ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRODUKSI DAN IMPOR KEDELAI DI INDONESIA
Oleh : RIKA PURNAMASARI A14302053
PROGRAM STUDI EKONOMI PERTANIAN DAN SUMBERDAYA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006
1
I. PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Laju pertumbuhan ekonomi di negara-negara berkembang membawa
dampak pada peningkatan kemakmuran, dimana konsekuensinya adalah semakin bertambah cepatnya permintaan pangan serta perubahan bentuk dan kualitas pangan dari penghasil energi kepada produk-produk penghasil protein. Kebutuhan atas protein ini akan semakin meningkat seiring peningkatan jumlah penduduk dan pendapatan, sedang di pihak lain penyediaan sumber protein di Indonesia masih belum mencukupi. Kedelai merupakan salah satu bahan makanan yang mempunyai potensi sebagai sumber utama protein. Sebagai sumber protein yang tidak mahal, kedelai telah lama dikenal dan digunakan dalam beragam produk makanan, seperti tahu, tempe dan kecap. Selain itu kedelai juga merupakan bahan baku industri yang penting terutama industri makanan ternak (Puslitbang Tanaman Pangan, 2005). Usaha peningkatan produksi kedelai nasional telah mulai dilakukan sejak tahun 1962 mencakup perluasan areal (ekstensifikasi) dan peningkatan produktivitas
(intensifikasi). Dalam kurun waktu 1975-1999, produksi kedelai
nasional cenderung mengalami peningkatan walaupun terlihat berfluktuasi, terlihat pada Lampiran 1. Sementara itu produksi kedelai sejak tahun 2000-2003 cenderung menurun drastis, sedangkan produksi pada tahun 2004 hanya meningkat sekitar 1.07 persen dari tahun sebelumnya. Hal yang serupa juga terlihat dalam perkembangan luas areal panen, dimana luas panen sejak tahun 1974-1999, terlihat berfluktuasi dan cenderung mengalami peningkatan, sedangkan sejak tahun 2000-2004, cenderung mengalami penurunan yang cukup
2
signifikan. Hal ini disebabkan oleh penurunan harga riil kedelai dan adanya persaingan penggunaan lahan dengan palawija lainnya, seperti jagung yang memiliki harga riil yang lebih tinggi daripada kedelai dan juga pemeliharaannya lebih mudah. Selain itu hal yang juga merupakan penyebab turunnya areal panen kedelai secara drastis dalam periode 2000-2004, adalah dari segi persaingan harga pasar, dimana harga kedelai impor jauh lebih murah daripada kedelai lokal, menyebabkan arus impor semakin deras dan berimplikasi pada menurunnya harga kedelai lokal, sehingga petani tidak bergairah untuk menanam kedelai. Sementara itu jumlah penduduk terus mengalami peningkatan, dan ditambah juga dengan semakin banyaknya industri pengolahan berbahan baku kedelai, seperti industri tahu, kecap, tempe, tauco dan lain-lain mengakibatkan permintaan terhadap kedelai tidak bisa terpenuhi oleh produksi domestik (Puslitbang Tanaman Pangan, 2005). Usaha untuk memenuhi kebutuhan kedelai dalam negeri terus dilakukan melalui implementasi berbagai program diantaranya program Supra Insus, kemudian program Operasi Khusus (Opsus) kedelai yang diterapkan pada tahun 1986, program berikutnya adalah Gema Palagung yaitu melalui salah satu cara dengan peningkatan Index Pertanaman, dan terakhir pada tahun 2004 diadakan program Bangkit Kedelai, diharapkan pada tahun 2008 Indonesia akan mencapai swasembada kedelai dengan produksi kurang lebih 2 juta ton. Walaupun produksi kedelai pada tahun 1974-1999 meningkat namun ternyata belum bisa mengimbangi laju peningkatan konsumsi kedelai sehingga pemerintah melakukan impor kedelai yang jumlah maupun nilainya semakin meningkat setiap tahun. Beberapa faktor yang menyebabkan meningkatnya
3
kebutuhan kedelai adalah konsumsi yang terus meningkat mengikuti pertambahan jumlah penduduk, meningkatnya pendapatan per kapita, meningkatnya kesadaran masyarakat akan kecukupan gizi, dan berkembangnya berbagai industri yang menggunakan bahan baku kedelai., sejak tahun 2000, impor kedelai meningkat secara drastis seiring dengan signifikansinya penurunan produksi pada tahun tersebut. Impor selama periode 2000-2003 meningkat dengan laju 14.03 persen per tahun, disamping itu volume impor yang meningkat ini disebabkan pula oleh rendahnya tingkat efisiensi di dalam negeri, sementara subsidi ekspor di negara eksportir tetap tinggi (Puslitbang Tanaman Pangan, 2005). Impor kedelai merupakan jalan pintas untuk memasok kekurangan dalam negeri, kerena dalam beberapa hal harganya lebih rendah dan kualitasnya lebih baik. Sesuai kesepakatan dengan IMF, sejak tahun 1998-2003 pemerintah membebaskan bea masuk kedelai (BM nol persen) dan pada tahun 2004 tarif tersebut ditingkatkan menjadi sepuluh persen (Deptan, 2005). Tarif ini masih tergolong rendah sehingga relatif merugikan petani, karena harga komoditi cenderung melemah, namun di sisi lain diharapkan juga bisa memacu petani untuk mengusahakan pertanaman kedelai secara efisien dan menerapkan teknologi tepat guna. Dengan melihat alasan-alasan di atas, maka sangat diperlukan suatu kajian atau penelitian yang membahas mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi produksi dan impor kedelai Indonesia, sehingga dapat diketahui faktor-faktor yang berperan penting dalam produksi dan impor, juga mengetahui hal-hal apa saja yang seharusnya dilakukan untuk meningkatkan produksi kedelai negeri dan bagaimana membatasi impor kedelai ke Indonesia.
4
1.2.
Perumusan Masalah Pada prinsipnya penawaran kedelai tergantung kepada dua variabel, yaitu
luas areal panen dan produktivitas. Berdasarkan data BPS, luas areal panen kedelai sejak tahun 2000 sampai 2004 terus mengalami penurunan. Perkembangan luas areal panen dan produktivitas dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1.Perkembangan Luas Areal Panen, Produksi, dan Produktivitas Kedelai Indonesia Tahun 1999-2004. Tahun 1999 2000 2001 2002 2003 2004
Luas Areal Panen (hektar) 1.151.079 824.484 678.848 544.522 526.796 560.125
Produksi kedelai (ton) 1.382.848 1.017.634 826.932 673.056 671.600 723.483
Produktivitas* (ton/ha) 1.201 1.234 1.218 1.236 1.275 1.281
Sumber : BPS, 2004 * : Produktivitas : Produksi dibagi Luas Areal Panen
Selanjutnya berdasarkan tabel berikutnya, yaitu Tabel 2, penurunan luas areal panen tersebut disebabkan oleh dua faktor utama yaitu, (1) penurunan harga riil kedelai, dimana di lain pihak harga riil jagung justru meningkat yang mendorong petani untuk memilih menanam jagung, sehingga konsekuensinya, kenaikan areal jagung (sebagai komoditas pesaing) dengan sendirinya akan mengurangi areal kedelai, karena lahan yang digunakan adalah lahan yang sama. (2) lebih rendahnya harga riil kedelai impor dibanding harga riil kedelai lokal, hal ini mengakibatkan arus impor kedelai semakin deras, sehingga berimplikasi pada penurunan harga kedelai lokal secara terus-menerus seiring bertambahnya jumlah impor kedelai, yang menyebabkan keengganan petani untuk bertanam kedelai (Puslitbang Tanaman Pangan, 2005). Hal ini mengakibatkan penawaran kedelai di pasaran lokal Indonesia tidak dapat memenuhi permintaan konsumen.
5
Tabel 2. Perkembangan harga kedelai dan komoditas pesaingnya di Indonesia, tahun 1991-2002. Tahun 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 Laju Peningkatan
Kedelai Lokal (Rp/kg) 493 454 484 515 472 476 337 330 321 277 324 344 -3,21
Jagung (Rp/kg) 143 126 133 158 164 185 123 117 132 114 150 159 0,98
Kedelai Impor (Rp/Kg) 276 278 296 286 303 239 290 234 223 230 298 0,75
Sumber : Puslitbang Tanaman Pangan, 2005, hal 10.
Untuk variabel berikutnya, yaitu produktivitas, sampai dengan saat ini produktivitas pertanaman kedelai Indonesia masih rendah, yaitu rata-rata hanya 1,2 ton/ha, angka ini merupakan angka produktivitas yang diambil berdasarkan level Farmer Accomplishment (level produksi secara umum atau nasional). Angka produktivitas ini jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan Brazil dan Argentina yang mampu menghasilkan di atas 2 ton kedelai per hektar. Rendahnya produktivitas ini disebabkan oleh beberapa faktor antara lain, belum populernya penggunaan benih bermutu dan bersertifikasi oleh kebanyakan petani, dimana harga benih yang bersertifikasi berharga Rp 3000-3.500/kg, sedangkan harga benih biasa hanya Rp 1.400/kg, sehingga petani merasa enggan menggunakan benih unggul, karena tingkat keuntungan yang diperoleh relatif kecil. Faktor selanjutnya adalah jenis areal lahan yang mempunyai masalah masing-masing dalam hal ketersediaan air, dimana masalah kekeringan dapat menurunkan tingkat produktivitas sampai 40 persen. Hal lain yang menjadi masalah adalah pengendalian hama penyakit yang belum baik. Sehingga dapat disimpulkan bahwa rendahnya produktivitas kedelai di Indonesia banyak disebabkan oleh gangguan
6
hama penyakit, kebanjiran atau kekeringan, waktu tanam yang tidak tepat dan belum sempurnanya penerapan teknologi oleh petani. Menurut BPS (2004), kemampuan produksi nasional kedelai pada tahun 2004 adalah sebesar 0, 723 juta ton, sedangkan jumlah konsumsi adalah 2,015 juta ton. Keadaan ini mengindikasikan bahwa produksi kedelai nasional masih sangat jauh untuk dapat memenuhi kebutuhan dalam negeri. Untuk memenuhi kebutuhan kedelai di dalam negeri yang sangat besar, maka pemerintah melakukan impor kedelai. Volume impor kedelai mulai mengalami peningkatan yang drastis sejak tahun 2000, yang berjumlah 1.277 juta ton. Volume impor kedelai turun pada tahun 2001 menjadi 1.136 juta ton. Namun impor kembali naik pada tahun 2002 menjadi 1.365 juta ton, setelah itu impor kedelai kembali turun pada tahun 2003 menjadi 1,192 juta ton dan untuk tahun 2004 (sampai dengan bulan juli 2004) sebesar 0.651 juta ton. Negara pemasok impor kedelai terbesar adalah United States (66% dari total impor) dan pemasok terbesar kedua adalah Argentina (5% dari total impor). Tabel 3 menampilkan perkembangan volume impor kedelai berdasarkan negara asal dari tahun 2000 sampai dengan 2004 .Tabel
3. Perkembangan Volume Impor Kedelai Indonesia Berdasarkan Negara Asal Tahun 2000-2004 (dalam ton). No 1 2 3 4 5
Negara Asal
2000
2001
2002
2003
2004*
Share
United States Argentina Malaysia Canada Singapura
539.368 92.066 31.322 46.333 4.631
399.472 0 93.429 10.503 14.207
1.121.963 77.187 76.382 47.617 37.546
1.122.900 10.276 17.983 18.393 549
549.759 92.805 5.255 353 38
66% 5% 4% 2% 1%
Lainnya
563.967
618.808
4.558
22.616
3.770
22%
1.277.683
1.136.419
1.365.253.
1.192.717
651.979
100%
Total
Sumber : BPS, Diolah Subdit Pemasaran Internasional Tanaman Pangan, Tahun 2004 * = Data sampai bulan Juli 2004
7
Dengan semakin besarnya volume impor dari tahun ke tahun sangat merugikan petani, karena kedelai lokal terdesak oleh kedelai impor yang berharga murah dan berkualitas lebih baik. Walaupun konsumsi dalam negeri terpenuhi, namun kesejahteraan petani kedelai pun harus diperhatikan.. Selain itu impor kedelai merupakan impor kacang-kacangan tertinggi di Indonesia dimana setiap tahunnya menghabiskan devisa sebanyak US$ 200-300 juta (Deptan, 2005). Sehubungan dengan latar belakang dan permasalahan yang dihadapi, maka dapat dirumuskan permasalahan yang akan dianalisis dalam penelitian ini, yaitu : 1. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi produksi kedelai Indonesia? 2. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi impor kedelai Indonesia? 1.3.
Tujuan dan Kegunaan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan permasalahan yang telah dipaparkan di
atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah : 1. Menganalisis
faktor-faktor
yang
mempengaruhi
produksi
kedelai
Indonesia. 2. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi impor kedelai Indonesia Diharapkan hasil dari penelitian ini dapat digunakan oleh seluruh stakeholder dalam mempertahankan dan memajukan produksi kedelai nasional, serta mengurangi ketergantungan impor kedelai. Dalam hal ini stakeholder yang terkait diantaranya mencakup tiga pihak yaitu pemerintah sebagai pengambil kebijakan, pelaku ekonomi (produsen, konsumen), dan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi sebagai data dasar (bench mark data) bagi penelitian selanjutnya yang terkait dalam bidang ini.
8
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Keragaan Komoditi Kedelai di Indonesia Sejarah masuknya kedelai ke Indonesia tidak diketahui secara pasti,
namun kemungkinan besar dibawa oleh pedagang Cina pada abad ke 13. Kedelai berasal dari Cina, yang telah dibudidayakan sejak 1000 tahun sebelum masehi. Menurut Romburgh (1892) seperti dikutip oleh Manwan dan Sumarno (1996), kedelai telah menjadi tanaman pangan penting di samping padi, jagung, ubi kayu dan ubi jalar, serta merupakan bagian usaha pertanian yang mantap di Pulau Jawa pada penghujung abad ke-19. Berdasarkan catatan dan laporan yang ada, informasi perkembangan penanaman kedelai di Indonesia baru dapat diikuti mulai tahun 1918 dimana tercatat luas areal panen kedelai sebesar 158.900 hektar. Masalah
kurangnya
produksi
kedelai
nasional untuk
mencukupi
permintaan dalam negeri telah dimulai sejak tahun 1928 dimana pada tahun itu impor kedelai mulai dilakukan dan terus meningkat dari tahun ke tahun. Akibat resesi ekonomi tahun 1934, impor kedelai dilarang dan perlu diimbangi dengan upaya peningkatan produksi dalam negeri melalui perluasan areal panen. Menyadari bahwa kedelai merupakan bahan pangan yang penting bagi masyarakat Indonesia, perluasan areal panen dan peningkatan produksi nasional dimasukkan ke dalam program pembangunan semesta pada tahun 1962. Untuk merealisasikan program tesebut, Rapat Kerja Kedelai Nasional yang dilaksanakan di Bogor pada bulan September 1964 merumuskan beberapa petunjuk bagi program pengembangan kedelai di Indonesia yang meliputi perluasan areal panen dan intensifikasi produksi (Hadipurnomo, 2000).
9
Memasuki era Orde Baru yang dimulai pada Pelita I tahun 1969 peningkatan produksi kedelai masih kecil karena program utama pembangunan sektor pertanian pada waktu itu lebih diprioritaskan pada peningkatan produksi beras nasional. Sampai pada Pelita III fokus peningkatan produksi pertanian masih dititikberatkan pada pencapaian swasembada beras sehingga program peningkatan produksi kedelai belum mendapatkan prioritas yang lebih baik. Meskipun demikian program peningkatan produksi kedelai sedikit demi sedikit mulai mendapat perhatian dari pemerintah sebagai upaya untuk meingkatkan produksi kedelai dalam memenuhi kebutuhan dalam negeri dan sebagai substitusi impor. Sukses dalam pencapaian swasembada beras membuka peluang yang lebih besar dalam upaya peningkatan produksi kedelai untuk perbaikan gizi dan sumber pendapatan petani. Dalam penelitian Astuti (1998), dijelaskan bahwa setelah swasembada beras tercapai pada tahun 1984 barulah para pengambil kebijakan memberikan perhatian khusus mengingat impor kedelai terus meningkat baik untuk bahan makanan utama maupun sebagai pakan ternak. Dalam Pelita IV areal panen kedelai meningkat dari 858.892 ha (1984) menjadi 1.177.150 ha (1988) dimana produksi naik dari 0.769 juta ton (1984) menjadi 1.27 juta ton (1988). Peningkatan yang mencolok juga terlihat pada rata-rata produksi kedelai Pelita IV sebesar 1.05 juta ton dibandingkan pada Pelita III yang hanya 0.618 juta ton. Demikian juga dengan laju pertumbuhan luas panen, produksi dan produktivitas berturut-turut sebesar 9.26 persen per tahun, 16.7 persen per tahun dan lima persen per tahun. Produktivitas rata-rata pada periode yang sama meningkat dari 0.89 ton per ha menjadi 1.088 ton per ha (Lampiran 1).
