BAB 2 TINJAUAN TEORETIS DAN PERUMUSAN HIPOTESIS
2.1 Tinjauan Teoretis 2.1.1 Teori Keagenan (Agency Theory) Perusahaan memberi kesempatan kepada partisipan untuk berkontribusi dalam modal
(principal),
keahlian,
dan
tenaga
kerja
(agent)
dalam
rangka
memaksimumkan keuntungan dalam jangka panjang. Jensen dan Meckling (dalam Suranta dan Midiastuty, 2003) mendefinisi hubungan keagenan sebagai sebuah kontrak yang di dalamnya satu atau lebih (principal) menyewa orang lain (agent) untuk melakukan beberapa jasa untuk kepentingan mereka dengan mendelegasi beberapa wewenang pembuatan keputusan kepada agent. Teori keagenan, dapat menjelaskan bagaimana pihak-pihak yang terlibat dalam perusahaan akan berperilaku, karena pada dasarnya antara agent dan principal memiliki kepentingan yang berbeda yang menyebabkan terjadinya konflik keagenan (agent conflict). Pada dasarnya, konflik keagenan terjadi karena adanya pemisahan antara kepemilikan dan pengendalian perusahaan. Adanya konflik kepentingan antara investor dan manajer menyebabkan munculnya agency cost yaitu biaya monitoring (monitoring cost) yang dikeluarkan oleh principal seperti auditing, penganggaran, sistem pengendalian dan kompensasi, biaya perikatan (bonding expenditure) yang dikeluarkan oleh agent, dan kerugian residual berkaitan dengan divergensi kepentingan antara principal dan agent.
6
Menurut Jensen dan Meckling (dalam Muyassaroh, 2008), adanya masalah keagenan memunculkan biaya agensi yang terdiri atas: 1. The monitoring expenditure by the principle (monitoring cost), yaitu biaya pengawasan yang dikeluarkan oleh principal untuk mengawasi perilaku dari agent dalam mengelola perusahaan. 2. The bounding expenditure by the agent (bounding cost), yaitu biaya yang dikeluarkan oleh agent untuk menjamin bahwa agent tidak bertindak yang merugikan principal. 3. The Residual Loss, yaitu penurunan tingkat utilitas principal maupun agent karena adanya hubungan agensi. Konflik kepentingan terjadi tidak hanya antara investor dan manajer, tetapi juga antara pemegang saham mayoritas dan pemegang saham minoritas. Controlling shareholders biasanya mengendalikan keputusan manajemen dan cenderung mengabaikan kepentingan minority shareholders. Perusahaan dipandang sebagai sekumpulan kontrak antara manajer perusahaan dan pemegang saham. Principal atau pemilik perusahan menyerahkan pengelolaan perusahaan terhadap pihak manajemen. Manajer sebagai pihak yang diberi wewenang atas kegiatan perusahaan dan berkewajiban menyediakan laporan keuangan, akan cenderung untuk melaporkan sesuatu yang memaksimalkan utilitasnya dan mengorbankan kepentingan pemegang saham. Sebagai pengelola perusahaan, manajer akan lebih banyak mengetahui informasi internal dan prospek perusahaan dibandingkan pemilik (pemegang saham). Manajer berkewajiban memberi sinyal mengenai kondisi perusahaan kepada pemilik sebagai wujud dari tanggung jawab atas
7
pengelolaan perusahaan, namun informasi yang disampaikan terkadang diterima tidak sesuai dengan kondisi perusahaan sebenarnya, sehingga hal ini memacu terjadinya
konflik
keagenan.
Investor
sebagai
pemilik, mempercayakan
pengelolaan perusahaan kepada manajemen. Mereka tidak memiliki jaminan bahwa modal yang ditanamkan pasti disalurkan untuk investasi atau proyek yang menguntungkan. Manajer memiliki hak untuk mengelola perusahaan dan dengan demikian, manajer memiliki hak diskresioner dalam mengelola dana investor (Darmawati et al., 2004). Selanjutnya manajer kemungkinan dapat melakukan ekspropriasi dana investor.
2.1.2. Stakeholder Theory Konsep tanggung jawab sosial perusahaan telah mulai dikenal sejak awal 1970an, yang secara umum dikenal dengan stakeholder theory artinya sebagai kumpulan kebijakan dan praktik yang berhubungan dengan stakeholder, nilainilai, pemenuhan ketentuan hukum, penghargaan masyarakat dan lingkungan, serta komitmen dunia usaha untuk berkontribusi dalam pembangunan secara berkelanjutan (Kusumadilaga, 2010). Stakeholder theory dimulai dengan asumsi bahwa nilai (value) secara eksplisit dan tak dipungkiri merupakan bagian dari kegiatan usaha. (Freeman et al., dalam Waryanti, 2009). Teori stakeholder mengatakan bahwa perusahaan bukanlah entitas yang hanya beroperasi untuk kepentingan sendiri namun harus memberi manfaat bagi stakeholdernya. Dengan demikian, keberadaan suatu perusahaan sangat dipengaruhi oleh dukungan yang diberikan oleh stakeholder kepada perusahaan tersebut (Ghozali dan Chariri, 2007).
8
Tanggung jawab sosial perusahaan seharusnya melampaui tindakan memaksimalkan laba untuk kepentingan pemegang saham (stakeholder), namun lebih luas lagi bahwa kesejahteraan yang dapat diciptakan oleh perusahaan sebetulnya tidak terbatas kepada kepentingan pemegang saham, tetapi juga untuk kepentingan stakeholder, yaitu semua pihak yang mempunyai keterkaitan atau klaim terhadap perusahaan (Untung, 2008). Mereka adalah pemasok, pelanggan, pemerintah, masyarakat lokal, investor, karyawan, kelompok politik, dan asosiasi perdagangan. Seperti halnya pemegang saham yang mempunyai hak terhadap tindakan-tindakan yang dilakukan oleh manajemen perusahaan, stakeholder juga mempunyai hak terhadap perusahaan. Menurut Waryanti (2009) stakeholder pada dasarnya dapat mengendalikan atau memiliki kemampuan untuk mempengaruhi pemakaian sumber-sumber ekonomi yang digunakan perusahaan. Oleh karena itu power stakeholder ditentukan oleh besar kecilnya power yang dimiliki stakeholder atas sumber tersebut (Ghozali dan Chariri, 2007). Power tersebut dapat berupa kemampuan untuk membatasi pemakaian sumber ekonomi yang terbatas (modal dan tenaga kerja), akses terhadap media yang berpengaruh, kemampuan untuk mengatur perusahaan, atau kemampuan untuk mempengaruhi konsumsi atas barang dan jasa yang dihasilkan perusahaan (Deegan dalam Ghozali dan Chariri, 2007). Oleh karena itu, ketika stakeholder mengendalikan sumber ekonomi yang penting bagi perusahaan, maka perusahaan akan bereaksi dengan cara-cara yang memuaskan keinginan stakeholder (Ullman dalam Ghozali dan Chariri, 2007). Atas dasar argumen di atas, teori stakeholder umumnya berkaitan dengan cara-cara yang
9
digunakan perusahaan untuk memanage stakeholdernya (Gray et al., dalam Ghozali dan Chariri, 2007). Cara-cara yang dilakukan perusahaan untuk memanage stakeholdernya tergantung pada strategi yang diadopsi perusahaan, strategi yang dapat diadopsi adalah strategi aktif atau pasif (Ullman dalam Ghozali dan Chariri, 2007). Menurut Ullman (dalam Ghozali dan Chariri, 2007) strategi aktif adalah apabila perusahaan berusaha mempengaruhi hubungan organisasinya dengan stakeholder yang dipandang berpengaruh/penting, Sedangkan perusahaan yang mengadopsi strategi pasif cenderung tidak terus menerus memonitor aktivitas stakeholder dan secara sengaja tidak mencari strategi optimal untuk menarik perhatian stakeholder. Akibat dari kurangnya perhatian terhadap stakeholder adalah rendahnya tingkat pengungkapan informasi sosial dan rendahnya kinerja sosial perusahaan.
