Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Volume 1, Nomor 1, Oktober 2013
KEUNGGULAN BERSAING DAN PENCIPTAAN NILAI PADA PERUSAHAAN MANUFAKTUR YANG TERDAFTAR DI BURSA EFEK INDONESIA
Sri Rani Fauziah (
[email protected]) Politeknik Aceh I Made Sudana (
[email protected]) Departemen Manajemen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Airlangga ABSTRACT Resources, capabilities and core competencies are the basic characteristics of the competitive advantage. How resources and capabilities for the long time can contribute to creating value to the company and be able to compete in the industry, it is difficult to measure. The prupose of the research is to examine the affect of competitive advantage which consists of customer relationship, supplier relationship, intellectual property and fixed asset management on creating value for the manufacture companies using financial ratio analysis. This research using panel data to investigate 58 companies listed in Indonesia Stock Exchange (BEI) in the year 2008-2011. The results show that the relationship with suppliers, intellectual property and fixed asset management, can increase creating value for the manufacture companies that listed in BEI. Keywords: Competitive advantage, customer relationship, supplier relationship intellectual property,fixed asset management and creating value.
PENDAHULUAN Pertumbuhan industri manufaktur di Indonesia akhir-akhir ini semakin pesat. Hal ini dapat dilihat dari pertumbuhan produksi industri manufaktur selama tahun 2008-2011 yang mengalami pertumbuhandari 4,45% pada tahun 2010 menjadi 5,56% pada tahun 2011, sedangkan pada tahun 2009 pertumbuhan produksi hanya sebesar 1,34% sedikit mengalami penurunan dibandingkan tahun 2008 sebesar 3.01% (www.bps.go.id). Hal ini terjadi karena krisis ekonomi global yang terjadi pada tahun 2008 dan secara riil dampaknya terhadap industri manufaktur di Indonesia terjadi pada 2009. Jumlah perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia juga terus mengalami peningkatan dari tahun 2008 sebanyak 126 perusahaan menjadi 134 perusahaan tahun 2011 (www.idx.co.id). Hal ini mengindikasikan semakin banyaknya dana yang dibutuhkan dalam menunjang perkembangan industri manufaktur. Perkembangan perusahaan manufaktur juga meningkatkan persaingan di dalam industri tersebut. Hal ini juga dipicu oleh masuknya berbagai produk impor, baik yang legal maupun ilegal. Kondisi ini mengharuskan perusahaan untuk selalu meningkatkan daya saingnya. Masuknya berbagai produk impor barang-barang yang sudah dihasilkan di dalam negeri mengindikasikan bahwa perusahaan manufaktur di Indonesia kalah bersaing dengan perusahaan manufaktur di luar negeri. Sumber daya, kemampuan dan kompetensi utama merupakan karakteristik dasar dalam keunggulan bersaing (Kuncoro, 2006:38). Sumber daya perusahaan dapat diklasifikasikan menjadi dua yaitu sumber daya berwujud (tangible) dan sumber daya tidak berwujud (intangible). Sumber daya berwujud seperti pabrik dan perlengkapan produksi yang dikelola 1
Sri Rani Fauziah I Made Sudana
dengan efisien dapat menciptakan produk dengan harga yang lebih rendah. Sementara itu, sumber daya tidak berwujud dapat dibagi lagi dalam sumber daya relasional dan kompetensi. Sumber daya ralasional timbul dari hubungan perusahaan dengan pelanggan dan pemasok. Menjalin hubungan yang berkesinambungan dengan pemasok dapat menjamin ketersediaan sumber daya produksi secara terus menerus, sehingga perusahaan dapat memenuhi permintaan pelanggan. Menurut Hitt et al (2005:119), kombinasi sumber daya dan kapabilitas akan dapat meningkatkan daya saing yang strategis dan berkontribusi pada penciptaan nilai bagi perusahaan. Penciptaan nilai merupakan sumber potensial perusahaan untuk mendapatkan pengembalian di atas rata-rata, yang pada akhirnya akan memerikan keuntungan bagi pemegang saham perusahaan. Return of Invested Capital (ROIC) sering digunakan sebagai salah satu proksi untuk menilai kemampuan perusahaan dalam menciptakan nilai melalui kinerja keuangan. Return of Invested Capital (ROIC) pada perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia pada tahun 2008 sampai 2011 sangat berfluktuatif dengan rata-rata ROIC berkisar antara 12% sampai 15% . Dalam penelitian Liou et.al (2009), menyatakan bahwa perusahaan yang memiliki intellectual property yang tinggi dan pengelolaan fixed asset yang baik dan efisien dapat meningkatkan penciptaan nilai bagi perusahaan dan pemegang saham, sedangkan menurut Liou dan Gao (2011), keunggulan bersaing sangat ditentukan oleh intellectual property dan relationship with supplier. Relationship with supplier merupakan kekuatan perusahaan dalam meningkatkan likuiditas, yang ditandai dengan tingginya cash turnover, account receivable turnover yang rendah dan account payabel turnover yang tinggi. Penelitian ini menjelaskan tentang pengaruh keunggulan bersaing yang terdiri atas customer relationship, supplier relationship, intellectual property dan fixed asset management, yang diproksikan dengan rasio-rasio keuangan terhadap penciptaan nilai perusahaan yang diproksikan dengan return on invested capital (ROIC). LANDASAN TEORI DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS Pengertian dan Pengukuran Keunggulan Bersaing Banyak pandangan yang telah dikemukakan oleh para peneliti dalam menciptakan keunggulan bersaing perusahaan. Porter (2008) yang dikenal dengan Five Force Model, mengemukakan bahwa keunggulan bersaing adalah kemampuan perusahaan untuk menghasilkan return dari investasi secara konsisten lebih tinggi dari rata-rata return industri. Menurut Barney (2012:28), yang dikenal dengan Resources Based View (RBV), menyatakan bahwa keunggulan bersaing dapat dicapai apabila strategi penciptaan nilai yang diimplementasikan oleh perusahaan, secara simultan tidak dapat diimplementasikan oleh pesaing. Brockbank dan Urlich (2005:6), menyatakan bahwa keunggulan bersaing muncul ketika sebuah perusahaan mampu melakukan sesuatu yang unik, sedangkan menurut Hitt et.al (2005:5), perusahaan memiliki keunggulan bersaing ketika perusahaan dapat mengimplementasikan suatu strategi dan perusahaan lain tidak dapat memalsukannya atau akan memerlukan biaya yang besar untuk dapat melakukan replikasi. Menurut Ismail Solihin 2
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Volume 1, Nomor 1, Oktober 2013
(2012: 50), keunggulan bersaing perusahaan dapat dicapai apabila perusahaan memiliki diferensiasi produk dengan biaya yang lebih rendah dibanding pesaing. Salah satu cara yang digunakan untuk mengukur keunggulan bersaing adalah malalui rasio keuangan. Rasio keuangan adalah sebuah indeks yang menghubungkan dua angka akuntansi dan didapat dengan membagi satu angka dengan angka lainnya. (Horne,2009:202). Rasio keuangan dapat mencerminkan berbagai strategi yang diterapkan perusahaan untuk mencapai tujuannya, yaitu menciptakan nilai bagi perusahaan. Pengertian dan Pengukuran Penciptaan Nilai Penciptaan nilai (creating value) bagi perusahaan terjadi ketika perusahaan mampu menghasilkan sesuatu yang lebih dari sumber daya yang diinvestasikan. Dengan kata lain, apabila perusahaan mampu mengelola dan memanfaatkan sumber daya yang dimiliki, sehingga sumber daya tersebut dapat menciptakan value added bagi perusahaan, dan hal ini disebut sebagai value creation. Perusahaan menciptakan nilai bagi pelanggan dengan menawarkan produk yang terbaik dengan harga yang lebih rendah dibandingkan dengan pesaing.. Perusahaan menciptakan nilai dalam hubungannya dengan pemasok, apabila perusahaan mendapatkan harga yang lebih rendah melalui hubungan baik dan kerjasama yang berkelanjutan dengan pemasok. Hal ini akan menciptakan nilai bagi perusahaan dan pemegang saham berupa pendapatan yang lebih tinggi (Spulber, 2009:15). Menurut Bowman (2007), terdapat 3 aktivitas dalam proses penciptaan nilai, yaitu penciptaan barang atau jasa, merealisasikan pendapatan dari pelanggan dan meminimalisasi biaya dari pemasok. Barney (2012:113) menyatakan bahwa dengan sumber daya yang unik, kekuatan hubungan antara perusahaan dengan pelanggan dan pemasok yang dapat menciptakan nilai bagi perusahaan, menunjukan perusahaan memiliki keunggulan bersaing. Nilai perusahaan dapat dijelaskan dari nilai buku yang dihitung dengan dasar konsep akuntansi. Return of Invested Capital (ROIC) merupakan salah satu indikator yang digunakan untuk menukur efektivitas pemanfaatan sumber daya dan kapabilitas perusahaan dalam menciptakan nilai yang tercermin dalam kinerja keuangan perusahaan. Menurut Koller et.al (2005:61), ROIC menunjukkan tingkat efisiensi penggunaan dan pengalokasian sumber daya perusahaan dan tingkat efektivitas pengaturan dan pengelolaan sumber daya perusahaan. Perusahaan yang memiliki ROIC yang tinggi akan mampu meningkatkan pendapatan yang menghasilkan total return kepada pemegang saham (Jiang and Koller, 2007), sehingga lebih mampu dalam bersaing (Tang & Liou, 2010). Dengan demikian, perusahaan yang menghasilkan ROIC yang lebih tinggi dari rata-rata industri, memiliki keunggulan bersaing karena dapat menghasilkan revenue dan return yang tinggi, sehingga dapat menciptakan nilai bagi perusahaan dan pemegang saham. Besar kecilnya ROIC diukur dengan persamaan sebagai berikut (Tang & Liou, 2010 dan Brigham, 2004: 293): ROIC =
$!
Sri Rani Fauziah I Made Sudana
Keterangan: NOPLAT S CGS R&D Dep SG&A FA AR Inv AP ACCR
= Net Operating Profit Less Adjusted Taxes = Sales = Cost of Good Sold = Research and Development Expenses = Depreciation = Selling, General and Administration expenses = Fixed Assets = Account Receivable = Inventory = Account Payable = Accrual expenses
Terdapat beberapa faktor yang memengaruhi perusahaan dalam penciptaan nilai. Tang & Liou (2009) mengklasifikasikan faktor-faktor yang mempengaruhi perusahaan dalam penciptaan nilai berdasarkan rasio aktivitas, yaitu Customer Relationship, Supplier relationship, Intdellectual property dan fixed asset management Customer Relationship Strategi bersaing bertujuan untuk menumbuhkan penciptaan nilai melalui hubungan dengan pelanggan. Untuk mencapai keunggulan bersaing, perusahaan harus mampu meningkatkan keuntungan bagi pelanggan, memberikan produk yang inovatif dengan harga yang lebih rendah. Meningkatkan nilai bagi pelanggan berarti membangun hubungan baik dengan pelanggan dalam jangka panjang (Kotler, 2007:187). Semakin tinggi kepuasan pelanggan yang dapat diberikan oleh perusahaan, maka semakin tinggi pula tingkat pengembalian yang mungkin diperoleh perusahaan. Salah satu cara untuk membina hubungan baik dengan pelanggan adalah dengan memberikan informasi kepada pelanggan melalui kegiatan periklanan. Customer Relationship diukur dengan menggunakan rasio Sales / Advertising expenses dan Receivable turnover. Biaya advertising merupakan biaya yang dikeluarkan perusahaan dalam rangka untuk memasarkan produknya. Tujuannya adalah untuk promosi guna meningkatkan volume penjualan (Chen et. al, 2005). Iklan yang efektif dan tepat sasaran dapat meningkatkan animo dan loyalitas pelanggan terhadap produk perusahaan sehingga perusahaan dapat memiliki keunggulan bersaing dan meningkatkan nilai perusahaan dan pemegang saham. H1: Customer relationship yang diukur dengan sales/advertising berpengaruh positif terhadap creating value (ROIC). Account receivable turnover merupakan rasio untuk mengukur perputaran piutang dalam menghasilkan penjualan. Semakin tinggi perputaran piutang berarti semakin efektif dan efisien manajemen piutang yang dilakukan perusahaan (Sudana, 2011:22). Perputaran piutang tidak terlepas dari kebijakan kredit perusahaan yang diberikan kepada pelanggan. Perusahaan yang memiliki perputaran piutang rata-rata lebih tinggi dibandingkan rata-rata industri, mengindikasikan bahwa perusahaan tersebut memiliki hubungan baik dengan pelanggan, sehingga perputaran piutangnya tinggi atau penagihan piutangnya lancar. Dengan 4
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Volume 1, Nomor 1, Oktober 2013
kata lain perusahaan memiliki keunggulan bersaing yang lebih baik dan lebih mampu untuk menciptakan nilai bagi perusahaan. H2: Customer relationship yang diukur dengan account receivable turnover berpengaruh positif terhadap creating value (ROIC) Supplier Relationship Pemasok merupakan hal penting dalam kelangsungan operasional perusahaan, karena dapat membantu menjamin keberlanjutan ketersediaan bahan baku sesuai kebutuhan perusahaan dalam produksi (Hitt, et al, 2005:161). Persediaan bahan baku yang berlebihan akan menimbulkan biaya penyimpanan yang tidak efisien. Konsep pengelolaan persediaan berdasarkan Just In Time (JIT), merupakan pendekatan manajemen persediaan dengan meminimalkan biaya penyimpanan, yang dilakukan dengan mengurangi persediaan sampai titik nol (Simchi.et.al, 2008:321). Hal ini dapat dicapai apabila perusahaan dapat membangun dan menjalin hubungan baik dalam jangka panjang dengan pemasok. Supplier relationship diukur dengan menggunakan account payable turnover, inventory turnover dan sales/cost of good sold Account payable turnover mengukur bagaimana manajemen perusahaan mengelola pembayaran utang kepada pemasok. Perusahaan yang memiliki hubungan yang baik dengan pemasok, akan dapat memperoleh kemudahan berkaitan dengan memperpanjang periode pembayaran. Apabila pembayaran utang dagang dapat ditunda, maka tambahan modal yang dimiliki dapat digunakan untuk biaya operasional lainnya. Di samping itu, perusahaan yang dapat menjalin hubungan baik dengan supplier akan memengaruhi ketersediaan bahan baku dari supplier sesuai dengan kebutuhan perusahaan, sehingga proses produksi dapat berjalan dengan lancar. Hal ini berarti bahwa perusahaan memiliki keunggulan bersaing karena dapat menyediakan produk lebih cepat dari pada pesaing. H3: Supplier relationship yang diukur dengan account payable turnover berpengaruh negatif terhadap creating value (ROIC). Inventory turnover mengukur perputaran persediaan dalam menghasilkan penjualan. Semakin tinggi rasio ini semakin efektif dan efisien pengelolaan persediaan oleh manajemen perusahaan untuk menghasilkan penjualan (Sudana, 2011:21). Persediaan bahan baku merupakan elemen utama dari produksi yang selalu berputar. Besarnya investasi atau alokasi dana dalam persediaan mempunyai dampak pada cash flow dan keuntungan perusahaan (Brigham & Daves, 2004:233). Ketersediaan persediaan yang cukup dapat dicapai apabila perusahaan dapat berkerjasama dengan pamasok agar rantai pasokan dapat berjalan lancar dan tepat waktu.. Dengan demikian perusahaan akan memeiliki keunggulan bersaing dan mampu menciptakan nilai yang lebih tinggi. H4: Supplier relationship yang diukur dengan inventory turnover berpengaruh positif terhadap creating value (ROIC). Rasio ketiga yang digunakan untuk mengukur keunggulan bersaing dalam supplier relationship adalah rasio Sales/Cost of Good Sold. Menurut Vance (2003:3) cost of gold sold merupakan semua biaya yang dikeluarkan dalam rangka menciptakan produk dan siap untuk dijual kepada palanggan. Semakin tinggi rasio ini menunjukkan bahwa manajemen telah 5
Sri Rani Fauziah I Made Sudana
mampu melakukan efisiensi biaya produksi dengan baik. Menjaga hubungan dengan pemasok merupakan hal yang penting bagi perusahaan, karena kualitas barang dan jasa yang tawarkan kepada pelanggan dipengaruhi oleh kualitas bahan dan jasa yang di tawarkan oleh pemasok (Spulber, 2009:100). Dengan demikian, rasio sales/cost of good sold yang tinggi dapat dicapai apabila perusahaan memiliki hubungan baik dengan supplier. Perusahaan harus melakukan efisiensi biaya produksi agar dapat menghasilkan produk yang lebih murah daripada yang ditawarkan oleh pesaing, sehingga perusahaan dapat menciptakan keunggulan bersaing. Hal ini tentu saja akan meningkatnya penjualan dan diharapkan dapat meningkatkan laba perusahaan. Dengan demikian tujuan manajemen untuk dapat meningkatkan nilai bagi perusaahan dan pemegang saham dapat tercapai. H5: Supplier relationship yang diukur dengan sales/cost of good sold berpengaruh positif terhadap creating value (ROIC) Intellectual property Menurut Lev dan Zambon (2003), Intellectual property as non-monetary assets or resources without physical substance, such as innovation, knowledge, research and development, employee training or customer satisfaction, underlying a firm’s value creation process. Intellectual property merupakan sumber daya yang unik sehingga tidak semua perusahaan dapat menirunya. Hal inilah yang menjadikan intellectual property sebagai sumber daya kunci bagi perusahaan untuk menciptakan value added dan menciptakan keunggulan bersaing perusahaan. Perusahaan yang memiliki keunggulan bersaing tentunya akan mampu bertahan di lingkungan bisnis yang makin berkembang, sehingga tujuan perusahaan untuk memaksimumkan nilai bagi perusahaan dan pemegang saham dapat terwujud. Intellectual property diukur dengan menggunakan rasio biaya penjualan,umum dan administrasi terhadap penjualan. Hal ini karena dalam biaya umum administrasi dan penjualan mencakup biaya pendidikan dan pelatihan bagi para karyawan, sebagai salah satu upaya perusahaan untuk meningkatkan intellectual propertiy perusahaan. Rasio Selling, general & administration expense /Sales yang semakin kecil menunjukkan bahwa perusahaan mampu mengelola biaya penjualan, umum dan administrasi dengan efisien. Biaya penjualan, umum dan administrasi (SG&A expenses) adalah semua biaya operasional selain biaya harga pokok penjualan (Vance, 2003:189). Biaya ini merupakan biaya yang paling mungkin dapat dikurangi tanpa memengaruhi proses produksi.Perusahaan yang dapat memperkecil biaya SG&A seperti employees’ skill dan licensing right (Gao, 2011) melalui pengawasan yang ketat dan terus menerus dapat meningkatkan laba perusahaan lebih besar dari pada perusahaan pesaing yang memilki tingkat pertumbuhan penjualan yang sama. Dengan demikian perusahaan memiliki keunggulan bersaing dalam industri yang pada akhirnya akan menciptakan nilai bagi perusahaan dan pemegang saham. H6: Intellectual property yang diukur dengan selling, general & administration/sales berpengaruh negatif terhadap creating value (ROIC). Fixed asset management. Salah satu sumber daya perusahaan yang digunakan dalam proses produksi yang memerlukan pengeluaran dan investasi yang besar dalam perusahaan manufaktur adalah fixed asset. Fixed asset merupakan sumber daya berwujud (tangible), yaitu segala sesuatu yang tersedia di 6
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Volume 1, Nomor 1, Oktober 2013
perusahaan yang secara fisik dapat dilihat seperti bangunan, mesin, tanah dan sebagainya (Solihin, 2012:51). Fixed asset mempunyai masa manfaat lebih dari satu tahun, sehingga penanaman modal dalam aset tetap merupakan investasi jangka panjang, dan membutuhkan pertimbangan yang teliti baik dalam hal pembelian maupun dalam biaya pemeliharaan yang diperlukan dalam operasional aset tersebut (Syamsuddin, 2001: 408).. Semakin efisien perusahaan dalam mengelola aset tetap, maka semakin tinggi peluang perusahaan untuk menghasilkan pendapatan dan semakin tinggi pula kemampuan perusahaan untuk menciptakan nilai bagi perusahaan. Fixed asset mangement diukur dengan menggunakan rasio Sales / Depreciation dan fixed asset turnover Rasio Sales/Depreciation menunjukkan seberapa besar jumlah penjualan dapat menutupi biaya penyusutan aset tetap.. Semakin tinggi rasio ini menunjukkan bahwa menejemen mampu mengelola biaya penyusutan aset tetap yang dialokasikan pada harga pokok penjualan lebih efisien. Hal ini dapat dicapai jika volume produksi dan penjualan dapat ditingkatkan dengan biaya penyusutan yang tetap. Hal ini biya dicapai jika perusahaan dapat mengoptimalkan pemanfaatan aset tetap. Kondisi ini memungkinkan perusahaan memiliki keunggulan bersaing karena dapat memberikan harga jual lebih rendah dari pada yang ditawarkan oleh pesaing. Dengan demikian, tujuan perusahaan selain untuk memberikan kepuasan kepada pelanggan, perusahaan juga dapat menciptakan nilai bagi pemegang saham. H7: Fixed asset management yang diukur dengan sales/depreciation berpengaruh positif terhadap creating value (ROIC). Rasio fixed asset turnover mengukur efektifitas penggunaan aset tetap untuk menghasilkan penjualan bagi perusahaan (Sudana, 2011:22). Semakin tinggi rasio fixed asset turnover, menunjukkan semakin efisien perusahaan dalam mengelola investasi pada aset tetap untuk menghasilkan penjualan. Sebaliknya, rasio fixed asset turnover yang rendah, berarti bahwa perusahaan telah melakukan investasi yang berlebihan dalam aset tetapnya. Perusahaan dikatakan memiliki efisiensi lebih tinggi dalam mengelola aktiva tetap dibandingkan dengan perusahaan lainnya, jika perusahaan memiliki rasio perputaran aset tetap lebih tinggi dari rata-rata industri (Brigham, 2005:99). Perusahaan yang mampu meningkatkan penjualan dengan investasi yang kecil pada aset tetapnya menunjukkan bahwa perusahaan mampu menciptakan keunggulan bersaing, sehingga pada akhirnya mampu menciptakan nilai bagi perusahaan dan pemegang saham (Lin & Huang , 2011). H8: Fixed asset management yang diukur dengan fixed asset turnover berpengaruh positif terhadap creating value (ROIC). MODEL ANALISIS Untuk menganalisis pengaruh keunggulan bersaiang terhadap penciptaan nilai bagi perusahaan , digunakan model analisis regresi berganda data panel sebagai berikut:
(!
