BAB 2 KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS
2.1
Kajian Pustaka 2.1.1
Teori Kepemilikan Manajemen Kepemilikan Manajerial, yaitu jumlah kepemilikan saham oleh pihak manajemen dari
seluruh modal saham perusahaan (Gideon 2005). Mintzberg (1983) mengemukakan dua
dimensi dari kepemilikan manajemen yaitu berdasarkan keterlibatan (involvement) atau ketidakterlibatan (detachment) yang membedakan pemilik perusahaan yang mampu memengaruhi keputusan atau tindakan perusahaan yang tidak berdasarkan konsentrasi (concentration) atau ketersebaran (dispersion) yang membedakan perusahaan yang sahamnya dipegang terpusat pada satu pihak dengan perusahaan yang sahamnya dipegang secara luas oleh banyak pihak (Chaganti dan Damanpour, 1991). Mintzberg (1983) berpendapat bahwa semakin terlibat pemilik dan terkonsentrasinya kepemilikan, semakin besar juga kekuatan pemegang saham dalam memengaruhi perusahaan. Menurut Chaganti dan Damanpour (1991), dengan demikian apabila pengaruh pemegang saham semakin kuat maka masalah agensi akan semakin dapat terselesaikan. Indikator dari kepemilikan manajerial yaitu, presentase jumlah saham yang dimiliki pihak manajemen dari seluruh modal saham perusahaan yang beredar. Indonesia merupakan negara yang
menggunakan sistem two tier, yang terdiri dari dewan komisaris dan dewan direksi. Dewan komisaris merupakan pihak yang melakukan fungsi monitoring terhadap kinerja manajemen, sedangkan dewan direksi merupakan pihak yang operasional perusahaan (Wardhani, 2007 dan Praditia 2010).
melakukan fungsi
Apabila manajer pada awalnya telah memiliki porsi yang signifikan atas ekuitas perusahaan, peningkatan dalam kepemilikan saham manajerial dapat mengarah pada penguatan posisi manajer dan penurunan tingkat hutang (McConneldan Servaes, 1995). Penurunan tingkat hutang ini dikarenakan manajer yang posisinya kuat dalam perusahaan akan mempertimbangkan dengan hati-hati pilihan tingkat hutang perusahaan (Berger et. al., 1997). Manajer dapat lebih menyukai tingkat hutang yang lebih rendah dari seharusnya dikarenakan keinginan mereka mengurangi risiko perusahaan untuk melindungi modal sumber daya mereka, atau ketidaksukaan mereka terhadap tekanan kinerja yang timbul akibat komitmen penggunaan uang tunai dalam jumlah yang besar. McConnel dan Servaes (1995) menemukan hubungan yang non-linear antara kepemilikan manajerial dengan kinerja perusahaan. Dengan adanya kepemilikan manajemen dalam sebuah perusahaan akan menimbulkan dugaan yang menarik bahwa nilai perusahaan meningkat sebagai akibat kepemilikan manajemen yang meningkat. Kepemilikan saham oleh manajmen perusahaan dapat bersumber dari program Management Stock Options Program (MSOP). Kepemilikan oleh manajemen yang besar akan efektif memonitoring aktivitas perusahaan (Journal of Business Studies Quarterly 2011, Vol. 3, No. 1, pp. 169-186 ISSN 2152-1034 © JBSQ 2011 DOES MANAGEMENT OWNERSHIP EXPLAIN THE EFFECT OF LEVERAGE ON FIRM VALUE? AN ANALYSIS OF FRENCH LISTED FIRMS). Menurut Shliefer dan Vishny (2006) menyatakan bahwa kepemilikan saham yang besar dari segi nilai ekonomisnya memiliki insentif untuk memonitor. Menurut Jensen dan Meckling (1976), ketika kepemilikan saham oleh manajemen rendah maka ada kecenderungan akan terjadinya perilaku opportunistic manajer yang meningkat akan
juga. Dengan adanya kepemilikan manajemen terhadap saham perusahaan maka dipandang dapat menyelaraskan potensi perbedaan kepentingan antara manajemen dan pemegang saham lainnya sehingga permasalahan antara agen dan prinsipal diasumsikan akan hilang apabila seorang manajer juga sekaligus sebagai pemegang saham. Morck, Shleifer dan Vishny (2006) menemukan bahwa pada level 0-5% terdapat hubungan non linier antara kepemilikan manajerial dengan kinerja perusahaan, berhubungan negatif pada level 5-25%, berhubungan positif antara kepemilikan manajerial dengan nilai perusahaan pada level 25-50% dan berhubungan negatif pada level > 50%.
