1
BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Konsep tentang mekanisme penyusunan program kerja pemerintah daerah,
termasuk dalam ranah konsep kebijakan keuangan negara. Fungsi pemerintahan dalam berbagai bidang yang kemudian menimbulkan hak dan kewajiban negara dalam mengelola keuangan negara melahirkan Sistem Pengelolaan Keuangan Negara. Penyusunan program kerja pemerintah daerah merupakan bagian yang tak terpisahkan dari sistem pengelolaan keuangan negara tersebut, yakni berkaitan dengan penyusunan dan penetapan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Keberhasilan pelaksanaan otonomi daerah dapat dicerminkan dari peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat, keadilan, pemerataan, keadaan yang semakin maju, serta terdapat keserasian antara pusat dan daerah serta antar daerah. Hal yang dapat mewujudkan keadaan tersebut salah satunya apabila kegiatan APBD dilakukan dengan baik. Dikarenakan pada saat ini pemerintah menggunakan penganggaran bebasis pendekatan kinerja, maka reformasi anggaran tidak hanya pada aspek perubahan struktur APBD, namun juga diikuti dengan perubahan proses penyusunan anggaran. APBD merupakan salah satu instrument utama pembangunan daerah dalam rangka memacu pertumbuhan dan pemerataan ekonomi, serta menyediakan pelayanan dasar yang memadai bagi masyarakat. Setiap tahun pemerintah daerah menyusun APBD. Tujuan penyusunan APBD adalah sebagai pedoman
2
pengeluaran dan penerimaan daerah agar terjadi keseimbangan yang dinamis, dalam proses pelaksanan kegiatan-kegiatan di daerah demi tercapainya pertumbuhan ekonomi, peningkatan produksi dan peningkatan kesempatan kerja. Strategi penganggaran dalam APBD tidak dapat dipisahkan dengan kebijakan pembangunan untuk mewujudkan pembangunan yang terarah dan akuntabel. Berpijak pada kondisi makro ekonomi daerah, asumsi-asumsi penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), proyeksi pendapatan daerah serta prioritas pembangunan yang telah disepakati, selanjutnya dialokasikan Plafon Prioritas Anggaran Sementara (PPAS) untuk program/ kegiatan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) dalam rangka mewujudkan target kerja serta prioritas pembangunan tersebut. Proses penyusunan Rancangan APBD pada umumnya didahului dengan penyusunan kerangka kebijakan anggaran berupa KUA (Kebijakan Umum Anggaran) dan PPAS (Prioritas dan Plafon Anggran Sementara). Penyusunan KUA merupakan upaya untuk mencapai visi, misi, tujuan dan sasaran yang ada dalam Rencana Strategis Daerah (Renstrada). Kebijakan di bidang keuangan merupakan pernyataan yang dibuat dan diterapkan oleh kepala daerah dan disepakati oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) untuk menjelaskan manajemen keuangan daerah. Secara umum, kebijakan di bidang keuangan merupakan tindakan resmi yang diambil oleh suatu organisasi untuk mendukung pelaksanaan tujuan dan sasaran yang hendak dicapai di bidang keuangan. Kebijakan memberikan suatu kerangka untuk manajemen keuangan dan acuan untuk melaksanakn urusan-urusan keuangan suatu pemerintah daerah.
3
Fungsi KUA-PPAS dari sisi akuntabilitas, berupa Nota Kesepahaman KUA-PPAS ini menjadi dasar pertanggungjawaban pelaksanaan APBD, dalam konteks sejauh mana ini sesuai dengan prioritas kebijakan anggaran. Dari sisi disiplin anggaran, KUA-PPAS dikunci untuk membangun disiplin anggaran yang bersifat menyeluruh, sesuai plafon yang telah disepakati. Dari sisi efisiensi teknis, informasi daftar program dan kegiatan di KUA dan PPAS akan lebih memudahkan dan mempercepat penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran (RKA) SKPD. Jadi KUA-PPAS sendiri bukan merupakan APBD yang sudah disahkan, tapi hanya produk untuk memudahkan dan memperlancar proses penyusunan APBD. Reformasi pengelolaan keuangan negara di Indonesia yang diawali dengan terbitnya Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara telah membawa banyak perubahan mendasar dalam pengelolaan keuangan negara. Perubahan mendasar tersebut diantaranya adalah diperkenalkannya pendekatan penganggaran berbasis kinerja (performance-based budgeting) dalam penyusunan anggaran pemerintah. Sejalan dengan itu, dalam kerangka otonomi daerah, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah membuka peluang bagi daerah untuk mengembangkan dan membangun daerahnya sesuai dengan kebutuhan dan prioritas masing-masing. Kedua undang-undang ini membawa konsekuensi bagi daerah dalam bentuk pertanggungjawaban atas pengalokasian dana yang dimiliki dengan cara yang efektif dan efisien.
