BAB 2 TINJAUAN TEORETIS DAN PERUMUSAN HIPOTESIS
2.1 Tinjauan Teoretis 2.1.1 Teori Agensi Hubungan agensi terjadi ketika salah satu pihak bertindak sebagai pihak yang menyewa pihak lain (prinsipal) untuk melaksanakan suatu jasa, dan dalam melakukan hal itu, mendelegasikan wewenang untuk membuat keputusan kepada pihak yang disewa (agen) tersebut (Anthony dan Govindarajan, 2005). Anthony dan Govindarajan (2005) menyatakan bahwa dalam lingkup korporasi atau perusahaan, pemegang saham adalah prinsipal dan CEO perusahaan adalah sebagai agen. Elemen kunci dalam teori agensi adalah bahwa prinsipal dan agen memiliki preferensi atau tujuan yang berbeda. Teori agensi mengasumsikan bahwa prinsipal dan agen bertindak untuk kepentingan mereka masing-masing (Anthony dan Govindarajan, 2005). Tujuan atau kepentingan yang berbeda antara agen dan principal menyebabkan agen akan menerima kepuasan tidak hanya dari kompensasi keuangan, tetapi juga dari tambahan yang terlibat dalam hubungan suatu agensi, seperti waktu luang yang banyak, kondisi kerja yang menarik, keanggotaan klub dan jam kerja yang fleksibel. Menurut Anthony dan Govindarajan (2005), principal diasumsikan hanya tertarik pada pengembalian keuangan yang diperoleh dari investasi mereka di perusahaan tersebut. Principal tidak memiliki informasi yang mencukupi mengenai kinerja agen, principal tidak pernah dapat merasa pasti
9
10
bagaimana usaha agen dalam memberikan kontribusi pada hasil aktual perusahaan. Hal ini akan menyebabkan ketimpangan informasi antara principal dan agen, atau biasa disebut dengan asimetri informasi. Tanpa ada pantauan dari principal, hanya agen yang mengetahui apakah dirinya bekerja untuk kepentingan principal atau tidak, disamping itu agen mungkin lebih mengetahui lebih banyak mengenai kondisi perusahaan yang sebenarnya dibandingkan principal. Tambahan informasi yang mungkin dimiliki agen ini dinamakan informasi pribadi. Perbedaan kepentingan antara principal dan agen, dan informasi pribadi agen dapat menyebabkan agen tersebut salah menyajikan informasi kepada principal. Situasi pada saat seorang agen termotivasi untuk dengan sengaja melakukan salah penyajian informasi dinamakan moral hazard atau bahaya moral (Anthony dan Govindarajan, 2005). Teori agensi menjelaskan bagaimana asimetri informasi terjadi di dalam suatu perusahaan. Asimetri informasi ini sangat merugikan bagi pihak stakeholders, oleh karena itu para stakeholders memerlukan suatu alat kontrol untuk dapat mengurangi resiko terjadinya asimetri informasi. Alat kontrol yang dapat digunakan oleh stakeholders adalah informasi yang berupa pengungkapan sukarela pada laporan tahunan perusahaan. Dengan pengungkapan sukarela yang lebih luas, maka akan memberikan informasi yang lebih transparan bagi stakeholders. Hal ini akan dapat mengurangi resiko terjadinya asimetri informasi.
11
2.1.2 Asimetri Informasi Manajer sebagai pengelola perusahaan lebih banyak mengetahui informasi internal dan prospek perusahaan di masa yang akan datang dibandingkan pemilik (pemegang saham). Oleh karena itu, sebagai pengelola, manajer berkewajiban memberikan sinyal mengenai kondisi perusahaan kepada pemilik. Sinyal yang diberikan dapat dilakukan melalui pengungkapan informasi akuntansi seperti laporan keuangan. Laporan keuangan dimaksudkan untuk digunakan oleh berbagai pihak, termasuk manajemen perusahaan itu sendiri. Namun yang paling berkepentingan dengan laporan keuangan sebenarnya adalah para pengguna eksternal (diluar manajemen). Laporan keuangan tersebut penting bagi para pengguna eksternal, terutama sekali karena kelompok ini berada dalam kondisi yang paling besar ketidakpastiannya. Para pengguna internal (manajemen) memiliki kontak langsung dengan entitas atau perusahaannya dan mengetahui peristiwa-peristiwa signifikan yang terjadi, sehingga tingkat ketergantungannya terhadap informasi akuntansi tidak sebesar para pengguna eksternal. Situasi ini akan memicu munculnya suatu kondisi yang disebut sebagai asimetri informasi (information asummetry), yaitu suatu kondisi dimana ada ketidakseimbangan perolehan informasi antara pihak manajemen sebagai penyedia informasi (preparer) dengan pihak pemegang saham dan stakeholder pada umumnya sebagai pengguna informasi (user). Menurut Scott (2000), terdapat dua macam asimetri informasi, yaitu:
12
1. Adverse Selection. Para manajer serta orang-orang dalam lainnya biasanya mengetahui lebih banyak tentang keadaan dan prospek perusahaan dibandingkan investor pihak luar. Fakta yang mungkin dapat mempengaruhi keputusan yang akan diambil oleh pemegang saham tersebut tidak disampaikan informasinya kepada pemegang saham. 2. Moral Hazard. Kegiatan yang dilakukan oleh seorang manajer tidak seluruhnya diketahui oleh pemegang saham maupun pemberi pinjaman, sehingga manajer dapat melakukan tindakan diluar pengetahuan pemegang saham yang melanggar kontrak dan sebenarnya secara etika atau norma mungkin tidak layak dilakukan.
2.1.3 Corporate Governance 2.1.3.1 Definisi dan Tujuan Corporate Governance Menurut Forum for Corporate Governance in Indonesia (FCGI, 2001) corporate governance adalah seperangkat peraturan yang mengatur hubungan antara pemegang saham, pengurus (pengelola) perusahaan, pihak kreditur, pemerintah, karyawan serta para pemegang kepentingan intern dan ekstern lainnya yang berkaitan dengan hak-hak dan kewajiban mereka, atau dengan kata lain suatu sistem yang mengatur dan mengendalikan perusahaan. Berdasarkan definisi good corporate governance di atas dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya good corporate governance adalah sistem, proses, dan seperangkat peraturan yang mengatur
hubungan antara berbagai pihak yang
13
berkepentingan (stakeholders) terutama dalam arti sempit hubungan antara pemegang saham, dewan komisaris, dan dewan direksi demi tercapainya tujuan perusahaan. Adapun tujuan dari good corporate governance adalah untuk menciptakan nilai tambah (value added) bagi semua pihak yang berkepentingan (stakeholders).
2.1.3.2 Manfaat Corporate Governance Manfaat corporate governance menurut Forum for Corporate Governance in Indonesia (FCGI, 2001) adalah: 1. Meningkatkan kinerja perusahaan melalui terciptanya proses pengambilan keputusan yang lebih baik, meningkatkan efisiensi operasional perusahaan serta lebih meningkatkan pelayanan kepada stakeholders. 2. Mempermudah diperolehnya dana pembiayaan yang lebih murah sehingga dapat meningkatkan corporate value. 3. Mengembalikan kepercayaan investor untuk menanamkan modalnya di Indonesia. 4. Pemegang saham akan merasa puas dengan kinerja perusahaan karena sekaligus akan meningkatkan shareholder value dan dividen. Pakaryaningsih dan Wibowo (2006) menyebutkan manfaat penerapan corporate governance adalah: 1. Meningkatkan efisiensi produktivitas. Hal ini dikarenakan seluruh individu dalam perusahaan memiliki komitmen untuk memajukan perusahaan. Semua individu di perusahaan pada setiap level
14
dan departemen akan berusaha menyumbang segenap kemampuannya untuk kepentingan perusahaan dan bukan atas dasar mencari keuntungan secara pribadi atau kelompok. Dengan demikian tidak terjadi pemborosan yang diakibatkan penggunaan sumber daya perusahaan yang dipergunakan untuk kepentingan pihak-pihak tertentu yang tidak sejalan dengan kepentingan perusahaan. 2. Meningkatkan kepercayaan publik. Publik dalam hal ini dapat berupa mitra baik sebagai investor, pemasok, pelanggan, kreditor, pemerintah maupun konsumen akhir. Bagi investor dan kreditor penerapan good corporate governance adalah suatu hal yang dijadikan pertimbangan dalam pengambilan keputusan yang berkaitan dengan pelepasan dana investasi maupun kreditnya. Jadi, kreditor dan investor akan merasa lebih aman karena perusahaan dijalankan dengan prinsip yang mengutamakan kepentingan semua pihak dan bukan hanya pihak tertentu saja. 3. Menjaga kelangsungan hidup perusahaan. 4. Dapat mengukur target kinerja perusahaan. Dalam hal ini manajemen lebih terarah dalam mencapai sasaran-sasaran manajemen dan tidak disibukkan untuk hal-hal yang bukan menjadi sasaran pencapaian kinerja manajemen.