Sri Rani Fauziah I Made Sudana
Keterangan: = Return on invested capital perusahaan tahun = Advertising expenses perusahaan i tahun = Account receivable turnover perusahaan tahun = Cost of good sold perusahaan tahun = Sales perusahaan tahun = Account payable turnover perusahaan tahun = Inventory turnover perusahaan tahun = Research and development perusahaan tahun = Selling, general and administration perusahaan tahun = Fixed asset turnover perusahaan tahun = Depreciation perusahaan tahun HASIL DAN PEMBAHASAN Diskripsi Variabel Adapun variabel yang ditelti adalah: customer relationship yang diproksikan dengan rasio sales/advertising expenses dan account receivable turnover (ART);supplier relationship rasio account payabel turnover (APT), rasio sales/cost of good sold (CGS) dan inventory turnover (INVT); intellectual property (IP) yang diiukur dengan menggunakan rasio selling, general and administration expenses (SGA)/sales dan fixed asset management (FAM) yang diukur dengan menggunakan rasio fixed asset turnover (FAT) dan rasio sales/depresiation (DEP). Pada Tabel 1. dipaparkan deskripsi dari masing-masing variabel yang diteliti sebagai berikut: Tabel 1. Diskripsi Variabel Keterangan Rata-rata SALES/ ADV Customer Relationship (CR) ART
APT
Supplier Relationship
)
SALES/CGS
SD
2008
2009
1.414,46
1.028,12
2010
2011
976,78
2.471,69
4.364,72
2.416,61
2.678,60
7.786,67
Max
25.667,06
10.354,38
15.654,76
41.415,53
Min
4,67
4,96
4,64
4,59
Rata-rata
13,79
10,21
8,51
9,25
SD
33,90
11,65
7,58
9,12
Max
260,88
78,57
50,65
59,30
Min
1,82
1,06
1,44
1,90
Rata-rata
22,60
15,95
18,22
13,65
SD
33,60
14,45
19,64
12,50
Max
165,33
78,00
108,75
61,31
Min
3,71
2,30
2,60
3,00
Rata-rata
1,39
1,43
1,45
1,45
SD
0,37
0,39
0,42
0,46
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Volume 1, Nomor 1, Oktober 2013
(SP)
INVT
Intellectual Property (IP)
SGA/SALES
FAT Fixed Asset Management (FAM)
SALES/DEP
Max
2,83
2,88
2,91
3,30
Min
0,95
0,98
1,06
1,06
Rata-rata
7,01
7,84
7,46
6,97
SD
3,68
5,97
4,50
4,30
Max
16,98
39,83
25,77
25,91
Min
0,82
1,45
1,48
0,35
Rata-rata
0,16
0,15
0,16
0,15
SD
0,12
0,10
0,12
0,11
Max
0,57
0,48
0,50
0,49
Min
0,03
0,04
0,03
0,02
Rata-rata
7,10
6,18
6,06
5,64
SD
10,03
10,78
6,60
4,66
Max
59,35
81,70
35,70
26,34
Min
0,52
0,46
0,55
0,50
Rata-rata
52,63
47,76
51,68
54,79
SD
37,96
47,70
46,91
43,59
Max
173,36
338,40
282,33
214,27
Min
5,86
6,84
7,63
8,18
Sumber: Hasil Pengolahan Data
Analisis dan Pembuktian Hipotesis Hasil analisis pengaruh competitive advantage terhadap creating value, yang diproksikan dengan customer relationship (CR), supplier relationship (SR), intellectual property (IP) dan fixed asset management (FAM) dengan masing-masing alat ukurnya, dipaparkan pada Table 2. Tabel 2. Hasil Regresi Data Panel dengan Metode REM Variable Coefficient Prob. Keterangan Sales/ADV 1.17E-07 0.9071 Tidak signifikan Customer Relationship ART 0.000398 0.1768 Tidak signifikan APT -0.000466 0.0604 Tidak signifikan Supplier Relationship INVT 0.007505 0.0000 Signifikan Sales/CGS 0.232785 0.0000 Signifikan Intellectual Property SGA/Sales -0.659198 0.0000 Signifikan Sales/DEP 0.000155 0.0382 Signifikan Fixed Asset Management FAT 0.001346 0.0388 Signifikan Weighted Statistic R-squared 0.463585 F statistic 24.09035 Durbin-Watson Stat 1.520538 Sumber: hasil output Eviews 9
Sri Rani Fauziah I Made Sudana
Berdasarkan Tabel 2, tampak bahwa customer relationship yang diukur dengan rasio sales/advertising dan account receivable turnover (ART) berpengaruh positif tidak signifikan terhadap penciptaan nilai (creating value.) perusahaan Supplier relationship yang diukur dengan account payable turnover (APT) juga berpengaruh negatif tidak signifikan terhadap penciptaan nilai perusahaan, sedangkan yang diukur dengan inventory turnover (INVT) dan sales/cost of good sold (CGS) berpengaruh positif signifikan terhadap penciptaan nilai. Intellectual property yang diukur dengan rasio selling general and administrative expenses (SGA)/sales berpengaruh negatif siginfikan terhadap creating value, demikian juga fixed asset management yang diukur dengan rasio sales/depreciation (DEP) dan fixed asset turnover (FAT) berpengaruh positif signifikan terhadap creating value. Nilai koefisien derterminasi yang tampak pada R2 sebesar 0.4635 berarti sebanyak 46.35% variabel creating value dapat dijelaskan oleh variabel bebas yaitu competitive advantage yang diproksikan oleh customer relationship, supplier relationship, intellectual property dan fixed asset management, sedangkan sisanya sebesar 53,65% dipengaruhi oleh variabel lain diluar variabel bebas yang digunakan dalam penelitian ini. Pembahasan Supplier realationship yang diukur dengan inventory turnover (INVT) berpengaruh positif signifikan terhadap creating value. Hal ini terjadi jika perusahaan dapat menjalin hubungan baik dengan pemasok. Dengan demikian semakin tinggi rasio inventory turnover menunjukkan semakin baik hubungan perusahaan dengan pemasok .Hasil penelitian ini sejalan dengan hipotesis dan penelitian Liou & Tang (2009) serta penelitian Lin & Huang (2011). Demikian pula dengan rasio sales/cost of good sold (CGS) yang berpengaruh positif signifikan terhadap creating value. Semakin tinggi rasio ini, menunjukkan bahwa perusahaan memiliki hubungan baik dengan pemasok, sehingga perusahaan dapat memperoleh bahan baku yang baik dengan harga yang relatif murah, dan mampu bersaing dengan perusahaan lain. Hal ini sesuai dengan hipotesis penelitian dan hasil penelitian Liou and tang (2009) yang menyatakan bahwa supplier relationship merupakan faktor penting dalam pengelolaan cost of good sold yang efektif dan efisien, sehingga dapat meningkatkan penjualan. Intellectual property sebagai proksi dalam mengukur competitive advantage hanya memiliki satu indikator yaitu rasio selling, general and administration expenses (SGA)/sales. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rasio selling, general and administration expenses (SGA)/sales berpengaruh negatif signifikan terhadap creating value. Hal ini berarti semakin rendah rasio general and administration expenses (SGA)/sales semakin tinggi kemampuan manajemen perusahaan dalam mengelola intellectual property secara efisien, tanpa memengaruhi proses produksi, sehingga tetap dapat mempertahankan atau meningkatkan penjualan dan pada akhirnya menciptakan nilai bagi perusahaan. Hasil penelitian ini sesuai dengan hipotesis dalam penelitian ini dan hasil penelitian Liou and Gao (2011), yang menyatakan bahwa intellectual property yang berorientasi pada produk seperti kompetensi teknologi dan pengembangan sumber daya manusia yang baik memberikan porsi yang besar terhadap peningkatan penjualan. Demikian pula dengan penelitian Liou and Tang (2009) menunjukkan rasio general and administration expenses (SGA)/sales berpengaruh nagatif signifikan terhadap penciptaan nilai, karena saat perubahan kondisi pasar yang dinamis, 10
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Volume 1, Nomor 1, Oktober 2013
perusahaan yang memilki intellectual property yang yang tinggi lebih mampu bersaing dalam industri. Competitive advantage yang diukur dengan fixed asset turnover (FAT) berpengaruh positif signifikan terhadap creating value. Semakin tinggi fixed asset turnover semakin efisien perusahaan dalam mengelola aset tetap, sehingga semakin tinggi peluang perusahaan untuk menghasilkan pendapatan dan kemampuan perusahaan untuk menciptakan nilai bagi perusahaan dan pemegang saham. Hasil penelitian Liou & Tang (2009) menyimpulkan hal yang sama, bahwa kemampuan perusahaan untuk mengelola aset tetapnya memengaruhi penciptaan nilai bagi perusahaan dan pemegang saham. Hal ini juga didukung oleh Lin & Huang (2011) dalam penelitiannya pada perusahaan semi konduktor yang menyatakan bahwa pengelolaan aset tetap merupakan faktor penting dalam industri manufaktur yang padat modal. Rasio sales/depreciation (DEP) juga berpengaruh positif signifikan terhadap creating value. Halini karena menunjukkan bahwa menejemen perusaahaan mampu mencapai volume penjualan yang relatif tinggi terhadap beban penyusutan aset tetap yang dialokasikan pada harga pokok penjualan. Hal ini didukung dengan mulai membaiknya kondisi ekonomi pada tahun 2010 dan 2011, sehingga perusahaan yang padat modal dapat meningkatkan volume produksi dan penjualan dengan menggunakan aset tetap dengan cara yang lebih efisien. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Liou and Tang (2009) dan penelitian Lin and Huang (2011).. SIMPULAN Berdasarkan hasil analisa yang telah dilakukan, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Customer relationship yang diukur dengan account receivable turnover dan sales/advertising expenses, berpengaruh positif namun tidak signifikan terhadap creating value. 2. Supplier relationship yang diukur dengan inventory turnover dan rasio sales/cost of good sold berpengaruh signifikan terhadap creating value, tetapi tidak signifikan ketika diukur dengan account payabel turnover. 3. Intellectual property terbukti dapat memberikan keunggulan bersaing melalui kemampuan manajemen perusahaan dalam mengelola selling, general dan administration expenses secara efektif dan efisien sehingga dapat menciptakan nilai bagi perusahaan. 4. Fixed asset management baik yang diukur dengan fixed asset turnover maupun rasio sales/depreciation yang dikelola dengan efektif dan efisien terbukti dapat meningkatkan creating value perusahaan manufaktur. DAFTAR PUSTAKA Aaker, D.A. 1989, Managing Assets and Skills: The Key to A Sustainable Competitive Advantage”, California Management Review, vol. 31, no. 2, pp. 91-106 Ajija, Shochrul R, Dyah W.Sari, Rahmat H Setianto, martha R.Primanti. 2011. Cara Cerdas Menguasai Eviews. Penerbit Salemba Empat. 11
Sri Rani Fauziah I Made Sudana
Anderson, E., Fornell, C. and Mazvancheryl, S. 2004, Customer Satisfaction and Shareholder value, Journal of Marketing, Vol. 68 No. 4, pp. 172-85. Andras, Trina Larsen dan Srini S. Srinivasan. 2003. Advertising Intensity and R&D Intensity: Differences across Industries and Their Impact on Firm’s Performance, International Journal of Business and Economics. Vol 2 , No. 2, pp 81-90. Barney, Jay B and William S. Hesterly. 2012 Strategic Management and Competitive Advantage. Concepts and Cases, International Edition,. Fourth Edition. The United State of America. Bowman Cliff and Veronique Ambrosini. 2007. Firm Value Creation and Levels of Strategy Management Decision. (vol.45, No.3): 360-371. Brigham Eugene F, Joel F. Houston. 2005. Fundamentals of Financial Management, ninth Edition Harcourt College Publisher, USA. Brigham, F Eugene and Philip R. Daves. 2004. Intermediate Financial Management, Eighth Edition, International Student Edition. South Western, United States of America. Cao, B., Jiang, B. and Koller, T. 2006. Balancing ROIC and Growth to Build Value. McKinsey on Finance, 19, 12-16. Chan, Louis K.C, Josef Lakonishok and Theodore Sougiannis. 2001. The Stock Mareket Valuation of Research and Development Expenditures. The Journal of Finance, Vol LVI No. 6, pp. 2431-2456 Dossugi, Samuel. 2009 Analisi Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penciptaan Nilai di Bursa Efek Jakarta. Journal of Applied Finance and Accounting vol. 2 no. 1 (Nov. 2009). Grant, R. 2008. Contemporary Strategy Analysis. Malden, MA: Blackwell Publish Hitt, Ireland and Hoskison. 2005. Strategic Mangement, Competitiveness and Globalization: Concept and Cases. 6th edition. Thomson, South-Western Horne, James C. Van dan John M. Wachowicz,JR. 2009. Fundamental of Financial Management, 12th edition. Salemba Empat, Jakarta Jiang, Bin and Timothy Koller, 2007. “How to choose between growth and ROIC?” The McKinsey Quarterly, pp 1-4 Koller, T., Goedhart, M. & Wessel s, D. 2005. Valuation: Measuring and Managing the Value of Companies. McKinsey & Company, 4thed. , John Wiley & Sons. Kuncoro, Mudrajad. 2006. Strategi Bagaimana Meraih Keunggulan Kompetitif Penerbit Erlangga, Jakarta. Lev, B. and Zambon, S. 2003 “Intangibles and Intellectual Capital: an Introduction to a Special Issue”, European Accounting Review, Vol. 12 No. 4, pp. 597-603. 12
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Volume 1, Nomor 1, Oktober 2013
Lin, Chiun-Sin and Chih-Pin Huang. 2011. Measuring Competitive Advantage with an AssetLight Valuation Model. African Journal of Business Management (vol 5 no.13): 5100-5108. Liou, Fen-mai,Eing-chan Tang. 2009. Competitive Advantage, Value Creation and Du pont Identity. The Business Review, Cambridge. (Vol 12, No. 2.): 127-132. Liou, Fen-May and Yuan-Chuan Gao. 2011. Competitive Advantage in The Online Game Industry in Taiwan. (vol.4 no.2): 136-154. Palepu, Krishna G, Paul M.Healy. 2008. Business Analysis & Valuation: Using Financial Statements, Fourth Edition. South-Western, USA. Porter, Michael E. 1980. Competitive Strategy, Techniques for Analyzing Industries and Competitors. USA, Macmilan. Riyanto, Bambang. 2001. Dasar-Dasar Pembelanjaan Perushaan. edisi 4, BPFE Jogyakarta. Simchi-Levi David, Philip Kaminski, Edith Simchi-Levi. 2008. Designing and Managing The Supply Chain. Concepts, Strategies, and Case Studies. Third Edition. McGrawHill/Irwin, United States of America. Spulber, Daniel F. 2009. Economic and Management of Competitive Strategy. World Scientific, Singapore. Sudana, I Made. 2011. Manajemen Keuangan Perusahaan,Teori dan Praktik. Penerbit Erlangga Jakarta. Syamsuddin, Lukman. 2001. Manajemen Keuangan Perusahaan, Konsep Aplikasi dalam: Pernecanaan, pengawasan dan Pengambilan keputusan. Edisi Baru, Raja Grafindo Persada, Jakarta Tang, E.C. and Liou, F.M. 2010. “Does firm performance reveal its own causes? The role of Bayesian Inference. Strategic Management Journal, Vol. 32 No. 1, pp. 39-57.
13
Achmad Sobirin Nuzul Fitriawaty Basri
SUKSESI PADA PERUSAHAAN KELUARGA: STUDI EKSPLORASI PADA INDUSTRI BATIK PEKALONGAN Achmad Sobirin (
[email protected]) Nuzul Fitriawaty Basri (
[email protected]) Paska Sarjana Fakultas Ekonomi Universitas Islam Indonesia, Jogjakarta Abstrak Suksesi merupakan topik menarik dalam lingkup kajian perusahaan keluarga khususnya dalam lingkup industri batik Pekalongan karena rata-rata perusahaan batik di Pekalongan berlangsung secara turun temurun. Perusahaan keluarga yang menjadi bahan penelitian ini adalah empat perusahaan batik yang telah berdiri selama lebih dari 15 tahun dan juga telah atau sedang melakukan proses suksesi, yakni: Batik Tobal, Batik Huza, Batik HF dan Batik Pesisir. Pelaku usaha Batik Tobal dan Batik Huza merupakan pendiri dan pemilik perusahaan (generasi pertama), sedangkan pelaku usaha dari Batik HF dan Batik Pesisir merupakan generasi kedua yang telah melewati proses suksesi. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif deskriptif dengan melakukan observasi, Focus Group Discussion (FGD), wawancara mendalam dan studi pustaka. Oleh karena hasil dari penelitian ini adalah analisis deskripsi tentang perencanaan dan proses suksesi dalam perusahaan keluarga yang berada dalam satu industri yang sama yaitu industri batik di Pekalongan, hasil penelitian ini dengan demikian tidak dapat digeneralisir ke semua pelaku usaha batik lainnya. Temuan penelitian menunjukkan bahwa ke-empat pelaku usaha industri batik tersebut tidak memiliki perencanaan suksesi tertulis, hanya beberapa dari mereka mengakui telah mempersiapkan anak-anak mereka dengan memperkenalkan usaha batik sejak kecil. Namun para pemilik cenderung memilih anak-anak yang memiliki kecintaan kepada batik dan perusahaan, seperti yang dilakukan oleh pendiri batik Tobal dan batik HF. Pendiri batik Huza juga mengakui belum mempunyai rencana untuk suksesi, walaupun anak-anak telah dilibatkan dalam pengelolaan batik Huza, sementara pemilik batik pesisir yang merupakan pelaku usaha termuda belum berencana melakukan suksesi karena anak-anaknya yang masih kecil. Meskipun demikian, pemilik batik Pesisir mengakui telah memiliki strategi regenerasi jika satu saat akan melakukan suksesi ke generasi ketiga. Dari studi eksplorasi ini bisa disimpulkan bahwa anak-anak generasi penerus tidak disiapkan sebagai calon pengganti. Untuk menjadi pengganti mereka cenderung belajar dari lingkungan yang sudah terbentuk karena secara tidak langsung diberi kesempatan yang sama untuk terlibat di dalam manajemen perusahaan, diberikan porsi tanggungjawab masing-masing, sementara pendiri masih memegang peranan yang besar terutama dalam hal pengambilan keputusan dan kebijakan bisnis. Kata kunci : Perusahaan Keluarga ; Suksesi ; Perencanaan Suksesi ; Proses Suksesi
Pendahuluan Perusahaan keluarga sejatinya adalah pertemuan antara dua institusi sosial, yakni institusi bisnis dan keluarga (Susanto, 1996). Keduanya memiliki nilai-nilai dan tujuan yang bertolak belakang. Hubungan dalam bisnis bersifat rasional, sementara dalam keluarga bersifat 14
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Volume 1, Nomor 1, Oktober 2013
emosional. Menurut Susanto (2006) ciri khas bisnis keluarga dibandingkan bisnis lainnya terutama terletak pada kepemimpinan dan kontrol yang akan diwariskan pada generasi berikutnya. Berdasarkan data BPS (2007) yang telah menyelenggarakan Survey Ekonomi Nasional (Susenas) di tahun 2006, di Indonesia terdapat 48.929.636 perusahaan; 90,95% diantaranya dapat dikategorikan sebagai perusahaan keluarga. Data SUSENAS juga menyebutkan bahwa perusahaan keluarga menyumbang 53,28% dari GDP dan menyerap 85.416.493 orang sebagai tenaga kerja atau 96,18% dari seluruh angkatan kerja (Wahjono, 2009). Catatan penting tentang perusahaan keluarga adalah saat ini banyak perusahaan keluarga di Indonesia yang mampu bertahan hingga generasi berikutnya dan masuk dalam pasar modal seperti Bakrie, Kalla Group, Gudang Garam dan Sampoerna. Di dalam bisnis perusahaan keluarga memang lazim terjadi tongkat estafet kepemimpinan dari generasi pertama kepada generasi kedua dan seterusnya. Hal yang krusial dalam perusahaan keluarga adalah pergantian pucuk pimpinan (suksesi). Penelitian mengenai suksesi dalam perusahaan keluarga bukan hal baru di Indonesia. Penelitian sejenis misalnya telah dilakukan oleh Evie Hikmahwati dan Ananda Sekarbumi. Evie Hikmahwati (2006) melakukan penelitian dengan menganalisa perumusan suksesi dan regenerasi pada perusahaan keluarga Al-Fajar. Al-Fajar merupakan produsen sarung tenun ATBM tipe craftmanship skala kecil untuk memenuhi permintaan pasar domestik dan ekspor. Selain itu, Ananda Sekarbumi (2001) melakukan penelitian tentang suksesi dengan menganalisis proses suksesi dari 20 perusahaan keluarga yang berada di Jakarta. Proses suksesi tidak hanya terjadi di perusahaan keluarga kategori besar, akan tetapi juga dialami oleh perusahaan yang termasuk dalam usaha kecil dan menengah. Salah satunya adalah perusahaan keluarga yang bergerak di industri batik. Pertanyaan yang masih tersisa adalah bagaimana pola suksesi tersebut yakni bagaimana model perencaan dan proses suksesi berjalan. Penelitian tentang suksesi pada industri batik penting karena beberapa alasan berikut. Pertama, batik telah mendapat pengakuan dari UNESCO sebagai warisan budaya tak benda asli Indonesia. Oleh karena itu pelestarian batik bukan hanya menjadi tanggungjawab pelaku industri saat ini tetapi juga menjadi tanggungjawab kita semua termasuk generasi mendatang. Artinya, tanpa ada estafeta kepemimpinan mustahil batik bisa dilestarikan. Kedua, khususnya bagi masyarakat Pekalongan dan Indonesia pada umumnya, batik telah menjadi budaya bukan sekedar aspek ekonomi meski harus diakui bahwa sebagaian besar keluarga di Pekalongan bisa dikatakan hidup dari batik dan usaha-usaha lain yang terkait. Estafeta kepemimpinan dengan demikian sekaligus akan menjaga kelestarian budaya dan kesejahteraan ekonomi. Industri batik di Pekalongan ini didominasi oleh tiga etnis pengusaha, yaitu Jawa, Cina dan Arab. Sebagian besar usaha batik tersebut merupakan warisan keluarga turun temurun. Jadi jika satu keluarga sudah menjalankan usaha batik maka keturunan lainnya pun akan bergerak dalam bidang ini. Menurut pengusaha batik dari etnis Jawa, salah satu alasan terkuat mengapa mereka meneruskan usaha keluarga di industri batik karena rasa tanggungjawab untuk meneruskan perusahaan keluarganya, meski tidak mudah meneruskan perusahaan keluarga secara turun temurun (Sobirin, 2012). Oleh karena itu suksesi merupakan satu agenda yang sangat penting bagi perusahaan keluarga. Perencanaan dan proses suksesi masing-masing pengusaha batik di Pekalongan pasti berbeda satu sama lain. Untuk itu, mempersiapkan generasi penerus di masa datang harus dilakukan dengan perencanaan yang matang dan proses yang tidak instan. 15
Achmad Sobirin Nuzul Fitriawaty Basri
Kajian Pustaka Teori Perusahaan Keluarga Perusahaan disebut sebagai bisnis keluarga jika dua atau lebih anggota keluarga mengontrol kondisi keuangan perusahaan dan organisasi dan akan diakui sebagai bisnis keluarga jika ada setidaknya dua generasi yang terlibat dalam bisnis dan mereka dipengaruhi kebijakan organisasi (Tambunan, 2008). Dari sudut pandang ini, bisnis keluarga berarti bisnis yang dimiliki, dikendalikan dan dioperasikan oleh satu atau lebih anggota keluarga. Definisi lain tentang bisnis keluarga menurut Chua, Sharma dan Chrisman (2009) adalah bisnis diatur dan/atau dikelola pada bentuk dasar, secara berkelanjutan dan berpotensi lintas generasi, dan mungkin mengejar visi formal atau implisit bisnis yang dipegang oleh anggota keluarga yang sama atau sejumlah kecil keluarga. Menurut Susanto (2000) terdapat dua tipe Perusahaan Keluarga, yaitu: 1) Family Owned Enterprise (FOE), yaitu perusahaan yang dimiliki oleh keluarga, namun dikelola oleh profesional yang berasal dari luar lingkaran keluarga. Peran keluarga hanya sebagai pemilik dan tidak melibatkan diri dalam operasi secara langsung, 2) Family Business Enterprise (FBE), yaitu perusahaan yang dimiliki dan dikelola oleh keluarga pendirinya. Ciri perusahaan tipe ini adalah posisi-posisi kunci dalam perusahaan dipegang oleh anggota keluarga. Pada perusahaan keluarga tujuan yang paling menantang adalah membangun dan mempertahankan keselarasan terbaik antara perusahaan, keluarga dan kepemilikan. Seperti kita ketahui, banyak gaya yang berbeda dalam memepengaruhi orang lain. Hoover & Hoover (1999) dalam Sobirin (2012) menggambarkan terdapat dua jenis gaya kepemimpinan yaitu Push and Pull Leaders. Push leader biasanya terlihat kharismatik dan mempimpin dengan pesona personal dan memiliki daya tarik. Mereka kadang-kadang disebut sebagai “Diktator baik hati”. Sebaliknya, Pull leader, menyatu dengan kelompok, bekerja keras untuk membangun kesepakatan dan komitmen kelompok. Mereka sering disebut sebagai “pelatih” atau “cheerleader”. Menurut Tambunan (2009) seperti bisnis pada umumnya, bisnis keluarga juga memiliki beberapa keuntungan dan kerugian. Keuntungan adalah di bidang keuangan dan budaya organisasi. Keuntungan keuangan adalah: kemerdekaan tingkat tinggi berarti tidak ada tekanan pasar saham, tidak ada yang mengambil keuntungan milik keluarga (tidak ada pihak lain untuk berbagi keuntungan) dan tidak ada yang mengambil alih resiko. Oleh karena itu keputusan keuangan bisa dilakukan lebih cepat. Manfaat lainnya adalah kemungkinan keuntungan tersebut untuk digunakan dalam ekspansi bisnis atau re-investasi bisnis. Keuntungan budaya organisasi adalah budaya akan menyerap lebih cepat. Hal ini disebabkan ada cara intensif dalam mengkomunikasikan nilai dan budaya di antara anggota keluarga, seperti di rumah dan di kantor juga. Secara umum, anggota keluarga yang terlibat dalam bisnis keluarga memiliki kebanggaan terhadap generasi pendahulu mereka sehingga budaya organisasi akan lebih solid. Keuntungan lain dari bisnis keluarga adalah pemahaman awal tentang bisnis dari anggota keluarga dan yang terakhir adalah birokrasi kecil dan fleksibel. Sementara itu, kelemahan bisnis keluarga adalah: bisnis keluarga kadang-kadang menjadi sebuah organisasi membingungkan terutama ketika anggota keluarga yang tidak terlibat dalam kegiatan bisnis justru dapat mempengaruhi bisnis demi alasan keluarga. Kerugian lain dari bisnis keluarga adalah kemungkinan sindrom anak manja atau toleransi yang tinggi 16
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Volume 1, Nomor 1, Oktober 2013
untuk anggota keluarga yang tidak kompeten tetapi dilibatkan dalam kegiatan bisnis lebih disebabkan karena alasan pribadi. Beberapa masalah keuangan juga dianggap sebagai kelemahan dari bisnis keluarga, misalnya pembatasan untuk mengakses pasar saham. Bisnis keluarga biasanya bereaksi enggan terhadap perubahan dan praktik transformasi karena peran dominasi sang pendiri. Kaku terhadap perubahan adalah alasan utama mengapa bisnis keluarga cenderung berhenti sampai generasi pertama. Suksesi Menurut Handler (1994) suksesi dalam bisnis keluarga didefinisikan sebagai “berlalunya tongkat kepemimpinan dari pemilik pendiri untuk pengganti yang lebih baik, baik dari anggota keluarga maupun non-keluarga, yaitu manajer professional”. Suksesi tidak hanya satu langkah dari menyerahkan tongkat estafet, tapi merupakan proses panjang dari waktu ke waktu, bahkan dimulai sebelum ahli waris memasuki bisnis. Suksesi bisnis keluarga adalah proses untuk kelanjutan bisnis keluarga yang turun dari generasi tua ke generasi yang lebih muda, termasuk didalamnya warisan properti, hak saham, operasional, reputasi dan status (Hania, 2012). Patricia dari The Jakarta Consulting Group mengatakan ada tiga alasan yang menjadi landasan kuat untuk mendorong suksesi di perusahaan keluarga. Pertama, karena keberlangsungan kepemimpinan bisnis penting untuk disiapkan agar tidak terjadi Prince Charles Syndrome. Pangeran Charles yang sudah berusia lebih dari 50 tahun masih tetap sebagai putra mahkota dan tidak pernah tahu kapan dia akan menjadi raja. Kedua, pentingnya suksesi di perusahaan keluarga adalah apabila generasi pertama pensiun atau meninggal dunia, perusahaan diharapkan tetap eksis dan berjalan lancar. Ketiga, untuk menjaga harmoni keluarga. Karakteristik suksesi yang sukses menurut Cater III (2006) adalah sebagai berikut: a. Planning and letting go. Perencanaan merupakan aktifitas kunci dalam manajemen. Incumbent (pemilik-pendiri) harus rela menyesuaikan organisasi agar sesuai dengan keterampilan penerus. Kadangkadang perusahaan dapat dibagi menjadi sekelompok perusahaan terkait, tapi independen agar sesuai dengan kebutuhan generasi berikutnya. b. Taking the reins. Kredibilitas merupakan kunci untuk mendapatkan status legitimasi di perusahaan untuk penggantinya. Penerus pengganti harus memperoleh kredibilitas dalam perusahaan dengan membuktikan kemampuannya kepada manajer perusahaan dan karyawan. Untuk mendapatkan kredibilitas, banyak pengamat percaya bahwa yang terbaik bagi anggota keluarga baru adalah bekerja untuk bisnis lain sebelum memulai dengan perusahaan keluarga. Tujuannya agar pengganti mendapatkan pengalaman bisnis, kepercayaan diri, dan ditambah pandangan lingkungan bisnis. c. Servant leadership. Prinsip dari servant leadership adalah mendahulukan pelayanan kepada orang lain sehingga pada akhirnya jumlah pengikut terus bertambah. Oleh karena itu, pemimpin jenis ini tidak mencari kebesaran diri atau kekuasaan atau ketenaran. Sebaliknya, pemimpin mencoba secara positif mempengaruhi kinerja para pengikut, membangun organisasi lebih baik, dan mengambil pandangan jangka panjang untuk kemajuan organisasi.
