BAB II ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN Dalam analisis data penulis akan membahas 4 hal, yaitu (1) pemanfaatan dan pemilihan aspek-aspek bunyi bahasa dalam novel Alun Samudra Rasa karya Ardini Pangastuti Bn, (2) diksi atau pemilihan kosakata dalam novel Alun Samudra Rasa karya Ardini Pangastuti Bn, (3) penggunaan gaya bahasa dalam novel Alun Samudra Rasa karya Ardini Pangastuti Bn, (4) aspek pencitraan dalam novel Alun Samudra Rasa karya Ardini Pangastuti Bn. Adapun uraiannya sebagai berikut: A. Pemanfaatan dan Pemilihan Aspek-aspek Bunyi dalam Novel Alun Samudra Rasa Karya Ardini Pangastuti Bn Kajian Stilistika Novel Alun Samudra Rasa karya Ardini Pangastuti Bn tidak luput menggunakan pemanfaatan aspek bunyi, seperti purwakanthi „pengulangan bunyi‟. Adapun purwakanthi yang sering muncul dalam NASR karya APBn, yaitu asonansi atau purwakanthi swara „pengulangan bunyi vokal‟, aliterasi atau purwakanthi sastra „pengulangan konsonan‟ dan purwakanthi basa/lumaksita „perulangan kata atau suku kata‟. Perulangan suku kata dalam NASR karya APBn terdiri atas lumaksita, epizeuksis, epistrofa, anafora dan anadiplosis. Pemanfaatan ketiga aspek bunyi yang digunakan pengarang bertujuan untuk menimbulkan kesan estetis atau keindahan dalam karya sastra, serta menimbulkan efek-efek tertentu dalam melukiskan peristiwa atau keadaan tertentu.
41
42 1. Asonansi (Purwakanthi Swara) Asonansi merupakan gaya bahasa yang berwujud perulangan bunyi vokal yang sama (Gorys Keraf, 2004:130). Adapun macam asonansi yang terdapat dalam NASR karya APBn, yaitu berupa perulangan vokal [a], [i], [u], [e] dengan bunyi vokal [O], [a],[i], [I], [u], [U], [e] dengan bunyi vokal [ȇ]. Adapun data yang mengandung asonansi atau purwakanthi swara „perulangan bunyi vokal‟ yang terdapat dalam NASR karya APBn sebagai berikut: a. Asonansi [a] dengan bunyi vokal [O] (1) sing kanthi gamblang bisa crita ngenani apa kang sinerat ing kana sing kanthi trawaca tansah aweh sasmita marang mobah mosiking swasana (ASR/P1/1)
„yang dengan jelas dapat bercerita‟ „mengenai apa yang tertulis disana‟ „yang sudah terbaca akan memberi pelajaran‟ „terhadap hiruk pikuk suasana‟ (ASR/P1/1)
(2) sawise sakabehe prastawa sing ngremukake jiwaraga. (ASR/P2/56)
„setelah semua peristiwa‟ „yang menghancurkan jiwa raga‟ (ASR/P2/56)
(3) apa ana usada kanggo nambani sakabehe lara kang tumanduk ing jiwa raga? (ASR/12/120)
„apa ada obat‟ „untuk mengobati semua sakit‟ „yang menimpa jiwa raga?‟ (ASR/12/120)
(4) larik-larik ukara tanpa aksara Bali ngebaki akasa Nyesaki dhadha (ASR/18/187)
„baris-baris kata tanpa aksara‟ „Kembali memenuhi langit‟ „menyesakkan dada‟ (ASR/18/187)
(5)
„getar-getar asmara‟ „di pucuk ombak rasa‟
geter-geter tresna ing pucuke alun rasa
43 wis suwe ilang kapracondhang dening samirana(ASR/25/263) (6)
angin pancaroba ngobrak-abrik swasana ngrusak impen sing durung sawutuhe sampurna endahe kluwung ing birune langit sirna (ASR/P26/274)
„yang lama hilang‟ „dihempas oleh angin‟(ASR/25/263) „angin pancaroba mengobrak-abrik suasana‟ „merusak impian yang belum sepenuhnya sempurna‟ „indahnya sinar di birunya langit hilang‟(ASR/P26/274)
(7) Cilakane Bregas isih tetep nglibatake rasa. Kamangka Intan cetha wis kipa-kipa. Kejaba iku dheweke uga isih jinja yen kudu omah-omah maneh karo priya liya. (ASR/P29/311) „Celakanya Bregas masih tetap melibatkan rasa. Sedangkan Intan jelas sudah tidak sudi. Selain itu dia juga masih trauma kalau harus berumah tangga lagi dengan pria lain‟ (8)
Ning kasunyatan sing ana, akeh priya sing rumangsa luwih kuwasa, ...(ASR/P29/313) „tapi kenyataan yang ada, banyak pria yang merasa lebih berkuasa,...
(9)
Ines isih tresna lan tetep tresna senajan ngerti Pram ora setya. (ASR/P31/336) „Ines masih cinta dan tetap akan cinta meskipun Pram tidak setia‟ Pada data (1) sampai dengan (6) merupakan geguritan pada novel perangan
1, 2, 12, 18, 25, dan 26. Ke enam datanya dengan pola persajakan a-a-a-a pada akhir kata disetiap barisnya. Setiap barisnya terdapat asonansi [a] dengan bunyi vokal [O] yang didominasi kenyaringan bahasanya terletak pada suku kata kedua dan ketiga atau akhir kalimat. Data (1) bersajak a-a-a-a yaitu pada kata crita „cerita‟, kana „sana‟, sasmita „pelajaran‟, dan swasana „suasana‟. Baris satu dan dua terdapat bunyi vokal [O] yang mendukung keindahan sajak terletak pada suku kata kedua pada kata bisa „bisa‟, crita „cerita, apa „apa‟, dan kana „sana‟. Baris ketiga dan keempat bunyi vokal [O] pada kata trawaca „terbaca‟, dan swasana „suasana‟. Keduanya terletak pada suku kata kedua dan ketiga, serta kata sasmita
44 „pelajaran‟ pada suku kata ketiga. Data (2) terletak pada kata prastawa „peristiwa‟, dan frasa jiwa raga „jiwa raga‟. Pada data (3) bersajak a-a-a-a yaitu pada suku kata kedua dan ketiga kata usada „obat‟, yang sebelumnya di ikuti bunyi vokal [O] pada kata apa ana „apa ada‟ pada suku pertama dan kedua, dan pada kata lara „sakit‟ dan raga „raga‟ dibaris kedua dan ketiga. Data (4) yaitu pada kata ukara tanpa aksara „kata tanpa aksara‟ pada baris pertama, kata akasa „langit‟ pada baris kedua suku kata kedua dan ketiga, dan kata dhadha „dada‟ baris ketiga suku kata pertama dan kedua. Pada data (5) bunyi vokal [O] pada kata tresna „cinta‟, rasa „rasa‟ dan samirana „angin‟. Serta data (6) terletak pada suku kata kedua dan ketiga kata swasana „suasana,suku kata kedua kata sampurna „sempurna‟ dan sirna „sirna‟. Pada data (7) bunyi vokal [O] pada kata rasa „rasa‟ di akhir kalimat, kamangka „padahal‟ pada awal kalimat kedua, pada reduplikasi utuh kata kipa-kipa „tidak sudi‟. Kalimat ketiga Kejaba iku dheweke uga isih jinja yen kudu omah-omah maneh karo priya liya. „selain itu dia juga masih trauma kalau harus berumah tangga lagi dengan pria lain‟ bunyi vokal [O ] terdapat pada kata pertama, keempat, keenam, ketigabelas dan keempatbelas. Data (8) bunyi vokal [O ] terdapat pada kata ana „ada‟ suku kata pertama dan kedua, kata priya „pria‟ pada suku kata kedua, kata rumangsa „merasa‟ suku kata kedua dan ketiga, kata kuwasa „berkuasa‟ suku kata kedua dan ketiga.Data (9) terletak pada kata ketiga dan keenam kata tresna „cinta‟ dan kata kesepuluh dan kesebelas pada kata ora setya „tidak setia‟.
b. Asonansi [a]
45 (10)
Apa jangkah keconggah ngranggeh angkah. (ASR/P22/230) „apakah langkah tercapai meraih arah‟ Data (10) asonansi suku tertutup [h] dengan variasi vokal [a], pada kata
jangkah „langkah‟ suku kata kedua, keconggah „tercapai‟ suku kata ketiga, angkah „arah‟ suku kata kedua. Asonansi tersebut mendukung keindahan dalam kalimat yang mempertandakan kegelisahan hati Intan. (11)
mitra rowang ing madyaning bebrayan, tembang endah tumrap panguripan. (ASR/P2/12) „sahabat ditengah masyarakat, lagu indah terhadap kehidupan‟
(12)
yen biyen maca sawijining kebutuhan, uga keasyikan, saiki maca mujudake sawenehe kemewahan. (ASR/P9/92) „kalau dahulu membaca adalah salah satu kewajiban, juga keasyikan, sekarang membaca mewujudkan sebagian kemewahan‟ Pada data (11) dan (12) di atas purwakanthi swara suku tertutup [n] dengan
variasi vokal [a] yang semuanya berada pada akhir kata yaitu data (11) pada kata bebrayan „masyarakat‟, panguripan „ kehidupan‟, dan data (12) pada suku kata keempat kata berbahasa indonesia kebutuhan, keasyikan, dan kemewahan. Suku tertutup [n] dengan asonansi [a] dalam data di atas memberikan penekanan pada hal-hal yang disebutkan dianggap penting. (13)
Samono abote panandhang kang kudu disandhang. (ASR/P28/305) „Segitu beratkah beban yang harus di pikul‟ Data diatas merupakan kombinasi asonansi [a] yang diikuti dengan
konsonan [ng] pada kata panandhang „beban‟ terletak pada suku kata ketiga, kata kang „yang‟, dan kata disandhang „dipikul‟ terletak pada suku kata ketiga dengan posisi tertutup.
c.
Asonansi [i]
46 (14)
Siti Sundari uga nimbangi kanthi mesem banjur bali...(ASR/P2/17) „Siti Sundari juga mengimbangi dengan tersenyum lalu kembali‟ Pada data (14) asonansi [i] terdapat pada kata pertama dan kedua kata Siti
Sundari „Siti Sundari‟, kata nimbangi „mengimbangi‟ pada suku pertama dengan posisi tertutup, dan suku kata ketiga dengan posisi terbuka, kata kanthi „dengan‟ kata kelima suku kata kedua, dan kata bali „kembali‟ pada suku kata kedua. (15)
tanpa guna rembulan nyingitake tatu wengi awit sorote ora bisa ngapusi eseme rinasa ngiris ing remmenge pedhut kang ngiteri (ASR/P10/100)
„tiada gunanya bulan menyembunyikan luka malam‟ „dari sinarnya tidak bisa berbohong‟ „senyumnya terasa mengiris‟ „digelapnya kabut yang mengelilingi‟ (ASR/P10/100)
(16)
rembulan nyingitake tatune ati jroning esem kang sinandhi ora ana sing langgeng ing jagad iki(ASR/P13/131)
„bulan menyembunyikan luka hati‟ „disenyum yang bersandi‟ „tidak ada yang bisa abadi di dunia ini(ASR/P13/131)
(17)
katon mbleret ing remenge pedhut wengi nanging rasah wedi sesuk dina uga bakal gumanti (ASR/P13/131)
„terlihat redup disamarnya kabut malam‟ „tapi tak usah takut‟ „esuk hari juga akan berganti‟ (ASR/P13/131)
Pada data (15), (16), (17) asonansi [i] di variasikan kedalam geguritan disetiap perangan. Sajak yang dihasilkan didominasi berbentuk a-a-a-a bertujuan memberikan kesan estetis serta keserasian saat mengucapkan mendengarkanya. Data (15) asonansi [i] terdapat pada kata
maupun
wengi „malam‟
terletak pada suku kata kedua dengan posisi terbuka, kata ngapusi „membohongi‟ terdapat pada suku kata ketiga dengan posisi terbuka, untuk baris ketiga terdapat pada kata kedua kata rinasa „terasa‟ di suku kata pertama, kata ngiris „ mengiris‟ terdapat pada suku kata pertama, dan untuk baris keempat pada kata ngiteri „mengelilingi‟ terdapat di akhir suku kata dengan posisi terbuka. Data (16) pada
47 kata ati „hati‟ terdapat pada suku kata kedua dengan posisi terbuka, kata sinandhi „bersandi‟ terletak pada suku kata ketiga dengan posisi terbuka, dan kata iki „ini‟ terletak pada suku kata pertama dan kedua dengan posisi terbuka. Data (17) pada kata wengi „malam‟ terletak pada suku kata kedua dengan posisi terbuka, kata wedi „takut‟ terletak pada suku kata kedua dengan posisi terbuka, dan kata gumanti „berganti‟ terletak pada suku kata ketiga dengan posisi terbuka. (18)
Masakan iwak kali. Najan menune mung prasaja ditanggung rasane ora ana sing nandhingi. Mula senajan ndhelik tetep digoleki. Ana siji maneh sing unik, pramuladi ing warung iki ora ana sing nganggo rok apa maneh clana dawa. (ASR/P17/183) „Masakan ikan sungai. Meskipun menunya tidak mewah dijamin rasanya tidak ada yang menandingi. Maka meskipun tersembunyi masih tetap dicari. Ada satu lagi yang unik, pramusaji diwarung ini tidak ada yang memakai rok apalagi celana. Data di atas merupakan kumpulan kalimat yang ada dalam satu paragraf.
Satu kalimat terdapat asonansi [i]. Namun dominasi asonansi [i] lebih terdengar indah ketika membaca keseluruhan kalimat yaitu pada kata kali „sungai‟ dikalimat pertama, kata nandhingi „menandingi‟ dikalimat kedua, digoleki „dicari‟ di kalimat ketiga. Ketiganya terdapat di akhir kalimat dengan posisi terbuka, dan kata iki „ini‟ yang terdapat pada kalimat keempat kata kesembilan suku kata kedua dengan posisi terbuka. Asonansi [i] disetiap barisnya dapat diajabarkan sebagai berikut: kalimat pertama asonansi [i] terdapat pada frasa iwak kali „ikan sungai‟ yang terletak pada suku kata pertama dari kata iwak „ikan‟ dan suku kata kedua kata kali „sungai‟, yang keduanya dengan posisi terbuka. Kalimat kedua terdapat pada kata ditanggung „dijamin‟ terletak di suku kata pertama, kata nandhingi „menandingi‟ terletak pada suku kata kedua dan ketiga. Kalimat ketiga terdapat pada kata digoleki „dicari‟ terletak pada suku kata pertama dan keempat. Kalimat keempat terdapat pada kata siji „satu‟ terdapat pada suku kata pertama dan kedua
48 dengan posisi terbuka, kata unik „unik‟ terletak pada suku kata kedua dengan posisi tertutup, kata pramuladi „pramusaji‟ terletak pada suku kata keempat dengan posisi terbuka, kata iki „ini‟ terletak pada suku kata pertama dan kedua, dengan posisi terbuka. Semua asonansi [i] yang terdapat pada setiap kalimat mendukung kesinambungan keindahan kata yang ada pada akhir kalimat, sehingga terkesan lebih ritmis. (19)
Kanggo sauntara dheweke lali karo reribet kang lagi diadhepi, lali marang tujuane teka menyang papan iki.(ASR/P27/295) „Untuk sementara dia lupa dengan permasalahan yang sedang dihadapi, lupa akan tujuannya datang ke tempat ini‟
Data tersebut terdiri atas dua unsur langsung. Unsur langsung pertama terletak pada kata kanggo sauntara dheweke lali „ untuk sementara dia lupa‟, unsur langsung kedua terletak pada kata karo reribet kang lagi diadhepi „dengan permasalahan yang sedang dihadapi‟. Pada data (19) asonansi [i] terdapat pada kata lali „lupa‟ terletak pada suku kata kedua dengan posisi terbuka, kata reribet „permasalahan‟ terletak pada suku kata kedua dengan posisi terbuka, kata lagi „sedang‟ terletak pada suku kata kedua dengan posisi terbuka, dan kata diadhepi „dihadapi‟ terletak pada suku kata pertama dan kedua dengan posisi terbuka. Asonansi [i] dalam data di atas mewujudkan penekanan terhadap beratnya beban pikir yang sejenak ingin dilupakan. (20) critakna marang langit ngenani jerit kang siningit jroning klawune gurit (ASR/P11/110) „ceritakan kepada langit‟ „mengenai jerit yang tersembunyi‟ „dalam biru abu lagu‟
49 Data nomor (20) merupakan potongan geguritan dalam novel Alun Samudra Rasa perangan sewelas. Asonansi [i] yang ada dalam data di atas merupakan perpaduan antara bunyi vokal [I] di ikuti dengan konsonan [t] yaitu pada kata langit „langit‟, terletak pada suku kata kedua dengan posisi tertutup, kata siningit „tersembunyi‟ terletak pada suku kata ketiga dengan posisi tertutup, dan kata gurit „lagu‟ terletak pada suku kata kedua dengan posisi tertutup. Kesepadanan bunyi terjadi di akhir baris yang memberikan kesan kata terdengar lebih berpola. d.
Asonansi [u] (21)
Nalika sisa tatu biru, dumadakan ilang dipangan (ASR/P23/241) „ketika sisa luka biru, tiba-tiba hilang di makan waktu‟
(22)
Sacleret kenangan klawu Ing lintasan wektu Ngosak-asik kalbu..(ASR/P24/252) „secoret kenangan biru abu‟ „Di lintasan waktu‟ „mengobrak-abrik kalbu‟
wektu..
Data (21) dan (22) terdapat asonansi [u] dengan posisi terbuka. Data (21) terdapat pada frasa tatu biru „luka biru‟ yang terletak pada suku kedua kata tatu, dan suku kata kedua dari kata biru „biru‟, serta kata wektu „waktu‟ suku kata kedua dengan posisi terbuka. Data (22) terdapat pada akhir baris geguritan yaitu pada kata klawu „biru abu‟ terletak pada suku kata kedua dengan posisi terbuka, kata wektu ‟waktu‟ pada baris kedua suku kata kedua dengan posisi terbuka, kata kalbu „kalbu‟ pada akhir baris ketiga suku kata kedua dengan poisisi terbuka, sehingga menimbulkan kesan ritmis di ujung kalimatnya. (23) Siluet lan kanyatan dadi sansaya jumbuh „Siluet dan kenyataan menjadi semakin sesuai‟ Sauntara kapasten isih embuh..(ASR/P23/241) „Sementara kepastian masih entahlah...‟
50
Data (23) menunjukan adanya perpaduan asonansi [u] dengan bunyi vokal [U] yang diikuti konsonan [h] dengan posisi tertutup yaitu pada kata jumbuh „sesuai‟ pada suku kata kedua, kata embuh „entahlah‟ terletak pada suku kata kedua. Keduanya nampak terpola di akhir kata dalam baris. (24) Ing ngomah kaya wong bingung, ing kantor kaya wong pengung.(ASR/P27/285) „Dirumah seperti orang bingung, di kantor seperti orang bodoh‟ Data nomor (24) menunjukan wujud asonansi [u] dengan bonyi vokal [U] yang diikuti dengan konsonan [ng] yaitu pada kata bingung „bingung‟ terletak pada suku kata kedua, kata pengung „bodoh‟ yang terletak pada suku kata kedua. Kesepadanan bunyi di akhir kalimat mmberikan penekan mengenai rasa bingung yang dihadapi. (25) Angin sumilir lembut, ngelus kulit lan kala-kala nakal dolanan rambut.(ASR/P28/307) „Angin semilir lembut, meraba kulit dan kadang-kadang nakal bermain rambut‟ Data (25) merupakan kombinasi asonansi [u] dengan bunyi vokal [U] yang diikuti dengan konsonan [t] yaitu pada kata lembut „lembut‟ terletak pada suku kata kedua dengan posisi tertutup, dan kata rambut „rambut‟ terletak pada suku kata kedua dengan posisi tertutup dapat menimbulkan efek indah pada akhir pelafalannya. e.
Asonansi [e] (26)
Ben wae kenangan iku tetep mapan ana ing panggone, kaya apa anane. (ASR/P27/287) „Biar saja kenangan ini tetap bertempat di tempatnya, seperti apa adanya‟
51 Data (26) terdapat asonansi [e] pada kata wae „saja‟ terletak pada suku kata kedua, kata panggone „tempatnya‟ terdapat pada suku kata ketiga dengan posisi terbuka, dan kata anane „adanya‟ terletak pada suku kata ketiga dengan posisi terbuka. (27) Tatu saya njarem, jroning warna sing biru erem. (ASR/P12/120) „Luka yang keram, pada warna yang biru gelap‟ (28) Tatu sing emu Rinasa njarem Nunjem ! (ASR/P15/153)
„Luka yang nampak‟ „Terasa keram‟ „Menancap ! (ASR/P15/153)
Data (27) dengan (28) menunjukan pemakaian asonansi [e] dengan bunyi vokal [ȇ] yang diikuti dengan konsonan [m]. Data (27) pada kata njarem „keram‟ terdapat pada suku kata kedua dengan posisi tertutup, kata erem „gelap‟ terletak pada suku kata pertama dengan posisi terbuka dan suku kata kedua posisi tertutup. Data (28) merupakan potongan geguritan yang terdapat di perangan limalas pada kata njarem „keram‟ dan kata nunjem „menancap‟. Keduanya terletak pada akhir baris pada suku kedua dengan posisi tertutup. Dominasi bunyi yang terpola di akhir kalimat memberikan kesan estetis saat mengucapkan maupun didengar. (29)
Sing ditakoni ora enggal wangsulan. Malah mingseg-mingseg. Tangise keprungu saya seseg.(ASR/P21/226) „Yang ditanyai tidak lekas menjawab. Malah tersedu-sedu. Tangisnya terdengar semakin menyesak‟
(30)
Rasane judheg, jibeg, kuwur lan embuh apa maneh istilahe, pokoke Intan rumangsa bener-bener judheg. (ASR/P27/285) „Rasanya pusing, penat, bingung dan entahlah apa lagi istilahnya, pokoknya Intan merasa benar-benar susah‟ Data (29) dan (30) menunjukkan adanya data asonansi [e] dengan bunyi
vokal [ȇ] yang dipadukan dengan konsonan [g]. Data (29) pada kata mingsegmingseg „tersedu-sedu‟ terletak pada suku kata kedua yang diulang sebagai
52 reduplikasi utuh, dan kata seseg „sesak‟ terletak pada suku kata kedua dengan posisi tertutup. Data (30) pada kata judheg „pusing‟ terletak pada suku kata kedua dengan posisi tertutup dan diulang di akhir kalimat sebagai penekanan yang menunjukkan kebingungan yang luar biasa, kata jibeg „penat‟ terletak pada suku kata kedua dengan posisi tertutup. (31) Intan ngedhep-ngedhepake mripate sing krasa teles. Atine pepes. Angkles! (ASR/P11/119) „Intan mengkedip-kedipkan matanya yang terasa basah. Hatinya tak berdaya. Lemah ! Data (31) merupakan wujud penggunaan asonansi [e] dengan bunyi vokal [ȇ] diikuti konsonan [s] di setiap akhir kalimat, yaitu pada kata teles „basah‟ pada akhir kalimat pertama, kata pepes „tak berdaya‟ pada akhir kalimat kedua, dan kata angkles „lemah‟ pada akhir kalimat ketiga. Ketiga kalimat terletak pada suku kata kedua dengan posisi terbuka, yang di setiap akhir kalimat menjelaskan keadaan secara detail dengan alur cerita yang mengerucut. (32)
Langit timbreng Sajembare panyawang mung ana ireng lan peteng. (ASR/P30/319)
„Langit mendung‟ „seluas memandang hanya ada hitam dan gelap‟(ASR/P30/319)
Data (32) asonansi [e] dengan bunyi vokal [ȇ] terdapat pada baris satu dan dua, asonansi di setiap barisnya saling mendukung bunyi vokal [ȇ] yang diikuti konsonan [ng] di suku kata kedua dan di akhir baris. Baris pertama pada kata timbreng „mendung‟ terletak pada suku kata kedua dengan posisi tertutup serta diikuti konsonan [ng]. Baris kedua pada kata sajembare „seluas‟ terletak pada suku kata kedua dengan posisi tertutup, kata ireng „hitam‟ terletak pada suku kata kedua dengan posisi tertutup, dan kata peteng „gelap‟ terletak pada suku kata pertama dan suku kata kedua diikuti dengan konsonan [ng] dengan posisi tertutup.
53 2. Aliterasi a. Aliterasi [d] (33) Rasa sing angel dipahami lan amung bisa dinikmati, dilaras, lan dihayati.(ASR/P28/308) „Rasa yang sulit dipahami dan hanya bisa dinikmati, dirasa, dan dihayati‟ Data (33) menunjukkan aliterasi atau purwakanthi sastra dengan konsonan [d] yang diikuti dengan bunyi vokal [i] yaitu pada kata dipahami „ dipahami‟, dinikmati „dinikmati‟, dilaras .‟dirasa‟, dan dihayati „dihayati‟. Keempat kata terletak pada suku kata pertama dengan posisi terbuka. Kesepadanan di awal suku kata tersebut menjadikan bunyi kata terlihat ritmis dan terpola, memberikan penjabaran hati yang sedang dirasakannya. b.
Aliterasi [s]
(34) Sun sayang marang Sekar.(ASR/P1/1) „Sun sayang pada Sekar‟ (35) “Kuwi masakan ndesa asli sing sugih serat....(ASR/P23/249) „Itu masakan desa asli kaya serat..‟ Data (34) dan (35) merupakan data yang mengandung aliterasi [s]. Data (34) aliterasi atau
purwakanthi sastra
[s] terdapat pada kata sun „sun‟, sayang
„sayang‟, dan Sekar „Sekar‟. Ketiga kata tersebut aliterasi [s] terletak pada awal kata, dengan kata pertama diikuti vokal [u], kata kedua diikuti bunyi vokal [a] dan kata ketiga diikuti bunyi vokal [ȇ]. Penggunaan aliterasi [s] pada awal kata berfungsi untuk menciptakan keritmisan pola kata yang diucapkan. Data (35) aliterasi [s] terdapat pada kata masakan „masakan‟, ndesa „desa‟, asli „asli‟, dan puncak keritmisan bunyi konsonan [s] terdapat pada kata sing „yang‟, sugih „kaya‟, serat „serat‟, keseluruhan terletak di awal kata.
54 3. Purwakanthi Lumaksita a. Anafora (36) Serik!Serik marang sing lanang kang wis tumindak degsiya lan sawiyahwiyah. (ASR/P3/26) „Benci! Benci terhadap laki-laki yang sudak bertindak kasar dan semenamena‟ (37)
langit kadidene... Sing kanthi... Langit uga ora... Sing kanthi..(ASR/P1/1)
„Langit seperti halnya...‟ „yang dengan..‟ „Langit juga tidak...‟ „yang dengan...‟ (ASR/P1/1)
(38) Tresna kang karajut.. Tresna kang agung... Tresna sing kanggone Intan... (ASR/P9/99)
„Cinta yang terajut...‟ „Cinta yang agung...‟ „Cinta yang buat Intan... (ASR/P9/99)
(39)
Tresna sing padha dene... Tresna sing padha dene... Tresna sing mahanani... (ASR/P29/314)
„Cinta yang saling...‟ „Cinta yang saling...‟ „Cinta yang saling...‟ (ASR/P29/314)
(40)
Nglanggeran! Nglanggeran! Nglanggeran!...(ASR/P27/293)
„Nglanggeran!‟ „Nglanggeran!‟ „Nglanggeran!‟ (ASR/P27/293)
Data (36) sampai (40) terdapat data yang berupa perulangan kata pertama yang diulang kembali pada tiap baris atau kalimat berikutnya. Seperti kata serik „serik‟ pada data (36), kata langit „langit‟ dan kata sing kanthi „yang dengan‟ pada data (37) diulang sebanyak dua kali di awal kalimat selanjutnya. Selanjutnya kata tresna kang... „cinta yang...‟ pada data (38), kata tresna sing... „cinta yang...‟ data nomor (39), dan kata Nglanggeran! „Nglanggeran!‟, data (40) diulang sebanyak tiga kali pada awal kalimat atau baris berikutnya secara berurutan. Perulangan kata pertama ini menunjukkan bahwa kata yang diulang dalam kalimat pertama tersebut dianggap penting.
