27
BAB II ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN Pada bab ini dibahas mengenai bentuk pelanggaran prinsip kesantunan berdasarkan maksim Leech dan bentuk pelanggaran prinsip kesantunan menurut skala kesantunan Leech dalam acara Pangkur Jenggleng Padhepokan Ayom-ayem. A. Bentuk Pelanggaran Prinsip Kesantuan Terhadap Maksim-Maksim Leech Prinsip kesantunan berkenaan dengan aturan tentang hal-hal yang bersifat sosial, estetis dan moral dalam bertindak tutur (Grice, dalam Rustono, 1999: 61). Prinsip kesantunan terdiri dari tujuh maksim, yaitu maksim kearifan, kedermawanan, pujian, kerendahan hati, kesepakatan, simpati, dan pertimbangan. Dalam acara Pangkur Jenggleng Padhepokan Ayom-ayem, setiap peserta tutur berusaha untuk membuat orang lain senang dan terhibur, tetapi justru banyak melanggar maksim dalam prinsip kesantunan. 1. Maksim Kearifan Maksim kearifan berisi dua submaksim, yaitu a) buatlah kerugian orang lain sekecil mungkin dan b) buatlah keuntungan orang lain sebesar mungkin. Berdasarkan pengamatan, dalam acara Pangkur Jenggleng Padhepokan Ayom-ayem terdapat banyak pelanggaran terhadap maksim kearifan yang terdiri dari kedua submaksim tersebut. a) Buatlah Kerugian Orang Lain Sekecil Mungkin Submaksim pertama dari maksim kearifan ini sengaja dilanggar untuk menimbulkan kelucuan dalam tuturan para pelaku
27
28
tutur yang ada dalam acara Pangkur Jenggleng Padhepokan Ayomayem. Hal tersebut dapat dilihat dalam percakapan di bawah ini. [1] Konteks Tuturan: Resy dan Ario sedang berulang tahun dan mereka mengundang Tere beserta keluarganya dalam acara syukuran ulang tahun mereka. Tere beserta keluarga mendatangi acara syukuran ulang tahun Resy dan Ario yang diadakan secara bersamaan. Bentuk Tuturan: Resy Ario & Resy Ibu
Tere
: Tamune awake dhewe teka. ‘Tamu kita datang.’ : Mangga-mangga! ‘Silahkan-silahkan’ : Wis, wis. Dha nglumpuk gek ayo diobong! ‘Sudah, sudah. Mari berkumpul marilah kita bakar!’ : Eh, kaya apa wae. ‘Eh, seperti apa saja.’ (63/TUPJ/15/02/16)
Pada
percakapan
[1]
terdapat
pelanggaran
prinsip
kesantunan. Tuturan ibu di atas melanggar maksim kearifan, khususnya submaksim pertama karena membuat kerugian orang lain sebesar mungkin. Pelanggaran tersebut terlihat pada tuturan Ibu, Wis, wis. Dha nglumpuk gek ayo diobong! ‘Sudah, sudah. Mari berkumpul marilah kita bakar!’ yang ditujukan pada tamu yang mendatangi syukuran ulang tahun Resy dan Ario. Tuturan tersebut merupakan tuturan menyuruh. Ibu melanggar maksim kearifan karena melanggar maksim kearifan karena memberikan kerugian orang lain. Kerugian itu adalah
29
bahwa tamu undangan syukuran ulang tahun Resy dan Ario akan kehilangan rasa kekeluargaan, kegembiraan untuk merayakan ulang tahun Resy dan Ario jika benar-benar ibu akan membakar segala sesuatu yang ada dalam acara tersebut. Resy dan Ario pasti akan mengalami kerugian karena tamu undangannya akan pergi meninggalkan acara yang sudah direncakan akan sangat membahagiakan mereka. Mereka pasti akan sangat merasa sedih karena mereka seharusnya merayakan hari ulang tahunnya dan merasa sangat bahagia sekaligus mensyukuri segala karunia yang telah Tuhan berikan kepada mereka selama ini tetapi berubah menjadi hari yang sangat menyedihkan bagi mereka berdua. Tuturan yang membuat orang lain merasa dirugikan apabila tuturan yang dituturkan penutur benar-benar terjadi seperti itu merupakan tuturan yang tidak sopan sehingga melanggar prinsip kesantunan. Contoh lain tuturan yang melanggar maksim kearifan khususnya submaksim pertama ialah terdapat pada percakapan sebagai berikut. [2] Konteks Tuturan: Rini dan Widodo adalah suami istri. Rini sedang keluar rumah untuk menagih hutang dari oarang-orang yang berhutang jarit kepadanya sambil berjualan jarit keliling. Widodo di rumah dan memang disuruh oleh istrinya untuk menjaga rumah, maka dari itu
Widodo
dilarang
untuk
pergi
meninggalkan
rumah.
30
Sesampainya Rini di rumah, dia tidak mendapati suaminya dan Rini agak marah pada suaminya karena telah meninggalkan rumah. Tidak lama kemudian Widodo yang tidak lain adalah suami Rini datang dari arah belakang rumah mereka. Bentuk Tuturan: Rini
Widodo Rini
: Lha nggih. Sampeyan niku kula ken tunggu omah. ‘Lha iya. Anda itu saya suruh menunggu rumah.’ : Omah kok ditunggu. ‘Omah kok ditunggu.’ : Iki dilebokne mrika! (sambil memberikan tasnya kepada suami (Widodo) untuk diletakkan di dalam rumah) ‘Ini dimasukkan ke sana!’ (97/PA/PJ/22/02/16)
Pada
percakapan
[2]
terdapat
pelanggaran
prinsip
kesantunan. Tuturan Rini diatas melanggar maksim kearifan, khususnya submaksim pertama karena membuat kerugian orang lain sebesar mungkin. Pelanggaran terlihat pada tuturan Rini, Iki dilebokne mrika! ‘Ini dimasukkan kesana!’. Tuturan Rini tersebut menyuruh mitra tutur untuk melakukan sesuatu sesuai yang diperintahkan oleh penutur. Rini yang baru saja sampai di rumah dan tidak mendapati suaminya ada dirumah itu seketika sedikit marah dan ketika suaminya sudah datang, dia langsung memarai suaminya dan menyuruh untuk memasukkan tasnya ke dalam rumah dengan nada yang agak tinggi. Tuturan Rini tersebut menyuruh suaminya
31
(Widodo) untuk memasukkan tas milik Rini ke dalam rumah, dan dengan
tuturan
tersebut
berarti
Rini
merugikan
Widodo
(suaminya). Berdasarkan tuturan Rini, suaminya itu harus memasukkan tas milik Rini ke dalam rumah mereka, yang berarti Widodo harus melakukan sesuatu yang diperintahkan oleh istrinya. Dengan melakukan sesuatu atas perintah orang lain, berarti yang diperintahkan dalam hal ini orang yang diperintahkan untuk melakukan sesuatu adalah Widodo tersebut telah mengalami kerugian karena tuturan Rini. Tuturan Rini yang bisa merugikan orang lain untuk melakukan sesuatu hal untuk dirinya tersebut merupakan tuturan yang tidak santun dan dalam hal ini tuturan Rini melanggar prinsip kesantunan terhadap maksim kearifan. Data yang menunjukkan pelanggaran terhadap submaksim pertama maksim kearifan adalah data nomor 12, 14, 19, 35, 69, 71, 79, 81, 97, 108, 114, 115 dan 122. b) Buatlah Keuntungan Orang Lain Sebesar Mungkin Submaksim kedua dari maksim kearifan ini adalah buatlah keuntungan orang lain sebesar mungkin, namun submaksim ini sengaja dilanggar untuk menimbulkan kelucuan dalam tuturan para pelaku tutur yang ada dalam acara Pangkur Jenggleng Padhepokan Ayom-ayem. Hal tersebut dapat dilihat dalam percakapan di bawah ini.
32
[3] Konteks Tuturan: Dalijo disuruh oleh pengawalnya untuk menari. Pak Dalijo sebagai pemimpin harusnya dapat memberikan contoh kepada anak buahnya, khusunya dalam hal menari. Maka dari itu, pengawal yang diperankan oleh Sujono itu menyuruh Dalijo untuk menari. Ketika akan menari, Dalijo memilih memerankan tokoh Prabu Rama Wijaya dan pengawalnya dirusuh untuk menjadi sosok Rahwana dalam tarian tersebut. Bentuk Tuturan: Dalijo Pengawal Dalijo
: Oh ngono. Kudu mbeksa iki? ‘Oh begitu. Harus menari ini?’ : Oh iya! ‘Oh iya!’ : Ya, saiki ngene, sampeyan dadi Rahwana aku Prabu Rama Wijaya! ‘Ya, sekarang begini, anda menjadi Rahwana saya Prabu Rama Wijaya!’ (37/Dn/PJ/08/02/16)
Tuturan [3] dapat dilihat terdapat tuturan yang melanggar prinsip kesantunan Leech. Tuturan yang dicetak tebal di atas merupakan tuturan yang melanggar maksim kearifan, terutama terhadap submaksim kedua karena tuturan yang dituturkan Dalijo di atas memberikan keuntungan yang sangat kecil terhadap mitra tuturnya yaitu pengawal yang diperankan oleh Sujono. Dalam hal ini, kerugian diberikan kepada mitra tutur, yaitu pengawal. Pelanggaran yang dilakukan oleh Dalijo itu terlihat
33
dalam tuturan Ya, saiki ngene, sampeyan dadi Rahwana aku Prabu Rama Wijaya!
‘Ya, sekarang begini, anda menjadi
Rahwana saya Prabu Rama Wijaya!’. Tuturan tersebut termasuk tuturan yang sifatnya memerintah, yaitu menyuruh pengawal untuk menjadi sosok Rahwana yang mempunyai sifat kejam, jahat, bengis dan mempunyai paras yang tidak tampan. Sementara itu, Dalijo memilih memerankan tokoh Prabu Rama Wijaya sebagai sosok ksatria yang gagah, berani dan mempunyai paras yang tampan menawan. Apa yang dilakukan Dalijo terhadap pengawalnya seperti itu bukan untuk membuat keuntungan
orang
lain
sebesar
mungkin
tetapi
membuat
keuntungan orang lain sekecil mungkin. Tuturan yang seperti yang dilakukan pak Dalijo tersebut merupakan tuturan yang tidak santun. Pelanggaran terhadap maksim kearifan khususnya submaksim kedua yang lain dapat dilihat pada percakapan berikut ini. [4] Konteks Tuturan: Resy dan Ario yang sedang berulang tahun ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada tamu undangan yang telah menghadiri syukuran ulang tahun mereka. Mereka berdua berebut siapa yang ingin menyampaikan ucapan terima kasih untuk tamu undangan mereka. Akhirnya Ario yang menyampaikan ucapan terima kasih tersebut dan Resy sedikit tidak senang kemudian menimbulkan tuturan yang tidak mengenakkan hati Ario
34
dan Ario membalas dengan tuturan yang juga bisa dinilai tidak sopan. Bentuk Tuturan: Resy
Ario Ibu
: Wis, suwarane rasah dimanis-maniske! ‘Sudah, suaranya tidak perlu dibuat manis!’ : Mbok ya meneng sik ta ya! ‘Bisa diam dulu tidak ya!’ : Wis ta, mbok wis ben ajar omong. ‘Sudah ya, biarlah belajar berbicara.’ (72/TU/PJ/15/02/16)
Pada percakapan [4] terdapat pelanggaran terhadap maksim kearifan,
terutama
terhadap
submaksim
kedua
karena
meminimalkan keuntungan kepada orang lain. Tuturan yang memperlihatkan pelanggaran terhadap maksim kearifan dilakukan oleh Ario, Mbok ya meneng sik ta ya! ‘Bisa diam dulu tidak ya!’, yang ditujukan kepada mitra tuturnya yaitu Resy. Tuturan yang disampaikan oleh Ario tersebut berupa tuturan menyuruh, yaitu menyuruh Resy untuk diam karena dia telah menyela pembicaraan Ario dan membuat hati Ario jengkel dengan perkataan Resy sebelumnya yang menyuruh Ario untuk tidak memaniskan pembicaraannya agar bisa diperhatikan banyak orang. Tuturan Ario, Mbok ya meneng sik ta ya! diam dulu tidak ya!’ tersebut secara tidak langsung meminimalkan keuntungan terhadap Resy. Resy yang sebelumnya sudah merasa senang karena
35
bisa membuat Ario tidak enak hati akibat perkataannya agar tidak memaniskan perkataannya kepada tamu undangan dalam acara syukuran ulang tahun mereka seketika dibalas dengan tuturan Mbok ya meneng sik ta ya! ‘Bisa diam dulu tidak ya!’. Pada saat itu juga, Resy pasti merasa sedikit kecewa karena keuntungan yang telah dia dapatkan untuk mengecam Ario tidak berbuah manis akibat balasan tuturan yang dilakukan oleh Ario membuat Resy diam seketika karena Ario menyuruh Resy untuk diam dan melanjutkan tujuan utamanya yaitu memberikan ucapan terima kasih kepada para tamu dalam acara syukuran ulang tahun mereka. Tuturan Ario yang membuat keuntungan terhadap orang lain sekecil mungkin seperti terdapat pada contoh [4] ini merupakan tuturan yang tidak santun. Pelanggaran terhadap submaksim kedua maksim kearifan terlihat pada data nomor 18, 37, 70, 72, 106, 112 dan 127. Jumlah keseluruhan pelanggaran maksim kearifan adalah sebanyak dua puluh dua data yang meliputi, lima belas data submaksim pertama dan tujuh data yang merupakan pelanggaran terhadap submaksim kedua. 2. Maksim Kedermawanan Maksim kedermawanan berisi dua submaksim, yaitu a) buatalah keuntungan diri sendiri sekecil mungkin dan b) buatlah kerugian diri sendiri sebesar mungkin. Berdasarkan pengamatan yang dilakukan terhadap data yang digunakan, terdapat banyak tuturan yang melanggar maksim kedermawanan.