2.1.2
Teori Kepemilikan Institusional Kepemilikan Institusional adalah kepemilikan saham oleh pemerintah, institusi
keuangan, institusi berbadan hukum, institusi luar negeri, dana perwalian dan institusi lainnya pada akhir tahun (Shien, et. al 2006) dalam Winanda (2009). Kepemilikan saham institusional umumnya mampu mengurangi masalah agensi di dalam perusahaan. Gedajlove (2003) dan Thomsen et al (2000) mengungkapkan bahwa pengendalian perusahaan tidak hanya terkait pada konsentrasi kepemilikan melainkan juga terkait dengan identitas pemegang saham. Hal ini diperkuat dengan pendapat dari Lee (2008). Fungsi pengendalian akan semakin efektif apabila pemegang saham memiliki kemammpuan dan pngalaman yang baik di bidang bisnis dan keuangan. Pada umumnya, investor perusahaan dan asing lebih mampu untuk mengendalikan manajemen karena memiliki pengetahuan dan sumber daya yang cukup (Lee, 2008). Gedajlove dan Shapiro
(2003) berpendapat bahwa kepemilikan saham oleh institusi atau perusahaan karena padatnya jaringan bisnis, utang, dan modal perusahaan. Dimensi dari kepemilikan institusional, yaitu saham perusahaan yang terdaftar dan dimiliki oleh lembaga institusi seperti perusahaan asuransi, bank, perusahaan investasi dan lembaga lain. Indikator dari dimensi kepemilikan institusional adalah total jumlah saham, institusi, dan investor. Pengaruh pemilik saham institusional pada perusahaan, yang dikendalikan oleh manajemen, cenderung pasif atau tidak langsung dibandingkan aktif. Pengaruh aktif, yang biasanya dimiliki oleh dewan komisaris perusahaan, adalah kekuatan untuk mengendalikan seluruh keputusan kunci terkait dengan produk, pasar, dan investasi (Chaganti dan Damanpour, 1991). Pemilik perusahaan yang tidak secara aktif mengendalikan perusahaan cenderung hanya memiliki pengaruh pasif, yaitu hanya berpengaruh untuk membatasi keputusan-keputusan manajemen. Pemilik saham institusional juga memiliki kemampuan untuk menerapkan pengaruh di pasar saham dengan membeli dan menjual saham (Chaganti dan Damanpour, 1991). Mintzberg (1983) berpendapat bahwa pemilik saham institusional juga dapat memengaruhi perusahaan dengan cara berbeda, misalnya dengan tekanan terhadap isu tertentu dan aktifitas untuk mengendalikan proses keputusan internal melalui keanggotaan dewan direksi perusahaan (Chaganti dan Damanpour, 1991). Jensen dan Meckling (1976) menyatakan bahwa kepemilikan institusional memiliki peranan yang sangat penting dalam meminimalisasi konflik keagenan yang terjadi antara manajer dan pemegang saham (Journal of Business Studies Quarterly 2011, Vol. 3, No. 1, pp. 169-186 ISSN 2152-1034 © JBSQ 2011 DOES MANAGEMENT
OWNERSHIP EXPLAIN THE EFFECT OF LEVERAGE ON FIRM VALUE? AN ANALYSIS OF FRENCH LISTED FIRMS ). Keberadaan investor institusional dianggap mampu menjadi mekanisme monitoring yang efektif dalam setiap keputusan yang diambil oleh manajer. Hal ini disebabkan investor institusional terlibat dalam pengambilan yang strategis sehingga tidak mudah percaya terhadap tindakan manipulasi laba. Monitoring tersebut tentunya akan menjamin kemakmuran untuk pemegang saham, pengaruh kepemilikan institusional sebagai agen pengawas ditekan melalui investasi mereka yang cukup besar dalam pasar modal. Tingkat kepemilikan institusional yang tinggi akan menimbulkan usaha pengawasan yang lebih besar oleh pihak investor institusional sehingga dapat menghalangi perilaku opportunistic manajer (Ownership structure and the value of the firm: The case of REITs Friday, H Swint;G Stacy Sirmans;C Mitchell Conover The Journal of Real Estate Research; 2009; 17, 1/2; ProQuest Research Library pg. 71 ). Menurut Shleifer and Vishny dalam penelitian Barnae dan Rubin (2005) bahwa institutional shareholders, dengan kepemilikan saham yang besar, memiliki insentif untuk memantau pengambilan keputusan perusahaan. Begitu pula penelitian Wening (2009) semakin besar kepemilikan oleh institusi keuangan maka semakin besar pula kekuatan suara dan dorongan untuk mengoptimalkan nilai perusahaan. Kepemilikan institusional memiliki kelebihan antara lain: •
Memiliki profesionalisme dalam menganalisis informasi sehingga dapatmenguji keandalan informasi.
•
Memiliki motivasi yang kuat untuk melaksanakan pengawasan lebih ketat atasaktivitas yang terjadi di dalam perusahaan. Menurut Smith (1996) dalam penelitian Suranta dan Midiastuty (2004)
menunjukkan bahwa aktivitas monitoring institusi mampu mengubah struktur pengelolaan perusahaan dan mampu meningkatkan kemakmuran pemegang saham. Hal ini didukung oleh Cruthley et al., dalam penelitian Suranta dan Midiastuty (2004) yang menemukan bahwa monitoring yang dilakukan institusi mampu mensubsitusi biaya keagenan lain sehingga biaya keagenan menurun dan nilai perusahaan meningkat. Menurut Tarjo (2008), kepemilikan institusional memiliki arti penting dalam memonitor manajemen. Adanya kepemilikan oleh institusional akan mendorong peningkatan pengawasan yang lebih optimal. Semakin tinggi kepemilikan institusional maka akan mengurangi perilaku opportunistic manajer yang dapat mengurangi agency cost yang diharapkan akan meningkatkan nilai perusahaan (Wahyudi dan Pawestri, 2006).
2.1.3
Corporate Social Responsibility (CSR) atau Pertanggung Jawaban Sosial Perusahan Definisi CSR (Corporate Social Responsibility) adalah sebagai komitmen
perusahaan untuk meningkatkan kesejahteraan komunitas melalui praktik bisnis yang baik dan mengkontribusikan sebagian sumber daya perusahaan Kotler dan Nancy (2005). Corporate Social Responsibility (CSR) merupakan fenomena strategi perusahaan yang mengakomodasi kebutuhan dan kepentingan stakeholder-nya. CSR timbul sejak era
dimana kesadaran akan sustainability perusahaan jangka panjang adalah lebih penting daripada sekedar profitability (Journal of Corporate Social Responsibility Vol. 14. No, 2). Program CSR merupakan investasi bagi perusahaan demi pertumbuhan dan keberlanjutan (sustainability) perusahaan dan bukan lagi dilihat sebagai sarana biaya (cost centre) melainkan sebagai sarana meraih keuntungan (profit centre). Program CSR merupakan
komitmen perusahaan untuk
mendukung terciptanya
pembangunan
berkelanjutan (sustainable development). Menurut The World Business Council for Sustainable Development dalam penelitian Rika dan Ishlahuddin (2008), Corporate Social Responsibility atau tanggung jawab sosial perusahaan didefinisikan sebagai komitmen bisnis untuk memberikan kontribusi bagi pembangunan ekonomi berkelanjutan. Hal tersebut dilakukan melalui kerja sama dengan para karyawan serta perwakilan mereka, keluarga mereka, komunitas setempat maupun masyarakat umum untuk meningkatkan kualitas kehidupan dengan cara yang bermanfaat baik bagi bisnis sendiri maupun untuk pembangunan. Menurut Boone dan Kurtz dikutip oleh Harmoni dan Ade (2008), pengertian tanggung jawab sosial (social responsibility) secara umum adalah dukungan manajemen terhadap
kewajiban
untuk
mempertimbangkan
laba,
kepuasan
pelanggan
dan
kesejahteraan masyarakat secara setara dalam mengevaluasi kinerja perusahaan. Vasin, Heyn & Company (2004) dalam Hardinsyah (2007) merumuskan definisi CSR sebagai kesanggupan untuk berkelakuan dengan cara-cara yang sesuai azas ekonomi, sosial dan lingkungan dengan tetap mengindahkan kepentingan langsung dari stakeholder. Menurut Sukada, et. al. (2007) mendefinisikan CSR sebagai upaya sungguhsungguh dari perusahaan untuk meminimumkan dampak negatif dan memaksimumkan
dampak positif operasinya dalam ranah ekonomi, sosial, dan lingkungan, terhadap seluruh pemangku kepentingannya, untuk mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan.