55 b.
Epistrofa (41) Kadhang-kadhang wong ora bisa uwal saka jiret masa lalu. Ning kita kudu sadhar yen wong ora tumapak ing masa lalu. (ASR/P23/246) „Kadang-kadang orang bisa saja lepas dari ikatan masa lalu. Tetapi kita harus sadar kalau orang tidak berjalan di masa lalu‟
(42) Tegese ayu banget ora, elek banget uga ora. (ASR/P1/3) „Artinya cantik sekali tidak, jelek sekali juga tidak‟ (43) wong tuwane wae ora tau mara tangan, lha kok saiki wong lanang sing dipasrahi uripe tega-tegane mara tangan. (ASR/P3/24) „Orang tuanya saja tidak pernah main tangan, lha kok sekarang laki-laki yang diserahi hidup tega-teganya main tangan‟ Data (41) sampai (43) merupakan wujud perulangan kata atau frasa di akhir baris atau akhir kalimat, yaitu terdapat pada data (41) kata masa lalu „masa lalu‟ yang diulang sebanyak dua kali pada akhir kalimat. Data (42) kata ora „tidak‟ yang diulang sebanyak dua kali, dan kata mara tangan „main tangan‟ data (43) di ulang pula sebanyak dua kali. Pengulangan pada akhir kalimat difungsikan untuk memberikan kejelasan kepada pembaca mengenai kalimat sebelumnya diingatkan lagi pada ide pokok yang ada di akhir kalimat. c.
Epizeuksis
(44) ing Semarang sawise oleh kanca-kanca anyar, swasana kampus sing uga beda karo Yogya lan srawung karo kanca-kanca anyar kanthi pakulinanpakulinan sing uga anyar,...(ASR/P3/28) „di Semarang setelah mendapat teman-teman baru, suasana kampus yang juga berbeda dengan Yogya dan berkenalan dengan teman-teman baru dengan kebiasaan-kebiasaan yang juga baru,..‟ (45) marang mobah mosiking swasana...swasana...karo swasana atine... (ASR/P1/1) „terhadap hiruk-pikuk suasana...suasana...suasana...sama suasana hatinya..‟ (46) Seneng amarga dheweke bisa ketemu Nami maneh, bisa nyawang pasuryane, bisa krungu swarane, bisa... lan sedhih. (ASR/P18/196)
56 „Senang karena dirinya bisa ketemu dengan Nami lagi, bisa melihat wajahnya, bisa mendengar suaranya, bisa... dan sedih‟ (47) Liwat proses sing dawa pungkasane aku bisa mahami, urip kuwi apa lan kanggo apa aku urip, kepriye urip kudu diuripi. (ASR/P28/301) „Lewat proses yang panjang akhirnya aku bisa memahami, hidup itu apa, dan untuk apa hidup, bagaimana hidup harus menghidupi‟ (48) Ning iki mung saderma sesambungan batin, sesambungan ati, dudu sesambungan ragawi. (ASR/29/316) „Tetapi sekarang hanya sebatas hubungan batin, hubungan hati bukan hubungan ragawi‟. (49) Dinikmati rasa anget kang mili ing dhadhane. Rasa anget kang nentremake, rasa anget kang bisa nggawa pikirane nglayang ing awangawang, mabur ing antarane mega-mega lan njoged ing sorote kluwung... (ASR/P28/307) „Dinikmati rasa hangat yang mengalir di dadanya. Rasa hangat yang menentramkan, rasa hangat yang bisa membawa pikiran melayang ke langit, terbang di antara awan-awan dan menari di lengkungan cahaya‟ (50) Tresna sing padha dene ngajeni, padha dene mbutuhake, padha dene asih sihnisihan. Tresna sing padha dene bisa andum lan nampa,... (ASR/P29/314) „Cinta yang saling menghormati, saling membutuhkan, saling mengasihi. Cinta yang bisa saling memberi dan menerima,... (51) Ning kasunyatan sing ana, akeh priya sing rumangsa luwih kuwasa, luwih unggul, luwih kuwat...mula kadhang-kadhang sikape sawiyah-wiyah marang wong wadon.(ASR/P29/3130 „Tetapi kenyataan yang ada, banyak pria yang merasa lebih berkuasa, lebih unggul, lebih kuat, ...maka kadang-kadang sikapnya semena-mena terhadap wanita‟ (52) Mung Pram sing bisa mangerti aku, mung dheweke sing bisa aweh ketentreman marang jiwaku, mung dheweke sing bisa gawe atiku nangis lan ngguyu, mung dheweke...ning dheweke ana sing nduweni.(ASR/29/315) „Cuma Pram yang bisa mengerti aku, cuma dia yang bisa memberikan ketentraman pada jiwaku, cuma dia yang bisa buat hatiku menangis dan tertawa, cuma dia...tetapi dia sudah ada yang punya‟ Data (44) sampai (52) menunjukan wujud perulangan kata yang dipentingkan diulang beberapa kali berturut-turut atau biasa disebut dengan epizeuksis. Seperti kata anyar „baru‟, swasana „suasana‟, urip „hidup‟,
57 sesambungan „hubungan‟, rasa anget „rasa hangat‟, dan mung dheweke „cuma dia‟ diulang sebanyak tiga kali, padha dene „saling halnya‟, luwih „lebih‟ pada data nomor (51), dan kata bisa „bisa‟ diulang sebanyak empat kali pada data nomor (46). Perulangan kata ditempatkan secara bervariasi, baik di awal kalimat, tengah kalimat, maupun akhir kalimat. Perulangan tersebut dimaksudkan bahwa kata yang diulang dianggap penting, penting untuk dipahami, diketahui maupun penting untuk didengarkan bagi pembaca. d.
Anadiplosis (53) “Rungokna swarane atimu. Swara atimu sing paling jero. Swara ati kuwi mujudake cahaya surgawi kang dikirim Gusti kanggo nuntun jangkahmu.... (ASR/P28/308) „Dengarkan suara hatimu. Suara hati yang paling dalam. Suara hati itu mewujudkan cahaya surgawi yang dikirim Allah untuk menuntun langkahmu...‟ (54) Rasa lara sing banjur manjalma dadi rasa sengit. Sengit sing ndulit. (ASR/P29/311) „Rasa sakit yang kemudian menjelma menjadi rasa benci. Benci yang dalam‟ (55) Isih nabet. Nabet jero. Jero banget! (ASR/P25/271) „Masih membekas. Membekas dalam. Dalam sekali.‟ (56) Ana rasa lara. Lara kang endah. (ASR/P29/317) „Ada rasa sakit. Sakit yang indah‟. (57) Dheweke isih nesu. Nesu tenan.(ASR/P31/333) „Dirinya masih marah. Marah sekali‟. (58) Intan rumangsa isin. Isin banget. (ASR/P31/337) „Intan merasa malu. Malu sekali‟. Data (53) sampai (58) terdapat perulangan berupa pengulangan kata di akhir
kalimat yang kemudian diulang kembali di awal kalimat atau biasa disebut dengan
58 anadiplosis. Seperti kata swara atimu „suara hatimu‟, sengit „benci‟, kata nabet „membekas‟, kata jero „dalam‟, kata lara „sakit‟ dan kata nesu „marah‟ serta kata isin „malu‟ semuanya terletak di akhir kalimat kemudian diulang kembali di awal kalimat yang berurutan.
B. Diksi atau Pemilihan Kosakata dalam Novel Alun Samudra Rasa karya Ardini Pangastuti Bn.
Diksi (diction) adalah pemilihan kata-kata, frasa, dan gaya dalam karya sastra. Pemilihan kata dipilih untuk mengungkapkan suatu ide atau gagasan. Pemilihan kata merupakan unsur stilistika yang berhubungan dengan variasi. Diksi yang digunakan dalam novel Alun Samudra Rasa karya Ardini Pangastuti Bn antara lain: pemanfaatan bentuk kata, reduplikasi, kosakata bahasa Indonesia, kosakata bahasa asing, sinonimi, antonimi, abreviasi atau panyudaning swara (wancah), panambahing swara (wuwuh), tembung saroja, tembung garba, tembung entar, paribasan dan bebasan. 1.
Pemanfaatan bentuk kata
a. Kata Berafiks (Afiksasi) 1) Prefiks/ ater-ater a) Prefiks {pa-} (59)
Intan isih kober ngucapake atur panuwun. (ASR/P1/10) „Intan masih sempat mengucapkan terima kasih‟
Data (59) kata panuwun „terima kasih‟ berasal dari kata nuwun „terima kasih‟ dan mendapat prefiks {pa-} sehingga menjadi panuwun „terima kasih‟ dan membentuk kata benda yang menyatakan sesuatu dikenai perbuatan pada kata dasar, artinya mengucapkan terima kasih.
59 b) (60)
Prefiks {ma-} Ora bisa mawujud jroning kanyatan saiki.”Intan nyawang Pram kanthi perasaan sing campur adhuk. (ASR/P23/247) „Tidak bisa terwujud dikenyataan sekarang.” Intan menatap Pram dengan perasaan yang campur aduk‟.
Data (60) terdapat wujud prefiks {ma-} yaitu pada kata mawujud „terwujud‟ yang berasal dari kata dasar wujud „wujud‟ mendapat prefiks {ma-} membentuk kata kerja pasif mawujud „terwujud‟. c)
Prefiks {ka-}
(61) saka kenangan mangsa kawuri.(ASR/P7/67) „dari kenangan masa lalu‟ (62) katatah jronging lungite tresna. (ASR/P8/78) „tertatah dalam besarnya cinta‟ (63) Prasasti lawas kang tinatah ing tapak sejarah „Prasasti lama yang tertatah di tapak sejarah‟ Banjur kakubur lebet, adoh saka ranggehan angkah.(ASR/P17/176) „Lalu terkubur dalam, jauh dari gapaian arah‟ (64)
..., minangka... pokoke Ines mujudake kanyatan sing ora bisa kapisah karo uripe sing saiki. (ASR/P21/225) „..., sebagai... pokoknya Ines mewujudkan kenyataan yang tidak bisa terpisah dari hidupnya yang sekarang‟.
(65)
Ora kawilang dina-dina kebak aruming kembang sing tau dilewati bebarengan. (ASR/P26/283) „Tidak terhitung hari-hari penuh harumnya bunga (kenangan masa lalu) yang pernah dilewati bersama‟.
Data (61) sampai (65) penggunaan prefiks {ka-} bergabung dengan kata benda, yaitu pada kata kawuri „lalu/buri‟ berasal dari kata dasar wuri „lalu/buri‟, kata katatah „tertatah‟ berasal dari kata tatah „tatah‟ dan kata kakubur „terkubur‟ berasal dari kata dasar kubur, (64) kata kanyatan „kenyataan‟ berasal dari kata nyata „nyata‟, dan data (65) kata kawilang„dihitung‟ berasal dari kata dasar wilang
60 „hitung‟dan mendapat imbuhan prefiks {ka-} yang berfungsi membentuk kata kerja pasif. d) Prefiks {sa-} (66) Sajroning rong taun iki wis kaping telu Bregas pindhah gaweyan. (ASR/P1/7) Selama dua tahun ini sudah tiga kali Bregas pindah pekerjaan‟ (67) Wong lanang kuwi ora mung saderma kaget, nanging atine uga panas weruh Toyota Yaris sing isih kinyis-kinyis iku diparkir ing garasi. (ASR/P2/19) „Lelaki itu tidak sekedar kaget, tetapi hatinya juga panas melihat Toyota Yaris yang masih mulus itu diparkir di garasi‟ (68) Kula namung kepengin wonten Yogya sawetawis kanggo ngleremaken manah.(ASR/P6/64) „Aku hanya ingin di Yogya sementara untuk menenangkan hati‟ (69) Sakawit Intan ora arep kandha marang wong tuwane... (ASR/P13/131) „Awalnya Intan tidak mau bilang pada orang tuanya‟ (70) Sacleret kenangan klawu. (ASR/P24/252) „seberkas kenangan abu-abu‟ Data (66) sampai (70) menunjukan penggunakan prefiks {sa-} yaitu pada kata sajroning „selama‟, saderma „sekedar‟, sawetawis „sementara‟, sakawit „awalnya‟, dan kata sacleret „seberkas‟. Prefiks {sa-} data (66-69) mempunyai makna menyatakan waktu, menyatakan seluruh atau sebagian, dan data (70) menyatakan sebuah satuan. 2) Infiks atau seselan a) Infiks {-um-} (71) langit kadidene buku kang sumeblak.(ASR/P1/1) „Langit seperti halnya buku kosong‟ (72) adegan kaya mau meh dumadi ing saben esuk. (ASR/P1/3) „adean seperti itu hampir terjadi di setiap pagi‟ (73) langite tetep mawon mboten ramah,” tumanggape Intan karo mbenakkake posisi lungguhe. (ASR/P1/4)
61 „langitnya tetap saja tidak ramah,” jawab Intan sambil membetulkan posisi duduknya‟ (74) sawise ngampiri Indri mobil perusahaan kasebut lagi nerusake laku tumuju kantor kawasan industri Kaligawe.(ASR/P1/4) „Setelah menghampiri Indri mobil perusahaan tersebut lalu meneruskan perjalanan menuju kantor kawasan industri Kaligawe‟ (75) Lagi wae mlebu wewengkon wisata Bandungan udan deres tumiba tanpa angkan-angkan. (ASR/P3/29) „baru saja Intan masuk daerah wisata Bandungan hujan deras jatuh tanpa disangka-sangka‟ (76) Wengi terus rumambat. (ASR/P3/34) „malam terus merambat‟ (77) Mung langsung tumandang ngusungi barang-barange karo direwangi dening Mona.(ASR/P6/60) „Cuma langsung bergegas mengangkat barang-barangnya sambil dibantu oleh Mona‟ (78) Mona manthuk. Banjur jumangkah mlebu kamar sing disedhiyakake kanggo dheweke.(ASR/P6/62) „Mona mengangguk. Lalu melangkah masuk kamar yang sudah disediakan untuk dirinya‟ (79) “menawi purik ngaten inggih mboten, tumungkul.(ASR/P7/64) „kalau pergi juga tidak, Pak,”Intan menunduk‟
Pak.”
Intan
(80) Mung saderma kanggo panglipur ing kalane atine lagi sedhih kaya saiki, senajan dheweke sadhar, urip ora kena terus tumoleh menyang mburi supaya lakune bisa jejeg. (ASR/P7/77) „Cuma sekedar untuk penghibur dikala hati sedang sedih seperti sekarang, meskipun dirinya sadar, hidup tidak boleh menoleh kebelakang supaya langkahnya bisa lurus‟ (81) Sebab urip kudu tumapak maju menyang ngarep, ora mlangkah mundur menyang mburi.(ASR/P7/77) „Sebab hidup itu harus menapak maju kedepan, tidak melangkah mundur kebelakang‟ (82)
Intan mung njegreg. Ora bisa kumecap. Jantunge dhag-dhig-dhug ora karuan.(ASR/P8/87) „Intan Cuma diam. Tidak bisa berbicara. Jantungnya dag-dig-dug tidak karuan‟
62 (83)
padhang peteng tansah gilir gumanti (ASR/P13/131) „terang gelap nampak silih berganti‟
(84)
Sawenehe idhe dumadakan wae kumlebat (ASR/P17/178) „beberapa ide mendadak berkeliaran dipikirannya‟
(85)
Kaganti mendhung anggendhanu, sing sawayah-wayah bisa mbungkem guyu, liwat udan sing gumbrojok tanpa larapan. (ASR/P26/274) „Berganti mendung hitam, yang kapan saja bisa menutup tawa, lewat hujan yang mengguyur tanpa petir‟
(86)
sairing lumakune wektu lagi nyadhari yen Bregas pancen dudu priya sing pas kanggone. (ASR/P13/131) „seiring berjalannya waktu baru menyadari kalau Bregas memang bukan priya yang pas buat dirinya‟
(87)
Lan jroning pikiran sing wening, ati sing biasane tansah polah lan mothah iku bisa luwih sumeleh, luwih ening. (ASR/P28/300) „dan didalam pikiran yang jernih, hati yang biasanya bergejolak dan tidak tenang itu bisa lebih sabar, lebih jernih‟
(88)
Rembulan gumandhul ing langit sing biru resik. (ASR/P29/310) „Bulan menggantung dilangit yang biru bersih‟
(89)
ing
pikirane.
ing meja ngarepe gumlethak amplop soklat...(ASR/P2/12) „di meja depan tergeletak amplop coklat...‟
(90)
Mungkin kenalane Astri utawa kanca orang tua wali murid. Wong ketoke wis cukup rumaket. (ASR/P17/177) „Mungkin kenalannya Astri atau teman orang tua wali murid. Terlihat sudah cukup akrab.‟
(91)
“Maaf yen pitakonku ngganggu perasaanmu,” Pram ndandani sikape. Tangane kumlawe ngremet pundhake wanita sing lagi tumungkul ana ngarepe itu. (ASR/P23/246) “maaf kalau pertanyaanku mengganggu perasaanmu,” Pram membenarkan sikapnya. Tangannya merangkul meremas pundaknya‟
(92)
Sawise adoh lumajar. (ASR/P24/252) „Setelah jauh menjalar‟
(93)
Jam siji awan, panas kang sumelet ing setengahe mangsa rendheng,... (ASR/P17/181) „jam satu siang, panas yang menyengat di tengah musim hujan,...‟
63 (94)
Samudra sing ora tau anteng, kadhang ombak kekitrang nut tumiyupe samirana. (ASR/P27/285) „samudra yang tidak pernah tenang, kadang ombak bergerak searah tiupan angin‟
(95)
“kanggo sliramu, mesthi wae aku tansah sumadya wektu. Ana apa ta Nami?”pitakone rada gupuh. (ASR/P27/291) „Untuk dirimu, pasti aku akan menyediakan waktu. Ada apa Nami?” tanyanya sedikit tergesa-gesa‟
(96)
kaya tumetes bun ing ketiga ngerak. (ASR/P2/12) „seperti tetesan embun di musim panas kering‟
Data (71) sampai (96) wujud penggunaan infiks {-um-} oleh Ardini Pangastuti Bn bergabung dengan kata kerja, yaitu kata sumeblak „terbuka lebar‟ berasal dari kata dasar seblak „membuka‟, dumadi „terjadi‟ berasal dari kata dasar dadi
„terjadi‟,
tumanggape
„jawab‟
berasal
dari
kata
dasar
tanggap
„menjawab/jawab‟, tumuju „menuju‟ berasal dari kata dasar tuju „menuju‟, tumiba „jatuh‟ berasal dari kata dasar tiba „jatuh‟, rumambat „merambat‟berasal dari kata rambat
„merambat‟,tumandang
„bergegas‟
berasal
dari
kata
tandang
„melakukan‟,jumangkah „melangkah‟ berasal dari kata dasar jangkah „ langkah‟ , tumungkul „menunduk‟ berasal dari kata tungkul „menunduk, tumoleh „menoleh‟ berasal dari kata dasar toleh „menoleh‟, tumapak „menapak‟ berasal dari kata dasar tapak „jejak/menapak‟, kumecap „berbicara‟ berasal dari kata dasar kecap „bicara‟, gumanti „berganti‟ berasal dari kata ganti „ganti‟, kumlebat „bergelayutan‟berasal dari kata klebat „sekelebat‟, gumbrojok „mengguyur‟ berasal dari kata dasar grojok „mengalir‟, lumakune „berjalannya‟ berasal dari kata dasar laku „jalan‟,
sumeleh „sabar‟ berasal dari kata seleh „meletakkan‟,
gumandhul „menggantung‟ berasal dari kata dasar gandhul „menggantung‟, gumlethak „tergeletak‟ berasal dari kata dasar glethak „tergeletak‟, rumaket
64 „akrab‟ berasal dari kata dasar raket „kenal/akrab‟, kumlawe „merangkul‟ berasal dari kata dasar klawe „bergerak‟, lumajar „menjalar‟ berasal dari kata dasar jalar „menjalar‟, sumelet „menyengat‟ berasal dari kata dasar selet „sengat‟, tumiyupe „tiupan‟ berasal dari kata dasar tiyup „tiup‟, sumadya „menyediakan‟ berasal dari kata dasar sadya „sedia‟, dan tumetes „menetes‟ berasal dari kata dasar tetes „tetes/menetes‟. Penambahan infiks {-um-} jarang diucapkan pada kehidupan sehari-hari, membuat kata terdengar lebih indah diucapkan dan didengar. Penggunaan infiks {-um-} dalam NASR selain data di atas, terdapat juga pada data di bawah ini. (97)
“kopi apa iki kok enak?” pitakone karo irunge plendas-plendus nyerot aroma kopi sing kumebul saka cangkire. (ASR/P12/122) “kopi apa ini kok enak?” bertanya sambil hidungnya kembangkempis menghirup aroma asap kopi yang berasap dari cangkirnya‟
(98)
Srengenge sumunar endah kaya-kaya aweh prasaja marang bumi sing isih katisen sawise sewengi digrujug udan. (ASR/P16/164) „Matahari bersinar indah seprti memberi tau kepada bumi yang masih kedinginan setelah semalam hujan‟
(99)
Ora ana lukisan kaya sing ditakonake Pram sing cumanthel ana kono. (ASR/P22/238) „tidak ada lukisan seperti yang ditanyakan Pram yang tercantel di sana.‟
Pada data (97) sampai (99) merupakan wujud penggunaan infiks {-um-} bergabung dengan kata benda, yaitu pada kata kumebul „asap‟ berasal dari kata dasar kebul „asap‟, sumunar „bersinar‟ berasal dari kata dasar sunar „sinar‟, cumanthel „cantel‟ berasal dari kata canthel „cantel‟. Selain itu prefiks {-um-} dalam novel Alun Samudra Rasa juga terdapat pada data sebagai berikut. (100) Mripate tumlawung adoh, ngetutake playune angen-angen sing ibut...(ASR/P3/32)
65 „matanya menggantung jauh, mengikuti larinya angan-angan yang ribut‟ (101) Dumadakan wae Intan dadi kangen marang ibune. (ASR/P3/25) „Mendadak saja Intan jadi kangen pada ibunya.‟ (102) Wangi mawar, arum melathi , saka mangsa kawuri. Isih sumegrak angambar. (ASR/P9/90) Harum mawar, bau melati, dari masa lalu. Masih tetap menyengat mewangi‟ (103) “Becike kowe saiki bali Yogya wae,” ujare ibune sawise ana putusan kang gumathok saka pengadilan agama. (ASR/P14/143) „Baiknya kamu sekarang balik Yogya saja,” kata ibunya setelah ada putusan yang pasti dari pengadilan agama‟. (104) Nanging akeh sing rumangsa kelangan lan katon sumedhot nalika dipamiti. (ASR/P14/151) „Tetapi banyak yang merasa kehilangan dan terlihat sedih saat dipamiti‟. (105) Pram nyruput jeruke dhisik sadurunge wangsulan. Rasane awake luwih kumepyar saiki. (ASR/P18/187) „Pram meminum jeruknya terlebih dahulu sebelum menjawab. Rasa badannya lebih segar sekarang‟ (106) Ora semata-mata harga dhiri, nanging bojoku bisa uga nyingkriknyingkrik lan kumawasa. (ASR/P18/190). „Tidak semata-mata harga diri, tetapi suamiku juga bisa semaunya sendiri dan berkuasa‟ (107) Ines nyawang Intan kanthi mripat sing kumilat. (ASR/P30/327). „Ines melihat Intan dengan mata yang bersinar‟ (108) “Bundha...?!” Keprungu swarane Sekar sing cumengkling lan kenes saka njaba kamar. (ASR/P26/281) „Bundha...?!” Terdengar suara Sekar yang nyaring dan kemayu dari luar kamar‟. (109) Angin sumilir lembut, ngelus kulit lan kala-kala nakal dolanan rambut. (ASR/P28/307) „Angin bersemilir lembut, meraba kulit dan kadang-kadang nakal bermain rambut‟. Ardini Pangastuti Bn menggabungkan infiks {-um-} pada data di atas dengan kata sifat difungsikan agar kata tersebut lebih terkesan estetis, karena
66 biasanya jarang digunakan dalam percakapan di masyarakat. Seperti pada kata tumlawung
„menggantung
merunduk‟
berasal
dari
kata
dasar
tlawung
„menggantung merunduk, dumadakan „mendadak‟ berasal dari kata dasar dadak „mendadak‟ dengan imbuhan infiks {-um-} dan konfiks {-an}, sumegrak „menyengat/berbau tajam‟ berasal dari kata segrak ‟menyengat/berbau tajam‟. Kata gumathok „sudah pasti/tetap‟ berasal dari kata dasar gathok „tetap‟ mendapat imbuhan {-um-} menjadi gumathok „sudah pasti/tetap‟, kata sumedhot „mendadak merasa sedih/hati terasa kencang‟ berasal dari kata dasar sedhot „meresa sedut/sedih‟ mendapat imbuhan {-um-} menjadi sumedhot „merasa sedih‟, kata kumepyar „terasa segar/enteng/butiran halus satu per satu‟ berasal dari kata dasar kepyar „ringan‟. Kata kepyar memiliki beberapa arti sehingga harus disesusaikan dengan konteksnya. Selanjutnya kata kumawasa „berkuasa‟ berasal dari kata kuasa „kuasa‟, dan kata kumilat „mengkilat‟ berasal dari kata dasar kilat „mengkilat‟ dalam konteks kalimat di atas mempunyai maksud matanya menatap tajam. Data (108) terdapat kata cumengkling „terdengar nyaring‟ berasal dari kata cengkling „seperti suara besi dipukul‟ mendapat imbuhan {-um-} membentuk kata sifat cumengkling „suara terdengar seperti besi dipukul‟. Konteks kalimat di atas maksudnya suaranya nyaring seperti suara besi yang dipukul. Kata (109) sumilir „sejuk‟ yang berasal dari kata dasar silir „sejuk‟ mendapat imbuhan {-um-} menjadi sumilir „sejuk‟. b) Infiks {-in-} (110) ngenani apa kang sinerat ing kana. (ASR/P1/1) „mengenai apa yang tertulis disana‟ (111) Kuwi swarane Mona sinambi ngangkat tangane Sekar diajak dhadha. (ASR/P1/2) „Itu suara Mona sambil mengangkat tangannya Sekar diajak dha-dha‟
67
(112) aloke Pak Paimin saderma kanggo abang-abang lambe. Tinimbang amem. (ASR/P1/4) „kata Pak Paimin sekedar untuk obrolan daripada diam‟ (113) “Aku lagi mengagumi reriptane Sang Kreator Agung, Gusti Kang Maha linuwih. (ASR/P28/297) „Aku sedang mengagumi ciptaan Sang Kreator Agung, Tuhan Yang Maha Lebih ‟ (114) Aku mung peduli marang wong-wong tinamtu. (ASR/P16/74) „Aku hanya peduli kepada orang-orang tertentu‟ (115) tapak-tapak jangkah kan tinatah ing cemani bumi.(ASR/P4/34) „jejak-jejak langkah yang tertatah di cemani bumi‟ (116) Kanggo wanita kinasih iiku dheweke wis bisa aweh kenangan sing ora bakal dilalekake. (ASR/P20/216) „Untuk wanita terkasih itu dia sudah bisa memberi kenangan yang tidak bakal dilupakan‟. (117) Dheweke ora kepengin wong ngonangi mendhung ing ginayut ing mripate.(ASR/P31/337) „Dirinya tidak ingin orang mengetahui permasalahan yang bersemayam di matanya‟ (118) wong tuwane klebu wong kinormat...(ASR/P3/25) „Orang tuanya termasuk orang terhormat...‟ (119) toh nominal sing ana kartu ATM iku jumlahe mung winates. (ASR/P4/36) „toh nominal yang ada di kartu ATM itu jumlahnya juga terbatas‟ (120) Nyes..atine Intan rasane kaya siniram banyu es oleh sun sayang saka gantilaning atine kuwi. (ASR/P5/51) „Nyes... hati Intan rasanya seperti disiram air es mendapat sun sayang dari pujaan hatinya itu‟ (121) Keputusan nerusake kuliah maneh menyang Semarang, keputusan rabi, kabeh tanpa linambaran nalar wening. (ASR/P9/98) „Keputusan melanjutkan kuliah lagi ke Semarang, keputusan menikah, semua tanpa berlandaskan penalaran yang jernih‟ (122) Eseme rinasa ngiris (ASR/P10/100) „Senyumnya terasa menyayat‟ (123) “Ayo, jeng takaturi pinarak...” (ASR/P13/139) „Ayo jeng silahkan masuk...‟
68
(124) Bangunan pondhok makan iku isih ajeg kaya biyen. Ginawe saka pring wulung lan payone saka alang-alang. (ASR/P17/182) „Bangunan pondhok makan itu masih tetap sama seperti dulu. Terbuat dari bambu wulung dan atapnya dari alang-alang‟ (125) Merga ing antarane awake dhewe saiki pinisah jurang jero sing ora mungkin kita lumpati,” kandhane Intan ngati-ati. (ASR/P19/203) „Karena di anatara kita sekarang terpisah jurang dalam yang tidak mungkin bisa kita lompati,” kata Intan berhati-hati‟ (126) “Wonten ingkang saget kula biyantu, Mas?” ujare sopan karo dikantheni sinugging esem ing lambene. (ASR/P22/233) „Ada yang bisa saya bantu, Mas? “ katanya sopan sambil bersamaan tergurat senyum di bibirnya‟ (127) Intan kaget kepati weruh sapa sing teka. Rasane kaya sinamber gelap ing wayah awan sing tanpa mendhung. (ASR/P23/251) „Intan terkejut bukan kepalang mengetahui siapa yang datang. Rasanya seperti tersambar petir gelap di waktu siang tanpa mendung‟ (128) Sawah, kebon lan wit-witan ijo ngrembuyung ngupengi bangunan pomahan pendhudhuk, katon endah sinawang saka kadohan. (ASR/P28/296) „Sawah, kebun dan pepohonan hijau lebat mengitari bangunan rumah penduduk, terlihat indah dipandang dari kejauhan‟ (129) Intan migatekake kabeh kaendahan kang ginelar iku kanthi maneka rasa.(ASR/P28/296) „Intan memperhatikan semua keindahan yang terhampar itu dengan berbagai rasa‟ (130) Priya lan wanita,pancen cinipta beda. (ASR/P29/312) „Pria dan wanita, memang diciptakan berbeda‟ (131) Kekuwatane kuwi murih dheweke bisa ngayomi wanita sing kahanan awake pancen tinakdir luwih ringkih. (ASR/P29/312) „Kekuatan itu supaya kita dapat mengayomi wanita yang keadaan badannya memang ditakdirkan lebih lemah‟ (132) Bregas mung salah siji conto saka wong lanang sing ora patut tinuladha.(ASR/P29/313) „Bregas Cuma salah satu contoh pria yang tidak pantas diteladani‟ Data (110) sampai (132) bukti wujud infiks {-in-} juga sering digunakan oleh Ardini Pangastuti untuk mempercantik kata sehingga terkesan lebih arkhais
