BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Wilayah Pesisir 2.1.1. Pengertian Wilayah Pesisir Definisi wilayah pesisir masih menjadi perdebatan banyak pihak mengingat sulitnya membuat batasan zonasi wilayah pesisir yang dapat dipakai untuk berbagai tujuan kepentingan. Kay (1999) mengelompokkan pengertian wilayah pesisir dari dua sudut pandang yaitu dari sudut akademik keilmuan dan dari sudut kebijakan pengelolaan. Dari sisi keilmuan wilayah pesisir sebagai sabuk daratan yang berbatasan dengan lautan dimana proses dan penggunaan lahan di darat secara langsung dipengaruhi oleh proses lautan dan sebaliknya. Definisi wilayah pesisir dari sudut pandang kebijakan pengelolaan meliputi jarak tertentu dari garis pantai ke arah daratan dan jarak tertentu ke arah lautan. Menurut Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor Kep.10/Men/ 2003 tentang Pedoman Perencanaan Pengelolaan Pesisir Terpadu, wilayah pesisir didefinisikan sebagai wilayah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang saling berinteraksi, dimana ke arah laut 12 mil dari garis pantai dan sepertiga dari wilayah laut untuk Kabupaten/Kota dan ke arah darat hingga batas administrasi Kabupaten/Kota. Wilayah pesisir merupakan interface antara kawasan laut dan darat yang saling memengaruhi dan dipengaruhi satu sama lainnya, baik secara biogeofisik
Universitas Sumatera Utara
maupun sosial ekonomi, wilayah pesisir mempunyai karakteristik yang khusus sebagai akibat interaksi antara proses-proses yang terjadi di daratan dan di lautan. Ke arah darat, wilayah pesisir meliputi bagian daratan, baik kering maupun terendam air, yang masih dipengaruhi sifat-sifat laut seperti pasang surut, angin laut dan perembesan air asin; sedangkan ke arah laut wilayah pesisir mencakup bagian laut yang masih dipengaruhi oleh proses-proses alami yang terjadi di darat seperti sedimentasi dan aliran air tawar, maupun yang disebabkan oleh kegiatan manusia di darat seperti penggundulan hutan dan pencemaran (Bintoro dan Sukojo, 1998). Definisi wilayah pesisir di atas memberikan suatu pemahaman bahwa ekosistem pesisir merupakan ekosistem yang dinamis dan mempunyai kekayaan habitat yang beragam, di darat maupun di laut serta saling berinteraksi antara habitat tersebut. Selain mempunyai potensi yang besar, wilayah pesisir juga merupakan ekosistem yang paling mudah terkena dampak kegiatan manusia. Pendefinisian wilayah pesisir dilakukan atas tiga pendekatan, yaitu pendekatan ekologis, pendekatan administratif, dan pendekatan perencanaan. Dilihat dari aspek ekologis, wilayah pesisir adalah wilayah yang masih dipengaruhi oleh proses-proses kelautan, dimana ke arah laut mencakup wilayah yang masih dipengaruhi oleh proses-proses daratan seperti sedimentasi. Dilihat dari aspek administratif, wilayah pesisir adalah wilayah yanag secara administrasi pemerintahan mempunyai batas terluar sebelah hulu dari Kecamatan atau Kabupaten atau kota yang mempunyai hulu, dan kearah laut sejauh 12 mil dari garis pantai untuk Provinsi atau 1/3 dari 12 mil untuk Kabupaten/Kota. Sedangkan dilihat dari aspek perencanaan, wilayah pesisir
Universitas Sumatera Utara
adalah wilayah perencanaan pengelolaan dan difokuskan pada penanganan isu yang akan ditangani secara bertanggung jawab. 2.2. Pemukiman Masyarakat di Wilayah Pesisir Secara sosial, wilayah pesisir dihuni tidak kurang dari 110 juta jiwa atau 60% dari penduduk Indonesia yang bertempat tinggal dalam radius 50 km dari garis pantai. Dapat dikatakan bahwa wilayah ini merupakan cikal bakal perkembangan urbanisasi Indonesia pada masa yang akan datang (DKP RI, 2002). Menurut Gustafson (1998), karakteristik permukiman akan dapat dianalisis dengan jelas apabila terdapat variasi tipe morfologi pantai untuk berbagai karakteristik permukiman. Salah satu faktor yang sangat perlu diperhatikan bagi permukiman-permukiman pada daerah pesisir adalah kerawanan terhadap bencana alam, terutama yang disebabkan oleh aktivitas laut, misalnya tsunami. Karakteristik permukiman penduduk yang bercirikan bentuk memanjang dengan pola mengelompok (clustered), berkepadatan tinggi, dan proporsi bangunan permanen seimbang dengan bangunan non permanen, berhubungan dengan kondisi fisik lingkungan maupun kondisi sosial ekonomi penduduk. Terbentuknya pola persebaran permukiman tertentu dipengaruhi oleh faktor internal penghuni yang berkait erat dengan kondisi sosial ekonomi penduduk, serta faktor eksternal yang didominasi oleh faktor fisik lingkungan (Gustafson, 1998). Permukiman merupakan daerah yang paling penting dalam kegiatan mitigasi bencana alam, karena merupakan tempat tinggal dan tempat berkumpulnya penduduk
Universitas Sumatera Utara