36
a) Buatlah Keuntungan Diri Sendiri Sekecil Mungkin Submaksim pertama dari maksim kedermawanan adalah ‘buatlah keuntungan diri sendiri sekecil mungkin’. Dalam acara Pangkur Jenggleng, terdapat banyak pelanggaran terhadap submaksim pertama maksim kedermawanan. Berikut contoh tuturan yang terdapat
dalam percakapan yang melanggar
submaksim tersebut. [5] Konteks Tuturan: Tere beserta keluarga akan menghadiri acara syukuran ulang tahun kerabatnya yaitu Resy dan Ario. Mereka tidak akan membawa hadiah untuk kedua kerabatnya yang sedang berulang tahun tersebut. Bapak yang diperankan oleh Ki Dewaza berencana tidak membawakan hadiah karena pada saat itu mereka tidak mempunyai apapun sebagai hadiah ulang tahun. Dia malah mengatakan bahwa kalau nanti di sana terdapat sesuatu, barang itu bisa mereka bawa pulang. Bentuk Tuturan: Ibu
Bapak Tere
Bapak
: Lha ning gawa apa? Ra duwe apa-apa ki. ‘Lha tetapi membawa apa? Tidak mempunyai apapun ini.’ : Ora sah nggawa apa-apa. ‘Tidah perlu membawa apapun’ :Sing penting nganggo klambi, rapapa buk. ‘Yang penting mengunakan baju, tidak apaapa Bu.’ : Ora sah gawa apa-apa, nko yen kana ana apa apa wae digawa.
37
‘Tidak perlu membawa apapun, nanti kalau ada apapun dibawa.’ (52/TU/PJ/15/02/16)
Pada percakapan di atas, terdapat tuturan yang melanggar maksim
kedermawanan.
Pelanggaran
terhadap
maksim
kedermawanan kususnya submaksim pertama tersebut dituturkan oleh bapak. Tuturan tersebut melanggar submaksim pertama karena membuat keuntungan diri sendiri sebesar mungkin. Pelanggaran
terhadap
maksim
kedermawanan
kususnya
submaksim pertama itu terlihat jelas pada tuturan bapak, Ora sah gawa apa-apa, nko yen kana ana apa apa wae digawa. ‘Tidak perlu membawa apapun, nanti kalau ada apapun dibawa.’ Bapak menuturkan bahwa dia ingin mengambil dan membawa pulang sesuatu yang ada dan bisa dibawa dalam acara syukuran ulang tahun Resy dan Ario. Padahal bapak tidak membawa apapaun untuk hadiah ulang tahun Resy dan Aryo. Tuturan bapak yang seperti yang dicontohkan di atas merupakan tuturan yang sifatnya memaksimalkan keuntungan terhadap diri sendiri. Seharusnya bapak tidak berniat untuk mengambil sesuatu yang ada di rumah Resy dan Ario. Tetapi kenyataannya, tuturan bapak menggambarkan bahwa dia akan memberi keuntungan terhadap dirinya sendiri dengan mengambil dan membawa pulang
38
sesuatu yang ada di rumah Resy dan Ario saat acara syukuran ulang tahun. Dilihat dari maksim kedermawanan tuturan bapak tersebut jelas melanggar maksim kedermawanan terutama submaksim pertama karena memperbanyak keuntungan terhadap diri sendiri. Sehingga tuturan yang seperti itu termasuk tuturan yang tidak sopan. Contoh
lain
pelanggaran
terhadap
maksim
kedermawanan
khusunya submaksim pertama dapat dilihat pada percakapan berikut. [6] Konteks Tuturan: Resy dan Ario sedang berulang tahun dan mereka ingin membeli tumpeng ulang tahun dengan cara iuran. Ario sebagai kakak merasa kalau dia tidak perlu mengeluarkan uang untuk membeli tumpeng ulang tahun mereka. Ario mengatakan bahwa dia tidak perlu mengeluarkan biaya untuk iuran karena dia adalah kakak Resy. Bentuk Tuturan: Resy
Ario Resy
Ario
: Lha trus kepiye? Sithike ding ngono loh. ‘Lantas bagaimana? Sama sedikitnya begitu loh.’ : Ya rapapa. ‘Ya tidak apa-apa.’ : Ya, aku nko tombok mangatus. Nek kwe ora tombok rapapa? ‘Ya, saya nanti menambahkan lima ratus. Jika kamu tidak menambahkan tidak apaapa.’ : Ora! Mbakyune lho iki. ‘Tidak! Kakaknya ini’ (55/TU/PJ/15/02/16)
39
Percakapan [6] yang dilakukan oleh Resy dan Ario di atas merupakan tuturan yang tidak santun. Tuturan yang disampaikan oleh Ario yang berbunyi Ora! Mbakyune loh iki. ‘Tidak! Kakaknya
ini’
telah
melaanggar
maksim
kedermawanan,
kususnya submaksim pertama karena memaksimalkan keuntungan terhadap diri sendiri. Resy mengatakan bahwa dia harus menambah dana iuran lagi, lalu dia juga memancing kalau kakaknya (Ario) tidak menambah dana iuran. Sebenarnya Resy hanya mengetahui bagaimana tanggapan kakaknya jika dia menuturkan tuturan seperti itu. Tidak disangka ternyata Ario mengatakan bahwa dia tidak perlu menambah dana untuk iuran membeli tumpeng untuk acara syukuran ulang tahun mereka. Tergambar jelas bahwa Ario melakukan tuturan yang menguntungkan diri sendiri dengan tidak mengeluarkan biaya. Tuturan Ario yang membuat keuntungan diri sendiri sebesar mungkin tersebut jelas melanggar maksim kedermawanan, khususnya submaksim pertama karena Ario telah memperbanyak keuntungan terhadap diri sendiri dan tuturan yang demikian merupakan tuturan yang tidak santun. Ditemukan enam data yang merupakan pelanggaran terhadap maksim kedermawanan khususnya submaksim pertama. Keenam data tersebut yaitu data nomor 3, 38, 52, 55, 59, 77 dan 95.
40
b) Buatlah Kerugian Diri Sendiri Sebesar Mungkin Submaksim kedua
dari maksim kedermawanan adalah
‘buatlah kerugian diri sendiri sebesar mungkin’. Dalam acara Pangkur Jenggleng, terdapat beberapa tuturan yang merupakan pelanggaran terhadap submaksim kedua maksim kedermawanan. Berikut contoh tuturan yang terdapat dalam percakapan yang melanggar submaksim tersebut. [7] Konteks Tuturan: Keluarga Tere yang terdiri dari ibu (Rini), bapak (Ki Dewaza Dironagoro) dan Tere akan menghadiri undangan syukuran ulang tahun Resy dan Ario. Selayaknya tamu undangan yang
akan
menghadiri
ulang
tahun,
ibu
bingung
akan
membawakan hadiah apa untuk kedua kerabatnya yang sedang berulang tahun yaitu Resy dan Ario. Tere beserta keluarga terlibat sebuah percakapan tentang hadiah apa yang akan mereka bawa untuk hadiah ulang tahun Resy dan Ario. Bentuk Tuturan: Ibu
Bapak Tere
: Lha ning gawa apa? Ra duwe apa-apa ki. ‘Tetapi membawa apa? Tidak mempunyai apapun ini.’ :Ora sah nggawa apa-apa. ‘Tidah perlu membawa apapun’ :Sing penting nganggo klambi, rapapa Bu. ‘Yang penting mengunakan baju, tidak apaapa Bu.’
41
Bapak
:Ora sah gawa apa-apa, engko yen kana ana apa-apa wae digawa. ‘Tidak perlu membawa apapun, nanti kalau ada apapun dibawa.’ (51/TU/PJ/15/02/16)
Pada percakapan diatas merupakan tuturan yang tidak santun. Tuturan yang disampaikan bapak yang berbunyi, ora sah gawa apa-apa ‘tidak perlu membawa apapun’, telah melanggar maksim kedermawanan, terutama submaksim kedua karena meminimalkan kerugian terhadap diri sendiri. Tuturan yang memperkecil kerugian untuk diri sendiri tersebut adalah tuturan yang tidak santun. Bapak menuturkan bahwa mereka tidak perlu membawakan sesuatu atau barang apapun sebagai hadiah ulang tahun untuk Resy dan Ario. Tuturan bapak, ora sah gawa apa-apa ‘tidak perlu membawa apapun’ memperlihatkan jika bapak mebuat kerugian diri sendiri sekecil mungkin. Bapak tidak akan membawa sesuatu untuk hadiah Resy dan Ario yang sedang berulang tahun. Padahal setiap orang yang sedang berulang tahun pasti mengharapkan doa dari orang lain untuk kehidupan yang akan datang. Selain itu, orang yang berulang tahun menginginkan hadiah dari orang lain walau sekecil apapun hadiah tersebut. Pada kenyataannya, bapak menuturkan bahwa dia tidak akan membawakan hadiah untuk Resy dan Ario. Bapak beserta
42
keluarga menghadiri syukuran ulang tahun Resy dan Ario tanpa membawa sebuah hadiahpun. Ucapan bapak tersebut sangat jelas memperkecil kerugian untuk dirinya sendiri. Apabila bapak pergi ke syukuran ulang tahun Resy dan Ario dengan membawa hadiah, maka bapak harus mengeluarkan biaya untuk membeli hadiah tersebut. Tetapi, dalam hal ini bapak tidak membawa apapun untuk mendatangi acara syukuran Resy dan Ario. Maka dari itu, jelas bapak tidak mengeluarkan biaya untuk menghadiri syukuran ulang tahun. Tuturan bapak seperti yang telah dicontohkan diatas merupakan tuturan di atas merupakan tuturan yang tidak santun karena melanggar maksim kedermawanan. Contoh lain pelanggaran terhadap maksim kedermawanan adalah sebagai berikut. [8] Konteks Tuturan: Widodo (suami) dan Rini (istri) sedang berdebat karena Widodo telah menjual jarit yang merupakan barang dagangan Rini. Dalam hal ini Widodo belum menerima uang hasil penjualan jarit yang telah dijual kepada temannya sendiri sedangkan semua jarit telah dibawa oleh teman Widodo yang berjanji akan membayar jarit tersebut di lain waktu. Mengetahui hal itu, istri Widodo marah dan merasa telah ditipu oleh teman suaminya yang membawa kabur jarit dagangannya tanpa membayarnya. Seketika itu Rini ingin melaporkan kasus tersebut ke kantor polisi. Bentuk Tuturan:
43
Widodo
Rini
Widodo
: Yen kwe lapor polisi, aku diancam genti. ‘Jika kamu lapor polisi, saya gentian yang diancam’ : Sing diancam nak sampeyan, dudu aku! ‘Yang diancam kan kamu, bukan saya!’ : Nek aku cilaka kwe seneng ya? ‘Jika saya celaka kamu seneng ya?’ (104/PA/PJ/22/02/16)
Pada percakapan [8] terdapat prinsip kesantunan. Dilihat dari maksim kedermawanan, tuturan Rini tersebut jelas melanggar maksim kedermawanan, khususnya submaksim kedua karena membuat kerugian diri sendiri sekecil mungkin. Pelanggaran terlihat pada tuturan Rini yakni, Sing diancam nak sampeyan, dudu aku! ‘Yang diancam kan kamu, bukan saya!’. Tuturan tersebut diucapkan oleh Rini kepada suaminya yang mengatakan bahwa jika temannya mengancam Widodo karena dia telah melaporkan temannya sendiri ke kantor polisi, yang diancam bukanlah Rini melainkan suaminya yang telah berbuat ceroboh tersebut. Rini merasa tidak akan dirugikan dalam hal itu, karena dia tidak akan mendapatkan ancaman apapun dari teman suaminya tersebut. Tujuan Rini hanya ingin melaporkan kasus penipuan yang dilakukan oleh teman suaminya. Rini tidak menghiraukan ancaman yang akan dilakukan oleh teman suaminya tersebut karena dia tidak merasa kenal dekat dengan teman suaminya.
44
Rini menganggap jika teman suaminya akan mengancam karena Widodo dan Rini telah melaporkan kasus tersebut ke kantor polisi, pasti yang diancam adalah Widodo bukanlah Rini. Sehingga Rini merasa aman dan tidak dirugikan atas hal itu. Dilihat dari maksim kedermawanan, tuturan Rini yang meminimalkan kerugian terhadap diri sendiri tersebut merupakan tuturan
yang
melanggar
maksim
kedermawanan,
terutama
submaksim kedua. Hal ini terlihat bahwa Rini sangat memperkecil kerugian yang akan terjadi kepada dirinya dengan melakukan tuturan kepada Widodo bahwa Rini melimpahkan segala ancaman yang akan diberikan teman Widodo kepada suaminya tersebut. Data yang ditemukan dalam penelitian ini yang merupakan pelanggaran terhadap submaksim kedua maksim kedermawanan hanya terdapat dua data, yaitu data nomor 51 dan 104. Pelanggaran terhadap maksim kedermawanan seluruhnya terdapat delapan data. Kedelapan data itu meliputi submaksim pertama dan kedua maksim kedermawanan. 3. Maksim Pujian (Approbation Maxim) Maksim ketiga dalam prinsip kesantunan ini yaitu maksim pujian yang memiliki dua submaksim, yaitu a) kecamlah orang lain sesedikit mungkin dan b) pujilah orang lain sebanyak mungkin. Dalam penelitian ini terdapat tuturan yang melanggar prinsip kesantunan terhadap maksim pujian dan merupakan maksim yang paling banyak
45
dilanggar dalam percakapan acara Pangkur Jenggleng Padhepokan Ayom-ayem.. a) Kecamlah Orang Lain Sesedikit Mungkin Submaksim pertama maksim pujian adalah ‘kecamlah orang lain sesedikit mungkin’. Dalam percakapan yang ada pada acara Pangkur Jenggleng Padhepokan Ayom-ayem, terdapat beberapa tuturan yang melanggar submaksim pertama maksim pujian. Contoh pelanggaran tersebut adalah sebagai berikut. [9] Konteks Tuturan: Hanafi ingin memberikan bantuan berupa uang untuk merawat padepokan Ayom-Ayem agar tetap terjaga. Tetapi uang yang diberikan Hanafi masih berupa uang mainan, padahal Dalijo sebagai pemimpin sudah merasa sangat senang dan menyuruh orang lain agar tidak mengambil uang itu. Uang itu hanya boleh diambil dan dikelola oleh Dalijo untuk merawat dan memperbaiki padepokan
Ayom-Ayem.
