BAB 2 TINJAUAN TEORETIS DAN PERUMUSAN HIPOTESIS
2.1 Tinjauan Teoretis 2.1.1 Teori Keagenan (Agency Theory) Perusahaan merupakan mekanisme yang memberikan kesempatan kepada berbagai partisipan untuk berkontribusi dalam modal (principal), keahlian dan tenaga kerja (agent) dalam rangka memaksimumkan keuntungan dalam jangka panjang. Sedangkan Jensen dan Meckling (dalam
Suranta dan Midiastuty, 2003)
mendefinisikan hubungan keagenan sebagai sebuah kontrak dimana satu atau lebih (principal) menyewa orang lain (agent) untuk melakukan beberapa jasa untuk kepentingan mereka dengan mendelegasikan beberapa wewenang pembuatan keputusan kepada agen. Teori keagenan merupakan basis teori yang mendasari praktik bisnis perusahaan yang dipakai selama ini.Teori tersebut berakar dari sinergi teori ekonomi, teori keputusan, sosiologi, dan teori organisasi.Prinsip utama teori ini menyatakan adanya hubungan kerja antara pihak yang memberi wewenang yaitu investor dengan pihak yang menerima wewenang (agensi) yaitu manajer. Teori keagenan dapat menjelaskan bagaimana pihak-pihak yang terlibat dalam perusahaan akan berperilaku, karena pada dasarnya antara agent dan principal memiliki kepentingan yang berbeda yang menyebabkan terjadinya konflik keagenan (agent conflict). Pada dasarnya, konflik
keagenan terjadi karena adanya pemisahan antara kepemilikan dan pengendalian perusahaan. Studi sebelumnya menemukan bahwa masalah keagenan dapat terjadi dalam 2 bentuk hubungan, yaitu; (1)antara pemegang saham dan manajer, dan (2) antara pemegang saham dan kreditor. Jika suatu perusahaan berbentuk perusahaan perorangan yang dikelola sendiri oleh pemiliknya, maka dapat diasumsikan bahwa manajer–pemilik tersebut akan mengambil setiap tindakan yang mungkin, untuk memperbaiki kesejahteraannya, terutama diukur dalam bentuk peningkatan kekayaan perorangan dan juga dalam bentuk kesenangan dan fasilitas eksekutif (Jensen dan Meckling, 1976; Jensen, 1986;Weston dan Brigham, 1994). Tetapi, jika manajer mempunyai porsi sebagai pemilik dan mereka mengurangi hak kepemilikannya dengan membentuk perseroan dan menjual sebagian saham perusahaan kepada pihak luar, maka pertentangan kepentingan bisa segera timbul. Keadaan ini menjadikan manajer mungkin saja tidak sedemikian gigih lagi untuk memaksimumkan kekayaan pemegang saham karena jatahnya atas kekayaan tersebut telah berkurang sesuai dengan pengurangan kepemilikan mereka. Atau mungkin saja manajer menetapkan gaji yang besar bagi dirinya atau menambah fasilitas eksekutif, karena sebagian di antaranya akan menjadi beban pemegang saham lainnya. Adanya konflik kepentingan antara investor dan manajer menyebabkan munculnya agency cost yaitu biaya monitoring (monitoring cost) yang dikeluarkan oleh
principal
seperti
auditing,
penganggaran,
sistem
pengendalian
dan
kompensasi,biaya perikatan (bonding expenditure) yang dikeluarkan oleh agent dan kerugian residual berkaitan dengan divergensi kepentingan antara principal dan agent. Menurut Jensen dan Meckling (dalam Siti Muyassaroh, 2008), adanya masalah keagenan memunculkan biaya agensi yang terdiri dari: 1. The monitoring expenditure by the principle (monitoring cost), yaitu biaya pengawasan yang dikeluarkan oleh principal untuk mengawasi perilaku dariagent dalam mengelola perusahaan. 2. The bounding expenditure by the agent (bounding cost), yaitu biaya yang dikeluarkan oleh agent untuk menjamin bahwa agent tidak bertindak yang merugikan principal. 3. The Residual Loss, yaitu penurunan tingkat utilitas principal maupun agentkarena adanya hubungan agensi. Konflik kepentingan terjadi tidak hanya antara investor dan manajer, tetapi juga antara
pemegang
saham
mayoritas
dan
pemegang
saham
minoritas.