4
Struktur perencanaan pembangunan di Indonesia berdasarkan hirarki dimensi waktunya sesuai Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN) dibagi menjadi perencanaan jangka panjang, jangka menengah dan jangka pendek (tahunan), sehingga dengan Undang-Undang ini kita mengenal satu bagian penting dari perencanaan wilayah yaitu apa yang disebut sebagai rencana pembangunan daerah, yaitu Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJP-D), Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJM-D) dan Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) serta Rencana Strategis Satuan Kerja Perangkat Daerah (Renstra-SKPD) dan Rencana Kerja Satuan Kerja Perangkat Daerah (Renja-SKPD) sebagai kelengkapannya. Perencanaan pembangunan daerah seperti diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang SPPN, mewajibkan daerah untuk menyusun Rencana Pembangunan Jangka Panjang yang berdurasi waktu 20 (dua puluh) tahun yang berisi tentang visi, misi dan arah pembangunan daerah. Berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 13 Tahun 2006, penganggaran terpadu (unified budgeting) adalah penyusunan rencana keuangan tahunan yang dilakukan secara terintegrasi untuk seluruh jenis belanja guna melaksanakan kegiatan pemerintahan yang didasarkan pada prinsip pencapaian efisiensi alokasi dana. Dalam pelaksanaan pengelolaan keuangan di daerah, Pemerintah telah menetapkan Undang-undang (UU) Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah atas perubahan Permendagri Nomor 21 Tahun 2011 sebagai pedoman dalam pelaksanaan, penatausahaan APBD dan laporan keuangan juga mencakup kebijakan akuntansi. Prinsip penyusunan APBD
5
berdasarkan Permendagri Nomor 21 Tahun 2011 yaitu : (1) APBD disusun sesuai dengan kebutuhan penyelanggara pemerintah daerah, (2) APBD harus disusun secara tepat waktu sesuai tahapan dan jadwal, (3) Penyusunan APBD dilakukan secara transparan, dimana memudahkan masyarakat untuk mengetahui dan mendapatkan akses informasi seluas-luasnya tentang APBD, (4) Penyusuanan APBD harus melibatkan partisipasi masyarakat, (5) APBD harus memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan, (6) Substansi APBD dilarang bertentangan dengan kepentingan umum, peraturan yang lebih tinggi dan peraturan daerah lainnya. Dalam penyusunan anggaran pendapatan dan belanja daerah pemerintah menetapkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2013 yang mencakup mengenai Sinkronisasi Kebijakan Pemerintah Daerah dengan
Kebijakan
Pemerintah,
Prinsip
Penyusunan
APBD,
Kebijakan
Penyusunan APBD, Teknis Penyusunan APBD dan hal-hal khusus lainnya. Disharmoni antara APBD dan KUA-PPAS dipengaruhi oleh kompetensi Sumber Daya Manuasia (SDM).
Sumber Daya Manusia merupakan elemen
organisasi yang sangat penting, karenanya harus dipastikan sumber daya manusia ini harus dikelola sebaik mungkin agar mampu memberikan kontribusi secara optimal dalam upaya pencapaian tujuan organisasi. Sumber daya manusia diukur berdasarkan latar belakang pendidikan, pemahaman tentang tugas, kesiapan dalam memahami melakukan perubahan dalam proses penyusunan anggaran. Agar perencanan APBD berkualitas, maka setiap SKPD harus memiliki sumber daya manusia yang mampu untuk melaksanakannya dan perlu dilakukannya suatu
6
peremajaan sumber daya manusia dengan jalan melakukan pelatihan-pelatihan tentang pengelolaan keuangan daerah. Partisipasi masyarakat sangat penting dalam siklus anggaran. Transparansi anggaran juga diperlukan untuk meningkatkan pengawasan. Transparansi merupakan salah satu prinsip good governance. Transparansi dibangun atas dasar arus informasi yang bebas, seluruh proses pemerintahan, lembaga-lembaga dan informasi yang tersedia harus memadai dan mudah dimengerti. Setiap proses penyusunan dokumen rencana pembangunan memerlukan koordinasi antar instansi pemerintah dan partisipasi seluruh pelaku pembangunan melalui
suatu
forum
yang
disebut
sebagai
Musyawarah
Perencanaan