2.1.3.3 Prinsip-Prinsip Corporate Governance Prinsip-prinsip dasar penerapan good corporate governance yang dikemukakan oleh Forum for Corporate Governance in Indonesia (FCGI, 2001) adalah sebagai berikut:
15
1. Fairness (keadilan). Menjamin adanya perlakuan adil dan setara di dalam memenuhi hak-hak stakeholders yang timbul berdasarkan perjanjian serta peraturan perundang-undangan yang berlaku. Prinsip ini menekankan bahwa semua pihak, yaitu baik pemegang saham minoritas maupun asing harus diberlakukan sama. 2. Transparency (transparansi). Mewajibkan adanya suatu informasi yang terbuka, akurat dan tepat pada waktunya mengenai semua hal yang penting bagi kinerja perusahaan, kepemilikan, dan para pemegang kepentingan (stakeholders). 3. Accountability (akuntanbilitas). Menjelaskan fungsi, struktur, sistem dan pertanggungjawaban organ perusahaan
sehingga pengelolaan perusahaan
terlaksana secara efektif. Prinsip ini menegaskan pertanggungjawaban manajemen terhadap perusahaan dan para pemegang saham. 4. Responsibility (pertanggungjawaban). Memastikan kesesuaian (kepatuhan) di dalam pengelolaan perusahaan terhadapkorporasi yang sehat serta peraturan perundangan yang berlaku. Dalam hal ini perusahaan memiliki tanggungjawab sosial
terhadap
masyarakat
atau
stakeholders
dan
menghindari
penyalahgunaan kekuasaan dan menjunjung etika bisnis serta tetap menjaga lingkungan bisnis yang sehat. Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) pada tahun 1999 telah menerbitkan dan mempublikasikan OECD Principles of Corporate Governance. Prinsip-prinsip tersebut ditujukan untuk membantu para negara anggotanya maupun negara lain berkenaan dengan upaya-upaya untuk
16
mengevaluasi dan meningkatkan kerangka kerja hukum, institusional, dan regulatori corporate governance dan memberikan pedoman dan saran-saran untuk pasar modal, investor, perusahaan, dan pihak-pihak lain yang memiliki peran dalam pengembangan good corporate governance (Darmawanti dan Khomsiyah, 2004). Prinsip-prinsip tersebut adalah: 1. Hak-hak pemegang saham. Kerangka yang dibangun dalam corporate governance harus mampu melindungi hak-hak para pemegang saham yaitu hak untuk, (1) menjamin keamanan
metode
pendaftaran
kepemilikan,
(2)
mengalihkan
atau
memindahkan saham yang dimilikinya, (3) memperoleh informasi yang relevan tentang perusahaan secara berkala dan teratur, (4) ikut berperan dan memberikan suara dalam RUPS, (5) memilih anggota dewan komisaris, dan (6) memperoleh pembagian keuntungan perusahaan. 2. Perlakuan yang sama terhadap para pemegang saham. Kerangka kerja corporate governance harus menjamin adanya kesetaraan perlakuan kepada seluruh pemegang saham, termasuk pemegang saham minoritas dan asing. Seluruh pemegang saham harus memiliki kesempatan untuk mendapatkan perbaikan yang efektif atas penyimpangan dari hak-hak mereka. 3. Peranan stakeholdersyang terkait dengan perusahaan. Kerangka kerja corporate governance harus mengakui hak-hak stakeholders seperti yang ditentukan oleh hukum dan mendorong kerjasama yang aktif antara perusahaan dan stakeholders dalam penciptaan kesejahteraan,
17
pekerjaan-pekerjaan, dan kemampuan untuk mempertahankan perusahaan yang sehat secara finansial. 4. Transparansi dan Keterbukaan. Kerangka
kerja
corporate
governance
harus
menyakinkan
bahwa
pengungkapan yang tepat waktu dan akurat telah dilakukan atas seluruh halhal yang material berkenaan dengan perusahaan, termasuk situasi keuangan, kinerja, kepemilikan, dan ketaatan perusahaan (governance of company). 5. Peranan Dewan Komisaris. Kerangka kerja corporate governance harus meyakinkan pedoman strategik perusahaan, pemonitoran yang efektif pada manajemen oleh dewan, dan akuntabilitas dewan terhadap perusahaan dan pemegang saham.
2.1.3.4 Perwujudan dan Penerapan Good Corporate Governance Menurut Herwidayatmo (2004), prinsip-prinsip corporate governance dapat diwujudkan dalam pengelolaan perusahaan dengan melaksanakan hal-hal sebagai berikut: 1. Rapat Umum Pemegang Saham. Sesuai dengan ketentuan Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dan Undang-Undang No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal, setiap perusahaan wajib mengadakan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) Tahunan dalam jangka waktu enam bulan setelah tutup tahun buku. RUPS memiliki wewenang untuk menyetujui atau menolak antara lain
18
konsolidasi, merger, akuisisi, kepailitan, dan pembubaran perusahaan, serta pengangkatan dan pemberhentian komisaris dan direksi. 2. Keterbukaan dan Transparansi. Direksi wajib menyusun laporan yang meliputi laporan keuangan tahunan terakhir, informasi tentang kegiatan usaha dan perubahannya, problem yang dihadapi, dan hasil-hasil yang telah dicapai. Laporan tersebut juga mengungkapkan nama direksi dan komisaris berikut remunerasi masingmasing direksi atau komisaris. Untuk perusahaan terbuka, laporan keuangan harus diperiksa (diaudit) oleh Akuntan Publik dan dipublikasikan dalam dua surat kabar beredar nasional. BAPEPAM telah menetapkan peraturan pada butir VIII.G.2 yang merinci hal-hal yang harus diungkapkan dalam laporan tahunan perusahaan terbuka. Laporan tahunan harus mencakup antara lain ikhtisar data keuangan penting perusahaan untuk periode 5 (lima) tahun, analisis dan pembahasan manajemen, penjelasan mengenai investasi/divestasi, ekspansi, transaksi yang mengundang benturan kepentingan, dan transaksi dengan pihak afiliasi serta Laporan Keuangan Tahunan yang diaudit. Perusahaan terbuka wajib menyampaikan laporan berkala dan informasi material lainnya kepada BAPEPAM dan publik. Dalam rangka melakukan penawaran umum, emiten/perusahaan publik wajib menyampaikan Pertanyaan Pendaftaran yang terdiri dari dokumen-dokumen yang meliputi aspek keterbukaan, akuntansi, dan hukum. Hampir semua dokumen-dokumen tersebut, termasuk prospektus, merupakan dokumen publik yang dapat diakses oleh semua pihak. Kemudian setelah emiten/perusahaan publik melakukan
19
penawaran umum, maka mereka wajib menyampaikan laporan kepada BAPEPAM dalam dua jenis, yaitu laporan berkala dan laporan insidentil. Prinsip keterbukaan dan transparansi juga menekankan bahwa informasi yang diungkapkan perusahaan harus disusun, diaudit, dan disajikan sesuai dengan standar yang berkualitas tinggi. Laporan keuangan emiten/perusahaan publik wajib disusun dengan menggunakan prinsip akuntansi yang berlaku umum, yaitu Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) yang ditetapkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia. Standar akuntansi yang berlaku di Pasar Modal Indonesia, yaitu PSAK dan peraturan BAPEPAM di bidang akuntansi, secara signifikan telah sesuai dengan standar akuntansi internasional atau International Accounting Standards (IAS). 3. Keberadaan komisaris independen. Komisaris independen harus independen dari direksi dan pemegang saham pengendali dan tidak mempunyai kepentingan yang dapat mempengaruhi kemampuan mereka untuk menjalankan kewajiban secara adil atas nama perusahaan. Adapun persyaratan menjadi komisaris independen adalah sebagai berikut: a. Tidak mempunyai hubungan afiliasi dengan pemegang saham pengendali perusahaan terbuka yang bersangkutan. b. Tidak mempunyai hubungan afiliasi dengan direktur dan/atau komisaris lainnya perusahaan terbuka yang bersangkutan. c. Tidak bekerja rangkap sebagai direktur di perusahaan lain yang terafiliasi dengan perusahaan terbuka yang bersangkutan.
20
d. Memahami peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal. e. Diusulkan oleh pemegang saham dan dipilih oleh pemegang saham yang bukan merupakan pemegang saham pengendali dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). 4. Ukuran dewan komisaris. Ukuran dewan komisaris merupakan salah satu mekanisme corporate governance, karena fungsi monitoring yang dilakukan oleh dewan komisaris dipengaruhi oleh ukuran atau jumlah dewan komisaris. UU Perseroan Terbatas No. 40 Tahun 2007 mengatur bahwa perseroan yang, (1) bidang usahanya mengerahkan dana masyarakat, (2) menerbitkan surat pengakuan hutang, dan (3) terbuka, wajib memiliki paling sedikit dua orang komisaris. 5. Komite Audit. Salah satu prasyarat implementasi GCG di BUMN dan perusahaan publik di Indonesia adalah keberadaan komite audit di dalam organisasi perusahaan. Di pasar
modal,
BAPEPAM
melalui
Surat
Edaran
(SE-03/PM/2000)
merekomendasikan agar emiten dan perusahaan publik memiliki komite audit yang membantu tugas dewan komisaris dengan memberikan pendapat profesional dan independen untuk meningkatkan kualitas kerja manajemen serta mengurangi penyimpangan pengelolaan perusahaan. Komite audit mempunyai fungsi membantu dewan komisaris untuk: a. Meningkatkan kualitas laporan keuangan. b. Menciptakan iklim disiplin dan pengendalian yang dapat mengurangi kesempatan terjadinya penyimpangan dalam pengelolaan perusahaan.
