ANALISIS FAKTOR-FAKTOR PENDUKUNG PROSES PENCIPTAAN PENGETAHUAN ORGANISASI DI KOPERASI SUSU
Oleh WAHYU PURWANTO H24053152
DEPARTEMEN MANAJEMEN FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010
ABSTRAK Wahyu Purwanto. H24053152. Analisis Faktor-Faktor Pendukung Proses Penciptaan Pengetahuan Organisasi Di Koperasi Susu. Di bawah bimbingan Anggraini Sukmawati dan Dyah Utami Syafitri. Sistem agribisnis pada komoditas susu segar yang terjadi di Indonesia menganut sistem kerja sama vertikal. Distribusi susu mengalir dari peternak ke koperasi dan langsung didistribusikan ke IPS (Industri Pengolahan Susu). Sistem ini dikenal dengan sistem cluster. Oleh karena itu keberadaan koperasi sangat berperan sekali dalam menunjang sistem cluster ini. Begitu pentingnya koperasi persusuan sebagai penyangga atau buffer antara peternak dan IPS, karena itu koperasi persusuan perlu dikembangkan. Salah satu upaya yang bisa dilakukan untuk pengembangan koperasi persusuan adalah dengan adanya inovasi. Penelitian ini dilakukan di enam koperasi susu, yaitu KPSBU, SAE, KUD Warga Mulya, KUD Jatinom, KUD Cepogo, dan KUD Musuk. Penelitian ini bertujuan (1) Mengidentifikasi faktor-faktor pendukung dalam proses penciptaan pengetahuan organisasi pada koperasi susu di Indonesia, (2) Menganalisis faktorfaktor pendukung bagi proses penciptaan pengetahuan Koperasi Susu di Indonesia. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer berasal dari kuesioner dan wawancara dengan karyawan enam koperasi. Data sekunder berasal dari data primer yang telah diolah lebih lanjut dan disajikan baik oleh pihak pengumpul data primer maupun oleh pihak lain. Selain itu data sekunder berasal dari studi pustaka yang berkaitan dengan bahasan penelitian seperti buku, jurnal, dan internet. Penelitian ini menggunakan analisis regresi linier berganda untuk mengetahui hubungan antara variabel independen (visi bersama, pengelolaan percakapan, penyebaran pengetahuan internal, dan variabel dummy) terhadap variabel dependen (pengetahuan organisasi koperasi susu). Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara simultan (keseluruhan), Visi Bersama, Pengelolaan Percakapan, dan Penyebaran Pengetahuan Internal memiliki pengaruh nyata terhadap Pengetahuan Organisasi Koperasi Susu (minimal ada satu variabel independen yang berpengaruh nyata terhadap variabel dependen). Namun secara parsial, ternyata hanya Pengelolaan Percakapan dan Penyebaran Pengetahuan Internal yang memiliki pengaruh nyata terhadap Pengetahuan Organisasi Koperasi Susu. Variabel dummy D1 dan D4 juga berpengaruh nyata terhadap Pengetahuan Organisasi Koperasi Susu. Hal ini menunjukkan bahwa secara umum tingkat pengetahuan organisasi Koperasi KPSBU dibandingkan dengan Koperasi SAE dan Koperasi Warga Mulya adalah lebih tinggi. Dan secara umum, karakteristik responden yang dilihat dari jenis kelamin, pengalaman, pendidikan, dan gaji tidak berpengaruh terhadap tingkat Pengetahuan Organisasi Koperasi Susu. Untuk ukuran kebaikan model masih kurang bagus karena nilai Koefisien Determinasi (R2) = 29,7 persen yang artinya keragaman yang mampu dijelaskan oleh faktor-faktor X dalam model regresi di atas hanya 29,7 persen sedangkan sisanya 70,3 persen dijelaskan oleh faktor lain di luar model.
ANALISIS FAKTOR-FAKTOR PENDUKUNG PROSES PENCIPTAAN PENGETAHUAN ORGANISASI DI KOPERASI SUSU
SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA EKONOMI Pada Departemen Manajemen Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor
Oleh WAHYU PURWANTO H24053152
DEPARTEMEN MANAJEMEN FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010
Judul Skripsi : Analisis Faktor-Faktor Pendukung Proses Penciptaan Pengetahuan Organisasi di Koperasi Susu Nama
: Wahyu Purwanto
Nim
: H24053152
Menyetujui
Pembimbing I
Pembimbing II
(Ir. Anggraini Sukmawati, MM)
(Utami Dyah Syafitri, M.Si)
NIP : 196710201994032001
NIP : 197709172005012001
Mengetahui Ketua Departemen
(Dr. Ir. Jono Munandar, M.Sc ) NIP : 1961012319866011002
Tanggal Lulus :
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan pada tanggal 22 Januari 1987 di Boyolali. Penulis bernama lengkap Wahyu Purwanto, merupakan anak pertama dari dua bersaudara pasangan Sudarto dan Paliyem. Penulis memulai pendidikan di Taman Kanak-Kanak Pertiwi, Kecamatan Ampel dan lulus pada Tahun 1993. Penulis melanjutkan pendidikan dasarnya di SD N Ampel 1 pada tahun 1993 sampai dengan tahun 1999. Pada Tahun 1999 penulis melanjutkan pendidikannya di SLTPN 1 Ampel dan lulus pada tahun 2002. Penulis menamatkan pendidikan menengah atas di SMAN 1 Boyolali pada tahun 2005, kemudian pada tahun yang sama penulis melanjutkan studi di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Penulis awalnya diterima sebagai mahasiswa di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian (mayor) namun pada semester enam, penulis pindah mayor ke Departemen Manajemen Fakultas Ekonomi dan Manajemen serta mengambil Supporting course. Selama belajar di Institut Pertanian Bogor, penulis aktif di beberapa organisasi kemahasiswaan, seperti menjadi Ketua Rohis Kelas B-23 TPB tahun 2005-2006, menjadi Ketua Rohis Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan tahun 2006-2007, mengikuti organisasi DPM TPB pada periode 2005-2006 sebagai Ketua Komisi Keuangan, LDK Al Hurriyyah pada periode 2005-2006 sebagai staf divisi PSDM, F-Mart Fateta sebagai Direktur tahun 2008, LDF Formasi Fem pada periode 2008-2009, dan OMDA FKMB dari tahun 2005-2010. Selain itu, penulis juga aktif mengikuti kegiatan-kegiatan lainnya di lingkungan Institut Pertanian Bogor.
iv
KATA PENGANTAR
Alhamdulilah, segala puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, sang pemilik cinta yang memberikan kemudahan, inspirasi dan membelahkan ide-ide sehingga menggerakkan jasad, roh dan akal penulis untuk mencoba berkarya dengan penyusunan skripsi yang berjudul “Analisis FaktorFaktor Pendukung Proses Penciptaan Pengetahuan Organisasi di Koperasi Susu”. Skripsi ini ditulis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi faktor-faktor pendukung dalam proses penciptaan pengetahuan organisasi pada koperasi susu di Indonesia dan menganalisis faktor-faktor pendukung bagi proses penciptaan pengetahuan Koperasi Susu di Indonesia. Penulis menyadari dalam penulisan ini, banyak pihak yang telah memberikan saran, bimbingan, bantuan dan dukungan baik secara langsung maupun tidak langsung sejak awal penulisan sampai akhirnya skripsi ini terselesaikan. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih pada : 1. Ir. Anggraini Sukmawati, MM dan Utami Dyah Syafitri, M. Si selaku dosen pembimbing yang telah memberikan masukan, motivasi dan bimbingan kepada penulis selama penelitian hingga akhirnya skripsi ini terselesaikan. 2. Dr. Ir. Muhammad Syamsun, M.Sc selaku dosen penguji yang telah memberikan kritik dan saran kepada penulis dalam membuat skripsi ini. 3. Seluruh dosen dan staf FEM, khususnya Departemen Manajemen yang telah membimbing dan membantu penulis selama menyelesaikan studi di FEM IPB 4. Ibu, Bapak, adik, dan seluruh keluarga yang telah memberikan dukungan dan semangat tiada henti kepada penulis, yang telah memberikan kasih sayang tiada batas kepada penulis. 5. Windry, Irma, Ani, Windarti, Aa, dan Fifin sebagai teman-teman satu bimbingan. Terima kasih atas kekompakan, dukungan dan bantuan kepada penulis hingga skripsi ini terselesaikan.
v
6. Seluruh teman-teman seperjuangan Manajemen 42, 43, dan 44 serta temanteman Ilmu dan Teknologi Pangan 42 yang telah membantu dan memberikan semangat serta rasa persaudaraan kepada penulis selama studi di IPB. 7. Ustadz dan saudara-saudaraku di PPM Al Inayah yang telah memberikan ilmu, bantuan dan dukungan semangat kepada penulis. 8. Sahabat-sahabatku (Nazrul, Syafrul, PT, Adit dll). Terima kasih atas kebersamaan dan persahabatan yang telah diberikan kepada penulis. 9. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu yang turut membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun untuk dijadikan bahan perbaikan serta memberikan arah yang lebih jelas dalam pelaksanaan penelitian selanjutnya.
Bogor, Mei 2010
Penulis
vi
DAFTAR ISI Halaman ABSTRAK RIWAYAT HIDUP ..........................................................................................
iv
KATA PENGANTAR ......................................................................................
v
DAFTAR ISI ....................................................................................................
vii
DAFTAR TABEL ............................................................................................
ix
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................
x
DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................
xi
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ....................................................................................... 1.2. Perumusan Masalah ................................................................................ 1.3. Tujuan Penelitian.................................................................................... 1.4. Manfaat Penelitian .................................................................................. 1.5. Ruang Lingkup Penelitian ......................................................................
1 5 6 6 7
II.
III.
IV.
TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Manajemen Pengetahuan ...................................................................... 2.2. Peran Manajemen Pengetahuan ............................................................ 2.3. Penciptaan Pengetahuan dalam Organisasi ........................................... 2.4. Pengertian dan Prinsip-Prinsip Koperasi ............................................... 2.5. Jenis dan Bentuk Koperasi ................................................................... 2.6. Koperasi Susu di Indonesia .................................................................. 2.7. Gabungan Koperasi Susu Indonesia ......................................................
8 10 11 18 20 22 25
METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Kerangka Pemikiran ............................................................................. 3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ................................................................ 3.3. Jenis dan Sumber Data ......................................................................... 3.4. Metode Pengumpulan Data................................................................... 3.5. Metode Sampling ................................................................................. 3.6. Pengolahan dan Analisis Data .............................................................. 3.6.1. Skala Likert .............................................................................. 3.6.2. Uji Validitas ............................................................................. 3.6.3. Uji Reliabilitas .......................................................................... 3.6.4. Analisis Regresi Linier Berganda ..............................................
27 28 28 29 29 30 30 31 31 32
HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Gambaran Umum Koperasi Susu .......................................................... 4.2. Karakteristik Responden ...................................................................... 4.3. Hasil Analisis Regresi Linier Berganda ................................................ 4.4. Implikasi Manajerial ............................................................................
36 48 63 66
vii
KESIMPULAN DAN SARAN 1. Kesimpulan .................................................................................................
69
2. Saran ..........................................................................................................
69
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................
71
LAMPIRAN .....................................................................................................
73
viii
DAFTAR TABEL No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.
Halaman Perkembangan Koperasi Persusuan di Indonesia .......................... 24 Variabel dan Indikatornya ............................................................. 34 Variabel Dummy Enam Koperasi ................................................. 35 Variabel Dummy Karakteristik Responden ................................... 35 Komposisi Modal Koperasi SAE, 2001-2005 ............................... 43 Perkembangan Anggota……………... .......................................... 44 Perkembangan Usaha (dalam juta) ................................................ 46 Aktiva dan Passiva Tahun 2004-2005 ........................................... 47 Koperasi yang Diteliti dan Alamatnya .......................................... 48 Uji F untuk Melihat Pengaruh Visi, PP, PPI, dan Variabel Dummy Terhadap PPO Secara Simultan ........................................................................................ 63 11. Model Regresi Linier Berganda (Pengaruh Visi Bersama, Pengelolaan Percakapan, Penyebaran Pengetahuan Internal dan Variabel Dummy Terhadap Pengetahuan Organisasi Koperasi Susu) .............................................................................. 64 12. Model Summary ............................................................................ 65
ix
DAFTAR GAMBAR No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20.
Halaman Kerangka Pemikiran Penelitian ..................................................... 28 Perbandingan Jenis Kelamin Responden di KPSBU .................... 49 Pengalaman Bekerja Responden KPSBU Pada Koperasi Lain ..... 50 Perbandingan Pendidikan Terakhir Responden KPSBU ............... 51 Perbandingan Gaji yang Diterima Responden KPSBU ................. 51 Perbandingan Jenis Kelamin Responden di SAE........................... 52 Perbandingan Pendidikan Terakhir Responden SAE ..................... 53 Perbandingan Gaji yang Diterima Responden SAE ...................... 53 Perbandingan Jenis Kelamin Responden di KUD Jatinom ........... 54 Pengalaman Bekerja Responden KUD Jatinom Pada Koperasi Lain ……………………………………………………………… 55 Perbandingan Pendidikan Terakhir Responden KUD Jatinom ..... 55 Perbandingan Gaji yang Diterima Responden KUD Jatinom ....... 56 Perbandingan Jenis Kelamin Responden di KUD Cepogo............ 57 Perbandingan Pendidikan Terakhir Responden KUD Cepogo ..... 58 Perbandingan Jenis Kelamin Responden di KUD Warga Mulya .. 59 Perbandingan Pendidikan Terakhir Responden KUD Warga Mulya ............................................................................................. 60 Perbandingan Gaji yang Diterima Responden KUD Warga Mulya ............................................................................................. 60 Perbandingan Jenis Kelamin Responden di KUD Musuk ............. 61 Pengalaman Bekerja Responden KUD Musuk Pada Koperasi Lain ............................................................................................... 62 Perbandingan Pendidikan Terakhir Responden KUD Musuk........ 62
x
DAFTAR LAMPIRAN No 1. Uji Validitas ........................................................................... 2. Uji Reliabilitas………………………………………………. 3. Uji Regresi Linier Berganda Untuk Visi, PP, PPI, dan Variabel Dummy Terhadap PPO……………………………. 4. Uji Regresi Linier Berganda Untuk Visi, PP, PPI, dan Variabel Dummy Terhadap PPO Menggunakan Data Interval ……………………………………………………... 5. Uji Regresi Linier Berganda Untuk Karakteristik Responden……………………………………………………
xi
Halaman 73 77 79
81 83
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Negara-negara yang berhasil dalam ekonomi dunia baru ini adalah mereka yang menerapkan prinsip-prinsip ekonomi berbasis pengetahuan. Nonaka yang dikutip Sangkala (2007) mengatakan bahwa di dalam ekonomi yang pasti hanya ketidakpastian, maka salah satu sumber daya saing yang pasti adalah pengetahuan. Karenanya adalah sangat penting bagi negara berkembang seperti Indonesia untuk matang sebagai bangsa memasuki masyarakat pengetahuan serta mengupayakan berbagai jalan dan cara yang dapat mentranformasikan dirinya ke dalam organisasi berbasis pengetahuan. Apalagi perkembangan pesat perekonomian dunia didorong oleh dua penggerak utama yaitu globalisasi dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Era globalisasi yang diwarnai dengan maraknya inovasi ditandai juga dengan pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Menyadari akan persaingan yang semakin berat, maka diperlukan perubahan paradigma dari yang semula mengandalkan pada resource-based menjadi knowledge based yang bertumpu pada analisis bidang ilmu pengetahuan tertentu. Kualitas SDM (sumber daya manusia) harus membawa penyadaran untuk mengantisipasi
kesiapan
membangun
masyarakat
berbasis
pengetahuan
(knowledge based society) yang menjadi prasyarat keunggulan persaingan abad 21 ini. Saat ini Indonesia sedang bergerak dari suatu masyarakat industrial (industrial society) ke suatu masyarakat berpengetahuan (knowledge society). Dimana sumber kekayaan bergeser dari modal ke knowledge (pengetahuan) dan jenis organisasi dari hierarki yang tajam (step hierarchy) menuju ke jaringan manusia (human networking). Pergeseran paradigma tentang sumber daya apa yang memiliki potensi menggerakkan perusahaan agar lebih cerdas dan inovatif, dewasa ini telah ditemukan seiring dengan semakin tumbuhnya kesadaran dari para pelaku bisnis maupun akademisi bahwa aset pengetahuan yang tergolong sebagai aset tak berwujud (intangible asset) lebih penting dari sumber daya perusahaan yang selama ini dipahami seperti sumber daya finansial, bangunan, tanah, teknologi,
2
posisi pasar, dan aset berwujud (tangible assets) lainnya. Posisi pengetahuan sedemikian sentralnya sehingga Brown dan Duguid (2002) yang dikutip Sangkala (2007) dengan tegas menyatakan bahwa sebenarnya esensi perusahaan adalah organisasi pengetahuan. Dua alasan utama pentingnya penerapan knowledge management (manajemen pengetahuan) di organisasi adalah (i) terabaikannya dan kurangnya proses pengambilan keputusan di suatu organisasi berbasis pengetahuan yang memadai, (ii) kelambatan dalam diseminasi informasi dan pengetahuan di suatu organisasi, serta tiadanya real timeness dari penyerapan informasi dan pengetahuan oleh pengambil keputusan di suatu organisasi. Ikujiro Nonaka, Professor Institute of Business Research, Hitotsubashi University Tokyo, Japan dalam “Management Dynamism and Managerial Productivity”, Juni 1991 muncul dengan pandangan mengenai inovasi sebagai esensi suatu proses penciptaan pengetahuan dalam organisasi (organizational knowledge-creation). Nonaka (1991) yang dikutip Setiarso et al (2009) menekankan pentingnya interaksi dalam organisasi antara tingkatan puncak, menengah dan bawahan, sekaligus peranan manajemen menengah yang berkompetisi dalam penciptaan pengetahuan. Untuk mencapai organisasi yang inovatif maka perlu dibangun budaya knowledge sharing (berbagi pengetahuan). Teori manajemen pengetahuan pada dasarnya muncul untuk menjawab pertanyaan bagaimana seharusnya mengelola pengetahuan. Guna menjawab pertanyaan tersebut, hal utama yang harus dilakukan adalah memahami bagaimana dan kapan penciptaan pengetahuan harus didukung dan bagaimana menggunakan akumulasi pengetahuan yang sudah tercipta sehingga dapat meningkatkan produktivitas organisasi. Pada tingkatan yang paling dasar, pengetahuan sebenarnya diciptakan oleh individu yang ada dalam organisasi. Organisasi pada dasarnya tidak dapat menciptakan pengetahuan tanpa individuindividu yang ada dalam organisasi. Fungsi organisasi adalah memberi dukungan kepada kreativitas individu yang ada dalam organisasi atau menyediakan suatu konteks bagi individu untuk menciptakan pengetahuan. Oleh karena itu, diperlukan sebuah penelitian yang mengkaji tentang bagaimana peran faktor pendukung dalam proses penciptaan pengetahuan dalam sebuah organisasi.
