ANALISIS PERANAN SEKTOR HOTEL DAN RESTORAN DALAM PEREKONOMIAN KOTA BANDUNG
OLEH REGY FEBRIAWAN H14051990
s
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
RINGKASAN
REGY FEBRIAWAN. Analisis Peranan Sektor Hotel dan Restoran dalam Perekonomian Kota Bandung (dibimbing oleh ALLA ASMARA).
Semakin kuatnya citra Kota Bandung sebagai kota tujuan wisata, mengakibatkan peran sektor hotel dan restoran sebagai salah satu usaha pariwisata menjadi semakin penting. Hal ini semakin dikuatkan dengan kunjungan wisatawan baik domestik maupun mancanegara yang semakin meningkat. Dari segi ekonomi, sektor hotel dan restoran memiliki kontribusi terhadap pembentukan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) yang cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Dari sisi pendapatan daerah, terbukti bahwa realisasi Penerimaan Asli Daerah (PAD) yang tertinggi berasal dari pajak hotel dan pajak restoran. Semakin banyak wisatawan yang menggunakan jasa hotel dan restoran, semakin besar pula penerimaan pajak yang dihasilkan. Selain itu, kedua sektor ini juga mampu menyerap tenaga kerja yang cukup banyak. Secara umum Kota Bandung memiliki Laju Petumbuhan Ekonomi (LPE) yang tinggi dan cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Apabila dibandingkan dengan LPE Provinsi Jawa Barat atau LPE Indonesia sekalipun, ternyata LPE Kota Bandung masih lebih tinggi. Namun dengan LPE yang tinggi tersebut, ternyata jumlah pengangguran di Kota Bandung semakin meningkat. Hal ini membuktikan bahwa meskipun Kota Bandung memiliki LPE yang tinggi, namun kenyataannya belum mampu dalam mengatasi masalah pengangguran. Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis bagaimana dampak dan keterkaitan sektor hotel dan restoran dalam perekonomian Kota Bandung khususnya dalam menciptakan penyerapan tenaga kerja di Kota Bandung. Serta untuk menganalis regulasi dan kebijakan dalam pengembangan kepariwisataan. Untuk melakukan analisis ini, digunakan analisis Input-Output yang berasal dari Tabel Input-Output Kota Bandung Tahun 2003, dari analisis ini dapat diketahui peran kedua sektor ini dalam struktur ekonomi, kemudian diketahui juga bagaimana dampak dan keterkaitan sektor ini terhadap sektor lainnya, yang dianalisis melalui analisis keterkaitan, analisis dampak penyebaran, analisis multiplier terhadap output, pendapatan, dan penyerapan tenaga kerja. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kontribusi sektor hotel dan restoran dalam pembentukan permintaan antara relatif kecil dibandingkan dengan sektor lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar output dari kedua sektor ini tidak digunakan sebagai input oleh sektor lain dalam berproduksi. Konsumsi rumah tangga untuk sektor restoran lebih tinggi dibandingkan pada hotel.
Konsumsi rumah tangga untuk kedua sektor ini lebih tinggi dibanding pada sektor pertanian dan listrik, gas dan air bersih. Dari sisi ekspor dan impor, sektor hotel mengalami defisit perdagangan, sedangkan sektor restoran mengalami surplus perdagangan. Dalam pembentukan nilai tambah bruto, sektor hotel memiliki kontribusi yang relatif kecil dibanding sektor lainnya. Kontribusi sektor restoran lebih tinggi apabila dibandingkan sektor pertanian, listrik, gas, dan air bersih serta sektor hotel. Berdasarkan hasil penelitian, nilai keterkaitan ke belakang sektor hotel lebih besar dibanding nilai keterkaitan ke depannya. Artinya sektor hotel lebih banyak menggunakan output dari sektor lain untuk dijadikan input daripada mengalokasikan outputnya untuk dijadikan input ke sektor lain. Namun hal sebaliknya terjadi pada restoran yaitu memiliki keterkaitan ke depan lebih tinggi dibandingkan keterkaitan ke belakang. Sektor hotel mampu mendorong pertumbuhan sektor hulu dan hilirnya. Sedangkan sektor restoran kurang mampu mendorong pertumbuhan sektor hulu dan hilirnya. Dari dampak multiplier, baik sektor hotel maupun restoran keduanya memberikan dampak postif terhadap sektor ekonomi lainnya. Sektor hotel memiliki nilai multiplier output terbesar pada tipe I, sedangkan sektor restoran memiliki multiplier output tipe I terkecil. Pada multiplier pendapatan, sektor hotel memiliki nilai terbesar baik pada tipe I maupun II, sedangkan sektor restoran memiliki nilai terkecil baik pada tipe I maupun II. Pada multiplier tenaga kerja, sektor jasa-jasa memiliki nilai terbesar pada tipe I maupun II. Sedangkan sektor restoran memiliki nilai terkecil baik pada tipe I maupun II Pemerintah pusat maupun daerah memiliki kebijakan dan regulasi untuk mendukung dan mengatur perkembangan sektor pariwisata. Hal ini merupakan bentuk keseriusan pemerintah dalam mengembangkan kepariwisataan. Sektor restoran memiliki multiplier yang relatif kecil dibanding sektor lain. Oleh karena itu salah satu upaya yang bisa dilakukan adalah pembangunan sektor industri makanan, minuman, dan tembakau sebagai sektor hulunya. Selain itu pembangunan sektor pariwisata di Kota Bandung sebaiknya tidak hanya untuk mengejar penerimaan PAD saja, tetapi juga diarahkan agar mampu menciptakan penyerapan tenaga kerja dalam rangka mengurangi pengangguran, masalah ini diharapkan mampu menjadi perhatian bagi pemerintah Kota Bandung.
ANALISIS PERANAN SEKTOR HOTEL DAN RESTORAN DALAM PEREKONOMIAN KOTA BANDUNG
Oleh REGY FEBRIAWAN H14051990
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
Judul Skripsi
: Analisis Peranan Sektor Hotel dan Restoran dalam Perekonomian Kota Bandung
Nama
: Regy Febriawan
NIM
: H14051990
Menyetujui, Dosen Pembimbing
Alla Asmara, S.Pt, M.Si. NIP. 19730113 199702 1 001
Mengetahui, Ketua Departemen Ilmu Ekonomi
Rina Oktaviani, Ph.D. NIP. 19641023 198903 2 002
Tanggal Lulus:
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH BENAR-BENAR DIGUNAKAN
HASIL SEBAGAI
KARYA SKRIPSI
SAYA ATAU
YANG
BELUM
KARYA
PERNAH
ILMIAH
PADA
PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.
Bogor, Agustus 2009
Regy Febriawan H14051990
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama Regy Febriawan dilahirkan di Cianjur pada tanggal 18 Februari 1987. Penulis merupakan anak kedua dari tiga bersaudara, dari pasangan Yaya Setiawan dan A. Nurhayati. Penulis menyelesaikan pendidikan di sekolah dasar pada SDN Cimacan 3 tahun 1999, kemudian melanjutkan ke SLTP Negeri 1 Pacet dan lulus pada tahun 2002. Pada tahun yang sama, penulis melanjutkan pendidikan ke SMA Negeri 1 Sukaresmi dan menamatkannya pada tahun 2005. Pada tahun 2005 penulis melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi dan diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Penulis tercatat sebagai mahasiswa mayor Departemen Ilmu Ekonomi dengan minor Komunikasi. Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif di Himpunan Mahasiswa Tjiandjoer (HIMAT) serta di berbagai kepanitaan kampus.
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Judul skripsi ini adalah “Analisis Peranan Sektor Hotel dan Restoran dalam Perekonomian Kota Bandung”. Sektor pariwisata dalam hal ini usaha hotel dan restoran merupakan sektor yang berperan positif dalam perekonomian Kota Bandung. Dari kedua sektor ini diharapkan mampu menjadi salah satu sektor unggulan di Kota Bandung, bukan hanya sebagai pencipta pendapatan terbesar, tetapi juga mampu mengatasi permasalahan pengangguran melalui penyerapan tenaga kerja. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan topik ini, khususnya di Kota Bandung yang semakin terkenal sebagai kota tujuan wisata. Skripsi ini dapat terselesaikan berkat semangat, doa, dukungan, dan bimbingan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: 1.
Allah SWT atas limpahan rahmat dan karunia-Nya.
2.
Alla Asmara, S.Pt, M.Si. yang telah memberikan bimbingan baik secara teknis maupun toeritis dalam penyusunan skripsi ini.
3.
Dr. Manuntun Parulian Hutagaol selaku Dosen Penguji Utama atas kesediaan memberikan arahan, saran, kritik, dan perhatian kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini dengan baik.
4.
Dr. Muhammad Findi selaku Dosen Penguji Komisi Pendidikan atas kesediaan memberikan arahan, saran, kritik, perhatian kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini dengan baik.
5.
Kedua orang tua penulis Ayahanda Yaya Setiawan dan Ibunda A. Nurhayati atas kasih sayang, doa, kesabaran, pengorbanan, dan dukungan yang sangat berarti bagi penulis. Keluarga besar penulis: Aki dan Ema, seluruh Uwa, Ibi, dan Amang, atas doa, semangat dan dukungan yang diberikan selama penulis menjalani perkuliahan hingga penyelesaian skripsi ini.
6.
Kedua saudara penulis: Ardiansyah Ramadhan dan Fajar Juliansyah atas doa dan dukungan kepada penulis.
7.
Irma Yusnita atas pengertian, kasih sayang, dan doa kepada penulis selama ini.
8.
Teman-teman satu bimbingan Chandra, Tri, Murti, sahabat-sahabat penulis Rian, Zaenal, Indra, Hendra, teman-teman IE angkatan 42 yang telah memberikan semangat dan suka-duka selama ini.
9.
Teman-teman warga Wisma FM: Ikhsan, Arief, Aris, Januar, Hamdan, Diar, Dhofir, Idan dan Rendi yang telah memberikan keceriaan selama ini.
10. Seluruh pihak dan instansi yang telah membantu yang tidak bisa penulis sebutkan satu per satu.
Bogor, Agustus 2009
Regy Febriawan H14051990
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL ........................................................................................ vi DAFTAR GAMBAR .................................................................................... viii DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................. ix I.
PENDAHULUAN ............................................................................. 1 1.1. Latar Belakang............................................................................ 1 1.2. Perumusan Masalah .................................................................... 6 1.3. Tujuan Penelitian ........................................................................ 9 1.4. Manfaat Penelitan ....................................................................... 9 1.5. Ruang Lingkup Penelitian ........................................................... 10
II.
TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN
.......... 12
2.1. Tinjauan Pustaka ........................................................................ 12 2.1.1. Definisi Pariwisata ........................................................... 12 2.1.2. Definisi Wisatawan .......................................................... 13 2.1.3. Pariwisata Sebagai Industri .............................................. 14 2.1.4. Definisi Hotel dan Restoran ............................................. 16 2.1.5. Produk Sektor Hotel dan Restoran .................................... 19 2.1.6. Keterkaitan Sektor Hotel dan Restoran dengan Pariwisata ............................................................ 20 2.1.7. Dampak Positif Pariwisata terhadap Perekonomian Daerah ...................................................... 21 2.1.8. Pengembangan Pariwisata sebagai Kebijakan Pembangunan Ekonomi Daerah....................................... 22 2.1.9 Konsep Pengangguran ...................................................... 23 2.2. Penelitian Terdahulu ................................................................... 25 2.3. Kerangka Pemikiran ................................................................... 27 2.3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis: Model Input-Output ............ 27 2.3.2. Struktur Tabel Input-Output .............................................. 29 2.3.3. Asumsi-asumsi dan Keterbatasan dalam Model Input-Output................................................ 34
2.3.4. Analisis Keterkaitan .......................................................... 35 2.3.5. Analisis Dampak Penyebaran ............................................ 36 2.3.6. Analisis Multiplier ............................................................ 36 2.3.7. Kerangka Pemikiran Operasional ...................................... 39 III.
METODE PENELITIAN .................................................................. 43 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ....................................................... 43 3.2. Jenis dan Sumber Data ................................................................ 43 3.3. Metode Analisis .......................................................................... 44 3.3.1. Analisis Keterkaitan .......................................................... 44 3.3.2. Analisis Dampak Penyebaran ............................................ 46 3.3.3. Analisis Multiplier ............................................................ 48 3.3.4. Definisi Operasional.......................................................... 53
IV.
GAMBARAN UMUM KONDISI WISATA KOTA BANDUNG...... 62 4.1. Letak, Kondisi dan Perkembangan Kota Bandung ....................... 62 4.2. Jenis dan Lokasi Wisata di Kota Bandung ................................... 63 4.3. Perkembangan Kunjungan Wisatawan ke Kota Bandung ............ 67 4.4. Kondisi Hotel dan Restoran di Kota Bandung ............................. 68 4.5. Perkembangan Pendapatan Daerah Kota Bandung dari Sektor Hotel dan Restoran ................................................... 71 4.6. Perkembangan Penyerapan Tenaga Kerja Sektor Hotel dan Restoran Tahun 2003-2007 ......................................... 71
V.
HASIL DAN PEMBAHASAN .......................................................... 74 5.1. Struktur Perekonomian Kota Bandung Tahun 2003 ..................... 74 5.1.1. Struktur Permintaan dan Penawaran ................................. 74 5.1.2. Struktur Konsumsi Rumah Tangga dan Konsumsi Pemerintah ...................................................... 75 5.1.3. Struktur Ekspor dan Impor ............................................... 77 5.1.4. Struktur Nilai Tambah Bruto ............................................ 78 5.1.5. Struktur Output Sektoral .................................................. 81 5.2. Analisis Keterkaitan .................................................................... 82 5.2.1. Keterkaitan ke Depan ................................................................. 82
5.2.2. Keterkaitan ke Belakang ................................................... 84
5.3. Analisis Dampak Penyebaran ...................................................... 86 5.3.1. Koefisien Penyebaran ........................................................ 87 5.3.2. Kepekaan Penyebaran ....................................................... 88 5.4. Analisis Multiplier ...................................................................... 89 5.4.1. Multiplier Output .............................................................. 90 5.4.2. Multiplier Pendapatan ....................................................... 91 5.4.3. Multiplier Tenaga Kerja .................................................... 93 5.5. Regulasi dan Kebijakan Pemerintah dalam Mengatur dan Mendukung Sektor Pariwisata ............................................. 95 VI.
KESIMPULAN DAN SARAN .......................................................... 98
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 101 LAMPIRAN ................................................................................................. 104
DAFTAR TABEL
Nomor
Halaman
1.1. Produk Domestik Bruto Indonesia Tahun 2005-2007 ...........................
2
1.2. Sektor-sektor Penyumbang PDRB Kota Bandung Tahun 2005-2007 .................................................................................
4
2.1. Struktur Tabel Input-Output .................................................................
30
3.1. Rumus Multiplier Output, Pendapatan, dan Tenaga Kerja ....................
51
4.1. Kunjungan Wisatawan Domestik dan Mancanegara ke Kota Bandung .................................................................................
68
4.2
Jumlah Hotel dan Kamar yang Tersedia di Kota Bandung Tahun 2003-2007 .................................................................................
69
4.3. Realisasi Penerimaan Pajak Daerah Kota Bandung Tahun 2003-2007 (dalam ribu Rupiah) .............................................................................
71
4.4. Penyerapan Tenaga Kerja di sektor-sektor Perekonomian Kota Bandung Tahun 2003-2007 .........................................................
72
5.1. Struktur Permintaan Antara dan Permintaan Akhir Kota Bandung Tahun 2003 ..................................................................
75
5.2. Konsumsi Rumah Tangga dan Konsumsi Pemerintah terhadap Sektor-Sektor Perekonomian Kota Bandung Tahun 2003 .....................
76
5.3. Kontribusi Ekspor dan Impor Sektor-sektor Perekonomian di Kota Bandung Tahun 2003 ..............................................................
78
5.4. Kontribusi Nilai Tambah Bruto Sektor-sektor Perekonomian di Kota Bandung Tahun 2003 .................................................................
80
5.5. Kontribusi Output Sektor-sektor Perekonomian Kota Bandung Tahun 2003 ..........................................................................................
81
5.6. Nilai Keterkaitan ke Depan Sektor-sektor Perekonomian di Kota Bandung Tahun 2003 ..............................................................
84
5.7. Nilai Keterkaitan ke Belakang Sektor-sektor Perekonomian di Kota Bandung Tahun 2003 ..............................................................
85
5.8. Nilai Koefisien Penyebaran dan Kepekaan Penyebaran Sektor-sektor Perekonomian Kota Bandung Tahun 2003......................
88
5.9. Nilai Multiplier Output Sektor-sektor Perekonomian Kota Bandung Tahun 2003 ..................................................................
91
5.10. Nilai Multiplier Pendapatan Sektor-sektor Perekonomian Kota Bandung Tahun 2003 ..................................................................
92
5.11. Nilai Multiplier Tenaga Kerja Sektor-sektor Perekonomian Kota Bandung Tahun 2003 ..................................................................
94
DAFTAR GAMBAR
Nomor
Halaman
2.1. Skema Kerangka Pemikiran Operasional .........................................................
42
DAFTAR LAMPIRAN Nomor
Halaman
1. Klasifikasi Sektor-sektor Perekonomian Kota Bandung Tahun 2003 ........ 104 2. Tabel Input-Output Kota Bandung Tahun 2003, Transaksi Domestik Atas Dasar Harga Produsen Klasifikasi 10 Sektor (dalam juta Rupiah) ..... 106 3. Matriks Koefisien Teknis Klasifikasi 10 Sektor ........................................ 108 4. Matriks Kebalikan Leontief Klasifikasi 10 Sektor ...............................................
110
1. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Sektor pariwisata memegang peranan penting dalam perekonomian Indonesia baik sebagai salah satu sumber penghasil devisa maupun sebagai pencipta lapangan kerja serta kesempatan berusaha. Untuk meningkatkan kesejahteraan
rakyat,
pengembangan
pariwisata
perlu
dilanjutkan
dan
ditingkatkan melalui perluasan, pemanfaatan sumber dan potensi pariwisata nasional, sehingga diharapkan mampu mendorong dan menggerakkan sektorsektor ekonomi lainnya (Heriawan, 2002). Sektor pariwisata yang salah satunya terbentuk melalui sektor perhotelan, dan restoran, secara signifikan memiliki kontribusi yang positif terhadap penerimaan devisa negara. Apabila dibandingkan dengan komoditas yang lain, total penerimaan devisa komoditas pariwisata pada tahun 2005 menempati posisi ketiga terbesar setelah komoditas minyak dan gas bumi dan komoditas pakaian jadi, yaitu masing-masing sebesar US$ 19,235 miliar, US$ 4,966 miliar dan US$ 4,591 miliar. Begitupun pada tahun 2007, komoditas pariwisata menempati peringkat ketiga besar setelah komoditas minyak dan gas bumi dan minyak sawit, dengan sumbangan devisa masing-masing sebesar US$ 17,464 miliar, US$ 5,997 miliar dan US$ 5,997 miliar (Depbudpar, 2008). Peranan pariwisata dalam penerimaan devisa dan pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB) mengindikasikan bahwa kegiatan kepariwisataan mampu menjadi salah satu kekuatan pembangunan yang dapat diandalkan dan tetap
2
bertahan, sehingga kebijaksanaan pembangunan dapat lebih diarahkan pada peningkatan pariwisata menjadi sektor andalan. Seperti yang ditunjukkan pada Tabel 1.1 dapat kita lihat bahwa sektor pariwisata dalam hal ini usaha perhotelan dan restoran yang tergabung dalam sektor perdagangan, hotel dan restoran memiliki kontribusi yang besar terhadap pembentukan PDB. Sejak tahun 2005 hingga 2007, sektor perdagangan, hotel dan restoran merupakan penyumbang PDB terbesar kedua setelah sektor industri pengolahan baik atas dasar harga berlaku maupun atas dasar harga konstan tahun 2000 (BPS, 2008). Tabel 1.1. Produk Domestik Bruto Indonesia Tahun 2005-2007 Sektor Pertanian Pertambangan dan Hasilnya Industri Pengolahan Listrik, Gas, Air Bersih Bangunan Perdagangan, Hotel, dan Restoran Pengangkutan dan Komunikasi Keuangan, Persewaan, Jasa Perusahaan Jasa-jasa PDB PDB TANPA MIGAS
Atas Dasar Harga Berlaku (triliun Rupiah) 2005 2006 2007 363,9 430,5 417
Atas Dasar Harga Konstan 2000 (triliun Rupiah) 2005 2006 2007 253,7 261,3 213,2
308,3
354,6
301,7
165,1
168,7
129,6
771,7 26,7 195,8
936,4 30,4 249,1
798 25,5 218,3
491,4 11,6 103,5
514,2 12,3 112,8
401,4 10 90,1
430,2
496,3
426,3
293,9
311,9
249
181
230,9
189,6
109,5
124,4
102,5
230,6
271,5
229,4
161,4
170,5
136,6
276,8 2.785,00 2.468,00
338,4 3.338,20 2.976,70
295,2 295,2 2.617,80
160,6 1.750,70 1.605,20
170,6 1.846,70 1.703,10
135,3 1.467,60 1.360,50
Sumber: BPS, 2008.
Kota Bandung sebagai salah satu daerah yang kaya akan tempat wisata dan terkenal sebagai kota wisata dengan citranya sebagai kota kembang dan Paris Van Java, dalam mendorong pembangunan ekonominya berusaha mengembangkan potensi kewilayahan yang dimiliki. Kota Bandung yang terkenal dengan wisatanya, khususnya wisata budaya, wisata alam, bahkan sebagai tempat tujuan
3
wisata belanja dan wisata kuliner, potensi wisata tersebut secara langsung maupun tak langsung berpengaruh terhadap perekonomian wilayahnya. Sejalan dengan usaha untuk meningkatkan perekonomian wilayahnya, maka pemerintah daerah Kota Bandung diharuskan memiliki kemampuan untuk dapat mengembangkan potensi-potensi ekonomi yang dimiliki wilayahnya secara lebih efektif dan efisien. Salah satu potensi ekonomi yang dimiliki kota Bandung adalah dalam sektor pariwisata. Pengembangan dan pemanfaatan sektor pariwisata ini sangat diharapkan mampu mengembangkan perekonomian Kota Bandung melalui pengaruhnya terhadap pembentukan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). PDRB merupakan salah satu indikator perekonomian yang dapat digunakan sebagai bahan penentuan kebijakan pembangunan khususnya dalam bidang perekonomian dan bahan evaluasi pembangunan ekonomi regional (BPS Kota Bandung, 2008). Pada Tabel 1.2 ditunjukkan bahwa sektor pariwisata yang terbentuk dalam sektor hotel dan restoran memiliki kontribusi terhadap PDRB yang cenderung meningkat dari tahun 2005 hingga 2007 baik atas dasar harga berlaku maupun atas dasar harga konstan. Pertumbuhan sektor hotel dan restoran dapat dilihat melalui kontribusinya terhadap PDRB yang terus meningkat. Berdasarkan harga konstan tahun 2000, pada tahun 2005, nilai PDRB sektor hotel mencapai Rp 205,610 miliar, kemudian meningkat menjadi Rp 229,296 miliar pada tahun 2006. Selanjutnya pada tahun 2007 nilai PDRB sektor hotel meningkat mencapai Rp 244,077 miliar. Begitu pula pada sektor restoran yang mengalami peningkatan nilai PDRB secara
4
signifikan. Pada tahun 2005 nilainya mencapai Rp 765,045 miliar, kemudian meningkat mencapai Rp 803,090 miliar pada tahun 2006. Selanjutnya pada tahun 2007 PDRB restoran mencapai Rp 872,895 miliar. Tabel 1.2. Sektor-sektor Penyumbang PDRB Kota Bandung Tahun 2005-2007 Sektor Pertanian Pertambangan dan hasilnya Industri Pengolahan Listrik, Gas, Air Bersih Bangunan Perdagangan Hotel Restoran Pengangkutan dan Komunikasi Keuangan, Persewaan, dan Jasa Perusahaan Jasa-jasa PDRB
Atas Dasar Harga Berlaku (juta Rupiah)
Atas Dasar Harga Konstan Tahun 2000 ( juta Rupiah) 2005 2006 2007 70.753 69.486 68.971
2005 115.233
2006 128.786
2007 141.104
0
0
0
0
0
0
9.980.371
12.092.654
13.407.033
6.591.750
7.001.098
7.290.943
804.789
964.317
1.187.599
483.050
530.058
575.696
1.589.350 11.247.772 353.079 1.197.446
1.922.466 15.324.063 457.655 1.404.179
2.306.088 17.980.391 532.109 1.570.024
1.041.713 6.814.866 205.610 765.045
1.124.841 7.498.613 229.296 803.090
1.218.878 8.249.080 244.077 872.895
4.159.519
4.879.307
5.297.894
2.243.774
2.397.372
2.612.916
2.287.221
2.852.505
3.194.468
1.198.275
1.274.107
1.345.789
3.057.404 34.792.184
3.465.448 43.491.380
4.305.473 50.522.182
1.955.860 21.370.696
2.115.143 23.043.104
2.462.270 24.941.517
Sumber: BPS Kota Bandung, 2008.
