Analisis Kesantunan Berbahasa (Rodhiati Rahmawati)
149
ANALISIS KESANTUNAN BERBAHASA DI LINGKUNGAN TERMINAL SEKITAR WILAYAH BOJONEGORO DENGAN PRINSIP KESANTUNAN LEECH Rodhiati Rahmawati MTsN Bojonegoro Telp. 085230122371 Pos-el
[email protected]
Abstrak: Penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan untuk (a) mendeskripsikan kesantunan berbahasa para calo, pedagang asongan, supir, dan kondektur di lingkungan terminal Bojonegoro dengan prinsip kesantunan Leech; (b) mengetahui wujud ragam bahasa yang tidak santun yang diucapkan oleh para calo, pedagang asongan, supir, dan kondektur di lingkungan terminal Bojonegoro; dan (c) mengetahui persepsi penyimak bahasa di luar lingkungan terminal terhadap kesantunan berbahasa para calo, pedangang asongan, supir, dan kondektur di lingkungan terminal Bojonegoro. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskripsi kualitatif. Teknik pengumpulkan data dalam penelitian ini menggunakan teknik rekam dan teknik catat. Tenik analisis data dalam penelitian ini menggunakan kartu data. Sumber data penelitian ini adalah para calo, pedangang asongan, supir, dan kondektur yang terdapat di lingkungan terminal sekitar wilayah Bojonegoro. Data dalam penelitian ini adalah tuturan para calo, pedagang asongan, supir, dan kondektur yang mengandung kata-kata kasar dan pelanggaran prinsip kesantunan Leech. Hasil penelitian kesantunan berbahasa di lingkungan terminal Bojonegoro menunjukkan bahwa tuturan yang ada di lingkungan terminal khususnya di terminal sekitar wilayah Bojonegoro yang dituturkan oleh para calo, pedagang asongan, supir, dan kondektur terdapat pelanggaran enam maksim prinsip kesantunan Leech. Enam maksim tersebut yaitu pelanggaran maksim kebijaksanaan, maksim penerimaan, pelanggaran maksim kemurahan, pelanggaran maksim kerendahan hati, pelanggaran maksim kecocokan, dan pelanggaran maksim simpati. Wujud ragam bahasa yang tidak santun juga diucapkan oleh para calo, pedagang asongan, supir dan kondektur seperti kata-kata menyakitkan hati, olok-olok atau sindiran pedas, dan celaan getir. Persepsi penutur bahasa di luar lingkungan terminal seperti guru, mahasiswa, karyawan swasta, dan ustadz beranggapan bahwa tuturan yang ada di lingkungan terminal sebagian besar adalah tuturan kasar. Menurut mereka yang menjadi latar belakang penutur mengucapkan tuturan kasar adalah latar pendidikan yang rendah, lingkungan yang memungkinkan mereka untuk bertutur kasar dan pondasi iman yang kurang kuat. Kata-kata kunci: kesantunan berbahasa, kondektur, prinsip kesantunan Leech
calo, pedagang asongan, supir,
150
EDU-KATA, Vol. 1, No. 2, Agustus 2014: 149—158
PENDAHULUAN Berbahasa adalah aktivitas sosial. Seperti aktivitas sosial lainnya, kegiatan bahasa bisa terwujud apabila manusia terlibat di dalamnya. Di dalam berbicara, pembicara dan lawan bicara sama-sama menyadari bahwa ada kaidah-kaidah yang mengatur tindakannya, penggunaan bahasanya, dan interpretasiinterpretasinya terhadap tindakan dan ucapan lawan bicaranya. Setiap peserta tindak ucap bertanggung jawab terhadap tindakan dan penyimpangan terhadap kaidah kebahasaan di dalam interaksi sosial itu (Alan dalam Wijana, 1996:28). Dalam berbahasa terdapat etika komunikasi. Dalam etika komunikasi itu sendiri terdapat moral. Moral mempunyai pengertian yang sama dengan kesusilaan yang memuat ajaran tentang baik dan buruknya perbuatan. Etika juga bisa diartikan sebagai ilmu yang membicarakan masalah perbuatan atau tingkah laku manusia, mana