansa Stansa artinya puisi yang terdiri atas 8 baris. Stansa berbeda dengan oktaf karena oktaf dapat terdiri atas 16 atau 24. i) Puisi Demonstrasi dan Pamflet Puisi
demonstrasi
bersifat
kekitaan,
artinya
melukiskan
perasaan
sekelompok bukan perasaan individual. Puisi pamflet juga megungkapkan
22
protes sosial. Disebut puisi pamflet karena bahasanya adalah bahasa pamflet. j) Alegori Puisi ini mengungkapkan cerita yang isinya dimaksudkan untuk memberikan nasihat tentang budi pekerti dan agama. Jenis alegori yang terkenal ialah parabel yang juga disebut dongeng perumpamaan.
c. Keterampilan Menulis Puisi 1) Pengertian Keterampilan Menulis Puisi Setiap manusia yang terlahir ke dunia pada hakikatnya mempunyai keterampilan. Seiring bertambahnya usia keterampilan dapat bertambah ataupun berkurang. Keterampilan dapat diartikan sebagai pengetahuan, kemampuan, dan nilai-nilai dasar yang direfleksikan dalam kebiasaan berpikir dan bertindak (Depdiknas, 2008). Keterampilan tersebut diartikan sebagai kemampuan untuk mengeluarkan bakat dalam diri seseorang yang dapat bermanfaat bagi dirinya sendiri ataupun orang lain. Menurut Hamalik (2013: 73), keterampilan memiliki karakteristik yang menunjukkan ikatan respon motorik, melibatkan koordinasi gerakan tangan, mata, dan menuntut kaitan-kaitan organsiasi menjadi pola-pola respon yang kompleks. Dalam pembelajaran yang perlu diperhatikan adalah penguasaan keterampilan para siswa yang didasarkan pada pemahaman fakta, konsep, dan prinsip, bukan hanya pada penguasaan kognitif semata. Keterampilan diperoleh melalui proses belajar dan latihan secara intensif dan berkesinambungan. Keterampilan hanya dapat diperoleh dan dikuasai dengan jalan praktik dan banyak berlatih (Tarigan, 2008: 1). Dari beberapa pendapat yang disampaikan di atas dapat disimpulkan bahwa keterampilan merupakan kemampuan dalam diri seseorang yang diperoleh dengan proses berlatih secara berkesinambungan. Sementara itu menulis yang merupakan salah satu dari keterampilan berbahasa memiliki berbagai pengertian. Menulis merupakan suatu keterampilan berbahasa yang dipergunakan untuk berkomunikasi secara tidak langsung, tidak
23
secara bertatap muka dengan orang lain (Tarigan, 2008: 3). Menulis atau mengarang adalah proses menggambarkan suatu bahasa sehingga pesan yang disampaikan penulis dapat dipahami pembaca. Sebagai bentuk keterampilan berbahasa, menulis merupakan kegiatan yang bersifat mengungkapkan, dengan maksud mengungkapkan gagasan, buah pikiran, dan atau perasaan kepada pihak atau orang lain. Oleh karena itu, menulis merupakan kegiatan produktif dan ekspresif. Adapun Andayani (2015: 189) berpendapat bahwa menulis adalah menurunkan atau melukiskan lambang-lambnag grafik yang menggambarkan suatu bahasa yang dipahami oleh seseorang sehingga orang lain dapat membaca langsung lambang-lambang grafik tersebut kalau mereka mamahmi bahasa dan gambaran grafik itu. Hal senada juga diungkapkan oleh Burhanudin dalam Andayani (2009: 28) bahwa menulis adalah aktivitas mengemukakan gagasan melaui bahasa. Pada dasarnya menulis itu bukan hanya merupakan melahirkan pikiran atau perasaan saja, melainkan juga merupakan pengungkapan ide, pengetahuan, ilmu, dan pengalaman hidup seseorang dalam bahasa tulis kepada pembaca. Menulis jauh lebih sulit sulit daripada bicara, alhasil banyak orang yang sangat hebat dalam komunikasi lisan (berbicara) (Leo, 2010: 54). Akan tetapi, kebanyakan orang kurang dalam menguasai keterampilan menulis. Untuk menghasilkan tulisan yang baik, seseorang penulis hendaknya memiliki tiga keterampilan dasar meliputi: (1) keterampilan berbahasa, yaitu keterampilan menggunakan ejaan, tanda baca, pembentukaan kata, pemilihan kata, serta penggunaan kalimat efektif; (2) keterampilan penyajian, yaitu keterampilan pembentukan dan pengembangan paragraf, keterampilan merinci pokok bahasan dan subpokok bahasan ke dalam susunan yang sistematis; dan (3) keterampilan perwajahan, yaitu keterampilan mengatur tipografi dan pemanfaatan sarana tulis secara efektif dan efisien, tipe huruf, penjilidan, penyusunan tabel, dll. Berdasarkan pendapat para ahli dapat disimpulkan bahwa keterampilan menulis adalah kemamapuan untuk menuangkan ide ke dalam bahasa tulis secara jelas dan sistematis sehingga pesan yang ingin disampaikan penulis tersampaikan
24
pada pembaca secara baik. Kaitannya dengan keterampilan menulis puisi, maka dapat simpulkan sebagai keterampilan menulis puisi adalah kemampuan mengungkapkan ide dengan memasukan unsur batin dan unsur fisik puisi agar tercipta puisi yang indah. 2) Tujuan dan Manfaat Menulis Puisi Pada dasarnya tujuan menulis adalah sebagai alat komunikasi dalam bentuk tulisan. Setiap jenis tulisan tentunya memiliki tujuan. Tarigan (2008: 24) membagi tujuan menulis dilihat dari penulisnya yang belum berpengalaman sebagai berikut: (1) memberitahukan atau mengajar; (2) meyakinkan atau mendesak; (3) menghibur atau menyenangkan; dan (4) mengutarakan atau mengekspresikan perasaan dan emosi yang berapi-api. Dari pendapat Tarigan tersebut diketahui bahwa tujuan menulis, khusunya dalam menulis puisi yaitu untuk menghibur dan berekspresi. Hal itu sesuai dengan peraturan Depdiknas (2006: 22) bahwa dalam standar kompetensi menulis khususnya kemampuan bersastra, yakni siswa diharapkan dapat mengekspresikan karya sastra yang diminati (puisi, prosa, dan drama) dalam bentuk sastra tulis yang kreatif serta dapat menulis kritik dan esai sastra berdasarkan ragam sastra yang telah dibaca. Dari pernyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa menulis puisi bertujuan untuk mengekspresikan perasaan siswa secara kreatif yang bersifat memberi informasi, menghibur ataupun sebagai media mengkritik. Adapun manfaat menulis menurut Akhadiah (dalam Kartini, 2006: 5) sebagai berikut: a) Mengetahui potensi diri dengan dan kemampuan serta pengetahuan kita tentang topik yang dipilih. Dengan mengembangkan topik itu kita dipaksa berpikir, menggali pengetahuan, dan pengalaman yang tersimpan dalam diri. b) Dengan mengembangkan berbagai gagasan kita terpaksa bernalar, menghubung-hubungkan, dan membandingkan fakta-fakta yang tidak pernah kita lakukan kalau kita tidak menulis. c) Lebih banyak menyerap, mencari, serta menguasai informasi sehubungan dengan topik yang ditulis. Dengan demikian, kegiatan menulis dapat memperluas wawasan baik secara teoritis maupun mengenai fakta-fakta yang berhubungan
25
d) Menulis berarti mengorganisasi gagasan secara sistematik serta mengungkapkan secara tersurat. Dengan demikian, setiap permasalahan yang semula samar-samar akan menjadi lebih jelas. e) Melalui tulisan, kita dapat menjadi peninjau dan penilaian gagasan kita secara objektif. f) Lebih mudah memecahkan masalah dengan menganalisisnya secara tersurat dalam konteks yang lebih konkret. g) Dengan menulis, kita menjadi aktif berpikir sehingga kita dapat menjadi penemu sekaligus pemecah masalah. Bukan hanya sekadar penerima informasi yang pasif. h) Membiasakan kita berpikir dan berbahasa secara tertib. Kaitannya dengan puisi, menulis puisi memberikan manfaat bagi siswa untuk lebih kreatif dalam mengembangkan ide, pikiran, pengalaman, perasaan yang dituangkan dalam tulisan. Selain itu siswa akan lebih percaya diri terhadap pemikirannya yang berasal dari kondisi lingkungan sekitar maupun daya imajinasinya. Dengan kata lain, puisi bermanfaat bagi siswa sebagai media untuk mengembangkan pemikirannya melalui tulisan yang kreatif dan indah. Keterampilan menulis puisi juga bermanfaat dalam meningkatkan pendidikan karakter. Puisi yang merupakan bagian dari sastra penting dipelajari oleh para siswa. Hal tersebut didukung oleh pendapat Herfanda (2008:131) bahwa sastra memiliki potensi yang besar untuk membawa masyarakat ke arah perubahan, termasuk perubahan karakter. Sebagai ekspresi seni bahasa yang bersifat reflektif sekaligus interaktif, sastra dapat menjadi spirit bagi munculnya gerakan perubahan masyarakat, bahkan kebangkitan suatu bangsa ke arah yang lebih baik. Hal itu dapat diwujudkan sebagai penguatan rasa cinta tanah air, sumber inspirasi dan motivasi kekuatan moral bagi perubahan sosial-budaya. Jadi, dengan mempelajari sastra khusunya menulis puisi dapat bermanfaat bagi siswa dalam peningkatan pendidikan karakter serta mengekspresikan seni berbahasa. Dari beberapa manfaat
menulis puisi yang dikemukakan, dapat
disimpulkan bahwa menulis puisi bagi sisiwa bermanfaat untuk mengekspresikan gagasan dan mengembangkannya dalam bentuk tulisan yang indah, informatif, kritis, kreatif serta sarat makna melalui pendidikan karakter yang terkandung di dalamnya.