2.1.3.1 Dimensi Corporate Social Responsibility Tamam Achda (2007) mengartikan CSR sebagai komitmen perusahaan untuk mempertanggungjawabkan dampak operasinya dalam dimensi sosial, ekonomi, dan lingkungan serta terus-menerus menjaga agar dampak tersebut menyumbang manfaat kepada masyarakat dan lingkungan hidupnya. Menurut Chahal & Sharma (2006) dan Russo & Tencati (2009), konsep CSR sering kali diibaratkan seperti kuil/candi Yunani dengan tiga pilarnya, mencerminkan tiga dimensi CSR, yaitu: •
Economic Dimension Dimensi ekonomi dari Corporate Social Responsibility meliputi dampak ekonomi dari kegiatan operasional yang dilakukan oleh perusahaan. Dimensi ini sering kali disalahartikan sebagai masalah keuangan perusahaan sehingga dimensi ini diasumsikan lebih mudah untuk di implementasikan daripada dua dimensi dari lainnya, yaitu dimensi sosial dan lingkungan. Dimensi ekonomi tidak sesederhana melaporkan keuangan/neraca perusahaan saja, tetapi juga meliputi dampak ekonomi baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap operasional perusahaan di komunitas lokal dan di pihak-pihak yang berpengaruh terhadap perusahaan lainnya. Kunci sukses dari dimensi ekonomi adalah economic performance/kinerja keuangan perusahaan. Indikatorindikatornya seperti:
1. Product, adalah faktor yang sangat mempengaruhi sebuah perusahaan untuk dapat meningkatkan kinerja keuangannya adalah produk itusendiri. Produk yang dihasilkan sebaiknya memiliki kualitas yang tinggi, aman dipakai, dan inovatif. 2. Service, selain produk yang dihasilkan harus berkualitas, pelayanan yang baik perlu diterapkan agar dapat memuaskan konsumen. Mulai dari delivery service hingga after sales service sudah banyak dilakukan oleh beberapa perusahaan untuk meningkatkan kepuasan konsumennya. Tidakhanya itu, pemenuhan kebutuhan konsumen dan penanganan komplain yang baik juga dapat mendorong kinerja keuangan perusahaan. 3. Avoiding Actions that Damage Trust, artinya sebuah perusahaan dapat beroperasi bergantung pada kepercayaan dan dukungan masyarakat dan komunitas lokal lainnya. Beberapa perusahaan sebaiknya menghindari kegiatan yang mungkin dapat menganggu masyarakat ataupun dapat merusak lingkungan. •
Social Dimension Dimensi CSR ini merupakan dimensi yang terbaru dari pada dimensi lainnya dan menjadi perhatian utama bagi beberapa perusahaan saat ini. Dimensi sosial memiliki arti untuk bertanggung jawab terhadap dampak sosial yang diakibatkan oleh perusahaan, baik secara langsung maupun tidak langsung. Inti dari dimensi sosial sebenarnya adalah respect for people atau menghargai orang lain. Dimensi sosial meliputi antara lain:
1. Labour Practises, indikator ini berbicara banyak mengenai pekerja dalam perusahaan.
Misalnya
saja,
perusahaan
dituntut
untuk
menjaga
keselamatan pekerjanya, memperlakukannya secara adil, menghargai pekerjanya sebagai satu individu, melakukan pembagian hasil keuntungan perusahaan,dan masih banyak lagi hal-hal yang biasa dilakukan perusahaan untuk kersejahteraan pekerjanya. 2. Social Activities, Chahal & Sharma (2006) mengemukakan bahwa kegiatan-kegiatan social sudah mulai banyak dilakukan oleh perusahaan karena memang kegiatan-kegiatan ini memberikan dampak yang sangat signifikan terhadap kinerja keuangan perusahaan. Menurut Kotler &Lee (2005), kegiatan-kegiatan sosial ini dapat dibagi menjadi 3 bagian, yaitu corporate
philantrophy,
corporate
volunteering,
dan
cause-
relatedmarketing. •
Environment Dimension Dimensi ini merupakan dimensi CSR yang paling lama di diskusikan yaitu sekitar 30 tahun. Banyaknya perusahaan manufaktur pada saat ini, memiliki dampak negatif terhadap lingkungan. Oleh sebab itu, inti dari dimensi ini adalah management ofenvironment bagaimana kita bertindak agar dapat mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan yang kita timbulkan. Indikator-indikator dari dimensi ini adalah : 1. Waste Management, banyak sekali perusahaan yang sudah mulai peduli akan lingkungannya. Perusahaan tersebut melakukan recycle, reduce, reuse untuk mengurangi limbah yang dihasilkan.
2. Producing Environment Friendly Product, untuk menghasilkan produk yang ramah lingkungantentu bukanlah hal yang mudah. Cost of Good Sold nya lebih tinggi daripada produk yang tidak ramah lingkungan sehingga akan sulit bersaing dengan kompetitornya. Konsep CSR sebagai salah satu tonggak penting dalam manajemen korporat. Meskipun konsep CSR baru dikenal pada awal tahun 1970-an, namun konsep tanggung jawab sosial sudah dikemukakan oleh Howard R. Bowen pada tahun 1953. Menurut Carroll dikutip dari Dwi Kartini (2009), konsep CSR memuat komponen-komponen sebagai berikut: •
Economic responsibilities Tanggung jawab sosial perusahaan yang utama dalah tanggung jawab ekonomi karena lembaga bisnis terdiri dari aktivitas ekonomi yang menghasilkan barang dan jasa bagi masyarakat secara menguntungkan.