Controllingshareholders biasanya mengendalikan keputusan manajemen dan cenderung mengabaikan kepentingan minority shareholders. Perusahaan dipandang sebagai sekumpulan kontrak antara manajerperusahaan dan pemegang saham. Principal atau pemilik perusahan menyerahkanpengelolaan perusahaan terhadap pihak manajemen. Manajer sebagai pihak yang diberi wewenang atas kegiatan perusahaan dan berkewajiban menyediakan laporankeuangan, akan cenderung untuk melaporkan sesuatu yang memaksimalkan utilitasnya dan mengorbankan kepentingan pemegang saham. Sebagai pengelolaperusahaan, manajer
akan lebih
banyak
mengetahui informasi
internal
dan prospekperusahaan
dibandingkan pemilik (pemegang saham). Manajer berkewajiban memberikan sinyal mengenai kondisi perusahaan kepada pemilik sebagai wujud daritanggung jawab atas pengelolaan perusahaan, namun informasi yang disampaikanterkadang diterima tidak sesuai dengan kondisi perusahaan sebenarnya, sehingga halini memacu terjadinya konflik keagenan. Investor sebagai pemilik, mempercayakan pengelolaan perusahaan kepada manajemen. Mereka tidak memiliki jaminan bahwa modal yang ditanamkan pasti disalurkan untuk investasi atau proyek yang menguntungkan. Manajer memiliki hakuntuk mengelola perusahaan dan dengan demikian, manajer memiliki hak diskresioner dalam mengelola dana investor (Darmawati, 2004). Selanjutnya manajer kemungkinan dapat melakukan ekspropriasi dana investor.
2.1.2 Nilai Perusahaan Nilai perusahaan adalah sebuah nilai yang menunjukkan cerminan dari ekuitas dan nilai buku perusahaan, baik berupa nilai pasar ekuitas, nilai buku dari total utang dan nilai buku dari total ekuitas. Pelaksanaan GCG yang baik dan sesuai dengan peraturan yang berlaku, akan membuat investor memberikan respon positif terhadap kinerja perusahaan, bahwa dana yang diinvestasikan dalam perusahaan yang bersangkutan akan dikelola dengan baik dan kepentingan investor publik akan aman. Kepercayaan investor publik pada manajemen perusahaan memberikan manfaat kepada perusahaan dalam bentuk pengurangan cost of capital (biaya modal). Kinerja
perusahaan yang baik dengan biaya modal yang rendah akan mendorong para investor melakukan investasi di perusahaan tersebut. Banyaknya investor yang tertarik akan meningkatkan permintaan investasi, sehingga harga saham perusahaan akan meningkat yang merupakan rantai pertumbuhan perusahaan dan meningkatkan kemakmuran stakeholders yang pada akhirnya akan meningkatkan nilai perusahaan. Dalam mengambil keputusan keuangan, manajer keuangan perlu menentukan tujuan yang harus dicapai. Keputusan keuangan yang tepat dapat memaksimalkan nilai perusahaan sehingga dapat meningkatkan kemakmuran pemilik perusahaan. Menurut Soliha dan Taswan (2002:3), nilai perusahaan merupakan persepsi investor terhadap perusahaan, yang sering dikaitkan dengan harga saham. Harga saham yang semakin tinggi berbanding lurus terhadap nilai perusahaan pula. Nilai perusahaan biasanya diukur dengan Price Book Value (PBV). Semakin tinggi PBV akan membuat pasar percaya akan prospek perusahaan ke depan. Kekayaan pemegang saham dan perusahaan direpresentasi oleh harga pasar dari saham yang merupakan cerminan dari keputusan investasi, pendanaan dan manajemen aset. Harga pasar saham perusahaan yang dibentuk antara pembeli dan penjual di saat terjadi transaksi disebut nilai pasar perusahaan. Nilai perusahaan yang dibentuk melalui indikator nilai pasar saham sangat dipengaruhi oleh peluang-peluang investasi. Adanya peluang investasi dapat memberi signal positif tentang pertumbuhan perusahaan di masa yang akan datang, sehingga akan meningkatkan harga saham, dengan meningkatnya harga saham maka nilai perusahaan pun akan meningkat.
Nilai perusahaan dalam penelitian ini didefinisikan sebagai nilai pasar, seperti halnya penelitian yang pernah dilakukan oleh Nurlela dan Islahudin (2008) karena nilai perusahaan dapat member kemakmuran pemegang saham secara maksimum apabila harga saham perusahaan meningkat. Semakin tinggi harga saham perusahaan maka semakin tinggi kemakmuran pemegang saham dan untuk mencapai nilai perusahaan umumnya para pemodal menyerahkan pengelolaannya kepada para profesional. Para profesional diposisikan sebagai manajer ataupun komisaris (Nurlela dan Islahudin, 2008). 2.1.3
Good Corporate Governance
Good Corporate Governance diharapkan dapat mengatasi agency problem dengan memberi keyakinan kepada para investor bahwa mereka akan menerima return atas dana yang telah diinvestasikan. GCG berkaitan dengan bagaimana investor yakin bahwa manajer akan memberi keuntungan bagi mereka, yakin bahwa manajer tidak akan berinvestasi ke dalam proyek-proyek yang tidak menguntungkan atas modal yang telah ditanamkan oleh pemegang saham, dan berkaitan dengan bagaimana para pemegang saham dapat mengawasi kinerja para manajer (Shleifer danVishny, 1986). Aspek GCG yaitu kepemilikan manajerial, proporsi komisaris independen, kepemilikan institusional dan kualitas audit. 1.
