MODEL PENCIPTAAN PENGETAHUAN UNTUK MENINGKATKAN KEUNGGULAN BERSAING KOPERASI SUSU DI INDONESIA
ANGGRAINI SUKMAWATI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Model Penciptaan Pengetahuan untuk Meningkatkan Keunggulan Bersaing Koperasi Susu di Indonesia adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulisan lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, Januari 2011
Anggraini Sukmawati NIM F326010091
ABSTRACT ANGGRAINI SUKMAWATI. Knowledge Creation Model for Raising Competitive Advantage of Dairy Coo-peratives in Indonesia. Under direction of M. SYAMSUL MA’ARIF, MARIMIN, NASTITI SISWI INDRASTI, HARTRISARI HARDJOMIDJOJO and KOOSWARDHONO MUDIKDJO Many theories highlighted the critical importance of knowledge creation on the long-term success of the organization. However, the scarcity of empirical work on knowledge creation model has limited our understanding of the overall organizational process involved. Given the crucial role of knowledge creation in contemporary business enterprises, a fundamental question arises: what processes are facilitating knowledge creation? This study aimed to find the answer. This study investigated the interrelations among four categories of knowledge assets (experiential, conceptual, systemic, and routine) and four categories of SECI (socialization, externalization, combination, and internalization) model for knowledge creation processes. In our framework, we argued that different types of knowledge assets may have differing influences on knowledge creation. After this, we attempted a comprehensive analysis of knowledge creation model within the organization, exploring the relationship between innovation, knowledge creation model, problem-solving capability, absorptive capacity, knowledge acquisition and assets. The next step, we designed the expert system. In order to test the feasibility of this framework, we conducted an empirical research exercise. Data were collected from three dairy cooperatives in Java, Indonesia through a survey instrument. A total of 105 usable responses were analyzed. We employed canonical correlation analysis to examine the composite correlation, and Structural Equation Modeling (SEM). We identified the composite effect of knowledge asset were positively contribution to knowledge creation, except systemic knowledge assets. The results revealed several contributing factors (problem-solving capability, absorptive capacity, knowledge acquisition and assets) that were significant effect to innovation. On the other hand, knowledge creation model had no significant effect to innovation in the context of the dairy cooperation in Indonesia. Product innovation was the most important innovation for Dairy Cooperatives. Design of diagnosis performance for knowledge management implementation was named Knowledge Management Scorecard for Dairy Cooperatives (KMaScD). This system was developed based on balanced scorecard concept. The application was appropriate for assesing dairy cooperatives performance dan providing a flexible evaluation framework. Keywords: balanced scorecard, innovation, knowledge creation, problem-solving capability, absorptive capacity, knowledge assets and dairy cooperatives
RINGKASAN ANGGRAINI SUKMAWATI. Model Penciptaan Pengetahuan untuk Meningkatkan Keunggulan Bersaing Koperasi Susu di Indonesia. Dibimbing oleh M. SYAMSUL MA’ARIF, MARIMIN, NASTITI SISWI INDRASTI, HARTRISARI HARDJOMIDJOJO dan KOOSWARDHONO MUDIKDJO. Penciptaan pengetahuan (knowledge creation) memiliki arti yang sangat penting dan strategis bagi suatu organisasi (Soo et al., 2002a). Penciptaan pengetahuan merupakan proses dialektikal yang dinamis yang dibangun atas segala peristiwa yang dialami suatu organisasi. Proses penciptaan pengetahuan secara organisasional terjadi melalui interaksi berbagi pengetahuan (knowledge sharing) di antara anggota-anggota organisasi, sehingga terjadi konversi pengetahuan tacit menjadi pengetahuan eksplisit (dan sebaliknya) secara fundamental dan terus menerus (Nonaka dan Takeuchi, 1995). Agroindustri susu dipilih sebagai obyek studi karena rentannya agroindustri ini dalam menghadapi persaingan global yang makin ketat, sehingga perlu segera diupayakan peningkatan kemampuan inovasinya sehingga mampu meningkatkan keunggulan bersaingnya. Hal ini diindikasikan dengan makin tingginya persentase impor produk susu dan turunannya serta bahan baku susu. Ditinjau dari peta perdagangan internasional produk susu dan turunannya, saat ini Indonesia berada pada posisi sebagai net-consumer. Sampai saat ini industri pengolahan susu nasional masih sangat bergantung pada impor bahan baku susu. Jika kondisi tersebut tidak dibenahi dengan membangun sebuah sistem agroindustri yang kokoh, maka Indonesia akan terus menjadi negara pengimpor produk susu bahkan ternak sapi perahnya. Kondisi produksi susu segar Indonesia saat ini, sebagian besar (91%) dihasilkan oleh usaha rakyat dengan skala usaha 13 ekor sapi perah per peternak yang tergabung dalam keanggotaan koperasi susu. Skala usaha ternak sekecil ini jelas kurang ekonomis karena keuntungan yang didapatkan dari hasil penjualan susu hanya cukup untuk memenuhi sebagian kebutuhan hidup. Menurut beberapa penelitian mengenai kelayakan usaha sapi perah, skala ekonomis bisa dicapai dengan kepemilikan 10-12 ekor sapi per peternak. Penelitian ini bertujuan mengembangkan model penciptaan pengetahuan dan menganalisis struktur model penciptaan pengetahuan pada Koperasi Susu di Indonesia. Untuk mengembangkan model penciptaan pengetahuan tersebut, diawali dengan mengembangkan model kontribusi aset pengetahuan terhadap proses konversi pengetahuan pada Koperasi Susu di Indonesia dan pada tahap akhir, dikembangkan Sistem Pakar Knowledge Management Scorecard (KMScorecard) yang mendorong terjadinya inovasi pada Koperasi Susu di Indonesia. Penelitian ini memiliki signifikansi untuk dilakukan karena terdapat kebaruan yang ditawarkan, yaitu mengkonfirmasi peran penting pengetahuan sebagai landasan kinerja inovasi Koperasi Susu di Indonesia yang dalam jangka panjang menjadi sumber keunggulan bersaingnya. Dibandingkan dengan penelitianpenelitian sebelumnya dapat diidentifikasi perbedaannya terutama terkait dengan pendekatan yang digunakan, obyek yang diteliti dan tipe data yang dikumpulkan.
Data hasil survei lapang dan survei pakar diolah sesuai dengan rancangan metode analisis yang telah direncanakan. Metode analisis data dalam penelitian ini adalah: (1) Metode analisis kanonikal untuk menganalisis kontribusi aset-aset pengetahuan dalam proses konversi pengetahuan organisasi yang mendorong inovasi pada Koperasi Susu di Indonesia; (2) Metode analisis Structural Equation Modeling (SEM) untuk menganalisis hubungan antar variabel penciptaan pengetahuan pada koperasi susu sebagai model konfirmatori dan (3) Sistem Pakar untuk mengembangkan Sistem Knowledge Management Scorecard (KMScorecard) yang mendorong terjadinya inovasi pada Koperasi Susu di Indonesia. Populasi penelitian ini adalah kelompok koperasi persusuan yang tergabung dalam Gabungan Koperasi Susu di Indonesia (GKSI) yang bertindak sebagi pemasok susu segar atau susu pasteurisasi bagi IPS. Saat ini terdapat 192 koperasi yang menjadi anggota GKSI yang terkonsentrasi di pulau Jawa dengan rincian Jawa Barat dan DKI Jakarta berjumlah 96 koperasi, Jawa Tengah dan DI Yogyakarta berjumlah 34 koperasi dan Jawa Timur berjumlah 38 koperasi. Data yang telah diambil sejumlah 105 responden. Hasil korelasi kanonikal empat tipe aset pengetahuan sebagai variabel independen dan konversi pengetahuan sebagai variabel dependen menunjukkan bahwa secara bersama-sama, aset pengetahuan berkorelasi positif terhadap proses konversi pengetahuan, kecuali aset pengetahuan sistemik. Pada penelitian ini telah dilakukan uji kecocokan model pada lima model SEM (Structural Equation Modeling). Berdasarkan hasil ketiga kelompok uji kecocokan keseluruhan model, dapat disimpulkan bahwa Model 5 adalah model yang memiliki derajat kecocokan yang lebih tinggi dibanding Model 1, 2, 3 dan 4. Disamping mempertimbangkan hasil uji kecocokan keseluruhan model, pemilihan model haruslah mempertimbangkan dukungan teori yang memadai (Hair et al., 1998). Dengan mempertimbangkan kedua hal di atas, maka dipilih Model 5, sebagai model yang mampu menggambarkan hubungan antar faktorfaktor yang berperan dalam penciptaan pengetahuan yang menghasilkan inovasi pada Koperasi Susu di Indonesia. Pada Koperasi Susu di Indonesia, kegiatan kolaborasi formal lebih berperan dalam aktivitas akuisisi pengetahuan dibandingkan kegiatan interaksi informal. Daya serap memiliki hubungan yang positif dengan akuisisi pengetahuan. Akuisisi pengetahuan dipengaruhi oleh daya serap yang dibedakan menjadi daya serap individu dan daya serap organisasi. Daya serap koperasi susu terhadap hasil akuisisi pengetahuan lebih dipengaruhi oleh daya serap organisasi (muatan faktor: 1,00) dibandingkan dengan daya serap individu (muatan faktor: 0,62). Daya serap individu mempengaruhi akuisisi pengetahuan, karena akuisisi pengetahuan dilakukan langsung oleh individu-individu dalam organisasi. Daya serap individu mempengaruhi alih pengetahuan di dalam organisasi, maupun dari lingkungan eksternal ke internal organisasi. Keberadaan aset pengetahuan yang paling berpengaruh tampak pada pengetahuan konseptual (muatan faktor: 1,00), dibandingkan pengetahuan eksperiensial (muatan faktor: 0,87), pengetahuan rutin (muatan faktor: 0,82) dan sistemik (muatan faktor: 0,35). Hal ini menunjukkan bahwa aset pengetahuan terbesar yang dimiliki koperasi susu adalah pengetahuan konseptual. Variabel laten konversi pengetahuan dipengaruhi dua variabel laten lainnya, yaitu aset pengetahuan dan daya serap Indikator terkuat adanya konversi pengetahuan pada
koperasi susu adalah proses eksternalisasi (muatan faktor: 1,00). Eksternalisasi merupakan proses mengartikulasikan pengetahuan tacit menjadi pengetahuan eksplisit. Kemampuan pemecahan masalah dan pengambilan keputusan dipengaruhi oleh tiga variabel laten, yaitu akuisisi pengetahuan, daya serap dan konversi pengetahuan. Akuisisi pengetahuan dan konversi pengetahuan mempengaruhi KPMPK yang sama besar, yaitu 34 persen, tetapi konversi pengetahuan mempunyai taraf nyata yang lebih tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa keberhasilan pemecahan masalah dan pengambilan keputusan pada koperasi susu dipengaruhi oleh akuisisi dan konversi dengan sama besar. Dari model struktural yang telah dibentuk, terdapat dua variabel laten yang mempengaruhi inovasi, yaitu konversi pengetahuan (muatan faktor:-0,25) dan kemampuan pemecahan masalah dan pengambilan keputusan (muatan faktor: 0,51). Inovasi yang terjadi pada koperasi susu yang diteliti berhubungan erat dengan kemampuan pemecahan masalah dan pengambilan keputusan. Variabel inovasi merupakan tujuan utama penelitian ini, maka adanya temuan bahwa inovasi produk (muatan faktor: 1,00) merupakan indikator adanya inovasi yang paling berpengaruh, bila dibandingkan dengan inovasi manajemenmuatan faktor: 0,96) dan proses (muatan faktor: 0,92), menunjukkan bahwa inovasi pada koperasi susu yang paling berpengaruh terhadap terciptanya keunggulan bersaing adalah inovasi produk. Knowledge Management Scorecard merupakan konsep yang diturunkan dari Balanced Scorecard (BSC). Sesuai dengan kerangka tersebut maka disusun peta strategi sebagai langkah awal proses penyusunan BSC dan memberikan artikulasi visual strategi organisasi. Validasi model dilakukan dengan teknik face validity. Teknik validasi ini dilakukan dengan wawancara mendalam pendapat pakar atas model yang sudah dibangun. Verifikasi model pada penelitian ini dilakukan dengan pemeriksaan sederhana meliputi pemeriksaan aliran logika dari masingmasing perspektif ke masing-masing sasaran strategis, kemudian dari masingmasing sasaran strategis tersebut ke key performance indicators (Indikator Kinerja Kunci) masing-masing. Sistem Pakar yang dikembangkan dengan model KMScorecard dirancang mampu memberikan prediksi kinerja koperasi susu dalam rangka meningkatkan inovasinya. Sistem Pakar tersebut juga berfungsi sebagai deteksi dini yang layak untuk diterapkan dan dikembangkan lebih lanjut sesuai dengan kebutuhan. Kata kunci: penciptaan pengetahuan, indikator kinerja kunci, inovasi, keunggulan bersaing, koperasi susu
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.
MODEL PENCIPTAAN PENGETAHUAN UNTUK MENINGKATKAN KEUNGGULAN BERSAING KOPERASI SUSU DI INDONESIA
ANGGRAINI SUKMAWATI
Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Teknologi Industri Pertanian
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
Penguji pada Ujian Tertutup : Dr. Ir. Sukardi, MM Dr. Ir. Rarah Ratih A. Maheswari, DEA
Penguji pada Ujian Terbuka : Dr. Ir. Arif Imam Suroso, M.Sc Dr. Ir. Agus Maulana, MSM
Judul Disertasi: Model Penciptaan Pengetahuan untuk Meningkatkan Keunggulan Bersaing Koperasi Susu di Indonesia Nama : Anggraini Sukmawati NIM : F 326010091
Disetujui Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. M. Syamsul Ma'arif, M.Eng Ketua
Prof. Dr. Ir. Marimin, M.Sc Anggota
Prof. Dr. Ir. Kooswardhono Mudikdjo, M.Sc Anggota
Dr. Ir. Hartisari Hardjomidjojo, DEA Anggota
Prof. Dr. Ir. Nastiti Siswi Indrasti Anggota
Mengetahui
Ketua Program Studi Teknologi Industri Pertanian
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Machfud, MS
Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS
Tanggal Ujian: 24 September 2010
Tanggal Lulus:
PRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga disertasi ini berhasil diselesaikan. Tulisan dengan judul Model Penciptaan Pengetahuan untuk Meningkatkan Keunggulan Bersaing Koperasi Susu di Indonesia ini merupakan hasil penelitian yang disusun dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Teknologi Industri Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Penulis menyadari bahwa penyelesaian disertasi ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak, oleh karena itu pada kesempatan ini penulis meyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih yang tulus kepada Bapak Prof. Dr. Ir. M. Syamsul Ma’arif, M.Eng. sebagai Ketua Komisi Pembimbing yang telah memberikan arahan dan bimbingan dengan penuh dedikasi di tengah kesibukan melaksanakan tugas negara sehingga penulis dapat menyelesaikan disertasi ini. Ucapan terima kasih dan penghargaan yang tulus penulis sampaikan kepada Bapak Prof. Dr.Ir. Marimin, M.Sc, Ibu Prof. Dr. Ir. Nastiti Siswi Indrasti, Ibu Dr. Ir. Hartrisari Hardjomidjojo dan Bapak
Prof. Dr. Ir. Kooswardhono
Mudikdjo, M.Sc, selaku Anggota Komisi Pembimbing yang telah meluangkan waktu, pikiran serta keikhlasan berbagi ilmu pengetahuan dan memberikan dorongan semangat hingga terselesaikan disertasi ini. Terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Eriyatno, MSAE dan Ibu Dr. Ir. Rarah Ratih Adjie Maheswari, DEA atas dukungan moral yang diberikan serta saransaran terkait pemodelan. Disamping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Dr. Ir. Sukardi, MM dan Ibu Dr. Ir. Rarah Ratih Adjie Maheswari, DEA. atas kesediannya menjadi Penguji pada ujian tertutup serta kepada Dr. Arif Imam Suroso, M.Sc dan Dr. Agus Maulana, MSM atas kesediaannya menjadi Penguji pada Ujian Terbuka. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada: 1. Rektor Institut Pertanian Bogor, Dekan Sekolah Pascasarjana IPB, Dekan Fakultas Teknologi Pertanian IPB, Dekan Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB, Ketua Departemen Teknologi Industri Pertanian IPB, Ketua Departemen Manajemen IPB, Ketua Program Studi Teknologi Industri Pertanian IPB beserta seluruh Dosen dan Tenaga Kependidikan.
2. Ketua KPSBU Bandung, Ketua Koperasi SAE Malang, Ketua KPS Bogor, Ketua Koperasi Suka Mulya Kediri beserta seluruh responden penelitian ini. 3. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Kementerian Pendidikan Nasional atas dukungan berupa beasiswa BPPS dan Hibah Penelitian Program Doktor. 4. Rekan-rekan Departemen Manajemen FEM IPB atas dukungan dan semangat yang selalu diberikan. 5. Rekan-rekan Departemen Statistika dan Departemen Ilmu Komputer IPB atas diskusi-diskusi yang menambah wawasan. 6. Rekan-rekan mahasiswa Sekolah Pascasarjana IPB, terutama Program Studi Teknologi Industri Pertanian atas apresiasi, motivasi dan kerjasamanya. 7. Ayahanda, Ibunda, suami, anak-anak serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya serta pihak lain yang tidak dapat disebutkan satu per satu. Dengan segala keterbatasan yang ada semoga disertasi ini bermanfaat bagi masyarakat.
Bogor, Januari 2011 Anggraini Sukmawati
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Mojokerto pada tanggal 20 Oktober 1967 sebagai anak sulung dari pasangan H. Munawar, SH dan Hj. Yapani Soemardan. Pendidikan sarjana ditempuh di Jurusan Sosial Ekonomi Peternakan, Fakultas Peternakan IPB, lulus pada Tahun 1990. Pada Tahun 1996, penulis diterima di Program Magister Manajemen Agribisnis IPB dan menyelesaikannya pada Tahun 1999. Kesempatan untuk melanjutkan ke program doktor pada Program Studi Teknologi Industri Pertanian IPB diperoleh pada Tahun 2001. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia. Penulis bekerja sebagai Dosen di Jurusan Sosial Ekonomi Peternakan, Fakultas Peternakan IPB sejak Tahun 1994. Sejak Tahun 2004 penulis bertugas di Departemen Manajemen Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB. Selama mengikuti program S3, telah diterbitkan artikel dengan judul Pembentukan Model Penciptaan Pengetahuan (Knowledge Creation) dalam Mendorong Inovasi pada Koperasi Susu di Indonesia: Suatu Studi Konfirmatori pada jurnal Media Peternakan (terakreditasi) terbit Desember 2008 dan Model kontribusi pengetahuan dalam memfasilitasi proses penciptaan pengetahuan pada Koperasi Susu (Jurnal Manajemen dan Organisasi; in press). Karya ilmiah tersebut merupakan bagian dari program S3 penulis.
DAFTAR ISI Halaman
DAFTAR TABEL……………………………………………………........ DAFTAR GAMBAR ……………………………………………….…...... DAFTAR LAMPIRAN …………………….…………………………...... 1 PENDAHULUAN............................................................................... 1.1 Latar Belakang .…………………………………………......... 1.2 Tujuan Penelitian..…………………………………………...... 1.3 Manfaat Penelitian...................................................................... 1.4 Ruang Lingkup Penelitian..………………………………….... 1.5 Deskripsi Kebaruan (Novelty) ................................................ 2 TINJAUAN PUSTAKA...................................................................... 2.1 Konsep Pengetahuan.................................................................. 2.2 Pengetahuan dan Kompetensi ................................................. 2.3 Pengetahuan dan Keunggulan Bersaing ................................... 2.4 Manajemen Pengetahuan…………….………………………... 2.5 Konsep Penciptaan Pengetahuan............................................... 2.5.1 Konversi Pengetahuan:Model SECI ..…………….... Model Penciptaan Pengetahuan dengan Pendekatan 2.5.2 Input-Proses-Output..................................................... 2.6 Aset Pengetahuan dan Proses Penciptaan Pengetahuan …........ 2.7 Proses Pemecahan Masalah dan Pengambilan Keputusan......... 2.8 Inovasi dan Proses Penciptaan Pengetahuan.............................. 2.9 Daya Serap Perusahaan.............................................................. 2.10 Strategi dan Penciptaan Pengetahuan........................................ 2.11 Konsep Balanced Scorecard...................................................... 2.11.1 Perspektif dalam Balanced Scorecard......................... 2.11.2 Knowledge Management Balanced Scorecard ......... 2.12 Tinjauan Penelitian Terdahulu yang Relevan............................ 2.13 Posisi Penelitian dalam Konteks Manajemen Pengetahuan ..... 3 METODOLOGI PENELITIAN.......................................................... 3.1 Tahapan penelitian …………………….................................. 3.2 Metode Pengumpulan Data ……………………..................... 3.3 Metode Analisis Data............................................................... 3.4 Korelasi Kanonikal.................................................................. 3.5 Structural Equation Modeling................................................. 3.5.1 Pengujian Kecocokan Model SEM..............................
xiv xv xvii 1 1 4 4 5 5 7 7 10 10 11 15 16 19 21 22 23 25 25 26 28 32 34 39 43 43 45 46 46 49 56
3.6
4
5
6
7
Sistem Pakar............................................................................. 3.6.1 Tahapan Pembentukan Sistem Pakar........................... 3.7 Sistem Pakar Knowledege Management Scorecard................ PENGEMBANGAN MODEL............................................................. 4.1 Kerangka Pemikiran ……………………………………........ 4.2 Model Kontribusi Aset Pengetahuan....................................... 4.3 Model Penciptaan Pengetahuan............................................... 4.3.1 Definisi Operasional Variabel..................................... 4.3.2 Spesifikasi Model........................................................ 4.3.3 Hipotesis Model 1........................................................ 4.3.4 Hipotesis Model 2........................................................ 4.3.5 Hipotesis Model 3........................................................ 4.3.6 Hipotesis Model 4........................................................ 4.3.7 Hipotesis Model 5........................................................ PROFIL AGROINDUSTRI SUSU..................................................... 5.1 Konsumsi Produk Susu …………………………….............. 5.2 Produksi dan Populasi Sapi Perah............................................ 5.3 Kebijakan dan Kelembagaan Agroindustri Susu..................... HASIL DAN PEMBAHASAN........................................................... 6.1 Model Kontribusi Aset Pengetahuan....................................... 6.2 Model Penciptaan Pengetahuan............................................... Uji Kecocokan Keseluruhan Model (Overall Model 6.2.1 Fit) SEM....................................................................... Uji Kecocokan Model Pengukuran (Measurement 6.2.2 Model Fit).................................................................... 6.2.3 Hasil Model Struktural................................................. 6.2.4 Struktur Model yang Dihasilkan.................................. 6.3 Model Knowledge Management Scorecared (KM-Scorecard) Perancangan Sistem Pakar KM-Scorecard for Dairy 6.3.1 Cooperatives................................................................ 6.3.2 Validasi dan Verifikasi Model..................................... 6.4 Implikasi Manajerial............................................................... 6.5 Kontribusi Penelitian ............................................................. KESIMPULAN DAN SARAN ..………………................................ 7.1 Kesimpulan.............................................................................. 7.2 Saran........................................................................................ DAFTAR PUSTAKA …………………………………….................. DAFTAR ISTILAH ..…………………………………….................. LAMPIRAN.........................................................................................
62 66 69 71 71 72 72 72 73 74 78 82 86 90 95 96 97 99 103 102 110 110 113 118 127 130 131 147 148 149 153 153 154 155 161 163
DAFTAR TABEL No
Halaman
1 Perkembangan Manajemen Pengetahuan ……………………………... 2 Kerangka Pikir Strategi Keunggulan Bersaing Berbasis Pengetahuan (Krogh et al., 2000) …………………………………………….... 3 Penelitian Terdahulu yang Relevan......................................................... 4 Perbandingan Sistem Konvensional dan Sistem Pakar ………………... 5 Karakteristik Responden ……………………………………………..... 6 Aset pengetahuan menurut Masing-masing Kopersi Susu .................... 7 Konversi pengetahuan menurut Masing-masing Kopersi Susu ............. 8 Perbandingan Hasil Pengujian Model ………………………………….
12 26 36 64 104 106 107 112
9 Validitas Model Penciptaan Pengetahuan dalam Mendukung Inovasi 114 dalam Koperasi Susu di Indonesia ……………….................................. 10 Reliabilitas Model Pengukuran Peran Penciptaan Pengetahuan dalam Mendukung Inovasi pada Koperasi Susu di Indonesia ….………......... 11 Analisis Model Persamaan Struktural...................................................... 12 Penyusunan Sasaran Strategis dan Indikator Kinerja Kunci ............ 13 Pengelompokan Kebutuhan Pengguna Sistem menjadi Menu pada Aplikasi.................................................................................................... 14 Parameter Input, Himpunan Fuzzy dan Domain Himpunan Fuzzy ........ 15 Parameter Output, Himpunan Fuzzy dan Domain Himpunan Fuzzy .....
115 119 131 134 135 137
DAFTAR GAMBAR No
Halaman
1 Konversi Pengetahuan Model SECI (Nonaka dan Takeuchi 1995)........ 2 Model Penciptaan Pengetahuan dalam Perusahaan (Soo et al. 2002a).. 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
The Knowledge Management Balanced Scorecard (Tiwana 2000) ...... Tahapan pembangunan keunggulan Kompetitif IPS............................... Model Berlian Keunggulan Bersaing IPS di Indonesia........................... Posisi Penelitian dalam Konsteks Manajemen Pengetahuan ................. Diagram Alir Tahap Penelitian................................................................ Tahap Analisis Korelasi Kanonikal......................................................... Tahapan Pengembangan Structural Equation Modeling......................... Struktur Dasar Sistem Pakar.................................................................... Tahap Pembentukan Sistem Pakar........................................................... Tahap Desain Sistem Pakar Knowledge Management Scorecard Koperasi Susu di Indonesia...................................................................... 13 Landasan Konseptual Model Penciptaan Pengetahuan .......................... 14 Model Konseptual Penelitian Kontribusi Aset Pengetahuan................... 15 Kerangka Pemikiran Model Penciptaan Pengetahuan untuk Mendorong Inovasi pada Koperasi Susu (Model 1)................................
19 24 33 37 38 41 44 48 55 65 66 70 72 72 75
16 Diagram Lintasan Model Penciptaan Pengetahuan untuk Mendorong Inovasi pada Koperasi Susu (Model 1)....................................................
77
17 Kerangka Pemikiran Model Penciptaan Pengetahuan untuk Mendorong Inovasi pada Koperasi Susu (Model 2)................................
79
18 Diagram Lintasan Model Penciptaan Pengetahuan untuk Mendorong Inovasi pada Koperasi Susu (Model 2).................................................... 19 Kerangka Pemikiran Model Penciptaan Pengetahuan untuk Mendorong Inovasi pada Koperasi Susu (Model 3)................................ 20 Diagram Lintasan Model Penciptaan Pengetahuan untuk Mendorong Inovasi pada Koperasi Susu (Model 3).................................................... 21 Kerangka Pemikiran Model Penciptaan Pengetahuan untuk Mendorong Inovasi pada Koperasi Susu (Model 4)................................ 22 Diagram Lintasan Model Penciptaan Pengetahuan untuk Mendorong Inovasi pada Koperasi Susu (Model 4).................................................... 23 Kerangka Pemikiran Model Penciptaan Pengetahuan untuk MendorongInovasi pada Koperasi Susu (Model 5)................................. 24 Diagram Lintasan Model Penciptaan Pengetahuan untuk Mendorong Inovasi pada Koperasi Susu (Model 5).................................................... 25 Proporsi Konsumsi Produk Susu di Indonesia Tahun 2007..................... 26 Produksi Susu Segar pada Tahun 1991-2009..........................................
81 83 85
87 89 91
93 97 98
27 Populasi Sapi Perah Tahun 1991-2009.................................................... 28 Kontribusi Aset Pengetahuan terhadap Konversi terhadap Konversi Pengetahuan .......................................................................................... 29 Diagram Jalur Analisis Korelasi Kanonikal............................................ 30 Model Kontribusi Aset pengetahuan terhadap Proses SECI pada Koperasi Susu di Indonesia...................................................................... 31 Diagram Lintasan Model Penciptaan Pengetahuan pada Koperasi Susu di Indonesia.............................................................................................. 32 Hubungan Variabel Akuisisi Pengetahuan dan Daya Serap.................... 33 Variabel Laten yang Mempengaruhi Variabel Konversi Pengetahuan.... 34 Variabel Laten yang Mempengaruhi Variabel Kapabilitas Pemecahan Masalah dan Pengambilan Keputusan..................................................... 35 Variabel Laten yang Mempengaruhi Variabel Inovasi............................ 36 Model Penciptaan Pengetahuan pada Koperasi Susu di Indonesia ......... 37 Model Knowledge Management Scorecard Koperasi Susu..................... 38 Diagram Alir Formulasi Sistem yang Dirancang..................................... 39 Representasi Fuzzy Perspektif Finansial................................................. 40 Representasi Fuzzy Perspektif Pelanggan............................................... 41 Representasi Fuzzy Perspektif Proses Internal........................................ 42 Representasi Fuzzy Perspektif Pembelajaran dan Pertumbuhan.............. 43 Representasi Fuzzy Scorecard Akhir ...................................................... 44 Hasil Agregasi Rule yang Digunakan .................................................... 45 Rule View untuk menunjukkan bahwa Rule 1 yang Digunakan ............ 46 Penentuan Nilai Tengah Proses Defuzzifikasi dengan Metode Centroid ................................................................................................................ 47 Antarmuka Sistem Pakar KM-Scorecard Koperasi Susu........................ 48 Tampilan Hasil Nilai KM-Scorecard Koperasi Susu.............................. 49 Usulan Model Penciptaan Pengetahuan pada Koperasi Susu di Indonesia ...............................................................................................
99 108 109 110 117 121 123 125 127 129 130 132 138 139 140 140 141 144 145 145 146 147 150
DAFTAR LAMPIRAN
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Halaman Rekap Hasil Kuesioner untuk Peternak ................................................ Nilai Eigen dan Korelasi Kanonikal ................................................... Uji Signifikansi Multivariat ................................................................. Hasil Perhitungan Bobot Kanonikal untuk Independen Variat ........... Hasil Perhitungan Bobot Kanonikal untuk Dependen Variat .............. Muatan Kanonikal Dependen ............................................................... Muatan Kanonikal Independen ............................................................ Muatan Silang Kanonikal Dependen ................................................. Muatan Silang Kanonikal Independen ................................................. Fungsi Keanggotaan............................................................................... Aturan Fuzzy yang digunakan................................................................ Dokumentasi Sistem ............................................................................
163 170 170 170 171 171 171 171 172 172 174 178
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penciptaan pengetahuan (knowledge creation) memiliki arti yang penting dan strategis bagi suatu organisasi (Soo et al. 2002a). Penciptaan pengetahuan merupakan proses dialektikal yang dinamis yang dibangun atas segala peristiwa yang
dialami
suatu
organisasi.
Proses
penciptaan
pengetahuan
secara
organisasional terjadi melalui interaksi berbagi pengetahuan (knowledge sharing) di antara anggota-anggota organisasi, sehingga terjadi konversi pengetahuan tacit menjadi pengetahuan eksplisit (dan sebaliknya) secara fundamental dan terus menerus (Nonaka & Takeuchi 1995). Lebih lanjut dikemukakan bahwa penciptaan pengetahuan merupakan esensi dari inovasi. Salah satu indikator terjadinya proses penciptaan pengetahuan di suatu organisasi adalah inovasiinovasi yang dihasilkan. Inovasi yang berkesinambungan dilakukan dengan memandang masa depan, mengantisipasi perubahan-perubahan pasar, teknologi, kompetisi maupun produk dan jasa. Hasil penelusuran beberapa rujukan ilmiah menunjukkan bahwa penelitian-penelitian mengenai strategi dan kinerja organisasi cenderung mengemukakan sumber daya internal sebagai basis keunggulan bersaing, yaitu sumber daya yang berharga, langka, sulit ditiru dan sulit digantikan. Berdasarkan pandangan ini, beberapa pakar mengkaji bahwa pengetahuan merupakan sumber daya yang paling strategik yang dimiliki oleh perusahaan (Nonaka & Takeuchi 1995; Tuomi 1999; Probst et al. 2000). Lebih lanjut dikemukakan oleh Sharkie (2003) bahwa kemampuan menciptakan pengetahuan baru merupakan fungsi manajemen yang memungkinkan organisasi mengeksplorasi dan mengembangkan sumber keunggulan bersaing dibanding para pesaingnya, serta menciptakan inovasi yang mendukung kesuksesan di masa mendatang. Obyek pada penelitian ini adalah agroindustri susu, suatu agroindustri yang potensial menjadi agroindustri yang inovatif karena agroindustri susu di Indonesia merupakan salah satu agroindustri yang berada dalam lingkungan industri yang bersaing ketat. Hal ini ditunjukkan dengan adanya penurunan jumlah perusahaan yang bergerak dalam industri pengolahan susu, penurunan jumlah koperasi persusuan maupun rendahnya pertumbuhan produksi susu dalam kurun waktu
2 sepuluh tahun terakhir. Produksi susu segar Indonesia pada tahun 2005 hanya mampu memenuhi 25 persen dari 1.751,6 juta liter yang merupakan kebutuhan total industri pengolahan susu (Indocommercial 2005). Pada tahun 2009 impor susu telah mencapai 75,2% dari kebutuhan susu dalam negeri. Disamping permintaan susu yang semakin meningkat, terdapat beberapa faktor eksternal dan faktor internal yang menyebabkan impor susu semakin tinggi. Dari sisi eksternal, tuntutan penghapusan kebijakan rasio atau BUSEP (Inpres No 4/1998), komitmen penurunan tarif impor (GATT/WTO, APEC, AFTA) secara konsisten dan berkesinambungan serta jargonisasi white revolution oleh negaranegara eksportir susu dunia, telah mendorong perubahan penggunaan bahan baku susu oleh Industri Pengolahan Susu (IPS) dari bahan baku susu segar dalam negeri (SSDN) ke susu bubuk impor yang harganya relatif murah.
Dari sisi
internal, produsen SSDN yang sebagian besar (90%) merupakan peternak rakyat yang tergabung dalam wadah koperasi susu, kemampuan produksinya masih rendah sehingga tidak bisa bersaing dengan bahan baku impor. Peternak sapi perah
rakyat
untuk
meningkatkan
produksinya
menghadapi
berbagai
permasalahan, seperti skala pemeliharaan ternak yang relatif kecil, kemampuan induk untuk memproduksi susu belum optimal, serta kemampuan penanganan ternak dan produk susu segar yang relatif rendah (Balitbangdagda 2010). Bila kondisi ini tidak diwaspadai, hal ini dapat menyebabkan kemandirian dan kedaulatan pangan (food souvereignty) hewani khususnya susu semakin jauh dari harapan, yang pada gilirannya berpotensi masuk dalam jebakan pangan (food trap) negara eksportir. Dengan demikian peningkatan keunggulan bersaingnya menjadi hal yang krusial karena agroindustri susu berperan penting dalam pembangunan ekonomi. Hal ini ditunjukkan oleh besarnya kontribusi pada pembangunan ekonomi Indonesia, mulai dari penciptaan lapangan kerja, peningkatan kesejahteraan petani dan penghematan devisa negara. Dari
sisi
konsumsi,
kg/kapita/tahun pada tahun
konsumsi
rata-rata
Indonesia
sebesar
10,47
2009. Dari jumlah tersebut konsumsi susu cair
masyarakat Indonesia masih sangat kecil yaitu sekitar 18%, jauh lebih kecil dibandingkan dengan India (98%), Thailand (88%) dan China (76,5%). Salah satu program yang dapat dilakukan pemerintah untuk meningkatkan konsumsi susu
3 sekaligus menciptakan generasi yang lebih sehat dan lebih cerdas, yaitu melalui program school milk yang menjadi kebijakan pemerintah pusat bagi murid-murid TK dan SD. Program school milk sudah dilakukan di Amerika Serikat dengan nama National School Lunch Program, Canada dengan nama Elementary School Milk Program (ESMP). Program-program tersebut menyediakan susu segar bagi anak-anak sekolah. Negara-negara lain, yang juga mengaplikasikan School Milk Program adalah Austria, Inggris, Jepang, Korea, Thailand, China, Vietnam, India, Pakistan, Eslandia, Balarusia, Chili, dan beberapa negara di Afrika. Di Indonesia program school milk, memang telah dilaksanakan di beberapa daerah. Pemerintah Daerah Sukabumi, mencanangkan Program Gerimis Bagus (Gerakan Minum Susu bagi Anak Usia Sekolah), untuk meningkatkan konsumsi susu segar di kalangan murid SD, dengan dana dari APBD.
Pemerintah daerah lainnya, seperti
Kabupaten Sinjai Sulawesi Selatan dan Semarang, Jawa Tengah juga telah merintis program school milk. (Balitbangdagda, 2010). Delgado et al. (1999) memprediksi bahwa pada tahun 2020 rataan konsumsi susu per kapita per tahun di Asia Tenggara sebesar 16 kg, dengan demikian, tersedia potensi pasar yang besar di Indonesia apabila dikaitkan dengan hasil proyeksi menunjukkan bahwa jumlah penduduk Indonesia selama lima belas tahun mendatang terus meningkat yaitu dari 233,5 juta pada tahun 2010 menjadi 273,2 juta pada tahun 2025 serta kecenderungan peningkatan konsumsi per kapita di masa mendatang (BPS 2009). Potensi pasar yang besar ini tentunya memberi peluang yang menarik bagi agroindustri susu domestik maupun luar negeri untuk memperbesar pangsa pasarnya. Gagasan mengenai penciptaan pengetahuan ini merupakan hal baru, masih terbatas penelitian mengenai bagaimana organisasi menciptakan dan memproses pengetahuan sehingga menjadi sumber inovasi yang sangat penting. Dengan pertimbangan tersebut, maka penelitian mengenai penciptaan pengetahuan ini dilakukan pada agroindustri yang mempunyai karakteristik bersaing melalui inovasi. Agroindustri susu dipilih sebagai obyek studi karena rentannya agroindustri ini dalam menghadapi persaingan global yang makin ketat, sehingga perlu segera diupayakan peningkatan kemampuan inovasinya sehingga mampu meningkatkan keunggulan bersaingnya. Berdasarkan penelitian terdahulu, titik
4 terlemah dari agroindustri susu di Indonesia adalah industri bahan bakunya, maka penelitian ini difokuskan pada koperasi susu sebagai pemasok bahan baku susu bagi Industri Pengolahan Susu (IPS). 1.2 Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan mengembangkan model penciptaan pengetahuan dan menganalisis struktur model penciptaan pengetahuan pada Koperasi Susu di Indonesia. Pengembangan model penciptaan pengetahuan tersebut, diawali dengan menganalisis model kontribusi aset pengetahuan terhadap proses konversi pengetahuan pada Koperasi Susu di Indonesia. Pada tahap akhir setelah dihasilkan model penciptaan pengetahuan pada Koperasi Susu, kemudian dikembangkan Sistem Pakar Knowledge Management Scorecard (KM-Scorecard) untuk mendorong terjadinya inovasi pada Koperasi Susu di Indonesia. 1.3 Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat berkontribusi: 1)
Aspek Teoritis, hasil penelitian ini akan memperkaya khasanah kajian Manajemen Pengetahuan, khususnya tentang pemodelan proses penciptaan pengetahuan dalam upaya mendukung proses inovasi.
2)
Aspek Metodologi, penelitian pada ranah Manajemen Pengetahuan khususnya penerapan Sistem Pakar pada desain pengukuran kinerja Manajemen Pengetahuan dengan perspektif Balanced Scorecard masih sangat terbatas di Indonesia, sehingga hasil penelitian ini diharapkan memperluas pemanfaatan Sistem Pakar dalam desain Knowledge Management Scorecard.
3)
Aspek Praktis, memberikan kontribusi pada praktisi Koperasi Susu di Indonesia dalam upaya meningkatkan kinerja organisasi, terutama untuk
meningkatkan
kinerja
inovasi
dalam
rangka
mencapai
keunggulan bersaing. 4)
Referensi bagi peneliti berikutnya terutama untuk pengembangan konsep penciptaan pengetahuan dalam strategi organisasi.
5 1.4 Ruang Lingkup Ruang lingkup penelitian ini adalah: 1) Manajemen koperasi yang dimaksud adalah manajemen bisnis yang dilakukan koperasi. Manajemen kelembagaan koperasi tidak termasuk dalam ruang lingkup kajian. 2) Skala usaha adalah Koperasi Persusuan yang merupakan koperasi primer. 3) Unit analisis adalah individu responden yang berasal dari peternak dan pengurus koperasi yang menjadi peternak. 4) Data yang diambil merupakan data cross sectional.
1.5 Deskripsi Kebaruan (Novelty) Penelitian ini memiliki signifikansi untuk dilakukan karena terdapat kebaruan yang ditawarkan, yaitu mengkonfirmasi peran penting pengetahuan sebagai landasan kinerja inovasi Koperasi Susu di Indonesia yang dalam jangka panjang menjadi sumber keunggulan bersaingnya. Dibandingkan dengan penelitian-penelitian sebelumnya dapat diidentifikasi perbedaannya terutama terkait dengan pendekatan yang digunakan, obyek yang diteliti dan tipe data yang dikumpulkan. Penelitian ini mengadopsi model yang dikemukakan Nonaka dan Takeuchi (1995) tentang proses penciptaan pengetahuan perusahaan yang dinamakan model SECI (socialization, externalization, combination dan internalization). Model SECI tersebut dihasilkan dari penelitian dengan paradigma penelitian mendalam (naturalistic inquiry), sedangkan penelitian ini.
Nonaka dan Takeuchi telah
melakukan penelitian sejumlah perusahaan dengan cara yang intensif atau mendalam. Data yang dikumpulkan merupakan data kualitatif dan bersifat longitudinal. Di sisi lain, data yang dikumpulkan dalam penelitian ini merupakan data skala ordinal dan bersifat cross sectional, yaitu sekali pengambilan data karena keterbatasan dana dan waktu pelaksanaan penelitian. Penelitian ini berbeda dengan yang dilakukan Susatyo-Munir (2004) tentang “Model Kreasi Pengetahuan di Perusahaan: Kajian pada Perusahaan Kosmetik Modern
di
Indonesia”.
Penelitian
Susatyo-Munir
(2004)
dimaksudkan
6 mengkonfirmasi teori dan model yang dikembangkan Soo et al. (2002b). Selain itu, terdapat perbedaan karakteristik obyek penelitian. Obyek penelitian SusatyoMunir (2004) merupakan perusahaan-perusahaan yang bergerak dalam industri kosmetik yang tergolong industri produk hilir dan sebagian merupakan perusahaan multinasional, sedangkan obyek penelitian ini adalah koperasi susu yang tergolong industri bahan baku dan kepemilikan sepenuhnya oleh anggota koperasi. Kebaruan yang dihasilkan dari penelitian ini adalah: 1) Desain model penciptaan pengetahuan (knowledge creation) yang dikenal sebagai model konversi pengetahuan/ model SECI (Nonaka & Takeuchi 1995) yang diintegrasikan dengan konsep aset pengetahuan (Nonaka et al. 2000) dan model penciptaan pengetahuan organisasi (Soo et al. 2002). 2) Pemodelan Sistem Pakar
Knowledge Management Scorecard (KM-
Scorecard) untuk Koperasi Susu di Indonesia dengan pendekatan Balanced Scorecard (Kaplan 2004).
7
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Pengetahuan Pemahaman proses penciptaan pengetahuan di perusahaan memerlukan telaahan kepustakaan mengenai pengertian pengetahuan. Untuk kepentingan penelitian ini, konsep pengetahuan itu sendiri disusun dalam tiga bagian. Pertama, pemahaman pengetahuan secara epistemologi, yaitu penelusuran pemikiran yang dilakukan para filsuf untuk memahami makna mengetahui sesuatu (to know something). Melalui penelusuran pemikiran para filsuf tersebut diharapkan akan diperoleh pemahaman mengenai yang mengetahui (the one who knows) dan yang diketahui (the object known) serta hubungan keduanya.
Kedua, diperlukan
pemahaman tentang perbedaan mendasar antara data, informasi dan pengetahuan berdasarkan cara memperoleh, menyimpan, menyebarkan dan menciptakannya. Ketiga, diperlukan pemahaman mengenai jenis-jenis pengetahuan dan komponenkomponennya. Menurut Nonaka dan Takeuchi (1995) hal penting yang juga relevan untuk memahami proses penciptaan pengetahuan pada epistemologi adalah pemahaman mengenai hubungan antara yang mengetahui (the one who knows) dan yang diketahui (the object known). Para filsuf Barat pada umumnya berpendapat bahwa pengetahuan adalah justified true belief, sebuah konsep yang pertama kali disampaikan oleh Plato. Hal ini memberikan pengertian bahwa pengetahuan adalah kebenaran sesuai dengan faktanya dan sesuai dengan alasannya. Definisi pengetahuan ini dianggap masih jauh dari sempurna sehingga mendorong para filsuf Barat untuk mencari metode yang bisa membantu mereka mendefinisikan pengetahuan tanpa ada keraguan. Penelusuran para filsuf kemudian beralih dan difokuskan pada sumber dan cara memperoleh pengetahuan itu sendiri. Hal ini menyebabkan para filsuf terbagi atas penganut aliran rasionalisme dan aliran empirisme (Nonaka & Takeuchi 1995). Dijelaskan lebih lanjut, para filsuf penganut rasionalisme percaya bahwa pengetahuan sejati (true knowledge) bukan merupakan hasil dari pengalaman indera manusia, tetapi merupakan proses mental yang ideal. Menurut aliran ini, terdapat pengetahuan a priori yaitu pengetahuan yang sudah ada sebelumnya yang tidak memerlukan pembenaran oleh pengalaman indera manusia. Pengetahuan
8 sejati diperoleh secara deduksi dari penalaran rasional. Matematika merupakan contoh klasik pendapat ini. Di sisi lain, para filsuf penganut empirisme percaya bahwa pengetahuan a priori tidak ada dan satu-satunya sumber pengetahuan adalah pengalaman indera manusia. Selanjutnya Immanuel Kant, seorang filsuf Jerman yang hidup pada abad ke delapan belas, berusaha melakukan sintesis pendapat kedua aliran filsafat tersebut. Kant setuju bahwa dasar pengetahuan adalah pengalaman, tetapi tidak setuju dengan filsuf aliran empirisme yang mengatakan bahwa pengalaman merupakan satu-satunya sumber pengetahuan. Kant berpendapat bahwa pengetahuan dapat muncul hanya bila pemikiran logis para rasionalis dan pengalaman indera para empirisme bekerja bersama (Nonaka & Takeuchi 1995). Berdasarkan uraian di atas, Nonaka dan Takeuchi (1995) berpendapat bahwa seorang individu meyakini kebenaran mengenai apa yang dipercayainya berdasarkan observasinya mengenai dunia atau hal-hal yang berada di luar pemikiran individu tersebut. Observasi individu tersebut dipengaruhi oleh sudut pandang unik individu tersebut, kesanggupan untuk merasakan serta pengalamanpengalaman
pribadi.
