BAB 2
KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS 2.1 Kajian Pustaka 2.1.1 Manajemen Sumber Daya Manusia 2.1.1.1 Pengertian Manajemen Sumber Daya Manusia Menurut Almasdi (1996) dalam Ardana, et al (2012:5), sumber daya manusia (SDM) merupakan kekuatan daya pikir dan berkarya manusia yang masih tersimpan dalam dirinya yang perlu digali, dibina serta dikembangkan untuk dimanfaatkan sebaik-baiknya bagi kesejahteraan kehidupan manusia. SDM adalah kemampuan potensial yang dimiliki oleh manusia yang terdiri dari kemampuan berpikir, berkomunikasi, bertindak dan bermoral untuk melaksanakan suatu kegiatan baik bersifat teknis maupun manajerial. Kemampuan yang dimiliki tersebut akan mempengaruhi sikap manusia dalam mencapai tujuan hidup baik individual maupun bersama. SDM adalah semua potensi yang dimiliki oleh manusia yang dapat disumbangkan atau diberikan kepada masyarakat untuk menghasilkan barang atau jasa. Manajemen sumber daya manusia (MSDM) adalah bagian dari manajemen organisasi yang memusatkan perhatian kepada unsur manusia. Berdasarkan pengertian SDM tersebut dapat disimpulkan pengertian MSDM adalah proses pemanfaatan SDM secara efektif dan efisien melalui kegiatan perencanaan, penggerakan, dan pengendalian semua nilai yang menjadi kekuatan manusia untuk mencapai tujuan. Menurut Barry Cushway (1994:6) dalam Ardana, et al (2012:5), MSDM didefinisikan sebagai rangkaian strategi, proses dan aktivitas yang didesain untuk menunjang tujuan perusahaan dengan cara mengintegrasikan kebutuhan perusahaan dan individu. Dari pengertian MSDM yang dikemukakan dapat diambil beberapa paradigma seperti berikut: •
Manusia memerlukan organisasi dan sebaliknya organisasi memerlukan manusia sebagai alat untuk mencapai tujuan. 9
10 •
Potensi psikologis seorang karyawan dalam melaksanakannya bersifat abstrak, sehingga penting bagi pimpinan dalam menggali, membina dan menyalurkan potensi yang dimiliki karyawan dalam rangka meningkatkan produktivitas.
•
Memperlakukan
karyawan
secara
manusiawi
untuk
mendorong partisipasi dalam mencapai tujuan perusahaan. Perlakuan secara manusiawi berarti karyawan harus dihormati, dihargai dan diperlakukan sesuai hak-hak asasi manusia (HAM) sehingga akan berkembang perasaan ikut memiliki dan ikut bertanggung jawab demi perusahaan. 2.1.1.2 Peran Sumber Daya Manusia Tidak disangsikan lagi SDM memiliki peranan yang sangat menentukan hidup dan matinya perusahaan. Apabila SDM dalam perusahaan bermoral baik, disiplin, loyalitas dan produktif maka perusahaan akan dapat hidup dan berkembang dengan baik, sebaliknya apabila SDM bersifat statis, bermoral rendah, senang melakukan kecurangan yang merugikan perusahaan, maka akan dapat membawa kehancuran bagi perusahaan tersebut. Menurut Ardana, et al. (2012:7) peranan SDM dapat dibedakan menjadi tiga, yakni sebagai berikut : 1. SDM pengemban misi perusahaan. Semua perusahaan memiliki visi dan misi, sasaran dan tujuan. Visi dan misi tidak akan tercapai tanpa diemban oleh SDM. Masalahnya terletak pada kemampuan SDM untuk mengemban misi tersebut dengan baik. 2. SDM
sebagai
pimpinan/manajer
perusahaan.
Pimpinan/manajer dalam perusahaan terbagi menjadi tiga tingkatan, yaitu manajer puncak, manajer menengah dan manajer tingkat bawah. Peranan pimpinan sangat penting dalam
mencapai
keberhasilan
perusahaan,
karena
pimpinan yang menentukan dan memegang kunci dalam setiap pengambilan keputusan. 3. SDM sebagai pekerja. Peranan pekerja sangat penting bagi perusahaan sehingga semua unsur yang ada didalamnya
11 tidak akan berfungsi tanpa manusia. Semakin tinggi kedudukan seseorang semakin besar peranan dan tanggung jawabnya. Peranan dalam perusahaan akan optimal apabila memiliki kemampuan dan diberikan kesempatan. 2.1.1.3 Tujuan Manajemen Sumber Daya Manusia Departemen MSDM dibentuk dengan tujuan menyediakan suatu satuan tenaga kerja yang efektif bagi organisasi atau perusahaan. Adapun tujuan departemen MSDM menurut Ardana, et al. (2012:22) sebagai berikut: 1. Tujuan Sosial Kemasyarakatan, adalah dimaksudkan agar perusahaan
bertanggung
jawab
secara
sosial
terhadap
kebutuhan dan tantangan dari masyarakat. Perusahaan diharapkan dapat membantu kualitas kehidupan masyarakat dan membantu memecahkan masalah sosial. 2. Tujuan Organisasional, adalah sasaran target formal yang dibuat untuk membantu perusahaan mencapai tujuannya. 3. Tujuan Fungsional adalah tujuan untuk mempertahankan kontribusi departemen SDM pada situasi dan kondisi yang sesuai dengan kebutuhan perusahaan. 4. Tujuan Pribadi atau Individu, adalah tujuan setiap anggota yang terlibat dalam perusahaan atau organisasi yang ingin dicapai melalui kegiatan yang dilaksanakannya, jika tujuan pribadi dan tujuan perusahaan tidak cocok atau tidak harmonis maka karyawan kemungkinan merasa tidak puas dalam bekerja. 2.1.2 Budaya Organisasi 2.1.2.1 Pengertian Budaya Organisasi Menurut Schein (2009:46) budaya adalah pola tacit assumptions bersama yang dipelajari oleh kelompok dalam memecahkan masalah yang adaptasi eksternal dan integrasi internal, yang telah bekerja cukup baik untuk dianggap sah, dan karena itu, untuk diajarkan kepada anggota baru sebagai cara yang benar untuk melihat, berpikir, dan merasa dalam kaitannya dengan masalah tersebut.
