BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kawasan
Taman
Nasional
Karimunjawa
merupakan
gugusan
kepulauan berjumlah 22 pulau yang terletak di Laut Jawa, mempunyai luas 111.625 Ha (SK Menhut No. 78/Kpts-II/1999 tanggal 22 Februari 1999). Sebagai kawasan yang dilindungi tentu memiliki kelebihan potensi dibandingkan dengan daerah lain. Potensi yang paling menonjol adalah sumberdaya alam laut terutama sektor perikanan di mana kelimpahan ikannya masih banyak. Kawasan perairan laut yang terjaga menjadikan lingkungan laut di kawasan Taman Nasional Karimunjawa memiliki kelebihan di banding kawasan perairan laut di lokasi lain, khususnya di perairan laut Pantai Utara Jawa. Kondisi terumbu karang yang masih baik menyebabkan ikan bisa berkembang biak dengan baik karena habitatnya masih terjaga. Kapalkapal yang berasal dari luar Karimunjawa dapat melakukan aktifitas penangkapan ikan di sekitar perairan kepulauan Karimunjawa. Hal tersebut disebabkan mudahnya mendapatkan hasil yang melimpah di bandingakan melakukan aktivitas penangkapan ikan di lokasi yang lain. Apalagi bila kegiatan penangkapan ikan dilakukan zona terlarang yaitu zona inti dan zona perlindungan Taman Nasional Karimunjawa.
Penduduk
Kepulauan
Karimunjawa
yang
mayoritas
bermata
pencaharian sebagai nelayan, sangat menggantungkan hidupnya dari sumberdaya alam laut terutama perikanan yang ada di sekitar perairan kepulauan
Karimunjawa.
Hal
ini
terkadang
membuat
nelayan
Karimunjawa melanggar fungsi zonasi apabila terdesak oleh kebutuhan hidup atau kondisi cuaca yang membatasi mereka dalam mencari ikan. Pelanggaran zonasi dapat terjadi ketika masyarakat yang memiliki berbagai sudut pandang berbeda, kemudian memetakan situasi mereka secara bersama berdasarkan hasil pembelajaran dari pengalaman dan pandangan masing-masing. Di sini akan terjadi cara pandang yang beda antar pihak karena sudut pandang nelayan akan berbeda dengan Balai Taman Nasional Karimunjawa yang lebih memprioritaskan konservasi dari pada eksploitasi sumberdaya alam. Tapi keberadaan masyarakat yang lebih dulu ada di banding Taman Nasional Karimunjawa di wilayah kepulauan Karimunjawa harus diakui dan diperhatikan dalam membuat suatu kebijakan pengelolaan Taman Nasional Karimunjawa. Inti persoalan dari konflik yang terjadi adalah masalah kesejahteraan (ekonomi) dan konservasi. Di satu pihak ada yang ingin mengeksploitasi sumberdaya alam perairan laut Karimunjawa sedangkan di pihak lain ada yang ingin menjaga kelestariaannya agar dapat mendatangkan manfaat dalam jangka panjang bagi masyarakat meskipun tidak disadari atau kadang tidak dirasakan secara langsung. Konflik antara nelayan dengan Balai Taman Nasional Karimunjawa sudah lama terjadi dan tidak ada
2
solusi jelas atau inkonsistensi dalam penegakan aturan. Balai Taman Nasional Karimunjawa telah melakukan beberapa intervensi guna menyelesaikan konflik yang terjadi, diantaranya revisi zonasi yang melibatkan masyarakat, meningkatkan peran serta masyarakat dalam mengamankan kawasan, dan kolaborasi pemanfaatan sumberdaya alam laut untuk kegiatan ekowisata. Namun konflik antara nelayan dengan Balai Taman Nasional Karimunjawa masih tetap terjadi. Penelitian tentang konflik nelayan di Taman Nasional Karimunjawa selama ini telah dilakukan tapi yang lebih banyak dibahas adalah aspek dari
segi
hukumnya
dan
konsep
pengelolaan
Taman
Nasional
Karimunjawa. Namun belum ada perhatian terhadap apa yang menjadi masalah dari konflik itu sendiri serta bagaimana resolusi konfliknya untuk mencari solusi dari konflik yang terjadi di Taman Nasional Karimunjawa. 1.2. Rumusan Masalah Semakin tingginya kebutuhan hidup masyarakat Karimunjawa akan berdampak pada eksploitasi sumberdaya lautnya semakin tinggi. Situasi seperti ini sulit dihindari karena ketergantungan masyarakat kepada sumberdaya laut masih sangat besar dan selama ini belum ada alternatif lain sebagai penganti mata pencaharian selain mengandalkan sumberdaya laut yang dimiliki Karimunjawa. Padahal sebagai kawasan yang telah ditetapkan sebagai daerah konservasi alam oleh Menteri Kehutanan,sumber daya alam Karimunjawa harus dijaga dan dilestarikan.
