RUANG KAJIAN
PENYUSUNAN PROGRAM KERJA PEMERINTAH DAERAH DALAM SISTEM PENGELOLAAN KEUANGAN NEGARA Yayan Rudianto Abstract Implementation UU No. 32 Tahun 2004 makes a new mechanism in local government working program. Using Musrenbang forum wish can take in people want. But this process look seems just formality and sometime people look sceptic because their want didn’t accommodate in APBD. Kata Kunci: Pemerintahan, Daerah, Keuangan
Pendahuluan Konsep tentang mekanisme penyusunan program kerja pemerintah daerah, termasuk ke dalam ranah konsep kebijakan keuangan negara. Bahwa fungsi pemerintahan dalam berbagai bidang yang kemudian menimbulkan hak dan kewajiban negara dalam mengelola keuangan negara melahirkan Sistem Pengelolaan Keuangan Negara. Penyusunan program kerja pemerintah daerah merupakan bagian yang tak terpisahkan dari sistem pengelolaan keuangan negara tersebut, yakni berkaitan dengan penyusunan dan penetapan APBN dan APBD. Menjadi kewajiban pemerintah dan pemerintah daerah untuk menyusun rencana pembangunan jangka panjang (RPJP/D), rencana pembangunan jangka menengah (RPJM/D), dan rencana kerja pemerintah (RKP/D). Pemerintah dan pemerintah daerah
wajib menyusun dokumen Rencana Kerja Pemerintah (RKP) dan Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) sebagai landasan penyusunan RAPBN/ RAPBD. Setiap proses penyusunan dokumen rencana pembangunan tersebut di atas, memerlukan koordinasi antar instansi pemerintah dan partisipasi seluruh pelaku pembangunan melalui suatu forum yang disebut sebagai Musyawarah Perencanaan Pembangunan atau Musrenbang. Penyelenggaraan Musrenbang ini difasilitasi dan didanai oleh pemerintah, propinsi, kabupaten/kota. Penyelenggaraan Musrenbang di Daerah dalam rangka penyusunan RKPD dilakukan melalui proses pembahasan yang terkoordinasi antara Bappeda dengan seluruh Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD). Titik berat pembahasannya adalah pada sinkronisasi rencana kerja SKPD, dan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah dan masyarakat.
Musrenbang adalah sebuah forum, sinkronisasi adalah pijakan musyawarah, dan RKPD adalah hasil musyawarah. Ketiga hal yang talitemali ini dapat bersinergi bila orangorang yang terlibat di dalam musyawarah telah memiliki pengetahuan tentang bagaimana musrenbang diselenggarakan, dan bagaimana penyusunan progran kerja dan usulan kegiatan seharusnya dilakukan. Musrenbang fokus pada perencanaan sebagai proses perencanaan program kerja yang menganut pola perencanaan berbasis masyarakat. Artinya bahwa semua usulan yang muncul adalah merupakan usulan yang datang dari hasil musyawarah masyarakat berdasarkan kebutuhan prioritas dan potensi yang dimiliki. Berdasarkan Surat Edaran Bersama antara Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/ Kepala Bappenas dan Menteri Dalam Negeri, tentang Petunjuk Teknis Penyelenggaraan Musrenbang Tahun 2007, tahapan musrenbang adalah sebagai berikut: 1. Musyawarah Perencanaan Pembangunan Dusun/Lingkungan (Musrenbangdus/ling.) 2. Musyawarah Perencanaan Pembangunan Desa/Kelurahan (Musrenbangdes/kel). 3. Musyawarah Perencanaan Pembangunan Kecamatan (Musrenbangcam). 4. Musyawarah Perencanaan Pembangunan Kabupaten (Musrenbangkab). Forum ini merupakan forum perencanaan pada tingkat dusun/lingkungan/desa/kelurahan/kecamatan/ kabupaten, yang bertujuan untuk melakukan penggalian gagasan dan
aspirasi dari setiap anggota masyarakat tentang kegiatan -kegiatan prioritas yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat di tingkat dusun/ lingkungan/kelurahan/kecamatan/kabupaten. Penggalian gagasan dan aspirasi dilakukan melalui kompetisi yang sehat. Perjadwalan, keterlibatan anggota masyarakat, narasumber, pendanaan, serta output/outcome dari masing-masing tahapan sudah diatur dalam Surat Edaran Bersama tersebut, namun dalam praktiknya masih ditemukan beberapa masalah, antara lain: 1. Pada sisi penyelenggara, Musrenbang sering dijalankan secara kurang sungguh-sungguh. 2. Penyelenggara terkesan sekedar menjalankan formalitas rutin saja. 3. Sering muncul perasaan skeptis di masyarakat yang mengatakan bahwa tidak ada gunanya Musrenbang karena usulan masyarakat tidak pernah diakomodir da1 lam APBD . Hal lain yang erat kaitannya dengan proses musrenbang adalah pengetahuan peserta musyawarah tentang perencanaan program kerja dan usulan kegiatan. Perencanaan program dan penyusunan usulan kegiatan belum dapat dilakukan sebelum adanya pembagian program kerja, yaitu suatu tugas atau kewenangan yang diberikan kepada
1
20 Jurnal Madani Edisi I/Mei 2007
Ir. Djoko Santoso Abi Suroso, Ph.D., Kepala Bappeda Kota Tarakan Kalimantan Timur (2006) dalam makalah: Sudahkan Proses Prencanaan dan Penganggaran serta Implementasi Perda No. 2 Tahun 2006 Tentang APBD Tarakan Memihak pada Kepentingan Rakyat dan Konservasi Lingkungan.