3
Dalam terminologi ilmu manajemen, sudah sering dihembuskan bahwa koperasi merupakan salah satu tipe organisasi modern yang di dalamnya terdapat unsur-unsur organisasi yang telah terstruktur di dalam koperasi dan tunduk pada prinsip-prinsip manajemen dalam menjalankan fungsinya. Di sisi lain ditemukan pula keunikan dalam pengertian koperasi, ia selaku organisasi kumpulan sejumlah orang yang tidak atas dasar kumpulan modal dan sekaligus juga sebagai organisasi bisnis yang mempunyai peran sebagai pelaku usaha. Selaku kumpulan orang, dalam tubuh koperasi tentu sarat pula dengan nilai-nilai kemanusiaan, baik sebagai anggota maupun sebagai pengurus. Selaku organisasi bisnis tentu sarat pula dengan indikator-indikator manajemen bisnis, teknologi, legalitas, dan pengetahuan tentang kondisi atau peluang-peluang usaha yang prospektif. Secara
naluri
diperkirakan
masih
terdapat
banyak
orang
yang
menghendaki dan meyakini bahwa koperasi masih layak dipertahankan dan ditumbuhkembangkan, dimana koperasi telah berperan aktif dalam pemberdayaan ekonomi masyarakat. Di sisi lain stereotipe terhadap keberadaan lembaga koperasi masih berkumandang di berbagai kalangan. koperasi dinilai sebagai lembaga ekonomi yang hampir gagal, tidak efisien dan tidak bisa bersaing. Koperasi juga dinilai sebagai sarang korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Jika menoleh pada kisah perkembangan koperasi di Indonesia sejak era penjajahan hingga era kemerdekaan, dapat disimpulkan bahwa perjalanan hidup ekonomi rakyat melalui koperasi mengalami pasang surut mulai dari kondisi bangsa yang terjajah, lalu ke kondisi ekonomi yang diwarnai proteksi hingga fase ekonomi pasar bebas. Adalah tidak mudah menghadapi perubahan lingkungan bisnis tersebut, terlebih bagi lembaga perkoperasian dengan skala usaha ekonomi serba terbatas. Maka, wajar jika eksistensi koperasi dapat pula terkena imbas yang dahsyat. Namun
demikian,
berdasarkan
pengalaman
empirik,
sekelompok
masyarakat masih teguh bergabung dalam koperasi, baik di perkotaan, pedesaan, bahkan sampai daerah terpencil. Data yang dihimpun Biro Perencanaan Kementerian Negara Koperasi dan UKM per tahun 2006 terdapat 141.314 koperasi di Indonesia dengan jumlah anggota 27. 907. 441 orang. Secara umum koperasi telah berperan dalam masyarakat antara lain berupa : (1) meningkatkan
4
skala usaha anggota dan efisiensi, (2) meningkatkan bargaining position terhadap pasar, (3) manfaat sosial. Untuk dapat menopang koperasi sebagai unit bisnis dan gerakan ekonomi masyarakat, diperlukan inovasi baru yang dapat diperoleh melalui pendekatanpendekatan yang melibatkan multidisiplin ilmu seperti ilmu ekonomi, manajemen bisnis, sosial budaya, psikologi, manajemen organisasi koperasi, dan ilmu hukum. (Tim penyusun dalam Sinaga et al, 2008) Sistem agribisnis pada komoditas susu segar yang terjadi di Indonesia menganut sistem kerja sama vertikal. Distribusi susu mengalir dari peternak ke koperasi dan langsung didistribusikan ke IPS (Industri Pengolahan Susu). Sebagian besar produksi susu segar yang dihasilkan berasal dari peternakan rakyat sedangkan koperasi sebagai pengumpul dan pengolah, pemberi layanan input produksi, dan mendistribusikan susu tersebut kepada IPS. Sistem ini dikenal dengan sistem cluster. Oleh karena itu keberadaan koperasi sangat berperan sekali dalam menunjang sistem cluster ini. Keterbentukan koperasi seiring dengan perkembangan peternakan sapi perah di Indonesia. Koperasi merupakan wadah yang digunakan oleh para peternak untuk memperlancar proses usahanya dan meningkatkan kesejahteraannya, di mana koperasi tersebut bertugas memberikan suplai input produksi berupa konsentrat, inseminasi buatan, dan sebagainya dan sekaligus menampung susu dari peternak untuk dijual ke IPS. Koperasi/KUD susu mengalami zaman keemasan pada saat impor sapi perah secara besar-besaran antara tahun 1980-1990-an, kini perannya seolah berkurang bahkan cenderung tidak dipercaya anggotanya. Persaingan usaha antar koperasi dan posisi tawar peternak sapi perah yang lemah merupakan indikasi ketidakmampuan koperasi/KUD susu mengendalikan bisnis persusuan di era pasar bebas. Sejak Gabungan Koperasi Susu Indonesia (GKSI) terbentuk pada akhir tahun 1970-an hingga kini, produktivitas usaha ternak sapi perah rakyat masih tetap rendah, seolah bisnis ini jalan di tempat. Kondisi tersebut dikarenakan manajemen usaha ternak, kualitas pakan dan bibit sapi yang tersedia sangat tidak memadai. Memperbaiki manajemen peternakan rakyat merupakan problema yang cukup komplek, tidak hanya merubah sikap peternak tetapi juga bagaimana menyediakan stok bibit yang baik dan bahan baku pakan yang berkualitas dalam
5
jumlah yang memenuhi kebutuhan. Dampak lemahnya usaha ini terlihat pada rendahnya produksi dan kualitas susu. Kesemuanya sebagai akibat dari sistem manajemen usaha yang tradisional, sehingga harga susu yang terbentuk di tingkat peternak menjadi rendah. (Firman, 2007) Begitu pentingnya koperasi persusuan sebagai penyangga atau buffer antara peternak dan IPS, karena itu koperasi persusuan perlu dikembangkan. Salah satu upaya yang bisa dilakukan untuk pengembangan koperasi persusuan adalah dengan adanya inovasi. Brown dan Duguid (2002) yang dikutip Sangkala (2007) menjelaskan bahwa posisi pengetahuan sangat penting dalam organisasi sehingga penciptaan pengetahuan dalam organisasi menduduki posisi yang sangat penting karena apabila aktivitas ini mengalami kemandulan, akan berdampak kepada ketidakmampuan organisasi dalam menciptakan inovasi-inovasi. Oleh karena itu, diperlukan sebuah penelitian yang mengkaji tentang bagaimana peran faktor pendukung dalam proses penciptaan pengetahuan dalam koperasi, khususnya koperasi susu. 1.2. Perumusan Masalah Pergeseran paradigma tentang sumber daya apa yang memiliki potensi menggerakkan perusahaan agar lebih cerdas dan inovatif, dewasa ini telah ditemukan seiring dengan semakin tumbuhnya kesadaran dari para pelaku bisnis maupun akademisi bahwa aset pengetahuan yang tergolong sebagai aset tak berwujud (intangible asset) lebih penting dari sumber daya perusahaan yang selama ini dipahami seperti sumber daya finansial, bangunan, tanah, teknologi, posisi pasar, dan asset berwujud (tangible assets) lainnya. Posisi pengetahuan sedemikian sentralnya sehingga Brown dan Duguid (2002) yang dikutip Sangkala (2007) dengan tegas menyatakan bahwa sebenarnya esensi perusahaan adalah organisasi pengetahuan. Sehingga penciptaan pengetahuan dalam organisasi menduduki posisi yang sangat penting karena apabila aktivitas ini mengalami kemandulan, akan berdampak kepada ketidakmampuan organisasi dalam menciptakan inovasi-inovasi produk. Sistem agribisnis pada komoditas susu segar yang terjadi di Indonesia menganut sistem kerja sama vertikal. Distribusi susu mengalir dari peternak ke
6
koperasi dan langsung didistribusikan ke IPS. Sebagian besar produksi susu segar yang dihasilkan berasal dari peternakan rakyat sedangkan koperasi hanya sebagai pengumpul, pemberi layanan input produksi, dan mendistribusikan susu tersebut kepada IPS. Sistem ini dikenal dengan sistem cluster. Oleh karena itu keberadaan koperasi susu sangat berperan sekali dalam menunjang sistem cluster ini, karena itu koperasi persusuan perlu dikembangkan. Salah satu upaya yang bisa dilakukan untuk pengembangan koperasi persusuan adalah dengan adanya inovasi. Dan menurut Brown dan Duguid (2002) yang dikutip Sangkala (2007), proses penciptaan pengetahuan di organisasi akan berpengaruh terhadap inovasi. Berdasarkan paparan di atas, maka permasalahan yang dapat dirumuskan adalah bagaimana peran faktor-faktor pendukung dalam proses penciptaan pengetahuan di organisasi (koperasi susu). 1.3. Tujuan Penelitian 1. Mengidentifikasi faktor-faktor pendukung dalam proses penciptaan pengetahuan organisasi pada koperasi susu di Indonesia 2. Menganalisis
faktor-faktor
pendukung
bagi
proses
penciptaan
pengetahuan Koperasi Susu di Indonesia . 1.4. Manfaat Penelitian Beberapa manfaat yang dapat diperoleh dari hasil penelitian ini adalah 1. Bagi penulis, penelitian ini sebagai bahan pembelajaran, meningkatkan pengetahuan dan wawasan tentang manajemen pengetahuan, khususnya tentang faktor pendukung proses penciptaan pengetahuan organisasi serta penerapan ilmu-ilmu yang telah diperoleh selama di bangku kuliah. 2. Bagi praktisi, penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan bagi pimpinan organisasi dalam membuat kebijakan pengembangan dan pengelolaan SDM serta dapat menjadi acuan untuk meningkatkan kinerja organisasi secara terus-menerus. 3. Sebagai bahan referensi bagi pihak lain yang ingin melakukan penelitian lebih lanjut di bidang yang sama.
7
1.5. Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini difokuskan untuk menganalisis faktor pendukung dalam proses penciptaan pengetahuan di organisasi, di mana faktor yang dianalisis adalah visi bersama, pengelolaan percakapan, dan penyebaran pengetahuan internal. Penelitian ini dilakukan dengan melakukan penyebaran kuesioner kepada karyawan dan juga didukung dengan studi literatur lainya.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Manajemen Pengetahuan Dalam buku yang ditulis oleh Von Krough et al (2000) dan Choo (1998) yang dikutip Setiarso et al (2009), disampaikan ringkasan gagasan yang mendasari pengertian pengetahuan adalah sebagai berikut : a. Pengetahuan merupakan kepercayaan yang dapat dipertanggungjawabkan (justified true believe) b. Pengetahuan merupakan sesuatu yang eksplisit sekaligus terpikirkan (tacit) c. Penciptaan
inovasi
secara
efektif
bergantung
pada
konteks
yang
menungkinkan terjadinya penciptaan tersebut d. Penciptaan inovasi yang melibatkan lima langkah utama yaitu berbagi pengetahuan terpikirkan (tacit), menciptakan konsep, membenarkan konsep, membangun prototype, dan melakukan penyebaran pengetahuan tersebut. Menurut Sangkala (2007), Pergeseran kesadaran tentang pentingnya sumber daya pengetahuan dapat ditelusuri melalui berbagai laporan hasil penelitian yang dilakukan Kendrick (1990, dalam Sullivan, 2000). Pada tahun 1929, rasio penggunaan antara modal yang bersifat tangible dengan modal yang bersifat intangible berkisar antara 30:70 persen. Pada tahun 1990 rasio tersebut bergeser menjadi 63:37 persen. Dalam penelitian Dr. Blair (Tuomi, 1999) dilaporkan pula bahwa pada tahun 1978 terdapat 80% keseluruhan nilai perusahaan terkait dengan modal yang tangible assets dan hanya 20% terkait dengan modal yang bersifat intangible assets. Sepuluh tahun kemudian, di tahun 1988, keadaan modal yang bersifat tangible assets bergeser menjadi 45% dan 55% berupa modal yang bersifat intangible assets. Pada penelitian berikutnya, yakni di tahun 1998, terungkap bahwa hanya 30% nilai perusahaan bersumber dari modal yang bersifat tangible assets sedangkan 70% nilai perusahaan terkait dengan modal yang bersifat intangible assets. Hasil penelitian tersebut juga melaporkan bahwa hasil studi yang dilakukan terhadap perkembangan ekonomi di Amerika dan negara-negara Eropa Barat mengalami pergeseran serupa, dan pergeseran ini diperkirakan akan berlanjut hingga ke seluruh dunia.
9
Menurut Davenport dan Prusak (1998) yang dikutip Munir (2008), pengetahuan bukanlah data, bukan pula informasi, namun sulit sekali dipisahkan dari keduanya. Data dan informasi merupakan bahan baku yang diolah oleh aksi atau tindakan menjadi pengetahuan. Menurut Probst et al (2000) yang dikutip Munir (2008), pengetahuan adalah keseluruhan kognisi dan keterampilan yang digunakan oleh manusia untuk memecahkan masalah. Sedangkan definisi paling sederhana mengenai pengetahuan adalah kapasitas untuk melakukan tindakan dengan efektif. Manajemen pengetahuan pada dasarnya muncul untuk menjawab pertanyaan bagaimana seharusnya mengelola pengetahuan. Kesadaran untuk menerapkan pendekatan manajemen pengetahuan ke dalam strategi bisnis diperlukan karena terbukti perusahaan yang menjadikan sumber daya pengetahuan sebagai aset utamanya senantiasa mampu mendorong perusahaan lebih inovatif yang bermuara kepada kepemilikan daya saing perusahaan terhadap pesaingnya. (Sangkala, 2007). Untuk memperoleh manfaat sebesar-besarnya dari pengetahuan yang dimiliki dan untuk mengetahui pengetahuan-pengetahuan yang harus dimiliki, perusahaan harus mengelola pengetahuannya melalui manajemen pengetahuan. Tiwana (2000) yang dikutip Munir (2008), menyampaikan bahwa manajemen pengetahuan adalah pengelolaan pengetahuan organisasi untuk menciptakan nilai dan menghasilkan keunggulan bersaing atau kinerja prima. Melalui manajemen pengetahuan, secara sadar organisasi mengidentifikasikan pengetahuan-pengetahuan
yang
dimiliki
dan
memanfaatkannya
untuk
meningkatkan kinerja dan menghasilkan berbagai inovasi. Untuk memperoleh manfaat menajemen pengetahuan yang sebesar-besarnya, organisasi juga aktif mengidentifikasi dan mengakuisisi pengetahuan-pengetahuan berkualitas yang ada di lingkungan eksternal organisasi. Menurut Skryme yang dikutip Setiarso et al (2009), menyampaikan bahwa salah satu tantangan manajemen pengetahuan adalah menjadikan manusia berbagi pengetahuan mereka. Untuk menghadapi tantangan tersebut Skryme menyarankan 3 C, yaitu Culture, Co-opetition (menyatukan kerjasama dengan persaingan), dan commitment.
10
Horwitch
dan
Armacost
(2002)
yang
dikutip
Sangkala
(2007)
mendefinisikan manajemen pengetahuan sebagai pelaksanaan penciptaan, penangkapan, pentransferan, dan pengaksesan pengetahuan dan informasi yang tepat ketika dibutuhkan untuk membuat keputusan yang lebih baik, bertindak dengan tepat, serta memberikan hasil dalam rangka mendukung strategi bisnis. Davidson dan Voss (2002) yang dikutip Sangkala (2007) mendefinisikan manajemen pengetahuan sebagai sistem yang memungkinkan perusahaan menyerap pengetahuan, pengalaman, dan kreativitas para stafnya untuk perbaikan kinerja perusahaan. Davidson dan Voss juga menyatakan bahwa manajemen pengetahuan merupakan suatu proses yang menyediakan cara sehingga perusahaan dapat mengenali di mana aset intelektual kunci berada, dan menangkap ukuran aset intelektual yang relevan untuk dikembangkan. Menurut Santosu dan Surmach (2001) yang dikutip Sangkala (2007) bahwa manajemen pengetahuan merupakan proses di mana perusahaan melahirkan nilai-nilai dan aset intelektual dan aset yang berbasiskan pengetahuan. Manajemen pengetahuan merupakan seni untuk menciptakan nilai. Menurut Bergerson (2003) yang dikutip Sangkala (2007), manajemen pengetahuan merupakan suatu pendekatan yang sistematik untuk mengelola aset intelektual dan informasi lain sehingga memberikan keunggulan bersaing bagi perusahaan. Sementara itu menurut pandangan Sveiby (1998) yang dikutip Sangkala (2007), manajemen pengetahuan adalah seni penciptaan nilai dari aset pengetahuan. 2.2. Peran Manajemen Pengetahuan Peranan manajemen pengetahuan dapat dilihat dalam kaitannya dengan penggunaan pengetahuan sebagai basis untuk melahirkan inovasi, meningkatkan responsivitas terhadap kebutuhan pelanggan dan stakeholder, meningkatkan produktivitas dan kompetensi karyawan yang telah diberi tugas dan tanggung jawab. Pengetahuan dan kapabilitas merupakan sumber daya saing yang berkelanjutan bagi perusahaan. (Kumar dan William 1993; Drucker 1993; Nonaka 1994; Nonaka dan Takeuchi 1995; Quinn 1992; Sveiby 1997; Teece, Pisano, dan Shuen 1997; Toffler 1990; Winter 1987: yang dikutip Sangkala (2007)) Obsevasi dari para ahli seperti Quinn (1992) menemukan bahwa peningkatan daya saing perusahaan sangat tergantung kepada sumber daya yang
11
berbasis pengetahuan seperti teknologi know-how dan pemahaman yang mendalam kepada para pelanggannya. Drucker (1993) berargumentasi bahwa pengetahuan telah menjadi sumber daya paling berguna di dalam dunia bisnis saat ini. Toffler (1990) mengklaim bahwa pengetahuan adalah sumber kekuasaan yang paling berkualitas dan kunci pergeseran kekuasaan ke depan. Pengetahuan menjadi sumber daya yang sangat penting bagi daya saing perusahaan karena sulit diperdagangkan dan diimitasi. 2.3. Penciptaan Pengetahuan dalam Organisasi Menurut Sangkala (2007), penciptaan pengetahuan dalam organisasi dapat dilakukan dengan enam langkah, yaitu : 1. Memperluas dan Mengembangkan Pengetahuan Pribadi Penggerak utama proses penciptaan pengetahuan di dalam organisasi adalah individu yang berada dalam organisasi. Individu-individu tersebut mengakumulasi pengetahuan tacit melalui pengalaman yang mereka miliki. Kualitas pengetahuan tacit dipengaruhi oleh dua hal penting, yaitu faktor keragaman pengalaman individu dan kualitas pengetahuan terhadap pengalaman yang merupakan penjelmaan pengetahuan ke dalam komitmen pribadi yang telah lama melekat di dalam pengalaman itu sendiri. 2. Berbagi Pengetahuan Tacit Salah satu cara mengimplementasikan penciptaan pengetahuan dalam organisasi adalah dengan menciptakan self-organizing team, dimana anggota organisasi berkolaborasi untuk menciptakan konsep baru. Self-organizing team yang dibentuk merupakan tim yang anggota-anggotanya berasal dari berbagai fungsi. Keragaman asal anggota tim sangat penting bagi organisasi dalam rangka memutuskan kapan dan bagaimana menentukan bidang interaksi, dimana dan kapan individu dapat berinteraksi. Self-organizing team dapat memicu penciptaan pengetahuan organisasi
melalui
dua
proses,
yaitu
pertama,
organisasi
memfasilitasi tumbuhnya saling percaya di antara anggota organisasi dan mempercepat terciptanya perspektif yang secara eksplisit berasal dari anggota organisasi itu sendiri yang dikenal dengan pengetahuan tacit. Kedua, berbagi perspektif implisit yang dikonseptualisasikan melalui dialog yang kontinu di antara anggota organisasi. Berbagi pengalaman juga mampu memfasilitasi
12
penciptaan perspektif umum yang dapat dibagi oleh anggota tim sebagai bagian dari pengetahuan tacit masing-masing. 3. Pengonseptualisasian Setelah tercipta saling percaya di antara anggota organisasi dan telah terbentuk secara implisit perspektif yang sama melalui berbagi pengalaman, tim selanjutnya memerlukan pengartikulasian perspektif melalui dialog yang kontinu. Mode yang dominan dalam pengubahan pengetahuan dalam tahap ini adalah eksternalisasi. Teori organizational learning telah banyak memberikan perhatian terhadap proses ini. Perspektif tacit diubah ke dalam bentuk konsep eksplisit yang dapat dibagi kepada tim. Dialog secara langsung memfasilitasi proses ini dengan menggiatkan eksternalisasi pada level individual. Dialog dalam bentuk tatap muka merupakan salah satu upaya membangun konsep karena hal ini memberikan peluang bagi seseorang untuk menguji asumsi maupun hipotesisnya. Agar dialog tersebut produktif, dialog harus : 1) dilakukan oleh berbagai macam orang dan bersifat temporer sehingga ada ruang untuk perbaikan dan negosiasi; 2) para peserta dalam dialog harus dapat mengekspresikan ide-idenya secara bebas dan jujur. Upaya konseptualisasi tidak hanya diciptakan melalui metode deduktif dan induktif tetapi juga abduktif. Abduktif memiliki peranan penting di dalam proses konseptualisasi. Deduksi dan induksi secara vertikal berorientasi kepada proses memberi alasan, sementara abduksi merupakan perluasan secara lateral dari alasan di mana berpusat kepada penggunaan metafora-metafora. Biasanya proses induktif dan deduktif digunakan ketika sebuah pemikiran atau image direvisi atau untuk memberi makna terhadap sebuah konsep baru. 4. Pengkristalisasian Kristalisasi dapat dipandang sebagai proses dimana berbagai macam bagian atau departemen di dalam organisasi menguji realitas dan penerapan konsep yang diciptakan oleh tim. Proses ini biasanya difasilitasi biasanya oleh apa yang disebut dengan kegiatan percobaan. Kegiatan ini merupakan proses sosial dimana terjadi pada level kolektif yang biasanya disebut dengan dinamika hubungan kerja sama (Haken, 1978) atau sinergis antara berbagai fungsi dan departemen dalam organisasi. Hubungan ini cenderung dapat dilakukan dengan efektif apabila
13
tersedia informasi yang cukup. Jika tidak tersedia informasi yang cukup tersedia, biasanya inisiatif dilakukan oleh para ahli yang dianggap memiliki informasi dan pengetahuan yang lebih. Penciptaan pengetahuan berlangsung dalam interaksi para anggota tim untuk selanjutnya dikristalisasi dalam bentuk yang lebih konkrit, misalnya berupa produk, konsep, atau sistem. Kristalisasi ini merupakan bentuk pengubahan pengetahuan yang kegiatannya diistilahkan oleh Nonaka dan Takeuchi (1995) sebagai model konversi internalisasi. Proses kristalisasi merupakan proses sosial yang terjadi pada tingkatan kolektif yang terealisasi melalui apa yang disebut oleh Haken (1978) sebagai “dynamic cooperative relation or synergetics” di antara berbagai fungsi dan departemen dalam organisasi. 5. Penilaian Pengetahuan Penilaian merupakan tahap terakhir menyatukan dan menyaring apakah pengetahuan yang diciptakan dalam organisasi benar-benar bermanfaat bagi organisasi dan masyarakat. Artinya penilaian sangat menentukan kualitas pengetahuan yang diciptakan dan mencakup kriteria atau standar penilaian. Persoalan yang terkait dengan standar penilaian ini antara lain terkait dengan biaya, keuntungan minimalnya, tingkat di mana produk dapat memberikan kontribusi kepada perkembangan perusahaan, termasuk nilai yang dijanjikan yang di luar fakta atau pertimbangan-pertimbangan pragmatis. Hal ini bisa berupa opini yang lebih luas dan lebih dari sekedar penciptaan pengetahuan, misalnya visi organisasi dan persepsi yang terkait dengan perjalanan, romantisme, dan estetikanya. Di dalam organisasi biasanya yang paling menentukan adalah standar penilaian. Standar penilaian harus dilakukan dalam terminologi konsistensi dengan sistem nilai yang paling tinggi. Kemampuan pimpinan memelihara keberlanjutan refleksi diri dalam perspektif yang lebih luas sangat diperlukan apabila tetap menginginkan kualitas penciptaan pengetahuan terjadi. 6. Menjaringkan pengetahuan Selama tahap penciptaan pengetahuan organisasi, konsep yang telah diciptakan,
dikristalisasikan,
selanjutnya
dinilai
dalam
organisasi
dan
diintegrasikan ke dalam basis pengetahuan organisasi untuk disebarkan ke seluruh jaringan organisasi. Pengetahuan organisasi yang telah tercipta tersebut
14
selanjutnya dikelola kembali melalui proses interaksi antara visi organisasi yang telah ditetapkan sebelumnya dengan konsep baru yang telah diciptakan. Untuk menjembatani antara konsep besar dengan konsep baru yang tercipta diperlukan satu konsep menengah. Jadi konsep menengah ini menghilangkan ketidakjelasan konsep besar ke tingkat konsep baru maupun sebaliknya. Kadang-kadang konsep besar tidak dimengerti dengan baik pada setiap tingkatan kecuali konsep menengah memperjelas konsep yang sudah tercipta tersebut. Upaya memperjelas tersebut dilakukan melalui penciptaan atau penyusunan kembali konsep besar yang diberikan oleh pimpinan puncak serta konsep menengah yang diciptakan oleh pimpinan menengah. Interaksi ini dimediasi secara nyata dalam bentuk penyatuan informasi, yang merupakan dinamika lain aktivitas self organizing team untuk menjejaringkan pengetahuan yang terus-menerus menciptakan informasi dan makna baru. Hal yang perlu dicatat bahwa proses penciptaan pengetahuan tidak pernah berakhir dan merupakan proses yang berputar baik yang terjadi dalam organisasi maupun dengan lingkungannya.