Agar
seorang
individu
dapat
terus
membangun
pengetahuannya, maka ia tidak dapat hanya melakukan proses mental mengandalkan pengetahuan-pengetahuan yang telah dimilikinya, melainkan individu tersebut melakukan interaksi dengan dunia luar untuk memperoleh pengalaman-pengalaman indera. Pemahaman pengetahuan dari sudut pandang para filsuf di atas memerlukan suatu konsep yang lebih operasional bagi penelitian ini. Oleh karena itu, penting dikemukakan pandangan pengertian pengetahuan dibedakan dari informasi dan data. Menurut Davenport dan Prusak 1998, data bersifat diskrit, yaitu fakta-fakta objektif mengenai kejadian atau obyek-obyek tertentu. Data sendiri tidak memiliki relevansi dan maksud. Data merupakan bahan baku menjadi informasi. Tiwana (2000) menggambarkan bahwa informasi adalah data yang telah memiliki nilai (Value) karena mengalami kontekstualisasi (kategorisasi, kalkulasi, koreksi atau kondensasi). Informasi akan menjadi pengetahuan setelah melalu proses pengayaan (enrichment) dan transformasi dengan cara komparasi, konsekuensi, koneksi
9 ataupun perckapan (Davenpot & Prusak 1998). Dapat dikatakan bahwa pengetahuan diperoleh dari sekumpulan informasi yang saling terhubungkan (terstruktur secara sistematik sehingga memiliki makna. Pemahaman mengenai pengetahuan itu sendiri sangat diperlukan karena secara akademis terdapat berbagai pengertian pengetahuan dalam konteks sumber daya (resources), kompetensi dan kemampuan (capability), yaitu: 1. Pengertian pengetahuan dalam konteks teori aset tanwujud (intangible asset), dinyatakan bahwa sumber daya informasi adalah aset tanwujud yang sangat berharga bagi perusahaan (Itami & Roehl 1987). 2. Pengertian pengetahuan dalam konteks teori sumber daya sebagai basis keunggulan bersaing yang dikemukakan Wernerfelt (1984) dan Barney (1991) yang
diacu
Priem
(2001).
Wernerfelt
yang
diacu
(Priem
2001)
mengemukakan, bahwa keunggulan bersaing perusahaan berasal dari sumber daya yang dimilikinya, bukan dari produk-produknya. Lebih lanjut Barney yang diacu (Priem 2001) menjelaskan bahwa sumber daya yang paling strategik adalah sumber daya yang langka, berharga, sulit ditiru serta sulit digantikan. Salah satu teori dalam kelompok teori sumber daya sebagai basis keunggulan bersaing adalah teori kompetensi inti (core competence). Hamel dan Prahalad (1994) mendefinisikan kompetensi inti sebagai seperangkat keterampilan dan teknologi yang terintegrasi, yang merupakan akumulasi hasil pembelajaran individu-individu di organisasi. Kompetensi inti ini terdiri atas pengetahuan tacit dan eksplisit. 3. Pengertian pengetahuan dalam konteks teori dynamic capabilities adalah kemampuan perusahaan untuk membangun keunggulan bersaing baru melalui upaya terus-menerus memperbaharui keterampilan-keterampilan dan sumber daya perusahaan agar dapat terus beradaptasi dengan perubahan-perubahan (Teece et al. 1997). 4. Pengertian pengetahuan dalam konteks teori pengetahuan sebagai basis keunggulan bersaing didasari pemikiran bahwa pengetahuan merupakan sumber daya strategik yang dimiliki oleh perusahaan. Pengetahuan berbeda dengan sumber daya lain yang dimiliki oleh perusahaan, karena dengan pengetahuan perusahaan dapat memperoleh pengetahuan lain/baru dan 9
10 mengkombinasikan
sumberdaya-sumberdaya
lain
untuk
menghasilkan
kemampuan baru (Kaplan et al. 2001). 2.2 Pengetahuan dan Kompetensi Di atas sudah dijelaskan makna hubungan antara informasi dengan pengetahuan, di mana informasi merupakan bahan baku untuk membangun pengetahuan.
Selanjutnya
akan
dibahas
makna
pengetahuan
ke
arah
penggunaannya, khusunya dalam dunia kerja, yaitu memahami hubungan antara pengetahuan dengan kompetensi kerja. Sveiby (1997) menyatakan bahwa memahami kompetensi kerja merupakan suatu cara untuk memahami pengetahuan dan hubungannya dengan dunia kerja. Kompetensi didefinisikan sebagai aspek penting dan menentukan kinerja karyawan. Sebagian besar karyawan akan menghasilkan kinerja efektif jika mereka memiliki pengetahuan, keterampilan dan perilaku yang cukup baik dan dapat
diaplikasikan
secara
bersamaan.
Spencer
dan
Spencer
(1993)
mendefinisikan kompetensi sebagai karakter, sikap dan perilaku atau kemampuan individual yang relatif stabil ketika menghadapi suatu situasi di tempat kerja. Lebih lanjut dijelaskan bahwa kompetensi seseorang terbentuk dari lima unsur, yaitu motif, karakter, konsep diri, pengetahuan dan keterampilan. Kompetensi itu sendiri dikelompokkan menjadi dua, yaitu kompetensi teknikal dan kompetensi perilaku. 2.3 Pengetahuan dan Keunggulan Bersaing Dua teori manajemen strategik yang memberikan sumbangan berarti pada pengembangan pemikiran pengetahuan sebagai sumber keunggulan bersaing, yaitu: (1) teori sumberdaya sebagai basis keunggulan bersaing dari Barney (1991) dan Wernerfelt (1984) yang diacu (Priem, 2001) serta (2) teori kompetensi inti sebagai basis keunggulan bersaing dari Hamel dan Prahalad (1994). Kedua teori tersebut secara bersama-sama telah berjasa mengkristalkan gagasan mengenai pengetahuan sebagai sumber keunggulan bersaing.
.
11 Merujuk pada pandangan sumberdaya sebagai basis keunggulan bersaing, para penggagas pandangan pengetahuan sebagai basis keunggulan bersaing mengawali uraiannya atas dasar pemikiran bahwa pengetahuan merupakan sumberdaya yang paling strategik yang dimiliki oleh perusahaan (Kaplan et al., 2001). Dikemukakan pula bahwa pengetahuan tidak dapat diamati dan diukur secara langsung. Oleh sebab itu pengetahuan menjadi suatu konstruk yang keberadaannya dapat disimpulkan melalui kemampuan-kemampuan perusahaan di mana kemampuan ini dapat diamati. Dengan mendefinisikan pengetahuan sebagai kapasitas untuk bertindak, maka Kaplan et al. (2001) menyatakan bahwa: (1) pengetahuan
bersama-sama
dengan
sumberdaya
memberi
perusahaan
kemampuan; (2) adanya kemampuan merupakan prasyarat bagi tindakan potensial apapun; (3) pengamatan atas tindakan-tindakan yang dilakukan oleh perusahaan menunjukkan adanya kemampuan dan (4) adanya kemampuan menunjukkan adanya pengetahuan (walaupun pengetahuan itu sendiri tidak dapat diamati secara langsung). Setelah memahami keunggulan bersaing berbasis pengetahuan, pada sub bab selanjutnya diuraikan perkembangan perspektif manajemen pengetahuan. Hal ini bertujuan memberikan latar belakang konsep dan teori yang mendukung pemahaman tentang manajemen pengetahuan. 2.4 Manajemen Pengetahuan Sampai beberapa waktu yang lalu, secara umum organisasi belum cukup memberi perhatian terhadap pengetahuan sebagai aset atau sumberdaya yang harus dikelola. Kajian Manajemen Pengetahuan (Knowledge Management) telah mengubah kondisi tersebut dengan mendorong terciptanya seperangkat nilai baru dalam pengelolaan pengetahuan organisasi secara strategis. Manajemen Pengetahuan memberikan perspektif baru dari hanya mengendalikan sumber pengetahuan menjadi mengelola proses penciptaan pengetahuan melalui orang yang mengaplikasikan pengetahuannya dan menciptakan jaringan pengetahuan secara internal dan eksternal. Manajemen Pengetahuan mulai dikenal secara luas sekitar tahun 1990-an, namun konsep yang berkaitan dengan pengetahuan sebenarnya dapat ditelusuri sejak sekitar tahun 1960-an ketika mayoritas perusahaan telah memantapkan 11
12 keberadaan Divisi Riset dan Pengembangan untuk mengekplorasi dan investigasi ide-ide baru dan mengembangkan prototipe produk-produk baru (Paucar-Caceres & Pagano 2009). Perkembangan Manajemen Pengetahuan dapat dikelompokkan berdasarkan isu-isu penting yang disampaikan ilmuwan dalam rentang waktu tertentu (Tabel 1). Tabel 1 Perkembangan Manajemen Pengetahuan Rentang Tahun Sebelum 1986
Pendapat Penting Arti Penting Manajemen Pengetahuan 1. Pengetahuan berbeda dari informasi maupun data, hal ini sebagai dasar untuk mendukung keputusan manajemen. Adalah penting untuk memahami teknik untuk mengumpulkan informasi, namun yang lebih penting adalah mengetahui dengan pasti informasi yang dibutuhkan (Martin 1983). 2. Teknik Manajemen Pengetahuan, seperti Sistem Pakar dan Sistem berbasis Pengetahuan, perlu diintegrasikan dengan aplikasi lain dalam organisasi, seperti sistem pengambilan keputusan dan perencanaan (Donals 1985).
1986-1990 Manajemen Pengetahuan dalam Perspektif Teknologi 1. Perusahaan diklasifikasikan berdasarkan peran teknologi dalam pengambilan keputusan perusahaan. Perusahaan dikatakan grade tinggi jika memiliki teknologi pengetahuan dan mengakomodasi manajemen pengetahuan dalam strategi dan perencanaannya (Alain 1988). 2. Manajemen Pengetahuan diwujudkan dengan teknologi, antara lain basis data, katalog khusus dan e-mail (Cronin & Davenport 1990). 3. Teknologi Manajemen Pengetahuan mempengaruhi cara pengetahuan perusahaan digunakan, menghasilkan peningkatan kepuasan konsumen, penggunaan waktu yang lebih baik dan pengkayaan pekerjaan (Cronin & Davenport 1990). 4. Pada akhir tahuan 90-an, para ahli mulai mengemukakan kesulitan perusahaan untuk mengintegrasikan perangkat teknologi yang dimilikinya dengan aplikasi lain (Strapko 1990).
13 Lanjutan Tabel 1 Rentang Tahun 1991-1995
1996 – 1999
Pendapat Penting Integrasi Manajemen Pengetahuan, Teknologi dan Budaya 1. Dengan kemampuan organisasi memproduksi format data yang berbeda, seperti bitmap, ikon, teks, video untuk melengkapi alfanumerik, kebutuhan sistem manajemen pengetahuan makin meningkat untuk membedakan dengan format data dan informasi (Stonebraker & Kemnitz 1991). 2. Teknologi Manajemen Pengetahuan, sistem manajemen basis data dan teknologi komunikasi telah terintegrasi dengan berbagai model untuk tujuan yang berbeda (Ram et al. 1992). 3. Manajemen pengetahuan merupakan proses yang terusmenerus harus dilakukan oleh perusahaan, sehingga proses tersebut akan menjadi suatu budaya organisasi yang akan membentuk organisasi berbasis pengetahuan (Nonaka & Takeuchi 1995). Manajemen Pengetahuan dalam Perspektif Sosial Ekonomi 1. Aset intelektual diberi penghargaan yang makin luas dalam strategi Manajemen Pengetahuan, karena penghargaan yang luas terhadap aset intelektual merupakan kunci kesuksesan (Lioyd 1996; Mullin 1996). 2. Kemajuan teknologi informasi dan komunikasi membawa konsekuensi penting yang mendorong semakin dibutuhkannya Manajemen Pengetahuan bagi setiap organisasi bisnis untuk mempertahankan keunggulan bersaingnya. Perusahaan hendaknya mengelola informasi dalam tiga arena, yaitu sense making, knowledge creating dan decision making (Choo 1998). 3. Pada era ekonomi global, pengetahuan merupakan sumber keunggulan berkelanjutan. Kapital/aset intelektual berperan penting untuk mengkonversi pengetahuan menjadi profit (Davenport & Prusak 1998). 4. Pengetahuan sebagai sistem sosial dan merupakan intangible assets (Tuomi 1999).
13
14 Lanjutan Tabel 1 Rentang Tahun
Pendapat Penting
2000 - 2008
Manajemen Pengetahuan dalam Konteks Strategi Organisasi 1. Manajamen Pengetahuan dapat dipandang sebagai proses penciptaan keunggulan bersaing berkelanjutan melalui inovasi (Meso & Smith 2000). 2. Keberhasilan implementasi Manajemen Pengetahuan sangat dipengaruhi proses organisasi dan faktor manusia yang mencapai 80 persen, sedangkan faktor teknologi hanya 20 persen (Probst et al. 2000). 3. Pengukuran kinerja manajemen pengetahuan dapat dilakukan dengan dua pendekatan, yaitu dengan kerangka kerja kinerja berbasis pendekatan balanced scorecard dan kerangka kerja perilaku yang mengidentifikasi level praktek individual (Gooijer 2000). 4. Ruang lingkup Manajemen Pengetahuan adalah proses mengumpulkan dan menyimpan pengetahuan individu menjadi pengetahuan organisasi dan memanfaatkannya untuk mencapai tujuan organisasi. (Weber & Kaplan 2003). 5. Strategi generik yang digunakan dalam strategi manajemen pengetahuan untuk meningkatkan kinerja organisasi, yaitu: strategi penciptaan pengetahuan (knowledge creation strategy) dan strategi kodifikasi (knowledge codification strategy). Strategi penciptaan pengetahuan fokus pada penyebaran pengetahuan tacit untuk menghasilkan inovasi, sedangkan strategi kodifikasi pengetahuan melibatkan pengetahuan yang dapat disimpan dalam basis data sehingga dapat diakses dan digunakan dengan mudah oleh siapa saja dalam organisasi. Penggunaan strategi ini menjadikan pengetahuan dapat disimpan dan digunakan kembali (AlHawari 2004). 6. Penciptaan pengetahuan adalah inti dari Manajemen Pengetahuan. Pengetahuan diciptakan melalui interaksi yang dinamis antara subyektifitas dan obyektivitas, serta merupakan sintesis pemikiran dan aksi individual yang saling berinteraksi dalam lingkup organisasi (Nonaka & Toyama 2005). 7. Terdapat hubungan yang signifikan antara tacit knowledge index suatu perusahaan dan kinerja inovasinya (Harlow 2008).
15 Arti penting Manajemen Pengetahuan ini semakin besar ketika lingkungan industri semakin dinamis, persaingan global semakin meningkat, perubahan teknologi dan teknologi informasi semakin cepat, serta tuntutan masyarakat yang semakin beragam dan cepat berubah. Secara garis besar dapat diungkapkan bahwa Manajemen menciptakan
pengetahuan
adalah
pengetahuan
usaha
baru,
mengumpulkan,
menyebarkannya
ke
mengorganisasi, organisasi
dan
memanfaatkan pengetahuan tersebut dalam teknologi baru, produk baru dan manajemen baru. Hal ini akan mendukung pencapaian kinerja organisasi sehingga memiliki keunggulan bersaing. Choo (1998) mengungkapkan bahwa dalam kerangka Manajemen Pengetahuan, suatu organisasi bisnis hendaknya mengelola informasi dalam tiga arena, yaitu sense making, knowledge creating dan decision making. Sense making (pemaknaan) berkaitan dengan bagaimana organisasi menafsirkan informasi dalam rangka mengkonstruksi makna tentang apa yang terjadi dalam dan apa yang sedang dilakukan oleh organisasi. Knowledge creating (penciptaan pengetahuan) berkenaan
dengan
bagaimana
organisasi
mengembangkan
pengetahuan,
sedangkan decision making (pengambilan keputusan) merupakan aktivitas tentang bagaimana organisasi memproses dan menganalisis informasi guna memilih tindakan yang tepat. Dikemukakan lebih lanjut bahwa proses penciptaan pengetahuan merupakan inti Manajemen Pengetahuan yang mampu mendukung pencapaian kinerja organisasi sehingga memiliki keunggulan bersaing. Selanjutnya akan diuraikan mengenai konsep knowledge creation (penciptaan pengetahuan). 2.5 Konsep Penciptaan Pengetahuan Krogh et al. (2000) mengemukakan gagasan yang mendasari pengertian mengenai pengetahuan, yaitu: Pertama, pengetahuan merupakan kebenaran atas kepercayaan. Dalam definisi ini, pengetahuan merupakan konstruksi dari kenyataan, dibandingkan sesuatu yang benar secara abstrak. Penciptaan pengetahuan tidak hanya merupakan kompilasi dari fakta-fakta, namun suatu proses yang unik pada manusia yang sulit disederhanakan atau ditiru. Penciptaan pengetahuan melibatkan perasaan dan 15
16 sistem kepercayaan (belief systems) di mana perasaan atau sistem kepercayaan itu bisa tidak disadari. Kedua, pengetahuan merupakan sesuatu yang eksplisit sekaligus tacit. Beberapa pengetahuan dapat ditulis, dideskripsikan dalam bentuk kalimat-kalimat atau diekspresikan dalam bentuk gambar. Namun ada pula pengetahuan yang terkait erat dengan perasaan, ketrampilan dan bentuk bahasa tubuh, persepsi pribadi, pengalaman fisik, petunjuk-praktis (rule of thumb) dan intuisi. Pengetahuan tacit ini sulit sekali dijelaskan kepada orang lain. Walaupun gagasan mengenai pengetahuan tacit secara intuitif masuk akal bagi banyak orang, para manajer pendapat kesulitan dalam memahaminya di tingkat praktis. Mengenali nilai dari pengetahuan tacit dan memahami bagaimana menggunakannya merupakan tantangan utama perusahaan yang ingin terus menciptakan pengetahuan. Pengetahuan tacit nampak terlalu misterius untuk dapat digunakan dalam situasi bisnis, namun kualitas yang spesifik pada suatu konteks menjadikan pengetahuan tacit merupakan alat yang luar biasa untuk inovasi. Ketiga, penciptaan pengetahuan secara efektif bergantung pada konteks yang memungkinkan terjadinya penciptaan tersebut. Yang dimaksudkan dengan konteks yang memungkinkan terjadinya penciptaan pengetahuan adalah ruang bersama yang dapat memicu hubungan-hubungan yang muncul. Dalam konteks organisasional, dapat berupa fisik, maya, mental atau ketiganya. Definisi konteks ini berkaitan erat dengan dua hal yang telah disampaikan sebelumnya, yaitu pengetahuan bersifat dinamis, relasional dan berdasarkan tindakan manusia. Pengetahuan bergantung pada situasi dan keterlibatan orang, dibanding kebenaran absolut atau fakta belaka. 2.5.1 Konversi Pengetahuan Nonaka-Takeuchi: Model SECI Nonaka dan Takeuchi (1995) mendasarkan modelnya pada interaksi dinamis antara dua jenis pengetahuan, yaitu pengetahuan eksplisit (explicit knowledge) dan pengetahuan tacit (tacit knowledge). Pengetahuan eksplisit dapat diekspresikan dalam kata-kata dan angka, oleh sebab itu dapat disebarkan dalam berbagai bentuk data, formula ilmiah, spesifikasi produk, manual dan sejenisnya. Pengetahuan jenis ini dapat segara ditularkan dari satu individu ke individu lain secara formal dan sistematis. Di sisi lain, pengetahuan tacit bersifat sangat pribadi
17 dan sulit diformalkan, sehingga sulit pula untuk dikomunikasikan dari satu pihak ke pihak lain. Pengetahuan tacit ini sulit diverbalkan karena berakar jauh di dalam tindakan dan pengalaman seseorang, seperti dalam idealisme, nilai-nilai dan emosi (Berman et al. 2002). Pengetahuan eksplisit dan pengetahuan tacit bersifat saling melengkapi atau komplementer, juga
berperan sangat penting dalam proses penciptaan
pengetahuan ( Krogh et al. 2000). Kedua jenis pengetahuan ini berinteraksi satu sama lain dan berubah dari satu jenis ke jenis lainnya secara dinamis (Boland et al. 2001). Interaksi dinamis antara satu bentuk pengetahuan ke bentuk lainnya disebut konversi pengetahuan. Nonaka dan Takeuchi (1995) mengemukakan bahwa konversi pengetahuan merupakan proses sosial antar individu dan tidak dibatasi dengan proses yang terjadi di dalam individu saja. Dengan memahami hubungan timbal balik antara pengetahuan eksplisit dan pengetahuan tacit, dapat dipahami proses penciptaan pengetahuan. Lebih lanjut dikemukakan bahwa terdapat empat cara konversi pengetahuan, yaitu sosialisasi (socialization), eksternalisasi (externalization), kombinasi (combination) dan internalisasi (internalization). Keempat cara konversi pengetahuan ini sering disebut sebagai siklus SECI yang diuraikan sebagai berikut: 1. Sosialisasi merupakan istilah yang digunakan untuk menekankan pentingnya kegiatan bersama antara sumber pengetahuan dan penerima pengetahuan dalam proses konversi pengetahuan tacit. Karena pengetahuan tacit dipengaruhi oleh konteksnya dan sulit sekali diformalkan, maka untuk menyebarkan pengetahuan tacit dari satu individu ke individu lain dibutuhkan pengalaman yang terbentuk melalui kegiatan-kegiatan bersama, seperti berada bersama di satu tempat, menghabiskan waktu bersama atau hidup dalam lingkungan yang sama. 2. Eksternalisasi merujuk pada konversi pengetahuan tacit ke pengetahuan eksplisit. Melalui cara ini pengetahuan menjadi terkristalkan sehingga dapat didistribusikan ke pihak lain dan menjadi basis bagi pengetahuan baru. Dalam proses eksternalisasi, pengetahuan tacit diekspresikan dan diterjemahkan menjadi metafora, konsep, hipotesis, diagram, model atau prototipe sehingga 17
18 dapat dipahami oleh pihak lain. Walaupun demikian, seringkali ekspresi atau penerjemahan yang dilakukan kurang sesuai, tidak konsisten dan tidak lengkap. Perbedaan dan kesenjangan antara yang dibayangkan dengan yang diekspresikan tersebut justru akan dapat membantu merangsang individuindividu untuk saling berinteraksi dan merefleksikan antara pemahamannya dengan yang sebenarnya dimaksud pihak lain. 3. Kombinasi merujuk pada konversi pengetahuan eksplisit ke pengetahuan eksplisit. Dengan cara ini, pengetahuan dipertukarkan dan dikombinasikan melalui media seperti dokumen-dokumen, rapat-rapat, percakapan telepon dan komunikasi melalui jaringan komputer. Dalam prakteknya, kombinasi bergantung pada tiga proses, yaitu: (1) pengetahuan eksplisit dikumpulkan dari dalam dan dari luar perusahaan, kemudian dikombinasikan, (2) pengetahuan-pengetahuan eksplisit tersebut disebarkan keseluruh perusahaan melalui berbagai media, dan (3) pengetahuan eksplisit diproses atau diedit agar dapat lebih bermanfaat bagi perusahaan. 4. Internalisasi
merujuk
pada konversi pengetahuan eksplisit
menjadi
pengetahuan tacit. Cara ini mirip sekali dengan kegiatan yang disebut pembelajaran sambil melakukan atau learning by doing. Melalui internalisasi, pengetahuan yang sudah tercipta didistribusikan ke seluruh perusahaan. Internalisasi pengetahuan dimaksudkan untuk memperluas, memperdalam serta mengubah pengetahuan tacit yang dimiliki oleh setiap anggota perusahaan menjadi pengetahuan yang dimiliki perusahaan. Menurut Nonaka dan Takeuchi (1995) pengetahuan eksplisit yang berhasil diinternalisasikan ke dalam pengetahuan tacit para individu dalam bentuk shared mental model maka pengetahuan ini akan menjadi aset yang sangat berharga bagi perusahaan. Di tingkat individu, pengetahuan tacit yang terakumulasi ini selanjutnya ditularkan ke individu lain melalui sosialisasi, sehingga spiral proses penciptaan pengetahuan pun terus berputar. Model SECI ini mendasarkan pada interaksi dinamis antara dua jenis pengetahuan, yaitu pengetahuan eksplisit (explicit knowledge) dan pengetahuan tacit (tacit knowledge). Spiral proses penciptaan pengetahuan pun terus berputar diilustrasikan pada Gambar 1.
19 Tacit
Tacit
T a c i t
Sosialisasi
Eksternalisasi
T a c i t
Internalisasi
Kombinasi
Eksplisit
E k s p l i s i t
E k s p l i s i t
Eksplisit
Gambar 1 Konversi Pengetahuan Model SECI (Nonaka & Takeuchi 1995) 2.5.2 Model Penciptaan Pengetahuan dengan Pendekatan Input-ProsesOutput Model SECI yang dikemukakan Nonaka dan Takeuchi telah menjadikan proses penciptaan pengetahuan lebih mudah dipahami dan menjadi titik tolak bagi penelitian-penelitian selanjutnya yang lebih mendetail. Salah satu pendekatan yang digunakan dalam penelitian proses penciptaan pengetahuan di perusahaan adalah pendekatan input-proses-output yang dikembangkan Soo et al. (2002a). Pengembangan dan pengujian model penciptaan pengetahuan yang dikemukakan Soo et al. (2002a) meliputi tiga aspek, yaitu: 1. Sumber pengetahuan sebagai input, merupakan bagian proses penciptaan pengetahuan yang meliputi proses perolehan pengetahuan dari sumber lingkungan eksternal dan internal perusahaan 2. Penggunaan pengetahuan sebagai proses, merupakan bagian penciptaan pengetahuan yang menggambarkan kegiatan penggunaan pengetahuan untuk memecahkan masalah dan mengambil keputusan 3. Hasil sebagai output merupakan bagian dari proses penciptaan pengetahuan dalam bentuk inovasi-inovasi.
19
20 Penciptaan pengetahuan sangat ditentukan oleh akses pada informasi dan pengetahuan-pengetahuan bermanfaat yang berada di luar perusahaan. Hanya memanfaatkan pengetahuan-pengetahuan yang sudah ada kini di perusahaan (eksploitasi), seberapa pun baiknya pengetahuan-pengetahuan tersebut, tidak akan cukup untuk memberikan keunggulan bersaing (Nonaka & Takeuchi 1995). Perusahaan
perlu
memperluas
batas-batas
pengetahuannya
dengan
cara
memperoleh pengetahuan-pengetahuan baru yang berada di luar perusahaan (eksplorasi). Penelitian terdahulu yang dilakukan Boland et al. (2001) menunjukkan bahwa semakin besar jumlah informasi dan pengetahuan yang mengalir ke dalam perusahaan, semakin besar pula jumlah pengetahuan-pengetahuan baru yang diciptakan. Esensi dari penelitian tersebut adalah dibutuhkannya banyak kegiatan eksplorasi
pengetahuan
yang
harus
dilakukan
perusahaan
agar
dapat
meningkatkan jumlah pengetahuan-pengetahuan yang diciptakan. Lebih lanjut dikemukakan oleh Swan et al. (1999) bahwa pengetahuan tacit dan pengetahuan eksplisit dapat diserap oleh perusahaan melalui jejaring inovasi yang terdiri atas jejaring formal dan informal. Jejaring tersebut terbentuk sebagai tanggapan atas kebutuhan perusahaan akan pengetahuan. Jejaring yang dimaksudkan oleh Swan et al. (1999) adalah proses komunikasi sosial yang merangsang terjadinya pertukaran pengetahuan di antara komunitasnya. Jejaring formal dan informal dalam kajian Soo et al. (2002a) dijelaskan sebagai berikut: 1) Kolaborasi formal merupakan jejaring formal yang merujuk pada hubunganhubungan antara dua atau lebih perusahaan, di mana hubungan-hubungan tersebut diatur oleh suatu perjanjian formal. Kolaborasi formal, antara lain kerjasama untuk mengembangkan suatu produk baru, memasarkan suatu produk baru atau melakukan proyek-proyek pengembangan lainnya. Kolaborasi formal ini dapat berbentuk, antara lain aliansi strategik, joint ventures, lisensi dan lain sebagainya. 2) Interaksi-interaksi informal merupakan jejaring informal yang merujuk pada hubungan antar orang yang tidak diatur oleh suatu perjanjian formal. Jejaring informal ini meliputi pertemuan-pertemuan informal yang berhubungan atau bisa juga tidak berhubungan dengan kegiatan perusahaan. Interaksi-interaksi
21 yang sering disebut sebagai jejaring sosial ini dapat terjadi di acara pertemuan sosial, konferensi, seminar, rapat di tempat kerja atau melalui media komunikasi elektronik. 2.6 Aset Pengetahuan dan Proses Penciptaan Pengetahuan Menyadari bahwa model SECI yang dikemukakan tersebut meskipun cukup komprehensif namun dinilai terlalu umum untuk dapat dibuat desain implementasinya, maka Nonaka melengkapinya dengan konsep aset pengetahuan. Menurut Nonaka et al. (2000), aset pengetahuan adalah basis bagi proses penciptaan pengetahuan karena aset pengetahuan merupakan input dan output proses penciptaan pengetahuan. Seperti input dan output dalam ekonomi neoklasik, aset pengetahuan sering kali bersifat tanwujud, tacit dan dinamis. Aset pengetahuan didefinisikan sebagai sumber daya spesifik yang dimiliki perusahaan yang esensial untuk menciptakan keunggulan bersaing bagi perusahaan tersebut. Dengan demikian, aset pengetahuan merupakan elemen kunci yang memfasilitasi proses penciptaan pengetahuan. Untuk lebih memahami bagaimana aset pengetahuan diciptakan, diakuisisi dan dieksploitasi, Nonaka et al. (2000) mengelompokkan pengetahuan yang dimiliki perusahaan menjadi empat tipe, yaitu eksperiensial, konseptual, sistemik dan rutin dengan penjelasan sebagai berikut: 1. Aset pengetahuan eksperiensial merupakan pengetahuan tacit yang dibangun melalui kebersamaan, pengalaman bersama dalam organisasi atau pengalaman bekerja sama di antara karyawan, pelanggan, pemasok atau organisasi afiliasi. Contohnya, keahlian dan keterampilan teknis yang diakuisisi dan diakumulasi individu anggota melalui pengalaman tertentu dalam konteks pekerjaan. Terdapat empat tipe aset pengetahuan eksperiensial, yaitu: (1) pengetahuan emosional (a.l. cinta, percaya dan peduli); (2) pengetahuan fisik (a.l. ekspresi wajah dan bahasa tubuh); (3) pengetahuan energetik (a.l. antusiasme, pemahaman tentang eksistensi dan ketegangan) dan (4) pengetahuan ritmik (a.l. improvisasi dan pengelanaan gagasan). 2. Aset
pengetahuan
konseptual
adalah
pengetahuan
eksplisit
yang
diartikulasikan melalui pencitraan, simbol dan bahasa. Aset ini didasarkan pada persepsi pelanggan dan karyawan. Contohnya: ekuitas merek merupakan 21
22 representasi persepsi pelanggan, konsep atau desain yang sesuai dengan anggota organisasi. Aset konseptual biasanya mempunyai bentuk tanwujud dan lebih mudah diartikulasikan dibanding aset eksperiensial, tetapi masih sulit dipahami apa yang dirasakan olah pelanggan atau anggota organisasi. 3. Aset pengetahuan sistemik adalah pengetahuan eksplisit yang tersistemisasi dan terkemas, seperti teknologi yang dirumuskan eksplisit, spesifikasi produk, manual atau informasi terdokumentasi tentang pelanggan dan pemasok. Termasuk juga proteksi hak intelektual secara legal, seperti lisensi atau paten. 4. Aset pengetahuan rutin adalah pengetahuan tacit yang sudah rutin menyatu dan menjadi aturan dalam kegiatan atau praktek organisasi. Keterampilan, kegiatan rutin dan budaya organisasi yang dilakukan sehari-hari merupakan contohnya. Melalui praktek berkesinambungan, pola pikir atau tindakan tertentu dikuatkan dan dilakukan bersama oleh anggota organisasi. Nonaka et al. (2000) juga mengemukakan kerangka berpikir untuk mengidentifikasi hubungan antara aset pengetahuan dan penciptaan pengetahuan. Namun demikian, model tersebut hanya memberikan gambaran yang sangat umum dan tidak memberikan petunjuk yang konkrit untuk desain implementasi dalam organisasi. Dalam rangka membuat penciptaan pengetahuan lebih layak implementasi dan efektif, menjadi sangat penting untuk mengidentifikasi alat analisis yang memungkinkan, konteks atau proses yang mungkin mempengaruhi SECI. 2.7 Proses Pemecahan Masalah dan Pengambilan Keputusan Kaplan et al. (2001) mengemukakan bahwa pengetahuan tidak dapat diamati dan diukur secara langsung, oleh sebab itu cara yang logis untuk mengetahui adanya pengetahuan adalah mengamati atau mengukur tindakantindakan yang dilakukan oleh individu atau perusahaan secara keseluruhan. Merujuk pada pendapat tersebut, Soo et al. (2002a) menggunakan proses pemecahan masalah dan pengambilan keputusan sebagai suatu proses yang diamati untuk mengidentifikasi adanya penciptaan pengetahuan. Seperti dikemukakan Nonaka dan Takeuchi (1995) penciptaan pengetahuan dilakukan terutama ketika individu-individu berhadapan dengan situasi yang tidak sesuai dengan seharusnya atau situasi dimana harus dilakukan sesuatu yang tidak biasa
23 (rutin). Selanjutnya Krogh et al. (2000) menyampaikan bahwa penciptaan pengetahuan di perusahaan bergantung pada pengelolaan percakapan antara individu-individu
dalam
perusahaan
yang
bertujuan
memecahkan
suatu
permasalahan. Bila percakapan atau interaksi antara individu hanya bertujuan untuk memastikan adanya pengetahuan maka yang terjadi adalah pengendalian terhadap kegiatan rutin. 2.8 Inovasi dan Proses Penciptaan Pengetahuan Proses penciptaan pengetahuan merupakan bagian yang penting dalam inovasi (Nonaka & Takeuchi 1995). Pembaharuan pengetahuan yang dimiliki perusahaan merupakan sumber inovasi. Swan et al. (1999) mengemukakan bahwa semakin tinggi aliran pengetahuan masuk ke dalam perusahaan, semakin besar pula output inovatif dari perusahaan tersebut. Oleh karena itu, Soo et al. (2000a) dalam modelnya menempatkan inovasi sebagai output dari proses penciptaan pengetahuan (Gambar 2). Pada model tersebut, pengujian hubungan antara output inovatif perusahaan dengan kinerja perusahaan merujuk pada penelitian Banbury dan Mitchel (1995) yang meyimpulkan bahwa inovasi produk secara inkremental mempengaruhi pangsa pasar perusahaan yang melakukannya. Di sisi lain, Chaney dan Devinney (1992) dan Geroski et al. (1993) menyatakan bahwa output inovatif mempengaruhi kinerja perusahaan dalam bentuk harga saham di pasar modal dan laba perusahaan.
23
24
Sumber pengetahuan organisasi Efek perusahaan Efek industri
Kapabilitas Pemecahan masalah
Akuisisi pengetahuan
Pengetahuan baru
Daya serap
Gambar 2 Model Penciptaan Pengetahuan dalam Perusahaan (Soo et al. 2002a)
Inovasi
Kinerja Finansial
25 2.9 Daya Serap Perusahaan Cohen dan Levinthal (1990) yang diacu Soo et al. (2002a) mendefinisikan daya serap perusahaan sebagai kemampuan perusahaan untuk menghargai nilai kebaruan
dari
informasi
eksternal
dan
mengasimilasikannya
serta
mengaplikasikan untuk tujuan-tujuan komersialnya. Dikemukakan pula bahwa perusahaan dengan investasi riset dan pengembangan yang besar mempunyai kemampuan untuk menyerap pengetahuan dan ketrampilan baru yang lebih tinggi. Beberapa penelitian menunjukkan adanya hubungan konsep daya serap perusahaan ini dengan peran akuisisi pengetahuan dan pembelajaran. Mowery et al. (1996) diacu Soo et al. (2002a) menghubungkan tingkat daya serap perusahaan dengan kemampuan mencari dan memanfaatkan pengetahuan baru. Penelitian lain yang dilakukan Pennings dan Harianto (1992) yang diacu Soo et al. (2002a), menghubungkan daya serap perusahaan dengan kemampuan perusahaan untuk belajar dan memanfaatkan pengetahuan baru. Dikemukakan bahwa perusahaan yang mengakumulasikan pengalaman sebelumnya pada bidang teknologi tertentu akan meningkatkan kemampuan untuk mengadopsi teknologi baru di bidang tersebut. Selengkapnya model penciptaan pengetahuan yang dikemukakan Soo et al. (2002a) disajikan pada Gambar 2. 2.10 Strategi dan Penciptaan Pengetahuan Meskipun telah menjadi aksioma dalam dunia bisnis bahwa pengetahuan merupakan sumber keunggulan kompetitif, tetapi tidak semua pengetahuan bernilai strategis. Oleh karena itu, menjadi sangat penting bagi penentu kebijakan untuk menggunakan kerangka pikir yang realistis untuk menilai peran pengetahuan dalam kaitannya dengan strategi perusahaan (Krogh et al. 2000). Secara umum, tujuan akhir mengkaitkan pengetahuan dengan semua aktivitas perusahaan adalah untuk memastikan bahwa profitabilitas perusahaan di atas ratarata profitabilitas industri baik dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang. Namun demikian, manajemen puncak jarang fokus pada peran strategis pengetahuan. Untuk itu diperlukan kerangka pikir peran strategis pengetahuan dikaitkan dengan proses pengetahuan (Tabel 2).
25
26 Tabel 2 Kerangka Pikir Strategi Keunggulan Bersaing Berbasis Pengetahuan Strategi
Keunggulan bersaing
Sumber Keunggulan Bersaing
Peran Pengetahuan
Proses Pengetahuan
Hasil
Bertahan
Profitabilitas saat ini Kompetitor tidak dapat mengimplementasikan Tidak bisa ditiru
Skala ekonomi Lingkup ekonomi Diferensiasi produk/jasa
Bernilai, sulit ditiru, sulit disubstitusi Kemampuan transfer lebih penting dari isi
Transfer pengetahuan Perbaikan terusmenerus
Profitabilitas lebih tinggi dari rataan industri
Pengembangan
Profitabilitas mendatang Kompetitor tidak dapat mengimplem entasikan Tidak bisa ditiru
Potensi skala ekonomi Potensi lingkup ekonomi Potensi diferensiasi produk/jasa
Pengetahuan baru untuk inovasi produk/ proses Pengetahuan baru yang dapat ditransferkan
Penciptaa n pengetehuan Inovasi radikal
Profitabilitas mendata ng lebih tinggi dari rataan industri
Sumber: Krogh et al. (2000)
Terdapat dua tipe strategi yang ditawarkan, yaitu strategi bertahan dan strategi ekspansi (Krogh et al. 2000). Strategi bertahan dimaksudkan untuk mengamankan profitabilitas perusahaan saat ini. Strategi tipe ini memanfaatkan kekuatan dan meminimalkan kelemahan dalam sumberdaya dan pengetahuan yang dimiliki perusahaan. Tujuannya adalah memperoleh keunggulan peluang bisnis yang ada dan menetralkan ancaman lingkungan. Apabila memilih strategi bertahan, pihak manajemen perlu memperhitungkan dengan cermat lingkungan bisnis yang dimaksud. Strategi bertahan juga membuat tidak menarik pendatang baru potensial untuk masuk melalui efek pengalaman dan lingkup ekonomi serta persiapan perusahaan akan kemungkinan adanya produk substitusi (Porter 1990). 2.11 Konsep Balanced Scorecard Konsep Balanced Scorecard (BSC) pertama kali dikenalkan oleh Kaplan dan Norton (1992) dalam sebuah artikel di majalah Harvard Business Review yang berjudul ”The Balanced scorecard-Measures That Drive Performance”. Konsep BSC ini telah berkembang pesat, sehingga Kaplan dan Norton pada tahun 1996 merevisi BSC yang telah mereka bangun dengan menerbitkan buku yang berjudul ”Balanced Scorecard; Translating strategy into Action”. Pada buku ini
27 penulis mulai menggunakan istilah Strategy Map (Peta Strategi). Peta Strategi ini kemudian dijelaskan secara lebih terperinci dalam buku ketiganya yang berjudul ” Strategy Map; Converting Intangible Assets into Tangible Outcomes” yang terbit pada Tahun 2004. Balanced Scorecard didefinisikan sebagai suatu alat manajemen kinerja yang dapat membantu organisasi untuk menerjemahkan visi dan strategi ke dalam aksi dengan memanfaatkan sekumpulan indikator finansial dan non-finansial yang kesemuanya terjalin dalam suatu hubungan sebab akibat (Kaplan & Norton 1996). Dari definisi tersebut, dapat dikatakan bahwa BSC sangat berperan sebagai penerjemah atau pengubah visi dan strategi organisasi menjadi aksi. Karena itu, BSC tidak berhenti pada saat strategi selesai dibangun, tetapi terus memonitor proses eksekusinya. Lebih lanjut dijelaskan bahwa pengukuran kinerja organisasi yang hanya bertumpu pada aspek keuangan tidak akan cukup memberikan informasi yang mendalam bagi pengambil keputusan organisasi. Hal ini disebabkan kinerja keuangan cenderung mengukur tangible factors sehingga bersifat jangka pendek. Faktor berwujud ini pada dasarnya adalah atau lagging indicator (faktor akibat) dan bukan leading indicator (faktor penyebab). Padahal ukuran terhadap intangible factors, seperti pengetahuan organisasi, kepuasan karyawan, kepuasan pelanggan, brand name dan lain-lain justru yang menjadi faktor penyebab (leading indicator) kinerja organisasi pada jangka panjang. Keunggulan BSC dibanding konsep perencanaan strategi lainnya adalah, bahwa BSC dapat menjaga keseimbangan di antara indikator-indikator tersebut di atas. Lebih lanjut dikemukakan bahwa perspektif BSC berisi serangkaian tujuan dan ukuran yang saling berkaitan, konsisten dan saling mendukung yang diturunkan dari visi dan strategi- strategi yang relevan di tiap-tiap bagian dalam empat perspektif. Keempat perspektif tersebut adalah:
Financial Perspective
(Perspektif Keuangan), Customer Perspective (Perspektif Pelanggan), Internal Business Process Perspective (Perspektif Proses Bisnis Internal) dan Learning and Growth Perspective (Perspektif Pembelajaran dan Pertumbuhan).
27
28 2.11.1 Perspektif dalam Balanced Scorecard 1) Perspektif Keuangan Secara tradisional, laporan keuangan merupakan indikator historis-agregatif yang merefleksikan akibat dari implementasi dan eksekusi strategi dalam satu periode. Pengukuran kinerja keuangan akan menunjukkan apakah perencanaan dan pelaksanaan strategi memberikan perbaikan yang mendasar bagi keuntungan perusahaan. Perbaikan-perbaikan ini tercermin dalam sasaran-sasaran yang secara khusus berhubungan dengan keuntungan yang terukur, pertumbuhan usaha, dan nilai pemegang saham. Pengukuran kinerja keuangan mempertimbangkan adanya tahapan dari siklus kehidupan bisnis, yaitu: growth, sustain, dan harvest (Kaplan & Norton 1996). Tiap tahapan memiliki sasaran yang berbeda, sehingga penekanan pengukurannyapun berbeda pula, yaitu: a) Growth adalah tahapan awal siklus kehidupan perusahaan di mana perusahaan memiliki produk atau jasa yang secara signifikan memiliki potensi pertumbuhan terbaik. Di sini, manajemen terikat dengan komitmen untuk mengembangkan
suatu
produk
atau
jasa
baru,
membangun
dan
mengambangkan suatu produk/jasa dan fasilitas produksi, menambah kemampuan operasi, mengembangkan sistem, infrastruktur, dan jaringan distribusi yang akan mendukung hubungan global, serta membina dan mengembangkan hubungan dengan pelanggan. Dalam tahap pertumbuhan, perusahaan biasanya beroperasi dengan arus kas yang negatif dengan tingkat pengembalian modal yang rendah. Dengan demikian, tolok ukur kinerja yang cocok dalam tahap ini adalah, misalnya, tingkat pertumbuhan pendapatan atau penjualan dalam segmen pasar yang telah ditargetkan. b) Sustain adalah tahapan kedua saat perusahaan masih melakukan investasi dan reinvestasi dengan mengisyaratkan tingkat pengembalian terbaik. Pada tahap ini, perusahaan mencoba mempertahankan pangsa pasar yang ada, bahkan mengembangkannya, jika memungkinkan. Investasi yang dilakukan umumnya diarahkan untuk menghilangkan bottleneck, mengembangkan kapasitas, dan meningkatkan perbaikan operasional secara konsisten. Sasaran keuangan pada tahap ini diarahkan pada besarnya tingkat pengembalian investasi yang dilakukan. Tolok ukur yang digunakan pada tahap ini, ROI, ROCE, dan EVA.
29 c) Harvest
adalah
tahapan
ketiga
di
mana
perusahaan
benar-benar
memanen/menuai hasil investasi di tahap-tahap sebelumnnya. Tidak ada lagi investasi besar, baik ekspansi maupun pembangunan kemampuan baru, kecuali pengeluaran untuk pemeliharaan dan perbaikan fasilitas. Sasaran keuangan utama dalam tahap ini, sehingga diambil sebagai tolok ukur, adalah memaksimumkan arus kas masuk dan pengurangan modal kerja. 2) Perspektif Pelanggan Filosofi manajemen terkini telah menunjukkan peningkatan pengakuan atas pentingnya customer focus dan customer satisfaction. Perspektif ini merupakan leading indicator. Jadi, jika pelanggan tidak puas mereka akan mencari produsen lain yang sesuai dengan kebutuhan mereka. Kinerja yang buruk dari perspektif akan menurunkan jumlah pelanggan di masa depan meskipun saat ini kinerja keuangan terlihat baik. Perspektif pelanggan memiliki dua kelompok pengukuran, yaitu: customer core measurement dan customer value propositions. a) Customer Core Measurement Customer core measurement memiliki beberapa komponen pengukuran, yaitu: market share, customer retention customer acquisition, customer satisfaction, dan customer profitability b) Customer value proposition Customer value proposition merupakan pemicu kinerja yang terdapat pada core value proposition yang didasarkan pada atribut sebagai berikut: product/service attributes, customer relationship, dan image and relationship. 3) Perspektif Proses Bisnis Internal Analisis proses bisnis internal perusahaan dilakukan dengan menggunakan analisis value-chain. Di sini, manajemen mengidentifikasi proses internal bisnis yang kritis yang harus diunggulkan perusahaan. Scorecard dalam perspektif ini memungkinkan manajer untuk mengetahui seberapa baik bisnis mereka berjalan dan apakah produk dan atau jasa mereka sesuai dengan spesifikasi pelanggan. Perspektif ini harus didesain dengan hati-hati oleh mereka yang paling mengetahui misi perusahaan yang mungkin tidak dapat dilakukan oleh konsultan luar. 29
30 Perbedaan perspektif bisnis internal antara pendekatan tradisional dan pendekatan BSC, adalah: 1) Pendekatan tradisional berusaha untuk mengawasi dan memperbaiki proses bisnis yang sudah ada sekarang. Sebaliknya, BSC melakukan pendekatan atau berusaha untuk mengenali semua proses yang diperlukan untuk menunjang keberhasilan strategi perusahaan, meskipun proses-proses tersebut belum dilaksanakan. 2) Dalam pendekatan tradisional, sistem pengukuran kinerja hanya dipusatkan pada bagaimana cara menyampaikan barang atau jasa, sedangkan dalam pendekatan BSC, proses inovasi dimasukkan dalam perspektif proses bisnis internal. Aktivitas penciptaan nilai perusahaan, terangkai dalam suatu rantai nilai yang dimulai dari proses perolehan bahan baku sampai penyampaian produk jadi ke konsumen (Shank & Govindarajan 1995). Aktivitas penciptaan nilai di atas diistilahkan sebagai proses bisnis internal. Kaplan dan Norton (1996) membagi proses bisnis internal ke dalam: inovasi, operasi, dan layanan purna jual. Selanjutnya, pengukuran kinerja dalam perspektif ini berpedoman pada prosesproses di atas, yaitu: a) Proses Inovasi. Dalam proses ini, unit bisnis menggali pemahaman tentang kebutuhan laten dari pelanggan dan menciptakan produk dan jasa yang mereka butuhkan. Proses inovasi dalam perusahaan biasanya dilakukan oleh bagian R & D sehingga setiap keputusan pengeluaran suatu produk ke pasar telah memenuhi syarat-syarat pemasaran dan dapat dikomersialkan (didasarkan pada kebutuhan pasar). Aktivitas R & D ini merupakan aktivitas penting dalam menunjang kesuksesan perusahaan, terutama, untuk jangka panjang. b) Proses Operasi. Proses Operasi adalah proses untuk membuat dan menyampaikan produk/jasa. Aktivitas di dalam proses operasi terbagi ke dalam dua bagian: 1) proses pembuatan produk dan 2) proses penyampaian produk kepada pelanggan. Pengukuran kinerja yang terkait dalam proses operasi dikelompokkan pada: waktu, kualitas, dan biaya.