69 dan puitis, seperti pada kata sinerat „tertulis, sinambi „sambil‟, tinimbang „daripada‟, linuwih „lebih‟, tinamtu „tertentu‟, tinatah „tertatah‟, kinasih „terkasih‟, ginayut „bersemayam‟. Sedangkan data (118) sampai (132) infiks {-in-} membentuk kata kerja pasif pada kata kinormat „terhormat‟, winates „terbatas‟, siniram„tersiram‟, linambaran „beralaskan‟, rinasa „terasa‟, pinarak „diajak pergi ke-/dipersilahkan masuk‟, ginawe „terbuat‟, pinisah „terpisah‟, sinungging „tergambar‟, sinamber „tersambar‟, sinawang „terlihat‟, ginelar „terhampar‟, cinipta „tercipta‟, tinakdir „ditakdirkan‟, tinuladha „diteladani‟. 3) Konfiks a) Konfiks {pa-, -an} (133) ...embuh rumangsa bayare kurang pakaryan kuwi banjur ditinggalake,...(ASR/P1/7) „...entah merasa gajinya kurang pekerjaan itu lalu ditinggalkan,...‟ (134) tembang endah tumrap panguripan. (ASR/P2/12) „lagu indah terhadap kehidupan.‟ (135)
Nanging Sekar Melur terus kepriye? Iku tansah dadi pamikiran. (ASR/P3/33) „Tetapi Sekar Melur bagaimana? Ini begitu jadi pikiran‟
(136) Nanging ing liya wektu pakulinan elek iku dibaleni maneh dening bojone. (ASR/P5/54) „Tetapi di lain waktu kebiasaan jelek itu diulang kembali oleh suaminya.‟ (137) Mesthi wae dheweke isih apal karo kabeh kebiasaane priya iku, kalebu sifat-sifate sing luwih seneng ngutamakake keselarasan jroning pasrawungan. (ASR/P18/189) „Pasti dirinya masih hafal dengan semua kebiasaan pria itu, termasuk sifat-sifatnya yang lebih senang mengutamakan keselarasan dalam bermasyarakat‟ (138) Kamangka olehe ngadisalira, ngadibusana lan thethek bengek pasiksan awak liyane kuwi bot-bote rak saking tresnane marang sing lanang. (ASR/P21/221) „Padahal dirinya berdandan, berpenampilan dan segala hal wewangian badan lainya itu bentuk cintanya kepada suami.‟
70
(139) Gunung kuwi dianggep cocok kanggo papan palereman,...(ASR/P28/302) „Gunung itu dianggap cocok untuk tempat menenangkan diri‟ (140) Senajan mengko yen wis bali mlebu kamar maneh pasuryan sing sumringah langsung malik suntrut. (ASR/P30/320) „Meskipun nanti kalau sudah kembali masuk kamar lagi raut wajah yang ceria langsung berbalik sedih.‟ (141) Ngecek pasedhiyan, transaksi-transaksi dol tinuku lan liya-liyane. (ASR/P30/320) „Mengecek persediaan, transaksi-transaksi jual beli dan lain-lainnya‟ (142) Ning nalika patemon iku kudu dumadi saora-orane dheweke wis siap. (ASR/P30/322) „Tetapi saat pertemuan itu harus terjadi setidak-tidaknya dirinya sudah siap‟ Penggunaan konfiks {pa-,-an} terdapat pada data nomor (133) sampai (136). Konfiks {pa-,-an} merupakan gabungan dua buah afiks yaitu prefiks {pa- } dan sufiks {-an} bergabung dengan kata benda seperti pakaryan „pekerjaan‟ berasal dari kata dasar karya „pekerjaan‟ mendapat konfiks {pa-,-an} menjadi pakaryan „pekerjaan‟,
panguripan „kehidupan‟ berasal dari kata dasar nguripi
„menghidupi‟ yang merupakan kata kerja, mendapat konfiks {pa-,-an} berubah menjadi kata benda panguripan „kehidupan‟, kata pamikiran „pikiran‟ berasal dari kata dasar mikir „mikir‟ ditambah dengan konfiks {pa-,-an} membentuk kata benda pamikiran „pikiran‟, kata pakulinan „kebiasaan‟ berasal dari kata dasar kulina „terbiasa‟ mendapat imbuhan konfiks {pa-,-an} berubah menjadi pakulinan „kebiasaan‟. Data (137) sampai (142) kata pasrawungan „bermasyarakat‟ berasal dari kata dasar srawung „kenal‟ mendapat imbuhan {pa-, -an} membentuk kata pasrawungan „bermasyarakat/mengenal orang banyak‟. Kata palereman „tempat menenangkan diri‟ berasal dari kata lerem „tenang‟ mendapat imbuhan konfiks {pa-,-an} menjadi palereman „tempat menenangkan diri‟. Kata pasiksan
71 „wewangian‟ terbentuk dari kata dasar siksa „wangi-wangian‟ bergabung dengan konfiks {pa-, -an} membentuk kata pasiksan „wewangian‟, kata pasuryan „raut wajah‟ berasal dari kata dasar surya „wajah‟ bergabung dengan konfiks {pa-,-an} menjadi pasuryan „perwajahan/raut muka‟, kata pasedhiyan „persediaan‟ berasal dari kata dasar sedhiya „sedia‟ bergabung dengan konfiks {pa-,-an} menjadi pasedhiyan „persediaan‟, dan kata patemon „pertemuan‟ berasal dari kata dasar temu „ketemu‟ mendapat konfiks {pa-,-an} patemuan „pertemuan‟ dan mengalami variasi menjadi patemon „pertemuan‟. b) Konfiks {ka-, -an} (143) Kuwi mujudake kawicaksanan Bos, dudu wewenangku!(ASR/P2/22) „Itu mewujudkan kebijaksanaan Bos, bukan wewenangku!‟ (144)
Kang saya ndadi kaprabawan panase hawa (ASR/P3/24) „Yang semakin menjadi penguasa panasnya hawa‟
(145) “Aku ora kepengin ngregeti katresnan kita kanthi bab-bab sing ora semesthine. (ASR/P3/30) „Aku tidak ingin mengotori cinta kita dengan hal-hal yang tidak semestinya‟ (146)
Malah ora apik tumrap kasarasan raga.(ASR/P6/63) „Malah tidak baik untuk kesehatan raga‟
(147) Angin ketiga wiwit ngithik-ithik katentreman jiwa.(ASR/P7/67) „Angin kemarau mulai menggelitik ketentraman jiwa‟ (148) Nanging inggih ningali kawontenan.(ASR/P8/87) „Tetapi ya melihat keadaan‟ (149) Ambegane Intan sing kebak kalegan iku ora uwal saka kawigatene Pram.(ASR/P19/206) „Nafas Intan yang penuh kelegaan itu tidak lepas dari perhatian Pram‟ (150) “...,nanging kaendahan tetep mili jroning kaweningan ati.” Pram merem. (ASR/P27/299) „...,tetapi keindahan tetap mengalir dalam kebersihan hati‟
72 (151) Dadi kaya sing takkandhakake mau, kaendahan tetep mili jroning kaweningan ati.(ASR/P28/301) „Jadi seperti yang aku bilang tadi, keindahan tetap mengalir dalam kejernihan hati‟ (152) .., kanggo mangerteni tugas uripe sing kudu nengenake kautaman, kanggo nggayuh sampurnane urip.(ASR/P28/302) „...,untuk mengerti tugas hidup yang harus keutamakan kebaikan, untuk meraih kesempurnaan hidup.‟ (153) Kasedhihan, kabagyan, seneng, bungah lan sapanunggalane, kabeh mapane ana rasa.(ASR/P28/303) „Kesedihan, kebahagiaan, senang, gembira dan lain-lainnya, semua berada pada rasa‟ (154) ..., padha dene ngajeni kanthi ukara liya priya lan wanita nduweni kalungguhan kang sababag. (ASR/P29/313) „...,saling menghormati dengan kalimat lain pria dan wanita mempunyai posisi yang sama‟. (155) Ning kasunyatan sing ana, akeh priya sing rumangsa luwih kuwasa,...(ASR/P29/313) „Tapi kenyataan yang ada, banyak priya yang merasa lebih berkuasa,...‟ Data (143) sampai (155) merupakan wujud konfiks {ka-, -an} dalam novel Alun Samudra Rasa. Konfiks {ka-,-an} terjadi pada kata kawicaksanan „kebijaksanaan‟ berasal dari kata dasar wicaksana „bijaksana‟ ditambah konfiks {ka-,-an} menjadi kawicaksanan „kebujaksanaan, kata kaprabawan „prabawa‟ berasal dari kata dasar prabawa „penguasa‟ ditambah konfiks {ka-, -an} menjadi kaprabawan „penguasa‟, kata katresnan „cinta‟ berasal dari kata dasar tresna „cinta‟ ditambah konfiks {ka-,-an} menjadi katresnan ‟cinta‟, kata kasarasan „kesehatan‟ berasal dari kata dasar saras „sehat‟ ditambah konfiks {ka-,-an} menjadi kasarasan „kesehatan‟, kata katentreman „ketentraman‟ berasal dari kata dasar tentrem „tentram‟ ditambah konfiks {ka-,-an} menjadi katentreman „ketentraman‟, kata kawontenan „keadaan‟ berasal dari kata dasar wonten „ada‟ ditambah konfiks {ka-,-an} menjadi kawontenan „keadaan‟, kata kalegan
73 „kelegaan‟ berasal dari kata dasar lega „lega‟ ditambah konfiks {ka-, -an} menjadi kalegan „kelegaan‟, kata kaweningan „kebersihan‟ berasal dari kata dasar wening „bersih/jernih/bening‟
ditambah
konfiks
{ka-,-an}
menjadi
kaweningan
„kebersihan‟, kata kaendahan „keindahan‟ berasal dari kata endah „indah‟ ditambah konfiks {ka-,-an} menjadi kaendahan „keindahan‟, kata kautaman „keutamaan‟ berasal dari kata dasar utama „pertama‟ ditambah konfiks {ka-, -an} menjadi kautaman „keutamaan‟, kata kasedhihan „kesedihan‟ berasal dari kata dasar sedhih „sedih‟ ditambah konfiks {ka-,-an} menjadi kasedihan „kesedihan‟, kata kabagyan „kebahagiaan‟ berasal dari kata dasar bagya „bahagia‟ ditambah konfiks {ka-,-an} menjadi kabagyan „kebahagiaan‟, kata kalungguhan „posisi, pangkat‟ berasal dari kata dasar lungguh „posisi/pangkat‟ ditambah konfiks {ka-, an} menjadi kalungguhan „posisi/pangkat‟, dan kata kasunyatan „kenyataan‟ berasal dari kata dasar sunyata „nyata‟ mendapat imbuhan konfik {ka-,-an} menjadi kasunyatan „kenyataan‟, yang semuanya berfungsi sebagai pembentuk kata benda atau tembung aran. c)
Konfiks {sa-, -an} (156) ya sing sabar. Perkawinanmu karo Bregas paribasane rak lagi saumuran jagung. (ASR/P6/66) „Yang sabar. Perkawinanmu dengan Bregas ibarat baru seumur jagung‟ Data (156) merupakan wujud bentuk konfiks {sa-,-an} yaitu pada kata
saumuran „seumuran‟ berasal dari kata dasar umur „umur‟ ditambah konfiks {sa-, -an} menjadi saumuran „seumuran‟, membentuk kata benda yang pada konteks kalimat di atas artinya diibaratkan atau sepantaran dengan umur jagung, maksudnya baru sebentar.
74 b. Proses Reduplikasi Reduplikasi adalah proses dan hasil pengulangan satuan bahasa atau proses morfemis yang mengulang bentuk dasar, baik secara keseluruhan, sebagian (parsial), maupun dengan perubahan bunyi. 1) Pengulangan seluruh a) Pengulangan bentuk dasar secara keseluruhan dengan variasi fonem (dwilingga salin swara). Berikut data yang menggunakan pengulangan seluruh bentuh dengan variasi fonem dalam NASR karya APBn. (157) Dimong rasane seprana-seprene isih ora krasa,..(ASR/P3/27) „Di jaga perasaannya dari dulu hingga sekarang masih tidak sadar,...‟ (158) Runtang-runtung kawit isih padha dene ing SMA nganthi kuliah bareng, (ASR/P3/27) „Tidak pernah pisah dari masih sama di SMA sampai kuliah samasama‟ (159) Sekar ora wangsulan. Nanging langsung mulungake tangane lan ngethapel njaluk gendhong. Banjur ngesun pipine bundane sengaksengok kiwa tengen. (ASR/P5/51) „Sekar tidak menjawab. Tetapi langsung mengulurkan tangan dan mendekap meminta dendong. Lalu mencium pipi bundanya cipikacipiki kiri kanan.‟ (160) Angin ketiga wiwit ngithik-ithik katentreman jiwa. Ngosak-asik swasana. (ASR/P7/67) „Angin kemarau mulai menggelitik ketentraman jiwa. Memporakporandakan suasana.‟ (161) Olehe kasar, olehe gelem mara tangan lan liya-liyane nanging rasane kok isih gojag-gajeg. Mula njur trima meneng. (ASR/P7/67) „perlakuannya yang kasar, perlakuannya yang mau maen tangan dan lain sebagainya tetapi rasanya masih saja maju-mundur. Makanya lalu pilih diam.‟ (162) Pak Surtana ora kepengin anake sing mung ontang-anting ngalami urip sengsara. (ASR/P7/72) „Pak Surtana tidak ingin anaknya yang semata wayang mengalami hidup sengsara.‟
75 (163) “kopi apa iki kok enak?” pitakone karo irunge plendas-plendus nyerot aroma kopi sing kumebul saka cangkire. (ASR/P12/122) „Kopi apa ini kok enak? tanya dia sambil hidungnya kembang kempis menghirup aroma kopi yang berasap dari cangkirnya.‟ (164) “Cobanen yen wani! Bregas malah nantang karo pringas-pringis nggilani. (ASR/P13/135) „Coba saja kalau berani! Bregas menantang sambil senyam-senyum menjijikan.‟ (165) Intan lungguh. Nyawang sing duwe omah kakung putri genti-genten. (ASR/P13/139) „Intan duduk. Melihat yang punya rumah laki-perempuan bergantian.‟ (166) Yen ora sibuk Pram mesthi kerep jedhal-jedhul, utawa saora-orane aweh prasapa najan mung liwat tilpun.(ASR/27/290) „Kalau tidak sibuk Pram pasti sering muncul, atau setidak-tidaknya memberi kabar meskipun hanya lewat telepon.‟ (167) Mula rumah makan kuwi kerep dadi rumah makan alternatip mungguhe wong loro mau, ngiras-ngirus karo nitipake kendharaan ing sacedhake kono. (ASR/P27/292) „Maka rumah makan itu kerap jadi rumah alternatif mereka berdua, makan sambil menitipkan kendaraan didekat sana.‟ Data (157) sampai (167) merupukan wujud pengulangan secara utuh dengan variasi fonem (dwi lingga salin swara) yang digunakan Ardini Pangastuti Bn dalam novel Alun Samudra Rasa. Pengulangan ini berfungsi sebagai penanda suatu hal yang dilakukan bisa lebih dari satu kali atau berulang-ulang, selalu bersamaan, bergantian, rentang waktu yang lama ataupun penunjuk tunggal, yaitu seperti kata seprana-seprene „dari dulu hingga sekarang‟, runtang-runtung „tidak pernah pisah/selalu bersama‟, sengak-sengok „cipika-cipiki/mencium secara bergantian‟, ngosak-asik „memporak-porandakan/dibuat berantakan‟ berasal dari dwilingga salin swara osak-asik „membuat berantakan‟ dengan penambahan nasal {Ng-} di awal kata, gojag-gajek „maju-mundur‟, ontang-anting „semata wayang‟ artinya tidak ada yang lainnya, plendas-plendus „kembang-kempis‟ maksudnya
76 adalah mengendus-endus aroma kopi yang akan diminumnya (melakukan lebih dari satu kali), pringas-pringis „senyam-senyum‟, genti-genten „bergantian‟, jedhal-jedhul „sering muncul‟,
ngiras-ngirus
„makan bersamaan
sambil
melakukan yang lain‟ . Perulangan yang divariasikan dengan bunyi fonem yang berbeda menimbulkan penekanan pada bunyi fonem yang sama dan makna kata yang merupakan wujud tindakan yang dilakukan lebih dari satu. 2) Pengulangan suku pertama dari bentuk dasar (dwipurwa) (168) langit uga ora tau nyingitake wewadi marang bumi. (ASR/P1/1) „langit juga tidak menutupi kejelekan kepada bumi.‟ (169) ..., sadurunge dheweke njupuk cuti lan tetirah menyang omahe wong tuwane ing Yogya,...(ASR/P11/111) „..., sebelum dirinya mengambil cuti dan pindah ke rumah orang tuanya di Yogya,...‟ (170) Kenangan-kenangan mangsa kawuri tansah leledhang ngiwi-iwi. (ASR/P10/102) „Kenangan-kenangan masa lalu bersenang-senang melambai-lambai‟ (171) Tulung aku aja mbok geguyu, aja mbok cecenges. (ASR/P11/119) „Tolong aku jangan ditertawakan, jangan kamu ledek‟. Data (168) sampai (171) terdapat pengulangan suku kata pertama atau dwipurwa yaitu pada wewadi „kejelekan‟ yang berasal dari kata wadi „kejelekan‟ yang mengalami perulangan suku kata awal menjadi wewadi „kejahatan‟, kata tetirah „pindah/minggir‟ berasal dari kata dasar tirah „pindah/pinggir‟ mengalami perulangan sebagian di awal suku kata menjadi tetirah „pindah‟. Selanjutnya kata leledhang „bersenang-senang/bermain‟ yang berasal dari kata dasar ledhang „bermain‟ mengalami perulangan di awal suku kata menjadi leledhang „bersenang-senang‟. Kemudian kata geguyu „menertawai‟ berasal dari kata dasar guyu „tawa/ketawa‟ mengalami perulangan pada awal suku kata menjadi kata kerja pasif geguyu dalam konteks kalimat di atas bermakna „ditertawakan‟, dan
77 kata kerja cecenges termasuk dwipurwa yang mengalami perulangan di awal suku kata, dari kata cenges „ledek‟ menjadi cecenges „ledek‟. Perulangan pada awal suku kata berfungsi mempertegas makna dari kata hasil pola perulangan bunyi. 3) Pengulangan berkombinasi dengan penambahan afiks Novel Alun Samudra Rasa selain menggunakan reduplikasi utuh dengan variasai
fonem
dan
dwipurwa,
juga
banyak
menggunakan
perulangan
berkombinasi dengan penambahan afiks seperti data dibawah ini. a)
Perulangan berkombinasi dengan penambahan afiks (sufiks –an) (172) kerep menehi tip utawa oleh-oleh yen mentas lelungan.(ASR/P) „sering memberi tip atau oleh-oleh sehabis berpergian.‟ (173) Wis ngono isih diunek-unekake kanthi tetembungan kasar sing ora tau dirungu...(ASR/P3/24) „Sudah begitu masih dimarah-marahi dengan perkataan kasar yang tidak pernah didengar...‟ (174) “Sing jenenge wong jejodhowan kuwi pancen gampang-gampang angel...” (ASR/P7/67) „Yang namanya orang berumah tangga itu memang gampanggampang susah...‟ (175) ...ujug-ujug lunga menyang Yogya, tanpa kandha-kandha, tanpa rerasanan sadurunge. (ASR/P8/80) „...tiba-tiba pergi ke Yogya, tanpa bilang-bilang, tanpa pembicaraan sebelumnya. (176) Kenangan mangsa kawuri iku terus jejogetan ing tlapukan mripat. (ASR/P7/76) „Kenangan masa lalu itu terus menari-nari dipelupuk mata‟ Perulangan atau reduplikasi juga terjadi pada data (172) sampai (176).
Reduplikasi atau perulangan awal suku kata berkombinasi dengan sufiks {-an} di akhir kata, yaitu pada kata lelungan „berpergian‟ berasal dari kata dasar lunga „pergi‟ mengalami perulangan di awal suku kata menjadi lelunga „bepergian‟ dan mendapat sufiks {-an} menjadi lelungan „bepergian‟, kata tetembungan
78 „perkataan‟ berasal dari kata dasar tembung „kata‟ mengalami perulangan keseluruhan di awal suku kata menjadi tetembung „perkataan‟ mendapat sufiks {an} di akhir kata menjadi tetembungan „perkataan‟, kata jejodhowan „berumah tangga‟ berasal dari kata jodho „jodoh‟ mengalami perulangan sebagian diawal suku kata menjadi jejodho dan mendapat tambahan sufiks {-an} menjadi jejodhowan „berumah tangga‟. Data (197) kata rerasanan „pembicaraan‟ berasal dari kata rasan „berbicara‟ mengalami perulangan sebagian di awal suku kata menjadi rerasan „melakukan pembicaraan‟ mendapat sufiks {-an} menjadi rerasanan „saling melakukan pembicaraan‟, kata (198) jejogetan „menari-nari‟ berasal dari kata dasar joget „menari‟ mengalami perulangan di awal suku kata menjadi
jejoget „menari‟ ditambah denagn sufiks {-an} menjadi jejogetan
„menari-nari‟. Sufiks {-an} yang ditambahkan pada kata yang mengalami perulangan di awal suku kata berfungsi menambah kelitereran pada novel ASR. 2. Kosakata Bahasa Indonesia. Kosakata bahasa Indonesia dalam novel Alun Samudra Rasa karya Ardini Pangastuti Bn digunakan karena suatu kata atau istilah kata akan terdengar ganjil jika menggunakan bahasa Jawa. Berikut adalah beberapa data yang menggunakan bahasa Indonesia: (177) ...Pak Paimin , sopir perusahaan sing biasa antar jemput dheweke. (ASR/P1/2) „... Pak Paimin, sopir perusahaan yang biasa antar jemput dirinya‟ (178) Pakaryan minangka sales alat-alat pertanian,..(ASR/P1/5) „Pekerjaan menjadi sales alat-alat pertanian‟
(179) ..., ngono wae kadhang uga isih dadi jubir perusahaan...(ASR/P1/6) „..., seperti itu kadang juga masih jadi jubir perusahaan‟
79 Data (177) sampai (179) terdapat penggunaan kosakata bahasa Indonesia, yaitu antar jemput, sales alat-alat pertanian, dan jubir. Kosakata bahasa Indonesia antar jemput, sales alat-alat pertanian, dan jubir tergolong pada kosakata yang berhubungan dengan jenis pekerjaaan. Pak Paimin sebagai sopir perusahaan yang kerjaannya antar jemput karyawan. Bregas, suami Intan yang bekerja sebagai sales alat-alat pertanian, dan Intan yang terkadang menjabat sebagai jubir di perusahaannya. Penggunaan kosakata berbahasa Indonesia dalam novel ASR berfungsi untuk menggambarkan latar belakang pekerjaan tokoh-tokoh yang terdapat dalam NASR. Penggunaan kosakata berbahasa Indonesia sebagai wujud memperkenalkan latar belakang sosial tokohnya, digambarkan pada awal-awal perangan. (180) Intan dianggep bisa dadi jembatan penghubung antarane perusahaan karo karyawan. (ASR/P2/15) „Intan dianggap bisa menjadi jembatan penghubung atara perusahaan dan karyawan‟ (181) Dadi sambil menyelam minum kopi. (ASR/P8/83) „Jadi sambil menyelam minum kopi‟ (182) Antarane tresna marang anak utawa demi anak sing kuwi ateges dheweke kudu ngorbanake dhiri lan tresna marang priya idhaman sing ora ana kabul kawusanane alias cinta yang tak berujung. (ASR/P26/284) „Antara cinta kepada anak atau demi anak yang artinya dia harus mengorbankan diri dan cinta kepada lelaki idaman yang tidak ada kabul kawusanane alias cinta yang tak berujung.‟ (183) Ning wong sing kalem kaya iku kadhang-kadhang malah nyolong pethek. Kowe ngerti peribahasa air tenang menghanyutkan ta? Rame swara-swara ing njero dhadhane. (ASR/P19/207) „Tetapi orang yang pendiam seperti itu kadang-kadang malah berkebalikan dengan yang diperkirakan. Kamu tau peribahasa air tenang menghanyutkan kan? Ramai suara-suara di dalam dadanya‟ (184) Kesempatan kanggo kuwi temene ana, ning Pram ora duwe kuwanen. Wedi yen dianggep manfaatke kesempatan dalam kesempitan. (ASR/P20/214)
80 „Kesempatan untuk itu sebenarnya ada, Tetapi Pram tidak punya keberanian. Takut kalau dianggap memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan‟ (185) Sebab atas nama cinta, ora arang wong sing tega lan tegel marang wong kang jare ditresnani, cilike mung nyiksa, gedhene tekan merjaya. (ASR/P22/237) „Sebab atas nama cinta, tidak jarang orang yang tega dan tidak berbelas kasih, sedikitnya hanya menyiksa, parahnya sampai dibunuh.‟ Data nomor (180) sampai (185) terdapat penggunaan kosakata oleh Ardini Pangastuti Bn dalama NASR. Ardini Pangastuti Bn, mencoba memasukan peribahasa, istilah, perumpamaan dan pengibaratan berbahasa Indonesia kedalam novel yang dikarangnya, seperti jembatan penghubung, sambil menyelam minum kopi, alias cinta yang tak berujung, air tenang menghanyutkan, kesempatan dalam kesempitan, atas nama cinta. Kosakata bahasa Indonesia yang berwujud peribahasa, istilah, perumpamaan maupun pengibaratan tersebut berfungsi agar pembaca tidak hanya sekedar membaca novel tanpa adanya pengalaman lain yang didapat, tetapi juga mendapatkan pelajaran ataupun motivasi baik itu tersurat maupun tersirat yang terdapat dalam peribahasa, istilah, perumpamaan maupun pengibaratan yang ada didalamnya. Selain itu kosakata bahasa Indonesia juga terdapat pada data sebagai berikut. (186) Dina sesuke Intan langsung ngadhep Mister Tanaka, kandha terus terang yen arep mengundurkan diri saka perusahaan. (ASR/P14/146) „Hari berikutnya Intan langsung menghadap Mister Tanaka, berbicara terus terang kalau ingin mengundurkan diri dari perusahaan‟ (187) Ning kober nembung yen omah Semarang arep dipanggoni dhisik, sinambi nunggu papan penempatan saka perusahaan. (ASR/P26/281)
81 „Tetapi sempat meminta kalau rumah di Semarang akan ditempati dahulu, sembari menunggu tempat penempatan dari perusahaan.‟ Data (186) dan (187) merupakan wujud kosakata berbahasa Indonesia yang berhubungan dengan kegiatan dunia pekerjaan, seperti kata mengundurkan diri dan penempatan. Data (186) menceritakan Intan Purnami yang ingin keluar dari perusahaaan dan ingin memulai hidup barunya dan tinggal di Yogyakarta. Sedangkan data (187) menceritakan Bregas, mantan suami Intan meminta ijin agar diperbolehkan menempati rumahnya terlebih dahulu, sampai menunggu penempatan atau dipindahkan pekerjaan. (188) Intan dhewe uga bisa menempatkan diri. (ASR/P14/148) „Intan sendiri juga bisa menempatkan diri‟ (189) Intan cukup tau diri, sapa dheweke lan sapa Pram. (ASR/P20/211) „Intan cukup tau diri, siapa dirinya dan siapa Pram.‟ (190) Biasane ya ngono. Ines tansah meledak-ledak, nanging mengko saya suwe-saya suwe njur nglendhoh.Lilih dewe. (ASR/P31/335) „Biasanya ya seperti itu. Ines begitu meledak-ledak, tetapi nanti semakin lama semakin berkurang. Luluh sendiri.‟ Data (188) sampai (190) wujud lain kosakata bahasa Indonesia yang digunakan APBn dalam NASR. Kali ini APBn memasukkan kosakata bahasa Indonesia yang berhubungan dengan sikap manusia, seperti kata menempatkan diri dalam konteks kalimat di atas artinya Intan mampu memposisikan siapa dirinya, dan siapa Mr. Tanaka. Kata tau diri mempunyai maksud bahwa Intan cukup bisa memahami siapa dirinya dan siapa Pram, sehingga dia harus bisa bersikap dengan baik, karena keadaannya yang terjadi antara dirinya dan Pram sudah berbeda. Selanjutnya kata meledak-ledak yang mewujudkan ekspresi sikap marah seseorang yang berlebihan.