Dengan lingkungan karena
lingkungan
merupakan sumber pemicu penciptaan pengetahuan dalam organisasi. Salah satu aspek hubungan antara penciptaan pengetahuan dengan lingkungan digambarkan oleh reaksi produk oleh pelanggan, pesaing, dan pemasok. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa proses penciptaan pengetahuan dalam organisasi berlangsung bagaikan sebuah siklus yang dimulai dari memperbesar pengetahuan individu, berbagi pengetahuan tacit dan konseptual, membangun tim mengelola dirinya sendiri,
berbagi
pengalaman,
menyusunnya
ke
dalam
bentuk
konsep,
mengkristalisasikan, menilai kualitasnya, menjaringkan ke seluruh organisasi baik internal maupun ke seluruh lingkungan organisasi. Menurut Profesor Nonaka yang dikutip Setiarso et al (2009), bahwa proses penciptaan pengetahuan organisasi terjadi karena adanya interaksi (konversi) antara pengetahuan tacit dan pengetahuan eksplisit, melalui proses sosialisasi, eksternalisasi, kombinasi, dan internalisasi. Menurut Nonaka dan Takeuchi (1995) yang dikutip Munir (2008), interaksi dinamis antara satu bentuk pengetahuan ke bentuk lainnya disebut konversi pengetahuan. Terdapat empat cara konversi pengetahuan, yaitu sosialisasi (Sosialization), eksternalisasi (Eksternalization),
15
kombinasi (Combination), dan internalisasi (Internalization). Di bawah ini adalah uraian masing-masing cara konversi pengetahuan : 1. Sosialisasi (Socialization) Sosialisasi
merujuk
pada
konversi
pengetahuan
tarbatinkan
ke
pengetahuan terbatinkan. Istilah sosialisasi ini digunakan untuk menekankan pada pentingnya kegiatan bersama antara sumber pengetahuan dan penerima pengetahuan dalam proses konversi pengetahuan terbatinkan. 2. Eksternalisasi (Externalization) Eksternalisasi merujuk pada konversi pengetahuan terbatinkan ke pengetahuan eksplisit. Melalui cara ini pengetahuan terkristalisasikan sehingga dapat didistribusikan ke pihak lain dan menjadi basis bagi pengetahuan baru. Pada tahap ini, pengetahuan terbatinkan diekspresikan dan diterjemahkan menjadi metafora, konsep, hipotesis, diagram, model atau prototipe sehingga dapat dimengerti oleh pihak lain. 3. Kombinasi (Combination) Kombinasi merujuk pada konversi pengetahuan dari pengetahuan ekplisit ke pengetahuan eksplisit. Dengan cara ini pengetahuan ditukarkan dan dikombinasikan
melalui
media
seperti
dokumen-dokumen,
rapat-rapat,
percakapan telepon dan komunikasi melalui jaringan komputer. Dalam praktiknya kombinasi bergantung pada tiga proses. Pertama, pengetahuan eksplisit dikumpukan dari dalam dan dari luar perusahaan, kemudian dikombinasikan. Kedua, pengetahuan eksplisit disunting atau diproses agar dapat lebih bermanfaat bagi perusahaan. Ketiga, pengetahuan-pengetahuan ekplisit tersebut disebarkan ke seluruh perusahaan melalui berbagai media. 4. Internalisasi (Internalization) Internalisasi merujuk pada konversi pengetahuan eksplisit menjadi pengetahuan terbatinkan. Cara ini mirip sekali dengan kegiatan yang disebut belajar sambil melakukan atau learning by doing. Internalisasi pengetahuan digunakan untuk memperluas, memperdalam, serta mengubah pengetahuan terbatinkan yang dimiliki oleh setiap anggota perusahaan. Bila pengetahuan berhasil diinternalisasikan ke dalam pengetahuan terbatinkan para individu dalam
16
bentuk model mental bersama maka pengetahuan ini akan menjadi aset yang luar biasa berharga bagi perusahaan. Berdasarkan teori Von Krogh et al (2000) yang dikutip Irsan (2005), menunjukkan adanya lima faktor yang dipandang penting dalam membuat enabler pengetahuan di perusahaan, lima faktor ini sekaligus sebagai pemberdaya pengetahuan yaitu : 1. Visi bersama (Instill a knowledge vision), Visi bersama merupakan visi pengetahuan yang memuat apa yang diinginkan di masa depan dan kebutuhan saat ini. Visi pengetahuan menjelaskan relevansi dari kreasi pengetahuan bagi organisasi. Visi pengetahuan ini harus menciptakan kepedulian terhadap kreasi pengetahuan pada semua level dan harus dapat mengidentifikasi sharing pengetahuan sebagai nilai tambah bagi perusahaan. Visi juga harus dapat menciptakan rasa percaya, peduli, dan kooperatif daripada rasa curiga, tidak acuh, dan persaingan internal. 2. Pengelolaan percakapan (manage conversation). Pengelolaan percakapan merupakan membangun suasana dialogis agar terdapat konfirmasi dan kreasi pengetahuan. Dialog personal adalah satu dari banyak mekanisme efektif untuk informasi dan pertukaran pengetahuan. Mengelola jumlah percakapan untuk menciptakan suatu lingkungan yang di mana setiap individu dapat berpartisipasi dalam (semiformal) percakapan dan membuat kontribusi yang berharga. Seorang pengelola percakapan (conversation manager) mengelola membuat penjelasan tentang peraturan-peraturan eksplisit untuk etika percakapan,
intervensi
percakapan,
dan
percakapan
langsung
serta
memperkenalkan bahasa yang inovatif untuk menjelaskan konsep-konsep dan ideide. Bentuk dan aturan-aturan percakapan berbeda untuk tiap-tiap langkah penciptaan pengetahuan. 3. Mobilisasi penggerak pengetahuan (mobilize knowledge activists). Mobilisasi
penggerak
pengetahuan
yaitu
menggerakkan
aktivitas
pengetahuan yaitu pemeran pada proses kreasi pengetahuan yang meliputi katalisator, koordinator, dan merchant of foresight. Aktivitas pengetahuan adalah orang-orang yang berperan (karena memfasilitasi) proses kreasi pengetahuan. Mereka bertindak sebagai katalis dan memulai inisiatif dengan mengajak serta
17
orang-orang yang tepat. Mereka bertindak sebagai koordinator dengan menciptakan konteks yang tepat dan membuat hubungan dengan visi global pengetahuan sebaik membuat hubungan lokal di dalam organisasi. Mereka bertindak sebagai merchant dengan mengusahakan perhatian yang menarik sehingga setiap orang di dalam organisasi ikut berpartisipasi. Hal ini tentu berlainan dengan pegawai pengetahuan tradisional yang mencoba mengontrol proses
kreasi
pengetahuan,
maka
aktivis
pengetahuan
bertujuan
memberdayakannya. Telah diketahui dari para pakar sosiologi bahwa banyak orang menemukan pekerjaan melalui kontak personal, dalam arti bahwa mayoritas hubungan personal bukan hanya dengan teman dekat tetapi juga ikatan yang tidak terlalu dekat dan ikatan seperti ini adalah orang-orang yang berada pada lingkungan luar dan mempunyai pengetahuan yang berbeda dari orang-orang yang berada di lingkaran dalam/yang dekat dengannya. Granovetter (1970) yang dikutip oleh Irsan (2005), menyatakan bahwa semakin banyak orang berkenalan maka semakin berkuasalah orang tersebut. Aktivis pengetahuan mempunyai tujuan profesional untuk menghubungkan orang yang tepat dan melakukan hal ini sedemikian rupa sehingga mereka dapat bersosialisasi dengan sangat baik. 4. Penyediaan lingkungan yang kondusif (create the right context). Penyediaan lingkungan yang kondusif yaitu memadukan konteks visikal, mental, dan virtual. Sangat penting untuk mengetahui dan mengerti bahwa konteks yang tepat harus mendukung sharing pengetahuan implisit individu, mendokumentasikannya, dan menginternalisasikannya pada tiap level grup. 5. Penyebaran pengetahuan internal (globalize local knowledge). Penyebaran
pengetahuan
internal
yaitu
mengglobalkan/mentransfer
pengetahuan lokal yang mencakup triggering, packaging, dan re-creating. Pemberdaya yang terakhir ini bertujuan untuk mentransfer kreasi pengetahuan kepada lingkungan dalam organisasi dengan mendistribusikannya. Pengetahuan harus ditarnsfer antara pengkreasi dengan penerima dengan tidak lupa mempertimbangkan aspek psikologi, sosiologi, dan teknologi. Menurut Krogh et al (2000) yang dikutip Irsan (2005), penyebaran pengetahuan internal diformulasikan dalam tiga tahap proses, yaitu triggering, proses mengenali
18
kesempatan bisnis dan menghubungkannya dengan pengetahuan yang ada dalam beberapa bagian organisasi (menggunakan aktivis pengetahuan, workshop, papan buletin dan sebagainya). Packaging dan dispatching pengetahuan ini, dan recreating dalam sisi penerima. Dengan asumsi bahwa transfer pengetahuan bukan sekedar
operasi
mengkopi
dari
pengirim
ke
penerima
tetapi
juga
mempertimbangkan pengetahuan implisit dan eksplisit si pengirim dan penerima serta
keadaan
lokal
di
mana
pengetahuan
dapat
dire-kreasi
dan
diimplementasikan. 2.4. Pengertian dan Prinsip-Prinsip Koperasi Definisi Koperasi Indonesia menurut UU No 25/1992 tentang perkoperasian adalah sebagai berikut, koperasi adalah badan usaha yang beranggotakan orang seorang atau badan hukum koperasi, dengan melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat, yang berdasar atas azaz kekeluargaan. Berdasarkan batasan koperasi ini, Koperasi Indonesia mengandung lima unsur sebagai berikut : 1. Koperasi adalah Badan Usaha (Business Enterprise) Sebagai Badan Usaha, maka koperasi harus memperoleh laba. Laba merupakan elemen kunci dalam sistem usaha bisnis, di mana sistem itu akan gagal bekerja tanpa memperoleh laba. 2. Koperasi adalah kumpulan orang-orang dan atau badan-badan hukum koperasi. Ini berarti bahwa Koperasi Indonesia bukanlah kumpulan modal. Dalam hal ini UU No 25/1992 memberikan jumlah minimal orang-orang (anggota) yang ingin membentuk organisasi koperasi (minimal 20 orang), untuk koperasi primer, dan tiga badan hukum koperasi untuk koperasi sekunder. 3. Koperasi Indonesia adalah koperasi yang bekerja berdasarkan prinsipprinsip koperasi. Menurut UU No 25/1992 ada tujuh prinsip Koperasi Indonesia, yang pada dasarnya merupakan jati diri koperasi. 4. Koperasi Indonesia adalah gerakan ekonomi rakyat.
19
Ini berarti bahwa Koperasi Indonesia merupakan bagian dari sistem perekonomian nasional. Dengan demikian kegiatan koperasi tidak semata-mata hanya ditujukan untuk anggota tetapi juga kepada masyarakat umum. 5. Koperasi Indonesia berazazkan kekeluargaan. Dengan azaz ini keputusan yang berkaitan dengan usaha dan organisasi dilandasi dengan jiwa kekeluargaan. Segala keputusan yang diambil seyogyanya berdasarkan musyawarah dan mufakat. Prinsip-prinsip atau sendi-sendi dasar Koperasi Indonesia menurut UU No. 12 tahun 1967, adalah sebagai berikut : 1. Sifat keanggotaannya sukarela dan terbuka untuk setiap warga negara Indonesia 2. Rapat anggota merupakan kekuasaan tertinggi sebagai pencerminan demokrasi dalam koperasi. 3. Pembagian SHU diatur menurut jasa masing-masing anggota 4. Adanya pembatasan bunga atas modal 5. Mengembangkan kesejahteraan anggota khususnya dan masyarakat pada umumnya 6. Usaha dan ketatalaksanaannya bersifat terbuka 7. Swadaya, swakarta, dan swasembada sebagai pencerminan prinsip dasar percaya pada diri sendiri. Prinsip-prinsip koperasi menurut UU No. 25 tahun 1992 dan yang berlaku saat ini di Indonesia adalah sebagai berikut : 1. Keanggotaan bersifat sukarela dan terbuka 2. Pengelolaan dilakukan secara demokrasi 3. Pembagian SHU dilakukan secara adil sesuai dengan besarnya jasa usaha masing-masing anggota. 4. Pemberian batas jasa yang terbatas terhadap modal. 5. Kemandirian. 6. Pendidikan perkoperasian. 7. Kerja sama antar koperasi. Dari kedua prinsip Koperasi Indonesia tersebut dapat dilihat bahwa esensi dasar kerja koperasi sebagai badan usaha tidaklah berbeda secara nyata. Hanya
20
saja dalam UU No. 25 tahun 1992 ada penambahan mengenai prinsip kerja sama antar koperasi. Ini dapat dipahami bahwa untuk mengantisipasi tren globalisasi ekonomi, koperasi perlu meningkatkan kekuatan tawar-menawarnya dengan menjalin kerja sama antar koperasi. 2.5. Jenis dan Bentuk Koperasi Peraturan Pemerintah No. 60 Tahun 1959 tentang Perkembangan Gerakan Koperasi (pasal 2) mengatakan sebagai berikut : 1. Pada dasarnya yang dimaksud dengan penjenisan koperasi adalah pembedaan koperasi yang didasarkan pada golongan dan fungsi ekonomi. 2. Dalam peraturan ini dasar penjenisan koperasi ditekankan pada lapangan usaha dan atau tempat tinggal para anggota suatu koperasi. Berdasarkan ketentuan seperti tersebut di atas, maka terdapat tujuh jenis koperasi (pasal 3) yaitu : 1. Koperasi Desa 2. Koperasi Pertanian 3. Koperasi Peternakan 4. Koperasi Perikanan 5. Koperasi kerajinan/Industri 6. Koperasi Simpan Pinjam 7. Koperasi Konsumsi Tohir (1964) yang dikutip oleh Hendrojogi (2000), menyebutkan adanya pengelompokan dari bermacam-macam koperasi menurut Klasik. Pengelompokan menurut Klasik tersebut hanya mengenal tiga jenis koperasi, yaitu : 1. Koperasi pemakaian (koperasi warung, koperasi sehari-hari, koperasi distribusi, warung andil dan sebagainya), tujuan dari koperasi ini adalah membeli barang-barang yang dibutuhkan anggotanya dan membagi-bagi barang-barang itu kepada mereka. 2. Koperasi penghasil/produksi,
tujuan dari koperasi ini adalah
mengerjakan sesuatu pekerjaan secara bersama-sama.
21
3. Koperasi simpan pinjam, tujuan dari koperasi ini adalah memberi kesempatan kepada anggotanya untuk menyimpan dan meminjam uang. Schaars yang dikutip oleh Hendrojogi (2000), menggunakan tujuh kriteria dalam pengelompokan koperasi di Amerika serikat, yaitu : 1. Berdasarkan ukuran. Bisa menyangkut masalah volume usaha atau jumlah anggota yang dilayani. 2. Menurut luas wilayah di mana anggota-anggota yang dilayani itu berkedudukan. a. Lokal, wilayah pemasaran untuk satu kelompok masyarakat tertentu. b. Regional, wilayah yang luas, seperti suatu negara bagian atau beberapa negara bagian. c. Nasional, wilayah di mana anggotanya bertempat tinggal di banyak negara bagian. d. Internasional, wilayah di mana anggota-anggotanya berkedudukan di beberapa negara. 3. Menurut tipe afiliasi keanggotaannya a. Koperasi lokal, di mana anggota perorangan atau perusahaan-perusahaan setempat menjadi anggota. b. Sentralisasi, di mana anggota perorangan yang berada di wilayah yang lebih luas, seperti negara bagian, karena wewenang dari koperasi lokal ditarik ke atas. c. Federasi -
Dimana koperasi-koperasi lokal menjadi anggota dari organisasi pusat
-
Di mana beberapa organisasi pusat berafiliasi dengan organisasi koperasi tingkat nasional
d. Hybrid, di mana perorangan dan koperasi-koperasi lokal menjadi anggota dari koperasi sentral. 4. Menurut status hukumnya.