Setelah
mengetahui
bahwa
yang
diberikan Hanafi hanya uang mainan, pengawal mengancam balik Dalijo yang sebelumnya berkata kurang sopan kepada orang lain. Bentuk Tuturan: Pak Hanafi
Pengawal
:Lho ngeten, niki wau kan latihan, terus niki duwite nggih latihan riyin. ‘Loh, begini, ini kan latihan, selanjutnya ini uangnya juga latihan dulu.’ : Ooo, ngoten, ya bener kuwi. Mulakna yen didadekne pimpinan kuwi aja gedhe sirahe! (sambil menatap Pak Dalijo)
46
‘Ooo, seperti itu, ya benar itu. Makanya kalau dijadikan pemimpin itu jangan sombong!’ (43/Da/PJ/08/02/16)
Pada percakapan [9] terdapat pelanggaran terhadap maksim pujian, terutama submaksim pertama karena penutur (pengawal) mengecam orang lain. Pelanggaran dilakukan oleh pengawal yang diperankan oleh Yudana kepada Dalijo yang berperan sebagai pemimpin padepokan. Pelanggaran terlihat pada Mulakna yen didadekne pimpinan kuwi aja gedhe sirahe! (sambil menatap Dalijo) ‘Makanya kalau dijadikan pemimpin itu jangan sombong!’, yang merupakan tuturan mengancam. Tuturan Mulakna yen didadekne pimpinan kuwi
aja
gedhe sirahe! ‘Makanya kala dijadikan pemimpin itu jangan sombong!’ telah melanggar maksim pujian karena tuturan tersebut dimaksudkan untuk mengancam orang lain yaitu Dalijo. Penutur (Yudana) menuturkan tuturan tersebut karena Dalijo sebelumnya telah melakukan sesuatu yang tidak sopan dan bisa menyinggung perasaan orang lain. Penutur merasa tidak senang atas tindakan Dalijo yang merasa sombong dengan kedudukannya sebagai pemimpin sekarang ini. Yudana melakukan kecaman seperti di atas setelah dia mengetahui uang yang diberikan Hanafi masih berupa uang mainan. Tentunya Dalijo merasa kecewa dengan hal tersebut, setelah Dalijo merasa kecewa, Yudana mulai melakukan kecaman terhadap Dalijo.
47
Kecaman yang dilakukan pengawal kepada Dalijo yang sebenarnya bertujuan untuk mengingatkan Dalijo agar tidak merasa sombong tersebut
tentunya
menyinggung
perasaan
Dalijo.
Kecaman itu dilakukan di depan banyak orang dan pastinya Dalijo merasa sangat malu atas kecaman pengawalnya tersebut. Tuturan mengecam yang dilakukan oleh pengawal (Yudana) termasuk tuturan yang tidak sopan. Percakapan lain yang menunjukkan pelanggaran terhadap maksim pujian adalah sebagai berikut. [10] Konteks Tuturan: Ario dan Resy yang merupakan kakak beradik sering berdebat soal hal sepele. Ario sebagai kakak sering merasa ingin menang sendiri dan tidak mau mengalah dari adiknya (Resy). Saat berdiri bersebelahan, tiba-tiba Ario menyuruh Resy untuk menyingkir darinya dengan alasan tubuh Resy besar. Bentuk Tuturan: Ario
: Iki piye? Awakmu ki gedhe! Karo mbakyune wae seksi mbakyune loh! ‘Ini bagaimana? Tubuhmu itu besar! Dengan kakaknya saja seksi kakaknya loh.’ Resy : Aku rana mbok jak rana, ndang aku nyedak kowe mbok singkirne. ‘Saya ke sana kamu ajak ke sana, begitu saya mendekat kamu singkirkan.’ (64/TU/PJ/15/02/16)
Pada percakapan [10] yang dilakukan oleh Ario dan Resy di atas terdapat pelanggaran maksim pujian, khususnya submaksim
48
pertama karena orang lain. Pelanggran maksim pujian terdapat pada tuturan Ario, Awakmu ki gedhe! ‘Tubuhmu itu besar!’. Tuturan tersebut merupakan tuturan mengecam orang lain. Ario dan Resy sedang berdiri bersebelahan di antara tamu undangan dalam acara syukuran ulang tahun mereka. Ario tiba-tiba mengatakan sesuatu yang tidak bisa dikatakan itu sebuah hinaan untuk Resy. Ario mengatakan, Awakmu ki gedhe! ‘Tubuhmu itu besar!’ Terhadap Resy yang tidak lain adalah adiknya sendiri. Kakak Resy menghina Resy bahwa dia mempunyai tubuh yang besar, secara tidak langsung Ario mengatakan bahwa Resy bertubuh gemuk. Berdasarkan tuturan, Awakmu ki gedhe! ‘Tubuhmu itu besar!’, berarti Ario memaksimalkan hinaan kepada Resy. Hal tersebut sangat bertentangan dengan maksim pujian sebmaksim pertama, yang seharusnya mengecam orang lain sesedikit mungkin. Resy tentu juga merasa terhina dengan tuturan Ario tersebut, karena dihina memiliki tubuh yang besar. Tuturan yang membuat mitra tutur (lawan bicara) merasa terhina tersebut merupakan tuturan yang tidak santun. Pelanggaran terhadap maksim pujian terutama submaksim pertama juga ditunjukkan oleh percakapan di bawah ini. [11] Konteks Tuturan: Rini dan Widodo sedang berdebat karena tindakan Widodo yang dinilai Rini ceroboh karena telah memberikan jarit
49
dagangannya kepada orang lain tanpa ada uang yang masuk ke kantong Rini ataupun Widodo sebagai pembayaran atas jarit tersebut. Rini merasa tertipu atas kejadian kejadian tersebut dan berniat untuk melaporkan kasus tersebut ke kantor polisi. Sebelum mereka melaporkan kasus tersebut, Rini melaporkan kecaman kepada suaminya (Widodo) yang dinilai sangat ceroboh dan tidak berpikir pajang. Bentuk Tuturan: Rini Widodo Rini
: Ayo pak lapor! ‘Ayo pak lapor! : Lapor nangendi? ‘Lapor dimana? : Wah jan, bola-bali yen pekok! ‘Wah memang, dasarnya memang bodoh!’ (105/PA/PJ/15/02/16)
Pada percakapan [11] terdapat pelanggaran terhadap maksim pujian, khususnya terhadap submaksim pertama karena melakukan pengecaman kepada orang lain. Pelanggaran terlihat pada tuturan Rini Wah jan, bola-bali yen pekok! ‘Wah memang dasarnya memng bodoh!’, tuturan Rini tersebut adalah tuturan mengecam Widodo. Tuturan Rini melanggar maksim pujian karena tuturan tersebut dimaksudkan untuk menghina orang lain, yaitu Widodo yang tidak lain adalah suami Rini. Penutur (Rini) menuturkan tuturan yang berupa kecaman tersebut karena Widodo telah membiarkan orang lain membawa pergi jarit dagangan istrinya.
50
Jarit itu semula akan dibeli orang lain yaitu teman Widodo sendiri, tetapi teman Widodo tidak membawa uang untuk membayar. Widodo membiarkan jarit dagangannya itu dibawa pergi oleh temannya. Teman Widodo berjanji akan membayarnya dilain hari, tanpa pikir panjang Widodo menyetujuinya dan membiarkan jarit dagangannya itu dibawa pulang oleh temannya. Mengetahui hal tersebut, Rini sangat marah karena jarit dagangannya yang dibawa oleh teman Widodo cukup banyak dan harganya mahal. Rini merasa tertipu karena beberapa hari setelah itu jarit tersebut tidak dibayar. Kemarahan Rini berujung keinginan untuk melaporkan hal itu ke polisi. Dengan kondisi yang masih jengkel, Rini mengecam suaminya. Penutur (Rini) merasa marah kepada suaminya, maka Rini dengan nada sedikit tinggi menghina suaminya. Widodo tentu terhina oleh tuturan istrinya, karena dia dikatakan sebagai seorang lai-laki yang bodoh. Widodo dihina sebagai orang yang bodoh, yang berarti dia telah melakukan sesuatu tanpa pemikiran dan pertimbangan yang bisa merugikan orang lain. Hinaan Rini kepada suaminya tersebut tentu tidak berkenan dihati Widodo. Submaksim pertama maksim pujian ini adalah submaksim yang paling banyak dilanggar, terdapat tiga puluh tujuh data yang menunjukkan pelanggaran terhadap submaksim pertama maksim pujian.
51
b) Pujilah Orang Lain Sebanyak Mungkin Terdapat pelanggaran maksim pujian terhadap submaksim kedua yaitu ‘pujilah orang lain sebanyak mungkin’. Berikut contoh analisis data yang menunjukkan pelanggaran tersebut. [12] Konteks Tutuan: Sarjiwa dan Widodo berdebat siapa yang paling berani diantara mereka. Mereka tidak mau mengalah satu sama lain. Sarjiwa berpendapat bahwa dia adalah seorang pemberani dan Widodo adalah seorang pemberani tapi dalam berganti hal istri. Bentuk Tuturan: Sarjiwa
Widodo
: Ora ngono! Bedane aku ki wong kendel! Ya pancen sampeyan kuwi luwih kendel, ning bab gonta-ganti bojo. ‘Bukan begitu! Bedanaya saya ini orang yang pemberani! Ya memang kamu itu lebih pemberani, tetapi dalam hal berganti istri.’ : Ampun percaya Bu, wong lagi ping telu. ‘Jangan percaya Bu, baru tiga kali.’ (88/PA/PJ/22/02/16)
Pada percakapan [12] terdapat pelanggaran terhadap maksim pujian, terutama terhadap submaksim kedua karena memuji
orang
lain
sesedikit
mungkin.
Tuturan
yang
memperlihatkan pelanggaran maksim pujian adalah tuturan Sajiwa, Ya pancen sampeyan kuwi luwih kendel, ning bab gonta-ganti bojo. ‘Ya memang kamu itu lebih pemberani, tetapi dalam hal berganti istri.’. Tuturan tersebut adalah tuturan yang memimalkan pujian kepada orang lain.
52
Sajiwa dan Widodo yang sedang membicarakan tentang keberanian seseorang tiba-tiba merujuk pada diri mereka masingmasing. Mereka masing-masing tidak mau mengalah tentang siapa yang paling berani di antara mereka berdua. Sajiwa mengatakan bahwa dia adalah seorang pemberani sebenarnya. Dia mengatakan bahwa Widodo adalah seorang laki-laki yang berani, tapi pujian seorang laki-laki yang berani tersebut masih ditambah oleh Sajiwa dengan tambahan seorang laki-laki yang berani dalam hal berganti istri. Tuturan Sajiwa tersebut jelas melanggar maksim pujian terutama submaksim kedua, karena dia telah meminimlakan pujian kepada Widodo. Tuturan Sajiwa, Ya pancen sampeyan kuwi luwih kendel, ning bab gonta-ganti bojo. ‘Ya memang kamu itu lebih pemberani, tetapi dalam hal berganti istri.’ tentu membuat orang lain sesedikit mungkin itu tentu menciptakan tuturan yang tidak santun. Percakapan lain yang menunjukkan pelanggaran terhadap maksim pujian dapat dilihat pada tuturan dibawah ini. [13] Konteks Tuturan: Fahmi, Budi dan Angger sedang mengikuti lomba macapat. Angger merasa bahwa dirinya pasti menjadi pemenang dalam perlombaan tersebut. Sebelumnya, Angger telah menemui juri perlombaan macapat tersebut agar dirinya menang dalam perlombaan itu dengan balasan Angger member sejumlah uang
53
kepada juri lomba. Angger merasa akan menang sangat percaya diri dan tidak menghiraukan kemampuan peserta lain. Bentuk Tuturan: Fahmi : Kok ketoke bungah banget ta Mas? ‘Kok kelihatannya bahagia sekali ya Mas? Budi : Ya, wong jenenge wong PD wi ngono kuwi. Tur kuwi ya over PD. ‘Ya, namanya orang PD itu ya seperti itu. Tetapi itu terlalu PD.’ Angger : Ki nko, rasuwe ketoke yen dina iki peserta liya ki ra teka, sing durung ya mung aku karo dheknen. ‘Ini nanti, tidak lama kelihantannya jika hari ini peserta lainnya tidak datang, yang belum hanya aku dan dia.’ (124/Mc/PJ/29/02/16)
Pada percakapan [13] terdapat pelanggaran terhadap maksim
pujian,
khususnya
submaksim
kedua
meminimalkan pujian terhadap orang lain. Tuturan
karena yang
diungkapkan Budi yang berbunyi, Ya, wong jenenge wong PD wi ngono kuwi. Tur kuwi ya over PD. ‘Ya, namanya orang PD itu ya seperti itu. Tetapi itu terlalu PD.’ telah melanggara maksim pujian. Tuturan tersebut diucapkan oleh Budi pada Angger. Fahmi dan Budi adalah peserta lomba selain Angger yang sama-sama mengikuti perlombaan macapat pada saat itu. Angger yang dirasa terlalu percaya diri dan merasa akan menang membuat Fahmi dan Budi bertanya-tanya tentang sikap Angger yang terlalu bahagia. Padahal juri belum memutuskan siapa yang menjadi pemenang dalam perlombaan tersebut.