82 (191) Pembukaan cukup regeng senajan mung diestreni pejabat setempat. Kiriman bunga ucapan selamat teka saka ngendiendi,...(ASR/P20/210) „Pembukaan cukup ramai meskipun hanya didatangi pejabat setempat. Kiriman bunga ucapan selamat datang dari berbagai kalangan,...‟ (192) Dina iki ana seminar Peluang di Pariwisata dan Ekonomi Kreatip sing digelar ing sawijining hotel bintang papat. (ASR/P16/166) „Hari ini ada seminar Peluang di Pariwisata dan Ekonomi Kreatip yang digelar disalah satu jotel bintang empat‟ Data (191) dan (192) merupakan wujud kosakata bahasa Indonesia yaitu pada kata bunga ucapan selamat dan Peluang di Pariwisata dan Ekonomi Kreatip. Kosakata bahasa Indonesia tersebut digunakan karena jika ditranslate kedalam bahasa Jawa akan terdengar aneh. (193) Semangat untuk melayani dengan setulus hati ora mung saderma slogan, ning bener-bener diayati tenan.(ASR/P22/235) „Semangat untuk melayani dengan setulus hati tidak hanya sekedar slogan, tetapi sungguh-sungguh dihayati benar.‟ Seperti pada data (193) di atas merupakan kosakata bahasa Indonesia yang berhubungan dengan slogan yang biasanya digunakan oleh seseorang yang bekerja dalam bidang jasa, seperti Intan Purnami yang menjual jasa penjualan lukisan. Di harapkan kata tersebut tidak hanya sebatasa slogan, tetapi pelayanan yang benar-benar harus dihayati. (194) Biasane Intan mesthi dikontak dhisik yen arep ana kunjungan kaya iku. (ASR/P22/236) „Biasanya Intan pasti dikontak dahulu kalau akan ada kunjungan seperti itu.‟ (195) Pokoke sauger isih bisa dijangkau bakal diupayakake nekani dhewe. (ASR/P25/271) „Pokoknya seumpama masih bisa dijangkau bakal diupayakan‟ (196) Kamangka rasa kuwi benda abstrak sing ukurane uga relatip. (ASR/P28/304) „Padahal rasa itu benda abstrak yang ukurannya juga relatif‟
83 Data (194) sampai (196) merupakan kosakata yang juga digunakan oleh APBn dalam novel ASR yaitu terdapat pada kata kunjungan, dijangkau, benda abstrak, dan relatip. Penggunaan kosakata bahasa Indonesia pada data di atas selain sebagai variasi bahasa agar tidak monoton memakai bahasa Jawa, kesulitan untuk memadankan kata kedalam bahasa Jawa mungkin juga dialami, sehingga agar tidak mengubah makna maka digunakanlah kosakata bahasa Indonesia tersebut. 3.
Kosakata Bahasa Asing. Sebuah novel berbahasa Jawa, selain kadang memasukan beberapa
kosakata berbahasa Indonesia, tidak jarang pula memasukan kosakata berbahasa asing. Pada NASR karya APBn terdapat beberapa kata yang menggunakan kosakata berbahasa asing, khususnya bahasa Inggris. Kosakata bahasa Inggris digunakan untuk memberikan paduan yang indah ketika membaca, selain itu juga kosakata bahasa inggris akan terasa ganjil jika harus diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa. Adapun data yang memuat kosakata berbahasa Inggris, adalah sebagai berikut: (197) Intan noleh. Dha-dha marang Sekar sing banjur dibales kanthi kiss by dening bocah cilik iku. (ASR/P1/2) „Intan menoleh. Da-da kepada Sekar yang langsung dibalas dengan kiss by oleh bocah kecil itu‟ (198) Sadurunge buka lawang mobil, isih keprungu swarane Mona, baby sitter sing momong Sekar. (ASR/P1/2) „Sebelum membuka pintu mobil, masih terdengar suara Mona, baby sitter yang mengasuh Sekar.‟ (199) Saiki ing playgroup apa dene TK, kata pengantare wis nganggo basa Indonesia.(ASR/P6/59) „Sekarang di Play group seperti halnya TK, kata pengantarnya sudah memakai bahasa Indonesia.‟
84 (200) Intan tumuju parkiran sepedha motor ing bassemen(ASR/P10/101) „Intan menuju parkiran sepeda motor di bassemen.‟ (201) Kejaba ora mood, Intan uga isih trauma karo sing lanang. (ASR/P13/135) „Selain tidak mood, Intan juga masih trauma dengan suaminya‟ (202) Kita bisa nyiptakake image kanggo narik minat para turis kuwi. (ASR/P19/201) „ Kita bisa menciptakan image untuk menarik minat para turis itu‟ (203) Sawise kabeh persiapan mateng, pungkasane art shop iku klakon dibuka. (ASR/P20/209) „Setelah semua persiapan matang, akhirnya art shop itu terlakasana dibuka.‟ (204) Piyayine pancen ayu, kanthi status single parent. (ASR/P20/218) „Orangnya memang cantik, dengan status single parent.‟ (205) Kowe dadi katon anggun kanthi sepatu modhel stiletto kaya iku..”(ASR/P21/222) „Kamu jadi terlihat anggun dengan sepatu model stiletto seperti itu.‟ Penggunaan kosakata bahasa asing dalam hal ini adalah bahasa Inggris yang digunakan APBn nampak pada data nomor (197) sampai (205) yaitu kata kiss by, baby sitter, play group, bassemen, mood, image, art shop, single parents, dan stiletto merupakan kosakata bahasa Inggris yang sudah sering digunakan dalam percakapan maupun dalam kalimat bahasa Indonesia dan bahasa Jawa. Kosakata bahasa asing tersebut dianggap sudah familiar digunakan dalam kehidupan masyarakat, seperti kata kiss by, kata tersebut digunakan saat seseorang mau berpisah ataupun pamit berpergian, memiliki padanan dalam bahasa Indonesia yaitu cium jauh. Kata baby sitter, kata tersebut biasa digunakan sebagai sebutan untuk seseorang yang bekerja sebagai pengasuh anak. Kata play group biasa digunakan seseorang dalam bidang pendidikan anak, play group adalah sebuatan untuk instasi yang bergerak dalam bidang pendidikan anak, berbentuk sekolah untuk anak-anak sebagai tempat bermain sebelum menginjak usia wajib belajar
85 ataupun sebelum masuk TK, hal tersebut sesuai dengan umur Sekar yang menginjak umur 3 tahun. Kata bassemen merupakan sebutan untuk tempat parkir yang berada di lantai paling bawah, biasanya terdapat pada mall, atau pusat perbelanjaan berbentuk gedung bertingkat dan besar. Istilah mood biasa berhubungan dengan naik turunnya emosi seseorang, dikatakan mood jika seseorang tersebut mau dan sedang baik kondisi pikiran serta perasaannya. Kata image dan art shop, merupakan istilah yang biasa dikaitkan dengan karya seni khususnya seni gambar, lukis, maupun patung yang memiliki panjang dan lebar, maupun panjang lebar dan tinggi. Istilah single parent digunakan karena dianggap lebih sopan, lebih terkesan ilmiah dibanding dengan istilah janda maupun duda. Selanjutnya adalah stiletto, istilah tersebut digunakan untuk sebutan model sepatu wanita yang memiliki hak tinggi dan terkesan modis. Penggunaan kosakata maupun istilah berbahasa Inggris oleh APBn dalam NASR yaitu agar bahasa nampak lebih ilmiah, dapat menyatu dengan bahasa yang digunakan oleh keseharian pembaca dan mungkin istilah tersebut akan terasa ganjil, terlalu bertele-tele jika harus diterjemahkan kedalam bahasa Jawa. 4. Sinonim Sinonim adalah kata, frasa atau klausa yang memiliki kemiripan makna dengan kata bentuk lain. Sinonim (padan kata) dilihat dari unsur-unsur bahasa atau kategorinya dapat dibedakan anatara sinonimi kata dengan kata, kata dengan frasa atau sebaliknya, frasa dengan frasa, dan klausa dengan klausa (Sumarlam, 2013:157). (206) sebab senajan negara agraris, olah tani utawa tetanen... (ASR/P1/5) „sebab meskipun negara agraris, bertani atau tetanen...‟
86 (207) Kuwi wae jenenge uga dudu sepedha motor nanging sepedha kumbang utawa udhug. (ASR/P1/8) „Itu saja namanya bukan sepeda motor tetapi sepeda kumbang atau udug‟ (208) ...,sesambungane intan karo bose pancen ora kaya sesambung anantarane majikan lan karyawan, nanging luwih mujudake mitra. Sahabat! (ASR/P2/15) „..., hubungan Intan dengan bosnya memang tidak seperti hubungan antara majikan dan karyawan, tetapi lebih mewujudkan teman. Sahabat!‟ (209) ...,mligine karyawan cilik sing kerep oleh embel-embel kanthi sebutan buruh. (ASR/P2/15) „..., khususnya karyawan kecil yang kerap dapat embel-embel dengan sebutan buruh‟ (210) Wangi mawar, arum melathi , saka mangsa kawuri.(ASR/P9/90) „Harum mawar, bau melati, dari masa lalu.‟ (211) “Ibu tetep nunggoni ing Semarang kene nganti urusanmu rampung...(ASR/P14/145) „Ibu tetap menunggu di Semarang sini sampai urusanmu selesai...‟ Tresnane biyung marang anak sing ora bisa diukur jerone lan ora bisa diganteni nganggo apa wae. (ASR/P25/272) „Kasih sayang ibu kepada anak tidak bisa diukur dalamnya dan tidak bisa diganti dengan apapun‟. (212) Kanthi ngusung konsep tradhisional modern, nyawijekake utawa ngawinake antarane sing tradhisional karo modern, kaya sing dirancang sakawit. (ASR/P20/209) „Dengan mengusung konsep tradisional modern, menggabungkan atau memadukam antara yang tradisional dengan modern, seperti yang dirancang dari awal.‟ (213) Sebab atas nama cinta, ora arang wong sing tega lan tegel marang wong kang jare ditresnani, cilike mung nyiksa, gedhene tekan merjaya. (ASR/P22/237) „Sebab atas nama cinta, tidak jarang orang tega dan tidak punya belas kasih terhadap orang yang dianggap dicintai, sedikitnya hanya menyiksa, parahnya sampai dibunuh‟
87
(214) Kuwi rumah makan anyar sing ngusung konsep masakan kampung alias masakan ndesa kang saiki lagi digandrungi.(ASR/P23/249) „Itu rumah makan sayur baru yang mengusung konsep masakan kampung alias masakan desa yang sekarang sedang diminati‟ (215) Temene Intan wis wegah urusan karo Bregas. Ora mung saderma jeleh, bosen, lan sapanunggalane, nanging luwih saka kuwi. (ASR/P25/271) „Sebenarnya Intan sudah tidak mau berurusan dengan Bregas. Tidak hanya sekedar jeleh, bosan dan lain sebagainya, tetapi lebih dari itu.‟ (216) Samudra sing ora tau anteng, kadhang ombak kekitrang nut tumiyupe samirana. (ASR/P27/285) „samudra yang tidak pernah tenang, kadang ombak bergerak searah tiupan angin‟ Angin sumilir lembut, ngelus kulit lan kala-kala nakal dolanan rambut. (ASR/P28/307) „Angin bersemilir lembut, meraba kulit dan kadang-kadang bermain rambut‟ (217) Samudra sing ora tau anteng, kadhang ombak kekitrang nut tumiyupe samirana. „samudra yang tidak pernah tenang, kadang ombak bergerak searah tiupan angin‟ Kadhang alun gumulung tanpa kendhat. (ASR/P27/285) „Kadang ombak bergulung tanpa berhenti‟ (218) Awit urip iku sejatine perjuangan. Sebab hukume jagad iku obah, gerak. (ASR/P28/298) „Mulai hidup itu sejatinya perjuangan. Sebab hukumnya alam itu obah, gerak.‟ (219) ..., yen lagi buneg Pram biasane munggah gunung, golek katentreman- dene piyayi mau tujuane arep manekung ing pucuking ardi. (ASR/P28/302) „..., kalau sedang susah Pram biasanya naik gunung, mencari ketentraman-sedangkan orang tadi tujuannya mau bertapa di pucuk gunung‟ (220) Ati sing ora tau goroh. (ASR/P29/306) „Hati yang tidak pernah bohong‟ ..., banjur katut iline getih mlebu jroning nala. (ASR/P29/308) „..., lalu ikut mengalirnya darah masuk ke dalam hati‟.
88
(221) Rembulan gumandhul ing langit sing biru resik. (ASR/P/29/310) „Rembulan menggantung dilangit yang biru bersih‟ Dinikmati rasa anget kang mili ing dhadhane. Rasa anget kang nentremake, rasa anget kang bisa nggawa pikirane nglayang ing awang-awang, mabur ing antarane mega-mega lan njoged ing sorote kluwung...(ASR/P28/307) Dinikmati rasa hangat yang mengalir di dadanya. Rasa hangat yang menentramkan, rasa hangat yang bisa membawa pikiran melayang di langit, terbang di antara awan-awan dan menari di pancaran sinar.‟ (222) Nalika angin pancaroba ngendhih sumilire samirana. (ASR/P30/319) „Ketika angin pancaroba mengalahkan semilirnya angin‟. Data (206) sampai (222) merupakan bentuk data yang mengandung sinonim yang digunakan APBn dalam ASR. Sinonim yang terjadi adalah sinonimi frasa dengan kata, dan sinonim kata dengan kata, yaitu frasa olah tani bersinonim dengan kata tetanen keduanya bermakna bertani, frasa sepedha kumbang bersinonimi dengan kata udhug keduanya bermakna sepeda motor, kata mitra bersinonimi dengan kata dalam bahasa indonesia sahabat keduanya memiliki makna teman, frasa karyawan cilik „buruh‟ bersinonim dengan kata buruh „buruh‟, kata wangi „harum/bau‟ bersinonim dengan kata arum „harum/bau‟, kata ibu „ibu‟ bersinonim dengan kata biyung „ibu‟, kata nyawijekake „memadukan‟ bersinonim dengan kata ngawinake „memadukan‟, kata tega „tega‟ bersinonim dengan kata tegel „tega‟, kata kampung „kampung‟ bersinonim dengan kata ndesa „kampung‟, kata jeleh „bosan‟ bersinonim dengan kata bosen „bosan‟, kata samirana „angin‟ bersinonim dengan kata angin „angin‟, kata ombak „ombak‟ bersinonim dengan kata aluni „ombak‟, kata obah „bergerak‟ bersinonim dengan kata gerak „gerak‟, kata gunung „gunung‟ bersinonim dengan kata ardi „gunung‟,
89 kata ati „hati‟ bersinonim dengan nala „hati‟, dan kata langit „langit‟ bersinonim dengan kata awang-awang „langit‟, serta kata angin „angin‟ bersinonim dengan kata samirana „angin‟. Sinonim tersebut digunakan agar kata yang digunakan lebih bervariasi, tidak menimbulkan kemonotonan bahasa dan dapat menjadi tolak ukur pembendaharaan kata sang pengarang. Sinonimi yang memiliki jumlah persamaan kata lebih dari satu bentuk kata terdapat pada data di bawah ini. (223) ..Intan lagi wani ngutahake banyu mripat. (ASR/P3/24) „...Intan baru berani mengeluarkan air mata.‟ Luhe enggal diusapi banjur menyat marani kaca pangilon. (ASR/P3/26) „Air mata buru-buru diusap lalu bergegas menghampiri kaca berhias... Kepeksa sinerat nganggo tetesan waspa. (ASR/P14/142) „Terpaksa tersampaikan dengan tetesan air mata‟ (224) Ines kedanan alias jatuh cinta setengah mati marang Pram... (ASR/P21/223) „Ines tergila-gila alias jatuh cinta setengah mati kepada Pram...‟ Intan isih nyimpen tresna kanggo Pram,...(ASR/P20/211) „Intan masih menyimpan cinta untuk Pram,...‟ (225) dhasare sing lanang kuwi wis suwe olehe cubriya marang sing wadon. (ASR/P2/21) „Dasar laki-laki itu sudah lama curiga dengan wanitanya‟ Saru, mosok jejere wanita kok ngrembug prekara libido. (ASR/P3/33) „Gak baik, masak dekat wanita kok membahasa masalah libido‟. “...Aku akan berbaik hati mengambilkan uang untukmu,” kandhane Ika salah siji saka cewek sing ngancani iku. (ASR/P4/35) „...Aku akan berbaik hati mengambilkan uang untukmu,” kata Ika salah satu dari wanita yang menemani itu. Bregas minangkani panjaluke Ika kanthi menehi tip tambahan marang kenya iku. (ASR/P4/36)
90 „Bregas menuruti permintaan Ika dengan memberi tip tambahan kepada wanita itu. Intan lungguh. Nyawang sing duwe omah kakung putri genti-genten. (ASR/P13/139) „Intan duduk. Melihat yang punya rumah laki perempuan bergantian. Jarene yen anak wedok kuwi bapak luwih berhak tinimbang ibu. (ASR/P27/289) „Katanya kalau anak perempuan itu bapak lebih berhak daripada ibu‟. (226) “Wong lanang sing gelem maratangan utawa mularasa sing wadon dudu priya sing jantan, ora sembada karo olehe dadi lanang sing kudune ngayomi wanita kang ringkih nanging dheweke malah kosok baline”... (ASR//P6/53) „Lelaki yang mau main tangan atau menyakiti perempuan bukan pria yang jantan, tidak sebanding denganya menjadi laki-laki yang harusnya mengayomi wanita yang lemah tetapi dia malah sebaliknya‟. “...Nanging ora kena menghakimi,” ujare Bu Surtana marang sing kakung. (ASR/P6/65) „...tetapi tidak boleh menghakimi,” kata Bu Surtana kepada suaminya‟. Tresna kang karajut antarane jalu lan wanita. (ASR/P9/98) „Cinta yang terajut antara laki-laki dan perempuan‟. Akeh cowok sing kedanan lan ngarep-arep tresnane. (ASR/P21/223) „Banyak laki-laki yang tergila-gila dan mengharap cintanya‟. Data (223) sampai (226) merupakan bentuk sinonim kata dan frasa, yang memiliki bentuk kata lebih dari dua tetapi masih mempunyai persamaan makna yang sama, seperti frasa banyu mripat „air mata‟ yang bersinonim dengan kata luh „air mata‟, dan kata waspa „air mata‟, ketiganya memiliki makna sama yaitu airmata. Kata kedanan „jatuh cinta‟, bersinonim dengan frasa jatuh cinta „jatuh cinta‟ dan bersinonim pula dengan kata tresna „jatuh cinta‟. Kata yang mempunyai persamaan kata lebih dari dua serta mempunyai makna hampir sama, terdapat pada persamaan makna kata „wanita‟ dengan bentuk kata lain menjadi
91 wadon, wanita, cewek, kenya, putri, dan kata wedok. Sedangkan kata priya, lanang, kakung, jalu, dan kata cowok, kelima kata tersebut mempunyai makna kata yang berdekatan dengan kata lelaki. Makna kata „wanita‟ dan „lelaki‟ dimasukan dalam kategori sinonim kata bukan dasanama, karena dalam novel bentuk kata yang ditemukan tidak mencapai sepuluh kata. Sedangkan dimaksud dasanama adalah wong siji darbe jeneng sepuluh „satu orang mempunyai nama sebanyak sepuluh‟. Sinonim kata dalam novel ASR dimaksudkan untuk menambah variasi agar tidak menimbulkan kejenuhan, meningkatkan kosakata bahasa Jawa pembaca dan sebagai tolak ukur penguasaan bahasa oleh pengarang. 5. Antonim Antonimi dapat diartikan sebagai nama lain untuk benda atau hal yang lain; atau satuan lingual yang maknanya berlawanan/beroposisi dengan satuan lingual yang lain (Sumarlam, 2013:63). Antonimi disebut juga oposisi makna. Berdasarkan sifatnya, oposisi makna dapat dibedakan menjadi lima macam, yaitu (a) oposisi mutlak, (b) oposisi kutub, (c) oposisi hubungan, (d) oposisi hirarkial, dan (e) oposisi majemuk. a. Oposisi Mutlak (227) Gelem ora, wegah uga ora. (ASR/P3/28) „Mau tidak, menolak juga tidak‟ (228) Nanging Intan sadhar, kuwi hake Tedy kanggo nolak utawa nampa. (ASR/P23/258) „Tetapi Intan sadar, itu haknya Tedy untuk menolak atau menerima.‟ (229) Turis manca pancen ora tau urusan karo dina, tanggal, neton lan liya-liyane. Beda karo turis domestik, akeh sing padha nyingkiri dina jum‟at. (ASR/P22/236) „Turis mancanegara memang tidak pernah berurusan dengan hari, tanggal, tahun, dan lain sebagainya. Berbeda dengan turis domestik, banyak yang menghindari hari jum‟at.‟
92 (230) Dadi sakabehe kenangan iku senajan urip ana atiku nanging aku ora kepengin mujudake jroning kanyatan. (ASR/P27/287). „Jadi semua kenangan itu meskipun hidup dalam hatiku, tetapi aku tidak ingin mewujdkannya di kenyataan.‟ Data (227) sampai (230) terdapat penggunaan antonim oposisi mutlak yaitu pertentangan makna secara mutlak pada kata gelem „mau‟ >< wegah „tidak‟, nolak „menolak‟ >< nampa „menerima‟, manca „luar negeri‟ >< domestik „dalam negeri‟, kenangan „kenangan‟ >< kanyatan „kenyataan‟. Penggunaan antonim oleh Ardini Pangastuti Bn dalam novel Alun Samudra Rasa juga terdapat pada data sebagai berikut. b. Oposisi Kutub (231) Nanging sing keri iki mandhege alus. Ora kasar kaya mau. (ASR/P1/9) „Tetapi yang terakhir ini menatapnya halus. Tidak kasar seperti tadi.‟ (232) Padhang peteng tansah gilir gumanti...(ASR/P13/131) „Terang gelap silih berganti...‟ (233) Kaya nalika tali perkawinan iku isih pengkuh, durung rapuh kaya saiki. (ASR/P13/P135) „Seperti saat tali perkawinan itu masih kokoh, belum rapuh seperti sekarang‟. (234) Sebab wektu ora lumaku mundur, nanging terus maju menyang ngarep. (ASR/P14/150) „Sebab waktu tidak berjalan mundur, tetapi terus maju ke depan‟ (235) “...Mumpung isih anget. Yen wis adhem kurang enak,”... (ASR/P18/188) „...Mumpung masih hangat. Nanti kalau sudah dingin kurang enak,”...‟ (236) Sebab atas nama cinta, ora arang wong sing tega lan tegel marang wong kang jare ditresnani, cilike mung nyiksa, gedhene tekan merjaya.(ASR/P22/237) „Sebab atas nama cinta, tidak jarang orang yang tega dan tidak peduli terhadap orang yang katanya dicintai, sedikitnya hanya menyiksa, parahnya sampai dibunuh‟
93 (237) Nganti toko tutup,...(ASR/P24/261) „Sampai toko tutup...‟ Intan nglegakake mbukak cendhela mobil dhisik,... (ASR/P1/2) „Intan menyempatkan membuka jendela mobil dahulu,...‟ (238) “Ah, Sekar jelek kalau begitu. Enggak jadi cantik. Ora sida ayu!” (ASR/P25/265) “Ah, Sekar jelek kalau begitu. Enggak jadi cantik. Tidak jadi cantik!.‟ (239) Perasaan kuwi krasa saya nyiksa. Ing sesisih dheweke tresna marang anake, ing sisih liya dheweke sengit karo bapake. (ASR/P25/272) „Perasaan itu terasa semakin menyiksa. Di sisih lain dirinya cinta terhadap anaknya, disisih lain dirinya benci dengan bapaknya.‟ (240) “Kok sepi, Bu. Sekar karo Mona menyang ngendi?” (ASR/P5/279) „Kok sepi, Bu. Sekar sama Mona pergi kemana? Gunung sing biyen dianggep sakral lan wingit iku saiki wis dadi papan wisata sing rame kang dikemonah dening Karang Taruna,...(ASR/P27/294) „Gunung yang dahulu dianggap sakral dan menyeramkan itu sekarang sudah menjadi tempat wisata yang ramai dikelola oleh Karang Taruna,...‟ (241) Bahagia, sedhih, sing manggone kabeh aneng rasa, kuwi pancen sandhangane wong urip. (ASR/P28/300) „Bahagia, sedih, yang semuanya bertempat dirasa, itu memang bawaan orang hidup.‟ (242) Ing babagan phisik, awake priya pancen luwih kuwat lan otot-otote uga luwih keker. Kekuwatane kuwi murih dheweke bisa ngayomi wanita sing kahanan awake pancen tinakdir luwih ringkih. (ASR/P29/312) „Di bab fisik, badan pria memang lebih kuat dan otot-ototnya juga lebih kekar. Kekuatanya itu supaya dirinya bisa mengayomi wanita yang keadaan badannya memang ditakdirkan lebih lemah‟. (243) Ora ana sing luwih asor lan ora ana sing luwih unggul. (ASR/P29/313) „Tidak ada yang lebih rendah dan tidak ada yang lebih tinggi.‟ (244) Rasa sumelang, wedi kelangan, cemburu lan liya-liyane njalari pikiran buthek lan ora bisa mikir wening maneh. (ASR/P29/314) „Rasa khawatir, takut kehilangan, cemburu dan lain-lainya menyebabkan pikiran kotor dan tidak bisa berpikir jernih lagi‟.