31 c) Proses Pelayanan Purna Jual. Proses ini merupakan jasa pelayanan pada pelanggan setelah penjualan produk/jasa tersebut dilakukan. Aktivitas yang terjadi dalam tahapan ini, misalnya, penanganan garansi dan perbaikan penanganan atas barang rusak dan yang dikembalikan serta pemrosesan pembayaran pelanggan. Perusahaan dapat mengukur apakah upayanya dalam pelayanan purna jual ini telah memenuhi harapan pelanggan, dengan menggunakan tolok ukur yang bersifat kualitas, biaya, dan waktu seperti yang dilakukan dalam proses operasi. 4) Perspektif Pembelajaran dan Pertumbuhan Proses pembelajaran dan pertumbuhan ini bersumber dari faktor sumber daya manusia, sistem, dan prosedur organisasi, termasuk dalam perspektif ini adalah pelatihan karyawan dan budaya perusahaan yang berhubungan dengan perbaikan individu dan organisasi. Dalam organisasi knowledge-worker, manusia adalah sumber daya utama. Dalam berbagai kasus, perspektif pembelajaran dan pertumbuhan
merupakan
fondasi
keberhasilan
bagi
knowledge-worker
organization dengan tetap memperhatikan faktor sistem dan organisasi. Hasil dari pengukuran ketiga perspektif sebelumnya biasanya akan menunjukkan kesenjangan yang besar antara kemampuan orang, sistem, dan prosedur yang ada saat ini dengan yang dibutuhkan untuk mencapai kinerja yang diinginkan. Itulah mengapa, perusahaan harus melakukan investasi di ketiga faktor tersebut untuk mendorong perusahaan menjadi sebuah organisasi pembelajar (learning organization). Menurut Kaplan dan Norton (2004) “learning” lebih dari sekedar “training” karena pembelajaran meliputi pula proses “mentoring dan tutoring”, seperti kemudahan dalam komunikasi di segenap karyawan yang memungkinkan mereka untuk siap membantu jika dibutuhkan. Dalam perspektif ini, organisasi melihat tolok ukur yang dikelompokkan menjadi tiga, yaitu:
31
32 1) Employee capabilities. Tidak ada yang lebih baik bagi transformasi revolusioner dari pemikiran era industrial ke era informasi selain filosofi manajemen baru, yaitu bagaimana para karyawan menyumbangkan segenap kemampuannya untuk organisasi. Untuk itu, perencanaan dan upaya implementasi reskilling karyawan yang menjamin kecerdasan dan kreativitasnya dapat dimobilisasi untuk mencapai tujuan organisasi. 2) Information system capabilities. Bagaimanapun juga, meski motivasi dan keahlian karyawan telah mendukung pencapaian tujuan-tujuan perusahaan, masih diperlukan informasi-informasi yang terbaik. Dengan kemampuan sistem informasi yang memadai, kebutuhan seluruh tingkatan manajemen dan karyawan atas informasi yang akurat dan tepat waktu dapat dipenuhi dengan sebaik-baiknya. 3) Motivation, empowerment, and alignment. Paradigma manajemen terbaru menjelaskan bahwa proses pembelajaran sangat penting bagi karyawan untuk melakukan trial and error sehingga turbulensi lingkungan samasama dicoba-dikenali tidak saja oleh jenjang manajemen strategis tetapi juga oleh segenap karyawan di dalam organisasi sesuai kompetensinya. 2.9.2 Knowledge Management Balanced Scorecard Knowledge
Management
Balanced
Scorecard
merupakan
konsep
pengukuran kinerja organisasi berbasis pengetahuan dengan menggunakan pendekatan balanced scorecard (Tiwana 2000), selanjutnya disebut Knowledge Management Scorecard (KM-Scorecard). Konsep KM-Scorecard ini dapat digunakan untuk mengevaluasi dampak penerapan suatu sistem manajemen pengetahuan dengan empat kriteria proses yang komplementer, yaitu: 1) Terjemahkan visi manajemen pengetahuan. Pada tahap ini, manajer perlu mencari konsensus untuk menjawab pertanyaan mengapa pengetahuan perlu dikelola dan apa visi organisasi terkait investasi manajemen pengetahuan. Visi tersebut dibutuhkan untuk diterjemahkan ke dalam tujuan dan sasaran yang konkrit sebelum sejumlah aktivitas dapat diukur. 2) Komunikasikan dan kaitkan. Pada tahap ini dapat diukur seberapa baik karyawan telah dilatih untuk menggunakan sistem manajemen pengetahuan
33 sebagai bagian dari pekerjaan. Dapat pula diukur seberapa efektif sistem imbalan dikaitkan dengan pemanfaatan dan kontribusi pengetahuan. 3) Lakukan pengendalian. Tahap ini merupakan bagian dari strategi BSC untuk menentukan seberapa tepat ukuran-ukuran metrik yang dipilih, tujuan, target dan alokasi sumber daya dikaitkan dengan ide-ide awal yang dipertimbangkan untuk penerapan sistem manajemen pengetahuan. 4) Menggabungkan pembelajaran dan umpan balik. Pada tahap ini, dilakukan evaluasi tujuan, target dan ukuran metrik yang telah dipilih untuk sistem manajemen pengetahuan yang dirancang, kemudian dianalisa kemampuan kerjanya. Keempat proses dalam pendekatan KM-Scorecard tersebut yang diilustrasikan pada Gambar 3.
Terjemahkan visi Manajemen Pengetahuan (MP) Mengapa organisasi mengelola pengetahuan? Apa visi organisasi terhadap KM? Dapatkan konsensus Pembelajaran dan Umpan balik
Komunikasikan dan Kaitkan Sudahkah ide-ide tersampaikan? Didik karyawan Kaitkan imbalan dengan pemanfaatan & kontribusi pengetahuan
KM-SC
Apakah dapat dijalankan? Apakah terlihat hasilnya? Apa yang dapat dilakukan lebih baik? Tinjau ulang strategi MP
Perencanaan Bisnis Tentukan tujuan Tentukan ukuran Tentukan imbalan Alokasikan waktu & uang Buat patokan Penghargaan terhadap kinerja dan kontribusi aset pengetahuan
Gambar 3 The Knowledge Management Balanced Scorecard (Tiwana 2000)
Keunggulan KM-Scorecard dibanding pendekatan lain adalah mampu menghasilkan rencana strategik penerapan manajemen pengetahuan yang memiliki karakteristik sebagai berikut: 1) Mampu memberikan potret kesehatan intelektual organisasi setiap saat diperlukan dan pada setiap poin/kriteria. 33
34 2) Terpadunya
relasi
cause-effect
sehingga
dapat
mengarahkan
strategi
manajemen pengetahuan dengan lebih tepat. 3) Memiliki kapabilitas untuk mengkaitkan tujuan-tujuan individual dengan keseluruhan strategi pengetahuan organisasi. 4) Mampu mengukur sasaran dari kontribusi pengetahuan sebagai sumber daya tanwujud (intangible sources) bagi keunggulan kompetitif, seperti kepuasan pelanggan, keterampilan dan kompetensi karyawan. Namun
demikian,
KM-Scorecard
memiliki
keterbatasan
dalam
penerapannya karena lebih sulit dalam merancangnya. Di samping itu, model KMScorecard suatu organisasi jarang sekali bisa langsung diadopsi oleh organisasi lain karena seringkali terdapat perbedaan-perbedaan yang tajam meskipun di antara organisasi sejenis. 2.12 Tinjauan Penelitian Terdahulu yang Relevan Tahun 1990-an merupakan kurun waktu penting dalam perkembangan Manajemen Pengetahuan. Pada kurun waktu tersebut banyak ilmuwan mengemukakan
konsep-konsep
baru
yang
penting
bagi
pengembangan
Manajemen Pengetahuan sebagai ilmu. Kurun waktu berikutnya para ilmuwan berusaha menguji konsep-konsep tersebut dengan penelitian empiris di berbagai wilayah. Salah satu konsep yang lahir di era 1990-an yang banyak dijadikan landasan dalam kajian tentang penciptaan pengetahuan organisasi adalah konsep yang dikemukakan Nonaka dan Takeuchi (1995) melalui bukunya The Knowledge Creating Company: How Japanese Companies Create the Dynamic of Innovation. mengemukakan bahwa penciptaan pengetahuan organisasi membutuhkan interaksi yang dinamis dan intensif serta membutuhkan bnayak tenaga dari para anggota tim. Keahlian dalam penciptaan pengetahuan organisasi ini menurut Nonaka dan Takeuchi merupakan kunci dari keberhasilan perusahaan-perusahaan Jepang. Pada buku ini Nonaka dan Takeuchi menggunakan pengetahuan sebagai unit analisisnya dalam menjelaskan perilaku organisasi perusahaan. Kajian ini juga berangkat dari keyakinan bahwa organisasi bisnis tidak hanya memproses pengetahuan tetapi sekaligus juga menciptakannya. Menurut kedua ahli ini penciptaan pengetahuan terjadi dalam tiga tingkatan, yakni individu , kelompok
35 dan organisasi. Studi ini bertujuan merumuskan model generik dari penciptaan pengetahuan organisasi. Kajian ini ditulis setelah keduanya bertahun-tahun melakukan penyelidikan secara mendalam terhadap perusahaan-perusahaan Jepang. Pada kurun waktu berikutnya, Soo et al (2002b) melakukan studi empirik mengenai proses penciptaan pengetahuan di dalam organisasi. Kelompok peneliti ini menguji model melalui kajian yang bersifat komprehensif tentang penciptaan pengetahuan organisasi dan dampaknya terhadap inovasi dengan melakukan eksplorasi untuk menemukan variabel-variabel yang berperan penting dalam penciptaan pengetahuan. Studi ini dilakukan terhadap 317 perusahaan manufaktur dan empat sektor industri jasa, dimana satu perusahaan diwakili satu responden yakni para pemimpin perusahaan dan data dianalisis dengan Partial Least Square (PLS). Meskipun studinya dilakukan di industri berbeda secara bersamaan namun tidak dijelaskan disini apakah masing-masing industri tersebut memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Temuan penting dari studi tersebut adalah, adanya konsisten dengan proposisi Nonaka dan Takeuchi (1995) bahwa integrasi antara pengetahuan yang telah ada di dalam organisasi merupakan kunci penting bagi inovasi dan kinerja organisasi. Penelitian serupa dengan kajian Soo et al (2002b) dilakukan Susatyo-Munir (2004) terhadap perusahaan kosmetika modern di Indonesia (Full Manufacturing). Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa variabel pengetahuan baru mempunyai pengaruh langsung dan positif pada keluaran inovasi perusahaan. Penelitian ini merupakan konfimasi model yang telah dikembangkan oleh Soo et al (2002b). Dan menghasilkan temuan, struktur model penciptaan pengetahuan perusahaanperusahaan kosmetik di Indonesia berbeda dengan struktur model yang dikembangkan Soo et al (2002b). Perbedaan tersebut dikarenakan jenis industri dan serta instrumen yang digunakan. Selanjutnya, penelusuran pustaka lebih lanjut untuk dapat mengetahui state-of-the art ilmu Manajemen Pengetahuan khususnya proses penciptaan pengetahuan dan inovasi disarikan pada Tabel 3.
35
36 Tabel 3 Penelitian Terdahulu yang Relevan Pengarang No Tahun 1 1999 Sukmawati A
2
2001
Canny A
3
2002
Traill WB & Meulenberg M
4
2002b
Soo et al.
5
2004
Chou SW & He MY
6
2004
Al-Hawari M.
7
2005
Indarti N & van Geenhuizen M
8
2005
Irsan I
Kesimpulan Industri pengolahan susu di Indonesia berada pada tahap factor driven yang merupakan tahap awal pembangunan suatu industri dengan determinan industri terkait dan industri pendukung berupa industri pemasok bahan baku utama merupakan titik kritis bagi keunggulan kompetitifnya. Prioritas strategi dan program pengembangan agroindustri susu berbasis usaha lepas panen susu adalah mengembangkan usaha industri pengolahan susu tingkat pedesaan dan merintis jaringan kemitraan usaha untuk diversifikasi produk susu. Inovasi yang dihasilkan perusahaanperusahaan industri pangan di Eropa berbeda tergantung kepada pemilihan orientasi dominan inovasinya, yaitu produk, proses atau pasar. Penciptaan pengetahuan baru lebih dipengaruhi oleh jejaring informal dan daya serap individual dengan skenario pemecahan masalah pada tingkat konsensus. Aset pengetahuan merupakan faktor kunci yang memfasilitasi proses penciptaan pengetahuan. Aset pengetahuan konseptual mempunyai pengaruh paling nyata terhadap proses penciptaan pengetahuan, sedangkan aset sistemik memberikan pengaruh paling kecil. Model K-space memberikan basis pengetahuan baru dalam konseptualisasi proses penciptaan pengetahuan dalam organisasi. Gaya manajemen pengetahuan berkontribusi positif terhadap kodifikasi dan ketersediaan pengetahuan. Sumber pengetahuan paling penting yang mendorong inovasi pada industri kecil mebel di Indonesia adalah learning-by-doing dan pembeli. Transfer pengetahuan masih dilakukan secara informal. Faktor mobilisasi penggerak pengetahuan, dalam hal ini dipegang direksi, merupakan faktor yang paling mendukung proses penciptaan pengetahuan.
37 Dari sisi objek penelitian, hasil penelitian terdahulu mengenai posisi Industri Pengolahan Susu (IPS) di Indonesia menyimpulkan bahwa IPS berada pada tahap sumber daya (factor driven) sebagai pendorong keunggulan yang merupakan tahap awal pembangunan suatu industri. Hal ini berarti bahwa keunggulan bersaingnya masih berbasis sumber daya dasar, antara lain ketersediaan sumber daya alam dan tenaga kerja. Industri pada tahap ini dicirikan dengan teknologi proses yang murah dan tersedia secara luas. Biasanya teknologi berasal dari negara lain dan transfer teknologi dilakukan melalui investasi langsung, imitasi atau akuisisi. Hal ini sejalan dengan kondisi faktual, selama ini IPS dikembangkan sebagai industri substitusi impor, bukan industri yang tumbuh dari keunggulan sumber daya lokal maupun keunggulan teknologi (Sukmawati 1999). Diperlukan penelitian selanjutnya untuk mengidentifikasi basis keunggulan bersaing lainnya yang harus dikembangkan oleh IPS agar mampu bergeser pada tahap keunggulan kompetitif berikutnya (Gambar 4).
IPS Gambar 4
Investasi
Inovasi
Tahapan Pembangunan Keunggulan Kompetitif 1999)
Kekayaan
IPS (Sukmawati
Identifikasi terhadap tingkat kepentingan determinan-determinan yang merupakan determinan penting dalam upaya meningkatkan keunggulan bersaing IPS menggunakan model berlian keunggulan bersaing (Porter’s Diamond Model) menunjukkan bahwa determinan sumber daya menempati urutan pertama. Determinan industri pendukung dan industri terkait mempunyai tingkat kepentingan kedua dengan keunggulan kompetitif industri pemasok bahan baku utama menjadi faktor terpenting dalam determinan ini. Urutan ketiga tingkat kepentingan untuk ditingkatkan adalah determinan strategi perusahaan, struktur dan persaingan dengan faktor terpenting dalam determinan ini adalah kemauan dan kemampuan perusahaan bersaing di pasar global. Selengkapnya hasil penelitian tersebut diilustrasikan pada Gambar 5.
37
38
KESEMPATAN (kurang penting)
STRATEGI, STRUKTUR, DAN PERSAINGAN (penting)
PERMINTAAN (kurang penting)
SUMBERDAYA (sangat penting)
INDUSTRI PENDUKUNG & TERKAIT (sangat penting)
PEMERINTAH (kurang penting)
Gambar 5 Model Berlian Keunggulan Bersaing IPS di Indonesia (Sukmawati 1999) Penelitian Canny (2001) menghasilkan identifikasi faktor-faktor internal dan faktor-faktor eksternal yang mempengaruhi pengembangan agroindustri susu berbasis usaha lepas panen susu. Faktor-faktor internal yang berhasil diidentifkasi adalah: budaya usaha dan nilai-nilai kepercayaan peternak, pembinaan oleh usaha lepas panen susu kepada peternak, dukungan pemerintah, potensi integrasi vertikal dalam membangun aliansi strategis, potensi pengembangan menuju industri hilir, produktivitas dan kualitas susu segar dalam negeri (SSDN). Idenfitikasi faktor-faktor eksternal adalah potensi pasar, globalisasi perdagangan, persaingan dengan bahan baku susu impor (BBSI), kebijakan negara asal BBSI, resiko terhadap fluktuasi nilai tukar dan perubahan geopolitik dalam negeri. Identifikasi faktor penting yang mempengaruhi sistem pengembangan agroindustri susu, antara lain adalah potensi pengembangan industri hilir dan kemampuan manajemen serta sumberdaya manusia (Canny 2001). Salah satu temuannya mengenai solusi pengembangan agroindustri susu dalam negeri adalah peningkatan proporsi susu olahan dengan salah satu programnya adalah diversifikasi produk. Disarankan pula perlunya kajian lebih lanjut terhadap
39 variabel sosial sehingga dapat memberikan manfaat sosial yang seharusnya diterima peternak sapi perah mengingat 90 persen produsen SSDN adalah peternakan rakyat. Rekomendasi kedua penelitian tersebut yang menjadi pertimbangan pemilihan koperasi susu sebagai sebagai obyek penelitian untuk menghasilkan model penciptaan pengetahuan yang tepat dalam rangka mendorong inovasi. 2.13 Posisi Penelitian dalam Konteks Manajemen Pengetahuan Secara konseptual, terdapat tiga pendekatan yang dapat digunakan sebagai dasar pengelompokan dalam disiplin Manajemen Pengetahuan, yaitu intelijen orgaisasional,
pengembangan
organisasional
dan
pemrosesan
informasi
organisasional (Tuomi 1999). Masing-masing kelompok mempunyai arah dan tradisi penelitian yang berbeda. Intelijen organisasional merupakan kelompok penelitian yang fokus pada mekanisme pengembangan kognitif dan belajar. Dalam konteks teori organisasi dan praktek, inteligen merupakan upaya organisasi untuk memperkuat mekanisame pencarian dan pengkajian informasi untuk memberi makna terhadap permasalahan yang dihadapinya (Tuomi 1999). Perspektif ini banyak digunakan dalam pembahasan isu-isu intelijen bisnis, kognitif (pemberian makna), memori organisasi dan organisasi pembelajar. Terkait dengan topik penelitian organisasi pembelajar, Tuomi (1999) membagi lagi menjadi empat pendekatan utama yang masing-masing dimotori oleh: (1) Nonaka dan Takeuchi (1995) yang menekankan pentingnya pemahaman akan proses transformasi pengetahuan dari pengembangan ide-ide (pengetahuan tacit) menjadi rancangan kerja baru sebagai pengetahuan eksplisit; (2) Senge (1990) dan Espejo (1996) yang menekankan pentingnya manajemen proses belajar dan pendekatan/disiplin berpikir sistemik; (3) Argyris (1993), Schön (1983) dan Schein (1993) yang fokus pada identifikasi faktor-faktor kognisi dan perilaku yang dapat berperan sebagai penghalang proses belajar dan (4) Brown dan Duguid (1991) yang menekankan pentingnya pendekatan sosio-kultural. Pengembangan organisasional merupakan aliran Manajemen Pengetahuan yang lebih menekankan pada perspektif intervensionis dan analitikal. Termasuk 39
40 dalam perspektif ini adalah penelitian-penelitian dengan topik ekonomi pengetahuan dan cara mengukur nilai pengetahuan tersebut bagi organisasi. Fokus penelitian perspektif ini adalah pemahaman pengetahuan sebagai sumber daya. Pemrosesan informasi organisasional merupakan aliran Manajemen Pengetahuan yang menekankan pentingnya komunikasi dan proses berbagi informasi dalam organisasi. Tuomi (1999) mengelompokkan aliran ini menjadi tiga fokus area penelitian, yaitu: (1) komunikasi organisasional yang meliputi topik jaringan informasi informal dan perancangan infrastruktur sistem komunikasi dan aliran otomasi berbasis komputer; (2) berbagi informasi yang meliputi pengembangan alat atau fasilitas untuk mempermudah proses berbagi informasi baik di dalam organisasi atau antar organisasi dan (3) pemrosesan informasi untuk mendukung proses pengambilan keputusan.
Representasi
pengetahuan merupakan salah satu topik penelitian yang menekankan teknik merepresentasikan pengetahuan manusia ke dalam bentuk yang dapat diproses komputer, antara lain dengan sistem pakar (Boose 1986; Gaines 1994). Mengacu pada taksonomi penelitian di bidang Manajemen Pengetahuan yang dikemukakan oleh Tuomi (1999) tersebut, maka dapat dikatakan bahwa penelitian ini berada pada posisi ranah Manajemen Pengetahuan dengan penciptaan pengetahuan sebagai isu sentral dalam pembelajaran organisasi yang termasuk aliran intelijen organisasional. Dengan menggunakan model penciptaan pengetahuan yang dikemukakan Nonaka dan Takeuchi (1995) sebagai basis teori, penelitian ini, didukung teori dari aliran kompetisi berbasis pengetahuan dan diperkaya dengan aplikasi konsep representasi pengetahuan. Penelitian ini dimaksudkan melengkapi keterbatasan teori penciptaan pengetahuan Nonaka dan Takeuchi (1995) tersebut. Gambaran posisi penelitian dalam konteks manajemen pengetahuan ditampilkan pada Gambar 6.
41 Intelijen Bisnis Kognisi Organisasional Intelijen Organisasional
Memori Organisasional Organisasi Pembelajar, Penciptaan Pengetahuan, Transfer Kepakaran dan Inovasi Manajemen Aset Pengetahuan
MP
Pengembangan Organisasional
Penciptaan Pengetahuan, untuk Meningkatkan Keunggulan Bersaing
SDM dan Pengembangan Kerja Kompetisi Berbasis Pengetahuan Pengembangan Proses bisnis
Komunikasi Organisasional
Pemrosesan Informasi Organisasional
Representasi Pengetahuan Berbagi Informasi
Representasi Data Sistem Kolaborasi Pemodelan Enterprise
Pemrosesan Informasi
Gambar 6 Posisi Penelitian dalam Konteks Manajemen Pengetahuan (MP) (Adaptasi dari Tuomi 1999) 41
BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Tahapan Penelitian Penelitian ini dilakukan melalui tiga tahap yang dirancang untuk menghasilkan model keunggulan bersaing berbasis penciptaan pengetahuan koperasi susu. Ketiga tahap tersebut dimaksudkan untuk: (1) memperoleh model kontribusi aset-aset pengetahuan (2) memperoleh model penciptaan pengetahuan dan mengidentifikasi struktur model penciptaan pengetahuan pada Koperasi Susu (3) mengembangkan Sistem Pakar Knowledge Management Scorecard (KM-Scorecard). Penelitian ini diawali dengan pengumpulan data melalui survei responden. Data dianalisis menggunakan metode analisis korelasi kanonikal untuk menghasilkan model kontribusi aset-aset pengetahuan terhadap proses konversi pengetahuan pada Koperasi Susu di Indonesia. Hasil yang diperoleh dari analisis tahap pertama, diintegrasikan dengan data dari survei responden pada tahap selanjutnya. Pada tahap kedua ini dilakukan analisis Structural Equation Modeling (SEM) untuk menghasilkan model penciptaan pengetahuan pada koperasi susu. Tahap kedua ini juga menghasilkan parameter-parameter yang telah teruji untuk tahap berikutnya. Pada tahap ketiga dilakukan pengembangan model sistem pakar Knowledge Management Scorecard (KM-Scorecard) menggunakan program Matlab. Sistem Pakar ini dimaksudkan untuk mendiagnosis kinerja penerapan Manajemen Pengetahuan dalam upaya mendorong terjadinya inovasi pada Koperasi Susu di Indonesia. Diagram alir tahap penelitian ditampilkan pada Gambar 7.
44 Mulai
Survei Responden Korelasi Kanonikal
Analisis hubungan aset pengetahuan dan penciptaan pengetahuan pada koperasi susu
Model Kontribusi Aset Pengetahuan terhadap Koversi Pengetahuan Koperasi Susu
Survei Responden Structural Equation Model (SEM)
Analisis model hubungan antar variabel penciptaan pengetahuan pada koperasi susu
Model Penciptaan Pengetahuan pada Koperasi Susu
Akuisisi Pengetahuan Pakar
Pemodelan Sistem Pakar Knowledge Management Scorecard Koperasi Susu
Model KM-Scorecard Koperasi Susu
Pendapat Pakar
Validasi Pemodelan Sistem Pakar KMScorecard Koperasi Susu
Tidak Sesuai? Ya Rekomendasi dan Implementasi Kebijakan
Selesai
Gambar 7 Diagram Alir Tahap Penelitian
45 3.2 Metode Pengumpulan Data Data yang akan dikumpulkan terdiri atas kelompok data primer dan data sekunder. Data primer berupa data dan informasi pendapat peternak, karyawan koperasi dan pengurus koperasi terkait variabel-variabel penciptaan pengetahuan. Data primer juga berupa pengetahuan pakar terkait dengan desain pengukuran kinerja pengetahuan pada koperasi yang diperoleh dari para pakar. Data sekunder berupa jumlah dan produksi sapi perah, jumlah peternak dan skala usahanya, kapasitas koperasi persusuan dan lembaga penelitian dan instansi terkait dengan subyek penelitian. Pada penelitian ini, populasi yang diteliti adalah kelompok koperasi persusuan yang tergabung dalam Gabungan Koperasi Susu di Indonesia (GKSI) yang bertindak sebagi pemasok susu segar atau susu pasteurisasi bagi IPS. Saat ini terdapat 192 koperasi yang menjadi anggota GKSI yang terkonsentrasi di pulau Jawa dengan rincian Jawa Barat dan DKI Jakarta berjumlah 96 koperasi, Jawa Tengah dan DI Yogyakarta berjumlah 34 koperasi dan Jawa Timur berjumlah 38 koperasi (GKSI 2005). Pengumpulan data dilakukan dengan metode studi literatur dan survei lapang. Contoh untuk survei lapang dalam penelitian ini dipilih secara sengaja (purposive) dengan mempertimbangkan lama berdiri koperasi, kapasitas produksi, jumlah anggota dan kesediaan koperasi menjadi tempat penelitian. Penelitian telah dilaksanakan pada 3 koperasi, yaitu Koperasi Susu Sinau Andandani Ekonomi (SAE) Pujon-Malang, Koperasi Susu Bogor di Bogor dan Koperasi Susu Sukamulya Kediri. Dari masing-masing koperasi ditentukan responden peternak secara acak terstratifikasi (stratified random sampling) berdasarkan skala usaha dengan indikator jumlah kepemilikan sapi laktasi. Hal ini dimaksudkan agar komponen komponen yang terlibat dalam koperasi susu terwakili pendapatnya (Singarimbun & Effendi 1995). Data yang diambil pada penelitian ini berjumlah 105 responden. Hal ini sesuai dengan saran Hair et al. (1998). Pengumpulan data primer berupa pendapat peternak, karyawan koperasi dan pengurus koperasi dilakukan di tiga koperasi primer yang merupakan anggota Gabungan Koperasi Susu di Indonesia (GKSI), dilakukan pada pertengahan Oktober 2006 sampai dengan akhir bulan Mei 2007.
46 Pengumpulan data primer berupa pendapat pakar dilakukan pada bulan April sampai dengan bulan Juni 2009. Pakar yang diwawancari meliputi para ketua koperasi, anggota koperasi yang unit usaha sapi perahnya telah berbadan hukum dan ilmuwan. 3.3 Metode Analisis Data Data hasil survei lapang dan survei pakar diolah sesuai dengan rancangan metode analisis yang telah direncanakan. Metode analisis data dalam penelitian ini adalah: 1. Metode analisis korelasi kanonikal untuk menganalisis kontribusi aset-aset pengetahuan dalam proses konversi pengetahuan organisasi yang mendorong inovasi pada Koperasi Susu di Indonesia. 2. Metode analisis Structural Equation Modeling (SEM) untuk menganalisis hubungan antar variabel penciptaan pengetahuan pada koperasi susu sebagai model konfirmatori. 3. Sistem Pakar untuk mengembangkan Sistem Knowledge Management Scorecard (KM-Scorecard) yang mendorong terjadinya inovasi pada Koperasi Susu di Indonesia. 3.4 Korelasi Kanonikal Analisis korelasi kanonikal merupakan model statistika multivariat yang memungkinkan identifikasi dan kuantifikasi hubungan antara dua himpunan variabel (Hair et al.,1998). Karena titik perhatian analisis ini adalah korelasi (hubungan) maka kedua himpunan tidak perlu dibedakan menjadi kelompok variabel tidak bebas dan variabel bebas. Pemberian label Y dan X kepada kedua variat kanonikal hanya untuk membedakan kedua himpunan variabel. Fokus analisis korelasi kanonikal terletak pada korelasi antara kombinasi linier satu set variabel dengan kombinasi linier set variabel yang lain. Langkah pertama adalah mencari kombinasi linier yang memiliki korelasi terbesar. Selanjutnya, akan dicari pasangan kombinasi linier dengan nilai korelasi terbesar di antara semua pasangan lain yang tidak berkorelasi. Proses terjadi secara berulang, hingga korelasi maksimum teridentifikasi. Pasangan kombinasi linier disebut sebagai variat kanonikal sedangkan hubungan di antara pasangan tersebut disebut korelasi kanonikal.
47 Jenis data dalam variat kanonikal yang digunakan dalam analisis korelasi kanonikal dapat bersifat metrik maupun nonmetrik. Bentuk umum fungsi kanonikal adalah sebagai berikut: Y1 + Y2 + Y3 . . . Yq = X1 + X2 + X3 . . . Xp (metrik, nonmetrik)
(metrik, nonmetrik)
Secara umum, jika terdapat sejumlah p variabel bebas X1, X2, . . . , Xp dan q variabel tidak bebas Y1, Y2, . . . ,Yq maka banyak pasangan variat adalah minimum p dan q. Jadi hubungan linier mungkin yang terbentuk adalah: U1 = a11 X1 + a12 X2 + . . . a1p Xp U2 = a21 X1 + a22 X2 + . . . a2p Xp . . Ur = ar1 X1 + ar2 X2 + . . . arp Xp dan V1 = b11 Y1 + b12 Y2 + . . . b1q Yq V2 = b21 Y1 + b22 Y2 + . . . b2q Yq . . Vr = br1 Y1 + br2 Y2 + . . . brq Yq. di mana r adalah nilai minimum p dan q. Hubungan ini dipilih sedemikian sehingga korelasi antara U1 dan V1 menjadi korelasi maksimum; korelasi U2 dan V2 juga maksimum di antara variabel-variabel yang tidak berhubungan dengan U1 dan V1; korelasi U1, V1, U2, dan V2, dan seterusnya. Setiap pasang variabel kanonikal (U1, V1), (U2, V2), . . . , (Ur, Vr) merepresentasikan ‘dimensi’ bebas dalam hubungan antara dua himpunan variabel (X1, X2, . . . , Xp) dan (Y1, Y2, . . . ,Yq). Pasangan pertama (U1, V1) mempunyai korelasi tertinggi karenanya merupakan korelasi penting; pasangan kedua (U2, V2) mempunyai korelasi tertinggi kedua karenanya menjadi korelasi terpenting kedua; dan seterusnya. Prosedur korelasi kanonikal mencakup 6 langkah yang bersifat sekuensial yaitu: (1) penetapan set variabel tak bebas dan variabel bebas serta relasinya sesuai dengan perumusan masalah penelitian, (2) penetapan jumlah observasi dan jumlah sampel, (3) pemenuhan asumsi korelasi linier dan normalitas multivariat, (4) estimasi fungsi kanonikal dan seleksi, (5) interpretasi fungsi kanonikal dan variabel-variabel dan (6) validasi hasil. Tahap analisis kanonikal ditampilkan pada Gambar 8.
48
Masalah Penelitian Tentukan Tujuan: o o
Menentukan hubungan antar variabel Memperoleh korelasi maksimal Menjelaskan asal hubungan antar variabel
o Menspesifikasikan variabel dependen Menspesifikasikan variabel independen
Masalah Desain Penelitian Jumlah observasi per variabel Keseluruhan ukuran sampel
Asumsi-asumsi Korelasi linier Hubungan linier Kenormalan ragam
Pemilihan dan Estimasi Fungsi Kanonikal Menurunkan fungsi kanonikal Memilih fungsi untuk interpretasi Signifikansi secara statistik Besaran hubungan
Interpretasi Variabel dan Fungsi Kanonikal Berat kanonikal Bobot kanonikal Bobot silang kanonikal
Validasi Hasil Sampel berganda Analisis Sensitivitas Komposisi Ragam
Gambar 8 Tahap Analisis Korelasi Kanonikal
49 3.5 Structural Equation Modeling Structural Equation Modeling (SEM) atau Model Persamaan Struktural merupakan model yang memiliki berbagai nama, diantaranya adalah analisis struktur kovarian (covariance structure analysis), analisis variabel laten (latent variable analysis), analisis faktor konfirmatori (confirmatory factor analysis), dan sering juga disebut sebagai analisis LISREL (Linear Structural Relationship) yang juga merupakan salah satu software statistik yang banyak digunakan untuk mengolah data menjadi model SEM. Dihasilkan dari sebuah evolusi dari multiequation modeling yang dikembangkan dengan prinsip ekonometrik dan digabungkan dengan prinsip-prinsip pengukuran dalam psikologi dan sosiologi, SEM telah dimunculkan sebagai sebuah alat integral antara manajerial dan riset akademis, yang mungkin diharapkan menjadi sebuah teknik yang dapat digunakan dengan jangkauan yang luas dan diterapkan pada berbagai macam aplikasi (Hair et al. 1998). Lebih lanjut dijelaskan bahwa SEM merupakan metode analisis data untuk melihat pengaruh hubungan sebab akibat antara variabel bebas dengan variabel terikat dalam rangka mencari penjelasan dari korelasi yang teramati dengan membuat hubungan sebab akibat antar variabel. Formulasi SEM dalam bentuk persamaan adalah sebagai berikut: Y1 = X11 + X12 + X13 + . . . + X1n Y2 = X21 + X22 + X23 + . . . + X2n Y3 = X31 + X32 + X33 + . . . + X3n . . . Ym = Xm1 + Xm2 + Xm3 + . . . + Xmn (metrik) (metrik, non metrik) Lebih lanjut dijelaskan bahwa SEM ini telah digunakan di berbagai bidang studi, antara lain bidang manajemen, perilaku organisasi, pendidikan, pemasaran, psikologi, sosiologi, kesehatan, demografi, biologi dan bahkan genetika. Ada dua hal alasan ketertarikan penggunaan penggunaan SEM dalam berbagai bidang tersebut, yaitu: 1. Memberikan metode yang mudah dipahami berkenaan dengan hubungan berganda secara simultan sambil memberikan efisiensi secara statistik.
50 2. Kemampuannya untuk mengakses hubungan secara komprehensif dan memberikan transisi dari analisis eksplanatori ke analisis konfirmatori. Transisi ini sesuai dengan semakin besarnya upaya dalam semua bidang studi menuju pengembangan ke suatu pandangan yang sistematis dan holistik terhadap pemecahan masalah. Upaya demikian ini memerlukan kemampuan menguji suatu seri hubungan yang terdiri atas suatu model berskala besar, melibatkan puluhan bahkan ratusan variabel dengan puluhan persamaan, suatu set prinsip mendasar atau teori secara keseluruhan. Teknik SEM dapat dibedakan berdasarkan dua karakteristik, yaitu: (1) estimasi hubungan dependensi berganda dan saling terkait dan (2) kemampuan untuk menggambarkan konsep tak teramati dalam hubungan-hubungan tersebut dan memperhitungkan pengukuran kesalahan dalam proses estimasi (Hair et al. 1998). Teknik SEM memiliki tiga karakteristik, yaitu: (1) melakukan estimasi untuk serangkaian persamaan regresi berganda yang terpisah tetapi saling bergantung, (2) merepresentasikan keterhubungan konsep-konsep tidak teramati (unobserved concept) dan mengkoreksi kesalahan pengukuran (measurement error) dalam proses estimasi tersebut, dan (3) mendefinisikan keterkaitan sejumlah variabel dalam sebuah model tunggal (Hair et al. 2006). Dengan menggunakan SEM, peneliti dapat mendefinisikan variabel dependen dalam suatu persamaan dapat menjadi variabel independen dalam persamaan lain. Di samping itu, SEM juga memiliki kemampuan untuk memasukkan variabel laten ke dalam analisis. Variabel laten adalah konsep yang dihipotesiskan dan tidak teramati, yang hanya dapat diestimasikan oleh variabel yang teramati dan terukur. Variabel teramati yang diperoleh dari responden disebut sebagai variabel manifes atau variabel indikator. Terdapat tiga alternatif strategi pengembangan model yang disarankan oleh Hair et al. (2006), yaitu: 1) Confirmatory modeling strategy, yaitu strategi pemodelan yang bertujuan menguji tingkat signifikansi model tunggal. Jika model yang diusulkan dapat diterima atau sesuai dengan kriteria tertentu, peneliti tidak melakukan
51 pembuktian model yang diusulkan tersebut, melainkan hanya mengkonfirmasi sebagai salah satu model dari beberapa model dapat diterima. 2) Competing model strategy, yaitu strategi pemodelan yang bertujuan mengevaluasi beberapa model alternatif yang diusulkan peneliti berdasarkan kajian teoritis yang telah dilakukan. Masing-masing model alternatif merepresentasikan hipotesis hubungan struktural yang
cukup berbeda.
Selanjutnya, masing-masing model diidentifikasi berdasarkan uji-uji yang ditentukan dan dievaluasi sesuai dengan kerangka konseptual yang dibangun. 3) Model development strategy, yaitu strategi pemodelan yang bertujuan untuk memperbaiki suatu model dasar melalui modifikasi model pengukuran atau model struktural atau kedua-duanya yang diistilahkan sebagai respesifikasi model. Pengembangan model SEM dengan menggunakan strategi ini, teori diposisikan sebagai titik awal untuk pengembangan model yang memiliki justifikasi secara teoritis dan didukung data empirik. Tahapan penting yang dilakukan dalam mengembangkan SEM menurut Hair et al. (2006), meliputi: (1)
mendefinisikan konstruk-konstruk secara
individual, (2) mengembangkan keseluruhan model pengukuran, (3) mendesain penelitian untuk memperoleh hasil secara empiris (4) melakukan validasi model pengukuran, (5) melakukan spesifikasi model struktural, (6) melakukan validasi model pengukuran. Tahap pertama, yaitu mendefinisikan konstruk-konstruk individual yang terlibat dalam model yang dikembangkan berdasarkan teori-teori yang dipilih. Konstruk/variabel laten merupakan konsep yang memiliki pijakan teoritis yang cukup untuk menjelaskan berbagai bentuk hubungan. Konstruk/variabel laten dalam SEM dikelompokkan menjadi dua, yaitu konstruk eksogen dan konstruk endogen. Konstruk eksogen memiliki kedudukan seperti variabel independen dalam persamaan regresi. Konstruk/variabel eksogen digunakan untuk memprediksi satu atau beberapa konstruk/variabel lain namun tidak diprediksi oleh konstruk/variabel lain dalam model. Kontruk/variabel endogen
adalah
konstruk
yang
diprediksi
oleh
satu
atau
beberapa
konstruk/variabel lain. Kontruk endogen dapat memprediksi satu atau beberapa konstruk endogen lainnya. Tahap ini, peneliti juga menetapkan operasionalisasi
52 konstruk dengan memilih skala pengukuran yang digunakan untuk masing-masing konstruk tersebut. Tahap kedua, yaitu mengembangkan dan menspesifikasi model pengukuran. Pada tahap ini, peneliti mengidentifikasi setiap konstruk/ variabel laten yang tergabung dalam model dan menentukan variabel-variabel indikator dari masingmasing konstruk tersebut. Variabel-variabel indikator inilah yang nantinya akan menghubungkan variabel-variabel laten dengan data lapangan. Pada dasarnya model pengukuran memuat informasi mengenai operasionalisasi variabel-variabel teoritis. Model pengukuran terdiri atas dua macam persamaan, yaitu persamaan variabel laten eksogen dan persamaan variabel laten endogen yang dinotasikan sebagai berikut: Yn = y + n Xn = x + n Di mana:
Yn = indikator ke-n dari variabel laten endogen
y n
= koefisien model pengukuran konstruk y = peubah laten endogen = kesalahan pengukuran untuk y
Xn = indikator ke-n dari variabel laten eksogen
x
= koefisien model pengukuran konstruk x
n
= kesalahan pengukuran untuk x
= peubah laten eksogen
Tahap ketiga, yaitu merancang penelitian untuk memperoleh hasil secara empiris. Dengan basis model yang spesifik, peneliti harus menentukan beberapa hal yang terkait dengan rancangan penelitian, antaral lain: tipe data yang dianalisis, pengaruh missing data dan ukuran contoh yang diambil. Tahap keempat, yaitu validasi model pengukuran. Validasi model dilakukan dengan beberapa kriteria Good-of-fit (GOF) yang mengindikasikan derajat kesesuaian antara model yang dihipotesiskan dan data yang diperoleh. Secara umum, GOF dikelompokkan menjadi tiga, yaitu: 1) Absolute fit measures (kecocokan absolut), yang hanya mengkaji model secara keseluruhan (model struktural dan model pengukuran secara bersama-sama), tanpa penyesuaian derajat ‘overfitting’ yang mungkin
53 terjadi. Kriteria yang dapat digunakan adalah nilai: chi-square (x2) = diharapkan kecil atau signifikansi (p) > 0,05, degree of freedom (DF) = diharapkan kecil, Goodness of Fit Index (GFI) = semakin besar semakin baik/tidak ada batasan nilai, Root Mean Square Error of Approximation (RMSEA) < 0.08, Root Mean Square Residual (RMSR) = tidak ada batasan nilai. 2) Incremental fit measures (kecocokan inkremental), yang membandingkan model yang diusulkan dengan model lain yang ditetapkan peneliti. Kriteria yang dapat digunakan adalah nilai: Adjusted Goodness of Fit Index (AGFI) direkomendasikan ≥ 0,90, Normed Fit Index (NFI) semakin tinggi semakin baik/direkomendasikan
≥
0,90,
Non-Normed
Fit
Index
(NNFI)
direkomendasikan ≥ 0,90, Comparative Fit Index (CFI) = semakin tinggi semakin baik, Incremental Fit Index (IFI) = semakin tinggi semakin baik, Relative Fit Index (RFI) = semakin tinggi semakin baik. 3) Parsimonious fit measures (kecocokan parsimoni), yang menyesuaikan ukuran kecocokan untuk menghasilkan perbandingan antarmodel dengan membedakan jumlah koefisien yang diperhitungkan, yang bertujuan untuk menentukan jumlah kecocokan yang diperoleh masing-masing koefisien yang diperhitungkan. Kriteria yang dapat digunakan adalah nilai: Parsimonious Normed Fit Index (PNFI) = semakin tinggi semakin baik, dan
Parsimonious Goodness of Fit Index (PGFI) = semakin tinggi
semakin baik. Dalam SEM, tidak satupun pengukuran yang bersifat mutlak. Pada akhirnya peneliti yang memutuskan apakah pengukuran dapat diterima. Evaluasi model yang diusulkan perlu dilakukan terhadap sejumlah pengukuran dari setiap kelompok. Tahap kelima, yaitu menspesifikasi model struktural. Spesifikasi model struktural dilakukan dengan menentukan hubungan antara satu konstruk dengan konstruk lainnya berdasarkan teori-teori yang sudah dikembangkan cukup mapan atau teori baru yang dikembangkan sendiri oleh peneliti, yang pembuktiannya memerlukan pengujian empirik. Pengujian empirik menggunakan teknik SEM, tidak untuk membentuk sebuah teori kausalitas, tetapi digunakan untuk menguji
54 kausalitas yang sudah ada teorinya. Pada tahap ini, hipotesis untuk masing-masing hubungan antar konstruk ditentukan. Tahap keenam, yaitu validasi model struktural. Dengan menentukan tingkat signifikasi tertentu, maka setiap koefisien yang diestimasi dapat diuji signifikansi statistiknya untuk hubungan kausal yang telah dihipotesiskan. Kriteria yang digunakan adalah tingkat signifikansi > 0,05 dengan nilai t pada koefisien persamaan struktural > 1,96. Setelah model dapat diterima, maka dilakukan kajian korespondensi model terhadap teori yang diajukan. Dalam SEM, keluaran paling akhir yang diharapkan selalu merupakan kajian serangkaian hubungan. Penggunaan SEM bukan sekedar untuk menguji model secara empiris, melainkan juga memberikan alternatif respesifikasi modelnya. Tahapan pengembangan model SEM secara skematis ditampilkan pada Gambar 9.
55
Mendefinisikan Konstruk Individual
Mengembangkan dan Menspesifikasi Model Pengukuran
Merancang Penelitian untuk Memperoleh Hasil Secara Empirik
Validasi Model Pengukuran
Tidak Model Pengukuan Valid? Ya Menspesifikasi Model Struktural
Validasi Model Struktural
Tidak
Model Struktural Valid?