54
Tuturan Fahmi yang menanyakan mengapa Angger sangat bahagia pada hari perlombaan tersebut memunculkan tanggapan Budi yang mengatakan sebuah tuturan yang berbunyi, Ya, wong jenenge wong PD wi ngono kuwi. Tur kuwi ya over PD. ‘Ya, namanya orang PD itu ya seperti itu. Tetapi itu terlalu PD.’ tuturan tersebut ditujukan kepada Angger karena Budi merasa dia terlalu bahagia dan sombong. Budi mengatakan bahwa Angger adalah orang yang percaya diri, tetapi pujian Budi tidak berhenti sampai di situ saja. Budi menambahkan kalau Angger memang orang yang percaya diri, tapi dia terlalu percaya diri atau bisa dikatakan mempunyai rasa percaya diri yang berlebihan. Tuturan Budi kepada Angger tersebut jika dilihat dari maksim pujian, jelas melanggar maksim pujian karena Budi telah memuji orang lain sesedikit mungkin. Tuturan yang meminimalkan pujian kepada orang lain itu merupakan tuturan yang tidak sopan. Terdapat lima data yang menunjukkan pelanggaran terhadap maksim
pujian,
khusunya
submaksim
kedua
yang
seharusnya
memaksimalkan pujian kepada orang lain. Maksim pujian merupakan maksim yang paling banyak dilanggar. Pelanggaran ini ditandai dengan menghina atau mengecam orang lain. Pelanggaran ini dibedakan ke dalam dua submaksim. Tuturan yang termasuk ke dalam pelanggaran terhadap maksim pertama ialah pada data nomor 1, 6, 15, 17, 20, 22, 23, 27, 30,32, 38, 41, 42, 43, 44, 48, 58, 62, 64,
55
66,74, 78, 84, 89, 98, 100, 101, 102, 105, 107, 110, 111, 116, 117, 120, 126 dan 129. Pelanggaran terhadap maksim pujian submaksim kedua hanya ditemukan lima data. Kelima data tersebut adalah data nomor 87, 88, 96, 113 dan 124. Kelima data tersebut menunjukkan bahwa penutur meminimalkan pujian kepada mitra tutur. 4. Maksim Kerendahan Hati (Modesty Maxim) Seperti maksim-maksim sebelumnya, maksim kerendahan hati juga terdiri dari dua submaksim. Submaksim tersebut ialah a) pujilah diri sendiri sesedikit mungkin dan b) kecamlah diri sendiri sebanyak mungkin. Berikut masing-masing pelanggaran terhadap maksim kerendahan hati dari kedua maksim tersebut. a) Pujilah Diri Sendiri Sesedikit Mungkin Pelanggaran terhadap maksim kerendahan hati khusunya maksim pertama dapat ditunjukkan oleh contoh data di bawah ini. [14] Konteks Tuturan: Bapak yang baru datang menemui bahwa ibu sedang bercerita kepada Tere (anaknya) tentang masa remaja ibu dan bapak, masa mereka saling mengenal satu sama lain dan berujung pada pernikahan. Mengetahui hal itu, mungkin bapak merasa malu karena dulu bapak mengejar ibu untuk menjadi istrinya. Bapak mencoba untuk membanggakan dirinya sendiri, bapak merasa kalau dia memang tampan dan wajar saja tertarik pada bapak.
56
Bentuk Tuturan: Bapak
Ibu
Bapak
: Kowe isa crita karo anakmu,Tere. Mbiyen jaman nom-nomanku ngglibeng kowe? ‘Kamu bisa bercerita kepada anakmu, Tere. Dahulu zaman remajaku memperebutkan kamu?’ : Lha nggih mboten? Nyatane ya nggih ta? ‘Lha benar tidak? Kenyataannya iya bukan?’ : Lho, ora perkara ngglibeng. Mbiyen nalika takajari joged, kowe ethok-ethok sampure keri, ya ta? Mangka mbiyen ki sing bagus dhewe aku, ra enek liyane. Tenan kuwi! ‘Loh, bukan masalah memperebutkan. Dahulu ketika saya ajar menari, kamu berpura-pura bahwa sampurmu tertinggal, ya bukan? Padahal dahulu yang paling tampan saya, tidak ada yang lain. Benar itu!’ (49/TU/PJ/15/02/16)
Tuturan [14] terdapat tuturan yang tidak santun. Tuturan yang tidak santun itu diucapkan oleh bapak yang berbunyi, Mangka mbiyen ki sing bagus dhewe aku, ra enek liyane. ‘Padahal dahulu yang paling tampan saya, tidak ada yang lain.’ jelas terlihat tuturan tersebut melanggar maksim kerendahan hati,
terutama
submaksim
pertama
karena
tuturan
itu
memaksimalkan pujian terhadap diri sendiri. Ibu terutama yang sedang bercerita kepada Tere (anaknya) disela oleh bapak. Bapak tiba-tiba datang dan mendengar cerita itu sewaktu remaja dulu. Bapak tiba-tiba menyela pembicaraan dan mencoba untuk membela diri serta membanggakan diri sendiri bahwa dia memang sosok lelaki yang tampan. Bapak tidak mau
57
terlihat
bahwa
dia
sangat
mengejar
cinta
ibu
dengan
membanggakan diri sendiri. Tuturan bapak, Mangka mbiyen ki sing bagus dhewe aku, ra enek liyane.
‘Padahal dahulu yang paling tampan saya,
tidak ada yang lain.’ jelas mengandung masud bahwa dia memaksimalkan pujan terhadap diri sendiri. Dilihat dari maksim kerendahan hati, tuturan bapak jelas melanggar maksim tersebut, khususnya submaksim pertama. Bapak mengatakan bahwa dia yang paling tampan. Dengan pujian itu bapak merasa kalau dia memang disukai banyak wanita, sehingga tidak terlalu terlihat bahwa bapak yang begitu mengejar cinta ibu. Bapak juga melakukan pembelaan bahwa dahulu ibu yang mencari alasan untuk tetap dekat dan diperhatikan oleh bapak karena ketampanannya. Data lain yang menunjukkan pelanggaran terhadap maksim kerendahan hati terutama submaksim pertama terlihat pada percakapan di bawah ini. [15] Konteks Tuturan: Resy dan Ario sedang berulang tahun dan mereka heboh membicarakan umur mereka masing-masing. Mereka berdua berebut mempunyai umur yang masih remaja. Pada kenyataannya, umur mereka sudah 20 tahun ke atas. Dalam percakapan tersebut Ario mengatakan bahwa dia masih langsing tidak seperti wanita yang berumur 20 tahun ke atas.
58
Bentuk Tuturan: Resy
: Nek niki limalas, aku tak wolulas taun. Niku asli bu, mboten kurang. Ya jik kenceng lo jane mbkayu ki. ‘Kalau ini lima belas, aku yang delapan belas tahun.itu asli, tidakk kurang. Ya masih kencang loh sebenarnya kakak ini.’ : Ya genah, awakku langsing ngono, sing gedhe gur bokongku thok. ‘Ya jelas, tubuhku begitu langsing, yang besar hanya pantatku.’
Ario
(60/TU/PJ/15/02/16)
Pada percakapan [15] dapat dilihat terdapat tuturan yang melanggar maksim kerendahan hati, terutama submaksim pertama karena penutur (Ario) memperbanyak pujian terhadap diri sendiri. Pelanggaran
terhadap
maksim
kerendahan
hati
khususnya
submaksim submaksim pertama itu terlihat pada tuturan Ario Ya genah, awakku langsing ngono ‘Ya jelas, tubuhku begitu langsing’. Ario dan Resy sedang membicarakan umur mereka dengan mengaku masih seperti remaja yang berumur belasan tahun. Resy yang mengatakan bahwa dia masih berumur delapan belas tahun tiba-tiba memuji Ario (kakaknya) jika kakaknya itu masih mempunyai tubuh yang bagus dan kencang. Tuturan Resy tersebut seketika ditanggapi oleh Ario dengan hati riang dan justru memuji dirinya sendiri.
59
Tuturan Ario Ya genah, awakku langsing ngono ‘Ya jelas, tubuhku begitu langsing’, memperlihatkan bahwa dia memuji diri sendiri. Dia memuji dirinya sendiri bahwa tubuhnya masih langsing layaknya remaja wanita pada umumnya, padahal kenyataannya umur Ario sudah hampir 30 tahun. Tuturan Ario yang memuji diri sendiri tersebut merupakan tuturan yang tidak santun. Contoh lain yang merupakan pelanggran terhadap maksim kerendahan hati adalah sebagai berikut. [16] Konteks Tuturan : Widodo dan Sarjiwa sedang membicarakan tentang keberanian yang masing-maisng mereka miliki. Tiba-tiba Sajiwa mengatakan jika dia dijadikan sebagai petugas keamanan di kampungnya. Dia juga menjelaskan walaupun ada orang yang lebih sakti dari dirinya. Sajiwalah yang dijadikan petugas keamanan di kampunya. Bentuk Tuturan: Widodo
Sarjiwa
: Ning tak akoni kang, kowe sing sugih kendel, turu ning kuburan dhewe wani. ‘Tetapi saya akui, kamu yang kaya akan keberanian, tidur di pemakamam sendirian berani.’ : Mulakno. Sak kendel-kendele wong, sekti mandhraguna, ning kampung aku ki didadekne keamanan loh.
60
Widodo Sarjiwa
‘Maka dari itu. Seperti apapun orang yang berani, saktimandraguna, di kampung sayalah yang dijadikan keamanan’ : Keamanan? ‘Keamanan?’ : Iya, bareng aku didadekne keamanan, kampungku dadi aman. ‘Ya, semenjak aku dijadikan keamanan, kampung saya menjadi aman.’ (91/PA/PJ/22/02/16)
Pada percakapan [16] terdapat tuturan yang tidak santun. Keltidaksantunan tersebut karena melanggar maksim kerendahan hati. Pelanggran terhadap maksim kerendahan hati, khususnya submaksim pertama karena memaksimalkan pujian terhadap diri sendiri. Tuturan
Sajiwa
kampungku
dadi
Iya,
bareng
aman.
‘Ya,
aku
didadekne
semenjak
aku
keamanan, dijadikan
keamanan, kampung saya menjadi aman.’ memperlihatkan bahwa dia memuji dirinya sendiri dengan mengatakan bahwa semenjak dia dijadikan petugas keamanan, kampungnya menjadi aman. Sajiwa menuturkan sesuatu yang maksudnya untuk membanggakan diri sendiri. Dia terlalu mengganggap dirinya adalah sosok pemberani, sehingga semenjak dia diangkat menjadi petugas keamanan di kampungnya aman dari pencuri. Sajiwa menganggap bahwa berkat dirinya menjadi petugas keamanan, situasi kampungnya menjadi aman. Tindakan Sajiwa yang menganggap dirinya pemberani dan berujung pada tuntutan
61
yang berupa pemujian terhadap diri sendiri seperti itu merupakan tuturan yang tidak santun. Dalam penelitian ini, ditemukan dua puluh dua data yang menunjukkan pelanggran terhadap submaksim pertam maksim kerendahan hati. Data tersebut dapat dilihat pada data nomor 10, 11, 21, 26, 29, 31, 34, 46, 50, 57, 60, 65, 73, 82, 86, 90, 91, 92, 112, 125 dan 130. b) Kecamlah Diri Sendiri Sebanyak Mungkin Submaksim kedua dari maksim kerendahan hati ini adalah kecamlah diri sendiri sebanyak mungkin, namun submaksim ini sengaja dilanggar untuk menimbulkan kelucuan dalam tuturan para pelaku tutur yang ada dalam acara Pangkur Jenggleng. Hal tersebut dapat dilihat dalam percakapan dibawah ini. [17] Konteks Tuturan Ario dan Resy sedang membicarakan tentang tubuh yang dimiliki oleh Ario. Ario yang mempunyai bentuk tubuh langsing daripada Resy (adiknya). Di tengah pembicaraan, Resy memuji Ario karena kekencangan tubuh yang dimiliki Ario. Ario menanggapi pujian itu dengan hati yang gembira dan merasa tersanjung. Bentuk Tuturan: Resy
: Nek niki limalas, aku tak wolulas taun. Niku asli bu, mboten kurang. Ya jik kenceng lo jane mbkayu ki. ‘Kalau ini lima belas, aku yang delapan belas tahun.itu asli, tidakk kurang. Ya masih kencang loh sebenarnya kakak ini.’
62
Ario
: Ya genah, awakku langsing ngono, sing gedhe gur bokongku thok. ‘Ya jelas, tubuhku begitu langsing, yang besar hanya pantatku.’ (61/TU/PJ/15/02/16)
Pada percakapan [17] terdapat pelanggaran maksim kerendahan hati. Tuturan yang disampaikan Ario yang berbunyi sing gedhe gur bokongku thok. ‘yang besar hanya pantatku.’, telah melanggar maksim kerendahan hati terutama submaksim kedua karena melakukan pengecaman sesedikit mungkin terhadap diri sendiri seperti yang dilakukan Ario tersebut merupakan tuturan yang tidak santun. Ario menuturkan bahwa yang besar dari anggota tubuhnya hanya bagian pantat. Ario menganggap tubuhnya masih bagus, langsing dan seperti tubuh milik para remaja sekarang ini. Tidak dipungkiri usia Ario menginjak 30 tahun. Ario merasa tubuhnya sempurna, hanya satu bagian tubuhnya yang dianggapnya besar yaitu bagian pantat. Tuturan Ario sing gedhe gur bokongku thok. ‘yang besar hanya pantatku.’, merupakan tuturan yang berupa pengecaman terhadap diri sendiri, namun kecaman yang dilakukan oleh Ario ini sangat minim. Dia menegaskan hanya pantatnya yang besar. Kata thok ‘hanya’ merupakan bukti untuk meminimalkan kecaman terhadap diri sendiri. Tututran yang meminimalkan kecaman terhadap diri sendiri tersebut jelas tidak sopan dan melanggar maksim kerendahan hati, khususnya submaksim kedua.