26
3) Langkah-langkah Menulis Puisi Sutedjo& Kasnadi (2008: 50) mengungkapkan langkah-langkah praktis menulis puisi dengan mempertimbangkan unsur pembangun yang ada. Semakin kreatif dalam menapaki langkah-langkah tersebut, tentunya semakin cepat dan mudah pula untuk mampu menuliskannya. Adapun langkah-langkah praktis menulis puisi secara umum adalah sebagai berikut. a) Pemilihan aliran Dikenal banyak sekali aliran dalam sastra Indonesia, misalnya; naturalism, idealism, romantisme, dan sebagainya.
realisme,
Jika penyair bertindak
sebagai “juru potret” kehidupan, maka penyair tersebut masuk ke dalam aliran realism, tetapi jika penyair memilih mengekspresikan kejiwaan dan pikirannya, maka penyair tersebut tergolong penyair dengan aliran ekspresionisme. b) Pemilihan tema Tema dalam kepenulisan puisi menunjukkan masalah apa yang diangkat dalam puisi. Tema yang sering diangkat menjadi sebuah puisi, misalnya; politik, sosial, adat, keagmaan, keluarga, nasionalisme, cinta remaja, idola, dan sebagainya. c) Penentuan jenis puisi Puisi terdiri dari berbagai jenis, misalnya; puisi kamar, puisi pamfletis, puisi hymne, puisi ode, dan sebagainya. Oleh karena itu, penyair perlu memerhatikan jenis puisi yang cocok dengannya. d) Pencarian ide (ilham) Pengalaman para penyair dalam memperoleh ide (ilham) ini beragam. Misalnya: melalui perenungan, membaca puisi karya orang lain, mengamati realitas sosial, menonton film, membaca berita, mengamati lingkungan sekitar, pengalaman pribadi, dan sebagainya. e) Mengeramkan ide (inkubasi) Ibarat telur, ide (ilham) butuh dijelaskan. Oleh karena itu, sebelum ditetaskan maka ide tersebut perlu melalui proses inkubasi atau pengeraman. Tahap ini merupakan tahap persiapan untuk mewujudkan ide atau gagasan yang telah dikandung, melintas-lintas, atau ide-ide yang selalu membayangi. Inkubasi
27
akan dapat “menetaskan” karya dengan kematangan umur yang dapat dibanggakan. f) Pemilihan diksi (kata) yang padat dan khas Kata-kata dalam puisi ibarat roh mutiara yang akan memantulkan cahaya estetis yang penting untuk dipahami. Oleh karena itu, kata-kata yang digunakan dalam sebuah puisi tentunya bukan kata-kata biasa, tetapi kata-kata khas, padat, dan bermakna. Untuk itu, kata-kata dalam puisi biasanya bersifat konotatif (gramatik), kias, bahkan simbolik. g) Pemilihan permainan bunyi Salah satu sarana untuk mewujudkan citraan (imagery) penyair adalah penggunaan bahasa puitis dengan mengandalkan permainan bunyi. Aspek bunyi ini juga dapat memberikan gambaran citraan terhadap pembaca. h) Pembuatan larik yang menarik Larik yang menarik dalam puisi biasanya banyak menggunakan permainan, bunyi, baik rima maupun pilihan kata. Biasanya permainan bunyi ini dimaksudkan untuk menciptakan nada dan suasan dalam puisi sehingga akan tampak sikap penyair di dalam puisi yang ditulisnya. i) Pemilihan pengucapan Cara pengucapan adalah ciri khas seorang penyair. Gaya pengucapan ini berkaitan juga dengan penggunaan gaya bahasa seseorang maupun penggunaan imaji (citraan). j) Pemanfaatan gaya bahasa Salah satu sarana untuk mewujudkan estetika bahasa puisi adalah gaya bahasa. Gaya bahasa merupakan saran yang banyak digunkan penyair untuk mengungkapkan pengalaman kejiwaan ke dalan sebuah karya puisi. Gaya bahasa meliputi: majas perbandingan, majas pertentangan, dan majas pertautan. k) Pemilihan tipografi Tipografi atau sering disebut tata bentuk puisi ini merupakan aspek lain yang perlu dipertimbangkan dalam menulis puisi dan memahami puisi. Oleh karena itu, pilihan tipografi tentu akan membantu mengekspresikan isi dan maksud pesan penyair yang ingin disampaikan kepada pembaca.
28
l) Pemuatan aspek psikologis (kejiwaan) Aspek psikologis ini berkaitan erat dengan kesatuan pengucapan seorang penyair. Di samping oleh kejiwaan penyair terhadap suatu persoalan, puisi yang mengandung aspek psikologis ini akan melahirkan nada dalam puisi. Nada, secara umum berkaitan dengan sikap penyair terhadap pembaca berkaitan dengan feeling (sikap) yang dituangkan terhadap persoalan (masalah). m) Pemuatan aspek sosiologis (sosial kemasyarakatan) Aspek sosiologis dalam puisi seringkali menjadi “kekuatan” puisi yang menarik untuk dicermati. Aspek sosiologis ini berkaitan dengan kesatuan pengucapan seorang penyair. Pengucapan dan aspek sosiologis puisi seringkali melahirkan puisi-puisi yang berbobot dan berkualitas. n) Pemilihan judul yang menarik Pemilihan judul yang menarik menjadi hal yang harus dipikirkan dalam menulis puisi. Sebuah judul yang baik harus mencerminkan isi puisi di sisi dan di sisi yang lain penting untuk mempertimbangkan aspek kemenarikan seperti indah, padat, dan bernas. Dari langkah-langkah dalam menulis puisi di atas, dapat disimpulkan bahwa dalam menulis puisi hendaknya memahami unsur fisik maupun unsur batin puisi kemudian merangkainya dalam bentuk bait dengan pemilihan kata yang sarat makna.