10
Luas panen, produksi dan produktivitas rata-rata kedelai dalam Pelita V meningkat dengan laju yang cukup tinggi berturut-turut sebesar 5.30 dan 0.91 persen per tahun. Areal panen meningkat dari 1.197.701 ha (1989) menjadi 1.468.316 ha (1993), sedangkan produksi dalam periode yang sama meningkat dari 1.31 juta ton menjadi 1.70 juta ton dan produktivitas meningkat dari 1.09 ton per ha menjadi 1.16 ton per ha Pada Pelita VI (1994-1998), perkembangan areal panen memiliki laju pertumbuhan sekitar -7.7 persen per tahun. Hal ini disebabkan karena luas panen dalam tahun 1994-1998 terus mengalami penurunan yang cukup signifikan dari 1.406.039 ha (1994) menjadi 1.094.262 ha (1998). Sedangkan produksi pada periode yang sama cenderung mengalami penurunan dari 1.56 juta ton menjadi 1.30 juta ton dengan laju pertumbuhan sekitar -5.7 persen. Sementara produktivitas kedelai memiliki laju pertumbuhan sekitar 2.05 persen per tahun. Sejak tahun 1999 sampai tahun 2004, luas panen kedelai terus mengalami penurunan, yaitu dari 1.151.079 ha (1999) menjadi 560.125 ha (2004), dengan laju pertumbuhan sekitar -14.7 persen per tahun. Demikian halnya dengan produksi kedelai pada periode yang sama juga mengalami penurunan yaitu dari 1.38 juta ton menjadi 0.723 juta ton, dengan laju pertumbuhan -12.8 persen per tahun, sedangkan produktivitas berfluktuasi dengan laju pertumbuhan sekitar1.24 persen per tahun, dimana produktivitas tahun 1999 meningkat dari 1.2 ton per ha menjadi 1.28 ton per ha. Produksi kedelai nasional dihasilkan terutama dari tanaman usahatani rakyat yang sebagian besar berskala usaha relatif kecil dan tersebar sebagian besar di Pulau Jawa, Sumatera, Sulawesi, Bali dan Nusa Tenggara Barat. Pada awal
11
pengembangan kedelai di Indonesia, pusat-pusat pertumbuhan kedelai terutama terdapat di Jawa Tengah yang kemudian menyebar ke Jawa Timur dan daerah lain di Pulau Jawa. Menurut Puslitbang Tanaman Pangan dalam Hadipurnomo (2000), Pengembangan usahatani kedelai di lahan sawah dan lahan kering ditempuh melalui : (1) perluasan areal, (2) peningkatan produktivitas hasil, (3) peningkatan stabilitas hasil, (4) penekanan senjang hasil, (5) penekanan kehilangan hasil dan (6) sistem produksi kedelai yang berkelanjutan berwawasan lingkungan.
2.2.
Konsumsi Kedelai
2.2.1. Industri Pengguna Bahan baku Kedelai Sebagian besar konsumsi kedelai di Indonesia masih digunakan untuk bahan makanan manusia dalam bentuk olahan seperti tahu, tempe, kecap, tauco dan minuman sari kedelai. Jadi sebagian besar kedelai dikonsumsi oleh industri makanan olahan. Industri tahu dan tempe merupakan pengguna kedelai terbesar, dimana pada tahun 2002 saja, kebutuhan kedelai untuk tahu dan tempe mencapai 1.78 ton, atau 88 persen dari total kebutuhan nasional, sedangkan industri lainnya seperti industri tepung dan pati membutuhkan kedelai sebanyak 12 persen dari total kebutuhan nasional (Puslitbang Tanaman Pangan, 2005). Kecenderungan konsumsi kedelai untuk konsumsi manusia meningkat dari tahun 1969-1993 sebesar 7.40 persen per tahun. Pengguna kedelai kedua adalah industri ternak setelah industri tahu dan tempe. Hasil olahan kedelai untuk pakan ternak berupa bungkil kedelai (dominan) dan konsentrat. Kecenderungan
12
konsumsi kedelai untuk konsumsi ternak meningkat dari tahun 1969-1993 sebesar 8.58 persen per tahun (Sudaryanto,1996). Berdasarkan data statistik badan dunia (FAO) konsumsi kedelai per kapita Indonesia dalam 15 tahun terakhir menurun dari 11.38 kg pada tahun 1990 menjadi 8.97 kg pada tahun 2004, dengan laju penurunan 1.69 persen per tahun. Penurunan konsumsi terjadi sejak 1995. Selama periode 1995-2000 konsumsi per kapita menurun dari 11.82 kg pada tahun 1995 menjadi 10.92 kg pada tahun 2000, dengan laju 1.57 persen per tahun. Penurunan paling tajam terjadi pada periode 2000-2004, dengan rata-rata 4.81 persen per tahun. Secara nasional, penurunan konsumsi kedelai jauh lebih rendah daripada penurunan produksi. Implikasinya, tanpa terobosan peningkatan produksi, Indonesia akan menghadapi defisit yang makin besar. Dengan laju penurunan produksi kedelai yang lebih tajam daripada laju penurunan konsumsi, maka ke depannya impor kedelai untuk menutupi defisit diperkirakan akan terus meningkat (Puslitbang Tanaman Pangan, 2005). 2.2.2. Kondisi Pemenuhan Kebutuhan kedelai di Era Perdagangan Bebas Menurut Mankiw (2000), pada saat perdagangan internasional dibuka, maka suatu negara memiliki dua kemungkinan posisi. Misal apakah Indonesia akan menjual kedelai ke pasar internasional, ataukah sebaliknya membeli kedelai dari pasar internasional. Selanjutnya kita harus membandingkan harga kedelai yang tengah berlaku di pasar domestik dengan yang berlaku di negara-negara lain atau pasar dunia. Jika harga dunia kedelai lebih tinggi daripada harga domestik, maka ketika hubungan dagang dibuka, Indonesia akan menjadi pengekspor kedelai. Sebaliknya jika harga dunia kedelai lebih rendah daripada harga
13
domestik, maka ketika hubungan dagang dibuka, Indonesia akan menjadi pengimpor kedelai. Berdasarkan penelitian Hadipurnomo (2000), dijelaskan bahwa sebelum era perdagangan bebas, BULOG masih memonopoli kedelai impor. BULOG menyalurkan kedelai impor ke KOPTI (Koperasi Tahu dan Tempe Indonesia), KPKD (Kelompok Pedagang Kacang Kedelai) dan industri pengolah pangan. KOPTI belum dapat memenuhi kebutuhan industri tahu dan tempe. Sebelum tahun 1997, pemerintah masih memberlakukan impor terbatas (kuota), sehingga tidak semua industri dapat menggunakan kedelai impor. Hal ini dilakukan agar produksi kedelai lokal dapat terlindungi, mengingat harga kedelai lokal lebih mahal daripada kedelai impor (CIF). Dalam hal ini BULOG menjual kedelai impor dengan harga lebih tertentu kepada industri tahu dan tempe sehingga selisih harga kedelai lokal tidak terlalu besar dengan kedelai impor. Harga impor yang ditetapkan telah dipertimbangkan dari segi daya beli industri sehingga petani kedelai dapat berproduksi. KOPTI dan KPKD yang mendapat jatah kedelai dari pemerintah dapat beroperasi dengan baik karena mampu bersaing harga dengan pedagang besar. Pada era perdagangan bebas, pemerintah tidak lagi membatasi impor dan BULOG tidak memonopoli kedelai lagi. Pelaku importir dalam hal ini dipegang oleh perusahaan-perusahaan swasta (pedagang) dan koperasi (KOPTI), sehingga terjadi persaingan. Pada saat terjadi lonjakan tajam depresiasi rupiah tahun 1998, harga kedelai impor menjadi lebih mahal daripada kedelai lokal. Hal ini mengakibatkan volume impor menurun walaupun kuota impor tidak dibatasi. Namun setelah terjadi penyesuaian-penyesuaian dalam pasar seiring dengan
14
berjalannya waktu, volume impor kembali meningkat bahkan melimpah. Hal ini disebabkan oleh terjadinya persaingan antar pedagang kedelai impor. Pedagang mampu menjual kedelai impor lebih murah daripada KOPTI, sehingga ada kecenderungan industri tahu dan tempe menggunakan kedelai impor dari pedagang. Harga impor menjadi semakin murah dengan adanya persaingan antar pedagang kedelai impor. Akibatnya semakin banyak industri tahu dan tempe yang menggunakan kedelai impor. Hal ini mengakibatkan lesunya produksi kedelai lokal karena kecenderungan preferensi bahan baku kedelai industri adalah kedelai impor. Produksi kedelai lokal semakin menurun, sedangkan kedelai impor semakin melimpah. 2.3.
Kebijakan Pengembangan Kedelai di Indonesia Menyadari peranan kedelai sebagai bahan makanan penting di Indonesia,
pemerintah menetapkan berbagai kebijakan dalam usaha mencapai swasembada kedelai. Berbagai kebijakan pemerintah antara lain kebijakan harga, kebijakan tarif dan impor kedelai, dan kebijakan khusus pengembangan kedelai. (a). Kebijakan Harga Kebijakan harga yang diterapkan dengan sasaran utama mendorong adopsi teknologi, meningkatkan produksi dan pendapatan petani adalah melalui kebijakan proteksi harga dan penetapan harga dasar. Kebijakan proteksi bertujuan untuk mengendalikan harga kedelai dalam negeri agar tetap lebih tinggi dan terisolasi dari fluktuasi harga kedelai di pasaran dunia. Hal ini dilakukan melalui pengaturan volume impor dan penetapan harga kedelai ex-impor serta pengendalian penyalurannya kepada industri pengolah dalam negeri (Rachman dkk, 1996).
15
Selain kebijakan proteksi harga, pemerintah juga menerapkan kebijakan harga dasar. Namun penetapan harga dasar secara umum belum mencapai sasaran yang diharapkan. Dalam periode 1984-1991, rata-rata harga kedelai di tingkat petani sekitar 76.00 persen lebih tinggi dari penetapan harga dasar (Tabel 4). Dibandingkan dengan penetapan harga pembelian kedelai oleh pemerintah, harga produsen juga masih tetap lebih tinggi yaitu sekitar 69.07 persen dari harga pembelian. Nampak jelas bahwa penetapan harga dasar maupun harga pembelian kedelai oleh pemerintah adalah sangat rendah dibandingkan dengan harga pasar yang berlaku. Sejak tahun 1992 pemerintah tidak lagi menetapkan harga dasar untuk komoditas kedelai. Hal ini dikarenakan penetapan harga dasar kedelai selama ini tidak efektif sebab sejak tahun 1984 pemerintah tidak lagi melakukan pengadaan kedelai dalam negeri. Pengadaan kedelai tidak lagi dilakukan pemerintah karena harga kedelai di pasaran umum sangat baik, jauh di atas harga dasar dan dianggap sudah cukup baik bagi petani untuk meningkatkan produksi (Bulog, 1995 dalam Hadipurnomo, 2000). Selain itu adanya hambatan dalam pemasaran kedelai menyebabkan Bulog kesulitan dalam melaksanakan kebijakan harga dasar. Adapun hambatan pemasaran adalah (1) produksi kedelai difokuskan pada sentrasentra kecil dan jaraknya relatif jauh satu sama lain, (2) kontrol terhadap kualitas kedelai sulit dilakukan, dan (3) kombinasi kegiatan-kegiatan pemasaran kedelai yang bersifat musiman membuat sulit dilakukannya evaluasi ekonomi. Akibatnya, biaya yang harus dikeluarkan untuk menetapkan harga dasar akan jauh lebih tinggi dibandingkan dengan biaya peningkatan produksi kedelai itu sendiri.
16
Tabel 4. Perkembangan Kebijakan Harga Dasar, Harga Produsen, Harga Pembelian dan Pengadaan Kedelai oleh Bulog, 1984-1991. Tahun
1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991
Harga Dasar (Rp/kg) 280 300 300 300 325 370 400 500
Harga Pembelian (Rp/Kg) 293 313 313 313 340 385 415 520
Harga Produsen (Rp/kg) 458.34 468.47 517.00 612.15 665.17 766.22 705.11 766.22
Perbedaan terhadap harga produsen (%) Harga dasar Harga Pembelian 56.66 63.93 49.84 56.33 64.86 72.00 94.89 100.33 95.59 104.61 73.51 80.54 69.88 76.25 47.31 53.20
Sumber : Statistik Bulog 1983-1993. Biro Gasar, Badan Urusan Logistik, Jakarta. Keterangan : Sejak 1984 sampai sekarang tidak ada lagi pengadaan kedelai dalam negeri oleh Bulog, dan setelah 1991 tidak ada lagi penetapan harga dasar.
Dalam kondisi pasar kedelai seperti tersebut di atas, pedagang swasta dapat dengan baik melakukan kegiatan pembelian dan penyaluran kedelai secara efisien. Pasar kedelai Indonesia cenderung bersifat kompetitif dan efisien (Hayami, 1987 dalam Astuti, 1998). Perbedaan harga antar waktu (Peak and Off season) adalah relatif rendah. Hal ini disebabkan oleh terbatasnya pasokan, produksi saat panen raya selalu terserap tanpa diikuti penurunan harga yang berarti. Pada saat produksi langka, harga kedelai juga tidak meningkat melebihi batas toleransi, disebabkan oleh adanya penyaluran kedelai impor. Dapat dikatakan bahwa efektivitas kebijakan harga dasar ini juga terkait dengan kebijakan proteksi harga melalui pengaturan impor kedelai. (b). Kebijakan Kuota Impor (Non Tarif) Kebijakan kuota untuk proteksi harga ini diakui telah berhasil mencapai sasarannya dan berdampak positif dalam mendorong dan meningkatkan produksi kedelai domestik (Rosegrant et al, 1987, dalam Hadipurnomo, 2000). Berdasarkan hasil penelitian Altemeier dan Bottema (1991) dalam Rachman,et al (1996), menunjukkan bahwa kebijakan ini juga lebih mampu mendorong produksi, adopsi teknologi pemupukan maupun penyerapan tenaga kerja daripada kebijakan subsidi
17
pupuk. Namun kebijakan ini menjadi tidak relevan lagi dalam era globalisasi yang menghendaki penghapusan kebijakan non tarif, dimana kebijakan kuota termasuk kebijakan non tarif. (c). Kebijakan Tarif Impor Kedelai Upaya pemerintah dalam memenuhi kebutuhan bahan baku industri merupakan awal munculnya kebijakan impor kedelai di Indonesia pada pertengahan dasawarsa 1980-an. Perbandingan antara impor dan produksi kedelai dalam negeri mencapai rata-rata 45 persen per tahun yang merupakan angka tertinggi dibanding dengan dasawarsa 1970-an dan 1990-an (Rachman, et al, 1996). Selain melakukan impor kedelai, untuk memenuhi permintaan di dalam negeri, pemerintah juga terus mengupayakan untuk meningkatkan produksi kedelai dalam negeri. Hal ini tentunya untuk mengurangi ketergantungan terhadap kedelai impor, karena dengan meningkatnya produksi kedelai dalam negeri dapat digunakan sebagai impor substitution (pengganti kedelai impor) dalam industri yang menggunakan kedelai sebagai bahan baku produksi. Kebijakan penggunaan tarif impor kedelai dapat dipakai sebagai alternatif untuk melindungi produsen kedelai di dalam negeri. Dengan tingkat tarif bea masuk tertentu akan dapat dibentuk tingkat harga yang tidak akan menyaingi harga kedelai lokal. Strategi ini sejalan dengan era tarifikasi yang dikehendaki dalam globalisasi perdagangan untuk menggantikan segala bentuk kebijakan non tarif. Selama ini pemerintah menerapkan kebijaksanaan pengaturan tataniaga untuk melindungi produsen dalam negeri. BULOG diserahi tugas untuk melaksanakan kebijaksanaan tersebut dengan dukungan penuh.
18
Tingkat tarif bea masuk kedelai impor perlu diterapkan agar dapat memberikan tingkat proteksi yang diperlukan untuk melindungi produsen kedelai di dalam negeri. Tarif impor kedelai yang berlaku pada tahun 1983-1993 adalah sebesar sepuluh persen, kemudian pada tahun 1994-1996 tarif diturunkan menjadi lima persen, dimana Indonesia telah meratifikasi kesepakatan WTO melalui UU No.7/1994, konsekuensinya adalah Indonesia dituntut untuk segera melakukan penyesuaian kebijaksanaan pertanian dan kebijaksanaan perdagangannya. Bentuk penyesuaian tersebut antara lain adalah penurunan tarif impor produk pertanian dan pengurangan subsidi input pertanian. Berdasarkan Keputusan Menteri No.444/KMK.01/1998, sejak tahun 1998-2003 tarif yang berlaku untuk impor kedelai adalah 0 persen, sesuai dengan kesepakatan IMF yang tertuang dalam LOI (Letter of Intent), dimana Indonesia wajib sepenuhnya mematuhi ketentuan yang lebih berat dari ketentuan WTO, seperti penghapusan monopoli impor kedelai oleh Bulog dan penurunan tarif bea masuk setinggi-tingginya lima persen. Alasan pemerintah menetapkan tarif rendah adalah untuk memenuhi kebutuhan kedelai di dalam negeri, namun setelah mngevaluasi dampak tarif terhadap petani dalam negeri, dimana bea masuk nol persen sangat merugikan petani, maka pada tahun 2004 pemerintah menetapkan untuk menaikkan tarif impor kedelai menjadi sepuluh persen. Direncanakan tarif tersebut akan berlaku sampai dengan tahun 2010 (Deptan, 2005). Dengan berubahnya struktur proteksi akibat kebijakan baru yang diambil maka kemungkinan besar akan terjadi perubahan struktur produksi di tingkat petani. Harga yang menurun akibat rendahnya tarif impor mungkin akan mempengaruhi keuntungan dan daya saing usahatani. Apabila selama dilindungi
19
dengan mekanisme tarif, organisasi produksi telah ditata sedemikian rupa dengan tujuan yang sesuai dengan prinsip proteksi, maka pengurangan tarif tidak akan banyak mempengaruhi struktur produksi komoditas tersebut di dalam negeri. Namun sebaliknya bila selama diproteksi, kesempatan tersebut tidak dimanfaatkan untuk memperkuat daya saing, maka pengurangan tarif impor akan dapat menghancurkan produksi dalam negeri. 2.4.