12 Sedangkan menurut Kreitner dan Kinicki (2007) budaya organisasi adalah seperangkat asumsi dasar bersama, yang sudah diterima begitu saja yang dipegang suatu kelompok yang menentukan bagaimana kelompok tersebut mempersiapkan, berpikir dan bereaksi terhadap berbagai lingkungan. Menurut Robbins (2006:289) budaya organisasi mengacu ke suatu sistem makna bersama yang dianut oleh anggota-anggota yang membedakan organisasi itu dari organisasi lain dan merupakan karakteristik utama organisasi tersebut. 2.1.2.2 Fungsi Budaya Organisasi Menurut Robbins (2006:294) budaya organisasi mempunyai fungsi : •
Budaya mampu mempunyai suatu peran menetapkan tapal batas; artinya budaya menciptakan pembedaan yang jelas antara satu organisasi dengan yang lainnya.
•
Budaya organisasi membawa suatu rasa identitas bagi anggota-anggota organisasi
•
Budaya organisasi mempermudah timbulnya komitmen pada suatu yang lebih luas daripada kepentingan diri individual seseorang.
•
Budaya organisasi dapat meningkatkan kemantapan sistem sosial
Akhirnya, budaya organisasi berfungsi sebagai mekanisme pembuat makna dan kendali yang memandu dan membentuk sikap serta perilaku para karyawan. 2.1.2.3 Dimensi Budaya Organisasi Menurut riset yang dilakukan Robbins (2003:525) dalam Wibowo (2013:37-38) mengemukakan bahwa ada tujuh dimensi budaya sebuah organisasi, dimensi ini digambarkan sebagai berikut : 1. Innovation and risk taking (Inovasi dan mengambil resiko). Tingkat di mana karyawan didorong untuk bersikap inovatif dalam mengambil resiko. 2. Attention to detail (Perhatian kepada detail). Tingkat di mana para karyawan diharapkan untuk menampilkan ketepatan analisis, dan perhatian terhadap detail.
13 3. Outcome Orientation (Orientasi hasil). Tingkat di mana para manajer memusatkan perhatian pada hasil-hasil bukannya pada teknik-teknik dan proses yang digunakan untuk mencapai hasil itu. 4. People Orientation (Orientasi manusia). Tingkat di mana keputusan-keputusan manajemen memperhitungkan pengaruh hasil-hasil terhadap manusia dalam organisasi. 5. Team Orientation (Orientasi tim). Tingkat di mana kegiatankegiatan kerja disusun sekitar tim bukan individu-individu. 6. Agressiveness (Agresivitas). Tingkat di mana orang bersifat agresif bukannya ramah dan bekerja sama. 7. Stability (Stabilitas). Tingkat di mana kegiatan-kegiatan organisasi menekankan usaha mempertahankan status quo bukan pertumbuhan.
2.1.2.5 Budaya Organisasi sebagai Variabel Bebas Salah satu tantangan bekerja dalam sebuah organisasi atau perusahaan adalah perbedaan budaya yang beragam. Indonesia memiliki budaya yang diversity atau beragam, sehingga terkadang budaya merupakan penghalang dalam kehidupan internal
organisasi.
memberikan beberapa asumsi dasar yang
Schein
dalam
Fikri
(2008)
membentuk budaya organisasi,
asumsi dasar ini digunakan sebagai alat untuk menilai
budaya
organisasi, karena asumsi dipercayai oleh anggota sebagai kenyataan karena memengaruhi anggota sebagai kenyataan, karena memengaruhi apa yang mereka pahami,
pikirkan dan rasakan. Beberapa asumsi dasar tersebut
meliputi: (1) terkait dengan
lingkungan, (2) hakikat kegiatan manusia, (3)
hakikat realitas dan kebenaran, (4) hakikat
waktu, (5) hakikat sifat manusia,
(6) hakikat hubungan antar manusia, (7) homogeneity vs berperan
dalam
membawa
identitas
bagi
anggota
diversity. Budaya organisasi
dan
mempermudah timbulnya komitmen pada anggota organisasi serta dapat meningkatkan sistem sosial dalam suatu perusahaan. Menurut Belias dan Koustelios (2014) Kepuasan kerja merupakan salah satu variabel yang paling sering diteliti dalam budaya organisasi,
perilaku dan fenomena
kerja lainnya, mulai dari desain pekerjaan pengawasan (Spector,
1997
14 dalam Belias dan Koustelios 2014). Secara umum, kepuasan kerja merangkum
penebangan karyawan tentang pekerjaannya. Penelitian ini
telah mengungkapkan bahwa kepuasan kerja adalah fenomena multidimensi, dipengaruhi oleh beberapa faktor internal
dan eksternal, seperti individu
nilai-nilai, prinsip, kepribadian dan harapan dan sifat
pekerjaan
itu,
kesempatan yang diberikan dll (Davies et al., 2006 dalam Belias dan Koustelios 2014) dasar untuk penyelidikan dan penilaian kepuasan kerja dibentuk oleh teori Motivasi-Anak dari Herzberg et al. (1959), yang menurut perasaan karyawan
terhadap pekerjaan mereka dipengaruhi oleh dua
faktor, motivator dan masalah
kebersihan. Secara khusus, motivator
mampu menciptakan kepuasan melalui pemenuhan kebutuhan
individu
untuk makna dan pertumbuhan pribadi. Dengan demikian budaya organisasi mempengaruhi motivasi kerja dan kepuasan kerja, sehingga dijadikan variabel
bebas.