2.1.3 Teori Legitimasi O’Donovan (dalam nurkhin, 2009) menyatakan bahwa: Legitimacy theory as the idea that in order for an organization to continue operating successfully, it must act in a manner that society deems socially acceptable. Organisasi
memainkan
peranan
penting
dalam
masyarakat
dan
mempunyai tanggung jawab untuk diakui keberadaannya di dalam masyarakat (Farook dan Lanis, 2005). Pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan atau corporate social responsibilities (CSR) merupakan salah satu mekanisme yang dapat digunakan untuk mengkomunikasi perusahaan dengan stakeholders dan disarankan bahwa Corporate Social
Responsibility Disclosure (CSRD) merupakan jalan masuk dimana beberapa organisasi menggunakannya untuk memperoleh keuntungan
10
atau memperbaiki legitimasi (Gray et al., dalam Nurkhin, 2009). Teori legitimasi adalah kerangka teoretis yang menjadi kajian selama
beberapa
tahun
untuk
menjelaskan
mengapa
organisasi
melaksanakan pelaporan sukarela terkait dengan lingkungan (Dillard
et al., dalam Nurkhin, 2009) Menurut menyarankan
Guthrie
bahwa
dan
organisasi
Parker
(dalam
mengungkapkan
Nurkhin,
kinerja
2009)
lingkungan
mereka dalam berbagai komponen untuk mendapat reaksi positif dari lingkungan dan mendapat legitimasi atas usaha perusahaan. Teori legitimasi memberi solusi potensial atas studi yang mendasarkan pada kajian ekonomi. Hal ini ditemukan adanya “social contract” dan dimensi atas kontrak yang secara potensial dapat meningkat karena diversifikasi aktivitas internasional perusahaan (Gray et
al., dalam Nurkhin, 2009). CSRD mungkin juga dapat dilihat sebagai alat untuk membentuk, mempertahankan, dan memperbaiki legitimasi perusahaan dimana mereka mengeluarkan opini dan kebijakan publik dan dapat mereduksi political, social, economic exposure, dan
pressure (Toms et al., dalam Nurkhin, 2009). Menurut Barkemeyer (dalam Nukhin, 2009) mengungkapkan bahwa penjelasan tentang kekuatan teori legitimasi organisasi dalam konteks tanggung jawab sosial perusahaan di negara berkembang
11
terdapat dua hal: pertama, kapabilitas untuk menempatkan motif maksimalisasi keuntungan membuat gambaran lebih jelas tentang motivasi perusahaan memperbesar tanggung jawab sosialnya. Kedua, legitimasi organisasi dapat untuk memasukkan faktor budaya yang membentuk
tekanan
berbeda.
Uraian
merupakan
salah
institusi di satu
atas
yang
berbeda
menjelaskan
teori
yang
dalam
bahwa
mendasari
konteks
teori
yang
legitimasi
pengungkapan
CSR.
Pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan dilakukan untuk mendapat nilai positif dan legitimasi dari masyarakat. Teori legitimasi juga dapat digunakan untuk menjelaskan keterkaitan mekanisme
corporate
governance
dan
profitabilitas
terhadap
pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan. Mekanisme corporate governance dan profitabilitas memberi keyakinan perusahaan untuk melakukan pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan. Artinya, dengan
mekanisme
corporate governance dan
profitabilitas
yang
mencukupi, perusahaan tetap akan mendapat keuntungan positif, yaitu mendapat legitimasi dari masyarakat yang pada akhirnya akan berdampak meningkatnya keuntungan perusahaan di masa yang akan datang.
2.1.4 Good Corporate Governance
12
1.
Pengertian Good Corporate Governance Menurut Monks (dalam Kaihatu, 2006) good corporate governance (GCG) merupakan sistem yang mengatur dan mengendalikan perusahaan yang menciptakan nilai tambah (value added) untuk semua stakeholder. Ada dua hal yang ditekankan dalam konsep ini. Pertama, pentingnya hak pemegang saham untuk memperoleh informasi dengan benar dan tepat pada waktunya. Kedua, kewajiban perusahaan untuk melakukan pengungkapan (disclosure) secara akurat, tepat waktu, transparan terhadap semua informasi kinerja perusahaan, kepemilikan dan stakeholder. Penerapan corporate governance bertujuan untuk mengoptimumkan tingkat profitabilitas dan nilai perusahaan
dalam
jangka
panjang
tanpa
mengabaikan
kepentingan
stakeholder lainnya. Istilah tata kelola perusahaan di Indonesia merupakan terjemahan dari corporate governance. Kata governance berasal dari bahasa Prancis kuno yaitu gouvernance yang berarti pengendalian (control) atau regulated dan dapat dikatakan sebagai suatu keadaan yang berada dalam kondisi yang terkendali (Subroto, 2005). Definisi GCG menurut Keputusan Menteri Badan Usaha Milik Negara Nomor: KEP-117/M-MBU/2002 adalah suatu proses atau struktur yang digunakan oleh BUMN untuk meningkatkan keberhasilan usaha dan akuntabilitas perusahaan guna mewujudkan nilai pemegang saham dalam jangka waktu panjang dan tetap memperhatikan kepentingan stakeholders lainnya, berlandaskan peraturan perundang-undangan dan nilai-nilai etika.