94 (245) Tresna sing padha dene bisa andum lan nampa. (ASR/P29/314) „Cinta yang sama halnya bisa memberi dan menerima‟. (246) Senajan mengko yen wis bali mlebu kamar maneh pasuryan sing sumringah langsung malik suntrut. (ASR/P30/320) „Meskipun nanti kalau sudah balik masuk kamar lagi raut wajah yang gembira langsung balik cemberut.‟ Antonimi yang terdapat pada data nomor (231) sampai (246) merupakan jenis antonim oposisi kutub, yaitu oposisi makna yang tidak bersifat mutlak, tetapi bersifat gradasi, contohnya terdapat pada kata alus „halus‟ >< kasar „kasar‟, padhang „terang‟ >< peteng „gelap‟, pengkuh „kokoh‟ >< rapuh „rapuh‟, mundur „mundur‟ >< maju „maju‟, anget „hangat‟ >< adhem „dingin‟, cilike „kecilnya‟ >< gedhene „besarnya‟, tutup „tutup‟ >< mbukak „membuka‟ berasal dari kata dasar buka „buka‟, jelek „jelek‟ >< cantik „cantik‟, tresna ‟cinta‟ >< sengit „benci‟, sepi „sepi‟ >< rame „ramai‟, bahagia „bahagia‟ >< sedhih „sedih‟, bungah „bahagia‟ >< susah „susah‟, kuwat „kuat‟ >< ringkih „lemah‟, asor „rendah‟ >< unggul „tinggi‟, buthek „kotor‟ >< wening „bening/jernih‟, andum „memberi‟ >< nampa „menerima‟, dan kata sumringah „gembira‟ >< suntrut „cemberut‟. Antonimi dalam bentuk lain juga terdapat pada data sebagai berikut. c. Oposisi Hubungan (247) Dheweke banjur nudingi nganggo mripate marang bocah loro lanang wadon...(ASR/P1/8) „Dirinya kemudian menunjuk dengan matanya kepada dua bocah laki perempuan...‟ (248) ..,sesambungane intan karo bose pancen ora kaya sesambung anantarane majikan lan karyawan, nanging luwih mujudake mitra. Sahabat! (ASR/P2/15) ..., hubungan Intan dengan bosnya memang tidak seperti hubungan antara majikan dan karyawan, tetapi lebih mewujudkan teman. Sahabat!
95 (249) Priya lan wanita, pancen cinipta beda. (ASR/P29/312) Pria dan wanita, memang diciptakan berbeda.‟ (250) Ibu lan bapak, panyawijian saka pribadi loro, priya lan wanita. (ASR/P29/313) „Ibu dan bapak, gabungan dari dua pribadi, pria dan wanita.‟ (251) Ngecek pasedhiyan, transaksi-transaksi dol tinuku lan liya-liyane. (ASR/P30/320) „Mengecek persediaan, transaksi-transaksi jual-beli dan lain sebagainya.‟ Data (247) sampai (251) merupakan wujud penggunaan antonim oposisi hubungan yaitu oposisi makna yang bersifat saling melengkapi, seperti pada kata lanang „laki‟ >< wadon „perempuan‟, majikan „majikan‟ >< karyawan „karyawan‟, pria „pria‟ >< wanita „wanita‟, ibu „ibu‟ >< bapak „bapak‟, dol „menjual‟ >< tinuku „membeli‟. Oposisi di atas saling melengkapi, seperti data (247) lanang „laki‟ adanya pria mengandaikan adanya wadon „wanita‟, begitu dengan data berikutnya yang dimungkinkan kehadirannya dapat saling melengkapi. d. Oposisi Majemuk Adapula bentuk antonimi lain yaitu oposisi majemuk yang terdapat pada data di bawah ini. (252) Tanah pekarangan ing kiwa-tengen omah uga jembar...(ASR/P6/62) „Tanah pekarangan di kiri-kanan rumah juga masih luas...‟
isih
(253) Malah kepara bisa diarani ngrujak sentul, siji ngalor siji ngidul. (ASR/P11/111) „Malah bisa dikatakan bercabang, satu ke utara satunya ke selatan.‟ Tanah pekarangan di kiri-kanan rumah juga masih luas...‟ (254) Kamangka jan-jane prawan sing luwih ganas tinimbang randha uga akeh. (ASR/P16/170) „Padahal sebenarnya perawan yang lebih ganas daripada janda juga banyak‟.
96 (255) Lha yen dibandhing karo jembare gelaran langit lan bumi, durung kalebu planet-planet...aku ora bisa mbayangake” tumanggape Pram. (ASR/P27/297) „Kalau dibandingkan dengan luasnya hamparan langit dan bumi, belum termasuk planet-planet... aku tidak bisa membayangkan,” jawab Pram.‟ (256) Kabeh wong ngalami bungah, susah, bahagia lan sedhih. (ASR/P28/300) „Semua yang dialami, senang, susah, bahagia dan sedih.‟ (257) Ngimpi apa mau bengi kok awan-awan diwirang-wirangake dening wong wedok ora duwe isin kaya kuwi. (ASR/P30/327) „Mimpi apa tadi malam kok siang-siang dijelek-jelekan oleh wanita yang tidak punya malu seperti itu‟. Kelingan marang prastawa mau awan. (ASR/P31/335) „Teringat pada peristiwa tadi siang‟. Data di atas termasuk wujud antonimi oposisi majemuk karena tidak memungkinkan bersanding dengan kata agak, lebih, dan sangat. Kata-kata yang beroposisi majemuk antara lain: kiwa „kiri‟ >< tengen „kanan‟, ngalor „ke utara‟ >< ngidul „ke selatan‟, prawan „perawan‟ >< randha „janda‟, langit „langit‟ >< bumi „bumi‟, bungah „senang‟ >< susah „susah‟ >< bahagia „bahagia‟ >< sedhih „sedih‟, seseorang dikatakan sedhih „sedih‟ tidak mesti mengalami susah „susah‟ bisa jadi sebelumnya mengalami bungah „senang‟ atau perasaan yang lain, dan dan kata bengi malam‟ >< awan „siang‟. Kata bengi „malam‟ bukan berarti dari posisi awan „siang‟ saja, tetapi harus melewati pagi, siang, dan sore dahulu sebelum menjelang malam. 6. Abreviasi atau Panyudaning Swara (Wancah) a. Aferesis yaitu pengurangan suara (suku kata) pada awal kata. Walaupun begitu makna kata tidak berubah. (Sry Satriya Tjatur Wisnu Sasangka, 2008:22)
97 (258) Bengine nalika Sekar wis turu, Pak lan Bu Surtana ngundang anake wadon, Intan Purnami sing ayu. (ASR/P6/62) „Malamnya saat Sekar sudah tidur, Pak lan Bu Surtana memanggil anak perempuannya, Intan Purnami yang paling cantik‟ (259) Adegan kaya mau meh dumadi ing saben esuk. (ASR/P1/3) „Adegan seperti itu hampir terjadi di tiap pagi.‟ (260) Pak Paimin mung mlengeh.(ASR/P1/4) „Pak Paimin Cuma tersenyum.‟ (261) “Oh Mau Mr.Tanaka pesen yen Mbak Intan wis teka didhawuhi langsung nemoni ing ruwangane,” (ASR/P1/10) „Oh tadi Mr. Tanaka berpesan kalau Mbak Intan sudah datang disuruh langsung menemui di ruangannya,‟ (262) Iya, kowe cen loyal banget yen marang si Mister. (ASR/P2/21) „Iya, kamu memang loyal sekali dengan si Mister.‟ (263) “Suk yen Mister wis teka aku arep njaluk cuti ana ka seminggu,.. (ASR/P2/26) „Besok kalau Mister sudah datang aku akan minta cunti setidaknya seminggu,...‟ (264) Nggo mundhut apa, Dhik?”ujare Mona kanggo ngalihake kawigatene Sekar. (ASR/P5/48) Untuk beli apa, Dhik?” tanya Mona sambil mengalihkan perhatian Sekar. (265) Basa Indonesia njur dibaleni nganggo basa Jawa. (ASR/P6/59) „Bahasa Indonesia lalu diulang dengan bahasa Jawa.‟ (266) “Nggih, nderek, Bu.” (ASR/P6/61) „Iya, ikut, Bu‟. (267) Ibu ki biyen kejaba mulang Bahasa Indonesia rak ya ngrangkep guru BK ta, wuk. (ASR/7/69) Ibu ini dulu selain mengajar Bahasa Indonesia juga merangkap guru BK kn, wuk. (268) Ra sah didhedhes-dhedhes dhisik,...(ASR/P6/70) „Tidak usah didesak-desak dahulu,...‟ (269) Saora-orane wong tuwa rak ya perlu ngerteni bot ribete anak,” celathune ibune. (ASR/P10/106) „Setidak-tidaknya orang tua perlu mengerti berat permasalahan anak‟
98 (270) “njenengan ki pikirane tansah ngeres. (ASR/P12/123) „kamu itu pikirannya kotor.‟ (271) Nem tau, wis akeh banget owah-owahane. (ASR/P17/182) „Enam tahun, sudah banyak perubahannya‟ (272) “Sik tak tilikane....” (ASR/P22/238) „Sebentar aku lihat dulu....” (273) Sasi ngarep wong kuwi arep mara maneh karo ngganepi kekurangane. (ASR/P22/238) „Bulan depan orang itu akan datang lagi sambil menggenapi kekurangannya‟ (274) “Ya ayo. Aku uga durung maem.”(ASR/P23/248) „Ya ayo. Aku juga belum makan.‟ (275) “Wis kana, gek ndang nyang mburi dhisik kana, mengko magribe selak entek”. (ASR/P25/266) „Sudah sana, buruan lekas ke belakang dahulu sana, nanti maghribnya keburu habis‟ (276) ...cilik banget lan ora ana tegese dibandhing karo jembare alam najan mung sawates panyawang. (ASR/P28/297) „...kecil sekali dan tidak ada apa-apanya dibanding dengan luasnya alam meskipum hanya sebatas penglihatan‟ Pada data (258) sampai (276) terdapat aferesis, yaitu pengurangan suku kata pada awal kata seperti kata pak (bapak) „bapak/ayah‟, Bu (ibu) „ibu‟, meh (ameh) „akan‟, mung (namung/amung) ‟hanya‟, wis (uwis) „sudah‟, cen (pancen) „memang‟, suk (sesuk) „besok‟, ka (saka) ‟dari‟, nggo (kanggo) „untuk‟, njur (banjur) „lalu‟, nggih (inggih) „iya‟, ki (iki) „ini‟, nem (enem) „enam‟, sik (kosik) „sebentar‟, wong (uwong) „orang‟, ra (ora) „tidak‟, bot (abot) „berat‟, ki (iki) „ini‟, ya (iya) ‟iya‟, ndang (endang) „lekas‟, nyang (menyang) „pergi ke-‟, dan penggunaan kata najan (sanajan) „meskipun‟. Penggunaan aferesis difungsikan untuk mempercepat bunyi keluar dari mulut, mengurangi spase dalam pembuatan karangan, dan sering digunakan karena tidak merubah makna kata.
99 b. Sinkop adalah pengurangan suara (fonem/suku kata) yang terdapat di tengah kata tanpa mengubah makna kata. (277) Nanging saplok prastawa wengi kuwi, syaraf-syarafe sajake ora bisa dijak kompromi. (ASR/P11/113) „Tetapi semenjak peristiwa malam itu, syaraf-syarafnya tidak bisa diajak kompromi‟ Data diatas termasuk kategori sinkop, terbukti adanya kata dijak „diajak‟ berasal dari kata diajak kemudian mengalami pengurangan suku kata {-a-} menjadi dijak „diajak‟. (278) Semangat untuk melayani dengan setulus hatiora mung saderma slogan, ning bener-bener diayati tenan. (ASR/P22/235) „Semangat untuk melayani dengan setulus hati tidak hanya sekedar slogan, tetapi sungguh-sungguh dihayati benar.‟ Data (278) adalah wujud penggunakaan sinkop, terdapat pada kata tenan „benar‟. Kata tenan „benar‟ merupakan hasil pengurangan suku kata {me-} ditengah kata temenan „benar‟, sehingga menjadi tenan „benar‟. Pengurangan suku kata tersebut selain tidak merubah makna kata juga lebih umum digunakan oleh masyarakat. (279) Saiki sithik-sithik Sekar wis bisa omongan nganggo basa Jawa. (ASR/P15/155) „Sekarang sedikit-sedikit Sekar sudah bisa berbicara memakai bahasa Jawa‟ Data di atas termasuk dalam jenis sinkop, terbukti adanya pengurangan suku kata bagian tengah dari kata sethithik-sethithik „sedikit-sedikit‟ membentuk kata sithik-sithik „sedikit-sedikit‟. Pengurangan salah satu suku kata tersebut dianggap lebih relevan, lebih singkat tanpa harus mengubah makna kata. (280) “Ning nyatane dheweke dimong wong tuwamu”. (ASR/P24/254) „Tapi kenyatannya dirinya diasuh orang tuamu‟.
100 Data diatas terdapat pengurangan suku kata bagian tengah, yaitu pada kata dimong „diasuh‟. Kata tersebut berasal dari kata dimomong „diasuh‟ yang kemudian mengalami pengurangan suku kata {-mo-} menjadi dimong „diasuh‟. Pengurang tersebut terjadi tanpa mengubah maksud dan makna kata. c. Apokop adalah pengurangan suara (fonem/suku kata) yang terdapat di akhir kata tanpa mengubah makna kata. (281) “Oh Mau Mr.Tanaka pesen yen Mbak Intan wis teka didhawuhi langsung nemoni ing ruwangane,” (ASR/P1/10) „Oh tadi Mr. Tanaka berpesan kalau Mbak Intan sudah datang disuruh langsung menemui di ruangannya,‟ Data di atas terdapat pengurangan suku kata bagian akhir, yaitu pada kata mbak „mbak/kakak‟. Kata mbak „mbak/kakak‟ berasal dari kata mbakyu „mbak/kakak‟ mengalami pengurangan suku kata {-yu} di akhir kata menjadi mbak „mbak/kakak‟. 7. Panambahing Swara (Wuwuh) a. Protesis yaitu penambahan suara di awal kata tanpa merubah makna kata. (282) “...Nanging ora kena menghakimi,” ujare Bu Surtana marang sing kakung. (ASR/P6/65) „...tetapi tidak boleh menghakimi,” kata Bu Surtana kepada suaminya‟. Data di atas terbukti adanya penggunaan protesis yaitu pada kata ujare „kata‟ yang berasal dari kata jare „kata‟ mendapat tambahan fonem [u] di awal kata menjadi ujare „kata‟. Penambahan di awal kata tersebut tidak merubah makna kata. b. Epentesis yaitu penambahan suara di tengah kata. Penembahan yang berwujud imbuhan suara (fonem/suku kata) tanpa merubah makna kata.
101 (283)
Umpama ana sing digetuni dening Intan jroning uripe ing donya iki, yaiku patemone karo Bregas,...‟ (ASR/P24/262) „Seumpama ada yang disesali oleh Intan selama hidupnya didunia ini, yaitu pertemuannya dengan Bregas,..‟
Data di atas merupakan bukti penggunaan epentesis, yaitu pada kata umpama
„seumpama/seandainya‟
yang
berasal
dari
kata
upama
„seumpama/seandainya‟ mendapat imbuhan suara berupa fonem [m] menjadi umpama „seumpama/seandainya‟. Penambahan suara di tengah kata tersebut tidak merubah makna kata. (284)
“Inggih, sampun. Awit Sekar mbekta bonekah lajeng didangu Eyang Uti, kok pikantuk bonekah apik.” (ASR/P25/264) “Iya, sudah. Sejak Sekar membawa boneka lalu dipanggil Eyang Uti, kok dapat boneka bagus.”
Data di atas merupakan wujud epentesis, yaitu pada kata mbekta „membawa‟ yang berasal dari kata beta „membawa‟ dengan penambahan nasal [m] menjadi mbeta „membawa‟, kemudian ditambahkan dengan imbuhan suara fonem [k] pada tengah kata menjadi mbekta „membawa‟, tanpa mengurangi makna kata. 8. Tembung Saroja Tembung saroja adalah dua kata yang digabung menjadi satu tetapi memiliki arti yang sama, seperti pada data berikut ini. (285)
marang mobah mosiking swasana. (ASR/P1/1) „terhadap hiruk-pikuk suasana‟
(286)
mitra rowang ing madyaning bebrayan. (ASR/P2/12) „Sahabat ditengah masyarakat‟
(287)
...ora mungkin si Bos lila legawa...(ASR/P2/21) „...tidak mungkin si Bos tulus ikhlas...‟
(288) Minangka wong tuwa Pak Surtana kepengin bisa nyawang anake urip mulya, ayem tentrem ora kurang sawiji apa. (ASR/P7/73) „Sebagai orang tua Pak Surtana berkeinginan bisa melihat hidup anaknya mulia, tentram damai tidak kurang satu apapun.
102 (289) Mula bener kandhane wong tuwa-tuwa, tukar padu kuwi rabuke bale wisma. (ASR/P8/80) „Benar kata orang tua, pertengkaran itu pupuk dalam rumah tangga‟ (290) Tukar padu mungguhe wong omah-omah kuwi lumrah,... (ASR/P10/105) „Pertengkaran untuk seseorang yang berumah tangga itu wajar,...‟ Data nomor (285) sampai (290) merupakan wujud tembung saroja yang digunakan APBn dalam ASR. Tembung saroja tersebut terdapat pada kata mobah mosiking, kata mobah memiliki arti bergerak, kata mosiking juga memiliki arti kata yang sama yaitu bergerak. Keduanya saling menguatkan dan membentuk makna yang sama. Data (286) terdapat pada kata mitra rowang, kata mitra diartikan sebagai teman atau sahabat, dan kata rowang juga memiliki makna teman atau sahabat, keduanya bergabung menjadi satu dan memiliki makna yang saling menguatkan. Data (287) terdapat pada kata lila legawa, kata lila memiliki makna tulus atau ikhlas, kata legawa juga diartikan tulus atau ikhlas, keduanya bergabung menjadi satu, karena keduanya memiliki makna yang sama sehingga saling menguatkan satu sama lain. Data (288) terdapat pada kata ayem „tenang‟ dan tentrem „tentram‟, keduanya bergabung menjadi ayem tentrem, memiliki makna
saling
berdekatan
yaitu
tenang,
damai.
Bergabung
berurutan
mengisyaratkan saling menguatkan satu sama lain. Data (289) terdapat kata bale „rumah‟ dan wisma „rumah‟, bila digabung menjadi bale wisma jika diartikan dalam bahasa Jawa menjadi omah-omah. Keduanya saling menguatkan memiliki makna kata „berumah tangga‟. Data (290) terdapat pada kata tukar padu, kata tukar memiliki makna bertengkar, kata padu juga dimaknai bertengkar, keduanya bergabung menjadi satu membentuk kata yang dimaknai menjadi pertengkaran, keduanya memiliki makna yang sama sehingga saling menguatkan satu sama lain.
103 9. Tembung Garba (291) Nyawang alam kanthi sakabehe kaendahane kuwi rasane aku kaya manggon aneng swargaloka,”...(ASR/P28/297) „Melihat alam dengan segala keindahan itu rasanya aku seperti berada di surga,”...‟ Data di atas termasuk dalam tembung garba terletak pada kata aneng „berada di‟. Kata aneng „berada di‟ merupakan gabungan dari dua kata yaitu kata ana „ada‟ dan ing „di‟ bergabung menjadi ana ing „ada di‟ kemudian mengalami persandian dengan pengurangan satu suku kata menjadi aneng „ada di‟. Persandian tersebut difungsikan mengurangi jumlah suku kata, dan memperingkas dua kata atau lebih menjadi satu. (292) Umpama ana sing digetuni dening Intan jroning uripe ing donya iki, yaiku patemone karo Bregas,...‟ (ASR/P24/262) „Seumpama ada yang disesali oleh Intan selama hidupnya didunia ini, yaitu pertemuannya dengan Bregas,..‟ Data (292) ditemukan persandian yaitu pada kata yaiku „yaitu‟. Kata yaiku „yaitu‟ merupakan hasil dari penggarbaan tembung atau persandian dua kata iya „iya‟ dan iku „itu‟, keduanya bergabung menjadi satu membentuk kata yaiku „yaitu‟ dengan pengurangan satu suku kata dibagian depan kata iya „iya‟ dimaksudkan mengurangi jumlah suku katanya. (293) “Yen kowe isih kepengin slamet, dohana bojoku....” (ASR/P30/324) „Kalau kamu isih ingin selamat, jauhi suamiku...‟ Data di atas terdapat persandian yang terletak pada kata dohana „jauhi‟, merupakan gabungan dua kata adoh „jauh‟ dan kata ana „ada‟ keduanya bergabung menjadi satu, mengalami pengurangan suku kata dan membentuk kata dohana „menjauhi‟.
104 10. Tembung Entar (294) ..., sesambungane karo sing lanang pancen durung pulih kaya wingi uni. Malah kepara bisa diarani ngrujak sentul, siji Ngalor, siji Ngidul! (ASR/P11/111) „..., hubunganya dengan sang suami memang belum pulih seperti sedia kala. Malah bisa dibilang berseberangan, satu ke utara, satu ke selatan‟. Data (294) terdapat penggunaan tembung entar pada kata ngrujak sentul. Kata ngrujak sentul berasal dari dua kata yaitu ngrujak „membuat rujak‟ dan sentul „nama pohon‟, makna kata tersebut saling melengkapi serta tidak boleh dimaknai sewajarnya „membuat rujak dari pohon‟, tetapi terselip maksud lain sebagai kata yang bermakna „berseberangan‟ yang satu ke utara yang satu ke selatan. (295) ..,banjur diangkat dadi tangan tengene bos sing kepeksa kerep ambyur ing lapangan. (ASR/P1/6) „..., lalu diangkat menjadi tangan kanan bos yang terpakasa sering terjun kelapangan.‟ Data (295) tuturan tangan tengene „tangan kanan‟. Tangan terdiri dari dua bagian, tangan kanan dan tangan kiri, tangan kanan umumnya berkaitan dengan segala hal yang baik, seperti makan memakai tangan kanan, berjabat tangan menggunakan tangan, dan lain-lainnya. Sedangkan tangan kiri identik dengan tangan yang kurang bagus, jarang digunakan, maksud dari tangan tengene „tangan kanannya‟ bukan berarti orang tersebut tangannya diminta untuk menjadi tangan kanan orang lain. Akan tetapi tuturan tersebut ditujukan bagi orang yang dapat dipercaya. (296) “...Paling ya ora tepat waktu. Ing kene kulinane rak jam karet,”...(ASR/P16/165) „...Paling ya tidak tepat waktu. Di sini kebiasaan jamnya molor‟
105 Data di atas terdapat penggunaan tembung entar pada kata jam karet. Kata jam karet tidak boleh dimaknai sewajarnya sebagai jam yang terbuat dari karet. Akan tetapi maksud dari jam karet di sini „waktunya molor‟ tidak tepat waktu. Waktu diibaratkan seperti karet yang dapat merenggang, sama halnya waktu yang tidak bisa tepat sehingga dapat mundur lebih lama. (297) ...,biasane Intan ngajak Sekar lan Mona mlaku-mlaku utawa ngumbah mata ing mal. (ASR/P22/236) „..., biasanya Intan mengacak Sekar lan Mona jalan-jalan atau cuci mata di mal‟. Data di atas terdapat penggunaan tembung entar yaitu pada kata ngumbah mata „cuci mata‟. Kata ngumbah „mencuci‟ yang identik dengan ngumbah klambi „mencuci baju‟ diterapkan dengan kata mata
„mata‟ menjadi ngumbah mata
bukan berarti mencuci mata dengan air dan sabun seperti ketika mencuci baju, tetapi dimaknai „cuci mata/ jalan-jalan/melihat-lihat‟ 11. Paribasan (298) Ning wong sing kalem kaya iku kadhang-kadhang malah nyolong pethek. (ASR/P19/207) „Tetapi orang yang pendiam seperti itu kadang-kadang malah berkebalikan dengan yang diperkirakan‟. Data di atas terdapat ungkapan nyolong pethek yang tergolong dalam tembung entar dan bermakna orang yang terlihat pendiam karena wajahnya yang baik tidak banyak omong, tapi ternyata malah sebaliknya, seperti Pram dalam tokoh NASR, sosoknya yang pendiam ternyata sering keluar dengan banyak wanita, meskipun hanya sekedar mitra kerja. (299) “Jane ora ngono kuwi. Bahasa ibu kuwi tetep perlu supaya bocah ora kabedhol saka oyote. (ASR/P6/59) „ Harusnya tidak seperti itu. Bahasa ibu itu tetap perlu agar anak tidak lupa akan asal-usulnya‟
106 Data (299) terdapat ungkapan kabedhol saka oyote „lepas dari akarnya‟. Peribahasa tersebut mempunyai maksud bahwa bahasa ibu sebagai bahasa asli yang dipunya tidak boleh lepas dan diabaikan, agar anak tidak lupa dengan bahasa sendiri, sejatinya dengan bahasa seseorang dapat diketahui asal-usulnya. (300) Ning wong sing kalem kaya iku kadhang-kadhang malah nyolong pethek. Kowe ngerti peribahasa air tenang menghanyutkan ta? Rame swara-swara ing njero dhadhane. (ASR/P19/207) „Tetapi orang pendiam seperti itu kadang-kadang malah berkebalikan dengan yang kita pikirkan. Kamu tau peribahasanya air tenang menghanyutkan kan? Ramai suara-suara di dalam hatinya.‟ Data (300) terdapat ungkapan air tenang menghanyutkan. Ungkapan tersebut menggambarkan sosok orang pendiam, meskipun nampak pendiam bisa jadi banyak hal-hal yang tidak terduga dari dirinya tersebut. Sehingga kita tidak boleh menilai seseorang hanya luarnya saja, bukan berarti orang pendiam tersebut juga baik sikapnya, ataupun sebaliknya. Semuanya bergantung pada pembawaan diri masing-masing. (301) Senajan nasip mahanani aluring crita dadi beda, dheweke lan Pram kudu nempuh dalan dhewe-dhewe, ning tresna sing wis kebacut ngoyot iku tetep ora bisa dipunthes ngono wae. Paribasane tetep urip ngrembaka senajan diseleh ing pot sing beda. (ASR/P26/283) „Meskipun nasib mempertandakan alurnya cerita menjadi berbeda, dirinya dan Pram harus menempuh jalan sendiri-sendiri, tetapi cinta yang sudah terlanjur mengakar itu tetap tidak bisa diputus begitu saja. Peribahasanya akan tetap hidup berkembang meskipun ditempatkan di pot yang berbeda.‟ Kutipan (301) terdapat peribahasa tetep urip ngrembaka senajan diseleh ing pot sing beda, peribahasa tersebut nampaknya cocok digambarkan dengan seseorang yang pernah menjalin kasih seperti halnya Intan dan Pram, meskipun keduanya sudah sama-sama memiliki suami dan istri, karena jalinan asmara yang lama tidak menjadikan kasih di antara keduanya hilang begitu saja. Malah sampai
107 detik itu masih tetap hidup meskipun sudah dalam waktu, keadaan, dan bahkan dengan status yang berbeda. (302) Umpama dheweke ora cepet-cepet oncat, mungkin dheweke saiki mung kari aran, wis pralaya! (ASR/P22/237) „Seumpama dirinya tidak cepat-cepat menyingkir, mungkin dirinya sekarang hanya tinggal nama, sudah meninggal! Data di atas merupakan wujud paribasan dibuktikan dengan adanya kata yang tergolong tembung entarkari aran „tinggal nama‟, kata tersebut sering digunakan untuk menyebut kata meninggal. Sejatinya orang mati hanya meninggalkan aran „nama‟, maka disebut kari aran „meninggal‟. Hal tersebut diperjelas dengan tuturan selanjutnya wis pralaya „sudah meninggal‟. (303) Nalika tatu biru, dumadakan ilang dipangan wektu. (ASR/P23/241) „Saat luka, mendadak hilang dimakan waktu‟. Data (303) terdapat kutipan tatu biru „luka biru‟, paribasan
tersebut
mempunyai arti bahwa luka identik dengan warna biru/lebam maka disebut dengan tatu biru‟ luka biru‟. Dalam konteks kalimat tersebut tatu biru yang dimaksud adalah luka bekas tamparan, siksaan, tuduhan dari tokoh Intan Purnami oleh mantan suaminya, Bregas. (304) Mung penake Mas Ilham oleh jabatan ing papan teles. (ASR/P16/172) „Hanya enaknya Mas Ilham mendapat jabatan ditempat yang enak‟. Kutipan data (304) merupakan pengibaratan keadaan Mas Ilham mengenai pekerjaan yang didapat sekarang, terbukti adanya kalimat papan teles „papan basah‟, makna papan teles tidak boleh dimaknai sebagai papan yang terasa basah, ataupun tempat penuh air dan membuat basah, akan tetapi papan teles diibaratkan tempatnya enak, tidak panas, dan bergaji besar‟ (305) Aja rangu-rangu. Aja wedi. Gusti ora sare. (ASR/28/306) „Jangan ragu-ragu. Jangan takut. ALLAH tidak tidur.‟
108
Data (305) terdapat kutipan Gusti ora sare, yang artinya bahwa Allah akan selalu ada, tidak pernah tidur, melihat segala apa yang kita lakukan. Sehingga semua apa yang kita lakukan, pada akhirnya akan kembali kepada kita,. Sebagai manusia kita hanya bisa pasrah, berusaha dan berdoa yakin Allah melihatnya dan memberi jalan bagi hambanya. (306) ..., aloke Pak Paimin saderma kanggo abang-abang lambe. (ASR/P1/4) „..., kata Pak Paimin sekedar bertanya.‟ Data (306) terdapat gaya bahasa yang terletak pada kata abang-abang lambe. Kata abang-abang lambe yang dimaksud di sini adalah sekedar pertanyaan tidak sesuai dengan hatinya, bertujuan untuk mencairkan suasana keakrabpan agar tidak hening. 12. Bebasan (307) Intan lali yen Bregas kuwi wong sing rai gedhek. (ASR/P25/269) „Intan lupa kalau Bregas itu orang yang tidak punya malu.‟ Data (307) merupakan wujud bebasan, yaitu terdapat pada kata rai gedhek „muka gedhek‟, kata rai „muka/wajah‟ diabstrakan dengan benda mati seperti gedhek yaitu anyaman yang terbuat dari bambu, terdapat sela-sela lubang dianyamannya. Ungkapan
rai gedhek dalam hal ini mengandung pengertian
seseorang yang tidak punya rasa malu. (308) Rada mangkel jan-jane. Wis diwenehi ati isih ngrogoh rempela. (ASR/P24/258) „Sedikit dongkol sebenarnya. Sudah dikasih hati masih minta rempela‟ Data di atas terdapat penggunaan bebasan diwenehi ati isih ngrogoh rempela „dikasih hati masih minta rempela‟, mempunyai arti seseorang yang
109 sudah dikasihani, sudah diberi hati, tidak berterima kasih dan malah meminta lebih. (309) Perkawinan ora tansah endah kaya sing ana ing angen-angen. Ibarate wong lelayaran, nalika isih ing pinggir angine durung patiya banter...(ASR/P15/156) „Pernikahan tidak indah seperti yang dibayangkan. Ibarat orang berlayar, saat masih dipinggir anginnya belum begitu kencang...‟ Kutipan data (309) terdapat ungkapan Jawa ibarate wong lelayaran, nalika isih ing pinggir angine durung patiya banter. Ungkapan tersebut menggambarkan sebuah rumah tangga, artinya suatu rumah tangga itu diibaratkan seperti dua orang yang sedang berlayar, rumah tangga diibaratkan kapal, saat mulai berlayar angin yang mengenai kapal tidaklah begitu kencang, semakin kapal melaju ketengah hembusan angin yang mengenai kapal akan semakin kencang. Begitu pula dengan sebuah rumah tangga atau pernikahan, awalnya rumah tangga mungkin akan nampak harmonis, namun lambat laun kerikil-kerikil permasalahan muncul seiring bertambah usia sebuah pernikahan. Ada saja cobaan, namun bagaimana dua orang yang menjalaninya saling mendukung, saling mengerti agar kapal tetap berlayar tetap utuh meskipun terhempas angin. Begitu pula rumah tangga yang sedang dihadapi oleh Bregas dan Intan, semuanya bergantung pada bagaimana keduanya dalam menjaga baita „kapal‟ (rumah tangga).