(Katayama, 2000). Kerugian terbesar akibat bencana umumnya terdapat pada daerah permukiman penduduk. Dengan demikian identifikasi karakteristik permukiman perlu dilakukan untuk dapat mengenali tingkat resiko bencana yang mungkin terjadi. Kejadian bencana gempa bumi yang diikuti tsunami di Aceh dan Nias telah menyadarkan sebagian besar penduduk Indonesia akan resiko bencana di kawasan pesisir dan pantai. Banyak sekali fenomena yang menunjukkan bahwa penduduk di daerah pesisir mengalami “trauma” atau “pobhia” terhadap kejadian gempa dan tsunami. Fenomena ini menunjukkan bahwa perlu adanya sosialisasi mengenai tingkat bahaya yang mungkin terjadi di daerah-daerah permukiman di sepanjang pantai dan pesisir, terutama pada pantai yang berhadapan langsung dengan zona tumbukan lempeng tektonik. 2.3. Ketahanan Masyarakat terhadap Bencana Tsunami Banyak upaya telah dilakukan untuk mendefinisikan ‘ketahanan’. Berbagai macam definisi dan konsep akademis yang ada dapat membingungkan. Agar operasional, lebih mudah bila kita bekerja dengan definisi-definisi luas dan karakteristik-karakteristik yang umum dipahami. Dengan pendekatan ini, sistem atau ketahanan masyarakat dapat dipahami sebagai (Komunitas Siaga Tsunami. 2005): 1. Kapasitas
untuk
menyerap
tekanan
atau
kekuatan-kekuatan
yang
menghancurkan, melalui perlawanan atau adaptasi 2. Kapasitas untuk mengelola, atau mempertahankan fungsi-fungsi dan strukturstruktur dasar tertentu, selama kejadian-kejadian yang mendatangkan malapetaka
Universitas Sumatera Utara
3. Kapasitas untuk memulihkan diri atau ‘melenting balik’ setelah suatu kejadian ‘Ketahanan’ pada umumnya dipandang sebagai suatu konsep yang lebih luas daripada ‘kapasitas’ karena konsep ini memiliki makna yang lebih tinggi daripada sekedar perilaku, strategi-strategi dan langkah-langkah pengurangan serta manajemen risiko tertentu yang biasa dipahami sebagai kapasitas. Walaupun begitu, sulit untuk memisahkan antara konsep-konsep ini dengan jelas. Dalam penggunaan sehari-hari, ‘kapasitas’ dan ‘kapasitas bertahan’ seringkali memiliki arti yang sama dengan ‘ketahanan’. Fokus pada ketahanan berarti memberikan penekanan yang lebih besar pada apa yang dapat dilakukan oleh masyarakat bagi diri mereka sendiri dan pada cara-cara untuk memperkuat kapasitas mereka, alih-alih memusatkan perhatian pada kerentanan mereka terhadap bencana atau kebutuhan-kebutuhan mereka dalam situasi darurat (Komunitas Siaga Tsunami. 2005). Istilah ‘ketahanan’ dan ‘kerentanan’ adalah dua sisi dari satu mata uang yang sama, tetapi keduanya adalah istilah yang relatif. Kita harus mengkaji individuindividu, masyarakat-masyarakat dan sistem-sistem mana yang rentan atau tahan terhadap bencana, dan sampai sejauh mana. Seperti kerentanan, ketahanan juga kompleks dan memiliki banyak aspek. Dibutuhkan berbagai segi atau lapisan ketahanan yang berbeda untuk menangani beragam tekanan yang berbeda dengan tingkat keparahan yang berbeda-beda pula (Komunitas Siaga Tsunami. 2005). ‘Masyarakat yang tahan bencana’ adalah sesuatu yang lebih bersifat idaman. Tidak ada masyarakat yang sepenuhnya aman dari bahaya alam ataupun bahayabahaya terkait kegiatan manusia. Mungkin dapat membantu bila kita membayangkan
Universitas Sumatera Utara
suatu masyarakat yang tahan bencana atau tangguh terhadap bencana sebagai ‘sebuah masyarakat dengan tingkat keamanan tertinggi yang kita ketahui memiliki kemampuan merancang dan membangun dalam lingkungan yang mengandung risiko bahaya alam’, yang meminimalkan kerentanannya dengan memaksimalkan penerapan langkah-langkah (Komunitas Siaga Tsunami. 2005). 2.4. Risiko Bencana di Wilayah Pesisir Menurut UU 24 (2007), bencana dapat didefinisikan sebagai peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor non alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis. Berdasarkan sumber dan penyebabnya, bencana dapat dibagi dua, yaitu bencana alam dan bencana non alam. Yang termasuk dalam bencana alam adalah segala jenis bencana yang sumber, perilaku, dan faktor penyebab/pengaruhnya berasal dari alam, seperti gempa bumi dan tsunami (Winaryo, 2007). Dilihat dari potensi bencana yang ada, Indonesia merupakan negara dengan potensi bahaya (hazard potency) yang sangat tinggi dan beragam baik berupa bencana alam, bencana ulah manusia ataupun kedaruratan komplek. Beberapa potensi tersebut antara lain adalah gempa bumi dan tsunami. Potensi bencana yang ada di Indonesia dapat dikelompokkan menjadi 2 kelompok utama, yaitu potensi bahaya utama ( main hazard) dan potensi bahaya ikutan (collateral hazard). Potensi bahaya utama ( main
Universitas Sumatera Utara