3. Hakikat Model Pembelajaran Sinektik dengan Media Audio Visual a. Model Pembelajaran Sinektik 1) Pengertian Model Pembelajaran Sinektik Menurut Gordon (dalam Joyce, Weil, & Calhoun, 2009: 252) sinektik berarti strategi mempertemukan berbagai macam unsur, dengan menggunakan kiasan untuk memeroleh satu pandangan baru. Model sinektik yang ditemukan dan dirancang oleh Gordon ini berorientasi meningkatkan kemampuan pemecahan masalah, ekspresi kreatif, empati, dan wawasan dalam hubungan sosial. Hal tersebut dikarenakan asumsi Gordon tentang kreativitas, yakni kreativitas penting
29
bagi kehidupan sehari-hari; proses kreatif tidak selamanya misterius; penemuan atau inovasi yang dianggap kreatif sama rata di semua bidang dan ditandai oleh proses intelektual yang sama. Model sinektik diterapkan dengan melakukan metafora membandingan satu objek dengan objek lain. Tujuannya yaitu untuk menciptakan lingkungan belajar yang membangun kreativitas dan kemampuan pemecahan masalah pada siswa. Proses metaforik atau analogi tersebut diperlukan keterlibatan emosional siswa. Hal ini sesuai dengan pendapat Paltasingh (2008: 1) yaitu “Metaphors establish a relationship of likeness, the comparison of one object or idea with another object or idea by using one in place of other. Metaphors these substitutions the creative process occurs connecting the familiar with the unfamiliar or creating a new idea from familiar ideas. Metaphor introduced conceptual distance between the student and the object or the subject matter and prompt original thoughts”. Pendapat di atas menjelaskan bahwa metafora membangun hubungan kemiripan, perbandingan dari satu objek atau ide dengan objek lain atau ide dengan menggunakan sesuatu di tempat lain. Melalui subtitusi ini terjadi proses kreatif yang menghubungkan antara yang sudah akrab dengan yang masih asing atau menciptakan sebuah ide baru dari ide-ide asing. Metafora memperkenalkan konsep jarak antara siswa dengan objek atau pokok persoalan dan meminta pikiran asli. Berdasarkan konsep yang dikemukan Paltasingh, maka sinektik merupakan pendekatan pembelajaran dengan penggabungan unsur-unsur atau gagasan-gagasan yang berbeda-beda yang tampaknya tidak relevan untuk peningkatan kemampuan pemecahan masalah, ekspresi kreatif, empati, dan wawasan dalam hubungan sosial. Model ini menuntut keaktifan dan keterlibatan siswa ke dalam karya sastra baik secara individu maupun kelompok . Guru hanya berperan memonitor agar proses analogi dan metafora terarah dengan baik. Adapun pendapat Aunurrahman (2012: 126) bahwa sinektik adalah salah satu model pembelajaran yang didesain oleh Gordon yang pada dasarnya diarahkan untuk mengembangkan kreativitas. Pendapat senada juga dikemukakan oleh Rusman (2012: 144) bahwa model sinektik bertujuan mengembangkan kreativitas dan pemecahan masalah secara kreatif. Kedua pendapat tersebut mengutamakan proses kreativitas sebagai langkah dalam tujuan pembelajaran.
30
Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahawa model pembelajaran sinektik adalah model pembelajaran yang mengarahkan siswa untuk berprikir kreatif dengan menuangkan gagasan atau pandangan baru dari
hasil
penganalogian metafora. 2) Akivitas Metaforis dalam Model Pembelajaran Sinektik Aktivitas metaforis dalam model sinektik dilakukan guna membangun perumpamaan maupun membandingan objek satu dengan yang lainnya. Joyce, Weil, & Calhoun (2009: 254) menyatakan bahwa terdapat tiga jenis analogi yang diterapkan dalam latihan model sinektik. Ketiga jenis analogi tersebut yaitu a) Analogi Personal Pada analogi personal siswa diharuskan berempati pada gagasan atau subjek-subjek yang dibandingkan. Siswa harus merasa bahwa mereka menjadi bagian dari unsur fisik dari masalah tersebut. Jadi, siswa diharuskan lepas dari identitas diri sendiri menjadi objek lain yang akan dibandingan. Identifikasi analogi personal dapat diterapkan pada orang, tumbuhan, hewan, atau bendabenda mati. Dalam kegiatan membuat analogi langsung, siswa melibatkan dirinya sebagai objek yang dibandingkan. Misalnya, siswa disuruh membandingkan dirinya dengan telepon genggam. Kemudian ditanyakan apa yang ingin dikuasai jika siswa menjadi telepon? Nada dering apa yang ingin dipilih? Ingin berbicara dengan siapa? Tujuan pertanyaan tersebut untuk mengarahkan jarak konseptual agar terbentuk dengan baik, semakin besar jarak konseptualnya maka semakin besar diperoleh gagasan baru. Gordon (dalam Joyce, Weil, & Calhoun, 2009: 254255) mengidentifikasikan empat tingkat keterlibatan dalam analogi personal: (a) deskripsi orang pertama terhadap fakta-fakta; (b) identifikasi orang pertama terhadap emosi; (c) identifikasi empatik terhadap makhluk hidup; dan (d) identifikasi empatik terhadap benda mati. b) Analogi Langsung Analogi langsung merupakan perbandingan dua objek atau konsep. Perbandingan tidak harus selalu identik dalam segala hal. Fungsinya cukup sederhana, yaitu untuk mentransposisikan kondisi-kondisi atau topik atau situasi
31
permasalahan yang asli pada situasi lain untuk menghadirkan pandangan baru tentang gagasan atau masalah. Dapat dikatakan pada analogi langsung perbandingan antara dua objek atau masalah tidak harus sama dalam semua aspek, karena tujuan sebenarnya adalah mentransformasikan objek pada situasi lain sehingga terbentuk cara pandang baru. Pada analogi langsung dapat dilakukan dengan memberikan pertanyaan pada siswa untuk menemukan masalah yang sejajar dengan situasi kehidupan nyata. Misalnya, bagamana memakai pakain seperti mengunci pintu rumah? Keduanya sama-sama seperti menyekap/menutupi sesuatu. Efektivitas analogi langsung
dapat
dilihat
dari
jarak
konseptualnya,
semakin
jauh
jarak
konseptualnya, maka semakin baik analoginya. c) Konflik Padat Bentuk metafora ketiga adalah konflik padat, secara umum didefinisikan sebagai frasa yang terdiri dari dua kata di mana kata-kata tersebut tampak berlawanan dengan kata yang lain. Jadi, konflik padat mengombinasikan dua kata yang berbeda atau berlawanan terhadap suatu objek sehingga terlihat dua kerangka atau acuan yang berbeda. Konflik padat bisa diciptakan dengan menghadirkan beberapa benda atau meminta orang memanipulasinya. Misalnya, bagaimana jika komputer malu tetapi agresif? Mesin apa yang seperti senyuman dan kerutan dahi? Tujuan konflik padat ini untuk memperluas pemahaman siswa tentang penemuan objek yang
berkontradiktif
kemudian
menjelaskannya
kenapa
objek
tersebut
berkontradiktif. 3) Langkah-langkah Model Pembelajaran Sinektik Aunurrahman (2012: 163) berpendapat bahwa penerapan model sinektik dalam proses pembelajaran dilakuakn secara enam tahap: (1) guru menugaskan siswa
untuk
mendeskripsikan
situasi
yang
ada
sekarang;
(2)
siswa
mengembangkan berbagai analogi; (3) siswa menjadi bagian dari analoginya; (4) siswa mengembangkan pikiran dalam bentuk deskripsi-deskripsi; (5) siswa menyimpulkan; dan (6) guru mengarahkan agar siswa kembali pada tugas dan
32
masalah semula dengan menggunakan analogi-analogi terakhir atau dengan menggunakan seluruh pengalaman sinektik. Lain halnya dengan pendapat Aunurrahman yang membagi model sinektik menjadi enam tahapan, Joyce, dkk. membagi model sinektik menjadi dua strategi. Joyce, Weil, & Calhoun. (2009:257) menyatakan ada dua strategi dari model pembelajaran sinektik, yaitu model pembelajaran yang menciptakan sesuatu yang baru (creating something new) dan strategi pembelajaran untuk melazimkan terhadap sesuatu yang masih asing (making the strange familiar). Tahapan dari strategi pertama model pembelajaran sinektik dijelaskan dalam Tabel 2 di bawah ini. Tabel 2. Struktur Strategi Pertama Model Pembelajaran
Tahapan Struktur Strategi Pertama, Membuat Sesuatu yang Baru Tahap Pertama
Siswa mengambil deskripsi-deskripsi
Mendeskripsikan Situasi Saat Ini
dari tahap kedua dan ketiga,
Guru meminta siswa untuk
mengusulkan beberapa analogi
mendeskripsikan situasi atau
konflik padat, dan memilih salah
topik yang mereka lihat saat ini.
satunya.
