ANALISIS POTENSI, DAYASAING, DAN PAJAK SEKTOR HOTEL TERHADAP PEREKONOMIAN KOTA YOGYAKARTA (PERIODE 2005-2009)
OLEH ABDUL AZIZ H14070100
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
RINGKASAN ABDUL AZIZ, Analisis Potensi, Dayasaing, dan Pajak Sektor Hotel Terhadap Perekonomian Kota Yogyakarta (Periode 2005-2009). Dibimbing oleh SRI MULATSIH. Pariwisata merupakan kegiatan yang berkaitan dengan perjalanan. Kota Yogyakarta sebagai salah satu daerah yang terkenal sebagai tujuan wisata dengan citranya sebagai pusat budaya, dalam mendorong pembangunan ekonominya berusaha mengembangkan potensi kewilayahan yang dimiliki. Seiring dengan perkembangan pariwisata Kota Yogyakarta, usaha perhotelan sebagai pendukung kegiatan pariwisata telah mampu memberikan kontribusi yang besar dalam perekonomian Kota Yogyakarta tidak hanya melalui peningkatan PDRB tetapi juga melalui peningkatan PAD yang merupakan sumber pembiayaan daerah untuk melaksanakan pembangunan. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis bagaimana potensi, dayasaing, dan pajak sektor hotel terhadap perekonomian Kota Yogyakarta. Metode analisis yang digunakan adalah Shift Share, Location Quotient, Porter’s Diamond, Analisis Efektivitas Pajak, dan Analisis Kontribusi Pajak. Hasil penelitian menggunakan analisis Shift Share menunjukkan bahwa sektor hotel memiliki pertumbuhan yang lambat dan memiliki dayasaing yang kurang baik. Pertumbuhan yang lambat dan dayasaing yang kurang baik disebabkan adanya bencana alam di Kota Yogyakarta, yang membuat pengusaha di sektor perhotelan harus membangun kembali infrastruktur yang dimiliki dari awal. Selama tahun 20052009, sektor hotel termasuk ke dalam sektor basis ekonomi di Kota Yogyakarta. Nilai LQ sektor hotel Kota Yogyakarta antara tahun 2005-2009 bervariasi antara 1,92 dan 1,99. Kontribusi sektor hotel terhadap pembentukan PDRB Kota Yogyakarta antara tahun 2005-2009 bervariasi antara 2,94 persen dan 3,75 persen. Sektor hotel juga memberikan kontribusi antara 2,05 persen hingga 2,54 persen dari total jumlah penyerapan tenagakerja di Kota Yogyakarta. Jumlah usaha perhotelan di Kota Yogyakarta dari periode tahun 2005 hingga 2009 relatif mengalami peningkatan. Hasil analisis menunjukkan seluruh faktor yang ada, yaitu SDA, SDM, Modal, Infrastruktur Fisik, Infrastruktur Informasi, Persaingan, Manajemen, Strategi Pemasaran, Permintaan Nusantara, Permintaan Mancanegara, Industri Pendukung dan Industri Terkait, Dukungan Kesempatan, dan Dukungan Pemerintah telah menjadi keunggulan sektor perhotelan Kota Yogyakarta. Pada tahun 2005-2009, kontribusi pajak hotel terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kota Yogyakarta bervariasi antara 15,12 persen sampai dengan 20,17 persen atau dengan rata-rata setiap tahunnya 18,48 persen. Kinerja dalam pemungutan pajak hotel Kota Yogyakarta sangat baik, karena realisasi pajak hotel lebih besar daripada target yang direncanakan.
ANALISIS POTENSI, DAYASAING, DAN PAJAK SEKTOR HOTEL TERHADAP PEREKONOMIAN KOTA YOGYAKARTA (PERIODE 2005-2009)
Oleh : ABDUL AZIZ H14070100
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
Judul Skripsi
: Analisis Potensi, Dayasaing, dan Pajak Sektor Hotel terhadap Perekonomian Kota Yogyakarta (Periode 2005-2009).
Nama Mahasiswa
: Abdul Aziz
Nomor Registrasi Pokok
: H14070100
Menyetujui, Dosen Pembimbing
Dr. Ir. Sri Mulatsih, M.Sc.Agr. NIP. 19640529 198903 2 001
Mengetahui, Ketua Departemen Ilmu Ekonomi
Dr. Ir. Dedi Budiman Hakim, M.Ec. NIP. 19641022 198903 1 003
Tanggal Kelulusan:
PERNYATAAN
DENGAN INI PENULIS MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL “ANALISIS POTENSI, DAYA SAING, DAN PAJAK SEKTOR HOTEL TERHADAP PEREKONOMIAN KOTA YOGYAKARTA (PERIODE 2005-2009)” INI ADALAH BENAR-BENAR HASIL KARYA PENULIS SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIGUNAKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN. SKRIPSI INI TIDAK MENGANDUNG BAHAN-BAHAN YANG PERNAH DITULIS ATAUPUN DITERBITKAN OLEH PIHAK LAIN KECUALI SEBAGAI BAHAN RUJUKAN YANG DINYATAKAN DALAM NASKAH.
Bogor, Juli 2011
Abdul Aziz H14070100
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama Abdul Aziz, lahir pada tanggal 30 September 1989 di Jakarta. Penulis merupakan anak pertama dari empat bersaudara, dari pasangan Alm. H. Acep Fadullah dan Hj. Jamila. Penulis mengawali pendidikannya pada tahun 1995 sampai dengan tahun 2001 di SD Negeri Cawang 01 Pagi Jakarta. Selanjutnya meneruskan ke pendidikan lanjutan tingkat pertama dari tahun 2001 sampai tahun 2004 di SMP Negeri 49 Jakarta. Setelah itu, penulis melanjutkan pendidikan menengah umum di SMA Negeri 48 Jakarta dan lulus pada tahun 2007. Pada tahun 2007, penulis diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) kemudian terdaftar sebagai mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Manajemen (FEM) pada Program Studi Ilmu Ekonomi dan mengambil minor Manajemen Fungsional. Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif di organisasi interkampus seperti HIPOTESA (Himpunan Profesi dan Peminat Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan) serta berbagai kepanitiaan, diantaranya adalah panitia The Sixth HIPOTEX-R, Economic Contest 6 (EC6),dan Orientasi For New Generation (ORANGE) FEM 2009. Penulis juga merupakan pemenang Turnamen Basket TPB Cup Tahun 2008, Turnamen Basket Sportakuler FEM IPB 2010, dan Turnamen Bulu Tangkis Sportakuler FEM IPB 2010.
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis panjatkan Kehadirat Allah SWT, karena atas berkat rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Skripsi ini berjudul “Analisis Potensi, Dayasaing, dan Pajak Sektor Hotel terhadap Perekonomian Kota Yogyakarta (Periode 2005-2009)”. Indonesia merupakan salah satu negara tempat tujuan wisata. Salah satu kota yang banyak dikunjungi oleh wisatawan adalah Kota Yogyakarta. Sektor hotel sebagai penunjang sektor industri pariwisata merupakan salah satu sektor yang menarik untuk diteliti. Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada berbagai pihak yang telah memberikan bimbingan dan dukungan kepada penulis sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik, khususnya kepada: 1. Dr. Ir. Sri Mulatsih, M.Sc.Agr. selaku dosen pembimbing skripsi yang telah memberikan bimbingan baik secara teknis, teoritis maupun moril dalam proses penyusunan skripsi ini sehingga dapat diselesaikan dengan baik. 2. Dr. Ir. Wiwiek Rindayanti, M.Si. selaku dosen penguji utama dan Dr. Muhammad Findi Alexandi, M.E. selaku dosen penguji komisi pendidikan yang telah memberikan evaluasi dan masukan yang sangat berarti untuk penyempurnaan skripsi ini. 3. Para dosen, staf, dan seluruh civitas akademika Departemen Ilmu Ekonomi FEM-IPB yang telah memberikan ilmu dan bantuan kepada penulis selama menjalani studi di Departemen Ilmu Ekonomi. 4. Kedua Orangtua tercinta Alm. H. Acep Fadullah dan Hj. Jamila serta adikadik Mira Azzasyofia, Tsaltsadilla Assyifa, dan Shafira Rahmadina atas segala motivasi, kasih sayang, serta doa selama penulis kuliah maupun selama mengerjakan skripsi ini. 5. Risa Pragari yang telah menjadi semangat, motivasi, dan inspirasi bagi penulis.
6. Teman-teman seperjuangan satu bimbingan Ajeng Endartrianti, Marthasari dan Nindya Hernanda atas semangat, motivasi, doa, dan perjuangan yang luar biasa ini. 7. Sahabat-sahabat di Ilmu Ekonomi 44: Teguh Noby Wijaya, Rico Suhardianto, Gema Setya, M. Rinaldy Aulia Putra, Avy Lutfiandy, Ilham Muzaki, Dady Nurahmat, Prayoga N.I., Yudi Aditya, Nindy Abdiella, Lophe, Dani Priyo Utomo, Michelia Widya Agri, Ajeng Endartrianti, Hesti Ayu Hapsari, Kristina Sari, Retno Khairunnisa, Reni Tilova, dan lainnya yang tidak bisa disebutkan satu persatu, atas bantuan, semangat dan doa bagi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. 8. Sahabat di Wisma Rizki : Aziz, David, Fany, Iqra, Awir, Danang, Mas Dani atas bantuan dan dukungan semangatnya bagi penulis. 9. Bapak-Bapak di BAPPEDA, DPDPK, Disparbud, dan Dinas Perizinan Kota Yogyakarta yang telah memberikan informasi dan data yang penulis butuhkan. 10. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam penyelesaian skripsi ini namun tidak bisa penulis sebutkan satu persatu.
Akhir kata, penulis mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak untuk kesempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang memerlukan.
Bogor, Juli 2011
Abdul Aziz H14070100
i
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI .................................................................................................... DAFTAR TABEL ............................................................................................ DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... I. PENDAHULUAN ................................................................................. ... 1.1. Latar Belakang................................................................................. 1.2. Perumusan Masalah ......................................................................... 1.3. Tujuan Penelitian ............................................................................. 1.4. Manfaat Penelitian ........................................................................... 1.5. Ruang Lingkup ................................................................................ II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN.................... 2.1. Tinjaun Pustaka ............................................................................... 2.1.1. Definisi Kepariwisataan....................................................... 2.1.2. Definisi Wisatawan .............................................................. 2.1.3. Definisi Hotel....................................................................... 2.1.4. Teori Basis Ekonomi ........................................................... 2.1.5. Analisis Shift Share.............................................................. 2.1.6. Dayasaing Porter’s Diamond .............................................. 2.1.7. Definisi Pajak....................................................................... 2.1.8. Pengklasifikasian Pajak ....................................................... 2.1.9. Fungsi Pajak......................................................................... 2.1.10. Pajak Daerah......................................................................... 2.1.11. Pajak Hotel........................................................................... 2.1.12. Hubungan Pajak Hotel dengan Pendapatan Asli Daerah..... 2.1.13. Analisis Kontribusi dan Efektivitas Pajak.......................... . 2.2. Penelitian Terdahulu ........................................................................ 2.3. Kerangka Pemikiran ........................................................................ III. METODE PENELITIAN........................................................................... 3.1. Waktu dan Wilayah Kajian.............................................................. 3.2. Jenis dan Sumber Data .................................................................... 3.3. Metode Analisis ............................................................................... 3.3.1. Metode Shift Share .............................................................. 3.3.2. Metode Location Quotient (LQ) .......................................... 3.3.3. Analisis Porter’s Diamond ..................................................
i iv vi vii 1 1 7 8 8 9 10 10 10 11 12 14 19 21 23 24 27 28 29 32 35 37 39 43 43 43 44 44 49 50
ii
3.3.4. Analisis Kontribusi dan Efektivitas Pajak............................. 3.3.4.1. Analisis Kontribusi................................................... 3.3.4.2. Analisis Efektivitas................................................... IV. GAMBARAN UMUM............................................................................... 4.1. Letak, Kondisi, dan Perkembangan Kota Yogyakarta ............. ....... 4.2. Jenis dan Lokasi Pariwisata di Kota Yogyakarta.............................. 4.3. Perkembangan Kunjungan Wisatawan ke Kota Yogyakarta............ 4.4. Perkembangan Jumlah Hotel di Kota Yogyakarta............................ V. HASIL DAN PEMBAHASAN.................................................................. 5.1. Pertumbuhan Ekonomi Sektoral Kota Yogyakarta ........................ . 5.1.1. Rasio PDRB Kota Yogyakarta dan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 2005-2009............................... 5.1.2. Analisis Komponen Pertumbuhan Wilayah Kota Yogyakarta ........................................................................... 5.1.3. Rasio PDRB dan Analisis Perumbuhan Wilayah Sektor Hotel Kota Yogyakarta Setelah Gempa Bumi (Periode 2007-2009).......................................................................... 5.1.4. Pertumbuhan Bersih dan Profil Pertumbuhan SektorSektor Perekonomian Kota Yogyakarta.............................. 5.2. Analisis Sektor Basis di Kota Yogyakarta........................... ............ 5.3. Kontribusi Sektor Hotel Terhadap Perekonomian............................ 5.3.1. Kontribusi Sektor Hotel Terhadap Pembentukan PDRB..... 5.3.2. Perkembangan Penyerapan Tenagakerja Sektor Hotel........ 5.4. Dayasaing Hotel Kota Yogyakarta dengan Porter’s Diamond....... 5.4.1. Kondisi Faktor...................................................................... 5.4.2. Kondisi Permintaan.............................................................. 5.4.3. Industri Pendukung dan Industri Terkait.............................. 5.4.4. Strategi Hotel dan Persaingan.............................................. 5.4.5. Peran Pemerintah................................................................. 5.4.6. Peran Kesempatan................................................................ 5.5. Analisis Kontribusi dan Efektivitas Pajak Hotel terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kota Yogyakarta........................... 5.5.1. Perkembangan Realisasi Pajak Hotel................................... 5.5.2. Kontribusi Pajak Hotel Terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD).................................................................................... 5.5.3. Efektivitas Pajak Hotel.........................................................
51 51 52 54 54 57 62 63 67 67 67 69
72 74 78 79 79 80 81 82 86 87 89 90 92 94 94 94 95
iii
VI. KESIMPULAN DAN SARAN.................................................................. 6.1. Kesimpulan....................................................................................... 6.2. Saran................................................................................................. DAFTAR PUSTAKA........................................................................................ LAMPIRAN......................................................................................................
97 97 98 100 103
iv
DAFTAR TABEL
Nomor
1.1
Halaman
Rangking Devisa Pariwisata Terhadap Komoditas Ekspor Lainnya Tahun 2004 dan 2009..........................................................................
2
1.2
Produk Domestik Bruto Indonesia 2005 – 2007.................................
3
1.3
Sektor–Sektor Penyumbang PDRB Kota Yogyakarta Tahun 2006-2008............................................................................................
4
4.1
Jumlah Wisatawan di Kota Yogyakarta Tahun 2005-2009..............
63
4.2
Jumlah Hotel di Kota Yogyakarta......................................................
64
4.3
Peringkat Kota Termudah untuk Mendirikan Usaha,Mengurus Izin Mendirikan Bangunan, dan Pendaftaran Properti............................
65
4.4
Indikator-indikator Kemudahan Mendirikan Usaha........................
66
5.1
Rasio PDRB Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan PDRB Kota Yogyakarta Tahun 2005-2009 (Nilai Ra, Ri, dan ri)...............
68
5.2
Analisis Shift Share menurut Lapangan Usaha................................
70
5.3
Rasio PDRB dan Analisis Shift Share Sektor Hotel Kota Yogyakarta Tahun 2007-2009............................................................
73
v
5.4
Pertumbuhan Bersih (PB)...................................................................
75
5.5
Nilai Location Quotient (LQ).............................................................
78
5.6
Kontribusi Sektor-Sektor Pembentuk PDRB (%).............................
80
5.7
Kontribusi Sektor Hotel dalam Penyerapan Tenagakerja...............
81
5.8
Presentase Tingkat Penghunian Kamar Hotel Menurut Golongan Hotel.....................................................................................................
86
5.9
Realisasi Penerimaan Pajak Daerah (Ribu Rupiah)..........................
94
5.10
Kontribusi Pajak Hotel terhadap PAD................................................
95
5.11
Efektivitas Pajak Hotel terhadap Target Pajak Hotel........................
96
vi
DAFTAR GAMBAR
Nomor
Halaman
2.1
Porter’s Diamond Model...................................................................
23
2.2
Kerangka Pemikiran..........................................................................
42
5.1
Profil Pertumbuhan Sektor-Sektor Perekonomian............................
77
5.2
Analisis Porter’s Diamond................................................................
93
vii
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor
1
Halaman
PDRB Kota Yogyakarta Tahun 2005-2009 Atas Dasar Harga Konstan Tahun 2000........................................................................
2
PDRB Provinsi DIY Tahun 2005-2009 Atas Dasar Harga Konstan Tahun 2000.......................................................................
3
103
104
Analisis Shift Share dan Rasio PDRB Sektor Hotel Kota Yogyakarta dan Provinsi DIY Tahun 2005-2009...........................
105
4
Referensi Porter’s Diamomd...........................................................
106
5
Realisasi Penerimaan Pajak Daerah Kota Yogyakarta Tahun 2005-2009........................................................................................
107
I.
1.1.
PENDAHULUAN
Latar Belakang Pariwisata merupakan kegiatan yang berkaitan dengan perjalanan. Adanya
kunjungan wisatawan baik domestik maupun mancanegara akan berpengaruh pada konsumsi wisatawan. Pengeluaran wisatawan tertuju ke berbagai industri dan jasa lainnya selama wisatawan berkunjung ke daerah wisata tertentu. Dampaknya akan terlihat pada nilai belanja pengeluaran wisatawan, sehingga akan berpengaruh terhadap kesempatan kerja, pendapatan, dan penerimaan devisa bagi daerah tujuan wisatawan. Selain itu, sektor pariwisata juga menjadi industri yang mempunyai keterkaitan dengan sektor pembangunan lain. Pengembangan pariwisata perlu dilanjutkan dan ditingkatkan melalui perluasan, pemanfaatan sumber, dan potensi pariwisata nasional, sehingga diharapkan mampu mendorong dan menggerakkan sektor-sektor ekonomi lainnya (Heriawan, 2002). Sektor pariwisata yang salah satunya terbentuk melalui sektor hotel dan restoran, secara signifikan memiliki kontribusi yang positif terhadap penerimaan devisa negara. Seperti ditunjukkan pada Tabel 1.1, apabila dibandingkan dengan komoditas yang lain, total penerimaan devisa komoditas pariwisata pada tahun 2004 menempati posisi kedua terbesar setelah minyak dan gas bumi, yaitu masing-masing sebesar US$ 15,587 miliar dan US$ 4,797 miliar . Pada tahun 2009, komoditas pariwisata menempati peringkat ketiga terbesar setelah komoditas minyak dan gas bumi dan minyak sawit, dengan sumbangan
2
devisa masing-masing sebesar US$ 19,018 miliar, US$ 10,367 miliar dan US$ 6,298 miliar (BPS Pusat, 2010). Tabel 1.1. Rangking Devisa Pariwisata Terhadap Komoditas Ekspor Lainnya Tahun 2004 dan 2009. Rank 1 2 3 4 5 6 7 8
9
2004 Jenis komoditi Nilai (juta US$) Minyak & gas 15.587,50 bumi Pariwisata 4.797,88 Pakaian jadi Alat listrik Tekstil Minyak kelapa sawit Kayu olahan Karet olahan
Kertas dan barang dari kertas 10 Bahan kimia 11 Makanan olahan Sumber: BPS Pusat, 2010.
4.271,65 3.406,91 3.301,55 3.233,22 3.136,69 2.853,52
2009 Jenis komoditi Nilai (juta US$) Minyak & gas 19.018,30 bumi Minyak kelapa 10.367,62 sawit Pariwisata 6.298,02 Pakaian jadi 5.735,60 Karet olahan 4.870,68 Alat listrik 4.580,18 3.602,78 3.405,01
2.227,83
Tekstil Kertas dan barang dari kertas Makanan olahan
1.799,56 1.407,17
Kayu olahan Bahan kimia
2.275,32 2.155,41
2.960,32
Peranan pariwisata dalam penerimaan devisa dan pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB) mengindikasikan bahwa kegiatan kepariwisataan mampu menjadi salah satu kekuatan pembangunan yang dapat diandalkan dan tetap bertahan, sehingga kebijaksanaan pembangunan dapat lebih diarahkan pada peningkatan pariwisata menjadi sektor andalan. Seperti yang ditujukan pada Tabel 1.2, bahwa sektor pariwisata dalam hal ini usaha perhotelan dan restoran yang tergabung dalam sektor perdagangan, hotel, dan restoran memiliki kontribusi yang besar terhadap pembentukan PDB. Sejak tahun 2005 hingga 2007, sektor perdagangan, hotel, dan restoran merupakan penyumbang PDB terbesar kedua
3
setelah sektor industri pengolahan baik atas dasar harga berlaku maupun atas dasar harga konstan tahun 2000 (BPS Pusat, 2010). Tabel 1.2. Produk Domestik Bruto Indonesia 2005 – 2007. Sektor
Atas Dasar Harga Berlaku (Triliun Rupiah) 2005 2006 2007 363,9 430,5 417,0 308,3 354,6 301,7
Pertanian Pertambangan dan Hasilnya Industri Pengolahan 771,7 Listrik, Gas, dan Air 26,7 Bersih Bangunan 195,8 430,2 Perdagangan, Hotel, dan Restoran Pengangkutan dan 181,0 Komunikasi Keuangan, 230,6 Persewaan, dan Jasa Perusahaan Jasa – jasa 276,8 PDB 2.785,0 PDB TANPA 2.468,0 MIGAS Sumber: BPS Pusat, 2010.