hazard potency) ini dapat dilihat antara lain pada peta rawan bencana gempa di Indonesia yang menunjukkan bahwa Indonesia adalah wilayah dengan zona-zona gempa yang rawan, peta potensi bencana tsunami dan lain-lain (Winaryo, 2007). 2.5. Tsunami Bencana yang dapat timbul oleh gempa bumi ialah berupa kerusakan atau kehancuran bangunan serta kemungkinan menimbulkan tsunami. Terkait dengan potensi bencana di wilayah pesisir, maka kajian difokuskan kepada bencana tsunami. Tsunami (tsu nah mee) merupakan kosa kata Jepang yang sangat populer untuk menamakan gelombang laut sangat besar yang ditimbulkan gempa laut, berhubungan dengan gempa bumi, longsor dasar laut, sesar (fault) dasar laut atau letusan gunung api bawah laut. Sering juga tsunami disebut gelombang pasang. Namun istilah ini kurang tepat, karena tsunami tidak ada hubungannya dengan peristiwa pasang surut sehari-hari (Puspito, 2006). Istilah teknisnya adalah seismic sea waves, gelombang laut akibat getaran (mendadak). Getaran ini bisa dipicu kejadian yang bermacam-macam seperti yang disebutkan di atas. Namun yang terhebat dan paling dahsyat dipicu oleh pergeseran mendadak di dasar laut, yang umumnya terjadi di sepanjang zona penunjaman (subduksi) yang juga selalu berasosiasi dengan gempa tektonik (Puspito, 2006). Di Indonesia, zona penunjaman ini merupakan tunjaman lempeng samudera yang dinamakan Lempeng Indo-Australia ke bawah lempeng benua bernama Lempeng Asia. Zona tunjaman letaknya kira-kira di laut lepas yang jika dirunut dari
Universitas Sumatera Utara
barat Indonesia dimulai dari sebelah selatan Aceh, selatan Sumatera, selatan Jawa, Bali, Lombok, Timor dan membelok ke utara di timur Maluku menerus ke Filipina. Zona yang panjang ini meliuk dan melingkar seperi sabuk dan merupakan pusat sebaran gempa dunia, sehingga dikenal sebagai Sabuk Gempa Bumi Dunia. Karena salah satu penyebab tsunami yang paling dahsyat adalah gempa, maka otomatis daerah yang dekat dengan zona di atas merupakan kawasan rawan terhadap bahaya tsunami. Sementara dapat juga dikatakan daerah seperti pantai utara Jawa serta Kalimantan, cenderung aman dari terjangan tsunami (Rahardjo, 2005). Jepang, negara asal kata tsunami adalah yang paling sering menderita karena terjangan tsunami. Sejak 1596, Jepang menderita lebih dari 10 kali bencana tsunami paling mematikan. Sebagai contoh, pada 1707 saat terjadi gempa bumi tektonik melahirkan gelombang raksasa di Osaka Bay melemparkan 1.000 kapal yang berlabuh di pantai ke daratan. Tsunami adalah gelombang pasang yang timbul akibat terjadinya gempa bumi di laut, letusan gunung api bawah laut atau longsoran di laut. Namun tidak semua fenomena tersebut dapat memicu terjadinya tsunami. Syarat utama timbulnya tsunami adalah adanya deformasi (perubahan bentuk yang berupa pengangkatan atau penurunan blok batuan yang terjadi secara tiba-tiba dalam skala yang luas) di bawah laut (Wallace, 2000). Terdapat empat faktor pada gempa bumi yang dapat menimbulkan tsunami, yaitu: 1). pusat gempa bumi terjadi di laut, 2). Gempa bumi memiliki magnitude besar, 3). kedalaman gempa bumi dangkal, dan 4). terjadi deformasi vertikal pada
Universitas Sumatera Utara
lantai dasar laut. Gelombang tsunami bergerak sangat cepat, mencapai 600-800 km per jam, dengan tinggi gelombang dapat mencapai 20 m. Pada penjelasan penting disebutkan/diterangkan sejarah kejadian tsunami yang pernah terjadi di daerah ini, dan lokasi-lokasi pantai yang rawan tsunami (Wallace, 2000). Pemetaan ancaman tsunami mendasarkan pada bentuk lahan dan kedekatan dengan garis pantai. Asumsi yang digunakan adalah semua bentuk lahan yang prosesnya dipengaruhi aktivitas gelombang laut (marin) dan kemiringan lerengnya datar-landai merupakan area yang rawan tsunami. Walaupun demikian, asumsi ini tidak sepenuhnya langsung dapat diterima mengingat pada bentuk lahan yang sama dengan kemiringan lereng yang sama potensi ancaman tsunaminya dapat berbeda jika jaraknya dengan garis pantai berbeda. Oleh karena itu kemudian digunakan kriteria tambahan, yaitu kedekatan dengan garis pantai. Untuk itu kemudian pada bentuk lahan marin yang dianggap rawan tsunami dilakukan buffering untuk menentukan potensi ancamannya. Jarak buffer ditentukan sebesar 1,5 km dari garis pantai untuk potensi ancaman tinggi, 1,5 hingga 3.5 km dari garis pantai untuk potensi sedang dan 3,5 hingga 7,5 untuk potensi rendah (Surono, 2004). Gempa bumi di Aceh menyebabkan timbulnya gelombang air laut dengan kecepatan tinggi dan mencapai kawasan pantai negara yang ada di dekatnya, Maladewa, India, Somalia, Thailand, Bagladesh, Sri Lanka, Malaysia dan terberat Indonesia. Kira-kira gelombang ini berlari dari sumbernya di Aceh lebih kurang 4.500 km untuk mencapai kawasan pantai negara lain (Surono, 2004).