Tahap kedua
Tahap Kelima
Analogi Langsung
Analogi Langsung
Siswa mengusulkan analogi-analogi
Siswa membuat dan memilih analogi
langsung, memilihnya, dan
langsung yang lain, yang didasarkan
mengeksplorasi
pada analogi konflik padat.
(mendeskripsikannya) lebih jauh
Tahap Keenam
Tahap Ketiga
Memeriksa Kembali Tugas Awal
Analogi Personal
Guru meminta siswa kembali pada
Siswa “menjadi” analogi yang telah
masalah awal dan menggunakan
mereka pilih dalam tahap kedua tadi.
analogi terakhir dan atau seluruh
Tahap Keempat
pengalaman sinektiknya.
Konflik Padat Sumber: Joyce, Weil, & Calhoun (2009: 258)
33
Adapun untuk strategi kedua model pembelajaran sinektik dijelaskan pada Tabel 3 di bawah ini
Tabel 3. Struktur Strategi Kedua Model Pembelajaran
Tahapan Strategi Kedua, Membuat Sesuatu yang Asing Tahapan Pertama
Tahap Kelima
Input Substantif
Menjelaskan Perbedaan-
Guru memberikan informasi tentang
Perbedaan
topik baru
Siswa menjelaskan di mana saja
Tahap kedua
analogi-analogi yang tidak sesuai
Analogi Langsung
Tahap Keenam
Guru mengusulkan analogi langsung
Eksplorasi
dan meminta siswa
Siswa mengeksplorasi kembali topik
mendeskripsikannya.
asli.
Tahap Ketiga
Tahap Ketujuh
Analogi Personal
Membuat Analogi
Guru meminta siswa “menjadi”
Siswa menyiapkan analogi langsung
analogi langsung
dan mengeksplorasi persamaan-
Tahap Keempat
persamaan dan perbedaan-perbedaan.
Membandingkan Analogi-Analogi Siswa mengidentifikasi dan menjelaskan poin-poin kesamaan antara materi baru dengan analogi langsung.
Sumber: Joyce, Weil, & Calhoun (2009: Sumber: 265) Joy
34
4) Kelebihan dan Kekurangan Model Pembelajaran Sinektik Kelebihan dan kekurangan model pembelajaran sinektik menurut Sakdiahwati (2008: 167), yaitu sebagai berikut: Kelebihan a) Strategi ini bermanfaat untuk mengembangkan pengertian baru pada diri siswa tentang suatu masalah sehingga dia sadar bagaimana bertingkah laku dalam situasi tertentu. b) Strategi ini bermanfaat karena dapat mengembangkan kejelasan pengertian dan internalisasi pada diri siswa tentang materi baru. c) Strategi ini dapat mengembangkan berpikir kreatif, baik pada diri siswa maupun guru. d) Strategi ini dilaksanakan dalam suasana kebebasan intelektual dan kesamaan martabat antara siswa. e) Strategi ini membantu siswa menemukan cara berpikir baru dalam memecahkan suatu masalah. Kekurangan a) Sulit dilakukan oleh guru dan siswa yang sudah terbiasa menggunakan cara lama yang menekankan pada penyampaian informasi. b) Metode ini menitikberatkan pada berpikir reflektif dan imajinatif dalam situasi tertentu, maka kemungkinan besar siswa kurang menguasai faktafakta dan prosedur pelaksanaan atau keterampilan. c) Kurang memadahinya sarana dan prasarana pendidikan di sekolahsekolah. b. Media Audio Visual 1) Pengertian Media Pembelajaran Media merupakan hal yang penting dalam menunjang proses belajar mengajar. Dengan adanya media pembelajaran, peran guru menjadi semakin luas. Sementara bagi siswa, media pembelajaran akan merangsang siswa untuk memhamai materi dengan efektif dan efisien. Menurut Arsyad (2014: 4), media pembelajaran adalah komponen sumber belajar atau wahana fisik yang mengandung materi intruksional di lingkungan siswa yang dapat merangsang siswa untuk belajar. Pendapat senada juga dikatakan oleh Indriana (2011: 16) media pengajaran adalah semua bahan dan alat fisik yang mungkin digunakan untuk mengimplementasikan pengajaran dan memfasilitasi prestasi siswa terhadap sasaran atau tujuan pengajaran. Kedua pendapat tersebut menyatakan bahwa media pengajaran berperan dalam peningkatan proses belajar bagi siswa.
35
Aqib (2013: 50) mendefinisikan media pembelajaran sebagai segala sesuatu yang dapat digunakan untuk menyampaikan pesan dan merangsang terjadinya proses belajar pada si pembelajar (siswa). Media pembelajaran tersebut mencakup makna yang lebih luas dari alat peraga dan alat bantu mengajar. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Kustandi & Sutjipto (2011: 10), media pembelajaran memiliki pengertian non-fisik yang dikenal sebagai software (perngkat lunak), yaitu kandungan pesan yang terdapat dalam perngkat keras yang merupakan isi yang ingin disampaikan kepada siswa pada proses belajar baik di dalam maupun di luar kelas. Sementara media pembelajaran memiliki pengertian fisik yang dewasa ini dikenal sebagai hardware (perangkat keras), yaitu sesuatu benda yang dapat dilihat, didengar, atau diraba dengan pancaindera. Hamallik (dalam Arsyad, 2014: 2) menjelaskan bahwa guru/ pengajar harus memiliki pengetahuan dan pemahaman yang cukup tentang media pembelajaran, yang meliputi: (1) media sebagai alat komunikasi guna lebih mengefektifkan proses belajar mengajar; (2) fungsi media dalam rangka mencapai tujuan; (3) seluk-beluk proses belajar; (4) hubungan antara metode mengajar dan media pembelajaran; (5) nilai atau manfaat metode pendidikan dalam pembelajaran; (6) pemilihan dan penggunaan media pendidikan; (7) berbagai jenis alat dan teknik media pendidikan; (8) media pendidikan dalam setiap mata pelajaran; dan (9) usaha inovasi dalam media pendidikan. Mengacu pada penjelasan para ahli dapat dirumuskan bahwa media pembelajaran adalah perangkat komunikasi dalam pembelajaran baik perangakat lunak maupun perangkat keras agar siswa mampu menerima materi ajar dengan lebih mudah sehingga tujuan pembelajaran tercapai. 2) Fungsi dan Manfaat Media Pembelajaran Hamalik (dalam Arsyad, 2014: 19) mengemukakan bahwa pemakaian media pembelajaran dalam proses belajar dapat membangkitkan keinginan dan minat yang baru, membangkitkan motivasi dan rangsangan kegiatan belajar, dan bahkan membawa pengaruh-pengaruh psikologis terhadap siswa. Selain membangkitkan motivasi dan minat siswa, media pembelajaran juga dapat membantu siswa meningkatkan pemahaman, menyajikan data dengan menarik dan terpercaya, memudahkan penafsiran data, dan memadatkan informasi.