2.1.3 Komitmen Organisasi 2.1.3.1 Pengertian Komitmen Organisasi Berikut merupakan pengertian komitmen organisasi: Menurut Mathis dan Jackson dalam Sopiah (2008:155) memberikan definisi komitmen organisasional adalah derajat yang mana karyawan percaya dan menerima tujuan – tujuan organisasi dan akan tetap tinggal atau tidak akan meninggalkan organisasi. Swailes dalam Boles et al. (2007) memaparkan bahwa komitmen organisasi mencerminkan perasaan positif terhadap organisasi dan nilainya. Pada dasarnya, mengukur komitmen organisasi adalah penilaian kesesuaian antara nilai-nilai sendiri individu dan keyakinan dan organisasi. Menurut Mowday (1982) dalam Sopiah (2008:155) komitmen kerja sebagai istilah lain dari komitmen organisasional. Komitmen organisasional merupakan dimensi perilaku penting yang dapat digunakan untuk menilai kecenderungan karyawan untuk bertahan sebagai anggota organisasi. Komitmen organisasional merupakan identifikasi dan keterlibatan seseorang yang relatif kuat terhadap organisasi.
15 2.1.3.2 Dimensi Komitmen Organisasi Menurut Greenberg (2005 : 182), komitmen organisasi terdiri dari beberapa komponen, yaitu: 1) Affective commitment ialah kuatnya keinginan seseorang dalam bekerja bagi organisasi atau perusahaan disebabkan karena dia setuju dengan tujuan-tujuan organisasi tersebut dan ingin melakukannya. 2) Continuance commitment ialah kuatnya keinginan seseorang dalam melanjutkan pekerjaannya bagi organisasi disebabkan karena dia membutuhkan pekerjaan tersebut dan tidak dapat melakukan pekerjaan yang lain. 3) Normative commitment ialah kuatnya keinginan seseorang dalam melanjutkan pekerjaannya bagi organisasi disebabkan karena dia merasa berkewajiban dari orang lain untuk dipertahankan.
2.1.3.3 Faktor Yang Mempengaruhi Komitmen Organisasi Menurut David dalam Sopiah (2008;165) mengemukakan empat faktor yang mempengaruhi komitmen karyawan pada organisasi, yaitu: 1. Faktor personal Misalnya usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, pengalaman kerja dan kepribadian. 2. Karakteristik pekerjaan Misalnya lingkup jabatan, tantangan, konflik, peran dan tingkat kesulitan dalam pekerjaan. 3. Karakteristik struktur Misalnya besar atau kecilnya organisasi, bentuk organisasi (sentralisasi/ desentralisasi) dan kehadiran serikat pekerja. 4. Pengalaman Kerja Pengalaman kerja karyawan sangat berpengaruh terhadap komitmen karyawan pada organisasi. Karyawan yang baru beberapa tahun bekerja dan karyawan yang sudah puluhan tahun bekerja tentu memiliki tingkat komitmen yang berlainan dalam organisasi.
16 2.1.3.4 Indikator Komitmen Organisasi Menurut Mowday dalam Sopiah (2008 : 165), indikator komitmen organisasi dibagi manjadi 3 yaitu: 1. Penerimaan karyawan terhadap tujuan organisasi 2. Keinginan karyawan untuk bekerja keras 3. Hasrat karyawan untuk bertahan menjadi bagian dari organisasi
2.1.3.5 Komitmen Organisasi sebagai Variabel Bebas Menurut Barnard (1938) komitmen organisasi adalah, dalam pengertian umum, lampiran psikologis karyawan terhadap organisasi. Dapat dibandingkan dengan sikap
yang berhubungan dengan pekerjaan lain,
seperti kepuasan kerja (perasaan karyawan tentang pekerjaan mereka) dan identifikasi
organisasi
(sejauh
mana
pengalaman
'rasa
kesatuan'karyawan dengan organisasi mereka). Menurut Suma dan Lesha (2013) kepuasan kerja merupakan salah satu konstruk atau variabel sikap yang telah terbukti berhubungan dengan komitmen organisasi (Steers, 1977), tetapi pengobatan sebagai sebuah konstruk independen harus ditekankan. Sejumlah faktor membedakan kepuasan kerja dari komitmen organisasi. Mowday et al (1979: 226) dalam Suma dan Lesha (2013) berpendapat bahwa organisasi adalah "lebih global, yang mencerminkan respon afektif umum untuk
organisasi
secara
keseluruhan"
sementara
kepuasan
kerja
mencerminkan respon seseorang baik untuk pekerjaan seseorang atau aspekaspek tertentu dari pekerjaan seseorang. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Rahadyan dan Kartika (2008) Komitmen organisasional merupakan perpaduan antara sikap dan perilaku. Sedangkan motivasi adalah sesuatu yang memulai gerakan, sesuatu yang membuat orang bertindak atau berperilaku dalam cara-cara tertentu (Armstrong, 1994 dalam Sri Trisnaningsih, 2001). Robbins (1996) mengatakan bahwa motivasi merupakan hasil interaksi antara individu dan situasinya, sehingga manusia mempunyai inovasi berbeda antara satu dengan yang lain. Dengan adanya komitmen organisasional pada seseorang, akan menimbulkan motivasi untuk bekerja sebaik- baiknya pada suatu organisasi sebagai upaya mewujudkan tujuan bersama, sebagai konsekuensi bahwa komitmen tersebut dapat terwujud atau tercapai. Dengan
17 demikian komitmen organisasi dapat mempengaruhi kepuasan kerja dan motivasi kerja, sehingga komitmen organisasi dapat dijadikan variabel bebas.