Universitas Sumatera Utara
Tsunami sangat berhubungan erat dengan gempa bumi tektonik di tengah laut. Jika gempa memiliki SR, maka Jepang mengajukan skala tingkat tsunami. Kekuatan tsunami berbanding lurus dengan kekuatan gempa. Sebagai contoh, gempa dengan kekuatan 7 SR akan menyebabkan tsunami dengan kekuatan 0 dan maksimum run up 1 - 1,5 meter yang sama sekali tidak berbahaya. Namun gempa berkekuatan 8,25 SR memicu tsunami grade 3 dengan maksimum run up 8 - 12 meter. Jika 8,9 SR seperti di NAD, tentu tinggi gelombangnya jauh lebih besar dan lebih dahsyat. 2.5.1. Mekanisme terjadinya Tsunami Tsunami merupakan suatu rangkaian gelombang panjang yang disebabkan oleh perpindahan air dalam jumlah besar secara tiba-tiba. Tsunami dapat dipicu oleh kejadian gempa, letusan volkanik, dan longsoran di dasar laut, atau tergelincirnya tanah dalam volume besar, dampak meteor, dan keruntuhan lereng tepi pantai yang jatuh ke dalam lautan atau teluk. Mekanisme tsunami akibat gempa bumi dapat diuraikan dalam 4 kondisi yaitu: kondisi awal, pemisahan gelombang, amplifikasi, dan rayapan. (Mitigation Project of the National Tsunami Hazard Mitigation Program; http//www.usgs.gov)
a) Kondisi awal (Kondisi 1) Gempa bumi biasanya berhubungan dengan goncangan permukaan yang terjadi sebagai akibat perambatan gelombang elastik (elastic waves) melewati batuan dasar ke permukaan tanah. Pada daerah yang berdekatan dengan sumber-sumber gempa laut (patahan), dasar lautan sebagian akan terangkat (uplifted) secara
Universitas Sumatera Utara
permanen dan sebagian lagi turun ke bawah (down-dropped), sehingga mendorong kolom air naik dan turun. Energi potensial yang diakibatkan dorongan air ini, kemudian berubah menjadi gelombang tsunami (energi kinetik) di atas elevasi muka air laut rata-rata (mean sea level) yang merambat secara horisontal. Kasus yang diperlihatkan pada Gambar 2.1 adalah keruntuhan dasar lereng kontinental dengan lautan yang relatif dalam akibat gempa. Kasus ini dapat juga terjadi pada keruntuhan lempeng kontinental dengan kedalaman air dangkal akibat gempa.
Gambar 2.1. Kondisi awal (Kondisi 1) b) Pemisahan gelombang (Kondisi 2) Setelah beberapa menit kejadian gempa bumi, gelombang awal tsunami (Kondisi 1) akan terpisah menjadi tsunami yang merambat ke samudera dalam (Gambar 2.2) yang disebut sebagai tsunami berjarak (distant tsunami), dan sebagian lagi merambat ke pantai-pantai berdekatan yang disebut sebagai tsunami lokal (local tsunami). Tinggi gelombang di atas muka air laut rata-rata dari ke dua gelombang tsunami, yang merambat dengan arah berlawanan ini, besarnya kira-kira setengah tinggi gelombang tsunami awal (Kondisi 1).
Universitas Sumatera Utara
Kecepatan rambat ke dua gelombang tsunami ini dapat diperkirakan sebesar akar dari kedalaman laut ( gd ). Oleh karena itu, kecepatan rambat tsunami di samudera dalam akan lebih cepat daripada tsunami lokal.
Gambar 2.2. Kondisi pemisahan gelombang (Kondisi 2) c) Amplifikasi (Kondisi 3) Pada waktu tsunami lokal merambat melewati lereng kontinental, sering terjadi hal-hal seperti peningkatan amplitudo gelombang dan penurunan panjang gelombang (Gambar 2.3). Setelah mendekati daratan dengan lereng yang lebih tegak, akan terjadi rayapan gelombang yang dijelaskan pada Kondisi 4.
Gambar 2.3. Kondisi amplifikasi gelombang (Kondisi 3) d) Rayapan (Kondisi 4) Pada saat gelombang tsunami merambat dari perairan dalam, akan melewati bagian lereng kontinental sampai mendekati bagian pantai dan terjadi rayapan
Universitas Sumatera Utara
tsunami (Gambar 2.4). Rayapan tsunami adalah ukuran tinggi air di pantai terhadap muka air laut rata-rata yang digunakan sebagai acuan. Dari pengamatan berbagai kejadian tsunami, pada umumnya tsunami tidak menyebabkan gelombang tinggi yang berputar setempat (gelombang akibat angin yang dimanfaatkan oleh peselancar air untuk meluncur di pantai). Namun, tsunami datang berupa gelombang kuat dengan kecepatan tinggi di daratan yang berlainan seperti diuraikan pada Kondisi 3, sehingga rayapan gelombang pertama bukanlah rayapan tertinggi.
Gambar 2.4. Kondisi rayapan tsunami di daratan (kondisi 4) Wilayah Desa Pasir berada pada garis pantai, dengan jumlah kepala keluarga sebanyak 335 KK yang tersebar di 3 dusun, yaitu 3 dusun yaitu: Dusun Nek Puteh: 125 KK, Dusun Zakaria : 95 KK dan Dusun Bilal Gaek : 115 KK, Peta Desa Pasir menunjukkan jumlah penduduk yang berada pada zona yang rawan bencana, secara rinci dapat dilihat pada Peta berikut.