•
Legal responsibilities Masyarakat berharap bisnis dijalankan dengan mentaati hukum dan peraturan yang berlaku yang pada hakikatnya dibuat oleh masyarakat melalui lembaga.
•
Ethical responsibilities Masyarakat berharap perusahaan menjalankan bisnis secara etis yaitu menunjukan refleksi moral yang dilakukan oleh pelaku bisnis secara perorangan maupun kelembagaan untuk menilai suatu isu di mana penilaian ini merupakan pilihan terhadap nilai yang berkembang dalam suatu masyarakat.
•
Discretionary responsibilities
Mayarakat mengharapkan keberadaan perusahaan dapat memberikan manfaat bagi mereka.
Perkembangan CSR secara konseptual menurut Rika dan Islahuddin (2008) mulai dibahas sejak tahun 1980-an yang disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut: 1. Runtuhnya tembok Berlin yang merupakan simbol tumbangnya paham komunis dan bergantinya ke imperium kapitalisme secara global. 2. Meluasnya operasi perusahaan multinasional di negara berkembang sehingga dituntut memerhatikan keadaan sosial, lingkungan dan hak asasi manusia. 3. Globalisasi dan berkurangnya peran pemerintah telah menyebabkan munculnya lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang lebih memerhatikan isu kemiskinan sampai kekuatiran punahnya spesies tumbuhan dan hewan akibat ekosistem yang semakin labil. 4. Kesadaran perusahaan akan pentingnya citra perusahaan dalam membawa perusahaan menuju bisnis berkelanjutan.
Selain itu menurut Deegan (dalam Chariri dan Ghozali, 2007) alasan yang mendorong praktik pengungkapan tanggung jawab sosial dan lingkungan antara lain: 1. Mematuhi persyaratan yang ada dalam Undang-undang 2. Pertimbangan rasionalitas ekonomi 3. Mematuhi pelaporan dan proses akuntabilitas 4. Mematuhi persyaratan peminjaman
5. Mematuhi harapan masyarakat 6. Konsekuensi ancaman atas legitimasi perusahaan 7. Mengelola kelompok stakeholder tertentu 8. Menarik dana investasi 9. Mematuhi persyaratan industri 10. Memenangkan penghargaan pelaporan
Tanggung jawab sosial perusahaan atau Corporate Sosial Responsibility (CSR) merupakan komitmen perusahaan atau dunia bisnis untuk berkontribusi dalam pembangunan ekonomi yang berkelanjutan dengan menitikberatkan pada keseimbangan antara perhatian terhadap aspek ekonomi, sosial dan lingkungan (Priyanto, 2008).ACCA (Retno, 2006), pertanggungjawaban social perusahaan diungkapkan di dalam laporan yang disebut Sustainability Reporting. Manfaat bagi masyarakat dan perusahaan, CSR akan lebih berdampak positif bagi masyarakat, ini akan sangat tergantung dari orientasi dan kapasitas lembaga dan organisasi lain, terutama pemerintah. Studi Bank Dunia (Howard Fox, 2002) menunjukkan,
peran
pemerintah
yang
terkait
dengan
CSR
meliputi
pengembangan kebijakan yang menyehatkan pasar, keikutsertaan sumber daya, dukungan politik bagi pelaku CSR, menciptakan insentif dan peningkatan kemampuan organisasi. Untuk Indonesia bisa dibayangkan, pelaksanaan CSR membutuhkan dukungan pemerintah daerah, kepastian hukum, dan jaminan ketertiban sosial (The effects of corporate governance and institutional ownership
types on corporate social performance Johnson, Richard A;Greening, Daniel W Academy of Management Journal; Oct 2011; 42, 5; ProQuest pg. 564). Pemerintah dapat mengambil peran penting tanpa harus melakukan regulasi di tengah situasi hukum dan politik saat ini. Di tengah persoalan kemiskinan dan keterbelakangan yang dialami Indonesia, pemerintah harus berperan sebagai koordinator penanganan krisis melalui CSR (Corporate Social Responsibilty). Pemerintah bisa menetapkan bidang-bidang penanganan yang menjadi fokus, dengan masukan pihak yang kompeten. Setelah itu, pemerintah memfasilitasi, mendukung, dan memberi penghargaan pada kalangan bisnis yang mau terlibat dalam upaya besar ini. Pemerintah juga dapat mengawasi proses interaksi antara pelaku bisnis dan kelompok-kelompok lain agar terjadi proses interaksi yang lebih adil dan menghindarkan proses manipulasi atau pengancaman satu pihak terhadap yang lain. Intinya manfaat CSR bagi masyarakat yaitu dapat mengembangkan
diri
dan
usahanya
sehingga
sasaran
untuk
mencapai
kesejahteraan tercapai. Manfaat bagi perusahaan yaitu: •
Meningkatkan Citra Perusahaan Dengan melakukan kegiatan CSR, konsumen dapat lebih mengenal perusahaan sebagai perusahaan yang selalu melakukan kegiatan yang baik bagi masyarakat.
•
Memperkuat “Brand” Perusahaan Melalui kegiatan memberikan product knowledge kepada konsumen dengan cara membagikan produk secara gratis, dapat menimbulkan kesadaran
konsumen akan keberadaan produk perusahaan sehingga dapat meningkatkan posisi brand perusahaan. •
Mengembangkan Kerja Sama dengan Para Pemangku Kepentingan Dalam melaksanakan kegiatan CSR, perusahaan tentunya tidak mampu mengerjakan sendiri, jadi harus dibantu dengan para pemangku kepentingan, seperti pemerintah daerah, masyarakat, dan universitas lokal. Maka perusahaan dapat membuka relasi yang baik dengan para pemangku kepentingan tersebut.