Atas Dasar Harga Konstan 2000 (Triliun Rupiah) 2005 2006 2007 253,7 261,3 213,2 165,1 168,7 129,6
936,4 30,4
798,0 25,5
491,4 11,6
514,2 12,3
401,4 10,0
249,1 496,3
218,3 426,3
103,5 293,9
112,8 311,9
90,1 249
230,9
189,6
109,5
124,4
102,5
271,5
229,4
161,4
170,5
136,6
338,4 3,338,2 2.976,0
295,2 295,2 2.617,8
160,6 1.750,7 1.605,2
170,6 1.846,7 1.703,1
135,3 1.467,6 1.360,5
Kota Yogyakarta sebagai salah satu daerah tujuan wisata dengan citranya sebagai pusat budaya, dalam mendorong pembangunan ekonominya berusaha mengembangkan potensi kewilayahan yang dimiliki. Kota Yogyakarta yang terkenal dengan wisatanya, khususnya wisata budaya, wisata alam, bahkan sebagai tempat tujuan wisata belanja dan wisata kuliner, potensi wisata tersebut secara langsung maupun tak langsung berpengaruh terhadap perekonomian wilayahnya. Dalam memicu pertumbuhan ekonomi suatu wilayah, strategi yang paling efektif dilakukan adalah mendorong pertumbuhan sektor-sektor yang memiliki
4
peranan dominan terhadap perekonomian di wilayah bersangkutan. Salah satu potensi ekonomi yang dimiliki oleh Kota Yogyakarta adalah sektor pariwisata. Pengembangan dan pemanfaatan sektor pariwisata ini sangat diharapkan mampu mengembangkan perekonomian Kota Yogyakarta melalui pengaruhnya terhadap pembentukan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Tabel 1.3. Sektor–Sektor Penyumbang PDRB Kota Yogyakarta Tahun 20062008. Sektor Pertanian Pertambangan dan Penggalian Industri Pengolahan Listrik, Gas, Air Bersih Bangunan Perdagangan Hotel Restoran Pengangkutan dan Komunikasi Keuangan, Persewaan, dan Jasa Perusahaan Jasa – jasa PDRB
Atas Dasar Harga Berlaku (Juta Rupiah) 2006 2007 2008 28.772 28.751 29.893
Atas Dasar Harga Konstan 2000 (Juta Rupiah) 2006 2007 2008 21.351 19.209 18.140
451
497
506
270
279
258
797.702
866.747
964.476
529.450
539.154
543.050
145.225
158.783
183.821
60.741
64.197
65.488
623.423 483.746 240.439 991.765
740.368 536.209 274.766 1.097.324
854.814 598.579 361.416 1.245.221
362.187 346.306 134.412 665.365
390.323 357.251 144.342 686.559
412.972 368.169 172.001 712.855
1.393.144
1.508.399
1.684.221
862.341
910.568
984.783
1.107.768
1.269.579
1.502.387
607.748
651.968
696.816
1.920.294 7.732.639
2.118.045 8.599.468
2.381.480 9.806.813
982.333 4.572.504
1.012.551 4.776.401
1.046.615 5.021.149
Sumber: BPS Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, 2009.
PDRB merupakan salah satu indikator perekonomian yang dapat digunakan sebagai bahan penentuan kebijakan pembangunan khususnya dalam bidang perekonomian dan bahan evaluasi pembangunan ekonomi regional (BPS Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, 2009). Tabel 1.3 menunjukkan bahwa sektor hotel memiliki kontribusi terhadap PDRB yang cenderung meningkat dari tahun 2006-2008 baik atas dasar harga berlaku maupun atas dasar harga konstan.
5
Pertumbuhan sektor hotel dapat dilihat melalui kontribusinya terhadap PDRB yang terus meningkat. Berdasarkan harga konstan tahun 2000, pada tahun 2006, nilai PDRB sektor hotel mencapai Rp 134,412 miliar, kemudian meningkat menjadi Rp 144,342 miliar pada tahun 2007. Selanjutnya pada tahun 2008 nilai PDRB sektor hotel meningkat mencapai Rp 172,001 miliar. Sektor hotel menempati peringkat ke delapan sebagai penyumbang PDRB terbesar Kota Yogyakarta. Berdasarkan harga berlaku, pada tahun 2006, nilai PDRB sektor hotel mencapai Rp 240,439 miliar, kemudian meningkat menjadi Rp 274,766 miliar pada tahun 2007. Selanjutnya pada tahun 2008 nilai PDRB sektor hotel meningkat mencapai Rp 361,416 miliar. Semakin berkembangnya citra Kota Yogyakarta sebagai daerah tujuan wisata, membuat kunjungan wisatawan cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 2005 wisatawan yang berkunjung ke Kota Yogyakarta mencapai 1.070.937 orang. Pada tahun 2007 jumlah wisatawan yang berkunjung ke Kota Yogyakarta meningkat, yaitu mencapai 1.249.421 orang. Selanjutnya pada tahun 2009 kembali meningkat dengan jumlah wisatawan mencapai 1.426.057 orang. Kondisi tersebut berpengaruh terhadap sektor hotel yang merupakan penyedia jasa akomodasi wisata. Pada tahun 2005 terdapat 323 hotel, kemudian pada tahun 2006 jumlahnya bertambah menjadi 336 hotel. Selanjutnya pada tahun 2008 jumlahnya kembali meningkat menjadi 340 hotel. Kondisi tersebut menyebabkan terjadinya peningkatan tenaga kerja yang terserap pada sektor hotel. Pada tahun 2005 jumlah tenagakerja yang terserap pada sektor hotel mencapai 4.283 orang.
6
Pada tahun 2008 jumlahnya meningkat menjadi 4.284 orang (Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota Yogyakarta, 2009). Seiring dengan berkembangnya industri pariwisata Kota Yogyakarta, usaha perhotelan sebagai pendukung kegiatan pariwisata telah mampu memberikan kontribusi yang besar dalam perekonomian Kota Yogyakarta tidak hanya melalui peningkatan PDRB tetapi juga melalui peningkatan PAD yang merupakan sumber pembiayaan daerah untuk melaksanakan pembangunan. Pembangunan dapat dilaksanakan jika pendapatan daerah yang digunakan untuk membiayai pembangunan tersedia dengan memadai. Salah satu sumber pembiayaan daerah yang berasal dari PAD adalah komponen pajak dan retribusi daerah, yang salah satunya adalah pajak hotel. Pajak hotel memberikan hasil yang cukup besar karena didasarkan presentase tertentu uang masuk (10% atau 15% di daerah pariwisata). Dalam usaha menopang eksistensi otonomi daerah yang maju, sejahtera, mandiri, dan berkeadilan, Kota Yogyakarta dihadapkan pada suatu tantangan dalam mempersiapkan strategi dalam perencanaan pembangunan yang akan diambil. Kota Yogyakarta dengan keterbatasan sumberdaya alam yang ada mempunyai sektor-sektor yang berpotensi untuk dikembangkan. Pariwisata yang merupakan salah satu andalan Kota Yogyakarta telah memberikan kontribusi baik langsung maupun tidak langsung terhadap sektor perdagangan, hotel dan restoran. Sektor hotel merupakan sektor potensial di Kota Yogyakarta, sehingga dengan adanya potensi tersebut diharapkan kontribusi yang diberikan oleh sektor hotel
7
dapat memacu pembangunan ekonomi di Kota Yogyakarta pada khususnya dan Propinsi DIY pada umumnya. 1.2.
Perumusan Masalah Sektor hotel merupakan salah satu sektor yang penting dalam
perekonomian Kota Yogyakarta. Selain merupakan salah satu sumber penerimaan daerah di Kota Yogyakarta sektor hotel juga berperan dalam kesempatan berusaha. Peran dan fungsi hotel dalam perekonomian Kota Yogyakarta semakin meningkat seiring dengan semakin berkembangnya fungsi Kota Yogyakarta sebagai kota budaya dan kota tujuan wisata. Dalam meningkatkan kemampuan potensi sektor hotel di Kota Yogyakarta dan untuk dapat bertahan dan bersaing dengan sektor-sektor yang lain, maka harus dapat diketahui seberapa besar potensi, dayasaing, dan pajak sektor hotel bagi perekonomian Kota Yogyakarta. Berdasarkan hal tersebut, maka diperlukan suatu perhitungan dan analisis potensi, dayasaing, dan pajak sektor hotel dalam perekonomian Kota Yogyakarta periode 2005-2009. Tahun 2005-2009 digunakan sebagai bahan evaluasi Rencana Pembangunan Jangka Menegah Daerah (RPJMD) tahun 2007-2011 dan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) 2005-2025 Kota Yogyakarta. Berdasarkan uraian diatas, maka permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut: 1. Bagaimana potensi sektor hotel dalam perekonomian Kota Yogyakarta dilihat dari pertumbuhan dan sektor basis di Kota Yogyakarta periode 2005-2009? 2. Bagaimana kontribusi sektor hotel terhadap perekonomian Kota Yogyakarta periode 2005-2009?
8
3. Bagaimana potensi dan kondisi faktor-faktor yang memengaruhi dayasaing sektor hotel Kota Yogyakarta? 4. Seberapa besar kontribusi dan efektifitas Pajak Hotel terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kota Yogyakarta periode 2005-2009? 1.2.
Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah diatas maka penelitian ini bertujuan untuk : 1. Menganalisis potensi sektor hotel dalam perekonomian Kota Yogyakarta dilihat dari pertumbuhan dan sektor basis di Kota Yogyakarta periode 20052009. 2. Menganalisis kontribusi sektor hotel terhadap perekonomian Kota Yogyakarta periode 2005-2009. 3. Menganalisis potensi dan kondisi faktor-faktor yang memengaruhi dayasaing sektor hotel Kota Yogyakarta. 4. Menganalisis kontribusi dan efektifitas pajak hotel terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kota Yogyakarta periode 2005-2009. 1.3.
Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai potensi,
daya saing dan kontribusi pajak sektor hotel di Kota Yogyakarta, dan bermanfaat untuk: a. Bagi Penulis Merupakan suatu kesempatan untuk menerapkan teori-teori ekonomi yang diperoleh di bangku perkuliahan ke dalam praktek-praktek yang sesungguhnya serta sebagai syarat dalam memperoleh gelar S1.
9
b. Bagi Pengusaha Dari penelitian diharapkan dapat menjadi sumbangan pemikiran bagi pengusaha sektor hotel untuk mengelola usahanya dengan lebih efektif. c. Bagi Pemerintah Kota Yogyakarta Sebagai bahan masukan dan informasi bagi pemerintah Kota Yogyakarta dalam mengembangkan sektor hotel sebagai salah satu pendukung kegiatan pariwisata sehingga dapat berkembang di masa yang akan datang. 1.4.
Ruang Lingkup Penelitian Penelitian yang berjudul Analisis Potensi, Dayasaing, dan Pajak Sektor
Hotel dalam Perekonomian Kota Yogyakarta periode 2005-2009 ini dilakukan pada kepariwisataan khususnya sektor hotel Kota Yogyakarta saja. Pembahasan melingkupi kegiatan usaha hotel yang merupakan subsektor pariwisata. Penelitian ini dianalisis dengan menggunakan metode Shift Share (SS) dan Location Quotient (LQ), analisis dayasaing hotel dengan Porter’s Diamond serta analisis kontribusi pajak hotel Kota Yogyakarta melalui pendekatan analisis kontribusi dan efektivitas perpajakan.
II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN
2.1.
Tinjauan Pustaka
2.1.1.
Definisi Kepariwisataan Menurut Sihite (2000) istilah pariwisata berasal dari bahasa Sanskerta
yang secara etimologi bahasa berasal dari dua suku kata yaitu pari dan suku kata wisata. Pari berarti banyak atau berkali-kali, berputar-putar atau lengkap, sedangkan wisata berarti perjalanan atau berpergian. Berdasarkan uraian tersebut pariwisata diartikan sebagai suatu perjalanan yang dilakukan berkali-kali. Dalam hal ini secara lengkap diartikan sebagai suatu perjalanan yang dilakukan orang untuk sementara waktu, yang diselenggarakan dari suatu tempat ke tempat lain meninggalkan tempatnya semula, dengan suatu perencanaan dan dengan maksud bukan untuk berusaha dan mencari nafkah di tempat yang dikunjungi, tetapi semata-mata untuk menikmati kegiatan pertamasyaan dan rekreasi (pemanfaatan waktu luang untuk istirahat, santai dan bersenang-senang guna mengembalikan dan meningkatkan kesegaran dan kesehatan jasmani dan rohani sebagai akibat dan aktivitas pekerjaan sehari-hari) atau untuk memenuhi keinginan yang beraneka ragam. Menurut
Undang-Undang
RI
Nomor
10
Tahun
2009
tentang
Kepariwisataan, di jelaskan bahwa kepariwisataan adalah keseluruhan kegiatan yang terkait dengan pariwisata dan bersifat multidimensi serta multidisiplin yang muncul sebagai wujud kebutuhan setiap orang dan negara serta interaksi antara
11
wisatawan dan masyarakat setempat, sesama wisatawan, pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan pengusaha. Menurut Cooper (1993), pariwisata adalah serangkaian kegiatan perjalanan yang dilakukan oleh perorangan, keluarga, atau kelompok dari tempat tinggal asalnya ke berbagai tempat lain dengan tujuan melakukan kunjungan wisata dan bukan untuk bekerja atau mencari penghasilan di tempat tujuan. Kunjungan yang dimaksud bersifat sementara dan pada waktunya akan kembali pada tempat tinggal semula. Hal tersebut memiliki dua elemen penting yaitu, perjalanan itu sendiri dan tinggal sementara di tempat tujuan dengan berbagai aktivitas wisatanya. 2.1.2. Definisi Wisatawan Istilah wisatawan berasal dari bahasa Sansekerta yang terdiri dari kata wisata yang berarti perjalanan dan wan untuk menyatakan orang dengan profesinya, keahliannya, keadaannya, jabatannya atau kedudukannya seseorang. Secara sederhana, wisatawan berarti orang yang melakukan perjalanan. Secara lengkap World Tourism Organization dan International Union of Office Travel Organization menjelaskan bahwa wisatawan adalah setiap orang yang mengunjungi suatu negara di luar tempat tinggalnya didorong oleh satu atau beberapa keperluan tanpa bermaksud memperoleh penghasilan di tempat yang dikunjungi yang tinggal paling sedikit 24 jam, akan tetapi tidak lebih dari enam bulan di tempat yang dikunjungi dengan maksud kunjungan antara lain: berlibur, rekreasi dan olahraga, bisnis, mengunjungi teman dan keluarga, misi, menghadiri
12
pertemuan, konferensi kunjungan alasan kesehatan, belajar, dan keagamaan (BPS Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, 2007). Marpaung (2002) menjelaskan bahwa wisatawan adalah setiap orang yang melakukan perjalanan dan menetap untuk sementara di tempat lain selain tempat tinggalnya untuk salah satu atau beberapa alasan selain mencari pekerjaan. Berdasarkan definisi diatas dapat disimpulkan bahwa wisatawan adalah orang yang melakukan perjalanan: a. lebih dari 24 jam b. tinggal untuk sementara waktu c. jauh dari tempat tinggalnya semula d. tidak untuk mencari nafkah atau mendapatkan upah di tempat atau di negara yang dikunjunginya. Sihite (2000) membagi wisatawan ke dalam 2 kelompok besar, yaitu: a. Wisatawan dalam negeri atau wisatawan nusantara (wisnus), yaitu warga suatu negara yang mengadakan perjalanan wisata di dalam lingkungan negara tesebut (tidak melewati batas negara lain). b. Wisatawan luar negeri atau wisatawan mancanegara (wisman), yaitu warga suatu negara yang mengadakan perjalanan wisata keluar lingkungan dari negaranya (memasuki negara lain). 2.1.3. Definisi Hotel Definisi hotel menurut SK Menteri Pariwisata, Pos, dan Telekomunikasi No.
KM
37/PW.340/MPPT-86,
adalah
suatu
jenis
akomodasi
yang
mempergunakan sebagian atau seluruh bangunan untuk menyediakan jasa
13
penginapan, makanan dan minuman, serta jasa penunjang lainnya bagi umum yang dikelola secara komersial. Hotel merupakan salah satu penunjang kegiatan pariwisata. Dalam proses perkembangannya usaha perhotelan telah mampu memberikan kontribusi dan peranan yang cukup baik bagi terciptanya pariwisata yang nyaman. Di daerah tujuan wisata, hotel yang berdiri biasanya merupakan hotel resort atau tempat peristirahatan dan rekreasi yang ditujukan bagi para wisatawan. Hotel adalah suatu usaha yang menggunakan suatu bangunan yang disediakan secara khusus, dimana setiap orang dapat menginap, makan, memeproleh pelayanan, dan menggunakan fasilitas lainnya dengan pembayaran (BPS Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, 2010). Marpaung (2002) mendefinisikan hotel sebagai suatu kegiatan usaha yang dikelola dengan menyediakan jasa pelayanan, makanan dan minuman, serta kamar untuk tidur atau istirahat bagi pelaku perjalanan (wisatawan) dengan membayar secara pantas sesuai dengan fasilitas yang ditawarkan tanpa ada perjanjian khusus yang rumit. BPS Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (2010) secara umum mengkualifikasikan hotel menjadi dua, yaitu: hotel nonbintang dan hotel berbintang. Ciri khusus dari hotel berbintang yaitu memiliki restoran sebagai salah satu fasilitas yang disediakan yang pengelolaannya menjadi satu dibawah manajemen hotel tersebut dan ditangani dengan lebih profesional oleh divisi yang secara khusus menangani restorannya. Selain itu, ciri khusus lainnya adalah hotel tersebut telah memenuhi persyaratan sebagai hotel berbintang seperti yang
14
ditentukan oleh Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota Yogyakarta. Persyaratan tersebut antara lain: a. persyaratan fisik seperti lokasi hotel dan kondisi bangunan, b. bentuk pelayanan yang diberikan, c. kualifikasi tenagakerja, seperti pendidikan dan kesejahteraan karyawan, d. fasilitas olahraga dan rekreasi lainnya yang tersedia, seperti lapangan tenis, kolam renang, dan diskotik, e. jumlah kamar yang tersedia. Sedangkan untuk kualifikasi hotel nonbintang belum memenuhi persyaratan sebagai hotel berbintang seperti yang ditentukan oleh Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota Yogyakarta. 2.1.4. Teori Basis Ekonomi Glasson (1977) menyatakan bahwa teori basis ekonomi menyederhanakan suatu perekonomian regional dan membaginya menjadi dua sektor. Dalam teori basis ekonomi, perekonomian di suatu wilayah terbagi ke dalam dua sektor utama, yaitu sektor basis dan sektor nonbasis. Sektor basis adalah sektor yang mengekspor barang dan jasa ataupun tenaga kerja ke tempat-tempat di luar batas perekonomian daerah yang bersangkutan. Ekspor sektor basis dapat juga pengeluaran orang asing yang berada di daerah tesebut terhadap barang-barang yang tidak bergerak seperti tempat wisata, peninggalan sejarah, museum, dan sebagainya. Dengan demikian, sektor basis adalah sektor ekonomi yang selain mampu memenuhi permintaan akan barang dan jasa dari dalam daerah itu sendiri,
15
akan tetapi juga mampu memenuhi permintaan akan barang dan jasa dari luar daerahnya. Sektor nonbasis adalah sektor yang menyediakan barang dan jasa yang dibutuhkan oleh masyarakat yang bertempat tinggal di dalam batas-batas daerah itu sendiri. Sektor ini tidak mengekspor barang dan jasa juga tenaga kerja sehingga luas lingkup produksi dan daerah pasar sektor nonbasis hanya bersifat lokal. Sektor nonbasis hanya mampu memenuhi permintaan barang dan jasa untuk daerahnya sendiri. Menurut Priyarsono et al . (2007), sektor basis atau nonbasis tidak bersifat statis tetapi dinamis sehingga dapat mengalami peningkatan atau bahkan kemunduran dan definisinya dapat bergeser setiap tahun. Adapun sebab-sebab kemajuan sektor basis adalah: 1. Perkembangan jaringan komunikasi dan transportasi. 2. Perkembangan pendapatan dan penerimaan daerah. 3. Perkembangan teknologi. 4. Pengembangan prasarana ekonomi dan sosial. Sedangkan penyebab kemunduran sektor basis adalah : 1. Adanya penurunan permintaan di luar daerah. 2. Kehabisan cadangan sumberdaya. Untuk mengetahui sektor basis dan nonbasis dapat digunakan metode pengukuran langsung maupun tidak langsung. Pada metode pengukuran langsung, penentuan sektor basis dan nonbasis dilakukan melalui survei langsung di daerah
16
yang bersangkutan. Sedangkan pada metode pengukuran tidak langsung, penentuan sektor basis dan nonbasis dilakukan dengan menggunakan data PDB/PDRB dan tenaga kerja per sektor. 1. Metode Pengukuran Langsung Pada metode pengukuran langsung, survei dilakukan terhadap sembilan sektor utama yang terdapat di daerah tersebut. Jika sektor yang disurvei berorientasi ekspor maka sektor tersebut dikelompokkan kedalam sektor basis dan sebaliknya jika sektor tersebut hanya memiliki pasar pada skala lokal maka sektor tersebut dikategorikan ke dalam sektor nonbasis. Metode ini mudah untuk dilakukan, namun memiliki beberapa kelemahan, yaitu: a. Biaya yang dibutuhkan untuk melakukan survei secara langsung tidak sedikit, terutama jika daerah yang disurvei cukup luas. b. Umumnya dibutuhkan waktu yang cukup lama untuk melakukan survei langsung di suatu daerah. c. Membutuhkan banyak tenaga kerja, selain itu tenaga kerja yang melakukan survei harus memiliki skill tersendiri dalam mengidentifikasi sektor basis dan nonbasis. 2. Metode Pengukuran Tidak Langsung Secara umum terdapat tiga metode yang digunakan untuk menentukan basis dan sektor nonbasis di suatu daerah berdasarkan pengukuran tidak langsung, yaitu:
17
a. Metode Asumsi Berdasarkan pendekatan ini, sektor primer dan sekunder diasumsikan sebagai sektor basis sedangkan sektor tersier dianggap sebagai sektor nonbasis.
Sektor
primer
meliputi
sektor
pertanian
dan
sektor
pertambangan/galian. Sektor sekunder meliputi sektor-sektor yang termasuk dalam klasifikasi sektor industri pengolahan. Adapun sektor tersier meliputi sektor jasa-jasa (listrik, gas, dan air bersih, transportasi, keuangan, dan sektor-sektor jasa lainnya). Metode ini cukup baik diterapkan pada daerah yang luasnya relatif kecil dan tertutup serta jumlah sektornya sedikit. b. Metode Location Quotient (LQ) Metode Location Quotient (LQ) merupakan perbandingan antara pangsa relatif pendapatan (tenagakerja) sektor i pada tingkat wilayah terhadap pendapatan (tenagakerja) total wilayah dengan pangsa relatif pendapatan (tenagakerja) sektor i pada tingkat nasional terhadap pendapatan (tenagakerja) nasional. Hal tersebut secara matematis dapat dinyatakan sebagai berikut:
LQ =
Dimana: vi = Pendapatan (tenagakerja) sektor i pada tingkat wilayah. vt = Pendapatan (tenagakerja) total wilayah.