3
Melihat adanya dua kepentingan yang berbeda antara kesejahteraan dengan konservasi maka konflik kepentingan akan selalu terjadi di kawasan Taman Nasional Karimunjawa. Nelayan dengan sudut pandangnya tentu berpikir bahwa mereka dapat hidup dengan layak dengan mengandalkan sumberdaya alam laut yang dimiliki oleh perairan kepulauan Karimunjawa yang selama ini menjadi sumber nafkah hidup mereka. Di pihak lain, Balai Taman Nasional Karimunjawa selaku pemangku kawasan berkewajiban untuk menjaga sumberdaya alam yang dimiliki Taman Nasional Karimunjawa agar tetap lestari. Dari uraian singkat di atas, bisa kita tarik pertanyaan penelitian sebagai berikut : 1. Mengapa terjadi konflik antara nelayan dan Balai Taman Nasional Karimunjawa dalam pengelolaan sumberdaya alam laut di Taman Nasional Karimunjawa? 2. Bagaimana proses resolusi konflik yang bisa diterima oleh kedua pihak secara menyeluruh?
1.3. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah : 1. Untuk mengetahui akar konflik
antara nelayan dengan Balai Taman
Nasional Karimunjawa. 2. Untuk mengetahui efektivitas intervensi yang telah dilakukan guna penyelesaian konflik dan merumuskan resolusi konflik guna membantu
4
memecahkan persoalan konflik yang terjadi di Taman Nasional Karimunjawa.
1.4. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat positif bagi berbagai pihak, dan secara garis besar bisa dikategorikan dalam dua hal: 1. Manfaat Teoritis Dapat menjadi suatu sumber informasi untuk pengembangan ilmu pengetahuan, terutama dalam bidang pengelolaan konflik sumberdaya alam laut yang sering terjadi di berbagai kawasan konservasi di Indonesia sebagai negara marirtim. 2. Manfaat Praktis Bagi Kementerian Kehutanan khususnya Balai Taman Nasional Karimunjawa, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Pemerintah Propinsi Jawa Tengah, Pemkab Jepara, Dinas Kelautan dan Perikanan, LSM, Masyarakat dan Swasta, bisa digunakan sebagai bahan pertimbangan atau acuan dalam menyusun rancangan dan kebijakan guna menemukan solusi yang bisa diterima semua pihak atas konflik yang sedang dihadapi saat ini maupun di masa mendatang.
1.5 Kajian Pustaka 1.5.1. Penelitian Terdahulu
5
Ada beberapa kajian/penelitian terdahulu menyangkut tentang pengelolaan
kawasan
dan
konflikdi
kawasan
Taman
Nasional
Karimunjawa, yang sedikit-banyak terkait dengan topik penelitian yang akan dilakukan. Rofian Dedi Susanto pada penelitian dengan judul Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan Kawasan Konservasi Laut di Taman Nasional Karimunjawa berbicara mengenai partisipasi, kompatibilitas aturan dan menganalisa konflik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa potensi keanekaragaman hayati semakin menurun dan tingkat pemanfaatan sumberdaya TNKJ yang kurang terkontrol sehingga dapat mengancam status TNKJ. Dari sisi kajian kebijakan dan kelembagaan menunjukkan bahwa
peraturan
pengelolaan
kawasan
konservasi
lebih
mengkonsentrasikan pada kewenangan pemerintah.Selain itu terdapat disharmonisasi peraturan dalam hal kewenangan pengelolaan antara Kementerian Kehutanan, Kementerian kelautan dan Perikanan, dan Pemerintah Daerah sehingga cenderung menimbulkan konflik institusional karena peraturan sulit diterapkan lintas sektor. Sementara pengaturan kolaborasi dalam Permenhut juga sulit dilaksanakan karena belum ada kesepakatan dan kesepahaman tertulis antar stakeholders. Untuk itu perlu ada kemauan politik atau komitmen dari BTNKJ dan Pemda untuk pengaturan kewenangan dalam pengelolaan dan pemanfaatan SDAHE TNKJ. Pengelolaan TNKJ masih belum efektif karena keterbatasan sarana dan prasarana. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya pelanggaran yang
6
terjadi karena lemahnya penegakan hukum. Selain itu alokasi penggunaan anggaran juga kurang mendukung kegiatan perlindungan dan pengamanan kawasan.Dari tulisan ini penulis menyimpulkan bahwa untuk mencegah terjadinya konflik yang berkelanjutan perlu adanya tindakan riil dalam pengelolaan Taman Nasional Karimunjawa berupa pengelolaan yang berbasis pengelolaan bersama. Prasetia, R., T. Kartawijaya, Ripanto dalam penelitian berjudul Monitoring. Kajian Tingkat Kepatuhan (Compliance) Nelayan Terhadap Zonasi di Taman Nasional Karimunjawa penelitian ini bertujuan untuk mengukur ketaatan nelayan terhadap zonasi yang ada di Karimunjawa. Studi inimembahas tingkatkepatuhannelayanyangberoperasi di kawasan Taman Nasional Karimun jawa selama tiga tahun pengamatan (20092011). Sistem zonasi yang digunakan dalam menentukan tingkat kepatuhan nelayan adalah berdasarkan Surat Keputusan Dirjen PHKA No.SK79/IV/Set-3/2005 Tentang Mintakat/Zonasi di Taman Nasional Karimunjawa. Dari hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kepatuhan nelayan di Karimunjawa masih rendah terhadap larangan beraktifitas di zona inti dan perlindungan, yang merupakan daerah terlarang bagi kegiatan penangkapan ikan. Dari tulisan yang ada saya menyimpulkan bahwa masih sering terjadi konflik antara Balai Taman Nasional Karimunjawa dengan nelayan di kepulauan Karimunjawa. Hal ini bisa dilihat dari tingkat pelanggaran yang masih di jumpai di kawasan Taman Nasional Karimunjawa. Akibat yang timbul dari pelanggaran terhadap