Kepemilikan Manajerial Jensen dan Meckling (dalam Indahningrum, 2009) menyatakan bahwa
mekanisme untuk mengatasi konflikkeagenan antara lain meningkatkan kepemilikan
insider (insider ownership) sehingga dapat mensejajarkan kepentingan pemilik dengan manajer. Semakin bertambahnya saham yang dimiliki manajer melalui kepemilikan manajerial akan memotivasi kinerja manajemen karena mereka merasa memiliki andil dalam perusahaan baik itu dalam pengambilan keputusan dan bertanggungjawab terhadap keputusan yang diambil karena ikut sebagai pemegang saham perusahaan sehingga kinerja manajemen semakin baik dan berpengaruh pada peningkatan nilai perusahaan. Kepemilikan manajerial (insider ownership) diukur sesuai proporsi kepemilikan saham yang dimiliki oleh manajerial (Iturriaga, et al., 2001). Kepemilikan manajerial adalah besarnya saham yang dimiliki manajemen dari total saham yang beredar. Kepemilikan saham yang besar dari segi nilai ekonomisnya memiliki insentif menyelaraskan kepentingan manajemen dan principal. Kepemilikan manajerial juga dapat dikatakan sebagai situasi yang di dalamnya manajer sekaligus sebagai pemegang saham perusahaan yang ditunjukkan dengan persentase kepemilikan saham perusahaan oleh manajer. Masalah yang sering ditimbulkan dari struktur kepemilikan ini adalah agency conflict, dimana terdapat kepentingan antara manajemen perusahaan sebagai pengambil keputusan dan para pemegang saham sebagai owner dari perusahaan (Haruman, 2008). Kepemilikan manajemen akan mendorong manajemen untuk meningkatkan nilai perusahaan. Hasil ini sesuai dengan penelitian Jensen dan Meckling (1976) yang membuktikan bahwa variabel struktur kepemilikan saham oleh manajemen mempunyai pengaruh positif terhadap nilai perusahaan.
Kepemilikan manajemen adalah proporsi pemegang saham dari pihak manajemen yang secara aktif ikut dalam pengambilan keputusan perusahaan. Dengan adanya kepemilikan manajemen dalam sebuah perusahaan, akan menimbulkan dugaan yang menarik bahwa nilai perusahaan meningkat sebagai akibat kepemilikan manajemen yang meningkat. Kepemilikan oleh manajemen yang besar akan efektif dalam memonitoring aktivitas perusahaan. 2.
Kepemilikan Institusional Kepemilikan institusional adalah besarnya jumlah saham yang dimiliki institusi
dari total saham beredar. Adanya kepemilikan institusional dapat memantau secara profesional perkembangan investasinya sehingga tingkat pengendalian terhadap manajemen sangat tinggi yang pada akhirnya dapat menekan potensi kecurangan. Pemegang saham institusional diantaranya mencakup perusahaan asuransi, dana pensiun, dan reksadana. Faisal (2004) menyatakan bahwa semakin besar kepemilikan institusional maka semakin efisien pemanfaatan aset perusahaan dan diharapkan juga dapat bertindak sebagai pencegah terhadap pemborosan yang dilakukan oleh manajemen. Adannya kepemilikan saham institusional dapat memantau secara professional perkembangan investasinya sehingga tingkat pengendalian terhadap kinerja manajemen sangat tinggi yang pada akhirnya dapat menekan potensi kecurangan yang dilakukan oleh manajemen.Karena institusi memantausecara profesional perkembangan investasinya maka tingkat pengendalian terhadap tindakan manajemen sangat tinggi sehingga potensi keuangan dapat ditekan (Lastanti,2004).
Keberadaan institusi inilah yang mampu menjadi alat monitoring efektif bagi perusahaan. Menurut Tarjo (2008) bahwa kepemilikan institusional berpengaruh signifikan terhadap nilai pemegang saham. Hal ini berarti menunjukkan, bahwa kepemilikan institusional menjadi mekanisme yang handal sehingga mampu memotivasi manajer dalam meningkatkan kinerjanya yang pada akhirnya dapat meningkatkan nilai perusahaan. Kepemilikan institusional memiliki kelebihan antara lain:
Memiliki profesionalisme dalam menganalisis informasi, sehingga dapat menguji keandalan informasi.