yang dinilai baik dan mana yang jahat. Dalam berkomunikasi tidak akan pernah lepas dengan adanya pola berbahasa yang diucapkan secara kasar, baik berupa olok-olok atau sindiran yang menyakitkan hati. Contoh di lingkungan terminal kita terkadang sering mendengar pembicaraan yang diucapkan oleh para calo, pedagang asongan, supir, dan kondektur yang sering mengucapkan kata-kata kasar. Penulis sendiri pernah melihat bagaimana para supir angkot atau bus dengan wajah ‘terpaksa’ memberi sejumlah uang kepada calo. Mungkin bagi sebagian orang hal yang dilakukan para calo itu biasa saja, sehingga mereka pantas menerima sejumlah uang. Lalu apa yang akan terjadi jika para supir dan kondektur tersebut tidak memberikan
uang yang tidak sesuai dengan keinginan para calo. Yang terjadi selanjutnya adalah teriakan kata-kata makian atau kata-kata kasar (sarkasme) yang keluar dari mulut calo tersebut kepada supir dan kondektur. Sarkasme adalah sejenis majas yang mengandung olok-olok atau sindiran pedas dengan menyakiti hati (Purwadarminta dalam Tarigan, 1990:92). Apabila dibandingkan dengan ironi dan sinisme, maka sarkasme ini lebih kasar. Fenomena yang terjadi saat ini, sarkasme justru menjadikan keakraban tanpa sekat strata, sehingga mereka yang menggunakan ragam bahasa tersebut dapat menikmatinya dengan senang dan bangga hati. Berdasarkan paparan di atas, penulis tertarik menganggkat sebuah penelitian yang berjudul “Analisis Kesantunan Berbahasa di Lingkungan Terminal Sekitar Wilayah Bojonegoro dengan Prinsip Kesantunan Leech”. Sedangkan fokus masalah dalam penelitian ini adalah (1) Bagaimana kesantunan berbahasa para calo, pedagang asongan, supir, dan kondektur di lingkungan terminal Bojonegoro dengan prinsip kesantunan Leech? (2) Bagaimana wujud ragam bahasa yang tidak santun yang diucapkan oleh para calo, pedagang asongan, supir, dan kondektur di lingkungan terminal Bojonegoro? (3) Bagaimana persepsi penyimak bahasa di luar lingkungan terminal terhadap kesantunan berbahasa para calo, pedangang asongan, sopir, dan kondektur di lingkungan terminal Bojonegoro?
Analisis Kesantunan Berbahasa (Rodhiati Rahmawati)
KAJIAN PUSTAKA Sosiopragmatik Sosiopragmatik merupakan telaah mengenai kondisi-kondisi yang lebih khusus, bahwa prinsip kerjasama dan prinsip kesopanan berlangsung secara berubah-ubah dalam kebudayaan yang berbeda-beda atau aneka mayarakat bahasa, dalam situasi sosial yang berbeda-beda dan sebagainya. Dengan perkataan lain, sosiopragmatik merupakan tapal batas sosiologis pragmatik. Jadi, jelas di sini betapa erat hubungan antara sosiopragmatik dengan sosiologi (Tarigan, 1986:26). Pragmatik dan sosiolinguistik adalah dua cabang ilmu bahasa yang muncul akibat adanya ketidakpuasan terhadap penanganan bahasa yang terlalu bersifat formal yang dilakukan oleh kaum strukturalis. Dalam hubungan ini pragmatik dan sosiolinguistik masingmasing memiliki titik sorot yang berbeda di dalam melihat kelemahan pandangan kaum strukturalis (Wijana, 1996:6). Adanya kenyataan bahwa wujud bahasa yang digunakan berbeda-beda berdasarkan faktor-faktor sosial yang tersangkut di dalam situasi pertuturan, seperti jenis kelamin, tingkat pendidikan, status sosial ekonomi penutur dan sebagainya. Hal ini menunjukkan alasanalasan atau keberatan-keberatan yang dikemukakan oleh kaum strukturalis untuk menolak keberadaan variasi bahasa yang tidak dapat diterima. Secara singkat konsep masyarakat homogen kaum strukturalis jelas-jelas bertentangan dengan prinsip yang dikemukakan oleh Bell (dalam Wijana, 1996:6-8), terutama dua prinsip yang mengatakan bahwa: (a) prinsip pergeseran makna (the principle of style shifting) yaitu tidak ada penutur bahasa yang memiliki satu gaya, karena setiap penutur menggunakan berbagai