Semakin berkembangnya citra Kota Bandung sebagai daerah tujuan wisata, membuat kunjungan wisatawan cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 2003 wisatawan yang berkunjung ke Kota Bandung mencapai 1.618.660 orang. Pada tahun 2005 jumlahnya meningkat mencapai 1.928.850 orang. Selanjutnya pada tahun 2007 jumlah wisatawan ke Kota Bandung meningkat dengan jumlah wisatawan mencapai 2.557.373 orang. Kondisi tersebut berpengaruh terhadap sektor pariwisata. salah satunya sektor hotel yang merupakan penyedia jasa akomodasi wisata. Pada tahun 2003 terdapat 210 hotel, kemudian pada tahun 2005 jumlahnya bertambah menjadi 225 hotel. Selanjutnya
5
pada tahun 2007 jumlahnya bertambah menjadi 240 hotel. Dengan kondisi tersebut, terjadi peningkatan tenaga kerja yang terserap pada sektor hotel dan restoran. Pada tahun 2003 jumlah tenaga kerja yang terserap pada sektor hotel dan restoran mencapai 50.914 orang. Pada tahun 2007 jumlahnya meningkat menjadi 55.513 orang tenaga kerja. (Disbudpar Kota Bandung, 2008). Selain berimbas pada penyerapan tenaga kerja, perkembangan sektor dan restoran di Kota Bandung juga berimbas pada peningkatan pendapatan daerah Kota Bandung. Melalui komponen pajak daerah, pajak hotel dan pajak restoran merupakan sumber pendapatan dengan realisasi tertinggi di Kota Bandung. Pada tahun 2006, pajak hotel dan pajak restoran merupakan pajak dengan realisasi terbesar pertama dan kedua dengan nilai masing-masing Rp 44,521 miliar dan Rp 35,957 miliar. Pada tahun 2007 realisasi terbesar pendapatan daerah Kota Bandung kembali berasal dari pajak hotel dan pajak restoran dengan nilai realisasi mengalami peningkatan dibanding tahun 2006. Besarnya nilai realisasi dari pajak hotel sebesar Rp 58,706 miliar dan realisasi dari pajak restoran sebesar Rp 48,481 miliar (Dispenda Kota Bandung, 2008). Seiring dengan perkembangan pariwisata Kota Bandung, sektor hotel dan restoran sebagai pendukung kegiatan pariwisata telah mampu memberikan kontribusi yang besar dalam pencapaian peranan pariwisata tersebut. Kondisi ini memberikan peluang bagi sektor hotel dan restoran untuk terus berkembang di Kota Bandung serta terus berperan positif terhadap perekonomian Kota Bandung.
6
1.2. Perumusan Masalah Sebagai salah satu sektor andalan dalam perekonomian Kota Bandung, pembangunan sektor pariwisata khususnya sektor hotel dan restoran di Kota Bandung pada dasarnya diarahkan untuk memecahkan masalah-masalah sosial ekonomi yang mendasar. Yaitu perannya dalam memperluas kesempatan kerja untuk menanggulangi masalah pengangguran, memperluas kesempatan berusaha, memeratakan pendapatan masyarakat serta mempercepat pengentasan kemiskinan. Salah satu permasalahan struktural dalam perekonomian Kota Bandung adalah masalah pengganguran. Angka pengangguran di Kota Bandung cukup tinggi yaitu sebesar 139.222 orang atau 14,19 persen dari total angkatan kerja sebanyak 981.008 orang pada tahun 2003. Pada tahun 2005 jumlah pengangguran bertambah menjadi 147.960 orang atau sekitar 14,45 persen dari total angkatan kerja sebanyak 1.023.948 orang. Pada tahun 2007 jumlah pengangguran di Kota Bandung jumlahnya semakin meningkat yaitu sebanyak 180.569 orang atau sekitar 16,48 persen dari total angkatan kerja sebanyak 1.095.616 orang. Semakin meningkatnya jumlah pengangguran di Kota Bandung dari tahun ke tahun merupakan suatu permasalahan penting yang perlu ditanggulangi oleh pemerintah Kota Bandung (BPS Jawa Barat, 2008). Angka Laju Pertumbuhan Ekonomi (LPE) Kota Bandung cenderung menunjukkan peningkatan yang cukup signifikan. Pada tahun 2005, LPE Kota Bandung mencapai angka 7,53 persen. Selanjutnya, pada tahun 2006 dan 2007 angka LPE mencapai masing-masing sebesar 7,83 persen dan 8,24 persen (BPS Kota Bandung, 2008). Nilai LPE Kota Bandung ini lebih tinggi jika dibandingkan
7
dengan LPE Provinsi Jawa Barat yang hanya mencapai 6,02 persen untuk tahun 2006 dan 6,41 persen untuk tahun 2007. Bahkan, angka LPE Kota Bandung jauh lebih tinggi apabila dibandingkan dengan angka LPE Indonesia yang hanya sebesar 5,48 persen untuk tahun 2006 dan 6,32 persen untuk tahun 2007 (BPS, 2008). Namun meskipun Kota Bandung memiliki LPE yang tinggi, ternyata pemerintah
Kota
Bandung
masih
kesulitan
dalam
mengatasi
masalah
pengangguran. Sektor pariwisata dalam hal ini hotel dan restoran merupakan sektor yang cukup berpengaruh dalam perekonomian Kota Bandung. Sektor ini selain merupakan pencipta penerimaan daerah terbesar di Kota Bandung, juga cukup berperan dalam penyerapan tenaga kerja serta perluasan kesempatan berusaha. Peran dan fungsi hotel dan restoran dalam perekonomian Kota Bandung semakin meningkat seiring dengan semakin berkembangnya fungsi Kota Bandung sebagai kota tujuan wisata. Keberadaan sektor hotel dan restoran di Kota Bandung tentu saja tak lepas dari keberadaan sektor lain yang mendukung. Hubungan yang tercipta antara sektor hotel dan restoran dengan sektor lainnya memiliki suatu hubungan keterkaitan. Adanya perubahan di sektor hotel dan restoran, misalnya perubahan permintaan, akan berpengaruh pada sektor lainnya baik secara langsung maupun tidak langsung. Begitupun dengan adanya penyerapan tenaga kerja di sektor hotel dan restoran, hal tersebut akan memiliki efek pengganda pada penyerapan tenaga kerja di sektor-sektor lain. Karena pada dasarnya, adanya peningkatan aktivitas suatu sektor akan meningkatkatkan aktivitas sektor tersebut atau aktivitas sektor
8
lainnya sebesar nilai penggandanya. Data menunjukkan bahwa tenaga kerja yang terserap pada sektor hotel dan restoran menunjukkan peningkatan dari tahun ke tahun. Kondisi yang positif ini diharapkan mampu memiliki pengaruh yang besar pula bagi penyerapan tenaga kerja total di Kota Bandung sehingga diharapkan mampu mengurangi angka pengangguran. Apabila pemerintah Kota Bandung ingin mengurangi pengangguran dengan berfokus pada pengembangan sektor pariwisata dalam hal ini sektor hotel dan restoran, maka dibutuhkan suatu penelitian untuk mengkaji seberapa besar dampak sektor hotel dan restoran terhadap perekonomian Kota Bandung serta bagaimana keterkaitan sektor ini dengan sektor-sektor lain di Kota Bandung. Berdasarkan uraian diatas dapat dirumuskan suatu permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini, yaitu: 1. Bagaimana keterkaitan sektor hotel dan restoran dengan sektor lainnya dalam perekonomian Kota Bandung? 2. Bagaimana dampak penyebaran sektor hotel dan restoran terhadap sektor perekonomian lainnya di Kota Bandung? 3. Bagaimana efek multiplier output, pendapatan, dan tenaga kerja sektor hotel dan restoran dalam perekonomian Kota Bandung?
1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan perumusan masalah diatas, tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Menganalisis keterkaitan sektor hotel dan restoran dengan sektor lain dalam perekonomian Kota Bandung.
9
2. Menganalisis
dampak
penyebaran
sektor
hotel
dan
restoran
dalam
perekonomian Kota Bandung. 3. Menganalisis efek multiplier output, pendapatan, dan penyerapan tenaga kerja sektor hotel dan restoran dalam perekonomian Kota Bandung.
1.4. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat, antara lain: 1. Sebagai
bahan masukan dan informasi bagi para pengambil kebijakan di
tingkat pemerintah daerah Kota Bandung dalam merencanakan dan mengembangkan pariwisata khususnya sektor hotel dan restoran di Kota Bandung. 2. Sebagai bahan pustaka, informasi dan referensi bagi pihak yang membutuhkan serta sebagai rujukan untuk penelitian selanjutnya. 3. Bagi pembaca umumnya, dapat memberikan dan membuka wawasan mengenai dampak hotel dan restoran dalam perekonomian Kota Bandung.
1.5. Ruang Lingkup Penelitian Objek penelitian ini adalah sektor pariwisata namun dalam lingkup yang lebih spesifik yaitu hanya hotel dan restoran, yang telah didisagregasikan dari sektor perdagangan, hotel dan restoran. Analisis dalam penelitian ini dilakukan dengan melakukan analisis terhadap data pada Tabel Input-Output Kota Bandung tahun 2003 klasifikasi 53 sektor yang kemudian diagregasikan menjadi 10 sektor.
10
Data yang dianalisis dari Tabel Input-Output tersebut adalah data transaksi domestik atas dasar harga produsen. Analisis pada penelitian ini meliputi analisis keterkaitan (keterkaitan ke depan dan keterkaitan ke belakang), analisis dampak penyebaran (koefisien penyebaran dan kepekaan penyebaran), dan analisis multiplier (output, pendapatan, dan tenaga kerja). Analisis keterkaitan digunakan untuk melihat keterkaitan antar sektor dalam suatu perekonomian. Analisis keterkaitan ini dibagi menjadi dua, yaitu analisis keterkaitan ke depan dan analisis keterkaitan ke belakang. Masing-masing dari analisis keterkaitan ke depan dan ke belakang ini dibagi kembali menjadi dua, yaitu keterkaitan langsung dan keterkaitan langsung dan tak langsung. Keterkaitan langsung ke depan menunjukkan akibat suatu sektor tertentu terhadap sektor-sektor yang mengunakan sebagian output sektor tersebut secara langsung per unit kenaika permintaan total. Sedangkan keterkaitan ke belakang menunjukkan akibat dari suatu sektor tertentu terhadap sektor-sektor yang menyediakan input antara bagi sektor tersebut secara langsung per unit kenaikan permintaan total. Koefisien penyebaran berguna untuk mengetahui distribusi manfaat dari pengembangan suatu sektor terhadap pengembangan sektor-sektor lainnya melalui mekanisme transaksi pasar input. Sedangkan kepekaan penyebaran berguna untuk mengetahui distribusi manfaat dari pengembangan suatu sektor terhadap pengembangan sektor lainnya melalui mekanisme transaksi pasar output. Analisis multiplier output berguna untuk mengetahui kenaikan atau penurunan output sebesar satu satuan moneter. Analisis multiplier pendapatan
11
berguna untuk mengukur peningkatan pendapatan akibat adanya perubahan output dalam perekonomian. Sedangkan multiplier tenaga kerja berguna untuk mengetahui peningkatan penyerapan tenaga kerja yang disebabkan oleh perubahan sisi output.
II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN
2.1. Tinjauan Pustaka 2.1.1. Definisi Pariwisata Menurut Sihite (2000) dalam Irmayanti (2006), istilah pariwisata berasal dari bahasa sansekerta yang secara etimologi bahasa berasal dari dua suku kata yaitu pari dan suku kata wisata. Pari berarti banyak atau berkali-kali, berputarputar atau lengkap, sedangkan wisata berarti perjalanan atau bepergian. Berdasarkan uraian tersebut pariwisata diartikan sebagai suatu perjalanan yang dilakukan berkali-kali. Dalam hal ini secara lengkap diartikan sebagai suatu perjalanan yang dilakukan orang untuk sementara waktu, yang diselenggarakan dari suatu tempat ke tempat lain meninggalkan tempatnya semula, dengan suatu perencanaan dan dengan maksud bukan untuk berusaha dan mencari nafkah di tempat yang dikunjungi, tetapi semata-mata untuk menikmati kegiatan pertamasyaan dan rekreasi (pemanfaatan waktu luang untuk istirahat, santai dan bersenang-senang guna mengembalikan dan meningkatkan kesegaran dan kesehatan jasmani dan rohani sebagai akibat dan aktivitas pekerjaan sehari-hari) atau untuk memenuhi keinginan yang beraneka ragam. Menurut
Undang-undang
RI
Nomor
10
Tahun
2009
tentang
Kepariwisataan di jelaskan bahwa kepariwisataan adalah keseluruhan kegiatan yang terkait dengan pariwisata dan bersifat multidimensi serta multidisiplin yang muncul sebagai wujud kebutuhan setiap orang dan negara serta interaksi antara
13
wisatawan dan masyarakat setempat, sesama wisatawan, pemerintah, pemerintah daerah, dan pengusaha (Ditjenpum, 2009). Menurut Cooper (1999) dalam Heriawan (2004), pariwisata adalah serangkaian kegiatan perjalanan yang dilakukan oleh perorangan, keluarga atau kelompok dari tempat tinggal asalnya ke berbagai tempat lain dengan tujuan melakukan kunjungan wisata dan bukan untuk bekerja atau mencari penghasilan di tempat tujuan. Kunjungan yang dimaksud bersifat sementara dan pada waktunya akan kembali pada tempat tinggal semula. Hal tersebut memiliki dua elemen penting yaitu, perjalanan itu sendiri dan tinggal sementara di tempat tujuan dengan berbagai aktivitas wisatanya. 2.1.2. Definisi Wisatawan Istilah wisatawan berasal dari bahasa sansekerta yang terdiri dari bahasa sansekerta yang terdiri dari kata wisata yang berarti perjalanan dan wan untuk menyatakan orang dengan profesinya, keahliannya, keadaannya, jabatannya atau kedudukannya seseorang. Secara sederhana, wisatawan berarti orang yang melakukan perjalanan. Secara lengkap World Tourism Organization (WTO) dan International Union of Office Travel Organization menjelaskan bahwa wisatawan adalah setiap orang yang mengunjungi suatu negara di luar tempat tinggalnya didorong oleh satu atau beberapa keperluan tanpa bermaksud memperoleh penghasilan di tempat yang dikunjungi yang tinggal paling sedikit 24 jam, akan tetapi tidak lebih dari enam bulan di tempat yang dikunjungi dengan maksud kunjungan antara lain: berlibur, rekreasi dan olahraga, bisnis, mengunjungi teman
14
dan keluarga, misi, menghadiri pertemuan, konferensi kunjungan alasan kesehatan, belajar, dan keagamaan (BPS, 2007). Marpaung (2002) menjelaskan bahwa wisatawan adalah setiap orang yang melakukan perjalanan dan menetap untuk sementara di tempat lain selain tempat tinggalnya untuk salah satu atau beberapa alasan selain mencari pekerjaan. Berdasarkan definisi diatas dapat disimpulkan bahwa wisatawan adalah orang yang melakukan perjalanan: a. lebih dari 24 jam b. tinggal untuk sementara waktu c. jauh dari tempat tinggalnya semula d. tidak untuk mencari nafkah atau mendapatkan upah di tempat atau di negara yang dikunjunginya. Sihite (2000) dalam Irmayanti (2006) membagi wisatawan ke dalam 2 kelompok besar, yaitu: a. Wisatawan dalam negeri atau wisatawan nusantara (wisnus), yaitu warga suatu negara yang mengadakan perjalanan wisata di dalam lingkungan negara tersebut (tidak melewati batas negara lain). b. Wisatawan luar negeri atau wisatawan mancanegara (wisman), yaitu warga suatu negara yang mengadakan perjalanan wisata keluar lingkungan dari negaranya (memasuki negara lain). 2.1.3. Pariwisata sebagai Industri Menurut Hasan (2008), membicarakan industri pariwisata tentunya tidak terlepas dari membicarakan batasan pengertian pariwisata itu sendiri. Pariwisata
15
sebagai industri atau lebih dikenal dengan istilah “Industri Pariwisata” belum dijumpai pengertiannya dalam peraturan perundangan di Indonesia. Namun demikian para ahli kepariwisataan telah merumuskan pengertian pariwisata tentang industri pariwisata. Industri pariwisata adalah keseluruhan rangkaian dan usaha menjual barang dan jasa yang diperlukan wisatawan, selama wisatawan melakukan perjalanan wisata sampai kembali ke tempat asalnya. Industri pariwisata dalam pengertian lain ialah industri yang berupa seluruh kegiatan pariwisata yang utuh. Berdasarkan batasan pengertian tersebut dapat dirumuskan bahwa pariwisata sebagai industri di sini dapat dipahami dengan memberikan gambaran mengenai komponen-komponen kepariwisataan dalam industri tersebut yang saling terkait satu dengan yang lain. Jadi komponen-komponen kepariwisataan tersebut tidak dapat berdiri sendiri. Namun merupakan rangkaian jasa yang kaitmengait yang dihasilkan industri-industri lain, misalnya: perhotelan, industri kerajinan, restoran, angkutan, dan lain sebagainya. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa industri pariwisata mempunyai ciri-ciri khusus. Adapun ciri-ciri khusus mengenai industri pariwisata, yaitu sebagai berikut: 1. Produk pariwisata tidak dapat disimpan atau dipindahkan. 2. Permintaan akan produk pariwisata sangat tergantung pada musim (highly seasonal). 3. Permintannya dipengaruhi oleh faktor luar dan pengaruh yang tidak dapat atau sulit diramalkan (unpredictable influences). Misalnya, perubahan dalam nilai
16
kurs valuta asing, ketidaktentraman politik, dan perubahan cuaca dapat mepengaruhi permintaan. 4. Permintaan tergantung pada banyak motivasi yang rumit. Ada lebih dari satu alasan mengapa para wisatawan mancanegara melakukan perjalanan luar negeri. 5. Pariwisata sangat elastis akan harga dan pendapatan. Permintaan sangat dipengaruhi oleh perubahan relatif kecil dalam harga dan pendapatan. Jika harga atau pendapatan naik atau turun perubahan sangat mempengaruhi jasajasa pariwisata. 2.1.4. Definisi Hotel dan Restoran Hotel merupakan salah satu penunjang kegiatan pariwisata. Dalam proses perkembangannya usaha perhotelan telah mampu memberikan kontribusi dan peranan yang cukup baik bagi terciptanya pariwisata yang nyaman. Di daerah tujuan wisata, hotel yang berdiri biasanya merupakan hotel resort atau tempat peristirahatan dan rekreasi yang ditujukan bagi para wisatawan. Hotel adalah suatu usaha yang menggunakan suatu bangunan yang disediakan secara khusus, dimana setiap orang dapat menginap, makan, memperoleh pelayanan, dan menggunakan fasilitas lainnya dengan pembayaran (BPS Jawa Barat, 2005). Marpaung (2002) mendefinisikan hotel sebagai suatu kegiatan usaha yang dikelola dengan menyediakan jasa pelayanan, makanan dan minuman, serta kamar untuk tidur atau istirahat bagi pelaku perjalanan (wisatawan) dengan membayar secara pantas sesuai dengan fasilitas yang ditawarkan tanpa ada perjanjian khusus yang rumit.
17
Restoran merupakan salah satu jenis usaha jasa boga atau pangan yang bertempat di sebagian atau di seluruh bangunan permanen yang dilengkapi dengan peralatan dan perlengkapan untuk proses pembuatan, penyimpanan, dan penjualan makanan dan minuman bagi masyarakat umum di tempat usahanya. Marpaung (2002) menjelaskan bahwa pada dasarnya kebutuhan konsumen atau masyarakat akan jasa boga restoran berkaitan dengan tiga hal pokok, yaitu; physical product (makanan dan minuman), psychological product, yang mencakup sensual benefit (cuci mata, suasana nyaman), sense of side (kebersihan, kerapihan, dan kesopanan), sense of listening (musik), dan yang terakhir kebutuhan akan customer service product (kecepatan, reservasi, kemudahan transaksi). BPS Jawa Barat (2008) secara umum mengkualifikasikan hotel menjadi dua, yaitu: hotel melati dan hotel berbintang. Ciri khusus dari hotel berbintang yaitu memiliki restoran sebagai salah satu fasilitas yang disediakan yang pengelolaannya menjadi satu dibawah manajemen hotel tersebut dan ditangani dengan lebih profesional oleh divisi yang secara khusus menangani restorannya. Selain itu, ciri khusus lainnya adalah hotel tersebut telah memenuhi persyaratan sebagai hotel berbintang seperti yang ditentukan oleh Dinas Pariwisata Daerah (Disparda). Persyaratan tersebut antara lain: a. persyaratan fisik seperti lokasi hotel dan kondisi bangunan, b. bentuk pelayanan yang diberikan, c. kualifikasi tenaga kerja, seperti pendidikan dan kesejahteraan karyawan, d. fasilitas olahraga dan rekreasi lainnya yang tersedia, seperti lapangan tenis, kolam renang, dan diskotik,
18
e. jumlah kamar yang tersedia. Sedangkan untuk kualifikasi hotel melati belum memenuhi persyaratan sebagai hotel berbintang seperti yang ditentukan oleh Disparda. Menurut BPS Jawa Barat (2008), beberapa bidang usaha layanan makanan dan minuman yang dapat dilakukan antara lain sebagai berikut ini: 1. Layanan komersial dan publik tidak terbatas a. Hotel: jasa layanan makanan dan minuman di hotel untuk tamu berupa room services, coffee shop, snack bar lounge, fasilitas banquet, restoran prasmanan. b. Restoran biasa: tidak dilengkapi dengan akomodasi lainnya seperti tempat menginap. Biasanya berbeda berdasarkan menu sajian, misalnya restoran Padang, restoran Sunda, stake houses. c. Fast food: mengutamakan kecepatan penyajian, misalnya fried chicken, dan hamburger. 2. Layanan komersial dan publik terbatas. a. Transport catering: terdapat di alat transportasi publik seperti kereta api, kapal laut, pesawat terbang atau tempat transit bis. b. Clubs: untuk langganan tertentu seperti kelompok olahraga, politik,sosial. Jarang terdapat di Indonesia, misalnya Mercintile Club, Hilton Executive Club. 3. Layanan non-komersial: usaha makanan dan minuman biasa seperti kantin di perkantoran, layanan rumah sakit, rumah jompo. Saat ini usaha jenis ini terus mengalami perkembangan.
19
2.1.5. Produk Sektor Hotel dan Restoran Menurut Marpaung (2002), pada dasarnya produk yang ditawarkan oleh sektor hotel dan restoran untuk dikonsumsi adalah berupa produk jasa pelayanan. Lengkapnya fasilitas atau sarana yang dimiliki oleh pelaku usaha di sektor ini akan memberikan kepuasan tersendiri, sehingga memungkinkan para pelancong (travelers) untuk melakukan kunjungan kembali. Usaha perhotelan pada umumnya memiliki bentuk pelayanan yang lebih variatif dibandingkan usaha di bidang restoran. Beberapa produk yang dimiliki oleh usaha perhotelan dan biasa dinikmati oleh masyarakat luas antara lain adalah sebagai berikut: 1. Produk terlihat, diantaranya adalah kamar (tempat menginap), makanan dan minuman (coffe break, bar, service room), laundry (jasa pencucian), meeting room, sarana olahraga (kolam renang, fitness centre), perawatan kecantikan (spa, beauty centre, yoga), rekreasi ringan (cuci mata, taman untuk anak-anak), hiburan (karaoke, diskotik), toko kerajinan tangan (handycrafts, souvenir), toko jajanan lokal/daerah, dan contoh produk lainnya. 2. Produk tak terlihat, diataranya keamanan, pemeliharaan kebersihan dan kesehatan, keramahtamahan, kenyamanan, suasana santai, dan informasi pariwisata. Usaha jasa restoran sebenarnya tidak jauh berbeda dengan produk usaha perhotelan, namun biasanya hanya menyediakan produk yang lebih sedikit variasinya. Produk-produk tersebut di antaranya makanan dan minuman, tempat
20
rekreasi anak-anak (taman), ruang pertemuan, hiburan ringan (musik), suasana santai serta fasilitas penunjang lainnya. 2.1.6. Keterkaitan Sektor Hotel dan Restoran dengan Pariwisata Menurut Kartawan (2008), dunia internasional sepakat bahwa pariwisata merupakan salah satu industri yang paling potensial dan mampu memberikan nilai devisa yang sangat besar dalam menghadapi era milenium ketiga ini. Industri pariwisata dianggap sebagai industri terbesar di dunia karena pasarnya yang luas mencakup seluruh penjuru dunia dan tidak mengenal batas usia. Dalam kegiatannya, industri pariwisata dibagi menjadi lima bidang pokok, yaitu hotel dan restoran, tour and travel, transportasi, pusat wisata dan souvenir, serta bidang pendidikan kepariwisataan. Terus berkembangnya industri pariwisata akan menciptakan kondisi usaha pada sektor hotel dan restoran lebih kondusif. Artinya tingkat kunjungan pada hotel dan restoran akan semakin meningkat sehingga akan mempengaruhi perkembangan sektor hotel dan restoran. Besarnya kontribusi sektor hotel dan restoran dapat dilihat dari tingkat konsumsi masyarakat pada sektor ini. Semakin tinggi tingkat konsumsi masyarakat pada sektor hotel dan restoran maka makin besar pula kontribusi yang diberikan oleh sektor hotel dan restoran terhadap perekonomian regional tersebut. Dari sisi pendapatan sektor hotel dan restoran memberikan kontribusi pada pariwisata melalui pajak, retribusi, dan penghasilan, sementara dari sisi ketenagakerjaannya melalui tenaga pelayan, kebersihan, keamanan, dan tenaga lainnya.