Memiliki motivasi yang kuat untuk melaksanakan pengawasan yang lebih ketat atas aktivitas yang terjadi di dalam perusahaan.
3.
Komposisi Komisaris Independen Komposisi komisaris independen adalah persentase jumlah komisaris independen
dibagi total jumlah anggota dewan komisaris. Menurut Wardhani (2008) komisaris independen adalah anggota dewan komisaris yang tidak terafiliasi dengan manajemen, anggota dewan komisaris lainnya dan pemegang saham pengendali, bebas dari hubungan bisnis atau hubungan lainnya yang dapat mempengaruhi kemampuannya untuk bertindak independen atau bertindak semata-mata sesuai kepentingan perusahaan. Permasalahan dalam penerapan GCG adalah chief executive
officer (CEO) memiliki kekuatan yang lebih besar dibandingkan dengan dewan komisaris padahal fungsi komisaris adalah untuk mengawasi kinerja CEO. Dalam One Tier Sytem perusahaan hanya mempunyai satu dewan dieksi yang pada umumnya merupakan kombinasi antara manajer atau pengurus senior (direktur eksekutif) dan direktur independen yang bekerja dengan prinsip paruh waktu (non direktur eksekutif).
Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS)
Direktur Eksekutif
Direktur Non Eksekutif
(Manajemen Senior)
(Direktur Paruh Waktu)
Sumber: FCGI, 2005 Gambar 1 Struktur Dewan Komisaris dan Dewan Direksi dalam One Tier System
Sedangkan dalam sistem hokum Kontinental Eropa yang mempunyai sistem dua tingkat (Two Tier System), perusahaan mempunyai dua badan terpisah, yaitu dewan pengawas (dewan komisaris) dan dewan manajemen (dewan direksi). Tugas dewan direksi adalah mengelola dan mewakili perusahaan di bawah pengarahan dan
pengawasan dewan komisaris. Dewan direksi juga harus memberikan informasi kepada dewan komisaris dan menjawab hal-hal yang dipertanyakan oleh dewan komisaris sehingga untamanya dewan komisaris bertanggung jawab untuk mengawasi tugas-tugas manajemen. Dewan komisaris tidak boleh melibatkan diri dalam tugas-tugas manajemen dan tidak boleh mewakili perusahaan dalam transaksitransaksi dengan pihak ketiga. Anggota dewan komisaris diangkat dan diganti dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) (FCGI, 2005).
Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS)
Dewan Komisaris
Dewan Direksi Supervisor Pengawasan
Sumber: FCGI, 2005 Gambar 2 Struktur Dewan Komisaris dan Dewan Direksi dalam Two Tiers System yang Diadopsi oleh Indonesia
Menurut Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) (dalam FCGI, 2002), peran dewan komisaris antara lain : a.
Menilai dan mengarahkan strategi perusahaan, garis-garis besar rencana kerja, kebijakan pengendalian risiko, anggaran tahunan dan rencana usaha, menetapkan
sasaran kerja, mengawasi pelaksanaan dan kinerja perusahaan, serta memonitor penggunaan modal perusahaan, investasi dan penjualan aset. b.
Menilai sistem penetapan penggajian pejabat pada posisi kunci dan penggajian anggota dewan direksi, serta menjamin suatu proses pencalonan anggota dewan direksi yang transparan dan adil.
c.
Memonitor dan mengatasi masalah benturan kepentingan pada tingkat manajemen, anggota dewan direksi, dan anggota dewan komisaris, termasuk penyalahgunaan aset perusahaan dan manipulasi transaksi perusahaan.
d.
Memonitor pelaksanaan governance, dan mengadakan perubahan apabila perlu.
e.
Memantau proses keterbukaan dan efektifitas komunikasi dalam perusahaan. Adapun kriteria komisaris independen secara rinci diatur dalam Bapepam-LK,
yaitu: a.
Berasal dari luar emiten atau perusahaan publik.
b.
Tidak mempunyai saham emiten atau perusahaan publik baik langsung maupun tidak langsung.
c.
Tidak mempunyai hubungan afiliasi dengan komisaris, direksi dan pemegang saham utama emiten atau perusahaan publik.
d.
Tidak mempunyai hubungan usaha dengan emiten atau perusahaan publik baik langsung maupun tidak langsung (Bapepam-LK, 2010).
4.