151
bahasa, dan menguasai pemakaiannya. Tidak ada seorang penutur pun menggunakan bahasa persis dalam situasi yang berbeda-beda; dan (b) prinsip perhatian (the principle of attention) yaitu laras bahasa yang digunakan oleh penutur berbeda-beda bergantung pada jumlah atau banyaknya perhatian yang diberikan kepada tuturan yang diucapkan. Semakin sadar seseorang penutur terhadap apa yang diucapkan semakin formal pula tuturannya. Pragmatik Pragmatik adalah ilmu yang mengkaji makna tuturan, sedangkan semantik adalah ilmu yang mengkaji makna kalimat; pragmatik mengkaji makna dalam hubungannya dengan situasi ujar (Leech, 1993:21). Tujuan utama pragmatik adalah menjawab semua persoalan tentang interpretasi ujaran yang tak dapat dijawab dengan pengkajian makna kalimat semata-mata; segala yang implisit di dalam tuturan tidak dapat diterangkan oleh semantik, tetapi berhasil dijelaskan oleh ilmu pragmatik. Saefullah (2003 dalam artikel artikulasi) menyatakan pragmatik adalah cabang ilmu bahasa yang mempelajari struktur bahasa secara eksternal, yakni bagaimana satuan bahasa itu digunakan di dalam komunikasi. Pragmatik yang menjadi latar kajian ini adalah pragmatik tradisi kontinental. Dasar pertimbangannya adalah bahwa analisis pragmatik kontinental memiliki jangkauan kajian, yakni mencakup tindakan dan konteks. Selaras dengan pendapat di atas Levinson (dalam Tarigan, 1990:33) menyatakan pragmatik adalah telaah mengenai relasi antara bahasa dan konteks yang merupakan dasar bagi suatu catatan/laporan pemahaman bahasa, dengan kata lain, telaah mengenai kemampuan bahasa menghubungkan
152
EDU-KATA, Vol. 1, No. 2, Agustus 2014: 149—158
serta menyerasikan kalimat-kalimat dan konteks-konteks secara tepat. Sedangkan konteks merupakan segenap informasi yang berada di sekitar pemakaian bahasa, bahkan termasuk juga pemakaian bahasa yang ada di sekitarnya. Dengan demikian hal-hal seperti situasi, jarak, tempat, dan sebagainya merupakan konteks pemakaian bahasa. Fungsi konteks sangat penting di dalam bahasa. Konteks dapat menentukan makna dan maksud ujaran. Wujud Ragam Bahasa Ragam bahasa adalah variasi bahasa menurut pemakaian yang berbeda-beda menurut topik yang dibicarakan, menurut hubungan pembicara, kawan bicara, dan orang yang dibicarakan dan menurut medium pembicaraan (Kridalaksana, 2001:184). Ragam bahasa yang terjadi tergantung pemakaian topik yang dibicarakan, misalnya ada yang resmi tidak resmi, santun tidak santun, bijak tidak bijak dan lain-lain. Tindak Tutur Tindak tutur dapat dikatakan sebagai suatu yang sebenarnya kita lakukan ketika kita berbicara. Ketika kita terlibat dalam suatu percakapan kita melakukan beberapa tindakan seperti melaporkan, menjanjikan, mengusulkan, menyarankan, dan lain-lain. Suatu tindak tutur dapat didefinisikan sebagai unit terkecil aktivitas berbicara yang dapat dikatakan memiliki fungsi. Dalam pragmatik kata tuturan dapat digunakan sebagai produk suatu tindak verbal (Leech, 1993:14). Definisi ini sejalan dengan salah satu definisi tuturan menurut Kridalaksana (2001:222) yang mengatakan tuturan sebagai kalimat atau bagian kalimat yang dilisankan. Maksudnya tuturan adalah pemakaian satuan bahasa seperti kalimat, sebuah