21
Kontribusi sektor usaha perhotelan dan restoran merupakan sarana pendukung pengembangan pariwisata di daerah tersebut. Tingginya tingkat kunjungan wisatawan ke tempat wisata diharapkan akan mempengaruhi tingginya kunjungan wisatawan ke hotel dan restoran. baiknya tingkat pelayanan dan kepuasan wisatawan akan memberikan kesan yang menyenangkan terhadap pariwisatanya, sehingga memungkinkan kembalinya para wisatawan untuk berkunjung (Tjitroresmi, 2003). 2.1.7. Dampak Positif Pariwisata terhadap Perekonomian Daerah Pariwisata merupakan industri jasa yang diyakini dapat mendorong perekonomian suatu daerah bahkan dunia, hal ini disebabkan industri pariwisata terkait dengan industri-industri lainnya seperti industri perhotelan, restoran, dan jasa hiburan (Hasan, 2008). Dalam perkembangannya, pariwisata dilihat dari aspek ekonomi merupakan penghasil utama devisa negara non migas. Pada tahun 2007, penerimaan devisa melalui sektor pariwisata mencapai US$ 5,345 miliar yang disumbangkan dari angka kunjungan sebesar 5.505.759 wisman (Depbudpar, 2007). Jika dilihat dari kewilayahan, sektor pariwisata telah mendorong tumbuh dan berkembangnya kawasan-kawasan pariwisata dan pusat-pusat pelayanan yang tersebar di seluruh nusantara baik di kawasan urban atau nusantara, pedesaan bahkan kawasan terpencil di pedalaman maupun yang akan mendorong terciptanya pendapatan daerah (Tjitroresmi, 2003). Peran dan kontribusi signifikan tersebut telah semakin mengukuhkan pariwisata sebagai sektor stategis yang memiliki potensi dan memiliki peluang
22
sangat besar untuk dikembangkan dan berperan penting bagi perekonomian negara dan daerah. Sihite (2000) dalam Irmayanti (2006) menjelaskan bahwa kegiatan pariwisata mempunyai dampak positif, yaitu: a. Menjalin hubungan yang baik antara bangsa dan negara. b. Membuka kesempatan kerja serta perluasan lapangan kerja bagi masyarakat. c. Peningkatan pendapatan per kapita masyarakat. d. Merangsang dan menumbuhkan kebudayaan asli. e. Merangsang dan menumbuhkan aktivitas ekonomi masyarakat. f. Menambah dan meningkatkan pendapatan atas devisa negara. g. Menambah dan meningkatkan pendapatan daerah setempat. h. Membantu dan menunjang gerak pembangunan, baik penyediaan sarana maupun prasarana yang diperlukan. 2.1.8. Pengembangan Pariwisata sebagai Kebijakan Pembangunan Ekonomi Daerah Menurut Sihite (2000) dalam Irmayanti (2006), pembangunan ekonomi daerah adalah suatu proses dimana pemerintah daerah dan masyarakatnya mengelola sumberdaya-sumberdaya yang ada membentuk suatu pola kemitraan antara pemerintah daerah dengan sektor swasta untuk menciptakan suatu lapangan kerja baru dan merangsang perkembangan kegiatan ekonomi (pertumbuhan ekonomi) di wilayah tersebut. Setiap upaya pembangunan ekonomi daerah mempunyai tujuan utama untuk meningkatkan jumlah dan jenis peluang kerja untuk masyarakat daerah. Dalam upaya untuk mencapai tujuan tersebut, pemerintah daerah dan masyarakatnya harus bersama-sama mengambil inisiatif
23
pembangunan daerah dengan berbagai potensi sumberdaya yang dimilikinya. Dengan menggunakan sumberdaya-sumberdaya yang ada pemerintah daerah harus mampu menaksir potensi sumberdaya yang diperlukan untuk merencanakan dan melaksanakan pembangunan perekonomian daerah. Pariwisata merupakan salah satu bentuk dari potensi sumberdaya yang dapat dikembangkan menjadi satu unit ekonomi. Dengan adanya kegiatan pariwisata ini akan terjadi interaksi antara satu sektor dengan sektor lainnya. Selanjutnya kegiatan pariwisata ini, apabila dikelola dan dikembangkan secara profesional maka akan dapat menciptakan multiplier effect (efek pengganda) dalam perekonomian daerah yang bersangkutan. Berdasarkan Undang-undang Nomor 9 Tahun 1990 tentang pariwisata tujuan
pengembangan
pariwisata
adalah
untuk
menciptakan
multiplier
effect,diantaranya adalah: 1. Mempeluas dan memeratakan kesempatan berusaha dan lapangan kerja. 2. Meningkatkan pendapatan nasional dalam rangka meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. 3. Mendorong pendayagunaan produksi nasional. 2.1.9. Konsep Pengangguran Menurut Simanjuntak (1998) dalam Oktavianita (2008), pengangguran adalah masalah yang sering terjadi baik di negara maju maupun negara berkembang. Tingkat pengangguran yang terlalu tinggi dapat mengganggu stabilitas keamanan, politik, dan ekonomi. Oleh karena itu, pemerintah selalu menjaga agar pengangguran berada pada tingkat yang wajar. Tiap negara dapat
24
memberikan pengertian yang berbeda mengenai definisi bekerja dan menganggur, serta definisi itu dapat berubah menurut waktu. Pengangguran dapat digolongkan ke dalam tiga jenis, yaitu: 1. Pengangguran Friksional Pengangguran ini terjadi karena kesulitan temporer dalam mempertemukan pencari lowongan dengan pencari kerja dan lowongan kerja akibat adanya faktor jarak atau kurangnya informasi. 2. Pengangguran Struktural Pengangguran struktural terjadi karena adanya perubahan dalam struktur atau komposisi perekonomian. Misalnya dalam suatu pergeseran dari ekonomi berat agraris menjadi ekonomi yang berat industri. Di satu pihak, akan terjadi pengurangan tenaga kerja di sektor pertanian, dan dipihak lain bertambah kebutuhan di sektor industri, karena sektor industri memerlukan tenaga dengan keterampilan tertentu. Akibatnya tenaga berlebih di sektor pertanian tersebut merupakan penganggur struktural. 3. Pengangguran Musiman Pengangguran musiman terjadi karena pergantian musim. Di luar musim panen dan turun ke sawah banyak orang yang tidak mempunyai kegiatan ekonomis, mereka hanya sekedar menunggu musim yang baru. Selama masa tunggu tersebut mereka digolongkan sebagai penganggur musiman.
25
2.2. Penelitian Terdahulu Penelitian Heriawan (2004) tentang “Peranan dan Dampak Pariwisata pada Perekonomian Indonesia Suatu Pendekatan Model Ekonomi I-O dan SAM” menunjukkan bahwa pariwisata merupakan sektor yang strategis dan potensial bagi perekonomian Indonesia karena peranannya yang cukup signifikan dalam mendorong pertumbuhan ekonomi, penciptaan lapangan kerja, perolehan devisa, dan pengembangan ekonomi daerah. Hasil analisis multiplier I-O, sektor-sektor yang terkait pariwisata seperti restoran, hotel, angkutan, dan jasa umumnya memiliki kemampuan (daya penyebaran) tinggi dalam mendorong sektor-sektor lainnya, tapi sebaliknya memiliki responsi (daya kepekaan) rendah terhaap pertumbuhan sektor-sektor lain, sedangkan besarnya peranan pariwisata dalm output nasional tahun 2000 dan 2003 adalah 8,40 persen dan 5,81 persen. Penurunan ini dikarenakan karena menurunnya transaksi pariwisata terutama berkurangnya jumlah wisman yang berkunjung ke Indonesia. Sementara itu, kotribusi pariwisata pada PDB nasional adalah 7,83 persen dan 5,39 persen, lebih rendah daripada kontribusi pariwisata pada output nasional. Selanjutnya besarnya kontribusi pariwisata pada lapangan kerja nasional mencapai 8,29 persen dan 7,94 persen lebh tinggi dibandingkan kontribusinya pada output nasional, yang berarti pola pengeluaran pariwisata cenderung pada produk-produk yang memiliki daya serap tenaga kerja yang lebih tinggi dibanding permintaan akhir secara umum. Penelitian yang dilakukan oleh Oktavianti (2005), yaitu tentang “Peranan Pariwisata Terhadap Perekonomian Indonesia Sebelum dan Sesudah Krisis Ekonomi”, menggunakan Tabel I-O 1995 dan 2000. Pengagregasian sektoral
26
hanya dilakukan hingga 25 sektor utama sebagai sektor yang diagregasi, dimana sektor pariwisata diturunkan dari sektor rekreasi dan hiburan. Hasil analisis Tabel I-O tahun 1995 sebelum krisis dan tahun 2000 setelah krisis klasifikasi 25 sektor, terlihat bahwa sektor industri pariwisata terhadap perekonomian Indonesia cukup berperan penting. Sektor pariwisata memiliki peranan terhadap pembentukan struktur permintaan output pada masa sebelum krisis ekonomi tahun 1995 sebesar Rp 4,267 miliar sedangkan untuk tahun 2000 setelah krisis sebesar Rp 10,135 miliar ditinjau dari kontribusinya terhadap pembentukan nilai tambah bruto tahun 1995 sebesar Rp. 2,204 miliar meningkat menjadi Rp. 4,514 miliar pada tahun 2000. Berdasarkan pada analisis dampak penyebarannya, secara umum nilai koefisien penyebaran sektor pariwisata relatif lebih besar dibandingkan nilai kepekaan penyebarannya, baik tahun 1995 maupun tahun 2000. Penelitian Rahayu (2006) tentang “Analisis Pengaruh Sektor Pariwisata Terhadap Perekonomian Kota Bogor” memperlihatkan sektor pariwisata memiliki peran cukup penting terhadap pembentukkan struktur permintaan akhir dibanding dengan permintaan antara menunjukkan bahwa output sektor pariwisata sebagian besar digunakan untuk dikonsumsi langsung dibandingkan sebagai input langsung oleh sektor perekonomian lain. Dilihat dari hasil analisis keterkaitan sub-sektor pariwisata maka dapat dilihat bahwa keterkaitan output langsung ke depan yang memiliki nilai terbesar adalah restoran. Begitu juga dengan nilai keterkaitan output langsung dan tidak langsung ke depan dengan nilai terbesar kembali diduduki oleh sektor restoran.
27
Sektor jasa angkutan menempati nilai terbesar untuk nilai keterkaitan ke belakang baik keterkaitan langsung maupun tidak langsung. Berdasarkan hasil analisis dampak penyebaran, dapat disimpulkan bahwa secara umum sektor pariwisata memiliki nilai koefisien penyebaran yang relatif lebih besar dibandingkan dengan nilai kepekaan penyebarannya. Hal itu menunjukkan bahwa keberadaan sektor pariwisata mempunyai kemampuan menarik yang lebih besar terhadap pertumbuhan sektor hulunya dibandingkan dengan kemampuan mendorong pertumbuhan sektor hilirnya. Berdasarkan hasil analisis multiplier output, sub-sektor pariwisata yang memiliki nilai terbesar dalam perolehan nilai pengganda tipe I dan tipe II adalah sektor jasa angkutan. Berdasarkan hasil analisis multiplier pendapatan sektor jasa angkutan memiliki nilai pengganda tipe I dan tipe II terbesar. Berdasarkan hasil analisis multiplier tenaga kerja sektor jasa angkutan memiliki nilai pengganda untuk tipe I dan tipe II terbesar. Berdasarkan hasil analisis multiplier standar yang tergolong dalam sektor kunci sektor pariwisata adalah sektor jasa angkutan, sektor hotel dan restoran.
2.3 Kerangka Pemikiran 2.3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis: Model Input-Output Semenjak ditemukan oleh W. Leontief pada tahun 1930-an, Tabel InputOuput (I-O) telah berkembang menjadi salah satu metode yang luas diterima. Tabel I-O ini tidak hanya digunakan untuk mendeskripsikan suatu industri dalam suatu perekonomian tetapi juga mencakup bagaimana cara mendeskripsikan
28
perubahan-perubahan struktur tersebut (Glasson, 1977). Tujuan utama dari model I-O adalah untuk menjelaskan besarnya arus industri/intersektor sehubungan dengan tingkat produksi masing-masing sektor. Dalam aplikasinya, model ini didasarkan atas atas model keseimbangan umum (general equilibrium). Tabel I-O merupakan tabel yang menyajikan gambaran informasi dalam bentuk matriks baris dan kolom yang menggambarkan transaksi barang dan jasa serta keterkaitan antara suatu sektor dengan sektor lainnya. Isian sepanjang baris Tabel I-O menunjukkan pengalokasian output yang dihasilkan oleh suatu sektor untuk memenuhi permintaan antara dan permintaan akhir. Selain itu, isian pada baris nilai tambah menunjukkan komposisi penciptaan nilai tambah sektoral. Sedangkan isian sepanjang kolom menunjukkan struktur input yang digunakan oleh masing-masing sektor dalam proses produksi, baik yang berupa input antara maupun input primer. Tabel I-O sebagai alat analisis kuantitatif dalam perekonomian, mampu memberikan gambaran yang menyeluruh dalam analisis ekonomi. Kemampuan tabel ini dalam memberikan gambaran menyeluruh antara lain terkait dengan beberapa hal sebagai berikut: 1. Struktur perekonomian suatu wilayah yang mencakup output dan nilai tambah masing-masing sektor. 2. Struktur input antara yaitu transaksi penggunaan barang dan jasa antar sektorsektor produksi. 3. Struktur penyediaan barang dan jasa, baik berupa produksi dalam negeri maupun barang impor yang berasal dari luar wilayah tersebut.
29
4. Struktur permintaan barang dan jasa, baik itu berupa permintaan oleh berbagai sektor produksi maupun permintaan untuk konsumsi, investasi, dan ekspor. Penggunaan model I-O telah dikembangkan secara luas dan sangat berguna dalam meneliti keadaan perekonomian suatu wilayah. Beberapa kegunaan analisis I-O dalam penelitian perekonomian suatu wilayah antara lain: 1. Memperkirakan dampak permintaan akhir terhadap output, nilai tambah, impor penerimaan pajak dan penyerapan tenaga kerja di berbagai sektor. 2. Melihat komposisi penyediaan dan penggunaan barang dan jasa terutama dalam analisis terhadap kebutuhan impor dan kemungkinan substitusinya. 3. Analisis perubahan harga, yaitu dengan melihat pengaruh secara langsung dan tidak langsung dari perubahan harga input terhadap output. 4. Mengetahui sektor-sektor yang pengaruhnya paling dominan terhadap pertumbuhan ekonomi dan sektor-sektor yang peka terhadap pertumbuhan perekonomian. 5. Menggambarkan perekonomian suatu wialayah dan mengidentifikasikan karakteristik struktur suatu wilayah dan mengidentifikasikan karakteristik struktur suatu perekonomian suatu wilayah. 2.3.2. Struktur Tabel Input-Output Format dari Tabel I-O terdiri dari kerangka matriks berukuran “n x n” dimensi yang dibagi empat kuadran dan tiap kuadran mendeskripsikan suatu hubungan terentu (Glasson, 1977). Untuk memberikan gambaran yang lebih lengkap format Tabel I-O disajikan pada Tabel 2.1.
30
Tabel 2.1 Struktur Tabel Input-Output Permintaan Antara Sektor Produksi
Alokasi Output Susunan Input
Input Antara
Sektor Produksi
Permintaan Akhir
Total Output
1
2
…
N
1
X11
X12
…
X1n
F1
X1
2
X21
X22
…
X2n
F2
X2
.
.
.
…
.
.
.
.
.
.
…
.
.
.
N
Xn1
Xn2
…
Xnn
Fn
Xn
V1
V2
…
Vn
Jumlah Input Primer
Total Input X1 X2 … Xn Sumber: Miller and Blair, 1985 dalam Sahara, et al., 2007 (dimodifikasi).
Pada Tabel 2.1 isian angka sepanjang baris memperlihatkan bagaimana output suatu sektor dialokasikan, sebagian untuk memenuhi permintaan antara (intermediate demand), dan sebagian lagi untuk memenuhi permintaan akhir (final demand). Isian angka menurut kolom (vertikal) menunjukkan pemakaian input antara maupun input primer yang disediakan oleh sektor lain untuk kegiatan produksi suatu sektor. Apabila Tabel 2.1 dilihat secara baris (horizontal) maka alokasi output secara keseluruhan dapat ditulis dalam bentuk persamaan aljabar sebagai berikut: x11 + x12 +…. + x1n + F 1 = X1 x21 + x22 +…. + x2n + F2 = X2 .
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
xn1 + xn2 +….+ xnn + Fn = Xn
(i)
31
Dan secara umum persamaan di atas dapat dirumuskan kembali menjadi: i
xij Fi
Xi ;
untuk i = 1, 2, 3 dan seterusnya
(ii)
j 1
dimana Xij adalah banyaknya output sektor i yang digunakan sebagai input oleh sektor j dan Fi adalah permintaan akhir terhadap sektor i serta Xi adalah jumlah output sektor i. Jika Tabel 2.1 tersebut dibaca secara kolom (vertikal), terutama di sektor produksi, angka-angka tersebut menunjukkan susunan input suatu sektor, sehingga secara aljabar persamaan dengan pola kolom dapat dituliskan menjadi: x11 + x21 +….+ xn1 + V1 = X1 x12 + x22 + ….+ xn2 +
V2 = X2
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Xn1 + Xn2 + ….+ Xnn + Vn = Xn
(iii)
Secara ringkas persamaan tersebut dapat ditulis menjadi: j
xij Vj
Xj ;
untuk j = 1, 2, 3 dan seterusnya
(iv)
i 1
dimana Vj adalah input primer (nilai tambah bruto) dari sektor j. Berdasarkan persamaan di atas, jika diketahui matrik koefisien teknologi, aij sebagai berikut (Nazara, 1997):
αij=
xij Xj
(v)
dan jika persamaan (v) disubstitusikan ke persamaan (i) maka didapat persamaan sebagai berikut:
32
a11 X1 + a12 X2 + …....+ a1nXn + F1 = X1 a21X1 + a22X2 +…….+ a2nXn + F2 = X2 .
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
an1X1 + an2X2 +…….+ annXn + Fn = Xn
(vi)
Jika ditulis dalam bentuk persamaan matriks, persamaan di atas dapat menjadi persamaan sebagai berikut: AX + F = X atau (I-A)X = F sehingga, X = (I-A)-1 F
(vii)
dimana: I
= matriks identitas yang elemennya memuat angka satu pada diagonalnya dan nol pada selainnya
F
= Permintaan akhir
X
= Jumlah Output
(I-A)
= matriks Leontief
(I-A)-1
= matriks kebalikan Leontief
Dari persamaan (vii) di atas terlihat bahwa output setiap sektor memilki hubungan fungsional terhadap permintaan akhir. Dengan (I-A)-1 sebagai koefisien anataranya. Matriks kebalikan ini mempunyai peranan penting sebagai alat analisis ekonomi karena menunjukkan adanya saling keterkaitan antara tingkat permintaan akhir terhadap tingkat produksi. Secara umum, matriks dalam Tabel I-O dapat dibagi menjadi empat kuadran, yaitu:
33
1. Kuadran I (Intermediate Quadrant) Setiap sel pada kuadran satu merupakan transaksi antara, yaitu transaksi barang dan jasa yang digunakan dalam proses produksi. Kuadran ini memberikan informasi mengenai saling ketergantungan antar sektor produksi dalam suatu perekonomian. 2. Kuadran II (Final Demand Quadrant) Setiap sel pada kuadran II ini menunjukkan penjualan barang dan jasa yang dihasilkan oleh sektor-sektor perekonomian unutk memenuhi permintaan akhir. Permintaan akhir adalah output suatu sektor yang langsung dipergunakan oleh rumah tangga, pemerintah, pembentukan modal tetap, perubahan stok, dan ekspor. 3. Kuadran III (Primary Input Quadrant) Menunjukkan pembelian input yang dihasilkan diluar sistem produksi oleh sektor-sektor dalam kuadran antara. Kuadran ini terdiri dari pendapatan rumah tangga (upah/gaji), pajak tak langsung, surplus usaha, dan penyusutan. Jumlah keseluruhan nilai tambah ini akan menghasilkan produk domestik bruto yang dihasilkan oleh wilayah tersebut. 4. Kuadran IV (Primary Input-Final Demand Quadrant) Merupakan kuadran input primer permintaan akhir yang menunjukkan transaksi langsung antara kuadran input primer dengan permintaan akhir tanpa melalui sistem produksi atau kuadran antara.
34
2.3.3. Asumsi-asumsi dan Keterbatasan dalam Model Input-Output Menurut Jensen dan West (1986) dalam Sahara, et al. (2007), asumsiasumsi dalam menunjang transaksi yang ada dalam Tabel I-O, sangat penting untuk menyusun Tabel I-O. Asumsi tersebut antara lain sebagai berikut : 1. Kesebandingan (Proportionality) Kesebandingan artinya, prinsip atau asumsi dimana hubungan antar input dan output pada setiap sektor produksi merupakan fungsi linier dan dalam keadaan constant return to scale. 2. Keseragaman (Homogenity) Keseragaman artinya, masing-masing sektor memproduksi suatu output melalui satu cara dengan struktur input tertentu serta tidak ada substitusi diantara masing-masing input dan output. 3. Penjumlahan (Additivity) Yaitu suatu asumsi bahwa total efek dari kegiatan produksi berbagai sektor merupakan penjumlahan dari efek pada masing-masing kegiatan. Selain asumsi-asumsi tersebut diatas, Tabel I-O sebagai metode analisis kuantitatif memiliki beberapa keterbatasan, keterbatasan terebut antara lain: 1. Koefisien input atau koefisien teknis diasumsikan tetap konstan selama periode analisis atau proyeksi. Teknologi dalam proses yang digunakan oleh sektor-sektor ekonomi dalam proses produksi pun dianggap konstan. Akibatnya perubahan kuantitas dan harga input akan selalu sebanding dengan perubahan kuantitas harga output.
35
2. Besarnya biaya yang harus dikeluarkan dalam penyusunan Tabel I-O dengan menggunakan metode survey. 3. Semakin banyak agregasi yang dilakukan terhadap sektor-sektor yang ada akan menyebabkan semakin besar pula kecenderungan pelanggaran terhadap asumsi homogenitas dan akan semakin banyak informasi ekonomi yang terperinci tidak tertangkap dalam analisisnya. 2.3.4. Analisis Keterkaitan Konsep keterkaitan biasa digunakan sebagai dasar perumusan strategi pembangunan ekonomi dengan melihat keterkaitan antar sektor dalam suatu sistem perekonomian. Konsep keterkaitan yang biasa dirumuskan meliputi keterkaitan ke belakang (backward linkage) yang menunjukkan hubungan keterkaitan antar industri/sektor dalam pembelian terhadap total pembelian input yang digunakan untuk proses produksi dan keterkaitan ke depan (forward linkage) yang menunjukkan hubungan keterkaitan antar sektor/industri dalam penjualan terhadap total penjualan output yang dihasilkannya. Berdasarkan konsep keterkaitan ini dapat diketahui besarnya pertumbuhan suatu sektor lain. Keterkaitan langsung antar sektor perekonomian dalam pembelian dan penjualan input antara ditunjukkan oleh koefisien langsung, sedangkan keterkaitan langsung dan tidak langsungnya ditunjukkan dari matriks kebalikan Leontief (α) karena matriks ini mengandung informasi penting tentang struktur antar sektor perekonomian.
36
2.3.5. Analisis Dampak Penyebaran Indeks keterkaitan langsung dan tidak langsung baik ke depan maupun ke belakang yang telah diuraikan di atas belum memadai dipakai sebagai landasan pemilihan sektor kunci. Indikator-indikator tersebut tidak dapat diperbandingkan antar sektor karena peranan permintaan setiap sektor tidak sama. Membandingkan rata-rata dampak yang ditimbulkan oleh sektor tersebut dengan rata-rata dampak seluruh sektor adalah cara untuk menormalkan kedua indeks tersebut. Analisis ini disebut dengan dampak penyebaran yang terbagi dua yaitu kepekaan penyebaran dan koefisien penyebaran. 2.3.6. Analisis Multiplier a. Multiplier Output Multiplier output dihitung dalam per unit perubahan output sebagai efek awal (initial effect), yaitu kenaikan atau penurunan output sebesar satu unit satuan moneter. Setiap elemen dalam matrik kebalikan leontief (inverse matrix) menunjukkan total pembelian input baik langsung atau tidak langung dari suatu sektor sebesar satu unit satuan moneter ke permintaan akhir. Jadi matriks kebalikan Leontief mengandung informasi stuktur perekonomian yang dipelajari dengan menentukan tingkat keterkaitan antar sektor dalam perekonomian wilayah. b. Multiplier Pendapatan Multiplier pendapatan mengukur peningkatan pendapatan akibat adanya perubahan output dalam perekonomian. Dalam Tabel I-O, yang dimaksud dengan pendapatan adalah upah dan gaji yang diterima oleh rumah tangga, termasuk pula dividen dan bunga bank.
37
c. Multiplier Tenaga Kerja Multiplier tenaga kerja menunjukkan perubahan tenaga kerja yang disebabkan oleh perubahan awal dari sisi output. Multiplier tenaga kerja tidak diperoleh dari Tabel I-O, karena Tabel I-O tidak mengandung elemen-elemen yang berhubungan dengan tenaga kerja. Multiplier tenaga kerja diperoleh dengan menambahkan baris yang menunjukkan jumlah dari tenaga kerja untuk masingmasing sektor dalam perekonomian suatu wilayah atau negara. Penambahan baris ini untuk mendapatkan koefisien tenaga kerja. Cara memperoleh koefisien tenaga kerja adalah dengan membagi setiap jumlah tenaga kerja masing-masing sektor perekonomian suatu wilayah atau negara dengan jumlah total output dari masingmasing sektor tersebut. d) Multiplier Tipe I dan II Multiplier tipe I dan II digunakan untuk untuk mengukur efek dari output, pendapatan, maupun tenaga kerja masing-masing sektor perekonomian yang disebabkan karena adanya perubahan dalam jumlah output, pendapatan, dan tenaga kerja yang ada di suatu negara atau wilayah. Respon atau efek multiplier output, pendapatan, dan tenaga kerja dapat diklasifikan sebagai berikut: 1. Dampak awal (Initial Impact) Dampak awal merupakan stimulus perekonomian yang diasumsikan sebagai peningkatan atau penurunan penjualan dalam satu unit satuan moneter. Dari sisi output, dampak awal ini diasumsikan sebagai peningkatan dari penjualan ke permintaan akhir sebesar satu satuan unit moneter. Peningkatan output itu memberi efek pada peningkatan pendapatan dan kesempatan kerja. Efek awal
38
dari sisi pendapatan ditunjukkan oleh koefisien pendapatan rumah tangga. Efek awal dari sisi tenaga kerja ditunjukkan oleh koefisien tenaga kerja. 2. Efek Putaran Pertama (First Round Effect) Efek putaran pertama menunjukkan efek langsung dari pembelian masingmasing sektor untuk setiap peningkatan output sebesar satu unit satuan moneter. Dari sisi output, efek putaran pertama ditunjukkan oleh koefisien langsung. Sedangkan efek putaran pertama dari sisi pendapatan menunjukkan adanya peningkatan penyerapan tenaga kerja akibat adanya efek putaran pertama dari sisi output. 3. Efek Dukungan Industri (Industrial Support Effect) Efek dukungan industri (Industrial Support Effect) dari sisi output menunjukkan efek dari peningkatan output putaran kedua dan selanjutnya akibat adanya stimulus ekonomi. Dari sisi pendapatan dan tenaga kerja, efek dukungan industri menunjukkan adanya efek peningkatan pendapatan dan penyerapan tenaga kerja putaran kedua dan selanjutnya akibat adanya dukungan industri yang menghasilkan output. 4. Efek Induksi Konsumsi (Consumption Induced Effect) Efek induksi konsumsi dari sisi output menunjukkan adanya suatu pengaruh induksi (peningkatan konsumsi rumah tangga) akibat pendapatan rumah tangga meningkat. Dari sisi pendapatan dan tenaga kerja, efek induksi konsumsi diperoleh dengan mengalikan efek induksi konsumsi output dengan koefisien pendapatan rumah tangga dan koefisien tenaga kerja.