21
c. Meningkatkan efektivitas fungsi audit internal maupun audit eksternal. d. Mengidentifikasi hal-hal yang memerlukan perhatian dewan komisaris. Berdasarkan strukturnya, komite audit sekurang-kurangnya terdiri dari 3 (tiga) anggota. Salah satu dari anggota tersebut merupakan komisaris independen yang sekaligus merangkap sebagai ketua, sedangkan anggota lainnya merupakan pihak ekstern yang independen. Anggota komite audit diangkat dan diberhentikan oleh dan bertanggung jawab kepada dewan komisaris. Intinya komite audit dibentuk untuk membantu dewan komisaris dalam melaksanakan fungsi pengawasan. Komite audit tidak memiliki tujuan yang terpisah dari peran, kepentingan, dan akuntabilitas dewan komisaris. 6. Struktur kepemilikan. Istilah struktur kepemilikan digunakan untuk menunjukkan bahwa variabelvariabel yang penting dalam struktur modal tidak hanya ditentukan oleh sejumlah hutang dan modal sendiri, tetapi juga persentase kepemilikan saham oleh inside shareholders dan outside shareholders. Konsentrasi kepemilikan dan perlindungan hukum merupakan kunci penentu praktek corporate governance. Keberadaan pemegang saham besar (large shareholders) atau kepemilikan yang terkonsentrasi merupakan mekanisme sistem perlindungan hukum bagi para pemegang saham. Pemegang saham besar memainkan peran aktif sebagai agen pengawas (monitoring agent). Dengan adanya agen pengawas ini, agency problem antara pemegang saham dengan manajer dapat dikurangi karena adanya jaminan bahwa manajer akan bertindak sejalan dengan kepentingan pemegang saham. Kepemilikan manajerial merupakan
22
salah satu mekanisme corporate governance yang dapat digunakan untuk mempengaruhi
kualitas
pelaporan
keuangan
yang
pada
akhirnya
mempengaruhi kualitas laba. Dengan meningkatkan kepemilikan manajerial berarti akan menyelaraskan kepentingan manajer dengan pemegang saham, yang pada gilirannya akan mampu mengurangi oportunistik dari manajer. Manajer tidak lagi memiliki insentif untuk memanipulasi pelaporan keuangan untuk tujuan keuntungannya pribadi.
2.1.4 Konsentrasi Kepemilikan Saham Konsentrasi kepemilikan menggambarkan bagaimana dan siapa saja yang memegang kendali atas keseluruhan atau sebagian besar atas kepemilikan perusahaan serta keseluruhan atau sebagian besar pemegang kendali atas aktivitas bisnis pada suatu perusahaan. Kepemilikan dikatakan lebih terkonsentrasi jika untuk mencapai kontrol dominasi atau mayoritas dibutuhkan penggabungan lebih sedikit investor. Kepemilikan saham terkonsentrasi adalah suatu kondisi dimana sebagian besar saham dimiliki oleh sebagian kecil individu, sehingga individu tersebut memiliki jumlah saham relatif dominan dibandingkan dengan pemegang saham lainnya (Dallas, 2004). Kepemilikan terkonsentrasi merupakan fenomena yang lazim di negara dengan ekonomi sedang bertumbuh seperti Indonesia. Adanya kontrol dalam suatu perusahaan yang dapat dipegang oleh semakin sedikit investor maka akan semakin mudah kontrol tersebut dijalankan. Dibandingkan
dengan mekanisme
pemegang saham
besar,
kepemilikan
23
terkonsentrasi memiliki kekuatan kontrol yang lebih rendah karena mereka tetap harus melakukan koordinasi untuk menjalankan hak kontrolnya. Namun pada sisi yang lain mekanisme kepemilikan terkonsentrasi juga memiliki kemungkinan yang lebih kecil untuk munculnya peluang bagi kelompok investor yang terkonsentrasi untuk mengambil tindakan yang merugikan investor yang lain. Konsentrasi kepemilikan dapat menjadi mekanisme internal pendisiplinan manajemen sebagai salah satu mekanisme yang dapat digunakan untuk meningkatkan efektivitas monitoring, karena dengan kepemilikan yang besar menjadikan pemegang saham memiliki akses informasi yang cukup signifikan untuk mengimbangi keuntungan informasional yang dimiliki manajemen (Hubert dan Langhe, 2002). Jika ini dapat diwujudkan, maka tindakan moral hazard manajemen yang berupa penyembunyian informasi dapat dikurangi. Mohd dan Abdullah (2005) menyatakan bahwa untuk mengurangi asimetri informasi, maka pemegang saham pengendali akan meningkatkan pengungkapan informasi untuk menyelaraskan kepentingan antara pemegang saham pengendali dengan pemegang saham minoritas. Peningkatan kepemilikan saham, akan berbanding lurus dengan cash flow terhadap pemegang saham. Jika harga saham atau nilai perusahaan turun, maka pemegang saham pengendali yang paling banyak merasakan dampak kerugian dari penurunan nilai perusahaan tersebut. Capital markets transactions hypothesis (Healy dan Palepu, 2001) menyatakan bahwa ketika manajemen/pemegang saham pengendali perusahaan berada pada posisi superior information, maka akan menimbulkan asimetri informasi antara pemegang saham pengendali/manajemen
24
dengan pemegang saham minoritas. Tingginya asimetri informasi akan meningkatkan biaya modal, sehingga akan menurunkan harga saham perusahaan tersebut. Oleh karena itu pemegang saham pengendali harus menjaga kepentingan pemegang saham minoritas dengan mendorong manajemen untuk meningkatkan pengungkapan informasi guna mengurangi asimetri informasi. Kepemilikan saham yang besar oleh pihak tertentu dalam suatu perusahaan akan memiliki beberapa dampak terhadap kualitas implementasi corporate governance perusahaan. Drobetz et. al. (2006) menyatakan bahwa terdapat dua dampak utama dari besarnya saham yang dimiliki oleh pihak tertentu. Pertama, dengan meningkatnya hak atas aliran kas dari pemegang saham terbesar dalam suatu perusahaan, maka akan menimbulkan dampak positif yaitu kualitas implementasi corporate governance yang semakin membaik, yang kemudian pasar akan mengapresiasi, sehingga nilai perusahaan akan meningkat dan selanjutnya berdampak positif pada nilai saham yang mereka miliki (pemegang saham terbesar). Dengan demikian, para pemegang saham tersebut akan mendapatkan insentif dalam meningkatkan kualitas implementasi corporate governance perusahaan yang bersangkutan. Pandangan kedua, dengan semakin terkonsentrasinya kepemilikan perusahaan, maka pemegang saham mayoritas akan semakin menguasai perusahaan dan semakin mempengaruhi pengambilan keputusan (dampak negatif). Akibatnya, para pemegang saham mayoritas tersebut berpendapat bahwa bukan menjadi kepentingan mereka lagi mengenai perlindungan kepada pemegang saham minoritas, perlunya transparasi, dan beberapa mekanisme corporate governance lainnya yang merupakan komponen
25
dari pemeringkatan corporate governance. Jika hal tersebut terjadi, maka tata kelola perusahaan hanya akan mengarah pada salah satu pemegang kepentingan saja (pemegang kepemilikan terbesar) atau dengan kata lain good corporate governance diabaikan. Beberapa literatur telah menunjukkan bahwa konsentrasi kepemilikan berpengaruh terhadap kualitas implementasi corporate governance suatu perusahaan. Manajer perusahaan yang memiliki tingkat kepemilikan tinggi atas suatu perusahaan, maka memungkinkan untuk melakukan diskresi terhadap sumber daya perusahaan akan berkurang. Adanya pengurangan diskresi atas sumber daya perusahaan tersebut pada akhirnya akan mempengaruhi aktivitas pemegang kendali sumber daya perusahaan, sehingga kualitas implementasi corporate governance akan mengarah kepada penghematan sumber daya dari aktivitas yang berlebihan dapat dilakukan. Implikasi dari pernyataan tersebut adalah konsentrasi kepemilikan mempengaruhi aktivitas diskresi sumber daya perusahaan yang selanjutnya mempengaruhi baik buruknya kualitas implementasi corporate governance. Durnev dan Kim (2003) menyatakan bahwa dengan besarnya kepemilikan yang dimiliki oleh pemegang saham pengendali akan menghasilkan kebijakankebijakan dan prinsip-prinsip bisnis yang profitable yang pada akhirnya mampu meningkatkan kualitas implementasi corporate governance. Selain itu, kelemahan sistem hukum atau proteksi terhadap investor dapat diatasi dengan adanya konsentrasi kepemilikan yang menjadi alat yang lebih penting untuk mengatasi masalah keagenan. Dengan adanya hal tersebut, terkadang konsentrasi
26
kepemilikan dapat menaikkan bahkan mampu menurunkan kualitas implementasi corporate governance suatu perusahaan. Konsentransi kepemilikan saham dihitung dengan rumus sebagai berikut (Nuryaman, 2009): Konsentrasi kepemilikan =
Jumlah Kepemilikan Saham Terbesar oleh Individu Jumlah Saham
× 100%
2.1.5 Ukuran Perusahaan Ukuran perusahaan menunjukkan besar kecilnya suatu perusahaan dengan struktur kepemilikannya. Secara umum, perusahaan besar akan mengungkapkan informasi secara sukarela lebih banyak dibandingkan perusahaan kecil. Terdapat beberapa argumen yang dapat menjelaskan mengapa ukuran perusahaan berpengaruh terhadap pengungkapan informasi sukarela dalam laporan tahunan. Perusahaan besar memiliki sumber daya yang besar. Dengan sumber daya yang besar tersebut, perusahaan perlu dan mampu membiayai penyediaan informasi untuk keperluan internal. Perusahaan besar berkemungkinan untuk memperoleh
keuntungan-keuntungan
dengan
mengungkapkan
informasi
tambahan secara sukarela yang memadai dalam laporan tahunannya. Misalnya kemudahan untuk memasarkan saham dan kemudahan memperoleh dana daripasar modal. Adapun perusahaan kecil umumnya sulit untuk mendapatkan dana dari pasar modal, mengingat pembatasan ukuran aset bila terjun ke bursa,sehingga perusahaan kecil tidak dapat menikmati keuntungan dari pengungkapan informasi yang memadai.