18
Vi = Pendapatan (tenagakerja) sektor i pada tingkat nasional. Vt = Pendapatan (tenagakerja) total nasional. Apabila LQ suatu sektor (industri) ≥ 1, maka sektor (industri) tersebut merupakan sektor basis. Sedangkan bila LQ suatu sektor (industri) < 1, maka sektor (industri) tersebut merupakan sektor nonbasis. Asumsi metode LQ ini adalah penduduk di wilayah yang bersangkutan mempunyai pola permintaan wilayah sama dengan pola permintaan nasional. Asumsi lainnya adalah bahwa permintaan wilayah akan sesuatu barang
akan
dipenuhi
terlebih
dahulu
oleh
produksi
wilayah,
kekurangannya diimpor dari wilayah lain. Kelemahan metode ini adalah kegagalannya untuk menghitung ketidakseragaman permintaan dan produktivitas nasional secara menyeluruh. Kemudian metode ini mengabaikan fakta bahwa sebagian produksi nasional adalah untuk orang asing yang tinggal di wilayah tersebut. Untuk menanggulangi kelemahan metode tersebut dapat dilakukan beberapa modifikasi. Misalnya dengan melakukan survei contoh. Biaya, waktu dan tenagakerja yang besar pasti diperlukan dalam survei tersebut. c. Metode Kombinasi Antara Pendekatan Asumsi Dengan Metode LQ Metode kombinasi antara pendekatan asumsi dengan metode LQ dikemukakan oleh Hoyt. Ada beberapa aturan untuk membedakan sektor basis dengan nonbasis yang pertama semua tenagakerja dan pendapatan dari sektor (industri) ekstraktif adalah sektor basis, yang kedua semua
19
tenaga kerja dan pendapatan dari sumber “khusus” seperti politik, pendidikan, kelembagaan, tempat peristirahatan, dan kegiatan hiburan dipertimbangkan sebagai sektor nonbasis. d. Metode Pendekatan Kebutuhan Minimum (MPKM) Metode pendekatan kebutuhan minimum melibatkan penyeleksian sejumlah wilayah yang “sama” dengan wilayah yang diteliti, dengan menggunakan distribusi minimum dari tenagakerja regional dan bukannya distribusi rata-rata (Budiharsono, 2001).
2.1.5. Analisis Shift Share Analisis S-S adalah suatu analisis mengenai perubahan berbagai indikator kegiatan ekonomi, seperti produksi dan kesempatan kerja pada dua titik waktu di suatu wilayah. Penelitian ini menggunakan metode analisis S-S karena dalam analisis dapat merinci penyebab perubahan berbagai faktor yang dapat menyebabkan terjadinya perubahan struktur ekonomi suatu daerah dari satu kurun waktu ke kurun waktu berikutnya. Kegunaan analisis S-S ini yaitu melihat perkembangan dari sektor perekonomian suatu wilayah terhadap perkembangan ekonomi wilayah yang lebih luas, serta melihat perkembangan sektor-sektor perekonomian jika dibandingkan secara relatif dengan sektor lain. Selain itu analisis S-S melihat perkembangan dalam membandingkan besar aktivitas suatu sektor pada wilayah tertentu dan pertumbuhan antar wilayah.
20
Menurut Priyarsono et al. (2007), analisis shift share adalah salah satu alat analisis yang digunakan untuk mengidentifikasi sumber pertumbuhan ekonomi baik dari sisi pendapatan maupun dari sisi tenagakerja pada suatu wilayah tertentu selama dua periode waktu. Terdapat tiga komponen utama dalam analisis shift share, yaitu Komponen Pertumbuhan Nasional (PN), Komponen Pertumbuhan Proposional (PP), dan Komponen Pertumbuhan Pangsa Wilayah (PPW). Komponen
Pertumbuhan
Nasional
(PN)
yaitu
perubahan
produksi/kesempatan kerja suatu wilayah yang disebabkan oleh perubahan produksi/kesempatan kerja nasional secara umum, perubahan kebijakan ekonomi nasional atau perubahan dalam hal-hal yang mempengaruhi perekonomian semua sektor dan wilayah misalnya devaluasi, kecederungan inflasi, pengangguran, dan kebijakan perpajakan. Komponen Pertumbuhan Proposional (PP) yaitu perbedaan sektor dalam permintaan produk akhir, perbeedaan dalam ketersediaan bahan mentah, perbedaan dalam kebijakan industri (seperti kebijakan perpajakan, subsisdi, dan price support) dan perbedaan dalam struktur dan keragaman pasar. Komponen Pertumbuhan Pangsa Wilayah (PPW) yaitu peningkatan atau penurunan produksi/kesempatan kerja dalam suatu wilayah dibandingkan dengan wilayah lainnya. Cepat lambatnya pertumbuhan suatu wilayah dibandingkan dengan wilayah lainnya ditentukan oleh keunggulan komparatif, akses ke pasar, dukungan kelembagaan, prasarana sosial ekonomi, serta kebijakan ekonomi regional pada wilayah tersebut.
21
Berdasarkan ketiga komponen pertumbuhan wilayah tersebut dapat ditentukan dan diidentifikasi perkembangan suatu sektor ekonomi pada suatu wilayah. Apabila PP + PPW > 0, maka dapat dikatakan bahwa pertumbuhan sektor ke i di wilayah ke j termasuk ke dalam kelompok progresif (maju). Sementara itu, PP + PPW < 0 menunjukan bahwa pertumbuhan sektor ke i pada wilayah ke j tergolong pertumbuhan yang lambat. Terdapat enam langkah utama dalam analsis shift share. Keenam langkah tersebut adalah sebagai berikut: 1. Menentukan wilayah yang akan dianalisis. Wilayah analisis dapat dilakukan di tingkat provinsi, kabupaten, atau kota. Jika wilayah analisis yang dipilih adalah kabupaten atau kota maka wilayah atasnya adalah provinsi atau nasional. 2. Menentukan indikator kegiatan ekonomi dan periode analisis. Indikator yang umum digunakan adalah pendapatan dan kesempatan kerja. 3. Menentukan sektor ekonomi yang akan dianalisis. Pada tahap ini tentukan sektor apa saja yang menjadi fokus utama, misalnya sektor pertanian. 4. Menghitung perubahan indikator kegiatan ekonomi. 5. Menghitung rasio indikator kegiatan ekonomi (produksi/kesempatan kerja). 6. Menghitung Komponen Pertumbuhan Wilayah. 2.1.6. Dayasaing Porter’s Diamond Dayasaing usaha dapat didefinisikan sebagai kemampuan usaha suatu perusahaan dalam industri untuk menghadapi berbagai lingkungan yang dihadapi
22
(Porter, 1998). Dalam ilmu ekonomi, dayasaing identik dengan konsep efisiensi. Dengan menggunakan kriteria atau melihat indikator tertentu sebagai acuan, maka dapat diukur tingkat kuat lemahnya dayasaing. Adapun elemen dari Diamond Model tersebut dapat dilihat pada Gambar 1. Kondisi faktor dalam analisis Porter adalah variabel-variabel yang sudah ada dan dimiliki oleh suatu industri seperti sumberdaya manusia (human resource), modal (capital resource), infrastruktur fisik (physical infrastructure), infrastruktur informasi (information infrastructure) serta sumberdaya alam. Semakin tinggi kualitas faktor input, maka semakin besar peluang industri untuk meningkatkan dayasaing dan produktivitas. Kondisi permintaan merupakan sifat asal untuk barang dan jasa. Semakin maju suatu masyarakat dan semakin demanding pelanggan dalam negeri, maka industri akan selalu berupaya untuk meningkatkan kualitas produk atau melakukan inovasi guna memenuhi keinginan pelanggan lokal (sophisticated and demanding local customer). Adanya perdagangan internasional, menyebabkan kondisi permintaan tidak hanya berasal dari lokal tetapi juga bersumber dari luar negeri. Adanya industri pemasok dan terkait akan meningkatkan efisiensi dan sinergi dalam suatu industri. Sinergi dan efisiensi dapat tercipta terutama transaction cost, sharing teknologi, informasi maupun keahlian tertentu yang dapat dimanfaatkan oleh industri atau perusahaan lainnya. Manfaat lain industri pemasok dan terkait adalah akan terciptanya dayasaing dan produktivitas yang meningkat.
23
Strategi Perusahaan, Struktur dan Persaingan Peran Pemerintah
Kondisi
Kondisi
Faktor
Permintaan
Industri Pendukung Dan Industri Terkait
Peran Kesempatan
Sumber: Porter, 1998. Gambar 2.1. Porter’s Diamond Model. Strategi perusahaan dan pesaing dalam Diamond Model juga penting karena kondisi ini akan memotivasi perusahaan atau industri untuk meningkatkan kualitas produk yang dihasilkan dan selalu mencari inovasi baru. Dengan adanya persaingan yang sehat, perusahaan akan selalu mencari strategi baru yang cocok dan berupaya untuk selalu meningkatkan efisiensi. 2.1.7. Definisi Pajak Pajak adalah pembayaran iuran oleh rakyat kepada pemerintah. Banyak ahli memberikan batasan tentang pajak, definisi pajak menurut pakar adalah: a. Menurut Feldmann (1949), pajak adalah “prestasi yang dipaksakan sepihak oleh
dan
terutang
kepada
penguasa,
(menurut
norma-norma
yang
24
ditetapkannya secara umum), tanpa ada kontra-prestasi dan semata-mata digunakan untuk menutup pengeluaran-pengeluaran umum”. b. Menurut Soemitro (1997), pajak adalah “iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang (yang dipaksakan) dengan tiada pendapat jasatimbal (kontra-prestasi), yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum”. Dari pengertian pajak diatas, dapat disimpulkan bahwa ada lima unsur yang melekat dalam pengertian pajak adalah: a. Pembayaran pajak harus berdasarkan undang-undang. b. Sifatnya dapat dipaksakan. c. Tidak ada kontra-prestasi (imbalan) yang langsung dapat dirasakan oleh pembayar pajak. d. Pemungutan pajak dilakukan oleh negara baik oleh pemerintah pusat maupun daerah (tidak boleh dipungut oleh swasta). e. Pajak digunakan untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran pemerintah (rutin dan pembangunan) bagi kepentingan masyarakat umum. 2.1.8. Pengklasifikasian Pajak Berdasarkan Siahaan (2006), terdapat berbagai jenis pajak, yang dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu menurut golongan, menurut sifat, dan menurut lembaga pemungutnya. 1. Menurut Golongan Menurut golongan, pajak dikelompokkan menjadi dua yaitu pajak langsung dan pajak tidak langsung.
25
a. Pajak Langsung Pajak langsung adalah pajak yang harus dipikul atau ditanggung sendiri oleh wajib pajak dan tidak bisa dilimpahkan atau dibebankan kepada orang lain atau pihak lain. Pajak harus menjadi beban sendiri oleh wajib pajak yang bersangkutan. Contoh: Pajak Penghasilan (PPh). Pajak penghasilan dibayar atau ditanggung
oleh
pihak-pihak
tertentu
yang
memperoleh
penghasilan tersebut. b. Pajak Tidak Langsung Pajak tidak langsung adalah pajak yang pada akhirnya dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain atau pihak ketiga. Pajak tidak langsung terjadi jika terdapat suatu kegiatan, peristiwa, perbuatan yang menyebabkan terutangnya pajak, misal terjadi penyerahan barang atau jasa. Contoh: Pajak Pertambahan Nilai (PPN). 2. Menurut Sifat Menurut sifatnya, pajak dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu pajak subjektif dan pajak objektif. a. Pajak Subjektif Pajak Subjektif adalah pajak yang pengenaannya memperhatikan pada keadaan pribadi wajib pajak atau pengenaan pajak yang memperhatikan keadaan subjeknya. Contoh: Pajak Penghasilan (PPh).
26
b. Pajak Obyektif Pajak yang pengenaannya memperhatikan pada objeknya baik berupa
benda,
keadaan,
perbuatan,
atau
peristiwa
yang
mengakibatkan timbulnya kewajiban membayar pajak, tanpa memperhatikan keadaan pribadi subjek pajak (wajib pajak) maupun tempat tinggal. Contoh: Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah. 3. Menurut Lembaga Pemungut a. Pajak Negara atau Pajak Pusat Pajak negara atau pajak pusat yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat dan digunakan untuk membiayai rumah tangga negara. b. Pajak Daerah Pajak Daerah yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah dan digunakan untuk membiayai rumah tangga daerah. Pajak daerah terdiri dari: 1. Pajak Daerah Provinsi Contoh: Pajak Kendaraan Bermotor dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor. 2. Pajak Daerah Kabupaten/Kota Contoh: Pajak Pembangunan, Pajak Penerangan Jalan.
27
2.1.9. Fungsi Pajak Berdasarkan Siahaan (2006), pembangunan yang ada selama ini tidak terlepas dari peran serta masyarakat dalam membayar pajak. Hasil dari penerimaan pajak tersebut digunakan untuk melaksanakan pembangunan bagi kesejahteraan rakyat. Dengan demikian pajak mempunyai beberapa fungsi, antara lain: a. Fungsi Budgetary Dalam fungsinya sebagai budgetary, pajak dipergunakan sebagai alat untuk mengumpulkan dana guna membiayai kegiatan pemerintah, terutama kegiatan–kegiatan rutin. b. Fungsi Regulatory Sebagai fungsi regulatory, yaitu mengatur perekonomian guna menuju pertumbuhan ekonomi yang lebih cepat, mengadakan distribusi pendapatan serta stabilitas ekonomi. c. Fungsi Sosial Dalam fungsi ini hak milik seseorang diakui dan pemanfaatannya tidak boleh bertentangan dengan kepentingan masyarakat atau boleh dikatakan bahwa besarnya pemungutan pajak harus disesuaikan dengan kekuatan seseorang untuk dapat mencapai kepuasan kebutuhan setinggi-tingginya setelah dikurangi yang mutlak untuk kebutuhan primer. Cara pemungutan pajak kepada masyarakat ditandai dengan falsafah Pancasila dan UUD 1945 terutama rasa keadilannya. Sistem atau cara pemungutan pajak kepada
28
masyarakat wajib pajak berdasarkan falsafah Pancasila dan UUD 1945 harus melihat beberapa unsur subjektif yang ada bagi wajib pajak, yaitu: a. Keharusan memberi kebebasan wajib pajak atas pendapatan untuk kehidupan minimum. b. Keharusan memperhatikan fungsi-fungsi perorangan dan keadaan-keadaan yang berpengaruh terhadap besar kecilnya kebutuhan, seperti susunan dan keadaan keluarga, kesehatan, dan sebagainya. Secara umum unsur-unsur subjektif diatas merupakan segala kebutuhan, terutama material dan juga spiritual, makin banyak kebutuhan yang harus dipenuhi, makin kecil kekuatan seseorang untuk membayar pajak. 2.1.10. Pajak Daerah Berdasarkan Undang-Undang Nomor 34 tahun 2000 tentang Pajak Daerah, pajak daerah adalah iuran wajib yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan kepala daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang, yang dapat dilaksanakan berdasarkan perundang-undangan yang berlaku, yang digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintah daerah dan pembangunan daerah. Pajak daerah dapat dibedakan menjadi dua yaitu pajak daerah provinsi dan pajak daerah kota/kabupaten, yaitu: (Siahaan, 2006). 1. Pajak Daerah Provinsi Berdasarkan Undang-Undang No. 34 tahun 2000 tentang Pajak Daerah disebutkan bahwa pajak daerah yang dapat dipungut pada tingkat provinsi antara lain:
29
a. Pajak Bea Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air. b. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor. c. Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor. d. Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan. 2. Pajak Daerah Kabupaten/Kota Menurut Undang-Undang No. 34 tahun 2000 tentang Pajak Daerah disebutkan bahwa pajak daerah yang dapat dipungut oleh daerah kabupaten/kota, antara lain: a. Pajak Hotel b. Pajak Restoran c. Pajak Hiburan d. Pajak Reklame e. Pajak Penerangan Jalan f. Pajak Pengambilan Bahan Galian Golongan C g. Pajak Parkir 2.1.11. Pajak Hotel Pajak hotel adalah pajak atas pelayanan hotel. Pengertian hotel di sini termasuk juga rumah penginapan yang memungut bayaran. Pengenaan Pajak Hotel tidak mutlak ada pada seluruh daerah kabupaten atau kota yang ada di Indonesia. Hal ini berkaitan dengan kewenangan yang diberikan kepada pemerintah kabupaten atau kota untuk mengenakan atau tidak mengenakan suatu jenis pajak kabupaten/kota. Oleh karena itu, untuk dapat dipungut pada suatu
30
kabupaten/kota, pemerintah daerah harus terlebih dahulu menerbitkan peraturan daerah tentang Pajak Hotel. Peraturan itu akan menjadi landasan hukum operasional dalam teknis pelaksanaan pengenaan dan pemungutan Pajak Hotel di daerah kabupaten atau kota yang bersangkutan (Siahaan, 2006). Dasar hukum pemungutan Pajak Hotel di Indonesia saat ini didasarkan pada dasar hukum yang jelas dan kuat sehingga harus dipatuhi oleh masyarakat dan pihak yang terkait. Dasar hukum pemungutan Pajak Hotel pada suatu kabupaten atau kota adalah sebagai berikut: a. Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 yang merupakan perubahan atas Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. b. Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2001 tentang Pajak Daerah. c. Peraturan daerah kabupaten/kota yang mengatur tentang Pajak Hotel. d. Keputusan bupati/walikota yang mengatur tentang Pajak Hotel sebagai aturan pelaksanaan peraturan daerah tentang Pajak Hotel pada kabupaten/kota dimaksud. Objek Pajak Hotel adalah pelayanan yang disediakan oleh hotel dengan pembayaran, termasuk pelayanan seperti: a. Fasilitas penginapan atau fasilitas tinggal jangka pendek. Dalam pengertian rumah penginapan termasuk rumah kos dengan jumlah kamar sepuluh atau lebih yang menyediakan fasilitas seperti rumah penginapan. Fasilitas penginapan/fasilitas tinggal jangka pendek antara
31
lain:
gubuk
pariwisata
(cottage),
motel,
wisma
pariwisata,
pesanggerahan (hostel), losmen, dan rumah penginapan. b. Pelayanan penunjang sebagai kelengkapan fasilitas penginapan atau tempat tinggal jangka pendek yang sifatnya memberikan kemudahan dan kenyamanan. Pelayanan penunjang, antara lain telepon, faksimile, teleks, fotokopi, pelayanan cuci, setrika, taksi dan pengangkutan lainnya, yang disediakan atau dikelola hotel. c. Fasilitas olahraga dan hiburan yang disediakan khusus untuk tamu hotel, bukan untuk umum. Fasilitas olahraga dan hiburan antara lain pusat kebugaran (fitness center), kolam renang, tenis, golf, pub, diskotik, yang disediakan atau dikelola hotel. d. Jasa persewaan ruangan untuk kegiatan acara atau pertemuan di hotel. Pada Pajak Hotel, yang menjadi subjek pajak adalah orang pribadi atau badan yang melakukan pembayaran atas pelayanan hotel. Secara sederhana yang menjadi subjek pajak adalah konsumen yang menikmati dan membayar pelayanan yang diberikan oleh pengusaha hotel. Sementara itu, yang menjadi wajib pajak adalah pengusaha hotel, yaitu orang pribadi atau badan dalam bentuk apapun yang dalam lingkungan perusahaan atau pekerjaannya melakukan usaha di bidang jasa penginapan. Dengan demikian, subjek pajak dan wajib pajak pada Pajak Hotel tidak sama. Konsumen yang menikmati pelayanan hotel merupakan subjek pajak yang membayar (menanggung) pajak sedangkan pengusaha hotel bertindak sebagai wajib pajak yang diberi kewenangan untuk memungut pajak dari konsumen (subjek pajak) dan melaksanakan kewajiban perpajakan lainnya.
32
Dalam menjalankan kewajiban perpajakannya wajib pajak dapat diwakili oleh pihak tertentu yang diperkenankan oleh undang-undang dan peraturan daerah tentang Pajak Hotel. Wakil wajib pajak bertanggung jawab secara pribadi atas pembayaran pajak terutang. Selain itu, wajib pajak dapat menunjuk seorang kuasa dengan surat kuasa khusus untuk menjalankan hak dan memenuhi kewajiban perpajakannya. Dasar pengenaan Pajak Hotel adalah jumlah pembayaran yang dilakukan kepada hotel. Pembayaran adalah jumlah uang yang harus dibayar oleh subjek pajak kepada wajib pajak untuk harga jual baik jumlah uang yang dibayarkan maupun penggantian yang seharusnya diminta wajib pajak sebagai penukaran atas pemakaian jasa tempat penginapan dan fasilitas penunjang termasuk pula semua tambahan dengan nama apa pun juga dilakukan berkaitan dengan usaha hotel. Tarif pajak Pajak Hotel ditetapkan paling tinggi sebesar sepuluh persen dan ditetapkan dengan peraturan daerah kabupaten/kota yang bersangkutan. 2.1.12. Hubungan Pajak Hotel dengan Pendapatan Asli Daerah 1.
Pengertian Pendapatan Asli Daerah Menurut Siahaan (2006), Pendapatan Asli Daerah (PAD) dikategorikan
dalam pendapatan rutin Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Pendapatan
Asli
Daerah
(PAD)
merupakan
suatu
pendapatan
yang
menunjukkan suatu kemampuan daerah menghimpun sumber-sumber dana untuk membiayai kegiatan rutin maupun pembangunan. Pengertian dari Pendapatan Asli Daerah (PAD) dapat dikatakan sebagai pendapatan rutin dari
33
usaha-usaha pemerintah daerah dalam memanfaatkan potensi-potensi sumber keuangan daerahnya untuk membiayai tugas dan tanggung jawabnya. Dalam rangka menyelenggarakan pemerintahan, pelayanan masyarakat dan pembangunan, maka pemerintah suatu negara pada hakikatnya mengemban tugas dan fungsi utama yaitu fungsi alokasi yang meliputi pendapatan dan kekayaan masyarakat, pemerataan pembangunan, dan fungsi stabilitas yang meliputi antara lain, pertahanan dan keamanan, ekonomi dan moneter. Fungsi distribusi dan fungsi stabilitas pada umumnya lebih efektif dilaksanakan oleh pemerintah daerah, karena daerah pada umumnya kebutuhan serta standar pelayanan masyarakat. Dengan demikian pembagian tiga fungsi dimaksudkan sangat penting sebagai landasan dalam menentukan dasar-dasar perimbangan keuangan antara pusat dan daerah. Mendorong penyelenggaraan otonomi daerah memerlukan kewenangan yang luas, nyata, dan tanggung jawab di daerah secara proposional yang diwujudkan dengan pengaturan, pembagian, dan pemanfaatan sumberdaya nasional yang berkeadilan serta perimbangan keuangan pemerintah pusat dan daerah. Sumber pembiayaan pemerintah daerah dalam rangka perimbangan keuangan pemerintah pusat dan daerah dilaksanakan atas dasar desentralisasi, dekonsentrasi, dan pembantuan. 2.
Sumber Pendapatan Asli Daerah Sumber-sumber pembiayaan pelaksanaan desentralisasi terdiri dari
Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Perimbangan, Pinjaman Daerah dan lain-
34
lain penerimaan yang sah. Sumber Pendapatan Asli Daerah merupakan sumber keuangan daerah yang digali dalam wilayah daerah yang bersangkutan, yang terdiri: a.
Pajak Daerah Pajak daerah merupakan pungutan daerah menurut peraturan daerah yang dipergunakan untuk membiayai urusan rumah tangga daerah sebagai badan hukum publik.
b.
Retribusi Daerah Retribusi daerah merupakan pungutan daerah sebagai pembayaran pemakaian atau karena memperoleh jasa atau pekerjaan atau pelayanan pemerintah daerah dan jasa usaha milik daerah bagi yang berkepentingan atas jasa yang diberikan oleh daerah baik langsung maupun tidak langsung.
c.