22
a. Unincorporated yang diatur berdasarkan kemitraan ganda b. Incorporated yang berbentuk badan hukum 5. Berdasarkan pengaturan permodalannya. a. Koperasi yang modalnya diperoleh dari penjualan saham-sahamnya. Di Amerika Serikat koperasi ini disebut Capital Stock Cooperatives. b. Koperasi yang modalnya tidak diperoleh melalui penjualan saham, disebut Non Stock Cooperatives atau Membership Type. Dalam bentuk ini keanggotaan tidak boleh dipindah tangankan. 6. Menurut siapa yang menjadi anggotanya, yaitu apakah produsen, konsumen, atau pekerja yang berdiri sendiri, atau pengusaha. 7. Menurut fungsi pokok dalam usaha : koperasi produksi, pemrosesan, pemasaran, pembelian, dan jasa. Dalam PP No. 60 tahun 1959 (pasal 13 Bab IV) dikatakan bahwa yang dimaksudkan dengan bentuk koperasi ialah tingkat-tingkat koperasi yang didasarkan pada cara-cara pemusatan, penggabungan, dan perindukannya. Berdasarkan ketentuan tersebut, maka terdapatlah empat bentuk koperasi yaitu primer, pusat, gabungan, dan induk. 2.6. Koperasi Susu di Indonesia Sistem agribisnis pada komoditas susu segar yang terjadi di Indonesia menganut sistem kerja sama vertikal. Distribusi susu mengalir dari peternak ke koperasi dan langsung didistribusikan ke IPS. Sebagian besar produksi susu segar yang dihasilkan berasal dari peternakan rakyat sedangkan koperasi hanya sebagai pengumpul, pemberi layanan input produksi, dan mendistribusikan susu tersebut kepada IPS. Sistem ini dikenal dengan sistem cluster. Oleh karena itu keberadaan koperasi sangat
berperan sekali dalam menunjang sistem cluster ini.
Keterbentukan koperasi seiring dengan perkembangan peternakan sapi perah di Indonesia. Koperasi merupakan wadah yang digunakan oleh para peternak untuk meningkatkan kesejahteraannya, di mana koperasi tersebut bertugas memberikan
23
suplai input produksi berupa konsentrat, inseminasi buatan, dan sebagainya dan sekaligus menampung susu dari peternak untuk dijual ke IPS. Koperasi/KUD susu mengalami zaman keemasan pada saat impor sapi perah secara besar-besaran antara tahun 1980-1990-an, kini perannya seolah berkurang bahkan cenderung tidak dipercaya anggotanya. Persaingan usaha antar koperasi dan posisi tawar peternak sapi perah yang lemah merupakan indikasi ketidakmampuan koperasi/KUD susu mengendalikan bisnis persusuan di era pasar bebas. Sejak Gabungan Koperasi Susu Indonesia (GKSI) terbentuk pada akhir tahun 1970-an hingga kini, produktivitas usaha ternak sapi perah rakyat masih tetap rendah, seolah bisnis ini jalan di tempat. Kondisi tersebut dikarenakan manajemen usaha ternak, kualitas pakan dan bibit sapi yang tersedia sangat tidak memadai. Memperbaiki manajemen peternakan rakyat merupakan problema yang cukup komplek, tidak hanya merubah sikap peternak tetapi juga bagaimana menyediakan stok bibit yang baik dan bahan baku pakan yang berkualitas dalam jumlah yang memenuhi kebutuhan. Dampak lemahnya usaha ini terlihat pada rendahnya produksi dan kualitas susu. Kesemuanya sebagai akibat dari sistem manajemen usaha yang tradisional, sehingga harga susu yang terbentuk di tingkat peternak menjadi rendah. (Firman, 2007) Berdasarkan data yang dikemukakan oleh Budiman (2003) yang dikutip Firman (2007), menunjukkan bahwa jumlah koperasi persusuan yang ada di Indonesia mengalami peningkatan dari 27 koperasi pada tahun 1979 menjadi 231 koperasi tahun 2002. Hal ini membuktikan bahwa keberadaan koperasi sangat dibutuhkan oleh peternak sapi perah. Adapun jumlah kepemilikan sapi perah per koperasi/KUD adalah sebagai berikut : pada tahun 1979 populasi sapi perah sebanyak 5.987 ekor sedangkan pada tahun 2002 mencapai 279.652 ekor yang berada di bawah koordinasi koperasi. Jumlah produksi susu yang dihasilkan sebanyak 12,61 ribu ton susu segar pada tahun 1979 menjadi 451,33 ribu ton susu segar pada tahun 2002. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 1.
24
Tabel 1. Perkembangan Koperasi Persusuan di Indonesia Keterangan
Tahun 1979 1984 1989 1994 1999 2002 27 128 198 204 231 231 5.987 131.997 235.188 320.262 254.326 279.652
Jumlah koperasi Populasi sapi perah KUD (ekor) Produksi susu (ribu 12,61 61,84 ton) Serapan tenaga kerja 1.497 32.999 peternak (orang) Sumber : Supodo budiman (2003)
279,15
361,69
402,47
451,33
58.797
79.426
83.420
85.999
Usaha peternakan sapi perah di Indonesia, pada awalnya hanya berupa usaha rumah tangga, banyak di antaranya merupakan penerusan kerja dari era pekerja di perusahaan sapi perah milik Belanda. Pada tahun 1949, berdiri koperasi susu pertama di Indonesia, yaitu Gabungan Petani Peternak Sapi Perah Pengalengan (GAPPSIP) yang diprakarsai oleh Drh. Soejonodan dan Drh. Y. Hutabarat Tahun 1962, berdiri koperasi peternak bernama SAE Pujon di Malang yang digerakkan oleh Drh. Memet Adinata Tahun 1963, GAPPSIP terpaksa tutup karena buruknya situasi sosial ekonomi dan politik saat itu Baru pada tahun 1969, di tempat yang sama kembali berdiri koperasi susu dengan nama Koperasi Peternak Bandung Selatan (KPBS). Pendirian koperasi ini juga diprakarsai oleh seorang dokter hewan yaitu Drh. Daman Danuwijaya Sampai dengan tahun 1978, di Provinsi Jawa Timur terdapat beberapa koperasi susu selain SAE Pujon, yaitu KUD Batu, Koperasi Setia Kawan di Nongkojar dan Koperasi Suka Makmur di Grati. Namun demikian, produksi susu nasional antara tahun 1969-1978 berkembang dengan sangat lambat, dari total 28.900 ton hanya naik menjadi 62.300 ton (Bagdja, 2005; Sunaryo, 2004). Perjalanan koperasi persusuan di Indonesia jatuh dan bangun dihantam berbagai permasalahan, khususnya terkait dengan masalah pemasaran susu kepada Industri Pengolahan Susu (IPS). Koperasi susu memiliki posisi rebut tawar yang sangat lemah berhadapan dengan IPS, baik
25
dalam menentukan jumlah penjualan susu, waktu penjualan, serta harga yang diperoleh. Masalah ini muncul dikarenakan IPS menggunakan susu impor sebagai bahan baku dan tidak mau menyerap susu domestik. Peternak yang telah berhasil diarahkan untuk meningkatkan produksi susu dalam negeri menjadi sangat kecewa karena banyak susu yang rusak dan harus dibuang. Titik balik perkembangan koperasi susu di Indonesia dimulai pada tahun 1978, berkat peranan dari Bustanil Arifin yang ditugaskan melihat koperasi persusuan di India, sehingga terbentuk Badan koordinasi Koperasi Susu Indonesia (BKKSI) yang merupakan cikal bakal GKSI yang dibentuk setahun berikutnya. Dengan kelembagaan koperasi persusuan di level nasional, komunikasi antara gerakan koperasi persusuan dengan pemerintah berjalan lebih baik sehingga memungkinkan berperannya subsistem penunjang agribisnis susu di Indonesia. Beberapa permasalahan yang dihadapi koperasi susu sedikit demi sedikit dapat diatasi dengan dikeluarkannya kebijakan pemerintah, seperti halnya penetapan kouta impor susu oleh IPS, pengawasan pemerintah terhadap harga susu, penyediaan pakan ternak serta impor sapi perah berkualitas. Baiknya komunikasi GKSI dengan pemerintah, dipertegas dengan terbentuknya Tim Koordinasi Persusuan Nasional (TKPN) yang melibatkan tujuh instansi pemerintah. TKPN bertugas memantau perkembangan produksi dan konsumsi susu di Indonesia. (Tawaf, 2010) Jika kita ingin membangun koperasi persusuan yang berdaya saing di era globalisasi saat ini, beberapa langkah yang diperlukan adalah : pengurus koperasi sudah harus merubah berbagai kebijakan dan paradigmanya untuk lebih kepada untuk (for) anggota, bukan lagi hanya berpihak (pro) kepada anggota. Selain itu, perlunya menghindari in-side trader di dalam sistem manajemen koperasi, serta mengimplementasikan konsep rantai pasok dengan pendekatan sistem kawasan. (Tawaf, 2009) 2.7. Gabungan Koperasi Susu Indonesia Selama lima tahun (2001-2005), jumlah anggota, jumlah pengurus dan pengawas, dan jumlah unit usaha yang dijalankan GKSI relatif tetap, sedangkan jumlah aset fisik menunjukkan peningkatan. Pada sisi usaha, jumlah modal sendiri
26
dan modal luar terus mengalami peningkatan. Perkembangan volume usaha GKSI pada tahun 2001-2002 menunjukkan peningkatan tajam, namun tahun 2003 mengalami penurunan dengan sedikit peningkatan pada tahun 2005. Sementara itu, perkembangan SHU makin terus menurun dan mencapai nilai negatif pada tahun
2003-2005.
Tren
solvabilitas,
rentabilitas,
dan
likuiditas
GKSI
menunjukkan penurunan, namun solvabilitas dan likuiditas tetap bernilai positif sedangkan rentabilitas mencapai nilai negatif. Tren modal yang semakin meningkat menunjukkan GKSI makin kuat dalam permodalannya. Sesuai besaran modal tersebut, GKSI lebih dominan dalam modal sendiri dibandingkan dengan modal luarnya. Nilai SHU yang semakin menurun dan negatif menunjukkan GKSI terus merugi dan usaha yang dijalankan disebut infeasible. Dari sisi keuangan sesuai nilai-nilai solvabilitas dan likuiditas menunjukkan GKSI masih mampu dalam mengembalikan utang, namun dari nilai rentabilitas, GKSI tidak memiliki kemampuan dalam menghasilkan keuangan bersih secara positif. Semuanya ini menunjukkan keragaan usaha GKSI adalah makin memburuk. (Tim penyusun dalam Sinaga et al, 2008)
III. METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Kerangka Pemikiran Teori manajemen pengetahuan pada dasarnya muncul untuk menjawab pertanyaan bagaimana seharusnya mengelola pengetahuan. Untuk menjawab pertanyaan tersebut, hal utama yang harus dilakukan adalah memahami bagaimana dan kapan penciptaan pengetahuan harus didukung dan bagaimana menggunakan akumulai pengetahuan yang sudah tercipta sehingga dapat meningkatkan produktivitas organisasi. Pada tingkatan yang paling dasar, pengetahuan sebenarnya diciptakan oleh individu yang ada dalam organisasi. Organisasi pada dasarnya tidak dapat menciptakan pengetahuan tanpa individuindividu yang ada dalam organisasi. Fungsi organisasi adalah memberi dukungan kepada kreativitas individu yang ada dalam organisasi atau menyediakan suatu konteks bagi individu untuk menciptakan pengetahuan. Pada penelitian ini, diteliti tentang bagaimana proses penciptaan pengetahuan di koperasi susu. Bahwasanya dalam proses penciptaan suatu pengetahuan ada faktor-faktor pendukung yang mempengaruhi bagaimana pengetahuan tersebut diciptakan. Berdasarkan teori Von Krogh et al (2000) yang dikutip Irsan (2005), menunjukkan adanya lima faktor yang dipandang penting dalam membuat enabler pengetahuan di perusahaan, lima faktor ini sekaligus sebagai pemberdaya pengetahuan yaitu : visi bersama, pengelolaan percakapan, Mobilisasi penggerak pengetahuan, Penyediaan lingkungan yang kondusif, dan Penyebaran pengetahuan internal. Peneliti mengambil tiga faktor, yaitu visi bersama, pengelolaan percakapan, dan penyebaran pengetahuan internal karena tiga faktor tersebut dianggap paling berpengaruh dalam penciptaan pengetahuan serta dapat merepresentasikan tujuan dari penelitian ini. Dengan demikian, kita bisa mengetahui bagaimana faktorfaktor pendukung tersebut mendukung dalam proses penciptaan pengetahuan di koperasi. Adapun bagan kerangka pemikiran dapat dilihat pada Gambar 1.
28
Koperasi Faktor Pendukung Penciptaan Pengetahuan
Visi Bersama
Pengelolaan Percakapan
Penyebaran Pengetahuan Internal
Penciptaan Pengetahuan
Pengetahuan Koperasi
Rekomendasi
Gambar 1. Kerangka Pemikiran Penelitian
3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini akan dilakukan di enam Koperasi Susu, yaitu KPSBU, SAE, KUD Jatinom, KUD Cepogo, KUD Warga Mulya, dan KUD Musuk. Pengambilan data akan dilakukan akhir Januari - Maret 2010 3.3. Jenis dan Sumber Data Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh langsung dari koperasi melalui wawancara dan penyebaran kuesioner kepada karyawan, sedangkan data sekunder diperoleh dari data primer yang telah diolah lebih lanjut dan disajikan baik oleh pihak pengumpul data primer maupun oleh pihak lain. Selain itu data sekunder dapat juga diperoleh dengan cara mempelajari buku-buku yang relevan dengan topik yang akan diteliti.
29
3.4. Metode Pengumpulan Data 3.4.1. Penelitian Lapangan (Field research) Dalam penelitian lapangan, pengumpulan data dilakukan melalui wawancara dan penyebaran kuesioner kepada karyawan. Materi wawancara dan kuesioner meliputi pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan tingkat pengetahuan yang dimiliki oleh karyawan. 3.4.2. Penelitian Kepustakaan (Library research). Penelitian ini menggunakan dan mempelajari buku-buku, literaturliteratur, dokumen-dokumen, dan catatan perkuliahan yang berhubungan dengan topik yang diteliti, dengan tujuan untuk mendapatkan data sekunder yang berhubungan dengan penelitian. 3.5. Metode Sampling Responden dari penelitian ini merupakan karyawan di enam Koperasi Susu, yaitu KPSBU, SAE, KUD Jatinom, KUD Cepogo, KUD Warga Mulya, dan KUD Musuk. Pemilihan koperasi dilakukan dengan sengaja kemudian metode pengambilan contoh dilakukan secara acak sederhana. Menurut Roscoe yang dikutip Sugiyono (2005), memberikan saran-saran tentang ukuran sampel untuk penelitian seperti berikut ini : 1. Ukuran sampel yang layak dalam penelitian adalah antara 30 sampai dengan 500. 2. Bila sampel dibagi dalam kategori (misalnya: pria-wanita, pegawai negeri-swasta dan lain-lain) maka jumlah anggota sampel setiap kategori minimal 30. 3. Bila dalam penelitian akan melakukan analisis dengan multivariate (korelasi atau regresi ganda misalnya), maka jumlah anggota sampel minimal 10 kali dari jumlah variabel yang diteliti. Misalnya variabel penelitiannya ada 5 (independen + dependen), maka jumlah anggota sampel = 10 x 5 = 50. 4. Untuk penelitian eksperimen yang sederhana, yang menggunakan kelompok eksperimen dan kelompok kontrol, maka jumlah anggota sampel masing-masing kelompok antara 10 sampai dengan 20.
30
Jumlah sampel diperoleh melalui sensus untuk koperasi yang jumlah karyawannya sedikit sedangkan untuk koperasi yang jumlah karyawannya besar (KPSBU dan SAE) dilakukan sampling secara proporsional, sehingga didapatkan sampel sebanyak 95 orang, yang terdiri atas karyawan KPSBU sebanyak 24 orang, SAE sebanyak 26 orang, karyawan KUD Jatinom sebanyak 15 orang, karyawan KUD Cepogo sebanyak 10 orang, karyawan KUD Warga Mulya sebanyak 10 orang dan KUD Musuk sebanyak 10 orang. 3.6. Pengolahan dan Analisis Data 3.6.1. Skala Likert Skala Likert digunakan untuk mengubah data kualitatif menjadi data kuantitatif. Skala ini mengukur tingkat kesetujuan atau ketidaksetujuan responden terhadap serangkaian pertanyaan yang mengukur suatu objek. Skala likert banyak digunakan dalam riset-riset SDM yang menggunakan metode survei untuk mengukur sikap karyawan, persepsi karyawan, tingkat kepuasan karyawan, atau mengukur perasaan karyawan yang lain. Skala likert dapat dikategorikan sebagai skala interval. (Istijanto, 2006). Dalam skala likert, kemungkinan jawaban tidak hanya “setuju” dan „tidak setuju”, melainkan dapat dibuat dengan banyak kemungkinan. Adapun langkah-langkah untuk membuat Skala Likert sebagai berikut (Umar, 2005) : a. Kumpulkan sejumlah pertanyaan yang sesuai dengan sikap yang akan diukur dan dapat diidentifikasikan dengan jelas (positif atau tidak positif). b. Berikan pernyataan-pernyataan di atas kepada sekelompok responden untuk diisi dengan benar. c. Respon
dari
tiap
pertanyaan
dihitung
dengan
cara
menjumlahkan angka-angka dari setiap pernyataan sedemikian rupa sehingga respons yang berada pada posisi yang sama akan menerima secara konsisten nilai angka yang selalu sama. Misalnya bernilai 5 untuk yang sangat positif dan bernilai 1 untuk yang sangat negatif. Hasil hitung akan mendapatkan skor
31
tiap-tiap pernyataan dan skor total, baik untuk tiap responden maupun secara total untuk seluruh responden d. Selanjutnya, mencari pernyataan-pernyataan yang tidak dapat dipakai dalam penelitian, patokannya adalah (1) pernyataan yang tidak diisi lengkap oleh responden, (2) pernyataan yang secara totalnya responden tidak menunjukkan korelasi yang substansial dengan nilai totalnya. e. Pernyataan-pernyataan hasil saringan akhir akan membentuk skala likert yang dapat dipakai untuk mengukur skala sikap serta menjadi kuesioner baru untuk pengumpulan data berikutnya 3.6.2. Uji Validitas. Menurut Umar (2003), Validitas dimaksudkan untuk menyatakan sejauh mana data yang ditampung pada suatu kuesioner akan mengukur apa yang ingin diukur. Misalkan seorang periset akan mengukur mengenai efektivitas dan efesiensi SIA dalam perusahaan, maka semua pertanyaan atau pernyataan dalam kuesioner harus berkaitan dengan apa yang hendak diukur. Tidak ada satupun yang keluar dari topik itu. Oleh karena itu, perlu dilakukan uji validitas kuesioner. Untuk menghitung nilai korelasi antara data pada masing-masing pernyataan dengan skor total, memakai rumus Teknik Korelasi Product Moment yang rumusnya seperti berikut :
…………..……...(1)
Butir pertanyaan dikatakan valid jika nilai r-hitung yang merupakan nilai dari Corrected Item-Total Correlation > r-tabel. (Nugroho, 2007) 3.6.3. Uji Reliabilitas. Menurut Umar (2003), Jika alat ukur telah dinyatakan valid, maka selanjutnya alat ukur tersebut diuji reliabilitasnya. Reliabilitas adalah suatu nilai yang menunjukkan konsistensi suatu alat pengukur di dalam mengukur gejala
32
yang sama. Setiap alat pengukur seharusnya memiliki kemampuan untuk memberikan hasil pengukuran yang konsisten. Ada cukup banyak teknik untuk mengukur reliabilitas, antara lain Teknik Test-Retest, Teknik Spearman-Brown, Teknik K-R 20, Teknik K-R 21, Teknik Cronbach, dan Teknik Observasi. Dalam penelitian ini digunakan Teknik Cronbach. Teknik Cronbach digunakan untuk mencari reliabilitas instrumen yang skornya bukan 0 – 1, tetapi merupakan rentangan antara beberapa nilai misalnya 0–10 atau 0–100 atau bentuk skala 1-3, 1-5, 1-7 dan seterusnya dapat menggunakan koefisien alpha (α) dari Cronbach. Rumusnya ditulis seperti berikut : ………………………….................(2) Dimana : r11
= reliabilitas instrumen
k
= banyak butir pertanyaan
σt2
= ragam total = jumlah ragam butir
Uji reliabilitas dapat dilakukan secara bersama-sama terhadap seluruh butir pertanyaan untuk lebih dari satu variabel, namun sebaiknya uji reliabilitas dilakukan pada masing-masing variabel pada lembar kerja yang berbeda sehingga dapat diketahui konstruk variabel mana yang tidak reliabel. Reliabilitas suatu konstruk variabel dikatakan baik jika memiliki nilai Cronbach‟s Alpha > 0.60. (Nugroho, 2007) 3.6.4. Analisis Regresi Linier Berganda. Para ilmuwan, ekonom, psikolog, dan sosiolog selalu berkepentingan dengan masalah peramalan. Persamaan matematik yang memungkinkan kita meramalkan nilai-nilai satu atau lebih peubah bebas disebut persamaan regresi. Istilah ini berasal dari telaah kebakaan yang dilakukan oleh Sir Francis Galton (1822-1911) yang membandingkan tinggi badan anak laki-laki dengan tinggi badan ayahnya. Galton menunjukkan bahwa tinggi badan anak laki-laki dari ayah yang tinggi setelah beberapa generasi cenderung mundur (regressed) mendekati
33
nilai tengah populasi. Dengan kata lain anak laki-laki dari ayah yang badannya sangat tinggi cenderung lebih pendek dari ayahnya, sedangkan anak laki-laki dari ayah yang badannya pendek cenderung lebih tinggi dari ayahnya. Sekarang istilah regresi diterapkan pada semua jenis peramalan dan tidak harus berimplikasi suatu regresi mendekati nilai tengah populasi. (Walpole, 1993) Menurut Hasan (2002), Regresi linier berganda adalah regresi dimana variabel terikatnya (Y) dihubungkan/dijelaskan lebih dari satu variabel, mungkin dua, tiga, dan seterusnya variabel bebas (X1, X2, X3, …Xn) namun masih menunjukkan diagram hubungan yang linier. Penambahan variabel bebas ini diharapkan dapat lebih menjelaskan karakteristik hubungan yang ada walaupun masih saja ada variabel yang terabaikan. Bentuk umum persamaan regresi linier berganda dapat dituliskan sebagai berikut : Y = β1+ β2X1 + β3X2 + β4X3 +… + βkXk + ε ………….. (3) Keterangan : Y
:
variabel terikat
β1, β2, β3, β4, …, βk
:
koefiesien regresi
X1, X2, X3, …, Xk
:
variabel bebas
ε
:
kesalahan pengganggu (disturbance terma),
artinya nilai-nilai dari variabel lain yang tidak dimasukkan dalam persamaan. Nilai ini biasanya tidak dihiraukan dalam perhitungan.