Ya Kesimpulan dan Rekomendasi
Gambar 9 Tahapan Pengembangan Structural Equation Modeling
56 3.5.1 Pengujian Kecocokan Model SEM Pengujian kecocokan model adalah pengujian tingkat kecocokan antara data dengan model, validitas dan reliabilitas model pengukuran dan signifikansi koefisien-koefisien dari model struktural. Pengujian terhadap tingkat kecocokan data dengan model dilakukan melalui tiga tahapan, yaitu: kecocokan keseluruhan model (Overall model fit), kecocokan model pengukuran (measurement model fit) faktor laten dengan indikator-indikatornya dan kecocokan model struktural (structural model fit) yang menjelaskan hubungan antar peubah laten (Hair et al., 1998). Tahap pertama dari uji kecocokan ini ditujukan untuk mengevaluasi secara umum derajat kecocokan atau Goodness of Fit (GOF) antara data dengan model. Menilai GOF suatu SEM secara menyeluruh tidak dapat dilakukan secara langsung seperti pada teknik multivariat yang lain, karena SEM tidak mempunyai uji statistik terbaik yang dapat menjelaskan kekuatan prediksi model. Sebagai gantinya, para peneliti telah mengembangkan beberapa ukuran GOF atau Goodness of Fit Indices (GOFI) yang dapat digunakan secara bersama-sama atau kombinasi. Keadaan ini menyebabkan tahap uji kecocokan menyeluruh merupakan langkah yang banyak mengundang perdebatan dan kontroversi. Namun Bollen dan Long (1993) melihat adanya konsensus di antara para peneliti, antara lain adalah sebagai berikut: 1) Petunjuk terbaik dalam menilai kecocokan model adalah teori substantif yang kuat. Jika model hanya menunjukkan atau mewakili teori substantif yang tidak kuat, meskipun model mempunyai kecocokan yang sangat baik, agak sulit bagi kita untuk menilai model tersebut. 2) Tidak satupun dari ukuran-ukuran GOF atau GOF Indices (GOFI) secara ekslusif dapat digunakan sabagai dasar evaluasi kecocokan keseluruhan model. Penggunaan ukuran secara kombinasi yang disebutkan sebelumnya dapat dimanfaatkan untuk menilai kecocokan model dari 3 sudut pandang, yaitu overall fit (kecocokan keseluruhan), comparative fit to base model (kecocokan komparatif terhadap model dasar) dan model parsimony (parsimoni model). Berdasarkan hal
57 ini, Hair et al. (1998) kemudian mengelompokkan GOFI yang ada menjadi 3 bagian, yaitu absolute fit measures (ukuran kecocokan absolut), incremental fit measures (ukuran kecocokan inkremental) dan parsimonious fit measures (ukuran kecocokan parsimoni). Ukuran Kecocokan Absolut Ukuran kecocokan absolut menentukan derajat prediksi model keseluruhan dengan melakukan pengukuran kecocokan matriks input observasi atau aktual (peragam atau korelasi) dengan prediksi model yang diajukan (Hair et al. 1998). Ukuran kecocokan absolut yang biasanya digunakan untuk mengevaluasi SEM adalah: 1) Khi-kuadrat ( 2) Uji
2
untuk menguji seberapa dekat kecocokan antara matrik kovarian
contoh dengan matrik kovarian model. Peneliti berusaha memperoleh nilai
2
yang kecil yang menghasilkan level signifikansi yang besar atau sama dengan 0,05 (p≥0,05). Hal ini menandakan bahwa hipotesis nol diterima dan matrik input yang diprediksi dengan yang sebenarnya (aktual) tidak berbeda secara statistik. Meskipun demikian, jika
2
besar dan level signifikansi lebih kecil dari 0,05
(p<0,05) yang berarti hipotesis nol ditolak, kita tidak serta merta menyatakan bahwa matrik input yang diprediksi tidak sama dengan matrik input sebenarnya. Masih perlu diteliti lebih lanjut, seberapa besar tingkat ketidakcocokan tersebut. Jika ketidakcocokan tersebut kecil, yang berarti tingkat kecocokannya cukup besar, kita masih bisa menyatakan bahwa matrik input yang diprediksi mempunyai tingkat kecocokan yang baik dengan matrik input yang sebenarnya. Oleh karena itu, Joreskog dan Sorbom (1989) mengatakan bahwa
2
seharusnya
lebih diperlakukan sebagai ukuran goodness of fit atau badness of fit karena nilai 2
yang besar menunjukkan kecocokan yang tidak baik (bad fit), sedangkan nilai
2
yang kecil menunjukkan good fit (kecocokan yang baik).
2) Scaled Non-Centrality Parameter (SNCP) SNCP merupakan pengembangan dari NCP dengan memperhitungkan ukuran sampel seprti di bawah ini (McDonald & Marsh 1990): SNCP = ( 2 – df) / n n = ukuran sampel
58 3) Good-of-Fit Index (GFI) Pada awalnya GFI diusulkan oleh Joreskog dan Sorbom (1984) untuk estimasi dengan ML dn ULS, kemudian digeneralisir ke metode estimasi yang lain oleh Tanaka dan Huba (1985). GFI dapat diklasifikasikan sebagai ukuran kecocokan absolut, karena pada dasarnya GFI membandingkan model yang dihipotesiskan dengan tidak ada model sama sekali ( (0)). Rumus dari GFI adalah sebagai berikut: ^
GFI = 1 -
F F0
Dimana : ^
F = Nilai minimum dari F untuk model yang dihipotesiskan F = Nilai minimum dari F, ketika tidak ada model yang dihipotesiskan 0
Nilai GFI berkisar antara 0 (poor fit) sampai dengan 1 (perfect fit), dan nilai GFI ≥ 0.90 merupakan good fit (kecocokan yang baik), sedangkan 0.80 ≤ GFI < 0.90 disebut sebagai marginal fit. 4) Root Mean Square Residual (RMR) RMR mewakili nilai rerata residual yang diperoleh dengan mencocokkan matrik varian-kovarian dari model yang dihipotesiskan dengan matrik variankovarian dari data sampel. Residual-residual ini adalah relatif terhadap ukuran dari varian-kovarian teramati, sehingga sukar diinterpretasikan. Oleh karena itu residual-residual ini paling baik diinterpretasikan dalam metrik dari metrik korelasi (Hu & Bentler 1995) Standardized RMR mewakili nilai rerata seluruh standardized residuals, dan mempunyai rentang dari 0 ke 1. Model mempunyai kecocokan yang baik (good fit) akan mempunyai niai standardized RMR lebih kecil dari 0,05. 5) Root Mean Square Error of Approximation (RMSEA) Indeks ini pertama kali diusulakan oleh Steiger dan Lind (1980) dan dewasa ini merupakan salah satu indeks yang informatif dalam SEM. Rumus perhitungan RMSEA adalah sebagai berikut :
59 ^
RMSEA = ^
Dimana:
F df
^
F 0 = Max { F
- df/(n-1), 0}
Nilai RMSEA ≤ 0.05 menandakan close fit , sedangkan 0.05 < RMSEA ≤ 0.08 menunjukkan good fit (Brown & Cudeck 1993). McCallum (1996) mengelaborasi lebih jauh berkaitan dengan cut point ini dengan menambahkan bahwa nilai RMSEA antara 0.08 sampai 0.10 menunjukkan mediocre (marginal) fit, serta nilai RMSEA > 0.10 menunjukkan poor fit. 6) Expected Cross-Validation Index (ECVI) ECVI diusulkan sebagai sarana untuk menilai, dalam sampel tunggal, likelihood bahwa model divalidasi silang (cross-validated) dengan sampel-sampel dengan ukuran yang sama dari populasi yang sama (Browne dan Cudeck, 1989). ECVI digunakan untuk perbandingan model dan semakin kecil nilai ECVI sebuah model semakin baik tingkat kecocokannya. Nilai ECVI dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut: ^
ECVI = F + Dimana: n = ukuran sampel q = jumlah parameter
2q n 1
yang diestimasi.
Ukuran Kecocokan Inkremental Ukuran kecocokan inkremental membandingkan model yang diusulkan dengan model dasar (baseline model) yang sering disebut sebagai null model atau independence model. Tucker-Lewis Index / Non Normed Fit Index (TLI / NNFI) TLI (Tucker & Lewis 1973) pertama kali diusulkan sebagai sarana untuk mengevaluasi analisis faktor yang kemudian dipeluas untuk SEM. TLI juga dikenal sebagai Non Normed Fit Index (NNFI) diperoleh dengan rumus:
60 (
2
i/
dfi) – (
TLI = ( Keterangan:
2
i/
2
h/
dfh)
dfi) – 1
2
= chi square dari null / independence model = chi square dari model yang dihipotesiskan dfi = degree of freedom dari null model dfh = degree of freedom dari model yang dihipotesiskan i 2 h
Nilai TLI berkisar antara 0 sampai 1.0, dengan nilai TLI ≥ 0.90 menunjukkan good fit dan 0.80 ≤ TLI < 0.90 adalah marginal fit. Incremental Fit Index (IFI) Selain RFI, Bollen (1989) juga mengusulkan IFI, yang nilainya diperoleh dari: IFI = (nFi – nFh) / (nFi – dfh) Nilai IFI akan berkisar dari 0 sampai 1. Nilai IFI ≥ 0.90 menunjukkan good fit, sedangkan 0.80 ≤ IFI < 0.90 sering disebut sebagai marginal fit. Comparative Fit Index ( CFI) Bentler (1990) menambah perbendaharaan kecocokan inkremental melalui CFI, yang nilainya dapat dihitung dengan rumus: CFI = 1 – ( l1 / l2 ) Dimana: l1 = max (lh,0) dan l2 = max (lh,li,0) lk = [(n-1) Fh-df] dan li = [(n-1)Fi-df]
Nilai CFI akan berkisar dari 0 sampai 1. Nilai CFI ≥ 0.90 menunjukkan good fit, sedangkan 0.80 ≤ CFI < 0.90 sering disebut sebagai marginal fit. Ukuran Kecocokan Parsimoni Model dengan parameter relatif sedikit (dan degree of freedom relatif banyak) sering dikenal dengan model yang mempunyai parsimoni atau kehematan tinggi. Sedangkan model dengan banyak parameter (dan degree fo freedom sedikit) dapat dikatakan model yang kompleks dan kurang parsimoni. Ukuran kecocokan parsimoni mengaitkan GOF model dengan jumlah parameter yang diestimasi, yakni yang diperlukan untuk mencapai kecocokan pada tingkat tersebut. Dalam hal ini, parsimoni dapat didefinisikan sebagai
61 memperoleh degree of fit (derajat kecocokan) setinggi-tingginya untuk setiap degree of freedom. Dengan demikian, parsimoni yang tinggi lebih baik. Parsimonious Normed Fit Index (PNFI) PNFI merupakan modifikasi dari NFI. PNFI memperhitungkan banyaknya degree of freedom (Derajat bebas) untuk mencapai suatu tingkat kecocokan. PNFI didefinisikan sebagai berikut (James, Mulaik & Brett 1982) PNFI = (dfh / dfi) x NFI Dimana : df h = derajat bebas dari model yang dihipotesiskan dfi = derajat bebas dari independence / null model
Nilai PNFI yang lebih tingi yang lebih baik. Penggunaan PNFi terutama untuk perbandingan dua atau lebih model yang mempunyai derajat bebas berbeda. PNFI digunakan untuk membandingkan model-model alternatif, dan tidak ada rekomendasi tingkat kecocokan yang dapat diterima. Meskipun demikian ketika membandingkan dua model, perbedaan nilai PNFI sebesar 0,06 sampai 0,09 menandakan perbedaan model yang cukup besar (Hair et al. 1998). Parsimonious Goodness of Fit (PGFI) Berbeda dengan AGFI yang memodifikasi GFI berdasarkan derajat bebas, PGFI berdasarkan parsimoni dari model yang diestimasi. PGFI melakukan penyesuaian terhadap GFI dengan cara sebagai berikut (Mulaik et al. 1989): PGFI = (dfh / df0) x GFI Nilai PGFI berkisar antara 0 sampai 1, dengan nilai yang lebih tinggi menunjukkan model parsimoni yang lebih baik. Consistent Akaike Information Criterion (CAIC) Bozdogan (1987) menyatakan bahwa AIC memberikan penalti hanya berkaitan dengan derajat bebas dan tidak berkaitan dengan ukuran sampel. Oleh karena itu ia mengusulkan CAIC yang mengikut sertakan ukuran sampel sebagai berikut: CAIC = Di mana: n = jumlah observasi
2
+ (1 + ln n)* q
62 3.6 Sistem Pakar Sistem pakar (expert system) atau sistem berbasis pengetahuan kecerdasan merupakan salah satu bagian kecerdasan buatan (artificial intelligence) yang memungkinkan komputer dapat berpikir dan mengambil kesimpulan dari sekumpulan aturan (aturan biasa atau meta). Dalam proses tersebut seorang pengguna dapat berkomunikasi secara interaktif dengan komputer untuk memecahkan suatu persoalan atau seolah-olah pengguna berhadapan dengan seorang ahli dengan masalah tersebut (Marimin 2009). Lebih lanjut dikemukakan bahwa sistem pakar merupakan salah satu alternatif terbaik untuk menyelesaikan persoalan dengan menggunakan komputer yang didukung oleh teknik kecerdasan buatan terutama untuk pemecahan persoalan yang kompleks dan belum memiliki algoritma. Penerapan sistem pakar untuk memecahkan persoalan yang bersifat analitis (interpretasi dan diagnostik, sintesis) dan integrasi yang sesuai dengan konsep sistem informasi dengan penerapan data dasar (modelisasi konseptual, konsepsi fisik, restrukturisasi data dan administrasi dokumen). Konsep dasar dari suatu sistem pakar mengandung beberapa unsur/elemen, yaitu keahlian, ahli, pengalihan keahlian, inferensi, aturan dan kemampuan menjelaskan. Keahlian merupakan suatu penguasaan pengetahuan di bidang tertentu yang didapatkan dari pelatihan, membaca atau pengalaman yang memungkinkan para ahli dapat mengambil keputusan lebih cepat dan lebih baik dari seorang yang bukan ahli (Turban 1993). Contoh bentuk-bentuk pengetahuan yang merupakan keahlian antara lain:
fakta-fakta pada lingkup permasalahan tertentu.
teori-teori pada lingkup permasalahan tertentu.
prosedur-prosedur dan aturan-aturan (heuristik) berkaitan dengan lingkup permasalahan tertentu.
strategi-strategi global untuk menyelesaikan masalah.
meta-knowledge (pengetahuan tentang pengetahuan).
Sistem Pakar mempunyai kemampuan diantaranya adalah: (1) menjawab berbagai pertanyaan yang menyangkut bidang keahliannya, (2) bila diperlukan dapat menyajikan asumsi dan alur penalaran yang digunakan untuk sampai ke
63 jawaban yang dikehendaki, (3) menambah fakta kaidah dan alur penalaran yang sahih yang baru ke dalam otaknya. Selanjutnya ada banyak keuntungan bila menggunakan sistem pakar, diantaranya adalah:
Menjadikan pengetahuan dan nasihat lebih mudah didapat.
Meningkatkan output dan produktivitas.
Menyimpan kemampuan dan keahlian pakar.
Meningkatkan
penyelesaian
masalah
-
menerusi
paduan
pakar,
penerangan, sistem pakar khas.
Meningkatkan reliabilitas.
Memberikan respons (jawaban) yang cepat.
Merupakan panduan yang intelligence (cerdas).
Dapat bekerja dengan informasi yang kurang lengkap dan mengandung ketidakpastian.
Intelligence database (basis data cerdas), bahwa sistem pakar dapat digunakan untuk mengakses basis data dengan cara yang cerdas.
Ada beberapa keunggulan sistem pakar, diantaranya dapat:
Menghimpun data dalam jumlah yang sangat besar.
Menyimpan data tersebut untuk jangka waktu yang panjang dalam suatu bentuk tertentu.
Mengerjakan perhitungan secara cepat dan tepat dan tanpa jemu mencari kembali data yang tersimpan dengan kecepatan tinggi.
Lebih lanjut Turban (1993) menjelaskan beberapa keunggulan sistem pakar dibandingkan dengan sistem konvensional. Pada Tabel 4 berikut disajikan perbandingan tersebut.
64 Tabel 4 Perbandingan Sistem Konvensional dan Sistem Pakar Sistem Konvensional Informasi dan pemrosesan umumnya digabung dalam satu program sekuensial
Sistem Pakar Basis pengetahuan dari mekanisme pemrosesan (inferensi)
Program tidak pernah salah (kecuali pemrogramnya yang salah)
Program bisa saja melakukan kesalahan
Tidak menjelaskan mengapa input dibutuhkan atau bagaimana hasil yang diperoleh
Penjelasan (explanation) merupakan bagian dari sistem pakar
Membutuhkan semua input data
Tidak harus membutuhkan semua input data/fakta
Perubahan pada program merepotkan
Perubahan pada kaidah dapat dilakukan dengan mudah
Sistem bekerja jika sudah lengkap
Sistem dapat bekerja hanya dengan kaidah yang sedikit
Eksekusi secara algoritmik (step-bystep)
Eksekusi dilakukan secara heuristik dan logis
Manipulasi efektif pada database yang besar
Manipulasi efektif pada basis pengetahuan yang besar
Efisiensi adalah tujuan utama
Efektivitas adalah tujuan utama
Data kuantitatif
Data kualitatif
Representasi dalam numerik
Representasi pengetahuan dalam simbolik
Menangkap, menambah dan mendistribusi data numerik atau informasi
Menangkap, menambah, dan mendistribusi pertimbangan (judgement) dan pengetahuan
Sumber: Turban (1993)
Selain keuntungan-keuntungan di atas, sistem pakar seperti halnya sistem lainnya, juga memiliki kelemahan, diantaranya adalah:
Masalah dalam mendapatkan pengetahuan di mana pengetahuan tidak selalu bisa didapatkan dengan mudah, karena kadangkala pakar dari masalah yang kita buat tidak ada, dan kalaupun ada kadang-kadang pendekatan yang dimiliki oleh pakar berbeda-beda.
Untuk membuat suatu sistem pakar yang benar-benar berkualitas tinggi sangatlah sulit dan memerlukan biaya yang sangat besar utnuk pengembangan dan pemeliharaannya.
Boleh jadi sistem tak dapat membuat keputusan.
65
Sistem pakar tidaklah 100 persen menguntungkan, walaupun seorang tetap tidak sempurna atau tidak selalu benar. Oleh karena itu perlu diuji ulang secara teliti sebelum digunakan. Dalam hal ini peran manusia tetap merupakan faktor dominan.
Sistem pakar terdiri atas dua bagian utama, yaitu bagian pengembangan dan konsultasi. Bagian pengembangan sistem pakar digunakan oleh penyusunnya untuk memasukkan pengetahuan dasar ke dalam lingkungan sistem informasi, sedangkan bagian konsultasi digunakan oleh pemakai untuk mendapatkan pengetahuan ahli serta saran, nasehat maupun justifikasi. Pada prinsipnya sistem pakar tersusun dari beberapa komponen yang mencakup: (1) fasilitas akuisisi pengetahuan, (2) sistem berbasis pengetahuan (knowledge based system), (3) mesin inferensi (inference engine), (4) fasilitas untuk penjelasan dan justifikasi, dan (5) penghubung antara pengguna dan sistem pakar (user interface). Tiap bagian mempunyai hubungan yang erat dengan bagian lainnya (Marimin 2009). Keterkaitan antar komponen tersebut disajikan pada Gambar 10.
pengguna
- nasehat - justifikasi - konsultasi
Penghubung pakar
Sistem berbasis pengetahuan
- fakta - aturan - model - fakta Akuisisi pengetahuan
Mekanisme Inferensi - fakta
- aturan
Dangkal Mendalam
- aturan
- model
Statis Dinamis
- model
Strategi Penalaran
Fasilitas penjelasan
Gambar 10 Struktur Dasar Sistem Pakar (Marimin 2009)
Strategi pengendalian
66 Karakteristik Sistem Pakar menurut Waterman (1986) yang dikutip Marimin (2009) adalah:
Domain persoalan terbatas
Memiliki kemampuan memberikan penalaran
Memiliki kemampuan mengolah data yang mengandung ketidakpastian
Memisahkan mekanisme inferensi dengan basis pengetahuan
Dirancang untuk dikembangkan secara bertahap (modular)
Keluarannya bersifat anjuran
Basis pengetahuan didasarkan pada kaidah
3.6.1 Tahapan Pembentukan Sistem Pakar Tahapan pembentukan sistem pakar dimulai dengan tahapan identifikasi masalah yang dikaji serta tugas spesifik yang akan ditangani. Proses selanjutnya meliputi: mencari sumber pengetahuan, akuisisi pengetahuan, representasi pengetahuan, pengembangan mesin inferensi, implementasi dan pengujian (Gambar 11). Mulai
Identifikasi masalah
Mencari Sumber Pengetahuan
Akuisisi Pengetahuan
Representasi Pengetahuan
Pengembangan Mesin Inferensi
Implementasi
Pengujian
Tidak
Mewakili Human Expert?
Ya Selesai
Gambar 11 Tahap Pembentukan Sistem Pakar (Marimin 2009)
67
1. Identifikasi Masalah Proses identifikasi masalah merupakan hal kritis di dalam pembentukan sistem pakar karena pakar dan pemakai sebagai manusia mempunyai kecenderungan subyektif dalam mendiagnosis suatu kegagalan. Di samping itu pemilihan bidang permasalahan di dalam kasus sistem yang besar membutuhkan suatu studi kelayakan yang formal yang mencakup kebutuhan yang mendesak, justifikasi serta kelayakan pengembangan (Marimin 2009). Maguire (1988) yang dirujuk Marimin (2009) mengemukakan bahwa pada tahap identifikasi masalah perlu dipertimbangkan hal seperti jenis penerapan baru (terminologi, pengembangan alat, arsitektur sistem dan interface pemakai) untuk pemakai umum dan sistem perorangan; pengembangan sistem pakar yang sesuai dengan model pengetahuan pakar; desain yang erat kaitannya dengan versi data sistem pakar (mesin inferensi) yang akan dikembangkan dan keterpaduan sistem (volume data komunikasi dan memori yang diperlukan serta beban pengolahan) dengan lingkungan produksi yang dimiliki pengguna. 2. Akuisisi Pengetahuan Akuisisi pengetahuan merupakan akumulasi, transfer dan transformasi keahlian dalam menyelesaikan masalah dari sumber pengetahuan ke dalam program pengetahuan. Pada tahap ini Knowledge Engineers (KEs)
berusaha
menyerap pengetahuan untuk selanjutnya ditransfer ke dalam basis pengetahuan. Pengetahuan diperoleh dari pakar, dilengkapi dengan basis data, buku, laporan penelitian dan pengalaman pengguna (Turban 1993). Hasil akuisisi pengetahuan sangat menentukan bentuk struktur data pada basis pengetahuan. Dalam pembentukan sistem pakar akuisisi pengetahuan merupakan proses yang cukup sulit karena tidak terstrukturnya metode yang diterangkan oleh pakar kepada KEs (Marimin 2009). 3. Representasi Pengetahuan Representasi pengetahuan merupakan kombinasi sistem didasarkan pada dua elemen, yaitu struktur data dan penafsiran prosedur untuk digunakan pengetahuan dalam menyimpan struktur data. Representasi pengetahuan bertujuan mengembangkan suatu struktur yang membantu proses pengkodean pengetahuan
68 menjadi suatu program sedemikian rupa sehingga dapat menunjukkan suatu perilaku kecerdasan (Turban 1993). Carrico et al. (1989) yang dirujuk Turban (1993) mengemukakan bahwa teknik representasi pengetahuan dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu teknik analisis dan teknik pengkodean. Teknik analisis representasi pengetahuan terdiri atas: jaringan semantik, tabel keputusan dan pohon keputusan. Teknik ini memberikan pandangan pictorial domain pengetahuan dan dapat dikodifikasi ke dalam sistem denagn fasilitas strukturisasi tambahan. Teknik ini sangat baik digunakan dalam rangka menentukan cakupan pengetahuan pada tahap awal pengumpulan pengetahuan. Teknik pengkodean meliputi: aturan-aturan produksi, frames dan demons, digunakan untuk menstransformasi diagram pictorial dari pengetahuan menjadi kode kerja pada sistem pengetahuan yang dilaksanakan dengan bantuan alat atau bahasa pemrograman tertentu. 4. Pengembangan Mesin Inferensi Mekanisme inferensi merupakan komponen terpenting dari Sistem Pakar. Teknik mekanisme inferensi adalah prosedur yang dapat digunakan untuk mendapatkan penelusuran dan pengendali bagi prosess mengemukakan pendapat. Dalam mekanisme inferensi terjadi suatu proses untuk memanipulasi dan mengarahkan kaidah, model dan fakta yang disimpan pada basis pengetahuan dalam mencapai solusi atau kesimpulan (Eriyatno 1999). Penyusunan mesin inferensi dimulai dengan perumusan proses penalaran dan kemungkinan modifikasinya. Proses penalaran ini akan berjalan efektif dan efisien apabila dikendalikan dengan baik. Oleh karena itu pemilihan strategi pengendalian perlu mempertimbangkan berbagai faktor termasuk kemudahan dalam implementasinya. Disamping itu pemeriksaan rekonsistensi sistem dan kebenaran dari aturan-aturan, parameter-parameter, peubah-peubah dan proses penalaran yang diterapkan mulai dilaksanakan (Marimin 2009). 5. Implementasi Pada tahap implementasi dilakukan penerjemahan hasil perumusan (bentuk algoritme dan interpretasi garfik) ke dalam komputer sesuai dengan perangkat pengembang yang digunakan. Pemilihan perangkat lunak didasarkan atas kesesuaian karakteristik permasalahan yang dikaji (Marimin 2009).
69 6. Pengujian Pengujian dilakukan agar sistem pakar yang diperoleh dapat mewakili human expert. Dalam hal ini pengujian tidak selalu harus mencakup seluruh permasalahan yang ditangani, tetapi dapat dilakukan secara modular atau menurut bidang keahlian (Marimin 2009). 3.7 Sistem Pakar Knowledege Management Scorecard Pengambilan contoh untuk survei pakar dilakukan dengan teknik non random purpose sampling karena contoh dipilih berdasarkan pertimbanganpertimbangan tertentu (Singarimbun & Effendi 1995). Survei ini berorientasi terhadap akuisisi pengetahuan atas domain keahlian tertentu dari pakar yang dilibatkan. Pengetahuan yang diakuisisi dari para pakar distrukturisasi dan dikelola dalam basis pengetahuan yang digunakan dalam pemilihan strategi keunggulan bersaing agroindustri susu. Parameter penentu yang telah diuji pada tahap sebelumnya, direpresentasikan dalam bentuk label yang diolah melalui mekanisme infensia menggunakan rule based scenario. Sistem Pakar akan menghasilkan output strategi keunggulan bersaing. Tahapan desain sistem pakar keunggulan bersaing koperasi susu disajikan pada Gambar 12. Hasil akuisisi pengetahuan dari pakar dan penelusuran pustaka disusun menjadi bentuk formal sehingga dapat diolah komputer. Hubungan antara data dan informasi direpresentasikan secara logis dengan kaidah IF – THEN (JIKAMAKA) atau IF –THEN – ELSE. Menurut Arhami (2005), bentuk dasar metode representasi pengetahuan berbasis kaidah adalah: IF
THEN atau IF THEN atau IF THEN atau IF <evidence> THEN . Dengan demikian sebuah kaidah (rules) basis pengetahuan terdiri atas dua bagian, yaitu bagian IF (jika) yang menyatakan kondisi, antiseden atau evidence yang harus dipenuhi, serta THEN (maka) yang menyatakan konklusi, konsekuen atau hipotesis yang dapat diambil bila bagian IF terpenuhi. Strategi penalaran yang digunakan mengikuti metode modus ponens atau hypothetical syllogism atau sistem penalaran pasti. Dalam modus ponens, sebuah kaidah bernilai benar dalam bagian IF maka bagian THEN pasti bernilai benar.
70 Mekanisme penalaran menggunakan gabungan metode forward chaining dan backward
chaining
secara
bersama-sama
sehingga
mampu
membentuk
pembuktian yang lengkap. Tahap desain Sistem Pakar KM-Scorecard koperasi susu ditampilkan pada Gambar 12. SISTEM PAKAR KNOWLEDEGE MANAGEMENT SCORECARD KOPERASI SUSU
Penentuan Sasaran Strategis masing-masing Perspektif
Penentuan Key Performance Indicators (KPI)
Perancangan Sistem Pakar untuk Menentukan Nilai/Scorecard Koperasi Susu
Penentuan strategi representasi pengetahuan dan penalaran
Mekanisme Inferensi dengan Fuzzy Inference System
Pengujian Model
Tidak Mewakili Pakar?
Ya Model KM-Scorecard Koperasi Susu
Gambar 12 Tahap Desain Sistem Pakar Knowledge Management Scorecard Koperasi Susu di Indonesia
71
BAB 4 PENGEMBANGAN MODEL 4.1 Kerangka Pemikiran Berdasarkan pertimbangan konsep-konsep yang telah dibahas pada Bab 2, teori yang dikemukakan Nonaka dan Takeuchi (1995) mengenai
penciptaan
pengetahuan (dikenal denga model SECI) digunakan sebagai teori umum (grand theory) penelitian ini. Teori tersebut dipilih dengan pertimbangan bahwa teori tersebut telah disitasi secara luas dan telah banyak
penelitian yang
mengaplikasikan teori tersebut. Namun demikian untuk mengatasi kelemahan teori umum tersebut, digunakan teori antara (middle range theory) yang merupakan hasil pemikiran Nonaka sendiri dan dilengkapi pula dengan teori yang dikenalkan Soo et al (2002a). Teori teknik aplikasi penelitian ini menggunakan mendekatan kuantitatif dengan dengan mengaplikasikan teknik statistika, yaitu korelasi kanonikal (Hair 1998) dan structural equation modeling (Hair 2006). Di samping itu penelitian ini juga mengaplikasikan pendekatan sistem dengan mendesain sistem pakar. Kerangka pemikiran konseptual selengkapnya ditampilkan pada Gambar 13. Teori Penciptaan Pengetahuan (Nonaka & Takeuchi, 1995) Knowledge-Based View of The Firm (Kaplan et al., 2001)
Teori Umum (Grand Theory)
Teori Pendukung Penciptaan Pengetahuan (Nonaka et al., 2000; Krogh et al., 2000; Soo et al., 2002a; Nonaka & Toyama, 2005) Balanced Scorecard (Kaplan & Norton, 2004)
Teori Antara (Middle Range Theory)
Korelasi Kanonikal (Hair et al., 1998) Structural Equation Modeling (Hair et al., 2006) Teori Sistem Pakar (Turban, 1993; Marimin, 2002)
Teori Teknik Aplikasi
Konsep Model Penciptaan Pengetahuan Keterangan:
Alur Landasan Teori dalam Penelitian Arus Balik yang Memprakarsai Teori
Gambar 13 Landasan Konseptual Model Penciptaan Pengetahuan
72 4.2 Model Kontribusi Aset Pengetahuan Aset-aset pengetahuan yang dimiliki koperasi diidentifikasi perannya terhadap proses penciptaan pengetahuan yang dapat terjadi sehingga terbentuk perilaku inovatif. Aset pengetahuan tersebut digolongkan menjadi empat, yaitu aset pengetahuan eksperiensial, konseptual, sistemik dan rutin. Keempat tipe aset pengetahuan tersebut menjadi variabel independen. Sebagai variabel dependen adalah proses konversi pengetahuan dalam kerangka model SECI, yaitu: sosialisasi, eksternalisasi, kombinasi dan internalisasi. Model konseptual penelitian dapat dilihat pada Gambar 14. Konseptual
Sosialisasi 1
1
Eksperiensial
Rutin
Kombinasi
2
Eksternalisasi
2
Sistemik
Internalisasi
Gambar 14 Model Konseptual Penelitian Kontribusi Aset Pengetahuan 4.3 Model Penciptaan Pengetahuan Pengembangan model penciptaan pengetahuan pada koperasi susu dilakukan dengan menggunakan model development strategy. Strategi ini dipilih dengan
mempertimbangkan
kesesuaian
dengan
tujuan
penelitian
untuk
menghasilkan model penciptaan pengetahuan yang baru yang didukung data empiris dari koperasi susu yang menjadi responden penelitian. 4.3.1 Definisi Operasional Variabel Pada penelitian ini terdapat tujuh variabel yang akan diamati dan diuji secara statistik. Definisi operasional masing-masing variabel tersebut adalah: 1. Akuisisi pengetahuan didefinisikan sebagai kegiatan yang dilakukan oleh koperasi untuk memperoleh pengetahuan yang dibedakan menjadi dua, yaitu kolaborasi formal dan interaksi informal.
73 2. Daya serap didefinisikan sebagai kemampuan koperasi untuk menghargai nilai kebaruan dari informasi eksternal dan mengasimilasikannya serta mengaplikasikan untuk tujuan-tujuan komersialnya.. 3. Konversi pengetahuan didefinisikan sebagai proses interaksi dinamis antara antara pengetahuan tacit dan pengetahuan eksplisit yang dibedakan menjadi empat, yaitu eksternalisasi, sosialisasi, kombinasi dan internalisasi. 4. Aset pengetahuan didefinisikan sebagai sumber daya spesifik yang dimiliki koperasi yang esensial untuk mencitapkan keunggulan bersaingnya, yang dikelompokkan menjadi empat, yaitu aset pengetahuan eksperiensial, konseptual, sistemik dan rutin. 5. Kemampuan pemecahan masalah dan pengambilan keputusan didefinisikan sebagai kegiatan yang dilakukan bersama-sama oleh para anggota koperasi atau pengurus koperasi dan pihak lain untuk memecahkan suatu masalah dan mengambil suatu keputusan mengenai masalah tersebut. 6. Inovasi di koperasi didefinisikan sebagai komersialisasi sesuatu yang baru seperti teknologi baru, aplikasi baru dalam bentuk produk, proses atau segmen pasar baru, bentuk organisasi baru, pendekatan
manajemen baru atau
kombinasi satu dengan lainnya. 7. Kinerja diidentifikasikan melalui indikator kepuasan anggota, kualitas produk, keuntungan dan produktivitas. 4.3.2 Spesifikasi Model Secara teoritis, keberhasilan koperasi sebagai entitas usaha dengan karakteristik khusus adanya relational contracting, yakni saat pemilik dan konsumen adalah orang yang sama serta mutual benefit anggota menjadi prioritas utama (Nasution 2000). Pada penelitian ini kinerja koperasi diidentifikasikan dengan kepuasan anggota. Hal ini mengindikasikan bahwa semakin tinggi tingkat kepuasan anggota, maka semakin tinggi kinerja koperasi tersebut. Adanya
inovasi
dapat
diidentifikasikan
dengan
adanya
konversi
pengetahuan dan peningkatan kapabilitas pemecahan masalah dan pengambilan keputusan (Bean & Radford 2002). Indikator adanya konversi pengetahuan meliputi pembelajaran, artikulasi, kerjasama dan rekonfigurasi, sedangkan
74 indikator kapabilitas pemecahan masalah dan pengambilan keputusan adalah adanya kreativitas, konsensus dan kelengkapan. 4.3.3 Hipotesis Model 1 Hipotesis didefinisikan sebagai dugaan hubungan secara logika antara dua atau lebih variabel terekspresi dalam format pernyataan yang dapat diuji. Dengan menguji hipotesis dan mengkonfirmasi dugaan hubungan, diharapkan solusi dapat ditemukan untuk pemasalahan yang dihadapi (Sekaran 2000). Berdasarkan model konseptual yang disusun, maka hipotesis yang diuji sebagai Model 1 adalah: 1)
Terdapat hubungan positif
antara aset
pengetahuan dengan konversi
pengetahuan. 2)
Terdapat hubungan positif antara daya serap dengan konversi pengetahuan.
3)
Terdapat hubungan positif antara daya serap dengan kapabilitas pemecahan masalah dan pengambilan keputusan.
4)
Terdapat hubungan positif antara akuisisi pengetahuan dengan kapabilitas pemecahan masalah dan pengambilan keputusan.
5)
Terdapat hubungan positif antara konversi pengetahuan dengan kapabilitas pemecahan masalah dan pengambilan keputusan.
6)
Terdapat hubungan positif antara kapabilitas pemecahan masalah dan pengambilan keputusan dengan inovasi.
7)
Terdapat hubungan positif antara konversi pengetahuan dengan inovasi
8)
Terdapat hubungan positif antara inovasi dengan kinerja. Kerangka pemikiran model penciptaan pengetahuan untuk mendorong
inovasi pada koperasi susu secara lengkap ditampilkan pada Gambar 15. Selanjutnya disebut sebagai Model 1.
75
Konversi Pengetahuan
Aset Pengetahuan
Eksperiensial Konseptual Sistemik Rutin
H1
H2
Internalisasi Eksternalisasi Sosialisasi Kombinasi
H5
Daya Serap Individu Organisasi
Akuisisi Pengetahuan Interaksi Kolaborasi
H6
Kinerja Inovasi H3
H4
•
Kapabilitas Pemecahan Masalah dan Pengambilan Keputusan
H7
H8 Manajemen Proses Produk
Produktivitas Kualitas Kepuasan Anggota
Kreativitas Konsensus Kelengkapan
Gambar 15 Kerangka Pemikiran Model Penciptaan Pengetahuan untuk Mendorong Inovasi pada Koperasi Susu (Model 1)
75
76 Dari kerangka pikir di atas kemudian digambarkan diagram lintasan model penciptaan pengetahuan untuk mendorong inovasi pada koperasi susu (Gambar 16). Pada Model 1, terdapat tiga variabel eksogen, yaitu: 1 = ASET (Aset Pengetahuan) 2 = AKUISISI (Akuisisi Pengetahuan) 3 = DSERAP (Daya Serap)
Terdapat empat variabel endogen, yaitu: 1 = KONVERSI (Konversi Pengetahuan) 2 = KPMPK (Kapabilitas Pemecahan masalah dan Pengambilan
3 4
Keputusan) = INOVASI (Inovasi) = KINERJA (Kinerja)
Masing-masing variabel eksogen mempunyai indikator yang dinotasikan dengan Xi, meliputi: X1 = eksperiensial X2 = konseptual X3 = sistemik X4 = rutin X5 = daya serap individu X6 = daya serap organisasi X7 = interaksi informal X8 = kolaborasi formal Variabel endogen mempunyai indikator yang dinotasikan sebagai Yi, meliputi: Y1 = internalisasi Y2 = eksternalisasi Y3 = sosialisasi Y4 = kombinasi Y5 = kreativitas Y6 = konsensus Y7 = kelengkapan Y8 = manajemen Y9 = proses Y10 = produk Y11 = produktivitas Y12 = kualitas Y13 = kepuasan anggota 76
77
X1 Y1
Y2
Y3
Y4
X2 X3
Aset Konversi
X4
Y8
Y9
Y10 Y11
X5 DSerap
KPMPK
Inovasi
Kinerja
Y12
X6 Y13
X7 Akuisisi
Y5
Y6
Y7
X8
Gambar 16 Diagram Lintasan Model Penciptaan Pengetahuan untuk Mendorong Inovasi pada Koperasi Susu (Model 1)
77
78 4.3.4 Hipotesis Model 2 Hipotesis yang disusun untuk Model 2 adalah: 1)
Terdapat hubungan positif
antara aset pengetahuan dengan konversi
pengetahuan. 2)
Terdapat hubungan positif antara daya serap dengan konversi pengetahuan.
3)
Terdapat hubungan positif antara akuisisi pengetahuan dengan konversi pengetahuan.
4)
Terdapat hubungan positif antara daya serap dengan kapabilitas pemecahan masalah dan pengambilan keputusan.
5)
Terdapat hubungan positif antara akuisisi pengetahuan dengan kapabilitas pemecahan masalah dan pengambilan keputusan.
6)
Terdapat hubungan positif antara konversi pengetahuan dengan kapabilitas pemecahan masalah dan pengambilan keputusan.
7)
Terdapat hubungan positif antara konversi pengetahuan dengan inovasi
8)
Terdapat hubungan positif antara kapabilitas pemecahan masalah dan pengambilan keputusan dengan inovasi.
9)
Terdapat hubungan positif antara inovasi dengan kinerja. Kerangka Pemikiran Model Penciptaan Pengetahuan untuk Mendorong
Inovasi pada Koperasi Susu untuk Model 2 ditampilkan pada Gambar 17.
78
79
Konversi Pengetahuan
Aset Pengetahuan
Eksperiensial Konseptual Sistemik Rutin
H1
H2
Internalisasi Eksternalisasi Sosialisasi Kombinasi
H7
H3 H6
Daya Serap
Kinerja
Inovasi Individu Organisasi
Akuisisi Pengetahuan Interaksi Kolaborasi
H4
H5
•
Kapabilitas Pemecahan Masalah dan Pengambilan Keputusan
H9
H8 Manajemen Proses Produk
Produktivitas Kualitas Kepuasan Anggota
Kreativitas Konsensus Kelengkapan
Gambar 17 Kerangka Pemikiran Model Penciptaan Pengetahuan untuk Mendorong Inovasi pada Koperasi Susu (Model 2)
79
80 Model struktural yang disusun pada Model 2, menyajikan tiga variabel eksogen, yaitu (Gambar 18): 1 = ASET (Aset Pengetahuan) 2 = AKUISISI (Akuisisi Pengetahuan) 3 = DSERAP (Daya Serap)
Terdapat empat variabel endogen, yaitu: 1 = KONVERSI (Konversi Pengetahuan) 2 = KPMPK (Kapabilitas Pemecahan masalah dan Pengambilan
3 4
Keputusan) = INOVASI (Inovasi) = KINERJA (Kinerja)
Masing-masing variabel eksogen mempunyai indikator yang dinotasikan dengan Xi, meliputi: X1 = eksperiensial X2 = konseptual X3 = sistemik X4 = rutin X5 = daya serap individu X6 = daya serap organisasi X7 = interaksi informal X8 = kolaborasi formal Masing-masing variabel endogen mempunyai indikator yang dinotasikan sebagai Yi, meliputi: Y1 = internalisasi Y2 = eksternalisasi Y3 = sosialisasi Y4 = kombinasi Y5 = kreativitas Y6 = konsensus Y7 = kelengkapan Y8 = manajemen Y9 = proses Y10 = produk Y11 = produktivitas Y12 = kualitas Y13 = kepuasan anggota
80
81
X1 Y1
Y3
Y2
Y4
X2 X3
Aset
H1
Konversi
X4
H2
Y9
Y10 Y11
H7 H3
X5
Y8
H6 H8
H4
DSerap
KPMPK
H9
Inovasi
Kinerja
Y12
X6 H5
Y13
X7 Akuisisi
Y5
Y6
Y7
X8
Gambar 18 Diagram Lintasan Model Penciptaan Pengetahuan untuk Mendorong Inovasi pada Koperasi Susu (Model 2)
81
82 4.3.5 Hipotesis Model 3 Hipotesis yang disusun untuk Model 3 adalah: 1)
Terdapat hubungan positif
antara aset pengetahuan dengan konversi
pengetahuan. 2)
Terdapat hubungan positif antara daya serap dengan konversi pengetahuan.
3)
Terdapat hubungan positif antara akuisisi pengetahuan dengan konversi pengetahuan.
4)
Terdapat hubungan positif antara daya serap dengan kapabilitas pemecahan masalah dan pengambilan keputusan.
5)
Terdapat hubungan positif antara akuisisi pengetahuan dengan kapabilitas pemecahan masalah dan pengambilan keputusan.
6)
Terdapat hubungan positif antara konversi pengetahuan dengan kapabilitas pemecahan masalah dan pengambilan keputusan.
7)
Terdapat hubungan positif antara konversi pengetahuan dengan inovasi
8)
Terdapat hubungan positif antara kapabilitas pemecahan masalah dan pengambilan keputusan dengan inovasi
9)
Terdapat hubungan positif antara inovasi dengan kinerja. Kerangka Pemikiran Model Penciptaan Pengetahuan untuk Mendorong
Inovasi pada Koperasi Susu untuk Model 2 ditampilkan pada Gambar 19.
82
83
Aset Pengetahuan
Konversi Pengetahuan
H1
Eksperiensial Konseptual Sistemik Rutin H2
Internalisasi Eksternalisasi Sosialisasi Kombinasi
H6
H4
Daya Serap Individu Organisasi
Akuisisi Pengetahuan Interaksi Kolaborasi
Kinerja
Inovasi
H3 •
Kapabilitas Pemecahan Masalah dan Pengambilan Keputusan
H7
H5 Manajemen Proses Produk
Produktivitas Kualitas Kepuasan Anggota
Kreativitas Konsensus Kelengkapan
Gambar 19 Kerangka Pemikiran Model Penciptaan Pengetahuan untuk Mendorong Inovasi pada Koperasi Susu (Model 3)
83
84 Model struktural yang disusun pada Model 3, juga menyajikan tiga variabel eksogen, yaitu (Gambar 20): 1 = ASET (Aset Pengetahuan) 2 = AKUISISI (Akuisisi Pengetahuan) 3 = DSERAP (Daya Serap)
Terdapat empat variabel endogen, yaitu: 1 = KONVERSI (Konversi Pengetahuan) 2 = KPMPK (Kapabilitas Pemecahan masalah dan Pengambilan
3 4
Keputusan) = INOVASI (Inovasi) = KINERJA (Kinerja)
Masing-masing variabel eksogen mempunyai indikator yang dinotasikan dengan Xi, meliputi: X1 = eksperiensial X2 = konseptual X3 = sistemik X4 = rutin X5 = daya serap individu X6 = daya serap organisasi X7 = interaksi informal X8 = kolaborasi formal Masing-masing variabel endogen mempunyai indikator yang dinotasikan sebagai Yi, meliputi: Y1 = internalisasi Y2 = eksternalisasi Y3 = sosialisasi Y4 = kombinasi Y5 = kreativitas Y6 = konsensus Y7 = kelengkapan Y8 = manajemen Y9 = proses Y10 = produk Y11 = produktivitas Y12 = kualitas Y13 = kepuasan anggota
84
85
X1 Y1
Y2
Y3
Y4
X2 X3
Aset
H1
Konversi
X4
Y8
Y9
Y10 Y11
H6
H2 H4
X5
H7
H5
DSerap
KPMPK
Inovasi
Kinerja
Y12
X6 H3
Y13
X7 Akuisisi
Y5
Y6
Y7
X8
Gambar 20 Diagram Lintasan Model Penciptaan Pengetahuan untuk Mendorong Inovasi pada Koperasi Susu (Model 3)
85
86 4.3.6 Hipotesis Model 4 Berdasarkan proses respesifikasi model, disusun Model 4 dengan hipotesis yang diuji adalah: 1)
Terdapat hubungan positif antara aset pengetahuan dengan konversi pengetahuan.
2)
Terdapat hubungan positif antara daya serap dengan konversi pengetahuan.
3)
Terdapat hubungan positif antara daya serap dengan kapabilitas pemecahan masalah dan pengambilan keputusan.
4)
Terdapat hubungan positif antara akuisisi pengetahuan dengan kapabilitas pemecahan masalah dan pengambilan keputusan
5)
Terdapat hubungan positif antara konversi pengetahuan dengan kapabilitas pemecahan masalah dan pengambilan keputusan.
6)
Terdapat hubungan positif antara kapabilitas pemecahan masalah dan pengambilan keputusan dengan inovasi.