27
Perusahaan besar mungkin juga lebih kompleks dan mempunyai dasar pemilikan yang lebih luas dibanding perusahaan kecil. Menurut Meek et. al.1995 (dalam Fitriani, 2001), variable ukuran (size) merupakan variabel yang secara konsisten
berpengaruh
signifikan
terhadap
pengungkapan.
Kemampuan
perusahaan besar untuk merekrut karyawan yang ahli serta adanya tuntutan dari pemegang saham dan analis membuat perusahaan besar memiliki insentif untuk melakukan pengungkapan secara sukarela yang lebih luas daripada perusahaan kecil. Perusahaan kecil umumnya berada pada situasi persaingan yang ketat dengan perusahaan yang lain. Mengungkapkan terlalu banyak informasi tentang jati dirinya kepada pihak eksternal dapat membahayakan posisinya dalam persaingan, sehingga perusahaan kecil cenderung tidak melakukan pengungkapan selengkap perusahaan besar (Marwata, 2001). Teori agensi menyatakan bahwa perusahaan besar memiliki biaya keagenan yang lebih besar daripada perusahaan kecil (Jensen dan Meckling (1976), (dalam Marwata, 2001)). Perusahaan besar akan mengungkapkan informasi sukarela lebih banyak sebagai upaya mengurangi biaya keagenan tersebut. Perusahaan besar cenderung mengungkapkan informasi dalam jumlah yang lebih banyak karena alasan berikut (Marwata, 2001): 1. Perusahaan lebih tersorot oleh pasar maupun publik secara umum dibanding dengan perusahaan kecil. Oleh karena itu, perusahaan besar cenderung mengungkapkan lebih banyak informasi.
28
2. Mengungkapkan lebih banyak informasi merupakan bagian dari upaya perusahaan untuk mewujudkan akuntabilitas publik. 3. Perusahaan besar memiliki sumber daya yang besar pula. Dengan sumber daya yang besar tersebut, perusahaan mampu mengumpulkan, menganalisis, dan menyajikan jumlah data yang besar pada biaya minimal. 4. Perusahaan
besar
lebih
memungkinkan
merekrut
karyawan
dengan
ketrampilan tinggi yang diperlukan untuk menerapkan sistem pelaporan manajemen yang canggih, sehingga dapat mengungkapkan informasi yang lebih banyak. 5. Biaya agensi yang lebih tinggi untuk perusahaan besar karena pemegang saham tersebar luas. Oleh karena itu, pengungkapan tambahan membantu mengurangi biaya agensi yang potensial. 6. Pada umumnya perusahaan besar memiliki beragam produk dan beroperasi di berbagai wilayah, termasuk luar negeri, sehingga perusahaan besar lebih banyak melakukan pengungkapan dibanding perusahaan kecil. Untuk mengukur variabel ukuran perusahaan, proksi yang digunakan adalah nilai log total penjualan perusahaan pada akhir tahun. Menurut Chen et al.(2005), penggunaan nilai log penjualan dimaksudkan untuk menghindari problem data natural yang tidak berdistribusi normal. Oleh karena itu ukuran perusahaan dihitung dengan rumus sebagai berikut: Ukuran Perusahaan = Log (Total Penjualan)
29
2.1.6 Komisaris Independen Komisaris independen adalah anggota dewan komisaris yang tidak terafiliasi dengan Direksi, anggota dewan komisaris lainnya, dan pemegang saham pengendali, serta bebas dari hubungan bisnis atau hubungan lainnya yang dapat mempengaruhi kemampuannya untuk bertindak independen atau bertindak semata-mata demi kepentingan perusahaan (KNKG, 2004). Dalam Keputusan Ketua BAPEPAM tahun 2004 disebutkan bahwa komisaris independen adalah anggota komisaris yang: 1. Berasal dari luar emiten atau perusahaan publik. 2. Tidak mempunyai saham, baik langsung maupun tidak langsung pada emiten atau perusahaan publik. 3. Tidak mempunyai hubungan afiliasi dengan emiten atau perusahaan publik, komisaris, direksi atau pemegang saham utama emiten atau perusahaan publik. 4. Tidak memiliki hubungan usaha baik langsung maupun tidak langsung yang berkaitan dengan kegiatan usaha emiten atau perusahaan publik. Untuk lebih memantapkan efektivitas komisaris independen, jumlah komisaris independen dalam satu perusahaan ditetapkan paling sedikit 30% dari jumlah seluruh komisaris atau paling sedikit 1 (satu) orang (Peraturan Pencatatan Efek No.339/BEJ/2001). Kedudukan masing-masing anggota dewan komisaris termasuk komisaris utama adalah setara. Tugas komisaris utama adalah mengkoordinasikan kegiatan dewan komisaris. Dalam fungsinya, sebagai dewan komisaris independen diberikan tanggung jawab sebagai berikut:
30
1. Komisaris independen memiliki tanggung jawab pokok untuk mendorong diterapkannya prinsip tata kelola perusahaan yang baik (Good Corporate Governance) di dalam perusahaan melalui pemberdayaan dewan komisaris agar dapat melakukan tugas pengawasan dan pemberian nasihat kepada direksi secara efektif dan lebih memberikan nilai tambah bagi perusahaan. 2. Dalam upaya untuk melaksanakan tanggung jawabnya dengan baik, maka komisaris independen harus secara proaktif mengupayakan agar dewan komisaris melakukan pengawasan dan memberikan nasehat kepada direksi yang terkait, namun tidak terbatas pada hal-hal sebagai berikut: a. Memastikan bahwa perusahaan memiliki strategi bisnis yang efektif, termasuk di dalamnya memantau jadwal, anggaran dan efektivitas strategi tersebut. b. Memastikan bahwa perusahaan mengangkat eksekutif dan manajermanajer profesional. c. Memastikan bahwa perusahaan memiliki informasi, sistem pengendalian, dan sistem audit yang bekerja dengan baik. d. Memastikan bahwa perusahaan mematuhi hukum dan perundangan yang berlaku maupun nilai-nilai yang ditetapkan perusahaan dalam menjalankan operasinya. e. Memastikan resiko dan potensi krisis selalu diidentifikasikan dan dikelola dengan baik. f. Memastikan prinsip-prinsip dan praktek Good Corporate Governance dipatuhi dan diterapkan dengan baik.
31
3. Tugas komisaris independen untuk memastikan prinsip-prinsip dan praktek Good Corporate Governance dipatuhi dan diterapkan dengan baik di antara lain: a. Menjamin transparansi dan keterbukaan laporan keuangan perusahaan. b. Perlakuan yang adil terhadap pemegang saham minoritas dan stakeholder yang lain. c. Diungkapkannya transaksi yang mengandung benturan kepentingan secara wajar dan adil. d. Kepatuhan perusahaan pada perundangan dan peraturan yang berlaku. e. Menjamin akuntabilitas organ perseroan. Susiana dan Herawaty (2007) menjelaskan bahwa jika suatu perusahaan memiliki dewan komisaris independen, maka laporan keuangan yang disajikan oleh manajemen cenderung lebih berintegritas, karena di dalam perusahaan terdapat badan yang mengawasi dan melindungi hak pihak-pihak di luar manajemen perusahaan dan membuat kinerja manajemen lebih baik. Kinerja perusahaan yang lebih baik dapat menurunkan resiko perusahaan. Proporsi komisaris independen dihitung dengan rumus sebagai berikut (Nuryaman, 2009): Proporsi Komisaris Independen =
Jumlah komisaris independen Jumlah total anggota komisaris
× 100%
2.1.7 Spesialisasi Industri Kantor Akuntan Publik (KAP) Sebagai akibat dari meningkatnya persaingan dan kompetisi dalam profesi akuntan publik, serta munculnya aturan akuntansi yang baru dalam industri tertentu, setiap KAP (Kantor Akuntan Publik) mencari cara untuk membedakan
32
diri mereka dengan kompetitor yang lain (Velury et al., 2003). KAP telah menyusun divisi audit mereka sesuai dengan jenis industri dengan fokus karyawan audit mereka dirancang sebagai spesialis industri sebagai tujuan untuk membedakan mereka di antara KAP lain (Casterella et al., 2004). Auditor mengadopsi strategi diferensiasi yang membuat mereka dapat membebankan bayaran atas jasa audit yang lebih tinggi kepada klien. Auditor spesialis industri cenderung melakukan investasi yang lebih besar dalam rekrutmen pegawai, pelatihan, teknologi informasi dan teknologi audit daripada auditor non-spesialis industri. KAP mendapatkan keuntungan dari spesialisasi, yaitu dengan meningkatnya pangsa pasar dan keuntungan sebagai return dari investasi dalam spesialisasi serta menjaga pangsa pasar dalam lingkungan yang bersaing. O’Rilley dan Reisch (2002) menyatakan bahwa spesialisasi industri dapat meningkatkan reputasi dari KAP dan menarik klien baru dalam industri dan mempertahankan klien lama, sehingga dapat meningkatkan profitabilitas KAP tersebut, salah satunya berasal dari pendapatan jasa audit yang lebih besar daripada auditor non-spesialis industri sebagai konsekuensi dari pengakuan sebagai spesialis industri. Green (2008) menyatakan bahwa KAP merancang auditor individual sebagai spesialis untuk menyediakan kinerja yang superior dalam menyediakan jasa kepada klien. Dengan memiliki pengetahuan lebih baik atas kebijakan akuntansi dan mengerti industri klien lebih rinci, auditor dapat lebih efektif dalam mengumpulkan dan mengevaluasi bukti, menghasilkan kemampuan yang lebih baik untuk mendeteksi kesalahan dan penyimpangan, dan untuk menjaga reputasi
33
mereka (Balsam et al., 2003). Spesialisasi industri yang dilakukan oleh KAP bertujuan untuk meningkatkan kompetensi mereka dalam menyediakan jasa audit yang lebih berkualitas. Auditor spesialis industri menyediakan kualitas audit yang lebih baik, karena memiliki pengetahuan yang lebih banyak dalam spesialisasi industri yang menjadi spesialisasi mereka, sehingga lebih akurat dalam mengaudit industri tersebut, memberikan resiko bawaan yang lebih rendah saat diminta untuk menilai akun spesifik suatu industri, menambah kemampuan mendeteksi kecurangan, dan menunjukkan kepatuhan yang lebih baik terhadap standar audit (Hay dan Jeter, 2008). KAP spesialis industri lebih baik dalam proses untuk menilai perkiraan dan penyajian keuangan dalam mengaplikasikan prinsip akuntansi dan mengurangi discretionary accrual klien, sehingga meningkatkan kualitas audit. Auditor yang memiliki pemahaman komprehensif atas karakter dan tren industri akan lebih efektif dalam proses audit daripada auditor yang memiliki pengetahuan terbatas atas industri. Menurut Krishnan (2003), auditor spesialis industri mengembangkan database yang merincikan praktek yang terbaik dalam proses audit suatu industri, resiko spesifik industri yang bersangkutan dan kesalahan serta penyimpangan dalam transaksi yang tidak biasa yang semuanya menghasilkan efektivitas audit. Dunn dan Mayhew (2004) menyatakan bahwa klien auditor spesialis industri mendapatkan peringkat yang lebih baik dari para analis dalam hal kualitas pengungkapan. Dengan pengalaman yang signifikan dalam industri, auditor dapat lebih mampu mengidentifikasi kesalahan material. Balsam
et
al.