63
Terdapat enam data yang merupakan pelanggran terhadap maksim kerendahan hati, khususnya submaksim kedua. Keenam data tersebut dapat dilihat pada data nomor 61, 83, 93, 94, 121 dan 123. Pelanggaran terhadap maksim kerendahan hati merupakan pelanggaran yang menempati urutan kedua terbanyak dalam penelitian ini. Terdapat dua puluh delapan data yang menunjukkan pelanggaran yang meliputi submaksim pertama dan kedua. 5. Maksim Kesepakatan (Agreement Maxim) a) Usahakan Agar Ketaksepakatan Antara Diri dan Lain Terjadi Sesedikit Mungkin Pelanggaran
terhadap
maksim
kesepakatan
terutama
submaksim kedua ini, dapat dilihat dari beberapa contoh tuturan dalam percakapan acara Pangkur Jenggleng. Berikut beberapa contohnya. [18] Konteks Tuturan: Tere sedang memperhatikan ibunya yang sedang menari. Tiba-tiba Tere menuji ibunya karena ibunya masih luwes dalam menari. Tere memanggil ibunya dengan sebutan mama supaya lebih gaul dan di zaman sekarang panggilan itu sudah biasa digunakan untuk memanggil sosok ibu. Tetapi ibu tidak setuju jika Tere memanggilnya dengan paggilan mama. Ibu merasa tidak pantas di panggil mama. Bentuk Tuturan: Tere
:Mamah kwi joged ya isih luwes.
64
‘Mama itu menari juga masih luwes.’ :Mbok aja mamah ta! ‘Jangan mama lah!’ :Kan saiki, cah enom saiki mamah ngono lho mah! ‘Sekarang, anak muda sekarang mama begitu loh ma!’
Ibu Tere
(45/TU/PJ/15/02/16) Pada percakapan [18] terdapat pelanggaran terhadap maksim kesepakatan terutama submaksim pertama karena penutur (ibu) melakukan ketaksepakatan antara diri sendiri dan orang lain terjadi sebanyak mungkin. Pelanggaran dilakukan oleh ibu yang diperankan oleh Rini kepada anaknya (Tere) terlihat pada tuturan Mbok aja mamah ta! ‘jangan mama lah!’. Tuturan melanggar
Mbok aja mamah ta! ‘jangan mama lah!’,
maksim
kesepakatan
akrena
tuturan
tersebut
dimaksudkan untuk memaksimalkan ketaksepakatan antara ibu dan Tere. Tere yang memanggil ibunya mama tidak diindahkan oleh ibu. Ibu merasa bahwa panggilan itu tidak pantas untuk dirinya. Menurut ibu, panggilan seperti itu hanya cocok digunakan oleh orang kota, sedangkan Tere dan ibunya hanya orang desa yang tidak pantas menggunakan panggilan ala orang kota. Penutur (ibu) tidak sepakat dengan
Tere khususnya
mengenai tuturan mamah. Di sini terlihat penutur melakukan ketaksepakatan dengan lawan bicara (Tere) dengan menuturkan Mbok aja yang berarti jangan. Ibu tidak senang jika dia dipanggil mama oleh anaknya itu.
65
Contoh lain pelanggaran terhadap maksim kesepakatan khususnya submaksim peertama dapat dilihat dari contoh berikut ini. [19] Konteks Tuturan: Tere dan keluarga akan menghadiri acara syukuran ulang tahun Resy dan Ario. Bapak mengatakan bahwa mereka tidak perlu membawa
apapun
untuk
menhadiri
cara
tersebut.
Bapak
menambahkan jika terdapat sesuatu yang ada di sana dan bisa di minta untuk dibawa pulang, maka dia akan memintanya. Tere tidak setuju dengan rencana bapak yang seperti itu. Bentuk Tuturan: Bapak Tere
Bapak
Tere
: Ora sah nggawa apa-apa. ‘Tidak perlu membawa apapun.’ : Sing penting nganggo klambi, rapapa buk. ‘Yang penting menggunakan pakaian, tidak apa-apa bu.’ : Ora sah gawa apa-apa, nko yen kana ana apa-apa wae digawa. ‘Tidak perlu membawa apapun, nanti kalau ada apapun saja dibawa.’ : Wegah! Bapak kuwi nak malah ngisinisini. ‘Tidak! Bapak itu justru memalukan.’ (53/Tambah Umur/PJ/15 Februari 2016)
Pada percakapan [19] terdapat pelanggaran terhadap maksim kesepakatan, terutama terhadap submaksim pertama karena penutur tidak memiliki kesepakatan dengan mitra tutur. Pelanggaran maksim kesepakatan terlihat pada tuturan Tere. Tere telah
menyatakan
ketaksepakatan
kepada
bapak
dengan
66
menuturkan Wegah! Bapak kuwi nak malah ngisin-isini. ‘Tidak! Bapak itu justru memalukan.’. Tere dan bapak yang sedang berbincang-bincang, tiba-tiba membahas tentang undangan dari Resy dan Ario untuk menghadiri acara syukuran acara ulang tahun mereka berdua. Bapak mengemukakan pendapatnya untuk tidak membawa apapun sebagai hadiah ulang tahun untuk Resy dan Ario. Saat itu memang keluarga Tere sedang tidak mempunyai apapun untuk dibawa ke acara syukuran ulang tahun Resy dan Ario sebagai hadiah. Bapak juga menambahkan jika ada sesuatu di rumah Resy dan Ario yang bisa diminta dan dibawa pulang, bapak akan membawa pulang barang itu. Mendengar
pernyataan
bapak
Tere
menyatakan
ketaksepakatannya. Menurut Tere, apa yang akan dilakukan bapak itu adalah perbuatan yang memalukan. Pernyataan Tere yang menyatakan
ketaksepakatan
dengan
bapak
tersebut
sangat
bertentangan dengan submaksim pertama maksim kesepakatan, untuk mengusahaan ketaksepakatan diri dengan lain terjadi sesedikit mungkin. Tuturan Tere yang melanggar maksim kesepakatan termasuk tuturan yang tidak santun. Berikut adalah contoh lain dari pelanggraan terhadap maksim kesepakatan, khususnya submaksim pertama dalam acara Pangkur Jenggleng.
67
[20] Konteks Tuturan: Resy dan Ario sedang merayakan ulang tahun mereka berdua secara bersamaan dengan mengadakan syukuran dan mengundang beberapa kerabat mereka. Salah satu kerabatnya adalah keluarga Tere. Tere yang datang beserta keluarganya memperhatikan situasi yang ada di sana. Tiba-tiba mereka membicarakan tumpeng yang hanya berukuran kecil, padahal yang berulang tahun saat itu adalah dua orang. Keluarga Tere menganggap tumpeng itu terlalu kecil tidak seperti yang mereka kira sebelumnya. Bentuk Tuturan: Tere
Bapak Ibu Bapak
: Bu, bu tak kandani. Ulang taun wong loro kok tumpenge cilik banget ya. ‘Bu, bu saya beri tahu. Ulang tahun berdua tumpengnya kecil sekali ya’ : Iki dudu tumpeng! ‘Ini bukan tumpeng!’ : Lha napa pak? ‘Lha apa pak?’ : Sompil! ‘Remis!’ (76/TU/PJ/15/02/16)
Pada percakapan [20] terdapat pelanggaran terhadap maksim kesepakatan. Submaksim yang dilanggar dari maksim kesepakatan tersebut adalah submaksim pertama, karena penutur memiliki ketaksepakatan dengan mitra tutur. Pelanggaran tampak pada tuturan bapak yang menanggapi pernyataan Tere. Tuturan
68
yang melanggar maksim kesepakatan terlihat pada tuturan bapak Iki dudu tumpeng! ‘Ini bukan tumpeng!’. Tere sebelumnya menyatakan bahwa tumpeng ulang tahun Resy dan Ario itu terlalu kecil. Tumpeng tersebut adalah tumpeng ulang tahun untuk dua orang, yaitu Resy dan Ario. Seharusnya, tumpeng yang digunakan adalah tumpeng yang besar, lebih besar dari biasanya yang digunakan oleh satu orang. Namun, Resy dan Ario hanya biasa membeli tumpeng yang berukuran kecil. Dengan sangat terpaksa, mereka berdua hanya bisa menghidangkan tumpeng yang berukuran kecil untuk acara ulang tahun mereka. Tuturan Resy ditanggapi oleh bapak dengan menyatakan ketaksepakatan dengan Tere. Penutur (bapak) mengujarkan sesuatu yang menunjukan ketaksepakatannya terhadap mitra tutur dengan mengatakan bahwa benda yang diujarkan oleh Tere yang disebut sebagai tumpeng itu bukanlah tumpeng. Bapak menambahkan bahwa yang dianggap tumpeng oleh Tere itu adalah sompil ‘remis’ penutur menyatakan ketaksepakatan dengan mitra tutur karena penutur melihat bahwa tumpeng ulang tahun Resy dan Ario terlalu kecil. Maka dari itu, bapak tidak mau menganggap bahwa benda itu adalah tumpeng dan justru menyebutnya sompil ‘remis’. Remis adalah kerang sungai yang berwarna hitam yang mempunyai ukuran sebesar ibu jari. Ditemukan tiga belas data dalam penelitian ini yang merupakan pelanggaran terhadap submaksim pertama maksim kesepakatan.
69
b) Usahakan Agar Kesepakatan Antara Diri dengan Lain Terjadi Sebanayak Mungkin Dalam penelitian ini hanya terdapat dua data yang menunjukkan pelanggaran terhadap submaksim kedua maksim kesepakatan. Berikut adalah analisis percakapan yang melanggar maksim kesepakatan, khususnya submaksim kedua. [21] Konteks Tuturan: Resy dan Ario sedang berdebat mengenai usis mereka masing-masing. Mereka selalu ingin dianggap lebih muda dari usianya yang sekarang. Tiba-tiba saat mereka berdebat, penonton memotong pembicaraa mereka berdua dengan mengatakan bahwa usia Resy adalah sebelas tahun. Mendengar pernyataan penonton, Ario merasa kurang setuju. Bentuk Tuturan: Resy
Penonton Ario Resy
: Umurku ki, yen pancen kwe mirsani pira? ‘Jika memang kamu melihat, berapausiaku ini?’ : Sewelas. ‘Sebelas’ : Mosok sewelas Bu! ‘Yang benar sebelas Bu?’ : Ora sah serik ngono lo. ‘Tidak perlu iri begitu loh’ (56/TU/PJ/15/02/16)
Pada percakapan [21] terdapat tuturan yang tidak santun. Ketidaksantunan tersebut karena terdapat tuturan yang melanggar maksim kesepakatan, terutama submaksim kedua karema penutur meminimalkan kesepakatan antara diri dengan lain. Pelanggaran
70
terhadap maksim kesepakatan terlihat pada tuturan Ario, Mosok sewelas Bu! ‘Yang benar sebelas Bu?’. Penonton memotong dan menjawab pertanyaan Resy tentang berapakah usianya sekarang. Penonton menjawab bahwa usia Resy adalah sebelas tahun. Pernyataan penonton itu kurang disetujui oleh Ario. Ario merasa bahwa pernyataan penonton itu terlalu memihak Resy dengan menyatakan bahwa usia Resy masih sebelas tahun. Berarti dari pernyataan penonton tersebut, Resy terlihat lebih muda dan bisa dikatakan sebagai remaja. Tuturan Ario, Mosok sewelas Bu! ‘Yang benar sebelas Bu?’ merupakan bentuk tuturan bahwa Ario membuat kesepakatan antara diri dengan lain sesedikit mungkin. Dengan kata lain, Ario telah meminimalkan kesepakatan dengan orang lain, orang lain yang dimaksud di sini adalah penonton. Tuturan Ario yang seperti dicontohkan di atas telah melanggar maksim kesepakatan terutama submaksim kedua. Data yang menunjukkan pelanggaran terhadap submaksim kedua maksim kesepakatan hanya ditemukan dua data. Kedua data tersebut dapat dilihat pada nomor 9 dan 56. Selain keempat data yang telah dianalisis di atas, masih ada data lain yang menunjukkan pelanggaran terhadap maksim kesepakatan yang meliputi submaksim pertama dan kedua. Data lain yang menunjukkan pelanggaran terhadap submaksim pertama ada pada data nomor 2, 5, 13,
71
24, 28, 47, 54, 67, 118 dan 128. Data lain yang menunjukkan pelanggaran terhadap submaksim kedua maksim kesepakatan adalah data nomor 9. 6. Maksim Simpati (Sympathy Maxim) Maksim keenam dalam prinsip kesantunan ini juga terdiri dari dua submaksim, yaitu a) kurangi rasa antipati antara diri dengan lain sekecil mungkin dan b) tingkatkan rasa simpati sebnayak-banyaknya antara diri dan lain. Dalam penelitian ini, hanya ditemukan satu pelanggran terhadap maksim simpati, khususnya submaksim pertama. Data tersebut ditunjukkan oleh data nomor 103. a) Kurangi Rasa Antipati Antara Diri dengan Lain Sekecil Mungkin Terdapat satu percakapan yang merupakan pelanggaran terhadap maksim simpati khususnya submaksim pertama. Data tersebut adalah sebagai berikut. [22] Konteks Tuturan: Rini ingin melaporkan kasus penipuan yang dialaminya ke kantor polisi. Pelaku penipuan itu adalah teman Widodo (suami Rini). Widodo akan diancam oleh temannya dan mungkin akan terjadi hal yang tidak diinginkan. Tetapi Rini tidak menghiraukan nasib suaminya yang akan menerima ancaman atau yang lainnya. Bentuk Tuturan: Rini Widodo
: Ya yen ngene ki kojur aku. Mati-mati. ‘Ya, jika seperti itu celaka aku. Mati-mati’ : Ya aja. Yen kwe mati aku terus piye?