suatu unit kegiatan atau lembaga untuk menyelenggarakan suatu bentuk kegiatan. Tujuannya adalah untuk menghindari terjadinya kegiatan yang sama, baik waktu maupun bentuk kegiatan antar lembaga. Tujuan lainnya adalah dalam melaksanakan kegiatannya dapat diklasifikasikan (dikelompokkan) mana kegiatan yang sifatnya umum atau lebih terarah pada ciri khasnya. Dalam merencanakan program dan menyusun usulan kegiatan, terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan, yaitu: (1) Proses pembuatan program, (2) Identifikasi program, (3) Langkah-langkah dalam penyusunan rencana program, dan (4) Penjadwalan rencana program. Keempat hal yang harus diperhatikan tersebut merupakan hal yang inhern dalam aktivitas perencaaan program dan usulan kegiatan. Dalam proses perencanaan program dan penyusunan usulan kegiatan dapat kita kemukakan halhal sebagai berikut: 1. Berdasarkan atas fakta yang obyektif, rasional, dan pertimbangan-pertimbangan terhadap perkembangan kegiatan. 2. Sasaran yang ingin dicapai harus jelas. 3. 5 W 1 H: What, Why, Who, Where, When, dan How. 4. Antara satu kegiatan dengan kegiatan yang lain saling mengisi dan berkaitan. 5. Harus dipertimbangkan kebijakan organisasi. 6. Tidak kaku dalam batas-batas tertentu sesuai dengan permbangan. 7. Mudah dipahami dan penafsiran harus sama oleh pelaksana kegiatan.
Berdasarkan sekian banyak bidang atau seksi dalam perencanaan program harus diidentifikasi menurut: (1) Bidang kegiatan, (2) Jenis kegiatan, (3) Sub-jenis kegiatan, dan (4) Bentuk kegiatan. Misalnya, kita ambil contoh salah satu kabupaten di Indonesia. Berdasarkan misi Pemerintah Kabupaten Bekasi yaitu meningkatkan efektivitas dan efisiensi penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat serta lebih mengembangkan potensi di wilayah pemerintah daerah 2, salah satu bagiannya adalah kegiatan dalam bentuk pelayanan kesehatan keluarga, dapat kita identifikasikan sebagai berikut: Bidang kegiatan: Pelayanan Kesehatan Keluarga Jenis kegiatan: Mengadakan pemantauan dalam meningkatkan derajat kesehatan, balita, bumil, buhir, dan buteki melalui Posyandu. Bentuk kegiatan: Penyuluhan. Dalam merencanakan suatu rencana program terdapat beberapa langkah yang harus kita perhatikan: (1) Sasaran yang ingin dicapai harus diketahui dan ditetapkan, (2) Kumpulkan data atau informasi yang diperlukan, (3) Analisa data dan informasi terhadap sasaran atau permasalahan yang terjadi, (4) Identifikasi faktor-faktor apa saja yang akan menjadi penghambat dan penunjang, (5) Buat alternatif rencana program, dari masing-masing alternatif tersebut tetapkan yang terbaik, (6) Rencana program harus 2
Peraturan Bupati Bekasi Nomor: 6 Tahun 2005 tentang Pelimpahan Sebagian Wewenang untuk Menangani Sebagian Urusan Otonomi Daerah Kepada Camat.
21 Jurnal Madani Edisi I/Mei 2007
terperinci, yaitu terdiri dari waktu, pendanaan, pelaksanaan, dan (7) lain-lain. Penjadwalan rencana program merupakan aspek penting dari suatu perencanaan program, karena dalam suatu penjadwalan tersebut lebih menfokuskan pada identifikasi terhadap sesuatu yang harus atau ingin dilakukan, kapan untuk dimulai, dan kapan harus selesai. Penjadwalan ini sangat membantu dalam hal pelaksanaan, monitoring kegiatan, dan evaluasi suatu program. Dalam penjadwalan ini ada beberapa yang harus kita pedomani, yaitu: (1) Identifikasi seluruh kegiatan yang direncanakan, (2) Prioritaskan program, (3) Tentukan kegiatan yang telah dirinci, (4) Tentukan lama waktu dan waktu pelaksanaan, (5) Jadwal kegiatan disesuaikan dengan tahun anggaran, dan (6) Evaluasi jadwal yang telah disusun. Merujuk pada keempat hal tersebut di atas, walaupun perencanaan program yang telah disusun terlihat baik dan rapi, dalam pelaksanaannya belum tentu demikian. Seorang pemimpin harus dapat memperkecil kendala-kendala yang datang, baik dari dalam maupun dari luar organisasi. Kendala dari dalam adalah kurangnya pengertian dan pemahaman, kesadaran dan tanggung jawab, waktu dan pendanaan, pola manajemen. Sedangkan kendala dari luar, seperti peraturan/ketentuanketentuan yang berlaku, faktor sosial, politik, dan ekonomi. Berdasarkan uraian tersebut di atas, pembahasan yang akan penulis lakukan fokus pada pertanyaan sebagai berikut: Bagaimanakah Mekanisme Penyusunan Program Kerja
Pemerintah Daerah dalam Sistem Pengelolaan Keuangan Negara? Untuk menjawab pertanyaan tersebut di atas, penulis menggunakan metode studi kepustakaan. Sumber referensi yang penulis gunakan adalah buku, dokumen pemerintah dan pemerintah daerah berupa peraturan perundangan yang berlaku, internet, dan koran. Sistem Negara
Keuangan