(2003)
34
menyatakan bahwa spesialisasi auditor berkontribusi pada kredibilitas yang ditawarkan auditor. Auditor spesialis lebih cakap dalam menginterpretasikan kesalahan pelaporan. Pengetahuan yang harus dimiliki auditor tidak hanya pengetahuan mengenai pengauditan dan akuntansi, melainkan juga industri klien. Meskipun mengaudit perusahaan manufaktur prinsipnya sama dengan mengaudit perusahaan asuransi, namun sifat bisnis, prinsip akuntansi, sistem akuntansi dan peraturan perpajakan yang berlaku mungkin berbeda. Pengetahuan lebih dalam yang dimiliki oleh auditor spesialis industri memberikan kualitas audit yang lebih baik pula. Berdasarkan uraian-uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa spesialisasi industri yang dilakukan auditor dapat meningkatkan kualitas audit, sehingga membawa pengaruh positif pada kualitas laporan keuangan. Untuk menghitung spesialisasi industri KAP digunakan variabel dummy, yaitu apabila KAP memiliki volume klien minimal 15% dari jumlah klien pada kelompok industri tertentu, maka akan diberi nilai 1, jika kurang dari 15% diberi nilai 0. Menurut Bursa Efek Indonesia industri manufaktur terklasifikasi dalam tiga kelompok, yaitu (1) industri dasar dan kimia, (2) aneka industri, dan (3) industri barang konsumsi. KAP akan ditetapkan sebagai KAP spesialis jika KAP tersebut memiliki klien minimal 15% dari jumlah klien perusahaan pada masingmasing kelompok industri manufaktur tersebut.
35
2.1.8 Pengungkapan Informasi Sukarela Murni (2003) mengatakan bahwa secara sederhana pengungkapan dapat diartikan sebagai pengeluaran informasi yang disajikan dalam laporan keuangan. Informasi yang disajikan dalam laporan keuangan akan dapat dipahami dan tidak menimbulkan salah intepretasi apabila laporan keuangan dilengkapi dengan pengungkapan
(disclosures)
yang memadai. Luas pengungkapan laporan
keuangan mencerminkan kualitas informasi yang disajikan oleh perusahaan, terutama yang berkaitan dengan kondisi keuangan perusahaan (Gulo, 2000). Artinya semakin luas pengungkapan yang dilakukan oleh suatu perusahaan akan meningkatkan kualitas informasi yang mungkin akan didapat oleh pengguna laporan keuangan terutama yang berhubungan dengan kondisi keuangan suatu perusahaan. Ghozali dan Chariri (2007) mengatakan bahwa terdapat tiga konsep pengungkapan yang lazim digunakan, yaitu: 1. Cukup (adequate). Pengungkapan cukup adalah pengungkapan minimal yang harus dilakukan agar laporan keuangan tidak menyesatkan pengguna laporan keuangan. 2. Wajar (fair). Pengungkapan wajar adalah pengungkapan yang lebih ditekankan pada faktor etis dengan menyediakan informasi dan memberikan perlakuan yang layak dan adil terhadap pemakai laporan keuangan. 3. Lengkap (full). Pengungkapan lengkap adalah pengungkapan semua informasi yang dimiliki perusahaan, atau sering disebut pengungkapan yang berlebihan.
36
Peraturan mengenai laporan tahunan perusahaan yang go public diatur jelas dalam Keputusan Ketua Bapepam No. Kep-134/BL/2006 tentang kewajiban penyampaian laporan tahunan bagi emiten atau perusahaan publik. Peraturan tersebut menyebutkan bahwa laporan tahunan emiten dan publik merupakan sumber informasi penting bagi pemegang saham dan masyarakat dalam membuat keputusan investasi. Peraturan Badan Pengawas Pasar Modal (BAPEPAM) tersebut menyatakan bahwa laporan tahunan wajib memuat ikhtisar data keuangan penting, laporan dewan komisaris, laporan direksi, profil perusahaan, analisis dan pembahasan manajemen, tata kelola perusahaan, tanggung jawab direksi atas laporan keuangan, dan laporan keuangan yang telah diaudit. Informasi dalam laporan tahunan dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok, yaitu pengungkapan wajib (mandatory disclosure) dan pengungkapan sukarela (voluntary disclosure). Pengungkapan wajib adalah pengungkapan yang wajib dilakukan oleh perusahaan sesuai dengan peraturan pasar modal yang berlaku. Di Indonesia pengungkapan wajib telah diatur dalam Keputusan Ketua Bapepam No. Kep-134/BL/2006
tentang kewajiban penyampaian laporan
tahunan bagi emiten atau bagi perusahaan publik. Adapun pengungkapan sukarela adalah pengungkapan informasi yang tidak diwajibkan oleh badan regulator pasar modal (BAPEPAM). Murni (2003) mengatakan bahwa perusahaan dituntut oleh para investor, pelanggan, pemerintah, dan publik untuk membuat laporan tentang kinerja perusahaan lebih dari sekedar menyajikan informasi kinerja keuangan. Banyak perusahaan sudah menambahkan informasi laporannya dengan memasukkan
37
informasi atas kinerja keuangan dan non keuangan yang mencakup aspek-aspek operasional mereka dalam perspektif stakeholders, pemasok dan pelanggan. Perusahaan dapat dengan leluasa melakukan pengungkapan sukarela sesuai dengan kepentingan perusahaan yang dianggap relevan dan mendukung dalam pengambilan keputusan ekonomi yang dilakukan oleh pengguna laporan tahunan. Pengungkapan sukarela dapat menambah kelengkapan informasi dalam memahami kegiatan operasional perusahaan publik dan menunjukkan adanya ketransparanan keadaan perusahaan yang sebenarnya terhadap pengguna laporan keuangan. Murni (2003) mengatakan bahwa pengungkapan sukarela merupakan salah satu cara untuk meningkatkan kredibilitas laporan keuangan perusahaan dan untuk membantu investor dalam memahami strategi bisnis perusahaan. Murni (2003) mengatakan bahwa pertimbangan manajemen untuk mengungkapkan informasi secara sukarela dipengaruhi oleh faktor biaya dan manfaat. Manajemen akan cenderung mengungkapkan informasi sukarela apabila manfaat yang diperoleh perusahaan dari pengungkapan informasi sukarela tersebut lebih besar dari biaya Murni (2003). Manfaat tersebut diperoleh karena pengungkapan informasi oleh perusahaan akan membantu investor dan kreditur memahami resiko investasi. Menurut
Zubaidah
dan
Zulfikar
(2005),
perusahaan
pengungkapan sukarela berdasarkan berbagai alasan, yaitu: 1. Mendidik para pengguna laporan keuangan. 2. Membangun image perusahaan.
membuat
38
3. Penghindaran atas potensi peraturan dan pengendalian pemerintah jika terdapat suatu resiko yang timbul dengan tidak adanya pengungkapan. 4. Biaya modal yang rendah jika pengungkapan dapat meningkatkan daya saing perusahaan. Menurut Henderson, 2004 (dalam Adhariani, 2005), terdapat beberapa teori yang terkait dengan pengungkapan sukarela, yaitu: 1. Signalling Theory. Signalling Theory membahas bagaimana sebaiknya dan seharusnya sinyalsinyal keberhasilan atau kegagalan agen harus disampaikan. Dalam teori ini, pengungkapan informasi sukarela yang dilakukan perusahaan merupakan sinyal bagi pasar. Ketika perusahaan mengungkapkan informasi yang relatif lebih sedikit dibandingkan dengan perusahaan lain, maka pasar akan menginterpretasikan hal tersebut sebagai “bad news signal” atas kondisi perusahaan tersebut. Hal tersebut didukung penelitian yang dilakukan oleh Blaccionaire dan Paten, 1994 (dalam Adhariani, 2005), yang meneliti pengaruh aspek lingkungan perusahaan terhadap harga saham setelah tragedi Bhopal yang terjadi pada tahun 1994. Penelitian tersebut membuktikan bahwa perusahaan kimia yang melakukan pengungkapan mengenai aspek lingkungan mengalami penurunan yang relatif lebih kecil dibanding dengan perusahaan kimia lain yang tidak melakukan pengungkapan. Hal tersebut membuktikan bahwa pengungkapan informasi yang cukup menjadi sinyal positif bagi pasar.