72
Rini
‘Ya jangan. Jika kamu meninggal aku bagaimana?’ : Karepmu! Wis ayo lapor polisi! ‘Terserah! Sudah ayo lapor polisi!’ (103/PA/PJ/22/02/16)
Pada percakapan [22] terdapat pelanggaran terhadap maksim
simpati,
khususnya
submaksim
pertama
karena
memaksimalkan rasa antipati kepada orang lain. Pelanggran terlihat pada tuturan Rini, Karepmu! ‘Terserah!’. Tuturan tersebut dilontarkan oleh Rini kepada suaminya karena telah membiarkan jarit dagangannya dibawa oleh Sajiwa (teman Widodo) tanpa membayar serupiah pun. Berdasarkan tuturan tersebut, dapat dilihat bahwa penutur (Rini) sama sekali tidak mengurangi rasa antipati kepada mitra tutur Widodo sedang merasa gelisah dan takut kalau nantinya dia akan diancam oleh Sajiwa dan mungkin bisa saja sesuatu yang buruk bisa terjadi padanya. Seharusnya penutur dapat memberikan pengertian dengan sopan dan membuat hati suaminya damai. Penutur seharusnya bisa mengatakan bahwa semua akan baik-baik saja dengan menyerahkan kasus tersebut ke polisi. Rini seharusnya bisa mengurangi rasa anti pati kepada Widodo. Melalui tuturan tersebut, terlihat bahwa penutur justru meningkatkan antipati kepada mitra penutur. Penutur sama sekali tidak bersimpati walaupun mitra tutur sedang gelisah dan takut
73
karena bisa saja Sajiwa melakukan sesuatu
yang buruk
terhadapnya. Tuturan Karepmu! ‘Terserah!’ mununjukkan bahwa punutur tidak mau tahu dengan urusan mitra tutur. Rasa antipati penutur jelas terlihat, karena mitra tutur sedang merasa gelisah dan takut. Penutur justru mengatakan Karepmu! ‘Terserah!’ dan sama sekali tidak memperhatikan perasaan mitra tutur. Hal tersebut sanagt bertentangan dengan submaksim pertama maksim simpati yang seharusnya mengurangi rasa simpati antara diri dengan yang lain hingga sekecil mungkin. b) Tingkatkan Rasa Simpati Sebanyak-banyaknya Antara Diri dan Lain Dalam penelitian ini, tidak ditemukan data yang merupakan pelanggaran terhadap maksim simpati terutama submaksim kedua yaitu tingkatkan rasa simpati sebanyak-banyaknya antara diri dan lain. 7. Maksim Pertimbangan (Consideration Maxim) a) Minimalakan Rasa Tidak Senang pada Mitra Tutur Dalam
acara
Pangkur
Jenggleng,
terdapat
banyak
pelanggaran terhadap submaksim pertama maksim pertimbangan. Berikut contoh tuturan yang terdapat dalam percakapan yang melanggar submaksim yang seharusnya meminimalkan rasa tidak senang pada mitra tutur.
74
[23] Konteks Tuturan: Ketika Resy dan Ario sedang merayakan syukuran ulang tahun mereka berdua, banyak tamu yang datang dan memberikan doa serta ikut memeriahkan acara tersebut. Belum sampai Resy dan Ario mengucapkan terima kasih kepada tamu undangan, bapak terlihat tidak senang kepada Resy ataupun Ario karena mereka berdua belum menyampaikan ucapan terima kasih kepada tamu undangan. Bentuk Tuturan: Bapak
Ario
: Lha ngeneki lho, wohing kerukunan. Sing ulang taun si Ari karo Resy nganti disengkuyung karo kanca-kanca akeh. Sing rawuh ya akeh. Ya, raketan piye, matur nuwun pa piye ngono, kok mung meneng wae! ‘Lha begini loh, hasil dari kerukunan. Yang berulang tahun si Ari dan Resy sampai didukung oleh teman-teman.Ya sekedar, terima kasih atau bagaimana begitu, kok hanya diam saja!’ : Kowe po aku? ‘Kamu atau saya?’
(68/TU/PJ/15/02/16) Pada percakapan [23] terdapat pelanggaran terhadap maksim pertimbangan, khususnya terhadap submaksim pertama karena tidak meminimalkan rasa tidak senang kepada mitra tutur. Pelanggaran terhadap maksim pertimbangan terlihat pada tuturan bapak, Ya, raketan piye, matur nuwun pa piye ngono, kok mung meneng wae! ‘Ya sekedar, terima kasih atau bagaimana begitu,
75
kok hanya diam saja!’. Tuturan bapak merupakan tuturan menyampaikan pendapat. Pendapat yang dikemukakan bapak kepada Ario dan Resy cukup membuat hati mereka tidak senang, karena tuturan bapak membuat Ario ataupun Resy merasa tidak enak hati kepada seluruh tamu undangan. Resy dan Ario merasa malu karena bapak telah mengingatkan dirinya untuk berterima kasih kepada tamu undangan yang seharusnya mereka lakukan tanpa diingatkan oleh bapak. Tuturan
bapak
tidak
mempertimbangkan
tentang
bagaimana perasaan Ario dan Resy. Apabila tuturan bapak didengar banyak orang, maka Resy dan Ario merasa malu serta bersalah. Tuturan bapakakan lebih sopan apabila bagian yang dianggap bisa menyinggung perasaan Ario dan Resy tidak disebutkan secara detail. Tuturan bapak tersebut bertentangan dengan submaksim pertama maksim pertimbangn, yang seharusnya meminimalkan rasa senang kepada mitra tutur. Contoh lain percakapan yang melanggar maksim pertimbangan, khusunya submaksim pertama adalah sebagai berikut. [24] Konteks Tuturan: Endah yang sedang bercerita tentang pengalamannya mengajar menari dan menyanyi di luar negri tiba-tiba dibuat jengkel oleh Pak Mur. Pak Mur selalu memotong pembicaraan Endah dengan gurauan membuat Endah jengkel dan menuturkan
76
tuturan yang dapat menyinggung perasaan Pak Mur dan dapat membuat Pak Mur bersedih. Bentuk Tuturan: Pak Mur
Endah
: Aku ki ora arep nyela-nyela, ya gur arep ngisruh. ‘Aku ini tidak akan menyela, ya hanya akan mengganggu.’ : Nggih ngoten niku. Asline Pak Mur niku mbiyen jatuh cinta kalih kula, ning kula mboten gelem. Kaceka pira-pira kula pilih Mas Inung. ‘Ya begitulah. Sebenarnya Pak Mur itu dahulu jatuh cinta dengan saya, tetapi saya tidak mau. Selisih berapapun saya memilih Mas Inung.’ (119/PA/PJ/22/02/16)
Pada percakapan [24] terdapat tuturan yang tidak santun karena melanggar maksim pertimbangan. Submaksim dari maksim pertimbangan yang dilanggar adalah submaksim pertama, yaitu memaksimalkan rasa tidak senang pada mitra tutur. Pelanggaran yang dilakukan Endah kepada Pak Mur terlihat pada tuturan, Asline Pak Mur niku mbiyen jatuh cinta kalih kula, ning kula mboten gelem. Kaceka pira-pira kula pilih Mas Inung. ‘Sebenarnya Pak Mur itu dahulu jatuh cinta dengan saya, tetapi saya tidak mau. Selisih berapapun saya memilih Mas Inung.’. Pak Mur yang selalu memotong pembicaraan Endah membuat Endah merasa jengkel sehingga dia mengujarkan sesuatu yang bisa menyinggung perasaan Pak Mur dan mungkin bisa membuat Pak Mur bersedih. Perkataan Endah bisa mengingatkan
77
Pak Mur tentang peristiwa yang telah dialaminya pada masa remaja saat Pak Mur jatuh cinta pada Endah. Namun, Endah tidak bisa membalas perasaan Pak Mur dengan perasaan yang sama. Tuturan Endah dapat membuat perasaan Pak Mur tidak karuan jika teringat masa lalu bahwa cintanya tidak terbalas. Bahkan wanita yang dicintainya justru memilih laki-laki lain. Hal seperti itu bisa membuat Pak Mur bersedih. Hal yang dilakukan penutur bukan membuat mitra tutur lebih terhibur dan ikhlas menerima yang telah terjadi, tetapi justru membuatnya semakin ‘panas’ dan ‘marah’. Tuturan yang tidak meminimalkan rasa tidak senang pada mitra tutur tersebut merupakan
tuturan
yang
melanggar
maksim
pertimbangan,terutama submaksim pertama. Ditemukan lima data yang melanggar maksim pertimbangan, terutama submaksim pertama. Data tersebut dapat dilihat pada nomor 4, 8, 68, 85 dan 119. b) Maksimalkan Rasa Senang pada Mitra Tutur Dalam
acara
Pangkur
Jenggleng,
terdapat
banyak
pelanggaran terhadap submaksim kedua maksim pertimbangan. Berikut contoh tuturan yang terdapat dalam percakapan yang melanggar submaksim yang seharusnya memaksimalkan rasa senang pada mitra tutur.
78
[25] Konteks Tuturan Resy dan Ario sedang berulang tahun, tiba-tiba Ario keluar membawa sebuah tumpeng ulang tahun. Melihat tumpeng yang berada di atas tangan Ario, Tere pun menyatakan bahwa tumpeng yang dibawa Ario itu kecil, padahal yang berulang tahun pada saat itu adalah dua orang. Tere berpendapat seharusnya tumpeng mereka berdua itu lebih besar dari tumpeng yang dibawa Ario pada saat ini. Bentuk Tuturan: Ario
Tere
: Wong jenenge ulang taun kok es teh, ya tumpeng ta ya. ‘Yang namanya ulang tahun kok es teh, ya tumpeng kan ya.’ : Bu, bu tak kandani. Ulang taun wong loro kok tumpenge cilik banget ya. ‘Bu, bu saya beri tahu. Yang berulang tahun berdua kok tumpengnya sangat kecil ya.’ (75/TU/PJ/15/02/16)
Pada percakapan [27] terdapat pelanggaran terhadap maksim pertimbangan. Maksim pertimbangan yang dilanggar khususnya submaksim kedua karena meminimalkan rasa yang sedang berulang tahun. Pelanggaran tersebut terlihat pada tuturan Tere Ulang taun wong loro kok tumpenge cilik banget ya. ‘Yang berulang tahun berdua kok tumpengnya sangat kecil ya.’, tutaran tersebut merupakan tuturan yang menyatakan sebuah pendapat.
79
Resy dan Ario yang sedang berulang tahun memang membeli tumpeng untuk ulang tahun mereka. Mereka membeli tumpeng itu dengan cara iuran, ketika Ario membawa tumpeng itu keluar. Tere menuturkan Ulang taun wong loro kok tumpenge cilik banget ya. ‘Yang berulang tahun berdua kok tumpengnya sangat kecil ya.’, tuturan Tere tersebut akan mengingatkan keadaaan Ario dan Resy yang sedang tidak mempunyai banyak uang untuk membeli tumpeng yang lebih besar dari yang bisa diperolehnya sekarang. Tuturan Tere tersebut dapat mengurangi kebahagian yang dirasakan Resy dan Ario ketika acara syukuran ulang tahun mereka berlangsung. Resy dan Ario mungkin merasa sedih dan malu karena tumpeng yang bisa diperoleh hanya sebuah tumpeng kecil, sama seperti yang dituturkan Tere. Dengan kata lain tuturan Tere dapat mengrangi kebahgiaan yang dirasakan oleh Ario dan Resy. Hal yang dilakukan penutur (Tere) kepada mitra tutur bukan membuat mitra tutur merasa bahagia, tetapi justru membuatnya merasa malu sekaligus bersedih karena tidak mampu membeli tumpeng yang lebih besar. Tuturan Tere tersebut bertentangan dengan submaksim kedua maksim pertimbangan yang seharusnya memaksimalkan rasa senang kepada mitra tutur. Contoh percakapan lain yang merupakan pelanggaran terhadap maksim pertimbangan khususnya submaksim kedua adalah sebagai berikut.
80
[26] Konteks Tuturan Ki Dewaza dan Sarjiwa sedang membicarakan tentang padepokan karawitan yang dimiliki masing-masing. Tiba-tiba Sarjiwa menanyakan tentang Resy yang tidak lain murid di padepokan karawitan milik Ki Dewaza. Sarjiwa menyatakan sesuatu bahwa sepertinya Resy sulit untuk naik ke tingkat selanjutnya. Bentuk Tuturan: Sarjiwa Ki Dewaza Resy Sarjiwa
: Niki nggih siswa? ‘Ini siswa juga?’ : Nggih klebet niki. ‘Ya termasuk ini.’ : Kula anyaran. ‘Saya baru.’ : Ketoke ra munggah-munggah ngono. ‘Sepertinya tidak begitu mudah naik tingkat.’