Pembangunan atau Musrenbang. Penyelenggaraan Musrenbang ini difasilitasi dan didanai oleh pemerintah, provinsi, kabupaten/kota. Penyelenggaraan Musrenbang di Daerah dalam rangka penyusunan Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) dilakukan melalui proses pembahasan masyarakat dengan pemerintah daerah guna penyenyerapan aspirasi masyarakat dalam pembangunan daerah. Titik berat pembahasannya adalah pada sinkronisasi rencana kerja SKPD, dan antara Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah dan masyarakat (Rudianto, 2007). Pengamat Politik Universitas Gadjah Mada Hasrul Hanif (2012) mengungkapkan adanya ketidaktransparan dalam proses penganggaran di DPR, dan masyarakat hanya dilibatkan dalam usulan perencanaan pembangunan saja, sehingga alokasi untuk pembangunan gedung DPR dengan nilai yang fantastis tidak bisa dikontrol oleh masyarakat, alhasil penyalahgunaan sering kali terjadi dan sampai saat ini penganggaran masih sangat tertutup dan hanya melibatkan
7
segelintir birokrasi dan politisi. Bahkan, meski Undang-Undang tentang Keterbukaan Informasi Publik telah mengamanatkan bahwa dokumen anggaran merupakan dokumen publik, namun tetap saja sulit diakses oleh masyarakat. Fenomena ini bertolak belakang dengan Undang-Undang Nomor 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, dimana pada pasal 4 disebutkan bahwa setiap orang berhak : (a) melihat dan mengetahui Informasi Publik, (b) menghadiri pertemuan publik yang terbuka untuk umum untuk memperoleh Informasi Publik, (c) mendapatkan salinan Informasi Publik melalui permohonan sesuai dengan Undang-Undang ini, dan / atau (d) menyebarluaskan Informasi Publik sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Terkait dengan polemik pemasukan KUA-PPAS dalam E-Budgeting, pada dasarnya E-Budgeting merupakan alat untuk terlaksananya transparansi anggaran dimana publik bisa mengetahui proses dan penetapan serta alokasi anggaran yang ditetapkan bersama oleh Pemda dan DPRD. Sementara KUA-PPAS sendiri merupakan hasil antara dari proses penyusunan anggaran serta menjadi bahan pembahasan APBD antara Pemda dan DPRD. KUA-PPAS bukan merupakan hasil akhir dari keputusan APBD yang akan dilaksanakan. Sementara publik juga perlu mengetahui hasil akhir dari anggaran yang ditetapkan dan alokasi belanja untuk didaerahnya. Permasalahan yang sering muncul dalam transparansi publik pada hampir semua pemerintahan diantaranya adalah masalah pengadaan barang untuk kepentingan publik. Tender pengadaan barang untuk kepentingan publik sering dinilai tidak transparan, sarat dengan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN), tidak efektif dan efisien
8
Penyusunan APBD didasarkan pada perencanaan yang sudah ditetapkan terlebih dahulu, mengenai program dan kegiatan yang akan dilaksanakan. Berdasarkan pelaksanaannya, perencanaan ditingkat pemerintah daerah dibagi menjadi tiga kategori yaitu : Rencana Jangka Panjang Daerah (RPJDP) merupakan perencanaan pemerintah daerah untuk periode 20 tahun; Rencana Jangka Menengah Daerah (RPJMD) merupakan perencaan pemerintah daerah untuk periode 5 tahun; dan Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) merupakan rencana tahunan daerah. Sedangkan perencanaan ditingkat SKPD terdiri dari : Rencana Strategi (Renstra) SKPD merupakan rencana untuk periode 5 tahun. Dalam konteks yang lebih sempit APBD merupakan sumber dana dari segala kegiatan yang dilaksanakan (diselenggarakan) pemerintah daerah untuk kepentingan masyarakat daerah atau pengembangan dan pembangunan daerah. Dalam perkembangannya APBD selalu mengalami pasang surut sejalan dengan perkembangan ekonomi daerah dan nasional. Krisis adalah salah satu factor yang mengganggu APBD dan penggunaannya Proses perencanaan anggaran yang tidak direncanakan dengan baik bisa menjadi penyebab disharmoni antara KUA-PPAS dengan APBD. Perencanaan anggaran akan tersusun dengan baik apabila melibatkan aparatur yang memahami mengenai prosedur dalam penyusunan RKA dan juga mengetahui kebutuhan dari kegiatan-kegiatan yang akan direncanakan. Tenaga yang berkompeten dalam penyusunan perencanaan anggaran harus mengetahui informasi yang valid mengenai pedoman penyusunan RKA yang akan dituangkan dalam penyusunan RKA.