2.1.4 Motivasi Kerja 2.1.4.1 Pengertian Motivasi Kerja Motivasi adalah kekuatan yang mendorong seseorang untuk melakukan suatu tindakan atau tidak pada hakekatnya ada secara internal dan eksternal yang dapat positif atau negatif mengarahkannya (Ardian 2012:193). Menurut Kreitner dan Kinicki (2008:210), motivasi adalah kumpulan proses psikologis yang menyebabkan pergerakan, arahan, dan kegigihan dari sikap sukarela yang mengarah pada tujuan. Menurut Ardian et al. (2012:193) motivasi kerja adalah sesuatu yang menimbulkan semangat atau dorongan kerja. Menurut McCormick dalam Mangkunegara (2010:94) mengemukakan bahwa motivasi kerja sebagai kondisi yang berpengaruh membangkitkan, mengarahkan dan memelihara perilaku yang berhubungan dengan lingkungan kerja. Sedangkan menurut Robbins dalam buku Vietzhal dan Sagala (2008:838), motivasi adalah kesediaan untuk mengerahkan upaya tingkat tinggi menuju target organisasi yang dikondisikan oleh kemampuan dan upaya untuk memenuhi beberapa kebutuhan individual. Berdasarkan pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa motivasi kerja adalah faktor pendorong dalam mencapai target dan prestasi suatu pekerjaan.
2.1.4.2 Teori Motivasi Kerja a. Teori Hierarki Kebutuhan Menurut Robbins dan Coulter (2012:459) teori hierarki kebutuhan ini dicetuskan oleh Abraham Maslow, ia menghipotesiskan bahwa di dalam diri manusia ada lima jenjang kebutuhan berikut : 1. Fisiologis: antara lain rasa lapar, haus, perlindungan, seks dan kebutuhan jasmani lainnya 2. Keamanan: antara lain keselamatan dan perlindungan terhadap kerugian fisik dan emosional
18 3. Sosial: mencakup kasih sayang, rasa memiliki, diterima-baik, dan persahabatan. 4. Penghargaan: Mencakup rasa hormat internal seperti harga diri, otonomi dan prestasi, dan faktor hormat eksternal misalnya status, pengakuan, dan perhatian. 5. Aktualisasi-diri: dorongan untuk menjadi apa yang ia mampu, mencakup pertumbuhan, dan pemenuhan diri. b. Teori Kebutuhan McClelland Menurut Robbins dan Coulter (2012:460) teori kebutuhan McClelland dikemukakan oleh David McClelland dan kawankawannya. Teori ini berfokus pada tiga kebutuhan: prestasi, kekuasaan, dan afiliasi. Kebutuhan ini ditetapkan sebagaoi berikut: •
Kebutuhan akan prestasi: Dorongan untuk mengungguli, berprestasi sehubungan dengan seperangkat standar, berusaha keras untuk sukses.
•
Kebutuhan akan kekuasan: Kebutuhan untuk membuat orang lain berprilaku dalam suatu cara yang orang-orang itu tidak akan berprilaku demikian.
•
Kebutuhan akan afiliasi: Hasrat untuk hubungan antarpribadi yang ramah dan akrab.
David McClelland menekankan bahwa teori jenjang kebutuhan sudah ada dalam diri seseorang sejak ia lahir, maka David McClelland dalam teorinya menekankan bahwa kebutuhan seseorang itu terbentuk melalui proses belajar dan diperoleh dari interaksinya dengan lingkungan. McClelland percaya bahwa lingkungan berperan sekali terhadap setiap macam kebutuhan, lebih lanjut ia mengukapkan bahwa aktivitas belajar dan latihan di masa dini yang lalu memberi dampak serta memodifikasi kebutuhan yang ada dalam diri seseorang. c. Teori X dan Y Menurut Stephen dan Marry (2010:110) Douglas McGregor mengajukan dua pandangan yang berbeda tentang manusia. Asumsi negatif dengan tanda label X dan positif dengan tanda label Y. Setelah melakukan penyelidikan tentang perjanjian seorang manajer dan
19 karyawan, McGregor merumuskan asumsi-asumsi dan perilaku manusia dalam organisasi sebagai berikut:
Teori X (negatif) merumuskan asumsi seperti: •
Karyawan sebernarnya tidak suka bekerja dan jika ada kesempatan dia akan menghindari atau bermalas-malasan dalam bekerja.
•
Karena karyawan tidak menyukai bekerja, mereka harus dipaksa, diawasi, atau diancam dengan hukuman untuk mencapai tujuan.
•
Karyawan akan menghindari tanggung jawab dan mencari pengarahan formal bilamana dimungkinkan.
•
Kebanyakan karyawan menaruh keamanan diatas semua faktor lain yang dikaitkan dengan kerja dan akan menunjukan sedikit ambisi.
Sebaliknya teori Y (positif) memiliki asumsi-asumsi sebagai berikut: •
Karyawan dapat memandang pekerjaan sebagai sesuatu yang wajar, lumrah dan alamiah layaknya tempat bermain atau beristirahat, dalam artian berdiskusi atau sekedar teman bicara.