36
Pendapat Hamalik tersebut menitikberatkan fungsi penggunaan media terutama bagi siswa. Levi & Lentz (dalam Kustandi & Sutjipto, 2011: 20) mengemukakan empat fungsi media pembelajaran, khususnya visual, yaitu (1) fungsi atensi, menarik dan mengarahkan perhatian siswa untuk berkonsentrasi kepada isi pembelajaran; (2) fungsi afektif, terlihat dari tingkat kenikmatan siswa ketika belajar atau membaca; (3) fungsi kognitif, bertujuan untuk memahami dan mengingat
informasi
atau
pesan;
dan
(4)
fungsi
kompensatoris,
mengorganisasikan informasi dalam bentuk teks dan mengingatnya kembali. Secara garis besar media pembelajaran berfungsi untuk membantu siswa yang mengalamai kesulitan belajar dalam menerima dan memahami isi pembelajaran sehingga tujuan dari proses dan hasil pembelajaran dapat tercapai. Sudjana & Rivai (dalam Kustandi & Sutjipto, 2011: 25) berpendapat bahwa media pembelajaran bermanfaat dalam proses pembelajaran, yaitu (a) pembelajaran akan lebiih menarik perhatian siswa; (b) bahan pembelajaran akan lebih jelas maknanya; (c) metode mengajar lebih bervariasi; dan (d) siswa dapat lebih banyak melakukan kegiatan belajar sebab tidak hanya mendengarkan ujaran guru,
tetapi
juga
aktivitas
mengamati,
melakukan,
mendemonstrasikan,
memerankan, dan lain-lain. Manfaat media pembelajaran dalam proses belajar mengajar menurut Arsyad (2014: 29-30) di antaranya: (1) media pembelajaran dapat memperjelas penyajian pesan dan informasi sehingga dapat memperlancar dan meningkatkan proses dan hasil belajar; (2) media pembelajaran dapat meningkatkan dan mengarahkan perhatian anak sehingga dapat menimbulkan motivasi belajar, interkasi yang lebih langsung antara siswa dan lingkungannya, dan kemungkinan siswa untuk belajar sendiri-sendiri sesuai dengan kemampuan dan minatnya; (3) media pembelajaran dapat mengatasi keterbatasan indera, ruang, dan waktu; dan (4) media pembelajaran dapat memberikan kesamaan pengalaman kepada siswa tentang peristiwa-peristiwa di lingkungan mereka. Dapat dikatakan bahwa adanya media pembelajaran sangat penting bagi para guru maupun siswa. Guru lebih mudah menyampaikan materi secara variatif
37
sementara siswa didorong untuk lebih aktif dalam kegiatan pembelajaran. Hal tersebut didukung oleh penelitian dari Barikly (2013) berjudul “Keefektifan Model
Pembelajaran
Sinektik
Berbantuan
Media
Film
Pendek
dalam
Pembelajaran Menulis Puisi pada Siswa Kelas VIII SMP N 2 Depok, Sleman.” Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara keterampilan menulis puisi yang menggunakan model pembelajaran sinektik berbantuan media film pendek dengan siswa yang diberi pembelajaran tanpa model sinektik berbantuan media film pendek. 3) Dasar Pertimbangan Media Pembelajaran Banyak faktor yang dipertimbangkan dalam memilih suatu media pembelajaran. Salah satu pertimbangan pemilihan media pembelajaran yaitu disesuaikan dengan tujuan yang akan dicapai. Pada dasarnya media digunakan untuk memudahkan kegiatan pembelajaran, bukan untuk menghambat kegiatan pembelajaran. Maka dari itu guru harus cermat dalam menentukan media pembelajaran yang akan digunakan. Dick & Crey (dalam Sadiman, dkk., 2008: 86) menyebutkan bahwa ada empat faktor dalam pemilihan media pembelajaran. Pertama, ketersedian sumber setempat. Artinya, bila media yang bersangkutan tidak terdapat pada sumbersumber yang ada, harus dibeli atau dibuat sendiri. Kedua, apakah untuk membeli atau memproduksi sendiri tersebut ada dana, tenaga, dan fasilitasnya. Ketiga, faktor yang menyangkut keluwesan, kepraktisan, dan ketahanan media yang bersangkutan untuk waktu yang lama. Artinya, media tersebut dapat digunakan dimanapun dengan peralatan yang ada di sekitarnya dan kapanpun serta mudah dipindahkan. Keempat, efektivitas biaya dalam waktu jangka yang panjang. Dasar pertimbangan pemilihan media pembelajaran yang juga penting adalah apakah guru dapat mengoperasikan media tersbut. Proyektor, transparasi (OHP), proyektor slide dan film, komputer, dan peralatan canggih lainnya tidak akan mempunyai arti apa-apa jika guru belum dapat menggunakannya dalam proses pembelajaran sebagai upaya mempertinggi mutu dan hasil belajar (Arsyad, 2014: 75). Pendapat tersebut benar adanya karena nilai guna suatu media pembelajaran tidak dapat dirasakan bila tidak dimanfaatkan secara maksimal oleh
38
guru. Oleh sebab itu, kini guru dituntut untuk pintar dalam memilih dan menggunakan media pembelajaran. 4) Media Berbasis Audio Visual Jenis media yang dimanfaatkan dalam proses pembelajaran cukup beragam, dari media yang sederhana sampai dengan media yang cukup rumit dan canggih. Semuanya memilki kelemahan dan kekurangan masing-masing. Dari sekian banyak media, media audio visual sangat efektif dan efisien diaplikasikan dalam proses pembelajaran. Menurut Anitah (2009: 55), media audio visual adalah media yang menunjukkan unsur auditif (pendengaran) maupun unsur visual (penglihatan), jadi dapat dipandang maupun didengar suaranya. Pendapat tersebut sejalan dengan Kustandi & Sutjipto (2011: 95) bahwa media audio visual adalah media visual yang menggabungkan penggunaan suara memerlukan pekerjaan tambahan untuk memproduksinya. Dapat dikatakan media audio visual merupakan gabungan dari media audio juga visual. Penggunaan media audio visual sangat baik diaplikasikan dalam proses pembelajaran karena materi yang disampaikan bisa dilihat serta bisa didengar sekaligus. Hal ini akan membuat daya imajinasi maupun daya ingat siswa bisa meningkat. Sehingga tujuan pembelajaran dapat tercapai dengan baik. Haryoko (2009: 3) mengemukakan media audio visual dibagi menjadi dua yaitu (a) audio visual diam, yaitu media yang menampilkan suara dan gambar diam seperti film bingkai suara (sound slide), film bingkai suara, dan cetak suara; (b) audio visual gerak, yaitu media yang dapat menampilkan unsur suara dan gambar yang bergerak seperti film suara dan video kaset. Pembagian lain dari media audio visual adalah (a) audio visual murni, yaitu baik unsur suara maupun gambar berasal dari satu sumber seperti film video kaset; (b) audio visual tidak murni, yaitu yang unsur suara dan unsur gambar berasal dari sumber yang berbeda, misalnya film bingkai suara yang unsur gambarnya dan slide proyektor dan unsur suaranya bersumber dari tape recorder. Masih banyak pembagian media audio visual lainnya mengingat kini perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi khususnya dalam dunia
39
pembelaajran semakin diperbaharui. Semuanya berkontribusi dalam penunjang pembelajaran terlepas dari kelemagan dan kelebihan yang dimilikinya. 5) Video Sebagai Media Pembelajaran Berbasis Audio Visual Dalam
penelitian ini penulis menggunkan media audio visual berupa
video. Video merupakan suatu medium yang sangat efektif untuk membantu proses
pembelajaran,
baik
pembelajaran
massal,
individual,
maupun
berkelompok. Video juga merupakan bahan ajar noncetak yang kaya informasi dan tuntas karena dapat sampai kehadapan siswa secara langsung. Di samping itu, video menambah suatu dimensi baru terhadap pembelajaran, hal ini karena karakteristik teknologi video yang dapat menyajikan gambar bergerak pada siswa, sekaligus suara yang meyertainya. Oleh karena itu, diharapkan siswa merasa seperti berada di suatu tempat yang sama dengan yang ditampilkan pada video. Daryanto menyatakan bahwa (2013: 88) media video adalah segala sesuatu yang memungkinkan sinyal audio dapat dikombinasikan dengan gambar bergerak secara sekuensial. Sementara Desrianti, Rahardja, & Mulyani (2012: 138) memberi definisi lebih luas mengenai video yaitu sebagai teknologi untuk menangkap, merekam, memproses, mentransmisikan, dan menata ulang gambar bergerak. Namun, pendapat tersebut cenderung mengacu pada pengolahan gambar belum mencakup suara. Dari beberapa pendapat tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa video adalah sajian gambar yang bergerak yang direkam atau diciptakan dengan menggunakan efek suara. Program video dapat dimanfaatkan dalam program pembelajaran, karena dapat memberikan pengalaman yang tidak terduga kepada siswa, selain itu juga program video dapat dikombinasikan dengan animasi dan pengaturan kecepatan untuk mendemonstrasikan perubahan dari waktu ke waktu. Kemampuan video dalam memvisualisasikan materi terutama efektif untuk membantu guru menyampaikan materi yang bersifat dinamis. Materi yang memerlukan visualisasi yang mendemonstrasikan hal-hal seperti gerakan motorik tertentu, seperti ekspresi wajah maupun suasana tertentu sangat baik disajikan melalui video. Hal tersebut berguna dalam pendeskripsian suatu materi secara jelas.