9
Dinamika politik juga tidak bisa lepas dalam proses penyusunan APBD. Legislatif sebagai principal bagi eksekutif memunculkan perilaku oportunistik legislatif untuk merealisasikan kepentingannya melalui discretionary power yang dimilikinya. Perilaku oportunistik tersebut dimana anggaran dipergunakan oleh legislatif (politisi) untuk memenuhi self-interest-nya, hal ini sesuai dengan hasil dari penelitian Abdullah dan Asmara (2006) yang menunjukkan bahwa adanya upaya legislatif mempengaruhi keputusan alokasi anggaran belanja di APBD untuk memenuhi kepentingan pribadinya. APBD yang merupakan bentuk kebijakan politik yang disusun oleh pihak eksekutif dan legislatif, termuat rencana-rencana program pembangunan yang akan dilaksanakan oleh aparatur pemerintah. Keputusan politik oleh kepala daerah mempengaruhi penganggaran. Program yang menjadi prioritas tentunya diutamakan dalam penganggaran dibandingkan dengan program atau kegiatan lainnya. Begitu pentingnya politik anggaran bagi sebuah daerah, yang akan menentukan seperti apakah kondisi daerah lima tahun mendatang akan sangat berpengaruh oleh kebijakan politik anggaran yang dihasilkan kepala daerah. Disharmoni antara KUA-PPAS dengan APBD dapat juga dikarenakan prosedur dalam pelaksanaan dana perimbangan/transfer ke daerah belum optimal. Direktorat Dana Perimbangan bertugas menyiapkan perumusan kebijakan, koordinasi dan fasilitasi, perhitungan alokasi, standarisasi, bimbingan teknis, dan pelaksanaan di bidang Transfer ke Daerah. Direktorat Dana Perimbangan diantaranya memiliki fungsi pelaksanaan transfer Dana Bagi Hasil (DBH), Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), Dana perimbangan/
10
transfer
bertujuan untuk pemerataan kemampuan keuangan antardaerah yang
dimaksudkan untuk mengurangi ketimpangan kemampuan keuangan antardaerah dengan mempertimbangkan kebutuhan dan potensi daerah selain itu dana perimbangan/ transfer bertujuan untuk mendanai kegiatan khusus yang menjadi urusan daerah dan merupakan prioritas nasional, sesuai dengan fungsi yang merupakan perwujudan tugas kepemerintahan di bidang tertentu, khususnya dalam upaya pemenuhan kebutuhan sarana dan prasarana pelayanan dasar masyarakat. Permasalahan
umum
yang
menjadi
kendala
terlambatnya
dana
perimbangan/transfer ke daerah dikarenakan keterlambatan informasi, dalam penyediaan data dasar penerbitan Peraturan Menteri Keuangan (PMK). Keterlambatan penyampaian data perkiraan penerimaan Jenderal Perimbangan Keuangan (DJPK),
kepada Direktorat
diakibatkan karena penetapan
Anggaran Pusat bersamaan dengan penetapan APBD di Daerah, sehingga proses penyusunan PMK untuk penetapan alokasi bagian daerah juga sering mengalami keterlambatan informasi yang diterima oleh pemerintah daerah. Penganggaran sektor publik terkait dengan proses penentuan jumlah alokasi dana untuk tiap-tiap program dan aktivitas dalam satuan moneter. Proses penganggaran organisasi sektor publik dimulai ketika perumusan strategi dan perencanaan strategi telah selesai dilakukan. Tahap penganggaran menjadi sangat penting karena anggaran yang tidak efektif dan tidak berorientasi pada kinerja akan berdampak pada perencanaan yang telah disusun. Anggaran sektor publik
11
merupakan instrumen akuntabilitas atas pengelolaan dana publik dan pelaksanaan program-program yang dibiayai dari uang publik (Mardiasmo, 2004). Pembangunan daerah akan menunjukkan hasil jika didasari atas perencanaan yang matang. Upaya perbaikan pengelolaan keuangan daerah khususnya perencanaan APBD, masih merupakan agenda strategis bagi percepatan peningkatan kesejahteraan rakyat di darah, yang merupakan inti dari kewajiban Daerah, DPRD dan Kepala Daerah. Peraturan perundang undangan telah memberikan arahan dan teknis dari penyusunan perencanaan hingga penganggaran. Salah satu yang diamanatkan dalam peraturan
perundang