7
zonasi tentu akan memicu terjadinya konflik antara nelayan dengan Balai Taman Nasional Karimunjawa. Marnane, M., R.L. Ardiwijaya, J.T. Wibowo, S.TS.T. Pardede A. Mukminin,Y. Herdiana pada akhir tahun 2002, melakukan penelitian studi kegiatan perikanan Muro-ami di Kepulauan Karimunjawa adanya surat edaran Pemerintah Kabupaten Jepara No. 523/2813 tanggal 28 Juni 2002 tentang hal yang mengindikasikan diperbolehkannya Muro-ami beroperasi di wilayah Kepulauan Karimunjawa. Tujuan dari studi ini adalah untuk mendapatkan gambaran dan informasi yang lebih jelas mengenai aktivitas penangkapan jaring Muro-ami dari aspek sosial ekonomi dan ekologi.Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Perikanan Muro-ami diidentifikasi merupakan salah satu ancaman bagi ekosistem terumbu karang di kawasan Taman Nasional Karimunjawa. Kondisi alam yang berbeda-beda dan terintegrasi dalam studi ini membuat kita dapat mengukur ancamanancaman dari alat tangkap ini pada tipe habitat yang berbeda-beda, serta dampak yang dihasilkan perikanan Muro-ami dibandingkan metode penangkapan lainnya terhadap terumbu karang.Menurut penulis surat edaran ini menjadi akar pemicu koflik antar nelayan lokal di di Karimunjawa karena terjadi perebutan sumberdaya laut antar nelayan. Bahkan memicu terjadinya konflik antara nelayan jaring Muro-ami dengan pihak Taman Nasional karimunjawa. Konflik antara Balai Taman Nasional Karimunjawa dengan Nelayan Muro-ami disebabkan oleh alat tangkapyang
8
digunakan nelayan tidak ramah lingkungan dan bisa merusak ekosistem terumbu karang.
1.5.2 Keaslian Penelitian Penelitian ini merupakan kajian terhadap situasi konflik dalam pemafaatan potensi sumberdaya alam yang dimiliki oleh perairan laut Taman Nasional Karimunjawa, yang saat ini tengah berlangsung. Dalam persoalan konflik ini yang paling sering terjadi adalah persoalan antara nelayan dengan Balai Taman Nasional Karimunjawa yang menyangkut kesejahteraan dengan konservasi. Penelitian ini dititik beratkan pada faktor-faktor penyebab terjadinya konflik, pihak-pihak yang terlibat konflik, dan teknik resolusi konflik seperti apa yang bisa dijalankan. Sampai saat ini, sepengetahuan penulis, belum ada kajian terhadap konflik yang terjadi di tempat tersebut.
1.5.3 Kebaharuan Penelitian Penelitian terhadap berbagai situasi konflik di kawasan konservasi, di berbagai tempat telah banyak dilakukan dan menghasilkan banyak resolusi konflik. Tetapi belum banyak penelitian yang terkait wilayah konservasi perairan yang melibatkan antara nelayan dengan pengelola kawasan konservasi. Persoalan benturan kepentingan antara cara pandang konservasi berhadapan dengan cara pandang ekonomi dan kesejahteraan dengan mengambil setting pada kawasan konservasi. Dan mengingat
9
bahwa setiap situasi konflik memiliki kekhasannya sendiri, faktor-faktor penyebab konflik di suatu tempat belum tentu menjadi penyebab konflik yang sama di tempat lain, maka penelitian ini menghasilkan sesuatu yang baru dalam studi konflik. Dengan penelitian ini kita akan mengetahui kesuaian berbagai konsep di atas dengan konteks konflik di Taman Nasional Karimunjawa. Dengan kata lain kita akan mengetahui sejauh mana konsep-konsep di atas bisa diterapkan di dalam pengelolaan konflik ini. Setiap konflik memiliki konteks dan faktor-faktornya sendiri, yang tidak sama satu-sama lain. Suatu faktor penyebab konflik di tempat yang satu belum tentu menjadi penyebab konflik di tempat yang lain.
1.6.
Rumusan Penelitian
1.6.1. Landasan Teori Konflik kenelayanan (terkait pemanfaatan sumberdaya laut) bernuansa
kekerasan
(Adhuri
etal.2005).
Akar
konflik
dalam
pengeksploitasian sumberdaya laut atau yang dikenal dengan istilah kenelayanan adalah kenyataan bahwa laut tergolong sumberdaya milik umum (public property resource) sehingga untuk mengatasinya dilakukan dengan penciptaan keputusan yang disetujui bersama yang bisa memaksa setiap orang untuk tunduk padanya (Hardin 1968 dalam Adhuri etal.2005).