39
2. Political Theory. Teori ini menyatakan bahwa dalam praktek bisnis, perusahaan dapat menanggung biaya tambahan yang muncul sebagai akibat dari adanya transfer kesejahteraan, seperti biaya pajak yang tinggi, biaya pelaporan keuangan yang tinggi, permintaan karyawan akan gaji yang tinggi, dan tingginya tingkat kerugian akibat terjadinya inefisiensi dalam operasi. Pengungkapan sukarela dalam kaitannya mencegah atau mengurangi political cost dipengaruhi dua faktor. Pertama adalah ukuran perusahaan, dimana semakin besar ukuran sebuah perusahaan, maka kecenderungan perusahaan tersebut melakukan pengungkapan sukarela untuk mengurangi political cost yang muncul semakin besar. Faktor yang kedua adalah sifat industri perusahaan tersebut. Hal tersebut didukung oleh penelitian Ness dan Mirza, 1991 (dalam Adhariani, 2005), yang menyatakan bahwa perusahaan di industri perminyakan melakukan pengungkapan informasi yang terkait dengan aspek lingkungan lebih banyak dibandingkan dengan perusahaan di industri lain. Hal ini terkait dengan tekanan yang lebih besar dari pihak-pihak tertentu, seperti pemerintah dan masyarakat, terhadap perusahaan di industri perminyakan yang memungkinkan timbulnya political cost yang lebih besar. 3. Legitimacy Theory. Teori ini menyatakan bahwa perusahaan akan berusaha untuk meyakinkan bahwa nilai-nilai perusahaan sejalan dengan nilai yang berlaku di masyarakat sekitar tempat perusahaan beroperasi. Konsekuensinya adalah perusahaan memiliki kewajiban untuk mewujudkan harapan dari masyarakat, baik yang
40
sifatnya implisit maupun eksplisit. Dan sebaliknya, masyarakat akan memberikan hak kepada perusahaan untuk memanfaatkan sumber daya yang tersedia dan beroperasi dalam komunitas tersebut. Dalam hal ini perusahaan harus responsif dan adaptif terhadap harapan atau keinginan masyarakat karena keinginan tersebut terus mengalami perubahan. Dalam kenyataannya, sering terjadi peristiwa dimana perusahaan tidak bisa atau kurang optimal dalam usahanya mewujudkan keinginan masyarakat. Hal tersebut dapat mempengaruhi tingkat kepercayaan masyarakat terhadap perusahaan dan selanjutnya dapat mengancam keberadaan perusahaan. Ketika hal ini terjadi, salah satu langkah yang dapat dilakukan perusahaan adalah berusaha mengubah persepsi masyarakat terhadap perusahaan tanpa mengubah kebiasaan yang dilakukan. Alat yang dapat digunakan untuk mempengaruhi persepsi masyarakat adalah pengungkapan sukarela. Dengan pengungkapan tersebut, perusahaan dapat menginformasikan kepada masyarakat alasan kenapa perusahaan tidak dapat atau kurang optimal dalam mewujudkan keinginan masyarakat. Hal tersebut diharapkan dapat menciptakan persepsi bahwa perusahaan telah cukup responsif terhadap keinginan masyarakat atau mempengaruhi
masyarakat untuk
mengubah
ekspektaksinya
terhadap
perusahaan. Terdapat hubungan antara pengungkapan sosial dengan ekspektasi masyarakat mengenai kinerja sosial perusahaan. Patten, 1992 (dalam Adhariani, 2005), menemukan bahwa peristiwa tumpahnya minyak Exxon Valdez membuat perusahaan-perusahaan minyak meningkatkan pengungkapan mengenai lingkungan dalam laporan tahunannya.
41
3. Stakeholder Theory. Dalam praktek bisnis, banyak pihak yang mempengaruhi atau terpengaruh aktivitas perusahaan. Perspektif dasar dalam teori ini adalah bahwa tingkat kepentingan stakeholder yang beragam mempengaruhi operasi dan pelaporan yang dilakukan perusahaan. Menurut Freeman, 1984 (dalam Adhariani, 2005), perusahaan harus mampu mengidentifikasi kepentingan stakeholder untuk dapat mewujudkan apa yang menjadi tujuan strategik perusahaan. Berangkat dari pandangan tersebut, maka penting bagi perusahaan untuk mengelola hubungan baik dengan para stakeholder-nya. Dalam teori ini terdapat dua perspektif. Pertama adalah perspektif yang berpusat pada perusahaan (organization-centered perspective). Perspektif ini muncul karena beragamnya kepentingan stakeholder, sehingga tidak mungkin bagi perusahaan untuk memenuhi seluruh kepentingan stakeholder. Selain itu, perspektif ini memandang bahwa para stakeholder memiliki tingkat kepentingan yang berbeda bagi perusahaan untuk mengidentifikasi kelompok stakeholder yang memiliki peranan penting bagi perusahaan dan mengelola hubungan yang baik dengan kelompok tersebut. Dalam hal ini, pengungkapan sukarela merupakan salah satu alat untuk mengelola hubungan baik tersebut. Perspektif yang kedua adalah perspektif yang berdasar prinsip-prinsip akuntabilitas (accountability perspective). Dalam perspektif ini, perusahaan harus memperhatikan hak seluruh stakeholder, tidak hanya pada sekelompok stakeholder yang dianggap memiliki peranan terpenting terhadap perusahaan. Jadi, dalam perspektif ini, pengungkapan sukarela merupakan bentuk pertanggungjawaban perusahaan
42
terhadap seluruh stakeholder. Perspektif ini sejalan dengan prinsip-prinsip dasar Good Corporate Governance. Menurut Choi, 1999 (dalam Nuryaman, 2009), pengungkapan sukarela (voluntary disclosure) adalah praktek pengungkapan yang tidak diharuskan oleh standar akuntansi dan regulasi. Praktik pengungkapan sukarela dari studi komparatif beberapa negara dapat meliputi: 1. Disclosure of forward-looking information: a. Forecasts of revenue, income, eps, capital, expenditure and other financial item. b. Prospective information about future economic performance or position that is less definite than forecast in terms in projected item, fiscal periode, and projected amount. c. Statement of management’s plans and objective for future operations. 2. Social responsibility disclosure. 3. Special disclosure for non domestic financial statement users. 4. Employee disclosure. 5. Value added disclosure. 6. Environmental concern.
PSAK dan
SFAC secara implisit menyebutkan bahwa kualitas
pengungkapan terkait dengan relevansi informasi yang diungkapkan untuk menghasilkan penyajian yang wajar. Kualitas pengungkapan dalam laporan tahunan perusahaan dikenal dengan berbagai konsep antara lain kecukupan (adequacy), kelengkapan (completeness), informatif (informativeness), dan tepat waktu (timeliness) (Marwata, 2001). Imhoff, 1992 (dalam Nuryaman, 2009), menunjuk pada tingkat kelengkapan (completeness) sebagai karakteristik kualitas pengungkapan. Indikator empirisnya berupa indeks pengungkapan (disclosure index) yang merupakan rasio antara jumlah elemen (item) informasi yang dipenuhi dengan
43
jumlah elemen informasi yang mungkin dipenuhi. Makin tinggi indeks pengungkapan, makin tinggi kualitas pengungkapan. Instrumen pengukuran sukarela mengacu pada peraturan Bapepam dan LK Nomor.VIII G.2/1996 tentang penyampaian laporan tahunan yang dimodifikasi oleh Nuryaman (2009). Kelengkapan pengungkapan diukur dengan item pengungkapan tanpa memberikan pembobotan. Pemakaian pendekatan tersebut didasarkan atas alasan, (1) laporan tahunan didasarkan untuk tujuan umum, sehingga terdapat kemungkinan suatu item informasi penting untuk pihak tertentu tetapi tidak penting untuk pihak lain, dan (2) untuk menghindari subyektivitas pemberian bobot kepada masing-masing item pertanyaan pada instrumen pengungkapan. Perhitungan indeks kelengkapan pengungkapan sukarela (PS) dilakukan dengan memberi skor untuk setiap item pengungkapan secara dikotomis (Nuryaman, 2009). Jika suatu item diungkapkan diberi skor 1, dan jika tidak diungkapkan mendapat nilai 0. Skor yang diperoleh setiap perusahaan dijumlahkan untuk mendapatkan skor total. PS dihitung sebagai berikut (Nuryaman, 2009): PS =
∑ ∑
× 100%
Keterangan: PS
= Indeks kelengkapan pengungkapan sukarela
Q
= Item kelengkapan pengungkapan sukarela yang disajikan dalam laporan tahunan
S
= Semua item kelengkapan pengungkapan sukarela yang diharapkan,
terdapat pada instrumen
44
2.1.9 Hubungan Konsentrasi Kepemilikan, Ukuran Perusahaan, Komisaris Independen, dan Spesialisasi Industri KAP dengan Pengungkapan Sukarela 2.1.9.1 Hubungan Konsentrasi Kepemilikan dengan Pengungkapan Sukarela Teori agensi menyatakan bahwa dalam perusahaan karena adanya pemisahan antara kepemilikan dan kontrol, ada kecenderungan konflik keagenan, dimana konflik ini akan semakin besar apabila kepemilikan saham lebih tersebar ke beberapa individu dibandingkan apabila hanya dimiliki oleh sedikit individu (Barako, 2007). Manajer perusahaan oleh karenanya akan mengungkapkan secara sukarela informasi yang dibutuhkan sebagai jalan untuk mengurangi konflik keagenan dengan pemilik. Struktur kepemilikan yang tersebar juga dapat mengakibatkan kurangnya kapasitas untuk melakukan monitoring karena persentase kepemilikan yang rendah dari individu pemegang saham. Oleh karena menyebarnya konsentrasi kepemilikan, pemegang saham tidak memiliki kekuatan yang cukup untuk mempengaruhi praktek pelaporan perusahaan (Haniffa dan Cooke, 2002).
