BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Kedatangan seorang misionaris asal Portugis bernama Fransiskus Xaverius di Kagoshima pada tahun 1549, menjadikan banyak warga Jepang memeluk agama Kristen dan jumlahnya semakin bertambah dengan adanya perdagangan internasional. Karena ada kekhawatiran dapat mengancam masa depan bangsa Jepang, pemerintah mulai melakukan tindakan-tindakan untuk menekan agama Kristen, salah satunya dengan kebijakan politik isolasi negara (sakoku). Dengan adanya sakoku, Jepang tertutup bagi dunia luar. Meskipun begitu, perdagangan internasional masih dapat dilangsungkan, namun terbatas di satu tempat, yakni di Nagasaki, dan hanya dibatasi untuk negara Cina dan Belanda saja. Adanya keterbatasan ini justru mendorong Jepang berkembang ke arah yang lebih baik. Birokrasi yang bergaya militer berubah menjadi bergaya sipil, kesenian dan pendidikan yang terbatas untuk kalangan bangsawan saja akhirnya menyebar ke seluruh masyarakat Jepang (Jansen, 1983: 13). Keadaan seperti ini menunjukkan awal dari modernisasi di Jepang. Fuse dalam bukunya, Modernization and Stress in Japan, menyebutkan bahwa: “.....in the essays by Fuse and Mitchell, Japan's modernization was triggered during the Tokugawa period (1603-1867), introducing enormous changes in urbanization, population growth, a rise in literacy and mass education, emergence of an efficient, centralized bureaucracy, agricultural innovation, etc.” (1975: 2).
1
2
Menurut kutipan di atas, dalam esai-esai yang ditulis oleh Fuse dan Mitchell disebutkan bahwa modernisasi di Jepang muncul pada periode pemerintahan Tokugawa (1603-1867 M). Modernisasi ini menunjukkan perubahan-perubahan besar pada urbanisasi, pertumbuhan penduduk, peningkatan jumlah masyarakat yang melek huruf dan pendidikan massa, munculnya kepraktisan dalam hidup, birokrasi terpusat, inovasi dalam pertanian, dan lain-lain. Modernisasi juga terjadi setelah Restorasi Meiji di tahun 1868 yang ditandai dengan berakhirnya zaman feodalisme dan dibukanya Jepang bagi dunia luar. Untuk mengejar ketertinggalannya dari Barat selama sakoku, modernisasi ini berlangsung secara cepat dalam segala bidang melalui proses peniruan kebiasaan dan gaya Barat, yang disebut sebagai bunmei kaika (peradaban dan penerangan). Selain itu, modernisasi dengan hasil yang berbeda juga terjadi setelah Perang Dunia II. Perubahan-perubahan yang terjadi selama modernisasi ini disesuaikan dengan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat Jepang. Dengan demikian, modernisasi di Jepang berbeda dengan modernisasi di Barat. Sejak berlangsungnya modernisasi tersebut, Jepang berhasil memajukan negaranya dan menjadikan Jepang sebagai salah satu negara maju di dunia, baik dalam bidang ekonomi, perdagangan luar negeri, maupun teknologi. Sebagai negara maju, Jepang dikenal sebagai negara yang kaya akan berbagai macam budaya, baik budaya tradisional maupun budaya populer. Salah satu budaya tradisional Jepang tersebut adalah upacara minum teh atau chanoyu. Chanoyu merupakan sebuah contoh yang paling terkenal dari kebiasaan pengomsumsian teh di Jepang. Kebiasaan menurut Kamus Besar
3