•
Manusia akan melatih tujuan pribadi dan pengontrolan diri sendiri jika mereka melakukan komitmen yang sangat objektif.
•
Kemampuan untuk melakukan keputusan yang cerdas dan inovatif adalah tersebar secara meluas di berbagai kalangan tidak hanya melulu dari kalangan top management atau dewan direksi.
Pada umumnya kita bisa mengatakan bahwa pemberian motivasi positif akan memberikan peningkatan semangat, mengurangi keluhan dan secara umum, mengurangi kesulitan. Tetapi peningkatan semangat (moral) saja tidak cukup. Bagaimana pengaruh motivasi berdampak positif pada produktivitas? Apakah karyawan akan bekerja lebih baik apabila digunakan motivasi dengan cara negatif atau menakut-nakuti dengan sanksi hukuman? Dari berbagai penelitian
20 menunjukkan bahwa penggunaan 'ancaman' atau motivasi negatif, seringkali menghasilkan yang lebih banyak, berupa peningkatan produktivitas, dalam jangka pendek. Dengan demikian, hasilnya akan segera tampak dalam jangka waktu pendek. Tetapi penggunaan motivasi positif akan berhasil dalam jangka panjang. Karyawan, dengan semangat yang lebih baik, akan meningkat produktivitasnya dalam jangka panjang. Jadi, penggunaan motivasi negatif akan meningkatkan produktivitas dan meningkatkan semangat dalam jangka pendek dan motivasi positif akan meningkatkan semangat dan produktivitas dalam jangka panjang.
2.1.4.3 Motivasi Kerja Intrinsik Dan Ektrinsik Menurut George and Jones (2005:177-179), perbedaan yang harus diperhatikan dalam mendiskusikan motivasi adalah perbedaan antara sumber motivasi Intrinsik dan Ekstrinsik. Perilaku dengan motivasi intrinsik adalah perilaku yang ditunjukkan untuk kepentingannya sendiri, dengan kata lain sumber motivasi biasa datang dari penunjukan perilaku itu sendiri. Perilaku dengan motivasi ekstrinsik adalah perilaku yang ditunjukkan untuk memperoleh materi atau penghargaan sosial atau untuk menghindari hukuman. Perilaku tersebut ditujukan bukan untuk kepentingannya sendiri tetapi lebih kepada konsekuensinya Ada hubungan antara motivasi intrinsik dan ekstrinsik dengan nilai kerja intrinsik dan ekstrinsik. Karyawan yang memiliki nilai kerja intrinsik ingin menentang pencapaian, kesempatan untuk membuat kontribusi dalam pekerjaan mereka dan perusahaan, dan kesempatan untuk mencapai seluruh potensinya ditempat kerja. Karyawan dengan nilai kerja ekstrinsik menginginkan beberapa dari konsekuensi kerja, misalnya menghasilkan uang, mendapatkan status dalam sebuah komunitas, kontak sosial, dan waktu bebas dari pekerjaan untuk waktu keluarga dan bersantai. Hal ini memberikan alasan bahwa karyawan dengan nilai kerja intrinsik yang kuat biasanya akan termotivasi secara intrinsik ditempat kerja dan mereka yang memiliki nilai kerja ekstrinsik akan termotivasi secara ekstrinsik.
21 2.1.4.4 Dimensi Motivasi Kerja Dimensi motivasi kerja menurut Robbins dan Coulter (2012) adalah sebagai berikut : 1. Kebutuhan Fisiologis : Kebutuhan seseorang akan makanan, minuman, perlindungan, seks dan kebutuhan jasmani lainnya. 2. Kebutuhan Rasa Aman : Kebutuhan akan keamanan dan perlindungan dari ancaman bahaya fisik dan emosional. 3. Kebutuhan
Sosial
:
Kebutuhan
seseorang
rasa
memiliki, penerimaan, dan jalinan pertemanan 4. Kebutuhan Penghargaan : Kebutuhan seseorang akan mencakup rasa hormat internal, seperti penghargaan diri sendiri, otonomi dan prestasi dan rasa hormat eksternal seperti status, pengakuan dan perhatian 5. Kebutuhan Aktualisasi Diri : Kebutuhan seseorang akan
menjadi
apa
yang
dia
mampu,
seperti
pertumbuhan, pengahargaan terhadap suatu potensi dan pemenuhan diri 2.1.5.4 Motivasi Kerja sebagai Variabel Intervening Motivasi mempunyai kekuatan kecenderungan seseorang/individu untuk melibatkan diri dalam kegiatan yang mengarah kepada sasaran dalam pekerjaan sebagai kepuasan, tetapi lebih lanjut merupakan perasaan senang atau rela bekerja untuk mencapai tujuan pekerjaan. Motivasi sebagai suatu reaksi yang diawali dengan adanya
kebutuhan
yang
keinginan atau upaya mencapai tujuan yang selanjutnya
menumbuhkan menimbulkan
ketegangan yaitu keinginan yang belum terpenuhi, yang kemudian menyebabkan timbulnya tindakan yang mengarah kepada tujuan dan akhirnya akan memuaskan keinginan. Motivasi adalah suatu faktor yang mendorong seseorang untuk melakukan suatu aktivitas tertentu, oleh karena itu motivasi sering kali diartikan pula
sebagai faktor pendorong
kepuasan seseorang (Sutrisno,2010:109) dalam Rinawati dan Ingsih (2013). Bartol dan Martin (1998) dalam Manzoor (2012) menjelaskan motivasi
22 sebagai kekuatan yang memperkuat perilaku, memberikan rute ke kepuasan, dan memicu kecenderungan untuk melanjutkan serta memicu kepuasan kerja karyawan. Dengan demikian motivasi kerja pada penelitian ini dijadikan variabel intervening, atau variabel perantara.