Kajian Penelitian Terdahulu Berdasarkan hasil penelitian Astuti (1998), dengan menggunakan Policy
Analysis Matrix (PAM), usahatani kedelai pada sebelas propinsi andalan menguntungkan secara finansial yang ditunjukkan oleh keuntungan finansial yang lebih besar dari nol yakni antara Rp 248.89/kg-Rp 679.88/kg artinya usahatani layak diteruskan. Rasio Biaya Privat di sebelas propinsi andalan menunjukkan nilai kurang dari satu yakni antara 0.3285-0.6870, artinya pengusahaan kedelai memiliki keunggulan kompetitif. Ditinjau dari sisi ekonomi, usahatani kedelai di sebagian besar propinsi andalan layak diteruskan ditunjukkan oleh keuntungan ekonomi yang positif kecuali di propinsi Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur yang memperoleh keuntungan ekonomi negatif serta nilai Biaya Sumberdaya Domestik (BSD) di atas satu. Rachmawati (1999) melakukan penelitian mengenai perdagangan kedelai Indonesia dengan penerapan Model Armington dengan pemecahan jangka pendek dan pemecahan jangka panjang. Hasil analisis simulasi pemecahan jangka pendek dan jangka panjang menyebutkan bahwa Indonesia responsif terhadap faktor eksogen penggeser harga permintaan kedelai (perubahan, pajak ekspor dan biaya transportasi). Indonesia juga responsif terhadap pergeseran penawaran, dengan
20
pengaruh impor terbesar terjadi pada perubahan permintaan impor dari Amerika Serikat. Hadipurnomo (2000), meneliti mengenai dampak kebijakan produksi dan perdagangan terhadap penawaran dan permintaan kedelai di Indonesia dengan menggunakan model persamaan simultan. Hasil yang diperoleh adalah bahwa kebijakan produksi berdampak lebih besar pada perubahan luas areal panen, produktivitas dan produksi terutama di wilayah potensial luar Pulau Jawa daripada di Pulau Jawa. Sedangkan kebijakan perdagangan berdampak pada perubahan volume impor, harga impor dan permintaan kedelai, terutama permintaan kedelai untuk industri kecap. Kumenaung (1998) meneliti mengenai dampak kebijakan ekonomi dan liberalisasi perdagangan terhadap keragaan Industri komoditas kedelai Indonesia dengan menggunakan model persamaan simultan. Hasil pendugaan model menunjukkan bahwa respon areal, produktivitas dan produksi lebih efisien dikembangkan di luar Jawa. Hasil simulasi menunjukkan bahwa kebijakan yang efektif mendorong pertumbuhan produksi adalah peningkatan harga kedelai petani, penetapan tarif impor kedelai dan kombinasi kebijakan penghapusan tarif impor kedelai, peningkatan suku bunga, peningkatan GNPI dan subsidi pupuk. Kombinasi kebijakan yang memberikan dampak pertumbuhan produksi tertinggi adalah kombinasi kebijakan penghapusan tarif impor kedelai, peningkatan harga kedelai petani, peningkatan suku bunga, dan pemberian subsidi pupuk. Mahardhika (2004), dengan menggunakan persamaan regresi linier berganda meneliti mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi produksi dan impor gula di Indonesia. Produksi gula nasional dipengaruhi oleh tiga peubah
21
penjelas, yaitu luas areal tanaman tebu, produktivitas hablur, dan harga riil gula domestik tahun sebelumnya. Peningkatan ketiga peubah penjelas tersebut akan meningkatkan produksi gula nasional. Sedangkan untuk model impor gula Indonesia dipengaruhi oleh empat peubah penjelas, yaitu produksi gula domestik tahun sebelumnya, konsumsi gula nasional, harga riil gula internasional, dan tarif impor. Situmorang (2005), meneliti mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi produksi dan impor beras di Indonesia, dengan menggunakan model persamaan simultan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa luas areal panen padi dipengaruhi oleh harga gabah di tingkat petani, harga pupuk urea, curah hujan, dan lag luas areal panen. Semua variabel berpengaruh nyata terhadap luas areal tanaman padi. Produktivitas padi dipengaruhi oleh jumlah penggunaan urea, dan lag produktivitas. Harga gabah di tingkat petani dipengaruhi oleh harga dasar gabah, harga impor beras, produksi padi, dan lag harga gabah. Impor beras Indonesia dipengaruhi oleh harga impor beras, produksi beras, jumlah penduduk, nilai tukar Rupiah terhadap Dollar Amerika, dan lag impor beras. Harga impor beras Indonesia dipengaruhi oleh harga beras dunia, tarif impor, dan lag harga impor. Tabel 5. Ringkasan Penelitian-penelitian Terdahulu Nama Peneliti 1.Widya Astuti (1998)
Judul Penelitian Analisis Keunggulan Kompetitif dan Komparatif serta Dampak Kebijaksanaan Pemerintah pada Pengusahaan Kedelai di Indonesia
Tujuan Menganalisis keunggulan kompetitif dan komparatif pengusahaan kedelai di Indonesia serta pengaruh kebijakan pemerintah pada harga output dan input terhadap perkembangan produksi kedelai di Indonesia.
Metode Policy Analysis Matrix (PAM)
Hasil Penelitian Usahatani kedelai di sebelas propinsi andalan menguntungkan secara finansial, dimana pengusahaan kedelai memiliki keunggulan kompetitif.
22
Mengkaji keragaan ekonomi kedelai di Indonesia dan dunia, menganalisis penawaran ekspor kedelai dan permintaan impor di pasar internasional, dan dampak kebijakan pemerintah Indonesia dan negara pengekspor terhadap perdagangan kedelai Indonesia.
Model Armington (pemecahan jangka pendek dan pemecahan jangka panjang).
Indonesia responsif terhadap faktor eksogen penggeser harga permintaan kedelai (perubahan, pajak ekspor dan biaya transportasi). Indonesia juga responsif terhadap pergeseran penawaran, dengan pengaruh impor terbesar pada perubahan permintaan impor dari Amerika Serikat.
Dampak Kebijakan Produksi dan perdagangan Terhadap Penawaran dan Permintaan Kedelai di Indonesia.
Menganalisis respon luas areal panen, produktivitas, impor, permintaan dan harga kedelai, mengevaluasi dampak kebijakan produksi dan perdagangan terhadap penawaran dan permintaan kedelai serta terhadap kesejahteraan produsen dan konsumen
Model Persamaan Simultan
Kebijakan produksi berdampak lebih besar pada perubahan luas areal panen, produktivitas dan produksi terutama di wilayah potensial luar Pulau Jawa daripada di Pulau Jawa. Sedangkan kebijakan perdagangan berdampak pada perubahan volume impor, harga impor dan permintaan kedelai, terutama permintaan kedelai untuk industri kecap.
Dampak Kebijaka Ekonomi dan Liberalisasi Perdagangan terhadap Keragaan Industri
Mengevaluasi dan meramalkan pengembangan kedelai, mengkaji dampak kombinasi kebijakan
Model Persamaan Simultan
Kombinasi kebijakan yang memberikan dampak pertumbuhan produksi tertinggi adalah kombinasi
2.Merry Rachmawati (1999)
Analisis Perdagangan Kedelai Indonesia (Penerapan Model Armington)
3.Tidar Hadipurnomo (2000)
4.Anderson Guntur Kumenaung (2002)
di
23
Komoditas Kedelai Indonesia
di
ekonomi dan liberalisasi perdangangan terhadap kesejahteraan pelaku ekonomi yang terlibat dalam bisnis ekonomi
kebijakan penghapusan tarif impor kedelai, peningkatan harga kedelai petani, peningkatan suku bunga, dan pemberian subsidi pupuk.
5.Pranaya Yudha Mahardhika (2004) .
Analisis Faktorfaktor yang Mempengaruhi Produksi dan Impor Gula di Indonesia.
Mengetahui perkembangan produksi dan impor gula Indonesia, dan faktor-faktor yang mempengaruhi produksi dan impor gula di Indonesia
Model persamaan regresi linier berganda
Produksi gula nasional dipengaruhi oleh luas areal tanaman tebu, produktivitas hablur, dan harga riil gula domestik tahun sebelumnya, sedangkan model impor gula Indonesia dipengaruhi oleh produksi gula domestik tahun sebelumnya, konsumsi gula nasional, harga riil gula internasional, dan tarif impor.
6.Manris Tua Situmorang (2005)
Analisis Faktorfaktor yang mempengaruhi Produksi dan Impor Beras di Indonesia.
Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi produksi dan impor beras di Indonesia
Model Persamaan Simultan
Hasil analisis menunjukkan bahwa dugaan model cukup baik, dimana terlihat dari nilai koefisien determinasinya (R2) dari masingmasing persamaan strukturalberkisar antara 0,54 sampai 0,98. Selain itu nilai F umumnya tinggi, yaitu berkisar antara 3,80 sampai 368,80.
24
III. KERANGKA PEMIKIRAN
3.1.
Kerangka Teoritis
3.1.1. Teori Penawaran dan Permintaan Penawaran suatu komoditi baik barang maupun jasa merupakan jumlah komoditi yang ditawarkan oleh produsen kepada konsumen dalam suatu pasar pada tingkat harga dan waktu tertentu. Lebih lanjut dikatakan bahwa antara harga dan jumlah yang ditawarkan ini mempunyai hubungan positif yaitu jika harga naik maka jumlah komoditi yang ditawarkan semakin banyak. Adapun sumber penawaran meliputi produksi pada waktu tertentu dan persediaan (stok) pada waktu sebelumnya. Menurut Iswardono (1994), faktor-faktor yang mempengaruhi penawaran suatu komoditi dapat digambarkan dengan fungsi sebagai berikut : QSK = f (PK, PS, PI, G, T, TX)...............................................................................(3.1) dimana : QSK
= Penawaran komoditi
PK
= Harga komoditi yang bersangkutan
PS
= Harga komoditi substitusi dan komplementer
PI
= Harga faktor produksi
G
= Tujuan perusahaan
T
= Tingkat penggunaan teknologi
TX
= Pajak dan subsidi
1. PK = Harga komoditi yang bersangkutan Suatu hipotesa dasar ekonomi menyatakan bahwa harga sejumlah komoditi mempunyai hubungan positif dengan jumlah yang ditawarkan yaitu semakin tinggi harganya semakin besar jumlah yang ditawarkan, cateris paribus.
25
Hal ini karena peningkatan harga komoditi menyebabkan peningkatan keuntungan yang akan memacu peningkatan produksi maupun penjualan hasil produksinya. Jadi peningkatan harga dari suatu komoditi akan menyebabkan peningkatan penawaran komoditi tersebut. Dengan demikian perubahan harga suatu komoditi akan menyebabkan pergerakan sepanjang kurva penawaran. 2. PS
= Harga komoditi substitusi dan komplementer Berbagai komoditi dapat disubstitusi dan juga memiliki komoditi
pendukung, baik dalam produksi maupun konsumsi. Perubahan harga pada komoditi substitusi dan komplementer akan mempengaruhi jumlah penawaran pada komoditi yang bersangkutan. Peningkatan harga komoditi substitusi akan menyebabkan berkurangnya jumlah penawaran komoditi bersangkutan. Dan sebaliknya, penurunan harga komoditi substitusi akan menyebabkan peningkatan jumlah penawaran komoditi yang bersangkutan. Sedangkan peningkatan harga komoditi komplementer akan menyebabkan peningkatan jumlah penawaran komoditi yang bersangkutan, dan sebaliknya penurunan pada harga komoditi komplementer akan menyebabkan penurunan pula pada jumlah penawaran komoditi yang bersangkutan. 3. PI
= Harga faktor produksi Harga suatu faktor produksi merupakan biaya yang harus dikeluarkan oleh
perusahaan. Dengan meningkatnya harga faktor produksi maka keuntungan yang diterima perusahaan akan berkurang. Hal ini menyebabkan perusahaan akan mengurangi jumlah produksinya. Dari hal ini dapat disimpulkan bahwa peningkatan harga faktor produksi yang digunakan untuk memproduksi suatu komoditi, akan menyebabkan berkurangnya jumlah komoditi yang ditawarkan.
26
4. G
= Tujuan perusahaan Jumlah komoditi yang ditawarkan juga tergantung apa tujuan perusahaan.
Tujuan suatu perusahaan tidak semata-mata memaksimumkan keuntungan saja. Jika perusahaan lebih mementingkan volume produksi, perusahaan dapat menghasilkan dan menjual lebih banyak. 5. T
= Tingkat penggunaan teknologi Teknologi berkorelasi positif dengan jumlah yang ditawarkan. Jika
perusahaan menggunakan teknologi baru, fungsi produksi akan bergeser ke atas yang berarti produksi meningkat dan kurva biaya akan bergeser ke bawah yang berarti biaya produksi berkurang. Keuntungan yang akan diperoleh menjadi lebih besar. Jadi dapat disimpulkan, jumlah komoditi yang ditawarkan dipengaruhi oleh tingkat penggunaan teknologi dalam proses produksinya. 6. TX = Pajak dan Subsidi Adanya pajak
seperti
pajak penjualan, pajak
penghasilan
akan
mengakibatkan kenaikan pada ongkos produksi sehingga mengurangi insentif untuk berproduksi. Maka penawaran komoditi tersebut akan berkurang. Sebaliknya, pemberian subsidi akan mengurangi ongkos produksi dan meningkatkan keuntungan, sehingga penawaran komoditi tersebut akan meningkat. Dalam pasar persaingan sempurna dengan menganggap faktor-faktor lain tetap (cateris paribus) kecuali harga barang atau jasa yang bersangkutan, perubahan harga komoditi tersebut dapat menyebabkan pergerakan sepanjang kurva penawaran atau terjadi perubahan jumlah komoditi yang ditawarkan dalam biaya produksi yang diakibatkan perubahan teknologi dan faktor lainnya.
27
Menurut Pappas dan Hirschey (1995), permintaan adalah jumlah barang atau jasa yang rela dan mampu dibeli oleh konsumen selama periode tertentu. sebagai berikut : QDK
= f (PK, PS, I, S, PD)...............................................................................(3.2)
dimana : QDK
= Permintaan Komoditi
PK
= Harga komoditi itu sendiri
PS
= Harga komoditi lain
I
= Pendapatan
S
= Selera
PD
= Populasi Penduduk
1. PK = Harga komoditi itu sendiri Dengan asumsi cateris paribus, peningkatan harga komoditi yang bersangkutan akan menurunkan permintaannya, dan sebaliknya. Permintaan dan harga komoditi yang bersangkutan memiliki hubungan yang negatif. 2. PS
= Harga komoditi lain Perubahan harga komoditi substitusi akan mempengaruhi permintaan atas
komoditi yang bersangkutan secara positif. Kenaikan harga komoditi substitusi akan meningkatkan permintaan atas komoditi yang bersangkutan, dan sebaliknya. Sedangkan perubahan harga barang komplementer dapat mengubah permintaan komoditi yang bersangkutan secara negatif. Semakin tinggi harga barang komplementer, semakin rendah permintaan atas komoditi yang bersangkutan. 3. I
= Pendapatan Kenaikan
pendapatan
cenderung
meningkatkan
komoditi yang berupa barang normal, dan sebaliknya.
permintaan
untuk
28
4. S
= Selera Salah satu hal yang berpengaruh terhadap permintaan adalah selera.
Perubahan selera terjadi dari waktu ke waktu, dan cepat atau lambat akan meningkatkan permintaan pada periode tertentu dan tingkat harga tertentu. 5. PD = Populasi Penduduk Peningkatan jumlah penduduk dapat meningkatkan permintaan atas suatu komoditi. Hal ini diakibatkan semakin banyak jumlah penduduk maka semakin banyak konsumen yang menginginkan suatu komoditi. 3.1.2. Elastisitas Suatu ukuran daya tanggap yang diperlukan dalam keseluruhan pengambilan keputusan manajerial adalah elastisitas, yang didefinisikan sebagai persentase perubahan dalam variabel dependen Y, yang dihasilkan dari perubahan satu persen dalam nilai variabel independen X. Persamaan tersebut dapat dirumuskan sebagai berikut : Elastisitas Y terhadap X = persentase perubahan dalam Y persentase perubahan dalam X Sumber : (Pappas dan Hirschey, 1995)
Menurut Tomek dan Robinson (1987), elastisitas penawaran adalah persentase perubahan jumlah yang ditawarkan sebagai respon terhadap perubahan satu satuan harga dengan asumsi faktor lain dianggap konstan. Bila elastisitas bernilai nol maka jumlah yang ditawarkan tetap dan tidak ada respon kuantitas terhadap perubahan harga. Kondisi ini disebut inelastis sempurna. Sedangkan penawaran yang elastis memiliki nilai lebih dari satu dan persentase perubahan kuantitasnya lebih besar daripada persentase perubahan harganya. Penawaran komoditas pertanian pada umumnya memiliki nilai inelastis disebabkan adanya
29
tenggang waktu antara waktu menanam dengan waktu memanen sehingga jumlah yang ditawarkan tidak segera mengikuti perubahan harga yang terjadi. Nicholson (2002) menjelaskan, nilai elastisitas penawaran terbagi menurut rentang waktu pengambilan keputusan produsen, yaitu jangka pendek dan jangka panjang. Jangka pendek mengacu pada periode waktu dimana produsen harus mempertimbangan inputnya secara absolut bersifat tetap dalam mengambil keputusan. Sebaliknya jangka panjang merupakan periode waktu dimana produsen mempertimbangkan seluruh inputnya bersifat variabel dalam membuat keputusan. Sebagai contoh, elastisitas luas areal terhadap harga (EAP) adalah angka yang menunjukkan persentase perubahan luas areal akibat perubahan harga sebesar satu persen. Misalnya EAP bernilai 2, berarti setiap peningkatan harga kedelai sebesar satu persen mengakibatkan perubahan peningkatan luas areal sebesar dua persen, atau setiap penurunan harga kedelai satu persen mengakibatkan penurunan luas areal sebesar dua persen. EAP bernilai -2, berarti setiap peningkatan harga kedelai sebesar satu persen mengakibatkan penurunan luas areal sebesar dua persen, atau setiap penurunan harga kedelai sebesar satu persen mengakibatkan peningkatan luas areal sebesar dua persen. 3.1.3. Teori Produksi Lipsey (1993) mengatakan bahwa produksi adalah tindakan dalam membuat komoditi, baik berupa barang maupun jasa. Dalam pertanian, proses produksi begitu kompleks dan terus menerus berubah seiring dengan kemajuan teknologi. Tidak ada produk yang dihasilkan dengan menggunakan satu input. Dalam produksi banyak digunakan input-input untuk menghasilkan output.