13
Menurut Effendi (2009) pengertian GCG adalah suatu sistem pengendalian internal perusahaan yang memiliki tujuan utama mengelola risiko yang signifikan guna memenuhi tujuan bisnisnya melalui pengamanan aset perusahaan dan meningkatkan nilai investasi pemegang saham dalam jangka panjang. Komite Cadbury yang dikenal dengan sebutan Cadbury Report, mengeluarkan definisi tentang Good Corporate Governance. Menurut Komite Cadbury, Good Corporate Governance adalah prinsip yang mengarahkan dan mengendalikan perusahaan agar mencapai keseimbangan antara
kekuatan
serta
kewenangan
perusahaan
dalam
memberi
pertanggungjawabannya kepada para shareholder khususnya, dan stakeholder pada umumnya. Definisi GCG yang dikemukakan di atas berbeda namun memiliki maksud yang sama. Dari definisi di atas dapat disimpulkan GCG adalah sistem atau seperangkat peraturan yang mengatur, mengelola, dan mengawasi hubungan antara para pengelola perusahaan dengan stakeholders di suatu perusahaan. GCG tidak hanya sebagai alat pengatur dan pengendali saja namun juga sebagai nilai tambah bagi suatu perusahaan. 2.
Prinsip-prinsip Good Corporate Governance Secara umum, terdapat lima prinsip dasar good corporate governance, yaitu: a.
Akuntabilitas (accountability) Prinsip ini memuat kewenangan yang harus dimiliki oleh dewan komisaris dan dewan direksi, beserta kewajibannya kepada pemegang saham dan stakeholders lainnya. Dewan direksi, bertanggung jawab atas
14
keberhasilan pengelolaan perusahaan dalam rangka mencapai tujuan yang telah ditetapkan oleh pemegang saham. Dewan komisaris, bertanggung jawab atas keberhasilan pengawasan dan wajib memberi nasehat kepada direksi atas pengelolaan perusahaan, sehingga tujuan perusahaan dapat tercapai. b.
Pertanggungjawaban (responsibility) Prinsip ini menuntut perusahaan maupun pimpinan dan manajer perusahaan melakukan kegiatannya secara bertanggung jawab.
c.
Keterbukaan (transparency) Prinsip ini, informasi harus diungkap secara tepat waktu dan akurat. Informasi yang diharap antara lain keadaan keuangan, kinerja keuangan, kepemilikan, dan pengelolaan perusahaan. Keterbukaan dilakukan agar pemegang saham dan orang lain mengetahui keadaan perusahaan, sehingga nilai pemegang saham dapat ditingkatkan.
d.
Kewajaran (fairness) Seluruh pemangku kepentingan harus memiliki kesempatan untuk mendapat perlakuan yang adil dari perusahaan. Setiap anggota direksi harus melakukan keterbukaan jika menemukan transaksi-transaksi yang mengandung benturan kepentingan.
e.
Kemandirian (independency) Prinsip ini menuntut para pengelola perusahaan agar dapat bertindak secara mandiri, sesuai peran dan fungsi yang dimiliki tanpa ada tekanantekanan dari pihak manapun yang tidak sesuai dengan sistem operasional perusahaan yang berlaku. 15
Prinsip-prinsip good corporate governance memegang peranan penting, antara lain pemenuhan informasi penting yang berkaitan dengan kinerja perusahaan sebagai bahan pertimbangan bagi para pemegang saham atau calon investor untuk menanamkan modalnya, perlindungan terhadap kedudukan pemegang saham dari penyalahgunaan wewenang, dan penipuan yang dapat dilakukan oleh direksi atau komisaris perusahaan, juga sebagai perwujudan tanggung jawab perusahaan untuk mematuhi dan menjalankan setiap aturan yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan di negara asalnya atau tempatnya berdomisili secara konsisten, termasuk peraturan di bidang lingkungan hidup, persaingan usaha, ketenagakerjaan, perpajakan, perlindungan konsumen, dan sebagainya. 3. Manfaat Good Corporate Governance Priambodo dan Suprayitno (2007) menjelaskan manfaat-manfaat dari penerapan good corporate governance dalam suatu perusahaan yaitu: a.
Mengurangi agency cost, biaya yang timbul karena penyalahgunaan wewenang (wrong doing), ataupun berupa biaya pengawasan yang timbul untuk mencegah terjadinya suatu masalah (Daniri, 2005).
b.
Meningkatkan nilai saham perusahaan, sehingga dapat meningkatkan citra perusahaan di mata publik dalam jangka waktu yang lama (Daniri, 2005).
c.
Melindungi hak dan kepentingan pemegang saham (Sutojo dan Aldridge, 2005).
d.
Meningkatkan efisiensi dan efektivitas kerja dewan pengurus atau manajemen puncak dan manajemen perusahaan, sekaligus meningkatkan 16
mutu
hubungan
manajemen
puncak
dengan
manajemen
senior
perusahaan (Sutojo dan Aldridge, 2005). Namun manfaat yang optimal dari good corporate governance ini tidak sama dari suatu perusahaan dengan perusahaan yang lain. Hal ini dikarenakan adanya perbedaan faktor-faktor intern perusahaan, termasuk riwayat hidup perusahan, jenis usaha, jenis risiko, struktur permodalan, dan manajemennya.
4.
Mekanisme Good Corporate Governance Good Corporate Governance (GCG) adalah suatu mekanisme yang digunakan oleh organ perusahaan guna memberi nilai tambah pada perusahaan secara berkesinambungan dalam jangka panjang bagi pemegang saham, dengan tetap memperhatikan kepentingan stakeholder lainnya, berlandaskan peraturan perundangan dan norma yang berlaku. Good Corporate Governance (GCG) penting dengan tujuan untuk mengawasi kinerja para manajer. Mekanisme ini akan menjamin bahwa para investor akan menerima return yang sesuai dengan investasi yang telah mereka lakukan (Scheiver dan Vishny, 1997). Dennis dan McConnell (2003) membedakan mekanisme Good Corporate Governance (GCG) menjadi dua bagian yaitu internal dan eksternal. Mekanisme internal dilakukan oleh dewan direksi, dewan komisaris, komite audit serta struktur kepemilikan, sedangkan mekanisme eksternal lebih kepada pengaruh dari pasar untuk pengendalian pada perusahaan tersebut dan sistem hukum yang berlaku. Mekanisme Good Corporate Governance (GCG) memiliki beberapa aspek penting yang harus diperhitungkan oleh kalangan bisnis. Ada empat
17
mekanisme Good Corporate Governance (GCG)
yang dipakai dalam
penelitian ini yang bertujuan untuk mengurangi konflik keagenan, yaitu kepemilikan institusional, kepemilikan manajerial, proporsi dewan komisaris independen, dan keberadaan komite audit. 1.