•
Membedakan Perusahaan dengan Pesaingnya Jika CSR dilakukan sendiri oleh perusahaan, perusahaan mempunyai kesempatan
menonjolkan
keunggulan
komparatifnya
sehingga
dapat
membedakannya dengan pesaing yang menawarkan produk atau jasa yang sama. •
Menghasilkan Inovasi dan Pembelajaran untuk Meningkatkan Pengaruh Perusahaan memilih kegiatan CSR yang sesuai dengan kegiatan utama perusahaan memerlukan kreativitas. Merencanakan CSR secara konsisten dan berkala dapat memicu inovasi dalam perusahaan yang pada akhirnya dapat meningkatkan peran dan posisi perusahaan dalam bisnis global. Sustainability Reporting adalah pelaporan yang dilakukan oleh perusahaan
untuk mengukur, mengungkapkan (disclose), serta upaya perusahaan untuk menjadi perusahaan yang akuntabel bagi seluruh pemangku kepentingan (stakeholders) untuk tujuan kinerja perusahaan menuju pembangunan yang berkelanjutan. Perusahaan yang telah go public memiliki kewajiban membuat
laporan keberlanjutan (sustainability report) sesuai dengan amanat Pasal 66 Ayat 2 Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Bapepam-LK telah mengeluarkan aturan yang mengharuskan perusahaan publik untuk mengungkapkan pelaksanaan kegiatan CSR di dalam laporan tahunannya. Melalui penerapan Sustainability Reporting diharapkan perusahaan dapat berkembang secara berkelanjutan (sustainable growth) yang didasarkan atas etika bisnis (business ethics). Proses penyajian Sustainability Reporting dilakukan melalui 5 (lima) mekanisme, yaitu : •
Penyusunan kebijakan perusahaan. Dalam hal ini, perusahaan membuat kebijakan yang berkaitan dengan sustainability development, kemudian mempublikasikan kebijakan tersebut beserta dampaknya.
•
Tekanan pada rantai pemasok (supply chain). Harapan masyarakat pada perusahaan untuk memberikan produk dan jasa yang ramah lingkungan juga memberikan tekanan pada perusahaan untuk menetapkan standar kinerja dan sustainability reporting kepada para pemasok dan mata rantainya.
•
Keterlibatan stakeholders.
•
Voluntary codes dalam mekanisme ini, masyarakat meminta perusahaan untuk mengembangkan aspek-aspek kinerja sustainability dan meminta perusahaan untuk membuat laporan pelaksanaan sustainability. Apabila perusahaan belum melaksanakan, maka perusahaan harus memberikan penjelasan.
•
Rating dan benchmaking, pajak dan subsidi, ijin-ijin yang dapat di perdagangkan, serta kewajiban dan larangan.
Sustainability Reporting dapat diterbitkan secara terpisah maupun terintegrasi dalam laporan tahunan (annual report). Beberapa alasan perusahaan menyajikan Sustainability Reporting terpisah dari annual report, antara lain : •
Sustainability Reporting sebagai alat komunikasi bagi manajemen dengan para stakeholder untuk menyampaikan pesan bahwa perusahaan telah menjalankan sustainability development
•
Memperoleh image baik (citra positif) dari stakeholder.
•
Pencarian legitimasi dari stakeholder. SustainabilityReporting meliputi pelaporan mengenai ekonomi, lingkungan
dan pengaruh social terhadap kinerja organisasi. Sustainability reporting harus menjadi dokumen strategik yang berlevel tinggi yang menempatkan isu, tantangan dan peluang Sustainability Development yang membawanya menuju kepada core business dan sektor industrinya.
2.1.4
Nilai Perusahaan Nilai perusahaan adalah persepsi investor terhadap tingkat keberhasilan
perusahaan yang sering dikaitkan dengan harga saham (Sujoko dan Soebiantoro, 2007). Nilai perusahaan merupakan bentuk memaksimalkan tujuan perusahaan melalui peningkatan kemakmuran para pemegang saham Memaksimumkan kemakmuran pemegang saham adalah memaksimumkan present value keuntungan pemegang saham yang diharapkan dalam investasi. Present value merupakan nilai sekarang dari keuntungan yang diharapkan oleh pemegang saham yang akan diterima pada masa mendatang. Dimensi dari nilai perusahaan adalah keuntungan harga saham indikatornya
dividen, dan balance scorecard indikatornya pencapaian kinerja (key performance indicators). Kemakmuran pemegang saham meningkat apabila harga saham yang dimiliki meningkat. Akan tetapi di balik tujuan tersebut masih terdapat konflik antara pemilik perusahaan dengan penyedia dana sebagai kreditur. Jika perusahaan berjalan lancar, maka nilai saham perusahaan akan meningkat, sedangkan nilai hutang perusahaan dalam bentuk obligasi tidak terpengaruh sama sekali. Jadi dapat disimpulkan bahwa nilai dari saham kepemilikan bisa merupakan index yang tepat untuk mengukur tingkat efektifitas perusahaan. Nilai perusahaan merupakan persepsi investor terhadap perusahaan, yang sering dikaitkan dengan harga saham. Harga saham yang tinggi membuat nilai perusahaan juga tinggi. "Harga saham merupakan harga yang terjadi pada saat saham diperdagangkan di pasar" (Fakhruddin & Hadianto, 2001). Jensen (2001) mengungkapkan bahwa untuk mencapai tujuan perusahaan dan meningkatkan nilai perusahaan dalam jangka panjang manajer dituntut untuk membuat keputusan yang memperhitungkan kepentingan semua stakeholders, dimana seperti yang dinyatakan oleh Ismiyanti dan Hanafi (2004) para stakeholder ini masing-masing memiliki kepentingan sendiri. Menurut Van Horne (dikutip Diyah dan Erman, 2009) “Value is respresented by the market price of the company’s commom stock which in turn,is afunction of firm’s investement, financing and dividend decision.” Harga pasar saham menunjukkan penilaian sentral di semua pelaku pasar, harga pasar saham merupakan barometer kinerja perusahaan. Menurut Rika dan Ishlahuddin (2008), nilai perusahaan didefinisikan sebagai nilai pasar. Alasannya karena nilai perusahaan dapat memberikan kemakmuran atau
keuntungan bagi pemegang saham secara maksimum jika harga saham perusahaan meningkat. Semakin tinggi harga saham, maka makin tinggi keuntungan pemegang saham sehingga keadaan ini akan diminati oleh investor karena dengan permintaan saham yang meningkatkan menyebabkan nilai perusahaan juga akan meningkat. Nilai perusahaan lazim diindikasikan dengan price to book value. Price to book value yang tinggi akan membuat pasar percaya atas prospek perusahaan ke depan. Hal itu juga yang menjadi keinginan para pemilik perusahaan, sebab nilai perusahaan yang tinggi mengindikasikan kemakmuran pemegang saham juga tinggi (Soliha & Taswan, 2002). Dalam realitasnya tidak semua perusahaan menginginkan harga saham tinggi (mahal), karena takut tidak laku dijual atau tidak menarik investor untuk membelinya. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya perusahaan-perusahaan yang go public di BEJ melakukan stock split (pemecahan saham) di bursa efek (ICMD, 2006). Nilai perusahaan pada dasarnya diukur dari beberapa aspek salah satunya adalah harga pasar saham perusahaan, karena harga pasar saham perusahaan mencerminkan penilaian investor atas keseluruhan ekuitas yang dimiliki (Wahyudi dan Pawestri, 2006). Memaksimumkan nilai perusahaan (atau harga saham) tidak identik dengan memaksimumkan laba per lembar saham (earning per share, EPS). Hal ini karena disebabkan oleh : • Memaksimumkan EPS mungkin memusatkan pada EPS saat ini. • Memaksimumkan EPS mengabaikan nilai waktu uang. • Tidak memperhatikan faktor risiko. Nilai perusahaan dapat dicapai dengan maksimum jika para pemegang saham menyerahkan urusan pengelolaan perusahaan kepada orang-orang yang berkompeten
dalam bidangnya, seperti manajer maupun komisaris. Menurut Suharli (2002) secara umum banyak metode dan teknik yang telah dikembangkan dalam penilaian perusahaan, di antaranya adalah : •
Pendekatan laba antara lain metode rasio tingkat laba atau price earning ratio, metode kapitalisasi proyeksi laba.