39
5. Efek Lanjutan (Flow-on Effect) Efek lanjutan merupakan efek total (dari output, pendapatan, dan tenaga kerja) yang terjadi pada semua sektor perekonomian dalam suatu wilayah atau negara akibat adanya peningkatan penjualan dari suatu sektor. Efek lanjutan dapat diperoleh dari pengurangan efek total dengan efek awal. 2.3.7. Kerangka Pemikiran Operasional Seiring dengan semakin berkembangnya Kota Bandung dengan citra sebagai kota wisata, maka kondisi tersebut menjadikan kunjungan wisatawan ke Kota Bandung cenderung mengalami peningkatan yang cukup siginifikan dari tahun ke tahun. Hal ini mengakibatkan semakin pesat pula perkembangan sektor hotel dan restoran yang merupakan sarana pendukung kegiatan berwisata di Kota Bandung. Sektor hotel dan restoran di Kota Bandung perannya menjadi sangat vital karena terbukti bahwa sektor ini merupakan sumber pendapatan terbesar bagi Kota Bandung melalui komponen pajak daerah yaitu pajak hotel dan restoran. Selain itu sektor hotel dan restoran juga mampu menyerap cukup banyak tenaga kerja. Selain memiliki potensi kekuatan ekonomi dari sektor hotel dan restoran, ternyata Kota Bandung juga memiliki kondisi perekonomian yang baik jika dilihat dari Laju Pertumbuhan Ekonomi (LPE) yang cenderung meningkat dari periode tahun 2003 hingga 2007. Jika dibandingkan dengan LPE Provinsi Jawa Barat atau bahkan LPE Indonesia, ternyata LPE Kota Bandung masih lebih tinggi. Akan tetapi semakin meningkatnya LPE ternyata tidak serta-merta mampu mengurangi jumlah pengangguran di Kota Bandung. Sebaliknya, jumlah pengangguran di
40
Kota Bandung justru semakin meningkat. Hal ini menunjukkan meskipun Kota Bandung memiliki LPE yang baik, akan tetapi belum mampu mengatasi masalah pengangguran. Dari uraian diatas, sektor hotel dan restoran sebagai salah satu sektor yang memiliki pengaruh yang positif terhadap perekonomian Kota Bandung diharapkan mampu memecahkan masalah-masalah sosial ekonomi yang mendasar. Yaitu perannya dalam menanggulangi masalah pengangguran, memperluas kesempatan berusaha, memeratakan pendapatan masyarakat serta mempercepat pengentasan kemiskinan. Keberadaan sektor hotel dan restoran tentunya didukung oleh sektor lain sebagai pendukung. Sehingga antara sektor hotel dan restoran dengan sektor lain terdapat suatu hubungan keterkaitan. Setiap perubahan pada sektor hotel dan restoran, misalnya perubahan pada permintaan akhir akan memiliki dampak pada sektor lain. Begitu pula apabila terjadi peningkatan penyerapan tenaga kerja pada sektor hotel dan restoran, hal tersebut juga dapat berdampak pada peningkatan penyerapan tenaga kerja total pada sektor perekonomian. Oleh karena itu, semakin meningkatnya penyerapan tenaga kerja sektor hotel dan restoran di Kota Bandung diharapkan akan memberi dampak positif pula pada peningkatan penyerapan tenaga kerja total di seluruh sektor perekonomian Kota Bandung. Untuk melakukan analisis mengenai dampak dan keterkaitan sektor hotel dan restoran dalam perekonomian Kota Bandung, digunakan suatu metode analisis Input-Output (I-O). Melalui analisis I-O ini pula dapat diketahui peranan sektor hotel dan restoran yang dilihat berdasarkan pembentukan struktur
41
permintaan dan penawaran, konsumsi rumah tangga dan pemerintah, ekspor dan impor, dan nilai tambah bruto. Dalam penelitian ini, analisis yang digunakan antara lain: analisis keterkaitan, analisis dampak penyebaran, dan analisis multiplier. Analisis keterkaitan digunakan untuk melihat bagaimana hubungan suatu sektor dengan sektor lain dalam perekonomian yang dilihat melalui keterkaitan ke depan dan ke belakang. Keterkaitan ke depan akan melihat hubungan keterkaitan tentang pengaruh yang ditimbulkan oleh suatu unit permintaan akhir suatu sektor terhadap total penjualan output semua sektor dalam perekonomian. Keterkaitan ke belakang akan melihat hubungan keterkaitan tentang pengaruh yang ditimbulkan oleh satu unit permintaan akhir pada sektor tertentu terhadap total pembelian input semua sektor dalam perekonomian. Kemampuan suatu sektor dalam meningkatkan pertumbuhan sektor hulu dan sektor hilirnya dapat dilihat dari koefisien dan kepekaan penyebarannya. Analisis lain yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis multiplier. Analisis ini digunakan untuk mengetahui seberapa besar peningkatan ouput, peningkatan pendapatan, dan peningkatan penyerapan tenaga kerja pada masingmasing sektor dalam perekonomian. Berdasarkan multiplier terhadap penyerapan tenaga kerja kita dapat mengetahui seberapa besar peran sektor hotel dan restoran dalam mengurangi pengangguran dilihat dari banyaknya tenaga kerja total yang terserap dalam perekonomian Kota Bandung. Secara sistematis kerangka pemikiran operasional dijelaskan pada Gambar 2.1 berikut ini.
42
Perekonomian Kota Bandung
Laju Pertumbuhan Ekonomi Cenderung Meningkat
- Kota Bandung sebagai kota tujuan wisata - Jumlah wisatawan meningkat hjhjhjhj - Kontribusi terhadap PAD
Masalah Ekonomi (Pengangguran)
Sektor Hotel dan Restoran
Hotel
Restoran
a Peran Sektor Hotel dan Restoran terhadap Perekonomian Kota Bandung Analisis Input Output
Peran dalam Struktur Ekonomi (Analisis Deskriptif)
Keterkaitan dengan Sektor lain
Analisis Keterkaitan
Analisis Dampak Penyebaran
Penarikan Kesimpulan
Keterangan :
= bagian yang dianalisis Gambar 2.1. Skema Kerangka Pemikiran Operasional
Analisis Multiplier
III. METODE PENELITIAN
3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Kota Bandung dari bulan Februari hingga Juli 2009 yang meliputi pengumpulan data-data sekunder dari instansi terkait, pengolahan data, analisis data, dan penulisan laporan dalam bentuk skripsi. Pemilihan lokasi dan sektor dilakukan dengan mempertimbangkan (1) tersedianya Tabel Input-Output Kota Bandung, (2) sektor hotel dan restoran memiliki peranan penting sebagai sarana pendukung pariwisata seiring dengan berkembangnya Kota Bandung sebagai kota tujuan wisata, (3) belum ada penelitian skripsi mengenai sektor hotel dan restoran di Kota Bandung.
3.2. Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan adalah data sekunder yang dikumpulkan dari berbagai sumber, antara lain: Badan Pusat statistik (BPS) pusat, BPS Jawa Barat, BPS Kota Bandung, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda), Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar), Dinas Tenaga Kerja (Disnaker), Dinas Pendapatan Daerah (Dispenda) Kota Bandung. Selain itu, data pendukung lainnya diperoleh dari sumber-sumber yang relevan dengan topik penelitian, baik sumber cetak maupun elektronik. Data pokok yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data yang berasal dari Tabel Input-Output Kota Bandung tahun 2003. Data-data tersebut diolah dan dianalisis menggunakan alat analisis berupa software GRIMP 7.2 dan Microsoft Excel
44
3.3. Metode Analisis 3.3.1. Analisis Keterkaitan Analisis keterkaitan digunakan untuk melihat keterkaitan antar sektor. Keterkaitan ini terdiri dari: keterkaitan langsung ke depan, keterkaitan langsung ke belakang, keterkaitan langsung dan tidak langsung ke depan, serta keterkaitan langsung dan tidak langsung ke belakang (Glasson, 1977). 1. Keterkaitan Langsung ke Depan Keterkaitan langsung ke depan menunjukkan akibat suatu sektor tertentu terhadap sektor-sektor yang menggunakan sebagian output sektor tersebut secara langsung per unit kenaikan permintaan total. Untuk mengetahui besarnya keterkaitan langsung ke depan, digunakan rumus berikut:
dimana:
KDi
= keterkaitan langsung ke depan unsur martriks koefisien teknis
n
= jumlah sektor
2. Keterkaitan Langsung Ke Belakang Keterkaitan langsung ke belakang menunjukkan akibat dari suatu sektor tertentu terhadap sektor-sektor yang menyediakan input antara bagi sektor tersebut secara langsung per unit kenaikan permintaan total. Untuk mengetahui besarnya keterkaitan langsung ke belakang, digunakan rumus berikut ini:
45
dimana:
KBi
= keterkaitan langsung ke belakang sektor i = unsur matriks koefisien teknis
n
= jumlah sektor
3. Keterkaitan Langsung dan Tidak Langsung ke Depan Keterkaitan langsung dan tidak langsung ke depan menunjukkan akibat dari suatu sektor tertentu terhadap sektor-sektor yang menggunakan output bagi sektor tersebut secara langsung maupun tidak langsung per unit kenaikan permintaan total. Untuk mengetahui besarnya keterkaitan langsung dan tak langsung ke depan, digunakan rumus berikut ini:
dimana:
KDLTi = keterkaitan langsung dan tidak langsung ke depan sektor i = unsur matriks kebalikan Leontief model terbuka n
= jumlah sektor
4. Keterkaitan Langsung dan Tidak Langsung ke Belakang Keterkaitan langsung dan tidak langung ke belakang menunjukkan akibat dari suatu sektor tertentu terhadap sektor-sektor yang menyediakan input antara bagi sektor terebut baik secara langsung maupun tidak langsung per unit kenaikan permintaan total. Untuk mengetahui besarnya keterkaitan langsung dan tidak langsung digunakan rumus berikut:
46
dimana: KBLTi
= keterkaitan langsung dan tidak langsung ke belakang sektor i = unsur matriks kebalikan Leontief model terbuka
n
= jumlah sektor
3.3.2. Analisis Dampak Penyebaran Indeks keterkaitan langsung dan tak langsung baik ke depan maupun ke belakang di atas belumlah memadai apabila dipakai sebagai landasan pemilihan sektor kunci. Indikator-indikator tersebut tidak dapat diperbandingkan antar sektor karena peranan permintaan akhir setiap sektor tidak sama. Oleh karena itu, kedua indeks tersebut haruslah dinormalkan dengan cara membandingkan rata-rata dampak yang ditimbulkan oleh sektor tersebut dengan rata-rata dampak seluruh sektor. Analisis ini disebut sebagai dampak penyebaran yang terbagi dua, yaitu koefisien penyebaran dan kepekaan penyebaran. 1. Koefisien Penyebaran (Daya Penyebaran ke Belakang) Koefisien penyebaran disebut juga dengan indeks daya penyebaran ke belakang. Analisis ini menunjukkan koefisien kaitan yang memberikan gambaran tentang pengaruh yang ditimbulkan oleh suatu unit permintaan akhir untuk semua sektor di dalam suatu sistem perekonomian. Konsep ini berfungsi untuk mengetahui distribusi manfaat dari pengembangan suatu sektor terhadap perkembangan sektor-sektor lainnya melalui mekanisme transaksi pasar input. Konsep ini diartikan sebagai kemampuan suatu sektor untuk meningkatkan pertumbuhan industri hulunya. Jika Pdj > 1 artinya sektor tersebut mempunyai kemampuan kuat untuk menarik pertumbuhan sektor hulu. Namun jika Pd j < 1
47
artinya kurang memiliki kemampuan kuat untuk menarik pertumbuhan hulunya. Rumus yang digunakan untuk mencari nilai koefisien penyebaran adalah: n
n Pdj =
ij
i 1 n n ij i 1 j 1
dimana: Pdj
= koefisien penyebaran sektor j
αij
= unsur matriks kebalikan Leontief
n
= jumlah sektor
Nilai koefisien penyebaran dari suatu sektor menunjukkan bahwa kenaikan satu unit output sektor tersebut akan menyebabkan naiknya output sektor-sektor lain yang menyediakan input bagi sektor itu, termasuk sektor itu sendiri sebesar nilai koefisien penyebarannya. 2. Kepekaan Penyebaran (Daya Penyebaran Ke Depan) Konsep ini bermanfaat untuk mengetahui tingkat kepekaan suatu sektor terhadap sektor-sektor lainnya melalui melanisme pasar output. Konsep ini diartikan sebagai kemampuan suatu sektor untuk mendorong pertumbuhan hilirnya. Jika Sdi > 1 artinya sektor tersebut mempunyai kemampuan kuat untuk mendorong pertumbuhan hilirnya. Namun jika Sdi < 1 artinya sektor tersebut kurang mempunyai kemampuan kuat mendorong sektor hilirnya.
48
Rumus untuk mencari nilai kepekaan penyebarannya adalah: n
n
ij j 1
Sdi =
n
n ij
i 1 j 1
dimana:
Sdi
= kepekaan penyebaran sektor i
αij
= unsur matriks kebalikan Leontief
n
= jumlah sektor
Nilai kepekaan penyebaran suatu sektor menunjukkan bahwa kenaikan satu unit output dari suatu sektor akan menyebabkan naiknya output sektor-sektor yang lain yang menggunakan output dari sektor itu, termasuk sektor itu sendiri sebesar nilai kepekaan penyebarannya. 3.3.3. Analisis Multiplier Efek multiplier ini menggambarkan bahwa terjadinya peningkatan aktivitas suatu sektor akan meningkatkan aktivitas sektor tersebut atau sektor lainnya sebesar nilai penggandanya. Pada dasarnya, analisis angka pengganda mencoba melihat apa yang terjadi pada variabel-variabel endogen tertentu apabila terjadi perubahan-perubahan variabel eksogen seperti permintaan akhir di dalam perekonomian. Ada tiga variabel yang menjadi perhatian utama dalam analisis angka pengganda ini, yaitu output sektor produksi, pendapatan rumah tangga, dan tenaga kerja. Masing-masing angka pengganda masih dibagi ke dalam dua bagian yaitu tipe I dan tipe II.
49
a. Multiplier Output Multiplier output dihitung dalam per unit perubahan output sebagai efek awal (initial effect), yaitu kenaikan atau penurunan output sebesar satu unit satuan moneter. Peningkatan permintaan sektor-i tidak hanya meningkatkan output sektor-i, akan tetapi dapat meningkatkan output sektor lain. b. Multiplier Pendapatan Multiplier pendapatan mengukur peningkatan pendapatan akibat adanya perubahan output dalam perekonomian. Dalam Tabel Input-Output, yang dimaksud dengan pendapatan adalah upah dan gaji yang diterima oleh rumah tangga, termasuk pula dividen dan bungan bank. c. Multiplier Tenaga Kerja Multiplier tenaga kerja merupakan efek total dari perubahan lapangan pekerjaan pada perekonomian akibat adanya satu unit perubahan output di satu sektor tertentu. Multiplier tenaga kerja dinyatakan dalam satuan unit pekerja. Untuk melihat efek dari satu unit perubahan output di suatu sektor produksi terhadap perubahan lapangan pekerjaan di seluruh sektor perekonomian, diperlukan jumlah lapangan kerja awal pada masing-masing sektor produksi. d. Multiplier Tipe I dan II Multiplier tipe I dan II digunakan untuk mengukur efek dari output, pendapatan maupun tenaga kerja masing-masing sektor perekonomian yang disebabkan karena adanya perubahan dalam jumlah output, pendapatan, dan tenaga kerja di suatu wilayah. Respon atau efek multiplier output, pendapatan, dan tenaga kerja dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
50
1. Dampak Awal (Initial Impact) Dari sisi output, dampak awal diasumsikan sebagai peningkatan penjualan ke permintaan akhir sebesar satu satuan moneter. Peningkatan output tersebut akan memberikan efek terhadap peningkatan pendapatan dan kesempatan kerja. Efek awal dari sisi pendapatan ditunjukkan oleh koefisien pendapatan rumah tangga (hi). Sedangkan efek awal dari sisi tenaga kerja ditunjukkan oleh koefisien tenaga kerja (ei). 2. Efek Putaran Pertama (First Round Effect) Efek putaran pertama menunjukkan efek langsung dari pembelian masingmasing sektor untuk setiap peningkatan output sebesar satu unit satuan moneter. Dari sisi output, efek putaran pertama ditunjukkan oleh koefisien langsung (koefisien input output). Sedangkan efek putaran pertama dari sisi pendapatan menunjukkan adanya peningkatan pendapatan dari setiap sektor akibat adanya efek putaran pertama dari sisi output. Sementara efek putaran pertama dari sisi tenaga kerja menunjukkan peningkatan penyerapan tenaga kerja akibat adanya efek putaran pertama dari sisi output. 3. Efek Dukungan Industri (Industrial Support Effect) Dari sisi output efek dukungan industri menunjukkan adanya efek dari peningkatan output putaran kedua dan selanjutnya akibat adanya stimulus ekonomi. Dari sisi pendapatan dan tenaga kerja, efek dukungan industri menunjukkan adanya efek peningkatan pendapatan dan penyerapan tenaga kerja putaran kedua dan selanjutnya akibat adanya dukungan industri yang menghasilkan output.
51
4. Efek Induksi Konsumsi (Consumption Induced Effect) Efek induksi konsumsi dari sisi output menunjukkan adanya suatu pengaruh induksi (peningkatan konsumsi rumah tangga) akibat pendapatan rumah tangga yang meningkat. Dari sisi pendapatan dan tenaga kerja, efek induksi konsumsi diperoleh masing-masing dengan mengalikan efek induksi konsumsi output dengan koefisien pendapatan rumah tangga (hi) dan koefisien tenaga kerja (ei). 5. Efek Lanjutan (Flow-on Effect) Efek lanjutan merupakan efek dari output, pendapatan, dan tenaga kerja yang terjadi pada semua sektor perekonomian dalam suatu negara atau wilayah akibat adanya peningkatan penjualan suatu sektor. Efek lanjutan dapat diperoleh dari pengurangan efek total dengan efek awal. Berdasarkan matriks kebalikan Leontief baik untuk model terbuka (α ij) maupun model tertutup (α*ij) dapat ditentukan nilai-nilai dari multiplier output, pendapatan dan tenaga kerja berdasarkan rumus-rumus yang tercantum pada Tabel 3.1 berikut. Tabel 3.1. Rumus Multiplier Output, Pendapatan, dan Tenaga Kerja Nilai Efek Awal
Output
Multiplier Pendapatan
Tenaga Kerja
1
hi
ei
Σaij
Σaijhi
Σaijei
Efek Dukungan Industri
Σαij-1-aij
Σαijhi-hi-Σaijhi
Σαijei-ei-Σaijei
Efek Induksi Konsumsi
Σα*ij-Σαij
Σα*ijhi-Σαijhi
Σα*ij-Σαij
Σα*ij
Σα*ijhi
Σα*ijei
Σα*ij-1
Σα*ijhi-hi
Σα*ijei-ei
Efek Putaran Pertama
Efek Total Efek Lanjutan
Sumber: Daryanto, 1990 dalam Sahara, et al., 2007.
52
dimana:
aij
= koefisien output
hi
= koefisien pendapatan rumah tangga
ei
= koefisien tenaga kerja
αij
= matriks kebalikan Leontief terbuka
α*ij
= matriks kebalikan Leontief tertutup
Sedangkan untuk melihat hubungan antara efek awal dan efek lanjutan per unit pengukuran dari sisi output, pendapatan, dan tenaga kerja, maka dihitung dengan menggunakan rumus multiplier tipe I dan tipe II sebagai berikut:
Tipe I
= efek awal + efek putaran pertama + efek dukungan industri efek awal
Tipe II
= efek awal + efek putaran pertama + efek dukungan industri + efek konsumsi efek awal
Koefisien Pendapatan (hi) Koefisien pendapatan rumah tangga merupakan suatu bilangan yang menunjukkan besarnya jumlah pendapatan yang diterima oleh pekerja yang diperlukan untuk menghasilkan satu unit output. Koefisien pendapatan mengindikasikan efek awal dari sisi pendapatan sebagai akibat dari peningkatan output. Koefisien pendapatan dirumuskan sebagai berikut:
53
dimana:
hi
= koefisien pendapatan sektor i
Si
= jumlah upah dan gaji sektor i
Xi
= jumlah output total sektor i
Koefisien Tenaga Kerja (ei) Keofisien tenaga kerja merupakan suatu bilangan yang menunjukkan besarnya jumlah tenaga kerja yang diperlukan untuk menghasilkan satu unit output. Koefisien tenaga kerja menunjukkan efek langsung ketenagakerjaan dari setiap sektor akibat adanya perubahan output dan merupakan efek awal dari sisi tenaga kerja. Koefisien tenaga kerja dapat dirumuskan sebagai berikut:
dimana:
ei
= koefisien tenaga kerja sektor i
Ti
= jumlah tenaga kerja sektor i
Xi
= jumlah output sektor i
3.3.4. Definisi Operasional Konsep dan definisi menjelaskan konsep serta definisi dari pariwisata, output, transaksi antara, permintaan akhir (pengeluaran rumah tangga, pengeluaran konsumsi pemerintah, pembentukan modal tetap, perubahan stok, ekspor dan impor) dan input primer (upah dan gaji, surplus usaha, penyusutan dan pajak tak langsung netto) yang sesuai dengan Tabel Input-Output. 1. Pariwisata Pariwisata dapat diartikan sebagai segala sesuatu yang berhubungan dengan wisata, yang diantaranya termasuk pengusahaan objek dan daya tarik
54
wisata, serta usaha-usaha yang terkait dibidang tersebut. Dalam penelitian ini mencakup, hotel dan restoran. 2. Output Output adalah seluruh nilai barang dan jasa yang dihasilkan oleh sektorsektor produksi dengan memanfaatkan faktor produksi yang tersedia di suatu wilayah (negara, provinsi, dan sebagainya) dalam periode tertentu tanpa memperhatikan asal-usul pelaku produksi maupun bentuk usahanya. Sepanjang kegiatan produksinya dilakukan pada wilayah yang bersangkutan maka produksinya dihitung sebagai bagian dari output wilayah tersebut. Oleh karena itu, output sering dikatakan sebagai produk domestik. 3. Input Antara Input antara adalah seluruh biaya yang dikeluarkan untuk barang dan jasa yang digunakan habis dalam melakukan proses produksi. Komponen input antara terdiri dari barang tidak tahan lama (habis sekali pakai atau umumnya kurang dari satu tahun) baik dari produk wilayah tersebut maupun impor. Contoh input antara yaitu bahan baku, bahan penolong, jasa perbankan, dan sebagainya, sedangkan balas jasa untuk pegawai (upah dan gaji) dimasukkan ke dalam input primer. Penilaian dari barang dan jasa yang digunakan berdasarkan transaksi atas dasar harga pembeli, yaitu harga yang dibayarkan pada saat menggunakan barang dan jasa tersebut. 4. Input Primer Adalah biaya yang timbul karena menggunakan faktor produksi dalam suatu kegiatan ekonomi. Faktor produksi terdiri atas tenaga kerja, tanah, modal dan
55
kewiraswastaan. Bentuk input primer adalah upah atau gaji, surplus usaha, penyusutan barang modal dan pajak tidak langsung bersih. Input primer disebut juga nilai tambah bruto yang diperoleh dari hasil pengurangan ouput dengan input antara. 5. Permintaan Akhir Merupakan permintaan akan barang dan jasa selain permintaan untuk sektor produksi juga terdapat permintaan untuk konsumen akhir. Permintaan akhir terdiri dari pengeluaran konsumsi rumah tangga dan lembaga nirlaba, pengeluaran konsumsi pemerintah, pembentukan modal tetap, perubahan stok, dan eksporimpor. a. Pengeluaran konsumsi rumah tangga Pengeluaran ini merupakan pengeluaran yang dilakukan rumah tangga untuk semua pembelian barang dan jasa dikurangi dengan penjualan netto barang bekas. Barang dan jasa ini mencakup barang tahan lama, kecuali pembelian rumah tempat tinggal. Pengeluaran ini juga mencakup konsumsi yang dilakukan di dalam dan di luar negeri. Konsumsi penduduk di suatu negara yang dilakukan di luar negeri diperlakukan sebagai impor untuk menjaga konsistensi data. Konsumsi oleh penduduk asing di wilayah negara tersebut diperlakukan sebagai ekspor. b. Pengeluaran Konsumsi Pemerintah Pengeluaran ini mencakup semua pengeluaran barang dan jasa untuk pelaksanaan kegiatan-kegiatan administrasi pemerintah dan pertahanan, baik yang dilakukan pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.