17
Achmad Sobirin Nuzul Fitriawaty Basri
Perencanaan Suksesi (Succession Planning) Rencana suksesi merupakan masalah strategis dalam bisnis milik keluarga (Ibrahim et al., 2001). Menurut Chua et al., (2003) perencanaan suksesi dalam perusahaan keluarga penting untuk mencapai sukses karena dua alasan. Pertama, kegiatan yang berkaitan dengan perencanaan suksesi merupakan bagian dari proses suksesi. Kedua, perencanaan suksesi diyakini dapat meningkatkan probabilitas dari suksesi yang sukses. Proses perencanaan suksesi terdiri dari komponen diskrit berikut antara lain: Memilih dan melatih penggantinya, mengembangkan rencana visi atau strategis untuk perusahaan setelah suksesi, mendefinisikan peran incumbent, mengkomunikasikan keputusan untuk stakeholder kunci dan perencanaan suksesi ini diharapkan dapat membantu meningkatkan probabilitas keberhasilan untuk proses suksesi. Menurut Wijaya (2011) pola perencanan suksesi manajemen puncak antara lain : • Planned Succesion. Perencanaan suksesi yang terfokus pada calon yang telah dipersiapkan untuk menduduki posisi kunci. Informal Planned Succession. Perencanaan suksesi yang lebih mengarah pada pemberian pengalaman dengan cara memberikan posisi di bawah “orang nomor satu” dan secara langsung menerima perintah dan petunjuk dari orang tersebut. Unplanned Succesion. Peralihan pimpinan puncak kepada penerusnya berdasarkan keputusan pemilik dengan mengutamakan pertimbangan-pertimbangan pribadi. Rencana suksesi seharusnya tidak hanya mengidentifikasi calon potensial, tetapi juga alasan mengapa calon disukai untuk nominator lain. Dua kondisi, yang penting untuk suksesi untuk melanjutkan sebagaimana dimaksud, adalah kesediaan penerus untuk menunjukkan komitmen jangka panjang untuk kepentingan bisnis dan atau kemampuannya untuk mendapatkan pengetahuan yang diperlukan, keterampilan, dan kompetensi dibutuhkan untuk mengelola dalam rentang waktu yang terbatas menjelang generasi pertama pensiun. Karena itu, perencanaan suksesi juga membutuhkan komitmen dari penerus (Lee, Jasper, dan Goebel, 2003). Proses Suksesi (Succession Process) Isu suksesi merupakan isu yang sangat emosional karena hasilnya sangat memberikan pengaruh bagi anggota keluarga. Suksesi bisnis keluarga adalah proses pengelolaan alih generasi dan kepemilikan bisnis untuk generasi berikutnya dari anggota keluarga. Sebagian besar (kira-kira 84 persen) dari perusahaan bisnis keluarga tidak berniat untuk melewati kontrol bisnis ke generasi berikutnya yang merupakan anggota keluarga, dikarenakan kebanyakan dari mereka belum siap, karena menurut mereka suksesi terjadi hanya satu kali dalam satu generasi (Chrisman et al., 2009). Lebih lanjut, peneliti bahkan memperkirakan bahwa hanya satu hingga tiga perusahaan bisnis keluarga yang melakukan suksesi ke generasi kedua. Proses suksesi dimulai ketika penggantinya memasuki perusahaan dan ketika generasi tua mulai berhenti dan diakhiri dengan pensiun. Handler (1992) merumuskan tentang tiga tahapan dalam proses suksesi antara lain : 1) Periode pengembangan individu, dimana individu telah bekerja setidaknya bekerja secara paruh waktu / part-time dalam bisnis perusahaan, 2) Periode keterlibatan dalam bisnis, dimana individu telah terlibat secara penuh dengan bekerja full-time dalam bisnis perusahaan, 18
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Volume 1, Nomor 1, Oktober 2013
3) Tahapan suksesi kepemimpinan, dimana individu telah memiliki tanggungjawab atau telah memiliki jabatan sebagai “presiden”. Pada saat proses suksesi, kemungkinan untuk terjadinya konflik kepentingan sangat besar. Karena itu, untuk melanjutkan proses suksesi, tidak hanya pemegang jabatan dan penerus pengganti yang puas dalam proses, akan tetapi anggota keluarga yang lain seperti saudara kandung (Cater III & Justis, 2009) harus merasakan hal yang sama. Oleh akrena itu jika ada beberapa anggota keluarga dengan generasi yang sama, kebutuhan atas setiap individu juga harus dipertimbangkan. Pimpinan keluarga dalam perusahaan multigenerasi harus mengembangkan proses untuk mengurangi konflik tersebut. Metodologi Penelitian Pembahasan metodologi untuk penelitian ini dimulai dari pemaparan unit analisa, metode pengumpulan data, instrumen penelitian, dan metode analisa data (Sobirin, 2012). • Unit Analisa Unit analisa dari penelitian ini adalah organisasi. Penelitian ini dilakukan pada beberapa perusahaan keluarga dalam konteks industri batik Pekalongan. • Metode Pengumpulan Data Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan dua sumber data yaitu data primer dan data sekunder. 1. Pengumpulan data primer dilakukan antara lain melalui: a. Observasi Observasi diperlukan untuk menganalisis fakta empiris yang diteliti dalam penelitian ini yaitu dengan pengamatan langsung terhadap pelaku usaha batik yang terpilih di industri batik Pekalongan. Data yang diperoleh dari observasi ini akan digunakan untuk mendukung hasil analisa yang diperoleh dari teknik pengumpulan data lain. b. Wawancara secara mendalam. Wawancara secara mendalam dengan pelaku usaha batik (pendiri dan suksesor), untuk memperoleh informasi tentang perencanaan dan proses suksesi dalam perusahaan batik mereka. c. Focus Group Discussion (FGD) FGD akan melibatkan pelaku usaha industri batik (pendiri dan penerus / suksesor). Teknik ini dilakukan untuk memperdalam informasi yang diperoleh dari observasi dan wawancara. 2. Data sekunder dilakukan melalui studi pustaka. Dengan menggunakan studi pustaka diharapkan peneliti dapat membangun landasan teori tentang perencanaan dan proses suksesi dalam perusahaan keluarga pada umumnya dan pelaku usaha batik pada khususnya. Sumber dari studi pustaka ini bisa berasal dari artikel dan karya ilmiah yang dipublikasikan di dalam jurnal ilmiah dan media lainnya, dokumen yang dimiliki pelaku usaha batik, data-data terpublikasikan melalui media internet yaitu dari Biro Pusat Statistik Jawa Tengah dan Disperindagkop Pekalongan. • Metode analisis data Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif - kualitatif yang memberikan gambaran tentang profil pelaku usaha batik di Pekalongan berikut perencanaan dan proses suksesi yang menjadi dasar penyusunan dan sebagai hasil akhir dari penelitian ini. Untuk kepentingan tersebut, maka analisa didasarkan pada hasil kajian studi pada beberapa pelaku usaha batik dalam konteks industri batik Pekalongan. 19
Achmad Sobirin Nuzul Fitriawaty Basri
•
Uji Validitas dan Reabilitas Dalam penelitian kualitatif, uji Validitas dan Reabilitas sering dinamakan uji kredibilitas. Uji kredibilitas yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu metode Triangulasi. Triangulasi adalah suatu pendekatan analisa data yang mensintesa data dari berbagai sumber. Dalam penelitian ini, selain melakukan wawancara dengan narasumber utama yaitu pendiri-pemilik pelaku usaha batik, juga melakukan wawancara dengan narasumber lain. Peran narasumber tambahan ini untuk memperkuat pernyataan yang telah diberikan oleh narasumber utama dan juga mendapatkan informasi yang dibutuhkan dan belum diperoleh dari narasumber utama.
Suksesi Perusahaan Keluarga pada Industri Batik Pekalongan Kota Pekalongan adalah salah satu kota di pesisir pantai utara Provinsi Jawa Tengah. Kota Pekalongan mendapat julukan kota batik. Hal ini tidak terlepas dari sejarah bahwa sejak puluhan dan ratusan tahun lampau hingga sekarang, sebagian besar proses produksi batik Pekalongan dikerjakan di rumah-rumah. Akibatnya batik Pekalongan menyatu erat dengan kehidupan masyarakat Pekalongan. Batik telah menjadi nafas penghidupan masyarakat Pekalongan dan terbukti tetap dapat eksis dan tidak menyerah pada perkembangan jaman, sekaligus menunjukkan keuletan dan keluwesan masyarakatnya untuk mengadopsi pemikiran-pemikiran baru. Perjumpaan masyarakat Pekalongan dengan berbagai bangsa seperti Cina, Belanda, Arab, India, Melayu dan Jepang pada zaman lampau telah mewarnai dinamika pada motif dan tata warna seni batik. Akibatnya tumbuh beberapa jenis motif batik hasil pengaruh budaya dari berbagai bangsa tersebut yang kemudian sebagai motif khas dan menjadi identitas batik Pekalongan. Batik sebagai kerajinan produk budaya pada akhirnya juga berkembang menjadi komoditi bisnis. Dalam penelitian ini, empat pelaku usaha batik yang hadir dalam FGD adalah pemilik dari Batik Tobal, Batik Huza, Batik HF dan Batik Pesisir. Latar Belakang Perusahaan Batik Tobal Batik Tobal merupakan salah satu perusahaan batik yang berkembang dan berhasil dengan menerapkan strategi langsung membidik pasar ekspor (pasar internasional). Batik Tobal didirikan oleh pasangan suami – istri Fatchiyah A. Kadir dan Achmad Oemar Basyarahil. Bu Fat, demikian biasa disapa, memulai karir bisnis batik pada tahun 1971 dengan menjadi pengepul batik yang kemudian diekspor. Bu Fat merupakan generasi pertama dalam perusahaan batik Tobal. Orangtua beliau bergerak di kerajinan tenun (sebagai pengusaha tenun ATBM), tidak hanya tenun dari bahan kain, juga mengambil dari serat daun pisang, bambu, serat nanas, dan enceng gondok. Batik Tobal mengkhususkan pada produksi batik dalam bentuk pakaian jadi dan lebih focus pada batik “fashion”. Desain batik Tobal diakuinya sebagai batik kontemporer, beliau memasukkan unsur – unsur motif etnis sesuai permintaan pelanggan, missal motif etnis aborigin untuk pasar Australia, motif hawai bahkan motif Indian. Pada tahun 2007, setelah 30 tahun mengembangkan bisnis batik Tobal, kondisi ekonomi global dan keamanan Indonesia yang terpuruk saat itu dengan adanya peristiwa “bom bali” sangat mempengaruhi produksi batik dan penurunan permintaan dari klien luar negeri. Untuk mempertahankan bisnis batik Tobal yang telah dibangunnya selama puluhan tahun, bu Fat akhirnya memutuskan untuk memasarkan batik Tobal di dalam 20
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Volume 1, Nomor 1, Oktober 2013
negeri. Bu Fat mengakui bahwa beliau adalah pemain baru di lokal. Berbicara mengenai suksesi perusahaan di Batik Tobal, menurut bu Fat, regenerasi merupakan satu proses yang wajib dilakukan agar perusahaan keluarga tetap bertahan. Dari 4 (empat) anak, bu Fat melihat ketertarikan dan kecintaan 2 (dua) anaknya pada batik. Dua anak ini pernah bekerja di perusahaan ekspor impor dan masih dalam industri kerajinan. Setelah 3-4 tahun bekerja di tempat lain, tahun 2007 anak-anak kembali dan mulai melibatkan diri. Batik Huza Pendiri dan pemilik batik Huza adalah bapak Husein Muhammad Assegaf. Pak Husein mengatakan bahwa beliau bukan dari orangtua pengusaha batik. Batik Huza adalah batik Pekalongan yang didirikan pada tahun 1985 dan berlokasi di Klego, Pekalongan. Nama batik Huza diambil dari singkatan nama suami istri Husein - Zakiah. Beliau memiliki 11 orang anak. Pak Husein tidak memproduksi batik karena menurutnya memproduksi batik membutuhkan waktu sangat panjang, satu kain batik bisa selesai dalam tiga bulan. Selain itu beliau juga mempertimbangkan beberapa kendala misal pengaruh cuaca dan masa libur yang tidak tangung-tanggung bisa satu bulan jika hari raya Idul Fitri tiba. Tujuan pak Husein berdagang adalah mencari keuntungan dan untuk menyekolahkan anak. Pak Husein membeli bahan kain batik kemudian dipotong dan kirim ke desa-desa, menyerahkannya ke penjahit dan memilah-milah mana kain yang bisa dijahit. Untuk mengetahui minat konsumen, beliau memberi contoh barang ke toko-toko, kemudian menghitung pakaian apa yang paling sering dipakai masyarakat. Beliau kemudian berkesimpulan “daster”. Dari situlah Batik Huza dimulai. Saat ini batik Huza telah membuat bermacam model pakaian jadi dari kain batik pekalongan. Batik Pekalongan Huza memiliki corak khas tersendiri yaitu hitam putih dan juga memproduksi batik khas Pekalongan yang berwarna cerah. Mengenai suksesi, hingga saat ini pak Husein belum merasa perlu untuk menyiapkan pengganti. Pak Husein memiliki 11 orang anak. Semua anak diberikan kebebasan dalam memilih pendidikan dan pekerjaan. Batik HF Batik HF ini dipimpin oleh Haji Muhammad Jamil. Beliau merupakan pemimpin generasi ke2 dan berdasarkan penuturan beliau sedang mempersiapkan generasi ke-3. Orangtua Pak Haji (demikian biasa disapa) merupakan pembatik sungguhan, akan tetapi hampir sama dengan alasan pak Husein (batik Huza) bahwa dia merasa untuk memproduksi batik memerlukan waktu yang terlalu lama sementara beliau menganggap dirinya tidak sabaran. Jika orangtua Haji Jamil membuat sarung batik maka Haji Jamil lebih memilih untuk menjual batik dalam bentuk pakaian jadi. Batik HF berdiri pada tahun 1998. Batik HF merupakan batik yang special untuk dijual di tempat-tempat wisata atau disebutnya batik wisata. Haji Jamil menyebut batik yang dijualnya sebagai “batik srampangan / abstrak”. Nama dari batik HF ini merupakan pemikiran dari pemiliknya untuk memberikan identitas yang kuat pada batiknya tersebut. HF merupakan singkatan inisial dari nama anak-anak Haji Jamil. Sebagai generasi kedua Haji Jamil sudah sangat mengenal batik sejak beliau masih kecil. Tentunya karena orang tua H. Jamil adalah pengusaha batik. Suksesi bagi Haji Jamil penting untuk keberlangsungan perusahaan yang telah dirintisnya. H. Jamil telah menyiapkan anak-anaknya untuk melanjutkan perusahaan. Saat ini, beliau 21
Achmad Sobirin Nuzul Fitriawaty Basri
mempersiapkan dengan melihat diantara anak-anaknya yang memiliki kecintaan kepada batik. Keturunan yang diyakini olehnya sebagai generasi penerus adalah puteri pertamanya. Hal ini tidak serta merta dipilihkan ataupun ditujukan kepada puterinya itu. Haji Jamil melihat sebuah rasa kecintaan yang ditunjukkan oleh puterinya tersebut terhadap batik, terutama usaha batik ayahnya tentunya. Anak-anaknya juga mulai menjual produk batik HF dengan sistem online. Harapannya adalah anaknya dapat membuat dan mengembangkan batik HF untuk kalangan menengah ke-atas. Batik Pesisir Batik Pesisir didirikan oleh H.A. Failasuf, SE sebagai pengembangan usaha batik kerajinan sutera dari keluarga besarnya. Batik Pesisir ini berlokasi di desa Kemplong, Wiradesa, Pekalongan. Failasuf merupakan generasi ke-2 dari batik pesisir ini. Sebelum berganti nama menjadi batik pesisir, dulunya adalah batik Kusuma Asih yang dikelola orang tua H.A. Failasuf. Awal memulai berdagang, seperti halnya anak-anak Pekalongan yang merantau keluar Pekalongan baik untuk bekerja maupun bersekolah, Failasuf dibekali kain batik untuk dijual. Menjual batik, menurutnya merupakan upaya untuk mempertahankan hidup dan mempertahankan pendidikan. Modalnya kain batik yang ditawarkan dari toko ke toko. Selain usaha batik sebagai sumber hidup, gaya hidup dan masa depan, tidak ada larangan dalam membuat dan memasarkan batik. Demikian menurut pandangan Failasuf. Menurut Failasuf, sukses tidaknya bisnis batik sangat tergantung bagaimana manajemen dalam perusahaan batik dilakukan secara profesional. Menurut Failasuf, dalam perusahaan jika ingin tetap bertahan harus memiliki manajemen dan struktur yang benar dan professional. Strategi perusahaan harus dimulai dari visi, misi, perencanaan dan implementasi yang jelas. Menurutnya, hal ini jarang sekali dilakukan oleh pengusaha batik di pekalongan. Banyaknya pengusaha yang gagal, biasanya lebih kepada gaya hidup, pola manajemen yang salah dan ketidak-profesionalan pengusaha. Batik sudah memiliki sejarah dan nilai ekonomi dan komoditas. Sebagai generasi ke-dua dalam perusahaan, regenerasi juga penting untuk dilakukan di batik Pesisir. Dalam perusahaannya, Failasuf juga mempekerjakan beberapa anggota keluarga. Menurut Failasuf, regenerasi terjadi dengan memberikan pembelajaran dan membuat mereka (anggota keluarga) tertarik mendalami batik. Failasuf mengakui telah membuat rumusan strategi regenerasi : 1) memberikan pendidikan yang baik tentang bisnis batik, 2) pendidikan organisasi sosial, kemasyarakatan dan keagamaan, 3) memberi kepercayaan untuk mencoba dalam bisnis dan sekolah, 4) memberi peluang yntyk memasarkan batik. Menurutnya hal ini perlu karena ada sebagian orang yang hanya berpikir bahwa yang penting adalah mampu berproduksi padahal ilmu marketing juga perlu. Cara berpikir perlu diubah demikain pendapatnya. Oleh karena itu cara berpikir Failasuf dengan ayahnya berbeda karena ayah hanya berpikir produksi dan dia berpikir marketing, khususnya untuk bisnis saat ini, 5) stimulasi modal dan memberi modal agar mandiri, dengan bunga ringan agar bertanggungjawab, 6) memberi pengalaman tentang bisnis, 7) menghimbau untuk mendirikan perusahaan sendiri agar memiliki tanggungjawab. Pembahasan Rumus sukses dalam menjalankan perusahaan keluarga adalah sukses dalam menjalankan proses suksesi. Suksesi bisnis keluarga adalah proses untuk kelanjutan bisnis keluarga yang turun dari generasi tua ke generasi yang lebih muda, termasuk didalamnya warisan properti, hak saham, operasional, reputasi dan status (Hania, 2012). Pendapat ini sangat sesuai dengan 22
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Volume 1, Nomor 1, Oktober 2013
penuturan Haji Jamil dari batik HF, bahwasanya perusahaan keluarga harus mampu bertahan dan salah satu cara bertahan adalah pentingnya suksesi. Batik merupakan satu budaya yang dimiliki Indonesia. Industri batik di Pekalongan saat ini berkembang pesat, terutama setelah batik mendapatkan pengakuan dari UNESCO, semakin banyak pelaku industri batik yang merupakan pemain baru dan mulai ikut bersaing dengan mengembangkan batik secara inovatif dan memiliki ciri khas masing-masing. Batik bagi masyarakat Pekalongan telah melekat erat dalam kehidupan mereka dan lingkungan sekitar yang rata-rata adalah pembatik dan penenun merupakan factor yang sangat berpengaruh dalam membentuk karakter dari masing-masing pelaku usaha batik di masa datang, yaitu keinginan yang kuat untuk meneruskan bisnis batik keluarga atau membuka bisnis batik dengan label sendiri. Suksesi yang sukses dipandang oleh masyarakat Pekalongan terutama pada para pengusaha batik adalah ketika para pengusaha tersebut dapat meregenerasi usahanya kepada para penerusnya yaitu keturunan dari keluarganya. Hal ini dapat menjadikan pengusaha tersebut menjadi pemimpin dalam komunitasnya sebagai kelompok pengusaha batik Pekalongan. Suksesi dalam arti mampu mengentaskan dari anak cucu dan seterusnya. Umumnya, manajemen pengelolaan usaha batik dilakukan dengan pola hubungan keluarga dan juragan batik membebaskan anak-anaknya untuk membuka usaha lain tetapi tetap menjual batik. Jika dirunut, empat perusahaan keluarga yang menjadi obyek kajian adalah perusahaan dengan tipe Family Business Enterprise (FBE), yaitu perusahaan yang dimiliki dan dikelola oleh keluarga pendiri atau keturunannya. Jika rumusan Handler (1992) dikaitkan dengan kenyataan di masing-masing perusahaan, dapat diketahui bahwa ke-empat pelaku usaha tersebut sesuai dengan tahapan pertama yaitu tahap pengembangan individu. Hal ini dimulai dengan memperkenalkan bisnis mereka kepada anak-anak sedari kecil, dengan membawa mereka ke tempat produksi, tujuannya adalah untuk menanamkan kecintaan mereka terhadap batik dan perusahaan. Dengan memiliki kecintaan terhadap batik, maka diharapkan mereka akan lebih siap dalam mengelola perusahaan. Mengenalkan batik sedari kecil kepada anak-anak hampir sama seperti yang dilakukan oleh orangtua masing-masing pelaku usaha dimasa lalu. Diantara ke-empat pelaku usaha, hanya pak Husein yang sama sekali tidak berasal dari keluarga pembatik atau juragan batik. Bu Fat merupakan anak dari seorang juragan penenun ATBM yang mengakui bahwa sedari kecil mulai bangun tidur telah mendengar bunyi alat tenun ATBM. Haji Jamil dan Failasuf, keduanya memiliki orangtua pembatik. Yang pernah mereka alami inilah yang akhirnya membentuk mereka untuk suatu saat ketika memiliki anak, mereka juga memperkenalkan hal yang sama ke anak-anak mereka. Keterlibatan anak-anak dalam usaha batik orangtua juga tidak hanya dipengaruhi factor internal seperti diatas, akan tetapi factor eksternal yaitu lingkungan sekitar mereka yang juga merupakan pembatik. Lingkungan inilah yang menjadi suatu budaya yang melekat di masyarakat Pekalongan. Tahap kedua menurut Handler adalah keterlibatan anak-anak dalam bisnis. Pada awalnya, Bu Fat dan pak Husein memberikan kesempatan kepada anak-anaknya menuntut ilmu setinggi mungkin dan memberikan keleluasaan bagi anak-anaknya untuk bekerja di perusahaan lain, dengan tujuan menyerap pengalaman mereka berbisnis dan jika sudah tiba waktunya mereka kembali ke perusahaan dan menerapkan ilmu dan pengalaman mereka. Haji Jamil telah mempersiapkan dan melibatkan anak pertamanya untuk menangani sepenuhnya bisnis perusahaan dengan mengkhususkan pengembangan batik HF pada 23
Achmad Sobirin Nuzul Fitriawaty Basri
konsumen menengah ke-atas (batik sutera). Sementara bu Fat melibatkan anaknya hanya untuk bagian desain dan motif, teknis lainnya masih ditentukan penuh oleh bu Fat. Pada batik Huza, pak Husein melibatkan anak-anaknya pada bagian pemasaran dan pengelolaan perusahaan, sementara Failasuf belum dalam proses suksesi karena anak-anak masih sangat kecil. Dari pernyataan beliau tersirat bahwa beliau juga meyakini bahwa para pelaku usaha batik tersebut meyakini bahwa perusahaan harus dipegang dan dikelola langsung oleh keturunannya, akan tetapi tentu bukan hanya mengandalkan ikatan darah, akan tetapi didukung oleh kemampuan, pengalaman dan kualitas manajerial dari generasi penerus yang memiliki kecintaan terhadap batik. Tahap ketiga menurut Handler adalah tahapan suksesi kepemimpinan (ownership succession process). Pada tahapan ini ke-empat pelaku usaha terutama pendiri batik Tobal, batik Huza dan batik HF sama sekali belum memilih siapa diantara anak mereka yang akan menjadi “Putra Mahkota”. Proses suksesi yang saat ini digunakan oleh batik Tobal, batik Huza dan batik HF adalah lebih ke memfokuskan anak-anak mereka ke dalam manajemen perusahaan. Mereka tidak langsung memilih calon penerus-pengganti, tetapi lebih condong ke proses “Management Succession Process (manajemen proses suksesi)”. Didalam manajemen proses suksesi melibatkan keluarga besar sebagai partisipan dalam pengambilan keputusan, dan melibatkan calon penerus didalam menangani manajemen perusahaan (Walsh, 2011). Bu Fat dan Pak Husein bahkan mengakui bahwa mereka sama sekali belum berminat untuk mundur dari perusahaan, sekalipun telah melibatkan anak-anak, mereka masih tetap ingin bekerja dan masih menjadi penentu dalam pengambilan keputusan di perusahaan masing-masing. Berdasarkan hasil analisis data penelitian dapat dilihat bahwa para pelaku usaha industri yang terlibat dalam penelitian ini menyadari bahwa suksesi atau regenerasi sangat penting untuk dilakukan, untuk mempertahankan bisnis perusahaan yang telah dibangun. Mereka melibatkan anak-anak sedari kecil untuk mengenal batik dan perusahaan batik mereka, sama seperti yang orangtua mereka lakukan dahulu. Mereka juga mempersiapkan anak-anak dengan memberikan pendidikan hingga ke tingkat perguruan tinggi sebagai bekal mereka untuk meningkatkan kemampuan dan kualitas diri, hingga akhirnya mereka kembali untuk mengembangkan perusahaan. memiliki kemampuan pengembangan diri, integritas dan komitmen yang tinggi terhadap perusahaan. Para pelaku usaha batik dalam penelitian ini telah berada dalam lingkungan pembatik dan penenun sejak lahir, sehingga yang pernah mereka alami inilah yang akhirnya membentuk mereka untuk suatu saat ketika memiliki anak, mereka juga memperkenalkan hal yang sama ke anak-anak mereka. Keterlibatan anak-anak dalam usaha batik orangtua juga tidak hanya dipengaruhi factor internal seperti diatas, akan tetapi factor eksternal yaitu lingkungan sekitar mereka yang juga merupakan pembatik. Lingkungan inilah yang menjadi suatu budaya yang melekat di masyarakat Pekalongan. Dalam penelitian ini, keterlibatan anak-anak sebagai calon penerus perusahaan masih berada pada tingkat yang sedang/medium, dalam hal ini belum ada satu anak yang diarahkan untuk menjadi calon pemilik pengganti mereka, anak-anak diberikan peluang yang sama untuk masuk ke dalam manajemen perusahaan, diberikan porsi tanggungjawab masing-masing, akan tetapi pendiri masih memegang peranan yang besar terutama dalam hal pengambilan keputusan dan kebijakan yang diterapkan dalam perusahaan. Para pelaku usaha melihat 24
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Volume 1, Nomor 1, Oktober 2013
penerus yang tepat untuk menjadi pengganti mereka adalah anak yang tidak hanya memiliki kecintaan terhadap batik, dan juga anak-anak yang mau mengembangkan usaha keluarga ke arah yang lebih professional, misal memperbaiki struktur organisasi perusahaan, membuka cabang toko dan bahkan membuka peluang franchise batik. Hasil pemaparan keterkaitan analisis data diatas dengan teori-teori suksesi dapat dirincikan pada tabel berikut : Tabel I : Analisis Perencanaan dan Proses Suksesi Hasil Penelitian Pelaku Usaha Fatchiyah Husein Haji Jamil Failasuf Batik (Founder of (Founder (2nd (2nd Indikator Batik Tobal) of Batik generation generatio of Batik n of Batik Huza) HF) Pesisir) Tipe perusahaan Family Family Family Family menurut Susanto (2000) Business Business Business Business Enterprise Enterprise Enterprise Enterprise Gaya Kepemimpinan Push Pull Pull Push menurut Hoover and Hoover (2009) Perencanaan Suksesi No No No No Proses suksesi menurut Middle Middle Middle No teori Handler (1992) Keterlibatan suksesor Manajemen Manajemen Manajemen No dalam perusahaan menurut Walsh (2011) Kesimpulan Berdasarkan hasil penilitian eksploratif ini bisa disimpulkan bahwa perencanaan formal regenerasi belum dianggap mendesak untuk dilakukan meski para pemilik usaha menyadari bahwa regenerasi untuk menjaga kelangsungan bisnis keluarga tidak bisa dihindari. Tidakadanya perencanaan regenerasi secara formal disebabkan oleh tiga hal: Pertama, adanya anggapan dan keyakinan bahwa salah satu generasi penerus pasti ada yang bersedia untuk meneruskan bisnis orang tuanya. Kedua pada umumnya pengsuaha batik Pekalongan tergolong pada Family Business Enterprise dimana perusahaan pada umumnya dikelola secara informal. Ketiga, calon pengganti meski tidak disiapkan untuk menjadi penerus sesungguhnya sudah terbiasa dengan kegiatan bisnis baik dalam lingkungan keluarga maupu dalam lingkungan sosial sehingga calon pengganti secara tidak sadar sudah membentuk dirinya menjadi pengusaha. Menyadari bahwa suksesi merupakan faktor penting dalam perusahaan keluarga karena pada umumnya para pendiri perusahaan menginginkan perusahaan yang telah dirintisnya tidak jatuh ke tangan orang lain, namun di saat yang sama para pendiri cenderung membiarkan generasi penerus belajar mandiri untuk melakukan kegiatan bisnis keluarga, peneliti lain disarankan untuk melanjutkan penelitian ini. Diantara topik yang masih memerlukan kajian lebih lanjut adalah bagaimana transfer of knowledge didesiminasi dari generasi pertama ke generasi kedua. Berkaitan dengan hal tersebut perlu pula dikaji value transfer dari generasi pertama ke generasi berikutnya. Selain itu hasil penelitian ini menunjukkan bahwa peran budaya telah membantu masyarakat secara tidak sadar terlibat dalam bisnis batik. Yang 25
Achmad Sobirin Nuzul Fitriawaty Basri
barangkali perlu dicermati peneliti lain adalah bagaimana proses pembudayaan ini berlangsung. Daftar Pustaka Cater III, J. J. (2006). “Stepping Out The Shadow: The Leadership Qualities Of Successors In Family Business”. Unpublished Doctoral Dissertation. Proquest Information and Learning Company. Cater III, J.J., and Justis, R.T. (2009). “The Development Of Successors From Followers To Leaders In Small Family Firms : An Exploratory Study”. Family Business Review, Volume 22 Number 2, Page 109-124. http ://fbr.sagepub.com Chua, Jess H., James J. Chrisman and Pramodita Sharma. (1999). “Defining the Family Business by Behavior”. Entrepreneurship: Theory and Practice. Summer 1999 v23 i4 p19. Baylor University. Electronic resources download: on Sunday, March 2nd, 2009. At: http://faculty.utep.edu/LinkClick.aspx?fileticket&26055. Chrisman, J.J., Chua, J.H., Sharma, P., and Yoder, T.R. (2009). “ Guiding Family Business Through The Succession Process, A Step-by-step Guide For CPA Advisors”. The CPA Journal, June 2009, page 48 -51. New York State Society of CPA. Handler, W.C. (1994). “Succession in Family Business : A Review of The Research”. Family Business Review, Volume 7, Page 133-157. Published by Sage Publications. http ://fbr.sagepub.com Handler, W.C. (1992). “ The Succession Experience of The Next Generation”. Family Business Review, Volume 5, Page 283-307. Published by Sage Publications.http ://fbr.sagepub.com. Hania, Mahmoud, F. (2012). “ Faktor Influencing Family Business Succession Case Study : Gaza Family Business”. Unpublished Thesis. Faculty of Commerce, Department of Business Administration. Islamic University – Gaza. Palestine. Hikmahwati, Evie. (2006). “ Tantangan Suksesi dan Regenerasi Perusahaan Keluarga AlFajar. Tesis Program Pasca Sarjana, Universitas Indonesia, Jakarta. Ibrahim, A. B., Soufani, K., & Lam, J. (2001). A study of succession in a family firm. Family Business Review, 14(3), 245-258. Lee, Yoon G., Jasper, Cynthia R.,and Goebel, Karen P. (2003). “A Profile of Succession Planning Among Family Business Owners”. Journal Financial Counseling and Planning, Volume 14 (2). Sekarbumi, Ananda. (2001). “ Succession in Family Business in Indonesia”. Unpublished Doctoral Dissertation, The Maastricht School of Management. Proquest Information and Learning Company.