1. Dasar Pemikiran Diundangkannya Pengelolaan Keuangan Negara Dalam rangka pencapaian tujuan bernegara sebagaimana tercantum dalam alinea IV Pembukaan UUD 1945 dibentuk pemerintahan negara yang menyelenggarakan fungsi pemerintahan dalam berbagai bidang. Pembentukan ini menimbulkan hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang yang perlu dikelola dalam suatu sistem pengelolaan keuangan negara. Sebagai suatu negara yang berkedaulatan rakyat, berdasarkan hukum, dan menyelenggarakan pemerintahan negara berdasarkan konstitusi, sistem pengelolaan keuangan negara harus sesuai dengan aturan pokok yang ditetapkan dalam UUD 1945 Bab VIII hal keuangan bahwa anggaran pendapatan dan belanja negara ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang, dan ketentuan mengenai pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara serta macam dan harga mata uang ditetapkan dengan undang-undang. Hal-hal lain mengenai keuangan negara sesuai dengan amanat 22
Jurnal Madani Edisi I/Mei 2007
Pengelolaan
Pasal 23C UUD 1945 diatur dengan undang-undang. Selama ini dalam pelaksanaan pengelolaan keuangan negara masih digunakan ketentuan perundangundangan yang disusun pada masa pemerintahan kolonial Hindia Belanda yang berlaku berdasarkan Aturan Peralihan Undang-undang Dasar 1945, yaitu Indische Comptabiliteitswet yang lebih dikenal dengan nama ICW Stbl. 1925 No. 448 selanjutnya diubah dan diundangkan dalam Lembaran Negara 1954 No. 6, 1955 No. 49, dan terakhir UU No. 9 Tahun 1968, yang ditetapkan pertama kali pada Tahun 1864 dan mulai berlaku pada Tahun 1867, Indische Bedrijvenwet (IBW) Stbl. 1927 No. 419 jo. Stbl. 1936 No. 445 dan Reglement voor het Administratief Beheer (RAB) Stbl. 1933 No. 381. Sementara itu, dalam pelaksanaan pertanggungjawaban keuangan negara digunakan Instructie en verdere bepalingen voor de Algemeene Rekenkamer (IAR) Stbl. 1933 No. 320. Peraturan perundang-undangan tersebut tidak dapat mengakomodasi berbagai perkembangan yang terjadi dalam sistem kelembagaan negara dan pengelolaan keuangan pemerintahan negara Republik Indonesia. Oleh karena itu, meskipun berbagai ketentuan tersebut secara formal masih tetap berlaku, secara materiil sebagian dari ketentuan dalam peraturan perundang-undangan dimaksud tidak lagi dilaksanakan. Kelemahan perundang-undangan dalam bidang keuangan negara menjadi salah satu penyebab terjadinya beberapa bentuk penyimpangan dalam pengelolaan keuangan negara. Dalam upaya menghilangkan penyimpangan tersebut dan mewu-
judkan sistem pengelolaan fiskal yang berkesimbungan (sustainable) sesuai dengan aturan pokok yang telah ditetapkan dalam UUD 1945 dan asas-asas umum yang berlaku secara universal dalam penyelenggaraan pemerintahan negara diperlukan suatu undang-undang yang mengatur pengelolaan keuangan negara. Upaya untuk menyusun undangundang yang mengatur pengelolaan keuangan negara telah dirintis sejak awal berdirinya Negara Indonesia. Oleh karena itu, penyelesaian UU tentang Keuangan Negara merupakan kelanjutan dan hasil dari berbagai upaya yang telah dilakukan selama ini dalam rangka memenuhi kewajiban konstitusional yang diamanatkan oleh UUD 1945. 2. Hal-hal Baru dan/atau Perubahan Mendasar dalam UU No. 17 Tahun 2003 Hal-hal baru dan/atau Perubahan Mendasar dalam UU No. 17 Tahun 2003 meliputi: a. pengertian dan ruang lingkup keuangan negara, b. asas -asas umum pengelolaan keuangan negara, c. kedudukan Presiden sebagai pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan negara, d. pendelegasian kekuasaan Presiden kepada Menteri Keuangan dan Menteri/Pimpinan Lembaga, e. susunan APBN dan APBD, f. pengaturan hubungan keuangan a ntara pemerintah pusat dan bank sentral, pemerintah daerah dan pemerintah/lembaga asing, g. pengaturan hubungan keuangan antara pemerintah dengan perusahaan negara, perusahaan 23 Jurnal Madani Edisi I/Mei 2007
Dari sisi tujuan, Keuangan Negara meliputi seluruh kebijakan, kegiatan, dan hubungan hukum yang berkaitan dengan pemilik dan/atau penguasaan obyek sebagaimana tersebut di atas dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan negara. Bidang pengelolaan Keuangan Negara yang demikian luas dapat dikelompokan dalam sub-bidang pengelolaan fiskal, sub-bidang pengelolaan moneter, dan sub-bidang pengelolan kekayaan negara yang dipisahkan.
daerah dan perusahaan swasta, dan h. badan pengelola dana masyarakat, serta i. penetapan bentuk dan batas waktu penyampaian laporan pertanggungjawaban pelaksanaan APBN dan APBD. Undang-undang ini juga telah mengantisipasi perubahan standar akuntansi di lingkungan pemerintahan di Indonesia yang mengacu kepada perkembangan standar akuntansi di lingkungan pemerintahan secara internasional.