30
Fungsi produksi menggambarkan hubungan antara input dan output, juga menggambarkan tingkat dimana sumberdaya diubah menjadi produk (Doll dan Orazem, 1984). Ada banyak hubungan input output dalam pertanian karena tingkat dimana input diubah menjadi output akan berbeda-beda diantara tipe tanah, hewan, teknologi, curah hujan dan faktor lainnya. Tiap hubungan input output menggambarkan kuantitas dan kualitas dari sumberdaya yang dibutuhkan untuk menghasilkan produk tertentu. Lipsey (1993) juga mengatakan bahwa fungsi produksi adalah hubungan fungsi yang memperlihatkan output maksimum yang dapat diproduksi oleh setiap input dan oleh kombinasi berbagai input. Nicholson (2002) menyatakan bahwa fungsi produksi memeperlihatkan jumlah maksimum sebuah barang yang dapat diproduksi dengan menggunakan kombinasi alternatif antara modal (K) dan Tenaga kerja (L). Sebuah fungsi produksi dapat digambarkan dalam cara yang berbeda ; dalam bentuk tertulis, menyebutkan dan menggambarkan tiap input yang berhubungan dengan output ; dengan membuat daftar input dan hasil output secara numerik dalam tabel ; dalam bentuk grafik atau diagram ; dan dalam bentuk persamaan aljabar. Secara matematis fungsi produksi dapat ditulis sebagai berikut: Y = f (X1, X2, X3,......,Xn).......................................................................(3.3) Dimana Y adalah output dan X1,......Xn adalah input-input yang berbeda yang terlibat dan ambil bagian dalam produksi Y. Simbol f menggambarkan bentuk hubungan dari perubahan input menjadi output.
31
3.1.4. Respon Areal dan Produktivitas Kedelai Respon areal adalah perubahan pada areal tanam atau panen, sedangkan respon produktivitas merupakan perubahan dalam hasil per hektarnya. Perubahanperubahan tersebut tidak terlepas dari kondisi lingkungan yang dinamis yang secara langsung maupun tidak langsung ikut mempengaruhi petani dalam membuat keputusan di bidang usahataninya. Kondisi-kondisi tersebut seperti yang telah disebutkan adalah perubahan harga komoditas itu sendiri (Pq), perubahan harga komoditas alternatifnya (Pj), perubahan harga input yang berpengaruh pada biaya produksi (Pi), ketersediaan dan perkembangan teknologi (T), perubahan iklim (CH), kebijakan pemerintah (Kb), dan luas areal sebelumnya (At-1) (Tomek dan Robinson, 1987). Masing-masing variabel mempengaruhi areal tanam atau panen secara berbeda-beda. Dengan berasumsi bahwa produsen akan berperilaku rasional yaitu mengalokasikan sumberdaya produksinya untuk komoditas yang memberikan laba yang lebih besar, sehingga semakin tinggi harga suatu komoditas, maka semakin luas areal tanam atau areal panennya, sehingga produksi akan meningkat. Variabel lain yang juga berpengaruh terhadap respon areal tanam atau panen adalah harga komoditas alternatif. Komoditas alternatif dapat berupa komoditas pesaing (kompetitif) atau sebagai komoditas substitusi maupun komoditas pendukung (komplementer). Dengan semakin tingginya harga komoditas pesaing maka luas areal tanam komoditas kedelai akan semakin sempit. Sebaliknya jika harga komoditas komplementer meningkat maka luas areal tanam kedelai akan meningkat pula. Tanda elastisitas silang dari fungsi respon areal
32
kedelai akan menunjukkan hubungan antara komoditas kedelai dengan komoditas kompetitif dan komoditas alternatifnya. Variabel selanjutnya yang turut mempengaruhi luas areal, adalah hargaharga input, kerena variabel harga input akan mempengaruhi tingkat penggunaan input. Semakin tinggi harga-harga input maka penggunaannya akan semakin berkurang, sehingga luas areal tanam yang produktif akan semakin sempit dan output semakin menurun. Menurut Tomek dan Robinson (1987), faktor-faktor lain yang juga berpengaruh terhadap luas areal adalah kebijakan pemerintah seperti pengendalian atau kebijakan harga dan kebijakan pengembangan suatu komoditas. Kebijakan pemerintah mempunyai pengaruh yang langsung dan tidak langsung terhadap mekanisme harga. Dengan adanya kebijakan pemerintah dalam pengembangan suatu komoditas, maka pemerintah akan mencurahkan dana bagi pengembangan areal tanam atau areal panennya. Berdasarkan faktor-faktor yang mempengaruhi respon luas areal, maka dapat dirumuskan persamaan sebagai berikut : At = a(Pqt, Pjt, Pit, Tt, CHt, Kbt, At-1).......................................................(3.4) Sementara itu, faktor-faktor yang mempengaruhi produktivitas kedelai menurut Hadipurnomo (2000), adalah harga kedelai itu sendiri (Pq), luas areal (A), teknologi (T), kapital (K), jumlah pemakaian pupuk (F), jumlah pemakaian bibit (V), dan upah tenaga kerja (L) dan produktivitas tahun sebelumnya (Yt-1). Dengan demikian respon produktivitas adalah : Yt = y(Pqt, At, Tt, Kt, Ft, Vt, Lt, Yt-1)......................................................(3.5) Karena itu, produksi kedelai (Q) dapat dirumuskan sebagai berikut :
33
Qt = At * Yt............................................................................................(3.6) 3.1.5. Respon Beda Kala Produksi Kedelai Salah satu karakteristik utama produk pertanian adalah adanya tenggang waktu (gestation period) antara menanam dengan memanen. Dengan demikian hasil yang diperoleh petani didasarkan pada perkiraan-perkiraan di masa mendatang serta pengalamannya di masa lalu. Jika terjadi peningkatan harga produk pertanian pada waktu tertentu, maka peningkatan tersebut segera direspon oleh peningkatan areal panen maupun produktivitas. Hal ini disebabkan keputusan alokasi sumberdaya telah ditetapkan pada saat sebelumnya. Oleh karena itu, pengaruh kenaikan harga tersebut baru terlihat pada periode tanam berikutnya. Berdasarkan hal tersebut, Nerlove mengembangkan suatu model penyesuaian parsial yang mampu menjelaskan hubungan spesifik antara harga harapan dengan harga di masa lalu. Bedasarkan penelitian Hadipurnomo (2000), model distribusi beda kala penyesuaian parsial yang dikembangkan Nerlove merupakan model yang populer digunakan dalam studi-studi respon penawaran. Dalam bentuk yang paling sederhana misalnya dalam konteks respon kedelai. Areal panen kedelai yang diinginkan (A*) dipengaruhi oleh tingkat harga komoditi, maka persamaannya menjadi : A*t = β0 + βPt + ut....................................................................................(3.7) dimana, A*t = areal panen yang diinginkan pada tahun t Pt = harga kedelai pada tahun t
34
Luas areal yang diharapkan tidak dapat diamati secara langsung sehingga untuk mengatasinya dikalikan suatu hipotesis yang merupakan hipotesis perilaku penyesuaian parsial. At- At-1 = δ (A*t –At-1) + vt....................................................................(3.8) dimana, At – At-1 = perubahan luas panen aktual A*t – At-1 = perubahan luas panen yang diharapkan δ
= koefisien penyesuaian, 0 ≤ δ ≤ 1 Perubahan areal yang sebenarnya terjadi merupakan proporsi tertentu dari
perubahan yang diinginkan. Proporsi tertentu ini disebut koefisien penyesuaian parsial (δ). Nilai δ ini terletak di antara dua nilai ekstrim 0 dan 1, jika : δ = 0, maka tidak ada perubahan apapun dalam areal δ = 1, maka areal yang diharapkan sama dengan yang dicapai sehingga penyesuaiannya terjadi seketika (dalam periode waktu yang sama). Persamaan (3.8) dapat diatur kembali sehingga dapat dituliskan : At = δA*t + (1-δ) At-1 + vt.....................................................................(3.9) Areal panen kedelai yang diamati pada periode tertentu dipengaruhi oleh luas areal yang panen yang diinginkan pada saat itu dan luas panen yang ada dalam periode waktu sebelumnya. Bila mensubstitusikan persamaan (3.7), ke persamaan (3.9), akan diperoleh : At = δ( β0 + β1P1 + u1) + (1-δ)At-1 + vt At = δβ0 + δβ1P1 + (1-δ)At-1 + (vt + δut) At = β0* + β1*P1 + β2*At-1 + v1*...........................................................(3.10)
35
Dimana β0* = δβ0 merupakan konstanta, β1*= δβ1 dan β2* = 1-δ merupakan parameter yang diduga dan vt* = (vt + δut) adalah peubah penganggu. Persamaan ini menunjukkan suatu fungsi dalam bentuk yang dinamis yang ditunjukkan dengan adanya peubah At-1. Model ini merupakan model penyesuaian parsial Nerlove. Model ini menunjukkan bahwa besarnya nilai peubah pada suatu periode sebagian dipengaruhi oleh cadangan yang tersedia di awal periode atau cadangan hasil periode sebelumnya. Sama halnya dengan model respon areal panen, model respon produktivitas (Yt) juga mengalami penyesuaian parsial. Dengan mengikuti langkah-langkah sebelumnya, diperoleh model respon produktivitas sebagai berikut :
Yt = σα0 + σα1Pt + (1-σ)Yt-1 + (vt + δut) Yt = α0* + α1*Pt + α2*Yt-1 + vt*............................................................(3.11) dimana, α0* = σα0 ; α1* = σα1 ; α2* = (1-σ) ; vt*= (vt + δut). 3.1.6. Teori Dasar Perdagangan Internasional Dalam arti sempit, perdagangan internasional adalah merupakan suatu masalah yang timbul sehubungan dengan pertukaran komoditi antara negara (Gonarsyah, 1984). Lebih lanjut dikatakan bahwa pada dasarnya faktor yang mendorong timbulnya perdagangan internasional dari suatu negara ke negara lain bersumber dari keinginan memperluas pemasaran komoditi ekspor dan memperbesar penerimaan devisa dalam penyediaan dana pembangunan dari negara yang bersangkutan.
36
Di dalam teorinya mengenai timbulnya perdagangan, Heckscher-Ohlin menganggap bahwa negara dicirikan oleh bawaan faktor yang berbeda, sedangkan fungsi produksi di semua negara adalah sama. Dengan menggunakan asumsi tersebut diperoleh kesimpulan bahwa dengan fungsi produksi yang sama dan faktor bawaan yang berbeda antar negara, suatu negara cenderung untuk mengekspor komoditi yang secara relatif intensif dalam menggunakan faktor produksi yang relatif banyak dimiliki. Teori
perdagangan
internasional
mengkaji
dasar-dasar
terjadinya
perdagangan internasional serta keuntungan yang diperolehnya. Kebijakan perdagangan internasional membahas alasan-alasan serta pengaruh pembatasan perdagangan, serta hal-hal menyangkut proteksionisme baru (new protectionism) (Salvatore, 1997). Ilmu makroekonomi negara terbuka membahas mekanisme penyesuaian dan ketidaksesuaian neraca pembayaran (surplus dan defisit) seperti halnya pengaruh saling ketergantungan antar negara di bawah sistem moneter internasional yang berbeda, serta pengaruhnya terhadap kesejahteraan sebuah negara. Teori dan kebijakan perdagangan internasional merupakan aspek mikro ekonomi internasional sebab berhubungan dengan masing-masing negara sebagai individu yang diperlakukan sebagai unit tunggal, serta berhubungan dengan harga relatif suatu komoditi. Secara teoritis, suatu negara (sebut saja negara 1) akan mengekspor suatu komoditi (misalnya kedelai) ke negara lain (misalnya negara 2) apabila harga domestik di negara 1 (sebelum terjadinya perdagangan) relatif lebih rendah bila dibandingkan dengan harga domestik di negara 2 (Gambar 1). Struktur harga yang
37
relatif lebih rendah di negara 1 tersebut disebabkan karena adanya kelebihan penawaran (excess supply) yaitu produksi domestik melebihi konsumsi domestik, sebesar segitiga ABE. Dalam hal ini faktor produksi di negara 1 relatif berlimpah. Dengan demikian negara 1 mempunyai kesempatan menjual kelebihan produksinya ke negara lain. Di lain pihak, negara 2 mengalami kekurangan suplai kedelai karena konsumsi domestiknya melebihi produksi domestik (excess demand), sebesar segitiga A’B’E’ sehingga harga menjadi lebih tinggi. Pada kesempatan ini negara 2 berkeinginan untuk membeli komoditi kedelai dari negara lain yang harganya relatif murah. Panel A (eksportir)
Panel B
Panel C ( importir)
Pasar di negara 1 untuk komoditi X
Hubungan perdagangan internasional dalam komoditi X
Pasar di negara 2 untuk komoditi X
Px/Py
Px/Py
Px/Py Sx
P3 Sx
P2 P1 0
A’
A’’ S
Ekspor B
*
E
B
A*
A Dx X
0
B’
*
E
E’ Impor Dx
D
X
0
X
Gambar 1. Kurva Proses TerjadinyaPerdagangan Internasional Sumber : Salvatore, 1997 ,hal 84
Apabila kemudian terjadi komunikasi antara negara 1 dan 2, maka akan terjadi perdagangan antara kedua negara tersebut. Dalam hal ini negara 1 akan mengekspor kedelai ke negara 2. Dapat dilihat pada Gambar 1, sebelum terjadinya perdagangan internasional, harga di negara 1 adalah sebesar P1 sedangkan di negara 2 sebesar P3. Suplai di pasar internasional akan terjadi jika harga internasional lebih besar
38
daripada P1, sedangkan permintaan di pasar internasional akan terjadi jika harga internasional lebih rendah dari P3. Pada saat harga internasional sama dengan harga P2 maka di negara 2 terjadi kelebihan permintaan sebesar A’B’E’, sedangkan jika harga internasional sebesar P2 maka di negara 1 akan terjadi kelebihan suplai sebesar ABE. Perpaduan antara kelebihan penawaran di negara 1 dan kelebihan permintaan di negara 2 akan menentukan harga yang terjadi di pasar internasional, yaitu sebesar P2. Dengan adanya perdagangan tersebut maka negara 1 akan mengekspor suatu komoditi (misalnya kedelai) sebesar ABE, sedangkan negara 2 akan mengimpor kedelai sebesar A’B’E’. Di pasar internasional besarnya ABE akan sama dengan A’B’E’. Dengan kata lain, besarnya ekspor suatu komoditi dalam perdagangan internasional akan sama dengan besarnya impor komoditi tersebut. Harga yang terjadi di pasar internasional merupakan harga keseimbangan antara penawaran dan permintaan dunia. Perubahan dalam produksi dunia akan mempengaruhi penawaran dunia, sedangkan perubahan dalam konsumsi dunia akan mempengaruhi permintaan dunia. Kedua perubahan tersebut pada akhirnya akan mempengaruhi harga dunia. 3.1.7. Fungsi Impor Permintaan impor suatu negara merupakan selisih konsumsi domestik dikurangi produksi domestik dan dikurangi stok pada akhir tahun lalu. Secara matematik, impor dapat digambarkan sebagai berikut (Purwanti, 1995) : Mt = Ct – Qt – St-1 ...................................................................(3.12) Dimana : Mt = Jumlah impor pada tahun ke-t Ct = Jumlah konsumsi domestik pada tahun ke-t
39
Qt = Jumlah produksi domestik pada tahun ke-t St-1 = Sisa stok pada tahun ke- t-1 Selain faktor-faktor domestik dia atas, fungsi impor suatu negara juga dipengaruhi oleh faktor-faktor dari luar negeri, yaitu nilai tukar atau exchange rate (ERt), dan harga impor (Pigt). Dengan demikian, secara teoritis fungsi impor komoditas pertanian suatu negara dapat ditulis : Mt = f ( Qt, Ct, St-1, ERt, Pigt)....................................................(3.13) Terdapat beberapa variabel yang akan mempengaruhi permintaan impor suatu negara seperti biaya transportasi (BT), tarif (T), Selera konsumen (S), distribusi pendapatan (DP), dan populasi (P), yang dapat menciptakan hasil yang lebih akurat (Oktaviani, 2000). 3.1.8. Tarif Dalam arti luas kebijakan ekonomi internasional adalah tindakan atau kebijakan ekonomi pemerintah yang secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi komposisi, arah serta bentuk daripada perdagangan dan pembayaran internasional. Kebijakan ini dapat berupa tarif atau bea masuk, pelarangan impor, kuota, subsidi. (Nopirin, 1999). Berdasarkan tujuannya, kebijakan tarif impor (import duty atau import tarriff) dapat diklasifikasikan sebagai berikut : a) Tarif proteksi, yaitu merupakan pengenaan tarif bea masuk yang tinggi untuk mencegah atau membatasi barang tertentu, b) Tarif Revenue, yaitu pengenaan tarif bea masuk yang bertujuan untuk meningkatkan penerimaan negara. Menurut Hamdy (2000), jika dilihat dari tujuannya maka fungsi tarif bea masuk adalah untuk mengatur perlindungan kepentingan ekonomi dalam negeri
40
(regulend function), sebagai salah satu sumber penerimaan negara (budgeter function), dan fungsi pemerataan yaitu untuk pemerataan distribusi pendapatan nasional. Pada Gambar 2 dapat dilihat analisis efek dari tarif secara parsial. Pada saat harga P0 titik keseimbangan adalah e dimana perekonomian berada dalam keadaan autarki, dengan kondisi tidak ada ekspor dan impor, produksi dalam negeri sama dengan konsumsi dalam negeri. Pada harga Pw, perekonomian berada dalam keadaan free trade, dimana produksi dalam negeri sebesar OQ1 sementara konsumsi dalam negeri OQ2 sehingga dibutuhkan impor sebesar Q1Q2. Terhadap impor ini pemerintah mengenakan tarif atau bea masuk sebesar Pt – Pw, yang akan berdampak pada naiknya harga dari Pw menjadi Pt (Price effect), konsumsi dalam negeri berkurang dari OQ2 menjadi OQ4 (consumption effect). Sementara produksi dalam negeri meningkat dari OQ1 menjadi OQ3 (import substitution effect/protective) sehingga impor akan berkurang menjadi Q3Q4. Selanjutnya pemerintah mendapat penerimaan sebesar ruang fgkj (revenue effect). Dari analisis tersebut dapat pula diketahui banwa redistribusi income atau subsidi yang berasal dari konsumen kepada produsen dikarenakan adanya tarif adalah sebesar PwPtfh.