Menurut Nugroho (2007), Uji simultan dengan F-test bertujuan untuk mengetahui pengaruh bersama-sama variabel independen terhadap variabel dependen. Hasil F-test pada output SPSS dapat dilihat pada tabel ANOVA (Analysis of Variance). Hasil F-test menunjukkan variabel independen secara bersama-sama berpengaruh terhadap variabel dependen jika p-value (pada kolom sig.) lebih kecil dari level of significant yang ditentukan, atau F hitung (pada kolom F) lebih besar dari Fα(k-1, dan independen.
n-k),
dimana k adalah jumlah variabel dependen
34
Uji parsial dengan uji t bertujuan untuk mengetahui besarnya pengaruh masing-masing variabel independen secara individual (parsial) terhadap variabel dependen, dimana variabel lain dianggap tetap. Hasil uji ini pada output SPSS dapat dilihat pada tabel Coefficientsa. Nilai dari uji t dapat dilihat dari p-value (pada kolom sig.) pada masing-masing variabel independen, jika p-value lebih kecil dari level of significant yang ditentukan, atau t-hitung (pada kolom t) lebih besar dari t-tabel (dihitung dari two-tailed α = 5% df-k, k merupakan jumlah variabel independen – df). (Nugroho, 2007) Analisis data dilakukan dengan cara skoring, yaitu memberikan skor pada masing-masing variabel berdasarkan indikatornya. Visi, PP, dan PPI serta PPO memiliki beberapa indikator, seperti terlihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Variabel dan Indikatornya No. 1.
Variabel Visi Bersama (Visi)
2
Pengelolaan Percakapan (PP)
3.
Penyebaran pengetahuan Internal (PPI) Pengetahuan Organisasi Koperasi Susu (PPO)
4.
Indikator X1 : Memiliki Tujuan Bersama X2 : Kesepakatan Terhadap Visi X3 : Komitmen Terhadap Tujuan X4 : Pelibatan Karyawan X5 : Manajer Mendorong Karyawan X6 : Manajer Mengingatkan Fokus X7 : Manajer Memonitor Topik X8 : Munculnya ide Baru X9 : Manajer Mengevaluasi Ide X10 : Pembagian Buletin/Majalah X11 : Pengadaan Pertemuan X12 : Manajer Mengkoordinir Penyebaran Y1 : Berteknologi Tinggi Y2 : Lebih Baik dari Pesaing Y3 : Keunggulan Berdasar Pengetahuan Y4 : Jarang Dimiliki Koperasi Lain Y5 : Sulit Ditiru Pesaing Y6 : Program Peningkatan Pengetahuan
Skoring dari masing-masing variabel, dicari dengan menjumlahkan nilai total indikatornya untuk setiap responden, nilai dari masing-masing indikator tersebut didapatkan dari pertanyaan di kuesioner. Skoring dengan nilai total dapat dicari dengan menggunakan rumus :
………………………………………….. (4)
35
Dimana : Y = Data skor setelah ditransformasi dengan selang [0,1] X = Data skor awal dengan selang [m,M] M = Nilai maksimum pada selang [m,M m = Nilai minimum pada selang [m,M]
setelah mendapatkan nilai total Visi, PP, PPI, dan PPO kemudian dilakukan regresi, di mana Visi, PP, dan PPI sebagai variabel independen dan PPO sebagai variabel dependen. Dalam melakukan regresi ini, juga ditambahkan beberapa dummy variables (peubah boneka), karena penelitian dilakukan di enam koperasi maka ditambahkan lima variabel dummy (Tabel 3) dengan tujuan untuk mengetahui apakah ada perbedaan tingkat pengetahuan antara koperasi standar (KPSBU) dengan lima koperasi lainnya. Hasil regresi di atas akan dibandingkan dengan hasil regresi dimana data yang diperoleh (data ordinal) telah di konversi menjadi data interval yang menyebar secara normal. KPSBU dijadikan standar karena dianggap sebagai koperasi yang paling maju di antara koperasi yang diteliti.
Tabel 3. Variabel Dummy Enam Koperasi 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Koperasi KPSBU SAE KUD Jatinom KUD Cepogo KUD Warga Mulya KUD Musuk
D1
D2 0 1 0 0 0 0
D3 0 0 1 0 0 0
D4 0 0 0 1 0 0
D5 0 0 0 0 1 0
0 0 0 0 0 1
Analisis data yang dilakukan juga melihat pengaruh karakteristik responden terhadap pengetahuan organisasi koperasi susu. Karakteristik responden tersebut juga dibuat menjadi variabel dummy, seperti pada Tabel 4 di bawah ini :
Tabel 4. Variabel Dummy Karakteristik Responden Variabel Dummy 0 1
Jenis Kelamin Perempuan Laki-Laki
Pengalaman Tidak Pernah Pernah
Pendidikan Sarjana SD, SLTP, SLTA
Gaji <= 1 juta > 1 juta
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Gambaran Umum Koperasi Susu 1. KPSBU KPSBU telah berdiri sejak 1971 dan terus berupaya mencapai tujuan menjadi model koperasi dalam menyejahterakan anggota. Keunggulan yang dimiliki KPSBU adalah anggota yang setia dan aktif dalam menjalankan semua kewajibannya. Pengurus mendorong tercapainya transparansi dan bertanggung jawab membangun manajemen koperasi yang berbasis pada hasil dan berorientasi pada kebutuhan anggota. Manajemen diarahkan untuk berfungsi sebagai sebuah tim agar dapat mendukung keberadaan koperasi dalam lingkungan yang sangat kompetitif seperti saat ini. Cost effective dan quality oriented merupakan kewajiban bagi tim manajemen. Tujuan utama KPSBU adalah menghasilkan core commodity yang unggul, yakni susu segar yang dihasilkan peternak sebagai produk bermutu tinggi di pasaran. 1.1.Visi dan Misi Visi KPSBU adalah menjadi koperasi susu terdepan di Indonesia dalam menyejahterakan anggota, sedangkan misinya : (1) menyejahterakan anggota melalui layanan prima dalam industri persusuan dengan manajemen yang berkomitmen, (2) meningkatkan kapasitas kelembagaan koperasi melalui pendidikan, pemberdayaan SDM dan kemitraan startegis. Nilai-nilai KPSBU adalah inovatif, dinamis, berorientasi pada kualitas, keterbukaan, keadilan, demokratis, mandiri. 1.2.Sejarah 1800’s
Sapi perah diperkenalkan oleh Bangsa Belanda, 8 Agustus
1971 35 peternak di Lembang mendirikan sebuah Koperasi Susu
1980
Produksi : 2.840 kg per hari, anggota : 319 orang, populasi
sapi perah : 800 ekor
1990
Produksi : 41.891 kg per hari, anggota : 2.253 orang,
populasi sapi perah : 7.026 ekor
37
2001
Produksi : 86.366 kg per hari, anggota : 4.595 orang,
populasi sapi perah : 12.085 ekor, proyek HVA International – Frisian Flag Indonesia – KPSBU di bawah kerja sama pemerintah Indonesia dan Belanda, kemitraan CCA – KPSBU dalam program INCODAP Extension,
slogan
“Murni
Koperasinya,
Murni
Susunya”
diperkenalkan, mendukung transparansi dan demokrasi melalui sistem one member one vote di pemilihan pengurus dan pengawas, amandemen Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Koperasi, MOU penggunaan lahan perhutani untuk penanaman hijauan makanan ternak
2002
Memulai penerapan harga susu berdasarkan kualitas,
diberikan bonus dan denda
2004
Pendidikan Dasar Koperasi untuk anggota yang wajib bagi
seluruh anggota, penyusunan dan penerapan Standard Operating Procedure manajemen, penilaian prestasi kerja untuk staf
2005
Perubahan struktur organisasi, insentif manajerial melalui
proses, insentif manajerial melalui hasil
2006
Produksi : 103.384 kg per hari, anggota : 6.092 orang,
populasi sapi perah : 15.947 ekor, saat itu 80% susu yang dihasilkan KPSBU hanya mengandung < 250.000 bakteri per milliliter, harga susu tertinggi pada level peternak adalah Rp. 3.000 (per Agustus 07), mendapatkan Indonesia Cooperative Award dari Kementerian Negara Koperasi dan UKM
2007
Produksi : 102.885 kg per hari, anggota : 6.226 orang,
populasi sapi perah : 16.553 ekor
38
2008
Produksi : 110.144 kg per hari, anggota : 6.351 orang,
populasi sapi perah : 16.469 ekor
2009 (s/d Juni 2009)
Produksi : 119.492 kg per hari, populasi sapi
perah : 16.469 1.3.Stuktur Organisasi Pengurus Ketua
: Drs. Dedi Setiadi SP.
Sekretaris
: Drh. Ramdan Sobahi
Bendahara
: Toto Abidin
Pengawas Ketua
: Jajang Sumarno, BE
Anggota
: H. Asep Hamdani, ST Mansyur Hamzah
Manajemen Untuk mendukung pelayanan yang efektif dan efisien, koperasi dipimpin oleh dua manajer : manajer operasional dan manajer administrasi keuangan. Ada 255 staf yang melayani anggota agar dapat menghasilkan susu segar yang bermutu tinggi yang diterima oleh Industri Pengolahan Susu. 1.4.Pelayanan, produk, dan proyek. Pelayanan KPSBU berupa (1) pemasaran susu, koperasi mengumpulkan susu segar dari peternak untuk dikirimkan ke industry pengolahan susu yakni Frisian Flag Indonesia dan PT. Danone Dairy Indonesia, (2) pinjaman ke anggota, KPSBU memberikan pinjaman tanpa bunga kepada anggota, (3) waserda menyediakan barang kebutuhan rumah tangga dan kandang serta layan antar ke rumah peternak, (4) program kesehatan anggota, anggota mendapatkan pelayanan kesehatan melalui kerjasama dengan penyedia pelayanan kesehatan swasta, (5) pelayanan kesehatan hewan dan inseminasi buatan, memberikan inseminasi buatan ke sapi perah dan pengobatan ternak yang sakit, (6) pabrik makanan ternak menghasilkan ransum untuk seluruh populasi sapi perah di lembang. Produk
39
KPSBU, Bandung Fresh Time adalah brand untuk produk yoghurt dan susu segar. Kira-kira 16.000 kg susu diolah per hari untuk dijual langsung ke konsumen. KPSBU memiliki empat aspek pengembangan dalam rencana strategis yang mendukung pencapaian visi. Berikut ini beberapa proyek yang sedang berlangsung : (1) kesejahteraan anggota : sapi bergulir untuk anggota, (2) manajemen efektif : pengurangan biaya, (3) sumber daya manusia yang professional dan berkomitmen : Team Building dari Excellent Service, (4) pemberdayaan kelompok dan Siaran Radio Komunitas Trio AM 1278
2. Koperasi SAE Pujon Malang 2.1.Sejarah Pada awal berdirinya Koperasi SAE beranggotakan 23 orang, ternak sebanyak 35 ekor dengan produksi susu 50 liter per hari dipasarkan ke warungwarung. Pada tahun 1963 Koperasi SAE mendapatkan bantuan pemerintah lewat Direktur Jenderal Peternakan berupa sapi impor sebanyak 90 ekor. Bantuan ini bersifat penggaduan, yaitu peternak mendapat bagian berupa anak sapi yang menjadi hak karena memelihara sapi induk. Dengan bantuan tersebut dalam tempo lima tahun anggota koperasi SAE berkembang menjadi 150 orang pada tahun 1967 dan berstatus badan hukum No. 2789/II/12-1967 pada tanggal 16 Agustus 1968. Selama tahun 1968-1970 Koperasi SAE mengalami kemunduran yang mengancam pada suatu kegagalan total. Jumlah anggota pada tahun 1970 menyusut menjadi 34 orang yang semula berjumlah 150 orang. Sapi-sapi perah milik anggota banyak yang dijual dan hasil penjualan dipergunakan untuk usaha lain. Demikian juga dengan produksi susu Koperasi SAE hanya menampung sekitar 200 liter sehari dari 2.000 liter per hari. Anggota koperasi SAE banyak yang keluar karena disebabkan kurang cakap dan kreativitas pengurus, dalam hal ini manajemen pengelolaan koperasi. Pola manajemen yang dijalankan pengurus sangat tidak mencerminkan manajemen usaha Koperasi SAE. Di samping itu, ada unsur-unsur politik yang masuk ke dalam organisasi koperasi, sehingga gerak langkah koperasi tidak membawa aspirasi dari seluruh anggota melainkan aspirasi golongan tertentu.
40
Analisis lain menyebutkan, kehancuran Koperasi SAE disebabkan pengurus menjadikan koperasi ini sebagai ladang mengeruk keuntungan pribadi. Perkembangan situasi ekonomi pemerintah juga tidak memungkinkan program yang memperhatikan perkembangan koperasi berjalan baik. Sebagai titik terendah keadaan Koperasi SAE pada usianya yang ke 8 tahun (1962-1970) mempunyai utang kepada anggota akibat dari kegagalan pengelolaan koperasi sebesar Rp. 809.500, sementara piutang tidak ada sama sekali. Pada 23 Mei 1970 sekalipun pengurus periode II (1968-1971) belum habis masa jabatan, terpaksa direformasi melalui rapat anggota. Atas keputusan rapat anggota tersebut Kalam Tirtorahardjo sebagai ketua Koperasi SAE dengan anggota pengurus enam orang. Selanjutnya ketua pengurus mengajukan pendapat kepada Kepala Kantor Koperasi Kabupaten Malang yang didukung oleh camat, Dansekpol, dan Danramil. 2.2.Manajemen Profesional Koperasi SAE berusaha mengembalikan kepercayaan anggota dan masyarakat umum. Caranya, dimulai dengan langkah-langkah pembinaan dan mengadakan berbagai pembenahan baik organisasi maupun manajemen serta pengembangan usaha yang lebih efektif, intensif, dan terpadu. Selang waktu tiga tahun (1970-1973) Koperasi SAE telah menunjukkan keberhasilannya dengan berhasil melunasi semua utang pada anggota. Keberhasilan ini juga menunjukkan peran pemerintah yang terus-menerus memberikan pengarahan serta pembinaan di bidang organisasi maupun bidang lainnya. Keberhasilan yang telah dicapai oleh pengurus pada periode III (19701973) menyebabkan mereka dipilih kembali pada periode IV (1974-1977). Berdasarkan misi koperasi yaitu harus dapat menyejahterakan anggota, maka Koperasi SAE bersama pemerintah melalui Dinas Peternakan mulai membenahi manajemen beternak sapi perah pada anggota, baik mengenai perkandangan, pakan, genetik, dan sebagainya sampai cara penanganan pasca panen. Pemasaran susu produk Koperasi SAE masih berkisar di lingkungan Pujon, Batu, dan Kodya Malang. Pada pertengahan 1974 timbul masalah baru yaitu produksi susu meningkat dengan pemasaran yang kurang memadai. Saat itu produksi susu
41
mencapai 2.000 liter per hari sedang yang dapat dipasarkan 1.500-1.600 liter per hari. Sisanya 500 liter diberikan kepada anak sekolah (Sekolah Dasar), masyarakat yang mau, dan selebihnya dibuang karena rusak. Pembuangan susu terpaksa dilakukan karena pada saat itu Koperasi SAE belum mempunyai peralatan yang dapat menyelamatkan susu. Bulan Januari 1975 pengurus menawarkan produk susu anggotanya ke PT. Nestle di Surabaya dan sebulan berikutnya pihak PT. Nestle dengan diwakili Soeseno dan Mister Enggal mengadakan penjajakan. Mulai 1 Mei 1975, PT Nestle mau menerima dan membeli produksi susu Koperasi SAE dengan pengiriman perdana sebanyak 160 liter per hari dengan harga Rp. 90. Pada tahun 1977 anggota Koperasi SAE mencapai 416 orang dengan populasi ternak 1.664 ekor, produksi susu 1.233.908 liter. Perkembangan modal mencapai Rp. 367.900, simpanan pokok dan simpanan wajibnya mencapai Rp. 988.191 serta volume permodalan meliputi Rp. 88.120.370 untuk penerimaan dan pengeluaran sebesar Rp. 74.094.510. Memasuki tahun 1977 Koperasi SAE mempu menyetor susu ke PT. Nestle bervolume 3.000 kg per hari. Tetapi harga susu mengalami penurunan dari Rp. 90 per kg menjadi Rp. 62 per kg. dengan harga tersebut, perjalanan perkembangan Koperasi SAE kembali tersendat. Masalah harga baru yang ditetapkan PT. FSI tidak mencukupi pengeluaran yang harus ditanggung anggota. Keguncangan yang mengancam Koperasi SAE saat itu didengar oleh Menteri Muda Urusan Koperasi Bustanil Arifin. Pada 12 Juni 1978, ia berkunjung ke Koperasi SAE dan berdialog dengan pengurus dan anggota koperasi. Hasilnya, Koperasi SAE akan dibantu modal untuk penyelesaian pembangunan gedung perkantoran sebesar Rp. 10.000.000. Namun pihak koperasi lebih memilih agar pemerintah turun tangan untuk ikut menangani pemasaran dan harga susu koperasi. Dari informasi yang dikemukakan oleh pihak Koperasi SAE, disimpulkan bahwa koperasi susu di Indonesia perlu membentuk organisasi untuk menyatupadukan gerak koperasi susu, sedangkan masalah pemasaran susu ke PT. Nestle akan segera dipecahkan di Jakarta dengan mengimbau para pimpinan Industri Pengolahan Susu (IPS) bersama industri yang terkait dengan persusuan.