Bagian Laba Badan Usaha Milik Daerah Bagian Badan Usaha Milik Daerah ialah bagian keuntungan atau laba bersih dari perusahaan daerah atas badan lain yang merupakan badan usaha milik daerah.
d.
Lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang Sah Lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang Sah merupakan penerimaan selain yang disebutkan di atas tapi sah. Penerimaan ini mencakup sewa rumah dinas daerah, sewa gedung dan tanah milik daerah, jasa giro, hasil penjualan barang-barang bekas milik daerah dan penerimaan-penerimaan lain yang sah menurut undang-undang.
35
Pajak hotel merupakan bagian dari pajak daerah, yang terdapat dalam PAD. PAD merupakan salah satu sumber pembiayaan pemerintah dan pembangunan daerah yang digunakan untuk membiayai kegiatan pemerintah dan pembangunan daerah yang bersangkutan. Pajak Hotel sebagai salah satu penyumbang pendapatan daerah sangat potensial untuk ditingkatkan mengingat peran pajak hotel ini dalam peningkatan PAD. Pajak Hotel bisa terus diupayakan dan dimaksimalkan pemungutannya sesuai dengan peraturan yang berlaku. Peningkatan PAD ini diharapkan akan memperlancar jalannya pembangunan dan pemerintahan. Pembangunan yang berjalan dengan lancar diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Setelah diketahuinya pengaruh pajak hotel terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD) maka upaya peningkatan pajak hotel untuk menambah keuangan daerah harus dilanjutkan dan lebih ditingkatkan. 2.1.13. Analisis Kontribusi dan Efektivitas Pajak 1. Kontribusi Perhitungan kontribusi pajak hotel terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kota Yogyakarta digunakan untuk mengetahui seberapa besar kontribusi yang dapat disumbangkan dari penerimaan pajak hotel terhadap penerimaan PAD Kota Yogyakarta, maka dibandingkana antara realisasi penerimaan pajak hotel terhadap PAD. Rumus yang digunakan untuk menghitung kontribusi sebagai berikut: (Budiyuwono, 1995). Pn
100%
36
Keterangan : Pn =
Kontribusi penerimaan pajak hotel terhadap Pendapatan Asli Daerah (Rupiah)
QY =
Jumlah penerimaan pendapatan asli daerah (Rupiah)
QX =
Jumlah penerimaan pajak hotel (Rupiah)
n =
Tahun (periode) tertentu. Dengan analisis ini kita akan mendapatkan seberapa besar kontribusi
pajak hotel terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD) di Kota Yogyakarta. Dengan membandingkan hasil analisis tersebut dari tahun ke tahun selama lima tahun kita akan mendapatkan hasil analisis yang berfluktuasi dari kontribusi tersebut dan akan diketahui kontribusi yang terbesar dan yang terkecil dari tahun ke tahun. Sehingga dapat diketahui seberapa besar peran pajak hotel dalam menyumbang kontribusi terhadap Pendapatan Asli Daerah Kota Yogyakarta. 2. Efektivitas Efektivitas yaitu hubungan antara output dan tujuan atau dapat juga dikatakan merupakan ukuran seberapa jauh tingkat output tertentu, kebijakan, dan prosedur dari organisasi. Efektivitas juga berhubungan dengan derajat keberhasilan suatu operasi pada sektor publik sehingga suatu kegiatan efektif jika kegiatan tersebut mempunyai pengaruh besar terhadap kemampuan menyediakan pelayanan masyarakat yang merupakan sasaran yang telah ditentukan (Devas,1989). Berkaitan dengan pajak, analisis efektivitas merupakan hubungan antara realisasi penerimaan pajak hotel terhadap target penerimaan pajak hotel yang
37
memungkinkan apakah besarnya pajak hotel sesuai dengan target yang ada. Efektivitas digunakan untuk mengukur hubungan antara hasil pungutan suatu pajak dengan tujuan atau target yang telah ditetapkan (Mardiasmo, 2001). Besarnya efektivitas pajak dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut: (Devas,1989). Efektivitas =
100%
Apabila hasil perhitungan efektivitas pajak hotel menghasilkan angka/presentase mendekati 100% maka pajak hotel semakin efektif, dan untuk melihat efektivitasnya dengan membandingkan efektivitas tahun bersangkutan dengan efektivitas tahun sebelumnya. Selama ini belum ada ukuran baku mengenai kategori efektivitas, ukuran efektivitas biasanya dinyatakan secara kualitatif dalam bentuk pernyataan saja (judgment). 2.2.
Penelitian–Penelitian Terdahulu Berkaitan dengan penelitian ini ada beberapa penelitian yang telah
dilakukan oleh peneliti lain sebelumnya yang permasalahannya hampir sama dengan penelitian yang sedang dilakukan, diantaranya: Maulida (2009) dalam penelitiannya yang berjudul “Analisis Sektor Basis dan Potensi Dayasaing Pariwisata Kabupaten Tasikmalaya Pasca Otonomi Daerah” menggunakan alat analisis Location Quotient (LQ), Shift Share, dan Porter’s Diamond yang menyatakan bahwa sektor pariwisata Kabupaten Tasikmalaya merupakan sektor basis selama tahun 2003-2004, tetapi pada tahun 2005-2007 menjadi sektor nonbasis. Berdasarkan analisis shift share dalam
38
komponen pertumbuhan wilayah, sektor pariwisata termasuk ke dalam kelompok yang pertumbuhannya lamban dan kurang memiliki dayasaing. Potensi dan kondisi yang mempengaruhi dayasaing pariwisata Kabupaten Tasikmalaya mengguanakan Porter’s Diamond menunjukkan kondisi yang kurang memiliki dayasaing. Faktor yang menjadi keunggulan pariwisata Kabupaten Tasikmalaya adalah sumberdaya alam, sumberdaya manusia, kondisi permintaan domestik, peranan pemerintah, persaingan, dan bisnis souvenir. Kelemahan pariwisata Kabupaten Tasikmalaya adalah sumberdaya modal, infrastruktur, industri pendukung dan terkait, dan strategi pemasaran. Febriawan (2009) dalam penelitiannya yang berjudul “Analisis Peranan Sektor Hotel dan Restoran dalam Perekonomian Kota Bandung” menggunakan alat analisis Input-Output Kota Bandung tahun 2003 menyatakan bahwa sektor hotel di Kota Bandung lebih banyak berperan sebagai sektor yang membutuhkan input dari sektor lain, daripada mengalokasikan outputnya untuk dijadikan input bagi sektor lain. Sedangkan sektor restoran berperan sebagai sektor yang lebih banyak mengalokasikan outputnya untuk dijadikan input oleh sektor lain. Sektor hotel dan restoran memberikan dampak multiplier yang positif terhadap sektor perekonomian lainnya di Kota Bandung. Ardhiansyah (2005) dalam penelitiannya yang berjudul “Analisis Kontribusi Pajak Hotel dan Restoran Terhadap Pendapatan Asli Daerah Kabupaten Purworejo Tahun 1989/1990-2003” dengan menggunakan data sekunder yang terdiri dari variabel dependen dan variabel independen yang diolah
39
dengan menggunakan program E–VIEWS. Variabel dependen yang digunakan adalah realisasi pajak hotel dan restoran, sedangkan variabel independen yang digunakan adalah jumlah hotel dan restoran, tingkat inflasi, dan jumlah wisatawan nusantara. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi kontribusi pajak hotel dan restoran terhadap Pendapatan Asli Daerah di Kabupaten Purworejo. Kesimpulan yang diperoleh adalah ternyata jumlah hotel dan restoran berpengaruh signifikan, tingkat inflasi berpengaruh positif tidak signifikan dan jumlah wisatawan nusantara tidak signifikan terhadap realisasi pajak hotel dan restoran. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian terdahulu adalah alat analisis yang digunakan dan tempat penelitian. Alat analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis Location Quotient, Shift Share, Porter’s Diamond untuk menganalisis dayasaing sektor hotel dan analisis kontribusi dan efektivitas perpajakan untuk menganalisis potensi sektor hotel sebagai pendukung kepariwisataan dan kontribusi pajak hotel dalam perekonomian Kota Yogyakarta. Wilayah kajian adalah Kota Yogyakarta yang merupakan salah satu daerah tujuan wisata di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Selain itu, periode yang digunakan dalam penelitian ini adalah periode 2005-2009 dengan menggunakan data-data yang terbaru sehingga mampu menyajikan informasi terkini dan masih relevan dibandingkan dengan penelitian lainnya. 2.3.
Kerangka Pemikiran Dalam memicu pertumbuhan ekonomi suatu wilayah, strategi yang paling
efektif dilakukan adalah mendorong pertumbuhan sektor-sektor yang memiliki
40
peranan dominan terhadap perekonomian di wilayah bersangkutan. Hal ini sesuai dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang diperbaharui dengan UU Nomor 32 Tahun 2004 yang menyatakan bahwa pemerintah pusat memberikan kebebasan kepada pemerintah daerah untuk mengembangkan semaksimal mungkin potensi yang dimilikinya. Undang-Undang ini diperkuat dengan dikeluarkannya Keputusan Presiden RI Nomor 5 Tahun 2001 tentang Pelaksanaan Pengakuan Kewenangan Kabupaten/Kota yang mengakui kewenangan setiap Kabupaten/ Kota untuk menjalankan rumahtangganya sendiri. Sejalan dengan usaha untuk meningkatkan perekonomian wilayahnya, maka Pemerintah Kota Yogyakarta harus memiliki kemampuan untuk mengembangkan potensi-potensi ekonomi yang dimiliki wilayahnya dengan baik. Salah satu potensi ekonomi yang dimiliki Kota Yogyakarta adalah kegiatan pariwisata. Pengembangan dan pemanfaatan kegiatan pariwisata ini sangat diharapkan mampu mengembangkan perekonomian Kota Yogyakarta dalam meningkatkan Produk Domestik Bruto (PDRB) dan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kota Yogyakarta. Sektor hotel merupakan sektor yang cukup berpengaruh dalam perekonomian Kota Yogyakarta. Selain merupakan salah satu pembentuk penerimaan daerah terbesar di Kota Yogyakarta, sektor hotel juga cukup berperan dalam perluasan kesempatan berusaha. Peran dan fungsi hotel dalam perekonomian Kota Yogyakarta semakin meningkat seiring dengan semakin berkembangnya fungsi Kota Yogyakarta sebagai kota tujuan wisata. Dalam meningkatkan kemampuan potensi sektor hotel di Kota Yogyakarta agar mampu
41
bertahan dan bersaing dengan sektor-sektor yang lain, dalam penelitian ini akan dianalisa mengenai potensi, dayasaing, dan pajak sektor hotel dalam perekonomian Kota Yogyakarta periode 2005-2009. Penelitian ini menganalisis pertumbuhan sektor-sektor perekonomian dengan analisis Shift Share, kemudian penelitian ini menganalisis kontribusi sektor hotel terhadap perekonomian Kota Yogyakarta, dan menganalisis sektor basis di Kota Yogyakarta menggunakan analisis Location Quotient, dayasaing sektor hotel di Kota Yogyakarta dengan Porter’s Diamond, serta menganalisis kontribusi dan efektivitas pajak jotel tehadap perekonomian Kota Yogyakarta.
42
Potensi Sektor Pariwisata Kota Yogyakarta
Potensi Sektor Hotel Kota Yogyakarta _._._._._._._._._._ : Rua Analisis
Analisis
Potensi dan
Analisis
Analisis
Pertumbuhan
Sektor
Kondisi
Kontribusi
Efektivitas
Sektor–Sektor
Basis
Penentu
Pajak Hotel
Pajak Hotel
Perekonomian
Kota
Dayasaing
Kota
Kota
Kota
Yogyakarta
Sektor Hotel
Yogyakarta
Yogyakarta
Yogyakarta
Kota
Yogyakarta
Hasil Analisis Potensi, Dayasaing, dan Pajak Sektor Hotel dalam Perekonomian Kota Yogyakarta
Gambar 2.2. Kerangka Pemikiran.
Keterangan : _._._._._._._._._._
: Ruang Lingkup Penelitian
III.
3.1.
METODOLOGI PENELITIAN
Waktu dan Wilayah Kajian Penelitian ini mulai dilaksanakan pada bulan Maret 2011. Penelitian ini
dilakukan di Kota Yogyakarta dengan pertimbangan bahwa Kota Yogyakarta merupakan salah satu kota tujuan wisata di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dengan sektor hotel sebagai salah satu dayatarik utama dan pendukung kegiatan pariwisata Kota Yogyakarta. 3.2.
Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan pada penelitian ini adalah data sekunder dan data
primer dengan periode antara tahun 2005-2009. Tahun 2005-2009 digunakan sebagai bahan evaluasi Rencana Pembangunan Jangka Menegah Daerah (RPJMD) tahun 2007-2011 dan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) 2005-2025 Kota Yogyakarta. Data yang dikumpulkan berupa data Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia, Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kota Yogyakarta dan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Pajak Hotel Kota Yogyakarta, Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kota Yogyakarta, dan jumlah kunjungan wisatawan Kota Yogyakarta selama periode 2005-2009. Data tersebut diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS) Pusat, BPS Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, BPS Kota Yogyakarta, Bappeda Kota Yogyakarta, Dinas Pajak Daerah dan Pengelolaan Keuangan Kota Yogyakarta, dan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota Yogyakarta, serta instansi terkait
44
lainnya yang berhubungan dengan penelitian ini. Data primer dalam analisis penelitian ini, didapatkan dengan wawancara langsung kepada staf bidang pembinaan dan pengembangan pariwisata Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota Yogyakarta dengan menggunakan wawancara berstruktur dengan daftar pertanyaan yang telah dirumuskan sebelumnya agar tujuannya jelas dan terpusat. 3.3.
Metode Analisis
3.3.1. Metode Shift Share Analisis ini digunakan untuk melihat pertumbuhan sektor-sektor perekonomian suatu wilayah selama periode waktu. Analisis ini dilakukan pada tingkat Kota Yogyakarta antara tahun 2005-2009. Terdapat enam langkah utama dalam analisis shift share. Keenam langkah tersebut adalah sebagai berikut: 1. Menentukan wilayah yang analisis. Wilayah analisis dilakukan di Kota Yogyakarta. Wilayah analisis yang dipilih adalah Kota Yogyakarta maka wilayah atasnya adalah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. 2. Menentukan indikator kegiatan ekonomi dan periode analisis. Pada penelitian ini indikator yang digunakan adalah pendapatan di suatu wilayah yang dicerminkan oleh nilai PDRB (tingkat Kota Yogyakarta). 3. Menentukan sektor ekonomi yang akan dianalisis. Pada tahap ini sektor yang menjadi fokus utama, adalah sektor hotel. 4. Menghitung perubahan indikator kegiatan ekonomi, menggunakan rumus sebagai berikut:
45
Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta memiliki 5 wilayah (j=1,2,3,4,5) yaitu, Kota Yogyakarta, Kabupaten Gunung Kidul, Kabupaten Kulon Progo, Kabupaten Sleman, dan Kabupaten Bantul. Terdapat 11 sektor ekonomi di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (i=1,2,3,…,11) yaitu sektor pertanian, sektor pertambangan dan penggalian, sektor industri pengolahan, sektor listrik, gas, dan air bersih, sektor bangunan, sektor perdagangan, sektor hotel, sektor restoran, sektor pengangkutan dan komunikasi, sektor keuangan, sewa, dan jasa perusahaan, dan sektor jasa-jasa. a. Produksi (Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta) dari sektor i pada tahun 2005. Yi
Yij
dimana: Yi =
produksi (Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta) dari sektor i pada tahun 2005,
Yij = produksi dari sektor i pada wilayah j pada tahun 2005. b. Produksi (Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta) dari sektor i pada tahun 2009. Y′i
Y′ij
dimana: Y’i
=
produksi (Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta) dari
sektor i pada tahun 2009,
46
Y’ij
=
produksi dari sektor i pada wilayah j pada tahun 2009.
c. Produksi (Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta) pada tahun 2005 dan tahun 2009 dirumuskan sebagai berikut : 1.
Produksi (Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta) pada tahun 2005.
Y..
Yij
Yij
dimana: Y..=
produksi (Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta) pada tahun 2005,
Yij = produksi dari sektor i pada wilayah j pada tahun 2005. 2.
Produksi (Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta) pada tahun 2009.
Y′..
Y′ij
Y′ij
dimana: Y’.. = produksi (Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta) pada tahun 2009, Y’ij = produksi dari sektor i pada wilayah j pada tahun 2009 d. Perubahan produksi sektor i pada wilayah j dirumuskan sebagai berikut. ∆ Yij = Y’ij – Yij dimana: ∆ Yij = perubahan produksi sektor i pada wilayah j, Yij
= produksi dari sektor i pada wilayah j pada tahun 2005,
Y’ij
= produksi dari sektor i pada wilayah j pada tahun 2009.
47
e. Presentase perubahan PDRB sektor i adalah sebagai berikut. ′
% ∆ Yij =
100
5. Menghitung rasio indikator kegiatan ekonomi (Produksi). a. Rasio produksi sektor i pada wilayah Kota Yogyakarta (ri) ′
ri =
dimana: ri = rasio produksi sektor i pada wilayah Kota Yogyakarta, Yij = produksi dari sektor i pada wilayah Kota Yogyakarta pada tahun 2005, Y’ij = produksi dari sektor i pada wilayah Kota Yogyakarta pada tahun 2009. b. Rasio produksi (Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta) sektor i (Ri) ′
Ri = dimana: Ri = rasio produksi (Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta) sektor i, Yi = produksi (Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta) dari sektor i pada tahun 2005, Y’i = produksi (Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta) dari sektor i pada tahun 2009.
48
c. Rasio produksi (Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta) (Ra) ′.
Ra =
.
. . . .
dimana: Ra = rasio produksi (Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta), Y.. = produksi (Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta) pada tahun 2005, Y’.. = produksi (Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta) pada tahun 2009. 6. Menghitung Komponen Pertumbuhan Wilayah. a. Komponen Pertumbuhan Nasional (PN) PNij = (Ra) Yij dimana: PN = komponen pertumbuhan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta sektor i untuk wilayah Kota Yogykarta, Yij = produksi dari sektor i pada wilayah Kota Yogyakarta pada tahun 2005. b. Komponen Pertumbuhan Proporsional (PP) PPij = (Ri – Ra) Yij dimana: PPij = komponen pertumbuhan proporsional sektor i untuk wilayah Kota Yogyakarta, Yij = produksi dari sektor i pada wilayah Kota Yogyakarta pada tahun 2009.
49
c. Komponen Pertumbuhan Pangsa Wilayah (PPW) PPWij = (ri – Ri) Yij dimana: PPWij=
komponen pertumbuhan pangsa wilayah sektor i untuk wilayah Kota Yogyakarta,
Yij
=
produksi dari sektor i pada wilayah Kota Yogyakarta pada tahun 2009.
Apabila: PPWij
>
0, maka sektor i pada wilayah Kota Yogyakarta mempunyai
dayasaing yang baik dibandingkan dengan wilayah lainnya untuk sektor i. PPWij
<
0, maka sektor i pada wilayah Kota Yogyakarta tidak dapat
bersaing dengan baik dibandingkan dengan sektor i pada wilayah lainnya. 3.3.2. Metode Location Quotient (LQ) Analisis ini digunakan untuk menentukan apakah sektor hotel termasuk kegiatan basis atau nonbasis. Pada metode ini penentuan sektor basis dan nonbasis dilakukan dengan cara menghitung perbandingan antara pendapatan di sektor i pada daerah bawah terhadap pendapatan total semua sektor di daerah bawah dengan pendapatan di sektor i pada daerah atas terhadap pendapatan total semua sektor di daerah atasnya. Daerah bawah dalam penelitian ini adalah Kota Yogyakarta dan daerah atas adalah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Secara Matematis nilai LQ dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut :
50
LQ
S /S S /S
Keterangan : Sib = Pendapatan sektor i Kota Yogyakarta Sb = Pendapatan total semua sektor Kota Yogyakarta Sia = Pendapatan sektor i Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Sa = Pendapatan total semua sektor Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Kisaran nilai LQ: a.
Jika nilai LQ > 1, berarti sektor tersebut merupakan sektor basis, yang menunjukkan suatu sektor mampu melayani pasar baik di dalam maupun di luar Kota Yogyakarta.
b.
Jika nilai LQ < 1, berarti sektor tersebut bukan merupakan sektor basis, yang menunjukkan suatu sektor belum mampu melayani pasar di Kota Yogyakarta.
3.3.3. Analisis Porter’s Diamond Analisis deskriptif menggunakan pendekatan Porter’s Diamond. Analisis dengan pendekatan Porter’s Diamond digunakan untuk menganalisis kondisi dan potensi dayasaing sektor hotel Kota Yogyakarta. Dalam menganalisis kondisi potensi dayasaing sektor hotel Kota Yogyakarta dilakukan dengan cara wawancara terbuka kepada Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota Yogyakarta.
51
3.3.4. Analisis Kontribusi dan Efektivitas Pajak 3.3.4.1. Analisis Kontribusi Analisis Kontribusi yaitu suatu alat analisis yang digunakan untuk mengetahui seberapa besar kontribusi yang dapat disumbangkan dari penerimaan pajak hotel terhadap penerimaan Pendapatan Asli Daerah di Kota Yogyakarta, maka dibandingkan antara realisasi penerimaan pajak hotel terhadap PAD. Rumus yang digunakan untuk menghitung kontribusi sebagai berikut: (Budiyuwono, 1995). Pn =
100%
Keterangan: Pn = Kontribusi penerimaan pajak hotel Kota Yogyakarta terhadap PAD Kota Yogyakarta (Rupiah) QY = Jumlah penerimaan pendapatan asli daerah Kota Yogyakarta (Rupiah) QX = Jumlah penerimaan pajak hotel Kota Yogyakarta (Rupiah) n
= Tahun (periode) tertentu Dengan analisis ini kita akan mendapatkan seberapa besar kontribusi pajak
hotel terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD) di Kota Yogyakarta. Dengan membandingkan hasil analisis tersebut dari tahun ke tahun selama lima tahun kita akan mendapatkan hasil analisis yang berfluktuasi dari kontribusi tersebut dan akan diketahui kontribusi yang terbesar dan yang terkecil dari tahun ke tahun. Sehingga dapat diketahui seberapa besar peran pajak hotel dalam menyumbang kontribusi terhadap Pendapatan Asli Daerah Kota Yogyakarta.