4. Asas-asas Umum Pengelolaan Keuangan Negara Dalam rangka mendukung terwujudnya good governance dalam penyelenggaraan negara, pengelolaan keuangan negara perlu diselenggarakan secara profesional, terbuka, dan bertanggung jawab sesuai dengan aturan pokok yang telah ditetapkan dalam UUD 1945. Sesuai dengan amanat Pasal 23C UUD 1945, UU tentang Keuangan Negara perlu menjabarkan aturan pokok yang telah ditetapkan dalam UUD tersebut ke dalam asas-asas umum yang meliputi baik asas-asas yang telah lama dikenal dalam pengelolaan keuangan negara, seperti asas tahunan, asas universalitas, asas kesatuan, dan asas spesialitas maupun asas-asas baru sebagai pencerminan best practices (penerap an kaidah-kaidah yang baik) dalam pengelolaan keuangan negara, antara lain: a. akuntabilitas berorientasi pada hasil; b. profesionalitas; c. proporsionalitas; d. keterbukaan dalam pengelolaan keuangan negara;
3. Pengertian dan Ruang Lingkup Keuangan Negara Pendekatan yang digunakan dalam merumuskan Keuangan Negara adalah dari sisi: obyek, subyek, proses, dan tujuan. Dari sisi obyek, yang dimaksud adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubungan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut. Dari sisi subyek, meliputi seluruh obyek sebagaimana tersebut di atas yang dimiliki negara, dan/atau dikuasai oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Perusahaan Negara/Daerah, dan badan lain yang ada kaitannya dengan keuangan negara. Dari sisi proses, Keuangan Negara mencakup seluruh rangkaian kegiatan yang berkaitan dengan pengelolaan obyek sebagaimana tersebut di atas mulai dari perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan sampai dengan pertanggungjawaban. 24 Jurnal Madani Edisi I/Mei 2007
e. pemeriksaaan keuangan oleh badan pemeriksa yang bebas dan mandiri. Asas-asas umum tersebut diperlukan pula guna menjamin terselenggarakannya prinsip-prinsip pemerintahan sebagaimana yang telah dirumuskan dalam Bab VI UUD 1945. Dengan dianutnya asas-asas umum tersebut di dalam UU tentang Keuangan Negara, pelaksanaan UU No. 17 Tahun 2003 selain menjadi acuan dalam reformasi manajemen keuangan negara, sekaligus dimaksudkan untuk memperkokoh landasan pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah di NKRI.
bidang tertentu pemerintahan. Prinsip ini perlu dilaksanakan secara konsisten agar terdapat kejelasan dalam pembagian wewenang dan tanggung jawab, terlaksananya mekanisme checks and balances serta untuk mendorong upaya peningkatan profesionalisme dalam penyelenggaraan tugas pemerintahan. Sub-bidang pengelolaan fiskal meliputi fungsi-fungsi pengelolaan kebijakan fiskal dan kerangka ekonomi makro, penganggaran, administrasi perpajakan, administrasi kepabeanan, perbendaharaan, dan pengawasan keuangan. Sesuai dengan asas desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan negara sebagian kekuasaan Presiden tersebut diserahkan kepada Gubernur/Bupati/ Walikota selaku pengelola keuangan daerah. Demikian pula untuk mencapai kestabilan nilai rupiah tugas menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter serta mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran dilakukan oleh Bank Sentral .
5. Kekuasaan atas Pengelolaan Keuangan Negara Presiden selaku Kepala Pemerintahan memegang kekuasaan pengelolaan keuangan negara sebagai bagian dari kekuasaan pemerintahan. Kekuasaan tersebut meliputi kewenangan yang bersifat umum dan yang bersifat khusus. Untuk membantu Presiden dalam menyelenggarakan kekuasaan dimaksud, sebagian dari kekuasaan tersebut dikuasakan kepada Menteri Keuangan selaku Pengelola Fiskal dan Wakil Pemerintah dalam kepemilikan kekayaan negara yang dipisahkan, serta kepada Menteri/Pimpinan Lembaga selaku Pengguna Anggaran/ Pengguna Barang kementerian negara/lembaga yang dipimpinnya. Menteri Keuangan sebagai pembantu Presiden dalam bidang keuangan pada hakekatnya adalah Chief Financial Officer (CFO) Pemerintah Republik Indonesia, sementara setiap menteri/pimpinan lembaga pada hakekatnya adalah Chief Operational Officer (COO) untuk suatu
6. Penyusunan dan Penetapan APBN dan APBD Ketentuan mengenai penyusunan dan penetapan APBN/APBD dalam UU No. 17 Tahun 2003 meliputi: a. penegasan tujuan dan fungsi penganggaran pemerintah, b. penegasan peran DPR/DPRD dan pemerintah dalam proses penyusunan dan penetapan anggaran, c. pengintegrasian sistem akuntabilitas kinerja dalam sistem penganggaran, d. penyempurnaan klasifikasi anggaran, penyatuan anggaran, dan penggunaan kerangka pengeluar25 Jurnal Madani Edisi I/Mei 2007