10
Konflik adalah suatu kenyataan hidup, tidak terhindarkan dan sering bersifat kreatif. Konflik terjadi ketika tujuan masyarakat tidak sejalan.Dari tingkatan terkecil, antar perorangan hingga kelompok, organisasi, masyarakat dan negara. Konflik tumbuh disebabkan tidak ada keseimbagan antara hubungan-hubungan itu. Dalam buku mengelola konflik-ketrampilan dan strategi untuk bertindak, Simon Fisher dan kawan-kawan menyebutkan bahwa Konflik adalah “ Hubungan antara dua pihak atau lebih (individu atau kelompok) yang memiliki atau merasa memiliki sasaran-sasaran yang tidak sejalan”. a. Boundary Model (Model Batas) Dalam Analisis Konflik Mengikuti salah satu model analisis konflik dari Furlong (2005), konflik disebabkan karena batas (aturan) dan norma-norma yang telah ada ditentang, terancam atau dielakkan/diabaikan oleh masyarakat yang berkonflik.
Dengan
demikian
diperlukan
solusi
konflik
yang
membutuhkan intervensi dari lembaga atau orang yang memiliki kewenangan sesuai yurisdiksi. Dalam model ini,terjadinya konflik dapat disebabkan oleh 4 (empat) hal, yaitu: 1) Kurangnya kejelasan mengenai batas (aturan) tersebut; 2) Ketidakmampuan
lembaga
yang
memiliki
wewenang
untuk
menegakkan batas (aturan);
11
3) Tidak bisa menerima jurisdiksi atau legitimasi atas aturan/batas tersebut; 4) Suatu pelanggaran terhadap batas aturan yang menjadi kebiasaan atau telah dibiarkan terus berlangsung.
Model Batas dipakai sebagai alat bantu analisis dalam kasus konflik antara Balai Taman Nasional Karimunjawa dengan nelayan dengan pertimbangan sebagai berikut : 1) Dalam hal diagnosis permasalahan, model ini dapat membantu mendiagnosis penyebab potensial dari konflik dalam suatu keadaan tertentu. Namun begitu, Model ini juga membatasi diagnosisnya pada isu-isu terkait batas, yang berarti bahwa model ini terbatas dalam jangkauan diagnosisnya. 2) Dalam hal strategi pemecahan masalah, model ini menawarkan ide-ide yang jelas bagi dilakukannya tindakan intervensi, seiring dengan tujuan kunci dilakukannya intervensi, yang dapat membantu bagi para praktisi dibidang manajemen penyelesaian konflik. 3) Model ini memiliki kegunaan yang sangat tinggi dalam hal konflik yang bersifat relasional, konflik dimana para pihak yang terlibat akan terus berinteraksi setelah sengketa yang terjadi dipecahkan.
12
b. Biografi Konflik
Gambar 1. Bagan Biografi Konflik Kriesberg
1. Sumber Konflik Kondisi-kondisi laten dan aktual yang memproduksi keyakinan atau kepercayaan tentang adanya tujuan-tujuan yang tak selaras Konstruksi teoretik atau asumsi dasar tentang sifat manusia dan proses sosial: internal (eg. instink agresif, frustasi) & interaksional (eg. disintegrasi sistem atau proses sosial) 2. Kemunculan konflik Rasa atau kesadaran kolektif Ketidakpuasan relatif terhadap pihak (atau pihak-pihak) lain Tujuan-tujuan yang saling berlawanan
13
Seiring dengan perkembangan kegiatan penangkapan ikan yang ada di kawasan Taman Nasional Karimunjawa, mulai muncul pula kelompok orang-orang yang bekerja sebagai nelayan
yang
mengambil ikan di zona perlindungan dan inti. 3. Pemicu Awal Konflik Provokasi para pihak yang terlibat Provokasi bisa berupa persuasi (P), koersi (coercion), & balas jasa (reward) atau iming-iming (material/non-material) Provokasi bisa berupa gabungan dari ketiganya 4. Tahap Eskalasi Konflik Perubahan dalam unit konflik: sosio-psikologis (loyalitas dan komitmen pada tujuan/posisi yang telah ditetapkan, sense of crisis terhadapnya) dan organisasional (komposisi kelompok, kompetisi dalam kepemimpinan). Perubahan dalam hubungan-hubungan antar-pihak yang bertikai (aksi sepihak atau bersama-sama yang saling menyakiti). 5. Tahap Deeskalasi Perubahan dalam unit konflik: sosio-psikologis (menimbang kembali ongkos atau biaya untuk mempertahankan tujuan/posisi, devaluasi tujuan/posisi) dan organisasional (aksi-aksi kelompok moderat, heterogenitas dalam kelompok) Perubahan dalam hubungan-hubungan antar-pihak yang bertikai: o Emerging ties (hubungan terbentuk secara baru)
14
o Kontraksi tujuan/posisi (kapasitas untuk mempertahankannya berkurang atau hilang sama sekali) o Intervensi (aturan atau norma baru, mediasi, konteks sosial) 6. Terminasi Konflik Prosesnya: implisit, eksplisit (e.g. melalui negosiasi), tercapainya kesepakatan atau penyelesaian Untuk menentukan sebuah konflik berhenti: a.
sejumlah orang menyepakati bahwa ia selesai (baik pihak yang terlibat maupun bahkan para pengamatnya)
b.
secara arbitrer, e.g. dengan periodisasi menurut waktunya.