42
2.3.Perkuatan SDM Pada 1979 pengurus Koperasi SAE dikirim ke luar negeri untuk mendalami manajemen beternak sapi perah secara modern, dan belajar manajemen perkoperasian. Dalam waktu relatif pendek, ilmu yang telah didapat ditularkan kepada peternak sapi perah di Pujon. Hasilnya, produksi rata-rata susu Pujon menjadi 10-12 liter per ekor per hari. Tahun 1979, jumlah populasi ternak yang tergabung dengan Koperasi SAE ada 3592 ekor. Produksinya sekitar 2.605.914 liter dengan jumlah peternak 820 orang. Setahun kemudian populasi membengkak menjadi 5.556 ekor, produksi susu 3.305.688 liter dengan jumlah peternak tetap. Dalam tempo sepuluh tahun yaitu pada tahun 1990, terjadi perkembangan drastis, jumlah anggota koperasi mencapi 3.601 orang dengan populasi ternak 16.774 ekor dan produksi susu 20.371.512,5 liter. Tahun 2005 jumlah sapi mencapai 21.069 ekor dengan jumlah anggota 7.243 orang. Jumlah simpanan sukarela anggota koperasi juga meningkat dari Rp. 214.417.353 tahun 2001 menjadi Rp. 2.046.800.184 pada tahun 2005. Tercatat pada awal tahun 2005 warga masyarakat yang bekerja sebagai peternak sapi perah anggota Koperasi SAE Pujon sebanyak kurang lebih 7.423 kepala keluarga (KK). Setiap keluarga di Pujon, rata-rata terdiri dari lima jiwa. Kalau sekitar 7.423 KK bekerja sebagai peternak sapi perah, berarti jumlah jiwa yang menggantungkan hidupnya dari ternak sapi perah sekitar 36.215 jiwa. Kalau dihitung setiap KK mempunyai pekerjaan, maka angkatan kerja di pujon bekerja sebagai peternak sapi perah sangat besar di 10 desa di Pujon, maka tidak mengherankan kalau segenap aktivitas perekonomian didominasi oleh peredaran hasil dari ternak sapi perah sehingga Kecamatan Pujon dikenal sebagai Kota Susu di Jawa Timur khususnya di Wilayah Kabupaten Malang. Sebutan tersebut ditandai dengan didirikannya monumen yang melukiskan dua ekor sapi perah dan seorang ibu yang sedang duduk memerah susu sapi. Monumen yang terletak di Dusun Sebaluh, Desa Pandesari tersebut, dapat diartikan bahwa masyarakat Kecamatan Pujon bekerja sebagai peternak sapi perah, sedangkan kantor SAE Pujon bertempat di jalan yang strategis, yaitu jalan Brigjen Abdul Manan Wijaya 16, Pujon, Malang, Jawa Timur.
43
2.4.Modal anggota Koperasi SAE Pujon mempunyai komposisi modal sangat besar dibandingkan modal luar hal ini menunjukkan koperasi ini mampu mengelola dana yang berasal dari dalam koperasi seperti terlihat pada tabel 2 di bawah. Partisipasi anggota koperasi untuk memperkuat dana koperasi terlihat dengan kepercayan anggota dengan menanamkan uang dalam bentuk simpanan sukarela. Faktor produksi yang merupakan titik fokus Koperasi SAE Pujon yaitu sapi mengalami peningkatan. Jumlah sapi yang meningkat menunjukkan kemungkinan produksi susu meningkat pula. Pada tahun 2003 jumlah sapi meningkat pesat dibanding tahun sebelumnya karena mendapat bantuan sapi perah dari pemerintah. Selain itu, jumlah anggota selalu meningkat sehingga Koperasi SAE dapat dikatakan sebagai usaha masyarakat Pujon. Perkembangan koperasi ini menunjukkan pengelolaan produksi oleh koperasi dapat dilakukan dengan baik. Usaha tersebut memerlukan pengorbanan anggota, pengurus untuk mempertahankan kekuatan daya tawar sehingga kesejahteraan Pujon tetap lestari. Dan yang paling penting Koperasi SAE Pujon sebagai koperasi produsen, memiliki peran yang strategis bahwa kopearsi ini harus diakui peranannya dalam ikut serta perbaikan gizi, dalam mencerdaskan kehidupan bangsa.
Tabel 5. Komposisi Modal Koperasi SAE, 2001-2005 2001 2002 2003 2004 2005 4.486.365.057 5.558.186.960 5.423.878.552 7.063.286.649 8.378.823.355
Uraian Modal luar Modal 13.892.648.884 14.571.108.319 16.982.256.066 dalam .
18.599.764 20.339.074.506
3. Koperasi Susu Warga Mulya Sleman Koperasi satu ini, tampaknya menjadi andalan peternak sapi perah untuk memasarkan hasil produksi peternak di sekitar Kabupaten Sleman, Yogyakarta. Selain tergolong mampu membantu anggota secara baik, interaksi antara anggota dan koperasi setiap hari berjalan dengan teratur. Khususnya terkait aktivitas anggota menyetor susu sapi ke koperasi. Sebaliknya, lembaga koperasi juga dapat menyediakan pakan ternak sapi bagi kebutuhan anggotanya. Yang jelas, selama
44
ini pasar susu pasteurisasi dalam kantung siap saji masih sangat terbatas. Akibatnya, pasar susu segar hasil produksi anggota koperasi ini masih sangat bergantung kepada IPS, yaitu PT Sari Husada, di Yogyakarta. 3.1. Sejarah Koperasi Susu Warga Mulya punya sejarah cukup panjang. Yang termasuk paling khas mengiringi langkah perkembangan koperasi ini adalah seringnya tempat domisili koperasi berpindah dan nomor badan hukum yang juga berubah. Secara kronologis, koperasi ini berdiri pada 26 September 1978. Saat itu didukung oleh 126 anggota sebagai peternak sapi perah. Setahun kemudian, status badan hukum koperasi diperoleh pada tanggal 30 Januari 1979 dengan nomor: 1.128/BH/XI/1979 dengan wilayah kerja meliputi se-Provinsi DI Yogyakarta, kala itu masih berkantor di Komplek Dinas Peternakan Kotamadya Yogyakarta. Sejalan perkembangan jumlah anggota koperasi, sekaligus kegiatan usaha atau kebutuhan anggota bagi kegiatan produksi susu sapi, pada tahun 1989 koperasi susu ini memindahkan kegiatannya ke alamat baru di Dusun Kembang, Maguwoharjo, Depok, Kabupaten Sleman. Kemudian pada tahun 1991 badan hukum koperasi diubah dengan No: 1.128a/BH/XI/1991. Begitu pula sebagai dampak dari terus berkembangnya koperasi dan untuk mendekatkan dengan lokasi/domisili anggota agar pelayanan lebih optimal, maka pada 1 April 1999 Koperasi Susu Warga Mulya menempati gedung baru di Dusun Bunder, Purwobinangun, Pakem, Kabupaten Sleman. Pada saat
itu
nomor
badan
hukumnya
juga
berubah
lagi
menjadi
No:
27/BH/KWK.12/V/1998. Praktis selama 10 tahun, koperasi ini telah pindah alamat tiga kali dan tiga kali berubah badan hukum. Sementara itu sampai tahun 1998, anggota koperasi bertambah menjadi 681 orang dan 41 orang calon anggota. Mengenai perkembangan anggota koperasi secara rinci dari tahun ke tahun dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6. Perkembangan Anggota Uraian 1. Anggota 2. Calon Anggota
1996-1999 681 41
2000-2002 671 30
2003 670 27
2004 677 19
2005 471 17
45
Menurut dokumen yang ada di koperasi, pendiri atau sebagai promotor yang menandatangani anggaran dasar pada tahun 1978 koperasi susu ini ada lima orang, masing-masing drh H Soekarno, Abdul Ghani, RS H Hardjoni, Dwidjo Pradipto, dan Margono HW. Mendampingi para pendiri ini, terdapat pengurus yang saat itu sebanyak sembilan orang. Susunan lengkapnya sebagai berikut : drh H Soekarno (Ketua I), Ir. Sumardjo (Ketua II), S. Harjono (Ketua III), Rustamiyarso (sekretaris I), Ign. Harto, B.Sc (Sekretaris II), Dalidjan SD (Sekretaris III), Margono HW (Bendahara I), Saliman (Bendahara II), dan Pardjiman (Bandahara III). Koperasi Susu Warga Mulya sangat menyadari strategisnya posisi sumber daya manusia (SDM). Itu sebabnya, mengingat pentingnya kualitas SDM ini, baik pengelola
(pengurus
dan
karyawan)
maupun
anggota
seringkali
menyelenggarakan berbagai kegiatan pelatihan bagi anggota dan pengelola. Tak terkecuali, aktivitas penyuluhan bagi anggota dan calon anggota juga sering dilakukan. Bukan hanya terbatas untuk lingkungan koperasi. Bahkan kegiatan di luar koperasi termasuk di luar kabupaten dan provinsi juga biasa digelar. Untuk kegiatan ini koperasi sering bekerja sama dengan dinas peternakan, perindustrian, dan koperasi. Kegiatan yang bersifat dinamis hasil interaksi antara pengurus, pengelola, dan karyawan koperasi sangat bermanfaat sebab aktivitas tersebut juga mempengaruhi pemahaman dan kesadaran para anggota dalam berkoperasi. Tegasnya, para anggota koperasi semakin mengerti bahwa selain sebagai pemilik koperasi (owners), mereka juga sebagai pengguna kopersi (users). 3.2. Prospek Pasteurisasi Kekuatan utama koperasi ini adalah menampung, mengolah, serta memasarkan susu sapi produksi anggotanya. Termasuk di dalamnya menyediakan kebutuhan anggota bagi menunjang produksi susu. Kondisi tersebut dapat tergambar dari kinerja usaha koperasi dari waktu ke waktu, yang menunjukkan perkembangan
cukup
signifikan.
Kondisi
tersebut
dapat
dilihat
pada
perkembangan volume usaha unit susu, pakan, dan pasteurisasi yang dari waktu ke waktu yang terus meningkat (Tabel 7).
46
Tabel 7. Perkembangan Usaha (dalam juta) Uraian 1. 2. 3. 4.
5.
Jumlah Usaha Modal Sendiri Modal Luar Volume Usaha a. Susu b. Pakan c. Kredit Sapi d. Pedet e. Pasteurisasi f. Waserda g. USP SHU
1996-1999 5 unit 389 750
2000-2002 6 unit 463 1.450
2003 6 unit 467 2.450
2004 7 unit 586 3.310
2005 7 unit 649 4.710
1.100 1.050 87 195 89 50
2.200 1.120 92 210 105 58
4.010 2.100 75 188 113 121 103 85
5.060 2.730 79 263 116 109 127 112
5.300 3.010 61 187 185 133 139 124
Unit usaha pasteurisasi sangat prospektif karena sejalan dengan semakin meningkatnya kesadaran masyarakat terutama di perkotaan. Mereka mengetahui benar, meminum susu sapi segar adalah upaya sangat baik bagi peningkatan gizi dan kesehatan masyarakat. Namun demikian, walaupun sudah memproduksi cukup banyak atau sekitar ribuan kantung susu pasteurisasi per hari, ternyata masih ada kendala. Yaitu, pihak koperasi belum memiliki izin resmi dari Dinas Kesehatan. Alasan Dinas Kesehatan setempat, proses pengolahan susu tersebut dianggap masih kurang memiliki peralatan standar seperti yang telah ditetapkan oleh instansi terkait atau Departemen Kesehatan. Mengacu pada keragaan Tabel 7, perlu dikemukakan sejak 2003 koperasi mendirikan unit usaha simpan pinjam (USP). Kinerjanya cukup baik. Artinya, walaupun volume usahanya masih seratus juta per tahun, tetapi sisa hasil usahanya tergolong paling besar. Maksudnya, USP dapat berperan sebagai unit usaha pendukung yang paling prospektif. Sebagai gambaran, SHU koperasi pada tahun 2003-2005 sebagian besar di antaranya (lebih dari 50 persen) disumbang oleh USP. Sedangkan usaha yang belum memberikan kontribusi terhadap SHU adalah pengadaan pedet. Selain itu ada kenyataan bahwa akhir-akhir ini jumlah anggota yang aktif berkurang. Hal ini disebabkan kepemilikan jumlah sapi yang kurang efisien untuk setiap anggota. Penyebab lainnya, rata-rata umur sapi yang semakin tua sehingga produktivitasnya menurun.
47
Namun demikian secara keseluruhan, volume usaha unit susu pada masing-masing kelompok masih terus meningkat. Hal ini tak lain karena harga susu yang meningkat cukup baik di pasaran. Di sisi lain, adanya sebagian anggota yang memiliki sapi tergolong cukup banyak. Sekadar gambaran, tingkat kepemilikan sapi terendah di koperasi ini adalah 2 ekor per anggota. Sedangkan kepemilikan tertinggi adalah 23 ekor per anggota. Sementara itu terkait gambaran kinerja keuangan Koperasi Susu Warga Mulya, secara sekilas dapat dicermati pada Tabel 8. Dapat tergambarkan, dalam dua tahun terakhir kondisi keuangan koperasi memperlihatkan kecenderungan yang lebih baik. Maksudnya, dari perbandingan total jumlah total aktiva-passiva pada 2005 meningkat dibanding tahun sebelumnya. Sedangkan kekayaan bersih yang mampu mendukung seluruh kegiatan koperasi juga meningkat.
Tabel 8. Aktiva dan Passiva Tahun 2004-2005 Uraian Aktiva 1. 2. 3. 4. 5. 6. Passiva 1. 2. 3.
2004
2005
Aktiva Lancar Investasi Jangka Panjang Aktiva Tetap Aktiva Lain-Lain Aktiva Titipan Kewajiban Titipan
4.170,09 28,24 1.021, 91 39,07 1.515, 79 3.399, 88
3.989, 69 28, 30 1.281, 72 89, 23 1.545, 13 3.533, 81
Kewajiban Lancar Kewajiban Jangka Panjang Kekayaan bersih
1.352, 17 1.461, 19
1.132, 96 1.751, 66
586, 52 3.399, 88
649, 16 3.533, 81
Total Aktiva-Passiva
3.3. Transparansi Jika mencermati lebih jeli, koperasi yang beroperasi di sekitar kaki Gunung Merapi ini sebenarnya mempunyai sejumlah keunggulan. Pertama, anggota sangat bergantung pada koperasi. Terutama sisi pemasaran susu produk sapi ke IPS. Kedua, interaksi antara anggota dengan pengelola dan pengurus terjadi cukup intensif. Baik ketika menyetor susu setiap hari maupun adanya pertemuan penyuluhan dan diskusi sekurang-kurangnya 4 kali dalam satu bulan. Ketiga, adanya sikap keterbukaan pengurus dan pengelola koperasi. Keempat, di sisi pengkaderan, pengurus yang akan menggantikan pengurus lama telah mengalami proses pengkaderan dengan waktu yang cukup panjang. Kelima,
48
koperasi menyediakan berbagai keperluan anggota. Baik terkait dengan produksi susu maupun kebutuhan lain, termasuk melayani jasa keuangan anggota melalui unit USP. Meskipun begitu, koperasi juga memiliki kelemahan yang perlu disiasati bersama. Misalnya, pasar output produk susu bersifat monopsoni. Konkritnya, apabila ada masalah di PT. Sari Husada selaku pembeli, maka koperasi mengalami kesulitan memasarkan susu produksi anggota yang sifatnya harian. Fakta lain menunjukkan, anggota peternak belum menjadikan profesi peternak sebagai mata pencaharian utama atau masih melakukannya secara sambilan. Mudah diduga hasilnya menjadi tidak maksimal. Solusinya berbagai langkah pendekatan atau lobi bisnis perlu ditempuh atau bekerja sama dengan kalangan IPS sedangkan ke kalangan anggota juga perlu diupayakan pelatihan atau pendidikan untuk menyadarkan sikap profesional dan martabat sebagai peternak. Selain tiga koperasi di atas, masih ada tiga koperasi lain yang juga diteliti, di bawah ini (Tabel 9) merupakan alamat dari masing-masing koperasi yang diteliti.
Tabel 9. Koperasi yang Diteliti dan Alamatnya No. Koperasi 1. KPSBU 2. SAE 3.
KUD Warga Mulya
4.
KUD Musuk
5. 6.
KUD Cepogo KUD Jatinom
Alamat Komplek Pasar Baru Lembang, 40391, Bandung Jl. Brigjen Abd Manan 16, Pujon, Telp. 0341524069 Jl. Palagan Tentara Pelajar, Bunder, Purwobinangun, Pakem, Sleman, Yogyakarta. 55582 Desa Tirtohardi, Kecamatan Musuk, Kabupaten Boyolali. 57361 Kp Bubakan Mliwis, Kabupaten Boyolali. 57351 Jl. Banyusri, 57481, Klaten
4.2. Karakteristik Responden Jumlah sampel (responden) dalam penelitian ini ada 95 orang, yang terdiri dari karyawan KPSBU sebanyak 24 orang, karyawan SAE sebanyak 26 orang, karyawan KUD Jatinom sebanyak 15 orang, karyawan KUD Cepogo sebanyak 10 orang, karyawan KUD Warga Mulya sebanyak 10 orang dan karyawan KUD
49
Musuk sebanyak 10 orang. Rata-rata usia responden di enam koperasi tersebut adalah 40,61 tahun dan rata-rata sudah bekerja di koperasi tersebut selama 14,6 tahun sehingga bisa dikatakan karyawan-karyawan koperasi tersebut sudah cukup berumur dan memiliki pengalaman kerja di koperasi tersebut cukup lama. 1. KPSBU Jumlah responden di KPSBU yang berjenis kelamin laki-laki sebanyak 15 orang responden (62 persen) dan jumlah responden yang berjenis kelamin perempuan sebanyak 9 orang (38 persen).
38% laki-laki
62%
perempuan
Gambar 2. Perbandingan Jenis Kelamin Responden di KPSBU
Dari hasil penelitian, juga menunjukkan bahwa mayoritas responden KPSBU tidak memiliki pengalaman bekerja pada koperasi lain yaitu 23 orang (96 persen) sedangkan yang memiliki pengalaman bekerja pada koperasi lain hanya 1 orang (4 persen) dengan lama bekerja di koperasi sebelumnya selama 4 tahun, sehingga bisa dikatakan mayoritas karyawan KPSBU memiliki loyalitas yang tinggi terhadap koperasi dan tidak dibutuhkan banyak pengalaman untuk bekerja sebagai karyawan KPSBU.
50
4%
pernah tidak pernah 96%
Gambar 3. Pengalaman Bekerja Responden KPSBU Pada Koperasi Lain Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar responden KPSBU yaitu 15 orang adalah lulusan SLTA sedangkan paling sedikit adalah lulusan SLTP sebanyak 1 orang, sehingga dapat dikatakan bahwa untuk menjadi karyawan KPSBU tidak membutuhkan keahlian/pendidikan tinggi.
51
2
tamat sarjana (S1)
4
tamat D3 (Diploma)
15
tamat SLTA 1
tamat SLTP
2
tamat SD 0
5
10
15
Gambar 4. Perbandingan Pendidikan Terakhir Responden KPSBU
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kisaran gaji responden KPSBU terbanyak adalah 16 orang dengan gaji antara Rp 1.000.000,00 sampai Rp 1.490.000,00 dan kisaran gaji karyawan paling sedikit yaitu sebanyak 2 orang untuk gaji antara Rp 2.000.000,00 sampai Rp 2.490.000,00. Hal ini mungkin disebabkan
oleh
latar
belakang
pendidikan
karyawan,
semakin
tinggi
pendidikannya maka semakin tinggi gajinya.
2
Antara Rp 2 juta sampai Rp 2,49 juta
16
Antara Rp 1 juta sampai Rp 1,49 juta
6
Kurang dari Rp 1 juta
0
5
10
15
20
Gambar 5. Perbandingan Gaji yang Diterima Responden KPSBU
52
2. SAE Jumlah responden di SAE yang berjenis kelamin laki-laki sebanyak 11 orang responden (42 persen) dan jumlah responden yang berjenis kelamin perempuan sebanyak 15 orang (58 persen).
42% laki-laki
58%
perempuan
Gambar 6. Perbandingan Jenis Kelamin Responden di SAE
Dari hasil penelitian, juga menunjukkan bahwa semua responden SAE tidak memiliki pengalaman bekerja pada koperasi lain yaitu sebanyak 26 orang (100 persen) sehingga bisa dikatakan semua karyawan SAE memiliki loyalitas yang tinggi terhadap koperasi dan tidak dibutuhkan banyak pengalaman untuk bekerja sebagai karyawan SAE. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar responden SAE yaitu 19 orang adalah lulusan SLTA sedangkan paling sedikit adalah lulusan SLTP sebanyak 1 orang, sehingga dapat dikatakan bahwa untuk menjadi karyawan SAE tidak membutuhkan keahlian/pendidikan tinggi.
53
tamat sarjana (S1)
3
tamat D3 (Diploma)
3
19
tamat SLTA 1
tamat SLTP 0
5
10
15
20
Gambar 7. Perbandingan Pendidikan Terakhir Responden SAE
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kisaran gaji responden SAE terbanyak adalah 14 orang dengan gaji antara Rp 1.000.000,00 sampai Rp 1.490.000,00 dan kisaran gaji karyawan paling sedikit yaitu sebanyak 1 orang untuk gaji antara Rp 1.500.000,00 sampai Rp 1.990.000,00.