56
c. Pembentukan Modal Tetap Pembentukan modal tetap meliputi pengadaan, pembuatan atau pembelian barang-barang modal baru baik dari dalam maupun impor, termasuk barang bekas dari luar daerah. d. Perubahan Stok Perubahan stok merupakan selisih antara nilai stok barang pada akhir tahun dengan nilai stok barang awal tahun. Perubahan stok dapat digolongkan menjadi: (1) perubahan stok barang setengah jadi yang disimpan oleh produsen, termasuk perubahan ternak dan unggas serta barang-barang strategis yang merupakan cadangan nasonal, (2) perubahan stok bahan mentah dan bahan baku yang belum digunakan oleh produsen, (3) perubahan stok di sektor perdagangan, yang terdiri dari barang- barang dagangan yang belum terjual. e. Ekspor dan Impor Ekspor impor barang dan jasa adalah transaksi ekonomi antara penduduk wilayah domestik dengan penduduk dari luar wilayah. Ada dua aspek penting dalam ekspor dan impor yaitu transaksi ekonomi dan penduduk. Transaksi ekonomi meliputi transaksi barang, jasa pengangkutan, jasa pariwisata, jasa asuransi, dan jasa komunikasi. Transaksi ini melibatkan seluruh penduduk yang meliputi badan pemerintahan pusat dan daerah, perorangan, perusahaan, dan lembaga lainnya. Termasuk pula dalam transaksi ekspor adalah pembelian langsung di pasar domestik oleh penduduk daerah lain. Sebaliknya pembelian langsung di pasar luar daerah oleh penduduk domestik dikategorikan sebagai transaksi impor.
57
6. Input Primer Input primer adalah balas jasa atas pemakaian faktor-faktor produksi yang terdiri dari tenaga kerja, tanah, modal, dan kewiraswastaan. Input primer disebut juga nilai tambah bruto dan merupakan selisih antara nilai output dengan nilai antara. a. Upah dan Gaji Upah dan gaji mencakup semua balas jasa dalam bentuk uang maupun barang dan jasa kepada tenaga kerja yang ikut dalam kegiatan produksi selain pekerja keluarga yang tidak dibayar. b. Surplus Usaha Surplus usaha adalah balas jasa atas kewiraswataan dan pendapatan atas pemilikan modal. Surplus usaha terdiri dari keuntungan sebelum dipotong pajak penghasilan,bunga atas modal, sewa tanah dan pendapatan atas hak kepemilikan lainnya. Besarnya nilai surplus usaha sama dengan nilai tambah bruto dikurangi dengan upah dan gaji, penyusutan, dan pajak tak langsung netto. c. Penyusutan Penyusutan adalah penyusutan barang-barang modal tetap yang digunakan dalam proses produksi. Penyusutan merupakan nilai penggantian terhadap penurunan nilai barang modal tetap yang digunakan dalam proses produksi. d. Pajak Tak Langsung Netto Pajak tak langsung netto adalah selisih antara pajak tak langsung dengan subsidi. Pajak tak langsung mencakup pajak impor, pajak ekspor, bea masuk, pajak pertambahan nilai, cukai dan sebagainya. Subsidi adalah bantuan yang
58
diberikan pemerintah kepada produsen. Subsidi disebut juga sebagai pajak tak langsung negara. 7. Margin Perdagangan dan Biaya Transportasi Adalah selisih antara transaksi pada tingkat harga konsumen atau pembeli dengan tingkat harga produsen. Oleh karena itu, selisih nilai transaksi mencakup: 1) Keuntungan pedagang, baik pedagang besar maupun pedagang eceran . 2) Biaya transportasi yang timbul dalam menyalurkan barang produsen sampai ke tangan pembeli akhir. 8. Sektor Pertanian, Peternakan, Kehutanan dan Perikanan Kegiatan yang dilakukan di sektor-sektor ini meliputi pengolahan lahan untuk bercocok tanam, memelihara dan menangkap ikan. Termasuk pula dalam sektor-sektor
ini kegiatan pengolahan hasil-hasil
pertanian,
peternakan,
kehutanan, dan perikanan yang dilakukan secara sederhana yang masih menggunakan peralatan tradisional. 9. Sektor Pertambangan dan Penggalian Pertambangan dan penggalian mencakup seluruh usaha kegiatan penambangan, penggalian dan penggaraman oleh rakyat. Pada dasarnya usaha kegiatan sektor ini dimaksudkan untuk memperoleh segala macam barang tambang, mineral dan barang galian berbentuk padat, cair dan gas, baik yang terdapat di dalam maupun di permukaan bumi. Sifat dan tujuan pengusahaan benda-benda tersebut adalah untuk menciptakan nilai guna dari barang tambang dan galian sehingga memungkinkan untuk dimanfaatkan, diproses lebih lanjut, dijual kepada pihak lain, ataupun diekspor ke luar negeri.
59
10. Sektor Industri Pengolahan Sektor industri pengolahan meliputi semua kegiatan produksi yang bertujuan meningkatkan mutu barang dan jasa. Proses produksi dapat dilakukan secara mekanik, kimiawi ataupun proses lainnya dengan menggunakan alat-alat sederhana dan mesin-mesin. Proses tersebut dapat dilakukan oleh perusahaan industri, perusahaan pertanian, pertambangan, dan perusahaan lainnya. 11. Sektor Listrik, Gas, dan Air Minum Sektor listrik meliputi kegiatan pembangkitan dan distribusi tenaga listrik baik yang diselenggarakan oleh PLN maupun non PLN. Cakupannya termasuk pula tenaga listrik produksi sampingan yang dihasilkan oleh perusahaanperusahaan perkebunan pertambangan, industri dan sektor lain kecuali dibangkitkan untuk digunakan oleh sektor itu sendiri. Produksi listrik merupakan jumlah kWh tenaga listrik yang dibangkitkan dan meliptui tenaga listrik terjual, digunakan sendiri serta susut dalam transmisi dan distribusi. Sektor gas mencakup kegiatan produksi dan penyediaan gas kota untuk dijual kepada sektor lain maupun ke rumah tangga. Gas kota diperoleh dari pembakaran batu bara dan residu kilang minyak serta proses penyaluran gas alam. Produksi utama berupa gas dan produknya berupa kokas dan ter. Sektor air minum mencakup kegiatan pembersihan, pemurnian dan proses kimiawi lainnya untuk menghasilkan air bersih, termasuk penyalurannya melalui pipa baik ke rumah tangga, ataupun ke sektor lain sebagai pemakai.
60
12. Sektor Bangunan Sektor bangunan mencakup kegiatan konstruksi yang dilakukan baik oleh kontraktor umum, yaitu perusahaan yang melakukan pekerjaan konstruksi untuk pihak lain, maupun oleh kontraktor khusus, yaitu unit usaha dan individu yang melakukan kegiatan konstruksi untuk dipakai sendiri seperti misalnya kantor pemerintah, kantor swasta rumah tangga, dan unit-unit perusahaan bukan perusahaan bangunan. 13. Sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran Kegiatan perdagangan meliputi pengumpulan barang dari produsen atau pelabuhan, impor, dan mendistribusikannya kepada konsumen tanpa mengubah bentuk barang tersebut. Kegiatan restoran pada umumnya menyediakan makanan dan minumam jadi yang dapat dinikmati langsung. Kegiatan perhotelan meliputi usaha penyediaan akomodasi untuk umum berupa tempat penginapan untuk jangka waktu relatif singkat. 14. Sektor Pengangkutan dan Komunikasi Meliputi kegiatan angkutan, jasa penunjang angkutan dan komunikasi. Kegiatan pengangkutan umumnya mengangkut barang dan penumpang dari suatu tempat ke tempat lain atas dasar suatu pembayaran. Komunikasi meliputi usaha jasa pos dan giro, komunikasi telepon, faksimili, telepon seluler, kegiatan pengiriman surat, wesel, dan lain-lain. 15. Sektor Keuangan, Persewaan, dan Jasa Perusahaan Terdiri dari sub-sektor bank, lembaga keuangan lainnya, sewa bangunan, dan jasa perusahaan. Sub-sektor bank mencakup kegiatan bank sentral dan bank
61
komersil baik yang dikelola oleh pemerintah maupun swasta yang memberikan jasa keuangan pada pihak lain. Sub-sektor lembaga keuangan lainnya mencakup kegiatan asuransi, dana pension, pegadaian, koperasi simpan pinjam, dan lembaga pembiayaan. Selain itu, kegiatan pasar modal, valuta asing, dan jasa penunjang misalnya pialang dan penjamin emisi juga merupakan kegiatan dari sub-sektor ini. Sub-sektor sewa bangunan mencakup kegiatan usaha persewaan bangunan dan tanah, baik yang menyangkut bangunan tempat tinggal maupun bukan tempat tinggal seperti perkantoran, pertokoan, apartemen, serta usaha persewaan tanah persil. Sub-sektor jasa perusahaan mencakup kegiatan pemberian jasa hukum, jasa akuntansi, jasa arsitek dan teknik, jasa periklanan, jasa riset pemasaran, serta jasa persewaan mesin dan peralatan. 16. Sektor Jasa-jasa Meliputi jasa pemerintahan umum dan pertahanan, jasa perbengkelan, jasa hiburan dan rekreasi, serta jasa perorangan dan rumah tangga.
IV. GAMBARAN UMUM PARIWISATA KOTA BANDUNG
4.1. Letak, Kondisi, dan Perkembangan Kota Bandung Kota Bandung merupakan Ibu Kota Provinsi Jawa Barat, dengan luas wilayah 17.000 ha, Kota Bandung merupakan kota terbesar ketiga di Indonesia. Bandung berasal dari kata bendung yang berarti bendungan atau dam. Menurut ilmu arkeologi, Ibukota Jawa Barat ini pada awalnya merupakan danau purba yang dikelilingi gugusan gunung. Kemudian airnya menyurut dan lambat laun berubah menjadi sebuah daratan. Jarak Bandung sekitar 180 km arah selatan dari Jakarta. Terletak pada 107°36' BT dan 6°55' LS, dan berada pada ketinggian 1050 m di atas permukaan laut (untuk bagian utara) dan 675 m di atas permukaan laut di bagian selatan. Temperatur rata-rata berkisar antara 18°C sampai 30°C dengan kelembaban ratarata 70%, dan rata-rata curah hujan pertahun 178,6 mm. Kondisi kelembaban dan curah hujan yang tinggi yang tinggi ini menjadikan udara di Kota Bandung menjadi dingin dan sejuk. Penduduk asli Kota Bandung merupakan suku sunda yang berbahasa daerah bahasa sunda sekaligus sebagai suku mayoritas di Kota Bandung. Letak geografis Kota Bandung menjadikannya kota besar di daerah pegunungan yang nyaman, berhawa sejuk, lengkap dengan panorama alam yang indah berkat dataran tinggi dan gunung-gunung di sekelilingnya. Di daerah pegunungan di sekitar Bandung terhampar permadani hijau perkebunan teh yang menutupi hampir setiap kaki gunung. Keindahan kota, kesejukan iklimnya,
63
keramahtamahan, juga kreatifitas penduduknya yang tinggi, menjadikan Bandung mempunyai citra dan tradisi tersendiri yang menjadi potensi daya tarik yang khas untuk dikunjungi. Oleh karena itu, tidak salah jika Berhiber alias Bersih, Hijau, Berbunga menjadi slogan penataan kota yang di zaman kolonial Belanda pernah dijuluki Mooi Bandung (Bandung Indah) ini. Julukan lain yang muncul pada 1920-an dan tidak kalah tenar adalah Paris van Java yang berarti Paris-nya Jawa, karena memang pada saat itu Kota Bandung disebut-sebut sebagai Eropanya daerah tropis. Perkembangan Kota Bandung semakin lama semakin pesat dan meluas. Hingga saat ini, Kota Bandung telah memiliki 5 fungsi kota sekaligus, yakni sebagai kota pemerintahan, perdagangan, industri, kebudayaan, dan pariwisata. Dari sisi pariwisata, banyak jenis wisata yang ditawarkan oleh Kota Bandung, yaitu antara lain wisata jajanan kuliner, wisata belanja, wisata alam, wisata sejarah, wisata seni dan budaya, bahkan wisata rohani. Keseriusan Kota Bandung dalam mengembangkan fungsinya sebagai kota pariwisata ditunjukkan dalam 7 prioritas kebijakan dalam Renstra 2004-2008 yang salah satunya menjadikan Kota Bandung sebagai Kota Seni dan Budaya Tahun 2008 serta menjadi kota tujuan wisata (Askary, 2009).
4.2. Jenis dan Lokasi Pariwisata di Kota Bandung Sebagai kota tujuan wisata, Kota Bandung memiliki beberapa jenis wisata yang bisa dinikmati oleh para wisatawan yang berkunjung ke Kota Bandung, jenis wisata tersebut antara lain:
64
1. Wisata belanja, sebagai kota yang terkenal akan produk fashion-nya, Kota Bandung menyuguhkan produk-produk pakaian, jeans, sepatu, tas, t-shirt, serta berbagai macam aksesoris pelengkap fashion lainnya. Produk-produk tersebut sebagian besar dijual melaui gerai atau toko yang disebut dengan FO (Factory Outlet), yaitu merupakan jenis outlet atau toko dimana produsen membuat dan menjual produk mereka langsung ke konsumen melalui merek mereka sendiri, atau merupakan produk sisa ekspor dari suatu merek terkenal. Selain FO, juga terdapat Distro, dimana produk yang ditawarkan lebih spesifik pada segmentasi anak muda. Beberapa tempat yang menjadi pusat FO antara lain: Jalan Setiabudi (Rumah Mode), Jalan R.E. Martadinata (Casecade, The Summit, Stamp, Renarity, Heritage dan lain-lain), Jalan Aceh (The Big Price Cut, Herreds, dan lain-lain), Jalan Ir. H. Juanda (Blossom, Happening, Up Town, dan lain-lain) Jalan Cihampelas (Super Hero, Paris Van Java, dan lain-lain). Sedangkan daerah yang menjadi pusat Distro antara lain: Jalan Trunojoyo (Screamous, Cosmic, Eat, Orca, dan lain-lain), Jalan R.E Martadinata (Mighty 18th Park), Jalan Buah Batu (Ouval Research), Jalan Cihampelas (Firebolt), Jalan Aceh (Air Plane) dan Jalan Dewi Sartika (Parahyangan Plaza). Selain FO dan Distro, terdapat juga beberapa pusat perbelanjaan antara lain: Bandung Indah Plaza (BIP) di Jalan Merdeka, Bandung Super Mal (BSM) di Jalan Jend. Gatot Subroto, Istana Plaza di Jalan Pasir Kaliki, Bandung Electronic Center di Jalan Purnawarman, Cihampelas Walk di Jalan Cihampelas, Bandung Trade Center, serta mal dan pusat perbelanjaan lainnya yang tersebar di Kota Bandung. Selain itu Kota Bandung juga memiliki sentra atau pusat
65
perdagangan yaitu antara lain, pusat pakaian dan sepatu kulit di Cibaduyut, pusat pakaian Jeans di Cihampelas, sentra t-shirt, sablon dan percetakan di Surapati, sentra kain atau tekstil di Cigondewah, dan sentra produk rajutan di Binong Jati. 2. Wisata Kuliner, Kota Bandung juga terkenal dengan jajanan khas dan tradisional yang bukan hanya terkenal di Kota Bandung saja melainkan pula ke luar Kota Bandung, Berbagai macam makanan tradisional Bandung terkenal sampai ke luar kota. Sebut saja: peuyeum, colenak, surabi, comro, cilok, cireng, misro, bala-bala, lotek, karedok, bajigur, bandrek, awug, batagor, gehu, bacang, dan jajanan tradisional lainnya. Sebagian besar jajanan Bandung dijual oleh pedagang kaki lima yang biasa berdagang di pusat-pusat keramaian seperti daerah Dalem Kaum, Karapitan, Burangrang, Gardujati, Cibadak, Astana Anyar, Otista, Pasar Baru, Dago, Cihampelas, Gatot Subroto, Cilaki, Kosambi, Cicadas, dan banyak lagi. Hampir setiap ruas jalan di Bandung tidak lengang dari pedagang kaki lima yang biasanya hanya menggunakan gerobak dorong atau tenda seadanya. Bandung juga merupakan tempat yang terbuka bagi makanan-makanan khas dari daerah lainnya. Hampir semua makanan khas tersedia di Bandung. Mulai sate padang, pempek palembang, taleus bogor, tahu sumedang, dodol garut, sampai martabak bangka, baso malang, dan nasi rawon dari Jawa Timur pun mudah ditemui di berbagai tempat. Selain jajanan rakyat yang murah meriah, Bandung terkenal juga dengan jajanan menengah ke atas semisal Soes Merdeka dan Molen Kartika Sari. Tempat jajanan lain yang lekat dengan Kota Bandung antara lain: Bubur Ayam Mang Oyo, Cendol Elisabeth,
66
Yoghurt Cisangkuy, Susu Murni Lembang, Surabi Aneka Rasa di Setia Budi. Restoran juga tersedia dengan berbagai masakan, dari masakan Sunda (Ponyo, Saung Kuring, Panyileukan, Sindang Reret dan lain-lain) Masakan Cina di sepanjang Jalan Sudirman, Braga, Naripan, dan Trunojoyo. Masakan Eropa di daerah Sukajadi dan Ciumbuleuit, dan juga masakan Jepang dan Korea. 3. Wisata alam, daerah wisata alam yang tersedia di Kota Bandung dan sekitarnya antara lain: Curug Dago, Kebun Binatang Bandung, Taman Hutan Raya Juanda, Pemandian Air Panas Maribaya, Kawah Tangkuban Perahu, Pemandian Air Panas Ciater, Kawah Putih, Kebun Teh di Lembang dan Pangalengan, serta tempat wisata alam lainnya. 4. Wisata seni, budaya, dan sejarah, Kota Bandung memiliki kawasan wisata kesenian. Selain itu juga banyak terdapat tempat dan gedung bersejarah, serta museum-museum yang dapat dijadikan tempat berwisata. Salah satu tempat wisata kesenian yang terkenal di Kota Bandung adalah Saung Angklung Udjo, yaitu suatu tempat pusat pertunjukan dan pendidikan kesenian khas sunda. Selain itu terdapat pula sanggar-sanggar seni dan budaya, pusat souvenir dan barang antik, serta galeri-galeri seni. Tempat, gedung bersejarah dan museum yang dimiliki Kota Bandung antara lain: Gedung Merdeka, Gedung Sate, Gedung Papak, gedung dan bangunan tua di kawasan Braga, Museum Sri Baduga, dan Mueum Geologi. 5. Wisata tujuan khusus, yang termasuk ke dalam wisata tujuan khusus di Kota Bandung antara lain: wisata rohani misalnya di pesantren Daarut Tahid dan
67
wisata MICE (meeting, incentive, conferention, and exhibition) yaitu kegiatan wisata dalam rangka untuk tujuan pertemuan, insentif, konferensi dan pameran.
4.3. Perkembangan Kunjungan Wisatawan ke Kota Bandung Sumbangan sektor pariwisata yang utama adalah mampu memberikan masukan devisa yang besar bagi negara. Sedangkan bagi daerah tujuan wisata banyak keuntungan yang didapat dari semua tamu (wisatawan) yang berkunjung ke daerahnya. Banyaknya wisatawan yang datang mampu memberikan nilai ekonomi tersendiri bagi daerah wisata maupun masyarakat di sekitarnya. Oleh karena itu, kedatangan wisatawan perlu didorong melalui program-program sosialisasi yang menarik (BPS Jawa Barat, 2008). Secara umum jumlah kunjungan wisatawan ke Kota Bandung dari periode tahun 2003 hingga tahun 2007 cenderung mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Dapat dilihat pada Tabel 4.1 pada tahun 2003 jumlah wisatawan domestik yang berkunjung ke Kota Bandung mencapai 1.618.660 orang yang terdiri dari 1.537.272 wisatawan domestik dan 81.388 orang wisatawan mancanegara. Selanjutnya pada tahun 2004, kunjungan wisatawan mengalami peningkatan sebesar 13,49 persen dibanding tahun 2003, yaitu sebesar 1.837.000 orang. Pada tahun 2005 jumlah wisatawan mengalami peningkatan, namun dengan persentase yang lebih kecil dibanding tahun sebelumnya, yaitu sebesar 5 persen. Pada tahun 2005 jumlah wisatawan domestik yang berkunjung ke Kota Bandung sebanyak 1.837.500 orang, sedangkan jumlah wisatawan mancanegara tercatat sebanyak 91.350 orang. Pada tahun 2006, terjadi penurunan yang cukup
68
drastis, dengan persentase penurunan sebanyak 31,39 persen, dengan total wisatawan sebanyak 1.323.441 orang. Penurunan jumlah wisatawan ini diduga diakibatkan oleh adanya tragedi bom bali 2 pada 1 Oktober 2005, sehingga terjadi pemberlakuan travel warning bagi wisatawan yang akan berkunjung ke Indonesia. Kunjungan wisatawan kembali meningkat secara drastis pada tahun 2007, dengan peningkatan sebesar 93,24 persen dengan total wisatawan mencapai 2.557.373 orang (Disbudpar Kota Bandung, 2008). Tabel 4.1. Kunjungan Wisatawan Domestik dan Mancanegara ke Kota Bandung Wisatawan (orang) Domestik Mancanegara 1.537.272 81.388 2003 1.750.000 87.000 2004 1.837.500 91.350 2005 1.241.416 82.025 2006 2.420.105 137.268 2007 Sumber: Disbudpar Kota Bandung, 2008 (diolah). Tahun
Jumlah 1.618.660 1.837.000 1.928.850 1.323.441 2.557.373
Pertumbuhan (%) 13,49 5,00 -31,39 93,24
4.4. Kondisi Hotel dan Restoran di Kota Bandung Jumlah usaha perhotelan di Kota Bandung selama periode tahun 2003 hingga tahun 2007 cenderung mengalami pertumbuhan yang cukup signifikan. Berdasarkan Tabel 4.2 pada tahun 2003 tercatat terdapat 210 hotel, yang terdiri dari 48 hotel berbintang dan sisanya sebanyak 162 hotel tidak berbintang (hotel melati). Pada tahun 2004 jumlah hotel menurun 7,14 persen menjadi 195 hotel, terdiri dari 48 hotel bintang dan 147 hotel melati. Selanjutnya pada tahun 2005, jumlah hotel bertambah menjadi 225 hotel atau meningkat drastis mencapai 15,38 persen. Penurunan jumlah hotel terjadi pada tahun 2006, yaitu menjadi 232 hotel atau mengalami penurunan sebanyak 3,11 persen. Penurunan jumlah hotel ini
69
menyebabkan berkurangnya jumlah kamar yang tersedia. Pada tahun 2007 jumlah usaha hotel kembali meningkat menjadi 240 hotel meningkat 3,45 persen dibandingkan tahun 2006 (232 hotel). Pada tahun 2007 terdapat 62 hotel hotel berbintang, sedangkan sisanya sebanyak 178 hotel merupakan hotel melati. Tabel 4.2. Jumlah Hotel dan Kamar yang Tersedia di Kota Bandung Tahun 20032007 Jumlah Hotel
Tahun
Bintang 48 48 52 58 62
2003 2004 2005 2006 2007
Melati 162 147 173 174 178
Jumlah Total Hotel 210 195 225 232 240
Pertumbuhan (%) -7,14 15,38 3,11 3,45
Jumlah Kamar Hotel Bintang Melati 4.392 3.302 4.247 3.520 4.511 3.359 5.090 3.992 5.200 4.301
Jumlah Total Kamar 7.694 7.767 7.870 9.082 9.501
Pertumbuhan (%) 0,94 1,32 15,4 4,6
Sumber: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Bandung, 2008 (diolah).
Jumlah usaha restoran di Kota Bandung dari periode tahun 2003 hingga 2007 mengalami peningkatan yang sangat pesat. Pada tahun 2003 jumlah usaha restoran tercatat sebanyak 207 restoran, kemudian jumlahnya meningkat menjadi 241 restoran pada tahun 2005. Selanjutnya pada tahun 2007 jumlahnya menjadi 312 restoran (Disbudpar Kota Bandung, 2008). Pesatnya pertumbuhan usaha restoran di Kota Bandung terjadi akibat semakin berkembangnya citra Kota Bandung sebagai kota tujuan wisata, dalam hal ini wisata kuliner. Hal ini mengakibatkan jumlah usaha restoran semakin meningkat seiring dengan semakin banyak wisatawan yang berkunjung ke Kota Bandung, khususnya untuk berwisata kuliner. Berdasarkan Tabel Input-Output Kota Bandung Tahun 2003 klasifikasi 53 sektor, sektor hotel melakukan pengalokasian output terbesar kepada sektor hotel itu sendiri yaitu sebesar Rp 207,329 miliar (69,2 persen). Selanjutnya, pengalokasian output terbesar kedua yaitu kepada sektor perdagangan sebesar Rp
70
81,558 miliar (27,2 persen). Sedangkan pengalokasian output terkecil yaitu kepada sektor ternak unggas dan hasilnya, dan sektor perikanan dan hasil perikanan lainnya dengan nilai masing-masing sebesar Rp 1 juta (0,000334 persen). Sektor hotel melakukan penggunaan input yang berasal dari beberapa sektor di Kota Bandung. Penggunaan input terbesar berasal dari sektor hotel itu sendiri sebesar Rp 207,329 miliar (69,2 persen), dan diurutan kedua penggunaan input berasal dari sektor bangunan dengan nilai sebesar Rp 21,410 (7,14 persen). Sedangkan yang terkecil berasal dari sektor industri kulit dan barang dari kulit (kecuali alas kaki) dengan nilai sebesar Rp 2 juta (0,000668 persen). Sektor restoran melakukan pengalokasian output terbesarnya kepada sektor perdagangan yaitu dengan nilai sebesar Rp 102,516 miliar (54,4 persen). Selanjutnya pengalokasian output kedua terbesar kepada sektor restoran itu sendiri sebesar Rp 71,796 miliar (38,1 persen). Sedangkan yang terkecil yaitu kepada sektor ubi jalar dan sayur-sayuran dengan nilai masing-masing sebesar Rp 1 juta (0,000531 persen). Dari sisi penggunaan input, sektor restoran paling banyak menggunakan input dari sektor restoran itu sendiri sebesar Rp 71,796 miliar (83,09 persen), kemudian diikuti penggunaan input dari sektor industri makanan, minuman, dan tembakau sebesar Rp 8,946 miliar (10,35 persen). Sedangkan yang terkecil yaitu input yang berasal dari sektor hasil pertanian lainnya sebesar Rp 1 juta (0,001157 persen).