Bisa merupakan awal dari konflik atau pertikaian baru.
Setiap konflik perlu suatu pengelolaan sehingga tidak terus mengalami eskalasi yang bisa mengarah pada tindak kekerasan. Pada tahap tertentu suatu peristiwa konflik memerlukan intervensi agar bisa masuk dalam suatu tahapan de-eskalasi konflik. Jika hubungan dan konunikasi yang dikembangkan para pihak bisa terus berlanjut, konflik yang ada bisa memasuki fase terminasi konflik, yaitu suatu tahap tercapainya suatu kesepakatan atau penyelesaian. Apa yang perlu diperhatikan dalam proses mengelola konflik adalah bahwa akhir suatu konflik bisa menjadi awal bagi munculnya suatu konflik baru (Kriesberg 1982). Sumber konflik yang terjadi adalah kondisi-kondisi laten dan aktual yang kemudian memproduksi keyakinan atau kepercayaan tentang adanya
15
tujuan-tujuan yang tak selaras antara kesejahteraan dengan konservasi (Kriesberg 1982:17,18). Konflik adalah sebuah ‘situasi persaingan’ antarpihak yang menyadari bahwa mereka memiliki potensi untuk tak selaras dalam posisi masing-masing di masa depan, dan masing-masing menginginkan untuk menguasai atau merebut posisi yang tak selaras dengan keinginan pihak lain (Boulding, 1962). Konflik adalah persepsi mengenai ketidakselarasan kepentingan, atau keyakinan bahwa aspirasi para pihak yang ada saat itu tidak bisa dicapai secara bersamaan (Pruitt & Rubin, 1986). Kriesberg (1982) mengungkapkan, bahwa ada dalam suatu konflik terdapat suatu tahapan yang dia sebut dengan ‘biografi konflik’. Dalam biografi konflik tersebut, secara berurutan tahapan dimulai dari sumber konflik, kemunculan konflik, pemicu awal konflik, eskalasi konflik, deeskalasi konflik, terminasi konflik, hasil (outcome) konflik, dan konsekwensi konflik. Resolusi pada dasarnya adalah setiap upaya intervensi (untuk mencegah aktualisasi, mendeeskalasi, menghentikan dan menyelesaikan konflik) dalam salah satu (atau lebih) tahap konflik tersebut. Dalam teorinya mengelola konflik berupa pemetaan konflik yang dijelaskan secara detil oleh Simon Fisher dkk (2000) dapat membantu untuk menganalisa intervensi yang akan dilakukan. Dalam pandangannya Simon Fisher dkk menganggap penting untuk melakukan analisa konflik dengan memahami latar belakang, sejarah dan perkembangan terbaru. Dan
16
yang paling utama bisa melakukan evaluasi terhadap kegagalan yang pernah terjadi. Salah satu alternatif yang bisa ditempuh dalam suatu konflik / sengketa publik adalah Governance, yaitu suatu mekanisme praktek dan tata cara pemerintah dan warga mengatur sumberdaya dan memecahkan masalah-masalah publik. Dalam hal ini William Zartman berpendapat bahwa “governing as conflict managemen” yaitu governance adalah pengelolaan konflik(Zartman, 1997). Proses pengelolaan konflik atau sengketa publik akan sangat dipengaruhi oleh mekanisme, kearifan, dan inisiatif yang dikembangkan oleh 3 (tiga) governance stakeholders utama(Carpenter & Kennedy 1988): Peran negara/pemerintah yang fasilitatif, untuk mendukung usahausaha resolusi konflik. Peran komunitas dan peran advokasi dari lembaga non-negara untuk mengembangkan inisatif dalam resolusi konflik. Peran suportif para pelaku dunia usaha dan/atau pemilik modal dalam usaha-usaha resolusi konflik. Governance yang efektif sangat tergantung pada kemapanan akan suatu konsensus dalam norma-noma yang ada, penegakan norma aturan dan nilai sebagai sumber legitimasi, dan pembangunan suatu prinsip dan
17
institusi yang baru jika nilai-nilai dan institusi yang lama terbukti tidak cocok lagi (Zartman, 1997). Bagaimana mengembangkan peran governance stakeholders dalam setiap dimensi konflik, adalah hal utama bagi efektivitas proses pengelolaan konflik. Bagaimana mengembangkan kerjasama, sinergi, kolaborasi, koordinasi, dan lain-lain di antara mereka dalam mencegah dan mengelola sikap-sikap, perilaku dan situasi yang mengarah pada terjadinya konflik yang terbuka. Dengan kata lain, langkah penting yang harus diambil adalah bagaimana membangun suatu kolaborasi diantara para pihak, bagaimana semua pihak bekerja-sama dalam membangun alternative untuk memecahkan masalah. Dengan kata lain akan terjadi suatu proses negosiasi (kepentingan) di antara para pihak tersebut. Kolaborasi antar para pihak yang berkepentingan, bisa juga hadir dalam
bentuk
collaborative
management.