2.1.9.2 Hubungan Ukuran Perusahaan Dengan Pengungkapan Sukarela Menurut Amran et al. (2009), hubungan antara ukuran perusahaan dan luas pengungkapan informasi dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Perusahaan besar memiliki biaya keagenan yang lebih besar daripada perusahaan kecil. Salah satu cara untuk mengurangi biaya agensi adalah dengan melakukan lebih banyak pengungkapan informasi.
45
2. Perusahaan besar umumnya lebih banyak mendapat sorotan publik. Hal ini dikarenakan, perusahaan besar memiliki kegiatan usaha yang lebih kompleks dan mungkin menimbulkan dampak yang lebih besar bagi masyarakat dan lingkungan sekitarnya. Oleh karena itu, perusahaan besar dituntut untuk mengungkapkan informasi lebih luas sebagai bentuk pertanggungjawabannya daripada perusahaan kecil. 3. Semakin besar ukuran perusahaan, maka akan semakin meningkat pula jumlah stakeholder yang terlibat di dalamnya. Hal ini mendorong perusahaan untuk melakukan pengungkapan informasi lebih luas. Menurut Marwata (2001), perusahaan besar merupakan entitas yang banyak disorot oleh pasar maupun publik secara umum. Mengungkapkan lebih banyak informasi merupakan bagian dari upaya perusahaan untuk mewujudkan akuntabilitas publik dan menghindari resiko. Dengan sumber daya yang besar tersebut perusahaan perlu dan mampu membiayai penyediaan informasi untuk keperluan internal. Informasi tersebut sekaligus menjadi bahan untuk keperluan pengungkapan informasi kepada pihak eksternal, sehingga tidak perlu ada tambahan biaya yang besar untuk dapat melakukan pengungkapan dengan lebih lengkap. Sebaliknya, perusahaan dengan sumber daya yang relatif kecil mungkin tidak memiliki informasi siap saji sebagaimana perusahaan besar, sehingga perlu ada tambahan biaya yang relatif besar untuk dapat melakukan pengungkapan selengkap yang dapat dilakukan oleh perusahaan besar.
46
2.1.9.3 Hubungan Komisaris Independen dengan Pengungkapan Sukarela Komisaris independen merupakan pihak yang tidak terafiliasi dengan pemegang saham pengendali, anggota direksi dan dewan komisaris lain, dan perusahaan itu sendiri, baik dalam hubungan bisnis ataupun hubungan kekeluargaan (Wardhani, 2008). Keberadaan komisaris independen dapat menyeimbangkan kekuatan antara pihak manajemen, khususnya CEO dan pengelola melalui fungsi monitoring. Wardhani (2008) menyatakan bahwa terdapat hubungan positif antara komposisi dewan komisaris independen dengan luas pengungkapan sukarela. Semakin besar ukuran dewan komisaris independen, maka akan menyebabkan tekanan yang lebih besar terhadap manajemen perusahaan. Dalam kondisi tersebut, pihak manajemen akan terdorong untuk bertindak semakin obyektif dan melindungi seluruh pemangku kepentingan, sehingga dapat mendorong pengungkapan informasi sukarela yang dilakukan perusahaan. Mangena dan Tauringana (2007) menjelaskan bahwa komposisi dewan komisaris independen dapat memberikan kontribusi yang efektif terhadap hasil dari proses penyusunan laporan keuangan beserta informasi pengungkapan sukarela yang berkualitas atau menghindari kecurangan laporan keuangan. Perusahaan yang prosentase komisaris independennya relatif rendah cenderung terjadi kecurangan.
2.1.9.4 Hubungan Spesialisasi Industri KAP dengan Pengungkapan Sukarela Auditor spesialis industri memberikan kualitas jasa audit yang lebih baik daripada auditor non-spesialis industri. Menurut Gramlingdan Stone (2001),
47
auditor spesialis industri memiliki keunggulan yang lebih baik daripada auditor non-spesialis. Hal ini disebabkan auditor spesialis industri memiliki pengetahuan yang lebih baik dan pengalaman yang lebih banyak daripada auditor non-spesialis. Dengan kualitas audit yang lebih baik, maka kualitas laporan keuangan termasuk pengungkapan sukarela dapat ditingkatkan lebih baik. Oleh karena itu, tingkat pengungkapan sukarela yang dihasilkan oleh auditor spesialis industri juga lebih tinggi dibanding auditor non-spesialis. Menurut Balsam et al. (2003), spesialisasi auditor berkontribusi pada kredibilitas yang ditawarkan auditor. Auditor spesialis lebih cakap dalam menginterpretasikan kesalahan pelaporan dan menemukan kecurangan pelaporan keuangan, sehingga kualitas pengungkapan sukarela yang dihasilkan juga lebih baik. Hal ini dikarenakan pengetahuan yang dimiliki auditor tidak hanya pengetahuan tentang audit dan akuntansi saja, melainkan juga terkait tentang industri dari klien yang diaudit. Pengetahuan yang lebih dalam yang dimiliki oleh auditor spesialis industri memberikan kualitas audit yang lebih baik pula, sehingga luas pengungkapan sukarela juga dapat lebih tinggi.
2.2 Penelitian Sebelumnya Penelitian yang menelaah tentang faktor-faktor yang mempengaruhi pengungkapan sukarela telah pernah dilakukan oleh Nuryaman (2009). Penelitiannya menelaah pengaruh faktor-faktor konsentrasi kepemilikan, ukuran perusahaan, proporsi dewan komisaris independen, dan spesialisasi industri KAP terhadap pengungkapan sukarela perusahaan-perusahaan yang masuk dalam
48
kategori industri sektor manufaktur yang terdaftar di BEI pada tahun 2005. Selain itu, Nuryaman juga menggunakan variabel pengendali (kontrol) yaitu ROI (Return On Investment) dan leverageyang juga mempengaruhi tingkat pengungkapan sukarela perusahaan. Teknik analisis yang digunakan adalah regresi linier berganda. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa konsentrasi kepemilikan, ukuran perusahaan, spesialisasi industri KAP, dan ROI berpengaruh signifikan terhadap pengungkapan sukarela. Adapun proporsi dewan komisaris independen dan leverage tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap tingkat pengungkapan sukarela perusahaan. Penelitian lainnya yang juga menelaah tentang faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat pengungkapan sukarela adalah penelitian Siagian dan Ghozali (2012). Dalam penelitiannya ditelaah tentang pengaruh faktor-faktor ukuran dewan komisaris, aktivitas dewan komisaris, proporsi dewan komisaris independen, aktivitas komite audit, ukuran perusahaan, dan jenis industri terhadap tingkat pengungkapan sukarela. Penelitiannya dilakukan pada seluruh perusahaan non finansial yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia tahun 2011 yang telah memiliki website yang berjumlah 126 perusahaan. Teknik analisis yang digunakan adalah analisis regresi linier berganda. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa hanya ada dua variabel yang memiliki pengaruh signifikan terhadap tingkat pengungkapan sukarela, yaitu aktivitas komite audit dan ukuran perusahaan. Variabel-variabel ukuran dewan komisaris, aktivitas dewan komisaris, proporsi dewan komisaris independen dan jenis industri terbukti tidak memiliki pengaruh signifikan terhadap tingkat pengungkapan sukarela.
49
Penelitian ini bermaksud menelaah hal yang sama dengan kedua penelitian di atas, terutama terkait dengan penelitian Nuryaman (2009). Faktor-faktor yang ditelaah dalam penelitian ini adalah konsentrasi kepemilikan, ukuran perusahaan, proporsi dewan komisaris independen, dan spesialisasi industri KAP dalam kaitannya dengan tingkat pengungkapan sukarela. Perusahaan-perusahaan yang akan ditelaah adalah perusahaan-perusahaan industri manufaktur yang terdaftar di BEI tahun 2011. Teknik analisis yang digunakan adalah regresi linier berganda. Perbedaan penelitian dengan penelitian Nuryaman (2009) adalah tidak digunakannya variabel-variabel pengendali ROI dan Leverage, serta sampelnya adalah perusahaan industri manufaktur yang terdaftar di BEI pada tahun 2011. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian Siagian dan Ghozali (2012) adalah tidak digunakannya variabel ukuran dewan komisaris, aktivitas dewan komisaris, aktivitas komite audit, dan jenis industri dalam kaitannya dengan tingkat pengungkapan sukarela. Sampel yang digunakan juga memiliki perbedaan, karena pada penelitian Siagian dan Ghozali (2012) digunakan sampel perusahaan non finansial yang terdaftar di BEI pada tahun 2011 yang memiliki website, sedangkan pada penelitian ini hanya menggunakan sampel perusahaan-perusahaan yang hanya tergolong dalam industri manufaktur saja. Kesamaan penelitian ini dengan kedua penelitian sebelumnya adalah juga menelaah tentang faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat pengungkapan sukarela, serta menggunakan teknik analisis yang sama yaitu analisis regresi berganda. Untuk melihat lebih jelas tentang perbedaan dan persamaan penelitian saat ini dengan kedua penelitian sebelumnya dapat dilihat dalam Tabel 1 berikut ini.