7)
Terdapat hubungan positif antara konversi pengetahuan dengan inovasi. Kerangka Pemikiran Model Penciptaan Pengetahuan untuk Mendorong
Inovasi pada Koperasi Susu untuk Model 3 ditampilkan pada Gambar 21.
86
87
Aset Pengetahuan
Kepercayaan Citra Ketrampilan Prosedur
H1
• • • • •
H2
Akuisisi Pengetahuan
Interaksi Kolaborasi
H7 Pembelajaran Artikulasi Kerjasama Rekonfigurasi H5
Daya Serap Individu Organisasi
Konversi Pengetahuan
H3
H4
Inovasi H6
Kapabilitas Pemecahan Masalah & Pengambilan Keputusan
Manajemen Proses Produk
Kreativitas Konsensus Kelengkapan
Gambar 21 Kerangka Pemikiran Model Penciptaan Pengetahuan untuk Mendorong Inovasi pada Koperasi Susu (Model 4)
87
88 Model struktural yang disusun pada Model 4 terdiri atas tiga variabel eksogen dan tiga variabel endogen (Gambar 22). Ketiga variabel eksogen tersebut, yaitu: 1 = ASET (Aset Pengetahuan) 2 = AKUISISI (Akuisisi Pengetahuan) 3 = DSERAP (Daya Serap)
Terdapat tiga variabel endogen, yaitu: 1 = KONVERSI (Konversi Pengetahuan) 2 = KPMPK (Kapabilitas Pemecahan masalah dan Pengambilan
3
Keputusan) = INOVASI (Inovasi)
Masing-masing variabel eksogen mempunyai indikator yang dinotasikan dengan Xi, meliputi: X1 = eksperiensial X2 = konseptual X3 = sistemik X4 = rutin X5 = daya serap individu X6 = daya serap organisasi X7 = interaksi informal X8 = kolaborasi formal Masing-masing variabel endogen mempunyai indikator yang dinotasikan sebagai Yi, meliputi: Y1 = daya serap individu Y2 = daya serap organisasi Y3 = internalisasi Y4 = eksternalisasi Y5 = sosialisasi Y6 = kombinasi Y7 = kreativitas Y8 = konsensus Y9 = kelengkapan Y10 = manajemen Y11 = proses Y12 = produk
88
89
X1 Y1
Y2
Y3
Y4
X2 X3
Aset
H1
Konversi
X4
Y8
H7
H2 H5
X5
H3
DSerap
KPMPK
Inovasi
Y9
H6
X6
H4
Y10
X7 Akuisisi
Y5
Y6
Y7
X8
Gambar 22 Diagram Lintasan Model Penciptaan Pengetahuan untuk Mendorong Inovasi pada Koperasi Susu (Model 4)
89
90 4.3.7 Hipotesis Model 5 Berdasarkan proses respesifikasi model, disusun Model 5 dengan hipotesis yang diuji adalah: 1)
Terdapat hubungan positif
antara aset
pengetahuan dengan konversi
pengetahuan. 2)
Terdapat hubungan positif antara akuisisi pengetahuan dengan daya serap
3)
Terdapat hubungan positif antara akuisisi pengetahuan dengan kapabilitas pemecahan masalah dan pengambilan keputusan.
4)
Terdapat hubungan positif antara daya serap dengan konversi pengetahuan
5)
Terdapat hubungan positif antara daya serap dengan kapabilitas pemecahan masalah dan pengambilan keputusan
6)
Terdapat hubungan positif antara konversi pengetahuan dengan kapabilitas pemecahan masalah dan pengambilan keputusan.
7)
Terdapat hubungan positif antara konversi pengetahuan dengan inovasi
8)
Terdapat hubungan positif antara kapabilitas pemecahan masalah dan pengambilan keputusan dengan inovasi. Kerangka Pemikiran Model Penciptaan Pengetahuan untuk Mendorong
Inovasi pada Koperasi Susu untuk Model 3 ditampilkan pada Gambar 23.
90
91
Aset Pengetahuan
Eksperiensial Konseptual Sistemik Rutin
H1
H5
H2
Interaksi Kolaborasi
Internalisasi Eksternalisasi Sosialisasi Kombinasi
H6
Daya Serap
Akuisisi Pengetahuan
H7
H4
Individu Organisasi
Konversi Pengetahuan
H3
Inovasi H8
Kapabilitas Pemecahan Masalah & Pengambilan Keputusan
Manajemen Proses Produk
Kreativitas Konsensus Kelengkapan
Gambar 23 Kerangka Pemikiran Model Penciptaan Pengetahuan untuk Mendorong Inovasi pada Koperasi Susu (Model 5)
91
92 Model struktural yang disusun pada Model 5 terdiri atas dua variabel eksogen dan empat variabel endogen (Gambar 24). Kedua variabel eksogen tersebut, yaitu: 1 = ASET (Aset Pengetahuan) 2 = AKUISISI (Akuisisi Pengetahuan)
Dan terdapat empat variabel endogen, yaitu: 1 = DSERAP (Daya Serap)
2 = KONVERSI (Konversi Pengetahuan)
3 = KPMPK (Kapabilitas Pemecahan masalah dan Pengambilan 4
Keputusan) = INOVASI (Inovasi)
Masing-masing variabel eksogen mempunyai indikator yang dinotasikan dengan Xi, meliputi: X1 = eksperiensial X2 = konseptual X3 = sistemik X4 = rutin X5 = interaksi informal X6 = kolaborasi formal Masing-masing variabel endogen mempunyai indikator yang dinotasikan sebagai Yi, meliputi: Y1 = daya serap individu Y2 = daya serap organisasi Y3 = internalisasi Y4 = eksternalisasi Y5 = sosialisasi Y6 = kombinasi Y7 = kreativitas Y8 = konsensus Y9 = kelengkapan Y10 = manajemen Y11 = proses Y12 = produk
92
93
X1 Y3
Y4
Y5
Y6
X2 Aset
X3
H1 Konversi
X4
Y10
H7
H4 Y1 DSerap
H5
H6
Inovasi
Y11
Y2 H8
KPMPK
H3
Y12
X5 Akuisisi X6 Y7
Y8
Y9
Gambar 24 Diagram Lintasan Model Penciptaan Pengetahuan untuk Mendorong Inovasi pada Koperasi Susu (Model 5)
93
BAB 5 PROFIL AGROINDUSTRI SUSU Agroindustri merupakan suatu perusahaan yang melakukan proses pengolahan bahan-bahan hasil pertanian, meliputi transformasi dan preservasi melalui proses yag bersifat fisikal atau kimiawi, penyimpanan, pengemasan dan distribusi (Austin 1992). Agroindustri susu yang berkembang di Indonesia adalah perusahaan-perusahaan yang bergerak sebagai industri hilir yang tergabung pada Industri Pengolahan Susu (IPS). Di Indonesia saat ini belum berkembang industri hulu bagi IPS yang memproduksi susu setengah jadi. Hal ini karena agroindustri hulu pada umumnya relatif lebih padat modal dan harus dalam skala besar untuk mencapai skala ekonomisnya. Ditinjau dari peta perdagangan internasional produk susu dan turunannya, saat ini Indonesia berada pada posisi sebagai net-consumer. Sampai saat ini industri pengolahan susu nasional masih sangat bergantung pada impor bahan baku susu. Jika kondisi tersebut tidak dibenahi dengan membangun sebuah sistem agroindustri yang kokoh, maka Indonesia akan terus menjadi negara pengimpor produk susu bahkan ternak sapi perahnya. Industri hilir susu sendiri dapat dibedakan atas skala kecil, sedang dan besar. Industri hilir skala kecil, umumnya masih tradisional dan sederhana, seperti industri kerupuk susu, tahu susu dan dodol susu. Industri skala sedang dan besar memiliki teknologi proses produksi yang relatif modern. Proses produksi dilakukan dengan mengubah sifat-sifat kimiawi atau sifat asalnya, misalnya industri yang mengolah susu segar menjadi susu kental manis, susu bubuk, mentega atau keju. Namun industri skala sedang dan besar juga mengolah dengan mempertahankan sifat-sifat asalnya, seperti susu pasteurisasi dan susu sterilisasi. Berdasarkan proses produksinya, IPS dapat dibagi menjadi dua, yaitu : (1) Unit Pengolahan Susu (Milk Treatment Centre - MTC) dan (2) Pabrik Pengolah Susu (Milk Processing Plants - MPP). Milk Treatment Centre (MTC) melakukan pengolahan susu segar sampai tahap pasteurisasi, sedangkan MPP mengolah susu segar yang sudah dipasteurisasi menjadi produk akhir.
Produk MPP dapat
dikelompokkan menjadi dua, yaitu produk setengah jadi dan produk akhir. Kelompok pertama termasuk di antaranya Skim Milk Powder (SMP), Full Cream Milk Powder (FCMP), Anhydrous Milk Fat (AMF), Butter Milk dan Lactose. Susu
98 kental manis (SKM), Full Cream Powdered (FCMP), Liquid Milk, mentega dan keju termasuk dalam kelompok kedua. Di Indonesia saat ini terdapat lima pabrik pengolahan susu yang menguasai pangsa pasar (market share) produk susu. Pabrik pengolahan susu yang pertama kali didirikan di Indonesia adalah PT. Indomilk pada tahun 1967 dengan modal patungan antara Australian Dairy Produce Board dan swasta nasional. Kemudian disusul berdirinya PT. Friesche Vlag Indonesia yang merupakan usaha patungan dengan modal Belanda. Pada tahun 1971 didirikan pabrik pengolah susu PT. Nestle Indonesia yang merupakan usaha patungan antara Nestle SA dari Swiss dengan peternak Jawa Timur.
Pabrik susu yang didirikan dengan penanaman
modal dalam negeri (PMDN) adalah PT. Sari Husada yang didirikan pada tahun 1972. Pada awalnya perusahaan ini dimiliki oleh PT. Kimia Farma dan PT. Tiga Raksa. Namun setelah go public struktur kepemilikannya berubah menjadi 68,6 persen saham dimiliki oleh PT. Tiga Raksa dan sisanya dimiliki oleh masyarakat. Perusahaan yang berstatus PMDN lainnya adalah PT. Ultra Jaya yang mulai produksi tahun 1975 (Indonesian Commercial Newsletter 1995). 5.1 Konsumsi Produk Susu Dilihat dari sisi konsumsi, hingga saat ini masyarakat Indonesia mengkonsumsi produk susu masih tergolong sangat rendah bila dibandingkan dengan negara berkembang lainnya. Konsumsi susu masyarakat Indonesia hanya 10,47 kg/kapita/tahun pada tahun 2009 sudah termasuk produk-produk olahan yang mengandung susu. Rataan konsumsi susu negara tetangga seperti Thailand, Malaysia dan Singapura mencapai 30 liter/kapita/tahun, sedangkan negara-negara Eropa sudah mencapai 100 liter/kapita/tahun. Seiring dengan semakin tingginya pendapatan masyarakat dan semakin bertambahnya jumlah penduduk Indonesia, dapat dipastikan bahwa permintaan produk-produk susu oleh penduduk Indonesia akan meningkat. Perkiraan peningkatan konsumsi tersebut merupakan peluang yang perlu dimanfaatkan dengan baik. Produksi susu segar dan produk-produk turunannya seharusnya dapat ditingkatkan. Untuk itu, membangun agroindustri susu yang kokoh sangat diperlukan bagi masyarakat Indonesia demi terjaminnya
99 ketersediaan produk susu yang tepat kuantitas dan kualitasnya serta memperoleh manfaat dari setiap rantai nilai tambahnya. Sebagian besar konsumsi susu masyarakat Indonesia dalam bentuk susu bubuk dan susu kental manis.Hal ini termasuk pengecualian dibanding negaranegara lain yang pada umumnya lebih banyak mengkonsumsi susu cair. Hal ini memberi peluang bagi produsen termasuk koperasi susu untuk mengembangkan pasar bagi produk-produk susu cair. Di sisi lain, edukasi konsumen perlu dilakukan secara efektif agar konsumen beralih kepada produk susu yang memiliki kandungan gizi yang lebih lengkap. Proporsi konsumsi Produk susu masyarakat Indonesia tahun 2007 disajikan pada Gambar 25.
Gambar 25 Proporsi Konsumsi Produk Susu Indonesia Tahun 2007 (Statistik Peternakan 2008) 5.2 Produksi dan Populasi Sapi Perah Produksi Susu segar di Indonesia tidak menunjukkan perkembangan yang signifikan merespon peningkatan jumlah penduduk dan peningkatan konsumsi per kapita. Produksi susu segar ini sekitar 90 persen dihasilkan olah koperasi susu yang
tergabung
dalam
Gabungan
Koperasi
Susu
Indonesia
Perkembangan produksi susu segar ditampilkan pada Gambar 26.
(GKSI).
100 800,0 700,0 600,0 500,0 Indonesia
400,0
Jawa 300,0
Luar Jawa
200,0 100,0 0,0 1991 1993 1995 1997 1999 2001 2003 2005 2007 2009
Gambar 26 Produksi Susu Segar pada Tahun 1991-2009 Populasi sapi perah di Indonesia terkonsentrasi di pulau Jawa. Kondisi ini memiliki sejarah panjang sebagai proses saling mempengaruhi dengan keberadaan industri pengolahan susu (IPS) yang juga terkonsentrasi di pulau Jawa. Upaya mengenalkan sapi perah di Indonesia dimulai sejak akhir abad XIX saat pemerintahan Hindia Belanda berkuasa dengan memfasilitasi pendirian usaha sapi perah untuk memenuhi konsumsi susu bagi orang-orang Belanda yang sedang berada di Indonesia, khususnya Jawa. Untuk itu didatangkan bibit sapi perah Fries Holland (FH) dari Belanda. Hal inilah yang menjadi cikal bakal peternakan sapi perah di pulau Jawa. Penyebaran populasi sapi perah di Indonesia ditampilkan pada Gambar 27.
101
600 500 400 Indonesia 300
Jawa Luar Jawa
200 100 0 1991 1993 1995 1997 1999 2001 2003 2005 2007 2009
Gambar 27 Populasi Sapi Perah Tahun 1991-2009 Kondisi produksi susu segar Indonesia saat ini, sebagian besar (91%) dihasilkan oleh usaha rakyat dengan skala usaha 1-3 ekor sapi perah per peternak yang tergabung dalam keanggotaan koperasi susu. Skala usaha ternak sekecil ini jelas kurang ekonomis karena keuntungan yang didapatkan dari hasil penjualan susu hanya cukup untuk memenuhi sebagian kebutuhan hidup. Di sisi lain, peternak menghadapi beberapa kendala manajemen usaha, antara lain penyediaan pakan, penanganan reproduksi dan pascapanen. Menurut beberapa penelitian mengenai kelayakan usaha sapi perah, skala ekonomis bisa dicapai dengan kepemilikan 10-12 ekor sapi per peternak. 5.3 Kebijakan dan Kelembagaan Agroindustri Susu Pemerintah
telah
menerapkan
berbagai
kebijakan
dalam
rangka
mengembangkan agroindustri di Indonesia, terutama untuk meningkatkan produksi susu dalam negeri.
Salah satu kebijakan pemerintah dalam upaya
pemenuhan kebutuhan sarana produksi ternak penyediaan (bibit sapi, peralatan, pakan ternak dan obat-obatan) dilakukan melalui koperasi persusuan yang tergabung dalam GKSI (Gabungan Koperasi Susu Indonesia), industri pemasok terutama industri pakan ternak, produsen obat-obatan untuk ternak dan pihak perbankan. Berdasarkan Inpres Nomor 2 Tahun 1985 Bab II pasal 3 mengenai ruang lingkup, dinyatakan bahwa ruang lingkup kebijaksanaan persusuan meliputi
102 perumusan kebijaksanaan dan pengendalian pelaksanaan kebijaksanaan dalam rangka memperlancar kegiatan peningkatan produksi susu dalam negeri, industri pengolahan susu, industri pengguna bahan susu, pemasaran dan konsumsi susu. Pada pasal 4 ayat 1 dinyatakan, produksi susu dalam negeri ditingkatkan melalui usaha modernisasi peternakan sapi perah rakyat yang dibina dalam wadah koperasi susu. Ayat 2 menyatakan, dalam rangka meningkatkan produktivitas peternakan ternak perah dan mengembangkan swadaya peternak perah yang dibina menjadi anggota koperasi, diadakan pembinaan dan pengembangan prasarana dan sarana penunjang sejak usaha pra produksi, produksi dan pasca panen seperti penyediaan peralatan dan teknologi. Selanjutnya, dalam pasal 5 ayat 1, dinyatakan bahwa pengembangan Industri Pengolahan Susu (IPS) diadakan di sentra produksi yang bertumpu pada kekuatan pada kekuatan produksi susu dalam negeri. Pada ayat 2 dinyatakan, dalam setiap pendirian IPS wajib mengikutsertakan koperasi secara aktif. Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Perdagangan dan Koperasi, Menteri Perindustrian dan Menteri Pertanian, Nomor 236/(Kpb)/VII1/982, Nomor 341/M/SK/7/1982 dan Nomor 521/Kpts/Um/1982 tentang pengembangan usaha peningkatan produksi, pengolahan dan pemasaran susu dalam negeri. Pada pasal 3 ayat 1 berbunyi, pembinaan dan pengembangan usaha peningkatan produksi susu di dalam negeri diatur oleh Menteri Pertanian. Dalam ayat 2 dinyatakan, Menteri Pertanian menyampaikan perkiraan produksi susu dalam negeri kepada Menteri Perdagangan dan Koperasi. Pada pasal 4 ayat 1 menjelaskan bahwa pembinaan dan pengembangan IPS diatur oleh Menteri Perindustrian. Kebijakan pemerintah dalam penyediaan bahan baku adalah SKB di atas dalam pasal 2 ayat 3 yang menegaskan untuk kepentingan penyerapan susu produksi dalam negeri perusahaan dapat melengkapi peralatan yang diperlukan dengan izin Departemen/Instansi yang bersangkutan. Ayat 4 menyebutkan, impor bahan baku susu hanya dapat dilaksanakan oleh importir umum maupun importir produsen. Dan ayat 5 menyatakan jumlah dan jenis bahan baku susu yang akan diimpor oleh importir terdaftar seperti tersebut pada pasal 2 ayat 4 ditetapkan berdasarkan bukti realisasi penebusan dan pembelian susu produksi dalam negeri.
103 Berdasarkan Keputusan Menteri Perdagangan dan Koperasi Nomor 274/KP/VII/1982 tentang pola pengadaan penyediaan bahan baku susu untuk kebutuhan dalam negeri, dinyatakan dalam pasal 1 sampai dengan pasal 9. Dalam pasal 2 dijelaskan mengenai perusahaan dan industri yang melakukan perdagangan/pembelian susu adalah koperasi, IPS yang menggunakan susu sebagai bahan baku utama, IPS yang menggunakan susu sebagai bahan baku penolong, industri pengepakan kembali (repacking) dan importir nasional termasuk Persero Niaga. Pembelian susu yang dimaksud adalah seperti yang dinyatakan dalam pasal 1, yaitu susu murni produksi dalam negeri yang dihasilkan oleh peternak sapi perah dan semua jenis susu yang diimpor dalam bentuk bahan baku. Pada tahun 1985, Pemerintah mengeluarkan INPRES No. 2 Tahun 1985 tentang pembentukan satu forum untuk merumuskan kebijakan persusuan nasional, yaitu Tim Koordinasi Pembinaan dan Pengembangan Persusuan Nasional. Salah satu fungsi tim koordiansi tersebut adalahmewujudkan SKB Tiga Menteri (Menteri Pertanian, Menteri Perindustrian & Perdagangan dan Menteri Koperasi) tanggal 21 Juli 1982 tentang penyerapan susu segar dalam negeri yang ditetapkan melalui rasio susu dan mekanisme bukti serap (busep). Pada tanggal 2 Pebruari 1998, pemerintah mengeluarkan Instruksi Presiden (INPRES) No. 4 tahun 1998 yang merupakan implementasi nota kesepakatan antara pemerintah Indonesia dan lembaga Dana Moneter Internasional (IMF), khususnya poin tentang program restrukturisasi struktural dengan menghapus monopoli Bulog, deregulasi perdagangan domestik pertanian dan pemotongan maksimum 5% pajak bahan makanan. Inpres No. 4 tahun 1998 ini berisikan pencabutan beberapa ketentuan dalam Inpres No.2 tahun 1985 tentang Koordinasi Pembinaan dan Pengembangan Persusuan Nasional, yaitu: (1) kewajiban Industri Pengolahan Susu (IPS) untuk menyerap susu lokal berdasarkan rasio serap dengan susu impor, (2) kebijakan impor satu pintu atau impor melalui lembaga tataniaga tertentu, (3) kebijakan rasio susu, dan (4) semua ketentuan yang berkaitan dengan pengendalian impor susu, kewajiban menyerap susu lokal dan pengendalian harga susu dalam negeri. Dengan INPRES ini, pertumbuhan agroindustri persusuan nasional sepenuhnya diserahkan kepada mekanisme pasar.
104 Hingga saat ini koperasi primer susu dan Gabungan Koperasi Susu Indonesia (GKSI) merupakan pemasok terbesar untuk bahan baku susu dalam bentuk susu segar dari peternak anggotanya. Terdapat lima unit pengolah susu yang dimiliki GKSI dengan lokasi tersebar di daerah sentra produksi susu segar, yaitu di Pengalengan dan Ujung Berung (Jawa Barat), Boyolali (Jawa Tengah) serta Pandaan dan Batu (Jawa Timur). Saat ini terdapat 192 koperasi primer yang menjadi anggota GKSI yang bertindak sebagi pemasok susu segar atau susu pasteurisasi bagi IPS. Koperasi primer tersebut terkonsentrasi di pulau Jawa dengan rincian Jawa Barat & DKI Jakarta berjumlah 96 koperasi, Jawa Tengah & DI Yogyakarta berjumlah 34 koperasi dan Jawa Timur berjumlah 38 koperasi (Laporan Tahunan GKSI 2005).
105
BAB 6 HASIL DAN PEMBAHASAN 6.1 Model Kontribusi Aset Pengetahuan Tujuan utama analisis ini adalah memberikan pandangan yang lebih mendalam terhadap kerangka pemikiran Nonaka dan Takeuchi (1995) tentang proses penciptaan pengetahuan secara organisasional. Mereka menyampaikan bahwa pengetahuan dan kapabilitas untuk mencipta dan memanfaatkan pengetahuaan adalah sumber terpenting bagi keunggulan bersaing yang berkelanjutan. Pengetahuan diciptakan melalui interaksi dan interseksi antara pengetahuan tacit dan pengetahuan implisit melalui empat moda konversi pengetahuan, yaitu sosialisasi, eksternalisasi, kombinasi dan internalisasi. Model konversi pengetahuan tersebut dikenal sebagai model SECI (socialization, externalization, combination, internalization). Meskipun model SECI ini telah dianggap memadai sehingga digunakan secara luas sebagai referensi bagi banyak penelitian, namun belum secara spesifik menyebutkan bagaimana proses fasilitasi yang tepat. Pada penelitan ini kerangka pemikiran tersebut diidentifikasi relasinya dengan konsep aset pengetahuan yang dimiliki organisasi untuk menjawab permasalahan di atas. Nonaka et al. (2000) mengemukakan bahwa aset pengetahuan merupakan elemen kunci yang memfasilitasi proses konversi pengetahuan. Aset pengetahuan tersebut dikelompokkan ke dalam empat tipe aset pengetahuan, yaitu eksperiensial, konseptual, sistemik dan rutin. Hasil penelitian ini yang didasarkan kepada pendapat 105 responden yang terdiri atas peternak, karyawan koperasi dan pengurus koperasi dari tiga koperasi susu yang dipilih sebagai lokasi penelitian. Data responden tersebut, meliputi karakteristik responden, persepsi responden mengenai aset pengetahuan yang dimiliki koperasi dan proses konversi pengetahuan yang terjadi. Karakteristik responden yang diidentifikasi meliputi jenis kelamin, umur, kedudukan dalam koperasi, pengalaman sebagai peternak atau sebagai karyawan koperasi dan tingkat pendidikan. Responden penelitian ini sebagian besar laki-laki (77,14%). Hal ini sesuai dengan kelaziman bahwa yang tercatat peternak anggota koperasi sebagian besar adalah kepala keluarga. Dilihat sebaran umurnya, sebagian besar responden
106 berumur di bawah 45 tahun sebesar 68,57 persen dengan tingkat pendidikan minimal sebesar SLTP 57,15 persen dan pengalaman bekerja kurang dari 10 tahun sebesar 52,38 persen. Hal ini mengindikasikan bahwa terdapat peternakpeternak yang relatif muda dengan tingkat pendidikan yang relatif memadai, dapat diharapkan lebih responsif terhadap introduksi pengetahuan-pengetahuan baru terkait usaha ternak sapi perah. Karakteristik respoden secara lengkap ditampilkan pada Tabel 5. Tabel 5 Karakteristik Responden No 1
2
3
4
5
Kategori Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Umur 15-24 tahun 25-34 tahun 35-44 tahun 45-54 tahun 55-64 tahun > 64 tahun Kedudukan dalam Koperasi Anggota Kelompok Peternak Karyawan Koperasi Pengurus Kelompok Peternak Pengurus Koperasi Pengalaman 1-5 tahun 6-10 tahun 11-20 tahun 21-30 tahun 31-40 tahun > 40 tahun Pendidikan Tidak tamat SD Tamat SD Tamat SLTP Tamat SLTA Tamat Sarjana (S1) Tamat Pascasarjana (S2/S3)
Jumlah (orang)
Persentase (%)
81 24
77,14 22,86
6 37 29 24 7 2
5,71 35,24 27,62 22,86 6,67 1,90
84 13 5 3
80,00 12,38 4,76 2,86
28 27 22 18 9 1
26,67 25,71 20,95 17,14 8,57 0,95
6 39 12 40 7 1
5,71 37,14 11,43 38,10 6,67 0,95
107 Profil pengetahuan yang dimiliki koperasi susu yang terpilih menjadi responden penelitian ini ditelusuri melalui kepemilikan aset pengetahuan masingmasing koperasi susu yang ditampilkan pada Tabel 6. Koperasi SAE memiliki aset pengetahuan eksperiensial dengan persentase terbesar
dibanding aset
pengetahuan lain yang dimiliki koperasi susu tersebut. Hal ini ditunjukkan dengan aset pengetahuan eksperiensial yang tertinggi, yaitu sebesar 90,35 persen responden menyatakan setuju dan sangat setuju mereka memiliki pengetahuan yang berakar dari pengalaman. Dibanding dua koperasi lainnya, kepemilikian aset pengetahuan eksperiensial Koperasi SAE juga yang terbesar. Aset pengetahuan eksperiensial bagi koperasi susu merupakan pengetahuan tacit yang dimiliki anggota koperasi. Hal ini dapat dipahami karena dibanding dua koperasi lainnya, Koperasi SAE merupakan koperasi susu tertua dan juga memiliki jumlah anggota terbanyak. Kedua hal tersebut menjadi faktor penting untuk menghasilkan akumulasi pengetahuan berdasarkan pengalaman yang terbaik. Pengetahuan peternak yang bersifat eksperiensial antara lain, cara memerah sapi, mengetahui saat yang tepat untuk melakukan inseminasi buatan bagi masing-masing sapinya, jenis-jenis rumput yang disukai ternaknya dan pengetahuan-pengetahuan tentang perilaku ternaknya merupakan pengetahuan yang berakar dari pengalaman. Kepemilikan aset pengetahuan rutin dan konseptual yang dimiliki Koperasi SAE menempati urutan kedua dengan persentase yang sama. yaitu sebesar 81,04 persen. Aset pengetahuan rutin berupa pengetahuan tacit yang melekat dan diatur dalam aktivitas organisasi sehari-hari, antara lain prosedur, budaya organisasi, ketrampilan yang harus dimiliki dan kegiatan koperasi lainnya yang bersifat rutin. Di sisi lain, Aset pengetahuan konseptual merupakan pengetahuan eksplisit yang dapat berupa simbol/ lambang koperasi yang dikenal oleh pelanggannya, brand equity yang merepresentasikan persepsi pelanggan terhadap produk yang dihasilkan atau dapat pula berupa konsep/desain produk akan dihasilkan yang dipahami oleh anggota koperasi. Aset pengetahuan sistemik Koperasi SAE menunjukkan hasil terendah, yaitu 46,05 persen. Hal ini mengindikasikan bahwa pada Koperasi SEA belum menyusun pengetahuan yang dimiliki secara tersistemasi untuk menghasilkan
108 modal intelektual, sehingga belum memiliki royalti atau paten terkait inovasi yang dihasilkan. Pada KPS Bogor
aset pengetahuan eksperiensial juga merupakan aset
pengetahuan terbesar, yaitu 90,22 persen. Pada urutan berikutnya, aset pengetahuan rutin sebesar 52,17 persen, aset pengetahuan konseptual sebesar 48, 91 persen dan aset pengetahuan rutin 11, 96 persen. Dilihat dari urutan kepemilikan aset pengetahuan, KPS Bogor memiliki urutan yang relatif sama dengan persentase yang berbeda. Hal ini mengindikasikan bahwa profil pengetahuan yang dimiliki kedua koperasi relatif sama. Koperasi Sukamulya memilki aset pengetahuan eksperiensial sebesar 85 persen, aset pengetahuan rutin sebesar 78 persen, aset pengetahuan konseptual sebesar 67 persen, dan aset pengetahuan sistemik sebesar 38 persen. Koperasi Sukamulya juga memiliki urutan kepemilikan aset pengetahuan yang sama dengan kedua koperasi sebelumnya, meskipun dengan persentase yang berbeda. Dibanding kedua koperasi lainnya, Koperasi Sukamulya memiliki aset pengetahuan eksperiensial terendah. Dari sisi usia, koperasi ini memang paling muda dan juga paling sedikit anggotanya. Profil aset pengetahuan yang dimiliki ketiga koperasi susu responden penelitian ini, secara rinci ditampilkan pada Tabel 6 berikut. Tabel 6 Aset Pengetahuan Masing-masing Koperasi Susu Aset Pengetahuan
Sangat Tidak Setuju (%)
Tidak Setuju (%)
Raguragu (%)
Setuju (S) (%)
Sangat Setuju (SS) (%)
Jumlah S + SS (%)
Koperasi SAE
Eksperiensial Rutin Konseptual Sistemik
0,00 1,75 0,88 11,40
2,63 3,51 10,09 27,19
7,02 13,60 7,89 15,35
38,16 41,67 53,95 28,07
52,19 39,47 27,19 17,98
90,35 81,14 81,14 46,05
KPS Bogor
Eksperiensial Rutin Konseptual Sistemik
0,00 1,09 2,17 16,30
4,35 14,13 15,22 30,43
5,43 32,61 33,70 41,30
71,74 45,65 41,30 10,87
18,48 6,52 7,61 1,09
90,22 52,16 48,91 11,96
Koperasi Sukamulya
Eksperiensial Rutin Konseptual Sistemik
0,00 1,00 2,00 7,00
3,00 3,00 13,00 22,00
12,00 18,00 18,00 33,00
65,00 58,00 57,00 32,00
20,00 20,00 10,00 6,00
85,00 78,00 67,00 38,00
109 Apabila dirinci jawaban responden sebagai indikator spesifik lokasi terhadap terjadinya proses konversi pengetahuan pada masing-masing koperasi susu, maka tampak bahwa pada Koperasi SAE proses kombinasi merupakan proses yang paling sering dipraktekkan. Hal ini ditunjukkan dengan responden yang menyatakan setuju dan sangat setuju sebesar 89, 47 persen. Selanjutnya diikuti proses eksternalisasi (88,59 persen), proses internalisasi dan sosialisasi sebesar 84,65 persen. Dari sisi persentase, tampak tidak terdapat perbedaan yang menyolok. Hal ini mengindikasikan bahwa keempat proses SECI sebagai interaksi antara pengetahuan tacit dan pengetahuan eksplisit yang dimiliki koperasi SAE telah berjalan dengan baik. Pada KPS Bogor proses kombinasi juga menempati urutan pertama (80,43 persen), disusul proses eksternalisasi, internalisasi dan sosialisasi. Urutan proses konversi pengetahuan tidak berbeda dengan Koperasi SAE. Pada Koperasi Sukamulya proses kombinasi juga menempati urutan pertama (87 persen) meskipun dengan persentase yang lebih kecil. Berbeda dengan kedua koperasi sebelumnya, proses internalisasi menempati urutan kedua pada Koperasi Sukamulya, baru diikuti proses eksternalisasi dan sosialisasi. Hal ini menunjukkan bahwa manajemen pengetahuan yang dipraktekkan pada ketiga koperasi tersebut melalui proses konversi pengetahuan paling dominan dilakukan dengan proses kombinasi. Selengkapnya informasi ditampilkan pada Tabel 7. Tabel 7 Konversi Pengetahuan menurut Masing-masing Kopersi Susu Konversi Sangat Pengetahuan Tidak Setuju (%)
Tidak Setuju (%)
Raguragu (%)
Setuju (S) (%)
Sangat Setuju (SS) (%)
Jumlah S+SS (%)
Koperasi SAE
Kombinasi Eksternalisasi Internalisasi Sosialisasi
0,88 0,00 4,39 1,32
2,63 5,26 9,65 7,02
7,02 6,14 1,32 7,02
27,63 52,63 38,60 40,79
61,84 35,96 46,05 43,86
89,47 88,59 84,65 84,65
KPS Bogor
Kombinasi Eksternalisasi Internalisasi Sosialisasi
2,17 4,35 3,26 6,52
4,35 9,78 17,39 10,87
13,04 9,78 3,26 28,26
56,52 61,96 55,43 36,96
23,91 14,13 20,65 17,39
80,43 76,09 76,08 54,35
Koperasi Sukamulya
Kombinasi Internalisasi Eksternalisasi Sosialisasi
1,00 5,00 2,00 1,00
3,00 10,00 14,00 11,00
9,00 10,00 18,00 24,00
48,00 42,00 46,00 42,00
39,00 33,00 20,00 22,00
87,00 75,00 66,00 64,00
110 Untuk menguji hipotesis penelitian mengenai model kontribusi ini, yaitu secara bersama-sama aset pengetahuan yang dimiliki Koperasi Susu memiliki kontribusi positif terhadap proses konversi pengetahuan di tingkat organisasi, dilakukan dengan korelasi kanonikal. Hasil korelasi kanonikal empat tipe aset pengetahuan sebagai variabel independen dan konversi pengetahuan sebagai variabel dependen menunjukkan bahwa secara bersama-sama, aset pengetahuan berkontribusi positif terhadap proses konversi pengetahuan, kecuali aset pengetahuan sistemik. Besarnya (koefisien) bobot kanonikal menunjukkan kontribusi terhadap variat (Hair et al. 1998). Bobot kanonikal cenderung tidak stabil, hal ini terlihat dari perbedaan peringkat kekuatan kontribusi pada fungsi kedua. Namun karena fungsi pertama telah mengakomodasi 72 persen dari model yang dihipotesiskan, maka fungsi kedua dapat diabaikan (Lampiran 2). Aset pengetahuan konseptual memiliki bobot kanonikal tertinggi, diikuti aset pengetahuan rutin dan aset pengetahuan eksperiensial. Secara lengkap ditampilkan pada Gambar 28.
Aset Pengetahuan Konseptual
0,535
Rutin
0,439
Eksperiensial
0,311
(+)
Konversi Pengetahuan
Gambar 28 Kontribusi Aset Pengetahuan terhadap Konversi Pengetahuan Hasil korelasi kanonikal mengidentifikasi bahwa masing-masing tipe aset pengetahuan memberikan interelasi yang berbeda, hal ini digambarkan oleh muatan kanonikalnya. Muatan kanonikal menyatakan korelasi variabel terhadap variat di mana variabel bergabung dalam setiap fungsi kanonikal.
Hasil
penghitungan muatan kanonikal digambarkan dengan diagram jalur yang ditampilkan pada Gambar 29 berikut.
111 Konseptual 0,118
0,743
Sosialisasi
0,690
0,889
0,965 1
0,664
1
0,486
Rutin
Internalisasi 1,452
-0,254 0,548
0,483
Ekspriensial 1,409
2
0,422
Kombinasi 2
-1,358
0,030 Sistemik
0,421 -0,557
-0,742
Eksternalisasi
Gambar 29 Diagram Jalur Analisis Korelasi Kanonikal Pembentukan model kontribusi aset pengetahuan yang dimiliki koperasi susu terhadap proses konversi pengetahuan sesuai dengan model yang dikemukakan Nonaka atau dikenal dengan model SECI, dapat didasarkan dari hasil muatan-silang kanonikal (canonical cross-loading).
Muatan-silang
kanonikal menyatakan korelasi variabel dalam suatu variat terhadap variat kanonikal lainnya (Hair et al, 1998). Dibanding aset pengetahuan lainnya, aset pengetahuan konseptual memiliki korelasi yang lebih besar terhadap proses sosialisasi dan eksternalisasi. Aset pengetahuan rutin memiliki korelasi lebih besar terhadap proses ekternalisasi. Aset pengetahuan rutin ini merupakan pengetahuan tacit yang sudah menyatu dan menjadi aturan dalam praktek berkesinambungan, pola pikir atau tindakan tertentu dikuatkan dan dilakukan bersama sehingga menjadi budaya organisasi. Aset pengetahuan eksperiensial memiliki korelasi lebih besar terhadap proses internalisasi dan kombinasi. Aset pengetahuan eksperiensial merupakan pengetahuan tacit yang dibangun melalui kebersamaan, pengalaman bersama dalam organisasi atau pengalaman bekerjasama di antara karyawan, pelanggan, pemasok atau organisasi afiliasi. Dibanding aset pengetahuan lainnya, pengetahuan sistemik terbukti memiliki korelasi paling lemah terhadap proses konversi pengetahuan. Aset pengetahuan sistemik merupakan aset pengetahuan yang bersifat pengetahuan eksplisit yang tersistemisasi dan terkemas, seperti teknologi yang dirumuskan
112 eksplisit, spesifikasi produk, manual atau informasi terdokumentasi tentang pelanggan dan pemasok, termasuk juga proteksi, hak kekayaan intelektual secara legal (Nonaka et al. 2000). Hasil selengkapnya ditampilkan pada Gambar 30. Konseptual
Sosialisasi
Rutin
Eksternalisasi
Eksperiensial
Internalisasi
Sistemik
Kombinasi
Gambar 30 Model Kontribusi Aset Pengetahuan terhadap Proses SECI pada Koperasi Susu di Indonesia Dengan
demikian,
berhasil
dibuktikan
bahwa
aset
pengetahuan
berkontribusi penting untuk memfasilitasi terjadinya proses konversi pengetahuan pada koperasi susu sesuai teori dengan kerangka teori Nonaka et al. (2000). Tahap selanjutnya dilakukan integrasi terhadap kerangka pemikiran Soo el al. (2000a) mengenai proses penciptaan pengetahuan pada perusahaan. Untuk mengkonfirmasi adaptasi teori yang disusun sebagai model penciptaan pengetahuan pada koperasi susu, maka dilakukan pemodelan menggunakan Structural Equation modeling (SEM). Dipilih SEM untuk melakukan pemodelan agar dapat diketahui interdepensi antar variabel yang telah didefinisikan. 6.2 Model Penciptaan Pengetahuan 6.2.1 Uji Kecocokan Keseluruhan Model (Overall Model Fit) SEM Pada penelitian ini telah dilakukan uji kecocokan model pada lima model yang ditampilkan pada Tabel 8 berikut ini. Model 1 merupakan model yang dihipotesiskan yang terdiri atas 3 variabel endogen dan 4 variabel eksogen, sedangkan model 2 adalah model 1 dengan menambah hubungan antara variabel eksogen akusisi pengetahuan dengan variabel endogen konversi pengetahuan dan hubungan variabel endogen konversi pengetahuan dengan variabel endogen inovasi. Model 3 merupakan modifikasi model 2 dengan menghilangkan hubungan langsung variabel eksogen daya serap dengan variabel endogen
113 kapabilitas pemecahan masalah dan pengambilan keputusan. Pada model 4, dicoba disederhanakan dengan mengeluarkan variabel endogen kinerja dari model yang diuji. Model 5 merupakan modifikasi Model 4 dengan mengubah variabel daya serap menjadi variabel endogen. Dari ke lima model yang diuji dapat dikatakan bahwa kelima model tersebut cukup memenuhi ukuran kecocokan dari masing masing kelompok ukuran kecocokan. Seperti yang disampaikan Hair et al. (1998) untuk membandingkan lebih dari satu model, perlu diperhatikan nilai ukuran model yang satu relatif terhadap yang lain. Dalam keadaan di mana seluruh model menunjukkan kecocokan yang cukup baik, maka disarankan mempertimbangkan sesuai kelompok pengukuran. Evaluasi berdasarkan ukuran kecocokan masing-masing kelompok untuk kelima model dapat dilihat pada Tabel 8. Pengelompokan tersebut adalah: 1.
Kelompok absolute fit (kecocokan absolut), menunjukkan bahwa Model 5 yang paling mendekati ukuran kecocokan kelompok tersebut.
2.
Kelompok incremental fit (kecocokan inkremental) menunjukkan bahwa Model 5 yang dapat memenuhi persyaratan.
3.
Kelompok parsimonious fit (kecocokan parsimoni) menunjukkan bahwa Model 5 sebagai model yang mempunyai parsimoni atau kehematan paling tinggi dibanding Model 1, 2,3 dan 4. Berdasarkan hasil ketiga kelompok uji kecocokan keseluruhan model, dapat
disimpulkan bahwa Model 5 adalah model yang memiliki derajat kecocokan yang lebih tinggi dibanding Model 1, 2, 3 dan 4. Disamping mempertimbangkan hasil uji kecocokan keseluruhan model, pemilihan model haruslah mempertimbangkan dukungan teori yang memadai (Hair et al. 1998). Dengan mempertimbangkan kedua hal di atas, maka dipilih Model 5, sebagai model yang mampu menggambarkan hubungan antar faktor-faktor yang berperan dalam penciptaan pengetahuan yang menghasilkan inovasi pada Koperasi Susu di Indonesia. Tahap selanjutnya dilakukan uji kecocokan model pengukuran (measurement model fit) dan uji kecocokan model struktural (structural model fit) Model 5 tersebut. Perbandingan Hasil Pengujian Model ditampilkan pada Tabel 8.
114 Tabel 8 Perbandingan Hasil Pengujian Model No 1
Ukuran 2
Ketentuan Semakin kecil semakin baik 1)
Nilai yang Diperoleh Model 1 Model 2 Model 3 Model 4 Absolute Fit Measures 409,97 404,34 427,05 368,23 (p=0,00) (p=0,00) (p=0,00) (p=0,00)
Model 5 363,36 (p=0,00)
2
SNCP
Semakin kecil semakin baik 2)
2,63
2,49
2,68
2,31
2,26
3
GFI
semakin tinggi semakin baik 0 (poor fit) – 1 (perfect fit) 3)
0,71
0,71
0,70
0,72
0,72
4
RMR
0 – 1, RMR ≤ 0,05 good fit 4)
0,14
0,13
0,14
0,11
0,11
5
RMSEA
0,05< RMSEA ≤ 0,08, good fit 0,08< RMSEA ≤ 0,10, marginal fit RMSEA > 0,10, poor fit 5)
0,14
0,13
0,14
0,14
0,13
6
ECVI
Semakin kecil semakin baik 6)
5,02
4,79
4,95
4,41
4,36
7
NNFI
0,59
0,76
0,76
8
CFI
0–1, semakin tinggi semakin baik CFI ≥0,90 good fit 0,80 ≤ CFI < 0,90 marginal fit 8)
0,64
0,67
0,65
0,80
0,80
9
IFI
0–1, semakin tinggi semakin baik IFI ≥0,90 good fit 0,80 ≤ IFI < 0,90 marginal fit 9)
0,66
0,68
0,66
0,80
0,80
10
PGFI
Parsimonious Fit Measures 0–1, Semakin tinggi 0,50 0,53 semakin baik 10)
0,54
0,53
0,53
11
PNFI
0-1, Semakin tinggi semakin baik 11)
12
Model CAIC
Nilai positif lebih kecil menunjukkan parsimoni lebih baik12)
Incremental Fit Measures 0–1, semakin tinggi 0,55 0,60 semakin baik 7) NNFI ≥ 0,90 good fit
0,45
0,49
0,48
0,60
0,60
726,59
670,08
675,83
622,66
617,78
115 Keterangan: 1) Joreskog dan Sorbom (1989) 2) McDonald dan Marsh (1990) 3) Tanaka dan Huba (1985) 4) Hu dan Bantler (1995) 5) McCallum (1996) 6) Browne dan Cudeck (1989)
7) 8) 9) 10) 11) 12)
Bentler dan Bonnet (1980) Bentler (1980) Bollen (1989) Mulaik et al. (1989) James et al. (1982) Bozdogan (1987)
6.2.2 Uji Kecocokan Model Pengukuran (Measurement Model Fit) Validitas dan Reliabilitas Uji kecocokan model pengukuran dilakukan terhadap setiap konstruk/model pengukuran yang menunjukkan hubungan antara sebuah variabel laten dangan beberapa variabel teramati/indikator secara terpisah melalui evaluasi terhadap validitas dan reliabilitas dari model pengukurannya. Validitas berhubungan dengan apakah suatu variabel mengukur apa yang seharusnya diukur. Menurut Sharma (1996), suatu variabel dikatakan mempunyai validitas yang baik terhadap konstruk atau variabel latennya, jika: nilai uji-t loading factors (muatan faktor) lebih besar dari nilai kritis ( ≥ 1,96). muatan faktor standarnya (standardized loading factors) ≥ 0,70 atau ≥ 0,50. Semua variabel indikator pada Model 5 mempunyai nilai uji-t lebih besar dari 1,96, jadi muatan faktor dari variabel-variabel yang ada dalam model adalah signifikan atau tidak sama dengan nol, kecuali muatan faktor standar dari X3 (asset sistemik), semua muatan faktor standar lainnya > 0,70. Dapat disimpulkan bahwa validitas semua variabel indikator terhadap variabel latennya adalah baik (Tabel 9).
116 Tabel 9 Validitas Model Penciptaan Pengetahuan dalam Mendukung Inovasi pada Koperasi Susu di Indonesia Variabel Laten Indikator
ASET
AKUISISI DSERAP
KONVERSI
KPMPK
INOVASI
X1 X2 X3 X4 X5 X6 Y1 Y2 Y3 Y4 Y5 Y6 Y7 Y8 Y9 Y10 Y11 Y12
Muatan Faktor t-hitung ( =0,05) Standar
0,87 1,00 0,35 0,82 0,71 1,00 0,62 1,00 0,79 1,00 0,97 0,72 0,85 1,00 0,98 0,96 0,92 1,00
5,15 * 2,22 4,89 4,20 * 4,58 * 5,49 * 6,73 5,04 6,42 * 7,44 15,93 14,39 *
Kesimpulan Validitas
Baik Baik Baik Baik Baik Baik Baik Baik Baik Baik Baik Baik Baik Baik Baik Baik Baik Baik
Keterangan: * Indikator ini digunakan untuk mendefinisikan skala faktor laten dengan menetapkan nilai loading-nya sama dengan 1.