Co-management
atau
collaborative management, sering disebut juga participatory management, joint management, shared-management, multi stakeholder management atau
round-table
agreement
adalah
bentuk
pengelolaan
yang
mengakomodasi kepentingan semua pihak dengan mekanisme kerjasama, yang didorong oleh pengakuan hak yang melekat pada setiap pihak, dalam rangka mencapai tujuan bersama, sehingga dimungkinkan semua pihak dapat ikut berpartisipasi untuk berbagi wewenang, tanggung jawab dan keuntungan dalam proses pengelolaan (Borrini-Feyerabend, 1996; NRTEE,1999). Perlu dikembangkan konsep pengelolaan yang dapat
18
menyatukan berbagai aspirasi dan kepentingan stakeholder dalam pemanfaatan sumberdaya alam dan mensinergikan kegiatan mereka dengan mengikuti prinsip co-management yang semestinya, yaitu adanya kerelaan, kesetaraan peran dan saling kepercayaan, partisipasi aktif, komitmen untuk berbagi disertai adanya dukungan kelembagaan (Wiratno et al, 2004). Setiap konflik perlu suatu pengelolaan sehingga tidak terus mengalami eskalasi yang bisa mengarah pada tindak kekerasan. Pada tahap tertentu suatu peristiwa konflik memerlukan intervensi agar bisa masuk dalam suatu tahapan de-eskalasi konflik. Jika hubungan dan konunikasi yang dikembangkan para pihak bisa terus berlanjut, konflik yang ada bisa memasuki fase terminasi konflik, yaitu suatu tahap tercapainya suatu kesepakatan atau penyelesaian. Apa yang perlu diperhatikan dalam proses mengelola konflik adalah bahwa akhir suatu konflik bisa menjadi awal bagi munculnya suatu konflik baru (Kriesberg 1982). c. Common Pool Resources Konflik dalam mengelola sumberdaya alam laut perairan merupakan konflik Common Pool Resources yang rumit dan dilematis disebabkan adanya relasi antara pihak satu dengan pihak lainnya dalam pengelolaan sumberdayanya. Pada persoalan ini sumberdaya yang dimaksud bukan dalam arti materinya tetapi interaksinya yang dapat menimbulkan konflik antara pihak satu dengan lainya. Bentuk sifat dari
19
barang perlu dilihat karena dalam kapasitas interaksi antar pihak-pihak dapat menyebabkan konflik dan kemudian bisa di kategorikan sebagai hal yang menimbulkan masalah (Ostrim, Gardner, dan Walker. 1996), karena: Subtractability - Barang atau benda ini menjadi konflik karena sifat barangnya yang bisa habis disebabkan mempunyai sifat kemampuan kecepatan berkurang jika di pakai. - Memiliki unsur kelangkaan pada waktu dibutuhkan dalam benda/barang ini. Exclusion - To exclude mengeluarkan dalam arti pagar. Artinya bahwa barang ini tidak bisa di pagari . - Seandainya bisa karena sifat barangnya ini memang sulit untuk dipagari. Contoh dari barang/benda yang sulit dipagari adalah hutan, sumberdaya laut terutama perikanan, tambang, minyak dan lainnya. Tapi poin penting dari yang disebut di atas adalah dalam Common Pool Resources adalah: - Adanya ketegangan antara relasi individu dan kelompok; dan - Perolehan hasil tergantung dari perilaku yang dilakukan. Dengan demikian konflik yang berbasis Common Pool Resources ditandai adanya persaingan atau rivalitas antar individu atau kelompok yang berkepentingan terhadap sumberdaya tersebut. Konflik Common Pool Resource ini terjadi menyangkut para pihak dalam membagi dan
20
upaya terhadap barang tersebut supaya tidak cepat berkurang. Cara membagi di sini adalah bagaimana setiap individu atau komunitas tetap mampu mendapatkan sumberdaya yang menjadi kebutuhannya. Persoalan yang terjadi bila terjadi krisis maka kemungkinan besar individu atau komunitas bisa dipastikan akan melakukan hal-hal yang sifatnya memaksa karena berurusan dengan masalah kesejahteraan hidup atau ekonomi. Dari uraian di atas dapat diindikasikan bahwa masalah yang menyebabkan terjadinya konflik disebabkan oleh adanya keterbatasan sumberdaya alam laut. Hal ini terjadi karena adanya perilaku dari pihakpihak yang terlibat konflik yang berbeda pandangan pada pemanfaatan sumberdaya alam yang sama yaitu sumberdaya yang dimiliki oleh perairan laut. Permasalahan yang di terjadi bisa di bagi menjadi dua (Ostrim, Gardner, dan Walker. 1996), yaitu: 1. Demand Side Adalah berhubungan dengan perilaku orang yang cenderung untuk mengeksploitasi barang untuk mendapatkan keuntungan barang secara ekonomi (eksplotasi). Sementara kebutuhan pihak lain menjadi terancam disebabkan barang yang dieksploitasi tersebut merupakan kebutuhan yang mempunyai fungsi yang lain (konservasi). 2. Supply Side Hal ini merupakan ketersediaan sumberdaya yang akan menimbulkan persoalan jika perilaku masyarakat cenderung tidak ada upaya untuk melestarikan sumberdaya tersebut. Hal ini disebabkan sumberdaya yang