Kualitas Audit Berdasarkan kerangka hukum di Indonesia, perusahaan-perusahaan publik
diwajibkan untuk membentuk komite audit. Menurut Kepmen Nomor 117 tahun
2002, tujuan dibentuknya komite audit adalah membantu komisaris atau dewan pengawas dalam memastikan efektivitas pelaksanaan tugas auditor eksternal dan auditor internal (Zarkasyi, 2008: 17). Sejalan dengan arahan untuk menjalankan fungsi komite audit secara efektif, maka ukuran sukses komite audit yang berhubungan dengan kegiatan organisasi adalah untuk memenuhi kebutuhan konsumen seperti pelayanan, kualitas, dan biaya. Komite audit memiliki wewenang untuk melaksanakan dan mengesahkan penyelidikan terhadap masalah-masalah di dalam lingkup tanggung jawabnya yang mempunyai tugas membantu dewan komisaris (Zarkasyi, 2008: 22). Audit merupakan suatu proses untuk mengurangi ketidakselarasan informasi yang terdapat antara manajer dan para pemegang saham dengan menggunakan pihak luar untuk memberikan pengesahan terhadap laporan keuangan. Para pengguna laporan keuangan terutama para pemegang saham akan mengambil keputusan berdasarkan pada laporan yang telah dibuat oleh auditor mengenai laporan keuangan suatu perusahaan (Meutia, 2004 dalam Pradita, 2010). Kualitas audit sebagai suatu kemungkinan (joint probability) dimana seorang auditor akan menemukan dan melaporkan pelanggaran yang ada dalam sistem akuntansi kliennya. Kemungkinan dimana auditor akan menemukan salah saji tergantung pada kemampuan teknikal auditor sementara tindakan melaporkan salah saji tergantung pada independensi auditor tersebut. Kualitas audit ini sangat penting karena kualitas audit yang tinggi akan menghasilkan laporan keuangan yang dapat
dipercaya sebagai dasar pengambilan keputusan (De Angelo, 1981 dalam Kusharyanti, 2003 : 25). De Angelo (1981) berargumentasi bahwa kualitas audit secara langsung berhubungan dengan ukuran dari perusahaan audit, dengan proksi untuk ukuran perusahaan audit adalah jumlah klien. Perusahaan audit yang besar adalah dengan jumlah klien yang lebih banyak. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa perusahaan audit yang besar akan berusaha untuk menyajikan kualitas audit yang lebih besar dibandingkan dengan perusahaan audit yang kecil. Karena perusahaan audit yang besar jika tidak memberikan kualitas audit yang tinggi akan kehilangan reputasinya, dan jika ini terjadi maka dia akan mengalami kerugian yang lebih besar dengan kehilangan klien. Sedangkan Standar Profesional Akuntan Publik (SPAP) menyatakan bahwa audit yang dilaksanakan auditor dapat dikatakan berkualitas jika memenuhi ketentuan atau standar auditing. Standar auditing mencakup mutu professional (professional qualities) auditor independen, pertimbangan (judgement) yang digunakan dalam pelaksanaan audit dan penyusunan laporan auditor.
2.2 Rerangka Pemikiran
Perusahaan
Good Corporate Governance : - Kepemilikan Manajerial - Kepemilikan Institusional - Komposisi Komisaris Independen - Kualitas Audit
Laba
Nilai Perusahaan Gambar 3 Rerangka Pemikiran
Suatu organisasi mendirikan perusahaan mempunyai tujuan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat serta mendapatkan laba dari usahanya sehingga perusahaan tetap going concern. Dalam mendirikan perusahaan, organisasi tidak bisa berjalan sendiri sehingga memerlukan investasi dana dari para investor. Investor menginvestasikan dananya kepada perusahaan dengan harapan mendapatkan pembagian laba atau deviden.Untuk mendapat kepercayaan dari para investor, perusahaan perlu untuk melaksanakan Good Corporate Governance agar nilai perusahaan semakin meningkat.Faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan mekanisme GCG antara lain: kepemilikan manajerial, kepemilikan institusional,
komposisi komisaris independen dan kualitas audit. Dengan meningkatnya nilai perusahaan, maka investor akan semakin percaya ketika menginvestasikan dananya ke perusahaan dan investor-investor lain akan tertarik untuk menanamkan modalnya di perusahaan. 2.3 Perumusan Hipotesis 2.3.1 Pengaruh Kepemilikan Manajerial Terhadap Nilai Perusahaan Masalah yang sering ditimbulkan dari struktur kepemilikan ini adalah agency conflict, dimana terdapat kepentingan antara manajemen perusahaan sebagai decision maker dan para pemegang saham sebagai owner dari perusahaan (Haruman, 2008). Konflik kepentingan yang sangat potensial ini menyebabkan pentingnya suautu mekanisme yang diterapkan guna melindungi kepentingan pemegang saham (Jensen dan Meckilling, 1976). Kepemilikan manajemen akan mendorong manajemen untuk meningkatkan nilai perusahaan. Hasil ini sesuai dengan penelitian Jensen danMeckling (1976) yang membuktikan bahwa variabel struktur kepemilikan saham oleh manajemen mempunyai pengaruh positif terhadap nilai perusahaan. Kepemilikan manajemen adalah proporsi pemegang saham dari pihak manajemen yang secara aktif ikut dalam pengambilan keputusan perusahaan. Dengan adanya kepemilikan manajemen dalam sebuah perusahaan, akan menimbulkan dugaan yang menarik bahwa nilai perusahaan meningkat sebagai akibat kepemilikan manajemen yang meningkat. Kepemilikan oleh manajemen yang besar akan efektifdalam pengawasan aktivitas perusahaan.