kata oleh seorang penutur tertentu pada situasi tertentu. Prinsip Kesantunan Leech Prinsip kesantunan menurut Leech (1993:123) menyangkut hubungan antara peserta komunikasi, yaitu penutur dan pendengar. Oleh sebab itulah mereka menggunakan strategi dalam mengajarkan suatu tuturan dengan tujuan agar kalimat yang dituturkan santun tanpa menyinggung pendengar. Secara umum, santun merupakan suatu yang lazim dapat diterima oleh umum. Santun tidak santun bukan makna absolut sebuah bentuk bahasa. Karena itu tidak ada kalimat yang secara inheren santun atau tidak santun, yang menentukan kesantunan bentuk bahasa ditambah konteks ujaran hubungan antara penutur dan petutur. Jadi, prinsip kesantunan adalah peraturan dalam percakapan yang mengatur penutur (penyapa) dan petutur (pesapa) untuk memperhatikan sopan santun dalam percakapan. Leech (1993:123) membahas teori kesantunan dengan menitikberatkan atas dasar nosi: (1) biaya/cost dan keuntungan/benefit, (2) kesetujuan/agreement, (3) pujian/approbation, dan (4) simpati/antipati. Leech (1993:123) sendiri mendefinisikan prinsip kesantunan yaitu dengan cara meminimalkan ungkapan yang kita yakini tidak santun. Ada enam maksim yakni: (1) Maksim Kebijaksanaan (Tact Maxim) a. Kurangi kerugian orang lain. b. Tambahi keuntungan orang lain. (2) Maksim Penerimaan/ (Approbation Maxim)
Penghargan
Analisis Kesantunan Berbahasa (Rodhiati Rahmawati)
a. Kurangi keuntungan diri sendiri. b. Tambahi kerugian diri sendiri. (3) Maksim Kemurahan (Generosity Maxim) a. Kurangi cacian pada orang lain. b. Tambahi pujian orang lain. (4) Maksim Kerendahan Hati (Modesty Maxim) a. Kurangi pujian pada diri sendiri. b. Tambahi cacian pada diri sendiri. (5) Maksim Kesepakatan/Kecocokan (Agreement Maxim) a. Kurangi ketidakcocokan antara diri sendiri dengan orang lain. b. Tingkatkan kecocokan antara diri sendiri dengan orang lain. (6) Maksim Simpati (Sympath Maxim) a. Kurangi antipati antara diri sendiri dengan orang lain. b. Perbesar simpati antara diri sendiri dengan orang lain. Pada keenam maksim di atas terdapat bentuk ujaran yang digunakan untuk mengekspresikannya. Bentuk-bentuk ujaran yang dimaksud adalah bentuk ujaran komisif, impositif, ekspresif, dan asertif. Bentuk ujaran komisif adalah bentuk ujaran yang berfungsi untuk menyatakan janji atau penawaran. Ujaran impositif adalah ujaran yang digunakan untuk menyatakan perintah atau suruhan. Ujaran ekspresif adalah ujaran yang digunakan untuk menyatakan sikap psikologis pembicara terhadap sesuatu keadaan. Ujaran asertif adalah ujaran yang lazim digunakan untuk menyatakan kebenaran proposisi yang diungkapkan. METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan metode kualitatif bersifat deskriptif. Metode
153
kualitatif pada dasarnya dilakukan untuk menyusun teori, bukan menguji teori (Chaer, 2007:11). Metode ini digunakan untuk menemukan pengetahuan baru, atau merumuskan teori baru berdasarkan data yang dikumpulkan. Metode ini juga bersifat deskriptif karena berusaha menjelaskan suatu masalah, yakni masalah yang diteliti. Kajian dalam metode ini dimulai dangan merumuskan masalah, merumuskan fokus, atau mengajukan pertanyaan-pertanyaan kajian, dilanjutkan dengan pengumpulan data oleh peneliti sendiri sebagai instrumennya (Chaer, 2007:11). Penelitian kualitatif cenderung menganalisis data secara induktif (Subroto, 1992:8). Jadi, tidak mencari data untuk menguji hipotesis, tetapi cenderung membuat generalisasi atau abstraksi yang dibangun dari tumpukan fenomena yang