52
3.3.4.2. Analisis Efektivitas Efektivitas yaitu hubungan antara output dan tujuan atau dapat juga dikatakan merupakan ukuran seberapa jauh tingkat output tertentu, kebijakan, dan prosedur dari organisasi. Efektivitas juga berhubungan dengan derajat keberhasilan suatu operasi pada sektor publik sehingga suatu kegiatan dikatakan efektif jika kegiatan tersebut mempunyai pengaruh besar terhadap kemampuan menyediakan pelayanan masyarakat yang merupakan sasaran yang telah ditentukan (Devas, 1989). Berkaitan dengan pajak, analisis efektivitas merupakan hubungan antara realisasi penerimaan pajak hotel terhadap target penerimaan pajak hotel yang memungkinkan apakah besarnya pajak hotel sesuai dengan target yang ada. Efektivitas digunakan untuk mengukur hubungan antara hasil pungutan suatu pajak dengan tujuan atau target yang telah ditetapkan (Mardiasmo,2001). Besarnya efektivitas pajak dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut: (Devas, 1989)
100%
Efektivitas =
Apabila
hasil
perhitungan
efektivitas
pajak
hotel
menghasilkan
angka/presentase mendekati 100% maka pajak hotel semakin efektif, dan untuk melihat efektivitasnya dengan membandingkan efektivitas tahun bersangkutan dengan efektivitas tahun sebelumnya. Selama ini belum ada ukuran baku mengenai kategori efektivitas, ukuran efektivitas biasanya dinyatakan secara kualitatif dalam bentuk pernyataan saja (judgment).
53
Tingkat efektivitas dapat digolongkan kedalam beberapa kategori, yaitu: 1. Hasil perbandingan tingkat pencapaian diatas 100 persen berarti sangat efektif. 2. Hasil perbandingan tingkat pencapaian 100 persen berarti efektif. 3. Hasil perbandingan tingkat pencapaian dibawah 100 persen berarti tidak efektif.
IV.
4.1.
GAMBARAN UMUM
Letak, Kondisi, dan Perkembangan Kota Yogyakarta Kota
Yogyakarta
merupakan
Ibukota
Provinsi
Daerah
Istimewa
Yogyakarta, dengan luas wilayah 32.500 Ha. Kota Yogyakarta merupakan salah satu kota besar di Pulau Jawa, selain merupakan tempat pusat pemerintahan dan ibukota provinsi, Kota Yogyakarta merupakan tempat kedudukan bagi Sri Sultan dan Adipati Pakualam. Salah satu kecamatan di Yogyakarta, yaitu Kotagede pernah menjadi pusat Kesultanan Mataram antara 1575-1640. Keraton (Istana) yang masih berfungsi dalam arti yang sesungguhnya adalah Keraton Ngayogyakarta dan Puro Pakualaman, yang merupakan pecahan dari Mataram. Nama Yogyakarta diambil dari dua kata, yaitu Ayogya yang berarti “kedamaian” (atau tanpa perang, a “tidak”, yogya merujuk pada yodya atau yudha,
yang
berarti
“perang”),
dan
Karta
yang
berarti
“baik”.
Tapak keraton Yogyakarta sendiri menurut babad (misalnya Babad Giyanti) dan leluri (riwayat oral) telah berupa sebuah “dalem” yang bernama “Dalem Gerjiwati”; lalu dinamakan ulang oleh Sunan Pakubuwana II sebagai “Dalem Ayogya”. Kota Yogyakarta terletak di lembah tiga sungai, yaitu Sungai Winongo, Sungai Code (yang membelah kota dan kebudayaan menjadi dua), dan Sungai Gajahwong. Kota ini terletak pada jarak 600 Km dari Jakarta, 116 Km dari Semarang, dan 65 Km dari Surakarta. Kota ini memiliki ketinggian sekitar 112 m
55
diatas permukaan laut. Meski terletak di lembah, kota ini jarang mengalami banjir karena sistem drainase yang tertata rapi yang dibangun oleh pemerintah kolonial, ditambah dengan giatnya penambahan saluran air yang dikerjakan oleh Pemerintah Kota Yogyakarta. Kota Yogyakarta telah terintegrasi dengan sejumlah kawasan di sekitarnya, sehingga batas-batas administrasi sudah tidak terlalu menonjol. Untuk menjaga keberlangsungan pengembangan kawasan ini, dibentuklah sekretariat bersama Kartamantul (Yogyakarta, Sleman, dan Bantul) yang mengurusi semua hal yang berkaitan dengan kawasan aglomerasi Yogyakarta dan daerah-daerah penyangga (Depok, Mlati, Gamping, Kasihan, Sewon, dan Banguntapan). Adapun batas-batas administratif Yogyakarta adalah:
Utara: Kecamatan Mlati dan Kecamatan Depok, Kabupaten Sleman
Timur: Kecamatan Depok, Kabupaten Sleman dan Kecamatan Banguntapan, Kabupaten Bantul
Selatan: Kecamatan Banguntapan, Kecamatan Sewon, dan Kecamatan Kasihan, Kabupaten Bantul
Barat: Kecamatan Gamping, Kabupaten Sleman dan Kecamatan Kasihan, Kabupaten Bantul Jumlah penduduk Kota Yogyakarta, menurut Sensus Penduduk 2010
berjumlah 388.088 jiwa, dengan proporsi laki-laki dan perempuan yang hampir setara. Islam merupakan agama mayoritas yang dianut masyarakat Yogyakarta, dengan jumlah penganut Kristen dan Katolik yang relatif signifikan. Seperti
56
kebanyakan Agama Islam di kota-kota pedalaman Jawa, mayoritas masih mempertahankan tradisi “Kejawen” yang cukup kuat. Yogyakarta juga menjadi tempat
lahirnya
salah
satu
organisasi
Islam
terbesar
di
Indonesia,
yaitu Muhammadiyah yang didirikan oleh K.H. Ahmad Dahlan pada tahun 1912 di Kauman, Ngupasan, Gondomanan, Yogyakarta. Hingga saat ini, Pengurus Pusat Muhammadiyah masih tetap berkantor pusat di Yogyakarta. Yogyakarta dikenal sebagai kota pelajar, karena hampir 20% penduduk produktifnya adalah pelajar dan terdapat 137 perguruan tinggi. Kota ini diwarnai dinamika pelajar dan mahasiswa yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia. Perguruan tinggi yang dimiliki oleh pemerintah adalah Universitas Gadjah Mada, Universitas
Negeri
Yogyakarta, Universitas
Islam
Negeri
Sunan
Kalijaga dan Institut Seni Indonesia Yogyakarta. Perkembangan Kota Yogyakarta semakin lama semakin pesat dan meluas. Hingga saat ini, Kota Yogyakarta telah memiliki lima fungsi kota sekaligus yaitu sebagai kota pemerintahan, perdagangan, industri, kebudayaan, dan pariwisata. Dari sisi pariwisata, banyak jenis wisata yang ditawarkan oleh Kota Yogyakarta yaitu wisata kuliner, wisata belanja, wisata alam, wisata sejarah, dan wisata seni serta budaya. Keseriusan Kota Yogyakarta dalam mengembangkan fungsinya sebagai kota pariwisata ditunjukkan dalam RPJMD (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah) 2007-2011 yang salah satu misi pembangunannya adalah mempertahankan Kota Yogyakarta sebagai Kota Pariwisata, Kota Budaya dan Kota Perjuangan.
57
4.2.
Jenis dan Lokasi Pariwisata di Kota Yogyakarta Sebagai kota tujuan wisata, Kota Yogyakarta memiliki beberapa jenis
wisata yang bisa dinikmati oleh para wisatawan yang berkunjung ke Kota Yogyakarta. Jenis dan lokasi wisata tersebut antara lain: (Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota Yogyakarta, 2009). 1.
Wisata Kuliner Kota Yogyakarta terkenal dengan jajanan khas tradisional yang bukan
hanya terkenal di Kota Yogyakarta saja melainkan pula ke luar Kota Yogyakarta. Berbagai macam makanan tradisional Kota Yogyakarta terkenal sampai ke luar kota seperti, gudeg, yangko, wingko, bakpia, ampyang, enting-enting gepuk, dendeng dan abon sapi, geplak , jadah tempe, kipo, sate klathak, ayam bacem, bakmi godog, bakmi jawa, getuk, peyek, tongseng, trancam, wedang ronde, thiwul, urap, wajik, salak pondoh, dan jajanan tradisional lainnya. Sebagian besar jajanan Yogyakarta dijual oleh pedagang kakilima yang biasa berdagang di pusatpusat keramaian seperti Malioboro, Daerah Pathuk, Alun-Alun Selatan, AlunAlun Utara, Lapangan Karang Kota Gede, Jalan Adisucipto, Jalan Parangtritis, Pasar Prawirotaman, Kota Baru, Jalan Taman Siswa, dan banyak lagi. Pedagang Nasi Gudeg di sepanjang Jalan Wijilan. Tempat makanan atau jajanan yang terkenal di daerah Kota Yogyakarta antara lain adalah, Bebek Goreng Cak Koting, Soto Ayam Kadipiro, Bakmi Pele, Sate Karang Pak Prapto, Ayam Goreng Bu Tini, Ayam Goreng Ny. Suharti, dan masih banyak lagi. Hampir setiap ruas jalan di Kota Yogyakarta tidak lengang dari pedagang kaki lima yang biasanya hanya menggunakan gerobak, lesehan, atau tenda seadanya.
58
Yogyakarta juga merupakan tempat yang terbuka bagi makanan-makanan khas dari daerah lainnya. Hampir semua makanan khas tersedia di Yogyakarta, mulai dari Sate Padang, Pempek Palembang, Tahu Sumedang, Martabak Bangka, Baso Malang, dan Nasi Rawon dari Jawa timur pun ditemui di berbagai tempat di sudut Kota Yogyakarta. 2.
Wisata Alam Daerah wisata alam yang tersedia di Kota Yogyakarta dan sekitarnya
antara lain, Pantai Glagah, Pantai Parangtritis, Pantai Kukup, Pantai Wedi Ombo, Pantai Samas, Pantai Baron, Puncak Merapi, Wisata Kaliurang, serta tempat wisata alam lainnya. 3.
Wisata Budaya Kota Yogyakarta memiliki kawasan wisata kesenian, budaya, dan sejarah.
Diantaranya adalah Keraton Yogyakarta Hadiningrat, Puro Pakualaman, Taman Sari, Kota Gede, Alun-Alun Selatan, Plengkung, Sumur Gumuling, dan Kampung Wisata Dipowinatan. Keraton Yogyakarta Hadiningrat adalah obyek utama di Kota Yogyakarta, bangunan bersejarah yang merupakan istana dari Sri Sultan Hamengkubuwono X ini berdiri sejak tahun 1756. Keraton Yogyakarta dengan segala adat istiadat dan budayanya menjadi ruh kehidupan masyarakat Yogyakarta. Puro Pakualaman adalah Istana Kadipaten yang terletak di sebelah timur Keraton Yogyakarta, sejarah keberadaan Kadipaten ini tidak lepas dari sejarah Kasultanan Yogyakarta. Istana yang didirikan pada awal abad XIX Masehi ini saat ini menjadi tempat tinggal Sri Paduka.
59
Taman Sari merupakan istana air yang pada masanya berfungsi sebagai pesanggerahan dan benteng pertahanan. Bangunan bersejarah ini mulai berdiri tahun pertengahan abad XVII Masehi. Kota Gede adalah sebuah kawasan yang terletak di Yogyakarta bagian selatan. Kawasan ini dahulunya merupakan pusat pemerintahan Kerajaan Mataram Islam yang berkuasa pada pertengahan abad XVI Masehi. Alun-Alun Selatan adalah alun-alun di bagian selatan Keraton Yogyakarta. Alun-Alun Kidul sering pula disebut sebagai Pengkeran. Plengkung adalah pintu gerbang, menurut sejarah Keraton Yogyakarta mempunyai pintu gerbang (Plengkung) yang berjumlah lima buah pada bentengnya. Sumur gumuling sebenarnya adalah sebuah masjid bawah tanah yang digunakan pada masa kejayaan Keraton Yogyakarta dan letaknya berada dalam satu komplek dengan Taman Sari. Kampung Wisata Dipowinatan adalah salah satu kampung yang cukup terkenal di kalangan wisatawan Eropa untuk dikunjugi di Kota Yogyakarta karena menawarkan kehidupan khas masyarakat Jawa di tengah perkotaan yang dinamis serta akses ke berbagai daerah wisata. Selain tempat, Kota Yogyakarta juga memiliki beberapa kultur atau adat tradisi yang menjadi dayatarik bagi wisatawan, diantaranya adalah upacara adat sekaten, grebeg maulud, grebeg syawal, grebeg besar, upacara adat numplak wajik, dan lain-lain. 4.
Wisata Hiburan dan Rekreasi Beberapa tempat yang dapat dijadikan tempat hiburan dan rekreasi di Kota
Yogyakarta adalah Pasar Satwa dan Tanaman Hias Yogyakarta (PASTY), Kebun
60
Binatang Gembira Loka, dan Purawisata. PASTY adalah pusat pengembangan pasar satwa dan tanaman serta ikan hias yang ada di Kota Yogyakarta. Gembira Loka adalah sebuah kebun binatang yang berdiri sejak tahun 1953. Purawisata adalah resort wisata di Yogyakarta yang tetap memiliki nilai seni dan budaya Jawa. Selain tempat hiburan, Kota Yogyakarta juga memiliki agenda acara tahunan yaitu ”Jogja Java Carnival”
yang merupakan puncak kemeriahan
peringatan HUT Kota Yogyakarta yang dilaksanakan pada sabtu malam minggu kedua di bulan oktober. 5.
Wisata Minat Khusus Wisata minat khusus yang terdapat di Kota Yogyakarta antara lain, Desa
Wisata Fauna, Desa Wisata Budaya, Desa Wisata Agro, Desa Wisata Lereng Merapi, Desa Wisata Kerajinan, dan Desa Wisata Pertanian. 6.
Wisata MICE Kepariwisataan di Kota Yogyakarta dalam perkembangannya di samping
mengedepankan konsep budaya yang dimiliki, juga bermaksud mengedepankan fasilitas MICE (Meeting, Incentive, Confrention, Exhibition). Berbagai fasilitas pertemuan mulai bermunculan di Kota Yogyakarta, salah satunya di kawasan “Jogja Fish Market”. Di restoran yang bertajuk “Aquarium Resto” menawarkan paket pertemuan dengan fasilitas lengkap dan harga terjangkau, dengan tetap mengedepankan konsep makanan serba ikan. Tempat yang berlokasi di kawasan Yogyakarta bagian selatan ini dapat menampung lebih dari 100 orang.
61
7.
Wisata Pendidikan Wisata pendidikan yang terdapat di Kota Yogyakarta antara lain, Museum
RS Mata dr YAP, Museum Puro Pakualaman, Museum Bahari Yogyakarta, Kebun Plasma Nutfah Pisang, Museum Batik dan Sulaman, Museum Benteng Vrederburg, Istana Kepresidenan Gedung Agung, Museum Perjuangan, Museum Sonobudoyo, Museum Biologi, dan Taman Pintar Yogyakarta. 8.
Wisata Belanja Selain terkenal dengan wisata budaya, tempat bersejarah, dan wisata
alamnya, Kota Yogyakarta juga memiliki beberapa tempat belanja yang terkenal, diantaranya adalah Malioboro, Pasar Beringharjo, Kota Gede, dan Kasongan. Kota yang sering disebut sebagai kota pelajar ini juga memanjakan wisatawannya dengan berbagai tempat belanja yang unik karena menjual berbagai barang khas daerah Yogyakarta. Malioboro merupakan jalanan yang paling terkenal di Yogyakarta. Sepanjang jalan, selain toko-toko besar, kita disuguhi lapak pedagang kakilima yang menjual berbagai barang dan cinderamata khas Yogyakarta seperti miniatur sepeda dan becak antik, tas, sepatu, perhiasan perak, baju batik berbagai corak, dan banyak lagi. Pasar Beringharjo merupakan pasar yang terletak di ujung Jalan Malioboro, pasar yang berdiri sejak 1758 ini hingga kini masih menjadi pilihan utama wisatawan yang berburu batik khas Yogyakarta. Selain kain, juga tersedia baju, sepatu, tas, dan pernak-pernik berbahan batik. Kotagede merupakan pusat dari pernak-pernik berbahan perak, sentra kerajinan perak ini merupakan terbesar di Indonesia. Letak Kotagede sekitar 10
62
km dari pusat Kota Yogyakarta, selain membeli perak anda juga dapat mengikuti kursus singkat membuat kerajinan perak langsung pada ahlinya. Kasongan terletak di selatan Yogyakarta, disini banyak penduduk yang bekerja sebagai perajin tanah liat di banyak studio seni. Kasongan merupakan pusat dari kerajinan keramik, mulai dari mainan anak, kendi, piring, vas, guci, patung kuda, asbak, dan berbagai pernak-pernik menarik yang lain terdapat disini. 4.3.
Perkembangan Kunjungan Wisatawan ke Kota Yogyakarta Sumbangan sektor pariwisata yang utama adalah mampu menggerakkan
masukan devisa yang besar bagi negara. Sedangkan bagi daerah tujuan wisata banyak keuntungan yang bisa didapat dari semua tamu (wisatawan) yang berkunjung ke daerahnya. Banyak wisatawan yang datang mampu memberikan nilai ekonomi tersendiri bagi daerah wisata maupun masyarakat di sekitarnya. Oleh karena itu, pengembangan sumberdaya manusia maupun pengembangan infrastruktur serta program-program sosialisasi yang menarik mengenai kedatangan wisatawan perlu ditingkatkan. Secara umum kunjungan wisatawan ke Kota Yogyakarta dari periode ke periode tahun 2005 hingga tahun 2009 cenderung mengalami peningkatan yang cukup besar. Tabel 4.1 menunjukkan bahwa jumlah wisatawan pada tahun 2005 sebesar 1.070.937 orang. Pada tahun 2006 jumlah wisatawan menurun cukup besar, dengan presentase penurunan sebesar 14,57 persen dibandingkan tahun sebelumnya, total wisatawan pada tahun 2006 sebanyak 914.827 orang. Penurunan jumlah wisatawan ini diduga karena adanya bencana alam, yaitu gempa bumi pada tanggal 27 mei 2006, yang menyebabkan kerusakan
63
sarana dan prasarana sektor pariwisata yang ada di daerah Kota Yogyakarta dan daerah-daerah lain yang ada di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Selain gempa bumi sebesar 5,9 pada skala richter tersebut, pada tahun 2006, tepatnya pada tanggal 8 juni 2006 Gunung Merapi meletus sehingga menyebabkan daerah di lereng Gunung Merapi terkena awan panas serta terjadi hujan abu vulkanik dan banjir lahar dingin. Tabel 4.1. Jumlah Wisatawan di Kota Yogyakarta Tahun 2005-2009. Tahun 2005 2006 2007 2008 2009
Wisatawan Mancanegara 103.488 78.145 103.224 128.660 139.492
Domestik 967.449 836.682 1.146.197 1.156.097 1.286.565
Jumlah Wisatawan
Pertumbuhan (%)
1.070.937 914.827 1.249.421 1.284.757 1.426.057
-14,57 36,57 2,83 10,99
Sumber : BPS Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, 2010.
Kejadian–kejadian tersebut yang membuat jumlah wisatawan menurun pada tahun 2006. Kunjungan wisatawan kembali meningkat pada tahun 2007, dengan peningkatan sebesar 36,57 persen, total wisatawan pada tahun 2007 mencapai 1.249.421 orang. Pada tahun 2008, wisatawan kembali meningkat menjadi 1.284.757 orang. Demikian juga pada tahun 2009, jumlah wisatawan yang datang ke Kota Yogyakarta kembali meningkat menjadi 1.426.057. 4.4.
Perkembangan Jumlah Hotel di Kota Yogyakarta Jumlah usaha perhotelan di Kota Yogyakarta dari tahun ke tahun
cenderung mengalami peningkatan yang cukup besar. Pada tahun 2005, jumlah hotel tercatat sebanyak 323 usaha hotel. Sedangkan pada tahun 2006, jumlah usaha hotel tercatat 336 usaha hotel, kemudian jumlahnya menurun menjadi 323
64
usaha hotel pada tahun 2007. Jumlah hotel pada tahun 2006 lebih tinggi dari tahun 2007 karena data yang dikumpulkan oleh Badan Pusat Statistik Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dilakukan pada 4 bulan pertama di setiap tahunnya. Selanjutnya pada tahun 2008 kembali meningkat menjadi 340 usaha hotel dan menjadi 352 usaha hotel pada tahun 2009. Tabel 4.2. Jumlah Hotel di Kota Yogyakarta. Tahun Jumlah Hotel di Kota Yogyakarta 2005 323 2006 336 2007 323 2008 340 2009 352
Pertumbuhan (%) 4,02 -3.86 5,26 3,53
Sumber: BPS Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, 2010 (diolah).
Meningkatnya pertumbuhan usaha hotel di Kota Yogyakarta terjadi karena semakin berkembangnya citra Kota Yogyakarta sebagai kota tujuan wisata setelah Bali, dalam hal ini Kota Yogyakarta lebih mengedepankan pariwisata yang berbasis budaya. Hal ini mengakibatkan jumlah usaha hotel semakin meningkat seiring dengan semakin banyak wisatawan yang berkunjung ke Kota Yogyakarta. Pemerintah Kota Yogyakarta juga memang memberikan kesempatan berusaha yang baik, dalam hal ini kesempatan usaha di bidang perhotelan bagi masyarakat. Kota Yogyakarta memberikan kemudahan dalam mendirikan usaha, mengurus izin-izin mendirikan bangunan, dan mendaftarkan properti. Hal ini terbukti berdasarkan penelitian The World Bank dalam laporan Doing Business di Indonesia 2010 yang menyatakan bahwa Kota Yogyakarta meraih beberapa peringkat yang cukup tinggi pada ketiga kategori penilaian. Kota Yogyakarta menjadi peringkat pertama dalam kemudahan mendirikan usaha, peringkat
65
pertama kemudahan mengurus izin mendirikan bangunan, dan nomor dua belas dalam kemudahan mendaftarkan properti. Tabel 4.3.
Peringkat Kota Termudah untuk Mendirikan Usaha,Mengurus Izin Mendirikan Bangunan, dan Pendaftaran Properti. Kemudahan Kemudahan Kemudahan Kota Mendaftarkan Mendirikan Usaha Mengurus IMB Properti Yogyakarta 1 1 12 Bandung 5 3 1 Balikpapan 8 8 14 Banda Aceh 6 10 8 Denpasar 10 11 8 Jakarta 7 13 2 Makasar 9 2 10 Manado 14 12 3 Palangkaraya 3 3 5 Palembang 4 6 6 Pekanbaru 11 7 4 Semarang 13 5 11 Surabaya 11 14 6 Surakarta 2 9 13
Sumber: The World Bank, 2010.
Perbandingan rata-rata jumlah prosedur, waktu, serta biaya yang dibutuhkan untuk masing-masing kategori antara Kota Yogyakarta dengan Indonesia, Asia Timur dan Pasifik, serta OECD (negara-negara berpendapatan tinggi) ditampilkan pada Tabel 4.4. Kota Yogyakarta merupakan kota dengan waktu proses tersingkat untuk mendirikan usaha, yaitu selama 43 hari jika dibandingkan dengan rata-rata di Indonesia. Relatif cepatnya waktu pengurusan mendirikan usaha tersebut tidak lepas dari kemudahan perizinan melalui layanan terpadu yang terdapat di Dinas Perizinan Kota Yogyakarta.
66
Tabel 4.4.