26
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Volume 1, Nomor 1, Oktober 2013
Sharma, Pramodita., Chrisman, James J., and Chua, Jess H. (2003). “ Succession Planning as Planned Behaviour : Some Empirical Results”. Family Business Review. Volume XVI, No.1, March.Published : Family Firm Institute, Inc.
Susanto, A.,B. (2006). “Suksesi Dalam Perusahaan Keluarga”. Published by The Jakarta Consulting Company. www.jakartaconsulting.com. Diakses pada 2 Maret 2012. Susanto, A.,B. (2006). “Family Business”. Published by The Jakarta Consulting Company. www.jakartaconsulting.com. Diakses pada 2 Maret 2012. Susanto, A., B. (2000). World class family business. Jakarta: Jakarta Consulting Group. Sobirin, Achmad. (2012). “Pola Kepemimpinan dan Suksesi Perusahaan Keluarga Pada Industri Batik di Pekalongan”. Laporan Penelitian Tahun Ke – 3 Hibah Penelitian Tim Pasca Sarjana (Hibah Pasca). Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta. Tambunan, Damelina., B. (2009). “The Proffesional Phenomena Of Family Business”. International Business Management, Ciputra University, Surabaya, Indonesia. Wahjono, S.I. (2009). “Suksesi Dalam Perusahaan Keluarga”. http://puslit2.petra.ac.id/ejournal/index.php/unm/article/view/17158. Diakses pada 2 Maret 2012. Walsh, Grant. (2011). “Family Business Succession, Managing of The All-Important Family Component”. Canada : KPMG Enterprise. Ward, John, L.(2004). “Perpetuating the Family Business: 50 Lessons Learned”. Journal International Small Business, December 1. Wijaya, Trisnadi. (2011). “Materi Perkuliahan: Suksesi Dalam Perusahaan Keluarga”.www.mdp.ac.id/materi/2011-2012-2/.../MI406-072153-793-9.ppt. Diakses tanggal 7 Maret 2013.
27
Anas Hidayat Ayu Hema Ajeng Diwasasri Kharunisa Amalia Sofia
PERAN KERENTANAN NORMATIF, KESADARAN NILAI, DAN INTEGRITAS TERHADAP SIKAP DAN MINAT BELI PRODUK BAJAKAN SEPATU BERMEREK Anas Hidayat (
[email protected]) Ayu Hema Ajeng Diwasasri (
[email protected]) Khaerunisa Amalia Sofia (
[email protected])m International Program, Fakultas Ekonomi, Universitas Islam Indonesia Abstrak Perkembangan fashion yang cepat dan meningkatnya kebutuhan setiap individu menciptakan peluang bagi para produsen. Mereka berlomba-lomba untuk dapat memenuhi kebutuhan setiap konsumennya. Sepatu menjadi salah satu produk yang banyak beredar di pasaran karena dapat dibuat dengan model dan warna yang bermacam-macam, selain itu kegunaanya pun bermacam-macam. Penelitian ini dibuat untuk mengetahui seberapa besar pengaruh kerentanan normatif, nilai kesadaran, dan integritas, berpengaruh terhadap sikap dan minat beli produk bajakan pada mahasiswa Fakultas Ekonomi Universitas Islam Indonesia di Yogyakarta. Penelitian ini melibatkan 200 responden dengan teknik accidental sampling dan angket sebagai alat untuk mengumpulkan data. Hasil penelitian dianalisis dengan metode kualitatif yang meliputi uji goodness of fit index, analisis Structural Equation Modeling (SEM), dan pengujian hipotesis. Hasil analisis menunjukkan bahwa ada pengaruh negatif dan signifikan antara kerentanan normatif dan integritas terhadap sikap pada pembelian produk bajakan. Lebih lanjut, hasil analisis Regresi Linier menunjukkan bahwa ada pengaruh positif dan signifikan antara kesadaran nilai terhadap sikap pada pembelian produk bajakan, serta pengaruh positif antara sikap pembelian produk bajakan terhadapa minat beli konsumen. Kata kunci: kerentanan normatif, nilai kesadaran, integritas, sikap pembelian produk bajakan, minat beli.
PENDAHULUAN Di era yang sudah berkembang ini, kebutuhan manusia semakin meluas. Tidak hanya berhenti pada kebutuhan primer seperti sandang, pangan dan papan saja, tetapi juga memiliki kebutuhan yang lebih kompleks terutama dalam hal fashion. Saat ini kebutuhan manusia akan fashion semakin berkembang, baik golongan menengah ke atas maupun golongan menengah ke bawah. Setiap individu ingin memperlihatkan kemampuannya mengikuti perkembangan fashion. Kebutuhan fashion yang semakin meningkat menyebabkan perkembangan perubahan trend semakin cepat. Salah satu model fashion yang mengalami perkembangan sangat pesat saat ini misalnya, model pakaian, model sepatu, dan model tas. Model sepatu yang disediakan oleh para produsen saat ini juga beraneka ragam dari model untuk anak-anak sampai model untuk orang dewasa, dari harga murah sampai harga yang mahal, dari yang memiliki kualitas rendah, sedang, dan tinggi, bahkan dari produk yang asli sampai produk yang palsu. Menurut Check dan Easterling(2008), perilaku pembelian konsumen memang merupakan suatu pembahasan yang unik dan menarik, sebab bahasan ini akan menyangkut pada berbagai 28
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Volume 1, Nomor 1, Oktober 2013
faktor di berbagai dimensi kehidupan manusia yang berbeda-beda. Selama manusia tersebut melakukan kegiatan perekonomian (pembelian) dalam kehidupan, maka selama itu kita akan selalu mendapatkan fenomena-fenomena baru dalam pola perilaku pembeliannya. Salah satu fenomena yang cukup menarik perhatian penulis dan mungkin pula menarik perhatian banyak orang yaitu, fenomena peredaran produk-produk imitasi atau produk palsu, sebagai sebuah alternatif baru dalam pilihan konsumsi konsumen Indonesia. Selain itu, pemalsuan produk fashion sudah dianggap menjadi sebuah epidemik dan merugikan jutaan dollar Amerika bagi industri fashion. Pemalsuan produk telah ada sejak 1970-an ketika para korban hanya produsen yang lebih dari harga pakaian dan bagasi (Thurasamy et al., 2003). Banyak alasan kenapa seseorang membeli produk fashion palsu. Pembeli produk palsu memberikan alasan bahwa mereka membeli produk palsu, karena hal tersebut tidak memberikan dampak langsung yang merugikan bagi mereka. Harga produk palsu jauh lebih murah sehingga mereka merasa seolah-olah sebagai wise shoppers (pembeli bijaksana) (Hartanto, 2012). Menurut Shultz et al., dalam Trisdiarto (2012), merek barang mewah mudah dipalsukan karena barang-barang tersebut mudah untuk dijual dan tidak menciptakan biaya produksi yang tinggi. Saat ini merek Sepatu Crocs cukup terkenal dan termasuk sepatu mewah karena, sepatu ini dijual dengan harga cukup tinggi. Maka, merek Sepatu Crocs adalah salah satu produk yang sangat ingin dimiliki masyarakat, khususnya di Negara Indonesia.Konsumen yang membeli produk-produk bermerek kemungkinan dapat dideskripsikan sebagai pemerhati diri dan lebih memerhatikan penampilan (Penz & Stottinger, 2005). Produk fesyen tiruan membawa image yang tinggi dan prestis yang terhubung melalui nama merk yang sudah terkenal. Kemiripan dalam wujud, kualitas dan image yang direpresentasikan oleh versi tiruan dari sebuah produk dibandingkan dengan yang original diakui lebih penting dalam mempengaruhi sikap beli konsumen (Wee et al., 1995). Melihat kesuksesan dari perusahaan yang memproduksi sepatu dan sandal dengan merek Crocs, beberapa tahun ini di Indonesia muncul produk palsu atau produk tiruan dengan merek yang sama yaitu Crocs. Pendiri dan pencipta Perusahaan Crocs adalah George B. Boedecker Jr. Awalnya, George hanya ingin mendesain sepatu untuk di spa. Karena, saat spa butuh sepatu yang nyaman, tidak licin, dan sederhana. Sepatu-sepatu Crocs mulai dibuat dengan bermacam-macam jenis dan bentuk. Sepatu Crocs yang pertama dibuat adalah Crocs Beach, Yang hanya diproduksi 200 pasang dan langsung terjual habis saat itu (BLOGdetik, 2013). Karena Sepatu Crocs termasuk produk yang sangat populer di masyarakat khususnya masyarakat Indonesia, maka banyak oknum yang curang dengan membuat Sepatu Crocs yang palsu. Alasan banyak produk palsu Sepatu Crocs karena sepatu ini termasuk sepatu dengan harga tinggi yang rata-rata hanya dimiliki oleh masyarakat menengah ke atas. Dengan begitu, banyak oknum-oknum yang membuat Sepatu Crocs palsu yang sangat mirip aslinya mulai dari bentuk, bahan, dan jenisnya. Sepatu Crocs palsu banyak diproduksi dengan tujuan agar masyarakat Indonesia menengah ke bawah bisa memiliki Sepatu Crocs ini (Anne Ahira, 2012). Lebih lanjut, ditinjau dari fakta yang ada di lapangan terdapat produk sepatu dan sandal Crocs palsu yang dijual bebas di pasaran, seperti di toko online, gerai yang dibuka di pinggir jalan, dan juga banyak penjual face to face yang menawarkan produk Sepatu Crocs palsu, bahkan di pasar tradisional juga ada yang menjual. Akan tetapi, uniknya di Negara Indonesia banyak sekali konsumen yang berminat untuk membeli sebuah produk yang tidak dijual di outlet yang resmi (Hartanto, 2012). Hal ini mungkin dapat dipahami dengan temuan Assael dalam Tridiastiti (2012) yang 29
Anas Hidayat Ayu Hema Ajeng Diwasasri Kharunisa Amalia Sofia
menyatakan bahwa minat beli merupakan kecenderungan konsumen untuk membeli suatu merek atau mengambil tindakan yang berhubungan dengan pembelian yang diukur dengan tingkat kemungkinan konsumen melakukan pembelian. Sedangkan sikap adalah bahwa sikap merupakan suatu kecenderungan untuk mendekat atau menghindar, positif atau negatif terhadap berbagai keadaan sosial, apakah itu institusi, pribadi, situasi, ide, konsep dan sebagainya (Ieya, 2012). Selanjutnya, kerentanan normatif berkaitan dengan pengaruh sosial dan karakteristik kepribadian yang timbul dari keinginan untuk terlihat baik di depan orang lain, ini termasuk pentingnya mengetahui merek yang membuat kesan baik pada orang lain (Ang et al., 2001). Lalu hal lain yang juga mempengaruhi sikap adalah kesadaran nilai yang menurut Lichtenstein dalam Setianto (2012), kesadaran nilai didefinisikan sebagai kesediaan untuk membayar harga yang lebih rendah untuk suatu produk dengan beberapa kekurangan dalam kualitas. Integritas ditentukan oleh standar etika pribadi dan ketaatan kepada hukum. Jika konsumen melihat integritas sebagai elemen penting, kemungkinan mereka melihat barang palsu sebagai sesuatu yang negatif. Akan tetapi, nilai-nilai luhur berubah sesuai berkembangnya jaman (Ang et al., 2001). Berdasarkan latar belakang dan masalah yang telah dikaji, tujuan penelitian ini terbagi menjadi dua yaitu pertama untuk mengkaji peran variabel kerentanan normatif, nilai kesadaran, integritas, berpengaruh terhadap sikap pembelian produk bajakan. Kedua, untuk menganalisa peranan sikap konsumen atas produk bajakan terhadap minat beli produk bajakan. KAJIAN PUSTAKA Kajian Pustaka ini dimaksudkan untuk mendokumentasikan dan mengkaji hasil penelitian yang pernah ada, penjelasan yang dapat mendukung topik penelitian yang akan dilakukan, serta penjelasan tentang konsep, variabel, indikator, penelitian, pengukuran dan asumsi pada area yang sama. a) Pembajakan Produk (Product Piracy) Menurut Thurasamy et al., (2003), pemalsuan atau pembajakan produk umumnya digunakan untuk menggambarkan pelanggaran yang disengaja terhadap karya cipta atau merek dagang pada skala komersial. Dalam industri musik, pembajakan juga terjadi terhadap penyalinan yang tidak sah yang dapat dikelompokkan menjadi : 1) Simple Piracy : Kegiatan untuk duplikasi yang tidak sah dari dokumen asli merekam untuk keuntungan komersial tanpa persetujuan dari pemilik. Kemasan dari bajakan salinan berbeda dari yang asli. Versi bajakan sering kompilasi, seperti sebagai "greatest hits" dari artis tertentu, atau koleksi genre tertentu atau "Populer dangduts” dan sebagainya. 2) Counterfeits : Produk yang disalin dan dikemas menyerupai asli dengan sedekat mungkin. Merek dagang produsen asli dan logo yang direproduksi lalu ditempel pada kemasan untuk menyesatkan konsumen dan membuat percaya bahwa mereka membeli produk asli.
30
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Volume 1, Nomor 1, Oktober 2013
3) Bootlegs : Bentuk rekaman tidak sah dari pertunjukan live atau siaran. Mereka disalin dan dijual seringkali dengan harga premium tanpa izin dari penyanyi, komposer atau perusahaan rekaman. Menurut Gentry et al., dalam Setianto (2012), sejumlah peneliti berpendapat bahwa permintaan konsumen untuk produk bajakan adalah salah satu penyebab utama dari keberadaan dan peningkatan pertumbuhan fenomena pembajakan. Sebagai akibat langsung dari argumen ini, cukup banyak penelitian telah difokuskan pada mengidentifikasi faktor penting yang mempengaruhi sikap konsumen terhadap produk bajakan. b) Kerentanan Normatif (Normative Susceptibility) Kerentanan normatif harus dilakukan dengan keputusan pembelian yang tidak didasarkan pada pendapat orang lain, tetapi pada harapan apa yang akan mengesankan orang lain karena konsumen dengan kerentanan normatif kemungkinan membuat keputusan berdasarkan ekspektasi atas apa yang dapat mengesankan orang lain(Ang et al., 2001).Hal ini didasarkan pada premis bahwa jika membeli palsu tidak membuat kesan yang baik pada orang lain sementara memproyeksikan citra yang baik adalah penting, dan sikap dalam membeli produk bajakan akan kurang menguntungkan. Dengan demikian, kerentanan normatif turut serta dalam pengambilan keputusan membeli produk palsu (Thurasamy et al., 2003). Berdasarkan kajian diatas hipotesis pertama dirumuskan: H1:Kerentanan normatif berpengaruh negatif terhadap sikap pembelian produkbajakan. c)
Kesadaran Nilai (Value Consciousness)
Lichtenstein et al.(1990), mendefinisikan kesadaran nilai sebagai kesediaan konsumen membayar harga yang lebih rendah dengan tetap menyadari adanya beberapa kekurangan pada kualitas. Karena, produk palsu telah memberikan penghematan biaya yang besar kepada konsumen dengan beberapa kompromi yang dapat diterima dalam kualitas, namun, nilai itu dianggap sudah tinggi (Thurasamyet al., 2003). Kesadaran nilai ini terkait dengan harga produk dan sejauh mana konsumen merasakan bahwa nilai produk setara dengan nilai untuk kosumen. Penelitian sebelumnya menguji hubungan antara kesadaran nilai dan pertimbangan etika tetapi tidak menemukan hubungan yang signifikan antara keduanya. Namun demikian, kesadaran nilai merupakan kunci dalam pengambilan keputusan pembelian oleh konsumen (Hartanto, 2012). Dalam hal ini, penelitian akan mengharapkan nilai lebih sadar konsumen untuk memiliki lebih menguntungkan sikap membeli produk bajakan relatif terhadap mereka yang nilai kurang sadar. Dengan demikian hipotesis kedua dapat dinyatakan sebagai: H2:Kesadaran nilai berpengaruh positif terhadap sikap pembelian produk bajakan. d) Integritas (Integrity) Integritas dinyatakan memilikki pengaruh signifikan yang kuat terhadap konsekuensi sosial dari sikap konsumen atas produk tiruan. (Phau dan Teah, 2009). Selain itu jika konsumen memandang integritas sebagai sesuatu yang kritis, maka kesempatan bagi mereka untuk menganggap produk tiruan sebagai sebuah alternatif kecil, akan tetapi jika konsumen tidak 31
Anas Hidayat Ayu Hema Ajeng Diwasasri Kharunisa Amalia Sofia
merasa bahwa integritas itu penting maka mereka tidak akan merasa bersalah untuk menggunakan produk tiruan ( Ang et al., 2001; Wang et al., 2005). Dalam banyak kasus, konsumen lebih cenderung untuk merasionalisasi perilaku mereka yang tidak etis, mengganggap bahwa itu hal yang benar. Oleh karena itu, diharapkan bahwa mereka yang menghargai integritas akan memiliki respon yang kurang signifikan terhadap sikap atas produk bajakan (Thurasamyet al., 2003). Dengan demikian hipotesis ketiga dapat dinyatakan sebagai berikut: H3:Integritas berpengaruh negatif terhadap sikap pembelian produk bajakan. e)
Minat Beli (Intention to Buy)
Menurut Jalal dalam Listyoningrum (2013), minat digambarkan sebagai faktor-faktor motivasional yang mempengaruhi perilaku dan untuk menunjukkan besar usaha yang dikerahkan seseorang untuk bersedia mencoba atau melakukan suatu perilaku. Minat beli timbul setelah adanya proses evaluasi alternatif dan didalam proses evaluasi, seseorang akan membuat suatu rangkaian pilihan mengenai produk yang hendak dibeli atas dasar merek maupun minat. Minat mencerminkan kemauan seseorang untuk melakukan tindakan tertentu. Minat merupakan variabel antara yang menyebabkan perilaku dari beberapa faktor yang mendukungnya. Faktor-faktornya adalah adanya faktor sosial dan karakteristik kepribadian (Kotler, 1997). f)
Sikap terhadap pembelian produk bajakan (Attitude toward pirated products)
Menurut Alam dan Sayuti dalam Setianto (2012), sikap adalah kepercayaan positifatau negatif untuk menampilkan suatu perilaku tertentu. Seorang individu akan berniat untuk menampilkan suatu perilaku tertentu ketika ia menilainya secara positif. Sikap ditentukan oleh kepercayaan-kepercayaan individu mengenai konsekuensi dari menampilkan suatu perilaku (behavioral beliefs), daripada berdasarkan hasil evaluasi terhadap konsekuensinya (outcome evaluation). Menurut Kinnear dan Taylor dalam Listyoningrum (2013), sikap adalah proses yang berorientasikan tindakan, evaluatif, dasar pengetahuan, dan persepsi abadi dari seseorang individu berkenaan dengan suatu obyek atau penemuan. Secara umum, sikap dianggap mempunyai tiga komponen utama yaitu : 1) Komponen Kognitif: Komponen kognitif mengacu pada kesadaran responden dan pengetahuannya terhadap beberapa obyek atau fenomena. 2) Komponen Afektif: Komponen afektif mengacu pada preferensi dan kesenangan responden terhadap obyek atau fenomena. 3) Komponen Perilaku: Komponen perilaku mengacu pada perilaku pembeli yang berupa niat membeli dan membeli. Menurut Suprapti dalam Trisdiarto (2012), sikap merupakan suatu ekspresi perasaaan seseorang yang merefleksikan kesukan atau ketidaksukaannya terhadap suatu obyek. Karena sikap seseorang merupakan hasil dari suatu proses psikologis, maka hal itu tidak dapat diamati secara langsung tetapi harus disimpulkan dari apa yang dikatakan atau dilakukannya. Seperti halnya, terhadap produk bajakan yang banyak beredar saat ini. Dalam konteks produk 32
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Volume 1, Nomor 1, Oktober 2013
bajakan evaluasi konsumen dari produk bajakan tersebut akan mengenal produk, konsumen akan melakukan tahap pembelian, sebaik apa dia menerima persetujuan tentang perilaku tersebut dari kelompoknya. Setelah pembelian produk, konsumen akan mengalami tingkat kepuasan atau ketidakpuasan tertentu. Kepuasan konsumen akan terpenuhi apabila proses penyampaian jasa dari si pemberi jasa kepada konsumen sesuai dengan apa yang dipersepsikan konsumen (Thurasamy et al., 2003). Dengan demikian hipotesis ketiga dapat dinyatakan sebagai berikut: H4: Sikap pembelian produk bajakan berpengaruh positif terhadap minat beli produk bajakan. METODE PENELITIAN Metode penelitian merupakan seluruh rangkaian kegiatan yang akan dilakukan untuk membuktikan atau menyanggah hipotesis yang telah dirumuskan, serta menjawab pertanyaan penelitian seperti yang telah dirumuskan pada rumusan masalah. Untuk menjawab masalah penelitian dan membuktikan hipotesis diperlukan fakta lapangan (data empiris) dari hasil penelitian. KERENTANAN NORMATIF (Normative Susceptibility)
H1 SIKAP
KESADARAN NILAI (Value Consciousness)
MINAT BELI
TERHADAP
H2
PEMBELIAN
H4
PRODUK
PRODUK BAJAKAN
BAJAKAN
H3 INTEGRITAS (Integrity)
Gambar 1 Kerangka Penelitian (Thurasamy, 2003) Populasi penelitian adalah seluruh mahasiswa di daerah Sleman, Yogyakarta. Sedangkan, sampel penelitian adalah mahasiswa Fakultas Ekonomi Universitas Islam Indonesia yang setidaknya pernah menggunakan produk bajakan sepatu Crocs. Penelitian ini melibatkan 200 responden dengan teknik accidental sampling. Metode pengumpulan data menggunakan angket yang disusun menggunakan skala Likert, dengan skor 1 menunjukkan “sangat tidak setuju” dan skor 5 menunjukkan “sangat setuju”. Angket terdiri dari enam bagian, bagian satu berisi pertanyaan mengenai informasi demografi responden, bagian dua memuat pertanyaan mengenai kerentanan normatif, bagian tiga memuat pertanyaan mengenai kesadaran nilai, bagian empat memuat pertanyaan mengenai integritas, bagian lima memuat pertanyaan mengenai sikap terhadap produk bajakan, dan bagian enam memuat pertanyaan mengenai minat beli ptoduk bajakan. Selanjutnya, 33
Anas Hidayat Ayu Hema Ajeng Diwasasri Kharunisa Amalia Sofia
pembahasan analisis hasil penelitian ini dimulai dari analisis kualitatif yang meliputi uji goodness of fit index, analisis Structural Equation Modeling (SEM), dan pengujian hipotesis dengan bantuan program statistik komputer AMOS versi 16.0. HASIL PENELITIAN Analisis measurement model pada dasarnya adalah untuk menguji unidimensionalitas dari indikator-indikator yang menjelaskan sebuah faktor atau sebuah variabel laten. Evaluasi yang dipakai untuk tujuan tersebut adalah melihat nilai t hitung dari parameter dan nilai signifikansinya. Holmes-Smith (2001) menyatakan bahwa pada ! = 0,05 parameter yang memiliki nilai t 1,96 menunjukkan parameter tersebut signifikan atau valid. Disamping itu nilai signifikansi dibawah 0,05 juga menunjukkan parameter tersebut signifikan merupakan unidimensionalitas dari suatu faktor yang diuji. Berdasarkan hasil dari penelitian setelah dilihat dari nilai t dan tingkat signifikan masingmasing indikator semuanya dinyatakan valid. Selain itu, hasil pengujian terhadap goodnes of fit model yang digunakan dalam penelitian diringkas dalam tabel 2, berikut:
Goodness of Fit Chi-Square (!2) Probability RMSEA GFI CMN/DF TLI CFI
Tabel 1: Hasil Goodness of Fit Index Nilai Cut-off Value 438,696 Diharapkan kecil 0,078 " 0,05 0,052 # 0,08 0,920 " 0,90 1,102 # 2,00 0,975 " 0,95 0,994 " 0,95 Sumber: data primer diolah, 2013
Keterangan Baik Baik Baik Baik Baik Baik Baik
Berdasarkan pada Tabel 1 hasil uji normalitas bahwa nilai RMSEA < nilai kritisnya = 0,080, GFI > 0,90, dan TLI dan CFI " 0,90. Hal ini berarti model persamaan structural dalam penelitian ini adalah fit (memiliki kesesuaian). Peneliti menguji validitas setiap observed variable atau indikator dengan pendekatan convergent validity. Validitas konvergen dapat dilihat dari measurement model dengan menentukan apakah setiap indikator yang diestimasi secara valid mengukur dimensi dari konsep yang diujinya. Sebuah indikator menunjukkan validitas konvergen yang signifikan apabila koefisien variabel indikator itu lebih besar dari dua kali standard error-nya (Anderson dan Gerbing, 1988) atau memiliki critical ratio yang lebih besar dari dua kali standard error-nya (Ferdinand, 2002).Kriterianya adalah apabila t value indikator " 1.96 maka indikator tersebut signifikan pada tingkat ! = 0,05 (Holmes, 2001). Selanjutnya, Joreskog dan Sorbom (1996) menambahkan bahwa indeks GFI 0,90 menunjukkan bahwa indikator-indikator yang diukur adalah valid dan merupakan unidimensionalitas dari konstruk yang diuji. Dari semua penghitungan CFA sebagaimana telah diulas pada sub bab penilaian goodness of fit dan modifikasi model tampak bahwa 34
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Volume 1, Nomor 1, Oktober 2013
semua Composite yang diuji yaitu: loyalitas konsumen, sikap pada pembelian produk 0,90. bajakan, kepercayaan konsumen, dan integritas, semuanya memiliki indeks GFI
Tabel 2: Hasil Uji Reliabilitas Item-item Variabel Penelitian Construct Loading Error Loading Error Reliability NS1 Normative_Susceptibility 0.691 0.689 15.984 2.283 0.875 VC1 Value_Consciousness 0.673 0.613 11.323 2.957 0.793 I1 Integrity 0.643 0.559 49.112 5.183 0.905 ATT1 Attitude 0.623 0.450 13.242 1.940 0.872 IB1 Intention_to_Buy 0.593 0.611 17.464 1.286 0.931 Sumber: data primer diolah, 2013 Berdasarkan Tabel 2 tersebut di atas dapat diketahui bahwa nilai korelasi > 0,50, sehingga seluruh pertanyaan dalam kuesioner pada item-item pertanyaan pada variabel kerentanan normatif, nilai kesadaran, dan integritas, sikap pembelian pada produk bajakan, dan minat beli produk bajakanadalah valid. Nilai koefisien Composite Reliability> 0,60 sehingga seluruh pertanyaan dalam kuesioner pada item-item pertanyaan variabel kerentanan normatif, nilai kesadaran, dan integritas, sikap pembelian pada produk bajakan, dan minat beli produk bajakanadalah reliabel. Hasil pengujian terhadap model penelitian dapat digambarkan dalam tabel hasil estimasi Structural Equation Model (SEM)sebagai berikut: Tabel 3: Hasil Estimasi Structural Equation Model (SEM) Hipotesis
Variabel
Koefisien Regresi
Standart Error
H1 H2 H3 H4
NS-ATT VC-ATT I-ATT ATT-I
-0,389 0,055 -4,664 0,290 0,060 3,755 -0,325 0,060 -4,163 0,412 0,100 4,630 Sumber: data primer diolah, 2013
t-hitung
Prob. (!=5%)
Ket.