berserakan. Fenomenafenomena yang melimpah dan berserakan itu harus dihubunghubungkan, diatur, dipilih, dan dipilah. Sehingga ditemukan saling hubungan antara fenomena secara bersistem. Data merupakan bahan penelitian (Sudaryanto, 1995:9). Data dalam penelitian ini berupa kata-kata dan kalimat-kalimat yang termasuk kategori sarkasme yang diucapkan oleh para calo, pedagang asongan, supir, dan kondektur di lingkungan terminal Bojonegoro. Data penelitian dikumpulkan dengan teknik observasi, wawancara, teknik rekam, dan teknik catat. Penulis terlebih dahulu mengobservasi dengan mengamati situasi dan keadaan lingkungan, kemudian melakukan wawancara kepada para calo, pedagang asongan, supir, dan kondektur dengan melakukan wawancara berstruktur untuk mendapatkan informasi yang relevan. Selanjutnya, dengan teknik rekam penulis merekam kejadian faktual di lapangan. Setelah itu, dilakukan catat,
154
EDU-KATA, Vol. 1, No. 2, Agustus 2014: 149—158
yaitu mencatat semua kejadian dari tuturan para calo, pedagang asongan, supir, dan kondektur di sekitar terminal Bojonegoro. Data penelitian dianalisis dengan langkah-langkah sebagai berikut: (1) mentranskrip data hasil rekaman. Setelah penulis memperoleh data berupa tuturan dari para calo, pedagang asongan, supir dan kondektur melalui hasil rekaman, maka selanjutnya mentranskripsi/memindahkan data tersebut dengan cara menulis kembali semua hasil tuturan yang diujarkan oleh calo, pedagang asongan, supir dan kondektur; (2) mengidentifikasi data. Berdasarkan hasil transkripsi diperoleh data tertulis yang selanjutnya siap untuk diidentifikasi. Proses identifikasi berarti mengenali/menandai data untuk memisahkan kalimat mana yang dibutuhkan untuk tahap selanjutnya dan mana yang tidak dibutuhkan; (3) menyalin ke dalam kartu data. Setelah data yang diperlukan sudah terkumpul, maka selanjutnya adalah penyalinan tiap tuturan yang telah diidentifikasi ke dalam kartu data. Hal itu dimaksudkan agar mudah untuk mengelompokkan tuturan tersebut menurut karakteristik tertentu; (4) menganalisis data dalam kartu data. Data yang diperoleh kemudian dianalisis berdasarkan tuturan ketidaksantunan dan teori pragmatik dengan prinsip kesantunan Leech. Dari analisis kartu data tersebut akan tergambar kesantunan berbahasa para calo, pedagang asongan, supir dan kondektur di lingkungan terminal; (5) lembar wawancara untuk persepsi penyimak bahasa di luar lingkungan terminal. Penulis mengajukan pertanyaan kepada persepsi penyimak bahasa di luar lingkungan terminal; dan (6) menyimpulkan. Untuk tahap terakhir, hasil analisis akan menghasilkan
simpulan berdasarkan penelitian yang telah dilakukan. HASIL DAN PEMBAHASAN Kegiatan berbahasa/tuturan yang dilakukan para calo, pedagang asongan, supir, dan kondektur di lingkungan terminal Bojonegoro terdapat pelanggaran enam maksim prinsip kesantunan Leech. Enam maksim tersebut yaitu pelanggaran maksim kebijaksanaan, maksim penerimaan, pelanggaran maksim kemurahan, pelanggaran maksim kerendahan hati, pelanggaran maksim kecocokan, dan pelanggaran maksim simpati. Dalam maksim kebijaksanaan, setiap pelaku komunikasi dianjurkan agar senantiasa berpegang teguh untuk selalu mengurangi keuntungan dirinya sendiri dan memaksimalkan pihak lain. Pelanggaran maksim kebijaksanaan dari data yang diperoleh seperti antara calo dan supir dalam berbahasa mereka memaksimalkan kerugian orang lain/mitra bicara, dan meminimalkan keuntungan bagi orang lain. Selain itu, tuturan antara calo dan supir juga