an jangka menengah dalam penyusunan anggaran. Anggaran adalah alat akuntabilitas, manajemen, dan kebijakan ekonomi. Sebagai instrumen kebijakan ekonomi anggaran berfungsi untuk mewujudkan pertumbuhan dan stabilitas perekonomian serta pemerataan pendapatan dalam rangka mencapai tujuan bernegara. Dalam upaya untuk meluruskan kembali tujuan dan fungsi anggaran tersebut perlu dilakukan pengaturan secara jelas peran DPR/DPRD dan pemerintah dalam proses penyusunan dan penetapan anggaran sebagai penjabaran aturan pokok yang telah ditetapkan dalam UUD 1945. Sehubungan dengan itu, dalam UU No. 17 Tahun 2003 disebutkan bahwa belanja negara/belanja daerah dirinci sampai dengan unit organisasi, fungsi, program, kegiatan, dan jenis belanja. Hal tersebut berarti bahwa setiap pergeseran anggaran antarunit organisasi, antar-kegiatan, dan antar-jenis belanja harus mendapat persetujuan dari DPR/DPRD. Masalah lain dalam upaya memperbaiki proses penganggaran di sektor publik adalah penerapan anggaran berbasis prestasi kerja. Untuk itu perlu kriteria pengendalian kinerja dan evaluasi serta untuk menghindari duplikasi dalam penyusunan rencana kerja dan anggaran kementerian negara/lembaga/perangkat daerah. Dengan ini terpenuhi sekaligus kebutuhan akan anggaran berbasis prestasi kerja dan pengukuran akuntabilitas kinerja kementerian/lembaga/perangkat daerah yang bersangkutan. Sejalan dengan upaya ini perlu pula dilakukan perubahan klasifikasi anggaran agar sesuai dengan klasifikasi internasional. Sebelumnya
klasifikasi ini terdiri dari: anggaran belanja rutin dan anggaran belanja pembangunan yang semula penekanannya pada arti penting pembangunan, ternyata dalam pelaksanaannya menimbulkan peluang terjadinya duplikasi, penumpukan dan penyimpangan anggaran. Begitu juga rencana pembangunan lima tahunan yang ditetapkan dengan UU dirasakan tidak realistis dan semakin tidak sesuai dengan dinamika kebutuhan penyelenggaraan pemerintahan dalam era globalisasi; ia memerlukan sistem perencanaan fiskal yang terdiri dari sistem penyusunan anggaran tahunan yang dilaksanakan sesuai dengan Kerangka Pengeluaran Jangka Menengah/Medium Term Expenditure Framework sebagaimana dilaksanakan di kebanyakan negara maju. Perubahan dalam pengelompokkan di atas dimaksudkan untuk: a. memudahkan pelaksanaan anggaran berbasis kinerja, b. memberikan gambaran yang obyektif dan proporsional mengenai kegiatan pemerintah, c. menjaga konsistensi dengan standar akuntansi sektor publik, d. memudahkan penyajian, dan meningkatkan kredibilitas statistik keuangan pemerintah. Terlambat dalam penetapannya juga berpotensi menimbulkan masalah dalam pelaksanaannya. Untuk itu dalam UU No. 17 Tahun 2003 diatur secara jelas tugas antara panitia/ komisi anggaran dan komisi-komisi pasangan kerja kementerian negara/ lembaga/perangkat daerah di DPR/ DPRD. 7. Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Bank Sentral, Pemerintah Daerah, Pemerin26
Jurnal Madani Edisi I/Mei 2007
tah/Lembaga Asing, Perusahaan Negara, Perusahaan Daerah, Perusahaan Swasta, serta Badan Pengelola Dana Masyarakat. a. Dalam hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan bank sentral ditegaskan bahwa keduanya berkoordinasi dalam penetapan dan pelaksanaan kebijakan fiskal dan moneter. b. Dalam hubungannya dengan pemerintah daerah, kewajiban pemerintah pusat adalah mengalokasikan dana pemerintah kepada pemerintah daerah. c. Diatur pula perihal penerimaan pinjaman luar negeri pemerintah. d. Dalam hubungan antara pemerintah dan perusahaan negara, perusahaan daerah, perusahaan swasta, dan badan pengelola dana masyarakat ditetapkan bahwa pemerintah dapat memberikan pinjaman/hibah/penyertaan modal kepada dan menerima pinjaman/ hibah dari perusahaan negara/ daerah setelah mendapat persetujuan DPR/DPRD.
d. alokasi dana perimbangan untuk provinsi/kabupaten/kota, e. alokasi subsidi sesuai dengan keperluan perusahaan/badan yang menerima . Untuk memberikan informasi perkembangan pelaksanaan APBN/ APBD, pemerintah pusat/pemerintah daerah perlu menyampaikan Laporan Realisasi Semester I kepada DPR/ DPRD pada akhir Juli tahun anggaran yang bersangkutan. Laporan tersebut menjadi bahan evaluasi pelaksanaan APBN/APBD semester I dan penyesuaian/perubahan APBN/APBD pada semester berikutnya. Ketentuan ini ditetapkan tersendiri dalam UU yang mengatur perbendaharaan negara. Alasannya lebih banyak menyangkut hubungan administratif antar-kementerian negara/lembaga di lingkungan pemerintah. 9. Pertanggungjawaban Pengelolaan Keuangan Negara Salah satu upaya konkrit untuk mewujudkan transparansi dan akuntabilitas pengelolaan keuangan negara adalah penyampaian laporan pertanggungjawaban keuangan pemerintah yang memenuhi prinsip-prinsip tepat waktu dan disusun dengan mengikuti standar akuntansi pemerintah yang telah diterima secara umum. Laporan pertanggungjawaban pelaksanaan APBN/APBD disampaikan berupa laporan keuangan yang setidak-tidaknya terdiri dari: (a) laporan realisasi anggaran, (b) neraca, (c) laporan arus kas, dan (d) catatan atas laporan keuangan yang disusun sesuai dengan standar akuntansi pemerintah. Laporan keuangan pemerintah pusat yang telah diperiksa oleh BPK harus disampaikan kepada DPR
8.