Dengan proporsi kepemilikan yang cukup tinggi, maka manajer akan merasaikut memiliki perusahaan, sehingga akan berusaha semaksimal mungkin melakukan tindakan-tindakan yang dapat memaksimalkan kemakmurannya. Hal tersebut didasarkan pada logika, bahwa peningkatan proporsi saham yang dimiliki manajerakan menurunkan kecenderungan manajer untuk melakukan tindakan yang berlebihan. Dengan demikian, maka akan mempersatukan kepentingan manajer dengan pemegang saham, hal ini berdampak positif meningkatkan nilai perusahaan. Semakin besar proporsi kepemilikan saham manajemen pada perusahaan, maka manajemen cenderung berusaha lebih giat untuk kepentingan pemegang sahamyang tidak lain adalah dirinya sendiri. Kepemilikan saham manajemen akan membantu penyatuan kepentingan manajer dan pemegang saham, sehingga manajerikut merasakan secara langsung manfaat dari keputusan yang diambil dan ikut pula menanggung kerugian sebagai konsekuensi dari pengambilan keputusan yang salah. Semakin besar kepemilikan saham oleh manajemen, maka berkurang kecenderungan manajemen untuk mengoptimalkan penggunaan sumber daya, sehingga mengakibatkan kenaikan nilai perusahaan dan ketika kepemilikan sahamoleh manajemen rendah, maka ada kecenderungan terjadinya perilaku opportunisticmanajer yang akan meningkat pula. Kepemilikan manajemen terhadap saham perusahaan dipandang dapat menyelaraskan potensi perbedaan kepentingan antarapemegang saham luar dan manajemen (Jensen dan Meckling, 1976 dalam Siallagandan Machfoedz, 2006). Sehingga permasalahan keagenan diasumsikan akan hilangapabila seorang manajer adalah juga sekaligus sebagai seorang pemilik.
Manajer yangsekaligus pemegang saham akan meningkatkan nilai perusahaan, sehingga nilai kekayaannya sebagai pemegang saham akan meningkat juga. H1 : Kepemilikan manajemen berpengaruh positif terhadap nilai perusahaan. 2.3.2 Pengaruh Kepemilikan Institusional Terhadap Nilai Perusahaan Konsentrasi kepemilikan institusional merupakan saham perusahaan yang dimiliki oleh institusi atau lembaga seperti perusahaan asuransi, perusahaan investasidan kepemilikan institusi lain (Tarjo, 2008). Institusi merupakan sebuah lembaga yang memiliki kepentingan besar terhadap investasi yang dilakukan termasukinvestasi saham. Sehingga biasanya institusi menyerahkan tanggungjawab pada divisitertentu untuk mengelola investasi perusahaan tersebut. Karena institusi memantau secara profesional perkembangan investasinya maka tingkat pengendalian terhadaptindakan manajemen sangat tinggi sehingga potensi keuangan dapat ditekan (Lastanti,2004). Keberadaan institusi inilah yang mampu menjadi alat monitoring efektif bagi perusahaan. Kepemilikan institusional memiliki peranan penting dalam meminimalisasi konflik keagenan yang terjadi antara manajer dan pemegang saham. Dengan adanya kepemilikan oleh institusional akan mendorong peningkatanpengawasan yang lebih optimal terhadap kinerja manajemen, sehingga manajemenakan lebih berhati-hati dalam
mengambil
keputusan.