Antara Rp Rp 1,5 juta sampai Rp 1,99 juta
1
14
Antara Rp 1 juta sampai Rp 1,49 juta
11
Kurang dari Rp 1 juta
0
2
4
6
8
10
12
14
Gambar 8. Perbandingan Gaji yang Diterima Responden SAE
54
3. KUD Jatinom Jumlah responden di KUD Jatinom yang berjenis kelamin laki-laki sebanyak 11 orang responden (73 persen) dan jumlah responden yang berjenis kelamin perempuan sebanyak 4 orang (27 persen).
27%
laki-laki 73%
perempuan
Gambar 9. Perbandingan Jenis Kelamin Responden di KUD Jatinom
Dari hasil penelitian, juga menunjukkan bahwa mayoritas responden KUD Jatinom tidak memiliki pengalaman bekerja pada koperasi lain yaitu sebanyak 13 orang (87 persen) sedangkan yang memiliki pengalaman bekerja pada koperasi lain ada 2 orang (13 persen) dengan rata-rata lama bekerja di koperasi sebelumnya selama 9 tahun sehingga bisa dikatakan mayoritas karyawan KUD Jatinom memiliki loyalitas yang tinggi terhadap koperasi dan tidak dibutuhkan banyak pengalaman untuk bekerja sebagai karyawan KUD Jatinom.
55
13%
pernah tidak pernah 87%
Gambar 10. Pengalaman Bekerja Responden KUD Jatinom Pada Koperasi Lain Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar responden KUD Jatinom yaitu 9 orang adalah lulusan SLTA sedangkan paling sedikit adalah lulusan SD, SLTP, dan Pascasarjana masing-masing sebanyak 1 orang, sehingga dapat dikatakan bahwa untuk menjadi karyawan KUD Jatinom tidak membutuhkan keahlian/pendidikan tinggi.
1
tamat pascasarjana (S2)
3
tamat D3 (Diploma)
9
tamat SLTA tamat SLTP
1
tamat SD
1 0
2
4
6
8
10
Gambar 11. Perbandingan Pendidikan Terakhir Responden KUD Jatinom
56
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kisaran gaji responden KUD Jatinom terbanyak adalah 11 orang dengan gaji kurang dari Rp 1.000.000,00 dan kisaran gaji karyawan paling sedikit yaitu sebanyak 1 orang untuk gaji antara Rp 1.500.000,00 sampai Rp 1.990.000,00. Hal ini mungkin disebabkan oleh latar belakang pendidikan karyawan, semakin tinggi pendidikannya maka semakin tinggi gajinya.
Antara Rp Rp 1,5 juta sampai Rp 1,99 juta
1
3
Antara Rp 1 juta sampai Rp 1,49 juta
11
Kurang dari Rp 1 juta
0
2
4
6
8
10
12
Gambar 12. Perbandingan Gaji yang Diterima Responden KUD Jatinom 4. KUD Cepogo Jumlah responden di KUD Cepogo yang berjenis kelamin laki-laki sebanyak 6 orang responden (60 persen) dan jumlah responden yang berjenis kelamin perempuan sebanyak 4 orang (40 persen).
57
40%
60%
laki-laki perempuan
Gambar 13. Perbandingan Jenis Kelamin Responden di KUD Cepogo
Dari hasil penelitian, juga menunjukkan bahwa semua responden KUD Cepogo tidak memiliki pengalaman bekerja pada koperasi lain yaitu sebanyak 10 orang (100 persen) sehingga bisa dikatakan semua karyawan KUD Cepogo memiliki loyalitas yang tinggi terhadap koperasi dan tidak dibutuhkan banyak pengalaman untuk bekerja sebagai karyawan KUD Cepogo. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar responden KUD Cepogo yaitu 8 orang adalah lulusan SLTA sedangkan paling sedikit adalah lulusan D3 (Diploma) dan Pascasarjana masing-masing sebanyak 1 orang, sehingga dapat dikatakan bahwa untuk menjadi karyawan KUD Cepogo tidak membutuhkan keahlian/pendidikan tinggi.
58
1
tamat sarjana (S1)
1
tamat D3 (Diploma)
8
tamat SLTA
0
2
4
6
8
Gambar 14. Perbandingan Pendidikan Terakhir Responden KUD Cepogo
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kisaran gaji semua responden KUD Cepogo adalah kurang dari Rp 1.000.000,00 sehingga dapat dikatakan bahwa latar belakang pendidikan tidak terlalu mempengaruhi gaji karyawan KUD Cepogo.
5. KUD Warga Mulya Jumlah responden di KUD Warga Mulya yang berjenis kelamin laki-laki sebanyak 7 orang responden (70 persen) dan jumlah responden yang berjenis kelamin perempuan sebanyak 3 orang (30 persen).
59
30%
laki-laki 70%
perempuan
Gambar 15. Perbandingan Jenis Kelamin Responden di KUD Warga Mulya Dari hasil penelitian, juga menunjukkan bahwa semua responden KUD Warga Mulya tidak memiliki pengalaman bekerja pada koperasi lain yaitu sebanyak 10 orang (100 persen) sehingga bisa dikatakan semua karyawan KUD Warga Mulya memiliki loyalitas yang tinggi terhadap koperasi dan tidak dibutuhkan banyak pengalaman untuk bekerja sebagai karyawan KUD Warga Mulya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar responden KUD Warga Mulya yaitu 7 orang adalah lulusan SLTA sedangkan sisanya sebanyak 3 orang adalah lulusan D3 (Diploma), sehingga dapat dikatakan bahwa untuk menjadi karyawan KUD Warga Mulya tidak membutuhkan keahlian/pendidikan tinggi.
60
3
tamat D3 (Diploma)
7
tamat SLTA
0
1
2
3
4
5
6
7
Gambar 16. Perbandingan Pendidikan Terakhir Responden KUD Warga Mulya Hasil penelitian menunjukkan bahwa kisaran gaji responden KUD Jatinom terbanyak adalah 8 orang dengan gaji kurang dari Rp 1.000.000,00 dan sisanya sebanyak 2 orang untuk gaji antara Rp 1.000.000,00 sampai Rp 1.490.000,00. Hal ini mungkin disebabkan oleh latar belakang pendidikan karyawan, semakin tinggi pendidikannya maka semakin tinggi gajinya.
2
Antara Rp 1 juta sampai Rp 1,49 juta
8
Kurang dari Rp 1 juta
0
2
4
6
8
Gambar 17. Perbandingan Gaji yang Diterima Responden KUD Warga Mulya
61
6. KUD Musuk Jumlah responden di KUD Musuk yang berjenis kelamin laki-laki sebanyak 6 orang responden (60 persen) dan jumlah responden yang berjenis kelamin perempuan sebanyak 4 orang (40 persen).
40%
60%
laki-laki perempuan
Gambar 18. Perbandingan Jenis Kelamin Responden di KUD Musuk
Dari hasil penelitian, juga menunjukkan bahwa mayoritas responden KUD Musuk tidak memiliki pengalaman bekerja pada koperasi lain yaitu sebanyak 9 orang (90 persen) sedangkan yang memiliki pengalaman bekerja pada koperasi lain hanya 1 orang (10 persen) dengan lama bekerja di koperasi sebelumnya selama 5 tahun sehingga bisa dikatakan mayoritas karyawan KUD Musuk memiliki loyalitas yang tinggi terhadap koperasi dan tidak dibutuhkan banyak pengalaman untuk bekerja sebagai karyawan KUD Musuk.
62
10%
pernah tidak pernah 90%
Gambar 19. Pengalaman Bekerja Responden KUD Musuk Pada Koperasi Lain Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar responden KUD Musuk yaitu 6 orang adalah lulusan SLTA sedangkan paling sedikit adalah lulusan Pascasarjana sebanyak 1 orang.
1
tamat pascasarjana (S2)
6
tamat SLTA
3
tamat SLTP
0
1
2
3
4
5
6
Gambar 20. Perbandingan Pendidikan Terakhir Responden KUD Musuk
63
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kisaran gaji semua responden KUD Musuk adalah kurang dari Rp 1.000.000,00 sehingga dapat dikatakan bahwa latar belakang pendidikan tidak terlalu mempengaruhi gaji karyawan KUD Musuk. 4.3. Hasil Analisis Regresi Linier Berganda Analisis regresi berganda digunakan untuk mengetahui seberapa besar pengaruh variabel independen terhadap variabel dependen. Variabel independen pada penelitian ini terdiri dari visi bersama (Visi), pengelolaan percakapan (PP), dan penyebaran pengetahuan internal (PPI), sedangkan variabel dependen yang dimaksud dalam penelitian ini adalah pengetahuan organisasi koperasi susu (PPO). Regresi ini juga ditambahkan lima variabel dummy. Hasil uji instrumen yang dilakukan menunjukkan bahwa seluruh instrumen pada penelitian ini valid dengan nilai p-value < 0,05. Instrumen pada penelitian ini memiliki angka reliabel 0,834, sehingga seluruh instrumen dapat dinyatakan sangat reliabel/handal. Pada penelitian ini mengenai bagaimana peran/pengaruh faktor-faktor pendukung (visi bersama, pengelolaan percakapan, dan penyebaran pengetahuan internal) dalam proses penciptaan pengetahuan di organisasi koperasi susu digunakan penghitungan analisis regresi linier berganda, uji F, dan uji t. Selanjutnya hasil analisis data yang telah dilakukan dapat dilihat dalam Tabel 10, Tabel 11, dan Tabel 12. (Lampiran 3).
Tabel 10. Uji F untuk Melihat Pengaruh Visi, PP, PPI, dan Variabel Dummy Terhadap PPO Secara Simultan. Sumber Jumlah Derajat Kuadrat F Keragaman Kuadrat Bebas Tengah Regresi 0,449 8 0,056 4,551 Sisaan 1,060 86 0,012 Total 1,509 94 Variabel dependen : ppo (Pengetahuan Organisasi Koperasi Susu)
Sig. 0,000a
Pengolahan uji F dilakukan untuk memunculkan tabel Anova (Tabel 10). Pada penelitian ini, Uji F digunakan untuk melihat pengaruh Visi, PP, PPI, dan Variabel Dummy terhadap PPO secara simultan. Hasil Uji F dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 10, yang menunjukkan bahwa nilai p-value = 0,000
64
sementara α = 5 persen. Hal ini berarti bahwa ada variabel penjelas yang berpengaruh terhadap PPO.
Tabel 11. Model Regresi Linier Berganda (Pengaruh Visi Bersama, Pengelolaan Percakapan, Penyebaran Pengetahuan Internal, dan Variabel Dummy Terhadap Pengetahuan Organisasi Koperasi Susu) Model
Koefisien Asli B
Koefisien Standar Beta
T
Simpangan Baku (konstanta) 0,376 0,078 4,793 Visi 0,079 0,087 0,089 0,902 Pp 0,257 0,117 0,293 2,206 Ppi 0,162 0,074 0,259 2,192 D1 -0,089 0,032 -0,316 -2,802 D2 -0,007 0,040 -0,022 -0,188 D3 -0,052 0,043 -0,126 -1,206 D4 -0,102 0,042 -0,249 -2,428 D5 -0,067 0,042 -0,164 -1,599 Variabel dependen : ppo (Pengetahuan Organisasi Koperasi Susu)
Sig.
0,000 0,370 0,030 0,031 0,006 0,851 0,231 0,017 0,114
Berdasarkan tabel 11 di atas, maka model regresi pada penelitian ini adalah sebagai berikut : PP0 = 0,376 + 0,079 visi + 0,257 PP + 0,162 PPI – 0,089 D1 – 0,007 D2 - 0,052 D3 – 0,102 D4 – 0,067 D5 + ε………………………(5)
Keterangan : PPO
: Pengetahuan Organisasi Koperasi Susu
Visi
: Visi Bersama
PP
: Pengelolaan Percakapan
PPI
: Penyebaran Pengetahuan Internal
D1
: Variabel Dummy (SAE)
D2
: Variabel Dummy (KUD Jatinom)
D3
: Variabel Dummy (KUD Cepogo)
D4
: Variabel Dummy (KUD Warga Mulya)
D5
: Variabel Dummy (KUD Musuk)
65
Sesuai dengan hasil olah data (Tabel 11), maka model regresi tersebut di atas dapat diinterpretasikan bahwa di antara ke tiga variabel yaitu Visi, PP, dan PPI ternyata hanya PP dan PPI yang memiliki pengaruh nyata terhadap PPO. Hal ini ditunjukkan dari nilai p-value yang kurang dari 0,05 sehingga apabila terjadi kenaikan nilai PP dan PPI maka akan terjadi pula kenaikan PPO. Sedangkan untuk variabel Visi tidak berpengaruh nyata terhadap PPO karena mempunyai nilai p-value > 0,05, namun demikian menunjukkan adanya kontribusi positif terhadap PPO. Hal ini ditunjukkan dengan nilai koefisiennya yang positif, sehingga dapat dikatakan bahwa pengelolaan percakapan merupakan variabel yang paling berkontribusi positif terhadap pengetahuan organisasi koperasi susu karena memiliki koefisien regresi yang paling besar. Selain PP dan PPI yang berpengaruh nyata terhadap pengetahuan organisasi koperasi susu, variabel dummy D1 dan D4 juga berpengaruh nyata terhadap PPO karena memiliki nilai pvalue < 0,05. Hal ini menunjukkan bahwa rata-rata selisih skor PPO untuk Koperasi SAE lebih rendah 0,089 dibandingkan dengan KPSBU. Dalam hal tingkat PPO di Koperasi SAE lebih rendah dibandingkan dengan tingkat PPO di KPSBU hal ini ditunjukkan dari koefisien regresinya yang bernilai negatif. Sedangkan rata-rata selisih skor PPO untuk Koperasi Warga Mulya lebih rendah 0,102 dibandingkan dengan KPSBU. Dalam hal tingkat PPO di Koperasi Warga Mulya lebih rendah dibandingkan dengan tingkat PPO di KPSBU. Secara umum tingkat pengetahuan organisasi KPSBU dibandingkan dengan SAE dan Koperasi Warga Mulya adalah lebih tinggi. Sedangkan untuk KUD Jatinom, KUD Cepogo, dan KUD Musuk relatif memiliki tingkat pengetahuan oragnisasi yang sama. Hal ini ditunjukkan dari Variabel Dummy D2, D3, dan D5 yang tidak berpengaruh nyata.
Tabel 12. Model Summary Model
R
1
0,545a
Koefisien Determinasi
0,297
Koefisien Detreminasi yang Terkoreksi 0,232
Jumlah Simpangan Baku Koefisien Regresi 0,11104
DurbinWatson
2,095
66
Dari Tabel 12 di atas, kita dapat melihat ukuran kebaikan model. Untuk ukuran kebaikan model masih kurang bagus karena nilai Koefisien Determinasi (R2) = 29,7 persen yang artinya keragaman yang mampu dijelaskan oleh faktorfaktor X dalam model regresi di atas hanya 29,7 persen sedangkan sisanya 70,3 persen dijelaskan oleh faktor lain di luar model, sehingga dapat dikatakan bahwa banyak faktor yang dapat mempengaruhi pengetahuan organisasi koperasi susu. Hasil regresi di atas ketika dibandingkan dengan hasil regresi data interval menunjukkan hasil yang sama, dengan koefisien determinasi juga di bawah 30 persen (Hasil selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 4). Dan secara umum, karakteristik responden yang dilihat dari jenis kelamin, pengalaman, pendidikan, dan gaji tidak berpengaruh terhadap tingkat PPO (Hasil selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 5). Penelitian ini membuktikan bahwa variabel-variabel faktor pendukung yang terdiri dari visi bersama, pengelolaan percakapan, dan penyebaran pengetahuan internal memiliki peran/kontribusi terhadap proses penciptaan pengetahuan di organisasi. Hal ini sesuai dengan teori Von Krogh et al (2000) yang dikutip Irsan (2005), yang menunjukkan adanya lima faktor yang dipandang penting dalam membuat enabler pengetahuan di perusahaan, lima faktor ini sekaligus sebagai pemberdaya pengetahuan yaitu : visi bersama, pengelolaan percakapan, mobilisasi penggerak pengetahuan, penyediaan lingkungan yang kondusif, dan penyebaran pengetahuan internal. Dalam penelitian ini, faktor pendukung proses penciptaan pengetahuan yang digunakan adalah visi bersama, pengelolaan percakapan, dan penyebaran pengetahuan internal. Namun demikian, setelah dilakukan pengujian di enam koperasi, ternyata visi bersama tidak memberikan pengaruh yang nyata di enam koperasi tersebut. 4.4. Implikasi Manajerial Dari penelitian yang dilakukan diketahui bahwa terdapat kontribusi yang positif dari visi bersama, pengelolaan percakapan, dan penyebaran pengetahuan internal terhadap pengetahuan organisasi koperasi susu. Namun demikian dari tiga variabel yang ada, hanya dua yang berpengaruh nyata terhadap pengetahuan organisasi di enam koperasi susu yaitu pengelolaan percakapan dan penyebaran
67
pengetahuan internal. Berkaitan dengan hal tersebut, maka perlu penyesuaianpenyesuaian yang dapat dilakukan oleh koperasi dalam meningkatkan peran faktor pendukung dalam proses penciptaan pengetahuan, antara lain sebagai berikut : 1. Manajer koperasi harus memperhatikan tentang Visi Bersama koperasi. Dari hasil penelitian diketahui bahwa Visi Bersama tidak berpengaruh nyata terhadap pengetahuan organisasi koperasi susu. Namun demikian ketika variabel ini ditingkatkan, maka akan memberikan kontribusi yang lebih besar terhadap pengetahuan organisasi koperasi susu. Berdasarkan teori Krogh et al (2000) yang dikutip Irsan (2005), Visi Bersama merupakan visi pengetahuan yang memuat apa yang diinginkan di masa depan dan kebutuhan saat ini. Ketika visi pengetahuan dapat menjelaskan relevansi dari kreasi pengetahuan bagi organisasi dan mampu menciptakan kepedulian terhadap kreasi pengetahuan pada semua level dan dapat mengidentifikasi sharing pengetahuan maka hal tersebut akan menjadi nilai tambah bagi koperasi, dengan demikian Visi Bersama ini dapat menciptakan rasa percaya, peduli, dan kooperatif sehingga tidak ada rasa curiga, tidak acuh, dan persaingan internal sehingga pada akhirnya Visi Bersama dapat menjawab tantangan di masa depan, dan hal ini perlu terus ditanamkan kepada karyawan dengan memberikan pemahaman kepada karyawan bahwa tujuan koperasi adalah tujuan bersama dari seluruh karyawan koperasi sehingga visi bersama dalam koperasi tersebut harus dapat dikomunikasikan melalui pengelolaan percakapan yang dilakukan antar orang-orang yang berada dalam koperasi tersebut. 2. Manajer perlu pula meningkatkan Pengelolaan Percakapan (manage conversation) untuk meningkatkan pengetahuan organisasi koperasi susu. Hal ini dikarenakan ketika Pengelolaan Percakapan meningkat, maka pengetahuan organisasi koperasi juga akan meningkat. Berdasarkan teori Krogh et al (2000) yang dikutip Irsan (2005), Pengelolaan Percakapan membangun suasana dialogis agar terdapat konfirmasi dan kreasi pengetahuan. Dialog personal adalah satu dari banyak mekanisme efektif untuk informasi dan pertukaran pengetahuan. Pengelolaan Percakapan ini harus ditingkatkan untuk menciptakan suatu lingkungan di mana setiap
68
individu dapat berpartisipasi dalam percakapan yang dilakukannya dan membuat kontribusi yang berharga sehingga perlu adanya peraturanperaturan eksplisit untuk etika percakapan, intervensi percakapan, dan percakapan langsung serta memperkenalkan bahasa yang inovatif untuk menjelaskan konsep-konsep dan ide-ide. Dengan demikian, diharapkan dari percakapan-percakapan yang terjadi di koperasi akan menghasilkan sesuatu yang bermanfaat bagi kemajuan koperasi. 3. Manajer harus lebih mendorong lagi serta meningkatkan Penyebaran Pengetahuan Internal koperasi kepada para karyawan. Hal ini dikarenakan ketika Penyebaran Pengetahuan Internal meningkat, maka pengetahuan organisasi koperasi juga akan meningkat. Manajer dapat melakukannya antara lain melalui pengadaan buletin dan majalah koperasi secara rutin, juga perlunya berbagai informasi terkini tentang koperasi yang bisa disalurkan kepada para karyawan. 4. Dalam meningkatkan pemahaman terhadap Visi Bersama, meningkatkan Pengelolaan Percakapan, dan Penyebaran Pengetahuan Internal, manajer koperasi dapat memanfaatkan ruang fisik seperti penempelan visi dan misi koperasi di dinding koperasi serta peraturan-peraturan yang dapat menunjang kemajuan koperasi. Selain ruang fisik, manajer juga dapat memanfaatkan
ruang
bersama/ikatan
emosional
antara
pengurus,
karyawan, dan anggota karena anggota koperasi berperan ganda yaitu selain sebagai konsumen juga merupakan pemilik (owner) sehingga anggota mempunyai tanggung jawab juga untuk memajukan koperasi. Selain itu intensitas bertemu antar anggota dan pengurus koperasi juga cukup tinggi sehingga di sela-sela pertemuan tersebut bisa dilakukan berbagai penyuluhan tentang peternakan, susu segar, kesehatan sapi, dll. Dengan mempertajam ikatan emosional, juga memudahkan pimpinan koperasi dalam memberikan sikap keteladanan kepada para anggota koperasi, selain itu dengan cara ini, akan lebih sedikit biaya yang harus dikeluarkan dibandingkan dengan menggunakan ruang maya, pelatihan atau yang lainnya.