21
ada suatu waktu bisa berkurang atau habis jika tidak ada upaya pelestarian yang berkelanjutan terhadap sumberdaya alam tersebut. d. Rule In Use Instittusional Analyssis and Development adalah merupakan suatu komponen penting dalam Rule In Use (Ostrim, Gardner, dan Walker. 1996). Rule InUse sendirimerupakan suatu formula yang mendifinisikan tindakan apa yang diijinkan/dilarang dan sanksi yang diberikan jika tidak dituruti. Rule In Use terdiri dari tujuh komponen yaitu : 1. Position
Rule
adalah
menjelaskan
adanya
kesepakatan
yang
kontekstual, preskriptif dan Followable tentang posisi masing-masing aktor. 2. Boundary Rule adalah menjelaskan adanya kesepakatan yang kontekstual, preskriptif
dan Followable tentang bagaimana cara
menentukan batas siapa yang di anggap stakeholder dan yang tidak. 3. Authority Rule adalah menjelaskan adanya kesepakatan yang kontekstual, preskriptif
dan Followable tentang otoritas masing-
masing aktor/stakeholder berdasarkan posisi masing-masing. 4. Aggregation Rule adalah menjelaskan adanya kesepakatan yang kontekstual, preskriptif dan Followable tentang cara mengubah aturan main yang telah ada, agar sesuai dengan perubahan konteks. 5. Scope Rule adalah menjelaskan adanya kesepakatan yang kontekstual, preskriptif dan Followable tentang tujuan-tujuan yang akan dicapai bersama dalam jangka pendek, menengah dan panjang.
22
6. Information Rule adalah menjelaskan tentang informasi apa dan bagaimana memperolehnya. 7. Payoff Rule , Menjelaskan adanya kesepakatan yang kontekstual, preskriptif, followable tentang bagaimana keuntungan dan biaya yang akan ditanggung, yang diperbolehkan serta dilarang. Pada saat melakukan penelitian ini saya akan mengacu pada beberapa teori dan konsep tersebut diatas dalam melakukan analisa penyelesaiaan konflik. Perbedaan pandangan antara Balai Taman Nasional
Karimunjawa
dengan
nelayan
antara
konservasi
berlawanan dengan kesejahteraan harus ditemukan resolusi konflik yang tepat dan bisa di terima kedua pihak yang berkonflik. Dengan adanya konsep yang ditawarkan penulis yakin akan memberikan gambaran dalam penyelesaian konflik selanjutnya. Dan penulis menganggap bahwa konservasi tidak selamanya selalu menghambat kesejahteraan masyarakat yang permasalahan ini akan dibahas lebih mendalam dalam penelitian ini.
1.6.2 Hipotesis Perbedaan cara pandang terhadap pemanfaatan sumberdaya alam yang dimiliki oleh perairan laut kepulauan Karimunjawa membuat konflik pemanfaatan kawasan ini terus berlarut-larut dan belum mencapai titik temu. Perbedaan cara pandang berpengaruh terhadap tingkat pemahaman terhadap suatu peraturan. Nelayan dalam memahami peraturan dilandasi
23
pada pengalaman dalam memanfaatkan sumberdaya alam laut, sedangkan pihak Balai Taman Nasional memiliki tingkat pemahaman yang konsisten terhadap
peraturan
walaupun
dalam
implementasinya
terkadang
membutuhkan kajian ilmiah yang tidak dijalankan. Dengan analisa Boundary Model dapat diketahui hal-hal yang menjadi akar konflik tersebut. Hingga saat ini konflik antara nelayan dengan Balai Taman Nasional Karimunjawa masih tetap terjadi. Hal ini dapat didasarkan pada hasil analisa dari teori Fisher dkk (2000) bahwa pendekatan melalui isu konservasi terhadap kejadian suatu konflik memungkinkan alternatif resolusi konflik justru berasal dari konflik itu sendiri. Tehnik yang digunakan dengan mendorong isu konsevasi kearah yang produktif menuju penyelesaian konflik yang lebih arif dan mudah dipahami oleh para pihak yang terlibat dalam konflik.. Tentunya lebih diprioritaskan terhadap pihakpihak yang terlibat secara langsung pada konflik yang terjadi. Permasalahan antara kesejahteraan dan konservasi yang selama ini terjadi dapat diselesaikan melalui penegakan batas (Boundary model) dan pengelolaan bersama (collaborative governance) . Hal ini bisa tercapai apabila terjadi kesepahaman antara pihak-pihak yang terlibat konflik dalam pengelolaan sumberdaya alam laut yang dimiliki oleh perairan Karimunjawa. Artinya dalam pengelolaan yang berbasis konservasi tetap harus memperhatikan aspek sosial budaya yaitu kesejahteraan masyarakat sekitar kawasan Taman Nasional Karimunjawa. Tentu saja kebijakan yang
24
di ambil tetap berdasarkan kelestarian lingkungan laut yang dimiliki Taman Nasional Karimunjawa.