Bahasa Indonesia Pusat Bahasa: Edisi Keempat berarti sesuatu yang biasa dikerjakan; pola untuk melakukan tanggapan terhadap situasi tertentu yang dipelajari oleh seorang individu dan yang dilakukannya secara berulang untuk hal yang sama (2012: 186), sedangkan pengonsumsian berarti proses, cara, perbuatan mengonsumsi (2012: 728). Jadi, yang dimaksud dengan kebiasaan pengonsumsian teh di sini adalah suatu tindakan yang dilakukan secara berulang untuk hal yang sama oleh sekelompok masyarakat dalam menggunakan atau menikmati teh. Kebiasaan pengonsumsian teh yang berupa chanoyu hingga saat ini masih menjadi tradisi, meskipun telah berkembang pula kebiasaan pengonsumsian teh yang lebih modern dalam masyarakat Jepang. Istilah chanoyu mulai digunakan pada abad ke-16 untuk menggambarkan kegiatan tuan rumah yang menyajikan teh kepada para tamunya dalam sebuah pertemuan teh (Tanaka, 1998: 36-37). Sebelum istilah chanoyu digunakan, pada Zaman Kamakura (112-1279 M), masyarakat Jepang telah mengenal kebiasaan pengonsumsian teh yang menggunakan teh bubuk (matcha). Tanaka menyebutkan bahwa kebiasaan ini tak lepas dari peranan Myouan Eisai, pendiri ajaran Buddha Zen, yang telah membawa kebiasaan pembuatan teh bubuk dari Cina ke Jepang dan menyebarkan ide-idenya (1998: 28). Pada zaman Muromachi (1338-1573 M), kebiasaan ini menyebar di kalangan bangsawan, prajurit, dan pedagang kaya, yang kemudian disempurnakan oleh Sen no Rikyu menjadi sebuah upacara minum teh bernama chanoyu. Chanoyu yang pada awalnya merupakan ritual sakral bagi masyarakat Jepang mengalami berbagai macam perubahan seiring dengan adanya perubahan
4
pada masyarakat. Dengan adanya modernisasi, chanoyu yang dulunya sering dilakukan oleh masyarakat Jepang kini mulai jarang dilakukan, khususnya oleh sebagian besar generasi muda Jepang. Selain itu, kebiasaan pengonsumsian teh juga berkembang dan tumbuh menjadi berbagai macam kebiasaan pengonsumsian teh yang lebih modern. Dalam proses modernisasinya, kebiasaan pengonsumsian teh tetap diadaptasi dan disesuaikan dengan budaya Jepang. Misalnya saja adanya inovasi baru yang berupa es krim dari matcha. Es krim merupakan produk budaya dari kebudayaan Barat, namun rasa dari es krim tersebut disesuaikan dengan lidah orang Jepang, yakni rasa matcha. Selain itu, ada pula teh dalam kemasan botol plastik. Pengetahuan tentang pembuatan minuman dengan kemasan botol plastik memang berasal dari Barat, namun minuman yang dikemas dalam botol plastik tersebut adalah teh hijau Jepang. Selain kebiasaan pengonsumsian teh tersebut di atas, masih terdapat aneka ragam kebiasaan pengonsumsian teh di Jepang. Kebiasaan pengonsumsian teh yang lebih modern yang lebih diminati oleh masyarakat Jepang sekarang ini. Bahkan ada pula tempat-tempat makan khusus yang menyajikan berbagai macam olahan makanan atau minuman dari teh. Sesuai dengan pendapat Fuse yang menyebutkan bahwa modernisasi di Jepang tidak mendorong dampak yang luar biasa dari westernisasi karena tidak menjadikan masyarakat Jepang menjadi “kurang ke-Jepang-annya” (1975: 3), maka dapat disimpulkan bahwa modernisasi di Jepang berbeda dengan modernisasi di Barat, di mana perubahan dan perkembangan budaya di Jepang
5
selama modernisasi berlangsung disesuaikan dengan budaya Jepang dan tidak menjadikan masyarakat Jepang menjadi “kurang ke-Jepang-annya”, khususnya dalam kebiasaan pengonsumsian teh. Hal inilah yang menyebabkan peneliti tertarik untuk meneliti tentang modernisasi dan westernisasi, khususnya dalam studi terhadap perubahan kebiasaan pengonsumsian teh dalam masyarakat Jepang.