Reliabilitas adalah konsistensi suatu pengukuran. Reliabilitas tinggi menunjukkan bahwa indikator-indikator mempunyai konsistensi tinggi dalam mengukur konstruk latennya. Untuk mengukur reliabilitas dalam SEM digunakan construct reliability measure (ukuran reliabilitas konstruk) dan variance extracted measure (ukuran ekstrak varian). Hair et al. (1998) menyatakan bahwa sebuah konstruk mempunyai reliabilitas yang baik jika: nilai Construct Reliability (CR)nya ≥ 0,70 dan nilai Variance Extracted (VE)-nya ≥ 0,50. Hasil pengujian tingkat reliabilitas dapat disimpulkan bahwa model pengukuran (measurement model) penelitian ini sesuai dengan data, karena nilai reliabilitas konstruk tidak ada yang kurang dari 0,70. Kecuali ekstrak varian dari variabel aset pengetahuan, ekstrak varian variabel lainnya memenuhi kriteria, yaitu ≥ 0,50. Ekstrak varian mencerminkan jumlah varian keseluruhan dalam variabel-variabel teramati (indikator) yang dijelaskan oleh variabel laten (Tabel 10).
117 Tabel 10 Reliabilitas Model Pengukuran Peran Penciptaan Pengetahuan dalam Mendukung Inovasi pada Koperasi Susu di Indonesia Variabel Laten ASET AKUISISI DSERAP KONVERSI KPMPK INOVASI
Reliabilitas Konstruk 0,77 0,77 0,77 0,85 0,86 0,95
Ekstrak Varian 0,48 0,63 0,64 0,58 0,67 0,87
Kesimpulan Reliabilitas Cukup Baik Baik Baik Baik Baik Baik
Variabel laten eksogen dan endogen yang dibentuk didasarkan analisis Faktor, yang masing-masing dikonfirmasi melalui model pengukurannya. Variabel indikator yang mempunyai nilai lamda paling besar ditetapkan sebagai skala pengukuran dan kemudian diberi nilai 1, serta ragam galatnya dianggap nol, sehingga muatan faktor pada indikator lainnya mengacu secara relatif terhadap indikator skala. Sebagai contoh, pada model pengukuran ASET indikator skalanya adalah X2 (konseptual), maka X(6,1) = 1,0. Penafsiran pada sub model ini mengandung persamaan- persamaan berikut: X1 = 0,87 *ASET +
1
X2 = 1,00 *ASET +
2
X3 = 0,35 *ASET +
3
X4 = 0,82 *ASET +
4
X5 = 0,62 *DSERAP +
5
X6 = 1,00 *DSERAP +
6
X7 = 0,71 *AKUISISI + X8 = 1,00*AKUISISI +
7 8
Y1 = 0,79*KONVERSI +
9
Y2 = 1,00*KONVERSI +
10
Y3 = 0,97*KONVERSI +
11
Y4 = 0,72*KONVERSI +
12
Y5 = 0,85*KPMPK +
13
Y6 = 1,00*KPMPK +
14
Y7 = 0,98*KPMPK +
15
Y8 = 0,96*KPMPK +
16
118 Y9 = 0,92*KPMPK + Y10 = 1,00*KPMPK +
17 18
Nilai X(1) = 0,87 merupakan besaran muatan faktor, yang berarti 87 persen fluktuasi nilai variabel laten ASET menjelaskan fluktuasi indikator X1, atau 87 persen fluktuasi X2 menjelaskan fluktuasi X1, karena skala ASET adalah X2. Lamda X3 menunjukkan bahwa setiap perubahan satu satuan X3 dijelaskan 0,35 satuan variabel laten ASET dan X(4) menunjukkan bahwa setiap perubahan satu satuan X4 dijelaskan oleh 0,82 satuan variabel laten ASET. Keterangan ini merupakan konfirmasi dari hubungan variabel laten ASET dengan keempat indikator pengamatannya. Semua hubungan bersifat searah karena koefisien lamda semuanya positif. Dalam hal ini dapat diartikan bahwa semakin tinggi peran aset pengetahuan terhadap proses penciptaan pengetahuan ditandai oleh meningkatnya penguasaan pengetahuan yang bersifat eksperiensial, konseptual, sistemik dan rutin. Demikian seterusnya pemaknaan untuk variabel laten yang lain (Tabel 10). Hasil penggabungan model pengukuran dan model struktural digambarkan pada diagram lintasan pada Gambar 31. Pada Gambar 31 tersebut, nama-nama indikator ditempatkan di dalam bidang segi empat, sedangkan nama-nama variabel laten ditempatkan dalam bidang oval. Angka yang menyertai anak panah yang keluar dari faktor laten ke indikator menunjukkan nilai loading, sedangkan angka yang menyertai anak panah lain yang bukan berasal dari faktor laten yang menuju ke indikator menunjukkan ragam alat pengukuran. Selanjutnya, angka yang menyertai anak panah yang berasal dari suatu faktor laten dan menuju faktor laten lain menunjukkan besaran pengaruhnya.
119
0.64
X1
0.64
0.42
0.46
0.70
Y3
Y4
Y5
Y6
0.87 0.52
X2
0.79 1.00
0.94
X3
Aset
0.97
0.72
0.99
0.35 0.82
0.68
1.00
Konversi
X4
0.25
0.15
Y10
0.17
Y11
0.23
Y12
0.10
0.96 0.66
Y1
0.62 DSerap
0.11
0.63
X5
Y2
1.00
0.34
0.37
Inovasi
0.23
0.51 0.51
1.00 KPMPK
0.34
0.71 Akuisisi
0.25
X6
1.00
0.85
0.98
1.00
Y7
Y8
Y9
0.55
0.37
0.39
Gambar 31 Diagram Lintasan Model Penciptaan Pengetahuan pada Koperasi Susu di Indonesia
120 Keterangan:
1 = ASET (Aset Pengetahuan) 2 = AKUISISI (Akuisisi Pengetahuan)
Terdapat empat variabel endogen, yaitu: 1 = DSERAP (Daya Serap) 2 = KONVERSI (Konversi Pengetahuan)
3 = KPMPK (Kapabilitas Pemecahan masalah dan Pengambilan 4
Keputusan) = INOVASI (Inovasi)
Indikator Variabel Eksogen,yaitu : X1 = eksperiensial X2 = konseptual X3 = sistemik X4 = rutin X5 = interaksi X6 = kolaborasi Indikator variabel endogen, yaitu: Y1 = daya serap individu Y2 = daya serap organisasi Y3 = internalisasi Y4 = eksternalisasi Y5 = sosialisasi Y6 = kombinasi Y7 = kreativitas Y8 = konsensus Y9 = kelengkapan Y10 = manajemen Y11 = proses Y12 = produk
6.2.3 Hasil Model Struktural Evaluasi atau analisis terhadap model struktural mencakup pemeriksaan terhadap signifikansi
koefisien-koefisien
yang diestimasi. Metode SEM
menghasilkan nilai koefisien-koefisien yang diestimasi dan juga nilai t-hitung untuk setiap koefisien. Dengan menspesifikasikan tingkat signifikan (lazimnya = 0,05), maka setiap koefisien yang mewakili hubungan kausal yang dihipotesiskan dapat diuji signifikansinya secara statistik. Nilai t-hitung ini dibandingkan dengan nilai kritisnya, yaitu 1,96 pada taraf nyata 5% dan 2,58 pada taraf nyata 1%. Jika nilai t-hitung hasil pengolahan data telah melampaui nilai kritisnya pada taraf p< 0,05, maka hipotesis alternatif yang diajukan diterima. Sebaliknya, jika nilai t-hitung belum dapat melampaui nilai
121 kritisnya dengan taraf nyata p <0,05 maka hipotesis alternatif ditolak. Hasil uji hipotesis pada penelitian ini menunjukkan bahwa semua koefisien pada model struktural adalah signifikan (nilai t-hitung > 1,96),
kecuali pengaruh konversi
pengetahuan terhadap inovasi (nilai t-hitung -1,70 < 1,96), sehingga hipotesis 7 ditolak. Secara lengkap hasil evaluasi koefisien model struktural dan kaitannya dengan hipotesis penelitian ditampilkan pada Tabel 11. Tabel 11 Analisis Model Persamaan Struktural Path Coeficient antar Variabel Pengaruh Aset Pengetahuan terhadap Konversi Pengetahuan Pengaruh Akuisisi Pengetahuan terhadap Daya Serap
Seluruh Responden (n= 105) Nilai t-hitung Hipotesis Koefisien 0,99 5,36** Terima H1 0,51
3,46**
Terima H2
Pengaruh Akuisisi Pengetahuan terhadap Kemampuan Pemecahan Masalah dan Pengambilan Keputusan
0,34
2,55*
Terima H3
Pengaruh Daya Serap terhadap Konversi Pengetahuan
0,15
1,97*
Terima H4
Pengaruh Daya Serap terhadap Kemampuan Pemecahan Masalah dan Pengambilan Keputusan
0,37
2,98**
Terima H5
Pengaruh Konversi Pengetahuan terhadap Kemampuan Pemecahan Masalah dan Pengambilan Keputusan
0,34
3,18**
Terima H6
Pengaruh Konversi Pengetahuan terhadap Inovasi
-0,25
-1,70
Tolak H7
Pengaruh Kemampuan Pemecahan Masalah dan Pengambilan Keputusan terhadap Inovasi
0,51
3,47**
Terima H8
Keterangan:
* : nyata pada p< 0,05 ** : sangat nyata pada p< 0,01
Persamaan Model Struktural selengkapnya adalah: DSERAP = 0, 51*AKUISISI KONVERSI = 0,15*DSERAP + 0,99*ASET KPMPK = 0,37*DSERAP + 0,34*KONVERSI + 0,34*AKUISISI INOVASI = -0,25*KONVERSI + 0,51*KPMPK
122 Akuisisi Pengetahuan Pengukuran akuisisi pengetahuan dilakukan dengan menanyakan kepada responden tingkat keseringan (frekuensi) mereka berinteraksi dengan pelanggan, pemasok, kompetitor, institusi pemerintah, universitas dan organisasi lainnya. Hal ini dimaksudkan untuk mengidentifikasi sumber-sumber pengetahuan baru bagi koperasi dan anggotanya serta mendapat gambaran networking (jejaring) yang komprehensif. Akuisisi pengetahuan merupakan aktivitas awal perusahaan yang ingin membangun sistem pengelolaan pengetahuan (Tiwana 2000). Oleh sebab itu, akuisisi pengetahuan ditempatkan sebagai variabel eksogen. Kegiatan akuisisi pengetahuan dapat dilakukan dengan berbagai cara, baik secara formal maupun informal (Probst et al. 2000). Penelitian ini menunjukkan bahwa pada koperasi susu, pengaruh antara kegiatan kolaborasi formal dengan akuisisi pengetahuan (1,00) lebih kuat dibandingkan dengan pengaruh terhadap kegiatan interaksi informal pada akuisisi Pengetahuan (0,71). Selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 32. Perbedaan kekuatan tersebut dapat dijelaskan melalui studi Szulanski (1996) yang menyatakan bahwa agar terjadi alih informasi atau pengetahuan, diperlukan suatu konteks yang membuat manusia atau perusahaan dapat secara efektif melakukan akuisisi. Hal yang sama disampaikan Von Krogh et al. (2000) bahwa mobilisasi aset-aset tanwujud (intangible assets) seperti informasi dan pengetahuan membutuhkan konteks. Selanjutnya Mowery et al (1996) menyampaikan bahwa akuisisi pengetahuan dipengaruhi oleh seberapa formal hubungan antara organisasi-organisasi yang melakukan aliansi. Aliansi yang didasarkan oleh suatu perjanjian formal dengan derajat mengikat akan memberikan peluang besar bagi terjadinya alih pengetahuan. Selain konteks, alih pengetahuan juga ditentukan oleh motivasi dari pihak yang mengakuisisi pengetahuan (Szulanski 1996). Akuisisi pengetahuan dapat terhambat bila penerima kurang termotivasi untuk menerima pengetahuan baru. Dalam hal ini, motivasi penerima rendah karena tidak melihat adanya keuntungan dalam menerima pengetahuan, enggan melalui proses akuisisi pengetahuan yang
123 membutuhkan banyak waktu dan upaya, atau justru merasa terancam dengan masuknya pengetahuan baru. Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa pada Koperasi Susu di Indonesia, kegiatan kolaborasi formal lebih berperan dalam aktivitas akuisisi pengetahuan dibandingkan kegiatan interaksi informal. Dalam hal ini, ada faktorfaktor organisasi yang bekerja lintas struktur yang dapat membuat akuisisi pengetahuan dilakukan secara efektif, misalnya kebijakan-kebijakan dan sistem komunikasi. Hal ini akan lebih memberikan konteks dan lebih memotivasi. Interaksi Informal
0,71
0,62 AKUISISI PENGETAHUAN
Kolaborasi Formal
1,00
0,51
Daya Serap Individu
DAYA SERAP
1,00
Daya Serap Organisasi
Gambar 32 Hubungan Variabel Akuisisi Pengetahuan dan Daya Serap Peran Variabel Daya Serap Beberapa studi menunjukkan bahwa daya serap berperan penting dalam proses akuisisi pengetahuan dan pembelajaran organisasi. Konsisten dengan beberapa studi sebelumnya, penelitian ini membuktikan bahwa daya serap memiliki hubungan yang positif dengan akuisisi pengetahuan. Akuisisi pengetahuan dipengaruhi oleh daya serap yang dibedakan menjadi daya serap individu dan daya serap organisasi (Cohen & Levinthal 1990). Daya serap koperasi susu terhadap hasil akuisisi pengetahuan lebih dipengaruhi oleh daya serap organisasi (1,00) dibandingkan dengan daya serap individu (0,62). Daya serap individu mempengaruhi akuisisi pengetahuan, karena akuisisi pengetahuan dilakukan langsung oleh individu-individu dalam organisasi (Cohen & Levinthal 1990). Daya serap individu mempengaruhi alih pengetahuan di dalam organisasi, maupun dari lingkungan eksternal ke internal organisasi. Mowery et al yang dikutip Soo et al. (2000) menyatakan bahwa daya serap pada level organisasi menunjukkan kemampuan organisasi tersebut dalam menerima pengetahuan dari sumber eksternal. Namun, daya serap organisasi bukanlah
124 merupakan penjumlahan daya serap individu yang bekerja pada organisasi bersangkutan (Cohen & Levinthal 1990). Untuk meningkatkan daya serap koperasi terhadap hasil-hasil akuisisi pengetahuan, maka koperasi susu perlu memanfaatkan semaksimal mungkin daya serap organisasi. Dari model struktural (Gambar 32) diketahui bahwa ada dua variabel laten yang mempengaruhi model penciptaan pengetahuan, yaitu aset pengetahuan (0,99) dan daya serap (0,15). Temuan ini menguatkan pendapat Nonaka et al. (2000) yang menyatakan bahwa kepemilikan aset pengetahuan sangat menentukan keberhasilan konversi pengetahuan pada suatu entitas bisnis dalam hal kecepatan proses dan biaya atas proses konversi pengetahuan tersebut. Aset Pengetahuan Aset Pengetahuan merupakan elemen kunci dalam memfasilitasi proses konversi pengetahuan, karena aset pengetahuan merupakan input sekaligus output bagi proses konversi pengetahuan (Nonaka 2000). Pada model penciptaan pengetahuan ini, variabel Aset Pengetahuan ditempatkan sebagai variabel laten eksogen, dengan pertimbangan bahwa aset pengetahuan dalam konteks ini lebih sebagai input bagi proses konversi pengetahuan. Pembentukan aset pengetahuan ini didasarkan pada persepsi pelanggan dan karyawan pada organisasi. Keberadaan aset pengetahuan yang paling berpengaruh tampak pada pengetahuan konseptual (1,00), dibandingkan pengetahuan eksperiensial (0,87), pengetahuan rutin (0,82) dan sistemik (0,35). Hal ini menunjukkan bahwa aset pengetahuan terbesar yang dimiliki koperasi susu adalah pengetahuan konseptual (Gambar 33). Aset pengetahuan konseptual dibentuk dari pengetahuan eksplisit, sehingga lebih mudah diartikulasikan melalui simbol, pencitraan dan gaya berbahasa. kemampuan
Aset
pengetahuan
untuk
konseptual
memfasilitasi
memberikan
interaksi
dan
mekanisme
pembelajaran
dan dari
bagian/departemen yang berbeda dalam organisasi maupun dari luar organisasi. Aset pengetahuan konseptual ini mendukung kemampuan penciptaan pengetahuan yang bersifat statis, seperti artikulasi simbol, juga kemampuan yang bersifat dinamis, seperti memfasilitasi interaksi (Chou & He 2004). Temuan penelitian ini juga menunjukkan rendahnya kepemilikan aset pengetahuan sistemik oleh Koperasi Susu. Aset pengetahuan sistemik dibutuhkan
125 untuk mensistemkan dan mengemas pengetahuan eksplisit. Yang lebih penting lagi, aset ini bermanfaat untuk melindungi kekayaan intelektual secara efektif. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Koperasi Susu belum mendayagunakan secara efektif kekayaan intelektualnya. Eksperiensial
Konseptual
0,87 1,00 0,35
ASET PENGETAHUAN
Sistemik
Internalisasi 0,99
0,82 Rutin
0,79 1,00
KONVERSI PENGETAHUAN
Eksternalisasi
0,97 Sosialisasi
0,15 0,72 DAYA SERAP
Kombinasi
Gambar 33 Variabel Laten yang Mempengaruhi Variabel Konversi Pengetahuan Variabel yang Langsung Mempengaruhi Variabel Konversi Pengetahuan Variabel laten konversi pengetahuan dipengaruhi dua variabel laten lainnya, yaitu aset pengetahuan dan daya serap (Gambar 33). Dari hasil ini dapat dikatakan bahwa proses konversi pengetahuan sangat dipengaruhi adanya aset pengetahuan (0,99). Temuan ini menguatkan pendapat Nonaka et al. (2000) yang menyatakan bahwa kepemilikan aset pengetahuan sangat menentukan keberhasilan konversi pengetahuan pada suatu organisasi. Kepemilikan aset pengetahuan
ini
mempengaruhi dalam hal kecepatan proses dan biaya atas proses konversi pengetahuan tersebut. Indikator terkuat adanya konversi pengetahuan pada koperasi susu adalah proses eksternalisasi (1,00). Eksternalisasi merupakan proses mengartikulasikan pengetahuan tacit menjadi pengetahuan eksplisit (Nonaka et al. 2000).
126 Seperti dikemukakan Von Krogh et al. (2000), bahwa dalam kegiatankegiatan yang mengarah pada penciptaan pengetahuan, ‘care’ yang dicirikan dengan keterbukaan, rasa saling percaya, kebiasaan tolong-menolong, tidak berorientasi pada kepentingan pribadi dan tanpa pamrih, merupakan hal-hal yang mempengaruhi efektivitas pembelajaran dan lebih lanjut dari penciptaan pengetahuan. Penelitian kali ini tidak mengeksplorasi peran dari konsep ‘care’, namun mengingat bahwa sering dikatakan bahwa orang Indonesia senang bekerja pada situasi yang gotong royong, maka hal ini merupakan topik menarik untuk diteliti lebih lanjut. Variabel Laten yang Langsung Mempengaruhi Aktivitas Kapabilitas Pemecahan Masalah dan Pengambilan Keputusan Kemampuan pemecahan masalah dan pengambilan keputusan dipengaruhi oleh tiga variabel laten, yaitu akuisisi pengetahuan, daya serap dan konversi pengetahuan (Gambar 34). Akuisisi pengetahuan dan konversi pengetahuan mempengaruhi KPMPK yang sama besar, yaitu 34 persen, tetapi konversi pengetahuan mempunyai taraf nyata yang lebih tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa keberhasilan pemecahan masalah dan pengambilan keputusan pada koperasi susu dipengaruhi oleh akuisisi dan konversi dengan sama besar. Hal ini sejalan dengan penelitian Soo et al. (2000b) yang menyimpulkan bahwa efektivitas pemecahan masalah dan pengambilan keputusan tergantung kepada efektivitas pemanfaatan sumber pengetahuan. Sumber pengetahuan organisasi adalah akuisisi (Soo et al. 2000a) dan konversi pengetahuan (Nonaka et al. 2000; Irsan 2005; Muthusamy & Palanisamy 2006). Faktor konsensus (1,00) merupakan faktor paling berpengaruh dalam kegiatan pemecahan permasalahan dan pengambilan keputusan pada koperasi susu bila dibandingkan dengan kreativitas (0,98) dan faktor kelengkapan (0,85). Faktor konsensus merupakan faktor yang merujuk pada kemampuan mengatasi hambatan sosial, karena merupakan refleksi keharmonisan dan komitmen bersama untuk mencapai sasaran. Seperti dikemukakan Von Krogh et al. (2000), bahwa dalam kegiatankegiatan yang mengarah pada penciptaan pengetahuan, ‘care’ yang dicirikan dengan keterbukaan, rasa saling percaya, kebiasaan tolong-menolong, tidak
127 berorientasi pada kepentingan pribadi dan tanpa pamrih, merupakan hal-hal yang mempengaruhi efektivitas pembelajaran dan lebih lanjut dari penciptaan pengetahuan. Penelitian kali ini tidak mengeksplorasi peran dari konsep ‘care’, namun mengingat bahwa sering dikatakan bahwa orang Indonesia senang bekerja pada situasi yang gotong royong, maka hal ini merupakan topik menarik untuk diteliti lebih lanjut. KONVERSI PENGETAHUAN
Kreativitas
0,34
0,37 DAYA SERAP
KAPABILITAS PEMECAHAN MASALAH & PENGAMBILAN KEPUTUSAN
0,34
0,85
1,00
Konsensus
0,98 Kelengkapan
AKUISISI PENGETAHUAN
Gambar 34 Variabel Laten yang Mempengaruhi Variabel Kapabilitas Pemecahan Masalah dan Pengambilan Keputusan Variabel Laten yang Langsung Mempengaruhi Aktivitas Inovasi Dari model struktural yang telah dibentuk, terdapat dua variabel laten yang mempengaruhi inovasi, yaitu konversi pengetahuan (-0,25) dan kemampuan pemecahan masalah dan pengambilan keputusan (0,51). Inovasi yang terjadi pada koperasi susu yang diteliti berhubungan erat dengan kemampuan pemecahan masalah dan pengambilan keputusan. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Soo et al. (2000b), yang menyatakan bahwa proses pemecahan masalah yang efektif merupakan sumber pengetahuan yang efektif bagi organisasi. Hasil ini mendukung pernyataan Hubeis (2005), bahwa inovasi merupakan sikap
128 termotivasi untuk memecahkan masalah yang didukung oleh kemampuan berpikir kreatif. Namun, proses konversi pengetahuan tidak menunjukkan adanya hubungan yang signifikan dengan inovasi yang dihasilkan. Hal ini dapat dipahami karena memang belum ada produk inovatif yang dihasilkan, maupun inovasi administrasi yang diterapkan. Temuan Allaire dan Wolf (2004) menyatakan bahwa keberhasilan inovasi di bidang agrofood yang ditelitinya tergantung proses konversi pengetahuan yang dilakukan berbagai pihak, antara lain sektor publik, swasta dan moda kolektif dari pertukaran pengetahuan. Variabel inovasi merupakan tujuan utama penelitian ini, maka adanya temuan bahwa inovasi produk (1,00) merupakan indikator adanya inovasi yang paling berpengaruh, bila dibandingkan dengan inovasi manajemen (0,96) dan proses (0,92), menunjukkan bahwa inovasi pada koperasi susu
yang paling
berpengaruh terhadap terciptanya keunggulan bersaing adalah inovasi produk (Gambar 35). Hal yang sama ditemukan pada industri kecil yang bergerak di bidang furnitur bahwa inovasi produk adalah inovasi yang paling berpengaruh (Indarti & van Geenhuizen 2005). Konversi pengetahuan mempengaruhi tahapan inovasi produk baru dengan cara yang berbeda pada setiap tahapannya. Proses sosialisasi memiliki korelasi terkuat dibanding proses yang lain terhadap kesuksesan pengembangan produk baru pada tahap penyusunan konsep produk. Pada tahap pengembangan produk, proses kombinasi memiliki korelasi yang lebih kuat dibanding proses yang lainnya (Schulze & Hoegl 2006). Pada koperasi susu, agar sukses menciptakan inovasi produk, perlu didorong terjadinya konversi pengetahuan melalui proses eksternalisasi yang mengubah pengetahuan tacit menjadi eksplisit. Proses eksternalisasi ini memiliki karakteristik interaksi formal, antara lain dapat dilakukan dengan mengadakan pengumpulan pengetahuan tacit yang dimiliki individu-individu anggota atau karyawan koperasi, kemudian dilakukan pencatatan untuk mengubahnya menjadi pengetahuan eksplisit. Berbagi pengetahuan dengan proyek-proyek pengembangan produk yang dilakukan bersama koperasi lain, industri pengolahan susu atau dengan pelanggan lain juga merupakan cara mengubah pengetahuan tacit menjadi eksplisit dan bisa dibagi kepada pihak lain.
129 KONVERSI PENGETAHUAN
0,96
-0,25
0,92
INOVASI
0,51
Manajemen
Proses
1,00 Produk
KAPABILITAS PEMECAHAN MASALAH & PENGAMBILAN KEPUTUSAN
Gambar 35 Variabel Laten yang Mempengaruhi Variabel Inovasi 6.2.4 Struktur Model yang Dihasilkan Dari struktur model penciptaan pengetahuan yang dihasilkan, dapat dilihat bahwa akusisi pengetahuan yang dipandang paling sering dilakukan Koperasi Susu adalah akuisisi dengan kegiatan yang bersifat kolaborasi formal. Proses akuisisi pengetahuan ini berpengaruh langsung terhadap kemampuan untuk mengasimilasikan pengetahuan yang dimiliki, yang direpresentasikan dengan daya serap organisasi. Daya serap organisasi ini juga mempengaruhi secara langsung proses konversi pengetahuan dan kapabilitas pemecahan masalah dan pengambilan keputusan. Proses konversi pengetahuan yang dominan terjadi adalah proses eksternalisasi, sedangkan kapabilitas pemecahan masalah dan pengambilan keputusan lebih dicirikan oleh proses konsensus. Proses eksternalisasi ini dipengaruhi secara langsung oleh aset pengetahuan yang berupa aset konseptual. Proses eksternalisasi ini mempengaruhi secara langsung proses konsensus dalam pemecahan masalah dan pengambilan keputusan. Namun, proses eksternalisasi tidak terbukti berpengaruh langsung terhadap inovasi yang dihasilkan.
130 Inovasi yang paling dominan memberikan manfaat komersial bagi Koperasi Susu adalah inovasi produk. Inovasi di Koperasi Susu tersebut dipengaruhi langsung oleh kegiatan pemecahan masalah dan pengambilan keputusan yang bersifat konsensus. Dari penelitian ini berhasil dikembangkan model penciptaan pengetahuan pada koperasi susu di Indonesia dengan indikator utama pada masing-masing konstruk yang ditampilkan pada Gambar 36. Setelah tahap pemodelan SEM ini yang didapat hasil bahwa proses konversi pengetahuan yang terjadi pada koperasi susu tidak menunjukkan hubungan yang langsung dan signifikan dengan inovasi yang dihasilkan, maka dipandang perlu untuk merancang strategi agar proses konversi pengetahuan yang terjadi pada koperasi susu berpengaruh nyata terhadap inovasi-inovasi yang dihasilkan, sehingga inovasi-inovasi yang dimiliki koperasi susu nantinya tidak hanya melalui satu jalur saja yang selama ini sudah dipraktekkan dalam aktivitas bisnis koperasi susu. Untuk itu perlu dilakukan perancangan lebih lanjut untuk mengkaitkan proses penciptaan pengetahuan untuk mendukung inovasi dalam suatu sistem yang terintegrasi dengan strategi bisnis Koperasi Susu. Menyadari bahwa capaiancapaian implemetasi strategi harus terukur, maka dipilih pendekatan Balanced
Scorecard yang telah dikenal luas sebagai konsep pengukuran kinerja organisasi. Hasil-hasil dari pemodelan SEM menjadi dasar bagi pemilihan Key Performance Indicators (Indikator Kinerja Kunci) yang dijelaskan pada sub bab berikutnya.
131 Kepemilikan aset pengetahuan konseptual yang merupakan pengetahuan eksplisit yang diartikulasikan melalui citra dan bahasa Proses berbagi pengetahuan melalui eksternalisasi yang merupakan pengubahan pengetahuan tacit menjadi pengetahuan eksplisit
Aset Pengetahuan
Daya serap organisasi berupa dukungan Koperasi untuk mencari informasi yang dibutuhkan dalam rangka meningkatkan pengetahuan dan keterampilan
Konversi Pengetahuan Daya Serap
Akuisisi Pengetahuan
Kolaborasi formal terutama dengan pihak Koperasi, Lembaga Keuangan dan pemasok sapronak (sarana produksi peternakan)
Inovasi Kapabilitas Pemecahan Masalah & Pengambilan Keputusan
Manfaat komersial dari produk
Aktivitas pemecahan masalah dan pengambilan keputusan dilakukan secara konsensus
Gambar 36. Model Penciptaan Pengetahuan pada Koperasi Susu di Indonesia
132 6.3 Model Knowledge Management Scorecard (KM-Scorecard) Knowledge Management Scorecard merupakan konsep yang diturunkan dari pendekatan Balanced Scorecard(BSC) yang dikenalkan Kaplan dan Norton (2004). Balanced scorecard menyediakan teknik Sesuai dengan kerangka tersebut maka disusun peta strategi sebagai langkah awal proses penyusunan BSC dan memberikan artikulasi visual strategi organisasi. Peta strategi menggambarkan logika strategi, menunjukkan dengan jelas sasaran proses internal dan aset tanwujud (intangible assets) yang dibutuhkan untuk mendukungnya. Peta strategi merepresentasikan bagaimana organisasi menciptakan nilai dengan menggambarkan hubungan sebab akibat antara perspektif pembelajaran dan pertumbuhan, proses internal, perspektif pelanggan dan perspektif keuangan (Patton 2007). Pada penelitian ini disusun peta strategi yang memfokuskan pada tercapainya tujuan koperasi meningkatkan inovasi melalui penerapan manajemen pengetahuan. Hasil penyusunan peta strategi ditampilkan pada Gambar 37.
Financial Perspective
Customer perspective
Nilai Jangka Panjang bagi pemegang saham
Meningkatnya Kepuasan Pelanggan
Internal Perspective
Meningkatkan Kapasitas Inovasi Meningkatkan aset pengetahuan
Learning & Growth Perspective
Mengembangkan kapabilitas penciptaan pengetahuan
Gambar 37 Peta Strategi Koperasi Susu
Meningkatkan kapabilitas pemecahan masalah
133 Berdasarkan peta strategi tersebut kemudian dipilih Key Performance Indicators (Indikator Kinerja Kunci) yang merupakan serangkaian pengukuran yang difokuskan pada sejumlah aspek kinerja organisasi yang paling kritikal untuk saat ini dan kesuksesan organisasi di masa mendatang (Parmenter 2007). Hal ini penting bagi pemantauan dan pengukuran tingkat pencapaiannya. Dari sasaran strategis yang telah disusun terpilih Indikator Kinerja Kunci (IKK) yang dapat dilihat pada Tabel 12. Tabel 12 Penyusunan Sasaran Strategis dan Indikator Kinerja Kunci Perspektif
Sasaran Strategis
Indikator Kinerja Kunci
Finansial
Peningkatan nilai jangka panjang bagi pemegang saham
% Knowledge Productivity Index % penghematan dengan adanya penerapan Manajemen Pengetahuan
Pelanggan
Meningkatnya kepuasan pelanggan
% Indeks kepuasan pelanggan utama % akuisisi pelanggan
Proses Internal
Meningkatkan kapasitas inovasi
Jumlah pertemuan untuk mendiskusikan tentang Manajemen pengetahuan Paper to electronic document ratio
Meningkatkan aset pengetahuan
Jumlah ide baru yang disampaikan individu kepada ketua tim Jumlah hak kekayaan intelektual
Meningkatkan kapabilitas pemecahan masalah
% peningkatan produk baru % penghematan waktu dengan adanya inovasi
Mengembangkan kapabilitas penciptaan pengetahuan
% tingkat konversi ide % pengguna saluran knowledge sharing % adopsi ide baru dari sumber eksternal
Pembelajaran & Pertumbuhan
6.3.1 Perancangan Sistem Pakar KM-Scorecard for Dairy Cooperatives Kerangka Sistem yang Dirancang Kerangka sistem yang dirancang ini merupakan pengembangan dari kerangka pemikiran sistem pakar yang telah dijelaskan pada Bab 3 tentang metodologi penelitian. Pada kerangka sistem yang dirancang digambarkan urutan proses pembuatan sistem dari awal sampai dengan akhir, sehingga didapat sebuah sistem pakar yang dapat digunakan untuk memberikan saran berupa diagnosis kinerja koperasi susu terkait penerapan manajemen pengetahuan. Kerangka sistem ini digambarkan dalam bentuk diagram alir deskriptif formulasi pembuatan sistem pakar penilaian kinerja koperasi susu seperti yang ditampilkan pada Gambar 38.
134 Mulai
Input yang diperlukan dalam pembangunan sistem: Perspektif KM-Scorecard Indikator Kinerja Kunci (IKK) Nilai target untuk masing-masing IKK Nilai aktual untuk masing-masing IKK Bobot untuk masing-masing IKK
Pemilihan Indikator Kinerja Kunci (IKK) dengan persyaratan: Data tersedia di koperasi susu Komponen Sasaran Strategis untuk memperkuat pengambilan keputusan
Penentuan karakteristik fungsional dan operasional sistem: Penentuan parameter fuzzy
Mengubah parameter fuzzy menjadi himpunan fuzzy
Output: Himpunan fuzzy untuk setiap parameter Domain masing-masing Himpunan fuzzy
Penyusunan rules dari IKK
Penentuan metode pemrosesan parameter dan rules
Output: Sekelompok rules Fungsi keanggotaan masing-masing himpunan fuzzy Metode defuzzifikasi
Penentuan arsitektur aplikasi
Output: Sistem Pakar Knowledge Management Scorecard for Dairy Cooperatives (KMaScD)
TIDAK Sesuai? YA
Selesai
Gambar 38 Diagram Alir Formulasi Sistem yang Dirancang
135 Analisis Kebutuhan Sistem Analisis kebutuhan sistem yang dilakukan oleh Knowledge Engineer (KE) merupakan tahap awal dalam perancangan aplikasi dengan metode waterfall cycle model. Tahap analisis ini dilakukan untuk mengetahui kebutuhan sistem dan pengguna sistem, serta alur kerja dari sistem yang akan dibuat. Tahap analisis ini sering disebut sebagai fase requirement yang akan mengumpulkan informasi tentang sistem dan aplikasi yang akan dibuat, menentukan siapa saja pengguna dari sistem ini dan apa saja kebutuhan dari pengguna yang dapat diberikan oleh sistem. Berdasarkan kegiatan yang dilakukan pada fase analisis, ditentukan bahwa sistem yang dibuat merupakan sebuah sistem pakar untuk menilai kinerja koperasi susu
dalam menerapkan program
manajemen pengetahuan. Diharapkan
keberadaan sistem pakar ini dapat membantu pengguna sistem dalam menilai sejauh mana tingkat keberhasilan penerapan manajemen pengetahuan yang sedang dijalankan. Sistem ini hanya dirancang untuk mendukung upaya pencapaian target kinerja koperasi susu. Penentuan perspektif balanced scorecard pada penelitian ini menggunakan kerangka yang dikemukakan Kaplan dan Norton (2004). Kerangka ini digunakan karena merupakan kerangka yang cukup dikenal di Indonesia. Sasaran strategis didapat dari model penciptaan pengetahuan pada koperasi susu yang dihasilkan dari model SEM yang telah dibahas pada sub bab sebelumnya. Penentuan IKK merujuk kepada pendapat Parmenter (2007) dan wawancara dengan Pakar. Mekanisme penarikan kesimpulan yang merupakan komponen penting dalam sistem pakar, digunakan metode logika fuzzy. Metode ini dinilai cocok dalam pendekatan penyelesaian masalah karena dekat dengan cara berpikir manusia dalam penarikan kesimpulan. Mengingat tidak adanya pedoman yang baku dalam dan pengharkatan yang pasti dalam proses penilaian kinerja koperasi susu. Penalaran fuzzy yang digunakan adalah metode Mamdani. Penggunaan metode ini didasarkan pada kondisi dimana metode ini lebih banyak diterima dan lebih cocok digunakan pada saat input diterima dari manusia (Kusumadewi 2002). Sistem ini dirancang untuk dapat digunakan oleh Koperasi Susu dan anggota yang mempunyai kemampuan dan pengetahuan untuk mengakses aplikasi. Hasil
136 dari
tahap
analisis
tentang
jenis
kebutuhan
pengguna
ini,
kemudian
dikelompokkan ke dalam menu pada aplikasi yang didesain menggunakan Matlab 7.4. Hasil pengelompokan ke dalam menu ditampilkan pada Tabel 13. Tabel 13
Pengelompokan Kebutuhan Pengguna Sistem menjadi Menu pada Aplikasi Menu
File
Fungsi Memudahkan cara memulai dan mengakhiri aplikasi
Daftar Istilah
Memberi penjelasan tentang parameter-parameter yang digunakan pada aplikasi
Bantuan
Memberi tentang tujuan dan manfaat dari aplikasi yang dibuat Memberi penjelasan tentang batasan aplikasiyang dibuat Memberi penjelasan tentang cara mengoperasikan aplikasi
Rancangan Input Input sistem merupakan proses akuisisi pengetahuan dilakukan dengan menggunakan teknik wawancara mendalam. Teknik ini dinilai cukup baik karena pakar akan leluasa mengemukakan pendapatnya berdasarkan pengetahuan dan pengalamannya. Di samping itu, proses akuisisi juga dilakukan melalui pengetahuan eksplisit berdasarkan penelurusan terhadap dokumentasi yang ditulis oleh para pakar. Berdasarkan hasil akuisisi data primer dan data sekunder dapat diketahui Indikator Kinerja Kunci dari masing-masing Sasaran Strategis yang digunakan sebagai parameter dalam menentukan kinerja pengetahuan koperasi susu serta kemungkinan nilai yang dapat dimiliki untuk masing-masing parameter. Pada proses input, pengguna sistem akan diminta untuk memasukkan nilai dari semua perameter yang ada. Parameter input, himpunan fuzzy dan domain himpunan fuzzy ditampilkan pada Tabel 14.
137 Tabel 14 Parameter Input, Himpunan Fuzzy dan Domain Himpunan Fuzzy Parameter
Himpunan Fuzzy
Domain
% Knowledge Productivity Index
Rendah Sedang Tinggi Rendah Sedang Tinggi Rendah Sedang Tinggi Rendah Sedang Tinggi Rendah Sedang Tinggi Rendah Sedang Tinggi Rendah Sedang Tinggi Rendah Sedang Tinggi Rendah Sedang Tinggi Rendah Sedang Tinggi Rendah Sedang Tinggi Rendah Sedang Tinggi Rendah Sedang Tinggi
0-8 6-15 10-30 0-20 15-35 30-50 0-40 40-60 50-100 0-30 20-60 50-80 0-8 6-16 14-24 0-2 1,5-3,5 3-5 0-20 15-35 30-50 0-20 15-35 30-50 0-20 15-35 30-50 0-10 8-20 18-30 0-20 15-35 30-50 0-20 15-35 30-50 0-20 15-35 30-50
% penghematan dengan adanya penerapan Manajemen Pengetahuan % Indeks kepuasan pelanggan utama
% akuisisi pelanggan
Jumlah pertemuan untuk mendiskusikan tentang Manajemen pengetahuan Paper to electronic document ratio
Jumlah ide baru yang disampaikan individu kepada ketua tim Jumlah hak kekayaan intelektual
% peningkatan produk baru
% penghematan waktu dengan adanya inovasi
% tingkat konversi ide
% pengguna saluran knowledge sharing
% adopsi ide baru dari sumber eksternal
138 Proses Penarikan Kesimpulan Proses penarikan kesimpulan pada aplikasi sisten pakar prediksi kinerja pengetahuan koperasi susu ini merupakan proses penarikan kesimpulan fuzzy. Proses penarikan kesimpulan fuzzy merupakan serangkaian proses yang akan melakukan pemetaan terhadap masukan dari pengguna menjadi keluaran tertentu dengan menggunakan teori himpuan fuzzy. Proses inferensi atau penarikan kesimpulan digunakan metode Mamdani. Kaidah kepakaran dalam penelitian ini dituliskan dalam bentuk aturan-aturan IFTHEN. Aturan-aturan inilah yang direpresentasikan dalam bentuk basis pengetahuan yang digunakan sebagai dasar dalam proses penarikan kesimpulan. Aturan yang berada pada pengetahuan sistem pakar yang dikembangkan terdiri atas beberapa antesenden yang digabungkan dengan menggunakan operator AND. Rancangan Output Pada metode Mamdani, proses output merupakan proses berikutnya setelah proses penarikan kesimpulan. Proses output ini ditandai dengan dilakukannya tahap defuzzifikasi untuk menghasilkan satu nilai crisp dari beberapa output fuzzy hasil evaluasi aturan pada basis pengetahuan. Metode defuzzifikasi yang digunakan pada penelitian ini adalah metode centroid. Pada metode centroid, nilai crisp yang dihasilkan merupakan nilai titik tengah dari kurva fungsi keanggotaan variabel luaran yang merupakan gabungan dari proses komposisi gugus luaran fuzzy. Terdapat dua keuntungan penggunaan metode centroid dalam melakukan proses defuzzifikasi yaitu: (1) nilai defuzzifikasi akan bergerak secara halus sehinggaperubahan dari suatu topologi himpunan fuzzy ke topologi berikutnya akan berjalan halus dan (2) mudah dalam pengitungan (Kusumadewi & Purnomo 2002). Parameter output, himpunan fuzzy dan domain himpunan fuzzy yang digunakan dalam pengembangan sistem pakar ini ditampilkan pada Tabel 15.
139 Tabel 15 Parameter Output, Himpunan Fuzzy dan Domain Himpunan Fuzzy Parameter
Himpunan Fuzzy
Domain
Ekspresi Warna Tampilan Scorecard
Perspektif Finansial
Rendah Sedang Tinggi
0-50 40-80 75-100
Merah Kuning Hijau
Perspektif Pelanggan
Rendah Sedang Tinggi
0-50 40-80 75-100
Merah Kuning Hijau
Perspektif Proses Internal
Rendah Sedang Tinggi
0-50 40-80 75-100
Merah Kuning Hijau
Perspektif Pembelajaran dan Pertumbuhan
Rendah Sedang Tinggi
0-50 40-80 75-100
Merah Kuning Hijau
Pada pengembangan sistem fuzzy ini, terdapat empat variabel output yang didekomposisi menjadi himpunan fuzzy, yaitu perspektif finansial, perspektif pelanggan, persepektif proses internal dan perspektif
pembelajaran dan
pertumbuhan. Masing-masing variabel tersebut memiliki tiga himpunan fuzzy, yaitu rendah, sedang dan tinggi. a. Perspektif Finansial Variabel Perspektif Finansial terdiri atas tiga himpunan fuzzy, yaitu rendah, sedang dan tinggi yang direpresentasikan dengan menggunakan fungsi keanggotan berbentuk kurva trapesium (trapezoidal). Formulasi persamaan yang digunakan untuk mengembangkan fungsi keanggotaan tersebut adalah:
=
( (50
0 0)/(0 0) 1 )/(50 30)
0 ( 40)/(60 = (80 )/(80
40) 60)
0 70)/(90 70) = 1 (200 )/(200 100) (0
x 0 atau x 50 0 x0 0 x 30 30 x 50
x 0 atau x 80 40 x 60 60 x 80 x 70 atau x 200 70 x 90 90 x 100 100 x 200
140
Berdasarkan pada pemetaan nilai numerik pada semesta pembicaraan oleh masing-masing fungsi keanggotaan himpunan fuzzy terhadap nilai derajat keanggotaan pada himpunan-himpunan fuzzy, maka dihasilkan kurva-kurva himpunan fuzzy pada masing-masing variabel. Representasi karakteristik kurvakurva himpunan fuzzy pada variabel persepktif finansial ditampilkan pada
Derajat Keanggotaan
Gambar 39.