(109/PA/PJ/22/02/16)
Pada percakapan [24] terdapat pelanggaran terhadap maksim pertimbangan, khususnya submaksim kedua karena meminimalkan rasa senang pada mitra tutur. Pelanggaran terlihat pada tuturan Sarjiwa Ketoke ra munggah-munggah ngono. ‘Sepertinya tidak begitu mudah naik tingkat’. Tuturan Sarjiwa merupakan tuturan yang menyatakan sesuatu bahwa menurut penglihatan dia, sepertinya Resy tidak
81
mudah untuk naik ke tingkat selanjutnya dalam pembelajaran di padepokan milik Ki Dewaza. Sarjiwa yang datang ke padepokan Ki Dewaza sedang membicarakan tentang padepokan masing-masing. Pada saat itu Resy yang merupakan salah satu murid di padepokan Ayom-ayem sedaang latihan. Tiba-tiba Sarjiwa bertanya kepada Ki Dewaza, apakah perempuan yangs sedang berada di padepokan itu adalah muridnya, padahal perempuan yang dimaksud Sarjiwa adalah Resy. Ki Dewaza pun meng-iyakan pertanyaan dari Sarjiwa bahwa Resy adalah salah satu muridnya. Resy juga menanggapi bahwa dia adalah murid baru di padepokan Ayom-ayem. Tuturan Sarjiwa Ketoke ra munggah-munggah ngono. ‘Sepertinya tidak begitu mudah naik tingkat.’ Merupakan tuturan yang tidak santun. Tuturan Sarjiwa yang menganggap Resy adalah murid yang susah untuk naik ke tingkat selanjutnya. Dengan tuturan tersebut, Resy dapat merasa sedih dan mengganggap dirinya memang susah untuk penerima seluruh pembelajaran dari Ki Dewaza. Perkataan
Sarjiwa
kepada
Resy
dapat
mengurangi
kebahagiaan yang dirasakan oleh Resy. Tuturan Sarjiwa tersebut telah meminimalkan rasa senang pada mitra tutur, yaitu Resy. Tuturan yang seperti itu sangat bertentangan dengan maksim
82
pertimbangan, khususnya submaksim kedua yang seharusnya penutur memaksimalkan rasa senang kepada mitra tutur. Terdapat enam data yang menunjukkan pelanggran terhadap submaksim kedua maksim pertimbangan. Kelima data tersebut dapat dilihat pada data nomor 7, 33, 39, 75, 80 dan 109. Ditemukan data yang melanggar maksim pertimbangan. Data pelanggaran terhadap kedua submaksim maksim pertimbangan sebanyak sebelas data. Kesebelas data tersebut tampak pada data nomor 4, 7, 8, 33, 39, 68, 75, 80, 85, 109 dan 119. Adapun pelanggaran prinsip kesantunan terhadap maksim-maksim Leech dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 1 Pelanggaran Prinsip Kesantunan
No 1
Pelanggaran Prinsip Kesantunan Maksim Kearifan a) Submaksim Pertama
b) Submaksim Kedua 2
3
Data Nomor
12, 14, 19, 35, 63, 69, 71, 79, 99, 108, 114, 115, 122 18, 37, 70, 72, 106, 112, 127
Maksim Kedermawanan a) Submaksim Pertama
3, 38, 52, 59, 77, 95
b) Submaksim Kedua
51, 104
Maksim Pujian a) Submaksim Pertama
1, 6, 15, 17, 20, 22, 23, 27, 30, 32, 38, 41, 43, 44, 48, 58, 62, 64, 66, 74, 78, 84, 89, 98, 100, 101, 102, 105, 107, 110, 111,
83
116, 117, 120, 126, 129 87, 88, 96, 113, 124 b) Submaksim Kedua 4
5
6
7
Maksim Kerendahan Hati a) Submaksim Pertama
10, 11, 21, 26, 29, 31, 34, 46, 49, 50, 57, 60, 65, 73, 82, 86, 90, 91, 92, 112, 125, 130
b) Submaksim Kedua
61, 83, 93, 94, 121, 123
Maksim Kesepakatan a) Submaksim Pertama
2, 5, 13, 24, 28, 45, 47, 53, 54, 67, 76, 118, 128
b) Submaksim Kedua
9, 56
Maksim Simpati a) Submaksim Pertama
103
b) Submaksim Kedua
-
Maksim pertimbangan a) Submaksim Pertama
4, 8, 68, 85, 119
b) Submaksim Kedua
7, 33, 39, 75, 80, 109
84
B. Bentuk Pelanggaran Prinsip Kesantuan Terhadap Skala Kesantuan Leech Leech (1993: 194) mengidentifikasi tiga skala yang menunjukkan tingkat kearifan suatu situasi percakapan tertentu. Skala-skala tersebut ialah skala untung-rugi, keopsionalan dan ketaklangsungan. Ketiga skala tersebut menentukan apakah tuturan tersebut arif atau tidak. Tuturan yang arif tentunya merupakan tuturan yang santun, sebaliknya tuturan yang tidak arif merupakan tuturan yang tidak santun. Tuturan yang terdapat dalam acara Pangkur Jenggleng banyak yang sengaja melanggar prinsip kesantunan demi menimbulkan kelucuan. Tuturan yang tidak santun tersebut tentunya tidak arif dan melanggar skala kesantunan Leech. 1. Skala Untung-Rugi Skala ini memperkirakan keuntungan atau kerugian suatu tindakan bagi penutur atau petutur (Leech, 1993: 194). Leech (1993: 166-167) menjelaskan peringkat kesantunan berdasarkan skala untungrugi. Berikut adalah contoh percakapan dalam acara Pangkur Jenggleng TVRI Jogja yang melanggar skala kesantunan Leech, khususnya menurut skala untung rugi. [27] Konteks Tuturan : Di padepokan ada beberapa orang yang ingin berlatih menyanyi dan menari. Pak Mur menyuruh Pak Dalijo, Mbak Suwiyah, Mbak Giyuk dan Sulis untuk menyanyi dan menari susuai dengan bagian yang telah diatur oleh Pak Mur. Tiba-tiba
85
Mbak Ciuk (Mbak Giyuk) bertanya kepada Pak Mur tentang bagian apa yang akan dilakukan Pak Mur pada saat itu. Bentuk Tuturan : Pak Mur
Ciuk Pak Mur
: Nggih, mangke Mas Dalijo kalih Mbak Suwiyah mbeksa. Giyuk, mangke para pamiyarsa sampun kangen suwantenipun nyinden, anak wedok Sulis ngendang. ‘Ya, nanti Mas Dalijo bersama Mbak Suwiyah menari. Giyuk, nanti para prmirsa sudah rindu dengan suaramu menyinden, anak perempuan Sulis mengendang.’ : Ooo, ngono. Njenengan? ‘Ooo, begitu. Anda?’ : Loh, lha aku sing mbayari. Tenguktenguk! ‘Loh, kan aku yang membayari. Duduk santai!’ (12/TK/PJ/01/02/16)
Pada percakapan [27] ditemukan tuturan yang melanggar prinsip kesantunan menurut skala untung-rugi. Tutran yang memperlihatkan pelanggaran terhadap skala untung-rugi adalah pada tuturan Pak Mur Loh, lha aku sing mbayari. Tenguktenguk! ‘Loh, kan aku yang membayari. Duduk santai!’. Tuturan tersebut adlah jawaban dari pertanyaan Mbak Giyuk yang menanyakan tentang bagian apa yang akan dilakukan Pak Mur setelah beliau menyuruh beberapa anak buahanya menyanyi dan menari di padepokan Ayom-ayem. Dilihat dari skala untung-rugi, jelas tuturan Pak Mur membuat keuntungan terhadap diri sendiri. Pak Mur mengatakan bahwa dia yang membayari, maka dia tidak perlu bernyanyi
86
ataupun menari. Pak Mur justru mengatakan bahwa dia akan duduk santai saja. Jelas terlihat di sini Pak Mur tidak mengalami kerugian apapun, justru mendapat keuntungan karena bisa melihat anak buahnya
menyanyi,
menari
serta
diiringi
kendang
yang
mengalunkan suara yang mengandung semangat. Pak Mur bisa saja memainkan alat musik gamelan yang bisa dia mainkan untuk mengiringi nyanyian dan tarian yang akan anak buahnya lakukan sesuai perintah Pak Mur. Tetapi, Pak Mur hanya ingin duduk santai tanpa melakukan apapun dengan alasan dialah yang telah membayari semuanya. Tuturan Pak Mur seperti contoh percakapan nomor [27] jelas melanggar prinsip kesantunan. Tuturan Pak Mur tidak bertentangan dengan skala untung-rugi yang seharusnya bisa memperkirakan keuntungan bagi diri sendiri. Pak Mur seharusnya tidak memaksimalkan kentungan terhadap diri sendiri seperti yang terlihat pada tuturan dalam percakapan [27]. Contoh percakapan lain yang tidak santun menurut skala untungrugi dapat dilihat pada data di bawah ini. [28] Konteks Tuturan: Dani yang merupakan kekasih Rini tiba-tiba datang ke padepokan untuk membawa pulang Rini agar berlatih di padepokan miliknya saja. Dani menganggap padepokan Ayom-Ayem adalah padepokan yang di dalamnya hanya orang-orang yang sudah tua dan tidak sesuai dengan usia Rini. Sesampainya di padepokan
87
Ayom-Ayem banyak orang yang melarang Rini dibawa pergi karea dia sedang latihan karena Dani tidak cukup sopan untuk membawa Rini pergi. Bentuk Tuturan: Ciuk
Dani
: Saiki ngene Dani, kowe cah enom ra duwe tata karma. Rini ra entuk kokpek bojo! ‘Sekarang begini Dani, kamu anak muda tidak punya sopan santun. Rini tidak boleh kamu jadikan istri.’ : Haduh. Lha terus piye? ‘Aduh. Lalu bagaimana?’ (18/TK/PJ/01/02/16)
Pada percakapan [28] di atas, terdapat tuturan yang tidak santun menurut skala untung-rugi. Ketidaksantunan tersebut terlihat pada tuturan Mbak Ciuk kepada Dani, Rini ra entuk kokpek bojo!’ Rini tidak boleh kamu jadikan istri.’. Tuturan Mbak Ciuk kepada Dani jelas bertentangan dengan skala untung rugi, karena Mbak Ciuk telah menuturkan sesuatau yang apabila tuturan itu benar-benar terjadi, maka hal itu akan merugikan Dani (mitra tutur). Dani akan mengalami kerugian karena tidak bisa menikah dengan Rini yang sudah lama dia cintai. Mbak Ciuk tidak memperkirakan kerugian yang akan dialami Dani apabila tuturannya itu benar-benar terjadi. Tuturan yang bisa membuat kerugian terhadap orang lain seperti yang terlihat di atas termasuk tuturan yang tidak sopan menurut skala untung-rugi.
88
Berikut adalah contoh lain pelanggaran kesantunan menurut skala untung-rugi Leech. [29] Konteks Tuturan: Resy adalah salah satu murid Ki Dewaza di padepokan Ayom-Ayem. Resy seharusnya letihan sampai sore hari, tetapi dia justru meninggalkan padepokan lebih awal sebelum latihan selesai. Hasilnya, Resy tidak mengerti semua yang telah diajarkan di padepokan itu dan membuat Ki Dewaza kecewa dan marah kepada Resy. Kemudian Resy mengakui kesalahannya dan meminta maaf kepada Ki Dewaza. Bentuk Tuturan: Ki Dewaza
Resy Ki Dewaza
: Sing sopan yen jaluk pangapura kuwi ya laku dhodhok. ‘Yang sopan jika meminta maaf itu ya dengan berjalan jongkok.’ : Sakniki kula ken mlaku ndhodhok? ‘Sekarang saya disuruh berjalan jongkok?’ : Ya yen jaluk ngapura ya kudu mlaku dhodhok. ‘Ya jika meminta maaf ya harus berjalan jongkok.’
(108/PA/PJ/22/02/16)
Pada percakapan [29] terlihat tuturan yang tidak sesuai dengan skala untung-rugi dan dapat dikatakan tuturan yang tidak santun. Pelanggaran kesantunan pada percakapan [29] terlihat pada tuturan Ki Dewaza Ya yen jaluk ngapura ya kudu mlaku dhodhok. ‘Ya jika meminta maaf ya harus berjalan jongkok.’.
89
Ki Dewaza terlanjur kecewa dengan Resy karena dia tidak menyelesaikan proses latihan di padepokan. Resy menyesal atas kejadian itu dan dia berusaha meminta maaf kepada Ki Dewaza atas apa yang telah dia lakukan saat proses latihan masih berlangsung. Ketika Resy akan meminta maaf kepada Ki Dewaza, beliau mengatakan bahwa jika Resy ingin meminta maaf,dia harus berjalan jongkok. Menurut skala untung-rugi, jelas apa yang dilakukan Ki Dewaza memberikan kerugian kepada Resy (mitra Tutur). Kerugian yang bisa dialami Resy yaitu bahwa dia harus berjalan dengan posisi jongkok. Hal tersebut tentu akan sulit dilakukan oleh Resy mengingat dia seorang perenmuan dan sedang menggunakan jarit. Bisa saja jika Resy melakukan hal itu, dia akan terjatuh karena dia tidak bebas untuk bergerak akibat lilitan jaritnya. Tuturan yang membuat kerugian kepada mitra tutur seperti yang dilakukan Ki Dewaza jelas tidak sesuai dengan skala untung-rugi, sehingga tuturan tersebut termasuk tuturan yang tidak santun. Dari pengamatan yang dilakukan, terdapat delapan belas data yang menunjukkan pelanggaran prinsip kesantunan menurut skala untung-rugi. Delapan belas data tersebut ditunjukkan oleh data nomor 3, 12, 14, 18, 19, 35, 37, 51, 58, 63, 72, 97, 99, 106, 108, 114, 115 dan 127.