Universitas Sumatera Utara
U
Dusun Bilal Gaek 115 KK
Dusun Zakaria 95 KK
Samudera Hindia Dusun Nek Puteh 125 KK
Gambar 2.5. Peta Desa Pasir Keterangan: = Jalur evakusi = Sekolah = Kantor Latihan Kerja (KLK) = Lapangan Sepakbola = Zona bahaya I (< 7 m diatas permukaan laut) a. Dusun Nek Puteh = 19 KK b. Dusun Zakaria = 14 KK c. Dusun Bilal Gaek = 17 KK = Zona bahaya II ( 7-12 m diatas permukaan laut) a. Dusun Nek Puteh = 75 KK b. Dusun Zakaria = 57 KK c. Dusun Bilal Gaek = 69 KK = Zona bahaya III ( 12-25 m diatas permukaan laut) a. Dusun Nek Puteh = 31 KK b. Dusun Zakaria = 24 KK c. Dusun Bilal Gaek = 29 KK
Universitas Sumatera Utara
2.6. Penataan Kawasan Pesisir Sebagai Antisipasi Bencana Tsunami Pemerintah memegang peran yang sangat penting dalam perencanaan dan pengelolaan wilayah pesisir. Kay dan Alder (1998) menyoroti mengenai tatanan administratif pemerintah dalam perencanaan dan pengelolaan wilayah pesisir. Dikemukakan bahwa suatu sistem pengelolaan tidak mungkin dapat bertahan dalam jangka waktu yang lama apabila tidak ada administrasi yang bagus di dalamnya, hal ini juga berlaku untuk wilayah pesisir dimana lingkup dan kompleksitas issue melibatkan banyak pelaku. Kepentingan semua pihak yang terlibat dengan wilayah pesisir (stakeholder) perlu diatur melalui peraturan yang bertanggung jawab sehingga keberlanjutan wilayah pesisir untuk masa mendatang dapat dijaga. Sorensen dan McCreary (1990) menyebutkan faktor-faktor yang harus diperhatikan berkenaan dengan program-program pengelolaan dan administrasi untuk wilayah pesisir yaitu : a. Pemerintah harus memiliki insiatif dalam menanggapi berbagai permasalahan degradasi sumberdaya yang terjadi dan konflik yang melibatkan banyak kepentingan. b. Penanganan wilayah pesisir berbeda dengan penanganan proyek (harus dilakukan terus menerus dan biasanya bertanggung jawab kepada pihak legislatif). c. Batas wilayah hukum secara geografis harus ditetapkan (meliputi wilayah perairan dan wilayah daratan) d. Menetapkan tujuan khusus atau issue permasalahan yang harus dipecahkan melaui program-program
Universitas Sumatera Utara
e. Memiliki identitas institusional (dapat diidentifikasi apakah sebagai organisasi independen atau jaringan koordinasi dari organisasi-organisasi yang memiliki kaitan dalam fungsi dan strategi pengelolaan) f. Dicirikan dengan integrasi dua atau lebih sektor, didasarkan pada pengakuan alam dan sistem pelayanan umum yang saling berhubungan dalam penggunaan pesisir dan lingkungan. Untuk mendukung pernyataan mengenai faktor-faktor yang harus diperhatikan dalam pengelolaan dan administrasi wilayah pesisir yang komplek, 2.7. Pengetahuan dan Sikap 2.7.1. Pengetahuan Notoatmojo (2003) pengetahuan adalah merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah melakukan penginderaan terhadap suatu obyek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca indera manusia, yakni indera penglihatan, penciuman rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia di peroleh dari
mata dan telinga.
Pengetahuan juga dapat di artikan sebagai ketrampilan untuk mengatakan kembali dari ingatannya hal-hal atau informasi tentang apa saja yang telah dialaminya dan saling menghubungkan hal-hal, gejala-gejala atau kejadian-kejadian tertentu, sehingga terbentuk ketrampilan. Untuk mengatakan kembali dan menerapkannya pada situasi lain dan sesuai dengan keperluan suatu pola, metode, aturan, keadaan atau kegiatan. Lebih lanjut
Notoatmojo (2003), pengetahuan
atau kognitif
merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang. Pengetahuan yang mencakup doman kognitif mempunyai 6 (enam) tingkat yaitu :
Universitas Sumatera Utara
a.
Tahu (know) Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya,
termasuk dalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali (recall) terhadap sesuatu yang spesifik dari seluruh bahan yang di pelajari atau rangsangan yang telah diterima, oleh sebab itu, “tahu “ ini dalah merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah. b. Memahami (Comprehension) Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang obyek yang di ketahui dan dapat menginterprestasikan materi tersebut secara benar. Orang yang telah paham terhadap obyek atau materi harus dapat menjelaskan, menyimpulkan terhadap obyek yang dipelajari. c. Aplikasi (Application) Aplikasi diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi nyata / sebenarnya. Aplikasi disini dapat di artikan sebagai aplikasi atau penggunaan hukum-hukum dan prinsip. d. Analisa (Analysis) Analisa adalah suatu kemampuan untuk menjelaskan materi suatu obyek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih dalam struktur organisasi tersebut dan masih ada kaitannya satu sama lain.