Kepemilikan institusional Kepemilikan institusional merupakan saham perusahaan yang dimiliki oleh institusi atau lembaga (perusahaan asuransi, bank, perusahaan investasi, dan kepemilikan institusi lain). Investor institusional sering disebut sebagai investor yang canggih (sophisticated) sehingga seharusnya lebih dapat menggunakan informasi periode sekarang dalam memprediksi laba masa depan dibanding investor non institusional. Investor institusional diyakini mampu memonitor tindakan manajer dengan lebih baik dibanding dengan investor individual. Kepemilikan institusional yang tinggi akan meningkatkan pengelolaan laba tetapi jika pengelolaan laba yang dilakukan perusahaan bersifat oportunis maka kepemilikan institusional yang tinggi akan mengurangi manajemn laba.
2.
Kepemilikan Manajerial Kepemilikan manajerial merupakan saham perusahaan yang dimiliki oleh manajemen perusahaan. Kepemilikan manajemen terhadap saham perusahaan dipandang dapat menyelaraskan potensi perbedaan antara pemegang saham luar dengan manajemen, sehingga permasalahan keagenan diasumsikan akan hilang apabila seorang manajer adalah seorang pemilik juga. Menurut Jensen dan Meckling (dalam Kawatu,
18
2009:408) proporsi kepemilikan saham yang dikontrol oleh manajer dapat mempengaruhi kebijakan perusahaan. Kepemilikan manajerial akan mensejajarkan kepentingan manajemen dengan pemegang saham, sehingga akan memperoleh manfaat langsung dari keputusan yang diambil
serta
menanggung
kerugian
sebagai
konsekuensi
dari
pengambilan keputusan yang salah. Pernyataan tersebut menyatakan bahwa semakin besar proporsi kepemilikan manajemen pada perusahaan, maka manajemen cenderung lebih giat untuk memenuhi kepentingan pemegang saham yang notabene adalah dirinya sendiri.
3.
Komisaris Independen Komisaris independen adalah anggota dewan komisaris yang tidak memiliki hubungan keuangan, kepengurusan, kepemilikan saham ataupun hubungan keluarga dengan anggota dewan komisaris lainnya, direksi ataupun pemegang saham pengendali atau hubungan lain yang dapat mempengaruhi kemampuannya untuk bertindak independen. Keberadaan komisaris independen dimaksudkan untuk mendorong terciptanya iklim dan lingkungan kerja yang lebih obyektif serta menempatkan kewajaran dan kesetaraan di antara berbagai kepentingan termasuk kepentingan pemegang saham minoritas dan stakeholder lainnya.
4.
Komite Audit
19
Dalam rangka penyelenggaraan pengelolaan perusahaan yang baik (good corporate governance), Bursa Efek Indonesia (BEI) dan Badan Pengawas Pasar Modal (BAPEPAM) mewajibkan perusahaan publik untuk memiliki komite audit. Komite audit bertugas untuk memberi pendapat profesional yang independen kepada dewan komisaris terhadap laporan atau hal-hal yang disampaikan oleh direksi kepada dewan komisaris serta mengidentifikasi hal-hal yang memerlukan perhatian dewan komisaris.
2.1.5 Corporate Social Responsibility (CSR) Perusahaan semakin menyadari bahwa kelangsungan hidup perusahaan juga tergantung dari hubungan perusahaan dengan masyarakat dan lingkungannya tempat perusahaan beroperasi. Hal ini sejalan dengan legitimacy theory yang menyatakan bahwa perusahaan memiliki kontrak dengan masyarakat untuk melakukan kegiatannya berdasarkan nilai-nilai justice, dan bagaimana perusahaan menanggapi berbagai kelompok kepentingan untuk melegitimasi tindakan perusahaan (Tilt dalam Haniffa et al, 2005). Menurut Kotler dan Nancy (2005) Corporate Social Responsibility (CSR) merupakan komitmen perusahaan untuk meningkatkan kesejahteraan komunitas melalui praktik bisnis yang baik dan mengkontribusi sebagian sumber daya perusahaan. Menurut Wibisono (2007) Corporate Social Responsibility (CSR) merupakan bisnis yang dilakukan secara transparan dan terbuka serta berdasarkan pada nilai-nilai moral dan menjunjung tinggi rasa hormat kepada karyawan, komunitas, dan lingkungan. Corporate Social Responsibility (CSR) merupakan
20
suatu komitmen berkelanjutan oleh dunia usaha untuk bertindak etis dan memberi kontribusi kepada pengembangan ekonomi dari komunitas setempat ataupun masyarakat luas, bersaman dengan peningkatan taraf hidup pekerja beserta keluarganya (Wibisono, 2007:7). Suharto (2006) menyatakan bahwa CSR adalah operasi bisnis yang berkomitmen tidak hanya untuk meningkatkan keuntungan perusahaan secara finansial, melainkan pula untuk membangun sosial-ekonomi kawasan secara holistik, melembaga, dan berkelanjutan. Dari definisi tersebut, dapat kita lihat bahwa salah satu aspek yang dalam pelaksanaan CSR adalah komitmen berkelanjutan dalam mensejahterakan komunitas lokal masyarakat sekitar. Definisi CSR yang dikemukakan memiliki maksud yang sama. Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa Corporate Social Responsibility (CSR) adalah suatu tindakan atau konsep yang dilakukan oleh perusahaan sebagai bentuk tanggung jawab mereka terhadap sosial/lingkungan sekitar perusahaan itu berada. Pengungkapan CSR yang dilakukan oleh perusahaan–perusahaan di Indonesia dapat diukur dengan menggunakan Corporate Social Responsibility Disclosure Index (CSRI). Perusahaan melakukan pengungkapan CSR dengan harapan dapat meningkatkan reputasi dan nilai perusahaan (Rustiarini, 2010:3). 1. Prinsip-prinsip tanggung jawab sosial (Social Responsibilty) Prinsip-prinsip dasar Corporate Social Responsibility merupakan kunci dalam pelaksanaan Corporate Social Responsibility atau menjadi sumber informasi dalam pembuatan keputusan. Menurut ISO 26000 dalam Daniri (2008) prinsip-prinsip tanggung jawab sosial meliputi:
21
a.
Kepatuhan terhadap hukum
b.
Menghormati instrumen/badan-badan Internasional
c.
Menghormati stakeholders dan kepentingannya
d.
Akuntabilitas
e.
Transparansi
f.
Perilaku yang beretika
g.