0,000 0,000 0,000 0,000
Diterima Diterima Diterima Diterima
35
Anas Hidayat Ayu Hema Ajeng Diwasasri Kharunisa Amalia Sofia
Gambar 2: Model Persamaan Struktural Berdasarkan Tabel 3, hasil perhitungan mengindikasikan bahwa nilai probabilitas p=0,000 < 0,05, sehingga semua variabel berpengaruh. Tetapi, 2 berpengaruh negatif dan 2 berpengaruh positif. PEMBAHASAN Hasil uji hipotesis menunjukkan bahwa ada pengaruh negatif dan signifikan antara kerentanan normatif terhadap sikap pada pembelian produk bajakan. Hal ini dapat diartikan, jika semakin tinggi kerentanan normatif, yang berarti semakin tinggi pula keinginan untuk mengesankan orang lain, maka akan semakin rendah kecenderungan seseorang untuk menggunakan produk bajakan. Kerentanan normatif dipengaruhi oleh keputusan pembelian yang tidak didasarkan pada pengetahuan dan informasi cukup yang didapat konsumen, tetapi pada harapan akan apa yang akan mengesankan orang lain. Oleh karena itu, seseorang dengan kerentanan normatif tinggi tidak akan membeli ataupun memakai produk bajakan karena produk bajakan tidak akan mampu mengesankan orang lain.. Lalu, hasil uji hipotesis juga menunjukkan bahwa ada pengaruh positif dan signifikan antara kesadaran nilai terhadap sikap pada pembelian produk bajakan. Hal ini dapat diartikan, jika kesadaran nilai konsumen itu tinggi maka akan semakin baik sikap konsumen terhadap produk bajakan dan pembelian produk bajakan. Kesadaran nilai dapat dipahami dengan kesadaran konsumen akan nilai suatu barang, yakni dimana harga rendah yang dibayarkan konsumen akan setara dengan kualitas rendah yang nantinya didapat. Namun, kualitas dari barang bajakan sudah dianggap cukup tinggi bagi konsumen dan sebanding dengan harga yang dibayarkan. Nilai adalah keyakinan abadi bahwa modus perilaku tertentu atau keadaanakhir eksistensi adalah lebih baik untuk mode yang berlawanan dari perilaku atau end-state 36
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Volume 1, Nomor 1, Oktober 2013
(Rokeach, 1973). Nilai telah terbukti dapat membentuk sikap konsumen dan perilaku dalam berbagai situasi, termasuk pembelian alami makanan, pemberian hadiah, pilihan item fashion dan konsumsi kegiatan olahraga (Kropp et al., 2005). Selanjutnya, hasil uji hipotesis menunjukkan bahwa ada pengaruh negatif dan signifikan antara integritas terhadap sikap pada pembelian produk bajakan. Sesuai dengan hasil uji hipotesis, konsumen yang memiliki integritas tinggi maka akan cenderung menjauhi produk bajakan karena integritas yang tinggi akan membuat konsumen menganggap bahwa pembajakan produk itu hal yang tidak pantas. Penelitian telah menunjukkan bahwa dimana konsumen standar etika yang rendah, mereka cenderung merasa bertanggung jawab untuk pembelian produk bajakan. Dalam kebanyakan kasus, mereka lebih cenderung untuk merasionalisasi perilaku mereka tidak etis. Oleh karena itu, diharapkan bahwa mereka yang menghargai integritas akan memiliki kecenderungan menolak produk bajakan (Thurasamy et al., 2003). Sementara itu, adanya pengaruh positif dan signifikan antara sikap pada pembelian produk bajakan terhadap minat beli konsumen pada produk palsu juga telah dibuktikan dengan hasil uji hipotesis pada penelitian ini. Sehingga apabila individu memiliki sikap yang positif terhadap suatu obyek, ia akan siap membantu, memperhatikan, dan berbuat sesuatu yang menguntungkan obyek itu. Secara logika berpikir bahwa sikap yang baik akan cenderung diikuti dengan minat beli yang tinggi pula. Menurut Hini et al., dalam Trisdiarto (2012), sikap sering diyakini penting untuk pemasaran karena adanya kausal yang diasumsikan dihubungkan antara sikap, niat dan perilaku. Lebih lanjut, sikap positif akan menghasilkan niat yang lebih tinggi untuk melakukan perilaku (Ang et al., 2001), akibatnya, orang bisa berharap bahwa sikap membeli produk bajakan menjadi prediktor niat untuk membeli produk bajakan (Thurasamy et al., 2003). PENUTUP Hasil dari penelitian ini telah membuktikan hipotesis-hipotesis yang telah ditetapkan pada penelitian ini dan juga mendukung hasil bukti dari penelitian sebelumnya. Bahwa, kerentanan normatif, nilai kesadaran, dan integritas adalah aspek dari aspek sosial dan aspek personal yang dapat mempengaruhi sikap pembelian konsumen terhadap sepatu bermerek mewah yang bajakan. Walaupun penelitian ini telah melakukan survey dengan kuesioner namun penelitian ini masih memiliki kelemahan. Selain sampel yang digunakan sedikit, pemilihan tempat dalam menyebarkan kuesioner masih kurang beragam. Mungkin kedepannya jika dilakukan penelitian serupa dapat memilih lokasi pengambilan kuesioner yang lebih beragam (toko-toko yang menjual produk sepatu bermerek mewah tiruan, toko online, penjual personal di pinggir jalan, dsb), sehingga responden yang ditemui dapat lebih bervariasi. Dari hasil penelitian ini, karena semakin banyak dan mudah ditemukan sepatu bermerek mewah tiruan ini dijual dengan bebas, namun ada pula sepatu dengan merek lokal yang kualitasnya tidak kalah bagus atau bahkan lebih bagus yang juga marak beredar. Penulis menyarankan akan lebih baik jika kita memulai menggunakan sepatu dengan merek lokal tanpa harus menggunakan merek mewah namun tiruan. Sehingga perdagangan tas bermerek mewah tiruan ini dapat berkurang dan dapat meningkatkan penjualan produk tas lokal. Dan jika ada penulis baru, agar menggunakan aspek-aspek sosial dan personal yang lebih bervariasi. Tidak hanya membahas tentang kerentanan normatif, nilai kesadaran, dan integritas yang mempengaruhi sikap pembelian konsumen terhadap sepatu bermerek mewah 37
Anas Hidayat Ayu Hema Ajeng Diwasasri Kharunisa Amalia Sofia
yang bajakan. Sehingga, pembaca bisa mendapatkan ilmu tentang sikap produk bahkan secara lebih luas. Disarankan juga untuk praktisi bisnis dan pemasar produk original agar lebih berani untuk berkampanye secara langsung melawan peredaran produk palsu untuk meningkatkan kesadaran konsumen, juga agar pemasar dapat melakukan diferensiasi produk sehingga dapat menyasar segmen yang lebih luas. Di sisi lain, peranan pemerintah Indonesia khususnya, juga sangat penting untuk menekan laju peredaran produk bajakan. Pemerintah diharapkan mampu melaksanakan hukuman yang sesuai dengan peraturan perundangan terhadap pelaku penjual dan pelaku yang memproduksi produk sepatu palsu karena mereka juga tidak membayar pajak dan merugikan perusahaan pembuat produk asli, sehingga perusahaan pembuat produk asli dapat bertahan dan tidak mengalami kebangkrutan. DAFTAR PUSTAKA Anderson, J.C. dan Gerbing, D.W. 1984.The Effect of Sampling Error on Convergentr, Improper Solution, and Goodness of fit Indices for Maximum Likelihood Factor Analysis. Psychometrica, hal.49. Ahira, A. 2012. Fenomena Sandal Crocs. diakses dari http:/www.anneahira.com/sandal_crocs.htm pada tanggal 2/4/2013 pukul 15.00 WIB Ang, S.H., P.S. Cheng, E.A.C. Lim, & S.K. Tambyah. 2001.Spotthe difference: Consumer responses towards counterfeits.Journal of Consumer Marketing, Vol. 18, No.3, hal. 219-233. BLOG detik. 2013. Sejarah Crocs. Diakses dari http://crocsmodelterbaru.blogdetik.com/2013/01/03/sejarah-sandal-crocs/ pada tanggal 2/6/13 pukul 19.00 WIB Check, W. K.dan Easterling, C. R 2008.Fashion Counterfeiting : ConsumerBehavior Issues, Journal of Family and Consumer Sciences :Academic Research Library, Vol. 100, No. 4, hal. 40 Ferdinand A. 2002.Structural Equation Modelling Dalam Peneltian Manajemen. Edisi 2, Seri Pustaka Kunci 03/BP UNDIP Hartanto, P.H. 2012.Pengaruh Etika Konsumen, Risiko Keuangan, Dan Nilai Kesadaran Terhadap Sikap Pada Produk Bajakan Serta Tanggapan Paska Pembelian Produk Bajakan Jeans Wrangler (Skripsi), Yogyakarta, Fakultas Ekonomi Universitas Islam Indonesia, (Tidak Dipublikasikan) Holmes. 2001.The Search for the Secure Base: Attachment Theory and Psychotherapy, First Publish, by Brunner-Routledge, 27 Church Road,Hove, East, Sussex BN3 2FA
38
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Volume 1, Nomor 1, Oktober 2013
Ieya. 2012.Pengertian Sikap. diakses dari http://christyawati.blogspot.com/2012/11/11pengertian-sikap.html pada tanggal 21/5/2013 pukul 21.00 WIB Jalal, A.F.M. 2009.Consumer’s Attitude and Consumption of Fish in Dhaka City : Influence of Perceived Risk, Trust and Knowledge, diperoleh pada 23 Juni 2012 di http://munin.uit.no/bitstream/handle/10037/2472/thesis.pdf?sequence=1. Kotler, P. 1997.Manajemen Pemasaran, Analisis, Implementasi dan Kontrol, Jilid 1 Edisi Bahasa Indonesia, Jakarta: Prenhallindo Kropp, Fredric, Anne M Lavack, David H Silvera. 2005.Values and collective self-esteem as predictors of consumer susceptibility to interpersonal influence among university students. International Marketing Review, Vol.22, No. 1, hal. 7 Lischtenstein, D.R., R. Netemeyer,& S. Burton (1990) Distinguishing Coupon Proness from Value Consciousness; an acquisition-transaction utility theory perspective. Journal of Marketing, Vol. 54(July), hal. 54-67. Listyoningrum, A. 2013. Analisis Minat Beli Konsumen Muslim Terhadap Produk Breadtalk Yang Tidak Diperpanjang Sertifikat Halalnya (Skripsi), Yogyakarta, Fakultas Ekonomi Universitas Islam. Indonesia, (Dipublikasikan) Penz, E., & Stöttinger, B. (2005). Forget the "real" thing-take the copy! An explanatory model for the volitional purchase of counterfeit products. Advances in ConsumerResearch. 32(1). 568-575. Phau, I., and Teah, M. (2009). Devil wears (counterfeit) Prada: a study of antecedents and outcomes of attitudes towards counterfeits of luxury brands. Journal of Consumer Marketing. 26 (1). 15-27. Rahman, A. 2007.Berbagi Ilmu, Cerita, dan Pengalaman . http://safrilblog.wordpress.com/ pada tanggal 10/3/2013 pukul 12.00 WIB
Diakses
dari
Rokeach, M. 1973.The Nature of Human Values. New York: Free Press Setianto, D.B. 2012.PengaruhEtika Konsumen, Risiko Keuangan,Dan Nilai Kesadaran Pada SikapTerhadapProduk Bajakan Dan Minat Beli Konsumen TerhadapProduk Bajakan (Skripsi),Yogyakarta, Fakultas EkonomiUniversitasIslam Indonesia,(Tidak Dipublikasikan) Thurasamy, R., Mohammad, O., Jantan, M., Chow, J. L. W. And Nasirin, S. 2003. Counterfeit Music CDs : Social And Personality Influences, Demographics, Attiudes And Purchase Intention : Some Insights From Malaysia, Journal of Personality and Social Psychology, Vol.51, No.6. 39
Anas Hidayat Ayu Hema Ajeng Diwasasri Kharunisa Amalia Sofia
Tridiastiti, A. 2012.Analisis Pengaruh Kesesuaian Harga-Kualitas, Efek Sosial, Loyalitas Merek, Masalah Etika Terhadap Minat Beli Produk Tas Bermerek Mewah Tiruan Di Yogyakarta (Skripsi), Yogyakarta, Fakultas Ekonomi Universitas Islam. Indonesia, (Tidak Dipublikasikan) Trisdiarto, T.H. 2012.Pengaruh Faktor Sosial Dan Personal Terhadap Sikap Dan Niat Beli Konsumen Untuk Barang Fashion Palsu Di Kota Denpasar Dan Kabupaten Bandung (Tesis), Denpasar, Program Pascasarjana Universitas Udayana, (TidakDipublikasikan) Wang, F., Zhang, H., Zang, H. and Ouyang, M. 2005. Purchasing pirated software: an initial examination of Chinese consumers. Journal of Consumer Marketing. 22 (6). 340-51. (http://wenku.baidu.com/view/64c2f9a9b0717fd5360cdc40.html) Wee, C.-H., Tan, S.-J., & Cheok, K.-H. 1995. Non-price determinants of intention to purchase counterfeit goods. International Marketing Review. 12(6). 19.
40
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Volume 1, Nomor 1, Oktober 2013
Lampiran 1. Variabel Operasional Penelitian Kerentanan Normatif (Normative Suscepbility) 1) Norma atau hukum yang dibentuk. 2) Minimnya kerentanan normatif menjadi tingginya pelanggaran norma. 3) Bertambahnya pembelian pada produk bajakan. 4) Keinginan untuk selalu menjadi pusat perhatian. Kesadaran Nilai (Value Consciousness) 1) Kesadaran akan trend konsumen. 2) Kesadaran perilaku konsumen. 3) Kesadaran konsumen terhadap perbedaan kualitas produk. Integritas (Integrity) 1) Memahami dan mengenali perilaku sesuai kode etik. 2) Melakukan tindakan yang konsisten dengan nilai (values) dan keyakinanya. 3) Bertindak berdasarkan nilai (values) meskipun sulit untuk melakukan itu. 4) Bertindak berdasarkan nilai (values) walaupun ada resiko atau biaya yang cukup besar. Sikap terhadap Pembelian Produk Bajakan (Attitude toward buying pirated product) 1) Pada umumnya membeli produk bajakan adalah pilihan yang baik. 2) Berdasarkan harganya, lebih menyukai produk bajakan. 3) Ketertarikan pada desain produk bajakan. 4) Membeli produk bajakan lebih menguntungkan bagi konsumen. 5) Tidak ada yang salah dari membeli produk bajakan. Minat Beli Produk Bajakan (Intention to Buy) 1) Intensitas membeli produk bajakan. 2) Minat membeli produk bajakan. 3) Mempertimbangkan membeli produk bajakan. 4) Mencari informasi ketika akan membeli produk bajakan.
41
Veronika Agustini Srimulyani Kesia Tripena Hutajulu
DAMPAK SERVANT LEADERSHIP TERHADAP PEMBELAJARAN ORGANISASI DAN KINERJA GURU: STUDI PADA GURU-GURU SMA DAN SMK SE-KOTA MADIUN
Veronika Agustini Srimulyani (
[email protected]) Kesia Tripena Hutajulu Unika Widya Mandala Madiun
Abstract This study aims to examine and analyze the influence of servant leadership to organizational learning and teacher performance, and analyze whether the effect of organizational learning mediate the relationship of servant leadership to teacher performance. The respondent in this study were high school teachers in Madiun, which amounts to 281 people. Research instrument used in testing the validity and reliability. The analysis tool used is simple regression, multiple regression, hypothesis testing device using t test and mediation. Questionnaire as a means of collecting primary data, Likert scale of measurement used by five (5) of alternative answers. Secondary data obtained from institutional documentation. Test results showed that the instrument is valid and reliable research, simple regression produced a positive un-standardized beta for all variables. Hypothesis states that the hypothesis was accepted. The results showed that: (1) servant leadership have positive and significant effect on organizational learning (2) servant leadership have positive and significant effect on teacher performance (3) organizational learning has positive and significant effect on teacher performance (4) Servant leadership had indirect impact on teacher performance with organizational learning as mediating variable. Key Word: Servant Leadership, Organizational Learning, Teacher Performance
PENDAHULUAN Pengelolaan pendidikan atau manajemen sekolah tidak dapat dipisahkan dari model kepemimpinan yang diadopsi kepala sekolah dalam menjalankan perannya sebagai seorang “leader”. Hal ini disebabkan oleh adanya keterikatan yang kuat antara model kepemimpinan (leadership model) yang dipakai oleh kepala sekolah dengan keefektifan secara keseluruhan dari proses pendidikan di sekolah (Glatthorn, 2000). Pendapat ini pada dasarnya berakar pada konsep kepemimpinan pendidikan yang bermuara pada pembentukan dan pengembangan secara menyeluruh potensi manusia (warga sekolah) melalui penggunaan yang efektif akan sumber daya organisasi dan pengetahuan dan ketrampilan kepemimpinan (Weller, 2000). Disamping itu, kekomplekan tantangan-tantangan yang dihadapi oleh sekolah pada saat sekarang ini seiring semakin kompleksnyamasyarakat mengharuskan keberadaan suatu model kepemimpinan yang dapatmembantu sekolah dalam mengembangkan batas-batas dan fungsifungsitradisionalnya (Green, 2001). 42
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Volume 1, Nomor 1, Oktober 2013
Kepemimpinan organisasi sampai saat ini tetap dianggap sebagai faktor yang sangat penting dalam mencapai efektivitas organisasi, demikian halnya dengan organisasi pendidikan. Penelitian tentang kepemimpinan terus berkembang, dan perkembangan terakhir tentang penelitian di bidang praktek kepemimpinan adalah kepemimpinan pelayan (Servant Leadership=SL).Penerapan aplikasi SL meliputi dunia bisnis, pendidikan, dan berbagai yayasan (Greenleaf 1970). Northouse (2001) mengungkapkan bahwa SL kurang dipublikasikan dan diteliti secara empiris. Oleh karena itu penelitian empiris tentang konsep SL perlu dikembangkan. Era kepemimpinan pelayan atau SL saat ini sedang menunjukkan tren meningkat dibandingkan dengan gaya kepemimpinan lainnya. Hal ini didorong oleh globalisasi yang semakin meluas dan membuat para pemimpin, dalam hal ini kepala sekolah dan wakil kepala sekolah, perlu merubah gaya kepemimpinannya. Bentuk kepemimpinan alternatif yang dapat diterapkan di institusi pendidikan adalah servant leadership, dimana ciri menonjol kepemimpinan pelayan ini adalah kepemimpinan yang berorientasi pada manusia. Tulisan dan penelitian tentang apa yang dimaksudkan dengan servant leadership serta karakteristik servant leadership telah banyak ditulis dan diteliti. Beberapa peneliti pun sudah mulai mengembangkan instrumen pengukuran servant leadership. Namun penelitian dan pengukuran servant leadership di Indonesia, terlebih dalam setting institusi pendidikan tingkat menengah, masih sangat jarang. Pada saat ini, sebagian besar dunia pendidikan di Indonesia sedang dalam masa perubahan organisasi. Disamping itu penelitian empiris tentang servant leadership khususnya kepada kepala sekolah menengah atas belum dilakukan secara optimal. Pengujian untuk meningkatkan kepemimpinan yang baik secara empiris sebagai dasar pembinaan kepala sekolah juga masih belum banyak dilakukan. Di lain pihak, tantangan kepemimpinan dalam sekolah dewasa ini adalah memberdayakan semua potensi dan menjadikan sekolah sebagai komunitas pembelajar menuju perubahan-perubahan yang lebih bermakna. Kepemimpinan yang dibutuhkan dalam konteks ini adalah servant leadership. Penelitian sebelumnya (Akhtar et al., 2012) yang berjudul: Impact of Transformational and Servant Leadership on Organizational Performance: A Comparative Analysis menyimpulkan bahwa kepemimpinan transformasional dan kepemimpinan servant memiliki dampak positif signifikan terhadap pembelajaran organisasi, dan pembelajaran organisasi berdampak pada peningkatan kinerja organisasi. Berdasarkan penelitian Marlikan (2011) pembelajaran organisasi berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja karyawan. Penelitian tentang kepemimpinan, saat ini sangat penting dilakukan dalam rangka mencari alternatif bentuk kepemimpinan di sekolah. Dalam rangka pelaksanaan manajemen berbasis sekolah, kepemimpinan di tingkat sekolah, merupakan posisi yang strategis dalam suatu organisasi sekolah. Salah model yang dieksplorasi dalam penelitian ini adalah servant leadership. Ada beberapa perbedaan dalam penelitian ini dengan penelitian terdahulu; 1) indikator pengukuran servant leadership mengacu pada Spears; 2) indikator kinerja guru menggunakan indikator khusus untuk pengukuran kinerja guru. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis pengaruh servant leadership terhadap pembelajaran organisasi serta menguji pengaruh langsung dan tidak langsung servant leadership terhadap kinerja guru dengan pembelajaran organisasi sebegai pemediasi dengan mengambil studi empiris pada guru-guru tetap di SMA dan SMK Negeri dan Swasta di Kota Madiun.