Universitas Sumatera Utara
e. Sintesis (Syntesis) Sintesis menunjukkan kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru, atau menyususn formula baru dari formulasi-formulasi yang ada. f. Evaluasi (Evaluation) Evaluasi itu berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau pembenaran terhadap suatu materi atau obyek. Penilaian-penilaian itu berdasarkan suatu kriteria yang ditentukan sendiri atau menggunakan kriteria-kriteria yang ada. 2.7.2. Sikap Sikap adalah reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang terhadap stimulus atau objek. Manifestasi dari sikap tidak dapat langsung dilihat, tetapi hanya dapat ditafsirkan terlebih dahulu (Notoatmodjo, 2003). Tingkatan sikap adalah : a. Receiving (menerima), seseorang (subject) mau dan memperhatikan stimulus yang diberikan (object) b. Responding ( merespon), merespon/ mengerjakan tugas yang diberikan. c. Valuing (menghargai), mengajak orang lain untuk mengerjakan/ mendiskusikan sesuatu masalah. d. Responsible (Bertanggung-jawab), bertanggung-jawab atas sesuatu yang telah dipilihnya walau apapun risiko dan tantangannya. Menurut Allport (1954) yang dikutip Azwar (1995), sikap mempunyai tiga komponen pokok yaitu :
Universitas Sumatera Utara
a. Kepercayaan (keyakinan), ide dan konsep suatu objek b. Kehidupan emosional atau evaluasi terhadap objek c. Kecendrungan untuk bertindak Ketiga komponen sikap tersebut secara bersama-sama membentuk sikap yang utuh dan dalam penentuan sikap ini, pengetahuan, keyakinan dan emosi memegang peranan penting. 2.8. Kesiapsiagaan Masyarakat Terhadap Bencana Tsunami Kesiapsiagaan adalah upaya yang dilaksanakan untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya bencana guna menghindari jatuhnya korban jiwa, kerugian harta benda dan berubahnya tata kehidupan masyarakat. Upaya kesiapsiagaan dilakukan pada saat bencana mulai teridentifikasi akan terjadi, kegiatan yang dilakukan antara lain: (a) pengaktifan pos-pos siaga bencana dengan segenap unsur Pendukungnya, (b) pelatihan siaga / simulasi / gladi / teknis bagi setiap sektor Penanggulangan bencana (SAR, sosial, kesehatan, prasarana dan pekerjaan umum) (c) inventarisasi sumber daya pendukung kedarurata, (d) penyiapan dukungan dan mobilisasi sumberdaya/logistik, (e) penyiapan sistem informasi dan komunikasi yang cepat dan terpadu guna mendukung tugas kebencanaan, (f) penyiapan dan pemasangan instrumen sistem peringatan dini (early warning), (g) penyusunan rencana kontinjensi ( contingency plan), serta (h) mobilisasi sumber daya (personil dan prasarana/sarana peralatan).
Universitas Sumatera Utara
2.8.1. Parameter Kesiapsiagaan Masyarakat Terhadap Bencana Tsunami Menurut LIPI – UNESCO/ISDR (2006) terdapat 5 faktor kritis kesiapsiagaan untuk mengantisipasi bencana alam, terutama tsunami, yaitu: (a) pengetahuan dan sikap terhadap resiko bencana, (b) Kebijakan dan Panduan,
(c) Rencana untuk
Keadaan Darurat Bencana, (d) Sistim Peringatan Bencana dan (e) Kemampuan untuk Memobilisasi Sumber Daya. Ke lima faktor kritis ini kemudian disepakati menjadi parameter dalam assessment framework. a. Parameter pertama adalah pengetahuan dan sikap terhadap resiko bencana. Pengetahuan merupakan faktor utama dan menjadi kunci untuk kesiapsiagaan. Pengalaman bencana tsunami di Aceh dan Nias, Jogyakarta serta berbagai bencana yang terjadi di berbagai daerah lainnya memberikan pelajaran yang sangat berarti akan pentingnya pengetahuan tentang bencana alam. Ketika air laut surut ke tengah laut, banyak penduduk pesisir di Aceh yang berlari ke pantai untuk mengambil ikan-ikan yang terdampar di pantai. Mereka tidak mengetahui kalau surutnya air laut tersebut merupakan suatu pertanda akan terjadinya tsunami. Akibatnya ketika gelombang tsunami yang maha dahsyat menghantam pantai, sebagian besar tidak sempat menyelamatkan diri dan menjadi korban tsunami. Pengetahuan yang dimiliki biasanya dapat memengaruhi sikap dan kepedulian masyarakat untuk siap dan siaga dalam mengantisipasi bencana, terutama bagi mereka yang bertempat tinggal di daerah pesisir yang rentan terhadap bencana alam.
Universitas Sumatera Utara
b. Parameter ke dua adalah kebijakan dan panduan yang berkaitan dengan kesiapsiagaan untuk mengantisipasi bencana alam. Kebijakan kesiapsiagaan bencana alam sangat penting dan merupakan upaya konkrit untuk melaksanakan kegiatan siaga bencana. Kebijakan yang signifikan berpengaruh terhadap kesiapsiagaan meliputi: pendidikan publik, emergency planning, sistim peringatan bencana dan mobilisasi sumber daya, termasuk pendanaan, organisasi pengelola,
SDM dan fasilitas-fasilitas penting untuk kondisi
darurat bencana. Kebijakan-kebijakan dituangkan dalam berbagai bentuk, tetapi akan lebih bermakna apabila dicantumkan secara konkrit dalam peraturan-peraturan, seperti: SK atau Perda yang disertai dengan job description yang jelas. Agar kebijakan dapat diimplementasikan dengan optimal, maka dibutuhkan panduanpanduan operasionalnya. c. Parameter ke tiga adalah rencana untuk keadaan darurat bencana alam. Rencana ini menjadi bagian yang penting dalam kesiapsiagaan, terutama berkaitan dengan evakuasi, pertolongan dan penyelamatan, agar korban bencana dapat diminimalkan. Upaya ini sangat krusial, terutama ada saat terjadi bencana dan hari-hari pertama setelah bencana sebelum bantuan dari pemerintah dan dari pihak luar datang. Dari pengalaman bencana di Aceh dan berbagai pengalaman bencana lainnya di Indonesia, menggambarkan bahwa bantuan dari luar tidak dapat segera datang, karena rusaknya sarana infrastruktur, seperti jalan, jembatan dan pelabuhan.