41
Harga D0
S0
P0
e
Pt Pw
O
h
Q1
f
k
g
j
Q3
Q0
Q4
i
Free trade
Q2
Gambar 2. Kurva Analisis Dampak Tarif Keterangan : Pt – Pw = Besar tarif impor P0 = Harga domestik kedelai di negara importir Sumber : Salvatore, 1997,hal 274
Pemberlakuan tarif ini merugikan konsumen karena konsumen harus membayar harga yang lebih tinggi. Kerugian ini akan diimbangi dengan adanya pendapatan pemerintah dari tarif, yakni tarif impor dikalikan kuantitas impor setelah tarif ditetapkan adalah sebesar fgkj dan ekstra pendapatan yang diterima produsen dalam negeri karena adanya tarif sebesar PwPtfh, sehingga kerugian bersih masyarakat (dead weight loss/society loss) akibat tarif tersebut adalah sebesar (hfg + jki), dimana hfg (producer loss) yang mencerminkan beban baku akibat produksi kedelai domestik yang berlebihan dan jki (consumer loss) yang merupakan beban baku akibat konsumsi kedelai yang terlalu rendah. Dengan adanya pemberlakuan tarif ini akan menguntungkan pihak produsen dan pemerintah, namun merugikan konsumen.
42
3.2.
Kerangka Pemikiran Operasional Pada prinsipnya penawaran kedelai tergantung kepada dua variabel yaitu
luas areal panen dan produktivitas. Penurunan luas areal produksi yang disebabkan oleh penurunan harga riil kedelai, persaingan dengan komoditi lain, dan lebih rendahnya harga riil kedelai impor dibanding harga riil kedelai lokal akan mengakibatkan penurunan luas areal panen. Sedangkan produktivitas kedelai masih rendah dan cenderung stagnan. Rendahnya produktivitas ini disebabkan oleh belum populernya penggunaan benih bermutu dan bersertifikasi, kemudian jenis areal lahan yang bermasalah dalam hal ketersediaan air, gangguan hama penyakit, waktu tanam yang belum tepat, serta belum sempurnanya penerapan teknologi oleh petani. Sementara itu, karena jumlah penduduk semakin meningkat maka berimplikasi terhadap peningkatan permintaan kedelai sebagai sumber pangan. Selain itu meningkatnya kebutuhan kedelai juga disebabkan oleh berkembangnya berbagai industri pengolahan yang menggunakan bahan baku kedelai, seperti industri tahu dan kecap. Laju permintaan kedelai yang terus meningkat ini tidak mampu diimbangi oleh produksi kedelai domestik, akibatnya lag antara konsumsi dan produksi kedelai domestik harus dipenuhi melalui impor. Selain karena kapasitas produksi dalam negeri yang tidak dapat memenuhi kebutuhan konsumsi, pengaruh liberalisasi perdagangan turut pula merangsang aliran impor kedelai ke Indonesia. Saat ini kebijakan pemerintah di bidang perdagangan kurang berpihak kepada produsen atau petani kedelai dalam negeri, dimana tarif atau bea masuk impor kedelai yang berlaku saat ini adalah hanya 10 persen. Sementara negara
43
pengekspor memberikan subsidi bagi petaninya dan memberi kredit lunak bagi importir Indonesia, sehingga mempertinggi volume impor kedelai. Berdasarkan uraian di atas, maka dibuat model persamaan produksi dan impor kedelai Indonesia. Model yang digunakan dalam penelitian ini adalah model persamaan simultan. Setelah melakukan spesifikasi dan identifikasi model, akan dilakukan analisis untuk melihat faktor-faktor yang mempengaruhi produksi dan impor kedelai Indonesia. Diharapkan hasil analisis yang diperoleh dapat digunakan oleh seluruh stake holder untuk memajukan produksi kedelai Indonesia serta mengurangi ketergantungan terhadap impor kedelai. Selain itu hasil analisis juga diharapkan dapat menjadi literatur bagi penelitian-penelitian selanjutnya.
48
Di dalam model persamaan simultan, terdapat dua jenis persamaan yaitu persamaan identitas dan persamaan struktural, dimana persamaan struktural menunjukkan pengaruh langsung dari setiap variabel bebas terhadap variabel tak bebas. Berdasarkan kerangka pemikiran operasional yang telah dibangun maka dibentuklah model persamaan produksi dan impor kedelai di Indonesia. Model persamaan yang dirumuskan dalam penelitian ini terdiri dari satu persamaan identitas, yaitu fungsi produksi kedelai, dan enam persamaan struktural, yaitu fungsi luas areal panen kedelai, fungsi produktivitas kedelai, fungsi harga kedelai lokal atau domestik, fungsi harga kedelai di tingkat produsen, fungsi impor kedelai Indonesia dan fungsi harga impor kedelai Indonesia. Model persamaan terdiri dari 7 variabel endogen dan 16 variabel eksogen. Setiap variabel harga telah dideflasi menggunakan indeks harga konsumen (1995=100). Indeks harga konsumen dipilih, karena merupakan indeks harga yang umum digunakan dalam penelitian, selain itu data indeks harga yang tersedia dari berbagai sumber hanya indeks harga konsumen. Variabel dummy yang dipilih adalah dummy monopoli BULOG, sedangkan dummy krisis moneter tidak dimasukkan, karena hasil olah data ketika dummy krisis moneter dimasukkan tidak menghasilkan model yang baik. 4.3.1. Fungsi Produksi Kedelai Produksi kedelai pada tahun ke-t (QKt) merupakan perkalian antara luas areal panen atau luas areal produktif (LAPt) dengan produktivitas kedelai pada tahun tersebut (Yt). Persamaan produksi kedelai dapat dirumuskan sebagai berikut :
49
QKt = LAPt * Yt................................................................................................(4.1) dimana ; QKt = produksi kedelai pada tahun ke-t (ton) LAPt = luas areal panen kedelai tahun ke-t (ha) Yt
= produktivitas kedelai pada tahun ke-t (ton/ha)
4.3.2. Fungsi Luas Areal Panen Tanaman Kedelai Luas areal panen digunakan dalam model fungsi luas areal sebab diduga sebagai proksi terhadap luas areal tanam yang dihasilkan. Luas areal panen tanaman padi (LAPt) dipengaruhi oleh harga riil kedelai domestik (PRt), harga riil jagung (PJt), curah hujan (CHt), harga riil benih kedelai (PBt) dan luas areal panen tahun sebelumnya (LAPt-1). Variabel harga riil jagung dipilih untuk dimasukkan ke dalam persamaan, karena merupakan kompetitor utama tanaman kedelai, sedangkan tanaman palawija lainnya bukan merupakan kompetitor utama. Persamaan luas areal panen tanaman kedelai dirumuskan sebagai berikut: LAPt
= a0 + a1PRt + a2PJt + a3CHt + a4PBt + a5LAPt-1 + μ1...................(4.2)
dimana ; LAPt
= luas areal panen tanaman kedelai tahun ke-t (ha)
PRt
= harga rill kedelai domestik tahun ke-t (Rp/kg)
PJt
= harga riil jagung tahun ke-t (Rp/kg)
CHt
= curah hujan tahun ke-t (mm/tahun)
PBt
= harga riil benih kedelai (Rp/kg)
LAPt-1
= luas areal panen tanaman kedelai tahun sebelumnya (ha)
a0
= intersep
ai
= parameter yang diduga (i= 1,2,3,4,.....,7)
μ1
= variabel penganggu
Nilai dugaan parameter yang diharapkan, a1,a3>0 ; a2,a4<0 ; 0
50
4.3.3. Fungsi Produktivitas Kedelai Produktivitas kedelai (Yt) dipengaruhi oleh jumlah penggunaan pupuk urea (JPPt), curah hujan (CHt), harga riil jagung (PJt), harga riil kedelai di tingkat produsen (PDt) dan produktivitas kedelai tahun sebelumnya (Yt-1). Persamaan produktivitas kedelai dapat dirumuskan sebagai berikut : Yt
= b0 + b1JPPt +b2CHt +b3PJt + b4PDt + b5Yt-1 + μ2........................(4.3)
dimana ; Yt
= produktivitas kedelai pada tahun ke-t (ton/ha)
JPPt = jumlah penggunaan pupuk urea (kg/ha) CHt = curah hujan tahun ke-t (mm/tahun) PJt
= harga riil jagung tahun ke-t (Rp/kg)
PDt
= harga riil kedelai di tingkat produsen (Rp/kg)
Yt-1
= produktivitas kedelai pada tahun sebelumnya (ton/ha)
b0
= intersep
bi
= parameter yang diduga (i = 1,2,3,4)
μ2
= variabel pengganggu
Nilai dugaan parameter yang diharapkan, b1, b2 ,b4> 0 ; b3< 0 ; 0
= c0 + c1PDt + c2PMt+ c3IKt + c4Yt + c5PRt-1 + μ3..........................(4.4)
dimana ; PRt = harga riil kedelai domestik tahun ke-t (Rp/kg) PDt = harga riil kedelai di tingkat produsen (Rp/kg)
51
PMt = harga kedelai impor riil Indonesia (Rp/kg)) IKt
= jumlah impor kedelai Indonesia (ton)
Yt
= produktivitas kedelai (ton per hektar)
PRt-1= harga riil kedelai domestik tahun sebelumnya (Rp/kg) c0
= intersep
ci
= parameter yang diduga (i = 1,2,3,4,5)
μ3
= variabel penganggu
Nilai dugaan parameter yang diharapkan, c1,c2>0 ; c3,c4<0 ; 0
= d0 + d1QKt + d2IKt + d3Ct + d4DBt + d5PDt-1 + μ4.......................(4.5)
dimana ; PDt
= harga riil kedelai di tingkat produsen (Rp/kg)
QKt
= jumlah produksi kedelai domestik (ton)
IKt
= jumlah impor kedelai Indonesia (ton)
Ct
= jumlah konsumsi kedelai nasional (ton)
DBt
= dummy monopoli Bulog, nilai 1 = ada monopoli Bulog ; nilai 0 = tidak ada monopoli Bulog
PDt-1
= harga riil kedelai di tingkat produsen tahun sebelumnya (Rp/kg).
d0
= intersep
52
di
= parameter yang diduga (i = 1,2,3,4)
μ4
= variabel penganggu
Nilai dugaan parameter yang diharapkan; d3, d4>0 ; d1,d2<0 ; 0
= e0 + e1PWt + e2QKt + e3Ct + e4POPt + e5IKt-1 + μ5...................(4.6)
dimana ; IKt = jumlah impor kedelai Indonesia tahun ke-t (ton) PWt = harga kedelai Internasional (Rp/kg) QKt = jumlah produksi kedelai (ton) Ct
= jumlah konsumsi kedelai domestik (ton)
POPt = jumlah penduduk Indonesia tahun ke-t (ton) IKt-1 = jumlah impor kedelai Indonesia tahun sebelumnya (ton) d0
= intersep
di
= parameter yang diduga (i = 1,2,3,4,5)
μ5
= variabel penganggu
Nilai dugaan parameter yang diharapkan, e1,e2<0 ; e3, e4>0 ; 0<e5<1 4.3.7. Fungsi Harga Impor Kedelai Indonesia Harga impor riil kedelai Indonesia (PMt) dipengaruhi oleh harga kedelai internasional (PWt), nilai tukar (ERt), dummy monopoli Bulog (DBt), tarif impor
53
kedelai (TIt) dan harga impor kedelai tahun sebelumnya (PMt-1). Persamaan harga impor riil kedelai dapat dirumuskan sebagai berikut : PMt
= f0 + f1PWt + f2ERt + f3DBt + f4TIt + f5PMt-1 + μ6.....................(4.7)
dimana ; PMt
= harga rill kedelai impor Indonesia tahun ke-t (Rp/kg))
PWt
= harga kedelai internasional (Rp/kg)
ERt
= nilai tukar Rupiah terhadap USDollar tahun ke-t Rp/US$)
DBt
= dummy monopoli Bulog
TIt
= tarif impor kedelai (%)
PMt-1
= harga riil kedelai impor tahun sebelumnya (Rp/kg)
e0
= intersep
e1
= parameter yang diduga (i = 1,2,3)
μ6
= variabel penganggu
Nilai dugaan parameter yang diharapkan, f1,f2,f3,f4>0 ; 01 4.4.
Hipotesis Berdasarkan perumusan masalah, formulasi hipotesis terutama ditentukan
melalui kerangka pemikiran, tujuan penelitian, serta model analisis yang telah diuraikan sebelumnya, maka dapat diajukan suatu hipotesis penelitian. Hipotesis didasarkan pada fungsi-fungsi di atas yang diduga ada beberapa variabel eksogen yang memiliki hubungan signifikan terhadap variabel endogen. Variabel-variabel tersebut dapat diukur serta data untuk masing-masing variabel tersebut tersedia. Adapun hipotesis utama yang dikemukakan dalam penelitian ini adalah : 1. Diduga luas areal tanaman kedelai dipengaruhi secara positif oleh harga riil kedelai domestik, curah hujan rata-rata dan luas areal panen tahun
54
sebelumnya . Sedangkan harga riil jagung dan harga riil benih kedelai berpengaruh negatif terhadap luas areal panen. 2. Diduga produktivitas kedelai dipengaruhi secara positif oleh Jumlah penggunaan pupuk urea, curah hujan, harga kedelai di tingkat produsen dan produktivitas kedelai tahun sebelumnya. Sedangkan harga riil jagung berpengaruh negatif terhadap produktivitas kedelai. 3. Diduga jumlah impor kedelai Indonesia dipengaruhi secara positif oleh jumlah konsumsi kedelai Indonesia, jumlah populasi penduduk Indonesia, dan jumlah impor kedelai tahun sebelumnya. Sedangkan harga kedelai internasional dan jumlah produksi kedelai domestik berpengaruh negatif terhadap produktivitas kedelai. Sedangkan hipotesis-hipotesis yang diturunkan dari hipotesis utama adalah sebagai berikut : 4. Diduga harga riil kedelai lokal atau domestik dipengaruhi secara positif oleh harga riil kedelai di tingkat produsen, harga riil kedelai impor Indonesia, dan harga riil kedelai domestik tahun sebelumnya.. Sedangkan variabel yang berpengaruh negatif adalah jumlah impor dan produktivitas kedelai. 5. Harga kedelai di tingkat produsen dipengaruhi secara positif oleh jumlah konsumsi kedelai, dummy monopoli Bulog, dan harga riil kedelai di tingkat produsen tahun sebelumnya, sedangkan yang berpengaruh negatif adalah jumlah produksi kedelai Indonesia dan jumlah impor kedelai Indonesia
55
6. Diduga harga impor riil kedelai Indonesia dipengaruhi secara positif oleh seluruh variabel eksogen yaitu harga kedelai internasional, nilai tukar Rupiah terhadap Dollar, dummy monopoli Bulog, tarif impor kedelai dan harga impor kedelai tahun sebelumnya.
4.5.
Identifikasi Model Menurut Koutsoyiannis (1977), masalah identifikasi muncul hanya untuk
persamaan-persamaan yang didalamnya terdapat koefisien-koefisien yang harus diestimasi secara statistik (dari data contoh). Masalah identifikasi tidak muncul dalam persamaan-persamaan definisi, identitas atau dalam pernyataan tentang kondisi
equilibrium,
karena
dalam
hubungan-hubungan
tersebut
tidak
memerlukan pengukuran. Dalam teori ekonometrika terdapat dua kemungkinan situasi dalam suatu identifikasi, yaitu : 1. Persamaan Underidentified Suatu persamaan dikatakan underidentified jika bentuk statistiknya tidak tunggal. Suatu sistem dikatakan underidentified ketika satu atau lebih persamaan-persamaan yang ada dalam sistem tersebut underidentified. Jika suatu persamaan atau model underidentified maka tidak mungkin dilakukan pendugaan dari seluruh parameter yang ada dengan teknik ekonometrika manapun.
56
2. Persamaan Identified Jika suatu persamaaan memiliki bentuk statistik tunggal maka persamaan tersebut dapat diidentifikasikan (identified), dan persamaan tersebut bisa exactly
identified
atau
overidentified.
Dalam
persamaan
yang
teridentifikasi, koefisien yang terdapat didalamnya dapat diduga secara statistik. Jika persamaan exactly identified maka metode yang sesuai untuk pendugaan adalah Indirect Least Square (ILS). Sedangkan jika persamaan overidentified maka metode yang dapat digunakan salah satunya adalah Two Least Square (2SLS). Berdasarkan Koutsoyiannis (1977), terdapat dua tahap identifikasi, yaitu : 1. Order Condition digunakan untuk mengetahui apakah persamaanpersamaan yang ada dapat diidentifikasi atau tidak dapat. Langkahlangkah dalam order condition, yaitu : a. Bila (K-M) ≥ (G-1), maka persamaan tersebut dapat diidentifikasi. b. Bila (K-M) < (G-1), maka persamaan tersebut tidak dapat diidentifikasi atau underidentified. dimana :
K
= Total variabel dalam model
M
= Total variabel endogen dan eksogen dalam persamaan yang akan diidentifikasi.
G
= Total persamaan dalam model
2. Rank Condition Rank Condition digunakan untuk mengidentifikasi persamaan dimana setelah dilakukan uji order condition menghasilkan kesimpulan dapat
57
diidentifikasi, yang selanjutnya dilihat apakah persamaan tersebut exactly identified atau overidentified. Langkah-langkah rank condition adalah : a. Jadikan persamaan simultan yang ada menjadi persamaan yang ruas kanannya nol. b. Susun matriks koefisien dari seluruh variabel yang ada untuk persamaan-persamaan tersebut. c. Jika kita ingin mengidentifikasi persamaan ke-i, maka coret baris persamaan itu dan kolom dari variabel yang ada dalam persamaan tersebut. d. Dari matriks sisanya cari semua determinan yang mungkin dapat dihitung. e. Jika paling sedikit ada satu determinan yang tidak sama dengan nol maka simpulkan : a) persamaan tersebut overidentified, bila (K-M) > (G-1). b) Persamaan tersebut exactly identified, bila (K-M) = (G-1). Jika semua determinan sama dengan nol maka persamaan tersebut underidentified. Model persamaan simultan yang ada terdiri dari 7 persamaan dengan 23 total variabel di dalam model. Di dalam model terdapat 7 variabel endogen dan 16 variabel eksogen. Uji order condition menghasilkan kesimpulan dapat diindentifikasi untuk masing-masing persamaan dalam model, dimana hasil pengurangan total variabel dalam model dengan total variabel endogen dan eksogen dalam persamaan yang diidentifikasi lebih besar dari hasil pengurangan total persamaan dalam model dengan satu.