71
4.5. Perkembangan Pendapatan Daerah Kota Bandung dari Sektor Hotel dan Restoran Melalui komponen pajak daerah, sektor hotel dan restoran merupakan sektor usaha pariwisata yang memiliki kontribusi sangat besar dalam penciptaan penerimaan daerah. Dibandingkan dengan penerimaan pajak dari sumber lainnya, sektor hotel dan merupakan sektor dengan realisasi pajak terbesar di Kota Bandung. Pada Tabel 4.3 dapat dilihat bahwa realisasi penerimaan pajak sektor hotel dan restoran selalu memiliki nilai terbesar dari tahun 2003 hingga 2007. Hal ini membuktikan bahwa kedua sektor ini sangat berperan dalam penciptaan PAD Kota Bandung. Tabel 4.3. Realisasi Penerimaan Pajak Daerah Kota Bandung Tahun 2003-2007 (dalam ribu Rupiah) Jenis Pajak Pajak Hotel Pajak Restoran Pajak Hiburan Pajak Reklame Pajak Penerangan Jalan Pajak Parkir Pajak Rumah Kost
2003 62.439.288 9.945.099 10.302.704 32.525.723 -
2004 65.675.225 30.741.746 10.120.894 16.211.576 37.942.246 2.860.381 2.916
2005 39.204.994 33.964.907 10.537.385 14.841.996 41.215.768 3.285.018 57.756
2006 44.521.528 35.957.306 11.477.230 26.103.432 42.937.687 3.668.523 115.705.
2007 58.738.446 48.472.392 15.805.311 23.416.691 39.717.958 4.324.153 -
Sumber: Dispenda Kota Bandung, 2008.
4.6. Perkembangan Penyerapan Tenaga Kerja Sektor Hotel dan Restoran Tahun 2003-2007 Penyerapan tenaga kerja pada sektor hotel dan restoran dari tahun 2003 hingga 2007 cenderung menunjukkan terjadinya peningkatan. Pada tahun 2003 tercatat sebanyak 8.664 orang tenaga kerja terserap pada sektor hotel atau sebesar 1,09 persen dari penyerapan total tenaga kerja. Sementara untuk sektor restoran memiliki jumlah yag lebih besar, yaitu sebanyak 42.250 orang tenaga kerja atau
72
sebanyak 5,31 persen dari total penyerapan tenaga kerja tahun 2003 sebanyak 796.186 orang tenaga kerja. Selanjutnya pada tahun 2004 jumlah tenaga kerja pada sektor hotel dan restoran mengalami peningkatan, dengan jumlah masingmasing sebanyak 8.754 orang dan 42.689 orang. Namun mengalami persentase yang menurun dibanding tahun sebelumnya, yaitu masing-masing sebesar 1,03 persen dan 5,05 persen. Memasuki tahun 2005 tenaga kerja yang terserap pada sektor hotel dan restoran tercatat masing-masing sebanyak 9000 orang dan 43.890 orang (Tabel 4.4). Tabel 4.4. Penyerapan Tenaga Kerja di Sektor-sektor Perekonomian Kota Bandung Tahun 2003-2007 Sektor
2003 Jumlah
2004 %
2005
Jumlah
%
Jumlah
2006 %
Jumlah
2007 %
Jumlah
%
1
10.640
1,34
11.580
1,37
22.645
2,52
8.031
0,95
2.675
0,31
2
224.741
28,23
193.965
22,93
229.038
25,52
224.138
26,49
211.118
24,09
3
5.914
0,74
6.948
0,82
2.588
0,29
13.269
1,57
663
0,08
4
46.149
5,80
54.426
6,43
50.466
5,62
44.287
5,23
45.785
5,23
5
243.683
30,61
243.683
28,81
253.141
28,21
244.144
28,85
265.694
30,32
6
8.664
1.09
8.754
1,03
9.000
1,00
8.679
1,03
9.447
1,08
7
42.250
5,31
42.689
5,05
43.890
4,89
42.325
5,00
46.066
5,26
8
42.009
5,28
48.057
5,68
58.230
6,49
45.005
5,32
38.987
4,45
9
32.528
4,09
53.268
6,30
49.819
5,55
38.372
4,53
37.550
4,29
10
139.608
17,53
177.174
20,94
178.572
19,90
177.893
21,02
218.273
24,91
Total
796.186
100
845.919
100
897.389
100
846.143
100
876.258
100
Sumber: BPS Kota Bandung, 2008. Keterangan: 1 = Pertanian 2 = Industri Pengolahan 3 = Listrik, Gas, Air Bersih 4 = Bangunan 5 = Perdagangan
6 = Hotel 7 = Restoran 8 = Transportasi dan Komunikasi 9 = Keuangan, Persewaan, Jasa Perusahaan 10 = Jasa-jasa
Sepanjang periode tahun 2003 hingga 2007, penurunan penyerapan tenaga kerja pada sektor hotel dan restoran terjadi pada tahun 2006. Pada tahun 2006 tercatat sebanyak 8.679 (1,03 persen) orang yang bekerja pada sektor hotel dan
73
42.325 (5 persen) orang bekerja pada sektor restoran dari total tenaga kerja sebanyak 846.143. Peningkatan penyerapan tenag kerja pada sektor hotel dan restoran kembali terjadi pada tahun 2007, yaitu sebanyak 9.447 orang tenaga kerja untuk sektor hotel dan 46.066 orang tenaga kerja untuk sektor restoran. Peningkatan penyerapan tenaga kerja pada sektor hotel dan restoran ini diharapkan mampu memberikan dampak penyerapan tenaga total yang besar pula.
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1. Struktur Perekonomian Kota Bandung Tahun 2003 5.1.1. Struktur Permintaan dan Penawaran Tabel Input-Output Kota Bandung 2003 klasifikasi 10 sektor memberikan gambaran bahwa jumlah permintaan antara di Kota Bandung pada tahun 2003 yaitu sebesar Rp 10,759 triliun. Tabel 5.1 memperlihatkan nilai permintaan antara dan permintaan akhir dari sektor-sektor usaha di Kota Bandung. Sektor industri pengolahan merupakan sektor yang memiliki kontribusi terbesar dalam pembentukan permintaan antara dengan nilai sebesar Rp 3,119 triliun atau sekitar 28,99 persen, urutan kedua ditempati oleh sektor transportasi dan komunikasi dengan permintaan antara sebesar Rp 2,166 triliun atau sekitar 20,13 persen. Untuk sektor pariwisata sendiri, sektor yang memiliki kontribusi paling besar dalam pembentukan permintaan antara adalah sektor hotel yaitu sebesar Rp 299,19 miliar atau sekitar 2,78 persen, sedangkan sektor restoran menempati urutan kedua dengan permintaan antara sebesar Rp 188,42 miliar atau sekitar 1,75 persen. Kecilnya kontribusi sektor hotel dan restoran terhadap pembentukan permintaan antara ini menunjukkan bahwa sebagian besar output kedua sektor tersebut tidak digunakan oleh sektor lain dalam proses produksi. Pada tahun 2003 jumlah permintaan akhir untuk Kota Bandung mencapai sebesar Rp 29,750 triliun. Sektor industri pengolahan merupakan sektor dengan nilai permintaan akhir yang terbesar dengan nilai Rp 11,114 triliun atau sekitar 37,36 persen. Sedangkan diurutan kedua ditempati oleh sektor perdagangan
75
dengan nilai permintaan akhir sebesar Rp 7,657 triliun atau sekitar 25,74 persen. Untuk sektor pariwisata, sektor restoran memiliki kontribusi terbesar dalam pembentukan permintaan akhir dengan nilai sebesar Rp 805,37 miliar atau sekitar 2,71 persen. Sedangkan sektor hotel memberikan kontribusi sebesar Rp 363,32 miliar atau sekitar 1,22 persen dalam pembentukan permintaan akhir. Tabel 5.1. Struktur Permintaan Antara dan Permintaan Akhir Kota Bandung Tahun 2003
0,31
Total Permintaan (juta Rp) 122.170
11.114.406
37,36
14.233.748
35,14
4,17
751.555
2,53
1.200.177
2,96
444.510
4,13
1.507.991
5,07
1.952.501
4,82
1.150.702
10,70
7.657.670
25,74
8.808.372
21,74
Hotel
299.191
2,78
363.328
1,22
662.519
1,64
Restoran
188.420
1,75
805.375
2,71
993.795
2,45
2.166.130
20,13
2.898.708
9,74
5.064.838
12,50
1.763.391
16,39
1.104.907
3,71
2.868.298
7,08
1.148.502
10,67
3.454.682
11,61
4.603.184
11,36
10.759.215
100
29.750.387
100
40.509.602
100
Sektor Pertanian Industri Pengolahan Listrik, Gas, Air Bersih Bangunan Perdagangan
Transportasi dan Komunikasi Keuangan, Persewaan, Jasa Perusahaan Jasa-jasa Total
Permintaan Antara (juta Rp) 30.405
0,28
Permintaan Akhir (juta Rp) 91.765
3.119.342
28,99
448.622
Persen
Persen
Persen 0,30
Sumber: Tabel Input-Output Kota Bandung Tahun 2003, Klasifikasi 10 Sektor (diolah).
5.1.2. Struktur Konsumsi Rumah Tangga dan Konsumsi Pemerintah Pada Tabel 5.2 ditunjukkan struktur konsumsi rumah tangga dan konsumsi pemerintah di Kota Bandung tahun 2003. Konsumsi rumah tangga Kota Bandung berdasarkan Tabel Input-Output tahun 2003 klasifikasi 10 sektor adalah sebesar Rp 9,344 triliun. Dari total tersebut, konsumsi masyarakat terbesar adalah sektor transportasi dan komunikasi sebesar Rp 2,066 triliun atau sebesar 22,12 persen
76
dari total konsumsi rumah tangga, kemudian diikuti oleh sektor industri pengolahan sebesar Rp 1,808 triliun atau sebesar 19,35 persen dari total konsumsi rumah tangga. Tabel 5.2. Konsumsi Rumah Tangga dan Konsumsi Pemerintah terhadap Sektorsektor Perekonomian Kota Bandung Tahun 2003 Konsumsi Konsumsi Rumah Tangga Pemerintah Sektor (juta Rp) (juta Rp) Jumlah % Jumlah % Pertanian 86.186 0,92 0 0,00 Industri Pengolahan 1.808.483 19,35 0 0,00 Listrik, Gas, Air Bersih 273.577 2,93 0 0,00 Bangunan 696.580 7,45 0 0,00 Perdagangan 1.513.793 16,20 0 0,00 Hotel 328.946 3,52 0 0,00 Restoran 533.080 5,71 0 0,00 Transportasi dan Komunikasi 2.066.539 22,12 0 0,00 Keuangan, Persewaan, Jasa Perusahaan 700.458 7,50 0 0,00 Jasa-Jasa 1.336.400 14,30 2.098.991 100 Jumlah 9.344.042 100 2.098.991 100 Sumber: Tabel Input-Output Kota Bandung Tahun 2003, Klasifikasi 10 Sektor (diolah)
Kontribusi dari sektor pariwisata sendiri pada komponen konsumsi rumah tangga yang terbesar adalah pada sektor restoran yaitu sebesar Rp 533,08 miliar atau 5,71 persen dari total konsumsi rumah tangga. Kemudian diikuti oleh sektor hotel sebesar Rp 328,946 miliar atau 3,52 persen. Sedangkan sektor yang terkecil adalah sektor pertanian dengan nilai konsumsi rumah tangga sebesar Rp 86,186 miliar. Nilai konsumsi masyarakat pada sektor hotel dan restoran menunjukkan bahwa kedua sektor ini mampu menjadi alternatif konsumsi masyarakat akan kebutuhan lain di luar kebutuhan sandang dan papan, yaitu pemenuhan kebutuhan akan rekreasi, suasana santai, relaksasi, serta pemenuhan kebutuhan-kebutuhan lain yang disediakan oleh sektor hotel dan restoran ini. Namun jika dilihat dari persentasenya, nilai konsumsi masyarakat pada kedua sektor ini relatif kecil,
77
mengingat bahwa produk dari sektor hotel dan restoran tergolong produk yang relatif mewah, sehingga hanya golongan masyarakat tertentu saja yang dapat mengkonsumsinya. Berdasarkan Tabel 5.2 juga dapat dilihat bahwa total konsumsi pemerintah sebesar Rp 2,098 triliun atau 100 persen dari total konsumsi pemerintah dialokasikan untuk sektor jasa-jasa. Nilai konsumsi pemerintah yang seluruhnya dialokasikan pada sektor jasa-jasa ini diduga terjadi karena pemerintah Kota Bandung berfokus pada peningkatan dan perbaikan pelayanan yang bersifat pemenuhan kebutuhan akan barang publik. Alokasi konsumsi pemerintah pada sektor jasa-jasa ini meliputi alokasi jasa pemerintahan umum dan pertahanan, jasa sosial dan kemasyarakatan, serta jasa lainnya. 5.1.3. Struktur Ekspor dan Impor Pada Tabel 5.3 dapat dilihat nilai ekspor barang dan jasa di Kota Bandung pada tahun 2003 adalah sebesar Rp 14,147 triliun. Dari total ekspor tersebut, nilai ekspor barang dan jasa terbesar dari sektor pariwisata yaitu pada sektor restoran sebesar Rp 272,295 miliar atau 1,92 persen dari total keseluruhan ekspor barang dan jasa di Kota Bandung. Sedangkan sektor hotel memiliki nilai ekspor sebesar Rp 34,382 miliar atau sebesar 0,24 persen dari total ekspor Kota Bandung. Dilihat dari sisi impor terhadap barang dan jasa, total impor Kota Bandung pada tahun 2003 mencapai Rp 5,855 triliun. Dari sektor pariwisata, sektor hotel memberikan kontribusi impor tertinggi yaitu sebesar Rp 140,775 miliar atau 2,40 persen dari total impor Kota Bandung. Sedangkan sektor restoran berkontribusi sebesar Rp 53,236 miliar atau sebesar 0,91 persen dari total impor Kota Bandung.
78
Berdasarkan Tabel 5.3 juga dapat dilihat bahwa selisih total antara ekspor dan impor barang dan jasa di Kota Bandung pada tahun 2003 memperlihatkan angka yang positif atau mengalami surplus perdagangan sebesar Rp 8,292 triliun. Untuk sektor pariwisata, sektor hotel memiliki nilai negatif atau mengalami defisit perdagangan, yaitu dengan nilai sebesar Rp 106,393 miliar. Sedangkan sektor restoran memiliki surplus perdagangan sebesar Rp 219,059 miliar. Nilai impor sektor hotel yang relatif lebih besar terhadap nilai ekspornya mengindikasikan bahwa sebagian besar input sektor hotel diperoleh dari luar Kota Bandung. Tabel 5.3. Kontribusi Ekspor dan Impor Sektor-sektor Perekonomian Kota Bandung Tahun 2003 Sektor
Ekspor (X) Jumlah % (juta Rp) 0 0,00
Impor (M) Jumlah % (juta Rp) 17.981 0,31
Selisih (X-M) Jumlah % (juta Rp) -17.981 -0,22
Pertanian Industri 7.575.826 53,55 2.816.399 48,10 4.759.427 57,40 Pengolahan Listrik, Gas, Air 477.978 3,38 308.740 5,27 169.238 2,04 Bersih Bangunan 0 0,00 327.714 560 -327.714 -3,95 Perdagangan 4.534.209 32,05 738.017 12,60 3.796.192 45,78 Hotel 34.382 0,24 140.775 2,40 -106.393 -1,28 Restoran 272.295 1,92 53.236 0,91 219.059 2,64 Transportasi dan 832.169 5,88 569.386 9,72 262.783 3,17 Komunikasi Keuangan, Persewaan, Jasa 404.449 2,86 243.515 4,16 160.934 1,94 Perusahaan Jasa-Jasa 16.262 0,11 639.653 10,92 -623.391 -7,52 Jumlah 14.147.570 100 5.855.416 100 8.292.154 100 Sumber: Tabel Input-Output Kota Bandung Tahun 2003, Klasifikasi 10 Sektor (diolah).
5.1.4. Struktur Nilai Tambah Bruto Nilai tambah bruto adalah balas jasa terhadap faktor produksi yang tercipta karena adanya kegiatan produksi. Dalam Tabel Input-Output Kota Bandung nilai
79
tambah bruto meliputi penerimaan upah dan gaji, surplus usaha (sewa bunga dan keuntungan), penyusutan, dan pajak tak langsung netto. Berdasarkan Tabel 5.4 dapat diketahui bahwa surplus usaha merupakan komponen pembentuk nilai tambah bruto dengan kontribusi paling besar dibanding komponen lainnya. Nilai surplus usaha mencapai Rp 11,559 triliun atau sebesar 48,37 persen dari total nilai tambah bruto. Kemudian selanjutnya urutan kedua ditempati oleh komponen upah dan gaji dengan nilai sebesar 9,520 triliun atau sebesar 39,84 persen dari total nilai tambah bruto. Penyusutan memiliki kontribusi sebesar Rp 1,943 triliun atau sebesar 8,14 persen dari total nilai tambah bruto. Pajak tak langsung merupakan komponen dengan kontribusi paling kecil diantara komponen-komponen lainnya. Komponen ini memiliki nilai sebesar Rp 796,132 miliar atau sekitar 3,33 persen dari total nilai tambah bruto. Sektor pariwisata yang memiliki kontribusi terbesar dalam pembentukan surplus usaha adalah sektor restoran dengan nilai 430,776 miliar. Sedangkan sektor hotel memiliki kontribusi sebesar Rp 123,009 miliar. Selanjutnya dari sisi pembentukan komponen upah dan gaji. Sektor pariwisata yang memiliki kontribusi terbesar dalam pembentukan komponen upah dan gaji adalah sektor restoran dengan nilai Rp 375,065 miliar. Sedangkan sektor hotel memiliki nilai sebesar Rp 76,913 miliar dalam membentuk komponen upah dan gaji. Dari komponen penyusutan, sektor restoran memiliki nilai sebesar Rp 24,747 miliar. Sedangkan sektor hotel memiliki kontribusi yang lebih kecil dari sektor restoran dalam membentuk komponen penyusutan, yaitu dengan nilai sebesar Rp 13,853 miliar. Komponen pajak tak langsung yang terbentuk dari sektor hotel dan
80
restoran masing-masing sebesar Rp 8,372 miliar dan 23,470 miliar. Dari data tersebut dapat diketahui bahwa sektor restoran memiliki nilai penyusutan yang lebih besar dibandingkan dengan sektor hotel. Tabel 5.4. Kontribusi Nilai Tambah Bruto Sektor-sektor Perekonomian di Kota Bandung Tahun 2003
1.
Upah dan Gaji (UG) (jutaRp) 26.938
Surplus Usaha (SU) (juta Rp) 57.258
2.
2.545.594
3.
Nilai Tambah Bruto (NTB) Jumlah % (juta Rp) 88.211 0,37
Rasio UG dan SU
Penyusutan (juta Rp)
0,47
2.687
Pajak Tak Langsung Netto (juta Rp) 1.328
3.842.973
0,66
552.626
284.352
7.225.545
30,24
200.166
219.762
0,91
72.517
44.521
536.966
2,25
4.
525.805
402.245
1,31
184.359
20.041
1.132.450
4,74
5.
2.163.226
3.899.921
0,55
262.603
311.878
6.637.628
27,78
6.
76.913
123.009
0,63
13.853
8.372
222.147
0,93
7.
375.065
430.776
0,87
24.747
23.470
854.058
3,57
8.
838.261
1.192.526
0,70
619.117
75.209
2.725.113
11,40
Sektor
9.
715.139
830.929
0,86
148.261
17.148
1.711.477
7,16
10.
2.053.390
559.851
3,67
63.228
9.813
2.761.925
11,56
Jumlah Persentase Terhadap NTB (%)
9.520.497
11.559.250
0,82
1.943.998
796.132
23.895.520
100
39,84
48,37
8,14
3,33
100
Sumber: Tabel Input-Output Kota Bandung Tahun 2003, Klasifikasi 10 Sektor (diolah). Keterangan: 1 = pertanian 2 = industri pengolahan 3 = listrik, gas, air bersih 4 = bangunan
5 = perdagangan 9 = keuangan, persewaan, 6 = hotel jasa perusahaan 7 = restoran 10 = jasa-jasa 8 = transportasi dan komunikasi
Nilai rasio komponen upah dan gaji dengan komponen surplus usaha dapat digunakan untuk mengukur keseimbangan distribusi pendapatan antara pemilik modal dan tenaga kerja. Distribusi pendapatan dikatakan seimbang apabila nilainya 1. Berdasarkan hasil analisis, dapat diketahui bahwa sektor hotel dan restoran memiliki rasio antara upah dan gaji dengan surplus usaha yang kurang dari 1. Dengan kondisi surplus usaha lebih besar dari upah dan gaji, hal ini menunjukkan distribusi pendapatan di Kota Bandung antara pemilik modal dan
81
pekerja belum merata, dengan kata lain terjadi ketimpangan pendapatan antara pemilik modal dengan pekerja. Hal ini menjadi tanggung jawab pemerintah dalam menetapkan kebijakan upah untuk mengatasi masalah kesenjangan ini. 5.1.5. Struktur Output Sektoral Nilai output total Kota Bandung tahun 2003 berdasarkan Tabel InputOutput Kota Bandung tahun 2003 sebesar 40,5 triliun. Nilai tersebut merupakan nilai produksi barang dan jasa sektor-sektor perekonomian di Kota Bandung. Pada Tabel 5.5 dapat dilihat bahwa nilai output sektoral terbesar dimiliki oleh sektor industri pengolahan, yaitu sebesar 14,23 triliun atau sebesar 35,14 persen dari total output sektoral. Selanjutnya sektor perdagangan menempati posisi kedua dengan nilai 21,74 persen. Untuk sektor pariwisata, sektor hotel memiliki nilai output sebesar 662,5 miliar atau sebesar 1,64 persen dari total output Kota Bandung, sedangkan sektor pariwisata memiliki nilai output sebesar 993,8 miliar atau sebesar 2,45 persen dari total output Kota Bandung. Tabel 5.5. Kontribusi Output Sektor-sektor Perekonomian Kota Bandung Tahun 2003 Jumlah Output Persen Sektor (juta Rupiah) (%) Pertanian 122.170 0,30 Industri Pengolahan 14.233.748 35,14 Listrik, Gas, Air Bersih 1.200.177 2,96 Bangunan 1.952.501 4,82 Perdagangan 8.808.372 21,74 Hotel 662.519 1,64 Restoran 993.795 2,45 Transportasi dan Komunikasi 5.064.838 12,50 Keuangan, Persewaan, Jasa Perusahaan 2.868.298 7,08 Jasa-jasa 4.603.184 11,36 Jumlah 40.509.602 100 Sumber: Tabel Input-Output Kota Bandung Tahun 2003, Klasifikasi 10 Sektor (diolah).
82
Sektor pertanian memiliki nilai output paling kecil diantara seluruh sektor di Kota Bandung. Kecilnya nilai output pertanian di Kota Bandung ini karena pembangunan ekonomi Kota Bandung lebih terfokus pada sektor industri, perdagangan, dan jasa. Kebutuhan masyarakat Kota Bandung akan produk pangan yang dihasilkan dari sektor pertanian sebagian besar diperoleh dari luar Kota Bandung.
5.2. Analisis Keterkaitan 5.2.1. Keterkaitan ke Depan Keterkaitan ke depan dibagi menjadi dua bagian, yang pertama yaitu keterkaitan langsung ke depan, dan yang kedua adalah keterkaitan langsung dan tidak langsung ke depan. Untuk keterkaitan langsung ke depan dapat diperoleh dari nilai koefisien teknis, sedangkan untukk nilai keterkaitan langsung dan tidak langsung ke depan dapat diperoleh dari matriks kebalikan Leontief terbuka dimana rumah tangga sebagai exogenous dari model. Pada Tabel 5.6 dapat dilihat bahwa keterkaitan langung ke depan dari sektor pariwisata dengan nilai terbesar pada sektor hotel. Sektor hotel memiliki nilai keterkaitan langsung ke depan sebesar 0,3238. Nilai keterkaitan tersebut menunjukkan keterkaitan langsung ke depan dari sektor tersebut terhadap sektorsektor ekonomi lainnya termasuk terhadap sektor itu sendiri. Nilai keterkaitan langsung ke depan sektor hotel sebesar 0,3238 tersebut berarti bahwa apabila terjadi peningkatan pada permintaan akhir sebesar Rp 1 juta, maka output sektor
83
hotel yang langsung dijual atau dialokasikan ke sektor lainnya termasuk sektor hotel itu sendiri akan meningkat sebesar Rp 0,3238 juta atau Rp 323.800. Keterkaitan langsung dan tidak langsung ke depan suatu sektor menunjukkan bahwa sektor tersebut memiliki keterkaitan baik langsung maupun tidak langsung ke depan terhadap sektor lainnya termasuk sektor itu sendiri. Sektor hotel memiliki nilai keterkaitan langsung dan tidak langsung ke depan sebesar 1,4751. Nilai tersebut berarti, bahwa apabila terjadi peningkatan permintaan akhir sebesar Rp 1 juta, maka output sektor hotel yang dijual atau dialokasikan baik secara langsung maupun tak langsung terhadap sektor lainnya termasuk sektor itu sendiri akan meningkat sebesar Rp 1,4751 juta atau Rp 1.475.100. Sektor restoran memiliki nilai keterkaitan langsung ke depan yang lebih rendah dibandingkan sektor hotel. Sektor restoran memiliki nilai keterkaitan langsung ke depan sebesar 0,0899. Artinya, apabila terjadi peningkatan permintaan akhir sebesar Rp 1 juta, maka output sektor restoran yang langsung dijual atau dialokasikan ke sektor lainnya termasuk sektor restoran itu sendiri akan mengalami peningkatan sebesar Rp 0,0899 juta atau Rp 89.900. Sedangkan untuk keterkaitan langsung dan tidak langsung ke depan, sektor restoran memiliki nilai sebesar 1,1026. Artinya, apabila terjadi peningkatan terhadap permintaan akhir sebesar Rp 1 juta, maka output sektor restoran yang langsung maupun tak langsung dijual atau dialokasikan ke sektor lainnya termasuk sektor restoran itu sendiri akan mengalami peningkatan sebesar Rp 1,1026 juta atau Rp 1.102.600.