Universitas Sumatera Utara
d. Parameter ke empat berkaitan dengan sistim peringatan bencana, terutama tsunami. Sistim ini meliputi tanda peringatan dan distribusi informasi akan terjadinya bencana. Dengan peringatan bencana ini, masyarakat dapat melakukan tindakan yang tepat untuk mengurangi korban jiwa, harta benda dan kerusakan lingkungan. Untuk itu diperlukan latihan dan simulasi, apa yang harus dilakukan apabila mendengar peringatan, kemana dan bagaimana harus menyelamatkan diri dalam waktu tertentu, sesuai dengan lokasi dimana masyarakat sedang berada saat terjadinya peringatan. e. Parameter ke lima yaitu: mobilisasi sumber daya. Sumber daya yang tersedia, baik sumber daya manusia (SDM), maupun pendanaan dan sarana – prasarana penting untuk keadaan darurat merupakan potensi yang dapat mendukung atau sebaliknya menjadi kendala dalam kesiapsiagaan bencana alam. Karena itu, mobilisasi sumber daya menjadi faktor yang krusial. 2.8.2. Variabel Kesiapsiagaan Masyarakat Terhadap Bencana Tsunami Untuk mengukur tingkat kesiapsiagaan masyarakat, maka lima parameter yang telah disepakati tersebut harus diterjemahkan menjadi variabel-variabel yang dapat dihitung nilainya. Jumlah variabel bervariasi antar parameter dan antar stakeholders, sesuai dengan kebutuhan dan spesifikasi masing-masing. Parameter 1: Pengetahuan dan sikap terdiri dari empat variabel, yaitu: - Pemahaman tentang bencana alam - Pemahaman tentang kerentanan lingkungan
Universitas Sumatera Utara
- Pemahaman tentang kerentanan bangunan fisik dan fasilitas-fasilitas penting untuk keadaan darurat bencana - Sikap dan kepedulian terhadap risiko bencana Parameter 2: Kebijakan, peraturan dan panduan dijabarkan kedalam tiga variabel, yaitu: - Jenis-jenis kebijakan kesiapsiagaan untuk mengantisipasi bencana alam, seperti: organisasi pengelola bencana, rencana aksi untuk tanggap darurat, sistim peringatan bencana, pendidikan masyarakat dan alokasi dana - Peraturan-peraturan yang relevan, seperti: perda dan SK - Panduan-panduan yang relevan Parameter 3: Rencana untuk keadaan darurat diterjemahkan menjadi delapan variabel, yaitu: - Organisasi pengelola bencana, termasuk kesiapsiagaan bencana - Rencana evakuasi, temasuk lokasi dan tempat evakuasi, peta, jalur dan ramburambu evakuasi - Posko bencana dan prosedur tetap (protap) pelaksanaan - Rencana Pertolongan pertama, penyelamatan, keselamatan dan keamanan ketika terjadi bencana - Rencana pemenuhan kebutuhan dasar, termasuk makanan dan minuman, pakaian, tempat/ tenda pengungsian, air bersih, MCK dan sanitasi lingkungan, kesehatan dan informasi tentang bencana dan korban - Peralatan dan perlengkapan evakuasi
Universitas Sumatera Utara
- Fasilitas-fasilitas penting untuk keadaan darurat (Rumah sakit/posko kesehatan, Pemadam Kebakaran, PDAM, Telkom, PLN, pelabuhan, bandara) - Latihan dan simulasi evakuasi Parameter 4: Sistim Peringatan Bencana Tsunami dijabarkan kedalam tiga variabel, yaitu: - Sistim peringatan bencana secara tradisional yang telah berkembang/berlaku secara turun temurun dan/atau kesepakatan lokal - Sistim peringatan bencana berbasis teknologi yang bersumber dari pemerintah, termasuk instalasi peralatan, tanda peringatan, diseminasi informasi peringatan dan mekanismenya - Latihan dan simulasi Parameter 5: Kemampuan Memobilisasi Sumber Daya tediri dari variabelvariabel sebagai berikut: - Pengaturan kelembagaan dan sistim komando - Sumber Daya Manusia, termasuk ketersediaan personnel dan relawan, keterampilan dan keahlian - Bimbingan teknis dan penyediaan bahan dan materi kesiapsiagaan bencana alam - Mobilisasi dana - Koordinasi dan komunikasi antar stakeholders yang terlibat dalam kesiapsiagaan bencana - Pemantauan dan evaluasi kegiatan kesiapsiagaan bencana
Universitas Sumatera Utara
Variabel-variabel di atas merupakan variabel-variabel yang masih bersifat umum. Untuk mendapatkan variabel yang lebih spesifik, maka kajian ini mengembangkan
variabel
berdasarkan
stakeholder,
karena
masing-masing
mempunyai spesifikasi yang berbeda dengan lainnya.. Beberapa penelitian sebelumnya yang mengkaji masalah wilayah pesisir dan potensi bencana antara lain penelitian Ruswandi dkk, 2008 tentang Identifikasi Bencana Alam dan Upaya Mitigasi yang Paling Sesuai Diterapkan di Indramayu dan Ciamis menyimpulkan bahwa hasil analisis data serta pendapat pakar menunjukkan bahwa potensial di Indramayu adalah gelombang pasang diikuti banjir dan abrasi, dan di Ciamis adalah gempabumi, tsunami diikuti oleh gelombang pasang. Bentuk mitigasi yang paling sesuai ditentukan oleh Metode Perbandingan Eksponensial dimana di Indramayu adalah gabungan pemecah ombak, peredam abrasi, dan penahan sedimentasi sejajar pantai serta gabungan penanaman mangrove, terumbu karang buatan dan revitalisasi pasir pantai. Selanjutnya studi Vijaya (2007) tentang potensi gempa dan tsunami di pesisir Kalimantan Timur menyimpulkan dampak tsunami di pesisir Kaltim memang ada, namun kecil. Sehingga gejalanya seperi kejadian pasang surut biasa. Sekecil apapun dampak tsunami, kita tetap harus waspada. Di Pulau Kalimantan frekwensi gempa sangat jarang, dan kalau pun terjadi kekuatanya kecil. Tetapi longsoran dasar laut perairan Kalimantan bisa terjadi akibat gempa yang berada di Sulawesi. Longsoran dasar laut inilah yang bisa menimbulkan tsunami.