Melakukan tindakan pencegahan Sedangkan Warshut (dalam Wibisono, 2007:39), mengajukan prinsip-
prinsip Corporate Social Responsibility (CSR) sebagai berikut:
a.
Prioritas Korporat Mengakui tanggung jawab sosial sebagai prioritas tertinggi korporat dan penentu utama pembangunan berkelanjutan. Dengan begitu korporat bisa membuat kebijakan, program dan praktek dalam menjalankan bisnisnya dengan cara yang bertanggungjawab secara sosial.
b.
Manajemen Terpadu Mengintegrasi kebijakan, program dan praktek ke dalam setiap kegiatan bisnis sebagai salah satu unsur manajemen dalam semua fungsi manajemen.
c.
Proses Perbaikan Secara berkesinambungan memperbaiki kebijakan, program, dan kinerja sosial korporat, berdasar temuan riset mutakhir dan memahami
22
kebutuhan sosial serta menerapkan kriteria sosial tersebut secara internasional. d.
Pendidikan Karyawan Menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan serta memotivasi karyawan.
e.
Pengkajian Melakukan kajian dampak sosial sebelum memulai kegiatan atau proyek baru dan sebelum menutup satu fasilitas atau meninggalkan lokasi pabrik.
f.
Produk dan Jasa Mengembangkan produk dan jasa yang tak berdampak negatif secara sosial.
g.
Informasi Publik Memberi informasi dan (bila diperlukan) mendidik pelanggan, distributor dan publik tentang penggunaan aman, transportasi, penyimpanan dan pembuangan produk, dan begitu pula dengan jasa.
h.
Fasilitas dan Operasi Mengembangkan, merancang, dan mengoperasikan fasilitas serta menjalankan kegiatan yang mempertimbangkan temuan kajian dampak sosial.
i.
Penelitian Melakukan atau mendukung penelitian dampak sosial bahan baku, produk, proses, emisi, dan limbah yang terkait dengan kegiatan usaha dan penelitian yang menjadi sarana untuk mengurangi dampak negatif.
23
j.
Prinsip Pencegahan Memodifikasi manufaktur, pemasaran atau penggunaan produk atau jasa, sejalan dengan penelitian mutakhir, untuk mencegah dampak sosial yang bersifat negatif.
k.
Kontraktor dan Pemasok Mendorong penggunaan prinsip-prinsip tanggung jawab sosial korporat yang dijalankan kalangan kontraktor dan pemasok, di samping itu bila diperlukan mensyaratkan perbaikan dalam praktis bisnis yang dilakukan kontraktor dan pemasok.
l.
Siaga menghadapi darurat Menyusun dan merumuskan rencana menghadapi keadaan darurat, dan bila terjadi keadaan berbahaya bekerjasama dengan layanan gawat darurat, instansi berwenang dan komunitas lokal, sekaligus mengenali potensi bahaya yang muncul.
m. Transfer Best Practice Berkontribusi pada pengembangan dan transfer praktik bisnis yang bertanggung jawab secara sosial pada semua industri dan sektor publik. n.
Memberi sumbangan Sumbangan untuk usaha bersama, pengembangan kebijakan publik dan bisnis, lembaga pemerintah dan lintas departemen pemerintah serta
24
lembaga pendidikan yang akan meningkatkan kesadaran tentang tanggung jawab sosial. o.
Keterbukaan Menumbuhkembangkan keterbukaan dan dialog dengan pekerja dan publik, mengantisipasi dan memberi respon terhadap potential hazard, dan dampak operasi, produk, limbah atau jasa.
p.
Pencapaian dan Pelaporan Mengevaluasi kinerja sosial, melaksanakan audit sosial secara berkala dan mengkaji pencapaian berdasarkan kriteria korporat dan peraturan perundang-undangan dan menyampaikan informasi tersebut pada dewan direksi, pemegang saham, pekerja, publik.
2. Manfaat Corporate Social Responsibility (CSR) Menurut Daniri (2008) terdapat dua hal yang dapat mendorong perusahaan menerapkan CSR, yaitu bersifat dari luar perusahaan (external drivers) dan dari dalam perusahaan (internal drivers). Termasuk kategori pendorong dari luar, misalnya adanya regulasi, hukum, dan diwajibkannya analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal). Pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) telah memberlakukan audit Proper (Program penilaian peningkatan kinerja perusahaan). Pendorong dari dalam perusahaan terutama bersumber dari perilaku manajemen dan pemilik perusahaan (stakeholders), termasuk tingkat kepedulian/tanggung jawab perusahaan untuk membangun masyarakat sekitar (community development responsibility).
25
Dalam
menjalankan
tanggung
jawab
sosialnya,
perusahaan
memfokuskan perhatian kepada tiga hal, yaitu profit, lingkungan, dan masyarakat. Dengan diperolehnya laba, perusahaan dapat memberi dividen bagi pemegang saham, mengalokasikan sebagian laba yang diperoleh guna membiayai pertumbuhan dan mengembangkan usaha di masa depan, serta membayar pajak kepada pemerintah. Dengan memberi perhatian kepada lingkungan sekitar, perusahaan dapat ikut berpartisipasi dalam usaha-usaha pelestarian lingkungan demi terpeliharanya kualitas kehidupan umat manusia dalam jangka panjang. Perusahaan juga ikut mengambil bagian dalam aktivitas manajemen bencana. Manajemen bencana disini bukan hanya sekedar memberi bantuan kepada korban bencana, namun juga berpartisipasi dalam usaha-usaha mencegah terjadinya bencana serta meminimalkan dampak bencana melalui usaha-usaha pelestarian lingkungan sebagai tindakan preventif untuk meminimalisir bencana. Perhatian terhadap masyarakat, dapat dilakukan dengan cara melakukan
aktivitas-aktivitas
serta
pembuatan-pembuatan
kebijakan-
kebijakan yang dapat meningkatkan kompetensi yang dimiliki di berbagai bidang, seperti pemberian beasiswa bagi pelajar di sekitar perusahaan, pendirian sarana pendidikan dan kesehatan, dan penguatan ekonomi lokal. Dengan menjalankan tanggung jawab sosial, perusahaan diharap tidak hanya mengejar keuntungan jangka pendek, namun juga turut memberi kontribusi bagi peningkatan kesejahteraan dan kualitas hidup masyarakat serta lingkungan sekitar dalam jangka panjang.