Indikator-Indikator Kemudahan Mendirikan Usaha. Indikator
Mendirikan Usaha Prosedur (jumlah) Waktu (hari) Biaya (% pendapatan per kapita) Kemudahan Mengurus IMB Prosedur (jumlah) Waktu (hari) Biaya (% pendapatan per kapita) Kemudahan Mendaftarkan Properti Prosedur (jumlah) Waktu (hari) Biaya (% pendapatan per kapita) Sumber: The World Bank, 2010.
Yogyakarta
Indonesia
Asia Timur dan Pasifik
OECD
8 43 29
9 50 30.7
8.1 41 25.8
5.7 13 4.7
8 67 133.7
12 118 161
18.6 168.6 139.6
15.1 157 56.1
6 36 10.9
6 31 10.9
5 97.5 3.9
4.7 25 4.6
Pusat pelayanan di Dinas Perizinan menerapkan program penyampaian informasi kepada para pihak pembangun tentang status permohonan mereka melalui pesan singkat ke telefon selular para pembangun. Selain itu, Kota Yogyakarta juga memberikan pelayanan yang ramah dan mudah untuk mengurus perizinan sehingga masyarakat tidak kesulitan untuk mengurus izin yang dibutuhkan.
V.
5.1.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pertumbuhan Ekonomi Sektoral Kota Yogyakarta
5.1.1. Rasio PDRB Kota Yogyakarta dan PDRB Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 2005-2009 Secara garis besar, dapat disimpulkan bahwa selama periode 2005-2009, kontribusi seluruh sektor perekonomian di Kota Yogyakarta dan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta mengalami peningkatan. Setiap sektor memiliki rasio yang berbeda-beda, baik pada PDRB Kota Yogyakarta maupun Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Rasio Tersebut tercermin dari nilai Ra, Ri, dan ri. Nilai Ra didapat dari perhitungan selisih antara jumlah PDRB Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta tahun 2009 dengan jumlah PDRB Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta tahun 2005 dibagi dengan jumlah PDRB Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta tahun 2005. Antara tahun 2005-2009, nilai Ra adalah sebesar 0,19 (Tabel 5.1). Hal ini menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi Daerah Istimewa Yogyakarta meningkat sebesar 0,19 atau 19,0 persen. Nilai Ri diperoleh dari hasil perhitungan selisih antara PDRB Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta sektor i pada tahun 2009 dengan PDRB Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta sektor i pada tahun 2005 dibagi dengan PDRB Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta sektor i pada tahun 2005. Seluruh sektor perekonomian di Daerah Istimewa Yogyakarta memiliki nilai Ri yang positif karena adanya peningkatan kontribusi masing-masing sektor perekonomian.
68
Kenaikan seluruh sektor ini dikarenakan kinerja yang baik dari pemerintah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta setelah adanya bencana alam pada tahun 2006. Pemerintah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta melakukan berbagai macam program pada masing-masing sektor perekonomian sehingga dapat membawa sektor-sektor tersebut meningkat kontribusinya dari tahun ke tahun. Tabel 5.1.
Rasio PDRB Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan PDRB Kota Yogyakarta Tahun 2005-2009 (Nilai Ra, Ri, dan ri). Lapangan Usaha Ra Ri ri
Pertanian Pertambangan dan Penggalian Industri Pengolahan Listrik, Gas, dan Air Bersih Bangunan Perdagangan Hotel Restoran Pengangkutan dan Komunikasi Keuangan, Sewa, dan Jasa Perusahaan Jasa – Jasa Total
0,19 0,19 0,19 0,19 0,19 0,19 0,19 0,19 0,19 0,19 0,19 0,19
0,14 0,13 0,06 0,21 0,38 0,23 0,14 0,26 0,27 0,17 0,18 0,19
-0,21 0,10 0,06 0,12 0,34 0,21 0,11 0,22 0,30 0,16 0,15 0,19
Sumber: BPS Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, 2010 (diolah).
Nilai ri didapat dari perhitungan selisih antara PDRB sektor i di Kota Yogyakarta tahun 2009 dengan PDRB sektor i Kota Yogyakarta tahun 2005 dibagi dengan PDRB Kota Yogyakarta sektor i tahun 2005. Tabel 5.1 menunjukkan bahwa hampir semua sektor ekonomi di Kota Yogyakarta mengalami peningkatan kontribusi sehingga hampir semua sektor memiliki nilai ri yang positif, kecuali sektor pertanian yang mempunyai nilai ri negatif, yaitu -0,21. Hal ini disebabkan oleh berkurangnya lahan pertanian di Kota Yogyakarta yang bergeser menjadi wilayah pemukiman dan lahan usaha selain pertanian (konversi
69
lahan) sehingga sumbangan sektor pertanian terhadap PDRB semakin menurun dari tahun ke tahun. 5.1.2. Analisis Komponen Pertumbuhan Wilayah Kota Yogyakarta Komponen pertumbuhan wilayah dibagi menjadi tiga jenis yaitu Pertumbuhan Regional (PR), Pertumbuhan Proporsional (PP), dan Pertumbuhan Pangsa Wilayah (PPW). Jika ketiga komponen pertumbuhan bernilai positif, maka laju pertumbuhan sektor-sektor perekonomian di Kota Yogyakarta semakin meningkat dari tahun ke tahun. Komponen pertumbuhan nasional (untuk tingkat negara/provinsi) atau pertumbuhan regional (untuk tingkat kota/kabupaten) merupakan hasil kali antara Ra dengan PDRB sektor i pada Kota Yogyakarta tahun 2005. Komponen ini dapat terjadi karena adanya perubahan kebijakan ekonomi kebijakan ekonomi nasional/regional. Selain itu, dapat pula disebabkan oleh adanya perubahan dalam hal-hal yang memengaruhi perekonomian semua sektor di Kota Yogyakarta. Jika ditinjau secara keseluruhan, pertumbuhan ekonomi Daerah Istimewa Yogyakarta tahun 2005-2009 telah memengaruhi peningkatan PDRB Kota Yogyakarta sebesar Rp. 817,999 milyar (18,6 persen). Tabel 5.2 menunjukkan bahwa semua sektor ekonomi di Kota Yogyakarta mengalami peningkatan kontribusi, sektor hotel mengalami peningkatan kontribusi sebesar Rp. 30,676 milyar dan sektor jasa-jasa sebagai sektor yang mengalami peningkatan kontribusi terbesar yaitu sebesar Rp. 174,558 milyar. Hal ini mengindikasikan bahwa sektor jasa-jasa sangat dipengaruhi oleh perubahan
70
kebijakan ekonomi pemerintah di tingkat regional (Daerah Istimewa Yogyakarta). Jika terjadi perubahan kebijakan regional atau nasional, maka kontribusi sektor jasa-jasa akan mengalami perubahan. Komponen pertumbuhan proporsional didapat dari hasil kali antara PDRB Kota Yogyakarta sektor i tahun 2005 dengan selisih antara Ri dan Ra. Hasil perhitungannya dapat dilihat pada Tabel 5.2. Tabel 5.2. Lapangan Usaha
Analisis Shift Share menurut Lapangan Usaha. Pertumbuhan Regional (PR)
Pertumbuhan Proporsional (PP) Juta (Rp) %
Pertumbuhan Pangsa Wilayah (PPW) Juta (Rp) %
Juta (Rp)
%
4.061,31
18,60
-981,07
-4,49
-7.556,23
-34,60
45,01
18,60
-12,58
-5,18
-9,47
-3,91
-67.750,24
-13,08
2.894,40
0,55
Pertanian Pertambangan dan Penggalian Industri Pengolahan Listrik, Gas, dan Air Bersih
96.360,83
18,60
11.201,66
18,60
1.575,11
2,62
-5.788,78
-9,61
Bangunan
57.300,09
18,60
59.435,80
19,29
-10.835,89
-3,52
Perdagangan
58.800,55
18,60
12.358,27
3,91
-3.807,819
-1,21
Hotel
30.676,05
18,60
-7.460,12
-4,52
-4.521,93
-2,74
116.629,63
18,60
45.502,74
7,26
-24.205,37
-3,86
Restoran Pengangkutan dan Komunikasi Keuangan, Sewa, dan Jasa Perusahaan
151.342,43
18,60
65.192,41
8,01
24.863,16
3,06
117.024,13
18,60
-8.417,22
-1,34
-5.793,91
-0,92
Jasa – Jasa
174.558,21
18,60
-10.467,84
-1,12
-25.211,37
-2,69
Total
817.999,91
18,60
-1.249,36
-0,03
35.251,45
0,80
Sumber: BPS Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, 2010 (diolah).
Sektor yang memiliki pertumbuhan yang cepat dengan nilai PP > 0 adalah sektor listrik, gas, dan air bersih, sektor bangunan, sektor perdagangan, sektor restoran, dan sektor pengangkutan dan komunikasi. Sedangkan sektor yang
71
mengalami pertumbuhan lambat dengan nilai PP < 0 adalah sektor pertanian, sektor pertambangan dan penggalian, sektor industri pengolahan, sektor hotel, sektor keuangan, sewa, dan jasa perusahaan, dan sektor jasa-jasa. Sektor pengangkutan dan komunikasi di Kota Yogyakarta memiliki nilai PP terbesar yaitu Rp. 65,192 milyar sehingga perlu terus dikembangkan karena memiliki pertumbuhan yang paling cepat. Sementara untuk sektor hotel memiliki nilai PP sebesar –Rp. 7,46 milyar yang artinya sektor hotel memiliki pertumbuhan yang lambat. Berbeda dengan laju pertumbuhan nasional/regional yang sama untuk semua sektor, laju pertumbuhan proporsional untuk setiap sektor tidak sama. Laju pertumbuhan proporsional terbesar terjadi pada sektor bangunan sebesar 19,29 persen sementara untuk sektor hotel memiliki laju pertumbuhan sebesar -4,52 persen. Untuk komponen pertumbuhan pangsa wilayah, sektor yang memiliki nilai PPWij > 0 tergolong sektor yang memiliki dayasaing baik, sedangkan untuk sektor yang memiliki PPWij < 0 maka sektor tersebut termasuk sektor yang mempunyai dayasaing kurang baik. Tabel 5.2 menunjukkan bahwa sektor yang memiliki nilai PPW > 0 adalah sektor industri pengolahan dan sektor pengangkutan dan komunikasi. Hal ini mengindikasikan bahwa kedua sektor tersebut mampu bersaing dengan sektor ekonomi yang sama di kota atau kabupaten lain di Daerah Istimewa Yogyakarta. Sektor-sektor lainnya seperti sektor pertanian, sektor pertambangan dan penggalian, sektor listrik, gas, dan air bersih, sektor bangunan, sektor perdagangan, sektor hotel, sektor restoran, sektor keuangan, sewa, dan jasa
72
perusahaan, dan sektor jasa-jasa kurang mampu untuk bersaing dengan sektor ekonomi yang sama di kota atau kabupaten lain di Daerah Istimewa Yogyakarta. Sektor yang mengalami laju pertumbuhan pangsa wilayah terbesar adalah sektor pengangkutan dan komunikasi, yaitu sebesar 3,06 persen. Sektor hotel memiliki laju pertumbuhan Pertumbuhan Pangsa Wilayah sebesar -2,74 persen. Kegiatan hotel mempunyai nilai PR sebesar Rp. 30,676 milyar yang merupakan urutan terbesar kedelapan, yang berarti bahwa kegiatan ini juga dipengaruhi oleh perubahan kebijakan regional atau perubahan produksi regional. Pertumbuhan proporsional hotel bernilai negatif sebesar –Rp. 7,460 milyar atau 4,52 persen yang berarti bahwa kegiatan hotel memiliki pertumbuhan yang lambat. Begitu juga dengan nilai pertumbuhan pangsa wilayah, hotel memiliki nilai PPW < 0 yang menunjukkan bahwa sektor hotel memiliki dayasaing yang kurang baik jika dibandingkan dengan wilayah lain. Nilai PPW dari sektor hotel adalah sebesar –Rp. 4,521 milyar dengan laju pertumbuhan pangsa wilayah yaitu -2,74 persen. Pertumbuhan yang lambat dan dayasaing yang kurang baik ini lebih disebabkan karena adanya bencana alam yang melanda Kota Yogyakarta pada tahun 2006. 5.1.3. Rasio PDRB dan Analisis Pertumbuhan Wilayah Sektor Hotel Kota Yogyakarta Setelah Gempa Bumi (Periode 2007-2009) Gempa bumi yang terjadi pada tanggal 27 mei 2006 telah memberikan pengaruh yang cukup besar terhadap perekonomian Kota Yogyakarta. Pada Sub Bab 5.1.2 dapat dilihat pada analisis pertumbuhan wilayah Kota Yogyakarta tahun
73
2005-2009 sektor hotel memiliki nilai Pertumbuhan Proporsional (PP) dan nilai Pertumbuhan Pangsa Wilayah (PPW) yang negatif. Nilai Pertumbuhan Proporsional (PP) dan Pertumbuhan Pangsa Wilayah (PPW) yang negatif berarti sektor hotel Kota Yogyakarta memiliki pertumbuhan yang lambat dan dayasaing yang kurang baik. Pada periode 2007-2009 berdasarkan analisis pertumbuhan wilayah seperti yang ditunjukkan pada Tabel 5.3 nilai Pertumbuhan Proporsional (PP) dan Pertumbuhan Pangsa Wilayah menunjukkan nilai yang positif. Nilai Pertumbuhan Proporsional adalah 24,324 milyar rupiah atau memiliki laju pertumbuhan sebesar 17 persen dan nilai Pertumbuhan Pangsa Wilayah adalah 1,064 milyar rupiah atau memiliki laju pertumbuhan sebesar 0,01 persen. Tabel 5.3.
Rasio PDRB dan Analisis Shift Share Sektor Hotel Kota Yogyakarta Tahun 2007-2009. Nilai
Komponen Analisis Shift Share Rasio
Juta (Rp)
Ra (Rasio Produksi Provinsi 0,10 Daerah Istimewa Yogyakarta) Ri (Rasio Produksi Sektor 0,26 Hotel Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta) ri (Rasio Produksi Sektor 0,27 Hotel Kota Yogyakarta) Pertumbuhan Regional (PR) 13.888,39 Pertumbuhan Proporsional (PP) 24.324,26 Pertumbuhan Pangsa Wilayah (PPW) 1.064,36 Sumber: BPS Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, 2010 (diolah).
% -
-
-
0,10 0,17 0,01
74
Nilai PP dan PPW yang positif menunjukkan bahwa pada periode 20072009 sektor hotel Kota Yogyakarta memiliki pertumbuhan yang cepat berdasarkan nilai Pertumbuhan Proporsional
(PP) dan dayasaing yang baik
berdasarkan nilai Pertumbuhan Pangsa Wilayah (PPW). Oleh karena itu, dapat dikatakan pertumbuhan yang lambat dan dayasaing yang kurang baik pada periode 2005-2009 adalah karena adanya bencana alam pada tahun 2006. 5.1.4. Pertumbuhan
Bersih
dan
Profil
Pertumbuhan
Sektor-Sektor
Perekonomian Kota Yogyakarta Pertumbuhan Bersih (PB) diperoleh dari penjumlahan komponen Pertumbuhan Proporsional (PP) dan komponen Pertumbuhan Pangsa Wilayah (PPW) setiap sektor perekonomian. Pada Tabel 5.4 dapat dilihat bahwa di Kota Yogyakarta selama tahun 2005-2009 terdapat empat sektor yang memiliki PB > 0 yang merupakan sektor dengan pertumbuhan progresif (maju). Sektor tersebut adalah sektor bangunan, sektor perdagangan, sektor restoran, dan sektor pengangkutan dan komunikasi. Sedangkan sektor yang tergolong pertumbuhannya lambat PB < 0 adalah sektor pertanian, sektor pertambangan dan penggalian, sektor industri pengolahan, sektor listrik, gas, dan air bersih, sektor hotel, sektor keuangan, sewa, dan jasa perusahaan, dan sektor jasa-jasa. Sektor ekonomi yang memiliki nilai PB terbesar adalah sektor pengangkutan dan komunikasi yaitu sebesar Rp. 90,055 milyar. Sektor yang memiliki presentase PB terbesar adalah sektor bangunan, yaitu sebesar 15,78 persen. Kegiatan usaha hotel memiliki nilai PB –Rp. 11,982 milyar atau
75
presentase sebesar -7,265 persen, sehingga dapat disimpulkan bahwa kegiatan hotel tergolong memiliki pertumbuhan yang lambat Tabel 5.4. Pertumbuhan Bersih (PB). Lapangan Usaha
Pertumbuhan Bersih (PB)
Juta (Rp) Pertanian -8.537,31 Pertambangan dan Penggalian -22,01 Industri Pengolahan -64.855,83 Listrik, Gas, dan Air Bersih -4.213,66 Bangunan 48.599,91 Perdagangan 8.550,45 Hotel -11.982,05 Restoran 21.297,37 Pengangkutan dan Komunikasi 90.055,57 Keuangan, Sewa, dan Jasa Perusahaan -14.211,13 Jasa – Jasa -35.679,21 Total 34.002,09 Sumber: BPS Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, 2010 (diolah).
% -39,10 -9,10 -12,52 -7,00 15,78 2,71 -7,27 3,40 11,07 -2,26 -3,80 0,77
Pertumbuhan yang lambat dikarenakan antara tahun 2006 hingga 2009 sektor hotel di Kota Yogyakarta sedang berusaha untuk keluar dari keterpurukan setelah terjadinya bencana alam yang merusak objek wisata serta infrastruktur hotel yang ada di Kota Yogyakarta. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa pertumbuhan yang lambat pada sektor hotel disebabkan karena sektor hotel di Kota Yogyakarta harus menata ulang seluruh kegiatan dan infrastruktur hotel setelah adanya bencana gempa bumi dan meletusnya gunung merapi pada tahun 2006. Bantuan empat kuadran yang terdapat pada garis bilangan digunakan untuk mengevaluasi profil pertumbuhan sektor-sektor perekonomian. Sumbu horizontal menggambarkan presentase perubahan komponen Pertumbuhan
76
Proporsional (PP), sedangkan sumbu vertikal merupakan presentase Pertumbuhan Pangsa Wilayah (PPW). Gambar 5.1 menunjukkan profil pertumbuhan sektor-sektor perekonomian Kota Yogyakarta selama tahun 2005-2009 dalam empat kuadran. Sektor pengangkutan dan komunikasi berada di kuadran I yang berarti bahwa sektor ini berada pada kondisi PP dan PPW bernilai positif yang artinya memiliki laju pertumbuhan yang cepat (dilihat dari nilai PP) dan memiliki dayasaing yang baik bila dibandingkan dengan sektor di wilayah lainnya (dilihat dari nilai PPW). Kuadran II yang berada pada posisi PP positif dan PPW negatif terdapat sektor listrik, gas, dan air bersih, sektor bangunan, sektor perdagangan, dan sektor restoran yang memiliki laju pertumbuhan cepat (PP bernilai positif) tetapi tidak memiliki dayasaing yang baik jika dibandingkan dengan sektor di daerah lain (PPW bernilai negarif). Pada Kuadran III terdapat sektor pertanian, sektor pertambangan dan penggalian, sektor hotel, sektor keuangan, sewa, dan jasa perusahaan, dan sektor jasa-jasa yang berarti memiliki pertumbuhan yang lambat dan kurang memiliki dayasaing yang baik jika dibandingkan dengan wilayah lain (dilihat melalui nilai PP dan PPW yang negatif). Dalam sektor pertanian hal ini disebabkan karena berkurangnya lahan pertanian di Kota Yogyakarta yang bergeser menjadi wilayah pemukiman dan lahan usaha selain pertanian (konversi lahan). Sementara untuk sektor hotel, sektor keuangan, sewa, dan jasa perusahaan serta sektor jasa-jasa disebabkan karena masih membangun kembali ketiga sektor tersebut setelah terjadinya bencana alam yang melanda Kota Yogyakarta. Pada Kuadran IV
77
terdapat sektor s induustri pengollahan. Kuad dran IV menunjukkan m n bahwa seektorsektor ekoonomi terseebut mengaalami laju pertumbuhan p n yang lam mbat (PP neegatif) tetapi mem mpunyai daayasaing yaang baik jiika dibandingkan denggan sektor yang sama di daaerah lain (P PPW positiff).
% PP
5.00
‐15.00
k kuadran 1
k kuadran 4
0.00 ‐10.00
‐5.0 00
0.00
5.00
10 0.00
15.00 0
20.00
25.00
‐5.00
‐10.00 kuadran 2
k kuadran 3
Pertanian P P Pertambanga an dan P Penggalian Industri Peng golahan L Listrik, Gas, dan Air b bersih B Bangunan P Perdagangan H Hotel R Restoran P Pengangkutan n dan K Komunikasi K Keuangan, S Sewa, dan Jassa P Perusahaan J Jasa-Jasa
‐15.00
‐20.00
‐25.00
‐30.00
‐35.00
‐40.00
% PPW
Sumber: BP PS Provinsi Daerah Istim mewa Yogyak karta,2010 (ddiolah).
Gambar 5.11. Profil Perrtumbuhan Sektor-Sekt S tor Perekonomian.
78
5.2.
Analisis Sektor Basis di Kota Yogyakarta Berdasarkan hasil perhitungan menggunakan metode LQ di Kota
Yogyakarta, terdapat enam sektor yang termasuk sektor basis ekonomi. Tabel 5.5 menunjukkan bahwa sektor basis tersebut adalah sektor listrik, gas, dan air bersih, sektor hotel, sektor restoran, sektor pengangkutan dan komunikasi, sektor keuangan, sewa, dan jasa perusahaan, serta sektor jasa-jasa. Selama periode tahun 2005-2009, keenam sektor tersebut memiliki nilai LQ > 1 yang berarti bahwa sektor-sektor tersebut mampu memenuhi permintaan produk, baik berupa barang dan jasa baik bagi kebutuhan di dalam wilayah Kota Yogyakarta maupun ke luar wilayah Kota Yogyakarta. Tabel 5.5. Nilai Location Quotient (LQ). Sektor
Pertanian Pertambangan dan Penggalian Industri Pengolahan Listrik, Gas, dan Air Bersih Bangunan Perdagangan Hotel Restoran Pengangkutan dan Komunikasi Keuangan, Sewa, dan Jasa Perusahaan Jasa – Jasa
LQ
2005
2006
2007
2008
2009
0,03
0,03
0,02
0,02
0,02
0,00 0,81
0,01 0,82
0,01 0,82
0,08 0,81
0,08 0,81
1,51 0,85 0,83 1,99 1,45
1,52 0,88 0,87 1,98 1,44
1,48 0,86 0,85 1,92 1,42
1,43 0,86 0,83 1,92 1,41
1,38 0,82 0,88 1,93 1,43
1,87
1,88
1,86
1,88
1,90
1,49 1,27
1,46 1,27
1,47 1,26
1,49 1,25
1,47 1,23
Sumber: BPS Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, 2010 (diolah).