1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang sudah dikemukakan di atas, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Bagaimanakah perkembangan kebiasaan pengonsumsian teh di Jepang sejak Zaman Azuchi-Momoyama hingga Zaman Heisei (sekarang)? b. Bagaimanakah pengaruh modernisasi terhadap kebiasaan pengonsumsian teh dalam masyarakat Jepang? c. Bersamaan dengan modernisasi pada rumusan b, juga terjadi westernisasi. Namun, modernisasi dan westernisasi ini memiliki pengertian yang berbeda dan pada batas-batas tertentu terdapat perbedaan di antara keduanya. Dengan mengetahui jenis perubahan dari suatu kebudayaan, maka akan diketahui perbedaan di antara keduanya. Oleh karenanya, rumusan masalah ketiga menjadi: termasuk dalam kategori perubahan kebudayaan yang seperti apa kebiasaan pengonsumsian teh tersebut? Apakah termasuk dalam kategori discovery, invention, inovasi, difusi, akulturasi, atau asimilasi?
6
1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah yang telah dikemukakan di atas, tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Untuk menjelaskan perkembangan kebiasaan pengonsumsian teh di Jepang sejak zaman Azuchi-Momoyama hingga zaman Heisei (sekarang). b. Untuk
mengungkapkan
pengaruh
modernisasi
terhadap
kebiasaan
pengonsumsian teh dalam masyarakat Jepang. c. Untuk mengklasifikasi jenis perubahan kebudayaan pada kebiasaan pengonsumsian teh. Lebih lanjut, penelitian ini secara khusus
juga bertujuan untuk
mengumpulkan fakta-fakta tentang kebiasaan pengonsumsian teh yang ada di Jepang dari zaman Azuchi-Momoyama hingga zaman Heisei dalam suatu bentuk karya ilmiah dan isinya dapat dipertanggung jawabkan.
1.4 Tinjauan Pustaka Sejauh ini, belum ditemukan penelitian yang berkaitan dengan tema yang diteliti. Namun ada beberapa penelitian yang menggunakan chanoyu sebagai objek materialnya. Penelitian tersebut berupa skripsi oleh Rian Riefiyanti pada tahun 2005 yang berjudul “Perubahan Abstrak dan Kongkrit oleh Sen no Rikyu dalam Chanoyu”. Skripsi Fakultas Sastra dan Bahasa Universitas Nasional ini mengkaji mengenai chanoyu dan tata cara pelaksanaannya menurut Sen no Rikyu yang menganut prinsip wabi (kesederhanaan) atas dasar ajaran Buddha aliran Zen.
7
Kedua, skripsi oleh Anna Desy Yulianty G. pada tahun 2008 yang berjudul “Analisis Adaptasi Upacara Minum Teh (Chanoyu) di Indonesia”. Skripsi Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara ini menganalisis tentang adaptasi upacara minum teh (chanoyu) di Indonesia. Ketiga, skripsi oleh Anastasia Merry Christiani Widyaputri pada tahun 2008 yang berjudul “Unsur-Unsur di dalam Agama Buddha Zen yang terdapat dalam Chanoyu di Chashitsu Urasenke”. Skripsi Fakultas Humaniora Universitas Bina Nusantara ini menganalisis unsur-unsur di dalam agama Buddha Zen yang terdapat dalam chanoyu. Ada pula penelitian yang menggunakan teori tentang perubahan kebudayaan sebagai objek formalnya, yaitu penelitian berupa skripsi oleh Primasari Nirwana Dewi pada tahun 2009 yang berjudul “Perubahan Kriteria Pasangan Hidup yang Cocok Menurut Kalangan Wanita Muda Jepang dari Zaman Edo sampai Zaman Heisei (Sekarang)”. Skripsi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada ini menganalisis tentang penyebab dan dampak sosial dari perubahan kriteria pasangan hidup yang cocok bagi kalangan wanita muda Jepang dari zaman Edo hingga zaman Heisei. Penelitian ini berbeda dengan penelitian-penelitian sebelumnya. Penelitian ini tidak akan berfokus pada kebiasaan pengonsumsian teh yang berupa chanoyu saja, tetapi juga akan membahas tentang kebiasaan pengonsumsian teh lainnya dari zaman Azuchi-Momoyama hingga zaman Heisei. Selain itu, penelitian ini juga membahas tentang modernisasi dan westernisasi dalam studi terhadap perubahan kebiasaan pengonsumsian teh dalam masyarakat Jepang.