Pelaksanaan APBN/APBD Setelah APBN ditetapkan secara rinci dengan UU, pelaksanaannya dituangkan lebih lanjut dengan Keputusan Presiden sebagai pedoman bagi kementerian negara/lembaga dalam pelaksanaan anggaran. Halhal yang tertuang dalam Keppres, seperti: a. alokasi anggaran untuk kantor pusat dan kantor daerah kementerian negara/lembaga, b. pembayaran gaji dalam belanja pegawai, c. pembayaran untuk tunggakan yang menjadi beban kementerian negara/lembaga, 27
Jurnal Madani Edisi I/Mei 2007
selambat-lambatnya 6 (enam) bulan setelah berakhirnya tahun anggaran yang bersangkutan, demikian pula laporan keuangan pemerintah daerah yang telah diperiksa oleh BPK harus disampaikan kepada DPRD selambat-lambatnya 6 (enam) bulan setelah berakhirnya tahun anggaran yang bersangkutan. Dalam rangka akuntabilitas pengelolaan keuangan negara: a. Dilihat dari segi manfaat/hasil (outcome), maka menteri/pimpinan lembaga/gubernur/bupati/walikota selaku pengguna anggaran/ pengguna barang bertanggung jawab atas pelaksanaan kebijakan yang ditetapkan dalam UU tentang APBN/Perda tentang APBD, b. Dilihat dari segi barang dan/atau jasa yang disediakan (output), pimpinan unit organisasi kementerian negara/lembaga bertanggung jawab atas pelaksanaan kegiatan yang ditetapkan dalam UU tentang APBN, demikian pula Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah bertanggung jawab atas pelaksanaan kegiatan yang ditetapkan dalam Perda tentang APBD. Sebagai konsekuensinya diatur sanksi bagi menteri/pimpinan lembaga/gubernur/bupati/walikota, serta Pimpinan unit organisasi kementerian negara/lembaga/Satuan Kerja Perangkat Daerah yang terbukti melakukan penyimpangan kebijakan/kegiatan yang telah ditetapkan UU tentang APBN/Perda tentang APBD. Maksudnya sebagai upaya preventif dan represif, serta berfungsi sebagai jaminan atas ditaatinya UU tentang APBN/Perda tentang APBD yang bersangkutan.
Selain itu perlu ditegaskan prinsip yang berlaku universal bahwa barang siapa yang diberi wewenang untuk menerima, menyimpan, dan membayar atau menyerahkan uang, surat berharga atau barang milik negara bertanggung jawab secara pribadi atas semua kekurangan yang terjadi dalam pengurusannya. Kewajiban dimaksud merupakan unsur pengendalian intern yang andal. Penyusunan Program Kerja Pemerintah Daerah dalam Sistem Pengelolaan Keuangan Negara Terdapat sembilan hal yang berkaitan dengan Sistem Pengelolaan Keuangan Negara, yaitu: dasar pemikiran diundangkannya pengelolaan keuangan negara, pengertian dan ruang lingkup keuangan negara, asas-asas umum pengelolaan keuangan negara, kekuasaan atas pengelolaan keuangan negara, penyusunan dan penetapan APBN dan APBD, hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan bank sentral, pemerintah daerah, pemerintah/lembaga asing, perusahaan negara, perusahaan daerah, perusahaan swasta, serta Badan Pengelola Dana Masyarakat, pelaksanaan APBN/ APBD, dan yang terakhir adalah pertanggungjawaban pengelolaan keuangan negara. Berdasarkan kesembilan hal tersebut di atas yang berkaitan langsung dengan mekanisme penyusunan program kerja pemerintah daerah adalah: (1) penyusunan dan penetapan APBN dan APBD, (2) pelaksanaan APBN/APBD, dan (3) pertanggungjawaban keuangan negara/daerah. Sementara hal lainnya berhubungan 28
Jurnal Madani Edisi I/Mei 2007
secara tidak langsung. Misalnya, dasar pemikiran diundangkannya pengelolaan keuangan negara, karena amanat UUD 1945, dan perundangundangan sejenis warisan penjajah Belanda yang sudah tidak mampu mengakomodir berbagai perkembangan yang terjadi dalam sistem kelembagaan negara dan pengelolaan keuangan pemerintahan negara Republik Indonesia. Untuk menjadi pedoman teknis berkaitan dengan mekanisme penyusunan program kerja pemerintah daerah, masih memerlukan aturan penjelas yang secara hirarkis kita mengenal urut-urutannya sebagai berikut: UUD 1945, undang-undang, peraturan pemerintah, keputusan menteri, surat edaran bersama menteri, dan seterusnya. Artinya hubungan tersebut lebih pada apakah program kerja pemerintah daerah yang telah disusun tersebut taat asas bahwa peraturan itu harus sesuai dengan peraturan yang ada, dan tidak boleh bertentangan dengan peraturan di atasnya. Penyusunan dan penetapan APBN dan APBD berkaitan langsung dengan mekanisme penyusunan program kerja pemerintah daerah, terlihat dari upaya untuk meluruskan kembali tujuan dan fungsi anggaran yakni perlu dilakukan pengaturan secara jelas peran DPR/DPRD dan pemerintah dalam proses penyusunan dan penetapan anggaran sebagai penjabaran aturan pokok yang telah ditetapkan dalam UUD 1945. Pada level daerah hubungan itu menjadi hubungan simbiosis mutualisme antara eksekutif dan legislatif (rakyat). Penguatan peran DPRD sebagai representasi rakyat itu bila dikaitkan dengan mekanisme penyusunan