110 Tabel 1. Persentase Penggunaan Diksi atau Pilihan Kosakata dalam Novel Alun Samudra Rasa Karya Ardini Pangastuti Bn
Persentase Diksi atau Pemilihan kosakata (X)
No
1.
Jumlah Diksi atau Pemilihan Kosakata
Bentuk kata
a. Kata Berafiks (Afiksasi) 1) Prefiks 2) Infiks 3) Konfiks b. Proses Reduplikasi 1) Pengulangan seluruh (Dwilingga salin swara) 2) Pengulangan suku pertama dari bentuk dasar (dwipurwa) 3) Pengulangan berkombinasi dengan penambahan afiks (sufiks –an) 2. Kosakata Bahasa Indonesia 3. Kosakata Bahasa Asing 4. Sinonim 5. Antonim 6. Abreviasi 7. Panambahing swara 8. Tembung Saroja 9. Tembung Garba 10. Tembung Entar 11. Paribasan 12. Bebasan Jumlah Keterangan:
12 39 24
5,3 17,1 10,5
11
4,8
4
1,8
5
2,2
20 9 21 31 23 4 6 3 4 9 3 228
8,8 3,9 9,2 13,6 10,1 1,8 2,6 1,3 1,8 3,9 1,3 100
X
= Banyaknya diksi atau pemilihan kosakata yang muncul
ΣX
= Total keseluruhan diksi atau pemilihan kosakata yang muncul
111 Berdasarkan tabel di atas, diketahui bahwa diksi atau pemilihan kosakata yang sering digunakan oleh pengarang adalah didominasi diksi berwujud infiks ditemukan pada 39 data (17,1%). Pemanfaatan bentuk kata tersebut bertujuan untuk menambah kesan arkhais dari sebuah kata, sehingga terdengar lebih indah. C. Penggunaan Gaya Bahasa dalam Novel Alun Samudra Rasa Karya Ardini Pangastuti Bn Setiap pengarang mempunyai cara sendiri dalam menuangkan ide, gagasan atau pikiran. Ide, gagasan atau pikiran pengarang biasanya dituangkan ke dalam gaya bahasa yang khas. Setiap pengarang mempunyai gaya bahasa yang berbedabeda. Adapun gaya bahasa yang digunakan pengarang dalam NASR karya APBn, diantaranya: 1.
Simile Simile adalah bahasa kiasan yang mempergunakan kata pembanding yang
eksplisit untuk menyamakan suatu hal dengan hal lain. Simile dalam membandingkan banyak menggunakan kata kadya, lir, kaya, prasasat, bebasan, dan sebagainya. (310) Langit kadidene buku kang sumeblak. (ASR/P1/1) „Langit seperti halnya buku kosong‟ (311) ...eseme manis kaya gula tebu. (ASR/P1/10) „...senyumnya manis seperti gula tebu‟ (312) Tangis sing kawit mau diampet iku pungkasane ambrol kaya bendungan jebol (ASR/P3/24) „Tangis yang sedari tadi ditahan akhirnya membludak seperti bendungan yang jebol‟ (313) Bandungan, udan deres kaya disokake saka langit. (ASR/P3/29) „Bandungan, hujan deras seperti ditumpahkan dari langit‟
112 (314) Nyes..atine Intan rasane kaya siniram banyu es oleh sun sayang saka gantilaning atine kuwi. (ASR/P5/51) „Nyes... hati Intan rasanya seperti disiram air es mendapat cium sayang dari pujaan hatinya itu.‟ (315) Kowe tansah golek menange dhewe lan nggugu karepe dhewe. Kaya-kaya ngedir-ngedirake dupeh kowe bisa golek dhuwit dhewe. (ASR/P8/79) „Kamu mau menang sendiri dan semaunya sendiri. Seperti menyombongkan diri kamu bisa mencari uang sendiri‟ (316) Srengenge sumunar endah kaya-kaya aweh prasaja marang bumi sing isih katisen sawise sewengi digrujug udan. (ASR/P16/164) „Matahari bersinar indah seperti memberi pertanda pada bumi yang masih kedinginan setelah semalaman diguyur hujan.‟ (317) Bener-bener pasangan sing idheal! Kaya dene mimi lan mintuna,...(ASR/P16/165) „Benar-benar pasangan yang ideal! Seperti halnya mimi lan mintuna‟ (318) Intan kaget kepati weruh sapa sing teka. Rasane kaya sinamber gelap ing wayah awan sing tanpa mendhung. (ASR/P23/251) „Intan terkejut bukan kepalang melihat siapa yang datang. Rasanya seperti tersambar gelap di siang hari tanpa mendung.‟ (319) Mbokmanawa selawase ora bakal ilang. Kuwi kaya dene tatu abadi kang kauikir ing kono mawa peso super landhep. (ASR/P25/271) „Kalausaja sampai nanti tidak akan hilang. Itu seperti luka abadi yang terukir di sana dengan pisau super tajam.‟ (320) Ati kaya dene samudra kang jembar tanpa (ASR/P27/285) „Hati seperti halnya samudra yang luas tanpa batas.‟
wangenan.
(321) Angin kadidene polahe pikiran, sing ora anteng. (ASR/P28/296) „Angin seperti halnya gerak pikiran, tidak bisa tenang.‟ (322) Apa dheweke bisa „bertahan‟ kaya watu karang ing satengahe samudra,...(ASR/P29/317) „Apa dirinya bisa bertahan seperti batu karang di tengah samudra.‟ Data (310) sampai (322) merupakan wujud simile ditunjukkan dengan adanya penggunaan perbandingan dua hal secara eksplisit menggunakan kata kaya „seperti‟ dan kadidene „sepertihalnya‟, seperti pada data (310) terdapat kata langit
113 kadidene buku kang sumeblak „langit seperti halnya buku yang terbuka lebar‟. Hal ini langit digambarkan seperti buku yang terbuka lebar yang secara gamblang bisa menceritakan segala hal tulisan/cerita yang tertulis di sana. Data (311) terdapat kata kaya pada kalimat eseme manis kaya gula tebu dikatakan sebagai gaya bahasa simile, karena senyum diibaratkan seperti gula tebu, hal itu menandakan senyum gadis tersebut manis sekali. Gaya bahasa simile (312) sampai (314) disajikan dengan perbandingan yang sedikit berlebihan, seperti pada data nomor (312) pungkasane ambrol kaya bendungan jebol, dalam hal ini tangis Intan yang pecah disamakan dengan bendungan jebol „bendungan yang jebol‟, bukan berarti tangis Intan seperti kucuran air dari bendungan jebol yang meluap deras, tetapi maksudnya di sini tangis Intan menggebu-gebu dan air matanya bercucuran karena sudah sejak tadi Intan menahan air matanya. Hal tersebut nampak pula pada data (313) udane deres kaya disokake saka langit , hal ini maksudnya hujan lebat sekali ditandai dengan turunnya air hujan rasanya seperti air ditumpahkan semua dari langit. Data (314) rasane kaya siniram banyu es, pengarang menggunakan kata kaya „seperti‟ untuk membandingan rasanya dicium oleh Sekar seperti disiram air es yang dingin, begitu menyegarkan. Penggunaan kata kaya „seperti‟ juga terdapat pada data nomor (315) sampai (322). Data (315) merupakan wujud simile luapan seseorang yang sedang merasa kesal, terbukti dengan adanya kata Kaya-kaya ngedir-ngedirake dupeh, saking merasa tidak terima karena dianggap kerjaannya tidak seperti sang istri, Bregas menganggap istrinya seperti ngedir-ngedirake dupeh „membesar-besarkan omongan‟. Data (316) srengenge sumunar endah kaya-kaya aweh prasaja marang bumi, hal bermaksud membandingkan cerahnya matahari yang bersinar
114 seperti akan menghadirkan pertanda baik, seperti halnya sehabis hujan, mendung berganti denan panas yang dianggap sebagai kabar baik. Data (317) pasangan yang ideal dalam budaya jawa dibandingkan Kaya dene mimi lan mintuna „ seperti sepasang kepiting‟ yang selalu bersama. Sedangkan rasa kaget disamakan rasanya seperti (318) kaya sinamber gelap ing wayah awan sing tanpa mendhung „rasanya seperti tersambar gelap di siang hari tanpa mendung‟. Menyamakan suatu hal secara langsung, dalam hal ini menggambarkan luka yang dialami Intan disamakan (319) kaya dene tatu abadi kang kauikir ing kono mawa peso super landhep „seperti luka abadi yang terukir disana dengan pisau super tajam‟, artinya selalu membekas karena sayatan yang menggores terlalu dalam, sehingga menimbulkan rasa sakit yang tidak bisa dilupakan. Masih berbicara dengan perasaan, hati adalah pusat perasaan manusia, data (320) Ati kaya dene samudra kang jembar tanpa wangenan. Data di atas menyamakan hati seperti samudra, luas tanpa batasan. Jika hati luas seperti samudra selayaknya hati dapat menerima segala hal yang terjadi dalam diri seseorang. Namun jika hati seseorang sempit, manusia mudah sakit hati, sehingga menimbulkan beban pikiran. Beban pikiran disamakan seperti gerak angin, yang tidak pernah tenang (321) angin kadidene polahe pikiran, sing ora anteng „angin seperti halnya gerak pikiran, tidak bisa diam‟. Di situlah kekuatan manusia di uji, akankah dirinya dapat bertahan (322) kaya watu karang ing satengahe samudra „seperti batu karang ditengah samudra‟. Jika dapat menyamakan diri dengan karang di tengah samudra, sedahsyat apapun cobaan yang menimpa kita, sekeras apapun ombaknya, kita tetap bersikeras seperti kerasnya karang, agar dapat melalui semuanya dengan baik.
115 2.
Interupsi (323) Intan Purnami, ibu putra siji, wanita karier sing ayu lan enerjik. (ASR/P1/1) „Intan Purnami, ibu putra satu, wanita karier yang cantik dan enerjik‟ Pada data (323) termasuk kedalam gaya bahasa interupsi, yaitu menegaskan
sosok Intan Purnami, ibu berputra satu, wanita karier yang cantik dan enerjik. Intan Purnami sebagai subyek kalimat, yang di belakangnya disisipkan kalimat penjelas guna menekankan bagian kalimat sebelumnya. (324) ...Sekar melur, anake wadon sing sasi ngarep umure ganep telung taun. (ASR/P1/2) „...Sekar Melur, anak perempuannya yang bulan depan genap tiga tahun.‟ Data (324) termasuk ke dalam gaya bahasa interupsi, yaitu menegaskan sosok Sekar, anak Intan Purnami. Sekar Melur sebagai subyek kalimat, diikuti dengan kata anake wadon „anak perempuannya‟, kemudian disisipkan kata sing sasi ngarep umure ganep telung taun „yang bulan depan genap berumur tiga tahun‟ sebagai kata yang menegaskan kalimat sebelumnya. 3.
Antonomasia Menurut Gorys Keraf, 2004:142, antonomasia merupakan sebuah bentuk
khusus dari sinekdoce yang berwujud penggunaan sebuah epiteta untuk menggantikan nama diri, tau gelar resmi, atau jabatan untuk menggantikan nama diri. (325) lho si Mister ora ing pabrik ta? (ASR/P1/11) „Lho si Mister tidak di pabrik kah?‟ (326) Dheweke mbatin, si bajingan Bregas kuwi mesthi weruh Pram nalika pas mbukakake lawang mobil mau. (ASR/P24/256) „Dirinya membatin, si bajingan Bregas itu pasti melihat ketika Pram membukakan pintu mobil tadi‟.
116 (327) “Aku lagi mengagumi reriptane Sang Kreator Agung, Gusti Kang Maha linuwih. (ASR/P28/297) „Aku sedang mengagumi ciptaan Sang Kreator Agung, Allah Yang Maha Segalanya.‟ Data (325) sampai (327) terdapat gaya bahasa antonomasia, yaitu tampak pada kata (325) si Mister „si Mister‟ merupakan sebutan atau kata ganti untuk lelaki yang dianggap terhormat yang berasal dari luar negeri, kata (326) si bajingan „si bajingan‟ disebut demikian, karena laki-laki tersebut dianggap memiliki sikap yang tidak baik, bahkan berlaku kurang ajar terhadap wanita, seperti kelakuan para bajingan, dan kata (327) Sang Kreator Agung yang digunakan untuk menyebut Allah Sang Pencipta alam semesta. 4.
Sinekdoce Sinekdoce adalah semacam bahasa figuratif yang mempergunakan sebagian
dari sesuatu hal untuk menyatakan keseluruhan (pars pro toto) atau mempergunakan keseluruhan untuk menyatakan sebagian (totum pro parte). Ardini Pangastuti mengaplikasikan gaya bahasa sinekdoce dalam data berikut. (328) Wong jepang kuwi fanatik karo klambi bathik,...(ASR/P2/17) „Orang Jepang itu fanatik dengan baju batik,..‟ (329) Ana Bule Swedia sing golek lukisan iwak koi. (ASR/P22/237) „Ada Bule Swedia yang mencari lukisan ikan koi‟. Data (328) dan (329) terdapat gaya bahasa sinekdoce oleh APBn, yaitu pada kata wong Jepang „orang Jepang‟ dan kata Bule Swedia „Bule Swedia‟. Kata wong Jepang „orang Jepang‟ merupakan bagian keseluruhan untuk sebagiam manusia, artinya orang tersebut memiliki ciri fisik dan berasal dari Jepang, namun bukan berarti semua orang Jepang menyukai batik, akan tetapi tuturan yang dimaksud adalah untuk orang Jepang yang bernama Mr. Tanaka yang tidak lain adalah bos dari Intan Purnami. Kata Bule Swedia „Bule Swedia‟ merupakan
117 bagian dari keseluruhan manusia, yang menandakan bahwa Bule yang berasal dari Swedia adalah salah satu dari kesuluruhan warga negara, namun bukan berarti semua Bule Swedia
mencari lukisan ikan koi. Bule Swedia yang dimaksud
bernama Miss Clara. Pengarang bisa saja menyebut wong Jepang itu dengan nama Mr. Tanaka, dan memanggil Bule Swedia tersebut dengan Miss Clara, namun untuk menimbulkan nilai estetik dan pengagambaran tokoh baik keseluruhan
maupun sebagian, maka gaya bahasa sinekdoce digunakan oleh
pengarang. 5.
Tautologi Tautologi adalah gaya bahasa yang menggunakan acuan kata lebih dari satu,
yang mana acuan kata tersebut merupakan perulangan dari kata sebelumnya. Seperti pada data berikut. (330) Kamangka nalika budhal saka kos-kosan langite ora patia mendhung banget. Isih ana sulake padhang. (ASR/P3/29) „Padahal saat berangkat dari kos-kosan langitnya tidak begitu mendung. Masih ada sinar terang‟ (331) Wong sing duwe mobil saya akeh, nanging dalan ora tambah. Tegese tetep ciyut kaya biyen, ora bisa diambakake maneh. (ASR/P8/86) „Orang yang punya mobil semakin banyak, tetapi jalan tidak nambah. Artinya tetap sempit seperti dulu, tidak bisa dilebarkan lagi‟ Data (330) dan (331) merupakan wujud gaya bahasa tautologi yang digunakan APBn dalam ASR, yaitu terletak pada data (330) kata ...langite ora patia mendhung banget. Isih ana sulake padhang langite ora patia mendhung banget. Isih ana sulake padhang „langitnya tidak begitu mendung. Masih ada sinar terang‟. Tuturan isih ana sulake padhang „masih ada sinar terang‟ merupakan wujud perulangan dari kata
langite ora patia mendhung banget
„langitnya tidak terlalu mendung sekali‟. Data (331) dalan ora tambah. Tegese
118 tetep ciyut kaya biyen „jalan tidak nambah. Artinya tetap sempit seperti dulu‟. Tuturan tetep ciyut kaya biyen „tetap sempit seperti dulu‟ merupakan wujud perulangan dari tuturan ora nambah „tidak bertambah‟. 6.
Metafora Metafora adalah keserupaan atau kemiripan anatara dua hal atau dua
referen, yaitu kemiripan objektif atau konkret dan kemiripan emotif atau perseptual (Edi Subroto, dkk., 1999:123 dalam Sumarlam, 2013:128). Metafora digunakan oleh pengarang difungsikan untuk menghindari kemonotonan suatu bahasa. Adapun data yang termasuk gaya bahasa metafora adalah sebagai berikut. (332) Sawah lan tegal akeh sing padha disulap dadi alas beton. (ASR/P1/5) „Sawah dan kebun banyak yang disulap menjadi kawasan perumahan‟ Data (332) terdapat gaya bahasa yang terletak pada kata alas beton. Kata beton „bangunan‟ berdimensi abstrak disamakan seperti pohon yang tumbuh dihutan. Ungkapan alas beton dalam tuturan di atas mengandung pengertian banyak bangunan dan gedung-gedung tinggi yang bermunculan. Gedung atau bangunan tersebut disamakan pohon dihutan. Akan tetapi alas „hutan‟ yang biasanya sebagai sawah, kebun dan tumbuhnya pohon berubah menjadi kawasan perumahan. (333) Aja mikir sing ngeres. Aku dudu priya hidung belang kaya iku. (ASR/P19/208) „Jangan berpikiran kotor. Aku bukan pria hidung belang seperti itu.‟ Data (333) terdapat tuturan hidung belang dalam hal ini hidung manusia disamakan dengan kulit harimau yang seakan-akan mempunyai belang. Belang identik dengan sesuatu kejelekan yang ditutupi yang lambat laut pasti akan
119 tercium baunya. Maksud dari hidung belang yakni pria yang sudah mempunyai istri, namun mencari kesenangan dengan perempuan lain. (334) Ning Astri percaya marang omongane Intan, yen tekane saiki kekarone isih padha dene njaga, ora nganti nerak pager ayu. (ASR/P22/234) „Tapi Astri percaya pada omongan Intan, kalau kedatangannya sekarang keduanya masih saling menjaga, tidak sampai melebihi batas.‟ Data (334) terdapat tuturan metafora pada kata pager ayu „batas‟, dalam hal ini bukan berarti pagar tersebut adalah wanita-wanita cantik yang membentuk pagar. Akan tetapi dalam tuturan di atas mengandung pengertian tidak berbuat jahat dan jangan sampai melampaui batas hingga melakukan hal-hal yang tidaktidak, keluar dari norma aturan yang ada. (335) Nuruti perasaan, mbokmanawa dheweke wis klakon ciblon ing segara madu. (ASR/P27/284) „Menuruti perasaan, barangkali dirinya bisa saja berbuat lebih‟ Data (335) tuturan segara madu „lautan kenikmatan‟ merupakan contoh gaya bahasa metafora yang menggambarkan lautan kenikmatan yang dirasakan seperti manisnya madu dalam hal ini maksudnya bermesraan dengan suami orang, meskipun terasa nikmat namun menyimpan dosa jika dilakukan karena melanggar norma.. (336) Yen pancen kaya ngono kahanane, kanggo apa mbaleni sega wadhang sing wis bosok. (ASR/P27/289) „Kalau memang seperti itu keadaannya, untuk apa rujuk kembali dengan mantan suami‟ Data (336) tuturan sega wadhang „nasi basi‟. Perumpamaan sega wadhang „rujuk dengan mantan suami‟ adalah gaya bahasa metafora mengabstrakan mantan suami seperti sega wadhang „nasi bekas‟ yang identik dengan nasi basi, terasa
120 dingin, lembek dan akan menimbulkan penyakit apabila dimakan lagi. Begitu pula jika Intan rujuk dengan mantan suaminya yang dulu sering menyakitinya, kedepannya tidak akan baik bagi Intan. 7.
Eufemisme Menurut Gorys Keraf, 2004:132, eufemisme adalah semacam acuan berupa
ungkapan-ungkapan yang tidak menyinggung perasaan orang, atau ungkapanungkapan yang halus untuk menggantikan acuan-acuan yang mungkin dirasakan menghina, menyinggung perasaan atau mensugestikan sesuatu yang tidak menyenangkan. (337) Ayune Intan klebu standar kanggo ukuran wong Indonesia, mligine wong Jawa. Tegese ayu banget ora, elek banget uga ora. (ASR/P1/3) „Cantiknya Intan termasuk standar untuk ukuran orang Indonesia, khususnya orang Jawa. Maksudnya cantik sekali tidak, jelek sekali juga tidak.‟ (338) Priye yen bojomu kuwi ujug-ujug ora ana? Aku ora ndongakake, iki mung kanggo njagani bab-bab sing ora kita pengini. (ASR/P22/231) „Bagaimana kalau suamimu itu tiba-tiba tidak ada? Aku tidak mendoakan, ini cuma untuk mengantisipasi hal-hal yang tidak kita inginkan.‟ Data (337) dan (338) terdapat gaya bahasa eufemisme, yaitu terdapat pada kalimat (337) Ayune Intan klebu standar kanggo ukuran wong Indonesia, mligine wong Jawa. Tegese ayu banget ora, elek banget uga ora „cantiknya Intan termasuk standar untuk ukuran orang Indonesia, khususnya orang Jawa. Maksudnya cantik sekali tidak, jelek sekali juga tidak.‟. Kata standar „standar‟ yang merupakan kosakata bahasa Indonesia dirasa lebih sopan, tidak menyinggung dan lebih estetis dibanding dengan mengucap ora patiya ayu „tidak begitu cantik‟, hal tersebut mirip dengan kata standar namun lebih terkesan terasa lebih menjelekan. Data (338) terdapat gaya bahasa eufemisme, yaitu terdapat pada
121 kalimat priye yen bojomu kuwi ujug-ujug ora ana? „bagaimana kalau suamimu itu tiba-tiba tidak ada?‟. Kata ora ana „tidak ada‟ mensugestikan jika kelak suaminya meninggal bagaimana?, tetapi tidak diungkapkan secara langsung. Hal tersebut dilakukan supaya tidak menyinggung mitra tutur yang menjadi lawan bicaranya. 8.