43
Veronika Agustini Srimulyani Kesia Tripena Hutajulu
LANDASAN TEORI DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS
1.
Servant Leadership
Pendidikan merupakan suatu proses dan sistem terbuka yang berperan dalam pembentukan pribadi manusia. Salah satu unsur yang menentukan dalam proses pendidikan khususnya dalam lingkup sekolah, adalah kepemimpinan. Pengelolaan pendidikan atau manajemen sekolah tidak dapat dipisahkan dari model kepemimpinan yang diadopsi kepala sekolah dalam menjalankan perannya sebagai seorang “leader”. Hal ini disebabkan oleh adanya keterikatan yang kuat antara model kepemimpinan (leadership model) yang dipakai oleh kepala sekolah dengan keefektifan secara keseluruhan dari proses pendidikan disekolah (Glatthorn 2000). Brahmasari (2008:132) mengemukakan bahwa semakin baik kepemimpinan yang digunakan pemimpin akan semakin baik pula kinerja karyawan. Kepemimpinan yang diperankan dengan baik oleh seorang pemimpin mampu memotivasi karyawan untuk bekerja lebih baik, hal ini akan membuat karyawan lebih hati-hati berusaha mencapai target yang diharapkan organisasi dan berdampak pada kinerja karyawan. Robert K. Greenleaf, pencetus gerakan modern kepemimpinan pada tahun 1970 dalam esainya menciptakan istilah "pemimpin adalah seorang pelayan". Robert K. Greenleaf memperkenalkan konsep Servant Leadership yang menekankan peran seorang pemimpin sebagai “steward” (pelayan). Konsep servant leaderhip adalah kepemimpinan yang mendorong seseorang untuk melayani orang lain, sementara itu tetap fokus pada upaya untuk mencapai apa yang menjadi tujuan utama (visi dan misi) dari organisasi itu sendiri. Menurut Neuschel (dalam Aorora 2009:9), pemimpin pelayan adalah orang dengan rasa kemanusiaan yang tinggi. Blanchard (dalam Aorora 2009:12) menyatakan tentang tiga aspek kepemimpinan servant, yaitu: hati yang melayani (karakter kepemimpinan), kepala yang melayani (metoda kepemimpinan), dan tangan yang melayani (perilaku kepemimpinan). Spears (2005) menjelaskan 10 karakteristik penting seorang servant leader, yakni listening, empathy (menerima orang lain dan empati), foresight (kemampuan meramalkan), awareness (kesadaran diri), persuasion (membangun kekuatan persuasive), conceptualization (konseptualisasi), healing (kemampuan menyembuhkan), stewardship (kemampuan melayani), commitment to the growth of people (memiliki komitmen pada pertumbuhan manusia), dan community building (membangun komunitas). 2. Pembelajaran Organisasi Pembelajaran organisasi merupakan salah satu sumber penting keuntungan kompetitif yang berkesinambungan yang dimiliki oleh perusahaan (de Geus 1988 dalam Hugo et al. 2009), dan menjadi pengendali penting kinerja perusahaan (Stata 1989 dalam Hugo et al. 2009). Pada lingkungan yang bergejolak tempat organisasi beroperasi, pembelajaran berkesinambungan menjadi pengendali kunci kemampuan perusahaan untuk tetap adaptif dan fleksibel, artinya untuk tetap bertahan dan bersaing secara efektif (Burke dkk. 2006 dalam Hugo et al. 2009). Pembelajaran organisasi didasarkan pada prinsip-prinsip dasar pembelajaran yakni menerima dan mengumpulkan informasi, menginterpretasikannya, dan bertindak berdasarkan 44
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Volume 1, Nomor 1, Oktober 2013
interpretasi dari informasi tersebut (Garvin 2000). Pembelajaran organisasi menyediakan prinsip-prinsip dan dasar-dasar yang memungkinkan organisasi belajar (Cleveland dan Plastrik 1995). Pembelajaran organisasi juga dapat digambarkan sebagai seperangkat perilaku organisasi yang menunjukkan komitmen untuk belajar dan terus melakukan perbaikan. Pembelajaran organisasi merupakan jenis aktivitas dalam organisasi dimana sebuah organisasi belajar (Ortenblad 2001). Pembelajaran organisasi adalah organisasi yang dapat memotivasi orang-orang di dalamnya secara berkelanjutan, meningkatkan kapasitas mencapai apa yang dicita-citakan, mengembangkan pola pikir baru, mengutarakan aspirasi kolektif secara bebas dan para anggota organisasi belajar bersama berkelanjutan (Marlikan 2011). 3. Kinerja (Job Performance) Kinerja (job performance) pegawai dapat diartikan sebagai sejauh mana seseorang melaksanakan tanggung jawab dan tugas kerjanya. Job performance adalah catatan hasil atau keluaran (outcomes) yang dihasilkan dari suatu fungsi pekerjaan atau kegiatan tertentu dalam periode waktu tertentu. Mondy menyatakan kriteria untuk mengukur kinerja adalah kuantitas kerja, kualitas kerja, inisiatif, kemampuan beradaptasi, dan kerjasama (Gomes dalam Murni, 2007). Kinerja adalah suatu hasil kerja yang dicapai seseorang dalam melaksanakan tugas-tugas yang dibebankan kepadanya yang didasarkan atas kecakapan, pengalaman dan kesungguhan serta waktu (Hasibuan dalam Brahmasari dan Suprayetno 2008:128). 4. Hubungan Servant Leadership Terhadap Pembelajaran Organisasi Setiap pengembangan praktek kepemimpinan hendaknya dibarengi dengan pengembangan spiritualitas pemimpin, karena hal ini akan meningkatkan perilaku positif anggota organisasi. Handoyo (2010) dalam penelitiannya yang berjudul: “Pengukuran Servant Leadership sebagai Alternatif Kepemimpinan di Institusi Pendidikan Tinggi pada Masa Perubahan Organisasi”, menyimpulkan bahwa servant leadership dapat menjadi alternatif kepemimpinan di pendidikan tinggi dalam masa perubahan organisasi; semua dimensi dalam servant leadership yang terdiri dari organizational stewardship, wisdom, service, humality, vision, persuasive mapping, altruistic calling dan emotional healing adalah penting untuk diterapkan. Sementara Akhtar et al. (2012) dalam penelitiannya, menemukan bahwa servant leadership berdampak positif dan signifikan terhadap pembelajaran organisasi dan kinerja organisasi. Hasil penelitian lain (Hussain dan Wajib Al. 2012) menemukan bahwa semua dimensi servant leadership (love, empowerment, vision, humality, trust) berdampak positif signifikan terhadap kinerja karyawan. Berdasarkan hasil-hasil riset terdahulu, hipotesis dalam penelitian ini sebagai berikut: H1: Servant leadership berpengaruh positif dan signifikan terhadap pembelajaran organisasi H2: Servant leadership berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja guru 5.
Hubungan Pembelajaran Organisasi Terhadap Kinerja Pegawai
Pembelajaran organisasi adalah proses memperoleh pengetahuan secara individu dan kelompok yang berusaha mengaplikasikannya kedalam pekerjaan mereka dalam membuat keputusan saling mempengaruhi sebagai kapabilitas dinamik sebagai sumber keunggulan bersaing (Khandekar dan Sharma 2006). Kunartinah dan Sukoco (2010) membuktikan bahwa
45
Veronika Agustini Srimulyani Kesia Tripena Hutajulu
pembelajaran organisasi berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja guru. Penelitian lain (Marlikan 2011) menemukan bahwa pembelajaran organisasi berpegaruh positif dan signifikan terhadap kinerja karyawan koperasi Syariah. Berdasarkan hasil-hasil riset terdahulu, hipotesis dalam penelitian ini sebagai berikut: H3: Pembelajaran organisasi berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja guru 6.
Hubungan Servant Leadership terhadap Kinerja Pegawai melalui Pembelajaran Organisasi sebagai Pemediasi
Akhtar et al. (2012) membuktikan bahwa dampak servant leadership berpengaruh terhadap pembelajaran organisasi positif dan signifikan, dan selanjutnya berdampak positif pada kinerja organisasi. Kunartinah dan Sukoco (2010) dan Marlikan (2011) menemukan bahwa pembelajaran organisasi berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja pegawai. Berdasarkan hasil-hasil riset terdahulu, hipotesis dalam penelitian ini sebagai berikut: H4:Servant leadership berpengaruh terhadap kinerja guru dengan pembelajaran organisasi sebagai pemediasi. Berikut ini model penelitian yang diajukan. H1 H1 Servant Leadership
H3 Pembelajaran Organisasi
Kinerja Guru
Gambar 1. Model Penelitian
METODE PENELITIAN 1.
Desain Penelitian
Penelitian ini merupakan explanatory research yang akan membuktikan hubungan kausal antara variabel bebas (independent variable), variabel antara (intervening variable), dan variabel terikat (dependent variable). Desain penelitian ini adalah penelitian kausal (Sekaran, 2007), dimana dalam penelitian ini bertujuan menguji pengaruh servant leadership terhadap pembelajaran organisasi serta menguji pengaruh langsung dan tidak langsung servant leadership terhadap kinerja guru dengan pembelajaran organisasi sebagai pemediasi. Metode penelitian yang digunakan adalah metode survei pada guru-guru SMA dan SMK Negeri dan Swasta se-kota Madiun. 2.
Populasi dan Sampel
Populasi penelitian ini adalah guru-guru yang telah bekerja selama > 5 tahun dan sudah berstatus pegawai negeri sipil (PNS) SMA dan SMK Negeri serta guru tetap SMA dan SMK Swasta se-kota Madiun. Penelitian ini melibatkan 33 obyek yaitu SMA dan SMK Negeri dan Swasta sekota Madiun. Karena jumlah populasi lebih dari 100, maka penelitian yang 46
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Volume 1, Nomor 1, Oktober 2013
digunakan adalah penelitian sampel, dengan jumlah sampel ditentukan sebesar 20% dari jumlah guru setiap sekolah (mengacu Arikunto, 1997). Jumlah sampel guru sebanyak 281 guru. Pengambilan sampel menggunakan metode proportional sampling. 3.
Definisi Operasional Variabel
a. Servant Leadership Servant leadership atau kepemimpinan pelayan adalah suatu kepemimpinan yang berawal dari perasaan tulus yang timbul dari dalam hati yang berkehendak untuk melayani, yaitu untuk menjadi pihak pertama yang melayani (Greenleaf, 1970). Kepemimpinan servant diukur menggunakan 10 indikator dari Spears (2005) yaitu: listening, empathy, foresight, awareness, persuasion, conceptualization, healing, stewardship, commitment to the growth of people, dan community building.
b. Pembelajaran Organisasi Organisasi pembelajar haruslah terus menerus mengembangkan kapasitasnya dalam menciptakan hasil yang ingin dicapai (Senge, 1990). Pengukuran pembelajaran organisasi menggunakan dimensi: keahlian pribadi, berbagi visi, model mental, berpikir sistem, pembelajaran kelompok (Marquardt 1996; Senge 1990). c. Kinerja Guru Menurut Hersey dan Blanchard (2001), kinerja merupakan suatu fungsi dari motivasi dan kemampuan. Untuk menyelesaikan tugas atau pekerjaan, seseorang harus memiliki derajat kesediaan dan tingkat kemampuan tertentu. Kinerja adalah “succesfull role achievement” yang diperoleh seseorang dari perbuatan perbuatannya (As’ad 1991: 46 47) Pengukuran kinerja guru menggunakan dimensi: kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, kompetensi profesional (UU No. 16 th 2007). 4. Teknik Analisis Data a. Uji Kualitas Data Uji kualitas data terdiri dari dua uji, yaitu uji validitas dan uji reliabilitas. b. Analisis Regresi Linier Sederhana dan Berganda Analisis regresi linier sederhana dan berganda digunakan untuk mengetahui arah dan besarnya pengaruh langsung dan tidak langsung variabel bebas (X) terhadap variabel terikat (Y). Persamaan linier regresi yang diuji adalah: PO = β0+ β1SL+ e KG = β0+ β2PO + e KG = β0+β1KS+ β2PO + e Keterangan: PO : Pembelajaran Organisasi β0 : konstanta
KG βi
: Kinerja Guru : koefisien regresi ke i 47
Veronika Agustini Srimulyani Kesia Tripena Hutajulu
KS : Servant Leadership c. Uji Hipotesis Uji hipotesis yang diguanakan uji-t dan analisis jalur (Path Analysis). Alat uji yang digunakan adalah koefisien korelasi parsial (r) atau koefisien regresi linier berganda (β). Koefisien regresi linier berganda merupakan alat uji untuk mengetahui dan mengukur variabel-variabel yang mempunyai keeratan pengaruh terhadap variabel terikat (Y) secara parsial. Pengujian ini menggunakan uji t dengan melihat apakah nilai-nilai koefisien yang diperoleh berbeda secara signifikan atau tidak antara t hitung dan t tabel pada tingkat keyakinan 5% (α=0,05). Untuk uji mediasi, ada tiga kemungkinan uji mediasi, yaitu (1) mediasi terbukti secara penuh (fully mediating), (2) mediasi terbukti secara parsial (partially mediating) dan (3) mediasi tidak terbukti. Baron dan Kenny (1986) menyatakan empat kondisi yang harus terpenuhi untuk menguji efek mediasi yaitu: 1) Variabel independen berpengaruh signifikan terhadap variabel mediasi; 2) Variabel independen berpengaruh signifikan terhadap variabel dependen; 3) Variabel mediasi berpengaruh signifikan terhadap variabel dependen ketika variabel independen dimasukkan dalam persamaan regresi; 4) Jika pengaruh signifikan variabel independen terhadap variabel dependen menjadi tidak signifikan ketika dimasukkan variabel mediasi, maka terjadi mediasi secara penuh (fully mediating), jika tetap signifikan tetapi kekuatannya berkurang, maka terjadi partially mediating. HASIL DAN PEMBAHASAN Berikut adalah rangkuman hasil analisis regresi linier sederhana dan regresi linier berganda serta path analysis. 1. Pengaruh Langsung (Direct Effect) Servant Leadership terhadap Pembelajaran Organisasi dan Kinerja Guru Tabel 1. Ringkasan Hasil Analisis Direct Effect Standardiz ed C.R. Estimate S.E. P Keterangan Coefficient (t-hit) s Beta 0.543 9.563 0.000 PO <--- SL 0.327 0.034 Signifikan KG <--- PO
0.940
0.065
0.697
14.386
0.000
Signifikan
KG <--- SL 0.364 Sumber: Output SPSS
0.049
0.448
7.410
0.000
Signifikan
2. Pengaruh Tidak Langsung (Indirect Effect) Servant Leadership terhadap Kinerja Guru dengam Pembelajaran Organisasi sebagai Variabel Pemediasi Tabel 2 Ringkasan Hasil Analisis Indirect Effect dengan PO sebagai Variabel Kontrol Standardized C.R. Estimate S.E. Coefficients P Keterangan (t-hit) Beta 48
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Volume 1, Nomor 1, Oktober 2013
KG <--- KS KG <--- PO
0.080 0.047
0.098
1.713
0.868 0.077
0.644 11.206
0.08 8 0.00 0
Tidak Signifikan Signifikan
Sumber: Output SPSS Berdasarkan ringkasan tabel 1 dan tabel tabel 2, dapat disimpulkan bahwa ke 4 hipotesis yang diajukan diterima yaitu: 1) servant leadership berpengaruh positif dan signifikan terhadap pembelajaran organisasi; 2) servant leadership berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja guru; 3) pembelajaran organisasi berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja guru); dan 4) servant leadership berpengaruh terhadap kinerja guru dengan pembelajaran organisasi sebagai pemediasi. Untuk menganalisis pengaruh pembelajaran organisasi sebagai pemediasi hubungan servant leadership dengan kinerja guru, berpedoman pada Baron dan Kenny (1986). Dari tabel 1 dan tabel 2 empat kondisi untuk menguji efek mediasi terpenuhi, yaitu: 1) Variabel independen (servant leadership) berpengaruh signifikan terhadap variabel mediasi (pembelajaran organisasi); 2)Variabel independen (servant leadership) berpengaruh signifikan terhadap variabel dependen (kinerja guru); 3)Variabel mediasi (pembelajaran organisasi) berpengaruh signifikan terhadap variabel dependen ketika variabel independen (kinerja guru) dimasukkan dalam persamaan regresi; 4) Pembelajaran organisasi memediasi secara penuh (fully mediating), karena pengaruh servant leadership terhadap kinerja guru menjadi tidak signifikan ketika dimasukkan variabel mediasi (pembelajaran organisasi). a. Dampak Servant Leadership terhadap Pembelajaran Organisasi dan Kinerja Guru Servant leadership yang diukur dengan 10 indikator dari Spears (2005) yaitu: listening, empathy, foresight, awareness, persuasion, conceptualization, healing, stewardship, commitment to the growth of people, dan community building adalah contoh perilaku kepemimpinan yang diperlukan dalam pengembangan pembelajaran organisasi. Servant leadership adalah kepemimpinan yang mendorong seseorang untuk melayani orang lain yaitu berfokus pada kepentingan karyawan atau sumber daya manusia, dan tetap fokus pada upaya untuk mencapai apa yang menjadi tujuan utama (visi dan misi) dari organisasi; sedangkan kepemimpinan transformasional berfokus pada pencapaian visi organisasi dan tujuan organisasi dengan membangun komitmen bawahan ke arah hasil organisasi. Temuan penelitian ini membuktikan bahwa servant leadership berpengaruh positif dan signifikan terhadap pembelajaran organisasi dari para guru. Hasil penelitian ini selain mendukung penelitian-penelitian terdahulu, juga memberikan wacana baru bagi pengembangan praktek kepemimpinan di lembaga pendidikan, selain tingkat perguruan tinggi, dimana dalam lembaga pendidikan di tingkat SMA dan SMK, servant leadership berdampak positif terhadap kinerja para guru dengan pembelajaran organisasi sebagai pemediasi. Dalam penelitian ini, kepemimpinan servant diukur dengan 10 indikator servant leadership dari Spears, sedangkan kinerja guru diukur dengan berdasarkan dimensi: kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, kompetensi profesional (UU No. 16 th 2007).
49
Veronika Agustini Srimulyani Kesia Tripena Hutajulu
b. Dampak Servant Leadership terhadap Kinerja Guru melalui Pembelajaran Organisasi sebagai Pemediasi Setiap pengembangan praktek kepemimpinan hendaknya dibarengi dengan pengembangan spiritualitas pemimpin, karena hal ini akan meningkatkan perilaku kepemimpinan servant, yang pada gilirannya akan berdampak pada peningkatan kinerja. Handoyo (2010) dalam penelitiannya yang berjudul: “Pengukuran Servant Leadership sebagai Alternatif Kepemimpinan di Institusi Pendidikan Tinggi pada Masa Perubahan Organisasi”, menyimpulkan bahwa servant leadership dapat menjadi alternatif kepemimpinan di pendidikan tinggi dalam masa perubahan organisasi; semua dimensi dalam servant leadership yang terdiri dari organizational stewardship, wisdom, service, humality, vision, persuasive mapping, altruistic calling dan emotional healing adalah penting untuk diterapkan. Sementara Akhtar et al., (2012) dalam penelitiannya, menemukan bahwa servant leadership berdampak positif terhadap kinerja organisasi melalui pembelajaran organisasi sebagai pemediasi. Hasil penelitian lain (Hussain dan Wajib Al., 2012) menemukan bahwa semua dimensi servant leadership (love, empowerment, vision, humality, trust) berdampak positif signifikan terhadap kinerja karyawan. Pemimpin servant dengan 10 karakteristik yang dikembangkan Spears (listening, empathy, foresight, awareness, persuasion, conceptualization, healing, stewardship, commitment to the growth of people, dan community building) terbukti dampaknya terhadap pembelajaran organisasi dan pada akhirnya berdampak positif terhadap kinerja para guru itu sendiri. Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut: karakteristik servant leadership adalah kepemimpinan yang mendorong seseorang untuk melayani orang lain yaitu berfokus pada kepentingan karyawan atau sumber daya manusia, dan tetap fokus pada upaya untuk mencapai apa yang menjadi tujuan utama (visi dan misi) dari organisasi, sehingga servant leadership berdampak signifikan terhadap pembelajaran organisasi dan kinerja pegawai. Jika dikaitkan dengan teori perilaku kepemimpinan yang efektif baik dari hasil studi Ohio State University dan Michigan University, bahwa kepemimpinan yang efektif adalah pemimpin mampu menunjukkan perilaku yang berorientasi tugas, berorientasi hubungan dan perubahan adalah tinggi, atau dikenal dengan istilah high-high leader (Yukl, 2005). Karakteristik high-high leader terdapat pada servant leadership. SIMPULAN Berdasarkan hasil pengujian hipotesis, disimpulkan bahwa:1)kepemimpinan servant berpengaruh positif dan signifikan terhadap pembelajaran organisasi;2) kepemimpinan servant berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja guru;3) pembelajaran organisasi berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja guru; 4)pembelajaran organisasi memediasi secara penuh hubungan servant leadership dengan kinerja guru. Temuan penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan bagi penelitian lain yang mengkaji praktek kepemimpinan di Indonesia khususnya, karena kajian khususnya servant leadership masih sedikit. Oleh karena itu untuk pengembangan riset serupa, dapat ditambahkan beberapa variabel penelitian yang dipengaruhi praktek servant leadership, seperti: komitmen organisasional (Cerit, 2010); kepuasan kerja (West et al., 2008); dan OCB (Srimulyani, 2012; Bambale et al., 2012).
50
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Volume 1, Nomor 1, Oktober 2013
DAFTAR REFERENSI Akhtar S, Azeem, et al 2012, ‘Impact of Transformational and Servant Leadership on Organizational Performance: A Comparative Analysis’, Actual Problems Economics 2/4: 309-315. Aorora, Dewi. 2009. ‘Model Kepemimpinan Servant Leadership pada Institut Pertanian Bogor’, Skripsi pada Departemen Manajemen, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Arikunto, Suharsimi. 2003, Manajemen Penelitian, Rineka Cipta, Jakarta As’ad,Moh.1991. Psikologi Industri.Edisi 4. Yogyakarta:Liberty Baron, R. M., Kenny, D. A. 1986. The Moderator-mediator variable distinction in social psychological research: conceptual, strategic, and statistical considerations. Journal of Personality and Social Psychology, 51/6: 1173-1182. Bambale, Abdu Ja’afaru, Faridahwati MS., Chandrakantan. 2012. Servant Leadership as Employee-Organization Approach for Performance of Employee Citizenship Behaviors in the Nigeria’s Electric Power Sector. Journal of Marketing and Management, 3/1 : 1-21. Brahmasari, I. dan Suprayetno, A. 2008. Pengaruh Motivasi Kerja, Kepemimpinan, dan Budaya Organisasi Terhadap Kepuasan Kerja Karyawan Serta Dampaknya Pada Kinerja Perusahaan. Jurnal Manajemen dan Kewirausahaan 10/ 2: 124-135. Cerit, Yusuf. 2010. The Effects of Servant Leadership on Teachers’ Organizational Commitment in Primary Schools in Turkey. Int. J. Leadership in Education, July-September, Vol. 13 (3), hal: 301-317. Cleveland, J., and P., Plastrik, 1995. Learning Organization and TQM. In A.M. Hoffman and D.J. Julius (Eds), Total Quality Management: Implications for Higher Education, Maryville, MO: 233- 243. Garvin, David, 2000. Learning in Action: A Guide to Putting the Learning Organization to Work. Boston: Harvard Business School Press. Glatthorn, A. A. 2000. The Principal as Curriculum Leader: Shaping What is Taught and Tested. Thousand Oaks, California: Corwin Press, Inc Green, R.L. 2001. Practicing the Art of Leadership: A Problem-based Approach to Implementing The ISLLC Standards. Columbus, Ohio: Merrill Prentice Hall. Greenleaf, R.K. 1970. The Servant as Leader. Indianapolis: The Robert K. Greenleaf Center: 1-37. Handoyo, Seger. 2010. Pengukuran Servant Leadership sebagai Alternatif Kepemimpinan di Institusi Pendidikan Tinggi pada Masa Perubahan. Makara of Social Sciences and Humanities Series 14/2: 130-140.
51
Veronika Agustini Srimulyani Kesia Tripena Hutajulu
Hersey,Paul dan Blanchard, Kenneth H. 2001. Management of Organization Behavior. Prentice-Hall, New Jersey.
Hugo Zagorsek, Vlado Dimovski, Miha Skerlavaj. 2009. Transactional and Transformational Leadership Impacts on Organizational Learning. JEEMS 2. Hussain,Tajammal dan Wajib Al. 2012. Effects Of Servant Leadership on Followers’ Job Performance. Sci., Tech. And Dev 31/4: 359-368. http://www.pcst.org.pk/journal/JN/2012/ Khandekar, A., and A., Sharma. 2006. Organizational Learning and Performmance: Understanding Indian Scenario in Present Global Context, Education & Training 48/(8/9): 682-293. Kunartinah dan Fajar Sukoco. 2010. Pengaruh Pendidikan dan Pelatihan, Pembelajaran Organisasi terhadap Kinerja dengan Kompetensi sebagai Mediasi. Jurnal Bisnis dan Ekonomi (JBE) 17/1: 74 - 84 Marquardt, M.J. 1996. Building the Learning Comapanies, Inc.
Organization. New York: McGraw-Hill
Marlikan, Muchni. 2011. Pengaruh Pembelajaran Organisasi dan Motivasi Kerja terhadap Kinerja Karyawan Koperasi Syariah.Jurnal Manajemen Bisnis 1/1. Murni N. I. H. L. 2007. Hubungan antara Gaya Kepemimpinan dan Kompensasi terhaap Kinerja Karyawan PT. Imawi Benjaya (Tupperware Indonesia) di Jakarta. Jurnal Manajemen Publik dan Bisnis. Northouse.G Peter. 2001. Leadership: Theory and Practice. London :Sage Publiscations. Ortenblad, A. 2001. On Differences between Organizational Learning and Learning Organization, The Learning Organization, Vol.8, No.3. Sekaran, Uma. 2007. Research Methods for Business. Buku 1. Jakarta: Penerbit Salemba Empat. Senge, P.M. 1990. The Leader’s New York: Building Learning Organizations, Sloan Management Review: 32. Spears, Larry C. 2005. The Understanding and Practice of Servant Leadership. Servant Leadership Research Roundtable. Published by the School of Global Leadership & Entrepreneurship, Regent University. Srimulyani, Veronika Agustini. 2012. Anteseden Organizational Citizenship Behavior: Studi Pada Guru-guru SMA di Kota Madiun. Jurnal Widya Warta 1/ Tahun XXXVI.