program pemerintah daerah melalui forum musrenbang adalah rakyat meminta peran lebih dari yang selama ini telah diberikan oleh DPRD, sehingga antara program kerja pemerintah daerah yang dikompetisikan (istilah ini biasa digunakan oleh Pemerintah Kabupaten Kupang) dan APBD penetapan dan APBD realisasi akhirnya seperti copy -paste. Penguatan lain adalah DPRD mereformasi diri. Bagaimanapun peran DPRD dalam penyusunan dan penetapan APBD ini sangat strategis. Bila sebelumnya DPRD jarang melibatkan para pemilihnya di daerahdaerah pemilihan (dapil), baik melalui pelaksanaan program kerja komisikomisi ke tiap-tiap dapil, atau peranggota DPRD dari masing-masing dapilnya terkait pembahasan pogram kerja dalam forum musrenbang, melalui penguatan ini rakyat mendapatkan keberpihakan, perhatian, energi, pendanaan, dan lain-lain fungsi dewan yang lebih dan terus lebih dari sebelumnya, begitu seterusnya setiap tahun. Bila ini yang terjadi, maka paripurna guna penetapan APBD adalah panggung tempat pentas keberpihakan dewan terhadap rakyat dipertontonkan kepada semua stakeholder daerah. Biarlah berkelahi (berkompetisi) dalam tahapan musrenbang sebelumnya, asalkan happy ending di arena paripurna. Perasaan tersinggung oleh sesama peserta musrenbang atau oleh dusun/lingkungan/kelurahan/kecamatan/kabupaten lain, tidaklah berarti karena terobati oleh keberpihakan para anggota dewan dalam memutuskan kebutuhan, keinginan, aspirasi rakyat di saat paripurna . Sementara itu hal yang urgen dari pelaksanaan APBN/APBD adalah 29 Jurnal Madani Edisi I/Mei 2007
kewajiban pemerintah pusat/pemerintah daerah memberikan informasi perkembangan pelaksanaan APBN/ APBD. Pemerintah pusat/pemerintah daerah perlu menyampaikan Laporan Realisasi Semester I kepada DPR/ DPRD pada akhir Juli tahun anggaran yang bersangkutan. Laporan tersebut menjadi bahan evaluasi pelaksanaan APBN/APBD semester I dan penyesuaian/perubahan APBN/APBD pada semester berikutnya. Ketentuan ini ditetapkan tersendiri dalam UU yang mengatur perbendaharaan negara. Alasannya lebih banyak menyangkut hubungan administratif antar-kementerian negara/lembaga di lingkungan pemerintah. Setelah APBD ditetapkan kemudian dilaksanakan oleh eksekutif, maka rakyat perlu mendapat informasi mengenai program kerja yang telah dirumuskan melalui forum musrenbang dan telah ditetapkan dalam paripurna DPRD itu, apakah berjalan efektif atau tidak? Kenyataannya laporan per semester itu lebih banyak untuk konsumsi internal pemerintah dan dewan, sementara untuk rakyat belum menjadi prioritas. Apakah ini terkendala gara-gara putus hubungan antara pemilih dan yang dipilih (anggota dewan tiap dapil) pasca pemilu legislatif, sehingga fungsi pengawasan mereka terhadap eksekutif dalam pelaksanaan APBD belum mencerminkan pengawasan yang diinginkan oleh para pemilih (rakyat). Bila ini yang terjadi maka bahayanya adalah rakyat kehilangan jaminan dari wakilnya tentang konsistensi program kerja (APBD) dan realisasinya. Bahaya berikutnya adalah rakyat tidak mau lagi terlibat dalam proses politik (pemilu, pilkada, paripurna, dan lain-lain). Bila ini
benar-benar terjadi di daerah, maka demokratisasi mandeg. Penyusunan program kerja yang partisipatif akhirnya hanya tinggal kenangan. Kemudian untuk menjaga asas akuntabilitas dalam pengelolaan keuangan negara (APBN/APBD), sebagai konsekuensinya diatur sanksi bagi menteri/pimpinan lembaga/gubernur/bupati/walikota, serta Pimpinan unit organisasi kementerian negara/lembaga/Satuan Kerja Perangkat Daerah yang terbukti melakukan penyimpangan kebijakan/kegiatan yang telah ditetapkan UU tentang APBN/Perda tentang APBD. Maksudnya sebagai upaya preventif dan represif, serta berfungsi sebagai jaminan atas ditaatinya UU tentang APBN atau Perda tentang APBD yang bersangkutan. Bila mengacu pada pernyataan tersebut di atas, masyarakat di desa, di kecamatan, di kabupaten/kota bahkan nasional tidak usah was-was terkait dengan pelaksanaan APBN/ APBD. Kemungkinan terjadi penyimpangan sangat kecil bahkan tidak ada peluang sama sekali. Mekanisme pemberian sanksi kepada menteri/ pimpinan lembaga/gubernur/b upati/ walikota, serta Pimpinan unit organisasi kementerian negara/lembaga/ Satuan Kerja Perangkat Daerah agar mereka taat APBN/APBD adalah upaya pemerintah untuk mencegah dan menakut-nakuti mereka, siapapun dari mereka jangan sekali-kali mencoba melanggar dan bila melanggar sanksinya sangat pedas (masuk penjara dan mengembalikan dana sebesar dana yang dicuri). Harapannya melalui mekanisme sanksi ini rakyat menjadi terjamin hak-hak APBN/APBD-nya. Apakah dalam kenyataannya seperti itu? 30
Jurnal Madani Edisi I/Mei 2007
Fenomena korupsi berjamaah, baik dilakukan oleh eksekutif maupun legislatif, bahkan kini merambah lembaga yudikatif, sepertinya tidak menggambarkan rasa takut mereka dalam melakukan penyimpangan APBN/APBD. Kurang beratkah bobot sanksi tersebut? Bagaimana pula efektivitas sanksi sebagai upaya preventif dan represif bagi mereka para pelanggar? Ketika vonis terhadap mereka yang bersalah tidak juga mampu menghentikan para koruptor dana APBN/APBD, apa yang kurang pedas dari mekanisme pemberian sanksi ini, sehingga akuntabilitas pengelolaan keuangan negara akhirnya tetap sulit untuk direalisasikan. Apakah dengan ditambah upaya lain berupa pengendalian internal, misalnya, penyimpangan itu akan berakhir? Sebagaimana dijelaskan bahwa selain upaya tersebut di atas, perlu ditegaskan prinsip yang berlaku universal bahwa barang siapa yang diberi wewenang untuk menerima, menyimpan, dan membayar atau menyerahkan uang, surat berharga atau barang milik negara bertanggung jawab secara pribadi atas semua kekurangan yang terjadi dalam pengurusannya. Kewajiban dimaksud merupakan unsur pengendalian intern yang andal. Secara teori pengendalian internal ini bisa dijalankan, tapi dalam praktik tetap sulit. Karena dari sisi peraturan perundang-undangan banyak yang multitafsir. Misalnya, informasi terbaru (Kompas, Senin, 22 Oktober 2007) menjelaskan bahwa Mendagri akan menyempurnakan Peraturan Mendagri Nomor 13 Tahun 2007 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah. Sebabnya banyak di antara para pejabat daerah (ek-