58
Uji rank condition menghasilkan kesimpulan over identified untuk masing-masing persamaan dalam model, hal ini dikarenakan tidak semua determinan persamaan yang ada sama dengan nol dan juga dikarenakan hasil pengurangan total variabel dalam model dengan total variabel endogen dan eksogen dalam persamaan yang diidentifikasi lebih besar dari hasil pengurangan total persamaan dalam model dengan satu. Hasil identifikasi yang menghasilkan kesimpulan over identified memungkinkan persamaan untuk diestimasi dengan metode Two-Stage Least Square (2SLS). 4.6.
Pengujian Model dan Hipotesis
4.6.1. Uji Kesesuaian Model Dalam Koutsoyiannis (1977), pengujian terhadap dugaan persamaan secara keseluruhan dilakukan dengan menggunakan uji F-statistik. Uji F-statistik dapat menjelaskan kemampuan variabel eksogen secara bersama-sama dalam menjelaskan keragaman dari variabel endogen. Hipotesis yang diuji dari pendugaan persamaan di atas adalah variabel eksogen tidak berpengaruh nyata terhadap variabel endogen. Hipotesis ini disebut hipotesis nol. Mekanisme yang digunakan untuk menguji hipotesis dari parameter dugaan secara serentak (uji F-statistik) adalah : H0 : a1 = a2 = ...= ai = 0 (tidak ada variabel yang berpengaruh dalam persamaan). H1 : minimal ada satu nilai parameter dugaan (ai) yang tidak sama dengan nol (paling sedikit ada satu variabel eksogen yang berpengaruh nyata terhadap variabel endogen). Untuk i = 1,2,3,....,k
59
a = dugaan parameter Statistik uji yang digunakan dalam uji-F : F hitung = SSR / (k-1) .................................................................(4.8) SSE / (n-k) dengan derajat bebas = (k-1), (n-k) dimana : SSR
= jumlah kuadrat regresi
SSE
= jumlah kuadrat sisa
k
= jumlah parameter
n
= jumlah pengamatan
Selanjutnya dilakukan pengujian dengan kriteria uji sebagai berikut : F hitung < F tabel
: terima H0, artinya secara bersama-sama variabel eksogen yang digunakan tidak berpengaruh nyata terhadap variabel endogen (variabel yang digunakan tidak bisa menjelaskan secara nyata keragaman dari variabel endogen).
F hitung > F tabel
: tolak H0, artinya secara bersama-sama variabel eksogen berpengaruh nyata terhadap variabel endogen (minimal terdapat satu parameter dugaan yang tidak sama dengan nol dan berpengaruh nyata terhadap keragaman variabel endogen).
60
4.6.2. Uji Dugaan Variabel Secara Individu Uji parsial (uji t) bertujuan untuk mengetahui apakah variabel eksogen yang terdapat di dalam model secara individu berpengaruh nyata terhadap variabel endogen. Mekanisme uji statistik t adalah sebagai berikut : Hipotesis : H0 = perubahan suatu variabel eksogen secara individu tidak berpengaruh nyata terhadap perubahan variabel endogen. H1 = perubahan suatu variabel eksogen secara individu berpengaruh nyata terhadap perubahan variabel endogen. Statistik uji yang digunakan dalam uji t adalah sebagai berikut : t hitung = bi / S(bi)........................................................................(4.9) dimana : bi
= koefisien parameter dugaan
S(bi)
= standar deviasi parameter dugaan
Dengan kriteria uji sebagai berikut : t hitung < t tabel
: terima H0
t hitung > t tabel
: tolak H0, dan terima H1
Semakin banyak H0 yang ditolak maka suatu model akan semakin baik untuk dijadikan model pendugaan persamaan simultan. 4.6.3. Uji Autokorelasi dan Heteroskedastisitas Persamaan dalam penelitian ini menggunakan data time series yang mengandung lagged endogenous variable. Pada jenis data seperti ini sering ditemukan masalah autokorelasi, dimana terjadi hubungan error-term antar dua
61
pengamatan. Penaksiran model regresi linier mengandung asumsi bahwa tidak terdapat autokorelasi di antara error terms, yaitu : cov (μt, μs) = E (μt μs) = 0, t ≠ s .........................................................(4.10) jika terjadi autokorelasi maka pendugaan model tetap tidak bias dan konsisten tetapi tidak efisien. Pengujian hipotesis menjadi tidak valid (Ramanathan, 1998). Oleh karena itu masalah autokorelasi akan menyesatkan dalam pengambilan kesimpulan terutama mengenai nyata tidaknya secara statistik bagi setiap parameter dugaan yang diuji. Untuk mendeteksi ada atau tidaknya autokorelasi biasanya digunakan uji d (Durbin Watson Stastistic). Namun dikarenakan di dalam persamaan yang diamati terdapat lagged endogenous variable maka uji d menjadi tidak valid. Sehingga dalam penelitian ini untuk menguji autokorelasi digunakan uji statistik dh (durbinh statistics), sebagai berikut : H = [ 1-0.5d] [ n/ {1-n (var β}]0.5........................................................(4.11) dimana : .d
= nilai statistik Durbin-Watson
N
= jumlah observasi
Var β = varians koefisien regresi untuk lagged dependent variable Apabila h-hitung lebih kecil dari tabel distribusi normal, maka dalam persamaan tidak mengalami autokorelasi. Uji ini tidak berlaku jika n(var β) ≥ 1, yang menyebabkan nilai H menjadi tidak terdefinisi. Oleh karena itu, digunakan LM Test sebagai alternatif uji autokorelasi jika uji statistik dh tidak berlaku pada suatu persamaan. Pengujian autokorelasi dengan LM Test adalah sebagai berikut : μt = α1 + α2Xt1 + ....+ αkXtk + ρμt -1..................................................(4.12)
62
Hipotesis : H0 : ρ = 0 H1 : ρ ≠ 0 dengan kriteria uji sebagai berikut : Jika nilai (n-1)R2 > χ
2
1
(α), maka tolak H0, artinya bahwa persamaan tersebut
mengandung masalah autokorelasi. Masalah
heteroskedastisitas
timbul
karena
pelanggaran
asumsi
homoskedastisitas yaitu ragam galat konstan di setiap pengamatan. Var (μt) = E (μt2) = σ2.........................................................................(4.13) Jika masalah heteroskedastisitas diabaikan maka varian dan kovarian dari parameter dugaan akan bias dan tidak konsisten. Selain itu pengujian hipotesis menjadi tidak valid (Ramanathan, 1998). Oleh karena itu dilakukan uji heteroskedastisitas dengan White Heteroskedasticity Test. Langkah-langkah pengujian ini adalah sebagai berikut : Yt = β1 +β2Xt1 + β3Xt2 + μt...................................................................(4.14) μt2 = α1 + α2Xt1 +α3Xt2 +α4Xt12 + α5Xt22 + α6Xt1Xt2...................,,,,.....(4.15) Hipotesis : H0 : α2 = α3 = α4 = α5 = α6 = 0 H1 : minimal salah satu αi ≠ 0 dengan kriteria uji sebagai berikut : Jika nilai nR2 > χ2db (α), maka tolak H0, artinya bahwa persamaan tersebut mengandung masalah heteroskedastisitas.
63
4.6.4. Pengukuran Elastisitas Berdasarkan Koutsoyiannis (1977), untuk melihat derajat kepekaan variabel endogen pada suatu persamaan terhadap perubahan dari variabel eksogen, dapat digunakan nilai elastisitasnya. Nilai elastisitas jangka pendek (short-run) diperoleh dari perhitungan sebagai berikut :
Esr (Yt,Xi) = ai(Xi)................................................................................(4.16) (Yt) dimana : Esr(Yt,Xi) = Elastisitas jangka pendek variabel eksogen Xi terhadap variabel endogen Yt. ai
= Parameter dugaan variabel eksogen Xi.
Xi
= Rata-rata variabel eksogen Xi.
Yt
= Rata-rata variabel endogen Yt.
Sedangkan nilai elastisitas jangka panjang (long-run) diperoleh dari perhitungan sebagai berikut : Elr (Yt,Xi) = Esr (Yt,Xi)......................................................................(4.17) 1- ai lag dimana : Elr (Yt,Xi)
= Elastisitas jangka panjang variabel eksogen Xi terhadap variabel endogen Yt.
ai lag
=
Parameter dugaan dari lag-endogenous variabel.
Dengan kriteria uji sebagai berikut :
64
1. Jika nilai elastisitas lebih dari satu (E>1), dikatakan elastis (responsive) karena perubahan satu persen variabel eksogen mengakibatkan perubahan variabel endogen lebih dari satu persen. 2. Jika nilai elastisitas antara nol dan satu (0<E<1), dikatakan inelastis (non responsive), karena perubahan satu persen variabel eksogen akan mengakibatkan perubahan variabel endogen kurang dari satu persen. 3. Jika nilai elastisitas sama dengan nol (E=0), dikatakan inelastis sempurna. 4. Jika nilai elastisitasnya tak hingga (E= ~ ), dikatakan elastis sempurna. 5. Jika nilai elastisitasnya sama dengan satu (E=1), maka dikatakan unitary elastis. 4.7.
Definisi Operasional
1. Kedelai yang dimaksud dalam penelitian ini tidak dipisahkan jenisnya menjadi kedelai warna hitam, coklat, putih, kuning karena proporsi terbesar adalah warna kuning. 2. Produksi kedelai Indonesia adalah jumlah total produksi kedelai di Indonesia yang dinyatakan dalam satuan ton. 3.
Luas areal panen kedelai merupakan luas seluruh areal produktif atau panen tanaman kedelai di Indonesia dinyatakan dalam satuan ha.
4.
Produktivitas kedelai merupakan hasil bagi antara produksi kedelai Indonesia dengan luas areal panen tanaman kedelai per tahun, dinyatakan dalam satuan ton per ha.
5. Volume impor kedelai Indonesia adalah jumlah seluruh impor kedelai yang dipasarkan di pasar domestik setiap tahun, tidak termasuk impor ilegal, dan dinyatakan dalam satuan ton.
65
6. Harga riil kedelai domestik adalah harga kedelai lokal atau domestik setelah dideflasi (1995=100) dengan Indeks Harga Konsumen (IHK) Indonesia, dan dinyatakan dalam satuan Rupiah per kilogram. 7. Harga riil kedelai di tingkat produsen adalah harga kedelai di tingkat produsen setelah dideflasi (1995=100) dengan Indeks Harga Konsumen (IHK) Indonesia, dan dinyatakan dalam satuan Rupiah per kilogram. 8. Harga riil jagung merupakan harga jagung domestik setelah dideflasi (1995=100) dengan Indeks Harga Konsumen (IHK) Indonesia, dan dinyatakan dalam satuan Rupiah per kilogram. 9. Harga riil pupuk urea yang merupakan pupuk pokok dalam produksi kedelai, yang telah dideflasi (1995=100) dengan Indeks Harga Konsumen, dinyatakan dalam satuan Rupiah per kilogram. 10. Harga riil bibit kedelai adalah harga bibit kedelai yang telah dideflasi (1995=100) dengan Indeks Harga Konsumen, dinyatakan dalam satuan Rupiah per kilogram. 11. Harga riil kedelai impor Indonesia adalah harga CIF kedelai Indonesia yang merupakan hasil bagi antara nilai dengan volume impor, dideflasi (1995= 100) dengan Indeks Harga Konsumen Indonesia, dinyatakan dalam satuan Rupiah per kilogram. 12. Harga Kedelai Internasional adalah Harga kedelai di USA Free on Board dikalikan nilai tukar dan dideflasi dengan Indeks Harga Konsumen (1995=100), dinyatakan dalam satuan Rupiah per kilogram.
66
13. Nilai tukar mata uang adalah perbandingan dari perubahan mata uang Amerika terhadap mata uang negara lain, dinyatakan dalam satuan Rupiah per Dollar Amerika. 14. Tarif Impor adalah tarif yang ditetapkan oleh pemerintah terhadap kedelai, yakni tarif advalorem, dinyatakan dalam satuan persen. 15. Jumlah konsumsi kedelai Indonesia adalah jumlah konsumsi kedelai per kapita dikalikan dengan jumlah penduduk setiap tahun, dinyatakan dalam satuan ton. 16. Jumlah penggunaan pupuk adalah jumlah pupuk urea yang digunakan oleh petani kedelai dalam proses produksi, dinyatakan dalam satuan kilogram per hektar. 17. Jumlah penggunaan bibit kedelai adalah jumlah bibit kedelai yang digunakan oleh petani dalam proses produksi, yang dinyatakan dalam satuan kilogram per hektar. 18. Indeks Harga Konsumen adalah angka indeks yang menggambarkan besarnya perubahan harga pada tingkat konsumen dari komoditi yang dikonsumsi di suatu negara. 19. Pendapatan perkapita merupakan pendapatan nasional dibagi rata-rata jumlah penduduk Indonesia tahunan dan telah dideflasi (1995=100) dengan Indeks Harga Konsumen Indonesia, dinyatakan dalam rupiah. 20. Curah hujan merupakan jumlah hujan rata-rata tiap tahun yang diwakili oleh jumlah curah hujan di sentra produksi kedelai Indonesia, yaitu di Pulau Jawa, khususnya Jawa Timur, yang dinyatakan dalam satuan mm per tahun.
67
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1.
Hasil Dugaan Model Hasil dugaan dari seluruh model yang ada telah cukup baik, sebagaimana
terlihat dari nilai koefisien determinasinya (R2) dari masing-masing persamaan struktural yang berkisar antara 0.59 sampai 0.99. Hal ini menunjukkan bahwa secara umum peubah-peubah penjelas (exogenous variable) yang ada dalam persamaan struktural mampu menjelaskan dengan baik peubah endogen (endogenous variable). Besarnya nilai F umumnya tinggi, yaitu berkisar antara 6.870 sampai 1019.667, yang berarti variasi peubah-peubah eksogen dalam setiap persamaan struktural secara bersama-sama mampu menjelaskan dengan baik variasi peubah endogennya pada taraf α = 0.01 dan 0.05, disamping itu setiap persamaan struktural mempunyai tanda yang sesuai dengan harapan dan cukup logis dari sudut pandang teori ekonomi. Nilai statistik-t digunakan untuk menguji apakah masing-masing peubah penjelas berpengaruh nyata terhadap peubah endogennya. Hasil statistik-t yang diperoleh menunjukkan bahwa ada beberapa peubah penjelas yang tidak signifikan atau tidak berpengaruh nyata terhadap peubah endogennya pada taraf α= 0.05. Dalam penelitian ini taraf α yang digunakan cukup fleksibel (berlaku seterusnya untuk persamaan struktural) dengan masing simbol sebagai berikut : (A) berpengaruh nyata pada taraf α = 0.05 (B) berpengaruh nyata pada taraf α = 0.10 (C) berpengaruh nyata pada taraf α = 0.15 (D) berpengaruh nyata pada taraf α = 0.20
68
Berdasarkan hasil uji statistik durbin-h, persamaan yang digunakan tidak mengandung adanya autokorelasi karena nilai h-hitung lebih kecil dari tabel distribusi normal. Selain itu setelah dilakukan uji White Heteroskedasticity Test, nilai yang dihasilkan lebih kecil dari taraf α yang digunakan, sehingga dapat disimpulkan tidak terdapat masalah heteroskedastisitas. Hasil dalam pendugaan model dalam penelitian ini dapat dinyatakan cukup representatif dalam menggambarkan fenomena produksi dan impor kedelai di Indonesia. 5.2.