•
Pendekatan arus kas antara lain metode diskonto arus kas.
•
Pendekatan dividen antara lain metode pertumbuhan dividen.
•
Pendekatan aktiva antara lain metode penilaian aktiva.
•
Pendekatan harga saham
•
Pendekatan economi value added
Dalam penelitian ini bisa dilakukan berbagai macam pendektan, kebanyakan investor menilai perusahaan dengan menggunakan rasio Tobins’s Q dibandingkan dengan rasio price book value. Rasio ini dinilai bisa memberikan informasi paling baik, karena dalam Tobin’s Q memasukkan semua unsur hutang dan modal saham perusahaan, tidak hanya saham biasa saja dan tidak hanya ekuitas perusahaan yang dimasukkan namun seluruh asset perusahaan. Dengan memasukkan seluruh aset perusahaan berarti perusahaan tidak hanya terfokus pada satu tipe investor saja yaitu investor dalam bentuk saham namun juga untuk kreditur karena sumber pembiayaan operasional perusahaan bukan hanya dari ekuitasnya saja tetapi juga dari pinjaman yang diberikan oleh kreditur (Sukamulja, 2004). Jadi semakin besar nilai Tobin’s Q menunjukkan bahwa perusahaan memiliki prospek pertumbuhan yang baik. Hal ini dapat terjadi karena semakin besar nilai pasar asset perusahaan dibandingkan dengan nilai buku asset perusahaan maka semakin besar
kerelaan investor untuk mengeluarkan pengorbanan yang lebih untuk memiliki perusahaan tersebut (Sukamulja, 2004). Selain itu nilai perusahaan dapat dihitung dengan menggunakan ratio price book value dan nilai buku.
2.1.5
Pengungkapan Sosial dalam Laporan Tahunan Hendriksen dalam penelitian Rika dan Ishlahuddin (2008), mendefinisikan
pengungkapan (disclosure) sebagai penyajian informasi yang dibutuhkan untuk pengoperasian secara optimal pasar modal yang efisien. Pengungkapan ada yang bersifat wajib (mandatory) yaitu pengungkapan informasi wajib dilakukan oleh perusahaan berdasarkan pada peraturan atau standar tertentu, dan ada yang bersifat sukarela (voluntary) yang merupakan pengungkapan informasi tambahan dari perusahaan. Setiap pelaku ekonomi selain berusaha untuk kepentingan pemegang saham dan berfokus pada pencapaian laba disamping itu juga mempunyai tanggung jawab sosial terhadap masyarakat sekitar, dan hal itu perlu diungkapkan dalam laporan tahunan, sebagaimana dinyatakan oleh Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) No.1 (Revisi 2009) Paragraf kedua belas: Entitas dapat pula menyajikan, terpisah dari laporan keuangan, laporan mengenai lingkungan hidup dan laporan nilai tambah (value added statement), khususnya bagi industri dimana faktor-faktor lingkungan hidup memegang peranan penting dan bagi industri yang menganggap karyawan sebagai kelompok pengguna laporan yang memegang peranan penting. Laporan tambahan tersebut di luar ruang lingkup Standar Akuntansi Keuangan. PSAK No. 1 (revisi 2009) tersebut menunjukkan bahwa perusahaan yang ada di Indonesia diberi suatu kebebasan dalam mengungkapkan informasi tanggung jawab
sosial dan lingkungan dalam laporan keuangan tahunan perusahaan. Bapepam selaku lembaga yang mengatur dan mengawasi pelaksanaan pasar modal dan lembaga keuangan di Indonesia telah mengeluarkan beberapa aturan tentang disclosure yang harus dilakukan oleh perusahaan-perusahaan yang go public. Peraturan tersebut dimaksudkan untuk melindungi para pemilik modal dari adanya asimetri informasi. Perusahaan dapat memberikan disclosure melalui laporan tahunan yang telah diatur oleh Bapepam (mandatory disclosure), maupun melalui pengungkapan sukarela (voluntary disclosure) sebagai tambahan pengungkapan minimum yang telah ditetapkan. Di Indonesia, pengungkapan dalam laporan keuangan baik yang bersifat wajib maupun sukarela telah diatur dalam PSAK No.1. Selain itu pemerintah melalui Keputusan Ketua Bapepam No: kep-134/BL/2006 juga mengatur mengenai pengungkapan informasi dalam laporan keuangan tahunan perusahaan-perusahaan di Indonesia. Pengungkapan informasi yang diatur oleh pemerintah ataupun lembaga profesional (dalam hal ini adalah Ikatan Akuntan Indonesia) merupakan pengungkapan yang wajib dipatuhi oleh perusahaan yang telah publik. Tujuan pemerintah mengatur pengungkapan informasi adalah untuk melindungi kepentingan para investor dari ketidakseimbangan informasi antara manajemen dengan investor karena adanya kepentingan manajemen. Pengungkapan sosial yang dilakukan oleh perusahaan umumnya bersifat voluntary (sukarela), unaudited (belum diaudit), dan unregulated (tidak dipengaruhi oleh peraturan tertentu). Zuhroh dan Putu (2003) menyebutkan tema-tema yang termasuk dalam wacana Akuntansi Pertanggungjawaban Sosial adalah: •
Kemasyarakatan
Tema ini mencakup aktivitas kemasyarakatan yang diikuti oleh perusahaan, misalnya aktivitas yang terkait dengan kesehatan, pendidikan dan seni serta pengungkapan aktivitas kemasyarakatan lainnya. •
Ketenagakerjaan Tema ini meliputi dampak aktivitas perusahaan pada orang-orang dalam perusahaan tersebut. Aktivitas tersebut meliputi : rekruitmen, program pelatihan, gaji dan tuntutan, mutasi dan promosi dan lainnya.