90
2. Skala Keopsionalan Skala ini memperhitungkan jumlah pilihan yang diberikan penutur kepada petutur (Leech, 1993: 195). Semakin besar jumlah pilihan yang diberikan oleh penutur maka semakin santun tuturan itu. Menurut skala ini,berikut contoh percakapan yang melanggar prinsip kesantunan yang terdapat dalam acara Pangkur jenggleng TVRI Jogja. [30] Konteks Tuturan: Dani datang ke padepokan Ayom-ayem berniat untuk membawa pulang kekesihnya yang sedang berlatih di sana. Dani menginginkan agar Rini (kekasihnya) berlatih di padepokan karawitan baru miliknya, karena Dani menganggap padepokan Ayom-ayem tidak pantas untuk Rini saat ini. Bentuk Tuturan: Dani
Sulistyarini
Dani
: Aku saiki duwe grup karawitan anyar. Kowe melu aku! ‘Saya sekararang mempunyai grup karawitan baru. Kamu ikut saya!’ : Jane aku tak ya ngrampungme gladhenku sik ta Mas. ‘Sebaiknya aku kan ya menyelesaikan latihanky dulu ya Mas.’ : Iki tuwek-tuwek! Ayo melu aku sing enomenom! ‘Ini tua-tua! Ayo ikut saya yang mudamuda!’ (14/TK/PJ/01/02/16)
Pada percakapan
[30]
terdapat
pelanggaran
prinsip
kesantunan menurut skala keopsionalan. Pelanggaran tersebut ditunjukkan oleh tuturan Dani, Kowe melu aku! ‘Kamu ikut
91
saya!’. Tuturan Dani tersebut berupa perintah kepada Rini agar Rini ikut dengannya untuk bergabung di padepokan baru miliknya. Dani
yang
mempunyai
padepokan
karawitan
baru
menginginkan agar kekasihnya itu bergabung di padepokan baru miliknya dan meninggalkan padepokan Ayom-Ayem yang dinilai sudah tidak pantas karena yang ada di padepokan itu kebanyakan orang yang sudah tua. Tanpa berpikir panjang, Dani mendatangi padepokan Ayom-Ayem dan meminta Rini untuk ikut dengannya. Tuturan Dani, Kowe melu aku! ‘Kamu ikut saya!’, jika dilihat dari skala keopsionalan jelas bertentangan dengan skala keopsionalan yang seharusnya memperbesar pilihan kepada orang lain. Dapat dilihat bahwa Dani tidak memperhitungkan jumlah pilihan yang diberikan kepada Rini. Rini tidak diberikan pilihan apapun atas tuturan yang disampaikan Dani kepadanya. Tuturan Dani mungkin bisa lebih santun apabila Dani memberikan sedikit kebebasan atau pilihan kepada Rini agar Rini dapat mempertimbangkan dan mengambil keputusan yang terbaik mengenai masalah itu. Dani bisa saja mengatatan, Jika kamu bersedia, kamu bisa ikut denganku. itu jauh lebih santun dari pada tuturan Dani Kowe melu aku! ‘Kamu ikut saya!’ kepada Rini. Pelanggaran lain yang bertentangan dengan skala keopsionalan dapt dilihat dari data di bawah ini.
92
[31]Konteks Tuturan: Pak Dalijo sebagai pemimpin dipadepokan akan memilih beberapa penari yang akan ditampikan unruk acara penyambutan tamu kehormatan di padepokannya. Para penari yang telah terpilih tersebut disuruh oleh Pak Dalijo untuk menampilkan kebolehan mereka di depan Pak Dalijo sebelum acara penyambutan datang. Setelah para penari selesai menunjukkan kebisaannya dalam hal menari, pengawal Pak Dalijo menyuruh pak Dalijo untuk menari juga. Bentuk Tuturan: Pengawal
Dalijo
: Sakniki ngeten Mas Dalijo, gandheng Mbak Eka empun, Mbak Rini ya uwis, Mas Didi ya uwis. Ya wis apik kabeh, njenegan ya kudu mbeksa ta ya! ‘Sekarang begini Mas Dalijo, berhubung mbak Eka sudah, Mbak Rini juga sudah, Mas Didi juga sudah. Ya semua sudah bagus, kamu ya harus menari kan ya!’ : Aku? Aku ki pimpinan lo! Ra perlu kudune! ‘Saya? Akuini pimpinan loh! Seharusnya tidak perlu!’ (35/Dn/PJ/08/02/16)
Pada percakapan [31] terdapat pelanggaran menurut skala keopsionalan. Tuturan yang meninjukkan pelanggran terlihat pada tuturan pengawal kepda Pak Dalijo, njenegang ya kudu mbeksa ta ya! ‘kamu ya harus menari kan ya!’. Tuturan tersebut berupa suruhan pengawal kepada Pak Dalijo untuk menari setelah ketiga penari pilihannya menampilkan kebisaannya dalam hal menari.
93
Tuturan
pengawal
itu
bertentangan
dengan
skala
keopsiaonalan. Penutur (pengawal) tidak memperhitungkan jumlah pilihan yang diberikan kepada Pak Dalijo sebagai mitra tuturnya. Pengawal
memperkecil
pilihan
kepada
Pak
Dalijo
yang
mengharuskan dia menari setelah para penari tersebut tampil di depannya. Seharusnya pengawal bisa memberikan pilihan kepada Pak Dalijo agar tuturan pengawal lebih sopan. Tetapi, di sini terlihat bahwa pengawal justru memperkecil pilihan kepada Pak Dalijo dengan menyuruhnya tanpa terlebih daluhu apakah dia bersedia atau tidak. Berdasarkan skala ini, penutur mungkin bisa mengganti tuturnnya dengan, Jika tidak keberatan, bisakah anda menari? itu lebih sopan daripad tuturan njenegang ya kudu mbeksa ta ya! ‘kamu ya harus menari kan ya!’ yang diucapkan pengawal kepada Pak Dalijo. Contoh percakapan lain yang menunjukkan pelanggaran menurut skala keopsiaonalan adalah sebagai berikut. [32] Konteks Tuturan: Rini baru saja sampai di rumahnya dengan keadaan emosi karena hari ini tidak sesuai dengan harapannya. Dia yang menagih uang hasil penjualan jatit kepada orang lain tidak membuahkan hasil, padahal dia sudah berjalan jauh dari rumah ke rumah ke sana ke mari tetapi tidak membawa pulang uang sedikitpun. Dengan
94
keadaan hati yang tidak enak, Rini menyuruh suaminya yang berada di rumah untuk menyimpan tasnya ke dalam rumah dengan tuturan yang kurang sopan. Bentuk Tuturan: Widodo Rini Widodo
Rini
: Kumat! ‘Kambuh!’ : Pripun? ’Bagaimana?’ : Ora-ora. Ki mau krungu kumat apa ki mau ngono. ‘Tidak-tidak. Ini tadi mendengar kambuh apa begitu tadi.’ : Iki mang singgahne! (sambil menyerahkan barang dagangan untuk disimpan didalam almari) ‘Ini kamu simpan!’ (sambil menyerahkan barang dagangan untuk disimpan di dalam almari)
(99/PA/PJ/22/02/16) Pada percakapan [32] mengandung tuturan yang tidak sopan karena tuturan tersebut tidak sesuai menurut skala keopsionalan. Tuturan yang merupakan pelanggaran terhadap prinsip kesantunan menurut skala ini terlihat pada tuturan Rini, Iki mang singgahne! ‘Ini kamu simpan!’ yang ditujukan kepada Widodo (suaminya). Tuturan tersebut adalah tuturan menyuruh. Rini menyuruh suaminya untuk menyimpan tas miliknya ke dalam rumah. Tetapi tuturan Rini tidak sopan karena dia tidak memberikan pilihan kepada suaminya untuk melakukan hal tersebut. Rini langsung
95
menyuruh Widodo untuk menyimpan tasnya tanpa mengucapkan kata’tolong’ atau yang lain agar tuturan itu lebih santun. Rini sama sekali tidak memperhitungkan pilihan yang diberikan kepada mitra tuturnya. Dengan meminimalkan jumlah pilihan yang diberikan penutur kepada mitra tutur seperti yang dilakukan
Rini
kepada
Widodo
tersebut
bisa
dikatakan
bertentangan dengan skala keopsionalan. Dengan kata lain, tuturan Rini tersebut melanggar prinsip kesantunan menurur skala keopsionalan Leech. Dalam penelitian ini, ditemukan dua belas data yang menunjukkan pelanggaran prinsip kesantunan menurut skala keopsionalan yang seharusnya memperbesar pilihan yang diberikan penutur kepada mitra tutur. Kedua belas data tersebut ditunjukkan oleh data nomor 14, 18, 25, 35, 37, 63, 72, 97, 99, 108, 114 dan 115.
3. Skala Ketaklangsungan Skala ini mengukur panjang jalan yang menghubungkan tindak ilokusi dengan tujuan ilokusi, sesuai dengan analisis cara-tujuan (Leech, 1993: 195). Skala ketaklangsungan dapat dirumuskan dari sudut pandang petutur, yaitu sesuai dengan panjangnya jalan inferensial yang perlukan oleh makna untuk sampai ke daya (Leech, 1993: 195). Berikut percakapan yang menunjukkan pelanggaran prinsip kesantuan menurut skala ketaklangsungan.
96
[33] Konteks Tuturan: Dani datang ke padepokanAyom-Ayem untuk menjemput Rini (kekasihnya) agar bergabung di padepokan karawitan miliknya. Dani menganggap bahwa padepokan Ayom-Ayem sudah tidak sesuai untuk Rini karena di sana banyak oarang yang sudah tidak muda lagi, Dani menjadikan itu masalah mengingat usia Rini belum terlalu tua. Bentuk Tuturan: Dani
Sulistyarini
Dani
: Aku saiki duwe grup karawitan anyar. Kowe melu aku! ‘Saya sekararang mempunyai grup karawitan baru. Kamu ikut saya!’ : Jane aku tak ya ngrampungme gladhenku sik ta Mas. ‘Sebaiknya aku kan ya menyelesaikan latihanky dulu ya Mas.’ : Iki tuwek-tuwek! Ayo melu aku sing enomenom! ‘Ini tua-tua! Ayo ikut saya yang mudamuda!’ (15/TK/PJ/01/02/16)
Pada percakapan [33] terdapat tuturan yang bertentangan dengan skala ketaklangsungan. Tuturan tersebut disampaikan oleh Dani yang berbunyi, Iki tuwek-tuwek! ‘Ini tua-tua!’ yang ditujukan kepada senior yang ada di padepokan Ayom-Ayem. Cara Dani menyampaikan tuturannya tersebut dinilai tidak sopan. Dani menuturkan Iki tuwek-tuwek! ‘Ini tua-tua!’, untuk menyebut senior yang ada di padepokan. Dengan tuturan Dani yang seperti itu tentu membuat perasaan para senior tersinggung.
97
Tuturan Dani bertujuan agar Rini mau bergabung dengan padepokan baru miliknya. Dani secara langsung mengatakan bahwa senior yang ada di padepokan itu sudah tua. Tuturan Dani akan terdengar lebih santun apabila Dani menggunakan istilah lain dalam menyebut mereka sebagai orang yang sudah tua. Tuturan Ini sudah tidak muda lagi lebih santun daripada Iki tuwek-tuwek! ‘Ini tua-tua!’. Jadi tuturan Dani yang secara langsung mengungkapkan bahwa senior itu sudah tua tersebut, merupakan tuturan yang tidak santun menurut skala ketaklangsungan. Percakapan lain yang bertentangan dengan skala ketaklangsungan dapat dilihat pada percakapan di bawah ini. [34] Konteks Tuturan: Pak Dalijo yang marah karena saat dia menari dengan istrinya tida-tiba diganggu oleh Dani yang akan membawa pulang kekasihnya. Bentuk Tuturan: Dalijo
Dani Dalijo
: Sampeyan iki ra ngerti ana manten anyar lagi joged kok ditengah-tengahi! ‘Anda ini tidak tahu ada pengantin baru sedang menari kok ditengahi!’ : Iki aku marani pacarku. ‘Ini saya menjemput pacarku.’ : Pacarmu? Ra urusan! ‘Pacarmu? Tidak peduli!’ (16/TK/PJ/01/02/16)
98
Pada percakapan [34] terdapat pelanggaran menurut skala ketaklangsungan. Pelanggatan tersebut terlihat pada tuturan Pak Dalijo, Ra urusan! ‘Tidak peduli!’. Tuturan tersebut disampaikan Pak Dalijo kepada Dani yang sebelumnya telah menengahi dirinya dan istrinya saatmenari bersama. Pak Dalijo yang sedang menari bersama istri barunya dengn hati yang riang, tiba-tiba marah karena ditengahi oleh Dani yang akan menjemput kekasihnya. Seketika Pak Dalijo marah karena dia menganggap bahwa Dani tidak sopan dan telah mengganggunya. Dani yang menyampaikan maksudnya untuk menjemput kekasihnya itu ditanggapi sengit oleh Pak Dalijo karena sebelumnya Dani telah bersikap tidak menyenangkan hati Pak Dalijo. Tanggapan Pak Dalijo Ra urusan! ‘Tidak peduli!’ merupakan tuturan yang sifatnya langsung. Cara Pak Dalijo menyampaikan tuturan langsung itu dipicu kemarahan yang dirasakan akibat perbuatan Dani yang telah mengganggunya dalam menari. Sehingga tuturan Pak Dalijo itu bertentangan dengan skala ketaklangsungan yang seharusnya memperpanjang tuturan atas tujuan yang akan disampaikan. Pelanggaran menurut skala ketaklangsungan ini bertujuan untuk menunjukkan kemarahan Pak Dalijo kepada Dani. Sehingga Pak Dalijo menuturkan tuturan yang secara langsung menolak untuk menanggapi maksud Dani untuk menjemput kekasihnya.
99
Terdapat tujuh data yang menunjukkan pelanggaran menurut skala ketaklangsungan. Ketujuh skala tersebut dapat dilihat pada data nomor 15, 16, 35, 72, 97, 98 dan 99. Pelanggaran prinsip kesantunan menurut skala ini menempati urutan ketiga atau terakhir dari ketiga skala kesantuan Leech. Adapun pelanggaran prinsip kesantunan menurut skala kesantunan Leech dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 2 Pelanggaran Prinsip Kesantunan
No
Skala Kesantunan
Data Nomor
1
Skala Untung-Rugi
3, 12, 14, 18, 19, 35, 37, 51, 58, 63, 72, 97, 99, 106, 108, 114, 115, 127
2
Skala Keopsionalan
14, 18, 25, 35, 37, 63, 72, 97, 99, 108, 114, 115
3
Skala Ketaklangsungan
15, 16, 35, 72, 97, 98, 99