26
Kotler et al. (2005) menjelaskan bahwa terdapat banyak manfaat yang dapat diperoleh atas aktivitas CSR. Adapun manfaat dari CSR tersebut adalah sebagai berikut: a. Meningkatkan penjualan dan market share. b. Memperkuat brand positioning. c. Meningkatkan citra perusahaan. d. Menurunkan biaya operasi. e. Meningkatkan daya tarik perusahaan di mata para investor dan analisis keuangan. Dengan melaksanakan CSR secara konsisten dalam jangka panjang akan menumbuhkan rasa keberterimaan masyarakat terhadap kehadiran perusahaan. Kondisi seperti itulah yang pada gilirannya dapat memberi keuntungan ekonomi bisnis kepada perusahaan yang bersangkutan. CSR tidak harus dipandang sebagai tuntutan represif dari masyarakat, melainkan sebagai kebutuhan dunia usaha. 3. Pengungkapan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan Perusahaan selain menerapkan CSR juga perlu melakukan pengungkapan (disclosure) atas aktivitas CSR yang dilakukan kepada stakeholder. Penerapan CSR adalah suatu perbuatan perusahaan untuk menerapkan kegiatan CSR, sedangkan pengungkapan menurut Ermayanti (2009) merupakan bagian integral dari pelaporan keuangan dan secara teknis merupakan langkah akhir dalam proses akuntansi, yaitu penyajian informasi dalam bentuk statemen keuangan.
27
Pengungkapan didefenisi sebagai suatu usaha perusahaan untuk menyeimbangkan komitmen-komitmen terhadap kelompok dan individual dalam lingkungan perusahaan (Saputri dalam Samudra 2013). Pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan bukan menjadi hal yang bersifat sukarela tetapi sudah menjadi kegiatan yang wajib dinyatakan dalam laporan tahunan. Semakin besar perusahaan maka semakin diwajibkan perusahaan tersebut untuk mengungkapkan kegiatan sosialmya. Pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan yang dinyatakan dalam laporan tahunan untuk memberi informasi kepada pengguna laporan keuangan tahunan dan kegiatan sosial yang dilakukan untuk mengurangi dampak negatif yang dialami perusahaan seperti
kemungkinan
terjadinya
kesenjangan
sosial
atau
kerusakan
lingkungan. Pengungkapan sosial dan lingkungan adalah sebagai berikut: voluntary disclosures of information, both qualitative and quantitative made by organizations to inform or influence a range of audiences. the quantitative disclosures may be in financial on no-financial terms. Berdasarkan definisi tersebut
maka
pengungkapan
sosial
dan
lingkungan
merupakan
pengungkapan informasi sukarela, baik secara kuantitatif yang dibuat oleh organisasi
untuk
menginformasikan
aktivitasnya,
dan
pengungkapan
kuantitatif berupa informasi keuangan maupun non keuangan (Mathews dalam Anavianti, 2011). Pengungkapan sosial perusahaan secara rinci meliputi lingkungan fisik, energi, sumberdaya manusia, dan keterlibatan masyarakat.
28
Menurut Murtanto (2006) pengungkapan kinerja seringkali dilakukan secara sukarela (voluntary disclosure) oleh perusahaan. Adapun alasan-alasan perusahaan mengungkapkan kinerja sosial secara sukarela antara lain: a. Internal Decision Making: Manajemen membutuhkan informasi untuk menentukan efektivitas informasi sosial tertentu dalam mencapai tujuan sosial perusahaan. Walaupun hal ini sulit diidentifikasi dan diukur, namun analisis secara sederhana lebih baik daripada tidak sama sekali. b. Product Differentiation: Manajer perusahaan memiliki insentif untuk membedakan diri dari pesaing yang tidak bertanggung jawab secara sosial kepada masyarakat. Hal ini mendorong perusahaan yang peduli sosial untuk mengungkap informasi tersebut sehingga masyarakat dapat membedakan mereka dari perusahaan lain. c. Enlightened Self Interest: Perusahaan melakukan pengungkapan untuk menjaga keselarasan sosialnya dengan para stakeholder karena mereka dapat mempengaruhi pendapatan penjualan dan harga saham perusahaan. Pada saat perusahaan mulai berinteraksi dan dekat dengan lingkungan luarnya (masyarakat), maka berkembang hubungan saling ketergantungan dan kesamaan minat serta tujuan antara perusahaan dengan lembaga sosial yang ada. Interaksi ini menyebabkan perusahaan tidak bisa lagi membuat keputusan atau kebijakan yang hanya menguntungkan pihaknya saja. Tetapi perusahaan juga harus memikirkan kebutuhan pihak-pihak yang berkepentingan dengan terhadap perusahaan (stakeholder needs) (Samudra, 2013).
29
Menurut Henny dan Murtanto (dalam Kuntari dan Sulistyani, 2007) ada tiga pendekatan dalam pelaporan kinerja sosial, yaitu : 1.
Pemeriksaan Sosial (Social Audit) Pemeriksaan sosial mengukur dan melaporkan dampak ekonomi, sosial, dan lingkungan dari program-program yang berorientasi sosial dari operasioperasi yang dilakukan perusahaan. Pemeriksaan sosial dilakukan dengan membuat
suatu daftar aktivitas-aktivitas
perusahaan
yang memiliki
konsekwensi sosial, lalu auditor sosial akan mencoba mengestimasi dan mengukur dampak-dampak yang ditimbulkan oleh aktivitas-aktivitas tersebut. 2.
Laporan Sosial (Social Report) Berbagai alternatif format laporan untuk menyajikan laporan sosial telah diajukan oleh para akademis dan praktisioner. Pendekatan-pendekatan yang dapat dipakai oleh perusahaan untuk melaporkan aktivitas-aktivitas pertanggungjawaban sosial ini dirangkum oleh Dilley dan Weygandt menjadi empat kelompok sebagai berikut (Henry dan Murtanto dalam Kuntari dan Sulistyani, 2007): a.
Inventory Approach Perusahaan mengkompilasi dan mengungkap sebuah daftar yang komprehensif dari aktivitas-aktivitas sosial perusahaan. Daftar ini harus memuat semua aktivitas sosial perusahaan baik yang bersifat positif maupun negatif.
b.
Cost Approach
30
Perusahaan membuat daftar aktivitas-aktivitas sosial perusahaan dan mengungkap jumlah pengeluaran pada masing-masing aktivitas tersebut. c.
Program Management Approach Perusahaan tidak hanya mengungkap aktivitas-aktivitas pertanggung jawaban sosial tetapi juga tujuan dari aktivitas tersebut serta hasil yang telah dicapai oleh perusahaan sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan.
d.
Cost Benefit Approach Perusahaan mengungkap aktivitas yang memiliki dampak sosial serta biaya dan manfaat dari aktivitas tersebut. Kesulitan dalam penggunaan pendekatan ini adalah adanya kesulitan dalam mengukur biaya dan manfaat sosial yang diakibatkan oleh perusahaan terhadap masyarakat.