Monitoring
kemakmuran untuk pemegang saham.
tersebut
tentunyaakan
menjamin
Kepemilikan institusional memiliki kemampuan untuk mengendalikan pihak manajemen melalui proses monitoring secara efektif sehingga dapat mengurangi manajemen laba (Ujiyantho dan Pramuka, 2007). Sedangkan menurut Shien, et al. (dalam Isnanta, 2008) menyatakan bahwa kepemilikan institusional merupakan kepemilikan saham oleh pemerintah, institusi keuangan, institusi berbadan hukum, institusi luar negeri, dana perwalian serta institusi lainnya pada akhir. Adanya kepemilikan oleh investor institusional akan mendorong peningkatan pengawasan yang lebih optimal terhadap kinerja manajemen, karena kepemilikan saham mewakili suatu sumber kekuasaan yang dapat digunakan untuk mendukung atau sebaliknya terhadap kinerja manajemen. Kepemilikan institusional bertindak sebagai pihak yang memonitor perusahaan pada umumnya dan manajer sebagai pengelola perusahaan pada khususnya. Semakin besar kepemilikan institusional, maka semakin efisien pemanfaatan aktiva perusahaan dan diharapkan juga dapat bertindak sebagai pencegahan terhadap pemborosan yang dilakukan oleh manajemen (Faisal, 2005). Tingkat kepemilikan institusional yang tinggi akan menimbulkan usaha pengawasanyang lebih besar oleh pihak investor institusional, sehingga dapat menghalangi perilaku opportunistic manajer. Kepemilikan institusional berpengaruh signifikan terhadap nilai pemegang saham. Hal ini berarti menunjukkan, bahwa kepemilikan institusional menjadi mekanisme yang handal sehingga mampu memotivasi manajer dalam meningkatkan kinerjanya yang pada akhirnya dapat meningkatkan nilai perusahaanTarjo (2008).
Menurut Shleifer dan Vishny (dalam Barnae dan Rubin, 2005) bahwa institutional shareholders, dengan kepemilikan saham yang besar, memiliki insentif untuk memantau pengambilan keputusan perusahaan. Begitu juga penelitian Wening (2009), semakin besar kepemilikan oleh institusi keuangan maka semakin besar pula kekuatan suara dan dorongan untuk mengoptimalkan nilai perusahaan. Kepemilikan institusional memiliki kelebihan antara lain: a.
Memiliki profesionalisme dalam menganalisis informasi, sehingga dapat menguji keandalan informasi.
b.
Memiliki motivasi yang kuat untuk melaksanakan pengawasan yang lebih ketat atas aktivitas yang terjadi di dalam perusahaan. Aktivitas monitoring institusi mampu mengubah struktur pengelolaan
perusahaan
dan
mampu
meningkatkan
kemakmuran
pemegang
saham.
Monitoringyang dilakukan institusi mampu mensubtitusi biaya keagenan lain, sehingga biayakeagenan menurun dan nilai perusahaan meningkat. Di Indonesia sendiri, struktur kepemilikan perusahaan publik sangat terkonsentrasi pada institusi yaitu pemilik perusahaan publik berbentuk lembaga,bukan pemilik atas nama perseorangan. Mayoritas institusi adalah berbentuk Perseroan Terbatas (PT) domestik (Wulandari, 2005). H2 : Kepemilikan institusional berpengaruh positif terhadap nilai perusahaan.
2.3.3
Pengaruh Komposisi Komisaris Independen terhadap Nilai Perusahaan
Dewan komisaris dalam suatu perusahaan lebih ditekankan pada fungsi monitoring dari implementasi kebijakan direksi. Peran komisaris ini diharapkan akan meminimalisir permaslahan agensi yang timbul antara dewan direksi dengan pemegang saham. Oleh karena itu dewan komisaris seharusnya dapat mengawasi kinerja dewan direksi sehingga kinerja yang dihasilkan sesuai dengan kepentingan pemegang saham. Dewan komisaris juga memegang peran penting dalam mengarahkan strategi dan mengawasi jalannya perusahaan serta memastikan bahwa para manajer benar-benar meningkatkan kinerja perusahaan sebagai bagian dari pada pencapaian tujuan perusahaan.Yang terpenting dalam hal ini adalah kemandirian komisaris dalam pengertian bahwa dewan komisaris harus memiliki kemampuan untuk membahas permasalahan tanpa campur tangan manajemen, dilengkapi dengan informasi yang memadai untuk mengambil keputusan dan berpartisipasi secara aktif dalam penetapan agenda dan strategi. Komisaris independen merupakan sebuah badan dalam perusahaan yang biasanya beranggotakan dewan komisaris yang independen yang berasal dari luar perusahaan yang berfungsi untuk menilai kinerja perusahaan secara luas dan keseluruhan (Emirzon, 2007). Komisaris independen suatu perusahaan harus benarbenar independen dan dapat menolak pengaruh, intervensi dan tekanan dari pemegang saham utama yang memiliki kepentingan atas transaksi atau kepentingan tertentu (Weisbach, 1988 dalam Arifin, 2005).