2.1.5 Kepuasan Kerja 2.1.5.1 Pengertian Kepuasan Kerja Menurut Robbins (2006:178), kepuasan kerja adalah sikap umum terhadap pekerjaan seseorang, yang menunjukkan perbedaan antara jumlah penghargaan yang diterima pekerja dan jumlah yang mereka yakini seharusnya mereka terima. Menurut Sierma & Saragih (2010:145), menyatakan bahwa kepuasan kerja adalah sikap yang ditunjukkan karyawan terhadap pekerjaan dan situasi kerja yang mereka hadapi. Menurut Prof. Dr. Sudarwan Darwin (2010:218) kepuasan kerja merupakan kombinasi aspek ekonomis, psikologis, sosiologis, kultural, aktualisasi diri, penghargaan dan suasana lingkungan dalam pekerjaan individu. Handoko (1992) dalam Sutrisno (2013:75) mengemukakan kepuasan kerja
adalah
keadaan
emosional
yang
menyenangkan
atau
tidak
menyenangkan bagi para karyawan memandang pekerjaan mereka. Kalleberg (1977) dalam Tricia A. Seifert, Paul D. Umbach (2007) mengungkapkan bahwa kepuasan kerja adalah orientasi afektif secara keseluruhan pada bagian dari individu terhadap peran kerja mereka yang berlangsung saat ini. Dari beberapa pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa kepuasan kerja adalah penilaian seseorang atau cerminan perasaan seseorang terhadap hasil dari pekerjaan yang dilakukannya, apakah hasil tersebut memuaskan atau tidak. 2.1.5.2 Teori Kepuasan Kerja Menurut Rivai (2008:375-376), bahwa terdapat tiga teori tentang kepuasan kerja yang cukup dikenal, antara lain: 1. Teori Ketidaksesuaian (Discrepancy theory)
23 Teori ini mengukur kepuasan kerja seseorang dengan menghitung selisih antara dengan
kenyataan
sesuatu
yang
yang
seharusnya
dirasakan. Sehingga apabila
kepuasannya diperoleh melebihi dari yang diinginkan, maka orang akan menjadi lebih puas lagi, sehingga terdapat discrepancy, tetapi merupakan discrepancy yang positif. Kepuasan kerja seseorang tergantung pada selisih antara sesuatu yang dianggap akan didapatkan dengan apa yang dicapai. 2. Teori Keadilan (Equity theory) Teori ini mengemukakan bahwa orang akan merasa puas atau tidak puas, tergantung pada ada atau tidaknya keadilan (equity) dalam suatu situasi khususnya situasi kerja. Menurut teori ini komponen utama dalam teori keadilan adalah input, hasil, keadilan dan ketidakadilan. Input adalah faktor bernilai bagi karyawan yang dianggap mendukung pekerjaannya, seperti pendidikan, pengalaman, kecakapan, jumlah tugas dan peralatan atau perlengkapan yang dipergunakan untuk melaksanakan pekerjaannya. Hasilnya adalah sesuatu yang dianggap bernilai oleh seorang karyawan yang diperoleh dari pekerjaannya, seperti: upah / gaji, keuntungan sampingan, symbol, status, penghargaan dan kesempatan untuk berhasil atau
aktualisasi
diri.
Sedangkan
orang
selalu
membandingkan dapat berupa seseorang di perusahaan yang sama, atau di tempat lain atau bisa pula dengan dirinya di masa lalu. Menurut teori ini, setiap karyawan akan membandingkan rasio input hasil dirinya dengan rasio input hasil orang lain. Bila perbandingan itu dianggap cukup adil, maka karyawan akan merasa puas. Bila perbandingan itu tidak seimbang tetapi menguntungkan bisa menimbulkan kepuasan, tetapi
bisa
pula
tidak.
Tetapi
bila
perbandingan itu tidak seimbang akan timbul ketidakpuasan. 3. Teori dua faktor (Two factor theory)
24 Menurut teori ini kepuasan kerja dan ketidakpuasan kerja itu merupakan hal yang berbeda. Kepuasan dan ketidakpuasan terhadap pekerjaan itu bukan suatu variabel yang kontinu. Teori ini merumuskan karakteristik pekerjaan menjadi dua kelompok yaitu satisfies atau motivator dan dissatisfies. Satisfies ialah faktor-faktor atau situasi yang dibutuhkan sebagai sumber kepuasan kerja yang terdiri dari: pekerjaan yang menarik, penuh berprestasi,
tantangan,
ada
kesempatan
untuk
kesempatan dan memperoleh penghargaan dan
promosi. Terpenuhinya faktor tersebut akan menimbulkan kepuasan, namun tidak terpenuhinya faktor ini tidak selalu mengakibatkan ketidakpuasan. Dissatisfies (hygiene factors) adalah faktor-faktor yang menjadi sumber ketidakpuasan, yang terdiri dari: gaji/upah, pengawasan, hubungan antar pribadi, kondisi kerja dan status. Faktor ini diperlukan untuk memenuhi dorongan biologis serta kebutuhan dasar karyawan. Jika tidak terpenuhi faktor ini, karyawan tidak akan puas. Namun, jika besarnya faktor ini memadai untuk memenuhi kebutuhan tersebut, karyawan tidak akan kecewa meskipun puas. 2.1.5.3 Faktor Yang Mempengaruhi Kepuasan Kerja Banyak faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja karyawan. Faktorfaktor itu sendiri dalam peranannya memberikan kepuasan kepada kepuasan karyawan bergantung pada pribadi masing-masing karyawan. Menurut Sutrisno (2013:80) faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja, yaitu: 1) Faktor psikologis. Merupakan faktor yang berhubungan dengan kejiwaan karyawan, yang meliputi minat, ketentraman dalam bekerja, sikap terhadap kerja, bakat, dan keterampilan. 2) Faktor sosial. Merupakan faktor yang berhubungan dengan interaksi sosial antarkaryawan maupun karyawan dengan atasan. 3) Faktor fisik. Merupakan faktor yang berhubungan dengan kondisi fisik karyawan, meliputi jenis pekerjaan, pengaturan waktu dan waktu
25 istirahat, perlengkapan kerja, keadaan ruangan, suhu, penerangan, pertukaran udara, kondisi kesehatan karyawan, umur dan sebagainya. 4) Faktor finansial. Merupakan faktor yang berhubungan dengan jaminan serta kesejahteraan karyawan, yang meliputi sistem dan besarnya gaji, jaminan sosial, macam-macam tunjangan, fasilitas yang diberikan, promosi dan sebagainya.