•
Produk dan Konsumen Tema ini melibatkan aspek kualitatif suatu produk atau jasa, antara lain pelayanan, kepuasan pelanggan, kejujuran dalam iklan, kejelasan/kelengkapan isi pada kemasan, dan lainnya.
•
Lingkungan Hidup Tema ini meliputi aspek lingkungan dari proses produksi, yang meliputi pengendalian polusi dalam menjalankan operasi bisnis, pencegahan dan perbaikan kerusakan lingkungan akibat pemrosesan sumber daya alam dan konversi sumber daya alam.
2.2
Kajian Terdahulu 2.2.1
Hubungan antara Kepemilikan Manajemen Terhadap Nilai Perusahaan Istilah struktur kepemilikan digunakan untuk menunjukkan bahwa variabel-
variabel yang penting di dalam struktur modal tidak hanya ditentukan oleh jumlah utang dan equity tetapi juga oleh prosentase kepemilikan oleh manager dan institusional (Jensen dan Meckling:1976 dalam H.Pua:2003), artinya bahwa struktur kepemilikan juga menggambarkan berapa besarnya saham yang dimiliki oleh publik, insider dan outsider
ownership (JOURNAL OWNERSHIP STRUCTURE, DIVIDEND POLICY AND DEBT POLICY AND FIRM VALUE, Vol. 3, No. 1). Menurut agency teory, pemisahan antara kepemilikan dan pengelolaan perusahaan dapat menimbulkan konflik keagenan. Konflik keagenan ini disebabkan kepentingan yang berbeda antara prinsipal dan agen untuk memaksimalkan utitilasnya masing-masing. Perbedaan kepentingan antara manajemen dan pemegang saham mengakibatkan manajemen berperilaku curang dan tidak etis sehingga merugikan pemegang saham. Oleh karena itu diperlukan suatu mekanisme pengendalian yang dapat mensejajarkan perbedaan kepentingan antara manajemen dengan saham. Manajer
yang
sekaligus
pemegang
saham
akan
meningkatkan
nilai
perusahaan karena dengan meningkatkan nilai perusahaan, maka nilai kekayaannya sebagai pemegang saham akan meningkat juga. Penelitian yang mengkaitkan kepemilikan manajemen dengan nilai perusahaan telah banyak dilakukan namun dengan hasil yang berbeda-beda pula. Penelitian Taswan dan Soliha (2002) menemukan hubungan yang signifikan dan positif antara kepemilikan manajemen dan nilai perusahaan. Hasil penelitian Soepriyanto (2004) juga membuktikan bahwa kepemilikan manajerial berpengaruh positif terhadap nilai perusahaan. Begitu pula menurut Siallagan dan Machfoedz (2006) menyimpulkan bahwa kepemilikan manajerial berpengaruh
negatif terhadap nilai perusahaan yang diukur
dengan Tobin's Q. Menurut Jensen dan Meckling (1976) semakin besar kepemilikan saham
oleh
manajemen
maka semakin kuat kecenderungan
manajemen
untuk
mengoptimalkan penggunaan sumber daya sehingga mengakibatkan kenaikan nilai
perusahaan. Berdasarkan pendapat-pendapat tersebut maka dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut: H1 : Kepemilikan manajerial berpengaruh positif terhadap nilai perusahaan.
2.2.2
Hubungan antara Kepemilikan Institusional Terhadap Nilai Perusahaan Kepemilikan Institusional mempunyai arti penting dalam memonitor manajemen
dalam mengelola perusahaan. Investor institusional dapat disubstitusikan untuk melaksanakan fungsi monitoring mendisiplinkan penggunaan debt (utang) dalam struktur modal. Semakin besar kepemilikan institusional maka semakin
efisien
fungsi
monitoring terhadap manajemen dalam pemanfaatan asset perusahaan serta pencegahan pemborosan
oleh manajemen (JOURNAL OWNERSHIP STRUCTURE, DIVIDEND
POLICY AND DEBT POLICY AND FIRM VALUE, Vol. 3, No. 1). Bukti empiris mengenai pengaruh kepemilikan institusional terhadap nilai perusahaan ditunjukkan dalam penelitian Sujoko dan Soebiantoro (2007) yang membuktikan bahwa kepemilikan institusional berpengaruh positif terhadap nilai perusahaan. Meningkatkan kepemilikan institusional menjadikan fungsi pengawasan akan berjalan secara efektif dan menjadikan manajemen semakin berhati-hati dalam memperoleh dan mengelola pinjaman (utang), karena jumlah utang yang semakin meningkat akan menimbulkan financial distress. Terjadinya financial distress akan mengakibatkan penurunan nilai perusahaan. Menurut Wening (2009) Semakin besar kepemilikan oleh institusi keuangan maka semakin besar pula kekuatan suara dan dorongan untuk mengoptimalkan nilai perusahaan. Menurut Xu and Wang, et al. dan Bjuggren et al., dalam penelitian Tarjo
(2008), bahwa kepemilikan institusional berpengaruh secara positif terhadap nilai perusahaan dan kinerja perusahaan. Hal ini berarti menunjukkan bahwa kepemilikan institusional menjadi mekanisme yang handal sehingga mampu memotivasi manajer dalam meningkatkan kinerjanya yang pada akhirnya dapat meningkatkan nilai perusahaan.Shleifer dan Vishny dikutip oleh Tendi Haruman (2007) menyatakan bahwa jumlah pemegang saham besar mempunyai arti penting dalam memonitor perilaku manajer dalam perusahaan. Dengan adanya kepemilikan institusional akan dapat memonitor tim manajemen secara efektif dan dapat meningkatkan nilai perusahaan. Namun penelitian diatas berbeda dengan penelitian Jennings (2002) menunjukkan bahwa kepemilikan institusional tidak berhasil meningkatkan nilai perusahaan, karena kepemilikan institusional menurunkan nilai perusahaan, maka dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut: H2: Kepemilikan institusional berpengaruh positif terhadap nilai perusahaan
2.2.3
Hubungan antara Corporate Social Responsibility Terhadap Nilai Perusahaan Tujuan utama perusahaan adalah meningkatkan nilai perusahaan. Nilai
perusahaan akan terjamin tumbuh secara berkelanjutan jika perusahaan memperhatikan dimensi ekonomi, sosial dan lingkungan hidup karena keberlanjutan merupakan keseimbangan antara kepentingan-kepentingan ekonomi, lingkungan dan masyarakat (Journal of Corporate Social Responsibility Vol. 14. No, 2). Oleh sebab itu dengan adanya praktik CSR yang baik, diharapkan nilai perusahaan akan dinilai dengan baik oleh investor (Rika dan Islahuddin, 2008).