1.7 Metode dan Teknik Penelitian 1.7.1 Jenis Penelitian Penelitian yang dilakukan menggunakan metode kualitatif, yang sifatnya deskriptif dalam upaya menginterpretasikan gejala-gejala yang terjadi dalam konteks sosial. Dengan metode seperti ini diharapkan bisa didapat berbagai data pada situasi yang tengah dipelajari (diteliti). 1.7.2 Sumber Data 1. Data Primer Adalah data yang di dapat melalui sumber pertama melalui prosedur dan tehnik pengambilan data berupa wawancara dan observasi. Respoden merupakan para pihak yang terkait dengan topik penelitian ini yang diharapkan dapat memberikan gambaran peristiwa yang terjadi dengan melibatkan subyek secara aktif. Diantara para responden yang diambil kali ini diantaranya adalah Kepala Balai Taman Nasional Karimunjawa, Camat Karimunjawa, Kepala Desa Karimunjawa, dan Nelayan Karimun Jawa. Data primer lain yaitu berupa produk hukum konservasi dan yang berkaitan dengan itu seperti Undang-Undang, Peraturan Pemerintah Peraturan Menteri, Peraturan Daerah dan sejenisnya, media massa , website dan lain-lain.
25
2. Data Sekunder Adalah data yang diperoleh dari sumber tidak langsung yang berbentuk dokumentasi, arsip, studi literatur penelitian terdahulu, LSM dan Pemerintah daerah. Data ini diharapkan sebagai pendukung terhadap data primer yang telah diperoleh sehingga bisa melengkapi data penelitian ini 1.7.3. Metode Analisis Data Data-data yang berhasil dikumpulkan natinya akan dikelompokkan menurut kategori atau polanya tersendiri, kemudian diorganisasikan dalam tema-tema tertentu. Tema-tema tersebut nantinya akan dianalisis menggunakan alur kerangka pemikiran dan metode penelitian sosial, serta landasan teori yang relevan, sehingga bisa menuntun pada ditemukannya suatu kesimpulan. Penelitian dengan ini menekankan analisisnya pada proses penyimpulan deduktif dinamika yang terjadi.
dan induktif serta analisis terhadap
Penelitian ini berusaha untuk memberikan
gambaran mengenai suatu konflik, menganalisa, dan membuat upaya pengelolaan konflik.
1.8. Sistematika Penulisan Guna menjawab persoalan penelitian yang diusulkan ini, berbagai data yang berhasil dikumpulkan akan disusun dalam berdasarkan sistematika penulisan sebagai berikut :
26
Bab satu merupakan pendahuluan, yang Memuat : Latar belakang permasalahan, rumusan masalah, manfaat penulisan, tinjauan pustaka, kerangka teori, argumen utama, metode penelitian dan sistematika penulisan. Bab dua berisi tentang kondisi umum dan sejarah pengelolaan Taman Nasional Karimunjawa. Di sini akan memuat penjelasan mengenai kondisi Taman Nasional Karimunjawa secara umum baik itu mengenai letak geografis, pengelolaan kawasan dan sosial ekonomi masyarakatnya. Dan secara khusus akan membahas permasalah antara pihak-pihak yang terlibat dalam konflik yang terjadi.
Baik itu yang terlibat langsung
ataupun para pihak yang bisa mempengaruhi konflik yang terjadi di Taman Nasional Karimunjawa. Pada Bab tiga akan disampaikan telaah atas Konflik Balai Taman Nasional Karimunjawa Dan Nelayan. Sejarah terjadinya konflik dan halhal yang melatarbelakangi terjadinya konflik di kawasan laut Taman Nasional Karimunjawa. Pada bab ini akan di bahas awal mulanya terjadinya konflik dikawasan dari mulai penetapan oleh Menteri Kehutanan sampai saat ini. Di mana telah mengalami beberapa kali revisi zonasi untuk mengakomodir kepentingan nelayan di mana untuk menentukan zonasi melibatkan para masyarakat. Bab
empat
akan
menyajikan
skema
pilihan
alternatif
penyelesaian masalah atau resolusi konflik. Teori yang dipakai untuk membantu menyelesaiakan konflik yang terjadi
Mengikuti salah satu
27
model analisis konflik dari Furlong (2005), yaitu Boundary Model (Batas), maka kita bisa mendifisikan penyebab terjadinya konflik sumberdaya alam laut di perairan Taman Nasional Karimunjawa disebabkan karena batas (aturan) dan norma-norma yang telah ada ditentang, terancam atau dielakkan/diabaikan.
Konflik
membutuhkan
intervensi
untuk
mengatasinya (lembaga atau orang yang memiliki kewenangan sesuai yurisdiksi). Salah satu alternatif yang bisa ditempuh dalam suatu konflik /sengketa publik adalah Governance, yaitu suatu mekanisme praktek dan tata cara pemerintah dan warga mengatur sumberdaya dan memecahkan masalah-masalah publik. Dalam hal ini William Zartman berpendapat bahwa “governing as conflict managemen” yaitu governance adalah pengelolaan konflik (Zartman, 1997). Bab lima merupakan kesimpulan. Menyimpulkan seluruh hasil kajian penelitian dan teori yang dipakai dalam melakukan penulisan. Pada bab ini menghasilkan beberapa kesimpulan dan saran yang diharapkan dapat membantu menyelesaiakan konflik yang terjadi di kawasan Taman Nasional Karimunjawa.
28