% Capaian terhadap target
Gambar 39 Representasi Fuzzy Perspektif Finansial Pada Gambar 39 di atas, dapat diketahui adanya daerah overlapping akibat perpotongan kurva-kurva himpunan fuzzy yang dibentuk. Daerah overlapping ini merupakan representasikan dari proses pengalaman pakar untuk mengatasi masalh-masalah ketidakadilan, ketidakpastian dan kesamaran dalam melakukan penentuan daerah keputusan. Daerah overlapping merupakan ciri utama pada pengembangan sebuah sistem fuzzy. Selanjutnya ditampilkan berturut-turut representasi pemodelan masingmasing variabel perspektif pelanggan, persepektif proses internal dan perspektif pembelajaran dan pertumbuhan pada Gambar 40, Gambar 41 dan Gambar 42.
b. Perspektif Pelanggan
=
( (50
0 0)/(0 0) 1 )/(50 30)
x 0 atau x 50 0 x0 0 x 30 30 x 50
141
0 40)/(60 = ( (80 )/(80
x 0 atau x 80
40) 60)
60 x 80 x 70 atau x 200 70 x 90 90 x 100 100 x 200
Derajat Keanggotaan
0 (0 70)/(90 70) = 1 (200 )/(200 100)
40 x 60
% Capaian terhadap target
Gambar 40 Representasi Fuzzy Perspektif Pelanggan c. Perspektif Proses Internal
=
( (50
0 0)/(0 0) 1 )/(50 30)
0 40)/(60 = ( (80 )/(80
x 0 atau x 50 0 x0 0 x 30 30 x 50
x 0 atau x 80
40) 60)
0 (0 70)/(90 70) = 1 (200 )/(200 100)
40 x 60 60 x 80
x 70 atau x 200 70 x 90 90 x 100 100 x 200
Derajat Keanggotaan
142
% Capaian terhadap target
Gambar 41 Representasi Fuzzy Perspektif Proses Internal d. Perspektif Pembelajaran Dan Pertumbuhan
=
( (50
0 0)/(0 0) 1 )/(50 30)
0 40)/(60 = ( (80 )/(80
40) 60)
0 x0 0 x 30 30 x 50
x 0 atau x 80 40 x 60 60 x 80
x 70 atau x 200
70 x 90 90 x 100 100 x 200
Derajat Keanggotaan
0 (0 70)/(90 70) = 1 (200 )/(200 100)
x 0 atau x 50
% Capaian terhadap target
Gambar 42 Representasi Fuzzy Perspektif Pembelajaran dan Pertumbuhan
143 e. Representasi Keanggotaan Scorecard Akhir (Output)
=
( (70
0 0)/(0 0) 1 )/(70 60)
x 0 atau x 70 0 x0 0 x 60 60 x 70
0 60)/(80 60) = ( (100 )/(100 80)
60 x 80 80 x 100
x 90 atau x 200
70)
90 x 120 120 x 200
100)
180 x 200
Derajat Keanggotaan
0 ( 90)/(120 = 1 (200 )/(200
x 0 atau x 100
Scorecard Akhir
Gambar 43 Representasi Fuzzy Scorecard Akhir Mekanisme Fuzzy Rule Based Pada Expert System Knowledge Management for Dairy Cooperatives (KaMScD) Konfigurasi dari mekanisme fuzzy inference system yang digunakan adalah penalaran metode Mamdani. Pada Metode ini, baik parameter masukan/input dan output berupa himpunan fuzzy. Proses impikasi menggunakan operator AND (Minimun), sedangkan proses agregasi menggunakan operator OR (Maximun). Untuk penyusunan KaMScD ini telah ditentukan rule seluruhnya sejumlah 72 Rules. Berikut ini detail konfigurasi Fuzzy yang digunakan dari file FisAkhir: [System] Name='FisAkhir'
144 Type='mamdani' Version=2.0 NumInputs=4 NumOutputs=1 NumRules=72 AndMethod='min' OrMethod='max' ImpMethod='min' AggMethod='max' DefuzzMethod='centroid' [Input1] Name='finansial' Range=[0 200] NumMFs=3 MF1='rendah':'trapmf',[0 0 30 50] MF2='sedang':'trimf',[45 60 80] MF3='tinggi':'trapmf',[70 90 200 200] [Input2] Name='pelanggan' Range=[0 200] NumMFs=3 MF1='rendah':'trapmf',[0 0 30 50] MF2='sedang':'trimf',[45 60 80] MF3='tinggi':'trapmf',[70 80 200 200] [Input3] Name='proses_internal' Range=[0 200] NumMFs=3 MF1='rendah':'trapmf',[0 0 30 50] MF2='sedang':'trimf',[45 60 80] MF3='tinggi':'trapmf',[70 90 200 200] [Input4] Name='pembelajaran&pertumbuhan' Range=[0 200] NumMFs=3 MF1='rendah':'trapmf',[0 0 30 50] MF2='sedang':'trimf',[45 60 80] MF3='tinggi':'trapmf',[70 80 200 200] [Output1] Name='ScoreCard' Range=[0 200] NumMFs=3 MF1='rendah':'trapmf',[0 0 60 70]
145 MF2='sedang':'trimf',[60 80 100] MF3='tinggi':'trapmf',[90 120 200 200]
Sebagai contoh adalah kasus di bawah ini Misalkan diberikan parameter masukan sebagai berikut: finansial
= 100
pelanggan
= 100
proses internal
= 100
pembelajaran & pertumbuhan
= 100
Berdasarkan fungsi keanggotaan dari masing-masing input, didapatkan sebagai berikut: finansial
= 100 (termasuk himpunan tinggi dengan mf = 1 )
pelanggan
= 100 (termasuk himpunan tinggi dengan mf=1)
proses internal
= 100 ( termasuk himpunan tinggi dengan mf=1)
pembelajaran & pertumbuhan = 100 (termasuk himpunan tinggi dengan mf=1) a. Keempat input tersebut kemudian diimplikasi dengan mencari nilai minimun, yaitu mencari nilai terkecil dengan min(1,1,1,1) = 1. b. Proses berikutnya adalah dengan membaca rule yang digunakan . Dari rule tersebut, yang digunakan adalah rule nomor 1 “ Jika finansial tinggi AND pelanggan tinggi AND proses_internal tinggi AND pembelajaran&pertumbuhan tinggi THEN scorecard tinggi” atau dengan melihat pada konfigurasi rule pertama sebagai berikut : 3 3 3 3, 3 (1) : 1 Keterangan : 3 3 3 3 mf ketiga dari setiap input (yaitu tinggi) ,3
mf ketiga dari output scorecard (yaitu tinggi)
(1)
operator yang digunakan adalah AND
1
bobot rule yang digunakan adalah 1
c. Pada rule pertama terlihat bahwa kurva yang terbentuk adalah trapesium. Karena hanya rule satu saja yang digunakan, maka proses agregasi ini
146 hanya menghasilkan satu kurva seperti yang dilihat pada Gambar 44 di bawah ini.
tinggi Daerah keanggotaan
Gambar 44 Hasil Agregasi Rule yang Digunakan
d. Dari kurva tersebut kemudian dilakukan proses defuzzifikasi dengan persamaan sebagai berikut atau dengan menggunakan metode centroid: n
z
z (z ) j 1 n
j 1
j
j
(z j )
atau
z
z ( z )dz z
( z )dz z
e. Berdasarkan hasil perhitungan didapatkan bahwa hasil defuzzifikasinya adalah 153. Rule View pada Matlab untuk kasus di atas dapat diilhat pada Gambar 45 dibawah ini.
147
Gambar 45. Rule view yang Menunjukkan Rule 1 yang Digunakan Adapun proses defuzzifikasi dengan menggunakan metode centroid dapat dilihat pada Gambar 46.
Gambar 46 Penentuan Nilai Tengah Proses Defuzzifikasi dengan Metode Centroid
148 Sistem pakar yang dikembangkan menggunakan Matlab pada penelitian ini menyediakan sebuah halaman antarmuka utama (User interface) yang merupakan tempat dimulainya pihak pengguna melakukan interaksi terhadap sistem pakar. Langkah awal, pengguna menetapkan terlebih dahulu target dan bobot dari masing-masing Indikator Kinerja Kunci (IKK). Langkah berikutnya, pengguna memasukkan hasil atau kondisi aktual. Sistem pakar akan memproses untuk menghasilkan nilai/scorecard akhir. Antarmuka Sistem Pakar KM-Scorecard Koperasi Susu ditampilkan pada Gambar 47.
Gambar 47 Antarmuka Sistem Pakar KM-Scorecard Koperasi Susu
149 Setelah semua kolom yang tersedia diisi oleh pengguna, maka diperoleh hasil nilai KM-scorecard dari Koperasi Susu tersebut. Nilai KM-scorecard ini menggambarkan tingkat keberhasilan yang dicapai dari target yang sudah ditentukan sebelumnya. Contoh tampilan hasil nilai KM-Scorecard Koperasi Susu ditampilkan pada Gambar 48.
Gambar 48 Tampilan Hasil Nilai KM-Scorecard Koperasi Susu 6.3.2 Validasi dan Verifikasi Model Validasi model dilakukan dengan teknik face validity sesuai dengan saran Sargent (1999). Teknik validasi ini dilakukan dengan
wawancara mendalam
pendapat pakar atas model yang sudah dibangun. Verifikasi model pada penelitian ini dilakukan dengan pemeriksaan sederhana meliputi pemeriksaan aliran logika dari masing-masing perspektif ke masing-masing sasaran strategis, kemudian dari masing-masing sasaran strategis tersebut ke key performance indicators (Indikator Kinerja Kunci) masing-masing.
150 Secara prinsip pemeriksaan ini dimaksudkan mencari kekeliruan dalam program baik yang bersifat logika maupun kesalahan editorial. Pada pemilihan Indikator Kinerja Kunci (IKK), verifikasi dilakukan dengan mengajukan alternatif berdasarkan kriteria penting untuk dilakukan penilaian oleh sejumlah pakar untuk menentukan prioritas IKK yang dinilai paling cocok untuk menggambarkan capaian masing-masing sasaran strategis. Berdasarkan IKK terpilih tersebut dirancang target capaiannya. Hasil analisis yang merupakan target dibanding capaian aktual, sehingga menghasilkan besaran tertentu sebagai nilai KM Scorecard. Nilai tersebut akan direpresentasikan menjadi warna hijau, kuning atau merah. Hasil analisis diajukan kembali kepada pakar untuk dikonfirmasi. Dari hasil konfirmasi tersebut dapat disimpulkan bahwa bahwa sistem pakar yang dirancang layak untuk diterapkan dan selanjutnya dapat dikembangkan. 6.4 Implikasi Manajerial Bagi Koperasi Susu yang berkepentingan untuk meningkatkan inovasi yang dihasilkan, maka temuan bahwa aset pengetahuan konseptual merupakan aset paling dominan berkorelasi dengan proses konversi pengetahuan perlu ditingkatkan pemanfaatannya. Bagi para pelaku Koperasi Susu, dari model yang dikembangkan penelitian ini menunjukkan bahwa pengetahuan tacit yang ada pada masing-masing individu anggota koperasi baik itu peternak maupun karyawan merupakan aset yang sangat berharga dan harus dikembangkan dengan lebih memberi kesempatan untuk berbagi pengetahuan sehingga terbentuk aset pengetahuan eksperiensial melalui pembelajaran bersama. Dalam rangka meningkatkan kepemilikan aset pengetahuan sistemik yang merupakan aset terlemah yang dimiliki koperasi susu saat ini, dapat dirancang dengan penerapan KM-Scorecard, sehingga sasaran strategi Koperasi Susu tersebut dapat dikomunikasikan menjadi aktivitas yang bisa dipahami oleh seluruh karyawan dan anggota koperasi tersebut melalui perancangan peta strategi. Peta strategi memberikan gambaran keterkaitan antar sasaran-sasaran strategi yang dirumuskan disertai ukuran-ukuran dan targetnya. Untuk itu dalam rencana penerapannya perlu disusun inisiatif strategis sebagai langkah-langkah yang perlu dilakukan agar target tercapai.
151 Secara umum, KM-Scorecard ini dapat berfungsi sebagai diagnosis kinerja Manajemen Pengetahuan pada Koperasi Susu. Karena itu, kegagalan capaian target kinerja bisa dihindari dari awal. Target IKK yang relatif baru, yang belum banyak diterapkan oleh organisasi sejenis, hendaknya ditetapkan target kinerja yang moderat. Bagi peternak, temuan penelitian ini dapat diindaklanjuti dengan lebih mengaktifkan kelompok peternak yang sudah terbentuk sebagai sarana berbagi pengetahuan. Bagi koperasi yang relatif baru, yang belum memilikinya, kelompok peternak dapat dibentuk berdasarkan kedekatan kandang yang dimiliki. Bagi regulator, temuan penelitian ini dapat menjadi masukan untuk mendesain inovasi bagi koperasi susu yang difasilitasi pemerintah dengan mendesain bentuk kerja sama sebagai sinergi dengan berbagi pihak, yaitu akademisi dan pihak industri. Kontribusi yang signifikan dari pihak regulator sangat menentukan laju inovasi yang dihasilkan. Kinerja penerapan Manajemen Pengetahuan pada Koperasi Susu dapat ditingkatkan dengan meningkatkan adopsi ide baru dari pihak eksternal dan mengkonversi ide-ide tersebut dalam aktivitas organisasi. Untuk dapat meningkatkan konversi ide-ide baru tersebut maka penggunaan saluran knowledge sharing oleh para peternak yang tergabung dalam koperasi, karyawan koperasi dan juga pihak manajemen koperasi harus semakin intensif. Penerapan Manajemen Pengetahuan juga diharapkan meningkatkan kepemilikan aset pengetahuan sistemik yang selama ini Koperasi Susu belum memilikinya. Untuk itu pertemuan/diskusi tentang bagaimana Manajemen Pengetahuan diterapkan perlu diagendakan sebagai kegiatan rutin. Dari diskusi rutin yag dilakukan diharapkan muncul banyak ide baru yang inovatif, sehingga inovasi-inovasi baru yang telah bernilai komersial dapat menjadi hak kekayaan intelektual bagi Koperasi Susu. 6.5 Kontribusi Penelitian Kontribusi penelitian ini terkait proses penciptaan pengetahuan pada Koperasi Susu berupa faktor-faktor yang perlu diperhatikan oleh Koperasi Susu dalam mengembangkan strategi bersaingnya. Ringkasan faktor-faktor apa saja
152 yang perlu diperhatikan oleh para pengambil keputusan di Koperasi Susu agar dapat menghasilkan output-output yang inovatif disusun sebagai usulan model penciptaan pengetahuan pada koperasi susu yang ditampilkan pada Gambar 49. Terdapat tiga kegiatan utama yang perlu dikelola dengan baik oleh Koperasi Susu, yaitu: 1) Kegiatan akuisisi pengetahuan Pada kegiatan akuisisi pengetahuan, sangatlah penting bagi Koperasi Susu untuk memperhatikan daya serap organisasi. 2) Kegiatan berbagi dan mendistribusikan pengetahuan Kegiatan ini dapat terlaksan dengan baik bila
terdapat dukungan berupa
kelompok-kelompok peternak yang aktif, adanya kebiasaan-kebiasaan baik yang didukung oleh kebijakan Koperasi Susu serta adanya infrastruktur teknologi informasi dan komunikasi yang memudahkan kegiatan berbagi dan mendistribusikan pengetahuan. 3) Kegiatan penggunaan pengetahuan Setelah pengetahuan diakuisisi dan didistribusikan, maka kegiatan yang terpenting adalah menggunakan pengetahuan-pengetahuan tersebut untuk menghasilkan inovasi.
153 Kepemilikan aset pengetahuan sistemik yang merupakan pengetahuan eksplisit yang merupakan intellectual property rights Proses berbagi pengetahuan melalui kombinasi yang merupakan pemrosesan pengetahuan eksplisit menjadi pengetahuan eksplisit lain
Aset Pengetahuan
Daya serap organisasi berupa dukungan Koperasi untuk mencari informasi yang dibutuhkan dalam rangka meningkatkan pengetahuan dan keterampilan
Konversi Pengetahuan Daya Serap
Akuisisi Pengetahuan
Interaksi informal terutama dengan pihak Koperasi, Lembaga Keuangan dan pemasok sapronak (sarana produksi peternakan)
Inovasi Kapabilitas Pemecahan Masalah & Pengambilan Keputusan
Manfaat komersial dari inovasi proses
Aktivitas pemecahan masalah dan pengambilan keputusan mengedepankan kreativitas dalam suasana yang harmonis disertai komitmen bersama
Gambar 49. Usulan Model Penciptaan Pengetahuan pada Koperasi Susu di Indonesia
153
155
BAB 7 KESIMPULAN DAN SARAN 7.1 Kesimpulan Pengembangan model penciptaan pengetahuan dalam upaya meningkat keunggulan bersaing koperasi susu di Indonesia menghasilkan lima model. Dari kelima model tersebut, model 5 yang terdiri atas dua variabel eksogen, yaitu aset pengetahuan dan akuisisi pengetahuan serta empat variabel endogen, yaitu daya serap, kapabilitas pemecahan masalah dan pengambilan keputusan, konversi pengetahuan dan inovasi dianggap sebagai model terbaik. Model tersebut dapat diterima untuk mengkonfirmasi adaptasi teori yang dihasilkan dari integrasi dua teori penciptaan pengetahuan, yaitu yang dikemukakan Nonaka et al. (2000) dan Soo et al. (2000a). Temuan penelitian ini menunjukkan bahwa, keberadaan aset pengetahuan yang paling berpengaruh tampak pada pengetahuan konseptual, sedangkan terjadinya akuisisi pengetahuan tercermin adanya kegiatan kolaborasi formal. Daya serap koperasi susu terhadap hasil akuisisi pengetahuan lebih dipengaruhi oleh daya serap organisasi. Indikator terkuat adanya konversi pengetahuan pada koperasi susu adalah proses eksternalisasi, sedangkan faktor paling berpengaruh dalam kegiatan pemecahan masalah dan pengambilan keputusan adalah konsensus. Inovasi pada koperasi susu lebih dicirikan adanya inovasi produk. Dari model struktural yang telah dibentuk, maka dapat dikatakan bahwa inovasi yang terjadi pada koperasi susu berhubungan erat dengan kemampuan pemecahan
masalah
dan
pengetahuan
tidak
terbukti
pengambilan berpengaruh
keputusan, terhadap
sedangkan inovasi.
konversi
Keberhasilan
pemecahan masalah dan pengambilan keputusan pada koperasi susu dipengaruhi oleh akuisisi dan konversi dengan sama besarnya. Konversi pengetahuan yang terjadi terbukti sangat dipengaruhi oleh kepemilikan aset pengetahuan. Model kontribusi aset pengetahuan terhadap proses konversi pengetahuan pada koperasi susu telah dikembangkan sebagai sebuah model yang paling mendekati pola data yang diambil dari Koperasi Susu di Indonesia. Model tersebut dapat menerangkan bahwa secara bersama-sama aset-aset pengetahuan yang dimiliki berkontribusi terhadap proses konversi pengetahuan, kecuali aset pengetahuan sistemik. Dibanding aset pengetahuan lainnya, aset pengetahuan
156 konseptual memiliki korelasi yang lebih besar terhadap proses sosialisasi dan eksternalisasi. Aset pengetahuan rutin memiliki korelasi lebih besar terhadap proses ekternalisasi. Aset pengetahuan eksperiensial memiliki korelasi lebih besar terhadap proses internalisasi dan kombinasi. Dibanding aset pengetahuan lainnya, pengetahuan sistemik terbukti memiliki korelasi paling lemah terhadap proses konversi pengetahuan. Sistem Pakar yang dikembangkan dengan model KM-Scorecard dirancang mampu memberikan diagnosis kinerja koperasi susu terkait penerapan Manajemen Pengetahuan dalam rangka meningkatkan inovasinya. Sistem Pakar tersebut layak untuk diterapkan dan cukup fleksibel untuk dikembangkan sesuai dengan kebutuhan. 7.2 Saran 1. Model yang telah dikembangkan ini lebih menitikberatkan pada pentingnya pengembangan sumberdaya internal koperasi susu. Namun tidak dapat disangkal bahwa koperasi membutuhkan dukungan lingkungan eksternal. Untuk itu perlu penelitian lebih lanjut mengenai keterkaitan model penciptaan pengetahuan antara pengambil kebijakan, akademisi dan koperasi dalam rangka mendukung inovasi koperasi. 2. Operasionalisasi Sistem Pakar KM-Scorecard belum dapat dilakukan secara mandiri, untuk itu perlu dirancang Sistem Manajemen Ahliyang lebih komprehensif dan user friendly. Hal ini dapat menjadi peluang penelitian lebih lanjut di bidang Manajemen Pengetahuan dengan perspektif teori organisasi dan pendekatan sistem.
157
DAFTAR PUSTAKA Alain B. 1988. Technology, and the nature of the firm. International Journal of Technology Management 3:563-579. Allaire G, Wolf SA. 2004. Cognitif representations and insitutional hybridity in agrofood innovation. Science, Technology & Human Values 29:431-458. http://proquest.umi.com/pqdweb?index=25&did=711127771&SrchMode= 1&sid=3&Fmt=2&VInst=PROD&VType=PQD&RQT=309&VName=PQ D&TS=1279868155&clientId=75346 [23 Juli 2010]. Al-Hawari M. 2004. Knowledge Management Styles and Performance: a Knowledge Space Model from both Theoretical and Empirical Perspectives. [disertasi]. The University of Wollongong. Arhami M. 2005. Konsep Dasar Sistem Pakar. Edisi 1. Yogyakarta: Penerbit Andi. Austin JE. 1992. Agroindustrial Project Analysis; Critical Design Factors. Baltimore: The John Hopkins University Press. Badan Penelitian dan Pengembangan Perdagangan Dalam Negeri (Balitbangdagda). 2010. Pengembangan susu segar dalam negeri (SSDN) dalam rangka pemenuhan kebutuhan susu nasional. Posisioning Paper. Balitbangdagda. Kementrian Perdagangan RI. Jakarta. Banburry CM, Mitchel W. 1995. The effect of introducing important incremental innovation on market share and business survival. Strategic Management Journal 16:161-182. Bean R, Radford R. 2002. The Business of Innovation; Managing the Corporate Imagination for Maximum Result. New York: Amacom. Bentler PM, Bonnet DG. 1980. Significant test and Goodness of Fit in the Analysis of Covariance Structures. Psychological Bulletin 88:588-606. Bentler PM. 1980. Multivariate Analysis with Latent Variables: Causal Modeling, Annual Review of Psychology 31:419-456. Berman SL, Down J, Hill CWL. 2002. Tacit Knowledge as a source of competitive advantage in the national basketball association. Academy of Management Journal 45:13-31. Boland Jr RJ, Singh J, Salipante P, Aram JD, Fay SY, Kanawattanachai P. 2001. Knowledge representations and knowledge transfer. Academy of Management Journal 44:393-417. Bollen KA. 1989. Structural Equation with Latents Variables. John Willey & Sons. Bozdogan H. 1987. Model Selection and Akaike’s Information Criteria (AIC), Psychometrica 52:345-370. Browne MW, Cudeck R. 1989. Single Sample Cross-Validation Indices for Covariance Structures, Multivariate Behavioral Research 24:445-455.
158 Canny AH. 2001. Rekayasa sistem pengembangan agroindustri susu berbasis usaha lepas panen susu. [disertasi] . Bogor: Institut Pertanian Bogor. Cheney PK, Devinney TM. 1992. New product innovations and stock price performance. Journal of Business Finance & Accounting 19:677-694. Choo CW. 1998. The Knowing Organization; How Organization Use Information to Construct Meaning, Create Knowledge, and Make Decisions. New York: Oxford University Press. Chou SW, He MY. 2004. Knowledge management: the distinctive roles of knowledge assets in fasilitating knowledge creation. Journal of Information Science 30:146-164. Cronin B, Davenport E. 1990. Laptops and the marketing information chain: the benefits of sales force automation. International Journal of Information Management 10:278-287. Davenport TH, Prusak L. 1998. Working Knowledge: How Organizations Manage What They Know. Harvard Business School Press. Boston. Delgado C, Rosegrant M, Steinfeld H, Ehui S, Courbois C. 1999. Livestock to 2020; the next food revolution. Discussion Paper 28. International Food Policy Research Institute. Washington D.C. Devinney T. 1997. Knowledge, tacit understanding and strategy. http://www. agsm.unsw.edu.au/timdev/research/RABO.pdf [20 Mei 2007]. Donald, AM. 1985. Information Management: strategies and tools in transition. Information Management Review. Vol.1 (1):27-35. Eriyatno. 1999. Ilmu Sistem; Meningkatkan Mutu dan Efektivitas Manajemen. Institut Pertanian Bogor Press. Bogor. Geroski P, Machin S, Reenen JV. 1993. The profitability of innovation firms. RAND Journal of Economic Vol 24(2):198-211. Hair Jr JF, Anderson RE, Tatham RL, Black WC. 1998. Multivariate Data Analysis. Edisi ke-5. Prentice-Hall International, Inc. Upper Saddle River, New Jersey. Hair Jr JF, Black WC, Babin BJ, Anderson RE, Tatham RL. 2006. Multivariate Data Analysis. Edisi ke-6. Prentice-Hall International, Inc Upper Saddle River, New Jersey. Harvey D, Bowin RB. 1996. Human Resouce Management; An Experimental Approach. Prentice-Hall international, Inc. New Jersey. Hubeis M. 2005. Manajemen Kreativitas dan Inovasi dalam Bisnis. PT. Hecca Mitra Utama. Jakarta. Hu LT, Bentler PM. 1995. Evaluating Model Fit, di dalam Rick H. Hoyle (editor), Structural Equation Modeling: Concepts, Issues, and Application, Sage Publication. 76-99.
159 Indarti N, Geenhuizen M van. 2005. Knowledge as a critical resource in innovation among small furniture companies in Indonesia. An exploration. Gadjah Mada International Journal of Business. Vol. 7(3):371-390. Indonesian Indocommercial Newsletter No 140. 1995. Perkembangan Industri Pengolahan Susu di Indonesia. PT Capricorn Indonesia Consult Inc. Jakarta. Indocommercial No. 364. 2005. Perkembangan ekonomi 2005. PT. Capricorn Indonesia Consult Inc. Jakarta. Irsan I. 2005. Dimensi-dimensi “Enablers” Pengetahuan yang Mempengaruhi Persepsi Pegawai terhadap Pengetahuan Perusahaan di Kelompok Kalbe. [disertasi]. Depatermen Ilmu Admisnistrasi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Indonesia. Depok. James LR, Mulaik SA, Brett JM. 1982. Causal Analysis: Assumption, Models and Data, Sage, Beverly Hill, Ca. Joreskog K, Sorbom D. 1989. Lisrel 7 User’s Reference Guide, Scientific Software International. Kaplan RS, Norton DP. 1992. The Balanced Scorecard; Measures That Drive Performance. Harvard Business Review Vol. 74(1):75-85. Kaplan RS, Norton DP. 1996. The Balanced Scorecard; Translating Strategy into Action. Harvard Business School Press. Boston. Kaplan RS, Norton DP. 2004. Strategy Maps; Converting Intangible Assets into Tangible Outcomes. Harverd Business School Press. Boston. Kaplan S, Schenkel A, Krogh G von, Weber C. 2001. Knowledge-based theories of the firm in strategic management: A review and extension. MIT Sloan Working Paper 4216-01. http://www.mit.edu/people.skaplan/kbv-0301.pdf [1 Mei 2006]. Knott AM, Bryce D. 2000. On the strategic accumulation of intangible assets. http://www.management.wharton.upenn.edu/knott/documents/accumulation. pdf [1 Mei 2006]. Kopelman RE, Brief AP, Guzzo RA. 1990. The role of culture and climate in productivity. Dalam: B. Schneider (ed). Organizational Climate and Culture. Jossey-Bass. San Francisco. Krogh G von, Ichijo K, Nonaka I. 2000. Enabling Knowledge Creation; How to Unlock Mystery of Tacit knowledge and Release the Power of Innovation. Oxford Univesity Press. New York. Kusumadewi S, Purnomo H. 2004. Aplikasi Logika Fuzzy untuk Pendukung Keputusan. Graha Ilmu. Yogyakarta. Lioyd B. 1996. Knowledge Management: The key to long term organisational success. Long Range Planning Vol. 29(4):576-580. Luis S, Biromo PA. 2007. Step by Step in Cascading Balanced Scorecards to Functional Scrorecards. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
160 Marimin. 2009. Teori dan Aplikasi Sistem Pakar dalam Teknologi Manajerial. Institut Pertanian Bogor Press. Bogor. Martin VM. 1998. Too much information, not enough knowledge. Chief Executive. Mei. 38-40. Maycunich A, Gilley JW. 2000. Beyond the Learning Organization; Creating a Culture of Continuous Growth and Development Through State-of the-Art Human Resouce Practices. Perseus Books. Cambridge. McCallum RC, Browne MW, Sugawara HW. 1996. Power analysis and determination of sample size for covariance structure modeling. Psychological Methods 1: 130-149. Meso P, Smith R. 2000. A resource-based view of organizational knowledge management system. Journal of Knowledge Management 4: 224-234. Mulaik SA, James LR, Alstine J van, Bennet N, Lind S, Stilwell DC. 1989. An Evaluation of goodness of Fit Indices for Structural Equation Models, Psychological Bulletin 103:430-455. Mullin R. 1996. Knowledge Management: A cultural evolution. The Journal of Business Strategy 17(5):56-60. Muthusamy SK, Palanisamy R. 2006. Leveraging cognition for competitive advantage: a knowledge-based strategy process. Journal of Information & Knowledge Management 3:258-272. Nasution HN. 2005. Inovasi organisasi: konsep dan pengukurannya. Usahawan 34(9):42-48. Nasution M. 2000. Pengembangan Kelembagaan Koperasi Pedesaan untuk Agroindustri. Institut Pertanian Bogor Press. Bogor. Nonaka I, Takeuchi H. 1995. The knowledge Creating Company; How Japanese Companies Create the Dynamics of Innovation. Oxford University Press. Oxford. Nonaka I, Toyama R, Nagata A. 2000. A firm as a knowledge-creating entity: A new perspective on the theory of the firm. Industrial dan Corporate Change 9:1-20. http://proquest.umi.com/pqdweb?index=222&did=404144051&SrchMode= 1&sid=1&Fmt=3&VInst=PROD&VType=PQD&RQT=309&VName=PQD &TS=1279867916&clientId=75346 [23 Juli 2010]. Nonaka I, Toyama R. 2005. The theory of the knowledge-creating firm: subjectivity, objectivity and synthesis. Industrial dan Corporate Change 14:419-436. http://proquest.umi.com/pqdweb?index=125&did=878107531&SrchMode= 1&sid=1&Fmt=6&VInst=PROD&VType=PQD&RQT=309&VName=PQD &TS=1279867487&clientId=75346 [23 Juli 2010]. Parmenter D. 2007. Key performance indicators: Developing, implementing, and using winning KPIs. John Wilew & Sons, Inc. Hoboken, New Jersey.
161 Patton JR. 2007. Metrics for knowledge-based project organizations. S.A.M. Advanced Management Journal. 72: 33-43. Paucar-Careres A, Pagano R. 2009. System thinking and the use of systemic methodologies in knowledge management. Syst. Res. 26:343-355. Porter M. 1985. Competitive Advantage: Creating and Sustaining Superior Performance. The Free Press. New York. Porter M. 1990. Competitive Strategy. The Free Press. New York. Probst G, Raub S, Romhardt K. 2000. Managing Knowledge: Building Blocks for Success. John Wiley & Sons, Ltd. West Sussex. Ram S, Hayne S, Carlson D. 1992. Integrating information systems technologies to support consultation in an information center. Information & Management 23:331-343. Rogers M. 1998. The definition and measurement of innovation. Melbourne Institute. Working Paper No. 10/98. http://www.econ.unimbelb.edu.au/ iaesrwww/home.html. [20 April 2006]. Rosemary H. 1993. Human Resouce Management: Issues and Strategies. Addison-Wiley Publishing Company, Inc. Rynes SL, Bartunek JM, Daft RL. 2001. A cross the devide: Knowledge creation and transfer between practitioners and academics. Academy of Management Journal 44:340-355. Schult M. 2001. The uncertain relevance of newness: Organizational learning and knowledge flows. Academy of Management Journal 44 (4):661-681. Schulze A, Hoegl M. 2006. Knowledge creation in new product development project. Journal of Management 32 (2):210-236. Sellani RJ. 1994. Organizational lag and its effects on financial performance, production and inventory. Management Journal. Alexandria: Third Quarter 35 (3):77-81. Sekaran U. 2000. Research Methods for Business; A Skill-Building Approach. 3th Ed. John Wiley & Sons, Inc. New York. Sharkie R. 2003. Knowledge creation and its place in the development of sustainable competitive advantage. Journal of Knowledge Management 7(1): 20-31. Sharma S. 1996. Applied Multivariate Techniques. John Wiley & Sons. New York. Singarimbun M, Effendi S. 1995. Metode Penelitian Survei. Cetakan Kedua. Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial. Jakarta. Soo CW, Midgley DF, Devinney T. 2002a. The process of knowledge creation in organization. The INSEAD Working Paper. http://knowledge. insead.edu/article.cfm?id=444&uncat=11 [25 April 2006].
162 Soo CW, Midgley DF, Devinney T. 2002b. The process of knowledge creation in organization: Exploring firm and context specific effects. The INSEAD Working Paper. http://knowledge.insead.edu/article.cfm?id=444&uncat=11 [25 April 2006]. Stonebraker M, Kemnitz G. 1991. The postgres next-generation batabase management system. Association for Computing Machinery: Communications of the ACM 34(10):63-67. Strapko W. 1990. Knowledge management a fit with expert tools. Software Magazine 10(13):63-67. Sukmawati A. 1999. Studi implementasi konsep keunggulan bersaing kompetitif negara (Porter’s diamond model) pada industri pengolahan susu di Indonesia. Tesis. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Susatyo-Munir NST. 2004. Model Kreasi Pengetahuan di Perusahaan: Kajian pada Perusahaan-perusahaan kosmetika Modern di Indonesia. Disertasi. FISIP UI. Depok. Swan J, Newell S, Scarbrough H, Hislop D. 1999. Knowledge management and innovation: networks and networking. Journal of Knowledge Management 3:262-275. Szulanski G. 1996. Exploring internal stickness: Impediments to the transfer of best practices within the firm. Strategic Management Journal 17:27-43. Tanaka JS, Huba GJ. 1985. A Fit Index for Covariance Structure Model under Arbritary GLS Estimators, British jurnal ofMathematical danStatistical Psychology 38:197-201. Tippins MJ, Sohi RS. 2003. It competency and firm performance: Is organizational learning a missing link? Strategic Management Journal 24(7):745-761. Traill WB, Meulenberg M. 2002. Innovation in the food industry. Agribusiness 18:1-21. Tsai W. 2001. Knowledge transfer in intraorganizational networks: Effects of network position and absorptive capacity on business unit innovation and performance. Academy of Management Journal 44:996-1004. Tuomi I. 1999. Corporate knowledge; Theory and Practice of intelligent Organizations. Metaxis. Helsinki. Turban E. 1993. Decision Support and Expert Systems: Management Support Systems. Macmilan Publising Company. New York. Weber R, Kaplan R. 2003. Knowledge-based knowledge management. Dalam: Innovations in Knowledge Engineering. R. Jain, A. Abraham, C. Faucher dan J. van der Zwaag (Eds). International Series on Advanced Intelligence. 4:151-172.
163
DAFTAR ISTILAH Akuisisi pengetahuan
: kegiatan yang dilakukan oleh koperasi untuk memperoleh pengetahuan baik dari pihak internal aupun eksternal secara formal maupun iformal
Aset pengetahuan
: sumber daya spesifik yang dimiliki koperasi yang esensial untuk menciptakan keunggulan bersaing bagi koperasi. Aset pengetahuan merupakan input dan output proses penciptaan pengetahuan yang dikelompokkan menjadi empat, yaitu aset pengetahuan eksperiensial, konseptual, sistemik dan rutin.
Daya serap
Inovasi
Keunggulan bersaing
: kemampuan koperasi untuk menghargai nilai kebaruan dari informasi eksternal dan mengasimilasikannya serta mengaplikasikan untuk tujuan-tujuan komersialnya. : komersialisasi sesuatu yang baru seperti teknologi baru, aplikasi baru dalam bentuk produk, proses atau segmen pasar baru, bentuk organisasi baru, pendekatan manajemen baru atau kombinasi satu dengan lainnya. : Kesanggupan koperasi untuk melakukan serangkaian kegiatan yang secara kolektif memungkinkan biaya lebih rendah dibanding para pesaingnya atau melakukan serangkaian kegiatan dengan cara yang unik untuk menciptakan nilai bagi pelanggannya sehingga koperasi bisa menetapkan harga premium yang lebih menguntungkan dibanding para pesaingnya.
Konversi pengetahuan
: proses interaksi dinamis antara antara pengetahuan tacit dan pengetahuan eksplisit yang dibedakan menjadi empat, yaitu eksternalisasi, sosialisasi, kombinasi dan internalisasi
Pemecahan masalah dan pengambilan keputusan
: kegiatan yang dilakukan bersama-sama oleh para anggota koperasi atau pengurus koperasi dan pihak lain untuk memecahkan suatu masalah dan mengambil suatu keputusan mengenai masalah tersebut
Penciptaan pengetahuan
: Proses interaksi dinamis antar individu dalam koperasi dengan aktivitas utama berbagi pengetahuan.
Pengetahuan
: integrasi ide-ide, pengalaman, intuisi, ketrampilan dan hasil pembelajaran yang berpotensi menciptakan nilai tambah bagi koperasi, karyawan, produk dan jasa, pelanggan dan masyarakat.
Pengetahuan eksplisit
: pengetahuan yang dapat diekspresikan dalam katakata dan angka, disebarkan dalam berbagai bentuk data, formula ilmiah, spesifikasi produk, manual
164 dan sejenisnya. Pengetahuan jenis ini dapat segara ditularkan dari satu individu ke individu lain secara formal dan sistematis. Pengetahuan tacit
: pengetahuan yang bersifat sangat pribadi dan sulit diformalkan, sehingga sulit pula untuk dikomunikasikan dari satu pihak ke pihak lain. Pengetahuan tacit ini sulit diverbalkan karena berakar jauh di dalam tindakan dan pengalaman seseorang, seperti dalam idealisme, nilai-nilai dan emosi.
Perspektif keuangan
: fokus pandangan apa yang harus dilakukan untuk dapat berhasil secara keuangan dan bagaimana kinerja keuangan di mata pemegang saham atau pemangku kepentingan. Keuangan koperasi dapat dilihat dari dua sudut pandang, yaitu jangka panjang dan jangka panjang.
Perspektif pelanggan
: fokus pandangan dari kacamata pelanggan dengan tujuan mengetahui bagaimana pelanggan menilai produk atau jasa dan koperasinya.
Perspektif pembelajaran dan pertumbuhan
: fokus pandangan pada sumber daya, khususnya sumber daya manusia (SDM) dalam koperasi. Perspektif ini menitikberatkan pada pengembangan SDM agar menjadi karyawan yang kompeten yang akhirnya akan menghasilkan kinerja yang prima bagi koperasi
Perspektif proses internal
: Fokus pandangan terhadap serangkaian aktivitas yang ada dalam bisnis organisasi secara internal yang sering disebut rantai nilai.
163 Lampiran 1 Rekap Hasil Kuesioner untuk Peternak dan Karyawan Koperasi KUESIONER Pengantar Bapak/Ibu yang terhormat, penelitian ini ditujukan untuk kepentingan akademik dalam rangka penyelesaian studi doktoral saya pada Program Studi Teknologi Industri Pertanian, Institut Pertanian Bogor (IPB). Untuk mengisi kuesioner ini hanya membutuhkan sekitar 15 menit dari waktu Bapak/Ibu. Hasil pengisian kuesioner ini dijamin kerahasiannya. Terima kasih atas kesediaan dan bantuan yang sangat berharga dengan mengisi kuesioner ini. Semoga Tuhan Yang Maha Kuasa memberi imbalan yang melimpah. Amin. Salam hormat, Anggraini Sukmawati Peneliti Latar Belakang Pribadi Mohon diberi tanda silang (x) pada nomor jawaban yang sesuai di bawah ini: 1.
Nama
: _______________________
2.
Anda adalah: (a) Laki-laki (b) Perempuan
3.
Umur Bapak/Ibu saat ini: _____ tahun
4.
Jabatan Bapak/Ibu saat ini: (a) Pengurus Koperasi (b) Pengurus Kelompok Peternak (c) Anggota Kelompok Peternak (d) Karyawan Koperasi
5.
Lama beternak sapi perah: _____
6.
Latar belakang pendidikan resmi Bapak/Ibu adalah: (a) Tidak tamat SD (b) Tamat SD (c) Tamat SLTP (d) Tamat SLTA (e) Tamat D3 (Diploma) (f) Tamat Sarjana (S1) (g) Tamat Pascasarjana (S2/S3)
tahun
AKUISISI PENGETAHUAN 1.
Apakah Bapak/Ibu mempunyai hubungan/kegiatan bisnis yang disertai perjanjian dengan pihak-pihak di bawah ini? Perjanjian No Pihak Terkait Tertulis Lisan 1 Koperasi 99 7 2 Pembeli selain Koperasi (sebutkan) 2 5 3 Peternak lain 2 6 4 Pemasok Sapronak (penjual pakan, wadah susu, dll) 9 29 5 Bank/Lembaga Keuangan Lain 10 0 6 Pemerintah 4 4 7 Sumber informasi lain (sebutkan) 1 8
164 2. Kolaborasi Formal No Pertanyaan 1 Dalam sebulan, berapa kali Bapak/Ibu hadir pada acara penyuluhan/diskusi yang diadakan koperasi? 2 Dalam sebulan, berapa kali Bapak/Ibu membuat perjanjian tertulis dengan pembeli selain koperasi? 3 Dalam sebulan, berapa kali Bapak/Ibu membuat perjanjian tertulis dengan peternak lain? 4 Dalam sebulan, berapa kali Bapak/Ibu membuat perjanjian tertulis dengan pemasok sapronak? 5 Dalam sebulan, berapa kali Bapak/Ibu membuat perjanjian tertulis dengan Bank/ Lembaga Keuangan Lain? 6 Dalam sebulan, berapa kali Bapak/Ibu membuat perjanjian tertulis dengan pihak pemerintah? 7 Dalam sebulan, berapa kali Bapak/Ibu membuat perjanjian tertulis dengan pihak lain (sebutkan)? 3. Interaksi Informal No Pertanyaan 1 Dalam sebulan, berapa kali Bapak/Ibu ngobrol-ngobrol dengan petugas koperasi tentang beternak sapi perah? 2 Dalam sebulan, berapa kali Bapak/Ibu ngobrol-ngobrol dengan pembeli selain koperasi hal-hal tentang produk susu? 3 Dalam sebulan, berapa kali Bapak/Ibu ngobrol-ngobrol dengan peternak lain tentang beternak sapi perah? 4 Dalam sebulan, berapa kali Bapak/Ibu ngobrol-ngobrol dengan pemasok sapronak tentang beternak sapi perah? 5 Dalam sebulan, berapa kali Bapak/Ibu ngobrol-ngobrol dengan Bank/ Lembaga Keuangan Lain tentang beternak sapi perah? 6 Dalam sebulan, berapa kali Bapak/Ibu ngobrol-ngobrol dengan pihak pemerintah tentang beternak sapi perah?? 7 Dalam sebulan, berapa kali Bapak/Ibu ngobrol-ngobrol tentang beternak sapi perah dengan sumber informasi lain (sebutkan)?
Jawaban 4,3 0,7 0,6 1,5 0,4 0,3 0,3
Jawaban 30 3,8 106 5,6 0,4 1,4 1,3
DAYA SERAP 1. Individu No Pertanyaan 1 Dalam sebulan, berapa kali Bapak/Ibu aktif mencari informasi dan pengetahuan dari sumber di dalam koperasi? 2 Dalam sebulan, berapa kali Bapak/Ibu aktif mencari informasi dan pengetahuan dari sumber di luar koperasi? 3 Dalam sebulan, berapa kali Bapak/Ibu aktif mencatat dan menyimpan informasi yang diperoleh untuk keperluan di masa datang 4 Dalam sebulan, berapa kali Bapak/Ibu mendistribusikan dan berbagi informasi yang diperoleh? 5 6
Dalam sebulan, berapa kali Bapak/Ibu berpartisipasi dalam pertemuan-pertemuan yang dilaksanakan koperasi? Dalam sebulan, berapa kali Bapak/Ibu terus memperbaharui ketrampilan melalui pelatihan atau belajar mandiri?
Jawaban 18 15 9,6 35 5,4 3,9
164
165 2. Organisasi No 1
Pertanyaan Dalam sebulan, berapa kali Koperasi mendukung upaya Bapak/Ibu mencari informasi dan pengetahuan dari sumber di dalam koperasi? Dalam sebulan, berapa kali Koperasi mendukung upaya Bapak/Ibu mencari informasi dan pengetahuan dari sumber di luar koperasi? Dalam sebulan, berapa kali Koperasi mendukung upaya Bapak/Ibu mencatat dan menyimpan informasi yang diperoleh untuk keperluan di masa mendatang?
Jawaban 8,8
4
Dalam sebulan, berapa kali Koperasi mendukung upaya Bapak/Ibu mendistribusikan dan berbagi informasi yang diperoleh?
4,2
5
Dalam sebulan, berapa kali Koperasi mendukung upaya Bapak/Ibu berpartisipasi dalam pertemuan-pertemuan yang dilaksanakan koperasi? Dalam sebulan, berapa kali Koperasi mendukung upaya Bapak/Ibu terus memperbaharui ketrampilan melalui pelatihan atau belajar mandiri?
3,9
2 3
6
3,9 3,8
1,8
7 INOVASI No 1 2 3 4 5 6
Pertanyaan Berapa kali dalam sebulan, Bapak/Ibu memperoleh manfaat finansial dari penjualan produk baru? Berapa kali dalam sebulan, Bapak/Ibu memperoleh manfaat finansial dari penjualan jasa baru? Berapa kali dalam sebulan, Bapak/Ibu memperoleh manfaat finansial dari komersialisasi teknologi baru? Berapa kali dalam sebulan, Bapak/Ibu memperoleh manfaat finansial dari pasar baru atau segmentasi pasar baru? Berapa kali dalam sebulan, Bapak/Ibu memperoleh manfaat finansial dari upaya kombinasi satu dan lainnya?
Jawaban 0,4 0,2 0,3 0,3 0,3
165
166
KAPABILITAS PEMECAHAN MASALAH & PENGAMBILAN KEPUTUSAN No 1
Pertanyaan Dalam sebulan, berapa kali Bapak/Ibu memecahkan masalah yang dihadapi dengan solusi yang baru dan kreatif?
Jawaban 13
2
Dalam sebulan, berapa kali, Bapak/Ibu mengetahuii bahwa para pengambil keputusan di koperasi cukup fleksibel untuk menerima gagasan-gagasan baru dan inovatif?
9,2
3
Dalam sebulan, berapa kali, Bapak/Ibu menerima gagasan/usulan baru dari pihak-pihak di luar koperasi?
15
4
Dalam sebulan, berapa kali, Bapak/Ibu mengalami pola kerja di Koperasi memungkin dihasilkannya solusi baru
6,4
5
Dalam sebulan, berapa kali, Bapak/Ibu mengalami ada tekanan atau insentif untuk kreatif dalam memecahkan masalah dan mengambil keputusan?
4,4
6
Dalam sebulan, berapa kali, Bapak/Ibu mengetahui, permasalahan-permasalahan yang dihadapi dipecahkan melalui upaya tim?
6,6
7
Dalam sebulan, berapa kali, Bapak/Ibu mengetahui tim pemecahan masalah dan pengambil keputusan bersifat lintas fungsi?
2,3
8
Dalam sebulan, berapa kali, Bapak/Ibu mengetahui tersedia lebih dari satu alternatif solusi sebelum keputusan akhir diambil?
3,1
9
Dalam sebulan, berapa kali, Bapak/Ibu mengetahui alternatif solusi diuji secara formal sebelum keputusan akhir diambil?
3
10
Pola kerja di Koperasi memungkinkan dihasilkannya alternatif-alternatif solusi
4,1
11
Dalam sebulan, berapa kali, Bapak/Ibu mengetahui bahwa alternatif solusi yang dipilih terbukti menyelesaikan permasalahan?
7,9
12
Dalam sebulan, berapa kali, Bapak/Ibu mengetahui bahwa permasalahan terselesaikan dalam batas waktu yang direncanakan?
7,3
13
Dalam sebulan, berapa kali, Bapak/Ibu mengetahui ada konsensus (kesepakatan) yang kuat di antara para pengambil keputusan?
2,9
14
Dalam sebulan, berapa kali, Bapak/Ibu mengetahui ada komitmen yang kuat di antara pengambil keputusan untuk menjalankan keputusan yang telah diambil?
3,3
15
Dalam sebulan, berapa kali, Bapak/Ibu mengetahui bahwa pola kerja di Koperasi ini mendukung dilaksanakannya keputusan yang telah diambil?