84
Nilai keterkaitan langsung dan tidak langsung ke depan selalu memiliki nilai yang lebih besar dari satu karena sudah memperhitungkan output yang bersangkutan sebesar satuan. Sektor hotel memiliki nilai keterkaitan langsung dan tak langsung ke depan lebih besar dibandingkan sektor restoran. Hal ini mengindikasikan bahwa sektor hotel memiliki peran yang lebih besar dibanding sektor restoran. Yaitu, peran dalam memberikan ketersediaan output yang dihasilkannya untuk dijadikan input oleh sektor lain maupun sektor itu sendiri di Kota Bandung pada tahun 2003. Tabel 5.6.
Nilai Keterkaitan ke Depan Sektor-sektor Perekonomian di Kota Bandung Tahun 2003 Keterkaitan ke Depan Sektor Langsung dan Tidak Langsung Langsung 0,0246 Pertanian 1,0270 Industri Pengolahan 0,3620 1,4966 Listrik, Gas, Air Bersih 0,2554 1,3519 Bangunan 0,1997 1,2645 Perdagangan 0,1627 1,2146 Hotel 0,3238 1,4751 Restoran 0,0899 1,1026 Transportasi dan Komunikasi 0,4628 1,7282 Keuangan, Persewaan, Jasa Perusahaan 0,4500 1,7109 Jasa-Jasa 0,2724 1,3951
Sumber: Tabel Input-Output Kota Bandung Tahun 2003, Klasifikasi 10 Sektor (diolah).
5.2.2. Keterkaitan ke Belakang Nilai keterkaitan ke belakang menunjukkan seberapa besar nilai input yang dibutuhkan oleh suatu sektor (baik berasal dari sektor lain maupun sektor itu sendiri) jika terjadi peningkatan permintaan akhir sebesar satu satuan moneter. Berdasarkan Tabel 5.7 dapat diketahui bahwa nilai keterkaitan langsung ke belakang untuk sektor hotel sebesar 0,4522 sedangkan sektor restoran memiliki
85
nilai yang lebih kecil yaitu sebesar 0,0869. Nilai tersebut memiliki arti apabila terjadi peningkatan permintaaan akhir sebesar Rp 1 juta, maka sektor hotel akan secara langsung meningkatkan permintaan inputnya terhadap sektor lainnya termasuk sektor itu sendiri di Kota Bandung sebesar Rp 0,4552 juta atau Rp 455.200. Begitu pula dengan sektor restoran, apabila terjadi peningkatan permintaan akhir sebesar Rp 1 juta, maka akan secara langsung meningkatkan permintaan inputnya terhadap sektor lain maupun sektor itu sendiri sebesar Rp 0,0869 juta atau Rp 86.900. Tabel 5.7. Nilai Keterkaitan ke Belakang Sektor-sektor Perekonomian di Kota Bandung Tahun 2003 Keterkaitan ke Belakang Sektor Langsung dan Tidak Langsung Langsung Pertanian 0,1306 1,1706 Industri Pengolahan 0,2945 1,4034 Listrik, Gas, Air Bersih 0,2953 1,4207 Bangunan 0,2522 1,3501 Perdagangan 0,1626 1,2325 Hotel 0,4522 1,7408 Restoran 0,0869 1,0994 Transportasi dan Komunikasi 0,3495 1,5227 Keuangan, Persewaan, Jasa Perusahaan 0,3185 1,4613 Jasa-Jasa 0,2611 1,3651 Sumber: Tabel Input-Output Kota Bandung Tahun 2003, Klasifikasi 10 Sektor (diolah)
Nilai keterkaitan langsung dan tidak langsung ke belakang untuk sektor hotel sebesar 1,7408 dan untuk sektor restoran sebesar 1,0994. Nilai keterkaitan tersebut memiliki arti bahwa apabila terjadi peningkatan permintaan akhir sebesar Rp 1 juta, maka sektor hotel akan meningkatkan permintaan inputnya terhadap sektor lainnya baik secara langsung maupun tak langsung sebesar Rp 1,7408 juta atau Rp 1.740.800. Dengan kondisi yang sama, maka sektor restoran akan
86
meningkatkan permintaan inputnya terhadap sektor lain baik secara langsung maupun tak langsung sebesar Rp 1,0994 juta atau Rp 1.099.400. Apabila nilai keterkaitan ke belakang dibandingkan dengan nilai keterkaitan ke depan, maka didapatkan bahwa nilai keterkaitan ke belakang sektor hotel ternyata lebih besar daripada nilai keterkaitan ke depannya. Hal ini menunjukkan bahwa sektor pariwisata di Kota Bandung khususnya sektor hotel lebih banyak berperan sebagai sektor yang membutuhkan input dari sektor lain, daripada mengalokasikan outputnya untuk dijadikan input bagi sektor lain. Oleh karena itu, output sektor hotel cenderung dijadikan sebagai permintaan akhir, karena output sektor ini lebih bersifat konsumsi langsung. Semakin besar nilai keterkaitan ke belakang suatu sektor, mengindikasikan bahwa sektor tersebut masih bergantung pada output yang dihasilkan oleh sektor di Kota Bandung sendiri. Sedangkan apabila nilai keterkaitan ke belakang suatu sektor tersebut semakin kecil maka semakin besar ketergantungan sektor tersebut terhadap output yang berasal dari luar Kota Bandung (impor).
5.3. Analisis Dampak Penyebaran Untuk mengetahui sektor mana saja yang mempunyai kemampuan untuk mendorong pertumbuhan sektor-sektor hulu atau hilir baik melalui mekanisme transaksi pasar output dan pasar input, dapat dianalisis berdasarkan koefisien penyebaran dan kepekaan penyebaran. Nilai koefisien penyebaran merupakan keterkaitan ke belakang langsung dan tidak langsung yang diboboti dengan jumlah sektor kemudian dibagi dengan total keterkaitan langsung dan tidak
87
langsung semua sektor. Sedangkan nilai kepekaan penyebaran merupakan keterkaitan ke depan langsung dan tidak langsung yang diboboti dengan jumlah sektor kemudian dibagi dengan total keterkaitan langsung dan tidak langsung semua sektor. 5.3.1. Koefisien Penyebaran Koefisien penyebaran adalah keterkaitan langsung dan tidak langsung ke belakang yang diboboti jumlah sektor lalu dibagi dengan total keterkaitan langsung dan tidak langsung semua sektor. Koefisien penyebaran menunjukkan efek relatif yang ditimbulkan oleh keterkaitan langsung dan tidak langsung ke belakang antar suatu sektor dengan semua sektor. Dengan kata lain, efek yang ditimbulkan suatu sektor karena peningkatan output sektor lain yang digunakan sebagai input oleh sektor tersebut baik secara langsung maupun tidak langsung. Pada Tabel 5.8 dapat diketahui nilai koefisien penyebaran untuk sektor hotel sebesar 1,2645. Nilai koefisien penyebaran untuk sektor hotel ini lebih besar dari 1, maka sektor hotel memiliki koefisien penyebaran yang tinggi. Artinya, sektor hotel mampu untuk meningkatkan pertumbuhan sektor hulunya. Nilai koefisien penyebaran untuk sektor restoran lebih kecil dibandingkan dengan hotel. Nilai koefisien penyebaran sektor restoran bahkan memiliki nilai terkecil dibandingkan dengan sektor-sektor lainnya. Dapat dilihat nilai koefisien penyebaran sektor restoran sebesar 0,7986. Nilai tersebut lebih kecil dari 1, sehingga sektor restoran ini memiliki koefisien penyebaran yang rendah. Artinya, sektor restoran ini kurang mampu untuk meningkatkan sektor hulunya.
88
Tabel 5.8. Nilai Koefisien Penyebaran dan Kepekaan Penyebaran Sektor-sektor Perekonomian Kota Bandung Tahun 2003 Koefisien Kepekaan No Sektor Penyebaran Penyebaran 1. Pertanian 0,8503 0,7460 2. Industri Pengolahan 1,0194 0,7405 3. Listrik, Gas, Air Bersih 1,0320 0,7496 4. Bangunan 0,9807 0,9185 5. Perdagangan 0,8953 0,8823 6. Hotel 1,2645 1,0715 7. Restoran 0,7986 0,8009 8. Transportasi dan Komunikasi 1,1061 1,2554 9. Keuangan, Persewaan, Jasa Perusahaan 1,0615 1,2428 10. Jasa-Jasa 0,9916 1,0134 Sumber: Tabel Input-Ouput Kota Bandung Tahun 2003, Klasifikasi 10 Sektor (diolah)
5.3.2. Kepekaan Penyebaran Kepekaan penyebaran adalah keterkaitan output langsung dan tidak langsung ke depan yang diboboti dengan jumlah sektor kemudian dibagi total keterkaitan langsung dan tidak langsung semua sektor. Berdasarkan Tabel 5.8 di atas, sektor pariwisata yang memiliki nilai kepekaan penyebaran paling besar adalah sektor hotel dengan nilai 1,0715. Nilai kepekaan penyebaran suatu sektor yang lebih besar dari 1 mengindikasikan bahwa sektor tersebut memiliki kepekaan penyebaran yang tinggi. Artinya, sektor hotel mampu untuk mendorong pertumbuhan sektor hilirnya. Sektor restoran memiliki nilai kepekaan penyebaran sebesar 0,8009. Nilai kepekaan penyebaran suatu sektor yang lebih kecil dari 1 mengindikasikan bahwa sektor tersebut memiliki kepekaan penyebaran yang rendah. Artinya, sektor restoran tersebut kurang mampu mendorong pertumbuhan sektor hilirnya.
89
Jika dibandingkan antara nilai koefisien penyebaran dengan kepekaan penyebaran. Maka untuk sektor hotel, nilai kepekaan penyebaran memiliki proporsi yang lebih kecil. Hal ini berarti kemampuan sektor hotel dalam menarik sektor hulunya lebih besar dibandingkan dengan kemampuannya dalam mendorong sektor hilirnya. Namun hal sebaliknya terjadi pada sektor restoran, yaitu nilai kepekaan penyebaran lebih besar dibandingkan dengan nilai koefisien penyebarannya. Hal ini berarti bahwa sektor restoran memiliki kemampuan yang lebih kecil dalam menarik sektor hulunya dibandingkan dengan kemampuannya mendorong sektor hilirnya.
5.4. Analisis Multiplier Analisis multiplier atau analisis pengganda digunakan untuk melihat apa yang akan terjadi terhadap variabel-variabel endogen tertentu apabila terjadi perubahan dalam variabel-variabel eksogen, seperti variabel permintaan akhir pada analisis Input-Output sisi permintaan dan variabel input primer pada analisis Input-Output sisi penawaran. Ada dua jenis tipe pengganda atau multiplier yaitu multiplier tipe I dan multiplier tipe II. Multiplier tipe I yang dapat diperoleh dari pengolahan lebih lanjut matriks kebalikan Leontief terbuka dan multiplier tipe II yang dapat diperoleh dari matriks kebalikan Leontief tertutup. Nilai multiplier tipe I ini menunjukkan bahwa apabila terjadi kenaikan variabel eksogen sebesar satu satuan maka variabel endogen di seluruh sektor perekonomian akan meningkat sebesar nilai tersebut. Nilai
90
multiplier tipe II ini menunjukkan bahwa jika terjadi kenaikan variabel eksogen maka variabel endogen akan meningkat, setelah adanya efek induksi dari rumah tangga. Nilai multiplier tipe II selalu lebih besar dari multiplier tipe I, hal tersebut terjadi karena pada multiplier tipe II sudah memperhitungkan konsumsi rumah tangga. 5.4.1. Multiplier Output Berdasarkan Tabel 5.9, dapat dilihat nilai multiplier output untuk sektorsektor perekonomian di Kota Bandung. Apabila dilihat dari nilai multiplier tipe I, sektor hotel menempati peringkat tertinggi dibandingkan dengan sektor lainnya, yaitu dengan nilai sebesar 1,7408. Nilai ini berarti bahwa jika terjadi peningkatan permintaan akhir terhadap sektor hotel sebesar Rp 1 juta maka output pada sektorsektor lainnya akan meningkat sebesar Rp 1,7408 juta. Selanjutnya posisi kedua terbesar ditempati oleh sektor transportasi dan komunikasi dengan nilai sebesar 1,5227. Sementara itu, sektor restoran memiliki nilai multiplier output tipe I sebesar 1,0994. Nilai ini berarti bahwa jika terjadi peningkatan permintaan akhir terhadap sektor restoran sebesar Rp 1 juta maka output pada sektor-sektor lainnya akan meningkat sebesar Rp 1,0994 juta. Apabila efek konsumsi masyarakat diperhitungkan dengan memasukkan rumah tangga ke dalam model maka didapat nilai multiplier tipe II yang nilainya selalu lebih besar dari nilai multiplier tipe I. Pada Tabel 5.9 dapat diketahui bahwa ternyata sektor jasa-jasa menempati peringkat pertama terbesar dengan nilai multiplier tipe II sebesar 2,5573. Nilai tersebut mengandung arti bahwa jika terjadi peningkatan konsumsi rumah tangga yang bekerja pada sektor tersebut
91
sebesar Rp 1 juta, maka output seluruh sektor perekonomian akan meningkat sebesar Rp 2,5573 juta. Selanjutnya peringkat kedua ditempati oleh sektor keuangan, persewaan, dan jasa perusahaan dengan nilai sebesar 2,2443. Dari sektor pariwisata sendiri, sektor hotel memiliki nilai sebesar 2,2291. Nilai multiplier tipe II tersebut memiliki arti bahwa jika terjadi peningkatan konsumsi rumah tangga yang bekerja di sektor hotel sebesar Rp 1 juta maka output pada semua sektor akan meningkat sebesar Rp 2,2291 juta. Sementara sektor restoran memiliki nilai yang lebih kecil yaitu sebesar 1,9607. Tabel 5.9. Nilai Multiplier Output Sektor-sektor Perekonomian Kota Bandung Tahun 2003 Sektor
Pertanian Industri Pengolahan Listrik,Gas, Air Bersih Bangunan Perdagangan Hotel Restoran Transportasi dan Komunikasi Keuangan, Persewaan, Jasa Perusahaan Jasa-jasa
Dampak Awal
Efek Putaran Pertama
Efek Dukungan Industri
Efek Induksi Konsumsi
1.0000
0.1306
0.0400
0.5424
1.0000
0.2945
0.1088
1.0000
0.2953
1.0000 1.0000 1.0000 1.0000
Elastisitas
Multiplier Tipe I
Multiplier Tipe II
1.7130
0.0782
1.1706
1.7130
0.5471
1.9505
1.2751
1.4034
1.9505
0.1254
0.5135
1.9341
0.7703
1.4207
1.9341
0.2522 0.1626 0.4522 0.0869
0.0980 0.0699 0.2886 0.0124
0.7484 0.6252 0.4882 0.8613
2.0985 1.8577 2.2291 1.9607
0.8721 1.2958 0.1157 0.5373
1.3501 1.2325 1.7408 1.0994
2.0985 1.8577 2.2291 1.9607
1.0000
0.3495
0.1731
0.5705
2.0932
0.3439
1.5227
2.0932
1.0000
0.3185
0.1429
0.7830
2.2443
0.3164
1.4613
2.2443
1.0000
0.2611
0.1040
1.1922
2.5573
1.1768
1.3651
2.5573
Total
Sumber: Tabel Input-Output Kota Bandung Tahun 2003, Klasifikasi 10 Sektor (diolah).
5.4.2. Multiplier Pendapatan Dalam klasifikasi 10 sektor perekonomian di Kota Bandung, dapat dilihat pada Tabel 5.10 nilai multiplier pendapatan untuk sektor-sektor tersebut. Sektor hotel memberikan kontribusi tertinggi dalam pembentukan multiplier pendapatan baik pada tipe I maupun tipe II, yaitu dengan nilai sebesar 2,0078 dan 3,0259. Nilai multiplier pendapatan tipe I untuk sektor hotel tersebut memiliki arti bahwa
92
jika terjadi peningkatan permintaan akhir sektor hotel sebesar Rp 1 juta maka akan meningkatkan pendapatan rumah tangga di semua sektor perekonomian sebesar Rp 2,0078 juta. Sementara arti dari nilai multiplier pendapatan tipe II pada sektor hotel yaitu jika terjadi peningkatan konsumsi rumah tangga yang bekerja pada sektor hotel sebesar Rp 1 juta, maka pendapatan di seluruh sektor perekonomian akan meningkat sebesar Rp 3,0259 juta. Tabel 5.10. Nilai Multiplier Pendapatan Sektor-sektor Perekonomian Kota Bandung Tahun 2003 Sektor
Pertanian Industri Pengolahan Listrik, Gas, Air Bersih Bangunan Perdagangan Hotel Restoran Transportasi dan Komunikasi Keuangan, Persewaan, Jasa Perusahaan Jasa-jasa
Dampak Awal
Efek Putaran Pertama
Efek Dukungan Industri
Efek Induksi Konsumsi
0.2205
0.0295
0.0089
0.1313
0.1788
0.0592
0.0231
0.1668
0.0534
0.2693 0.2456 0.1161 0.3774
Elasitisitas
Multiplier Tipe I
Multiplier Tipe II
0.3903
0.0808
1.1742
1.7695
0.1324
0.3936
1.439
1.4605
2.2011
0.0249
0.1243
0.3694
0.8822
1.4697
2.2149
0.0639 0.0369 0.0676 0.0302
0.0241 0.016 0.0494 0.0036
0.1812 0.1513 0.1182 0.2085
0.5385 0.4498 0.3513 0.6197
0.8309 1.2776 0.157 0.4499
1.3268 1.2153 2.0078 1.0894
1.9995 1.8315 3.0259 1.6418
0.1655
0.0687
0.0382
0.1381
0.4105
0.4075
1.6457
2.4802
0.2493
0.0859
0.0386
0.1895
0.5634
0.3186
1.4994
2.2597
0.4461
0.093
0.0301
0.2886
0.8578
0.8849
1.2761
1.9231
Total
Sumber: Tabel Input-Output Kota Bandung Tahun 2003, Klasifikasi 10 Sektor (diolah).
Sektor transportasi dan komunikasi menempati peringkat kedua dalam pembentukan multiplier pendapatan baik pada tipe I, maupun pada tipe II dengan nilai sebesar 1,6457 dan 2,4802. Sedangkan sektor restoran memiliki nilai kontribusi terkecil dibanding sektor lainnya dalam pembentukan multiplier pendapatan baik pada tipe I, maupun pada tipe II dengan nilai sebesar 1,0894 dan 1,6418. Nilai multiplier pendapatan tipe I pada sektor restoran berarti bahwa jika terjadi peningkatan permintaan akhir sektor restoran sebesar Rp 1 juta, maka akan meningkatkan pendapatan rumah tangga di seluruh sektor perekonomian sebesar
93
Rp 1,0894 juta. Sedangkan arti nilai multiplier tipe II pada sektor restoran yaitu jika terjadi peningkatan konsumsi rumah tangga yang bekerja pada sektor restoran sebesar Rp 1 juta, maka akan pendapatan di seluruh sektor perekonomian akan meningkat sebesar Rp 1,6418 juta. 5.4.3. Multiplier Tenaga Kerja Berdasarkan hasil analisis multiplier tenaga kerja yang terangkum dalam Tabel 5.11, dapat dilihat bahwa nilai multiplier tenaga kerja terbesar baik pada tipe I maupun tipe II dimiliki oleh sektor listrik, gas, air bersih dengan nilai sebesar 5,4978 dan 25,1061. Nilai multiplier tenaga kerja tipe I untuk sektor listrik, gas, air bersih tersebut berarti bahwa jika terjadi peningkatan permintaan akhir pada sektor tersebut tersebut sebesar Rp 1 juta, maka akan terjadi penyerapan tenaga kerja di seluruh sektor perekonomian sebanyak 5 orang tenaga kerja. Sedangkan nilai multiplier tipe II tersebut berarti bahwa jika terjadi penyerapan tenaga kerja pada sektor listrik, gas, air bersih sebanyak 1 orang tenaga kerja, maka akan terjadi penyerapan tenaga kerja di seluruh sektor perekonomian sebanyak 25 orang tenaga kerja. Peringkat kedua ditempati oleh sektor transportasi dan komunikasi baik pada multiplier tenaga kerja tipe I maupun tipe II dengan nilai masing-masing sebesar 1,811 dan 3,375. Untuk sektor pariwisata, sektor hotel memiliki nilai sebesar 1,7869 untuk multiplier tipe I. Sedangkan sektor restoran memiliki nilai multiplier tenaga kerja tipe I sebesar 1,0861. Nilai multiplier tenaga kerja tipe I menunjukkan bahwa sektor hotel akan menciptakan lapangan kerja untuk 1,7869 orang atau dibulatkan menjadi 2 orang tenaga kerja di semua sektor perekonomian jika permintaan akhir
94
sektor tersebut meningkat sebesar Rp 1 juta. Sedangkan dengan adanya peningkatan permintaan akhir sebesar Rp 1 juta pada sektor restoran, maka akan menciptakan lapangan kerja untuk 1 orang tenaga kerja. Tabel 5.11. Sektor
Pertanian Industri Pengolahan Listrik, Gas, Air Bersih Bangunan Perdagangan Hotel Restoran Transportasi dan Komunikasi Keuangan, Persewaan, Jasa Perusahaan Jasa-jasa
Nilai Multiplier Tenaga Kerja Sektor-sektor Perekonomian Kota Bandung Tahun 2003 Dampak Awal
Efek Putaran Pertama
Efek Dukungan Industri
Efek Induksi Konsumsi
0.0219
0.003
0.0008
0.0114
0.0148
0.0054
0.0019
0.0006
0.0014
0.0234 0.0302 0.0143 0.0464
0.0052 0.0029 0.0068 0.0036
0.0077
Elastisitas
Multiplier Tipe I
Multiplier Tipe II
0.0371
0.0774
1.1722
1.6947
0.0115
0.0336
1.482
1.4887
2.2669
0.0011
0.0108
0.0139
9.9993
5.4978
25.1061
0.0018 0.0012 0.0044 0.0004
0.0158 0.0132 0.0103 0.0182
0.0462 0.0475 0.0358 0.0685
0.8196 1.0976 0.1302 0.405
1.2989 1.1362 1.7869 1.0861
1.9722 1.5735 2.5093 1.4781
0.0039
0.0024
0.012
0.026
0.5545
1.8113
3.375
0.0131
0.0056
0.0027
0.0165
0.0379
0.4083
1.6342
2.8961
0.0474
0.009
0.0026
0.0252
0.0842
0.817
1.2451
1.7756
Total
Sumber: Tabel Input-Output Kota Bandung Tahun 2003, Klasifikasi 10 Sektor (diolah).
Pada multiplier tenaga kerja tipe II, sektor hotel memiliki nilai sebesar 2,5093. Sedangkan sektor restoran sebesar 1,4781. Nilai tersebut memiliki arti bahwa apabila terjadi penyerapan tenaga kerja di sektor hotel sebanyak 1 orang tenaga kerja maka akan mempunyai dampak terhadap peningkatan lapangan kerja sebanyak 2,5093 orang atau dibulatkan menjadi 3 orang tenaga kerja di seluruh sektor perekonomian. Begitu juga yang terjadi pada sektor restoran, yaitu apabila terjadi penyerapan tenaga kerja di sektor restoran sebanyak 1 orang, maka akan mempunyai dampak terhadap peningkatan lapangan kerja sebanyak 1 orang tenaga kerja di seluruh sektor perekonomian. Dengan demikian dengan memperhatikan efek multiplier tenaga kerja, dapat dikatakan bahwa sektor hotel
95
memiliki kemampuan yang lebih besar dalam menyerap tenaga kerja di Kota Bandung dibandingkan dengan sektor restoran.
5.5.