Dugaan Model Ekonometrika Setelah melakukan beberapa alternatif spesifikasi model, maka akhirnya
diperoleh model produksi dan impor kedelai Indonesia yang terdiri dari enam persamaan struktural. 5.2.1. Luas Areal Panen Tanaman Kedelai Hasil pendugaan parameter luas areal penen tanaman kedelai di Indonesia dapat dilihat pada tabel 6. Tabel 6. Hasil Dugaan Parameter dan Elastisitas Luas Areal Panen Tanaman Kedelai Variabel
Koefisien Dugaan
thitung
In PR
-287712 454.404616
-1.002 2.845
0.3269 0.0092 (A)
PJ CH PB
-702.264855 59.731213 -7.187153
-1.448 0.755 -0.066
0.1612 (D) 0.4577 0.9478
0.839492
9.690
0.0001 (A)
LLAP R-Sq R-Sq (Adj) F-Stat/F-hit D.W. Stat D.h
Probalilitas
Elastisitas
Nama Variabel
Pendek
Panjang
0.57
3.55
-0.25
-1.56
0.0009
0.058
Intersep Harga Kedelai Domestik Harga Jagung Curah Hujan Harga Riil Benih Kedelai Lag Luas Arel Panen
0.8673 0.8384 30.059 2.469 -1.427
Nilai koefisien determinasi (R2) dari model luas areal panen tanaman kedelai adalah sebesar 0.8673, artinya 86.73 persen keragaman luas areal panen
69
tanaman kedelai dapat diterangkan oleh keragaman variabel-variabel eksogen di dalam model yakni variabel harga kedelai domestik, harga jagung, curah hujan dan luas areal panen tahun sebelumnya. Sedangkan sisanya sebesar 13.27 persen dijelaskan oleh faktor-faktor lain yang tidak terdapat di dalam model. Dengan menggunakan uji F diperoleh nilai F hitung sebesar 30.059 yang lebih besar dari F tabel sebesar 2.78 pada taraf nyata lima persen. Nilai ini menunjukkan bahwa variabel-variabel eksogen dalam model secara bersama-sama berpengaruh nyata terhadap luas areal panen tanaman kedelai. Hasil uji statistik t menunjukkan bahwa variabel harga kedelai domestik dan lag luas areal panen berpengaruh nyata pada taraf lima persen dan variabel harga jagung berpengaruh nyata pada taraf nyata lima belas persen. Sedangkan variabel yang tidak berpengaruh nyata terhadap luas areal panen tanaman kedelai adalah variabel curah hujan dan harga riil benih kedelai. Sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Kumenaung, dimana harga riil benih tidak berpengaruh nyata dalam persamaan karena kebanyakan petani menggunakan benih hasil penangkaran sendiri, bukan benih bersertifikat. Selain itu jumlah petani yang menggunakan benih bersertifikat baru mencapai sepuluh persen dari total petani di Indonesia (Puslitbang Tanaman Pangan, 2005). Koefisien dugaan variabel harga riil kedelai domestik sebesar 454.40. Hal ini menunjukkan jika terjadi kenaikan harga riil kedelai domestik sebesar satu rupiah per kilogram akan meningkatkan luas areal panen sebesar 454.40 hektar, demikian juga sebaliknya jika terjadi penurunan harga riil kedelai domestik sebesar satu rupiah per kilogram akan menurunkan luas areal panen tanaman kedelai sebesar 454.40 hektar, cateris paribus. Kondisi ini menunjukkan bahwa
70
sangat besar pengaruh peningkatan harga kedelai domestik terhadap luas areal tanaman kedelai di Indonesia. Nilai elastisitas harga riil kedelai domestik dalam jangka pendek dan jangka panjang masing-masing sebesar 0.57 dan 3.55. Nilai ini menunjukkan jika terjadi kenaikan harga riil kedelai domestik sebesar satu persen akan meningkatkan luas areal panen sebesar 0.58 persen dalam jangka pendek dan 3.55 persen dalam jangka panjang. Nilai tersebut juga menunjukkan bahwa dalam jengka pendek luas areal penen tanaman kedelai tidak responsif terhadap perubahan harga riil kedelai domestik, sedangkan dalam jangka panjang luas areal panen responsif terhadap perubahan harga riil kedelai domestik. Koefisien dugaan harga riil jagung adalah sebesar -702.26, yang berarti jika terjadi kenaikan harga riil jagung sebesar satu rupiah per kilogram maka luas areal panen kedelai akan turun sebesar 702.26 hektar dan sebaliknya jika terjadi penurunan harga riil jagung sebesar satu rupiah per kilogram akan meningkatkan luas areal panen sebesar 702.26 hektar, cateris paribus. Jadi dengan rendahnya harga kedelai akan mempengaruhi berpindahnya petani dari usaha tanaman kedelai ke tanaman jagung. Kondisi ini didukung oleh karena kondisi lahan (secara fisik) yang dibutuhkan oleh tanaman jagung tidak berbeda jauh dengan kondisi lahan yang dibutuhkan oleh tanaman kedelai, sehingga petani kedelai dapat dengan mudah beralih usaha ke tanaman jagung. Jika dilihat dari nilai elastisitasnya, maka pada jangka pendek luas areal panen tanaman kedelai tidak responsif terhadap perubahan harga riil jagung, dimana nilai elastisitasnya adalah sebesar -0.25. Sedangkan pada jangka panjang,
71
luas areal panen tanaman kedelai responsif terhadap perubahan harga riil jagung, yang ditunjukkan oleh nilai elastisitasnya sebesar -1.56. Selain faktor-faktor yang telah disebutkan diatas, luas areal panen juga dipengaruhi secara nyata oleh peubah bedakala. Koefisien dugaan luas areal panen tahun sebelumnya sebesar 0.839492. Artinya setiap kenaikan luas areal panen tahun sebelumnya sebesar satu hektar akan meningkatkan luas areal panen sebesar 0.839492 hektar, demikian sebaliknya jika terjadi penurunan luas areal panen tahun sebelumnya sebesar satu hektar akan menurunkan luas areal panen sebesar 0.839492, cateris paribus. 5.2.2. Produktivitas Kedelai Nilai koefisien determinasi (R2) dari model produktivitas kedelai adalah sebesar 0.9715, artinya 97.15 persen keragaman produktivitas kedelai dapat diterangkan oleh keragaman variabel-variabel eksogen yakni variabel jumlah penggunaan pupuk, curah hujan, harga jagung dan produktivitas kedelai tahun sebelumnya. Sedangkan sisanya yaitu sebesar 2.85 persen dijelaskan oleh faktorfaktor lain yang tidak terdapat dalam model. Hasil pendugaan parameter dapat dilihat pada tabel 7. Tabel 7. Hasil Dugaan Parameter dan Elastisitas Produktivitas Kedelai Variabel
Koefisien Dugaan
thitung
Probabilitas
In JPP
0.015404 0.00000829
0.170 0.024
0.8661 0.9811
CH PJ PD
0.00002402 -0.000197 0.00000521
1.380 -1.535 0.118
0.1808 (D) 0.1383 (C) 0.9070
11.165
0.001 (A)
LY R-Sq R-Sq (Adj) F-Stat/F-hit D.W. Stat D.h
1.012085 0.9715 0.9654 157.267 2.236 -0.727
Elastisitas
Nama Variabel
Pendek
Panjang
0.00064
0.05
-0.06 0.005
-5.5 0.4
Intersep Jumlah penggunaan pupuk urea Curah Hujan Harga Jagung Harga Riil Kedelai diTingkat Produsen Lag Produktivitas
72
Dengan menggunakan uji F diperoleh nilai F hitung sebesar 157.267 yang lebih besar dari F tabel sebesar 2.78 pada taraf nyata lima persen. Nilai ini menunjukkan bahwa variabel-variabel eksogen dalam model secara bersama-sama berpengaruh nyata terhadap produktivitas tanaman kedelai. Hasil uji statistik t menunjukkan bahwa curah hujan, harga riil jagung dan produktivitas tahun sebelumnya berpengaruh secara nyata terhadap produktivitas kedelai, masingmasing pada taraf nyata dua puluh, lima belas dan lima persen. Sedangkan variabel jumlah penggunaan pupuk urea dan harga riil kedelai di tingkat produsen tidak berpengaruh nyata terhadap produktivitas tanaman kedelai. Tidak berpengaruhnya harga riil kedelai di tingkat produsen dapat disebabkan oleh motivasi menanam kedelai yang hanya untuk memutus siklus hama penyakit saja, sehingga petani selalu menanam kedelai sesuai dengan pola tanam yang telah biasa dilakukan walaupun pada saat menanam, harga kedelai jatuh. Koefisien dugaan variabel harga rill jagung sebesar -0.000197, artinya setiap kenaikan harga riil jagung sebesar satu rupiah per kilogram
maka
produktivitas kedelai akan menurun sebesar 0.000197 ton per hektar, demikian juga sebaliknya penurunan harga riil jagung sebesar satu rupiah per kilogram akan menyebabkan naiknya produktivitas kedelai sebesar 0.000197 ton per hektar, cateris paribus. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa harga jagung memang sangat mempengaruhi produksi kedelai, dimana harga jagung sangat berpengaruh terhadap luas areal panen dan produktivitas kedelai, yang menunjukkan bahwa tanaman jagung merupakan kompetitor utama tanaman kedelai.
73
Respon produktivitas kedelai terhadap perubahan harga riil jagung tidak responsif dalam jangka pendek, yang ditunjukkan oleh nilai elastisitas jangka pendek sebesar -0.06. Sedangkan dalam jangka panjang, produktivitas kedelai responsif terhadap perubahan harga riil jagung, dengan nilai elastisitas jangka panjang sebesar -5.5. Artinya jika terjadi kenaikan harga riil jagung sebesar satu persen akan menurunkan produktivitas kedelai sebesar 5.5 persen dalam jangka panjang. Produktivitas kedelai juga tidak responsif terhadap jumlah penggunaan pupuk urea baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang, yang ditunjukkan oleh nilai elastisitasnya masing-masing sebesar 0.0009 dan 0.11. Kondisi ini menunjukkan bahwa perubahan jumlah penggunaan pupuk tidak terlalu berpengaruh terhadap produktivitas kedelai. Berdasarkan penelitian Kumenaung (1994), dijelaskan bahwa kondisi di atas dapat dipengaruhi oleh beberapa keadaan, antara lain : 1). pada beberapa daerah tertentu di Indonesia faktor produksi pupuk belum dirasa perlu untuk digunakan, 2) pupuk bukanlah satusatunya faktor yang mempengaruhi produksi. Dalam penelitian ini juga membuktikan bahwa produktivitas kedelai tahun sebelumnya berpengaruh nyata terhadap produktivitas kedelai dengan nilai koefisien dugaan variabel tahun sebelumnya sebesar 1.012085. Artinya jika terjadi kenaikan produktivitas kedelai tahun sebelumnya sebesar satu ton per hektar maka produktivitas kedelai akan meningkat sebesar 1.012085 ton per hektar. Sebaliknya jika terjadi penurunan produktivitas kedelai tahun sebelumnya sebesar satu ton per hektar maka produktivitas kedelai akan turun sebesar 1.012085 ton per hektar, cateris paribus.
74
5.2.3. Harga Kedelai Domestik Koefisien determinasi (R2) dari model harga riil kedelai domestik sebesar 0.6561, yang artinya 65.61 persen keragaman harga riil kedelai domestik dapat diterangkan oleh variabel-variabel eksogen di dalam model yakni harga riil kedelai di tingkat produsen, harga riil kedelai impor, jumlah impor kedelai, produktivitas dan harga riil kedelai domestik tahun sebelumnya. Sedangkan sisanya sebesar 34.39 persen dijelaskan oleh faktor-faktor lain yang tidak terdapat dalam model. Hasil pendugaan parameter harga riil kedelai domestik dapat dilihat pada tabel 8. Tabel 8. hasil Dugaan Parameter dan Elastisitas Harga Kedelai Domestik Variabel
Koefisien Dugaan
thitung
Probabilitas
Elastisitas
In PD
-313.0816 0.401406
-0.742 1.906
0.4656 0.0692 (B)
0.32
0.53
PM
0.389747
2.794
0.0103 (A)
0.23
0.37
IK
-0.000291
-2.358
0.0272 (A)
-0.12
-0.19
Y
498.8240
1.312
0.2025
0.42
0.69
LPR
0.389119
3.134
0.0047 (A)
Pendek
R-Sq R-Sq (Adj) F-Stat/F-hit D.W. Stat D.h
Nama Variabel
Panjang Intersep Harga Kedelai Tingkat Produsen Harga Kedelai Impor Jumlah Impor Kedelai Produktivitas Kedelai Lag Harga Kedelai Domestik
0.6561 0.5814 8.777 1.644 1.287
Variabel-variabel eksogen yang terdapat dalam model secara bersamasama berpengaruh nyata terhadap harga riil kedelai domestik. Kondisi ini terlihat melalui uji F, dimana nilai F hitung sebesar 8.777 lebih besar dari F tabel sebesar 2.78 pada taraf nyata lima persen. Hasil uji statistik t pada taraf nyata lima persen menunjukkan variabel harga riil kedelai impor, jumlah impor kedelai dan harga
75
riil kedelai domestik tahun sebelumnya berpengaruh nyata terhadap harga riil kedelai domestik. Sedangkan harga riil kedelai di tingkat produsen berpengaruh nyata pada taraf sepuluh persen. Pada penelitian ini terlihat bahwa harga riil kedelai di tingkat produsen berpengaruh nyata terhadap harga riil kedelai domestik, namun responnya inelastis baik dalam jangka pendek (0.32) maupun jangka panjang (0.53). Koefisien dugaan variabel harga riil kedelai tingkat produsen adalah 0.401406, artinya jika terjadi kenaikan harga riil kedelai tingkat produsen sebesar satu rupiah per kilogram akan meningkatkan harga riil kedelai domestik sebesar 0.401406 rupiah perkilogram. Peubahan harga riil kedelai impor berpengaruh nyata secara positif terhadap harga riil kedelai domestik, walaupun responnya inelastis baik jangka pendek (0.23) maupun jangka panjang (0.37). Artinya bahwa kenaikan harga riil kedelai impor sebesar satu persen hanya akan meningkatkan harga riil kedelai domestik sebesar 0.23 persen dalam jangka pendek dan 0.37 persen dalam jangka panjang. Nilai koefisien dugaan variabel jumlah impor kedelai adalah -0.000291, artinya jika terjadi peningkatan jumlah impor kedelai adalah sebesar satu ton akan menurunkan harga riil kedelai domestik sebesar 0.000291 rupiah per kilogram, sebaliknya jika jumlah impor kedelai turun sebesar satu ton akan meningkatkan harga riil kedelai domestik sebesar 0.000291 rupiah per kilogram, cateris paribus .Berdasarkan nilai elastisitasnya maka harga riil kedelai domestik tidak responsif terhadap perubahan jumlah impor kedelai, dimana nilai elastisitas sebesar 0.12 pada jangka pendek dan 0.19 pada jangka panjang.
76
Variabel produktivitas tidak berpengaruh nyata terhadap harga riil kedelai domestik. Selain itu nilai elastisitasnya menunjukkan bahwa harga riil kedelai domestik tidak responsif terhadap perubahan produktivitas baik jangka pendek (0.42) maupun jangka panjang (0.69). Hal ini disebabkan produktivitas cenderung stagnan, selain itu harga kedelai domestik relatif lebih dipengaruhi oleh harga kedelai impor, dimana jika jumlah impor kedelai naik, maka harga kedelai impor akan turun dan mengakibatkan turunnya harga rill kedelai domestik. Peubah bedakala berpengaruh nyata terhadap harga riil kedelai domestik dengan nilai koefisien dugaannya sebesar 0.389119. Artinya jika terjadi peningkatan harga kedelai domestik pada tahun sebelumnya sebesar satu rupiah perkilogram maka harga riil kedelai domestik akan naik sebesar 0.389119 rupiah perkilogram. Sebaliknya jika terjadi penurunan harga riil kedelai domestik tahun sebelumnya sebesar satu rupiah perkilogram maka harga riil kedelai domestik akan turun sebesar 0.389119 rupiah perkilogram, cateris paribus. 5.2.4. Harga Kedelai Di Tingkat Produsen Nilai koefisien determinasi dari model harga kedelai di tingkat produsen adalah sebesar 0.5990. Artinya keragaman dari variabel endogen mampu diterangkan oleh variabel-variabel eksogen di dalam model yakni jumlah produksi kedelai, jumlah impor kedelai, jumlah konsumsi kedelai, dummy monopoli Bulog, dan harga kedelai di tingkat produsen tahun sebelumnya sebesar 59.90 persen. Sedangkan sisanya sebesar 40.1 persen diterangkan oleh faktor-faktor lain di luar model. Hasil pendugaan parameter harga kedelai di tingkat produsen dapat dilihat pada tabel 9. Dengan menggunakan uji F diperoleh nilai F hitung sebesar 6.870
77
yang lebih besar dari F tabel sebesar 2.78 pada taraf nyata lima persen. Nilai ini menunjukkan bahwa variabel-variabel eksogen dalam model secara bersama-sama berpengaruh nyata terhadap harga riil kedelai di tingkat produsen. Tabel 9. Hasil Dugaan Parameter dan Elastisitas Harga Kedelai di Tingkat Produsen Variabel
Koefisien Dugaan
thitung
Probabilitas
Elastisitas Pendek
Panjang
In QK
724.72244 -0.001237
4.035 -1.505
0.0005 0.1460(C)
-1.22
-1.52
IK
-0.001210
-1.425
0.1675(D)
-0.58
-0.72
C
0.001180
1.439
0.1637(D)
1.73
2.16
DB
216.81887
2.196
0.0384(A)
LPD
0.199238
1.480
0.1525(D)
R-Sq R-Sq (Adj) F-Stat/F-hit D.W. Stat D.h
Nama Variabel
Intersep Jumlah Produksi kedelai Jumlah impor kedelai Konsumsi kedelai Dummy monopli BULOG Lag harga kedelai di tingkat produsen
0.5990 0.5118 6.870 2.034 -1.329
Melalui uji t dapat terlihat bahwa variabel jumlah produksi kedelai berpengaruh nyata pada taraf nyata lima belas persen, sedangkan jumlah impor kedelai, jumlah konsumsi kedelai, dan harga riil kedelai di tingkat produsen tahun sebelumnya barpengaruh nyata pada taraf nyata dua puluh persen, dan variabel dummy monopoli BULOG berpengaruh nyata pada taraf nyata lima persen. Koefisien dugaan variabel jumlah produksi kedelai Indonesia adalah sebesar -0.001237. Artinya setiap kenaikan jumlah produksi kedelai sebanyak satu ton maka harga riil kedelai di tingkat produsen akan turun sebesar 0.001237 rupiah per kilogram, sebaliknya jika terjadi penurunan jumlah produksi kedelai sebesar satu ton maka akan menyebabkan penurunan harga riil kedelai di tingkat produsen sebesar 0.001237 rupiah per kilogram, cateris paribus. Jumlah produksi kedelai Indonesia bersifat elastis baik jangka pendek (-1.22) maupun jangka
78
penjang (-1.52). Artinya jika jumlah produksi kedelai naik sebesar satu persen, cateris paribus, maka harga riil kedelai di tingkat produsen akan turun sebesar 1.22 persen dalam jangka pendek dan 1.52 persen dalam jangka panjang. Nilai koefisien dugaan jumlah impor kedelai Indonesia adalah sebesar 0.001210, artinya apabila jumlah impor kedelai naik sebesar satu ton maka harga riil kedelai di tingkat produsen akan turun sebesar 0.001210 rupiah per kilogram, sebaliknya apabila jumlah impor kedelai turun sebesar satu ton maka harga riil kedelai di tingkat produsen akan naik sebesar 0.001210 rupiah per kilogram, cateris paribus. Berdasarkan nilai elastisitasnya maka harga riil kedelai di tingkat produsen tidak responsif terhadap perubahan jumlah impor baik dalam jangka pendek (-0.58) maupun dalam jangka panjang (-0.72). Nilai dugaan variabel jumlah konsumsi kedelai Indonesia sebesar 0.001180, artinya apabila jumlah konsumsi kedelai bertambah sebesar satu ton maka harga riil kedelai di tingkat produsen akan meningkat sebesar 0.001180 rupiah per kilogram, sebaliknya jika jumlah konsumsi kedelai menurun sebesar satu ton, akan menyebabkan turunnya harga riil kedelai di tingkat produsen sebesar 0.001180 rupiah per kilogram, cateris paribus. Harga riil kedelai di tingkat produsen responsif terhadap perubahan jumlah konsumsi kedelai baik dalam jangka pendek (1.73) dan jangka panjang (2.16). Artinya jika jumlah konsumsi kedelai meningkat sebesar satu persen, cateris paribus, maka harga riil kedelai di tingkat produsen akan meningkat sebesar 1.73 persen dalam jangka pendek, dan 2.16 persen dalam jangka panjang. Variabel dummy BULOG juga berpengaruh nyata terhadap harga riil kedelai di tingkat produsen dengan nilai koefisien dugaan yang positif,
79
menunjukkan bahwa dengan adanya monopoli kedelai oleh Bulog akan menyebabkan harga riil kedelai di tingkat produsen meningkat. Pada era perdagangan bebas, Bulog tidak lagi memonopoli kedelai, sehingga harga impor kedelai semakin rendah. Akibatnya banyak industri tahu dan tempe yang menggunakan kedelai impor. Hal ini mengakibatkan lesunya produksi kedelai lokal. Selain faktor-faktor di atas, variabel lain yang juga berpengaruh nyata adalah harga riil kedelai di tingkat produsen tahun sebelumnya. Dengan nilai koefisien dugaan sebesar 0.199238, yang berarti jika terjadi peningkatan harga riil kedelai di tingkat produsen sebesar satu rupiah per kilogram akan menyebabkan peningkatan harga riil kedelai di tingkat produsen sebesar 0.199238 rupiah per kilogram, sebaliknya jika terjadi penurunan harga riil kedelai di tingkat produsen tahun sebelumnya sebesar satu rupiah per kilogram akan mengakibatkan menurunnya harga riil kedelai di tingkat produsen sebesar 0.199238 rupiah per kilogram, cateris paribus. 5.2.5. Jumlah Impor Kedelai Nilai koefisien determinasi dari model impor kedelai Indonesia adalah sebesar 0.9955. Artinya keragaman dari variabel endogen mampu diterangkan oleh variabel-variabel eksogen di dalam model yakni harga kedelai internasional, jumlah produksi kedelai, jumlah konsumsi kedelai, jumlah populasi, dan jumlah impor kedelai tahun sebelumnya sebesar 99.55 persen. Sedangkan sisanya sebesar 0.45 persen diterangkan oleh faktor-faktor lain di luar model. Hasil pendugaan parameter jumlah impor kedelai Indonesia dapat dlihat pada tabel 10.