4,2
166
167 KINERJA Kepuasan Anggota No 1 2 3 4 5 6 7 8
Pernyataan Saya puas dengan pelayanan Koperasi untuk pemasaran susu Saya puas dengan pelayanan Koperasi dalam penyediaan pakan Saya puas dengan pelayanan Koperasi untuk kesehatan ternak Saya puas dengan pelayanan Koperasi untuk Inseminasi Buatan (IB) Saya puas dengan pelayanan Koperasi dalam hal kredit Saya puas dengan pelayanan Koperasi dalam hal penyuluhan Saya puas dengan pelayanan Koperasi dalam pelatihan Saya puas dengan pelayanan Koperasi dalam hal unit-unit lain
Sangat Tidak Setuju 5 0 I1 0 5 6 11
Tidak Setuju 13 12 7 9 10 16 21
Ragu-ragu
Setuju
Sangat Setuju
5 II 2 7 4 16 18 19
47 48 52 51 34 37 30
35 46 43 45 45 32 26
167
168 ASET PENGETAHUAN No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
Pernyataan Selama ini Bapak/Ibu didukung untuk saling percaya dalam berbagi ketrampilan dan pengalaman Selama ini Bapak/Ibu mempercayai bahwa ekspresi wajah/bahasa tubuh pengurus koperasi menunjukkan hal yang sebenarnya Selama ini Bapak/Ibu sangat tertarik pada pengetahuan baru dalam mengelola usaha Selama ini Bapak/Ibu didukung untuk melakukan improvisasi (pembaharuan) dari cara-cara yang sudah ada sebelumnya Koperasi selalu mensosialisasikan nama baik/citra koperasi melalui simbol/lambang koperasi Bapak/Ibu didukung untuk berinteraksi dengan pihak lain (misal: pembeli) untuk memperbaiki kualitas produk Selama ini Bapak/Ibu didukung oleh koperasi untuk belajar dari kesalahan di masa lalu Koperasi mempunyai tim khusus untuk mempromosikan konsep/desain produk baru Koperasi memberikan dokumen spesifikasi produk secara terorganisasi Koperasi mempunyai hak paten atas suatu produk Koperasi membatasi akses beberapa sumber pengetahuan dari pihak lain Koperasi mengkomunikasikan pentingnya melindungi pengetahuan yang dimiliki Bapak/Ibu melaksanakan ketentuan operasional rutin yang ditetapkan koperasi Koperasi mengharapkan partisipasi aktif anggota dalam mensosialisasikan pengetahuan/ketrampilan Menurut Bapak/Ibu karyawan koperasi telah terlatih dan berpengalaman Koperasi menjelaskan dengan baik tujuan koperasi dan budaya/kebiasaan yang ada
Sangat Tidak Setuju
Ragu-ragu
Setuju
Sangat Setuju
1
55
49
1
20
74
10
2
1
28
74
10
11
61
23
8
19
38
38
14
10
68
13
7
12
73
13
4
21
26
39
15
7 2 29 10
34 7 42 29
19 55 8 24
26 26 20 34
19 15 6 8
3
7
53
42
2
4
5
61
33
4
6 11
20 47
46 35
29 12
2
Tidak Setuju
168
169 PENCIPTAAN PENGETAHUAN No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
Pernyataan Selama ini Bapak/Ibu banyak belajar dari pengalaman Selama ini Bapak/Ibu banyak belajar dari mengamati peternak lain Selama ini Bapak/Ibu banyak berpartisipasi dalam pertemuan yang dilakukan koperasi untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman Selama ini Bapak/Ibu banyak mengikuti pelatihan berkaitan dengan usaha sapi perah Selama ini Bapak/Ibu banyak memberikan pengetahuan/pengalaman kepada peternak lain Selama ini Bapak/Ibu aktif menjadi anggota kelompok peternak Selama ini Koperasi memberikan penyuluhan dengan contoh dan perumpamaan yang mudah dipahami Selama ini Koperasi memberikan penyuluhan dengan simbol dan gambargambar yang mudah dipahami Selama ini karyawan Koperasi menjadi tempat bertanya bila ada kesulitan berkaitan dengan usaha peternakan Sepengetahuan Bapak/Ibu selama ini koperasi melakukan rotasi/perputaran karyawan secara rutin Sepengetahuan Bapak/Ibu selama ini koperasi sering membentuk suatu tim yang anggotanya dari berbagai bagian/kalangan Bagi Bapak/Ibu informasi/pengalaman dari pihak di luar koperasi sangat penting bagi peningkatan pengetahuan Bagi Bapak/Ibu adanya buku-buku penyuluhan yang diadakan koperasi sangat penting Bagi Bapak/Ibu adanya pertemuan-pertemuan penyuluhan yang diadakan koperasi sangat penting Bagi Bapak/Ibu adanya buku-buku laporan kegiatan koperasi sangat penting Bagi Bapak/Ibu mencari pengetahuan di luar penyuluhan yang diadakan koperasi sangat penting
Sangat Tidak Setuju
10
Tidak Setuju
Ragu-ragu
Setuju
Sangat Setuju
3 6
1
10 26 28
47 28 22
13
2
24
8
32
21
4 5 1
7
33 29
19 20
2
7
26
22
7
2
26
21
3
2
26
21
3
1
17
36
2
10
32
13
2
4
3
18
30
1
2
19
35
1
2
19 14
38 36
1
4
169
170 Lampiran 2 Nilai Eigen dan Korelasi Kanonikal Fungsi Nilai Eigen Ke 0.7872 1 0.2165 2
Proporsi
Kumulatif
Kor. Kanonikal
Kon. Kan. Kuadrat
0.7206 0.1982
0.7206 0.9188
0.663676 0.421885
0.637039 0.380312
Lampiran 3 Uji Signifikansi Multivariate Uji
Nilai Stat
Wilks' Lambda Pillai's Trace Hotelling-Lawley Trace Roy's Greatest Root
0.42246113 0.70000425 1.09239144 0.78720156
Approx. F. Hypoth 6.05 5.30 6.56 19.68
DB 16 16 16 4
Galat DB 296.98 400 188.08 100
Sig F <.0001 <.0001 <.0001 <.0001
Lampiran 4 Hasil Perhitungan Bobot Kanonikal untuk Independent Variat Raw Canonical Coefficients for the VAR Variables V1 V2 X1 0.5481868867 -0.362071104 X2 0.8885904467 0.118082843 X3 -0.029938243 1.4088284961 X4 0.7428931351 -0.253842191 Standardized Canonical Coefficients for the VAR Variables V1 V2 X1 0.3111 -0.2055 X2 0.5354 0.0711 X3 -0.0201 0.9452 X4 0.4389 -0.1500
171 Lampiran 5 Hasil Perhitungan Bobot Kanonikal untuk Dependent Variat Raw Canonical Coefficients for the WITH Variables W1 W2 Y1 0.4860831583 1.4518606408 Y2 0.4218282386 -0.742739288 Y3 0.6900101035 0.9654894654 Y4 0.4833706318 -1.357971189 Standardized Canonical Coefficients for the VAR Variables W1 W2 Y1 0.2677 0.7995 Y2 0.2819 -0.4963 Y3 0.4027 0.5634 Y4 0.3237 -0.9094 Lampiran 6 Muatan Kanonikal Independent
X1 X2 X3 X4
Correlations Between the VAR Variables and Their Canonical Variables V1 0.7320 0.8175 0.2202 0.7725
V2 -0.2816 0.2784 0.9605 -0.0960
Lampiran 7 Muatan Kanonikal Dependent
Y1 Y2 Y3 Y4
Correlations Between the WITH Variables and Their Canonical Variables W1 0.7260 0.8164 0.8507 0.7198
W2 0.4658 -0.0008 0.1638 -0.5882
Lampiran 8 Muatan Silang Kanonikal Independen Correlations Between the VAR Variables and the Canonical Variables of the WITH Variables W1 W2 X1 0.4858 -0.1188 X2 0.5425 0.1175 X3 0.1461 0.4052 X4 0.5127 -0.0405
172 Lampiran 9 Muatan Silang Kanonikal Dependen Correlations Between the WITH Variables and the Canonical Variables of the VAR Variables V1 V2 Y1 0.4818 0.1965 Y2 0.5418 -0.0003 Y3 0.5646 0.0691 Y4 0.4777 -0.2482 Lampiran 10. Fungsi Keanggotaan a) Fungsi Keanggotaan Finansial
b) Fungsi Keanggotaan Pelanggan
173 c)
Fungsi Keanggotaan Proses Internal
d) Fungsi Keanggotaan Proses Pertumbuhan
e) Fungsi Keanggotaan Scored Card
174 Lampiran 11. Aturan fuzzy yang digunakan 1. If finansial tinggi and pelanggan tinggi and prosess_internal tinggi pembelajaran&pertumbuhan tinggi then ScoreCard tinggi 2. If finansial tinggi and pelanggan tinggi and prosess_internal tinggi pembelajaran&pertumbuhan sedang then ScoreCard tinggi 3. If finansial tinggi and pelanggan tinggi and prosess_internal tinggi pembelajaran&pertumbuhan rendah then ScoreCard rendah 4. If finansial tinggi and pelanggan tinggi and prosess_internal sedang pembelajaran&pertumbuhan tinggi then ScoreCard tinggi 5. If finansial tinggi and pelanggan tinggi and prosess_internal sedang pembelajaran&pertumbuhan sedang then ScoreCard sedang 6. If finansial tinggi and pelanggan tinggi and prosess_internal sedang pembelajaran&pertumbuhan rendah then ScoreCard sedang 7. If finansial tinggi and pelanggan tinggi and prosess_internal rendah pembelajaran&pertumbuhan tinggi then ScoreCard tinggi 8. If finansial tinggi and pelanggan tinggi and prosess_internal rendah pembelajaran&pertumbuhan sedang then ScoreCard sedang 9. If finansial tinggi and pelanggan tinggi and prosess_internal rendah pembelajaran&pertumbuhan rendah then ScoreCard rendah 10. If finansial tinggi and pelanggan sedang and prosess_internal tinggi pembelajaran&pertumbuhan tinggi then ScoreCard tinggi 11. If finansial tinggi and pelanggan sedang and prosess_internal tinggi pembelajaran&pertumbuhan sedang then ScoreCard tinggi 12. If finansial tinggi and pelanggan sedang and prosess_internal tinggi pembelajaran&pertumbuhan rendah then ScoreCard tinggi 13. If finansial tinggi and pelanggan sedang and prosess_internal sedang pembelajaran&pertumbuhan tinggi then ScoreCard tinggi 14. If finansial tinggi and pelanggan sedang and prosess_internal sedang pembelajaran&pertumbuhan sedang then ScoreCard sedang 15. If finansial tinggi and pelanggan sedang and prosess_internal sedang pembelajaran&pertumbuhan rendah then ScoreCard sedang 16. If finansial tinggi and pelanggan sedang and prosess_internal rendah pembelajaran&pertumbuhan tinggi then ScoreCard tinggi 17. If finansial tinggi and pelanggan sedang and prosess_internal rendah pembelajaran&pertumbuhan sedang then ScoreCard sedang 18. If finansial tinggi and pelanggan sedang and prosess_internal rendah pembelajaran&pertumbuhan rendah then ScoreCard rendah 19. If finansial tinggi and pelanggan rendah and prosess_internal tinggi pembelajaran&pertumbuhan tinggi then ScoreCard tinggi 20. If finansial tinggi and pelanggan rendah and prosess_internal tinggi pembelajaran&pertumbuhan sedang then ScoreCard tinggi 21. If finansial tinggi and pelanggan rendah and prosess_internal tinggi pembelajaran&pertumbuhan rendah then ScoreCard sedang
and and and and and and and and and and and and and and and and and and and and and
175 22. If finansial tinggi and pelanggan rendah and prosess_internal sedang pembelajaran&pertumbuhan tinggi then ScoreCard tinggi 23. If finansial tinggi and pelanggan rendah and prosess_internal sedang pembelajaran&pertumbuhan sedang then ScoreCard sedang 24. If finansial tinggi and pelanggan rendah and prosess_internal sedang pembelajaran&pertumbuhan rendah then ScoreCard sedang 25. If finasial sedang and pelanggan tinggi and prosess_internal rendah pembelajaran&pertumbuhan tinggi then ScoreCard tinggi 26. If finasial sedang and pelanggan tinggi and prosess_internal rendah pembelajaran&pertumbuhan sedang then ScoreCard tinggi 27. If finasial sedang and pelanggan tinggi and prosess_internal rendah pembelajaran&pertumbuhan rendah then ScoreCard sedang 28. If finasial sedang and pelanggan tinggi and prosess_internal tinggi pembelajaran&pertumbuhan tinggi then ScoreCard tinggi 29. If finasial sedang and pelanggan tinggi and prosess_internal tinggi pembelajaran&pertumbuhan sedang then ScoreCard sedang 30. If finasial sedang and pelanggan tinggi and prosess_internal tinggi pembelajaran&pertumbuhan rendah then ScoreCard sedang 31. If finasial sedang and pelanggan tinggi and prosess_internal sedang pembelajaran&pertumbuhan tinggi then ScoreCard sedang 32. If finasial sedang and pelanggan tinggi and prosess_internal sedang pembelajaran&pertumbuhan sedang then ScoreCard sedang 33. If finasial sedang and pelanggan sedang and prosess_internal sedang pembelajaran&pertumbuhan rendah then ScoreCard rendah 34. If finasial sedang and pelanggan sedang and prosess_internal rendah pembelajaran&pertumbuhan tinggi then ScoreCard tinggi 35. If finasial sedang and pelanggan sedang and prosess_internal rendah pembelajaran&pertumbuhan sedang then ScoreCard sedang 36. If finasial sedang and pelanggan sedang and prosess_internal rendah pembelajaran&pertumbuhan rendah then ScoreCard sedang 37. If finasial sedang and pelanggan sedang and prosess_internal tinggi pembelajaran&pertumbuhan tinggi then ScoreCard sedang 38. If finasial sedang and pelanggan sedang and prosess_internal tinggi pembelajaran&pertumbuhan sedang then ScoreCard sedang 39. If finasial sedang and pelanggan sedang and prosess_internal tinggi pembelajaran&pertumbuhan rendah then ScoreCard sedang 40. If finasial sedang and pelanggan sedang and prosess_internal sedang pembelajaran&pertumbuhan tinggi then ScoreCard sedang 41. If finasial sedang and pelanggan sedang and prosess_internal sedang pembelajaran&pertumbuhan sedang then ScoreCard sedang 42. If finasial sedang and pelanggan sedang and prosess_internal sedang pembelajaran&pertumbuhan rendah then ScoreCard rendah 43. If finasial sedang and pelanggan rendah and prosess_internal rendah pembelajaran&pertumbuhan tinggi then ScoreCard tinggi
and and and and and and and and and and and and and and and and and and and and and and
176 44. If finasial sedang and pelanggan rendah and prosess_internal rendah pembelajaran&pertumbuhan sedang then ScoreCard tinggi 45. If finasial sedang and pelanggan sedang and prosess_internal rendah pembelajaran&pertumbuhan rendah then ScoreCard sedang 46. If finasial sedang and pelanggan rendah and prosess_internal tinggi pembelajaran&pertumbuhan tinggi then ScoreCard sedang 47. If finasial sedang and pelanggan rendah and prosess_internal tinggi pembelajaran&pertumbuhan sedang then ScoreCard sedang 48. If finasial sedang and pelanggan rendah and prosess_internal tinggi pembelajaran&pertumbuhan rendah then ScoreCard randah 49. If finansial rendah and pelanggan tinggi and prosess_internal sedang pembelajaran&pertumbuhan tinggi then ScoreCard tinggi 50. If finansial rendah and pelanggan tinggi and prosess_internal sedang pembelajaran&pertumbuhan sedang then ScoreCard sedang 51. If finansial rendah and pelanggan tinggi and prosess_internal sedang pembelajaran&pertumbuhan rendah then ScoreCard rendah 52. If finansial rendah and pelanggan tinggi and prosess_internal rendah pembelajaran&pertumbuhan tinggi then ScoreCard sedang 53. If finansial rendah and pelanggan tinggi and prosess_internal rendah pembelajaran&pertumbuhan sedang then ScoreCard sedang 54. If finansial rendah and pelanggan tinggi and prosess_internal rendah pembelajaran&pertumbuhan rendah then ScoreCard rendah 55. If finansial rendah and pelanggan tinggi and prosess_internal tinggi pembelajaran&pertumbuhan tinggi then ScoreCard sedang 56. If finansial rendah and pelanggan tinggi and prosess_internal tinggi pembelajaran&pertumbuhan sedang then ScoreCard sedang 57. If finansial rendah and pelanggan tinggi and prosess_internal tinggi pembelajaran&pertumbuhan rendah then ScoreCard rendah 58. If finansial rendah and pelanggan sedang and prosess_internal sedang pembelajaran&pertumbuhan tinggi then ScoreCard sedang 59. If finansial rendah and pelanggan sedang and prosess_internal sedang pembelajaran&pertumbuhan sedang then ScoreCard sedang 60. If finansial rendah and pelanggan sedang and prosess_internal sedang pembelajaran&pertumbuhan rendah then ScoreCard rendah 61. If finansial rendah and pelanggan sedang prosess_internal rendah pembelajaran&pertumbuhan tinggi then ScoreCard sedang 62. If finansial rendah and pelanggan sedang prosess_internal rendah pembelajaran&pertumbuhan sedang then ScoreCard sedang 63. If finansial rendah and pelanggan sedang prosess_internal rendah pembelajaran&pertumbuhan rendah then ScoreCard sedang 64. If finansial rendah and pelanggan sedang and prosess_internal tinggi pembelajaran&pertumbuhan tinggi then ScoreCard rendah 65. If finansial rendah and pelanggan sedang and prosess_internal tinggi pembelajaran&pertumbuhan sedang then ScoreCard rendah
and and and and and and and and and and and and and and and and and and and and and and
177 66. If finansial rendah and pelanggan sedang and prosess_internal tinggi pembelajaran&pertumbuhan rendah then ScoreCard rendah 67. If finansial rendah and pelanggan rendah and prosess_internal sedang pembelajaran&pertumbuhan tinggi then ScoreCard sedang 68. If finansial rendah and pelanggan rendah and prosess_internal sedang pembelajaran&pertumbuhan sedang then ScoreCard rendah 69. If finansial rendah and pelanggan rendah and prosess_internal sedang pembelajaran&pertumbuhan rendah then ScoreCard rendah 70. If finansial rendah and pelanggan rendah prosess_internal rendah pembelajaran&pertumbuhan tinggi then ScoreCard sedang 71. If finansial rendah and pelanggan rendah prosess_internal rendah pembelajaran&pertumbuhan sedang then ScoreCard rendah 72. If finansial rendah and pelanggan rendah prosess_internal rendah pembelajaran&pertumbuhan rendah then ScoreCard rendah
and and and and and and and
178
179 Lampiran 12 Dokumentasi Sistem
EXPERT SYSTEM KNOWLEDGE MANAGEMENT FOR SCORECARD DAIRY COOPERATIVEs (KaMScD ) Version 0.1
ANGGRAINI SUKMAWATI
SEKOLAH PASCASARJANA PROGRAM STUDI TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
180 PENDAHULUAN Expert System Knowledge Management Scorecard for Dairy Cooperative atau disingkat (KaMScD) merupakan aplikasi system pakar berbasis Balance Scorecard yang dikembangkan dengan berbasiskan Fuzzy Inference System (FIS). Sistem ini dibuat dengan menggunakan perangkat lunak Matlab dan dijalankan pada komputer dengan sistem operasi Windows. Sistem ini kami beri nama (KaMScD V.0.1) Sebelum menggunakan aplikasi ini, sebaiknya baca terlebih dahulu petunjuk penggunaan perangkat lunak ini. Selamat Menggunakan !
181 KONFIGURASI KEBUTUHAN SISTEM Spesifikasi Sistem
Sebelum melakukan instalasi (KaMScD) pada komputer Anda, terlebih dahulu perhatikan kebutuhan perangkat keras dan perangkat lunak yang harus dipenuhi. 2.2 Kebutuhan Perangkat Keras 1. Processor
: AMD Athlon 2200 MHz
2. Memory
: minimal 128 MB
3. Hardisk
: 40 GB 7200 RPM
4. VGA
: 64 MB
5. Keyboard dan Mouse
2.3 Kebutuhan Minimal Perangkat Lunak 1. Sistem Operasi
:
Microsoft WindowsXP Professional Edition. Microsoft Windows Vista Microsoft Windows 7 2. Matlab Versi 6.5, 7, 8
182 INSTALASI SISTEM Aplikasi KaMScD ini dibuat dengan menggunakan Matlab. Oleh karena itu, sebelum menjalankan aplikasi ini, terlebih dahulu harus melakukan instalasi Matlab. Berikut adalah tahapan untuk melakukan instalasi Matlab. Minimal Versi Matlab yang dapat digunakan adalah Matlab Versi 6 A Instalasi Matlab Langkah Instalasi Matlab 2008 adalah sebagai berikut: Masukkan CD Matlab ke PC atau Notebook Anda. Kemudian pilih file dengan nama setup.exe kemudian double klik file tersebut sehingga akan muncul tampilan sebagai berikut:
Gambar 1 Splash screen Matlab Versi 6.5 Setelah itu , akan diikuti oleh Tampilan berikutnya
183
Gambar 2 Tampilan awal proses instalasi Matlab 6.5
Kemudian klik next akan muncul permintaan serial number dari Matlab 6.5 yang akan kita instal
Gambar 3 Jendela pengisian serial number pada proses instalasi
184
Gambar 4 Contoh pengisian serial number pada proses instalasi Matlab 6.5
Gambar 5 Konfirmasi License Agreement dari vendor pembuat software MathWorks, Inc Kemudian klik yes sehingga akan muncul jendela berikut ini
185
Gambar 6 Pemilihan drive tempat instalasi dan paket instalasi Matlab 6.5 Pada jendela Gambar 6 kita akan memilih paket dari toolbox Matlab yang akan diinstal. Secara default akan dipilih semua. Pastikan bahwa Fuzzy Toolbox juga terpilih. Kemudian klik Next.
Gambar 7 Proses Instalasi Matlab 6.5 Gambar 7 memperlihatkan proses instalasi Matlab 6.5. Lama waktu yang dibutuhkan akan bergantung dari paket software yang akan kita install.
186
Gambar 8 Progress Bar Proses Instalasi Matlab 6.5 Setelah instalasi selesai, makan akan diminta untuk merestart komputer Anda
Gambar 9 Konfirmasi permintaan restarting komputer setelah selesai instalasi
187 B Tahapan Penggunaan Aplikasi Setelah melalui beberapa proses, Matlab 6.5 telah terinstalasi pada komputer kita. Untuk menjalankan aplikasi tersebut, lakukan beberapa langkah. Langkah pertama, pada Desktop Click Start – All Program – Matlab 6.5
Gambar 10 Tahap Menjalankan Matlab 6.5 yang telah terinstal Setelah diklik, maka akan muncul Tampilan utama Matlab seperti yang terlihat pada Gambar 10 di bawah ini.
Gambar 11. Tampilan utama command line Matlab 6.5
188 Berikutnya adalah mengubah direktori ke lokasi KaMScD disimpan yang dapat dilihat pada Gambar 12.
Gambar 12 Pemilihan direktori KaMScD dengan menekan browse PROSEDUR PENGOPERASIAN PROGRAM A.
Menu Utama Sebelum masuk ke sistem pakar, pertama kali akan masuk ke dalam menu
utama. Untuk dapat masuk ke dalam menu utama. Ketikkan di dalam command line Matlab seperti yang terlihat pada Gambar 13 di bawah
Gambar 13 Perintah untuk masuk ke menu utama KaMScD
189 Setelah mengetikkan perintah tersebut akan muncul jendela seperti yang terlihat pada Gambar 14.
Gambar 14 Menu Utama KaMScD B. Sistem Pakar KaMScD Pada Menu Utama terdapat opsi pilihan yang bias kita pilih. Untuk masuk ke dalam sistem pilih Sistem Pakar sehingga akan mucul jendela pada Gambar 14. Kemudian pengguna akan memasukkan nilai tertentu. Setelah memberikan nilai tekan tombol Proses untuk mengetahui nilainya. Pengguna juga dapat menekan tombol reset atau keluar dari sistem melalui jendela ini.
190
Gambar 14 Tampilan Utama Sistem Pakar KaMScD C. Hasil Keluaran Hasil keluaran dari sistem dapat dilihat pada Gambar 15.
Gambar 15 Contoh hasil keluaran dari KaMScD
191 STRUKTUR FILE DAN LISTING PROGRAM A. Struktur File No
Nama File
Ekstensi
1
MenuUtama
.fig
2
SistemPakar
.fig
3
Hasil
.fig
4
MenuUtama
.m
5
SistemPakar
.m
6
Hasil
.m
7
FisAkhir
.fis
Keterangan File untuk membuat Grafical User Interface (GUI) halaman utama dari Sistem Pakar Sebagi Halaman Utama Sistem Pakar KaMScD yang akan diisi oleh pengguna Sebagai halaman antarmuka untuk menampilkan hasil penilaian scorecard berdasarkan masukan dari pengguna File yang dibangkitkan untuk melakukan pengeditan program di menu tama File yang dibangkitkan untuk melakukan pengeditan program dan membaca file berekstensi .fis Sebagai file untuk menampilkan hasil penilaian scorecard berdasarkan masukan dari pengguna dan melakukan pengeditan kode program terkait dengan output sistem Sebagai file fuzzy inference system yang yang digunakan untuk merepresentasikan pengetahuan dari pakar
B. Listing Program B.1 MenuUtama function varargout = MenuUtama(varargin) gui_Singleton = 1; gui_State = struct('gui_Name', mfilename, ... 'gui_Singleton', gui_Singleton, ... 'gui_OpeningFcn', @MenuUtama_OpeningFcn, ... 'gui_OutputFcn', @MenuUtama_OutputFcn, ... 'gui_LayoutFcn', [] , ... 'gui_Callback', []); if nargin && ischar(varargin{1}) gui_State.gui_Callback = str2func(varargin{1}); end if nargout [varargout{1:nargout}] = gui_mainfcn(gui_State, varargin{:}); else gui_mainfcn(gui_State, varargin{:}); end function MenuUtama_OpeningFcn(hObject, eventdata, handles, varargin) handles.output = hObject; guidata(hObject, handles); function varargout = MenuUtama_OutputFcn(hObject, eventdata, handles) varargout{1} = handles.output;
192 function File_Callback(hObject, eventdata, handles) function Untitled_2_Callback(hObject, eventdata, handles) function sistempakar_Callback(hObject, eventdata, handles) SistemPakar function Keluar_Callback(hObject, eventdata, handles)
exit B.2 Sistem Pakar % --- Executes on button press in pushbutton_proses. function pushbutton_proses_Callback(hObject, eventdata, handles) % hObject handle to pushbutton_proses (see GCBO) % eventdata reserved - to be defined in a future version of MATLAB % handles structure with handles and user data (see GUIDATA) fisFinansial = readfis('finansial'); fisPelanggan = readfis('pelanggan'); fisEfekKP = readfis('efektivitasKonversiPengetahuan'); fisKapPM = readfis('kapabilitasPemMasalah'); fisKapInov = readfis('kapInovasi'); fisKapTingkatMP = readfis('kapTingkatMP'); fisAkhir = readfis('FisAkhir'); %ruleview(fisFinansial); %ruleview(fisPelanggan); %ruleview(fisEfekKP); %ruleview(fisKapPM); %ruleview(fisKapInov); %ruleview(fisKapTingkatMP); %PROSES PERHITUNGAN UNTUK ASPEK FINANSIAL kpi_target = str2double(get(findobj(gcf,'Tag','edit_kpi_target'),'String')); kpi_aktual = str2double(get(findobj(gcf,'Tag','edit_kpi_aktual'),'String')); kpi_bobot = str2double(get(findobj(gcf,'Tag','edit_kpi_bobot'),'String')); hemat_target = str2double(get(findobj(gcf,'Tag','edit_hemat_target'),'String')); hemat_aktual = str2double(get(findobj(gcf,'Tag','edit_hemat_aktual'),'String')); hemat_bobot = str2double(get(findobj(gcf,'Tag','edit_hemat_bobot'),'String')); kpi_aktual = (kpi_aktual/kpi_target)* 100 * (kpi_bobot/100); disp(kpi_aktual) guidata(hObject, handles); handles.kpi_hasil = kpi_aktual; %disp(handles.kpi_hasil); dlmwrite ('kpi_hasil.txt', kpi_aktual);
193 hemat_aktual = (hemat_aktual/hemat_target)* 100 * (hemat_bobot/100); disp(hemat_aktual) guidata(hObject, handles); handles.hemat_hasil = hemat_aktual; %disp(handles.hemat_hasil); dlmwrite ('hemat_hasil.txt', hemat_aktual); % Masuk ke dalam Fis % output_finansial = evalfis([kpi_aktual;hemat_aktual],fisFinansial); output_finansial = kpi_aktual + hemat_aktual; disp(output_finansial) guidata(hObject, handles); handles.hasilFinansial = output_finansial; %disp(handles.hasilFinansial); dlmwrite ('hasilFinansial.txt', output_finansial);
% PROSES PERHITUNGAN UNTUK ASPEK PELANGGAN puas_plg_target = str2double(get(findobj(gcf,'Tag','edit_puas_plg_target'),'String') ); puas_plg_aktual = str2double(get(findobj(gcf,'Tag','edit_puas_plg_aktual'),'String') ); puas_plg_bobot = str2double(get(findobj(gcf,'Tag','edit_puas_plg_bobot'),'String')) ; aku_target = str2double(get(findobj(gcf,'Tag','edit_aku_target'),'String')); aku_aktual = str2double(get(findobj(gcf,'Tag','edit_aku_aktual'),'String')); aku_bobot = str2double(get(findobj(gcf,'Tag','edit_aku_bobot'),'String')); puas_plg_aktual = (puas_plg_aktual/puas_plg_target) * 100 * (puas_plg_bobot/100); disp(puas_plg_aktual) guidata(hObject, handles); handles.puas_plg = puas_plg_aktual; dlmwrite ('puas_plg.txt',puas_plg_aktual); aku_aktual = (aku_aktual/aku_target)* 100 * (aku_bobot/100); disp(aku_aktual) guidata(hObject, handles); handles.aku = aku_aktual; dlmwrite ('aku.txt',aku_aktual);
194 % Masuk ke dalam Fis % output_pelanggan = evalfis([puas_plg_aktual;aku_aktual],fisFinansial); output_pelanggan = puas_plg_aktual + aku_aktual disp(output_pelanggan) guidata(hObject, handles); handles.hasilPelanggan = output_pelanggan; dlmwrite ('hasilPelanggan.txt',output_pelanggan); % PROSES PERHITUNGAN UNTUK ASPEK PROSES INTERNAL (KP) temukm_target = str2double(get(findobj(gcf,'Tag','edit_temukm_target'),'String')); temukm_aktual = str2double(get(findobj(gcf,'Tag','edit_temukm_aktual'),'String')); temukm_bobot = str2double(get(findobj(gcf,'Tag','edit_temukm_bobot'),'String')); temukm_aktual = (temukm_aktual/temukm_target) * 100 * (temukm_bobot/100); disp(temukm_aktual) guidata(hObject, handles); handles.diskm = temukm_aktual; dlmwrite ('diskm.txt',temukm_aktual); paper_target = str2double(get(findobj(gcf,'Tag','edit_paper_target'),'String')); paper_aktual = str2double(get(findobj(gcf,'Tag','edit_paper_aktual'),'String')); paper_bobot = str2double(get(findobj(gcf,'Tag','edit_paper_bobot'),'String')); paper_aktual = (paper_aktual/paper_target)* 100 * (paper_bobot/100); disp( paper_aktual) guidata(hObject, handles); handles.paper2electric = paper_aktual; dlmwrite ('paper2electric.txt',paper_aktual); % output_konversikm = evalfis([temukm_aktual;paper_aktual],fisEfekKP); output_konversikm = temukm_aktual + paper_aktual disp(output_konversikm) guidata(hObject, handles); handles.hasilKP = output_konversikm; dlmwrite ('konversi_km.txt',output_konversikm);
195 % PROSES PERHITUNGAN UNTUK ASPEK PROSES INTERNAL (KAPM) ide_target = str2double(get(findobj(gcf,'Tag','edit_ide_target'),'String')); ide_aktual = str2double(get(findobj(gcf,'Tag','edit_ide_aktual'),'String')); ide_bobot = str2double(get(findobj(gcf,'Tag','edit_ide_bobot'),'String')); ide_aktual = (ide_bobot/100)* (ide_aktual/ide_target) * 100; disp(ide_aktual) guidata(hObject, handles); handles.ide = ide_aktual; dlmwrite ('ide.txt',ide_aktual); terampil_target = str2double(get(findobj(gcf,'Tag','edit_terampil_target'),'String') ); terampil_aktual = str2double(get(findobj(gcf,'Tag','edit_terampil_aktual'),'String') ); terampil_bobot = str2double(get(findobj(gcf,'Tag','edit_terampil_bobot'),'String')) ; terampil_aktual = (terampil_bobot/100)* (terampil_aktual/terampil_target) * 100; disp(terampil_aktual) guidata(hObject, handles); handles.terampil = terampil_aktual; dlmwrite ('terampil.txt',terampil_aktual); output_KapPM = ide_aktual + terampil_aktual; %output_KapPM = evalfis([ide_aktual;terampil_aktual],fisKapPM); disp(output_KapPM) guidata(hObject, handles); handles.hasilPM = output_KapPM; dlmwrite ('hasil_PM.txt',output_KapPM);
% PROSES PERHITUNGAN UNTUK ASPEK PROSES INTERNAL (INOVASI) produk_target = str2double(get(findobj(gcf,'Tag','edit_produk_target'),'String')); produk_aktual = str2double(get(findobj(gcf,'Tag','edit_produk_aktual'),'String')); produk_bobot = str2double(get(findobj(gcf,'Tag','edit_produk_bobot'),'String'));
196 produk_aktual = (produk_bobot/100)* (produk_aktual/produk_target) * 100; disp(produk_aktual)
guidata(hObject, handles); handles.produk = produk_aktual; dlmwrite ('produk.txt',produk_aktual); inov_target = str2double(get(findobj(gcf,'Tag','edit_inov_target'),'String')); inov_aktual = str2double(get(findobj(gcf,'Tag','edit_inov_aktual'),'String')); inov_bobot = str2double(get(findobj(gcf,'Tag','edit_inov_bobot'),'String')); inov_aktual = (inov_bobot/100)* (inov_aktual/inov_target) * 100; disp(inov_aktual) guidata(hObject, handles); handles.inovasi = inov_aktual; dlmwrite ('inovasi.txt',inov_aktual); output_KapInov = produk_aktual + inov_aktual %output_KapInov = evalfis([produk_aktual;inov_aktual],fisKapInov); disp(output_KapInov) guidata(hObject, handles); handles.hasilInov = output_KapInov; dlmwrite ('hasilInov.txt',output_KapInov);
%%%%% PERHITUNGAN UNTUK ASPEK INTERNAL SECARA KESELURUHAN %%%%%% hasilInternal = 0.4 * handles.hasilInov + 0.3 * handles.hasilPM + 0.3 * handles.hasilKP guidata(hObject, handles); handles.Internal = hasilInternal; dlmwrite ('Internal.txt',hasilInternal);
% PROSES PERHITUNGAN UNTUK ASPEK PROSES INTERNAL (PEMBELAJARAN PERTUMBUHAN) konide_target = str2double(get(findobj(gcf,'Tag','edit_konide_target'),'String')); konide_aktual = str2double(get(findobj(gcf,'Tag','edit_konide_aktual'),'String'));
197 konide_bobot = str2double(get(findobj(gcf,'Tag','edit_konide_bobot'),'String')); konide_aktual = (konide_bobot/100)* (konide_aktual/konide_target) * konide_target; disp(konide_aktual)
guidata(hObject, handles); handles.konide = konide_aktual; dlmwrite ('konide.txt',konide_aktual);
ks_target = str2double(get(findobj(gcf,'Tag','edit_ks_target'),'String')); ks_aktual = str2double(get(findobj(gcf,'Tag','edit_ks_aktual'),'String')); ks_bobot = str2double(get(findobj(gcf,'Tag','edit_ks_bobot'),'String')); ks_aktual = (ks_bobot/100)* (ks_aktual/ks_target) * ks_target; disp(ks_aktual)
guidata(hObject, handles); handles.ks = ks_aktual; dlmwrite ('ks.txt',ks_aktual); adopsi_target = str2double(get(findobj(gcf,'Tag','edit_ks_target'),'String')); adopsi_aktual = str2double(get(findobj(gcf,'Tag','edit_ks_aktual'),'String')); adopsi_bobot = str2double(get(findobj(gcf,'Tag','edit_ks_bobot'),'String')); adopsi_aktual = (adopsi_bobot/100)* (adopsi_aktual/adopsi_target) * adopsi_target; disp(adopsi_aktual)
guidata(hObject, handles); handles.adopsi = adopsi_aktual; dlmwrite ('adopsi.txt',adopsi_aktual);
% output with fuzzy inference system output_KapTingkatMP = evalfis([konide_aktual;ks_aktual;adopsi_aktual],fisKapTingkatMP); disp(output_KapTingkatMP) guidata(hObject, handles); handles.hasilPembelajaranPertumbuhan = output_KapTingkatMP;
198 dlmwrite ('PembelajaranPertumbuhan.txt',output_KapTingkatMP);
%%%%%%%%%%%%% MENGUMPULKAN HASIL SETIAP ASPEK %%%%%%%%%%%%%%%%%%% global scoreAkhirBSC ScoreAkhir = evalfis([handles.hasilFinansial;handles.hasilPelanggan;handles.Int ernal;handles.hasilPembelajaranPertumbuhan],fisAkhir) guidata(hObject, handles); handles.scoreAkhirBSC = ScoreAkhir; dlmwrite ('scoreakhir.txt',ScoreAkhir); hasil
B.3 Hasil %%%% LAPORAN ASPEK FINANSIAL %%%% %Membaca data dari hasil perhitungan kpi_hasil = dlmread ('kpi_hasil.txt'); hemat_hasil = dlmread ('hemat_hasil.txt'); hasilFinansial = dlmread('hasilFinansial.txt'); set(findobj(gcf,'Tag','edit_kpi_hasil'),'String',kpi_hasil); set(findobj(gcf,'Tag','edit_hemat_hasil'),'String',hemat_hasil); set(findobj(gcf,'Tag','edit_finansial'),'String',hasilFinansial); % Memberi warna pada edit_32_hasil_text if hasilFinansial < 70 set(findobj(gcf,'Tag','edit_finansial'),'BackgroundColor','red'); else if ((hasilFinansial > 70 )&&(hasilFinansial < 90)) set(findobj(gcf,'Tag','edit_finansial'),'BackgroundColor','yellow' ); else set(findobj(gcf,'Tag','edit_finansial'),'BackgroundColor','green') ; end end %%%%%%% LAPORARAN ASPEK PELANGGAN %%%%%%%%%%%%%%%%% puas_plg = dlmread ('puas_plg.txt'); aku = dlmread ('aku.txt'); hasilPelanggan = dlmread('hasilPelanggan.txt'); set(findobj(gcf,'Tag','edit_plg_hasil'),'String',puas_plg); set(findobj(gcf,'Tag','edit_aku_hasil'),'String',aku); set(findobj(gcf,'Tag','edit_puas_plg'),'String',hasilPelanggan); if hasilPelanggan < 70 set(findobj(gcf,'Tag','edit_puas_plg'),'BackgroundColor','red');
199 else if ((hasilPelanggan > 70 )&&(hasilPelanggan < 90)) set(findobj(gcf,'Tag','edit_puas_plg'),'BackgroundColor','yellow') ; else set(findobj(gcf,'Tag','edit_puas_plg'),'BackgroundColor','green'); end end %%%%%%% LAPORARAN KONVERSI PENGETAHUAN %%%%%%%%%%%%%%%%% diskm = dlmread ('diskm.txt'); paper2electric = dlmread ('paper2electric.txt'); hasilKP = dlmread ('konversi_km.txt'); set(findobj(gcf,'Tag','edit_diskm_hasil'),'String',diskm); set(findobj(gcf,'Tag','edit_paper_hasil'),'String',paper2electric) ; set(findobj(gcf,'Tag','edit_31_hasil'),'String',hasilKP); if hasilKP < 70 set(findobj(gcf,'Tag','edit_31_hasil'),'BackgroundColor','red'); else if ((hasilKP > 70 )&&(hasilKP < 90)) set(findobj(gcf,'Tag','edit_31_hasil'),'BackgroundColor','yellow') ; else set(findobj(gcf,'Tag','edit_31_hasil'),'BackgroundColor','green'); end end
%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%% ide = dlmread ('ide.txt'); terampil = dlmread ('terampil.txt'); hasilPM = dlmread ('hasil_PM.txt');
set(findobj(gcf,'Tag','edit_ide_hasil'),'String',ide); set(findobj(gcf,'Tag','edit_terampil_hasil'),'String',terampil); set(findobj(gcf,'Tag','edit_32_hasil'),'String',hasilPM);
if hasilPM < 70 set(findobj(gcf,'Tag','edit_32_hasil'),'BackgroundColor','red'); else if ((hasilPM > 70 )&&(hasilPM < 90)) set(findobj(gcf,'Tag','edit_32_hasil'),'BackgroundColor','yellow') ; else set(findobj(gcf,'Tag','edit_32_hasil'),'BackgroundColor','green'); end end %%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%
200
produk = dlmread ('produk.txt'); inovasi = dlmread ('inovasi.txt'); hasilInov = dlmread ('hasilInov.txt');
set(findobj(gcf,'Tag','edit_produk_hasil'),'String',produk); set(findobj(gcf,'Tag','edit_inovasi_hasil'),'String',inovasi); set(findobj(gcf,'Tag','edit_33_hasil'),'String',hasilInov); if hasilInov < 70 set(findobj(gcf,'Tag','edit_33_hasil'),'BackgroundColor','red'); else if ((hasilInov> 70 )&&(hasilInov < 90)) set(findobj(gcf,'Tag','edit_33_hasil'),'BackgroundColor','yellow') ; else set(findobj(gcf,'Tag','edit_33_hasil'),'BackgroundColor','green'); end end %%%%%%%%%%%%%%% HASIL INTERNAL %%%%%%%%%%%%%%%%%% Internal = dlmread('Internal.txt'); set(findobj(gcf,'Tag','edit_3'),'String',Internal); if Internal < 70 set(findobj(gcf,'Tag','edit_3'),'BackgroundColor','red'); else if ((Internal> 70 )&&(Internal < 90)) set(findobj(gcf,'Tag','edit_3'),'BackgroundColor','yellow'); else set(findobj(gcf,'Tag','edit_3'),'BackgroundColor','green'); end end
%%%%%%%%%%%%%%% HASIL PERTUMBUHAN DAN PEMBELAJARAN %%%%%%%%%%%%%%% konide = dlmread('konide.txt') ks = dlmread('ks.txt') adopsi = dlmread('adopsi.txt') set(findobj(gcf,'Tag','edit_konide_hasil'),'String',konide); set(findobj(gcf,'Tag','edit_ks_hasil'),'String',ks); set(findobj(gcf,'Tag','edit_adopsi_hasil'),'String',adopsi); hasilPembelajaranPertumbuhan = dlmread('PembelajaranPertumbuhan.txt') set(findobj(gcf,'Tag','edit_tumbuh_hasil'),'String',hasilPembelaja ranPertumbuhan); if hasilPembelajaranPertumbuhan < 70 set(findobj(gcf,'Tag','edit_tumbuh_hasil'),'BackgroundColor','red' );
201 else if ((hasilPembelajaranPertumbuhan> 70 )&&(hasilPembelajaranPertumbuhan < 90)) set(findobj(gcf,'Tag','edit_tumbuh_hasil'),'BackgroundColor','yell ow'); else set(findobj(gcf,'Tag','edit_tumbuh_hasil'),'BackgroundColor','gree n'); end end %%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%% SCORE AKHIR %%%%%%%%%%%%%%%%%%%% scoreAkhirBSC = dlmread('scoreakhir.txt'); set(findobj(gcf,'Tag','edit_scored'),'String',scoreAkhirBSC); if scoreAkhirBSC < 70 set(findobj(gcf,'Tag','edit_scored'),'BackgroundColor','red'); else if ((scoreAkhirBSC> 70 )&&(scoreAkhirBSC < 90)) set(findobj(gcf,'Tag','edit_scored'),'BackgroundColor','yellow'); else set(findobj(gcf,'Tag','edit_scored'),'BackgroundColor','green'); end end
B.4 FisAkhir [System] Name='FisAkhir' Type='mamdani' Version=2.0 NumInputs=4 NumOutputs=1 NumRules=72 AndMethod='min' OrMethod='max' ImpMethod='min' AggMethod='max' DefuzzMethod='centroid' [Input1] Name='finansial' Range=[0 200] NumMFs=3 MF1='rendah':'trapmf',[0 0 30 50] MF2='sedang':'trimf',[45 60 80] MF3='tinggi':'trapmf',[70 90 200 200] [Input2] Name='pelanggan' Range=[0 200] NumMFs=3 MF1='rendah':'trapmf',[0 0 30 50] MF2='sedang':'trimf',[45 60 80] MF3='tinggi':'trapmf',[70 80 200 200]
202 [Input3] Name='proses_internal' Range=[0 200] NumMFs=3 MF1='rendah':'trapmf',[0 0 30 50] MF2='sedang':'trimf',[45 60 80] MF3='tinggi':'trapmf',[70 90 200 200] [Input4] Name='pembelajaran&pertumbuhan' Range=[0 200] NumMFs=3 MF1='rendah':'trapmf',[0 0 30 50] MF2='sedang':'trimf',[45 60 80] MF3='tinggi':'trapmf',[70 80 200 200] [Output1] Name='ScoreCard' Range=[0 200] NumMFs=3 MF1='rendah':'trapmf',[0 0 60 70] MF2='sedang':'trimf',[60 80 100] MF3='tinggi':'trapmf',[90 120 200 200] [Rules] 3 3 3 3, 3 3 3 2, 3 3 3 2, 3 3 2 3, 3 3 2 2, 3 3 2 1, 3 3 1 3, 3 3 1 2, 3 3 1 1, 3 2 3 3, 3 2 3 2, 3 2 3 1, 3 2 2 3, 3 2 2 2, 3 2 2 1, 3 2 1 3, 3 2 1 2, 3 2 1 1, 3 1 3 3, 3 1 3 2, 3 1 3 1, 3 1 2 3, 3 1 2 2, 3 1 2 1, 2 3 3 3, 2 3 3 2, 2 3 3 1, 2 3 2 3, 2 3 2 2, 2 3 2 1, 2 3 1 3, 2 3 1 2, 2 3 1 1,
3 3 1 3 2 2 3 2 1 3 3 3 3 2 2 3 2 1 3 3 2 3 2 2 3 3 2 3 2 2 2 2 1
(1) (1) (1) (1) (1) (1) (1) (1) (1) (1) (1) (1) (1) (1) (1) (1) (1) (1) (1) (1) (1) (1) (1) (1) (1) (1) (1) (1) (1) (1) (1) (1) (1)
: : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : :
1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
203 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
2 2 2 2 2 2 2 2 2 1 1 1 1 1 1 3 3 3 3 3 3 3 3 3 2 2 2 2 2 2 2 2 2 1 1 1 1 1 1
3 3 3 2 2 2 1 1 1 3 3 3 2 2 2 3 3 3 2 2 2 1 1 1 3 3 3 2 2 2 1 1 1 3 3 3 2 2 2
3, 2, 1, 3, 2, 1, 3, 2, 1, 3, 2, 1, 3, 2, 1, 3, 2, 1, 3, 2, 1, 3, 2, 1, 3, 2, 1, 3, 2, 1, 3, 2, 1, 3, 2, 1, 3, 2, 1,
3 2 2 2 2 2 2 2 1 3 3 2 2 2 2 3 2 1 2 2 1 2 2 1 2 2 1 2 2 1 1 1 1 2 1 1 2 1 1
(1) (1) (1) (1) (1) (1) (1) (1) (1) (1) (1) (1) (1) (1) (1) (1) (1) (1) (1) (1) (1) (1) (1) (1) (1) (1) (1) (1) (1) (1) (1) (1) (1) (1) (1) (1) (1) (1) (1)
: : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : :
1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
94
94