52
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Volume 1, Nomor 1, Oktober 2013
Srimulyani, Veronika Agustini. 2011, What is Servant Leadership?, diunduh 22 September 2012 http://portal.widyamandala.ac.id/jurnal/index.php/krida/article/view/23/pdf UU No. 16 th 2007.
Weller, L. D, Jr and Weller, S. (2000). Quality Human Resources Leadership: A Principal's Handbook. Maryland: The Scarecrow Press, Inc West, G.R. Bud, dan Mihai Bocarnea. 2008. Servant Leadership and Organizational Outcomes: Relationships in United States and Filipino Higher Educational Settings.Published by the School of Global Leadership & Entrepreneurship, Regent University. Yukl, Gary. 2005. Leadership in Organization. Prentice Hall, Inc.
53
Farida Titik Kristanti Fitrianingsih
THE EFFECT OF PROFITABILITY AND INVESTMENT OPPORTUNITY SET ON CASH DIVIDEND WITH LIQUIDITY AS MODERATE VARIABLES (Studied at Kompas 100 that listed on JSX in 2008-2012 period) Farida Titik Kristanti (
[email protected]) Fitrianingsih (
[email protected]) Telkom Business School, Telkom University
Abstract Dividend policy is profits which will be distributed to shareholders as dividends and/or retained earnings that will be retained as financing for investments in the future. There are many factors that influenced dividen policy, such as, profitability, cash flow, price earning ratio, leverage, inventory turnover, etc. This study aimed to determine the influence of profitability and the investment opportunity set to the cash dividend policy with liquidity as a moderating variabel. The object of the research is emiten of Kompas 100 that listed on the Indonesian Stock Exchange in 2008-2012 period. The selection of the sample using Purposive sampling method that samples were obtained by 10 companies. Analytical methods used to test the hypothesis is Moderated Regression Analysis (MRA).Results of this study showed that the profitability and the investment opportunity set simultaneously significant effect on dividend policy with liquidity as a moderating variable. Regression coefficient indicates that 25.6% of the independent variables explain the dependent variable, the remaining 74.4% is explained by other variables. Partially profitability have no significant effect to the dividend policy with the positive direction, while investment opportunity set have significant influence to the cash dividen policy with a negative direction. The Liquidity able to moderate the relationship of profitability to the cash dividend policy with a negative direction, while the investment opportunit set can be moderated by liquidity to the dividend policy with a positive direction. Keyword : Dividend Policy, Liquidity, Profitability, and Set Investment Opportunities PENDAHULUAN Indeks Kompas 100 diterbitkan di Bursa Efek Indonesia dengan tujuan utama untuk menyebarluaskan informasi pasar modal serta menggairahkan masyarakat untuk mengambil manfaat dari keberadaan BEI, baik untuk investasi maupun mencari pendanaan bagi perusahaan dalam mengembangkan perekonomian nasional. Saham-saham yang terpilih untuk dimasukkan dalam indeks Kompas 100 ini selain memiliki likuiditas yang tinggi, serta nilai kapitalisasi pasar yang besar, juga merupakan saham-saham yang memiliki fundamental dan kinerja yang baik. Kompas 100 telah menunjukkan kinerja yang cukup mengesankan meski baru diluncurkan (10 agustus 2007), data per 9 November 2007 atau tiga bulan setelah indeks Kompas 100 diluncurkan, mencatat kenaikan sebesar 26,4 persen bila dibandingkan dengan IHSG BEI yang hanya 20 persen. Kompas 100 memuat 100 saham blue chips yaitu saham yang memiliki kinerja keuangan yang sehat (www.kompas.com). Kebijakan dividen merupakan suatu kebijakan dari manajemen perusahaan dalam penetapan laba yang tersedia untuk dibayarkan kepada para pemegang saham dalam bentuk dividen atau laba yang di tahan. Jika manajemen memutuskan untuk membayar dividen maka jumlah laba 54
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Volume 1, Nomor 1, Oktober 2013
di tahan menjadi berkurang, sehingga sumber pendanaan internal juga akan berkurang. Jika manajemen memutuskan tidak membayar dividen, maka pendanaan dari sumber dana internal akan meningkat. Kemampuan menghimpun pendanaan internal akan semakin memperkuat posisi ekuitas pemilik dikarenakan semakin kecil ketergantungan perusahaan pada sumber pendanaan eksternal (Darminto 2008). Pihak yang berkepentingan dalam keputusan kebijakan dividen adalah pemegang saham sebagai pemilik perusahaan yang selanjutnya disebut principal dan pihak manajemen sebagai pihak yang diberi kepercayaan pemegang saham untuk mengelola perusahaan yang selanjutnya disebut agent. Konflik kepentingan muncul dari hubungan antara principal dan agent. Para manajer sering kali tergoda untuk meningkatkan kesejahteraannya sendiri dan bukan memaksimumkan kemakmuran shareholder dalam menjalankan operasi perusahaan. Umumnya pihak manajemen menahan kas untuk melunasi hutang atau meningkatkan investasi yang dapat memberikan pengembalian berupa cash inflow bagi perusahaan. Di sisi lain, pemegang saham mengharapkan dividen kas dalam jumlah relatif besar karena ingin menikmati hasil investasi pada saham perusahaan (Suharli 2007). Salah satu perusahaan yang mengalami konflik kepentingan adalah perusahaan Apple. Chief Executive Officer Apple Inc, Tim Cook mengatakan Apple sedang melanjutkan diskusi aktif mengenai apa yang akan dilakukan dengan 97,6 miliar dollar dalam kas dan investasi. Beberapa investor meminta Apple untuk mengembalikan dana tunai kepada investor dalam bentuk dividen tunai atau pengembalian kembali saham karena Apple sudah tidak membagikan dividen sejak tahun 1995. Pada saat itu sang pendiri Steve Jobs sebagai CEO menolak untuk membagikan dividen tunai kepada para investor. Hal ini dikarenakan laba perusahaan yang ada digunakan untuk investasi kedalam pengenalan produk iPod, iPhone, dan iPad telah mengambalikan perusahaan sebagai mesin profit (Suryanto 2012). Hal ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh (Suharli 2007), perusahaan yang memiliki profitabilitas yang tinggi cenderung membagikan dividen lebih banyak kepada para pemegang saham untuk meningkatkan kemakmuran pemegang saham sehingga dapat meningkatkan nilai perusahaan. Peristiwa yang terjadi pada perusahaan Apple berbeda dengan Perusahaan PT. Adaro Energy Tbk yang membagikan dividen tunai senilai Rp 970,77 miliar atau 43,98% dari total laba bersih perseroan per Desember 2010 yang nilainya mencapai Rp 2,2 triliun. Sekretaris Perusahaan Adaro, Devindra Ratzarwin mengatakan dividen ini merupakan yang terbesar terhitung sejak perseroan mencatatkan sahamnya di bursa. Sebagian dividen tersebut telah dibayarkan pada Desember 2010 sebagai dividen interm sebesar Rp 315,06 miliar. Sisanya sebesar Rp 655,71 miliar akan digunakan untuk pembayaran dividen final dan Rp 1,13 triliun sisa laba bersih dimasukkan sebagai laba di tahan (Adminkepri 2011). Hal ini berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh (Suharli 2007), perusahaan yang memilih menggunakan laba yang tersedia sebagai laba di tahan cenderung membagikan dividen yang relatif kecil. Dalam hubungannya dengan pendapatan dividen, para investor umumnya menginginkan pembagian dividen yang relatif stabil dan dalam bentuk tunai. Hal ini dapat meningkatkan kepercayaan investor terhadap perusahaan sehingga mengurangi ketidakpastian investor dalam menanamkan dananya kedalam perusahaan. Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kebijakan dividen, yaitu: free cash flow, profitabilitas, likuiditas, dan leverage (Arilaha 2009); EPS, PER, CR, DER, NPM, ITO, ROI (Fahrurrozi 2007); sedangkan menurut Ahmad (2009), faktor yang mempengaruhi kebijakan
55
Farida Titik Kristanti Fitrianingsih
dividen adalah profitabilitas dan set kesempatan investasi yang diperkuat oleh likuiditas. Hal ini juga didukung oleh penelitian Suharli (2007) yang menyatakan bahwa kebijakan dividen tunai dipengaruhi oleh profitabilitas dan set kesempatan investasi yang diperkuat oleh likuiditas perusahaan. Pihak menajemen akan membayarkan dividen untuk memberi sinyal mengenai keberhasilan perusahaan dalam menghasilkan profit (Wirjolukito et.al, 2003). Profitabilitas mutlak diperlukan untuk perusahaan apabila hendak membayarkan dividen (Suharli, 2007). Menurut Arifin (2005), Rasio profitabilitas digunakan untuk mengukur seberapa besar kemampuan perusahaan memperoleh laba dalam hubungan dengan penjualan, aktiva, maupun laba dan modal sendiri. Ada dua (2) rasio yang digunakan untuk mengukur profitabilitas, yaitu: Return on Investment (ROI) yang merupakan tingkat pengembalian investasi atas investasi pada aktiva dan Return on Equity (ROE) yang merupakan tingkat pengembalian atas ekuitas pemilik perusahaan.(Suharli 2007). Penelitian ini menggunakan proksi ROI sebagai ukuran profitabilitas perusahaan. Pertimbangan utama menggunakan proksi ROI karena hasil yang didapat lebih menggambarkan profitabilitas. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Arilaha (2009) menyatakan bahwa profitabilitas berpengaruh positif terhadap kebijakan dividen tunai. Investment Opportunity Set (IOS) diperkenalkan pertama kali oleh Myers pada tahun 1977 . IOS merupakan nilai perusahaan yang besarnya tergantung pada pengeluaran-pengeluaran yang ditetapkan manajemen di masa yang akan datang, yang pada saat ini merupakan pilihanpilihan investasi yang diharapkan akan menghasilkan return yang lebih besar. Perusahaan menyukai pembiayaan internal yaitu laba ditahan daripada pembiayaan eksternal untuk membiayai kesempatan investasinya karena lebih efisien. Perusahaan yang sedang mengalami pertumbuhan akan membutuhkan banyak dana sehingga kebijakan dividen akan terpengaruh. Semakin cepat tingkat pertumbuhan perusahaan makin besar dana yang dibutuhkan, makin besar kesempatan untuk memperoleh keuntungan, makin besar return earning dalam perusahaan yang berarti makin rendah dividen payout ratio. Proksi yang digunakan dalam penelitian ini untuk set kesempatan investasi adalah market to book value of assets (MBVA). Penelitian Wirjolukito et al. (2003); Sudaryanti (2009); Marpaung dan Hadianto (2009) yang mengukur pemanfaatan kesempatan investasi dengan peningkatan aktiva tetap bersih menemukan bahwa pengaruh variabel peluang investasi kepada kebijakan dividen bernilai positif. Hasil penelitian ini mengindikasikan bahwa perusahaan di Indonesia yang menjadi sampel di dalam penelitian tentang dividen cenderung menggunakan kebijakan dividen untuk memberikan sinyal atas arus kas di masa yang akan datang dan menggunakan arus kas tersebut untuk mendanai investasi yang menguntungkan di masa yang akan datang. Dividen dibayar dengan kas sehingga kemampuan membayar dividen sangat ditentukan oleh posisi likuiditas perusahaan. Likuiditas perusahaan adalah salah satu fator penting dalam keputusan dividen, semakin besar posisi kas dan likuiditas menyeluruh dari perusahaan maka semakin besar pula kemampuan untuk membayar dividen. Likuiditas sebagai variabel moderator dalam penelitian ini diproksikan oleh current ratio (CR). Likuiditas dapat diartikan sebagai kemampuan suatu perusahaan memenuhi kewajiban-kewajiban keuangannya dalam jangka pendek atau yang harus segera dibayar. Pemilihan likuiditas sebagai variabel penguat karena pada perusahaan yang memiliki profitabilitas tinggi ditambah likuiditas yang lebih baik, maka semakin besar jumlah dividen yang dibagikan sehingga dapat meningkatkan kepercayaan investor terhadap perusahaan dan mengurangi ketidakpastian investor dalam menanamkan dananya ke dalam perusahaan.
56
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Volume 1, Nomor 1, Oktober 2013
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka dapat diidentifikasikan permasalahan sebagai berikut: 1. Bagaimana pengaruh profitabilitas terhadap kebijakan dividen tunai? 2. Bagaimana pengaruh secara set kesempatan investasi terhadap kebijakan dividen tunai? 3. Bagaimana pengaruh profitabilitas terhadap kebijakan dividen tunai dengan likuiditas sebagai variabel penguat? 4. Bagaimana pengaruh set kesempatan investasi terhadap kebijakan dividen tunai dengan likuiditas sebagai variabel penguat? Berdasarkan permasalah tersebut, maka dalam penelitian ini penulis bertujuan ingin menguji pengaruh profitabilitas dan set kesempatan investasi terhadap kebijakan jumlah dividen perusahaan pada Kompas 100 dengan likuiditas sebagai variabel penguat (variabel moderator). Profitabilitas diukur dengan return on investment (ROI), kesempatan investasi diproksikan oleh market to book value of assets (MBVA), kebijakan dividen tunai diproksikan dengan dividen payout ratio dan likuiditas sebagai variabel moderat diproksikan oleh current ratio di Bursa Efek Indonesia. LANDASAN TEORI DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS Dividen Dividen adalah sumber aliran kas perusahaan yang memberikan informasi tentang kinerja perusahaan saat ini maupun yang akan datang. Dividen adalah pembagian kepada pemegang saham dari suatu perusahaan secara proporsional sesuai dengan jumlah lembar saham yang dipegang oleh masing-masing pemiliknya (Stice et al. 2005:902). Menurut Warsono (2003:275), Indikator untuk mengukur kebijakan dividen yang secara luas digunakan ada dua macam, yaitu: 1. Hasil Dividen (Dividend Yield), yaitu suatu rasio yang menghubungkan dividen yang dibayar dengan harga saham biasa. 2. Rasio Pembayaran Dividen (Dividend Payout Ratio/DPR), yaitu merupakan rasio hasil perbandingan antara dividen dengan laba yang tersedia bagi para pemegang saham biasa. Ada banyak factor yang mempengaruhi kebijakan dividen di perusahaan. Faktor-faktor dapat disebutkan antara lain adalah Dividen Stabil, Perjanjian Hutang, Pembatasan dari Saham Preferen, Tersedianya Kas, Pengendalian, Kebutuhan Dana untuk Investasi, Fluktuasi Laba (Atmaja 2008). Ada banyak teori tentang kebijakan dividen. Dalam Atmaja (2008) disebutkan: 1. Irrelevance theory. Teori ini menyatakan bahwa kebijakan dividen tidak mempunyai pengaruh baik terhadap nilai perusahaan maupun terhadap biaya modalnya. Menurut teori yang diperkenalkan oleh Modligiani dan Miller ini, kebijakan dividen tidak mempengaruhi harga saham ataupun cost of capital perusahaan. 2. Bird-in-the-hand theory. Teori yang dikemukakan oleh Gordon bahwa pendapatan dividen (a bird in-the hand) mempunyai nilai yang lebih tinggi bagi investor daripada pendapatan modal (a bird in-the bush) karena dividen lebih pasti dari pendapatan modal. 3. Tax preference theory. Teori ini diajukan oleh Litzenberger dan Ramaswamy. Mereka menyatakan bahwa karena adanya pajak terhadap keuntungan dividen dan capital gain, para investor lebih menyukai capital gain karena dapat menunda pembayaran pajak. Oleh
57
Farida Titik Kristanti Fitrianingsih
4.
5.
6.
7.
karena itu, investor mensyaratkan suatu tingkat keuntungan yang lebih tinggi pada saham yang memberikan dividend yield tinggi dengan capital gains yield rendah daripada saham yang dividend yield rendah dengan capital gains yield tinggi. Signalling theory. Miller dan Modigliani (1961) berpendapat bahwa suatu kenaikan dividen yang diatas biasanya merupakan suatu “sinyal” kepada para investor bahwa manajemen perusahaan meramalkan suatu penghasilan yang baik di masa mendatang. Sebaliknya, suatu penurunan dividen atau kenaikan dividen yang di bawah kenaikan normal biasanya diyakini investor sebagai suatu sinyal bahwa perusahaan menghadapi masa sulit di waktu mendatang. Teori “Clientele Effect”. Teori ini menyatakan bahwa kelompok (clientele) pemegang saham yang berbeda akan memiliki preferensi yang berbeda terhadap kebijakan dividen perusahaan. Kelompok pemegang saham yang membutuhkan penghasilan pada saat ini lebih menyukai suatu dividend payout ratio yang tinggi. Sebaliknya kelompok pemegang saham yang tidak begitu membutuhkan uang saat ini lebih senang jika perusahaan menahan sebagian besar laba bersih perusahaan. Residual Theory of Dividends. Menurut teori dividen residual, perusahaan menetapkan kebijakan dividen setelah semua investasi yang menguntungkan habis dibiayai. Dengan kata lain, dividen yang dibayarkan merupakan sisa(residual) setelah semua usulan investasi yang menguntungkan habis dibiayai. Teori Keagenan (Agency Theory). Paper mengenai penerapan teori keagenan diajukan oleh Michael C. Jensen dan William H. Mecking. Hubungan keagenan atau agency relationship muncul ketika satu atau lebih individu (majikan) menggaji individu lain (agen atau karyawan) untuk bertindak atas namanya, mendelegasikan kekuasaan untuk membuat keputusan kepada agen atau karyawannya. Dalam konteks manajemen, hubungan ini muncul antara: (1) pemegang saham (shareholders) dengan para manajer, serta (2) shareholders dengan kreditor (bondholders atau pemegang obligasi).
Profitabilitas Rasio profitabilitas menurut Brigham dan Houston (2006:107) terjemahan Yulianto adalah sekelompok rasio yang menunjukkan gabungan efek-efek dari likuiditas, manajemen aktiva, dan utang pada hasil-hasil operasi. Raharjaputra (2009:205) menyatakan bahwa rasio profitabilitas adalah rasio yang mengukur kemampuan para eksekutif perusahaan dalam menciptakan tingkat keuntungan baik dalam bentuk laba perusahaan maupun nilai ekonomis atas penjualan, aset bersih perusahaan maupun modal sendiri, Rasio ini lebih diminati oleh para pemegang saham dan manajemen perusahaan sebagai salah satu alat keputusan investasi, apakah investasi bisnis ini akan dikembangkan, dipertahankan dan sebagainya. Sama halnya dengan Fahmi (2011:135) yang mendefinisikan bahwa rasio ini mengukur efektifitas manajemen secara keseluruhan yang ditujukan oleh besar kecilnya tingkat keuntungan yang diperoleh dalam hubungannya dengan penjualan maupun investasi. Rasio profitabilitas secara umum ada empat, yaitu gross profit margin, net profit margin, return on investment (ROI), dan return on equity (ROE). Secara umum yang dipakai dalam pengukuran dari rasio profitabilitas atau rentabilitas adalah Return on Invesment (ROI) karena dapat mengukur kemampuan perusahaan secara keseluruhan di dalam menghasilkan keuntungan dengan jumlah keseluruhan aktiva yang tersedia di dalam perusahaan. Semakin tinggi tinggi rasio ini, semakin baik keadaan suatu perusahaan.
58
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Volume 1, Nomor 1, Oktober 2013
Set Kesempatan Investasi (Investment Investment Opportunity/IOS) Istilah IOS pertama kali diperkenalkan oleh Myers (1977) yang menguraikan perusahaan sebagai suatu kombinasi antara aktiva riil (assets in place) dan opsi investasi di masa depan. Menurut Hartono (2003:58), kesempatan Investasi atau Investment Opportunity Set (IOS) menggambarkan tentang luasnya kesempatan atau peluang investasi bagi suatu perusahaan. IOS merupakan nilai perusahaan yang besarnya tergantung pada pengeluaran-pengeluaran yang ditetapkan manajemen di masa yang akan datang. Bagi perusahaan yang tidak dapat menggunakan kesempatan investasi tersebut akan mengalami suatu pengeluaran yang lebih tinggi dibandingkan dengan nilai kesempatan yang hilang (Ahmad, 2009). Set kesempatan investasi merupakan variabel yang tidak dapat diobservasi (variabel laten), sehingga diperlakukan proksi. Menurut Pagalung (2003) dalam Wardani dan Siregar (2009), proksi set kesempatan investasi dapat diklasifikasikan ke dalam empat tipe, yaitu: a. Proksi Berdasarkan Harga (Price-Based Proxies) Proksi ini didasarkan atas suatu ide bahwa prospek pertumbuhan perusahaan secara parsial dinyatakan dalam harga-harga saham, dan perusahaan yang tumbuh akan memiliki nilai pasar yang lebih tinggi secara relatif untuk aktiva-aktiva yang dimiliki. b. Proksi Berdasarkan Investasi (Investment-Based Proxies) Bentuk dari proksi ini adalah suatu rasio yang membandingkan suatu pengukuran investasi yang telah diinvestasikan dalam bentuk aktiva tetap atau suatu hasil operasi yang diproduksi dari aktiva yang telah diinvestasikan. c. Proksi Berdasarkan Varian (Variance Measures) Proksi set kesempatan investasi berdasarkan varian mengungkapkan bahwa suatu opsi akan menjadi lebih bernilai jika menggunakan variabilitas ukuran untuk memperkirakan besarnya opsi yang tumbuh, seperti variabilitas returnyang mendasari peningkatan aktiva. d. Proksi Gabungan dari Proksi Individual Alternatif proksi gabungan investasi dilakukan sebagai upaya untuk mengurangi measurement error yang ada pada proksi individual, sehingga akan menghasilkan pengukuran yang lebih baik untuk set kesempatan investasi. Likuiditas Likuiditas dapat diartikan sebagai kemampuan suatu perusahaan memenuhi kewajibankewajiban keuangannya dalam jangka pendek atau yang harus segera di bayar (Munawir 2002:93). Definisi yang lain adalah rasio yang digunakan untuk mengukur kemampuan perusahaan dalam memenuhi kewajiban jangka pendeknya yang telah jatuh tempo (Raharjaputra 2009:199). Rasio ini penting karena kegagalan dalam membayar kewajiban dapat menyebabkan kebangkrutan perusahaan. Secara umum rasio likudiitas ada dua, yaitu current ratio dan quick ratio (acid test ratio). Namun dalam penelitian ini, rasio likuiditas yang digunakan adalah current ratio. Menurut Fahmi (2011:121), current ratio adalah ukuran yang umum digunakan atas solvensi jangka pendek, kemampuan suatu perusahaan memenuhi kebutuhan utang ketika jatuh tempo. Kerangka Pemikiran Pengaruh profitabilitas terhadap kebijakan dividen tunai Menurut Fahmi (2011:135), profitabilitas adalah rasio yang mengukur efektifitas manajemen secara keseluruhan yang ditujukan oleh besar kecilnya tingkat keuntungan yang diperoleh
59
Farida Titik Kristanti Fitrianingsih
dalam hubungannya dengan penjualan maupun investasi. Rasio profitabilitas yang digunakan dalam penelitian ini adalah rasio return on investment (ROI), karena mengukur kemampuan perusahaan dalam menghasilkan keuntungan untuk menutup investasi yang dikeluarkan. Menurut Suharli (2007), profitabilitas mutlak diperlukan untuk perusahaan apabila hendak membayar dividen. Pihak manajemen akan membayarkan dividen untuk member sinyal mengenai keberhasilan perusahaan dalam membukukan profit. Sinyal tersebut menyimpulkan bahwa kemampuan perusahaan untuk membayar dividen merupakan fungsi dari keuntungan. Hal tersebut didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Arilaha (2009) yang memberikan hasil penelitian bahwa ROI berpengaruh secara positif signifikan terhadap kebijakan dividen. Pengaruh set kesempatan investasi terhadap kebijakan dividen tunai Menurut Hartono (2003:58), set kesempatan Investasi (Investment Opportunity Set/IOS) menggambarkan tentang luasnya kesempatan atau peluang investasi bagi suatu perusahaan. IOS sebagai opsi investasi di masa depan dapat ditunjukkan dengan kemampuan perusahaan yang lebih tinggi di dalam mengambil kesempatan untuk mendapatkan keuntungan. Rasio yang digunakan untuk mengukur set kesempatan investasi dalam penelitian ini adalah rasio market to book value of assets (MBVA). Perusahaan yang memiliki level IOS tinggi mempunyai kebijakan pembayaran dividen yang lebih kecil dibandingkan dengan perusahaan yang memiliki level IOS rendah. Penentuan kebijakan pendanaan dan dividen dalam perusahaan berkaitan dengan masalah free cash flow perusahaan, di mana perusahaan yang pertumbuhannya rendah akan berusaha untuk menarik dana dari pihak luar untuk mendanai investasinya dengan mengorbankan sebagian besar labanya dalam bentuk dividen atau bunga. Oleh karena itu, perusahaan akan membayar dividen yang tinggi kepada para pemegang saham untuk menarik para investor (Inneke dan Supatmi, 2008). Hal tersebut didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Sadalia dan Saragih (2008), yang menemukan adanya hubungan yang negatif antara kesempatan investasi dengan kebijakan dividen. Pengaruh profitabilitas terhadap kebijakan dividen tunai dengan likuiditas sebagai variabel penguat Perusahaan yang memiliki likuiditas lebih baik maka akan mampu membayar dividen lebih banyak. Pada perusahaan yang membukukan keuntungan lebih tinggi (profitabilita tinggi), ditambah likuiditas yang lebih baik, maka semakin besar jumlah dividen yang dibagikan. Hal ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Suharli (2007) yang memberikan hasil bahwa profitabilitas berpengaruh secara positif signifikan terhadap kebijakan dividen tunai dan diperkuat oleh likuiditas perusahaan. Pengaruh set kesempatan investasi terhadap kebijakan dividen tunai dengan likuiditas sebagai variabel penguat Pada perusahaan yang menginvestasikan dana lebih banyak akan menyebabkan jumlah dividen tunai yang dibayarkan berkurang, namun likuiditas yang baik mampu memperlemah hipotesis tersebut, karena pada saat itu perusahaan dapat menunda pembayaran hutang jangka pendeknya. Likuiditas diartikan sebagai kemampuan perusahaan melunasi seluruh kewajiban jangka pendeknya dan mendanai operasional usahanya. Hanya perusahaan yang memiliki likuiditas yang baik akan membagikan labanya kepada pemegang saham dalam bentuk tunai. Sebaliknya, pihak manajemen perusahaan akan menggunakan potensi likuiditas yang ada untuk melunasi kewajiban jangka pendek ataupun mendanai operasi perusahaannya. Hal ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Suharli (2007) yang memberikan hasil 60
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Volume 1, Nomor 1, Oktober 2013
bahwa set kesempatan investasi mempunyai pengaruh negatif terhadap kebijakan dividen tunai dengan likuiditas sebagai variabel penguat. Hipotesis Penelitian Berdasarkan teori dan kerangka pemikiran yang telah dijelaskan pada bagian sebelumnya, maka penelitian ini memiliki hipotesis sebagai berikut: 1. Profitabilitas berpengaruh positif signifikan terhadap kebijakan dividen tunai pada emiten Kompas 100. 2. Set kesempatan investasi berpengaruh negatif signifikan terhadap kebijakan dividen tunai pada emiten Kompas 100. 3. Profitabilitas berpengaruh positif signifikan terhadap kebijakan dividen tunai dengan likuiditas sebagai variabel penguat pada emiten Kompas 100. 4. Set kesempatan investasi berpengaruh negatif terhadap kebijakan dividen tunai dengan likuiditas sebagai variabel penguat pada emiten Kompas 100. METODE PENELITIAN Penelitian ini termasuk dalam penelitian deskriptif verifikatif bersifat kausalitas. Studi deskriptif menampilkan data dalam bentuk yang bermakna, membantu untuk: memahami karakteristik sebuah kelompok dalam situasi tertentu, memikirkan secara sistematis mengenai berbagai aspek dalam situasi tertentu, memberikan gagasan untuk penyelidikan dan penelitian lebih lanjut, dan/atau membuat keputusan tertentu yang sederhana (Sekaran, 2009:158). Penelitian verifikatif kausalitas karena penelitian ini disusun untuk meneliti kemungkinan adanya hubungan sebab akibat antar variabel (Sanusi, 2011:14). Variabel Operasional Menurut Sujarweni (2011:22) variabel adalah sesuatu yang berbentuk yang ditetapkan oleh peneliti dipelajari dengan seksama sehingga diperoleh informasi berupa data dan diolah dengan statistik sehingga dapat ditarik kesimpulan. Tabel 1 berikut ini menunjukkan variabel yang digunakan dalam penelitian ini. Tabel 1. Operasionalisasi Variabel Variabel Terukur
Konsep Variabel
Profitabilitas (X1)
mengukur kemampuan para eksekutif perusahaan dalam menciptakan tingkat keuntungan baik dalam bentuk laba perusahaan maupun nilai ekonomis atas penjualan, aset bersih, dan modal sendiri . (Raharjaputra, 2009:205).