8
1.5 Fokus, Batasan, dan Ruang Lingkup Masalah Fokus penelitian ini adalah mengenai modernisasi dan westernisasi dalam studi terhadap perubahan kebiasaan pengonsumsian teh dalam masyarakat Jepang. Kebiasaan pengonsumsian teh yang dimaksud di sini adalah suatu tindakan yang dilakukan secara berulang untuk hal yang sama oleh sekelompok masyarakat dalam menggunakan atau menikmati teh. Pada penelitian ini, teh yang dibahas akan dibatasi pada teh yang berupa makanan dan minuman. Teh yang berupa non-makanan dan non-minuman tidak akan dibahas dalam skripsi ini karena keterbatasan kemampuan peneliti dalam mengumpulkan data-data tersebut. Meskipun teh yang dibahas dalam skripsi ini adalah teh yang berupa makanan dan minuman, namun ruang lingkup pembahasan pengonsumsian teh tidak sebatas pada aktivitas konsumsi yang berupa makan dan minum saja, namun juga mencakup aktivitas lain yang masih berkaitan dengan konsumsi makanan dan minuman tersebut.
1.6 Kerangka Teori Budaya menurut Williams (via Storey, 2001: 2-3) berarti suatu proses umum perkembangan intelektual, spiritual dan estetis; pandangan hidup tertentu dari masyarakat, periode, atau kelompok tertentu; atau karya dan praktik-praktik intelektual, terutama aktivitas artistik. Menurut Koentjaraningrat, kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam kehidupan masyarakat yang dijadikan
9
milik diri manusia dalam belajar (2000: 181). Sehingga dapat dikatakan bahwa hampir seluruh tindakan manusia merupakan kebudayaan, karena banyak tindakan tersebut yang dibiasakan melalui proses belajar. Bahkan tindakan manusia seharihari seperti makan, minum, tidur, dan berjalan juga termasuk kebudayaan. Makan dan minum memang merupakan kebutuhan manusia yang ditentukan oleh faktor biologis, namun cara untuk memenuhi kebutuhan tersebut bersifat kultural. Ihromi (ed., 1986: 32) menyebutkan bahwa kebudayaan tidaklah bersifat statis, ia selalu berubah. Kenyataan bahwa banyak kebudayaan yang bertahan dan berkembang menunjukkan bahwa kebudayaan tersebut berubah dan disesuaikan dengan kebutuhan-kebutuhan tertentu dari lingkungannya (Ihromi (ed.), 1986: 28). Maka tidak mengherankan apabila suatu kebudayaan itu berubah dan berkembang, karena apabila sifat-sifat suatu kebudayaan tidak disesuaikan dengan keadaan tertentu, maka kebudayaan tersebut lama-kelamaan akan menghilang. Berbicara mengenai kebudayaan, akan berkaitan erat dengan masyarakat. Masyarakat tidak mungkin ada tanpa kebudayaan, dan kebudayaan hanya mungkin ada di dalam satu masyarakat (Harsoyo, 1967: 111). Dengan demikian, apabila berbicara mengenai perubahan budaya, maka akan berkaitan erat dengan perubahan masyarakat, begitu pula sebaliknya. Gillin dan Gillin mengemukakan bahwa social change atau „perubahan sosial‟ adalah variasi dari cara-cara hidup yang telah diterima dan berlaku, yang disebabkan oleh kondisi geografis, oleh hasil-hasil kebudayaan yang berupa alat yang mempertinggi taraf kehidupan, oleh komposisi penduduk, atau oleh ideologi
10
yang berasal dari luar dengan jalan difusi atau yang berasal dari dalam masyarakat sendiri oleh adanya invention (Harsoyo, 1967: 111). Menurut
Haviland (1993: 252), faktor-faktor yang mempengaruhi
perubahan kebudayaan ada 3, yakni: 1. Perubahan lingkungan, yang diikuti oleh perubahan adaptif dalam kebudayaan; 2. Variasi perorangan mengenai cara orang di dalam kebudayaan memahami karakteristik kebudayaannya sendiri, yang dapat menimbulkan perubahan cara masyarakat pada umumnya menafsirkan norma-norma dan nilai-nilai kebudayaannya; 3. Kontak dengan kelompok-kelompok lain, yang menyebabkan masuknya gagasan-gagasan dan cara-cara baru untuk mengerjakan sesuatu, yang akhirnya menimbulkan perubahan nilai perilaku tradisional. Honigmann (via Koentjaraningrat, 2000: 186) membedakan adanya tiga “gejala kebudayaan”, yaitu (1) ideas, (2) activities, dan (3) artifacts. Sedangkan Koentjaraningrat sendiri membagi kebudayaan menjadi 3 wujud (2000: 186-187), yakni: 1. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan dan sebagainya. 2. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas serta tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat. 3. Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia.