Universitas Sumatera Utara
Kajian tentang pengetahuan dan sikap terhadap bencana dilakukan Nashir (2006), menyatakan bahwa beragam sikap atau prilaku manusia dalam menghadapi bencana. Ada yang cepat memahami dan sikap pasrah atas apa yang terjadi betapapun buruk, pahit, dan sulitnya. Ada pula yang memprotes atau memberontak serta tidak mau menerima kenyataan atas bencana yang terjadi. Terdapat pula yang menyikap bencana dengan mengambil hikmah dan menariknya ke rahasian atau relasi ketuhanan, sehingga memberi bingkai maknawi atas bencana yang terjadi, betapapun pahit dan beratnya. 2.9. Landasan Teori Menurut
LIPI–UNESCO/ISDR
(2006),
tentang
kajian
kesiapsiagaan
masyarakat dalam mengantisipasi bencana menyebutkan indikator kesiapsiagaan menggunakan parameter: (a) pemahaman tentang bencana yaitu tingkat pengetahuan dan sikap
(knowledge and attitude), (b) rencana tanggap darurat (emergency
planning), (c) peringatan bencana (warning system), dan (d) mobilisasi sumber daya (resource mobilization capacity). Konsep kesiapsiagaan ini secara lebih spesifik menurut Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Nomor 4 tahun 2008, dilaksanakan untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya bencana guna menghindari jatuhnya korban jiwa, kerugian harta benda dan berubahnya tata kehidupan masyarakat. Upaya kesiapsiagaan dilakukan pada saat bencana mulai teridentifikasi akan terjadi, kegiatan yang dilakukan antara lain: (a) pengaktifan pos-pos siaga bencana dengan segenap
Universitas Sumatera Utara
unsur pendukungnya, (b) pelatihan siaga / simulasi / gladi / teknis bagi setiap sektor penanggulangan bencana (SAR, sosial, kesehatan, prasarana dan pekerjaan umum), (c) inventarisasi sumber daya pendukung kedaruratan, (d) penyiapan dukungan dan mobilisasi sumberdaya/logistik, (e) penyiapan sistem informasi dan komunikasi yang cepat dan terpadu guna mendukung tugas kebencanaan, (f) penyiapan dan pemasangan instrumen sistem peringatan dini (early warning), (g) penyusunan rencana kontinjensi (contingency plan), dan (h) mobilisasi sumber daya (personil dan prasarana/sarana peralatan). Landasan teori tentang potesi bencana mengacu kepada Bakornas PB (2008), bahwa semakin tinggi bahaya, kerentanan dan ketidakmampuan, maka semakin besar pula risiko bencana yang dihadapi. Risiko bencana adalah konsep hubungan antara ketahanan masyarakat terhadap bencana (disaster resilience) pada daerah yang memiliki tingkat bahaya tinggi (hazard) serta memiliki kerentanan/kerawanan (vulnerability) yang tinggi (Hilman, 2007). Khusus untuk potensi bencana pada wilayah pesisir mengacu kepada indikator bencana menurut konsep Penataan Ruang dan Rencana Strategis Wilayah Pesisir (2007), menyebutkan indikator bahaya pada wilayah pantai dikategorikan atas: Zona bahaya I
: < 7 m diatas permukaan laut
Zona bahaya II
: 7 - 12 m diatas permukaan laut
Zona bahaya III
: 12 - 25 m diatas permukaan laut
Zona aman
: > 25 m diatas permukaan laut
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan indikator dan parameter yang disebutkan di atas, maka pengukuran variabel kesiapsiagaan bencana pada masyarakat pesisir menggunakan variabel yang disebutkan LIPI–UNESCO/ISDR (2006). Sedangkan variabel potensi bencana pada wilayah pesisir menggunakan konsep Penataan Ruang dan Rencana Strategis Wilayah Pesisir (2007). 2.10. Kerangka Konsep Penelitian Variabel terikat/dependen KESIAPSIAGAAN KEPALA KELUARGA PESISIR Pemahaman tentang Bencana - Pengetahuan - Sikap
Variabel bebas/independen
RISIKO BENCANA TSUNAMI DESA PASIR
Rencana Tanggap Darurat - Pengaktifan pos bencana - Pelatihan siaga bencana
Peringatan Dini Bencana - Instrumen sistem peringatan dini (early warning) - Informasi dan komunikasi cepat
Mobilisasi Sumber Daya - Mobilisasi personil dan prasarana/sarana/ peralatan - Mobilisasi logistik
Gambar 2.6. Kerangka Konsep Penelitian Sumber: LIPI–UNESCO/ISDR, 2006. Pengembangan Framework Untuk Mengukur Kesiapsiagaan Masyarakat, Jakarta.
Universitas Sumatera Utara