40
Kemajuan teknologi video tersedia dalam format kaset, CD, VCD, DVD, dan lain-lain. Hal ini memudahkan dalam pemutaran video lewat video player, VCD, DVD, LCD, maupun melalui televisi yang disesuaikan dengan fasilitas yang ada di masing-masing sekolah. Sebuah video dapat dibuat sendiri oleh guru ataupun dengan mengunduh lewat internet. Umumnya sebuah video yang digunakan dalam media pembelajaran dapat diunduh dengan mudah melalui media sosial youtube. Hal tersebut sangat efisien mengingat banyak video yang diunggah sebagai media pembelajaran. Dengan demikian, guru dapat dengan leluasa memilih video mana yang sesuai dengan materi ajar serta model pembelajaran yang akan digunakan. Dalam pemanfaatan video dalam proses pembelajaran, hendaknya tetap memerhatikan evaluasi pembelajaran. Seperti yang diungkapkan Desrianti, Rahardja, & Mulyani (2012: 136) yaitu sesudah program video diputar harus diadakan diskusi agar siswa mampu memahami isi video, mampu mencari pemecahan masalah, dan mampu menjawab pertanyaan. Selain itu perlu diadakan tes agar mampu mengukur berapa banyak informasi yang dipahami siswa melalui pemutaran video. Keuntungan dan kelemahan menggunakan video menurut Daryanto (2013: 90), antara lain: a) Ukuran tampilan video sangat fleksibel dan dapat diatur sesuai dengan kebutuhan. b) Video merupakan bahan ajar non cetak yang kaya informasi dan lugas karena dapat sampai kehadapan siswa secara langsung. c) Video menambah suatu dimensi baru terhadap pembelajaran. Sementara kelemahan dari media video anatara lain: a) Fine details artinya media tayangnya tidak dapat menampilkan objek sampai yang sekecil-kecilnya dengan sempurna. b) Size information artinya tidak dapat menampilkan objek dengan ukuran yang sebenarnya. c) Third dimention artinya gambar yang diproyeksikan oleh video umumnya berbentuk dua dimensi. d) Opposition artinya pengambilan yang kurang tepat dapat menyebabkan timbulnya keraguan penonton dalam menafsirkan gambar yang dilihatnya. e) Setting artinya kalau kita tampilkan adegan dua orang yang sedang bercakap-cakap di antara banyak orang, akan sulit menebak settingnya.
41
f) Material pendukung video membutuhkan alat proyeksi untuk dapat menampilkan gambar yang ada didalamnya. g) Budget artinya biaya untuk membuat program video membutuhkan biaya yang tidak sedikit. c. Langkah-langkah Penerapan Model Pembelajaran Sinektik dengan Media Audio Visual dalam Pembelajaran Mengonversi Teks Anekdot Menjadi Puisi Berikut langkah-langkah penerapan model pembelajaran sinektik dengan media audio visual dalam pembelajaran mengonversi teks anekdot menjadi puisi 1) Guru memberi salam, berdoa, dan mengondisikan siswa untuk siap memulai pembelajaran. 2) Guru menyampaikan tujuan pembelajaran dan penjelasan tentang manfaat menguasai materi pembelajaran. 3) Guru bertanya jawab mengulas materi yang telah dipelajari dan yang akan dipelajari, yaitu mengonversi teks anekdot menjadi puisi. 4) Guru membagi siswa dalam beberapa kelompok yang terdiri dari 4-5 siswa setiap kelompoknya. 5) Guru menginstrusikan siswa untuk mengamati teks anekdot “Puntung Rokok” dan contoh puisi “Ini Singapura bukan Indonesia”. 6) Guru menginstrusikan siswa untuk berdiskusi, bertanya jawab mengenai pengertian, struktur, dan kaidah bahasa dalam puisi. Guru membimbing dan menjelaskan materi yang belum dipahami siswa. 7) Guru memberi tugas masing-masing kelompok untuk mengonversi teks anekdot menjadi puisi dengan tema kerusakan lingkungan. 8) Guru menjelaskan langkah-langkah mengonversi teks anekdot menjadi puisi menggunakan model sinektik, yaitu a) Guru menampilkan objek yang ditampilkan melalui video “Campaign DBMP Kota Bandung-Sungai dan Asap Membawa Maut.” b) Setiap kelompok memilih salah satu dari objek yang diamati (sampah, sungai, banjir, dan asap) sesuai dengan kesepakatan.
42
c) Guru meminta siswa membuat analogi personal melalui deskripsi dari objek yang diamati berupa poin-poin atau kata kunci dari objek yang dipilihnya. Untuk membantu siswa, guru bisa memberikan pertanyaan. Misal objek yang dipilih adalah banjir, maka guru dapat memberikan pertanyaan yang dapat membantu membuat analogi langsung diantaranya Bagaimana pendapat kalian tentang banjir? Mengapa bisa terjadi banjir? Kapan biasanya terjadi banjir? Apa efek banjir? Apa yang kamu lakukan saat banjir datang? Bagaimana menanggulangi banjir? c) Guru meminta siswa untuk membuat analogi langsung, yaitu membuat perbandingan dari objek yang diamati dengan masalah yang dipilihnya. Kemudian mendeskripsikannya dalam bentuk kalimat dengan bimbingan guru. Contoh, Bagaimana banjir seperti perayaan? Setiap tahun selalu dikirim Tuhan sebagai bingkisan. d) Guru
meminta
siswa
untuk
membuat
konflik
padat,
yaitu
mengombinasikan dua kata yang berbeda atau berlawanan terhadap suatu objek sehingga terlihat dua kerangka atau acuan yang berbeda. Bagaimana banjir seperti selimut?Menyelimuti rumah dan menyelimuti jalan. Namun, tak menghangatkan. Justru membuat penderitaan. e) Siswa secara berkelompok mengembangkan pemikirannya tentang objek yang
dipilih
kemudian
dituliskan
dalam
bentuk
puisi
dengan
memerhatikan unsur batin dan unsur fisik puisi berdasarkan proses sinektik yang telah dilaluinya. Pada Musim Penghujan
Banjir sudah seperti perayaan Yang setiap tahunnya dikirim Tuhan sebagai bingkisan
43
Semuanya jadi tergenang Pertokoan, perkantoran, sekolah, dan jalanan tampak lengang
Banyak yang menangis kelaparan Dilanda dingin butuh kehangatan Ada yang sakit-sakitan butuh segera pengobatan
Banjir sesukanya datang Kapan, dan ke mana ia bertandang Tak ada bisa yang melawan Semua itu buah tangan manusia pecundang Hobinya buang sampah sembarangan
Pada musim penghujan Banjir bagai selimut dingin Menyelimuti rumah, menyelimuti jalan Namun tak menghangatkan Justru membuat penderitaan
f) Selanjutnya para siswa berdiskusi kembali dengan kelompoknya tentang kaidah dan struktur puisi dari hasil mengonversi teks anekdot. 9) Guru melakukan monitoring dan memberi masukan pada puisi-puisi siswa. 10) Setiap kelompok mempresentasikan hasil mengonversi teks anekdot menjadi puisi di depan kelas dan dilanjutkan diskusi. 11) Guru membimbing serta memberi evaluasi dan refleksi tentang mengonversi teks anekdot menjadi puisi menggunkan model pembelajran sinektik dengan media audio visual. 12) Guru memberi tugas pada pertemuan selanjutnya. 13) Guru menutup pembelajaran dengan doa dan salam.