Tabel 5.5 juga menunjukkan sektor nonbasis di Kota Yogyakarta yaitu, sektor pertanian, sektor pertambangan dan penggalian, sektor industri pengolahan,
79
sektor bangunan, dan sektor perdagangan. Kelima sektor ini memiliki nilai LQ < 1 selama periode tahun 2005-2009 sehingga hanya mampu menyediakan barang dan jasa yang dibutuhkan oleh masyarakat yang tinggal di dalam batas-batas wilayah Kota Yogyakarta.
Selama periode tahun 2005-2009, sektor hotel memiliki nilai LQ > 1. Berdasarkan penelitian, sektor ini berorientasi ekspor karena memiliki pasar pada skala lokal dan di luar batas-batas wilayah Kota Yogyakarta. Berbeda dengan sektor lain dimana sektor basis merupakan sektor yang dapat mengekspor barang atau jasa ke luar wilayahnya, maka sektor hotel yang merupakan subsektor pariwisata memenuhi kebutuhan pasar di luar wilayah dengan cara menarik wisatawan untuk mengunjungi objek-objek wisata dan melakukan kegiatan menginap. Khusunya menginap pada sektor hotel selama berwisata di Kota Yogyakarta. 5.3.
Kontribusi Sektor Hotel terhadap Perekonomian
5.3.1. Kontribusi Sektor Hotel terhadap Pembentukan PDRB Kontribusi sektor hotel dalam pembentukan PDRB Kota Yogyakarta pada umumnya mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Pada tahun 2005, sektor hotel menyumbangkan 3,75 persen terhadap total PDRB Kota Yogyakarta. Selanjutnya pada tahun 2006 mengalami penurunan dibandingkan tahun sebelumnya, penurunan ini disebabkan oleh bencana alam yang terjadi di Kota Yogyakarta, sehingga banyak hotel yang tidak terisi dan mengurangi kontribusi terhadap PDRB.
80
Tabel 5.6. Kontribusi Sektor-Sektor Pembentuk PDRB (%). Sektor Pertanian Pertambangan dan Penggalian Industri Pengolahan Listrik, Gas, dan Air Bersih Bangunan Perdagangan
2005 0,50 0,00 11,78 1,37 7,00 7,19
2006 0,47 0,01 11,58 1,33 7,92 7,57
2007 0,40 0,01 11,29 1,34 8,17 7,48
2008 0,36 0,01 10,82 1,30 8,22 7,33
2009 0,33 0,01 10,47 1,28 7,89 7,30
Hotel 3,75 2,94 3,02 3,43 3,50 Restoran 14,26 14,55 14,37 14,20 14,57 Pengangkutan dan Komunikasi 18,50 18,86 19,06 19,61 20,10 Keuangan, Sewa, dan Jasa Perusahaan 14,31 13,29 13,65 13,88 13,94 Jasa – Jasa 21,34 21,48 21,20 20,84 20,52 PDRB 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 Sumber: BPS Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, 2010 (diolah).
Kontribusi sektor hotel terhadap pembentukan PDRB Kota Yogyakarta pada tahun 2006 adalah sebesar 2,94 persen. Pada tahun 2007 kontribusi sektor hotel terhadap pembentukan PDRB Kota Yogyakarta kembali meningkat, yaitu menjadi 3,02 persen. Selanjutnya, pada tahun 2008 dan 2009 kontribusi sektor hotel kembali meningkat masing-masing menjadi 3,43 persen dan 3,50 persen. Peningkatan yang ada tidak lepas dari usaha-usaha yang dilakukan oleh Kota Yogyakarta untuk kembali menghidupkan dan mengembangkan sektor hotel serta sektor-sektor lain yang termasuk ke dalam sektor pariwisata.
5.3.2. Perkembangan Penyerapan Tenagakerja Sektor Hotel Penyerapan tenagakerja pada sektor hotel cenderung mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Pada tahun 2005, jumlah tenagakerja pada sektor hotel sebanyak 4.283 orang atau sebanyak 2,46 persen dari total 185.653 orang total penyerapan tenagakerja tahun 2005 di Kota Yogyakarta. Selanjutnya pada
81
tahun 2006, tenagakerja yang terserap pada sektor hotel tercatat sebanyak 4.317 orang. Tabel 5.7. Tahun 2005 2006 2007 2008 2009
Kontribusi Sektor Hotel dalam Penyerapan Tenagakerja. Jumlah Presentase (%) 4.283 4.317 4.238 4.284 4.732
2,46 2,43 2,05 2,05 2,54
Sumber: BPS Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, 2010 (diolah).
Tahun 2007 terjadi penurunan penyerapan tenagakerja sektor hotel yaitu sebanyak 4.238 orang atau sebanyak 2,05 persen dari total penyerapan tenagakerja di Kota Yogyakarta pada tahun 2007. Pada tahun 2008 kembali terjadi peningkatan penyerapan tenagakerja yaitu sebanyak 4.284 orang yang bekerja pada sektor hotel. Pada tahun 2009 kembali meningkat menjadi 4.732 orang atau sebesar 2,54 persen dari total 173.483 orang yang bekerja di Kota Yogyakarta.
5.4.
Dayasaing Hotel Kota Yogyakarta dengan Porter’s Dimond Sektor hotel dalam PDRB merupakan salah satu sektor basis antara tahun
2005-2009. Selain sebagai sumber penerimaan daerah, sektor hotel juga berperan sebagai sektor pendukung dalam pengembangan industri pariwisata di Kota Yogyakarta. Oleh karena itu, penetapan sasaran pengembangan dari sektor hotel perlu ditetapkan untuk meningkatkan seluruh potensi dari sektor hotel, meningkatkan jumlah wisatawan yang menginap dan meningkatkan pendapatan asli daerah.
82
Pendekatan Porter’s Diamond dapat digunakan untuk menganalisis faktorfaktor yang memengaruhi dayasaing sektor hotel Kota Yogyakarta sekaligus meningkatkan daya saing sektor hotel Kota Yogyakarta yang dilihat dari empat kekuatan atau elemen-elemen didalamnya. Keempat elemen yang dikaji dalam pendekatan Porter’s Diamond meliputi kondisi faktor, kondisi permintaan, strategi hotel dan persaingan, serta industri pendukung dan industri terkait. 5.4.1. Kondisi Faktor Kondisi faktor adalah kondisi infrastruktur, sumberdaya manusia, sumberdaya modal, teknologi, dan faktor-faktor alam yang dimiliki suatu wilayah yang akan menentukan potensi penerimaan seperti letak strategis wilayah, besarnya jumlah penduduk, dan potensi sumberdaya alam. Semakin baik kondisikondisi tersebut maka wilayah itu semakin kompetitif dalam persaingan.
Dilihat dari infrastruktur yang ada, di Kota Yogyakarta terdapat 352 hotel yang berdiri pada tahun 2009. Meningkat dari tahun 2008 yang berjumlah 340 hotel. Sementara untuk daerah lain di sekitar Kota Yogyakarta, seperti Kabupaten Bantul, Kabupaten Sleman, Kabupaten Wonosobo, Kota Magelang dan Kota Surakarta jumlahnya dibawah jumlah hotel di Kota Yogyakarta. Kabupaten Bantul memiliki 299 hotel pada tahun 2009, lebih rendah dibandingkan tahun 2008 yang berjumlah 320 hotel dan seluruhnya merupakan hotel nonbintang.
Kabupaten Sleman tercatat memiliki 136 hotel pada tahun 2009. Pada tahun yang sama di Kabupaten Wonosobo terdapat 29 hotel yang terdiri dari 26 hotel nonbintang dan 3 hotel bintang. Kota Magelang memiliki 14 hotel yang
83
terdiri dari 4 hotel bintang dan 10 hotel nonbintang pada tahun 2009. Kota Surakarta memiliki 137 hotel yang terdiri dari 17 hotel bintang dan 120 hotel nonbintang pada tahun 2009. Dilihat dari sisi jumlah infrastruktur bangunan hotel yang ada, Kota Yogyakarta memiliki keunggulan dari daerah-daerah lain di sekitarnya yang juga merupakan tempat tujuan wisata.
Dilihat dari kondisi infrastruktur lain khususnya jalan, dinilai cukup baik. Kondisi jalan menuju hotel-hotel yang ada maupun menuju tempat wisata relatif baik dengan jalan yang tanpa lubang dan jalan yang cukup lebar. Infrastruktur jalan sangat mempengaruhi mobilisasi barang ataupun manusia yang akan melakukan aktivitasnya. Berdasarkan data dari BPS Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (2010), panjang jalan di Kota Yogyakarta pada tahun 2009 adalah 247,80 km dengan rincian kondisi baik 99,15 km, kondisi sedang 104,22 km, dan kondisi jalan yang rusak 44,43 km.
Dilihat dari angka IPM (Indeks Pembangunan Manusia), berdasarkan data BPS Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, masyarakat Kota Yogyakarta bisa dinilai cukup berkualitas. Angka IPM Kota Yogyakarta tahun 2009 adalah 79,24 lebih besar dibandingkan dengan rata-rata Provinsi DIY yang sebesar 75,23. Angka IPM Kota Yogyakarta lebih tinggi dibandingkan kota-kota di sekitarnya seperti Kabupaten Kulon Progo, Kabupaten Bantul, Kabupaten Gunung Kidul, dan Kabupaten Sleman. Kabupaten Kulon Progo memiliki angka IPM 73,77, Kabupaten Bantul 73,75, Kabupaten Gunung Kidul 70,18, dan Kabupaten Sleman 77,70.
84
Tenagakerja dari sektor hotel di Kota Yogyakarta mempunyai kualitas yang cukup baik dilihat dari pendidikannya yang sebagian besar merupakan lulusan SMU atau Perguruan Tinggi. Dari 4.732 tenagakerja sektor hotel pada tahun 2009, 3549 orang adalah lulusan SMU, 1088 orang adalah lulusan perguruan tinggi, dan 95 orang lulusan SMP.
Dinas Pariwisata dan Kebudayaan maupun pihak manajemen hotel bekerjasama dengan lembaga lain yang terkait melakukan pembinaan teknis atau pelatihan terhadap pelaku-pelaku sektor hotel untuk meningkatkan kualitas tenagakerja sektor hotel. Pelatihan yang diberikan antara lain adalah pelatihan bahasa, pelatihan kebersihan dan merapikan kamar serta pelatihan pelayanan kepada wisatawan.
Selain itu untuk menunjang SdM (Sumberdaya Manusia) yang baik, saat ini Kota Yogyakarta memiliki sebuah hotel training centre SMKN 6 (Sekolah Menengah Kejuruan Negeri) Kota Yogyakarta yang diberi nama “Edotel Kenari”. Hotel training centre ini dimanfaatkan selain sebagai fasilitas pembelajaran dan sarana praktik industri perhotelan bagi para siswa, juga diharapkan mampu melengkapi industri perhotelan di Kota Yogyakarta yang memberikan keuntungan secara bisnis.
Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota Yogyakarta maupun manajemen hotel-hotel yang ada melakukan promosi dan pemasaran bagi sektor hotel untuk memudahkan akses informasi sektor perhotelan Kota Yogyakarta. Promosi dan pemasaran sektor hotel dilakukan melalui koran, majalah, brosur, radio, televisi,
85
dan internet. Saat ini internet menjadi pilihan utama dari sektor hotel untuk melakukan promosi dan pemasaran. Hampir seluruh hotel yang terdapat di Kota Yogyakarta telah mempromosikan dan memasarkan bisnisnya di internet.
Dari segi modal, hampir seluruh hotel yang dibangun memiliki aset dan modal diatas satu milyar rupiah. Hotel berbintang yang terdapat di Kota Yogyakarta seperti Hotel Inna Garuda, Hotel Ibis, ataupun Hotel Santika memiliki modal diatas seratus milyar rupiah, sementara hotel berbintang lain memiliki modal antara sepuluh milyar rupiah hingga lima puluh milyar rupiah. Hotel nonbintang memiliki nilai modal antara satu milyar rupiah hingga sepuluh milyar rupiah.
Dilihat dari faktor alam yang ada, sektor hotel terbantu oleh permukaan wilayah Kota Yogyakarta yang relatif datar di setiap daerah sehingga memudahkan para investor untuk membangun hotel di Kota Yogyakarta. Selain itu, banyaknya daerah wisata di Kota Yogyakarta membantu sektor hotel dalam menarik pengunjung untuk menginap di hotel-hotel yang terdapat di sekitar Kota Yogyakarta. Kota Yogyakarta memiliki banyak tempat wisata yang sangat beragam mulai dari wisata kuliner, wisata budaya, wisata alam, wisata hiburan dan rekreasi, wisata minat khusus, wisata MICE (Meeting, Incentive, Confrention, Exhibition), wisata pendidikan, dan wisata belanja. Diantaranya tempat wisata dan terkenal dan dekat dengan hotel yang ada di Kota Yogyakarta adalah Jalan Malioboro, Keraton Yogyakarta Hadiningrat, Taman Sari, dan Kotagede.
86
5.4.2. Kondisi Permintaan Kondisi permintaan merupakan sifat dari permintaan pasar asal untuk barang dan jasa industri. Sektor hotel yang didukung oleh industri pariwisata sangat potensial untuk dikembangkan. Untuk itu pemerintah Kota Yogyakarta dalam RPJPD (Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah) maupun dalam RPJMD (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah) telah menetapkan visi pembangunan Kota Yogyakarta yaitu ”Kota Yogyakarta sebagai Kota Pendidikan Berkualitas, Pariwisata Berbasis Budaya dan Pusat Pelayanan Jasa, Yang Berwawasan Lingkungan”. Visi tersebut dituangkan kedalam misi pembangunan Kota Yogyakarta yaitu ”Mempertahankan Predikat Kota Yogyakarta Sebagai Kota Pariwisata, Kota Budaya, dan Kota Perjuangan”. Dimana salah satu programnya adalah pengembangan dan peningkatan kualitas dan kuantitas fasilitas sarana dan prasarana yang menunjang keindahan dan kenyamanan Kota Yogyakarta serta peningkatan kualitas dan kuantitas pelayanan industri pariwisata. Tabel 5.8.
Tahun
Presentase Tingkat Penghunian Kamar Hotel Menurut Golongan Hotel. Berbintang
Golongan Hotel Non Bintang
2009 50,65 36,42 2008 55,27 36,36 2007 45,97 30,86 2006 60,01 22,87 2005 60,23 22,93 Sumber: BPS Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, 2010.
Bintang dan Nonbintang 45,34 48,59 42,18 51,72 51,62
Kondisi permintaan memperlihatkan kondisi yang baik dan memiliki keunggulan karena adanya permintaan yang besar dari wisatawan nusantara
87
maupun wisatawan mancanegara. Pada Tabel 4.1 dapat dilihat bahwa jumlah wisatawan yang datang ke Kota Yogyakarta dari tahun 2007 sebanyak 1.249.421 orang, dan meningkat pada tahun 2009 menjadi 1.426.057 orang. Dapat dilihat pada Tabel 5.8, presentase tingkat penghunian hotel pada tahun 2009 adalah 45,34 persen, terdiri dari 50,65 persen pada hotel bintang dan 36,42 persen pada hotel nonbintang. Nilai ini lebih tinggi dibandingkan tahun 2007 sebesar 42,18 persen, yang terdiri dari 45,97 persen pada hotel bintang dan 30,86 persen pada hotel nonbintang. 5.4.3. Industri Pendukung dan Industri Terkait Adanya industri pendukung dan terkait akan meningkatkan efisiensi dan sinergi dalam Clusters. Sinergi efisiensi dapat tercipta terutama dalam transaction cost, sharing teknologi, informasi maupun skill tertentu yang dapat dimanfaatkan oleh industri atau perusahaan lainnya. Manfaat lain industri pendukung dan terkait adalah meningkatkan dayasaing dan produktivitas (Mahmudy dan Astuti, 2006).
Terdapat kurang lebih 240 restoran yang terdapat di Kota Yogyakarta tahun 2008, dan meningkat menjadi 400 restoran pada tahun 2009. Umumnya restoran yang terdapat di Kota Yogyakarta menyediakan berbagai macam hidangan nusantara maupun mancanegara. Jumlah restoran yang terdapat di Kota Yogyakarta sudah cukup memadai untuk menunjang sektor hotel khususnya bagi para wisatawan yang menginap untuk dapat mencari pilihan makanan.
Penjual souvenir di Kota Yogyakarta bisa ditemui di hampir setiap lokasi wisata maupun di sudut-sudut jalan di Kota Yogyakarta. Tempat yang paling
88
ramai dikunjungi antara lain adalah Pasar Beringharjo, Kotagede, JalanWijilan, Daerah Pathuk, dan Jalan Malioboro. Souvenir yang ditawarkan berupa makanan khas, kerajinan tangan, batik, ataupun buah tangan lainnya dengan harga yang terjangkau tapi tetap berkualitas.
Perkembangan usaha biro perjalanan di Kota Yogyakarta cukup baik sebagai penunjang dari sektor hotel. Biro perjalanan terdapat di setiap daerah yang terdapat hotel di dekatnya. Terdapat 260 biro perjalanan yang ada di Kota Yogyakarta pada tahun 2009 (BPS Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta,2010). Biro perjalanan yang ada juga menunjang strategi utama untuk menambah siklus hidup suatu Daerah Tujuan Wisata dengan mengembangkan paket wisata yang menarik kepada calon wisatawan yang dianggap potensial untuk melakukan kunjungan. Beberapa hotel juga memberikan paket untuk wisata sehingga memberikan kemudahan pada wisatawan untuk mengunjungi obyek-obyek wisata yang ada di Kota Yogyakarta.
Industri pariwisata menjadi penunjang yang paling utama bagi industri perhotelan di Kota Yogyakarta. Obyek-obyek wisata yang ada di Kota Yogyakarta telah memberikan pengaruh yang cukup besar bagi sektor hotel dalam menarik para wisatawan untuk menginap di Kota Yogyakarta. Keraton Yogyakarta dan Jalan
Malioboro
sebagai landmark Kota Yogyakarta,
memberikan pengaruh bagi tingkat penghunian bagi hotel-hotel yang terdapat di Kota Yogyakarta.
89
Industri pendukung dan industri terkait untuk sektor hotel Kota Yogyakarta telah berkembang dengan baik dan dapat menunjukkan kelebihan. Tetapi untuk waktu yang akan datang, pengembangan industri yang ada tersebut masih mungkin untuk dikembangkan karena masih banyak potensi dari industri tersebut yang belum berkembang secara optimal. 5.4.4. Strategi Hotel dan Persaingan Strategi promosi yang dilakukan manajemen hotel-hotel yang ada di Kota Yogyakarta, yaitu melakukan promosi dan pemasaran melalui berbagai media. Promosi dan pemasaran sektor hotel dilakukan melalui koran, majalah, brosur, radio, televisi, dan internet. Saat ini internet menjadi pilihan utama dari sektor hotel untuk melakukan promosi dan pemasaran. Hampir seluruh hotel yang terdapat di Kota Yogyakarta telah mempromosikan dan memasarkan bisnisnya di internet. Selain itu, hotel-hotel yang ada di Kota Yogyakarta juga melakukan kerjasama dengan biro perjalanan baik yang berada di Kota Yogyakarta maupun yang berada di luar Kota Yogyakarta sebagai tempat menginap dari paket wisata yang mereka tawarkan.
Persaingan antar hotel di Kota Yogyakarta berjalan dengan baik dan tidak ada hotel tertentu yang memonopoli bisnis dalam bidang hotel karena setiap hotel dimiliki oleh pihak yang berbeda. Masing-masing hotel telah memiliki pelanggan setia sendiri dan telah memiliki segmen pasar sendiri tergantung dari fasilitas, harga, maupun pelayanan yang mereka berikan.
90
5.4.5. Peran Pemerintah Tidak
ada
hambatan
dari
pemerintah
Kota
Yogyakarta
dalam
pengembangan bisnis sektor hotel. Peluang yang dimiliki adalah dukungan dari Pemerintah Kota untuk menggali PAD dari sektor hotel. Pemerintah memberikan kekuatan hukum dengan adanya peraturan perundang-undangan di bidang kepariwisataan dan perhotelan. Peraturan dan Undang-Undang yang diberlakukan oleh Pemerintah Kota Yogyakarta adalah (1) UU Nomor 04 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Kepariwisataan, (2) Peraturan Walikota Yogyakarta Nomor 73 Tahun 2006 tentang Pemberian Sumbangan Dana Pembinaan Kepada Wajib Pajak Hotel dan Wajib Pajak Restoran Kota Yogyakarta, (3) Perda Kota Yogyakarta Nomor 02 Tahun 2002 tentang Perizinan Usaha Hotel dan penginapan, (4) Peraturan Walikota Yogyakarta Nomor 03 Tahun 2009 tentang Pemberian Insentif Terhadap Investasi Pada Tahun 2009 di Kota Yogyakarta, dan (5) Keputusan Walikota Yogyakarta Nomor 557/KEP/2007 Tahun 2007 Tentang Rencana Aksi Daerah Pengembangan Pariwisata Berbasis Budaya Kota Yogyakarta Tahun 2007-2011.
Berdasarkan Peraturan Walikota Yogyakarta Nomor 03 Tahun 2009 tentang Pemberian Insentif Terhadap Investasi Pada Tahun 2009 Di Kota Yogyakarta, Pemerintah Kota Yogyakarta memberikan insentif kepada para pengusaha dan investor yang mendirikan usaha baru di Kota Yogyakarta. Insentif ini diberikan dalam bentuk keringanan besaran pajak dan retribusi, serta tahapan waktu pembayaran pajak dan retribusi tersebut.
91
Insentif yang diberikan meliputi Pajak Hotel, Pajak Restoran, Pajak Hiburan, Retribusi Izin Mendirikan Bangun Bangunan (IMBB), Retribusi Izin Gangguan, dan Retribusi Izin Usaha Kepariwisataan. Keringanan pajak yang diberikan kepada investor yang akan mendirikan usaha baru, besarannya bermacam-macam. Dalam pajak hotel, ada pengurangan pajak hingga 90 persen bagi pelaku usaha perhotelan mulai dari hotel nonbintang hingga hotel bintang selama 3 bulan pertama, kemudian 3 bulan berikutnya 50 persen, dan 6 bulan lagi ada potongan 25 persen.