3. Pengungkapan Sosial dalam Laporan Tahunan (Disclosure In Annual Report) Pengungkapan sosial adalah pengungkapan informasi tentang aktivitas perusahaan yang berhubungan dengan lingkungan sosial perusahaan. Pengungkapan sosial dapat dilakukan melalui berbagai media antara lain laporan tahunan, laporan interim/laporan sementara, prospektus, pengumuman kepada bursa efek atau melalui media masa. Perusahaan cenderung untuk mengungkap informasi yang berkaitan dengan aktivitasnya dan dampak yang ditimbulkan oleh perusahaan tersebut. Gray et al., (dalam Devina, 2004) menyebutkan ada tiga studi, yaitu: 1.
Decision Usefulness Studies Perusahaan yang melakukan aktivitas sosial akan mengungkap dalam laporan keuangan. Sebagian dari studi-studi yang dilakukan oleh para peneliti yang mengemukakan pendapat ini menemukan bukti bahwa
31
informasi sosial dibutuhkan oleh para pemakai laporan keuangan. Para analis, banke,r dan pihak lain yang dilibatkan dalam penelitian tersebut diminta untuk melakukan pemeringkatan terhadap informasi akuntansi. Informasi akuntansi tersebut tidak terbatas pada informasi akuntansi tradisional yang telah dinilai selama ini, namun juga informasi yang lain yang relatif baru dalam wacana akuntansi. Mereka menempatkan informasi aktivitas sosial perusahaan pada posisi yang moderately important. 2.
Economic Theory Studies Studi ini menggunakan agency theory yaitu manajemen sebagai agen dari suatu prinsipal. Prinsipal diartikan sebagai pemegang saham atau tradisional users lain. Namun, pengertian prinsipal tersebut meluas menjadi seluruh interest group perusahaan yang bersangkutan. Sebagai agen, manajemen akan berupaya mengoperasikan perusahaan sesuai dengan keinginan publik.
3.
Social and Political Theory Studies Studi di bidang ini menggunakan teori stakeholder, teori legitimasi organisasi, dan teori ekonomi politik. Teori stakeholder mengasumsi bahwa eksistensi perusahaan ditentukan oleh para
stakeholder.
Pengungkapan sosial yang dilakukan oleh perusahaan umumnya bersifat voluntary (sukarela), unaudit (belum diaudit), dan unregulated (tidak dipengaruhi oleh peraturan tertentu).
32
Darwin (2004) mengatakan bahwa Corporate Social Responsibility terbagi menjadi 3 kategori yaitu kinerja ekonomi, kinerja lingkungan, dan kinerja sosial. 2.1.6 Kinerja Keuangan Kinerja perusahaan adalah suatu usaha formal yang dilaksanakan perusahaan untuk mengevaluasi efisien dan efektivitas dari aktivitas perusahaan yang telah dilaksanakan pada periode waktu tertentu. Menurut Sucipto (2003) pengertian kinerja keuangan adalah penentuan ukuran-ukuran tertentu yang dapat mengukur keberhasilan suatu organisasi atau perusahaan dalam menghasilkan laba. Dari pengertian di atas dapat ditarik simpulan bahwa kinerja keuangan adalah usaha formal yang telah dilakukan oleh perusahaan yang dapat mengukur keberhasilan perusahaan dalam menghasilkan laba, sehingga dapat melihat prospek, pertumbuhan, dan potensi perkembangan baik perusahaan dengan mengandalkan sumber daya yang ada. Suatu perusahaan dapat dikatakan berhasil apabila telah mencapai standar dan tujuan yang telah ditetapkan. Kinerja perusahaan merupakan suatu ukuran tertentu yang digunakan oleh entitas untuk mengukur keberhasilan dalam menghasilkan laba. Kinerja perusahaan adalah kemampuan perusahaan untuk menjelaskan kegiatan operasionalnya (Payatma dalam Indrawan, 2011). Menurut Febryani dan Zulfadin (2003) kinerja perusahaan merupakan hal penting yang harus dicapai oleh setiap perusahaan di manapun, karena kinerja merupakan cerminan dari kemampuan perusahaan dalam mengelola dan mengalokasikan sumber daya.
33
Dapat disimpulkan bahwa kinerja perusahaan merupakan sesuatu yang dihasilkan oleh suatu perusahaan dalam periode tertentu dengan mengacu pada standar yang telah ditetapkan sebelumnya. Hendaknya kinerja perusahaan merupakan hasil yang dapat diukur dan menggambarkan kondisi empirik suatu perusahaan dari berbagai ukuran yang disepakati. Untuk mengetahui kinerja yang telah dicapai maka dilakukan penilaian kinerja. Penilaian kinerja adalah penentuan secara periodik efektivitas operasional suatu organisasi, bagian organisasi, dan karyawan yang berdasar pada sasaran, standar, dan kinerja yang telah ditentukan. Penilaian kinerja perusahaan dapat dilihat dari segi analisis laporan keuangan dan dari segi perubahan harga saham, sehingga nilai perusahaan akan tercermin dari harga sahamnya (Fama dalam Indrawan, 2011) Tujuan dari penilaian kinerja adalah untuk memotivasi para karyawan dalam mencapai sasaran organisasi dan dalam mematuhi standar perilaku yang telah ditetapkan sebelumnya agar membuahkan hasil dan tindakan yang diinginkan. Standar perilaku tersebut berupa kebijakan manajemen atau rencana formal yang tertuang dalam anggaran perusahaan. Penilaian kinerja juga digunakan untuk menekan perilaku yang tidak semestinya dan untuk merangsang dan menegakkan perilaku yang semestinya melalui reward yang diberikan oleh perusahaan dan hasil kinerja. 1. Return On Equity (ROE) Kinerja perusahaan adalah suatu usaha formal yang dilaksanakan perusahaan untuk mengevaluasi efisien efektivitas dari aktivitas perusahaan yang telah dilaksanakan pada periode waktu tertentu. Menurut Sucipto (2003)
34
pengertian kinerja keuangan adalah penentuan ukuran-ukuran tertentu yang dapat mengukur keberhasilan suatu organisasi atau perusahaan dalam menghasilkan laba. Menurut Nurmalasari (2002:79) Return On Equity (ROE) merupakan salah satu alat utama investor yang paling sering digunakan dalam menilai suatu saham. Menurut Chrisna (2011:34) kenaikan Return On Equity (ROE) biasanya diikuti oleh kenaikan harga saham perusahaan tersebut. Semakin tinggi ROE berarti semakin baik kinerja perusahaan dalam mengelola modalnya untuk menghasilkan keuntungan bagi pemegang saham. Dapat dikatakan bahwa perusahaan tersebut dapat menggunakan modal dari pemegang saham secara efektif dan efisien untuk memperoleh laba. Dengan adanya peningkatan laba bersih maka nilai ROE akan meningkat pula sehingga para investor tertarik untuk membeli saham tersebut yang akhirnya harga saham perusahaan tersebut mengalami kenaikan. 2. ROE Sebagai Pengukur Kinerja Keuangan Perusahaan Return On Equity merupakan rasio antara laba bersih terhadap total equity. Return on Equity sering disebut juga rate of return on Net Worth yaitu kemampuan perusahaan dalam menghasilkan keuntungan dengan modal sendiri, sehingga ROE ini ada yang menyebut rentabilitas modal sendiri. Menurut Panggabean (dalam Indrawan, 2011) ROE merupakan rasio antara laba bersih dengan ekuitas pada saham biasa atau tingkat pengembalian investasi pemegang saham (rate of return on stockholder’s investment). Sedangkan Harahap (dalam Febriyani dan Zulfadin, 2003) menyebutkan bahwa ROE merupakan indikator kemampuan perbankan dalam mengelola
35
modal yang tersedia untuk mendapat laba bersih. ROE dapat diperoleh dengan cara menghitung rasio antara laba setelah pajak dengan total ekuitas. Ada dua sisi dalam menggunakan ROE: Pertama diasumsikan bahwa ROE yang akan datang merupakan perkiraan dari ROE yang lalu. Tetapi ROE yang tinggi pada masa lalu tidak menjamin ROE yang akan datang juga tinggi (Bodie et al, dalam Panggabean, 2005). Maya (dalam Indrawan, 2011) menjelaskan bahwa ROE merupakan alat yang paling sering digunakan investor dalam pengambilan keputusan investasi. ROE dapat memberik gambaran mengenai tiga hal pokok, yaitu: 1.