mengandung unsur bicara dengan kepahitan, kurang enak didengar dan menyakiti hati. Hal tersebut merupakan pelanggaran maksim kebijaksanaan. Dalam maksim penerimaan, setiap pelaku komunikasi diharuskan mengurangi keuntungan dirinya dan memaksimalkan keuntungan bagi pihak lain. Setiap orang yang mematuhi maksim ini akan mendapatkan citra diri sebagai orang yang pintar menghormati orang lain, dan akan mampu membangun kehidupan yang harmonis dan penuh dengan toleransi. Pelanggaran terhadap maksim penerimaan akan membuat si pelaku dicap sebagai orang yang tidak tahu caranya bagaimana menghormati
Analisis Kesantunan Berbahasa (Rodhiati Rahmawati)
orang lain, tidak tahu sopan santun, dan selalu iri hati. Pelanggaran maksim penerimaan dari data yang diperoleh seperti kondektur dan sopir dalam berbahasa mereka melanggar maksim penerimaan karena tuturan antara kondektur dan sopir justru meminimalkan kerugian bagi diri sendiri, dan memaksimalkan keuntungan diri sendiri. Dalam maksim kemurahan, setiap pelaku komunikasi diharuskan untuk mengurangi cacian pada orang lain dan menambahkan pujian pada orang lain. Penutur yang selalu mematuhi maksim ini akan dianggap sebagai orang yang tahu sopan santun, pintar menghargai orang lain, dan terjauh dari prasangka buruk lawan tuturnya. Bila pelaku komunikasi mempunyai kecenderungan untuk selalu mematuhi maksim ini, maka jalannya komunikasi dan hubungan interpersonal antara penutur dan petutur akan terjalin dengan sangat harmonis. Karena dari masing-masing pihak akan ada keinginan untuk saling menghargai satu sama lain dan akan terjauh dari tuturan mencaci atau menyakiti lawan tuturnya. Pelanggaran maksim kemurahan dari data yang diperoleh seperti tuturan antara calo dan kondektur dalam terminal yang kurang enak didengar. Kondektur pada tuturannya terlalu menyombongakan dirinya sendiri. Ia merasa tampan sehingga merasa harus memiliki kekasih yang cantik. Namun, si calo pun menimpali ucapan yang mengandung celaan dan hinaan kepada kondektur. Dalam tuturan antara calo dan kondektur jelas sekali melanggar maksim kemurahan, karena telah meminimalkan rasa hormat pada orang lain, dan memaksimalkan rasa tidak hormat pada orang lain. Dalam maksim kerendahan hati menuntut penutur untuk selalu mengurangi pujian pada dirinya sendiri
155
dan memaksimalkan cacian pada dirinya sendiri. Pelaku komunikasi yang menaati maksim ini akan dianggap sebagai seorang yang rendah hati dan tidak sombong. Pelanggaran terhadap maksim kerendahan hati secara terus menerus akan membentuk stigma kepada pelaku sebagai orang yang sombong, bersikap antisosial, dan bahkan yang terburuk penutur seperti itu akan dijauhi lawan tuturnya karena bagaimanapun bertransaksi komunikasi dengan orang yang selalu melanggar maksim kerendahan hati akan sangat tidak nyaman. Pelanggaran maksim kerendahan hati dari data yang diperoleh seperti tuturan antara dua pedagang asongan. Pedagang asongan yang pertama ingin bercerita bahwa adiknya begitu pintar. Namun, ternyata jawaban dari temannya yang sesama pedagang asongan justru menjatuhkan dirinya. Tuturan pedagang asongan kedua ini tidak layak diucapkan. Seharusnya ia mengucapkan selamat kepada temannya yang mempunyai adik pintar bukan malah menyombongkan diri seolah-olah tidak mau kalah bahwa adiknya juga pintar. Tuturan tersebut termasuk ke dalam pelanggaran maksim kerendahan hati, karena telah meminimalkan ketidakhormatan pada diri sendiri, dan memaksimalkan rasa hormat pada diri sendiri. Dalam maksim kecocokan, setiap pelaku komunikasi diharuskan untuk meminimalkan ketidaksesuaian antara dirinya dengan yang lain. Pelaku yang menaati maksim ini akan dicap sebagai seorang yang santun dan selalu perhatian terhadap topik yang dibicarakan. Dalam konteks umum atau kontroversial pelaku pelanggaran terhadap maksim ini akan mendapat cap sebagai seorang yang tidak santun dan tidak berwawasan luas. Yang terburuk, lawan tutur akan merasa enggan