11
Ketiga wujud kebudayaan ini saling berkaitan satu sama lain dalam suatu kebudayaan. Sehingga sulit untuk mengabaikan atau memisahkan salah satu wujud kebudayaan dari wujud kebudayaan yang lainnya.
1.7 Metode Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian budaya. Dalam penelitian budaya, metode penelitian yang biasanya digunakan adalah metode penelitian kualitatif. Oleh karena itu, penelitian ini juga menggunakan metode penelitian kualitatif. Bogdan dan Taylor (via Moleong, 2001: 3) mendefinisikan metode kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Teknik pengumpulan data yang digunakan pada penelitian ini adalah dengan metode kajian pustaka (library research), yakni dengan mengumpulkan data berupa sumber tertulis dan gambar-gambar yang berkaitan dengan topik permasalahan, baik yang menggunakan bahasa Indonesia, bahasa Inggris, maupun bahasa Jepang. Sumber-sumber tertulis tersebut antara lain berupa buku-buku, skripsi/tesis/disertasi, majalah, maupun sumber-sumber dari internet yang kebenaran dan kevaliditasannya dapat dipertanggung jawabkan. Untuk menganalisis data, digunakan metode identifikasi perbandingan. Penelitian ini membandingkan kebiasaan pengonsumsian teh dari zaman AzuchiMomoyama hingga zaman Heisei sehingga dapat diketahui persamaan dan perbedaan dari masing-masing kebiasaan pengonsumsian teh tersebut. Hasil analisis tersebut akan dipergunakan sebagai data untuk mengetahui pengaruh
12
modernisasi terhadap kebiasaan pengonsumsian teh dalam masyarakat Jepang, maupun untuk mengklasifikasi jenis-jenis perubahan kebudayaan pada kebiasaan pengonsumsian teh di Jepang tersebut. Konsep-konsep yang digunakan untuk menganalisis data tersebut menggunakan konsep-konsep tentang perubahan kebudayaan dan modernisasi. Langkah-langkah yang akan ditempuh dalam penelitian ini adalah: a. mengumpulkan semua data yang berhubungan dengan penelitian, b. memisahkan data yang relevan dan tidak relevan dengan maksud dan tujuan peneliti, c. mengklasifikasi data-data tersebut sesuai dengan rumusan masalah, d. menganalisis data-data tersebut terus menerus sehingga mendapatkan jawaban dari rumusan masalah, e. menarik kesimpulan.
1.8 Sistematika Penulisan Laporan akhir penelitian ini terdiri dari lima bab, yaitu Bab I berupa Pendahuluan yang berisi Latar Belakang; Rumusan Masalah; Tujuan Penelitian; Tinjauan Pustaka; Fokus, Batasan, dan Ruang Lingkup Masalah; Kerangka Teori; Metode Penelitian; dan Sistematika Penyajian. Bab II berupa Kerangka Konseptual yang berisi tentang konsep perubahan kebudayaan, tinjauan tentang modernisasi dan modernisasi di Jepang. Bab III merupakan isi yang menjabarkan perkembangan kebiasaan pengonsumsian teh di Jepang sejak zaman AzuchiMomoyama hingga zaman Heisei. Bab IV akan menjabarkan analisis tentang
13
pengaruh modernisasi terhadap kebiasaan pengonsumsian teh dalam masyarakat Jepang dan mengklasifikasikan jenis perubahan dari kebiasaan pengonsumsian teh tersebut. Bab V berupa kesimpulan.