sekutif, legislatif, dan yudikatif) melakukan multitafsir terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku. Mendagri memberi contoh kalimat multitafsir, seperti: “pengeluaran yang tidak boleh terus-menerus”, bantuan sosial yang tidak boleh terus-menerus, “di luar batas kepatutan”, dan “dalam batas kewajaran”. Seharusnya kalimat itu tegas, misalnya: “sesuai dengan kemampuan keuangan daerah dan atas persetujuan dan keputusan kepala daerah”. Penutup Mekanisme penyusunan program kerja pemerintah daerah dalam Sistem Pengelolaan Keuangan Negara berhubungan dengan beberapa hal berikut ini: 1. Fungsi pemerintahan dalam berbagai bidang yang kemudian menimbulkan hak dan kewajiban negara dalam mengelola keuangan negara melahirkan Sistem Pengelolaan Keuangan Negara. 2. Penyusunan dan penetapan APBN dan APBD merupakan bagian integral dari Sistem Pengelolaan Keuangan Negara. 3. Dalam kasus mekanisme penyusunan program kerja pemerintah daerah, kedudukan regulasi mengenai tahapan penyusunan program kerja menjadi sangat penting, seperti kebijakan tentang musrenbang. 4. Tidak semua daerah mampu menyelenggarakan musrenbang sebagai forum penyusunan program kerja, karena beberapa hal, antara lain: a. Pada sisi penyelenggara, Musrenbang sering dijalankan se31 Jurnal Madani Edisi I/Mei 2007
cara kurang sungguh-sungguh. b. Penyelenggara terkesan sekedar menjalankan formalitas rutin saja. c. Sering muncul perasaan skeptis di masyarakat yang mengatakan bahwa tidak ada gunanya Musrenbang karena usulan masyarakat tidak pernah diakomodir dalam APBD. 5. Terdapat tiga hal yang berkaitan langsung dengan mekanisme penyusunan program kerja pemerintah daerah dalam Sistem Pengelolaan Keuangan Negara, yaitu: (a) penyusunan dan penetapan APBN dan APBD, (b) pelaksanaan APBN/APBD, dan (c) pertanggungjawaban keuangan negara/ daerah. 6. Penyusunan rencana kerja pemerintah daerah dalam sistem pengelolaan keuangan negara terutama mengenai peyusunan dan penetapan APBD melalui musrenbang sering tidak konsisten, yaitu: (a) masih dipilih peserta musrenbang yang kurang mampu mengidentifikasi, mengklasifikasi, dan membuat skala prioritas tentang rencana pembangunan di daerahnya (desa/kelurahan, kecamatan, kabupaten/kota), (b) musrenbang belum diterjemahkan sama oleh masing-masing desa/ kelurahan, kecamatan, kabupaten/kota sebagai arena kompetisi dalam menghasilkan rencana pembangunan terbaik, dan (c) belum adanya format yang jelas tentang hubungan antara sidang pleno di DPRD dalam rangka membahas dan menetapkan rencana pembangunan terbaik itu dengan status anggota dewan
sebagai wakil dari daerah pemilihannya. Daftar Kepustakaan Tjokroamidjojo, Bintoro. 1996. Sistem Administrasi Negara Republik Indonesia. Jilid I Edisi Ketiga. PT. Toko Gunung Agung. Jakarta. Tjokroamidjojo, Bintoro. 1997. Sistem Administrasi Negara Republik Indonesia. Jilid II Edisi Ketiga. PT. Toko Gunung Agung. Jakarta. Sisk, Timothy D., 2002. Demokrasi di Tingkat Lokal: Buku Panduan International IDEA mengenai Keterlibatan, Keterwakilan, Pengelolaan Konflik dan Kepemerintahan. AMEEPRO.Jakarta. Allison, Michael dan Jude Kaye. 2004. Perencanaan Strategis Bagi Organisasi Nirlaba: Pedoman Praktis dan Buku Kerja. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta. Dokumen-dokumen: Undang-undang. 1999. Nomor 22. Pemerintahan Daerah. Republik Indonesia. Undang-undang. 1999. Nomor 25. Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Republik Indonesia. Undang-undang. 2003. Nomor 17. Keungan Negara. Republik Indonesia. 32
Jurnal Madani Edisi I/Mei 2007
Undang-undang. 2004. Nomor 32. Pemerintahan Daerah. Republik Indonesia.
Indonesia. Peraturan Bupati Bekasi. 2005. Nomor: 6. Pelimpahan Sebagian Wewenang untuk Menangani Sebagian Urusan Otonomi Daerah Kepada Camat. Republik Indonesia.
Undang-undang. 2004. Nomor 33. Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Republik Indonesia.
Internet : Peraturan Pemerintah. 2005. Nomor 58. Pengelolaan Keuangan Daerah. Republik Indonesia.
http://www.tarakankota.go.id/ http://www.bunghatta.info/content.php?article.192
Surat Edaran Bersama Menteri Negara Perencaaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas dan Menteri Dalam Negeri. 2005. Nomor 0295/M.PPN/1/2005 dan 050/166/SJ/2005. Petunjuk Teknis Penyelenggaraan Musrenbang Tahun 2005. Republik
http://www.kutaikartanegara.com http://www.kab-kupang.go.id/ Kompas, Senin, 22 Oktober 2007
33 Jurnal Madani Edisi I/Mei 2007