80
Tabel 10. Hasil Dugaan Parameter dan Elastisitas Jumlah Impor Kedelai Indonesia Variabel
Koefisien Dugaan
thitung
Probabilitas
Elastisitas Pendek
Panjang
In PW
-158584 -69.76788
-1.282 -1.427
0.2125 0.1670(D)
-0.08
-0.08
QK
-0.959292
-24.372
0.0001(A)
-1.96
-1.88
C
0.947030
23.203
0.0001(A)
2.88
2.75
POP LIK
0.001500 -0.045577
1.516 -1.217
0.1431(C) 0.2358
0.52
0.49
R-Sq R-Sq (Adj) F-Stat/F-hit D.W. Stat D.h
Nama Variabel
Intersep Harga kedelai internasional Jumlah produksi kedelai Konsumsi kedelai Jumlah populasi Lag jumlah impor kedelai
0.9955 0.9945 1019.667 2.410 -1.127
Dengan menggunakan uji F diperoleh nilai F hitung sebesar 1019.667 yang lebih besar dari F tabel sebesar 2.78 pada taraf nyata lima persen. Nilai ini menunjukkan bahwa variabel-variabel eksogen dalam model secara bersama-sama berpengaruh nyata terhadap impor kedelai Indonesia. Berdasarkan hasil uji t dapat terlihat bahwa variabel harga kedelai internasional berpengaruh nyata pada taraf nyata dua puluh persen, sedangkan jumlah populasi berpengaruh nyata pada taraf nyata lima belas persen. Variabel lain yaitu jumlah produksi kedelai dan konsumsi kedelai berpengaruh nyata pada taraf nyata lima persen. Koefisien dugaan variabel harga kedelai internasional adalah sebesar 69.76788 artinya setiap kenaikan harga kedelai internasional sebesar satu rupiah per kilogram maka jumlah impor kedelai akan turun sebesar 69.76788 ton, sebaliknya bila harga kedelai internasional turun sebesar satu rupiah perkilogram maka jumlah impor kedelai akan naik sebesar 69.76788 ton, cateris paribus. Harga kedelai internasional bersifat inelastis baik jangka pendek dan panjang, yang ditunjukkan oleh nilai elastisitas jangka pendek sebesar -0.08 dan nilai elastisitas jangka panjang sebesar -0.08. Pemerintah akan mengimpor kedelai dari
81
negara lain apabila harga kedelai internasional lebih murah dari harga kedelai domestik sehingga masih memperoleh keuntungan. Nilai koefisien dugaan variabel produksi kedelai sebesar -0.959292 artinya apabila produksi kedelai Indonesia naik sebesar satu ton maka jumlah impor kedelai akan turun sebesar 0.959292 ton, sebaliknya apabila produksi kedelai turun sebesar satu ton maka jumlah impor kedelai akan naik sebesar 0.959292 ton, cateris paribus. Jumlah impor kedelai responsif terhadap perubahan jumlah produksi kedelai. Hal ini ditunjukkan oleh nilai elastisitasnya baik jangka pendek (-1.96) dan jangka panjang (-1.88). Artinya jika jumlah produksi kedelai Indonesia meningkat sebesar satu persen maka jumlah impor kedelai akan turun sebesar 1.96 persen dalam jangka pendek dan 1.88 persen dalam jangka panjang. Hal ini jelas terlihat dari trend produksi kedelai yang menurun sejak tahun 1999, yang sangat berdampak terhadap jumlah impor kedelai yang semakin meningkat dari tahun ke tahun. Variabel jumlah konsumsi memiliki nilai koefisien dugaan sebesar 0.947030 artinya jika terjadi kenaikan jumlah konsumsi kedelai sebesar satu ton maka jumlah impor kedelai akan meningkat sebesar 0.947030 ton, sebaliknya jika terjadi penurunan jumlah konsumsi kedelai sebesar satu ton maka jumlah impor kedelai akan menurun sebesar 0.947030 ton, cateris paribus. Berdasarkan nilai elastisitasnya maka dapat dilihat bahwa jumlah impor kedelai responsif terhadap perubahan jumlah konsumsi kedelai yang ditunjukkan dengan nilai elastisitas jangka pendek sebesar 2.88 dan nilai elastisitas jangka panjang sebesar 2.75. Artinya jika jumlah konsumsi kedelai meningkat sebesar satu persen maka jumlah impor kedelai akan meningkat sebesar 2.88 persen dalam jangka pendek dan 2.75
82
persen dalam jangka panjang. Perdagangan internasional dapat terjadi karena adanya perbedaan permintaan dan penawaran suatu negara. Apabila persediaan suatu barang di suatu negara tidak cukup untuk memenuhi permintaan dalam negeri, negara tersebut dapat mengimpor dari negara lain. Nilai koefisien dugaan variabel jumlah populasi penduduk adalah sebesar 0.0015, artinya apabila jumlah penduduk Indonesia bertambah sebesar satu juta jiwa maka jumlah impor kedelai akan meningkat sebesar 0.0015 ton, sebaliknya apabila jumlah penduduk berkurang sebesar satu juta jiwa maka jumlah impor kedelai Indonesia akan turun sebesar 0.0015 ton. Berdasarkan nilai elastisitas maka jumlah impor kedelai tidak responsif terhadap perubahan jumlah populasi penduduk Indonesia dengan nilai elastisitas jangka pendek sebesar 0.52 dan jangka panjang sebesar 0.49. 5.2.6. Harga Kedelai Impor Indonesia Nilai koefisien determinasi (R2) dari model harga riil kedelai impor Indonesia adalah 0.9113, artinya 91.13 persen keragaman harga riil kedelai impor Indonesia mampu diterangkan oleh keragaman variabel-variabel eksogen di dalam model yakni harga kedelai internasional, nilai tukar, dummy monopoli Bulog dan harga riil kedelai impor tahun sebelumnya. Hasil pendugaan parameter harga kedelai impor Indonesia dapat dilihat pada tabel 11.
83
Tabel 11. Hasil Dugaan Parameter dan Elastisitas Harga Kedelai Impor Variabel
Koefisien Dugaan
thitung
In PW
-400.295790 1.015808
-1.193 8.772
0.2450 0.0001 (A)
ER DB
0.053543 303.733289
1.456 1.391
0.1590 (D) 0.2308
1.330924 0.111809
0.466 1.368
0.6453 0.1844 (D)
TI LPM R-Sq R-Sq (Adj) F-Stat/F-hit D.W. Stat D.h
Probabilitas
Elastisitas
Nama Variabel
Pendek
Panjang
0.86
0.96
0.23
0.26
0.02
0.02
Intersep Harga kedelai internasional Nilai Tukar Dummy monopoli BULOG Tarif Impor Lag Harga Kedelai Impor
0.9113 0.8920 47.250 1.879 0.3628
Berdasarkan hasil uji F diperoleh nilai F hitung sebesar 47.250 yang lebih besar dari F tabel sebesar 2.78 pada taraf nyata lima persen. Nilai ini menunjukkkan bahwa variabel-variabel eksogen dalam model secara bersamasama berpengaruh nyata terhadap harga kedelai impor. Dan hasil uji statistik t menunjukkan bahwa harga riil kedelai impor dipengaruhi secara nyata oleh harga kedelai internasional, nilai tukar dan harga riil kedelai impor tahun sebelumnya. Hasil dugaan juga menunjukkan bahwa semua koefisien sudah sesuai dengan tanda yang diharapkan dalam hipotesis dan menurut kriteria ekonomi. Koefisien dugaan harga kedelai internasional sebesar 1.015808 artinya setiap kenaikan harga kedelai internasional sebesar satu rupiah per kilogram akan meningkatkan harga riil kedelai impor Indonesia sebesar 1.015808 rupiah per kilogram, sebaliknya jika terjadi penurunan harga kedelai internasional sebesar satu rupiah per kilogram maka harga riil kedelai impor akan turun sebesar 1.015808 rupiah per kilogram. Berdasarkan nilai elastisitasnya, harga riil kedelai impor tidak responsif terhadap perubahan harga kedelai internasional baik jangka
84
pendek maupun jangka panjang yang ditunjukkan oleh nilai elastisitas jangka pendek sebesar 0.86 dan nilai elastisitas jangka panjang sebesar 0.96. Koefisien dugaan nilai tukar sebesar 0.053543 yang artinya setiap kenaikan nilai tukar sebesar satu Rupiah per Dollar Amerika akan meningkatkan harga riil kedelai impor sebesar 0.053543 rupiah per kilogram, cateris paribus. Namun dilihat dari nilai elastisitasnya terlihat bahwa harga riil kedelai impor tidak responsif baik dalam jangka pendek (0.23) maupun jangka panjang (0.26). Selain variabel-variabel di atas, harga riil kedelai impor juga dipengaruhi secara nyata oleh peubah bedakala, dengan nilai koefisien dugaan sebesar 0.111809. Artinya jika harga riil kedelai impor tahun sebelumnya naik sebesar satu rupiah per kilogram maka harga riil kedelai impor akan naik sebesar 0.111809 rupiah per kilogram, cateris paribus. Variabel dummy monopoli BULOG tidak berpengaruh nyata terhadap harga kedelai impor. Variabel yang juga tidak berpengaruh nyata terhadap harga riil kedelai impor adalah tarif impor kedelai, hal ini menunjukkan bahwa harga riil kedelai impor tidak terlalu dipengaruhi oleh besarnya tarif, walaupun tarif ditingkatkan dan harga impor kedelai menjadi tinggi, Indonesia tetap cenderung melakukan impor, karena kebutuhan dalam negeri melebihi jumlah penawaran yang tersedia.
85
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
6.1.
Kesimpulan Berdasarkan hasil dan pembahasan penelitian dapat diperoleh kesimpulan
sebagai berikut : 1. Perkembangan produksi kedelai dari tahun 1984-1993 menunjukkan kecenderungan yang meningkat, hal tersebut dikarenakan pemerintah sedang gencar-gencarnya meningkatkan produksi kedelai melalui berbagai kebijakan program intensifikasi, seperti INSUS, INMUM, dan OPSUS. Pada kurun waktu 1994-1998, produksi kedelai mulai mengalami penurunan, bahkan sejak tahun 1999 sampai 2004, penurunan yang terjadi semakin drastis karena menurunnya luas areal panen kedelai, dimana petani sudah kehilangan insentif untuk berproduksi, yang disebabkan oleh rendahnya harga riil kedelai, persaingan penggunaan lahan dengan palawija lainnya (jagung) dan semakin membanjirnya impor kedelai dengan harga yang murah. 2. Luas areal panen tanaman kedelai dipengaruhi secara nyata oleh harga riil kedelai domestik, harga riil jagung, dan luas areal panen tahun sebelumnya, dimana respon luas areal panen elastis terhadap perubahan harga riil kedelai domestik dan harga riil jagung dalam jangka panjang. Kondisi ini menunjukkan bahwa tanaman jagung merupakan kompetitor utama tanaman kedelai. 3. Produktivitas tanaman kedelai dipengaruhi oleh curah hujan, harga riil jagung, dan produktivitas tahun sebelumnya. Respon produktivitas padi
86
terhadap harga riil jagung tidak responsif dalam jangka pendek, namun responsif dalam jangka panjang. 4. Harga riil kedelai domestik dipengaruhi oleh harga riil kedelai di tingkat produsen, harga riil kedelai impor, jumlah impor kedelai dan harga riil kedelai domestik tahun sebelumnya. 5. Harga riil kedelai di tingkat produsen dipengaruhi oleh jumlah produksi kedelai, jumlah impor kedelai, jumlah konsumsi kedelai, dummy monopoli Bulog, dan harga riil kedelai di tingkat produsen tahun sebelumnya. Harga riil kedelai di tingkat produsen responsif terhadap perubahan jumlah produksi dan konsumsi kedelai baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. 6. Jumlah impor kedelai Indonesia dipengaruhi secara nyata oleh harga kedelai internasional, jumlah produksi kedelai, konsumsi kedelai,dan jumlah populasi penduduk. Jumlah impor kedelai responsif terhadap perubahan jumlah produksi kedelai, dan jumlah konsumsi kedelai nasional, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. 7. Harga riil kedelai impor dipengaruhi secara nyata oleh harga kedelai internasional, nilai tukar, dan harga riil kedelai impor tahun sebelumnya.
87
6.2.
Saran Berdasarkan hasil dan pembahasan penelitian, maka dapat disarankan
beberapa hal sebagai berikut : 1. Dalam usaha meningkatkan produksi kedelai nasional, strategi yang dapat dilakukan adalah melalui program peningkatan produktivitas dan perluasan areal tanam. Berdasarkan kesimpulan bahwa benih tidak berpengaruh nyata, karena penggunaan benih bersertifikat masih terbatas, maka pemerintah sebaiknya melakukan kebijakan perbenihan, dengan cara penataan kembali sistem perbenihan, peningkatan efisiensi sistem produksi benih, dan sosialisasi varietas unggul baru secara intensif kepada petani.. Selain itu pemerintah juga harus mengupayakan peningkatan teknologi dalam hal kualitas benih unggul, pemupukan, dan sistem irigasi, karena ternyata iklim (curah hujan) sangat berpengaruh terhadap produktivitas kedelai. Dalam usaha ini diperlukan kerjasama secara multidimensional yang melibatkan peran petani, pemerintah dan juga sektor swasta 2. Untuk mengurangi dampak negatif liberalisasi perdagangan terhadap kesejahteraan produsen dalam hal ini petani, maka intervensi pemerintah masih tetap diperlukan, dimana hasil analisis menunjukkan bahwa dummy monopoli BULOG sangat berpengaruh terhadap harga riil kedelai di tingkat produsen, dengan kata lain pasar bebas domestik Indonesia masih perlu diproteksi oleh pemerintah dari pengaruh fluktuasi harga internasional, misalnya dengan cara membatasi impor, juga mengupayakan agar pengusaha kedelai mau bermitra dengan petani, dimana petani diberi pendampingan teknis berupa pengadaan benih, pupuk, teknologi budidaya
88
dari pengusaha terkait. Dengan demikian kualitas kedelai yang dihasilkan dapat menyaingi kedelai impor, dan bisa digunakan sebagai pengganti kedelai impor untuk bahan baku sehingga petani memiliki jaminan bahwa hasil panen kedelainya pasti akan dibeli oleh industri-industri pengolahan dengan harga yang wajar. 3. Untuk meningkatkan keunggulan kompetitif komoditi kedelai dalam perdagangan antar wilayah, substitusi impor, dan promosi ekspor maka diperlukan strategi distribusi dan pemasaran kedelai diantaranya dengan meningkatkan efisiensi biaya pemasaran dan posisi tawar petani sehingga mereka memperoleh harga yang wajar dan meningkatkan harga jual kedelai domestik, dimana hasil analisis menunjukkan bahwa harga jual kedelai domestik sangat responsif terhadap luas areal panen, sehingga sangat mempengaruhi insentif petani dalam berproduksi. Selain itu diharapkan industri-industri pengolahan kedelai dapat meningkatkan kualitas dan dayaguna produk olahan yang mampu bersaing dengan produk olahan berbahan baku nonkedelai.