undangan adalah Penyusunan Kebijakan Umum Anggaran (KUA) yang memuat tentang asumsi perkembangan kondisi internal dan eksternal daerah terkait dengan potensi kondisi keuangan di tahun tersebut. Tabel 1.1 Disharmoni antara KUA - PPAS dan APBD Kabupaten Tabanan Tahun 2010 – 2014
Tahun 2010
KUA-PPAS Pendapatan Belanja Daerah (Ribuan Rp) (Ribuan Rp) 655.006.500 696.918.700
APBD Pendapatan Belanja Daerah (Ribuan Rp) (Ribuan Rp) 655.099.000 696.921.320
2011
855.701.600
905.755.620
870.487.000
920.541.200
2012
952.896.800
993.416.800
956.531.600
996.251.600
2013
1.107.276.600
1.138.996.600
1.110.810.800
1.142.530.800
2014
1.252.687.700
1.257.407.735
1.260.942.535
1.287.757.355
Sumber :Pemerintah Kabupaten Tabanan KUA-PPAS dan APBD 2010 – 2014 (data diolah) Berdasarkan data pada Tabel 1.1, dalam periode 5 (lima) tahun terlihat adanya disharmoni antara KUA-PPAS dengan APBD. Selisish pendapatan dan
12
belanja daerah antara APBD dengan KUA-PPAS dalam periode tahun 2010 sampai 2014 terlihat pada grafik berikut : Grafik 1.1 Selisih Pendapatan antara APBD dan KUA-PPAS Tahun 2010 -2014
16000000
14,785,400
14000000 12000000 Tahun
10000000
8,254,835 Selisih Pendapatan antara APBD dengan KUA PPAS
8000000 6000000
3,634,800
3,534,200
4000000 2000000 0
92,500 2010
2011
2012
2013 2014
Sumber :Pemerintah Kabupaten Tabanan KUA-PPAS dan APBD 2010 – 2014 (data diolah) Grafik 1.2 Selisih Belanja Daerah antara APBD dan KUA-PPAS Tahun 2010 - 2014 35000000 30,349,620 30000000 25000000
Tahun
20000000 14,785,580
Selisih BD antara APBD dengan KUA-PPAS
15000000 10000000 5000000 0
3,534,200 2,834,800
2,620 2010
2011
2012
2013
2014
Sumber :Pemerintah Kabupaten Tabanan KUA-PPAS dan APBD 2010 – 2014 (data diolah)
13
Pada Grafik 1.1 dan Grafik 1.2 terlihat bahwa selisih pendapatan antara APBD dan KUA-PPAS dan belanja daerah antara APBD dan KUA-PPAS dalam periode lima (5) tahun selalu mengalami peningkatan. Selisih (dalam jutaan) pada pendapatan antara APBD dan KUA-PPAS tahun 2010 dari Rp. 92.500 meningkat pada tahun 2014 sebesar Rp. 8.254.835. Untuk selisih belanja daerah antara APBD dan KUA-PPAS dari Rp. 2.620 pada tahun 2010 meningkat menjadi Rp. 30.349.620,- pada tahun 2014 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan dari uraian latar belakang tersebut di atas maka dapat dirumuskan rumusan masalah sebagai berikut. 1)
Adakah
korelasi antara
variat
KUA-PPAS dengan variat APBD
Kabupaten Tabanan ? 2) Variabel manakah diantara variabel perencanaan anggaran, politik anggaran, kompetensi SDM, dana perimbangan/ transfer dan transparansi publik yang dominan mempengaruhi disharmoni antara KUA-PPAS dengan APBD Kabupaten Tabanan ? 1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan dari rumusan masalah, maka yang menjadi tujuan penelitian dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. 1)
Menganalisis apakah ada korelasi antara variat KUA-PPAS dengan variat APBD Kabupaten Tabanan.
2)
Menganalisis diantara variabel perencanaan anggaran, politik anggaran, kompetensi SDM, dana perimbangan/ transfer dan transparansi publik,
14
manakah yang paling dominan mempengaruhi disharmoni antara
KUA-
PPAS dengan APBD Kabupaten Tabanan. 1.4 Manfaat Penelitian Berdasarkan atas tujuan penelitian tersebut, maka kegunaan penelitian adalah. 1) Manfaat Akademik a. Bagi peneliti, penelitian ini bermanfaat untuk memperdalam pengetahuan peneliti di bidang perencanaan keuangan daerah, khususnya pengaruh kompetensi sumber daya manusia, transparansi publik, perencanaan anggaran, politik anggaran dan dana perimbangan/ transfer
terhadap
disharmoni antara KUA-PPAS dengan APBD. b. Menjadi masukan bagi rekan-rekan yang berminat dan tertarik memperdalam penelitian tentang disharmoni antara KUA-PPAS dengan APBD. 2) Manfaat Praktis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi Pemerintah Kabupaten Tabanan dalam rangka menganalisis disharmoni antara KUA-PPAS dengan APBD.