Personifikasi Menurut Gorys Keraf, 2004:140, personifikasi adalah semacam gaya bahasa
kiasan yang menggambarkan benda-benda mati atau barang-barang yang tidak bernyawa seolah-olah memiliki sifat-sifat kemanusiaan. Berikut adalah data yang termasuk kedalam gaya bahsa personifikasi. (339) Langit tetep mawon mboten ramah. (ASR/P1/4) „Langit tetap tidak ramah.‟ Data (339) kata langit „langit‟ dipersonifikasikan seperti manusia yang mempunyai sikap kurang baik yang kadang bertindak tidak ramah. Kata mboten ramah „tidak ramah‟ dalam data ini yang dimaksud adalah langitnya sedang mendung. (340) Mripate tumlawung adoh, ngetutake playune angen-angen sing ibut...(ASR/P3/32) „Matanya menggelantung jauh, mengikuti larinya angan-angan yang ribut...‟ Data (340) angan-angan „angan-angan‟ dilukiskan seperti manusia yang dapat berlarian. Pengarang mencoba mengimajinasikan angan-angan dalam benak seseorang itu banyak, berwujud berbagai hal yang berputar-putar di kepala seperti manusia yang berlarian kesegala arah sesuai keinginan kita. (341) Geter-geter rasa, kroncalan ing dhadha.(ASR/P6/56) „Getar-getar rasa, bergejolak di dada.‟
122 Data (341) terdapat gaya bahasa personifikasi yang terdapat pada kata kroncalan „bergejolak/bergerak-gerak‟. Getar-getar rasa disamakan dengan salah satu aktivitas bayi yang dalam bahasa Jawa disebut dengan kroncalan „bergejolak/bergerak-gerak‟. Begitulah getaran rasa yang ada dalam dadanya, bergejolak/bergerak-gerak‟ memunculkan berbagai rasa. (342) Kenangan mangsa kawuri iku terus jejogetan ing tlapukan mripat. (ASR/P7/76) „Kenangan masa lalu itu selalu nampak di pelupuk mata.‟ Data (342) terdapat gaya bahasa personifikasi yang terdapat pada kata kenangan mangsa kawuri iku terus jejogetan „kenangan masa lalu itu selalu teringat‟. Kata kenangan mangsa kawuri „kenangan masa lalu‟ mengalami penginsanan seperti manusia yaitu jejogetan ‟berjogetan/menari-nari‟. Maksud dari
jejogetan „menari-nari‟ menggambarkan masa lalu tersebut masih terus
membayangi, selalu ada dalam pikiran. (343)
Jogede angin, tembang kewan iber-iberan. (ASR/P16/164) „Tarian angin, tembang hewan berterbangan.‟
Data (343) menunjukkan sifat-sifat penginsanan pada kata angin „angin‟ yang memiliki sifat kemanusiaan yaitu joged „menari‟. Seharusnya yang dapat menari adalah manusia. Namun pengarang menggambarkan angin pun juga bisa menari, berhembus dari mana saja (344) Langit, kowe tau dadi seksi bisu tresna biru Sadurunge angin ngontalake impen merpati. (ASR/P17/176) „Langit, pernah jadi saksi bisu cinta indah. „Sebelum angin menelan impian sepasang kekasih‟ (345) Sorote kuwawa ngelus impen merpati.(ASR/P21/219) „Sorot kuat meraba impian merpati.‟
123 (346) Angin sumilir lembut, ngelus kulit lan kala-kala nakal dolanan rambut. (ASR/P28/307) „Angin bersemilir lembut, meraba kulit dan kadang-kadang nakal bermain rambut‟. (347) Lumembake angin Ngumbulake impen..(ASR/P22/230) „Geraknya angin.‟ „Menerbangkan impian.‟ Data (344) sampai (347) menunjukkan sifat-sifat penginsanan pada kata angin „angin‟ yang memiliki sifat kemanusiaan seperti (344) ngontal „menelan‟, (345) ngelus „mengelus‟, (346) ngelus „meraba‟ dan dolanan „bermain‟, (347) ngumbulake „menerbangkan‟. Seharusnya yang dapat menelan, mengelus, menerbangkan adalah manusia. Namun pengarang menggambarkan angin juga dapat menelan, mengelus dan menerbangkan. (348) Surub wiwit anguk-anguk ing petenge wengi nalika kekarone ninggalake papan parkiran. (ASR/P28/309) „Petang mulai mengintip di gelapnya malam saat keduanya meninggalkan tempat parkiran.‟ Data (348) menunjukkan penggunaan gaya bahasa metafora yang terdapat dalam kata surub wiwit anguk-anguk „petang mulai mengintip‟. Kata surub „petang‟ mengalami penginsanan seperti manusia yaitu anguk-anguk „mengintip‟. Seharusnya
yang
dapat
mengintip
adalah
manusia,
namun
pengarang
menggambarkan petang juga bisa mengintip. Kondisi seperti ini menggambarkan situasi menjelang malam, yaitu matahari yang mulai terbenam berganti malam yang gelap. 9.
Litotes Litotes adalah gaya bahasa yang dipakai bertujuan untuk merendahkan diri.
Terdapat pertentangan antara kenyataan dan perkataannya.
124 (349) Mobil banjur ngudhuni gumuk cilik sing dadi lokasi perumahan elit iku. (ASR/P1/4) „Mobil lalu menuruni gubuk kecil yang menjadi lokasi perumahan elit itu.‟ Data (349) terdapat gaya bahasa litotes yang terletak pada kata gumuk cilik „gubuk kecil‟. Gubuk kecil diibaratkan sebagai rumah, kesan yang ada rumah tersebut berbentuk kecil. Namun di dalamnya mengalami pertentangan, karena pada kenyataannya, rumah yang
dianggap kecil tersebut berada dikawasan
perumahan elit. Hal tersebut dilakukan agar tidak terkesan berlebihan. 10.
Hiperbola Hiperbola adalah gaya bahasa yang mengandung suatu pernyataan yang
berlebihan, dengan membesar-besarkan suatu hal (Gorys Keraf, 2004:135). (350) Tekan ngomah kabeh wis padha turu kepati. (ASR/P1/7) „Sampai rumah semua sudah tidur pulas.‟ Data (350) tuturan turu kepati bukan berarti orang tersebut tidur hingga
dirinya
meninggal.
Akan
tetapi
tuturan
turu
kepati
„tidurnya
pulas/nyenyak‟ diabstrakan seperti mayat yang diam tidak bangun-bangun. Tuturan tersebut mempunyai pengertian bahwa tidurnya pulas. (351) Aku kuwatir yen sirahku mengko langsung mbledhos krungu pangalembanane. (ASR/P1/10) „Aku khawatir kalau kepalaku nanti akan meledak mendengar pujiannya.‟ Pada data (351) sirahku mengko langsung mbledhos „kepalaku nanti akan meledak‟ menunjukkan pernyataan yang berlebihan, karena tersanjungnya seseorang karena dipuji tidak akan pernah bisa membuat kepala orang tersebut meledak. Dalam hal ini menggambarkan takut menjadi besar kepala karena terlalu disanjung.
125 (352) Intan mung mesem tipis. Atine rasane kaya diiris. (ASR/P9/99) „Intan hanya tersenyum tipis. Hatinya seperti tersayat.‟ Data (352) atine rasane kaya diiris „hatinya terasa seperti disayat‟ menunjukkan pernyataan sakit yang dirasa berlebihan, yang rasanya seperti disayat. Faktanya kita tidak pernah tau bagaimana rasanya hati kalau disayat, karena hati merupakan organ dalam yang terlindungi oleh rangka sehingga tidak bisa begitu saja disayat. (353) Intan kaget kepati weruh sapa sing teka. (ASR/P23/251) „Intan kaget bukan kepalang melihat siapa yang datang.‟ Data
(353)
kaget
kepati
„kaget
bukan
kepalang‟,
menunjukkan
pengungkapan yang berlebihan. Rasa kaget yang dialami seperti membuat orang mati jika mendengarnya. Faktanya manusia tidak pernah tau kapan dirinya akan meninggal. Kondisi tersebut digambarkan dengan situasi kaget bukan kepalang. (354) Tatu ing njero ati iku kaya-kaya urip, lan sawayah-wayah bisa manjalma dadi kanker ganas kang nggrogoti jiwa raga. (ASR/P25/271) „Luka dalam hati itu seperti hidup, dan sewaktu-waktu bisa menjelma menjadi kanker ganas yang menggerogoti jiwa raga.‟ Data (354) tatu ing njero ati iku kaya-kaya urip, lan sawayah-wayah bisa manjalma dadi kanker ganas „luka dalam hati itu seperti hidup, dan sewaktuwaktu bisa menjelma menjadi kanker ganas‟ menunjukkan pernyataan yang berlebihan, luka lama di dalam hati dianggap bisa menjelma menjadi kanker ganas, karena penyakit kanker ganas tidaklah disebabkan karena luka hati, melainkan karena pola hidup yang tidak sehat. (355) Ora merga anggone nyawang super mesra, ning sorote mripat ing foto kuwi katon sumunar luwih endah tinimbang sewu lintang. (ASR/P30/324) „Bukan karena dirinya melihat super mesra, tapi sorot matanya difoto itu seperti bersinar lebih indah daripada seribu bintang.‟
126 Data (355) ning sorote mripat ing foto kuwi katon sumunar luwih endah tinimbang sewu lintang „tapi sorot matanya difoto itu seperti bersinar lebih indah daripada seribu bintang‟, pernyataan tersebut dianggap berlebihan, karena pada kenyataanya gambar dalam foto tidak dapat memunculkan sinar, apalagi sinar yang dideskripsikan terlihat lebih indah daripada seribu bintang. 11.
Koreksio Koreksio atau epanortosis merupakan gaya bahasa yang pada wujud
awalnya menegaskan sesuatu, tetapi kemudian menyangkal atau memperbaikinya. (356) Intan langsung bali menyang ruwang kerjane dhewe saperlu tatatata, eh jane ora tata-tata. Mung jupuk tas karo mbenakake lipstik lan ngandeli pupure sethithik. (ASR/P2/15) „Intan langsung balik ke ruang kerjanya sendiri sambil bersiap-siap, eh sebenarnya tidak bersiap-siap. Hanya mengambil tas dan membetulkan lipstik dan menebalkan bedaknya sedikit.‟ Data (356) mewujudkan majas koreksio dengan melakukan pengkoreksian pada pernyataan sebelumnya, ditandai dengan kalimat Intan langsung bali menyang ruwang kerjane dhewe saperlu tata-tata „Intan langsung balik ke ruang kerjanya sendiri sambil bersiap-siap‟ kemudian dikoreksi dalam kalimat selanjutnya menjadi eh jane ora tata-tata. Mung jupuk tas karo mbenakake lipstik lan ngandeli pupure sethithik „eh sebenarnya tidak bersiap-siap. Hanya mengambil tas dan membetulkan lipstik dan menebalkan bedaknya sedikit‟ 12.
Sarkasme Sarkasme adalah acuan yang lebih besar dari ironi dan sinisme.Gaya bahasa
ini selalu menyakitkan dan kurang enak didengar (Gorys Keraf, 2006:14). Sarkasme dianggap sebagai gaya bahasa sindiran yang paling kasar karena menggunakan kata-kata tertentu yang tidak sopan. Adapun data yang termasuk ke dalam sarkasme adalah sebagai berikut.
127 (357) “Dasar lonthe! Plak...!” Tangane Bregas mampir ing pipine Intan.(ASR/P2/23) “Dasar lonthe! Plak...!” Tangan Bregas mendarat di pipinya Intan.‟ (358) “yen dudu bonekah njur apa? WTS? Sebab mung WTS utawa lonthe sing gelem ngrebut bojone liyan.” (ASR/P30/326) „kalau bukan boneka terus apa? WTS? Sebab hanya WTS atau lonthe yang mau merebut suami orang.‟ (359) “Dhasar wong wedok gatel!” (ASR/P11/116) „Dasar wanita gatel!‟ (360) “aku ngerti, kowe selak gatel kepengin bisa sesandhingan karo dhemenanmu...(ASR/P12/125) „Aku paham, kamu sudah keburu gatal berkeinginan bisa bersandingan dengan selingkuhanmu...‟ (361) Kowe wanita lemer! Saiki kowe arep endha? (ASR/P13/136) „Kamu wanita selingkuh! Sekarang kamu mau mengelak?‟ (362) “Geneya kok ndadak mulih barang, kok ora ngeloni lonthemu wae,” kandhane Ines karo menjet remote ing tangane. Tivi mati pet! (ASR/P20/217) „Kenapa kok harus pulang segala, kok tidak menemani selingkuhanmu saja,” kata Ines sambil memencet remote ditangannya. Tv langsung mati!‟ (363) Umpama ana sing digetuni dening Intan jroning uripe ing donya iki, yaiku patemone karo Bregas, Priya nggantheng sing pranyata awatak sato lan duwe ati iblis. (ASR/P24/262) „Seumpama ada yang disesali oleh Intan selama hidupnya di dunia ini, yaitu pertemuannya dengan Bregas, pria ganteng yang nyatanya berwatak binatang dan mempunyai hati iblis.‟ (364) Ah, Bregas Jatmika, priya iku kaya dene iblis apengawak manungsa. Geneya biyen dheweke bisa ketarik karo manungsa iblis kaya iku? (ASR/P25/271) „Ah, Bregas Jatmika, lelaki itu seperti halnya iblis berbadan manusia. Kenapa dulu dirinya bisa tertarik dengan manusia iblis seperti itu?‟. (365) Ah, kuwi tresnane wong kenthir alias ora waras.(ASR/P29/314) „Ah, itu cinta orang gila alias tidak waras.‟ (366) “Kurang ajar! Dheweke wis kumawani ngilani dhadhaku!” (ASR/P5/47) „Kurang ajar! Dirinya sudah berani menghina dadaku!‟
128 (367) “Aku ra peduli. Dhasar wong lanang bajingan.” (ASR/P31/334) „Aku tidak peduli. Dasar laki-laki bajingan.‟ Data (357) sampai (367) terdapat gaya bahasa sarkasme, yaitu berupa sebutan kasar yang ditunjukan kepada seseorang, yang sebagian besar sebutan tersebut bahasa kasar khas daerah Jawa yang berkaitan dengan perselingkuhan, seperti (357) lonthe , (358) bonekah, WTS, (359) gatel, (360) dhemenanmu, (361) lemer, (362) lonthemu, (363) awatak sato dan ati iblis, (364) iblis apengawak manungsa „iblis berbadan manusia‟ dan manusia iblis „manusia iblis‟, (365) wongkenthir alias orawaras, (366) kurang ajar, (367) bajingan. Kata lonthe, gatel, bajingan merupakan bahasa kasar khas daerah Jawa yang inti artinya adalah kurang ajar. Namun di sisi lain kata (362) lonthemu „selingkuhanmu‟ dapat diartikan pula sebagai selingkuhan, orang yang suka bermain wanita disebut (357) lonthe, orang yang diselingkuhi disebut (360) dhemenanmu „selingkuhanmu‟, sedangkan wanita yang suka bermain selingkuh disebut dengan (361) lemer. Perbuatan selingkuh termasuk kedalamperbuatan yang (366) kurang ajar „kurang ajar‟. Data (363) awatak sato „berwatak binatang‟ dan ati iblis „berhati iblis‟ adalah umpatan yang biasanya ditujukan kepada orang yang kita benci karena sudah pernah menyakiti dan sering berbuat kasar. Data (364) iblis apengawak manungsa „iblis berbadan manusia‟ dan manusia iblis „manusia iblis‟ adalah salah satu sindiran kasar dari wujud kemarahan seseorang terhadap orang lain yang dianggap bertindak kasar, dan dianggap telah membuat trauma mendalam, tokoh yang dimaksud adalah Bregas Jatmika, mantan suami Intan Purnami. Sedangkan (365) wong kenthir „orang gila‟ dan ora waras „tidak waras‟ sebagai umpatan yang ditunjukan seseorang sebagai ungkapan kemarahan.
129 13.
Erotesis Erotesis atau pertanyaan retoris adalah gaya bahasa mempergunakan
kalimat tanya sebagai pertanyan retoris yang memiliki maksud untuk mencapai efek mendalam, namun tidak mengharapkan suatu jawaban. (368) “Tresna?” swara ing teleng atine. Intan mlenggak. Apa bener aku tresna karo dheweke? Apa bener perkawinanku karo dheweke adhedhasar tresna? Pitakone marang awake dhewe. (ASR/P3/31) “Cinta? suara di dalam hatinya. Intan lenggak-lenggok. Apa benar aku cinta dengan dia? Apa benar perkawinanku dengan dia berdasarkan cinta? Tanyanya pada dirinya sendiri.‟ (369) Apa aloke sing lanang mengko?(ASR/P3/33) „Apa kata suaminya nanti?‟ (370) Nanging Sekar Melur terus kepriye? Iku tansah dadi pamikiran. (ASR/P3/33) „Tetapi Sekar Melur terus bagaimana? Itu begitu menjadi pikiran.‟ Data (368) sampai (370) mewujudkan gaya bahasa retoris yang digunakan untuk menanyakan apakah yang akan terjadi kemudian. Pertanyaan tersebut tidak memerlukan jawaban dari orang lain, karena jawabannya sudah bisa dijawab penanya sendiri setelah mengalami segala kejadian yang sebelumnya. (371) Apa sesuk isih ana angete srengenge Sing bakal aweh prasapa? (ASR/P4/34) „Apa besok masih ada matahari‟ Yang bakal memberi sumpah untuk tidak melakukan?‟ (372) Apa sing kudu digelani? Ing terase nasip, rakitan crita pancen ora tau sampurna. (ASR/P5/45) „Apa yang harus disesalkan? Di hadapan nasib, rakitan cerita memang tidak pernah sempurna.‟ (373) Prasasti lawas kang tinatah ing tapak sejarah Banjur kakubur lebet, adoh saka ranggehan angkah. Apa iya kudu didhudhah ? (ASR/17/176) „Prasasti lama yang tertatah di tapak sejarah‟ „Lalu terkubur dala, jauh dari jangkauan maksud‟ „Apa iya harus dibuka?‟
130 Data (371) sampai (373) adalah penggambaran gaya bahasa retoris yang digunakan untuk menanyakan kepastian dari apa yang akan terjadi, tentang apa yang disesalkan, dan tentang kebingungan mengenai lembaran lama yang sudah ditutupnya rapat-rapat. Pertanyaan tersebut tidak perlu dijawab, karena yang sudah pasti bisa menjawab adalah penanya itu sendiri. 14. Metonimia Metonimia berasal dari bahasa Yunani meta „menunjukkan perubahan‟ dan anoma „nama‟, dapat disimpulkan metonimia adalah suatu gaya bahasa yang mempergunakan sebuah kata untuk menyatakan suatu ha lain, karena mempunyai pertalian yang sangat dekat. Hubungan itu dapat berupa penemu untuk hasil penemuan, pemilik untuk barang yang dimiliki, akibat untuk sebab, sebab untuk akibat, isi untuk menyatakan kulitnya, dan sebagainya (Gorys Keraf, 2010:142). Adapun penggunaan gaya bahasa metonimia terdapat pada data dibawah ini. (374) Dina iku uga Toyota Yaris werna abang metalik kuwi sida digawa bali menyang omahe. (ASR/P2/19) „Hari itu juga Toyota Yaris warna merah metalik itu jadi dibawa pulang kerumahnya.‟ (375) Ing parkiran mung ana kendharaan siji, Toyota Land Cruiser putih metalik, duweke. (ASR/P18/197) „Di parkiran cuma ada satu kendaraan, Toyota Land Cruiser putih metalik, miliknya‟ Data (374) dan (375) merupakan wujud penggunaan gaya bahasa metonimia. Hal tersebut terbukti, terdapat kata Toyota Yarisdan Toyota Land Cruiser yang mendengarnya kita akan terpacu kepada sebuah mobil. Maksudnya mobil tersebut bermerk Toyota. Penggunaan gaya bahasa metonimia ini difungsikan
untuk
mengurangi
kemonotonan
bahasa,
karena
meskipun
menggantinya dengan sebutan lain, pembaca masih tetap paham akan maksudnya.
131 15.
Polisindenton Polisindenton adalah gaya bahasa menyebutkan beberapa benda, hal, atau
keadaan secara berurutan dengan mempergunakan kata sambung. (376) Sawise ngentekake cemilan lan ngombe putih, Intan banjur bali mlebu kamarae, salin penganggo sarta dandan saperlune njur jumangkah marani bapake ing teras. (ASR/P8/86) „Setelah menghabiskan cemilan dan minum putih, Intan kemudian kembali masuk kamarnya, ganti baju dan berhias seperlunya lalu berjalan menghampiri bapaknya di teras.‟ Data (376) merupakan perwujudan gaya bahasa polisindenton, yaitu gaya bahasa yang menyebutkan keadaan secara berturut-turut dengan mempergunakan kata sambung yang menceritakan keadaan sawise ngentekake cemilan lan ngombe putih „setelah menghabiskan cemilan dan minum putih‟ kemudian dilanjutkan Intan banjur bali mlebu kamarae, salin penganggo sarta dandan saperlune „Intan kemudian kembali masuk kamarnya, ganti baju dan berhias seperlunya‟ yang dibuktikan dengan penggunaan kata sambung banjur „kemudian‟ dan kata sarta „dan‟, dan menuju keadaan berikutnya yaitu njur jumangkah marani bapake ing teras „lalu berjalan menghampiri bapaknya di teras‟ dibuktikan kata sambung njur „lalu‟ untuk menyatakan keadaan berikutnya. 16.
Alegori Alegori atau allgoria: allos,lain, agoreurein: ungkapan, pernyataan adalah
gaya bahasa yang digunakan untuk menyatakan sesuatu dengan cara lain, melalui kiasan atau penggambaran. (377) Nanging beras wis kebacut dadi liwet, ora bisa bali wutuh dadi beras maneh. (ASR/P9/95) „Tetapi beras sudah terlanjur dimasak, tidak bisa utuh menjadi beras lagi.‟
132 Data (377) menunjukkan penggambaran penggunaan gaya bahasa alegori, yaitu terdapat kata beras wis kebacut dadi liwet, ora bisa bali wutuh dadi beras maneh „beras sudah terlanjur dimasak, tidak bisa utuh menjadi beras lagi‟ ungkapan tersebut untuk menggantikan keadaan yang sudah terjadi tidak mungkin untuk dirubah lagi, seperti halnya pernikahan Bregas dengan Intan yang sudah terjadi, tidak mungkin dirubah karena sudah ada Sekar anaknya semata wayang. (378) Aku salah merga menilai wong mung saka gebyare. Ibarate milih barang aku kepencut marang bungkuse, marang kemasane, ora naliti luwih adoh apa isine uga apik kaya tampilan njabane. (ASR/P10/102) „Aku salah karena menilai orang hanya dari luarnya. Ibaratnya memilih barang aku tertarik dengan bungkusnya, pada kemasannya, tidak meneliti lebih dalam apa isinya juga bagus seperti tampilan luarnya.‟ Data (378) merupakan wujud gaya bahasa alegori, yaitu terdapat pada kata aku salah merga menilai wong mung saka gebyare „aku salah karena menilai orang hanya dari luarnya‟, dengan pengibaratan ibarate milih barang aku kepencut marang bungkuse, marang kemasane, ora naliti luwih adoh apa isine uga apik kaya tampilan njabane „ibaratnya memilih barang aku tertarik dengan bungkusnya, pada kemasannya, tidak meneliti lebih dalam apa isinya juga bagus seperti tampilan luarnya‟. Pengibaratan tersebut digunakan untuk mengganti pengalaman Intan yang hanya melihat Bregas dari penampilan luarnya saja, Intan terkecoh dengan penampilan Bregas yang ganteng dan perawakan tubuh proposional. 17.
Asindenton Menurut Gorys Keraf, 2004:131 asindenton adalah gaya bahasa yang berupa
acuan, yang bersifat padat dan mampat dimana beberapa kata, frasa, atau klausa
133 yang sederajat tidak dihubungkan dengan kata sambung. Bentuk-bentuk ini biasanya dipisahkan dengan koma. (379) “Yen ing rumah makan liyane piye? Pring Sewu, Lombok Abang, Lombok cimpling, Seruni, apa ngendi kek,..(ASR/P17/180) „Kalau dirumah makan yang lain bagaimana? Pring Sewu, Lombok Abang, Lombok cimpling, Seruni, apa dimana gitu,..‟ (380) Bisa ngaras mripate, pipine, lathine, njur...ah, ora!Yen sing keri dhewe kuwi Pram isih bisa ngendhaleni. (ASR/P20/214) „Bisa mencium matanya, pipinya, bibirnya, terus...ah, tidak! Kalau yang terakhir sendiri itu Pram masih bisa mengendalikan.‟ Data (379) dan (380) merupakan penggambaran gaya bahasa asindenton, seperti (379) Pring Sewu, Lombok Abang, Lombok cimpling, Seruni, apa ngendi kek,..‟Pring Sewu, Lombok Abang, Lombok cimpling, Seruni, apa dimana gitu,..‟, ketika menyebutkan berbagai pilihan tidak dengan kata hubung. Begitu pula data (380) bisa ngaras mripate, pipine, lathine, njur...ah, ora! „bisa mencium matanya, pipinya, bibirnya, terus...ah, tidak!‟ juga tanpa menggunakan kata penghubung, karena dianggap semua pilihan tersebut sederajat.
Tabel 2. Persentase Penggunaan Gaya bahasa dalam Novel Alun Samudra Rasa Karya Ardini Pangastuti Bn
No
Penggunaan Gaya Bahasa
Jumlah Penggunaan Gaya Bahasa (X)
Persentase
1.
Simile
13
18,3
2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Interupsi Antonomasia Sinekdoce Tautologi
2 3 2 2 5 2 10 1
2,8 4,2 2,8 2,8 7,1 2,8 14,1 1,4
Metafora Eufemisme Personifikasi Litotes
134 10. 11.
6 1
8,5 1,4
12.
Hiperbola Koreksio Sarkasme
11
15,5
13.
Erotesis
6
8,5
14.
Metonimia
2
2,8
15. 16. 17.
Polisindenton Alegori
1 2 2 71
1,4 2,8 2,8 100
Asindenton Jumlah Keterangan: X
= Banyak penggunaan gaya bahasa
ΣX
= Total keseluruhan penggunaan gaya bahasa
Berdasarkan tabel di atas, diketahui bahwa penggunaan gaya bahasa yang sering digunakan oleh pengarang adalah gaya bahasa simile ditemukan pada 13 data (18,3%). Penggunaan gaya bahasa simile tersebut bertujuan untuk mengibaratkan serta membandingkan suatu hal dengan hal lain agar makna ataupun hal yang dirasakan oleh pelaku dapat tersampaikan dengan jelas. Sehingga pembaca seolah-olah terhanyut dalam suasana yang tercipta didalam alur novel. D. Aspek Pencitraan dalam Novel Alun Samudra Rasa Karya Ardini Pangastuti Bn Sebagai reproduksi mental, pencitraan merupakan suatu ingatan masa lalu yang bersifat inderawi dan berdasarkan persepsi dan tidak selalu bersifat visual. Pencitaan menurut Wellek dan Warren (dalam Sutejo 2010:20) dibagi menjadi 5 macam yaitu citra penglihatan (visual imagery), citra pendengaran (audio imagery), citra penciuman, citra perabaan (tactil imagery) dan citra gerak (movement imagery). Aspek pencitraan yang hadir dalam sebuah novel
135 dimaksudkan untuk mensugestikan pembaca larut dalam pengalaman visual yang ada dalam cerita. Berikut ini pencitraan yang ada dalam novel Alun Samudra Rasa. 1.
Citra Penglihatan (Visual Imagery) Citra penglihatan adalah citraan yang memberikan rangasangan kepada
indera penglihatan, hingga sering hal-hal yang tak terlihat jadi seolah-olah terlihat. Citra penglihatan dalam NASR dikategorikan menjadi beberapa bagian, di antaranya terdapat hasil penglihatan yang mendeskripsikan keadaan dalam cerita, mendeskripsikan tetang Intan, Bregas, Sekar Melur, Pram, dan tamu pembeli lukisan ikan koi. Berikut adalah data-data yang termasuk kedalam citra penglihatan (visual imagery). (381) swasana langit sing mendhung....(ASR/P1/1) ‘suasana langit yang mendung‟ (382) Kamangka nalika budhal saka kos-kosan langite ora patia mendhung banget. Isih ana sulake padhang. (ASR/P3/29) „Padahal saat berangkat pergi dari kos-kosan langitnya tidak begitu mendung sekali. Masih ada awan cerah‟ (383) “...,”kandhane Pram karo masrahake pigura sing dibuntel kertas coklat. (ASR/P7/75) „...” kata Pram sambil menyerahkan pigura yang dibungkus kertas coklat‟. (384) Kaendahanmu rembulan, katon mbleret ing remenge pedhut wengi. (ASR/P13/131) „Keindahan bulan, terlihat meredup di gelapnya kabut malam‟ (385) Ing taman, kembang-kembang mekrok mamerake kaendahane. (ASR/P16/164) „Di taman, bung-bunga mekar memamerkan keindahannya‟ (386) Sawah, kebon lan wit-witan ijo ngrembuyung ngupengi bangunan pomahan pendhudhuk, katon endah sinawang saka kadohan. (ASR/P28/296)
136 „Sawah, kebun dan pepohonan hijau lebat mengelilingi bangunan rumah penduduk, terlihat indah dilihat dari kejauhan‟ (387) Langit timbreng Sajembare panyawang mung ana ireng lan peteng.. (ASR/P30/319) „langit mendung‟ „Seluas mata memandang hanya ada hitam dan gelap‟ (388) Rembulan gumandhul kepleng ing langit, ing antaranemayuta-yuta lintang.(ASR/P31/339) „Bulan menggantung nyata di langit, dia antara berjuta-juta bintang.‟ Data (381) sampai (388) merupakan citraan penglihatan hasil rangsangan yang didapat melalui indera penglihatan yang mendeskripsikan suasana dan keadaan
yang
ada
dalam
cerita
ASR.