156
EDU-KATA, Vol. 1, No. 2, Agustus 2014: 149—158
berkomunikasi dengannya. Pelanggaran maksim kecocokan dari data yang diperoleh seperti tuturan antara pedagang asongan dengan calo. Pedagang asongan mengeluh kepada calo bahwa enak menjadi orang kaya memiliki banyak uang dan tidak berat bekerja seperti dirinya dalam mendapatkan uang. Dalam situasi seperti itu calo justru menjawab dengan sombong dan ucapan yang menghina. Tuturan calo kepada pedangang asongan tesebut melanggar maksim kecocokan, karena telah meminimalkan kecocokan di antara mereka dan memaksimalkan ketidakcocokan di antara mereka. Simpati adalah suatu model kesantunan di mana setiap pelaku tutur diwajibkan untuk ikut memahami perasaan lawan tuturnya, terutama di saat lawan tuturnya sedang gundah gulana karena didera oleh cobaan hidup atau musibah. Dengan pemahaman rasa seperti ini diharapkan lawan tutur menjadi sedikit terhibur atau merasa nyaman saat melakukan transaksi komunikasi sosial bersama sang pelaku tutur. Penutur yang senantiasa selalu menaati maksim ini akan dianggap sebagai seorang yang santun dan tahu akan pentingnya sebuah hubungan antarpersonal dan sosial. Penutur akan dianggap sebagai seorang yang pandai memahami perasaan orang lain. Pelanggaran maksim simpati dari data yang diperoleh seperti tuturan antara calo dan pedagang asongan. Ketika calo
memberitahukan kepada pedagang asongan bahwa seorang temannya yang bernama Ujang meninggal dunia, tuturan dari pedagang asongan tidak menunjukkan rasa simpati. Tuturan pedagang asongan kepada calo tersebut melanggar maksim kesimpatian, karena peserta pertuturan meminimalkan rasa simpati, dan memaksimalkan rasa antipati kepada lawan tuturnya. Seharusnya pedagang asongan tersebut memaksimalkan rasa simpati dan meminimalkan rasa antipati saat mendengar ada seorang kerabatnya yang meninggal dunia. Wujud ragam bahasa yang tidak santun yang diucapkan oleh calo, pedagang asongan, supir, dan kondektur seperti terdapat nama-nama binatang yang sering diucapkan oleh mereka. Wujud ragam bahasa tersebut sangat tidak enak didengar, menyakitkan hati, bicara dengan kepahitan, olok-olok atau sindiran pedas dan mengandung celaan getir. Selain data terkait pelanggaran maksim prinsip kesantunan Leech dalam penelitian ini penulis juga ingin mengetahui tanggapan para penutur bahasa Indonesia di luar lingkungan terminal seperti, dosen, guru, mahasiswa, karyawan swasta, dan ustadz mengenai kekasaran berbahasa yang dituturkan oleh calo, pedagang asongan, supir dan kondektur di lingkungan terminal Bojonegoro.
Tabel 1 Data Persepsi Penutur Bahasa di Luar Lingkungan Terminal Bojonegoro No 1
Pertanyaan Apakah Anda pernah mendengar tuturan kasar di lingkungan terminal Bojonegoro?
2
Bagaimana menurut Anda tuturan tersebut?
Responden guru mahasiswa karyawan swasta ustadz guru mahasiswa
Keterangan Pernah Pernah Pernah Pernah kasar sekali Kasar
Analisis Kesantunan Berbahasa (Rodhiati Rahmawati)
3
Apa yang Anda rasakan terhadap tuturan tersebut?
4
Mengarah kepada apa tuturan tersebut?