Peran pemerintah yang lainnya adalah dalam penetapan rencana pembangunan jangka menengah daerah tahun 2007-2011 Kota Yogyakarta dan rencana pembangunan jangka panjang daerah tahun 2005-2025 Kota Yogyakarta. Didalamnya terdapat visi pembangunan Kota Yogyakarta yaitu ”Kota Yogyakarta sebagai Kota Pendidikan Berkualitas, Pariwisata Berbasis Budaya dan Pusat Pelayanan Jasa, Yang Berwawasan Lingkungan”. Visi tersebut dituangkan ke dalam misi pembangunan Kota Yogyakarta yaitu ”Mempertahankan Predikat Kota Yogyakarta Sebagai Kota Pariwisata, Kota Budaya, dan Kota Perjuangan”. Dimana salah satu programnya adalah pengembangan dan peningkatan kualitas dan kuantitas fasilitas sarana dan prasarana yang menunjang keindahan dan kenyamanan Kota Yogyakarta serta peningkatan kualitas dan kuantitas pelayanan industri pariwisata. Pemerintah Kota Yogyakarta juga memberikan kemudahan bagi para pengusaha untuk mendirikan usaha, mengurus izin mendirikan bangunan, dan mendaftarkan properti. Seperti yang telah dijelaskan pada sub bab 4.4 dalam
92
penelitian ini, dimana Kota Yogyakarta merupakan peringkat pertama dalam kemudahan mendirikan usaha dan kemudahan mengurus IMB, dan peringkat ke dua belas kota termudah mendaftarkan properti. Kota Yogyakarta juga merupakan kota dengan waktu proses tersingkat dalam mendirikan usaha, yaitu 43 hari, lebih singkat dari rata-rata di Indonesia yang mencapai 50 hari. 5.4.6. Peran Kesempatan Setiap orang mempunyai kebutuhan yang harus dipenuhi terutama kebutuhan primer. Tetapi tidak mungkin dikesampingkan bahwa ada kebutuhan tersier yang salah satunya adalah kebutuhan untuk berekreasi yang harus dipenuhi. Masyarakat saat ini sudah menyadari pentingnya liburan dan semakin membutuhkan waktu luang untuk berekreasi. Jumlah masyarakat Kota Yogyakarta dan masyarakat Indonesia yang besar merupakan kesempatan bagi peningkatan permintaan tingkat hunian hotel Kota Yogyakarta sebagai dampak dari peningkatan kebutuhan wisata yang ada. Banyaknya hari libur bersama bisa menjadi kesempatan yang baik juga bagi pengembangan sektor hotel Kota Yogyakarta. Peningkatan untuk menggunakan hotel sebagai tempat rapat ataupun sebagai tempat perjanjian kerjasama bisnis juga menjadi peluang bagi pengembangan sektor hotel Kota Yogyakarta.
93
Strategi Hotel dan Persaingan 1. Persaingan (+)
Dukungan Pemerintah
2 Strategi Pemasaran (+)
(+)
Kondisi Permintaan
Kondisi Faktor 1.SDA (+)
1.Permintaan Nusantara (+)
2. SDM (+)
2. Permintaan Mancanegara (+)
3. Modal (+) 4. Infrastruktur Fisik (+) 5. Infrastruktur Informasi (+)
Industri Pendukung dan Industri Terkait 1. Bisnis Restoran (+) 2. Jasa Biro Perjalanan (+)
Dukungan Kesempatan
3. Bisnis Souvenir (+) (+) 4. Industri Pariwisata (+)
Gambar 5.2. Analisis Porter’s Diamond. Secara keseluruhan hasil analisis dari Porter’s Diamond dapat dilihat pada Gambar 5.2. Hasil analisis menunjukkan bahwa seluruh faktor yang dimiliki oleh sektor hotel Kota Yogyakarta, yaitu SDA, SDM, Modal, Infrastruktur Fisik, Infrastruktur Informasi, Persaingan, Manajemen, Strategi Pemasaran, Permintaan Nusantara, Permintaan Mancanegara, Industri Pendukung dan Industri Terkait, Dukungan Kesempatan, dan Dukungan Pemerintah telah memiliki potensi yang baik dan telah menjadi keunggulan yang dimiliki oleh sektor hotel Kota Yogyakarta.
94
5.5.
Analisis Kontribusi dan Efektivitas Pajak Hotel terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kota Yogyakarta
5.5.1. Perkembangan Realisasi Pajak Hotel Dari tahun ke tahun, realisasi pajak hotel semakin meningkat di Kota Yogyakarta. Hal ini disebabkan oleh semakin bertambahnya jumlah hotel dan meningkatnya kesadaran pelaku usaha perhotelan dalam membayar pajak. Peningkatan jumlah pajak hotel ini dapat dilihat pada Tabel 5.9. Tabel 5.9.
Realisasi Penerimaan Pajak Daerah (Ribu Rupiah).
Sumber Pajak
2005
2006
2007
2008
2009
17.994.725
14.575.296
20.529.610
26.544.641
30.788.901
Restoran
8.532.492
8.635.810
9.638.779
10.615.751
12.002.777
Hiburan
1.700.213
1.352.354
1.740.987
2.037.439
3.727.950
Reklame
2.437.630
2.224.859
3.619.969
4.962.578
5.030.452
15.159.696
16.882.280
18.885.554
17.864.484
19.736.631
281.963
326.548
368.071
426.015
565.825
46.106.723
43.997.150
54.782.973
62.450.910
71.852.539
Hotel
Penerangan Jalan Parkir Jumlah
Sumber: DPDPK Kota Yogyakarta, 2010.
5.5.2. Kontribusi Pajak Hotel terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kontribusi Pajak Hotel terhadap Pendapatan Asli Daerah Kota Yogyakarta tahun 2005-2009 dihitung dengan membandingkan jumlah penerimaan pajak hotel dengan jumlah pendapatan asli daerah. Besarnya kontribusi pajak hotel terhadap pendapatan asli daerah dapat dilihat pada Tabel 5.10. Dari perhitungan pada Tabel 5.10 dapat dilihat bahwa kontribusi pajak hotel terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kota Yogyakarta pada tahun 20052009 bervariasi antara 15,12 persen sampai dengan 20,17 persen atau dengan rata-
95
rata setiap tahunnya 18,48 persen. Ini berarti hampir 20 persen Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kota Yogyakarta berasal dari pajak hotel. Tabel 5.10. Tahun 2005 2006 2007 2008 2009
Kontribusi Pajak Hotel terhadap PAD. Realisasi Pajak Hotel PAD (Ribu Rupiah) (Ribu Rupiah) 17.994.725 89.196.416 14.575.296 96.419.456 20.529.610 114.098.350 26.544.641 132.431.571 30.788.901 161.473.838
Kontribusi (%) 20,17 15,12 17,99 20,04 19,07
Sumber: DPDPK Kota Yogyakarta, 2010 (diolah).
Naik turunnya kontribusi pajak hotel dikarenakan banyak tidaknya kunjungan ataupun lama menginap di hotel dan dari perkembangan PAD. Selain itu, kecakapan kinerja dari lembaga pemungut pajak dan juga kesadaran serta kepatuhan dari pelaku usaha perhotelan dalam membayar pajak juga mempengaruhi kontribusi pajak hotel terhadap pembentukan PAD. Khusus untuk tahun 2006, penurunan jumlah penerimaan pajak hotel juga dipengaruhi oleh adanya bencana alam yaitu meletusnya gunung merapi dan gempa bumi yang melumpuhkan sektor pariwisata termasuk sektor perhotelan. 5.5.3. Efektivitas Pajak Hotel Tingkat efektivitas pajak hotel di Kota Yogyakarta dihitung dengan membandingkan antara realisasi penerimaan pajak hotel dengan target pajak hotel. Apabila perhitungan efektivitas pajak hotel menghasilkan angka atau presentase mendekati atau melebihi 100 persen, maka pajak hotel semakin efektif atau dengan kata lain kinerja pemungutan pajak hotel Kota Yogyakarta semakin baik.
96
Tabel 5.11. Tahun 2005 2006 2007 2008 2009
Efektivitas Pajak Hotel terhadap Target Pajak Hotel. Target Pajak Hotel Realisasi Pajak Hotel (Ribu Rupiah) (Ribu Rupiah) 15.907.500 17.994.725 16.500.000 14.575.296 17.000.000 20.529.610 24.000.000 26.544.641 30.350.000 30.788.901
Efektivitas (%) 101,31 88,34 120,76 110,60 101,45
Sumber: DPDPK Kota Yogyakarta, 2010 (diolah).
Dalam penelitian ini yang dipertimbangkan dalam menentukan efektivitas hanya pencapaian target. Sedangkan untuk tujuan lain, seperti keadilan, ketepatan waktu pembayaran, dan kepastian hukum diabaikan. Tabel 5.11 menyajikan hasil perhitungan efektivitas pajak hotel Kota Yogyakarta tahun 2005-2009. Rata-rata efektivitas pajak hotel Kota Yogyakarta yang melebihi 100 persen atau rata-rata sebesar 104,45 persen setiap tahunnya, menunjukkan bahwa kinerja dalam pemungutan pajak hotel Kota Yogyakarta sangat baik, karena realisasi pajak hotel lebih besar dari target yang direncanakan.
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
6.1.
Kesimpulan 1. Selama
periode
2005-2009,
kontribusi
hampir
seluruh
sektor
perekonomian di Kota Yogyakarta dan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta mengalami peningkatan. Selama periode 2005-2009, sektor hotel mempunyai pertumbuhan yang lambat dan memiliki dayasaing yang kurang baik jika dibandingkan dengan sektor hotel di wilayah-wilayah lain di Daerah Istimewa Yogyakarta. Pertumbuhan yang lambat dan dayasaing yang kurang baik disebabkan adanya bencana alam di Kota Yogyakarta, yang membuat pengusaha di sektor perhotelan harus membangun kembali semua dari awal. Selama tahun 2005-2009, sektor hotel termasuk ke dalam sektor basis ekonomi di Kota Yogyakarta. Nilai LQ sektor hotel Kota Yogyakarta antara tahun 2005-2009 bervariasi antara 1,92 dan 1,99. 2. Kontribusi sektor hotel terhadap pembentukan PDRB Kota Yogyakarta antara tahun 2005-2009 bervariasi antara 2,94 persen dan 3,75 persen. Sektor hotel juga memberikan kontribusi antara 2,05 persen hingga 2,54 persen dari total jumlah penyerapan tenagakerja di Kota Yogyakarta. Jumlah usaha perhotelan di Kota Yogyakarta dari periode tahun 2005 hingga 2009 relatif mengalami peningkatan. 3. Hasil analisis menunjukkan seluruh faktor yang ada, yaitu SDA, SDM, Modal,
Infrastruktur
Fisik,
Infrastruktur
Informasi,
Persaingan,
Manajemen, Strategi Pemasaran, Permintaan Nusantara, Permintaan
98
Mancanegara, Industri Pendukung dan Industri Terkait, Dukungan Kesempatan, dan Dukungan Pemerintah telah menjadi keunggulan sektor perhotelan Kota Yogyakarta. 4. Pada tahun 2005-2009, kontribusi pajak hotel terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kota Yogyakarta bervariasi antara 15,12 persen sampai dengan 20,17 persen atau dengan rata-rata setiap tahunnya 18,48 persen. Kinerja dalam pemungutan pajak hotel Kota Yogyakarta sangat baik, karena realisasi pajak hotel lebih besar daripada target yang direncanakan.
6.2.
Saran 1. Pemerintah Kota Yogyakarta melalui Dinas Pariwisata dan Kebudayaan harus terus mengembangkan sektor perhotelan karena walaupun sektor ini termasuk sektor yang mempunyai pertumbuhan lambat, tetapi memiliki potensi yang sangat menjanjikan. Pengembangan untuk meningkatkan dayasaing dapat dilakukan melalui peningkatan kualitas dari sektor perhotelan, karena potensi dayasaing yang dimiliki oleh sektor perhotelan sangat baik. Dayasaing yang kurang baik antara periode tahun 2005-2009 lebih disebabkan karena adanya bencana alam yang melanda Kota Yogyakarta pada tahun 2006. 2. Dalam usaha meningkatkan PAD Kota Yogyakarta yang bersumber dari pajak daerah, khususnya pajak hotel, Pemerintah Kota Yogyakarta harusnya melibatkan para pengusaha perhotelan dalam memutuskan suatu regulasi agar masing-masing pihak dapat memahami esensi dari regulasi
99
yang akan diterapkan sehingga dapat meminimalisasi penyimpanganpenyimpangan yang mungkin terjadi (sosialisasi pajak). 3. Agar pemungutan pajak hotel berjalan dengan lancar, pemberian insentif berupa pengurangan pajak bagi pembangunan hotel baru oleh Pemerintah Kota Yogyakarta yang telah dilakukan selama ini harus terus dilakukan untuk meningkatkan pertumbuhan hotel di Kota Yogyakarta, selain itu perbaikan infrastruktur pendukung sektor perhotelan seperti jalan, tempat wisata, dan restoran harus terus dilakukan oleh dinas-dinas terkait yang ada di lingkungan Pemerintah Kota Yogyakarta. 4. Pembinaan dan pelatihan serta kemitraan yang dilakukan oleh Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota Yogyakarta dan manajemen-manajemen hotel yang ada di Kota Yogyakarta kepada pihak-pihak yang terkait dengan sektor perhotelan harus tetap dilaksanakan dengan rutin untuk meningkatkan kualitas sumberdaya manusia di sektor perhotelan.
DAFTAR PUSTAKA
Ardhiyansyah, I.W. 2005. Analisis Kontribusi Pajak Hotel dan Restoran Terhadap PAD Kabupaten Purworejo Tahun 1989-2003 [skripsi]. Fakultas Ekonomi, Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta. Badan Perencanaan Daerah. 2007a. Peraturan Walikota Yogyakarta Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kota Yogyakarta 20072011. Yogyakarta. Badan Perencanaan Daerah. 2007b. Peraturan Walikota Yogyakarta Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) Kota Yogyakarta 20052025. Yogyakarta. BPS [Badan Pusat Statistik]. 2005. Kota Yogyakarta Dalam Angka Tahun 2005. Yogyakarta. _________________. 2006. Kota Yogyakarta Dalam Angka Tahun 2006. Yogyakarta. _________________. 2007. Kota Yogyakarta Dalam Angka Tahun 2007. Yogyakarta. _________________. 2008. Kota Yogyakarta Dalam Angka Tahun 2008. Yogyakarta. _________________. 2009. Kota Yogyakarta Dalam Angka Tahun 2009. Yogyakarta. _________________. 2010a. Kota Yogyakarta Dalam Angka Tahun 2010. Yogyakarta. _________________. 2010b. PDRB Menurut Lapangan Usaha Kota Yogyakarta 2005-2009. Yogyakarta. _________________. 2010c. PDRB Menurut Lapangan Usaha Daerah Istimewa Yogyakarta 2005-2009. Yogyakarta. _________________. 2010d. Statistik Pariwisata Kota Yogyakarta 2009. Yogyakarta. Budiharsono, S. 2001. Teknik Analisis Pembangunan Wilayah Pesisir dan Lautan. Pradnya Paramita, Jakarta. Budiyuwono, N. 1995. Pengantar Statistik Ekonomi dan Perusahaan. UDD AMP YKPN, Yogyakarta.
101
Cooper, C. 1993. Tourism, Principles & Practice. Longman Group Limited, Essex. Devas, N. 1989. Keuangan Pemerintah Daerah di Indonesia. Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta. Dinas Pariwisata dan Kebudayaan. 2009. Pariwisata Kota Yogyakarta. Yogyakarta. DPDPK [Dinas Pajak Daerah dan Pengelolaan Keuangan]. 2010a. Laporan Realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kota Yogyakarta Tahun Anggaran 2005-2009. Yogyakarta. DPDPK [Dinas Pajak Daerah dan Pengelolaan Keuangan]. 2010b. Realisasi Penerimaan Pajak Daerah Yang Dikelola Oleh Dinas Pajak Daerah dan Pengelolaan Keuangan Tahun 2003-2009. Yogyakarta. Febriawan, R. 2009. Analisis Peranan Sektor Hotel dan Restoran Dalam Perekonomian Kota Bandung [skripsi]. Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Feldmann, N. 1949. De Over Heidsniddelen Von Indonesia. Stenfert Kroese, Leiden. Glasson, J. 1977. Pengantar Perencanaan. Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta. Heriawan, R. 2004. Peranan dan Dampak Pariwisata Pada Perekonomian Indonesia: Suatu Pendekatan Model I-O dan SAM [desertasi]. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Irmayanti. 2006. Peranan Pariwisata Dalam Perekonomian Daerah Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat [skripsi]. Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Mahmudy, M. dan E. S. Astuti. 2006. “Strategi Pengembangan Industri Indonesia: Diamond Cluster Model’. Usahawan, 10: 37-39. Mardiasmo. 2001. Perpajakan. Andi, Yogyakarta. Marpaung, H.2002. Pengantar Ilmu Kepariwasataan. Bandung: Penerbit Erlangga. Maulida, E. M. 2009. Analisis Sektor Basis dan Potensi Daya Saing Pariwisata Kabupaten Tasikmalaya Pasca Otonomi Daerah [skripsi]. Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Porter, M. E. 1998. The Competitive Advantage of Nations. Macmilan Press Ltd, London.
102
Priyarsono, D. S., Sahara, dan M. Firdaus. 2007. Ekonomi Regional. Universitas Terbuka, Jakarta. Rosdiana, H., Tarigan, R. 2005. Perpajakan Teori dan Aplikasi. Rajagrafindo Persada, Jakarta. Siahaan, M. 2006. Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Rajagrafindo Persada, Jakarta. Sihite, R. 2000. Tourism Industry. SIC, Surabaya. Soemitro, R. 1977. Dasar-Dasar Hukum Pajak dan Pajak Pendapatan. Eresco, Bandung. The World Bank . 2010. Doing Business In Indonesia 2010. Washington D.C. World Tourism Organization. 1995. Concepts, Definitions, and Classifications for Tourism Statistics. World Tourism Organization, Madrid.
LAMPIRAN Lampiran 1. PDRB Kota Yogyakarta Tahun 2005-2009 Atas Dasar Harga Konstan Tahun 2000 (Juta Rupiah). TAHUN
Sektor Perekonomian 2005 Pertanian Pertambangan dan Penggalian
2006
21,835
2007
21,351
19,209
2008 18,140
2009 17,359
242
270
279
258
265
Industri Pengolahan Listrik, Gas, dan Air Bersih
518,069
529,450
539,154
543,050
549,754
60,224
60,741
64,197
65,488
67,212
Bangunan
308,065
362,187
390,323
412,972
413,965
Perdagangan
316,132
346,306
357,251
368,169
383,483
Hotel
164,925
134,412
144,342
172,001
183,619
Restoran Pengangkutan dan Komunikasi Keuangan, Sewa, dan Jasa Perusahaan
627,041
665,365
686,559
712,855
764,968
813,669
862,341
910,568
984,783
1,055,067
629,162
607,748
651,968
696,816
731,975
Jasa - Jasa
938,485
982,333
1,012,551
1,046,615
1,077,364
4,397,849
4,572,504
4,776,401
5,021,149
5,249,851
Total
104
Lampiran 2. PDRB Provinsi DIY Tahun 2005-2009 Atas Dasar Harga Konstan Tahun 2000 (Juta Rupiah). Sektor Perekonomian
TAHUN 2005
2006
2007
2008
2009
Pertanian Pertambangan dan Penggalian
3,185,771
3,306,928
3,333,382
3,521,168
3,635,184
122,332
126,137
138,358
138,272
138,748
Industri Pengolahan Listrik, Gas, dan Air Bersih
2,463,230
2,481,167
2,528,020
2,566,422
2,599,263
153,115
152,862
165,772
174,933
185,599
Bangunan
1,395,079
1,580,312
1,732,945
1,838,429
1,923,720
Perdagangan
1,462,659
1,534,974
1,613,884
1,698,740
1,791,892
319,188
259,896
287,901
342,329
364,119
1,662,981
1,774,752
1,848,580
1,929,414
2,042,631
1,673,352
1,761,672
1,875,307
1,999,332
2,118,667
1,623,210
1,591,885
1,695,163
1,790,556
1,903,411
Hotel Restoran Pengangkutan dan Komunikasi Keuangan, Sewa, dan Jasa Perusahaan Jasa - Jasa Total
2,849,959
2,965,164
3,072,200
3,209,341
3,348,263
16,910,877
17,535,749
18,291,512
19,208,938
20,051,496
105
Lampiran 3. Analisis Shift Share dan Rasio PDRB Sektor Hotel Kota Yogyakarta dan Provinsi DIY Tahun 2005-2009. PR
Tahun
Ra
Ri
ri
2005-2006
0,04
-0,19
-0,19
6.094,13
2006-2007
0,04
0,11
0.07
2007-2008
0,05
0,19
2008-2009
0,04
2005-2009
0,19
Milyar
PP (%)
PPW
Milyar
(%)
Milyar
3,70
-30.636,28
-18,58
123,28
5.792,94
4,31
8.690,57
6,47
0,19
7.239,59
5,02
20.048,42
0,06
0,07
7.544,45
4,39
0,14
0,11
30.676,05
18,60
PB (%)
Milyar
(%)
0.07
-30.513,00
-22,70
-4.553,52
-3,39
4.137,06
3,08
13,89
370,99
0,26
20.419,41
14,15
3.403,80
1,98
669,75
0,39
4.073,55
2,37
-7.460,12
-4,52
-4.521,93
-2,74
-11.982,06
-7,27
106
Lampiran 4. Referensi Porter’s Diamond
Kondisi faktor
Kondisi permintaan Strategi perusahaan
Industri pendukung dan industri terkait
Maulida (2009) Identifikasi sektor basis dan potensi dayasaing kabupaten tasikmalaya pasca otonomi daerah • SDA • SDM • Modal • Infrastruktur fisik • Infrastruktur informasi
• Permintaan nusantara • Permintaan mancanegara • Persaingan • Manajemen • Strategi pemasaran • Bisnis hotel dan restoran • Jasa biro perjalanan • Bisnis souvenir • Jasa transportasi
Yulianti (2009) Analisis faktorfaktor penentu dayasaing dan preferensi wisatawan berwisata ke kota bogor
Bahri (1997) strategi peningkatan keunggulan dayasaing sektor pariwisata indonesia
•Tenaga kerja dibidang pariwisata •Pendidikan dan pelatihan yang diberikan untuk meningkatkan kualitas tenagakerja •akses informasi tentang kepariwisataan • Objek wisata yang ditawarkan • Kebijakan thd harga yg berkaitan dg pariwisata • Anggaran pemerintah • Jumlah kunjungan wisatawan
• • • • •
Innfrastruktur fisik Infrastruktur sosial Tenagakerja SDA SDM
• • • • • •
Pelayanan Wisatawan domestik Wisatawan mancanegara Manajemen Struktur Strategi
• • • •
Hotel Restoran Souvenir Jasa transportasi
• Manajemen • Hambatan pemerintah • Persaingan • Promosi • Banyaknya hotel dan restoran • Pilihan dan kualitas souvenir • Jasa transportasi
107
Lampiran 5. Realisasi Penerimaan Pajak Daerah Kota Yogyakarta Tahun 2005-2009
Realisasi Penerimaan Pajak Daerah Kota Yogyakarta Tahun 2005-2009 Jenis Pajak
2005
2006
2007
2008
2009
Pajak Hotel Pajak Restoran Pajak Hiburan Pajak Reklame Pajak Penerangan Jalan Pajak Parkir
17,994,725 14,575,296 20,529,610 26,544,641 8,532,492 8,635,810 9,638,779 10,615,751 1,700,213 1,352,354 1,740,987 2,037,439
426,015
565,825
Jumlah
46,106,723 43,997,150 54,782,973 62,450,910
71,852,539
2,437,630
4,962,578
5,030,452
15,159,696 16,882,280 18,885,554 17,864,484
19,736,631
281,963
2,224,859
326,548
3,619,969
30,788,901 12,002,777 3,727,950
368,071