Regulasi dan Kebijakan Pemerintah untuk Mengatur dan Mendukung Sektor Pariwisata Sektor pariwisata terbukti sangat berperan positif dalam perekonomian
nasional. Baik pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam hal ini pemerintah Kota Bandung telah menetapkan regulasi dan kebijakan untuk mendukung dan mengatur pelaksanaan industri pariwisata. Langkah yang diambil pemerintah dalam kebijakan dan regulasi ini dilakukan agar potensi pariwisata yang dimiliki dapat tergali secara optimal sehingga mampu berkontribusi positif pada perekonomian. Berdasarkan Undang-undang Nomor 10 Tahun 2009, pembangunan dan pelaksanaan pariwisata bertujuan untuk (pasal 4): (1) meningkatkan pertumbuhan ekonomi, (2) meningkatkan kesejahteraan rakyat, (3) mengahapus kemiskinan, (4) mengatasi pengangguran, (5) melestarikan alam, lingkungan, dan sumberdaya, (6) memajukan kebudayaan, (7) mengangkat citra bangsa, (8) memupuk rasa cinta tanah air, (9) memperkukuh jati diri dan kesatuan bangsa, dan (10) mempererat persahabatan antar bangsa. Disebutkan pula bahwa pembangunan kepariwisataan dilakukan berdasarkan rencana induk pembangunan kepariwisataan nasional, rencana induk pembangunan provinsi, dan rencana induk pembangunan kepariwisataan Kabupaten/Kota (pasal 8). Dari penjelasan ini, pemerintah Kabupaten/Kota dalam hal ini pemerintah Kota Bandung, juga memiliki wewenang dalam mengatur rencana pembangunan kepariwisataan daerahnya.
96
Dalam pasal 9 pula dijelaskan bahwa rencana induk pembangunan kepariwisataan meliputi perencanaan pembangunan industri pariwisata, destinasi wisata, pemasaran, dan kelembagaan pariwisata. Dalam hal ini, sektor hotel dan restoran merupakan bagian dari industri pariwisata. Pemerintah Kabupaten dan Kota juga diberikan diberikan kewenangan untuk mendorong Penanaman Modal Dalam Negeri (PMA) dan Penanaman Modal Asing (PMA) di bidang pariwisata sesuai dengan pasal 10 yang berbunyi “pemerintah dan pemerintah daerah mendorong PMDN dan PMA di bidang kepariwisataan sesuai dengan rencana induk pembangunan kepariwisataan nasional, Provinsi, dan Kabupaten/Kota”. Pemerintah dan pemerintah daerah juga wajib mengembangkan dan melidungi usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi dalam bidang usaha pariwisata dengan cara: (1) membuat pencadangan usaha pariwisata UMKM dan koperasi, (2) memfasilitasi kemitraan UKM dengan usaha skala besar (pasal 13). Dalam pasal 30 dijelaskan kewenangan pemerintah Kabupaten dan Kota yaitu antara lain: menyusun dan menetapkan rencana induk pembangunan kepariwisataan Kabupaten/Kota, menetapkan destinasi wisata, menetapkan daya tarik wisata, menetapkan anggaran kepariwisataan dan lain-lain yang dijelaskan pada pada pasal 30. Tindakan promosi pariwisata merupakan salah satu cara untuk membangun dan mengembangkan potensi wisata yang dimiliki. Pemrintah Kota Bandung dapat menyelenggarakan promosi pariwisata baik di dalam negeri maupun di luar sesuai dengan Peraturan Daerah (Perda) Kota Bandung Nomor 688 Tahun 2005 tentang Badan Pembinaan dan Promosi Kepariwisataan Kota
97
Bandung pada pasal 11, dana yang digunakan dari seluruh kegiatan tersebut berasal dari APBD Kota Bandung serta sumber lain yang sah dan tidak mengikat. Pajak hotel dan restoran merupakan pajak daerah di Kota Bandung yang memiliki realisasi tertinggi dalam pembentukan PAD Kota Bandung. Regulasi yang mengatur penetapan pajak hotel dan restoran di Kota Bandung diatur oleh Perda. Perda Kota Bandung Nomor 2 Tahun 2003 tentang Pajak Hotel menetapkan besarnya pajak bagi usaha hotel sebesar 10 persen dari jumlah pembayaran kepada hotel. Penetapan pajak restoran sebesar 10 persen dari jumlah pembayaran kepada restoran diatur oleh Perda Nomor Nomor 3 Tahun 2003 tentang Pajak Restoran. Keseriusan pemerintah Kota Bandung dalam mengembangkan pariwisata di Kota Bandung ditunjukkan dalam tujuh program prioritas Kota Bandung dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM). Salah satu dari tujuh program prioritas tersebut pada poin kelima yaitu menjadikan Kota Bandung sebagai kota seni, budaya, dan wisata.
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan 1.
Sektor hotel memiliki keterkaitan ke belakang yang lebih tinggi daripada nilai keterkaitan ke depannya. Hal ini menunjukkan bahwa sektor hotel di Kota Bandung lebih banyak berperan sebagai sektor yang membutuhkan input dari sektor lain, daripada mengalokasikan outputnya untuk dijadikan input bagi sektor lain. Namun hal sebaliknya terjadi pada sektor restoran, yang memiliki nilai keterkaitan ke belakang yang lebih rendah dibandingkan dengan nilai keterkaitan ke depannya. Hal ini menunjukkan bahwa sektor restoran berperan sebagai sektor yang lebih banyak mengalokasikan outputnya untuk dijadikan input oleh sektor lain.
2.
Sektor Hotel memiliki koefisien penyebaran dan kepekaan penyebaran lebih besar dari satu. Hal ini menunjukkan bahwa sektor hotel mampu meningkatkan pertumbuhan sektor hulu dan hilirnya. Sedangkan sektor restoran memiliki koefisien penyebaran dan kepekaan penyebaran yang lebih kecil dari satu, yang artinya sektor restoran kurang mampu dalam meningkatkan pertumbuhan baik sektor hulu maupun hilirnya. Namun jika nilai kepekaan dan koefisien penyebaran sektor restoran dibandingkan, didapatkan bahwa nilai kepekaan penyebaran lebih besar dibanding koefisien penyebaran. Hal ini berarti bahwa sektor restoran memiliki kemampuan yang lebih besar dalam mendorong pertumbuhan sektor hilirnya dibandingkan sektor hulunya.
99
3.
Sektor hotel dan restoran memberikan dampak multiplier yang positif terhadap sektor perekonomian lainnya. Pada multiplier output tipe I, sektor hotel menempati peringkat pertama dengan nilai terbesar, sedangkan sektor restoran memiliki nilai paling kecil. Sedangkan pada multiplier output tipe II, sektor jasa-jasa memiliki nilai terbesar.
Pada multiplier pendapatan,
sektor hotel memiliki nilai terbesar baik pada tipe I maupun tipe II, sedangkan sektor restoran memiliki nilai multiplier terkecil baik pada tipe I maupun tipe II. Pada multiplier penyerapan tenaga kerja sektor jasa-jasa memiliki nilai paling besar baik pada tipe I maupun tipe II. Sektor hotel memiliki multiplier tipe I yang lebih kecil dari sektor jasa-jasa, dan sektor transportasi dan komunikasi. Pada multiplier tipe II, sektor hotel memiliki nilai lebih kecil dari sektor jasa-jasa, transportasi dan komunikasi, dan sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan. Sektor restoran memiliki nilai multiplier terkecil baik pada multiplier tipe I maupun tipe II.
6.2. Saran 1.
Efek multiplier yang dimiliki restoran relatif kecil dibanding sektor lain. Hal ini dapat ditingkatkan salah satunya melalui peningkatan pertumbuhan sektor industri makanan, minuman, dan tembakau yang menjadi sektor hulu dari sektor tersebut.
2.
Dalam pembangunan dan pengembangan sektor pariwisata Kota Bandung, sebaiknya pemerintah Kota Bandung tidak hanya melihat dari potensi penciptaan penerimaan daerah saja. Tetapi juga dari sisi penyerapan tenaga
100
kerja. Terbukti meskipun sektor hotel dan restoran memiliki kontribusi yang sangat besar pada penciptaan PAD Kota Bandung, akan tetapi memiliki dampak pengganda (multiplier) ekonomi terhadap penyerapan tenaga kerja yang tidak besar. Oleh karena itu perlu disusun suatu kebijakan ketenagakerjaan pada sektor hotel dan restoran, agar mampu menciptakan penyerapan tenaga kerja yang lebih banyak. Misalnya melalui pendidikan dan pelatihan kemampuan sumber daya manusia yang sesuai dengan kebutuhan usaha perhotelan dan restoran.
DAFTAR PUSTAKA
Askary, M. 2009. “Menyelaraskan Potensi Seni” [Pikiran Rakyat Online]. http://www.pikiranrakyat.com/artikel/menyelaraskan_potensi_se ni.htm [23 Mei 2009] Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Bandung. 2005. Tabel Input-Output Kota Bandung Tahun 2003. Bandung. . 2004. Kota Bandung Dalam Angka Tahun 2003. Bandung. . 2005. Kota Bandung Dalam Angka Tahun 2004. Bandung. . 2006. Kota Bandung Dalam Angka Tahun 2005. Bandung. . 2007. Kota Bandung Dalam Angka Tahun 2006. Bandung. . 2008. Kota Bandung Dalam Angka Tahun 2007. Bandung. . 2008. Produk Domestik Regional Kota Bandung Tahun 2004-2007. Bandung. Badan Pusat Statistik (BPS). 2007. Buku Saku Statisik Kebudayaan dan Pariwisata 2007. Jakarta. . 2008. Produk Domestik Bruto Indonesia Tahun 2000-2007. Jakarta Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Jawa Barat. 2004. Penyusunan Data Angkatan Kerja Daerah Jawa Barat Tahun 2003. Bandung. . 2006. Penyusunan Data Angkatan Kerja Daerah Jawa Barat Tahun 2005. Bandung. . 2008. Statistik Hotel dan Akomodasi Lainnya di Jawa Barat Tahun 2004-2007. Bandung. Bangun, Oktavianita BR. 2008. Analisis Peran Sektor Industri Pengolahan terhadap Perekonomian Provinsi Sumatera Utara [skripsi] Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
102
Departemen Kebudayaan dan Pariwisata. 2008. “Kunjungan Wisatawan dan Perolehan Devisa Pariwisata Tahun 2000-2007”. [Budpar Online].http://www.budpar.go.id/statistik_kunjungan_wisatawa n_dan_perolehan_devisa.pdf [18 Maret 2009] Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Bandung. 2008. Batur Ulin, Wisata Kota Bandung dan Sekitarnya. Bandung. . 2008. Statistik Pariwisata Kota Bandung Tahun 2000-2007. Bandung. Dinas Pendapatan Daerah Kota Bandung. 2008. Daftar: Target Realisasi dan Penerimaan/Penyetoran Pajak-pajak Daerah Tahun Anggaran 2001-2007. Bandung. Direktorat Jenderal Pemerintahan Umum. 2009. “Undang-undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2009 Tentang Kepariwisataan” [Ditjenpum Online]. http://www.ditjenpum.go.id/hukum/2009/uu/UU _10_Tahun_2009.pdf [7 Mei 2009] Glasson, J.1977. Pengantar Perencanaan Regional. Paul Sitohang [Penerjemah]. Program Perencanaan Nasional. Fakultas Ekonomi, Univesitas Indonesia, Jakarta. Hasan, Dahliana. 2008.”Pendapatan Asli Daerah dari Industri Pariwisata dalam Menunjang Otonomi Daerah” [Wisata Melayu Online]. http://www.wisatamelayu.com/artikel_0503/pendapatan_asli_daer ah_dari_industri_pariwisata_dalam_menunjang_otonomi_daerah_ 16578.htm [2 Maret 2009] Heriawan, R. 2004. Peranan dan Dampak Pariwisata pada Perekonomian Indonesia: Suatu Pendekatan Model I-O dan SAM [disertasi]. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Irmayanti. 2006. Peranan Pariwisata Dalam Perekonomian Daerah Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat [skripsi]. Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Kartawan.
2008. “Menumbuhkan Perekonomian Melalui Pembangunan Pariwisata” [Wisata Melayu Online]. http://www.wisatamelayu.com/artikel_0503/ menumbuhkan_perekonomian_melalui_pembangunan_pariwisat a_16578.htm. [2 Maret 2009]
103
Marpaung, H. 2002. Pengantar Ilmu Kepariwisataan. Bandung: Penerbit Erlangga. Maryadi, Mimi. 2007. Analisis Pertumbuhan Sektor Industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) Terhadap Perekonomian Indonesia: Analisis Input-Output [skripsi]. Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Nazara, S. 1997. Analisis Input-Output. Lembaga Penerbit. Fakultas Ekonomi, Univesitas Indonesia. Jakarta. Oktavianti.
2005. Peranan Pariwisata Terhadap Perekonomian Indonesia Sebelum dan Sesudah Krisis Ekonomi [skripsi]. Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Sahara, et al,. 2007. Ekonomi Regional. Universitas Tebuka, Jakarta. Tjitroresmi, E. 2003. “Peran Industri Kepariwisataan dalam Perekonomian Nasional dan Daerah”. Jurnal Ekonomi dan Pembangunan, 2 : 104-135.
LAMPIRAN
LAMPIRAN
Lampiran 1. Klasifikasi Sektor-sektor Perekonomian Kota Bandung Tahun 2003 KLASIFIKASI 53 SEKTOR 1. Padi 2. Jagung 3. Ketela Pohon 4. Ubi Jalar 5. Kacang Tanah 6. Buah-buahan 7. Sayur-sayuran 8. Ternak, unggas dan Hasilnya 9. Perikanan dan Hasil Perikanan lainnya 10. Hasil Pertanian Lainnya 11. Barang Tambang dan Hasil Galian Lainnya 12. Industri makanan, minuman dan tembakau 13. Industri tekstil, kecuali untuk pakaian jadi 14. Industri perajutan 15. Industri pakaian jadi, kecuali untuk alas kaki 16. Industri kulit dan barang dari kulit, kecuali untuk alas kaki 17. Industri alas kaki 18. Industri Kayu dan barang-barang lainnya terbuat dari kayu, bambu, gabus dan rotan 19. Industri furnitur semua bahan 20. Industri kertas, barang dari kertas dan sejenisnya 21. Industri penerbitan dan percetakan 22. Industri pengilangan minyak bumi 23. Industri Kimia dan barang-barang dari bahan kimia lainnya 24. Industri kimia dan barang-barang dari karet 25. Industri barang-barang dari plastik kecuali Furnitur 26. Industri barang galian bukan logam 27. Industri Logam Dasar dan Barang dari Logam kecuali Mesin dan Peralatannya 28. Industri Mesin dan Peralatannya termasuk Perlengkapannya 29. Industri Alat Angkutan 30. Industri Peralatan Profesional, Ilmu Pengetahuan, Pengukur dan Pengatur 31. Industri Pengolahan lainnya 32. Listrik 33. Air Bersih
KLASIFIKASI 10 SEKTOR
1.Pertanian
*
2. Industri Pengolahan
3. Listrik, Gas, dan Air Bersih
105
34. Bangunan 35. Perdagangan 36. Hotelan 37. Restoran 38. Jasa Angkutan Rel 39. Jasa Angkutan Jalan 40. Jasa Angkutan Udara 41. Jasa Penunjang angkutan 42. Jasa Komunikasi 43. Bank dan Lembaga Keuangan lainnya 44. Jasa Perusahaan 45. Real Estate dan Usaha persewaan 46. Jasa Pemerintahan Umum 47. Jasa Pendidikan Pemerintah 48. Jasa Kesehatan Pemerintah 49. Jasa Pendidikan Swasta 50. Jasa Kesehatan Swasta 51. Jasa Kemasyarakatan Swasta Lainnya 52. Jasa Rekreasi, Kebudayaan dan Olahraga 53. Jasa Perseorangan dan Rumah Tangga Keterangan: *= tidak memiliki nilai, sehingga diabaikan dalam penelitian
4. Bangunan 5. Perdagangan 6. Hotel 7. Restoran 8. Pengangkutan dan Komunikasi 9. Keuangan, Persewaan, dan Jasa Perusahaan
10. Jasa-jasa
Lampiran 2. SEKTOR
Tabel Input-Output Kota Bandung Tahun 2003, Transaksi Domestik Atas Dasar Harga Produsen Klasifikasi 10 Sektor (dalam juta Rupiah) 1
2
3
1
2330
16178
2
5941
3
40
4
4
5
6
7
8
9
0
5
8381
1179
1460
2
2547338
10901
41769
353694
17077
9227
32292
2799
101293
258811
1424
18387
9642
278
26182
18263
350
36639
565
275206
53817
21410
97
22443
19286
5
5849
1021584
15854
18564
50444
3595
2371
16184
452
6
2
7184
179
839
81558
207329
17
679
203
7
48
6946
26
63
102516
2780
71796
1256
229
8
308
219284
37389
54434
321497
24927
356
1266567
67047
9
328
197983
25055
78345
347307
6248
699
319829
674676
10
754
38116
5616
21686
94648
5387
99
85000
130571
190
15950
4192545
354396
492335
1432249
299574
86400
1770434
913526
200
17981
2816399
308740
327714
738017
140775
53236
569386
243515
201
26938
2545594
200166
525805
2163226
76913
375065
838261
715139
202
57258
3842973
219762
402245
3899921
123009
430776
1192526
830929
203
2687
552626
72517
184359
262603
13853
24747
619117
148261
204
1328
284352
44521
20041
311878
8372
23470
75209
17148
205
0
0
0
0
0
0
0
0
0
209
88211
7225545
536966
1132450
6637628
222147
854058
2725113
1711477
210
104161
11418090
891362
1624785
8069877
521721
940458
4495547
2625003
2675
211118
663
45785
265694
9447
46066
38987
37550
Employment
0
Lanjutan Tabel Input-Output Kota Bandung Tahun 2003, Transaksi Domestik Atas Dasar Harga Produsen Klasifikasi 10 Sektor (dalam juta Rupiah) SEKTOR 10 180 301 302 303 304 305 309 1 870 30405 86186 0 4717 862 0 91765 2 98304 3119342 1808483 0 1106658 623439 7575826 11114406 3 14302 448622 273577 0 0 0 477978 751555 4 14697 444510 696580 0 811411 0 0 1507991 5 15805 1150702 1513793 0 1071821 537847 4534209 7657670 6 1201 299191 328946 0 0 0 34382 363328 7 2760 188420 533080 0 0 0 272295 805375 8 174321 2166130 2066539 0 0 0 832169 2898708 9 112921 1763391 700458 0 0 0 404449 1104907 10 766625 1148502 1336400 2098991 3029 0 16262 3454682 190 1201806 10759215 9344042 2098991 2997636 1162148 14147570 29750387 200 639653 5855416 201 2053390 9520497 202 559851 11559250 203 63228 1943998 204 9813 796132 205 75643 75643 209 2761925 23895520 210 3963731 34654735 Employment 218273 876258 Sumber: Tabel Input-Output Kota Bandung Tahun 2003, Kalsifikasi 10 Sektor (diolah). Keterangan: 1 = sektor pertanian 9 = sektor keuangan, persewaan, jasa perusahaan 204 = pajak tak langsung 2 = sektor industri pengolahan 10 = sektor jasa-jasa 205 = subsidi 3 = sektor listrik, gas, air bersih 180 = jumlah permintaan antara 209 = nilai tambah bruto 4 = sektor bangunan 190 = jumlah input antara 210 = jumlah input 5 = sektor perdagangan 200 = impor 301 = pengeluaran konsumsi rumah tangga 6 = sektor hotel 201 = upah dan gaji 302 = pengeluaran konsumsi pemerintah 7 = sektor restoran 202 = surplus usaha 303 = pembentukan modal tetap 8 = sektor transportasi dan komunikas 203 = penyusutan 304 = perubahan stok 305 = ekspor barang dan jasa 309 = jumlah permintaan akhir 310 = jumlah permintaan
310 122170 14233748 1200177 1952501 8808372 662519 993795 5064838 2868298 4603184 40509602
Lampiran 3. Matriks Koefisien Teknis Klasifikasi 10 Sektor SECTOR 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 TOTAL HH1 P2 P3 P4 P5 P6 TOTAL Employment
1 0.01907616 0.04864011 0.00032749 0.00286552 0.04788689 1.6374E-05 0.00039299 0.00252166 0.0026854 0.00617314 0.13058572 0.22054657 0.46878225 0.02199898 0.01087259 0 0.14721389 1 0.02190074
2 0.00113654 0.17895535 0.00711603 0.00257396 0.07176822 0.00050469 0.00048797 0.01540512 0.01390868 0.00267772 0.29453427 0.17883283 0.26997617 0.03882303 0.01997627 0 0.19785739 0.99999994 0.01483144
3 0 0.00908339 0.2156575 0.00047079 0.01321054 0.00014915 2.1665E-05 0.03115485 0.02087739 0.0046796 0.29530489 0.16679083 0.18311943 0.0604257 0.03709768 0 0.25726146 1 0.00055245
4 2.5608E-06 0.02139258 0.00072932 0.14095065 0.00950782 0.00042971 3.2266E-05 0.02787914 0.0401255 0.01110679 0.25215635 0.26929846 0.20601547 0.09442207 0.01026428 0 0.16784336 1 0.02344944
5 0.00095153 0.04015648 0.00208756 0.00611009 0.00572714 0.00925965 0.0116391 0.03650101 0.03943133 0.01074582 0.1626097 0.24560082 0.44277564 0.02981451 0.03540892 0 0.08379041 1 0.03016544
6 0.00177963 0.02577676 0.01455405 0.03231718 0.00542645 0.31295133 0.00419625 0.03762589 0.009431 0.00813137 0.45218989 0.1160958 0.18567508 0.02091032 0.01263706 0 0.21249186 1 0.01425971
7 0.00146927 0.00928555 0.00027976 9.7616E-05 0.00238605 1.7108E-05 0.07225162 0.00035826 0.00070344 9.9628E-05 0.0869483 0.37744516 0.43350971 0.02490404 0.02361894 0 0.05357384 1 0.04635834
8 3.9487E-07 0.0063756 0.00516927 0.00443106 0.0031953 0.00013406 0.00024798 0.25006589 0.06314575 0.01678206 0.34954736 0.16550288 0.23544754 0.12223597 0.01484896 0 0.11241728 1 0.00769744
9 0 0.00097577 0.0063667 0.00672333 0.00015757 7.0768E-05 7.9832E-05 0.02337339 0.2352002 0.04551863 0.31846619 0.24930608 0.28967187 0.05168558 0.005978 0 0.08489227 1 0.01309038
10 0.00018899 0.02135473 0.00310684 0.00319265 0.00343334 0.0002609 0.00059956 0.03786801 0.02453 0.16653509 0.2610701 0.44606099 0.12161727 0.01373511 0.00213169 0.01643204 0.13895278 1 0.04741577
Lanjutan Matriks Koefisien Teknis Klasifikasi 10 Sektor SECTOR 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 TOTAL HH1 P2 P3 P4 P5 P6 TOTAL Employment
TOTAL 0.02460507 0.36199632 0.25539452 0.19973284 0.16269931 0.32379374 0.08994923 0.46275321 0.4500387 0.27244985 2.60341287 2.43548036 2.83659053 0.4789553 0.1728344 0.01643204 1.45629454 10 0.21972114
HH1 0.00922363 0.19354397 0.02927823 0.07454804 0.16200623 0.03520382 0.05705026 0.22116114 0.07496306 0.14302161 1 0 0 0 0 0 0 1 0
F2 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 0 0 0 0 0 0 1 0
F3 0.00157357 0.36917692 0 0.27068365 0.35755542 0 0 0 0 0.00101046 1 0 0 0 0 0 0 1 0
F4 0.00074173 0.53645402 0 0 0.46280423 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 1 0
Sumber: Tabel Input-Output Kota Bandung Tahun 2003, Klasifikasi 10 Sektor (diolah).
F5 0 0.53548604 0.03378516 0 0.32049382 0.00243024 0.01924677 0.05882063 0.02858788 0.00114946 1 0 0 0 0 0 0 1 0
TOTAL 0.03614401 1.99665725 0.3184579 0.54496449 1.46555901 0.36142778 0.16624625 0.74273497 0.55358964 1.41763139 7.60341263 2.43548036 2.83659053 0.4789553 0.1728344 0.01643204 1.45629454 15 0.21972114
Lampiran 4. Matriks Kebalikan Leontief Klasifikasi 10 Sektor SECTOR 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 TOTAL
1 1.019577861 0.063508257 0.001326676 0.004150798 0.053814087 0.000805149 0.001153137 0.008338328 0.008756912 0.009166365 1.170597553
2 0.001511293 1.223208904 0.011862257 0.004814968 0.088717632 0.002112026 0.001782924 0.031552494 0.030275332 0.007525253 1.403363109
3 3.97189E-05 0.015843339 1.275904298 0.001550114 0.018340979 0.000556109 0.000296372 0.056139596 0.041135114 0.010854451 1.420660138
4 5.96337E-05 0.032077152 0.002370551 1.165157437 0.013732821 0.000961933 0.000265916 0.047914475 0.067111127 0.020460183 1.350111246
5 0.001086583 0.051262882 0.00432469 0.00866497 1.01000309 0.013679969 0.01279175 0.054140173 0.058802724 0.017770965 1.232527852
Lanjutan Matriks Kebalikan Leontief Klasifikasi 10 Sektor SECTOR 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 TOTAL
6 0.002724971 0.049483582 0.02839905 0.055750933 0.01290111 1.455778122 0.006812248 0.079842463 0.030425448 0.01872072 1.740838647
7 0.00163274 0.012495591 0.000530555 0.00021302 0.003581739 8.50716E-05 1.077931643 0.001050585 0.001533405 0.000338815 1.099393129
8 2.76605E-05 0.012016553 0.010017934 0.008014272 0.005520995 0.000376203 0.000467271 1.339905977 0.112903677 0.033422254 1.522672772
9 2.08602E-05 0.00428921 0.01131743 0.010831001 0.001173203 0.000200232 0.000191016 0.045686651 1.314662218 0.072957449 1.461329222
10 0.000278666 0.03244479 0.005884738 0.005329506 0.006858821 0.000595148 0.000905162 0.063674398 0.045262959 1.203869462 1.365103602
Sumber: Tabel Input-Output Kota Bandung tahun 2003, Klasifikasi 10 sektor (diolah).
TOTAL 1.026960015 1.496630311 1.351938128 1.264477015 1.214644432 1.475149989 1.102597475 1.728245139 1.710868955 1.395085931 13.76659775