44
4. Penilaian dalam Pembelajaran Mengonversi Teks Anekdot Menjadi Puisi Model pembelajaran sinektik yang dirancang untuk meningkatkan motivasi dan keterampilan mengonversi tek anekdot menjadi puisi ini diharapkan mampu untuk mengatasi permasalahan siswa yaitu motivasi dalam pembelajaran dan keterampilan mengonversi tek anekdot menjadi puisi. Dengan diterapkan model pembejaran sinektik, siswa dapat terdorong untuk berpikir secara lebih kreatif. Untuk mengetahui proses dan hasil belajar dapat berlangsung secara baik atau tidak maka perlu adanya penilaian. Penilaian adalah suatu proses untuk mengetahui apakah proses dan hasil suatu program telah sesuai dengan tujuan atau kriteria yang telah ditetapkan (Suwandi, 2009a: 15). Penelitian ini mengunakan dua bentuk penilaian untuk menilai keberhasilan dalam kegiatan pembelajaran mengonversi tek anekdot menjadi puisi, yaitu penilaian motivasi sebagai penilaian proses belajar dan penilain hasil karya siswa berupa puisi sebagai penilaian hasil belajar. a. Penilaian Motivasi Pembelajaran Mengonversi Teks Anekdot Menjadi Puisi Motivasi dalam pembelajaran dapat dilihat atau disimpulkan dari usaha yang kontinu walaupun sudah tidak dikontrol oleh guru. Dorongan aktivitas untuk belajar yang dilakukan siswa muncul dengan sendirinya tanpa perlu disuruh. Dengan kata lain, bila keinginan untuk belajar dari siswa sudah dimiliki maka siswa disebut memiliki motivasi. Supratiknya (2012: 44) menilai motivasi siswa dengan mengamati tingkah laku siswa saat memerhatikan pejelasan guru, membuat catatan, menyimak pelajaran, dan mengajukan pertanyaan. Cara untuk mengukur motivasi dalam pembelajaran dapat juga diketahui dari bagaimana perhatian siswa terhadap materi yang diajarkan dan konsentrasi siswa saat mengikuti proses pembelajaran ataupun mengerjakan tugas. Lebih spesifiknya Wena (2014: 33) menetapkan indikatorindikator dalam mengukur motivasi dalam pembelajaran, yaitu (1) keantusiasan dalam belajar, (2) minat atau perhatian pada pembelajaran, (3) keterlibatan dalam pembelajaran, (4) rasa ingin tahu pada isi pembelajaran, (5) ketekunan dalam
45
belajar, (6) selalu berusaha mencoba, dan (7) aktif mengatasi tantangan yang ada dalam pembelajaran. Dengan mempertimbangkan pendapat di atas, peneliti melakukan penilaian motivasi pembelajaran dengan menggunakan pedoman sesuai dengan Tabel 4 di bawah ini.
Tabel 4. Penilaian Motivasi Pembelajaran Mengonversi Teks Anekdot Menjadi Puisi No Nama Aspek penilaian motivasi pembelajaran Skor Nilai siswa Minat pada Keaktifan Keantusiasan Keterlibatan pembelajaran selama dalam dalam pembelajaran pembelajaran pembelajaran 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Sumber: diadaptasi dari Wena (2014: 33)
Keterangan Nilai = Perolehan skor x 100 Jumlah skor maksimal Adapun untuk menghitung perolehan skor dalam menilai motivasi pembelajaran digunakan pedoman penilaian sesuai Tabel 5 di bawah ini.
46
Tabel 5. Pedoman Penilaian Motivasi Pembelajaran Mengonversi Teks Anekdot Menjadi Puisi Aspek yang dinilai Minat dalam pembelajaran Siswa sangat berminat dalam memerhatikan seluruh kegiatan pembelajaran dari awal sampai akhir atas kemauannya sendiri. Siswa berminat dalam memerhatikan seluruh kegiatan pembelajaran dari awal sampai akhir atas kemauannya sendiri. Siswa cukup berminat dalam memerhatikan sebagian kegiatan pembelajaran setelah disuruh oleh guru. Siswa tidak berminat dalam memerhatikan kegiatan pembelajaran dari awal sampai akhir. Siswa sangat tidak berminat dalam memerhatikan kegiatan pembelajaran dari awal sampai akhir. Keaktifan selama pembelajaran Siswa sangat aktif bertanya, menanggapi pertanyaan, dan melakukan umpan balik dengan penuh rasa percaya diri. Siswa aktif bertanya, menanggapi pertanyaan, dan melakukan umpan balik namun kurang memiliki percaya diri. Siswa cukup aktif bertanya, menanggapi pertanyaan, dan melakukan umpan balik setelah disuruh oleh guru. Siswa tidak aktif bertanya, menanggapi pertanyaan, dan melakukan umpan balik namun tidak sesuai dengan konteks. Siswa sangat tidak aktif dalam bertanya, menanggapi pertanyaan, dan melakukan umpan balik dalam pembelajaran. Keantusiasan dalam pembelajaran Siswa sangat antusias dalam belajar, mengerjakan tugas maupun mengerjakan ulangan. Siswa antusias dalam belajar, namun tidak semangat saat mengerjakan tugas dan mengerjakan ulangan. Siswa cukup antusias dalam belajar, mengerjakan tugas maupun mengerjakan ulangan. Siswa tidak antusias dalam belajar, mengerjakan tugas maupun mengerjakan ulangan. Siswa sangat tidak antusias dalam belajar, mengerjakan tugas maupun mengerjakan ulangan. Keterlibatan dalam pembelajaran Siswa sangat terlibat dalam pemecahan masalah, berdiskusi, dan bertanggung jawab dalam melakukan tugas. Siswa terlibat dalam pemecahan masalah dan berdiskusi namun kurang bertanggung jawab dalam melakukan tugas. Siswa cukup terlibat dalam pemecahan masalah, berdiskusi, dan bertanggung jawab dalam melakukan tugas setelah disuruh oleh guru/ temannya.
Skor 5-1 5 4 3 2 1 1-5 5 4 3 2 1 5-1 5 4 3 2 1 5-1 5 4 3
47
Siswa tidak terlibat dalam pemecahan masalah, berdiskusi, dan bertanggung jawab dalam melakukan tugas. Siswa sangat tidak terlibat dalam pemecahan masalah, berdiskusi, dan mengerjakan tugas. Skor maksimal
2 1 20
Sumber: diadaptasi dari Suwandi (2009a: 130)
b. Penilaian Keterampilan Mengonversi Teks Anekdot Menjadi Puisi Pada penilian hasil pembelajaran mengonversi teks anekdot menjadi puisi, peneliti menggunakan penilaian tes tertulis. Siswa ditugasi untuk mengonversi teks anekdot menjadi puisi. Keterampilan mengonversi teks anekdot menjadi puisi tergolong dalam keterampilan menulis. Untuk itu, dalam melakukan penilaian keterampilan mengonversi teks anekdot menjadi puisi, peneliti mengacu pada penilaian kemampuan menulis puisi siswa yang dirujuk dari teori Nurgiyantoro. Menurut Nurgiyantoro (2010: 487), kisi-kisi rubrik penilaian menulis siswa adalah (1) kebaharuan tema dan makna, (2) keaslian pengucapan, (3) kekuatan imajinasi, (4) ketepatan diksi, (5) pendayaan pemajasan dan citraan, (6) respon afektif guru. Dalam penelitian ini, “kebaharuan tema dan makna” diganti dengan “kesesuaian tema dan makna”. Kemudian “keaslian pengucapan” tidak digunakan dalam penilaian menulis puisi karena kurang sesuai dengan aspek menulis puisi, maka diganti dengan penggunaan rima dalam puisi. Dari pendapat Nurgiyantoro tersebut dapat disimpulkan bahwa penilaian dalam menulis puisi mencakup unsur batin maupun unsur fisik puisi. Berikut rubrik penilain yang digunakan dalam mengukur keterampilan mengonversi teks anekdot menjadi puisi dijelaskan secara rinci pada Tabel 6 di bawah ini.