Kemampuan perusahaan dalam menghasilkan laba (profitability)
2.
Efisiensi perusahaan dalam mengelola asset (assets management)
3.
Utang yang dipakai dalam melakukan usaha (financial leverage) Kedua, untuk mengetahui lebih mendalam tentang ROE, para analis
menguraikan ROE menjadi beberapa perbandingan yang sering disebut Du Pont System. Untuk melakukan analisis profitabilitas yang merupakan hasil akhir dari berbagai kebijakan dan keputusan yang dijalankan perusahaan, dibutuhkan angka indikator. Analisis profitabilitas ini memberi gambaran tentang efektif tidaknya suatu perusahaan. Profitabilitas dapat diukur melalui kemampuan perusahaan mempertahankan kebijakan deviden yang stabil sementara di saat yang sama dapat mempertahankan kenaikan kekayaan pemegang saham dalam perusahaan.
2.2 Rerangka Pemikiran
36
Menurut Sucipto (2003) pengertian kinerja keuangan adalah penentuan ukuran-ukuran tertentu yang dapat mengukur keberhasilan suatu organisasi atau perusahaan dalam menghasilkan laba. Return On Equity (ROE) merupakan salah satu ukuran yang dapat mengukur keberhasilan suatu organisasi atau perusahaan. Peningkatan kinerja harus selalu dikaitkan dengan penerapan prinsip efisiensi. Namun perusahaan memiliki kewajiban terhadap masyarakat dan lingkungannya yang diatur oleh negara dalam Undang–Undang Nomor 40 tahun 2007 tentang tangung jawab sosial dan lingkungan perseroan terbatas yang dinamakan Corporate Social Responsibility (CSR). Untuk mengetahui hasil dari CSR (Corporate Social Responsibility) perlu diadakan pengungkapan CSR di dalam laporan keuangan perusahaan. Perusahaan melakukan pengungkapan CSR dengan harapan dapat meningkatkan reputasi dan nilai perusahaan (Rustiarini, 2010:3). Namun terdapat beberapa perusahaan yang tidak melakukan pengungkapan CSR dalam laporan keuangannya. Return On Equity (ROE) merupakan salah satu alat utama investor yang paling sering digunakan dalam menilai suatu saham. Meningkatkan nilai perusahaan melalui peningkatan kemakmuran pemilik atau pemegang saham juga merupakan tujuan perusahaan. Pihak manajemen sebagai pengelola perusahaan lebih banyak mengetahui informasi internal dan prospek perusahaan di masa yang akan datang dibandingkan pemilik (principal). Hal tersebut mengakibatkan konflik tentang kepentingan antara manajer dan pemegang saham yang sering disebut agency problem atau konflik keagenan. Berdasarkan teori keagenan, permasalahan tersebut dapat diatasi dengan adanya tata kelola perusahaan yang
37
baik (Good Corporate Governance). Mekanisme corporate governance memiliki kemampuan pengendalian yang dapat mensejajarkan perbedaan kepentingan antara prinsipal dan agen, sehingga dapat menghasilkan suatu laporan keuangan yang memiliki kandungan informasi laba yang berkualitas (Boediono, 2005:176). Corporate governance merupakan salah satu elemen kunci dalam meningkatkan efisiensi ekonomis yang meliputi serangkaian hubungan antara manajemen perusahaan, dewan komisaris, para pemegang saham, dan stakeholders lainnya. Corporate governance dapat menciptakan nilai tambah bagi semua pihak yang berkepentingan (stakeholder). Menurut Zahro (2012) hanya perusahaan yang menerapkan Good Corporate Governance (GCG) yang mampu memenangkan persaingan.
2.3
Perumusan Hipotesis Pengertian hipotesis menurut Sugiyono (2002) adalah jawaban sementara
terhadap rumusan penelitian dan rumusan masalah penelitian dinyatakan dalam bentuk kalimat pernyataan. Hipotesis merupakan dugaan sementara yang mungkin benar dan mungkin salah, sedangkan penolakan atau penerimaan suatu hipotesis tersebut tergantung dari hasil penelitian terhadap faktor-faktor yang dikumpulkan, kemudian diambil suatu simpulan. Berdasarkan pembahasan pada landasan teori dan penelitian terdahulu, maka dapat dikemukakan hipotesis dalam penelitian ini sebagai berikut: H1 : Proporsi dewan komisaris independen berpengaruh positif terhadap Return On Equity (ROE).
38
H2 :. Komite audit berpengaruh positif
terhadap
Return
On
Equity
(ROE). H3 : Kepemilikan
manajerial berpengaruh positif
terhadap Return On
Equity (ROE). H4 : Kepemilikan Institusional berpengaruh positif terhadap Return On Equity (ROE). H5
:
Pengungkapan Corporate Social Responsibility terhadap Return On Equity (ROE).
39
berpengaruh
positif