Daily dan Dalton (1994) menyatakan bahwa apabila ada resistensi dari CEO untuk menerapkan strategi yang agresif untuk mengatasi kinerja perusahaan yang terus menerus, maka adanya direksi dari luar akan mendorong pengambilan keputusan untuk melakukan perubahan. Pfeffer dan Salancik (1978) menyatakan bahwa dengan semakin meningkatnya tekanan dari lingkungan perusahaan maka kebutuhan akan dukungan dari luar juga semakin meningkat. Selain itu, Daily dan Dalton (1994) menyatakan bahwa apabila ada resistensi dari CEO untuk menerapkan strategi yang agresif untuk mengatasi kinerja perusahaan yang terus menurun, maka adanya direksi dari luar akan mendorong pengambilan keputusan untuk melakukan perubahan. Pengawasan yang ketat dapat menciptakan kinerja direksi menjadi lebih efektif dan efisien, seehingga kinerja keuangan perusahaan akan semakin meningkat. Oleh karena itu dengan meningkatkan kinerja keuangan perusahaan, maka investor akan merespon baik perusahaan dengan cara menghargai nilai saham perusahaan lebih tinggi dibandingkan dengan nilai buku perusahaan. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Barnhart & Rosenstein (1998) (dalam Nasser, 2003) membuktikan bahwa semakin tinggi perwakilan dari outside director (komisaris independen) maka semakin tinggi independensi dan efektifitas corporate board. Berdasarkan uraian di atas dapat ditarik hipotesis: H3 : Proporsi komisaris independen berpengaruh positif terhadap nilai perusahaan.
2.3.4
Pengaruh Kualitas Audit terhadap Nilai Perusahaan
Komite audit yang bertanggung jawab untuk mengawasi laporan keuangan, mengawasi audit eksternal dan memeriksa sistem pengendalian internal (termasuk audit internal) dapat mengurangi sifat opportunistic manajemen yang melakukan manajemen laba (earning management) dengan cara mengawasi laporan keuangan dan melakukan pengawasan pada audit eksternal. Menurut Alijoyo (2003) komite audit mempunyai fungsi membantu dewan komisaris untuk meningkatkan kualitas laporan keuangan, menciptakan iklim disiplin dan pengendalian yang dapat mengurangi kesempatan terjadinya penyimpangan dalam pengelolaan perusahaan, meningkatkan efektivitas hal-hal yang memerlukan perhatian yang disajikan oleh perusahaan dapat memiliki tingkat kehandalan atau reabilitas yang tinggi. Pada umumnya komite audit memiliki tanggung jawab pada tiga bidang yaitu (FCGI, 2002) : 1. Laporan keuangan (financial reporting) adalah untuk memastikan bahwa laporan keuangan yang dibuat oleh manajemen telah memberikan gambaran yang sebenarnya tentang kondisi keuangan, hasil usahanya serata rencana dan komitmen jangka panjang. 2. Tata kelola perusahaan (corporate governance) adalah untuk memastikan bahwa perusahaan telah dijalankan sesuai dengan undang-undang dan peraturan yang berlaku, melaksanakan tugasnya dengan beretika, melaksanakan pengawasannya secara efektif terhadap benturan kepentingan dan kekcurangan yang dilakukan oleh karyawan perusahaan.
3. Pengawasan perusahaan (corporate control). Tanggung jawab komite audit untuk pengawasan peusahaan termasuk di dalamnya pemahaman tentang masalah serta hal-hal yang berpotensi mengandung resiko dan sistem pengendalian internal serta memonitor proses pengawasan yang dilakukan oleh auditor internal. Ruang lingkup audit internal harus meliputi pemeriksaan dan penilaian tentang kecukupan dan efektivitas sistem pengawasan intern. Price Waterhouse (dalam McMullen, 1996) menyatakan bahwa investor, analis dan regulator menganggap komite audit memberikan kontribusi dalam kualitas laporan keuangan. Dengan meningkatnya kualitas laporan keuangan, maka nilai perusahaan pun juga akan semakin meningkat karena kredibilitas laporan keuangan lebih terjamin. Dalam melaksanakan tugasnya, auditor memerlukan kepercayaan terhadap kualitas jasa yang diberikan pada pengguna. Penting bagi pemakai laporan keuangan untuk memandang Kantor Akuntan Publik (KAP) sebagai pihak yang independen dan kompeten, karena akan mempengaruhi berharga atau tidaknya jasa yang telah diberikan oleh KAP kepada pemakai. Jika pemakai merasa KAP memberikan jasa yang berguna dan berharga, maka nilai audit atau kualitas audit juga meningkat, sehingga KAP dituntut untuk bertindak dengan profesionalisme tinggi (Hardiningsih, 2010). H4 : Kualitas audit berperngaruh positif terhadap nilai perusahaan.