48
Tabel 6. Penilaian Keterampilan Mengonversi Teks Anekdot Menjadi Puisi
No Nama siswa
Aspek yang dinilai Kesesuaian Rima tema dan makna
Skor Imajinasi Diksi
Nilai
Majas
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Sumber: diadaptasi dari Nurgiyantoro (2010: 487)
Keterangan Nilai = Perolehan skor x 100 Jumlah skor maksimal Pedoman penskoran hasil mengonversi teks anekdot menjadi puisi dapat dilihat pada Tabel 7 di bawah ini.
Tabel 7. Pedoman Penskoran Keterampilan Mengonversi Teks Anekdot Menjadi Puisi Skor Aspek yang dinilai Kesesuaian tema dan makna Isi puisi sesuai dengan tema, makna, dan struktur puisi yang ditentukan. Isi puisi cukup sesuai dengan tema, makna, dan struktur puisi yang ditentukan. Isi puisi kurang sesuai tema, makna, dan struktur puisi yang ditentukan. Isi puisi tidak sesuai dengan tema, makna, dan struktur puisi yang ditentukan.
4-1 4 3 2 1
49
Rima Rima yang digunakan menciptakan variasi bunyi indah dalam puisi. Rima yang digunakan kurang menciptakan variasi bunyi yang indah dalam puisi. Rima yang digunakan cukup menciptakan variasi bunyi yang indah dalam puisi. Rima yang digunakan tidak menciptakan variasi bunyi yang indah dalam puisi. Pengimajian Pengimajian yang digunakan sudah sesuai sehingga efek keindahan yang ditimbulkan terasa dengan baik dan mendukung makna yang diharapkan. Pengimajian yang digunakan cukup sesuai sehingga efek keindahan yang ditimbulkan terasa cukup baik dan cukup mendukung makna yang diharapkan. Pengimajian yang digunakan kurang sesuai sehingga efek keindahan yang ditimbulkan kurang terasa dengan baik dan kurang mendukung makna yang diharapkan. Sama sekali tidak menggunakan pengimajian sehingga efek keindahan yang ditimbulkan sama sekali tidak terasa dan tidak mendukung makna yang diharapkan. Penggunaan Diksi Kata-kata yang digunakan padat, singkat, jelas, dan dapat mengekspresikan perasaan dengan baik. Kata-kata yang digunakan padat, singkat, jelas, dan cukup dapat mengekspresikan perasaan dengan baik. Kata-kata yang digunakan kurang mamapu mengekspresikan perasaan. Kata-kata yang digunakan sama sekali tidak dapat mengekspresikan perasaan. Majas Majas yang digunakan mampu menimbulkan efek keindahan baik dan sesuai konteks puisi. Majas yang digunakan cukup mampu menimbulkan efek keindahan dan cukup sesuai konteks puisi. Majas yang digunakan kurang mampu menimbulkan efek keindahan dan kurang sesuai konteks puisi. Majas yang digunakan sama sekali tidak mampu menimbulkan efek keindahan dan tidak sesuai konteks puisi. Skor maksimal Sumber: Didapatasi dari Nurgiyantoro (2010: 488)
4-1 4 3 2 1 4-1 4
3
2
1
4-1 4 3 2 1 4-1 4 3 2 1 20
50
B. Kerangka Berpikir Berdasarkan uraian yang penulis paparkan dapat disusun kerangka berpikir di mana saat dilaksanakan pembelajaran sebelum dilakukan tindakan, guru menemukan berbagai permasalahan. Masalah yang dihadapai sebelum tindakan yaitu (1) kreativitas siswa kelas X TKJ A SMK Negeri 9 Surakarta dalam mengonversi teks anekdot menjadi puisi masih rendah; (2) rendahnya motivasi siswa pada pembelajaran mengonversi teks anekdot menjadi puisi, dan (3) siswa mengalami kesulitan untuk menemukan ide dan menungakannya dalam tulisan. Sementara permasalahan yang dialami guru mata pelajaran bahasa Indonesia yaitu guru kesulitan menemukan model pembelajaran yang tepat dalam pembelajaran mengonversi teks anekdot menjadi puisi. Selama ini proses belajar mengajar berlangsung dengan metode konvensional sehingga siswa kurang aktif dan belum mempunyai motivasi pembelajaran maksimal. Akibatnya, hasil menulis puisi nilai rata-ratanya masih tergolong rendah. Setelah melakukan observasi dan konsultasi terhadap guru mata pelajaran bahasa Indonesia, peneliti merencanakan melakukan penelitian tindakan kelas dengan menerapkan model pembelajaran sinektik untuk meningkatkan motivasi dan keterampilan mengonversi teks anekdot menjadi puisi pada kelas X TKJ A SMK Negeri 9 Surakarta. Tindakan penelitian kelas ini menggunakan dua siklus. Siklus pertama dengan menerapkan model pembelajaran sinektik dengan media audio visual dalam pembelajaran mengonversi teks anekdot menjadi puisi dengan tahap perencanaan, pelaksanaan, pengamatan, dan refleksi. Untuk siklus kedua menerapakan model pembejaran sinektik dengan media audio visual dengan tahap merevisi peleksanaan tindakan, pelaksanaan, pengamatan, dan refleksi. Hasil akhir dari tindakan ini diduga keterampilan mengonversi teks anekdot menjadi puisi pada siswa kelas X TKJ A SMK Negeri 9 Surakarta dapat meningkat. Guru mampu menggunakan model pembelajaran sinektik dengan media aidio visual dalam pembelajaran mengonversi teks anekdot sehingga pembelajaran akan lebih menarik dan bervariasi serta terjadi timbal balik antara guru dengan siswa. Berikut skema kerangka berpikir dalam penelitian ini dijelaskan pada Gambar 1 di bawah ini.
51
Kondisi Awal Motivasi dan kreativitas siswa kelas X TKJ A SMK Negeri 9 Surakarta dalam megonversi teks anekdot menjadi puisi rendah
Guru
Siswa
Kesulitan
menemukan
Proses Belajar Mengajar
Kreativitas
dan
motivasi
Berlangsung
monoton
dengan
model pembelajaran yang
rendah serta kesulitan untuk
metode ceramah, siswa kurang aktif
tepat dalam pembelajaran
menemukan
ide
dan
dan termotivasi belajar puisi, serta
mengonversi teks anekdot
mengungkapkannya
dalam
tidak ada interaksi antar guru
menjdi puisi
tulisan anekdot menjdi puisi
dengan siswa
Tindakan Kolaborasi Peneliti dengan Guru
Perencanaan
Penerapan model
Refleksi
pembelajaran sinektik
Pelaksanaan
dengan media audio visual
Observasi
Kondisi Akhir Motivasi dan kreativitas siswa kelas X TKJ A SMK Negeri 9 Surakarta dalam megonversi teks anekdot menjadi puisi diduga meningkat. Siswa ampu menemukan ide dan mengungkapkannya dalam megonversi teks anekdot menjadi puisi dengan bahasa tulis yang baik dan benar Motivasi siswa dalam pembelajaran mengonversi teks anekdot menjadi puisi meningkat
Gambar 1. Kerangka Berpikir
52
C. Hopotesis
Berdasarkan kajian teori dan kerangka berpikir dapat dinyatakan bahwa: 1.
Penerapan model pembelajaran sinektik dengan media audio visual dapat meningkatkan motivasi pembelajaran mengonversi teks anekdot menjadi puisi pada siswa kelas X TKJ A SMK Negeri 9 Surakarta tahun ajaran 2015/2016.
2.
Penerapan Model Pembelajaran Sinektik dengan media audio visual dapat meningkatkan keterampilan mengonversi teks anekdot menjadi puisi pada siswa kelas X TKJ A SMK Negeri 9 Surakarta tahun ajaran 2015/2016.