5
Menurut Anda apa yang menjadi penyebab mereka menuturkan tuturan kasar?
karyawan swasta ustadz guru mahasiswa karyawan swasta ustadz guru mahasiswa karyawan swasta ustadz guru mahasiswa karyawan swasta ustadz
Dari hasil data persepsi penutur bahasa di luar lingkungan terminal ternyata guru, mahasiswa, karyawan swasta dan ustadz semuanya pernah mendengar tuturan kasar yang ada di lingkungan terminal. Hampir semuanya beranggapan bahwa tuturan yang pernah mereka dengar di lingkungan terminal adalah tuturan yang mengandung unsur kekasaran berbahasa. Yang mereka rasakan saat mendengar tuturan kasar tersebut adalah menyakiti hati, olok-olok, dan bicara dengan kepahitan. Sasaran ujarannya menurut mereka adalah fisik, prestasi, dan perbuatan. Menurut mereka penyebab utama para penutur di lingkungan terminal menuturkan tuturan kasar adalah latar pendidikan, lingkungannya, dan landasan iman yang kurang kuat. SIMPULAN DAN SARAN Tuturan yang ada di lingkungan terminal khususnya di terminal sekitar Bojonegoro yang dituturkan oleh para calo, pedagang asongan, supir, dan kondektur terdapat pelanggaran enam maksim prinsip kesantunan Leech. Enam maksim tersebut yaitu pelanggaran maksim kebijaksanaan, maksim penerimaan, pelanggaran maksim
157
Kasar sangat kasar sekali menyakiti hati olok-olok bicara dengan kepahitan sangat menyakitkan hati Perbuatan Perbuatan fisik dan perbuatan fisik, prestasi, dan perbuatan pendidikan dan lingkungan pendidikan dan lingkungan pendidikan dan lingkungan pendidikan, lingkungan, dan iman
kemurahan, pelanggaran maksim kerendahan hati, pelanggaran maksim kecocokan, dan pelanggaran maksim simpati. Wujud ragam bahasa yang tidak santun yang diucapkan oleh para calo, pedagang asongan, supir, dan kondektur sangatlah kasar. Seperti terdapat namanama binatang yang sering diucapkan oleh mereka. Wujud ragam bahasa tersebut sangat tidak enak didengar, menyakitkan hati, bicara dengan kepahitan, olok-olok atau sindiran pedas dan mengandung celaan getir. Persepsi penutur bahasa di luar lingkungan terminal seperti guru, mahasiswa, karyawan swasta, dan ustadz beranggapan bahwa tuturan yang ada di lingkungan terminal sebagian besar adalah tuturan kasar. Menurut mereka yang menjadi latar belakang penutur mengucapkan tuturan kasar adalah latar pendidikan yang rendah, lingkungan yang memungkinkan mereka untuk bertutur kasar, dan landasan iman yang kurang kuat. Dari penelitian ini penulis berharap agar ada penelitian lain tentang kersantunan berbahasa karena masih jarangnya penelitian mengenai kesantunan berbahasa. Kepada ahli
158
EDU-KATA, Vol. 1, No. 2, Agustus 2014: 149—158
bahasa, tokoh masyarakat, dan ulama semoga memberikan perhatian khusus tentang fenomena pelanggaran kesantunan berbahasa yang saat ini sering terjadi guna menumbuhkan kesantunan dan kosopanan berbahasa di masyarakat. DAFTAR PUSTAKA Chaer, Abdul. 2007. Kajian Bahasa: Struktur iInternal, Pemakaian, dan Pemelajaran. Jakarta: Rineka Cipta. Kridalaksana, Harimurti. 2001. Kamus Linguistik. Jakarta: Gramedia. Leech, Geoffrey. 1993. Prinsip-prinsip Pragmatik. Jakarta: Universitas Indonesia. Saefullah, Ruhendi Aceng. 2003. Pragmatik dari Morris sampai Van Dijk dan Perkembangannya di Indonesia: Jurnal Artikulasi volume 3. Bandung: FPBS. Subroto, D. Edi. 1992. Pengantar Metoda Penelitian Linguistik Struktural. Surakarta: Sebelas Maret University Press.
Sudaryanto. 1995. Linguistik: Identitasnya, Cara Penanganan Objeknya, dan Hasil Kajiannya. Yogyakarta: Duta Wacana University Press. Tarigan, Henry Guntur. 1986. Pengajaran Pagmatik. Bandung: Angkasa. Tarigan, Henry Guntur. 1990. Pengajaran Gaya Bahasa. Bandung: Angkasa. Wijana, I Dewa Putu. 1996. Dasar-dasar Pragmatik. Yogyakarta: Andi.