2.1.5.4 Dampak Ketidakpuasan Kerja Menurut Robbin dan Judge (2008:83), dampak dari ketidakpuasan karyawan di tempat kerjanya dituangkan dalam suatu kerangka teoritis pada gambar “the exit, voice, loyalty, neglect framework”. Kerangka kerja tersebut dibedakan dalam dua dimensi, yaitu : Konstruktif/Destruktif dan Aktif/Pasif. Dampak dari ketidakpuasan tersebut didefinisikan sebagai berikut: 1) Keluar (Exit) Pelaku yang mengarah untuk meninggalkan organisasi, termasuk mencari posisi baru serta mengundurkan diri. 2) Aspirasi (Voice) Secara aktif dan konstruktif berusaha untuk memperbaiki kondisi, termasuk menyarankan perbaikan, mendiskusikan masalah dengan atasan, dan beberapa bentuk kegiatan serikat pekerja. 3) Kesetiaan (Loyalty) Secara pasif tetapi optimis menunggu kondisi untuk membaik, termasuk membela organisasi dalam menghadapi kritik eksternal dan mempercayai organisasi dan manajemennya untuk “melakukan hal yang tepat” 4) Pengabaian (Neglect) Secara pasif membiarkan kondisi menjadi lebih buruk, termasuk absensi dan keterlambatan yang tinggi, berkurangnya usaha, dan tingkat kesalahan
semakin
meningkat.
26
ACTIVE
VOICE
EXIT
CONSTRUCTIVE
DESTRUCTIVE
NEGLECT
LOYALTY
PASSIVE Gambar 2.1 exit, voice, loyalty, neglect
Sumber : Robbin dan Judge, 2008
2.1.5.5 Dimensi Kepuasan Kerja Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kepuasan kerja karyawan. Menurut Ivancevich, et al (2011:77) mengatakan ada empat faktor penting yang berhubungan dengan kepuasan kerja karyawan: 1. Pembayaran (Pay) Jumlah pembayaran yang diterima dan keadilan yang diterima dari pembayaran tersebut. 2. Pekerjaan Itu Sendiri (Work it self) Banyaknya tugas-tugas kerja yang dianggap menarik dan menyediakan kesempatan untuk belajar dan menerima tanggung jawab. 3. Kesempatan Promosi (Promotion opportunities) Ketersediaan kesempatan untuk kemajuan karir. 4. Pengawasan (Supervision)
27 Kompetensi teknis dan kemampuan interpersonal dari atasan langsung seseorang. 5. Rekan Kerja (Co-Workers) Banyaknya rekan kerja yang bersahabat, kompeten dan mendukung. 6. Kondisi kerja (Working Condition) Tingkat dari lingkungan fisik pekerjaan yang nyaman dan mendukung produktivitas. 7. Keamanan Kerja (Job Security) Keyakinan bahwa posisi seseorang relatif aman dan kelanjutan pekerjaan dengan organisasi sebagai harapan yang masuk akal.
2.1.5.6 Indikator Kepuasan Kerja Celluci dan De Vries (1978) dalam Fuad Mas’ud (2004) merumuskan indikator-indikator kepuasan kerja dalam lima indikator sebagai berikut: 1. Kepuasan dengan gaji 2. Kepuasan dengan promosi 3. Kepuasan dengan rekan kerja 4. Kepuasan dengan atasan 5. Kepuasan dengan pekerjaan itu sendiri Kalleberg (1977) dalam Tricia A. Seifert, Paul D. Umbach (2007), menggunakan dua dimensi dari kepuasan kerja dalam penelitiannya. Dia mengemukakan dimensi kepuasan kerja dapat dibagi dalam dimensi instrisik (mengacu pada pekerjaan itu sendiri) dan dimensi ekstrinsik (mewakili aspek pekerjaan eksternal untuk tugas itu sendiri). Dua dimensi itu didefinisikan sebagai berikut: 1) Dimensi Instrinsik •
Sejauh mana pekerjaan itu menarik
•
Hasil pekerjaan yang jelas
2) Dimensi Ekstrinsik •
Karir
•
Keuangan
28 •
Kenyamanan
•
Hubungan dengan rekan kerja
•
Kecukupan sumber daya
2.1.5.7 Kepuasan Kerja sebagai Variabel Terikat Menurut Suma dan Lesha (2013) kepuasan kerja merupakan salah satu konstruk atau variabel sikap yang telah terbukti berhubungan dengan komitmen organisasi (Steers, 1977), tetapi pengobatan sebagai sebuah konstruk dependen harus ditekankan. Aswathappa (2003) dalam Saleem et al, (2010) menjelaskan dalam penelitiannya, Kepuasan kerja dapat ditentukan dengan penghargaan intrinsik dan ekstrinsik. Tingkat kepuasan kerja berbeda ketika gaji atau imbalan berbeda, sehingga biasanya kepuasan kerja dapat dijadikan variabel dependen dari variabel motivasi kerja. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Tjajuk (2013) mengatakan bahwa budaya organisasi memiliki pengaruh secara signifikan dan positif terhadap kepuasan kerja. Dengan demikian kepuasan kerja dapat dipengaruhi oleh motivasi kerja, budaya organisasi dan komitmen organisasi, sehingga kepuasan kerja dapat dijadikan varibael terikat.