(381)
swasana
langit
sing
mendhung„suasana langit yang mendung‟ yaitu menceritakaan latar yang ada dalam cerita ASR langit sedang mendung. (382) langite ora patia mendhung banget „langitnya tidak begitu mendung sekali‟, pencitraan langit dalam data ini menandakan kala Intan dan Bregas bepergian langat kala itu cerah, tidak begitu mendung. Data (383) ...masrahake pigura sing dibuntel kertas coklat „...menyerahkan pigura yang dibungkus kertas coklat‟, kata kertas coklat „kertas coklat‟ merupakan tangkapan hasil dari penglihatan mata saat mendeskripsikan wujud barang dan warna pemberian dari Pram. Data (384) kaendahanmu rembulan, katon mbleret ing remenge pedhut wengi „keindahan bulan, terlihat meredup di gelapnya kabut malam‟, menceritakan bulan di dalam cerita tertutup oleh kabut malam. Data (385) dan (388) mendeskripsikan bunga yang mekar di taman ditandai dengan kalimat (385) Ing taman, kembang-kembang mekrok mamerake
kaendahane
„di
taman,
bunga-bunga
mekar
memamerkan
keindahannya‟, dan kata (386) wit-witan ijo „pepohonan hijau‟, terdapat kata mekrok „mekar‟ dan ijo „hijau‟ yang merupakan rangsangan dari hasil indera
137 penglihatan. Data (387) mendeskripsikan hasil yang ditangkap oleh organ visual mata ketika melihat keadaan mendung semua terlihat hitam dan gelap. Hal tersebut terbukti adanya kata sajembare panyawang mung ana ireng lan peteng „seluas mata memandang hanya ada hitam dan gelap‟. Data (388) citraan penglihatan terletak pada kalimat rembulan gumandhul kepleng ing langit, ing antarane mayuta-yuta lintang „bulan menggantung nyata di langit, dia antara berjuta-juta bintang‟, merupakan hasil pendeskripsian mengenai bulan kala itu yang berjajar dengan beribu-ribu bintang dilangit. (389) Wanita karier sing ayu lan enerjik. (ASR/P1/1) „Wanita karier yang cantik dan enerjik‟ (390) Raine katon bingar. (ASR/P1/1) „Wajahnya nampak bahagia‟ (391) Sumringah kaya padatan. (ASR/P1/1) „Bahagia seperti biasanya‟ (392) Mripate katon urip lan lambene kaya-kaya nyungging esem. (ASR/P1/3) „Matanya nampak hidup dan bibirnya seakan-akan tersenyum‟ (393) Mripate katon mbendhul lan abang amarga kesuwen ngempet tangis. (ASR/P3/26) „Matanya nampak besar dan merah karena terlalu lama menahan tangis‟ (394) Pipine sing mau kena tangane sing lanang uga isih nyisahake werna abang lan malah katon rada bengeb. (ASR/P3/26) „Pipinya yang tadi terkena tangan suaminya dan masih menyisakan warna merah dan terlihat bengkak‟ (395) ...golek banyu anget kanggo ngompres pipine sing isih tembem.(ASR/P3/27) „...Mencari air hangat untuk mengompres pipinya yang masih tembem‟ (396) Mripate rasane isih mbriyut, nanging dipeksakake (ASR/P4/43) „Matanya terasa masih ngantuk, tetapi dipaksa bangun‟
tangi.
138 (397) Sing katon cetha, mripate ora sumunar endah kaya biasane,... (ASR/P7/70) „Yang nampak jelas, matanya tidak bersinar indah seperti biasanya,...‟ (398) Intan mung mesem tipis. Atine rasane kaya diiris. (ASR/P9/99) „Intan hanya tersenyum tipis. Hatinya seperti diiris.‟ (399) Intan mleruk. (ASR/P10/101) „Intan cemberut‟ (400) “Ana apa mbakyu, wajahmu kelihatan sendu,” aloke Ndari karo nyedhaki mejane. (ASR/P12/129) „Ada apa mbak, wajahmu kelihatan sendu,” tanya Ndari sambil mendekati mejanya.‟ (401) Digatekake, awake Intan tetep langsing lan singset kaya isih prawan lan raine tetep wae sumringah senajan mripate katon mendung. (ASR/P16/171) „di perhatikan, badannya Intan tetap langsing dan singset seperti masih prawan dan mukanya tetap ceria meskipun matanya nampak mendung‟ (402) “Masukan soal apa?” Pram nyawang Intan. Wanita iku isih tetep ayu lan katon luwih mateng. (ASR/P17/184) „Masukan soal apa?” Pram menatap Intan. Wanita itu masih tetap cantik dan terlihat matang‟ (403) “Eh Nami awakmu kurang sehat, Nami,” aloke manehsawise migatekake pasuryane Intan sing pancen katon rada pucet. (ASR/P26/274) „Eh Nami dirimu kurang sehat, Nami,” kata dia sehabis memperhatikan wajah Intan yang memang terlihat pucat.‟ (404) Pasuryane ora mung saderma pucet, nanging uga katon yen ora sehat. Lan mripate, senajan Intan ora crita nanging Pram ngerti yen wanita kang banget diasihi iku lagi digubel masalah. Mripate iku katon goreh. (ASR/P26/275) „Wajahnya tidak hanya sekedar pucat, tetapi juga terlihat tidak sehat. Dan matanya, meskipun Intan tidak bercerita tetapi Pram tau kalau wanita yang sangat dikasihi itu lagi terbelit masalah. Matanya itu nampak luka‟ (405) Luwih-luwih nalika nyawang pasuryane sing alum lan mripat sing biasane mencorong endah saiki uga katon rada mbleret. (ASR/P27/292) „Lebih-lebih saat melihat wajahnya yang lemas dan mata yang biasanya indah sekarang juga nampak sedikit redup‟
139
Data
(389)
sampai
(405)
merupakan
citraan
penglihatan
yang
mendeskripsikan keadaan Intan selama di dalam cerita. Data (389) ayu lan enerjik „cantik dan enerjik‟, mulanya Intan dideskripsikan sebagai gadis cantik yang enerjik, dengan muka terlihat (390) bingar „bahagia‟, (391) sumringah „ceria‟, dengan kelebihan mempunyai mata (392) urip lan lambene kaya-kaya nyungging esem „hidup dan bibirnya seakan-akan tersenyum‟. Data (393) mripate katon mbendhul lan abang amarga kesuwen ngempet tangis „matanya nampak besar dan merah karena terlalu lama menahan tangis‟, mendeskripsikan mata Intan yang besar dan nampak merah karena terlalu lama menangis memingat tamparan dari suaminya. Terlihat dari kata mbendhul „besar‟ dan abang „merah‟. Data (394) mendeskripsikan pipi Intan yang berwarna merah dan nampak lebam setelah ditampar suaminya. Terlihat data (394) terdapat kata abang „merah‟ dan bengeb „bengkak‟. Data (395) mendeskripsikan pipi Intan yang masih nampak tembem, terbukti adanya kata tembem pada kalimat golek banyu anget kanggo ngompres pipine sing isih tembem „mencari air hangat untuk mengompres pipinya yang masih tembem‟. Data (396) mripate rasane isih mbriyut, nanging dipeksakake tangi „matanya terasa masih ngantuk, tetapi dipaksa bangun‟, mendeskripsikan hasil rangsangan yang didapat indera penglihatan mengenai kondisi mata Intan yang masih belum dapat terbuka lebar saat bangun tidur. Data (397) sampai (400) merupakan citraan penglihatan mengenai sosok Intan setelah ditampar oleh Bregas. Data (397) mripate ora sumunar „matanya tidak bersinar‟, merupakan hasil pendeskripsian oleh Ibu Intan yang melihat adanya perubahan dari diri Intan saat datang kekediaman orang tuanya, yaitu matanya tidak bersinar seperti biasa. Data (398) Intan mung mesem tipis „Intan
140 hanya tersenyum tipis‟ adalah citraan penglihatan Pram saat bertemu di toko buku. Data (399) Intan mleruk „Intan cemberut‟ merupakan ekspresi Intan saat sedang berbicara dengan Pram. Data (400) “Ana apa mbakyu, wajahmu kelihatan sendu,” aloke Ndari „ada apa mbak, wajahmu kelihatan sendu,” tanya Ndari‟, pertanyaan yang diucapkan ndari menceritakan kekagetan raut muka Intan yang beda dari biasanya, terbukti dengan adanya kata kelihatan sendu „terlihat sendu‟. Data (401) digatekake, awake Intan tetep langsing lan singset kaya isih prawan lan raine tetep wae sumringah senajan mripate katon mendung „diperhatikan, badannya Intan tetap langsing dan singset seperti masih prawan dan mukanya tetap ceria meskipun matanya nampak mendung‟, termasuk dalam citraan penglihatan yang mendeskripsikan hasil penglihatan mengenai sosok Intan yang masih tetap langsing dan singset seperti masih perawan, wajah Intan yang tetap ceria meskipun matanya terlihat memikul beban yang berat di pikirannya. Data (402) sampai (405) citraan penglihatan mengenai Intan yang terletak pada (402) tetep ayu lan katon luwih mateng „tetap cantik dan terlihat matang‟ mendeskripsikan wajah Intan yang nampak cantik dan terlihat matang dikondisinya saat itu. Data selanjutnya mendeskripsikan wajah Intan yang nampak pucat dan tidak sehat, hal tersebut terdapat kata pucet „pucat‟ pada data (403) pasuryane Intan sing pancen katon rada pucet dan (404) Pasuryane ora mung saderma pucet, nanging uga katon yen ora sehat „wajahnya tidak hanya sekedar pucat, tetapi juga terlihat tidak sehat‟. Data (405) Luwih-luwih nalika nyawang pasuryane sing alum lan mripat sing biasane mencorong endah saiki uga katon rada mbleret „lebih-lebih saat melihat wajahnya yang lemas dan mata yang biasanya indah sekarang juga nampak sedikit redup‟, terdapat citraan penglihatan
141 saat melihat wajah Intan yang wajahnya nampak lemas, matanya tidak bersinar indah, terlihat agak redup, seperti (404) mripate sing endah iku katon goreh „matanya yang indah menyimpan masalah. (406) Mripate katon kumilat nyawang Bregas...(ASR/P2/20) „Matanya tajam melihat Bregas...‟ Citraan penglihat data (406) menggambarkan mata Intan yang nampak mengkilat dalam artian menatap dengan tajam saat melihat Bregas. (407) Rupane Bregas sing nggantheng cocok karo jenenge, kanthi dedeg lan bobot awak sing imbang,...(ASR/P3/8) „Wajahnya Bregas yang tampan cocok dengan namanya, dengan tinggi dan berat yang seimbang,...‟ (408) Raine Bregas sanalika langsung abang. Tangane nggegem. Kertas diremet karo untune digeget rapet .(ASR/P8/78) „Wajahnya Bregas saat itu juga merah. Tangannya menggenggam. Kertas diremas sambil giginya digigit rapat‟ (409) Mripate Bregas murup abang. (ASR/P13/134) „Matanya Bregas merah menyala‟ Citraan penglihatan data (407) sampai (409) menggambarkan sosok Bregas. Data (407) mendeskripsikan sosok Bregas yang tampan, dengan badan dan berat badan yang proposional. Data (408) mendeskripsikan wajah Bregas berwarna merah ketika marah. Sedangkan data (409) mendeskripsikan mata Bregas berwarna merah saat sedang marah dengan Intan. (410) Ditamat-tamatke raine sing kaya rembulan ndadari, pipine thipluk-thipluk lan awake katon kiyeng mratandhani yen sehat. (ASR/P7/74) „Diliat-liat wajahnya yang seperti rembulan ndadari, pipinya tembem dan badannya gemuk mempertandakan kalau sehat‟ Citraan penglihatan data (410) mendeskripsikan kondisi Sekar yang nampak seperti rembulan ndadari, pipinya tembem dan badannya terlihat gemuk yang mempertandakan Sekar sehat.
142 (411) Kecut! Bocah cilik iku nuduhake ekspresi sing lucu. Lambene nyungir-nyungir karo mripate merem-merem. (ASR/P15/153) „Kecut! Anak kecil itu menampakan ekspresi lucu. Bibirnya manyun sambil menutup mata‟ Data (411) mendeskripsikan ekspresi Sekar saat mencoba memakan buah mangga yang terasa kecut, bibirnya manyun sambil matanya merem-merem. (412) Saumpama sawayah-wayah kowe butuh bantuan kowe bisa kontak aku,” ujare Mr. Tanaka nalika dipamiti. Mripate uga katon mbrabak. Kembeng-kembeng. (ASR/P14/151) „Seumpama sewaktu-waktu butuh bantuan kamu bisa mengkontak aku,” kata Mr. Tanaka saat dipamati. MatanYa juga terlihat berkacakaca‟ Citraan penglihatan data (412) mendeskripsikan Mr. Tanaka yang nampak terharu ketika Intan pamit untuk mengundurkan diri dari perusahaannya. (413) Saka lawang mlebu katon priya nganggo klambi garis-garis warna biru lembut nenteng tas ireng lan nggawa stop map. (ASR/P16/173) „Dari pintu nampak pria memakai baju garis-garis berwarna biru lembut membawa tas hitam dan membawa stop map‟ Data (413) citraan penglihatan yang mendeskripsikan penampilan Pram saat menghadiri seminar, yaitu dengan baju bergaris-garis warna biru lembut, menenteng tas hitam dan membawa stop map. (414) Tamu kuwi sawenehe wanita kang ayu merak ati. Nganggo sepatu hak dhuwur, tas kulit import merek kondhang, rok sutra motif kembang kanthi ndhuwuran polos warna abang maron saka bahan kang alus. (ASR/P30/321) „Tamu itu ternyata wanita cantik yang menyenangkan hati. Memakai sepatu hak tinggi, tas kulit import bermerk terkenal, rok sutra motif bunga dengan atasn polos berwarna merah marun dari bahan yang halus ‟ Data (414) citraan penglihatan yang mendeskripsikan sosok Ines ketika datang ke artshop Intan, yaitu dengan sepatu hak tinggi, tas kulit import, memakai rok sutra bermotif bunga dengan atasan polos warna merah marun dengan bahan yang halus.
143 (415) Mleset adoh karo bayangane Intan, tamu kuwi pranyata wanita ayu umur-umurne watara seket taunan. Nanging isih katon enerjik, kebak semangat. (ASR/P22/239) „Meleset jauh dari bayangannya Intan, tamu itu adalah wanita cantik berumur kira-kira lima puluh tahunan. Tetapi masih kelihatan enerjik, penuh semangat.‟ Citraan penglihatan data (415) mendeskripsikan Miss. Clara yang nampak masih cantik, enerjik, penuh semangat meskipun sudah berumur limapuluh tahunan. 2.
Citra Pendengaran (Audio Imagery) Citra pendengaran adalah wujud dari pengalaman pendengaran atau audio.
Citra pendengaran dapat memberi rangsangan kepada indera pendengar sehingga mengusik imajinasi pembaca untuk memahami teks sastra secara utuh (Sutejo, 2010:21-22). Berikut data yang memuat mengenai citra pendengaran. (416) Kuwi wae jenenge uga dudu sepedha montor, nanging sepedha kumbang utawa udhug. Mbok menawa merga swarane sing dhug...dhug...dhug...(ASR/P1/8) „Itu sja namanya bukan sepeda motor, tetapi sepeda kumbang atau udhug. Barang kali kalau karena suaranya yang dhug...dhug...dhug...‟ Data (416) memberi gambaran mengenai penamaan sepeda kumbang atau udhug, karena hasil mendengar bunyinya dari sepeda motor yang menimbulkan suara dhug...dhug...dhug.. sehingga jaman dahulu sepeda motor disebut dengan sebutan udhug. (417) “Selamat ulang tahun?!” Pram narik tangane menyang papan sing rada peteng ing pojok teras, banjur cup..cup!(ASR/P7/75) „Selamat ulang tahun?!” Pram menarik tangannya menuju tempat yang sedikit gelap dipojok teras, lalu cup..cup!‟ Data (417) adegan mencium dalam cerita bisa digambarkan dengan onomatope cup...cup... karena ketika mencium dapat menimbulkan bunyi
144 cup..cup.., sehingga bunyi cup..cup dapat dijadikan sebagai penunjuk dari mencium. (418) Intan mung njegreg. Ora bisa kumecap. Jantunge dhag-dhig-dhug ora karuan. (ASR/P8/87) „Intan hanya terdiam. Tidak bisa berbicara. Jantungnya dhag-dhigdhug‟ (419) Intan nyendhekake sirahe ing dhadhane Pram, ngrungokake keteg jantunge priya iku. Dhig-dhug, dhig-dhug...dinikmati swara kuwi. (ASR/P28/308) „Intan menyenderkan kepalanya di dada Pram, mendengarkan detak jantung pria itu. Dhig-dhug, dhig-dhug...dinikmati suara itu‟ Data (418) dan (419) jantung diposisikan sebagai sumber bunyi karena ketika sedang berdetak indera pendengar akan merekam suara jantung yang berbunyi dhag-dhig-dhug. (420) Banjur pyar...!!! Gelas tiba ing jobin.(ASR/P13/137) „Lalu pyar...!!! Gelas jatuh ke lantai.‟ Data (420) terdapat onomatope kata pyar...!!! merupakan hasil bunyi tangkapan bunyi oleh telinga sebagai sumber bunyi yang berasal dari gelas ketika jatuh dan menimbulkan bunyi pyar...!!!. (421) Mesin distater banjur....wer...bablas.(ASR/P17/181) „Mesin distater lalu...wer...pergi‟ Data (421) mesin distater „mesin stater‟ dianggap sebagai sarana menimbulkan bunyi wer „wer‟ yang ditangkap oleh telinga sebagai penunjuk bahwa mesin menyala dan bergegas dijalankan. (422) “Thok..thok!” Tekan kono lamunane Intan ambyar. Gage dheweke menyat saka lungguhe ing ngarep cendhela, mlaku marani lawang. (ASR/P16/156) “Thok..thok!” „Sampai situ lamunan Intan pecah. Bergegas dirinya pergi dari tempat duduk di depan cendela, berjalan menghampiri pintu‟
145 Data (422) di atas terdapat citra pendengaran, yaitu pada kata thok..thok!. Suara thok..thok! merupakan bunyi hasil tangkapan telinga yang menandakan suara yang ditimbulkan saat mengetuk sebuah pintu. Citraan tersebut dimasukkan agar pembaca ikut merasakan situasi saat tokoh di dalamnya melamun dan terkejut saat mendengar suara ketukan pintu. 3.
Citra Penciuman Citra penciuman adalah gambaran yang didapat dari hasil pengalaman
indera penciuman. Berikut data yang memuat citra penciuman. (423) “Oh njenengan mabuk?” aloke maneh karo mlengos nalika “aroma” alkohol kuwi ngabar saka ababe sing lanang. (ASR/P4/40) „Oh kamu mabuk?” tanyanya lagi sambil mlengos saat aroma alkohol itu tercium dari bau mulut suaminya.‟ (424) Bubar kandha kaya mangkono Bregas langsung nyruput kopine. Bregas ngrasakake nikmat. Aroma kopi sing sedhep kuwi uga mahanani pikirane krasa luwih seger. (ASR/P12/122) „Setelah bilang seperti itu Bregas langsung meminum kopinya. Bregas merasakan nikmat. Aroma kopi yang sedap itu juga menjadikan pikirannya terasa lebih segar.‟ Data (423) dan (424) menunjukkan pengarang yang memanfaatkan citraan penciuman dengan menggunakan kata aroma „aroma‟. Data (423) memanfaatkan kata aroma „aroma‟ pada kata aroma alkohol „aroma alkohol‟ untuk menandakan aktivitas dari indra penciuman yaitu hidung yang mencium aroma alkohol. Data (424) aroma kopi sing sedhep „aroma kopi yang sedap‟, terdapat penggunaan kata aroma „aroma‟ menandakan aktivitas indera penciuman hidung menghirup aroma kopi yang sedap.
146 4.
Citra Perabaan (Tactil Imagery) Citra perabaan adalah penggambaran hasil pengalaman yang didapat
melalui indera peraba. Menurut (Sutejo, 2010:21-22) citraan perabaan seringkali menggambarkan bagaimana sesuatu secara “erotik” dan “sensual” dapat memancing imajinasi pembaca. Berikut data yang memuat citra perabaan. (425) Luwih-luwih nalika tangane nggrayangi pipine sing tilas kena tangane sing lanang,...(ASR/P3/24) „Lebih-lebih saat tangannya merabai pipinya bekas terkena tangan suaminya‟ Data (425) menunjukkan citra perabaan yang memanfaatkan tangan untuk meraba pipi. Hal tersebut terbukti terdapat kata tangane nggrayangi pipine „ tangannya merabai pipinya. (426) Nanging elusan tangane Pram sing lembut nang sirahe mahanani perasaane dadi ayem. (ASR/P3/30) „Tetapi rabaan tangan Pram yang lembut di kepalanya menjadikan perasaannua jadi tenang.‟ (427) ..”ujare Bu Sartana sareh karo ngelus rambute anake wadon. Kebak asih.(ASR/P6/66) „...”kata Bu Sartana sabar sambil mengelus rambut anak perempuannya. Penuh kasih.‟ Data (426) dan (427) menunjukan citra perabaan tangan untuk mengeluselus tangan dan rambut. Hal tersebut dikuatkan dengan pada data (426) elusan tangane Pram „elusan tangannya Pram‟, menandakan Pram sedang mengelus tangan Intan. Data (427) dikuatkan pada kata ngelus rambute „mengelus rambutnya‟. Hal ini menunjukkan kasih sayang seorang ibu yang ditandai dengan Bu Sartana mengelus rambut anaknya. (428) Bregas ngelus-elus pipine sing kena kaplokane sing wadon. (ASR/P11/115) „Bregas mengelus-elus pipinya yang terkena tamparan istrinya.‟
147
Citra perabaan pada data (428) digambarkan melalui elusan terhadap pipi, yang dikuatkan adanya kata ngelus pipine „mengelus pipinya‟, sebagai tanda rasa sakit bekas tamparan istrinya. (429) Ora mung saderma ngelus geger, nanging diremet pundhake lan diarasi rambute. (ASR/P21/227) „Tidak hanya sekedar mengelus punggung, tetapi meremas pundak dan dibelai rambutnya.‟ Data (429) pengarang menggunakan indera peraba tangan mengelus punggung, meremas pundak dan membelai rambut, dikuatkan dengan kalimat ngelus geger, nanging diremet pundhake lan diarasi rambute „mengelus punggung, tetapi meremas pundak dan dibelai rambutnya‟. Perabaan yang dilakukan sebagai wujud kasing sayang seorang pria terhadap wanita. 5.
Citra Gerak (Movement Imagery) Citra gerak merupakan penggambaran sesuatu yang sesungguhnya tidak
bergerak, tetapi dilukiskan sebagai dapat bergerak, ataupun gambaran gerak pada umumnya (Sutejo, 2010:21-22). Berikut data yang memuat citra gerak. (430) Dasar lonthe!Plak...! Tangane Bregas mampir ing pipine Intan. (ASR/P2/23) „Dasar lonthe!Plak...! Tangannya Bregas mampir dipipinya Intan.‟ Data (430) menggambarkan citra gerak yang terbukti terdapat kata onomatope plak...! „plak...!‟ sebagai wujud gerakan menampar dan dikuatkan dengan keterangan selanjutnya yaitu tangane Bregas mampir ing pipine Intan „tangannya Bregas mampir dipipinya Intan‟. (431) Intan nyoba nggandheng lengene sing lanang, nanging tangane langsung dikipatake dening Bregas.. (ASR/P2/20) „Intan coba menggandeng lengan suaminya, tetapi tangannya langsung dikibaskan.‟
148 Data (431) menggambarkan citra gerak tangan, dibuktikan adanya kata nggandeng „menggandeng‟ dan dikipatake „dikibaskan‟ yang merupakan wujud kata kerja aktif, ditandai dengan gerakan tangan yang menggenggam dan mengibaskan tangan sebagai wujud penolakan. (432) Intan menyat saka lungguhe, njupuk cangkir ing rak kanggo gawe sereal minangka gantine sega. (ASR/P4/44) „Intan bergegas dari duduknya, mengambil cangkir di rak untuk embuat sereal sebagai pengganti nasi.‟ Citra gerak pada data (432) dibuktikan dengan kalimat Intan menyat saka lungguhe, njupuk cangkir ing rak „Intan bergegas dari duduknya, mengambil cangkir di rak‟, terdapat kata menyat saka lungguhe „bergegas dari duduknya‟ sebagai wujud awal gerak pada umumnya. Kemudian dilanjutkan dengan aktivitas gerak berikutnya yaitu njupuk cangkir ing rak „mengambil cangkir di rak. (433) Sekar ora wangsulan. Nanging langsung mulungake tangane lan ngethapel njaluk gendhong. Banjur ngesun pipine bundane sengaksengok kiwa tengen. (ASR/P5/51) „Sekar tidak menjawab. Tetapi langsung menyodorkan tanggannya dan memeluk minta gendong. Lalu mencium pipi bundanya cipikacipiki kiri kanan. Data (433) mewujudkan citra gerak memeluk meminta gendong, ditandai dengan kata mulungake tangan lan ngetaphel njaluk gendhong „menyodorkan tanggannya dan memeluk meminta gendong‟. Gerakan dihasilkan saat Sekar menyodorkan tangan, dan memeluk erat ibunya. (434) Wanita ing sisihe iku disawang banjur digapyuk. Tangane ngrayuk awake Intan. (ASR/P20/213) „Wanita di sampingnya itu dipandang lalu dipegang. Tangannya merangkul tubuh Intan‟ Data (434) mewujudkan citra gerak yang ditandai dengan kata digapyuk „disentuh‟ sebagai kata kerja pasif dan ngrayuk „merangkul‟ sebagai kata kerja
149 aktif yang digunakan untuk membuktikan adanya gerakan memegang dan merangkul. (435) Ines gregetan. Rumangsa diremehake. Ana majalah kandel ing meja cedhake, diranggeh lan disawatake sing lanang. (ASR/P31/334) „Ines geregetan. Merasa diremehkan. Ada majalah tebal di meja dekatnya, diambil dan dilemparkan ke suaminya.‟ Citra gerak data (435) merupakan wujud gerakan tangan, dibuktikan dengan kata diranggeh „diambil‟ dan disawetake „dilempar‟. Keduanya merupakan bentuk kata kerja pasif yang menghasilkan proses gerak tangan. (436) Nanging Clara gedheg lan pasuryane katon yen cuwa. (ASR/P22/240) „Tetapi Clara menggeleng kepala dan wajahnya terlihat kalau kecewa‟. Citra gerak data di atas merupakan wujud citra gerak kepala, dibuktikan dengan kata gedheg „menggeleng kepala‟, menggelengkan kepala sebagai wujud simbol penolakan seseorang. Tabel 3. Persentase Aspek Pencitraan dalam Novel Alun Samudra Rasa Karya Ardini Pangastuti Bn
Persentase Aspek Pencitraan
No
Jumlah Aspek Pencitraan (X)
1. 2. 3. 4. 5.
Citra Penglihatan Citra Pendengaran Citra Penciuman Citra Perabaan Citra Gerak Jumlah Keterangan:
35 7 2 5 7 56
X
= Banyaknya aspek pencitraan
ΣX
= Total keseluruhan aspek pencitraan
62,5 12,5 3,5 9 12,5 100
150 Berdasarkan tabel di atas, diketahui bahwa aspek pencitraan yang sering digunakan oleh pengarang adalah citra penglihatan ditemukan sebanyak 35 data (62,5%). Pemanfaatan citra penglihatan tersebut bertujuan untuk mendeskripsikan baik suasana maupun keadaan tokoh yang ada dalam cerita. Menjadikan tampak nyata, membawa pembaca larut kedalam alur cerita seolah-olah ikut melihat kejadian tersebut secara nyata.