Corporate social responsibility atau tanggung jawab sosial perusahaan adalah bentuk pertanggungjawaban yang berupa informasi yang disampaikan dalam laporan tahunan perusahaan mengenai tanggung jawab perusahaan atas kegiatan operasi perusahaan tersebut kepada masyarakat. Tanggung jawab sosial Perusahaan
merupakan
komitmen perusahaan atau dunia bisnis untuk
berkontribusi dalam pembangunan ekonomi yang berkelanjutan dengan menitik beratkan pada keseimbangan antara perhatian terhadap aspek ekonomi, sosial dan lingkungan (Priyanto, 2008). Hackson dan Milne (1996) mengatakan bahwa perusahaan yang berorientasi pada konsumen diperkirakan akan memberikan informasi mengenai pertanggungjawaban sosial karena dapat meningkatkan image perusahaan. Semakin banyak informasi sosial dan lingkungan yang disampaikan oleh suatu perusahaan maka investor akan cenderung berinvestasi kepada perusahaan tersebut yang akan berdampak pada meningkatnya nilai perusahaan. Corporate social responsibility atau tanggung jawab sosial perusahaan dapat memberikan kontribusi terhadap kinerja keuangan. Hal ini dikarenakan dalam pengambilan keputusan, perusahaan harus mempertimbangkan berbagai masalah sosial dan lingkungan jika perusahaan ingin memaksimalkan hasil keuangan jangka panjang yang nantinya dapat meningkatkan nilai perusahaan (Matteww Brine, 2008). Penelitian Zuhroh dan Putu (2003) menyatakan bahwa pengungkapan sosial dalam laporan tahunan perusahaan yang go public telah terbukti berpengaruh terhadap volume perdagangan saham bagi perusahaan yang masuk kategori high profile. Artinya bahwa investor sudah memulai merespon dengan baik informasi-informasi sosial yang disajikan perusahaan dalam laporan tahunan. Semakin luas pengungkapan sosial yang
dilakukan perusahaan dalam laporan tahunan ternyata memberikan pengaruh terhadap volume (tingkatan) perdagangan saham perusahaan dimana terjadi lonjakan perdagangan pada seputar publikasi loparan tahunan sehingga meningkatkan nilai perusahaan. H3 : Corporate perusahaan.
Social
Responsibility
berpengaruh
positif
terhadap
nilai
2.3
Kerangka Pemikiran Berdasarkan dukungan landasan teoritik yang diperoleh dari eksplorasi teori yang
dijadikan rujukan kospetual variabel penelitian , maka dapat disusun kerangka pemikiran sebagai berikut:
Kepemilikan Manajemen (X1)
Kepemilikan
Nilai Perusahaan
Institusional
(Y)
(X2)
Corporate Social Responsibility (X3)
Keterangan : : Menggambarkan pengaruh secara simultan : Menggambarkan pengaruh secara parsial Gambar 2.1 Kerangka Pemikiran
2.4
Hipotesis Hipotesis penelitian berdasarkan tujuan-tujuan penelitian adalah sebagai berikut: 1. Hipotesis untuk T–1 • H0 : tidak ada pengaruh secara signifikan antara Kepemilikan Manajemen terhadap Nilai Perusahaan . • H1 : ada pengaruh secara signifikan antara Kepemilikan Manajemen terhadap Nilai Perusahaan . 2. Hipotesis untuk T – 2 • H0 : tidak ada pengaruh secara signifikan antara Kepemilikan Institusional terhadap Nilai Perusahaan . • H1 : ada pengaruh secara signifikan antara Kepemilikan Institusional terhadap Nilai Perusahaan . 3. Hipotesis untuk T – 3 • H0 : tidak ada pengaruh secara signifikan antara CSR terhadap nilai perusahaan . • H1 : ada pengaruh secara signifikan antara CSR terhadap nilai perusahaan . 4. Hipotesis untuk T – 4 • H0 : tidak ada pengaruh secara signifikan antara Kepemilikan Manajemen, Kepemilikan Institusional, dan Corporate Social Responsibility terhadap Nilai Perusahaan . • H1 : ada pengaruh secara signifikan antara Kepemilikan Manajemen, Kepemilikan Institusional, dan Corporate Social Responsibility terhadap Nilai Perusahaan . Keterangan :
Jika nilai probabilitas lebih kecil dari pada atau sama dengan nilai probabilitas Sig (0,005 ≤ Sig), maka Ho diterima dan Ha ditolak, artinya tidak signifikan.
Jika nilai probabilitas lebih besar dari pada atau sama dengan nilai probabilitas Sig (0,005 ≥ Sig), maka Ho ditolak dan Ha diterima, artinya signifikan.