KESIMPULAN DAN SARAN
1. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang berjudul Analisis Faktor-Faktor Pendukung Proses Penciptaan Pengetahuan Organisasi di Koperasi Susu, maka dapat disimpulkan sebagai berikut : 1. Visi Bersama, Pengelolaan Percakapan, dan Penyebaran Pengetahuan
Internal merupakan faktor-faktor pendukung dalam proses penciptaan pengetahuan organisasi di enam koperasi yang diteliti, hal ini ditunjukkan dari koefisien regresinya yang positif, dimana yang paling besar adalah pengelolaan percakapan, kemudian penyebaran pengetahuan internal, dan selanjutnya visi bersama. 2. Secara simultan variabel-variabel visi bersama, pengelolaan percakapan, dan penyebaran pengetahuan internal memperlihatkan pengaruh yang signifikan terhadap proses penciptaan pengetahuan organisasi di enam koperasi susu yang diteliti. Secara parsial variabel pengelolaan percakapan dan penyebaran pengetahuan internal menunjukkan pengaruh yang signifikan terhadap proses penciptaan pengetahuan organisasi di enam koperasi koperasi susu yang diteliti sedangkan variabel visi bersama tidak berpengaruh secara signifikan, hal ini mungkin disebabkan oleh terbatasnya jumlah responden.
2. Saran Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, maka saran yang dapat dijadikan bahan pertimbangan koperasi susu demi tercapainya kondisi yang lebih baik antara lain : 1. Peningkatan pemahaman visi koperasi kepada para karyawan, misal dengan sosialisasi visi koperasi. Dibutuhkan juga sikap keteladanan dari
pimpinan
koperasi
sehingga
karyawan
merasa
terlibat,
berkomitmen, dan bertanggung jawab dalam pencapaian tujuan koperasi. Manajer dapat melakukannya dengan cara baru seperti
70
memanfaatkan ruang bersama untuk meningkatkan ikatan emosional antara pengurus, karyawan, dan anggota. 2. Manajer harus berperan dalam mengelola percakapan di koperasi, seperti mendorong karyawan untuk aktif berbicara dalam rapat koperasi, selalu mengarahkan kepada munculnya ide baru, pelayanan baru, produk baru dan cara kerja baru serta mengevaluasi dan mengkaji kembali hasil-hasil pertemuan koperasi untuk dapat dijadikan ide baru/bahasan untuk pertemuan berikutnya. 3. Pembagian buletin/majalah/berbagai informasi terkini dan terbaru tentang kemajuan dan pengetahuan koperasi secara rutin.
71
DAFTAR PUSTAKA Firman, A. 2007. Kajian Koperasi Persusuan di Jawa Barat. http:/pustaka.unpad.ac.id. pdf. [8 Maret 2010] Hasan, M. Iqbal. 2002. Pokok-pokok Materi Statistik 1 (Statistik Deskriptif) Edisi Kedua. PT. Bumi Aksara, Jakarta. Hendrojogi. 2000. Koperasi Azaz-Azaz, Teori, dan Praktek Edisi Revisi 2000. PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. Irsan, I. 2005. Dimensi-dimensi “enablers” pengetahuan yang mempengaruhi persepsi pegawai terhadap pengetahuan perusahaan di kelompok kalbe [tesis]. Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu politik, Universitas Indonesia. Istijanto. 2005. Riset Sumber Daya Manusia Cara Praktis Mendeteksi DimensiDimensi Kerja Karyawan. PT Gramedia Pustaka Umar, Jakarta. Koperasi pedesaan. Di dalam Koperasi di Tengah Lingkungan yang Berubah. Hlm 253-356. http://www.smecda.com.pdf. [8 Maret 2010] Munir, N. 2008. Knowledge Management Audit Pedoman Evaluasi Kesiapan Organisasi Mengelola Pengetahuan. PPM, Jakarta. Nugroho, Bhuono Agung. 2007. Strategi jitu Memilih metode Statistik Penelitian dengan SPSS. C.V. Andi Offset, Yogyakarta. Sangkala. 2007. Knowledge Management Suatu Pengantar Memahami Bagaimana Organisasi Mengelola Pengetahuan sehingga Menjadi Organisasi yang Unggul. Rajawali Pers, Jakarta. Setiarso, B., N.H Triyono, H Subagyo. 2009. Penerapan Knowledge Management pada Organisasi. Graha ilmu, Yogyakarta. Sitio, A. dan Tamba, H. 2001. Koperasi Teori dan Praktik. Erlangga, Jakarta. Sugiyono. 2007. Statistika untuk Penelitian. CV Alfabeta, Bandung. Tawaf,
Rochadi. 2009. Menuju Koperasi http://duniasapi.com. htm. [8 Maret 2010]
Susu
Berdaya
Saing.
Tawaf, Rochadi. 2010. Sejarah Pemasaran Susu. http://duniasapi.com. htm. [8 Maret 2010] Tim KPSBU. 2008. KPSBU Jawa Barat. http://www.kpsbu.co.id/ [8 Maret 2010]
72
Tim Penyusun. 2008. Koperasi Dalam Sorotan Peneliti. Di dalam: Sinaga P, aedah S, Subiyantoko A, editor. Rajawali Pers, Jakarta. Umar, H. 2003. Metode Riset Akuntansi Terapan. Ghalia Indonesia, Jakarta. Umar, H. 2005. Riset Sumber Daya Manusia dalam Organisasi. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Walpole, R. 1993. Pengantar Statistika Edisi ke-3. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
LAMPIRAN
73
Lampiran 1. Uji Validitas Correlations x1 x1
x2
Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation
1
x2 .684(**)
x3 .510(**)
x4 .414(**)
visi .830(**)
95
.000 95
.000 95
.000 95
.000 95
.684(**)
1
.431(**)
.411(**)
.815(**)
.000 95
95
.000 95
.000 95
.000 95
.510(**)
.431(**)
1
.402(**)
.741(**)
.000 95 .414(**)
.000 95 .411(**)
95 .402(**)
.000 95 1
.000 95 .729(**)
.000
.000
.000
95 95 Visi Pearson Correlation .830(**) .815(**) Sig. (2-tailed) .000 .000 N 95 95 ** Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
95 .741(**) .000 95
Sig. (2-tailed) x3
N Pearson Correlation Sig. (2-tailed)
x4
N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N
Correlations x1 Pearson Correlation Sig. (2-tailed) x2 Pearson Correlation Sig. (2-tailed) x3 Pearson Correlation Sig. (2-tailed) x4 Pearson Correlation Sig. (2-tailed)
VISI 0,830 0,000 Valid 0,815 0,000 Valid 0,741 0,000 Valid 0,729 0,000 Valid
.000 95 .729(**) .000 95
95 1 95
74
Lanjutan lampiran 1. Correlations x5 x5
Pearson Correlation Sig. (2-tailed)
1
x6 .666(**)
x7 .657(**)
x8 .215(*)
x9 .373(**)
pp .825(**)
.000
.000
.037
.000
.000
95 .666(**)
95 1
95 .624(**)
95 .237(*)
95 .244(*)
95 .769(**)
.000 95 .657(**) .000
95 .624(**) .000
.000 95 1
.020 95 .339(**) .001
.017 95 .330(**) .001
.000 95 .811(**) .000
95 .215(*)
95 .237(*)
95 .339(**)
95 1
95 .334(**)
95 .538(**)
.037 95 .373(**)
.020 95 .244(*)
.001 95 .330(**)
95 .334(**)
.001 95 1
.000 95 .659(**)
.000 95 .825(**)
.017 95 .769(**)
.001 95 .811(**)
.001 95 .538(**)
95 .659(**)
.000 95 1
.000 .000 95 95 ** Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed). * Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
.000 95
.000 95
.000 95
95
N x6
Pearson Correlation Sig. (2-tailed)
x7
x8
N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed)
x9
Pp
N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N
x5 x6 x7 x8 x9
Correlations Pearson Correlation Sig. (2-tailed) Pearson Correlation Sig. (2-tailed) Pearson Correlation Sig. (2-tailed) Pearson Correlation Sig. (2-tailed) Pearson Correlation Sig. (2-tailed)
PENGELOLAAN 0,825 0,000 Valid 0,769 0,000 Valid 0,811 0,000 Valid 0,538 0,000 Valid 0,659 0,000 Valid
75
Lanjutan lampiran 1. Correlations x10 x10
Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N
x11
1
x11 .561(**) .000
x12 .408(**) .000
ppi .862(**) .000
95
95
95
95
Pearson Correlation Sig. (2-tailed)
.561(**)
1
.371(**)
.824(**)
.000
.000
N
95 .408(**) .000 95
95 .371(**) .000 95
95 1
95 .688(**) .000 95
.862(**) .000
.824(**) .000
.688(**) .000
1
95
95
x12
Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N
Ppi
Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N
.000
95 ** Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
Correlations x10 Pearson Correlation Sig. (2-tailed) x11 Pearson Correlation Sig. (2-tailed) x12 Pearson Correlation Sig. (2-tailed)
95
PENYEBARAN 0,862 0,000 Valid 0,824 0,000 Valid 0,688 0,000 Valid
95
76
Lanjutan lampiran 1. Correlations y1 1
y2 .406(**) .000
y3 .232(*) .024
y4 .252(*) .014
y5 .360(**) .000
y6 .232(*) .024
ppo .690(**) .000
95
95
95
95
95
95
95
.406(**) .000 95
1 95
.251(*) .014 95
.406(**) .000 95
.313(**) .002 95
.347(**) .001 95
.718(**) .000 95
.232(*)
.251(*)
1
.187
.157
.513(**)
.524(**)
.024 95 .252(*)
.014 95 .406(**)
95 .187
.069 95 1
.128 95 .530(**)
.000 95 .014
.000 95 .670(**)
.014 95
.000 95
.069 95
95
.000 95
.890 95
.000 95
.360(**) .000 95 .232(*)
.313(**) .002 95 .347(**)
.157 .128 95 .513(**)
.530(**) .000 95 .014
1 95 .065
.065 .532 95 1
.688(**) .000 95 .490(**)
.024 .001 .000 95 95 95 .690(**) .718(**) .524(**) .000 .000 .000 95 95 95 ** Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed). * Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
.890 95 .670(**) .000 95
.532 95 .688(**) .000 95
y1
Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N
y2
Pearson Correlation
y3
Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed)
y4
y5
y6
ppo
N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N
y1 y2 y3 y4 y5 y6
Correlations Pearson Correlation Sig. (2-tailed) Pearson Correlation Sig. (2-tailed) Pearson Correlation Sig. (2-tailed) Pearson Correlation Sig. (2-tailed) Pearson Correlation Sig. (2-tailed) Pearson Correlation Sig. (2-tailed)
PENGETAHUAN 0,690 0,000 Valid 0,718 0,000 Valid 0,524 0,000 Valid 0,670 0,000 Valid 0,688 0,000 Valid 0,490 0,003 Valid
95 .490(**) .000 95
.000 95 1 95
77
Lampiran 2. Uji Reliabilitas
Scale: ALL VARIABLES Case Processing Summary N Cases
Valid
95
% 100.0
0
.0
Excluded( a) Total
95 100.0 a Listwise deletion based on all variables in the procedure.
Reliability Statistics Cronbach's Alpha Based on Standardized Items
Cronbach's Alpha .834
N of Items
.840
18
Item Statistics Mean 4.1158
Std. Deviation .69746
4.0421 4.0632 3.8737 3.8632 3.7368 3.8105
.77068 .69666 .78878 .88258 .78835 .76206
95 95 95 95 95 95
3.9895
.61011
95
3.8316 2.9368 3.4842 3.7368 3.4105
.93003 1.18331 1.04029 .80173 .95086
95 95 95 95 95
y2 y3 y4
3.8000 3.9474
.79359 .53332
95 95
3.4632
.88499
95
y5
3.4316 3.9368
.90686 .64923
95 95
x1 x2 x3 x4 x5 x6 x7 x8 x9 x10 x11 x12 y1
y6
N 95
78
Lanjutan lampiran 2. Item-Total Statistics
x1 x2
Scale Mean if Item Deleted 63.3579
Scale Variance if Item Deleted 54.615
Corrected Item-Total Correlation .320
Squared Multiple Correlation .619
Cronbach's Alpha if Item Deleted .831
63.4316
53.886
.347
.618
.830
63.4105 63.6000 63.6105
53.670 54.923 49.879
.416 .244 .621
.570 .348 .651
.827 .835 .815
63.7368 63.6632
52.473 51.609
.465 .567
.668 .645
.824 .820
63.4842 63.6421 64.5368 63.9895 63.7368 64.0632 63.6737
54.040 51.254 48.677 49.500 51.919 50.868 53.073
.445 .472 .504 .534 .505 .489 .406
.465 .405 .467 .409 .544 .534 .421
.826 .824 .823 .820 .822 .823 .827
63.5263 64.0105 64.0421 63.5368
54.380 54.457 54.019 53.549
.475 .242 .267 .466
.431 .485 .419 .441
.826 .836 .835 .825
x3 x4 x5 x6 x7 x8 x9 x10 x11 x12 y1 y2 y3 y4 y5 y6
Scale Statistics Mean 67.4737
Variance 58.401
Std. Deviation 7.64205
N of Items 18
79
Lampiran 3. Uji Regresi Linier Berganda Untuk Visi, PP, PPI, dan Variabel Dummy Terhadap PPO Variables Entered/Removed(b)
Model 1
Variables Entered
Variables Removed
D5, PPI, D4, visi, D3, D2, D1, PP(a)
Method . Enter
a All requested variables entered. b Dependent Variable: PPO Model Summary(b) Adjusted R Std. Error of R R Square Square the Estimate .545(a) .297 .232 .11104 a Predictors: (Constant), D5, PPI, D4, visi, D3, D2, D1, PP b Dependent Variable: PPO Model 1
Durbin-Watson 2.095
ANOVA(b) Sum of Squares df Mean Square Regression .449 8 .056 Residual 1.060 86 .012 Total 1.509 94 a Predictors: (Constant), D5, PPI, D4, visi, D3, D2, D1, PP b Dependent Variable: PPO Model 1
F 4.551
Sig. .000(a)
Coefficients(a) Unstandardized Coefficients Model 1
B
Standardized Coefficients
T
Sig.
(Constant)
.376
Std. Error .078
4.793
.000
Visi
.079 .257 .162
.087 .117 .074
.089 .293 .259
.902 2.206 2.192
.370 .030 .031
.836 .462 .583
1.197 2.166 1.715
-.089
.032
-.316
-2.802
.006
.641
1.560
-.007 -.052 -.102
.040 .043 .042
-.022 -.126 -.249
-.188 -1.206 -2.428
.851 .231 .017
.618 .749 .777
1.619 1.336 1.286
-.067 .042 a Dependent Variable: PPO
-.164
-1.599
.114
.775
1.291
PP PPI D1 D2 D3 D4 D5
Beta
Collinearity Statistics Tolerance
VIF
80
Lanjutan Lampiran 3. Residuals Statistics(a)
Predicted Value Std. Predicted Value Standard Error of Predicted Value Adjusted Predicted Value Residual Std. Residual Stud. Residual Deleted Residual Stud. Deleted Residual Mahal. Distance Cook's Distance Centered Leverage Value a Dependent Variable: PPO
Minimum .3760
Maximum .7979
Mean .6662
Std. Deviation .06911
N
-4.200
1.905
.000
1.000
95
.022
.078
.033
.008
95
.4761 -.45160
.8374 .24322
.6675 .00000
.06672 .10621
95 95
-4.067 -4.298 -.50441 -4.822
2.190 2.325 .27393 2.387
.000 -.005 -.00132 -.013
.957 1.011 .11936 1.048
95 95 95 95
2.702
45.924
7.916
5.261
95
.000 .029
.284 .489
.015 .084
.039 .056
95 95
95
81
Lampiran 4. Uji Regresi Linier Berganda Untuk Visi, PP, PPI, dan Variabel Dummy Terhadap PPO Menggunakan Data Interval Variables Entered/Removed(b)
Model 1
Variables Entered
Variables Removed
d5, ppi, d4, visi, d3, d2, d1, pp(a)
Method . Enter
a All requested variables entered. b Dependent Variable: ppo Model Summary(b) Adjusted R Std. Error of R R Square Square the Estimate .533(a) .284 .217 2.98140 a Predictors: (Constant), d5, ppi, d4, visi, d3, d2, d1, pp b Dependent Variable: ppo Model 1
Durbin-Watson 2.045
ANOVA(b) Sum of Squares df Mean Square Regression 302.666 8 37.833 Residual 764.435 86 8.889 Total 1067.101 94 a Predictors: (Constant), d5, ppi, d4, visi, d3, d2, d1, pp b Dependent Variable: ppo Model 1
F 4.256
Sig. .000(a)
Coefficients(a) Unstandardized Coefficients Model 1
(Constant) Visi Pp
Standardized Coefficients
B 11.359 .027
Std. Error 2.370 .122
.356 .375
T
Sig.
Beta
Collinearity Statistics Tolerance
VIF
.022
4.794 .225
.000 .822
.882
1.134
.149 .176
.310 .251
2.382 2.135
.019 .036
.492 .604
2.032 1.657
Ppi d1
-2.347
.853
-.312
-2.752
.007
.647
1.545
d2
-.089
1.064
-.010
-.084
.933
.622
1.607
d3
-1.142
1.147
-.105
-.996
.322
.756
1.323
d4
-2.920 1.129 -1.941 1.128 a Dependent Variable: ppo
-.267 -.178
-2.586 -1.720
.011 .089
.779 .781
1.283 1.281
d5
82
Lanjutan Lampiran 4. Residuals Statistics(a)
Predicted Value Std. Predicted Value Standard Error of Predicted Value Adjusted Predicted Value Residual Std. Residual Stud. Residual Deleted Residual Stud. Deleted Residual Mahal. Distance Cook's Distance Centered Leverage Value a Dependent Variable: ppo
Minimum 15.0886
Maximum 24.5756
Mean 20.2350
Std. Deviation 1.79439
N
-2.868
2.419
.000
1.000
95
.595
1.635
.895
.203
95
15.5174 -9.64385 -3.235
26.4743 6.34850 2.129
20.2642 .00000 .000
1.82843 2.85172 .957
95 95 95
95
-3.539
2.216
-.004
1.015
95
-11.54252 -3.806 2.752
6.87689 2.269 27.285
-.02920 -.010 7.916
3.21626 1.038 4.150
95 95 95
.000
.274
.015
.035
95
.029
.290
.084
.044
95
83
Lampiran 5. Uji Regresi Linier Berganda Untuk Karakteristik Responden Variables Entered/Removed(b)
Model 1
Variables Entered
Variables Removed
Gaji, JK, Pengalama n, Pendidikan( a)
Method
. Enter
a All requested variables entered. b Dependent Variable: PPO Model Summary Adjusted R Std. Error of R R Square Square the Estimate .230(a) .053 .011 .12604 a Predictors: (Constant), Gaji, JK, Pengalaman, Pendidikan Model 1
ANOVA(b)
Model 1
Regression Residual Total
Sum of Squares .080 1.430
df 4 90
Mean Square .020 .016
F 1.255
Sig. .294(a)
t
Sig.
1.509 94 a Predictors: (Constant), Gaji, JK, Pengalaman, Pendidikan b Dependent Variable: PPO Coefficients(a) Unstandardized Coefficients Model 1
B (Constant) JK Pengalaman Pendidikan Gaji
a Dependent Variable: PPO
Standardized Coefficients
Std. Error
.640 .016 -.128
.033 .026 .066
.032 -.005
Beta .064 -.204
19.191 .619 -1.942
.000 .537 .055
.031
.106
1.012
.314
.027
-.021
-.199
.843