2.2 Penelitian Terdahulu Nama Jurnal
Jurnal Penelitian
International
The Influence of Pahri
Journal of Business Motivation and
Peneliti
Hasil Penelitian Yamsul, Budaya Kerja dan
And Surachman,
Management Organizational
Ubud Motivasi memiliki
Salim and Armanu
pengaruh
yang
Invention, vol 2, Culture On Work
signifikan terhadap
issue 9, September Satisfaction
Kepuasan
2013
And
Organizational
dan
Commitment (Study
Organisasi
On
National
Society Empowerment Program
In
Southeast Sulawesi Province)
Kerja
Komitmen
29 International
The
impact
of Bola
Adekola, Komitmen
Ph.D
Organisasi
Journal of Human Organizational Resource
Studies, Commitment
vol 2, no 2, 2012
on
memiliki hubungan
Jov Satisfaction: A
yang
Study of Employees
terhadap Kepuasan
at
Kerja
Nigerian
signifikan
Universities Pelagia
Research Relationship
Library
Shaghayegh Kiani Budaya
Between
Job M,
Satisfaction
and Emadi,
Culture in Staffs Rohsani, Expert
Somayen memiliki hubungan Hajar yang
signifikan
Cheraghian, Fatima terhadap Kepuasan
Organizational
and
Kerja
Fatemeh Kerja
of Behzadi
Physical Education Offices
of
Mazandaran Province European Specific Job
Satisfaction Saimir Suma, Phd Komitmen
Journal,Vol 9, No and Organizational candidate. 17, June 2013
Commitment:
The Lesha,
Jonida Organisasi Phd memiliki hubungan
Case Of Shkodra candidate
yang
Municipality
terhadap Kepuasan Kerja
signifikan
30
2.3 Kerangka Pemikiran
BUDAYA ORGANISASI (X1) : • Inovasi dan pengambilan resiko •
Perhatian pada detail
•
Orientasi Hasil
•
Orientasi orang
•
Orientasi tim
•
Keagresifan
•
Stabilitas
KOMITMEN ORGANISASI (X2) : • Kebutuhan Fisiologis •
Kebutuhan Rasa Aman
•
Kebutuhan Sosial
•
Kebutuhan Penghargaan
•
Kebutuhan Aktualisasi Diri
Gambar 2.2 Kerangka Pemikiran
MOTIVASI KERJA(Y) : • Aktualisasi diri •
Penghargaan
•
Kebutuhan social
•
Kebutuhan rasa aman
•
Kebutuhan fisik
KEPUASAN KERJA (Z): • Pembayaran • Pekerjaan Itu Sendiri • Kesempatan Promosi • Pengawasan • Rekan Kerja • Kondisi Kerja • Keamanan
31
2.4 Hipotesis Hipotesis yang peneliti rancang berdasarkan dari tujuan penelitan, hipotesis yang di uji dalam penelitian ini adalah : Untuk T-1: Ho : Tidak ada pengaruh signifikan Budaya Organisasi terhadap Motivasi Kerja Ha: Ada pengaruh signifikan Budaya Organisasi terhadap Motivasi Kerja Untuk T-2: Ho : Tidak ada pengaruh signifikan Komitmen Organisasi terhadap Motivasi Kerja Ha : Ada pengaruh signifikan Komitmen Organisasi terhadap Motivasi Kerja Untuk T-3: Ho: Tidak ada pengaruh signifikan Budaya Organisasi terhadap Kepuasan Kerja Ha: Ada pengaruh signifikan Budaya Organisasi terhadap Kepuasan Kerja Untuk T-4: Ho: Tidak ada pengaruh signifikan Komitmen Organisasi terhadap Kepuasan Kerja Ha: Ada pengaruh signifikan Komitmen Organisasi terhadap Kepuasan Kerja Untuk T-5: Ho : Tidak ada pengaruh signifikan Motivasi Kerja terhadap Kepuasan Kerja Ha : Ada pengaruh signifikan Motivasi Kerja terhadap Kepuasan Kerja Untuk T-6 Ho : Tidak ada pengaruh signifikan Budaya Organisasi terhadap Kepuasan Kerja melalui Motivasi Kerja Ha : Ada pengaruh signifikan Budaya Organisasi terhadap Kepuasan Kerja melalui Motivasi Kerja Untuk T-7 Ho: Tidak ada pengaruh signifikan Komitmen Organisasi terhadap Kepuasan Kerja melalui Motivasi Kerja Ha : Ada pengaruh signifikan Komitmen Organisasi terhadap Kepuasan Kerja melalui Motivasi Kerja
32