50
Tabel 1 Perbandingan Persamaan dan Perbedaan Penelitian Sebelumnya dengan Penelitian Saat Ini Nuryaman (2009) Pengaruh konsentrasi kepemilikan, ukuran perusahaan, dan mekanisme corporate governance terhadap pengungkapan sukarela
Siagian dan Ghozali (2012) Pengaruh struktur dan aktivitas good corporate governance terhadap luas pengungkapan informasi strategis secara sukarela pada website perusahaan yang terdaftar dalam Bursa Efek Indonesia
Variabel Dependen
Pengungkapan Sukarela
4
Variabel Independen
Konsentrasi kepemilikan saham, total penjualan (ukuran perusahaan), proporsi komisaris independen, spesialisasi industri KAP, ROI, Leverage
Pengungkapan informasi sukarela pada website perusahaan Ukuran dewan komisaris, aktivitas dewan komisaris, proporsi dewan komisaris independen, aktivitas komite audit, ukuran perusahaan, jenis industri
5
Sampel
Perusahaan sektor manufaktur yang terdaftar di
Perusahaan non finansial yang terdaftar di BEI tahun
No
Keterangan
1
Judul
2
Nur Fitri Riznawaty (2013) Pengaruh konsentrasi kepemilikan, ukuran perusahaan, proporsi komisaris independen, dan spesialisasi industri kap terhadap pengungkapan sukarela perusahaan manufaktur yang terdaftar Di Bursa Efek Indonesia Pengungkapan sukarela
Konsentrasi kepemilikan, total penjualan (ukuran perusahaan), proporsi komisaris independen, spesialisasi industri KAP. ROI dan leverage seperti pada penelitian Nuryaman (2009) tidak digunakan karena kedua variabel tersebut hanya variabel kontrol bukan variabel utama. Mengacu pada penelitian Siagian dan Ghozali (2012), yang digunakan hanya proporsi dewan komisaris independen dan ukuran perusahaan. Ukuran dewan komisaris tidak digunakan karena good corporate governance lebih ditentukan oleh komisaris independen. Aktivitas dewan komisaris tidak digunakan karena lebih sulit diukur, dan ketersediaan datanya juga menjadi kendala. Aktivitas komite audit juga lebih sulit diukur dan ketersediaan datanya juga menjadi kendala. Jenis industri tidak digunakan karena penerapan voluntary disclosure tidak tergantung dari jenis industri, tapi lebih karena didasarkan pada penerapan corporate governance yang lebih baik, semua perusahaan cenderung berusaha menerapkan tidak tergantung jenis industri perusahaan. Perusahaan sektor manufaktur yang terdaftar di BEI tahun
51
BEI tahun 2005 6 7
Teknik Analisis Hasil Analisis
Regresi Berganda
2011 dan telah website Regresi Berganda
1.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Konsentrasi kepemilikan berpengaruh positif signifikan terhadap pengungkapan sukarela. Ukuran perusahaan berpengaruh signifikan positif terhadap pengungkapan sukarela. Komposisi dewan komisaris independen tidak berpengaruh signifikan terhadap pengungkapan sukarela. Spesialisasi industri KAP berpengaruh signifikan positif terhadap pengungkapan sukarela. ROI berpengaruh signifikan positif terhadap pengungkapan sukarela. Leverage tidak berpengaruh signifikan terhadap pengungkapan sukarela
2.
3.
4.
5.
6.
memiliki
Ukuran dewan komisaris tidak berpengaruh signifikan terhadap pengungkapan sukarela. Aktivitas dewan komisaris tidak berpengaruh signifikan terhadap pengungkapan sukarela. Proporsi dewan komisaris independen tidak berpengaruh signifikan terhadap pengungkapan sukarela. Aktivitas komite audit tidak berpengaruh signifikan terhadap pengungkapan sukarela. Ukuran perusahaan berpengaruh signifikan positif terhadap pengungkapan sukarela. Jenis industri tidak berpengaruh signifikan terhadap pengungkapan sukarela.
2011 Regresi Berganda Dalam proses penelitian
2.3 Rerangka Pemikiran Rerangka pemikiran hubungan antar variabel dalam penelitian ini dapat digambarkan seperti yang terlihat pada Gambar 2.1.
52
Konsentrasi Kepemilikan
Ukuran Perusahaan Pengungkapan Sukarela Proporsi Dewan Komisaris Independen Spesialisasi Industri KAP
Gambar 1 Rerangka Pemikiran
2.4 Perumusan Hipotesis Pengungkapan informasi yang kurang memadai dapat merugikan pemegang saham, selain itu informasi yang disajikan tersebut dapat menyebabkan keputusan investasi yang salah. Menurut Nuryaman (2009), beberapa faktor yang mempengaruhi pengungkapan sukarela adalah kepemilikan, ukuran perusahaan, dan mekanisme corporate governance. Mekanisme corporate governance dalam hal ini adalah komposisi dewan komisaris dan kualitas audit oleh auditor eksternal dengan proksi spesialisasi industri Kantor Akuntan Publik (KAP). Teori agensi menyatakan bahwa ada kecenderungan konflik keagenan dimana konflik ini akan semakin besar apabila kepemilikan saham lebih tersebar ke beberapa individu dibandingkan apabila hanya dimiliki oleh sedikit individu (Barako, 2007). Struktur kepemilikan yang tersebar juga dapat mengakibatkan kurangnya kapasitas untuk melakukan monitoring karena persentase kepemilikan
53
yang rendah dari individu pemegang saham. Oleh sebab itu konsentrasi kepemilikan akan cenderung membuat tingkat pengungkapan sukarela lebih baik daripada
struktur
kepemilikan
yang
tersebar.
Nuryaman
(2009)
juga
mengungkapkan bahwa konsentrasi kepemilikan berpengaruh positif terhadap pengungkapan sukarela, karena semakin terkonsentrasi kepemilikan saham maka pengendalian kebijakan pengungkapan informasi pada pelaporan keuangan akan semakin baik, dengan tingkat pengungkapan sukarela yang semakin tinggi. Hal ini membuktikan bahwa konsentrasi kepemilikan dapat menjadi mekanisme corporate governance di perusahaan. Oleh karena itu dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut: H1
: Konsentrasi kepemilikan berpengaruh terhadap pengungkapan sukarela perusahaan-perusahaan industri manufaktur yang terdaftar di BEI tahun 2011.
Menurut Marwata (2001), perusahaan besar merupakan entitas yang banyak disorot oleh pasar maupun publik secara umum. Mengungkapkan lebih banyak informasi merupakan bagian dari upaya perusahaan untuk mewujudkan akuntabilitas publik dan menghindari resiko. Dengan sumber daya yang besar perusahaan besar mampu membiayai penyediaan informasi untuk keperluan internal. Oleh karena itu semakin besar ukuran perusahaan maka tingkat pengungkapan sukarelanya juga akan semakin baik. Menurut Nuryaman (2009), ukuran perusahaan juga terbukti berpengaruh positif terhadap pengungkapan sukarela. Karena perusahaan besar yang banyak disorot oleh publik dan analis pasar modal akan memberikan informasi yang lebih banyak dibandingkan perusahaan kecil. Siagian dan Ghozali (2012) juga mengungkapkan hal yang
54
sama, dimana ukuran perusahaan berpengaruh positif signifikan terhadap luas pengungkapan informasi strategis secara sukarela pada perusahaan. Semakin besar sebuah perusahaan maka pengungkapan informasi strategis pada perusahaan juga akan semakin luas. Berdasarkan hal yang dikemukakan tersebut maka dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut: H2
: Ukuran perusahaan berpengaruh terhadap pengungkapan sukarela perusahaan-perusahaan industri manufaktur yang terdaftar di BEI tahun 2011.
Keberadaan komisaris independen dapat menyeimbangkan kekuatan antara pihak manajemen, khususnya CEO dan pengelola melalui fungsi monitoring. Wardhani (2008) menyatakan bahwa semakin besar ukuran dewan komisaris independen, maka akan menyebabkan tekanan yang lebih besar terhadap manajemen perusahaan, sehingga pihak manajemen akan terdorong untuk bertindak semakin obyektif dan melindungi seluruh pemangku kepentingan, kemudian akan melakukan pengungkapan informasi sukarela yang lebih baik untuk perusahaan. Mangena dan Tauringana (2007) juga menjelaskan bahwa komposisi dewan komisaris independen dapat memberikan kontribusi yang efektif terhadap hasil dari proses penyusunan laporan keuangan beserta informasi pengungkapan sukarela yang berkualitas. Perusahaan yang prosentase komisaris independennya relatif tinggi cenderung memberikan informasi pengungkapan sukarela yang lebih luas.
55
Maka dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut: H3
: Proporsi komisaris independen berpengaruh terhadap pengungkapan sukarela perusahaan-perusahaan industri manufaktur yang terdaftar di BEI tahun 2011.
Menurut Balsam et al. (2003), spesialisasi auditor berkontribusi pada kredibilitas yang ditawarkan auditor. Auditor spesialis lebih cakap dalam menginterpretasikan kesalahan pelaporan dan menemukan kecurangan pelaporan keuangan, sehingga kualitas pengungkapan sukarela yang dihasilkan juga lebih baik, karena pengetahuan yang dimiliki auditor spesialis industri juga lebih baik terkait industri dari klien yang diaudit. Nuryaman (2009) juga membuktikan bahwa kualitas audit dengan proksi spesialisasi industri Kantor Akuntan Publik (KAP) berpengaruh positif terhadap pengungkapan sukarela, yang menunjukkan bahwa kualitas audit dapat meningkatkan pengungkapan sukarela pada pelaporan keuangan perusahaan. Maka hipotesis yang dapat dirumuskan adalah sebagai berikut: H4
: Spesialisasi industri KAP berpengaruh terhadap pengungkapan sukarela perusahaan-perusahaan industri manufaktur yang terdaftar di BEI tahun 2011.