Set Kesempatan Investasi (X2)
menggambarkan tentang luasnya kesempatan atau peluang investasi bagi suatu perusahaan (Hartono, 2003:58).
Indikator
Skala
Rasio
MBVA (total asset- total ekuitas+(lembar saham beredar harga penutupan saham) = Total asset
Rasio
61
Farida Titik Kristanti Fitrianingsih
Likuiditas (Z)
Rasio likuiditas adalah rasio untuk mengukur kemampuan perusahaan dalam memenuhi kewajiban jangka pendeknya yang telah jatuh tempo (Raharjaputra, 2009:199).
Rasio
Populasi dan sampel Populasi dalam penelitian ini adalah Indeks Kompas 100 yang berjumlah 100 perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) periode 2008-2011. Pemilihan sampel dilakukan dengan metode purposive sampling. Table berikut menunjukkan pemilihan sampel yang akan digunakan dalam penelitian ini. Tabel 2. Pemilihan sampel 1. 2.
Populasi : Perusahaan yang terdaftar dalam Kompas 100 di Bursa Efek Indonesia Perusahaan yang tidak terdaftar secara konsisten dalam Kompas 100 di Bursa Efek Indonesia selama periode pengamatan tahun 2008-2011 3. Perusahaan yang tidak mempublikasikan laporan keuangan tahunan yang telah diaudit dan tidak membagikan dividen tunai dalam penelitian selama periode pengamatan dari tahun 2008-2011 4. Perusahaan yang tidak mempublikasikan laporan keuangan dalam mata uang rupiah selama periode pengamatan dari tahun 2008-2011 Jumlah sampel yang dijadikan dalam objek penelitian
100 (45) (44)
(1) 10
Penelitian ini menggunakan data sekunder. Data sekunder yang digunakan untuk menunjang dilaksanakannya penelitian adalah:Laporan keuangan Kompas 100 yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) pada tahun 2008-2011 yang telah diaudit, dan sumber yang berkaitan dengan penelitian yang dilaksanakan. Data yang digunakan adalah time series yaitu periode 2008-2011 yang diperoleh dari Indonesian Capital Market Directory (ICMD) dan JSX Statistics. Metode pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan teknik pendidikan kepustakaan dan dokumentasi. Pendidikan kepustakaan adalah pengumpulan data dengan membaca dan mempelajari literatur seperti buku, jurnal, skripsi, dan sumber tertulis lainnya yang berkaitan dengan topik penelitian. Sementara dokumentasi adalah pengumpulan data mengenai hal-hal atau variabel yang berupa catatan, transkrip, buku, surat kabar, majalah dan sebagainya. Teknik Analisis Data Moderated Regression Analysis (MRA) Analisis regresi merupakan hubungan antara dua variabel atau lebih. Bertujuan untuk meramalkan suatu nilai variabel dependen dengan adanya perubahan dari variabel independen (Priyatno, 2009:39). Dalam penelitian ini, analisis regresi yang digunakan adalah moderated regression analysis (MRA). Variabel moderating menurut Ghozali (2011:223) adalah variabel independen lainnya terhadap variabel dependen.Untuk melakukan penelitian dengan moderated regression analysis (MRA), maka dibuatlah persamaan sebagai berikut: Y=α+ 62
1ROI +
2MBVA +
3CR
4ROI*CR +
5MBVA*CR +
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Volume 1, Nomor 1, Oktober 2013
Keterangan : Y α 1,
2,
3,
ROI MBVA CR ROI*CR MBVA*CR
4,
5
= dividen payout ratio = konstanta = koefisien regresi = Return On Investment (profitabilitas) = set kesempatan investasi (Market Book Value to Asset) = Current Ratio (variabel moderator (likuiditas)) = interaksi antara profitabilitas dan likuiditas = interaksi antara set kesempatan investasi dan likuiditas = variabel pengganggu
Menurut Ghozali (2011:235) kriteria Moderated Regression Analysis adalah apabila variabel interaksi memberikan tingkat signifikan < 0,05. Sebelum melakukan analisis regresi moderasi, perlu dilakukan uji asumsi klasik terlebih dahulu untuk menghindari terjadinya estimasi yang bias karena mengingat bahwa tidak semua data dapat diterapkan dengan menggunakan analisis regresi. Uji asumsi klasik terdiri dari uji normalitas, uji autokorelasi, uji multikolinearitas, dan uji heteroskedastisitas. Uji Signifikan Parameter Individual (Uji Statistik t) Uji statistik t pada dasarnya menunjukkan seberapa jauh pengaruh satu variabel penjelas/independen secara individual dalam menerangkan variasi variabel dependen. Langkah-langkah yang dilakukan menurut Priyatno (2012:139) adalah sebagai berikut: a) Pernyataan hipotesis nol dan alternatif H 1 : profitabilitas tidak berpengaruh positif signifikan terhadap kebijakan dividen tunai. Ha1 : profitabilitas berpengaruh positif signifikan terhadap kebijakan dividen tunai. H 2 : set kesempatan investasi tidak berpengaruh signifikan terhadap kebijakan dividen tunai. Ha2 : set kesempatan investasi berpengaruh negatif signifikan terhadap kebijakan dividen tunai. H 3 : profitabilitas tidak berpengaruh negatif signifikan terhadap kebijakan dividen tunai dengan likuiditas sebagai variabel penguat. Ha3 : profitabilitas berpengaruh negatif signifikan terhadap kebijakan dividen tunai dengan likuiditas sebagai variabel penguat. H 4 : set kesempatan investasi tidak berpengaruh negatif signifikan terhadap kebijakan dividen tunai dengan likuiditas sebagai variabel penguat. Ha4 : set kesempatan investasi berpengaruh negatif signifikan terhadap kebijakan dividen tunai dengan likuiditas sebagai variabel penguat. b) Memilih statistik uji, dengan menentukan tingkat signifikan (⍺) sebesar 0.05 Berdasarkan signifikansi dasar pengambilan keputusannya adalah jika signifikansi > 0.05, maka H diterima, jika signifikansi < 0.05, maka H ditolak.
63
Farida Titik Kristanti Fitrianingsih
Koefisien Determinasi (R²) Koefisien determinasi R² digunakan untuk mengetahui seberapa besar prosentase sumbangan pengaruh variabel independen secara serentak terhadap variabel dependen (Priyatno, 2009:56). R² menjelaskan proporsi variasi dalam variabel terikat (Y) yang dijelaskan oleh variabel bebas (lebih dari satu variabel) secara bersama-sama. Persamaan regresi linear berganda semakin baik apabila nilai koefisien determinasi (R²) semakin besar (mendekati 1) dan cenderung meningkat nilainya sejalan dengan peningkatan jumlah variabel bebas (Sanusi, 2011:136). HASIL DAN PEMBAHASAN Variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah variabel independen terdiri dari profitabilitas dan set kesempatan invetasi, sedangkan variabel dependennya adalah kebijakan dividen tunai dan variabel moderasinya adalah likuiditas. Deskripsi Variabel Penelitian Penelitian ini menggunakan statistik deskriptif untuk mengetahui nilai minimum, nilai maksimum, mean (rata-rata), dan standar deviasi dari keseluruhan data penelitian. Hasil output SPSS adalah sebagai berikut: Tabel 3. Hasil Statistik Deskriptif N ROI MBVA DPR CR Valid N (listwise)
40 40 40 40 40
Minimum
Maximum .03 .64 .08 .54
.40 4.93 10.83 6.99
Mean .1443 2.3193 .8864 2.2290
Std. Deviation .07785 1.23415 1.95199 1.44071
Sumber: Output SPSS, Descriptive Statistics
Nilai minimum profitabilitas keseluruhan data yaitu 0,03 yang berarti bahwa kemampuan perusahaan secara keseluruhan di dalam menghasilkan keuntungan dengan jumlah keseluruhan aktiva yang tersedia di dalam perusahaan hanya 3% saja. Nilai mean (rata-rata) keseluruhan data yaitu 0,1443, dapat diartikan bahwa kemampuan perusahaan secara keseluruhan di dalam menghasilkan keuntungan dengan jumlah keseluruhan aktiva yang tersedia di dalam perusahaan dengan rata-rata perusahaan kecil. Standar deviasi ROI yaitu 0,07785 yang menunjukkan bahwa data tidak bervariasi penyebarannya. Jika sebarannya bernilai 0, maka nilai semua datanya adalah sama. Semakin besar nilai sebarannya berarti data semakin bervariasi Nilai minimum set kesempatan investasi data keseluruhan adalah 0,64 yang berarti bahwa adanya pertumbuhan aktiva dan kesempatan investasi di masa yang akan datang 64%. Nilai standar deviasi menunjukkan angka 1,23415 menunjukkan bahwa data bevariasi penyebarannya karena semakin besar data maka semakin bervariasi data tersebut. Rata-rata industri tahun 2011 sebesar 2,117 menunjukkan bahwa nilai pasar dihargai 2,117 kali dari nilai buku aktivanya.
64
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Volume 1, Nomor 1, Oktober 2013
Nilai minimum Dividend Payout Ratio (DPR) dari seluruh data yaitu 0,08 yang berarti bahwa besarnya pembayaran dividen oleh perusahaan sebesar Rp 0,08. Nilai maksimum dari data keseluruhan yaitu 10,83. Nilai rata-rata perusahaan dari data keseluruhan berjumlah 0,8864. Rata-rata industri tahun 2011 sebesar 0,677 menunjukkan bahwa persentase dari pendapatan yang akan dibayarkan kepada para pemegang saham sebagai dividen kas sebesar 67,7%. Nilai minimum Current Ratio (CR) dari seluruh data yaitu 0,54 yang berarti bahwa setiap Rp 1 hutang lancar perusahaan dapat dijamin oleh aset lancar Rp 0,54. Nilai maksimum dari data keseluruhan yaitu 6,99. Nilai rata-rata perusahaan dari data keseluruhan berjumlah 2,2290. Rata-rata industri tahun 2011 sebesar 2,801. Hal ini berarti bahwa setiap Rp 1,00 kewajiban lancar peerusahaan dijamin pembayarannya oleh Rp 2,801 aset lancar. Semakin tinggi jumlah kelipatan asset lancar terhadap kewajiban lancar, maka semakin besar keyakinan bahwa kewajiban lancar tersebut akan di bayar. Untuk meneliti pengaruh profitabilitas dan set kesempatan investasi terhadap kebijakan dividen tunai dengan likuiditas sebagai variabel penguat, maka penulis menggunakan moderated regression analysis sebagai alat analisis data yang sebelumnya harus lolos uji asumsi klasik. Uji Asumsi Klasik tersebut adalah: 1. Uji Normalitas Uji Kolmogorov Smirnov menunjukkan bahwa seluruh variabel sama berdistribusi normal, karena tingkat signifikan yang diperoleh lebih besar dari nilai signifikan yang ditetapkan yaitu 0,05. Hasil perhitungan profitabilitas sebesar 0,840 > 0,05, set kesempatan investasi sebesar 0,555 > 0,05, kebijakan dividen sebesar 0,268 > 0,05 yang berarti data residual berdistribusi secara normal. Begitu juga hasil perhitungan moderat menunjukkan bahwa tingkat signifikan yang diperoleh lebih besar dari nilai signifikan yang ditetapkan yaitu 0,05. Sehingga dapat disimpulkan bahwa data dalam penelitian ini adalah berdistribusi normal. 2. Uji Autokorelasi Dalam penelitian ini uji autokorelasi yang digunakan adalah uji Statistik Q : Box-Pierce dan Ljung Box. Dari hasil pengujian tidak terdapat nilai yang signifikan, sehingga dapat disimpulkan tidak terjadi autokorelasi. 3. Uji Multikolinearitas Dari hasil uji, terlihat bahwa seluruh variabel memiiliki nilai VIF dibawah 10, hal tersebut menandakan bahwa tidak terjadi multikolinearitas atau tidak ada korelasi antar variabel. 4. Uji Heteroskedastisitas Salah satu cara untuk menguji adanya heteroskedastisitas dapat dilakukan dengan melihat ada tidaknya pola tertentu pada grafik Scatterplot antara variabel dependen dengan residualnya. Apabila pada pola Scatterplot ditunjukkan dengan titik-titik membentuk suatu pola tertentu maka telah terjadi heteroskedastisitas. Sebaliknya apabila titik-titik grafik tidak membentuk pola tertentu maka tidak terjadi heteroskedastisitas. Berikut grafik Scatterplot hasil uji heteroskedastisitas. Dari grafik scatterplot terlihat bahwa titik-titik menyebar secara acak serta tersebar diatas maupun dibawah angka 0 pada sumbu Y. Sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak terjadi heteroskedastisitas pada model regresi dan model regresi layak untuk memprediksi variabel.
65
Farida Titik Kristanti Fitrianingsih
Pengujian Hipotesis Koefisien Determinasi Moderated Regression Analysis Koefisien determinasi R² digunakan untuk mengukur seberapa jauh kemampuan model dalam menerangkan variasi variabel dependen. Nilai R² dapat dilihat melalui tabel model summary hasil output SPSS. Berikut adalah tabel hasil uji koefisien determinasi R²: Tabel 4. Hasil Uji Koefisien Determinasi MRA Model
R
1
R Square .506
a
Adjusted R Square
.256
Std. Error of the Estimate .147
.98892
Sumber: Output SPSS, Model Summary
Dari tabel 4 dapat diketahui bahwa nilai koefisien determinasi R² adalah 0,256 atau 25,6% dengan tingkat signifikansi 0, lebih besar dari 0,05. Dapat dikatakan 25,6% profitabilitas dan set kesempatan investasi terhadap kebijakan dividen tunai tidak dipengaruhi oleh interaksi likuiditas. Sisanya 74,4% dijelaskan oleh variabel independen lainnya yang tidak diteliti oleh penulis. Uji t Moderated Regression Analysis Dalam penelitian ini, analisis regresi yang digunakan adalah moderated regression analysis (MRA). Variabel moderating menurut Ghozali (2011:223) adalah variabel independen lainnya terhadap variabel dependen. Hasil uji statistik t Moderated Regression Analysis adalah sebagai berikut: Tabel 5. Uji t Moderated Regression Analysis Coefficientsa Unstandardized Coefficients Model 1
(Constant)
B
Standardized Coefficients
Std. Error
Beta
-3.865
1.927
ROI
6.141
5.126
MBVA
-.952
.365
CR
-.282
.310
-1.220
.573
2.298
.746
LnROI_CR LN_MBVA_CR
t
Sig.
-2.006
.053
1.198
.239
-1.097 -2.605
.014
.445 -.379
-.909
.369
-1.199 -2.129
.041
2.069
3.082
.004
a. Dependent Variable: LNDPR Sumber: Output SPSS, Model Summary
Analisis regresi ini untuk menguji variabel independen yaitu profitabilitas dan set kesempatan investasi dalam mempengaruhi kebijakan dividen tunai dengan likuiditas sebagai variabel penguat. Secara sistematik persamaan tersebut dapat dirumuskan sebagai berikut: DPR = - 3,865 + 6,141 ROI – 0,952 MBVA – 0.282 CR – 1,220 ROI*CR + 2,298 MBVA*CR +
66
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Volume 1, Nomor 1, Oktober 2013
Persamaan diatas dapat diuraikan sebagai berikut: 1.
1=
6.141 artinya jika ROI meningkat sebesar 1 satuan dan variabel lainnya konstan, maka kebijakan dividen tunai akan meningkat sebesar 6,141 satuan. 2. β2 = -0,952 artinya jika MBVA (market to book value of assets) meningkat sebesar 1 satuan dan variabel lainnya konstan, maka kebijakan dividen tunai akan menurun sebesar 0,952 satuan. 3. 4 = -1,220 artinya jika ROI (return on investment) meningkat sebesar 1 satuan dan didukung dengan likuiditas serta variabel lainnya konstan, maka kebijakan dividen tunai akan menurun sebesar 1,220 satuan 4. Β5 = 2,298 artinya jika MBVA (market to book value of assets) meningkat sebesar 1 satuan dan didukung dengan likuiditas serta variabel lainnya konstan, maka kebijakan dividen tunai akan meningkat sebesar 2,298 satuan Pembahasan Penelitian Pengaruh Profitabilitas terhadap Kebijakan Dividen Tunai. Profitabilitas yang diukur dengan ROI tidak berpengaruh signifikan dengan arah positif terhadap kebijakan dividen tunai. Hal tersebut dapat dilihat dari tingkat signifikan sebesar 0,239 (lihat table 5) yang lebih besar dari 0,05 yang berarti bahwa Ho1 diterima. Hal tersebut sesuai dengan penelitian Fahrurrozi (2007) yaitu ROI tidak berpengaruh terhadap kebijakan dividen tunai dengan arah positif. Penelitian ini menunjukkan bahwa tinggi rendahnya profitabilitas yang dihasilkan perusahaan tidak dapat mempengaruhi pembayaran dividen tunai karena laba yang dihasilkan perusahaan dapat berupa laba non kas. Dimana komponen laba itu terdiri dari penjualan dan beban. Penjualan yang dilakukan perusahaan dapat berasal dari penjualan tunai maupun kredit. Apabila penjualan kredit perusahaan besar maka laba yang dihasilkan berupa laba non kas. Hal tersebut tidak dapat mempengaruhi pembayaran dividen tunai karena dividen tunai dibayarkan dalam bentuk kas bukan non kas. Pengaruh Set Kesempatan Investasi terhadap Kebijakan Dividen Tunai. Set kesempatan investasi yang diukur dengan MBVA (market to book value of assets) berpengaruh signifikan terhadap kebijakan dividen tunai dengan arah negative. Hal tersebut dapat dilihat dari tingkat signifikan sebesar 0,014 lebih besar dari 0,05 yang berarti bahwa Ha2 diterima (lihat tabel 5). Hal tersebut sesuai dengan penelitian Amah (2012) dan Inneke (2008) bahwa set kesempatan investasi berpengaruh signifikan terhadap kebijakan dividen tunai dengan arah negatif. Perusahaan yang memiliki level Investment Opportunity Set (IOS) tinggi mempunyai kebijakan pembayaran dividen yang lebih kecil dibandingkan dengan perusahaan yang memiliki level IOS rendah. Hal ini dikarenakan perusahaan dengan set kesempatan investasi yang tinggi yang ditandai dengan pertumbuhan yang tinggi, membutuhkan dana yang besar untuk memenuhi kebutuhan investasinya. Jika perusahaan memutuskan untuk menggunakan sumber dana internal maka jumlah dividen yang dibayarkan akan cenderung menurun. Hal ini sesuai dengan teori dividen residual bahwa perusahaan menetapkan kebijakan dividen setelah
67
Farida Titik Kristanti Fitrianingsih
semua investasi yang menguntungkan habis dibiayai. Dengan kata lain, dividen yang dibayarkan merupakan nilai sisa (residual) setelah semua usulan investasi yang menguntungkan habis dibiayai. Pengaruh Profitabilitas terhadap Kebijakan Dividen Tunai dengan Likuiditas sebagai Variabel Penguat. Profitabilitas yang diukur dengan ROI berpengaruh signifikan terhadap kebijakan dividen tunai dengan likuiditas sebagai variabel moderate karena nilai signifikan sebesar 0,041 lebih kecil dari 0,05 dengan arah negatif. Arah negatif ditunjukkan dengan nilai koefisien regresi sebesar -1,220 (lihat tabel 5) . Hal ini menunjukkan bahwa likuiditas mampu memoderasi hubungan profitabilitas terhadap kebijakan dividen. Hal ini sesuai dengan penelitian Nurjannah (2011) yang menyatakan bahwa likuiditas mampu memoderasi hubungan ROI terhadap kebijakan dividen tunai dengan arah negatif. Namun hasil ini bertentangan dengan penelitian Suharli (2007) yang menyatakan bahwa profitabilitas berpengaruh secara positif signifikan terhadap kebijakan dividend an diperkuat oleh likuiditas perusahaan. Perusahaan yang memiliki profitabilitas tinggi didukung dengan likuiditas yang tinggi dapat memperkecil pembayaran dividen. Hal ini dikarenakan laba perusahaan dialokasikan oleh manajemen untuk disimpan sebagai laba ditahan untuk investasi masa depan dan likuiditas perusahaan merupakan salah satu pertimbangan utama dalam kebijakan dividen. Menurut Van Horne (2007 : 282) dividen merupakan arus kas keluar, maka semakin besar jumlah kas yang tersedia dan likuiditas perusahaan, semakin besar pula kemampuan perusahaan untuk membayar dividen. Dalam kondisi seperti ini mungkin saja perusahaan tidak likuid karena dananya digunakan untuk aktiva tetap dan modal kerja permanen untuk investasi masa depan. Oleh karena itu, kemungkinan perusahaan enggan membayar dividen dalam jumlah besar apabila manajemen perusahaan ingin memelihara likuiditas dalam mengantisipasi adanya ketidakpastian dan agar mempunyai fleksibilitas keuangan. Pengaruh IOS terhadap Kebijakan Dividen Tunai dengan Likuiditas sebagai Variabel Penguat. Set kesempatan investasi yang diukur dengan MBVA berpengaruh signifikan terhadap kebijakan dividen tunai dengan likuiditas sebagai variabel penguat karena nilai signifikan 0,04 lebih kecil dari 0,05 dengan arah positif (lihat table 5). Arah positif ditunjukkan dengan nilai koefisien regresi sebesar 2,298. Hal ini menunjukkan bahwa likuiditas mampu memoderasi hubungan set kesempatan investasi terhadap kebijakan dividen. Hal tersebut sesuai dengan penelitian Suharli (2007) bahwa likuiditas mampu memoderasi hubungan set kesempatan investasi terhadap kebijakan dividen tunai dengan arah positif. Semakin tingginya set kesempatan investasi didukung dengan likuiditas yang baik, maka dapat meingkatkan pembayaran dividen tunai. Perusahaan yang menggunakan laba yang tersedia untuk laba ditahan guna investasi di masa yang akan datang dan didukung dengan likuiditas yang baik, maka dapat meningkatkan kepercayaan investor karena menunjukkan bahwa tingginya set kesempatan investasi yang dilakukan perusahaan kelak dapat menghasilkan keuntungan yang dapat memberikan hasil kepada perusahaan. Sehingga perusahaan dapat meningkatkan pembayaran dividen tunainya kepada para pemegang saham. Perusahaan dalam melakukan investasi untuk memberi kesan kepada pemegang saham bahwa perusahaan mempunyai prospek yang baik di masa yang akan datang. 68
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Volume 1, Nomor 1, Oktober 2013
SIMPULAN Berdasarkan analisis yang telah dilakukan melalui regresi linear berganda dan moderated regression analysis, maka dapat dibuat kesimpulan sebagai berikut: 1. Profitabilitas yang diukur dengan ROI (return on investment) tidak berpengaruh signifikan dengan arah positif terhadap kebijakan dividen tunai. 2. Set kesempatan investasi (IOS) berpengaruh signifikan dengan arah negative terhadap kebijakan dividen tunai. 3. Profitabilitas berpengaruh signifikan terhadap kebijakan dividen tunai dengan likuiditas sebagai variable penguat dengan arah negatif. Likuiditas mampu memoderasi hubungan profitabilitas terhadap kebijakan dividen tunai. 4. Set kesempatan investasi berpengaruh signifikan terhadap kebijakan dividen tunai dengan likuiditas sebagai variable penguat dengan arah positif. Likuiditas mampu memoderasi hubungan set kesempatan investasi terhadap kebijakan dividen tunai. Berdasarkan simpulan tersebut maka dapat dibuat saran sebagai berikut: 1. Penelitian selanjutnya dapat menambah atau mengganti variabel yang diteliti dengan variabel lainnya.Karena penelitian ini menunjukkan bahwa nilai R² kecil sebesar 25,6%. Berarti bahwa terdapat 74,4% variabel lain yang tidak diteliti oleh peneliti dapat menjelaskan variabel kebijakandividentunai. Jadi masih ada variabel lain seperti free cash flow, kepemilikan manajerial, ukuran perusahaan, dan kebijakan hutang yang dapat mempengaruhi kebijakan dividen tunai. 2. Penelitian selanjutnya dapat menggunakan objek penelitian yang berbeda dengan penelitian ini agar dapat menganalisis kebijakan dividen tunai seperti pada indeks LQ45 dan Jakarta Islamic Indeks. 3. Bagi emiten indeks Kompas 100 yang terdaftar di BEI, Perusahaan sebaiknya tidak hanya memperhatikan keuntungan perusahaan saja tanpa memperhatikan kemakmuran pemegang saham dengan tidak membagikan dividen tunai. Perusahaan seharusnya dapat menerapkan kebijakan dividen yang optimal dimana kebijakan tersebut dapat menciptakan keseimbangan di antara dividen saat ini dan pertumbuhan di masa yang akan datang. Selain itu perusahaan juga perlu memperhatikan investasi yang menguntungkan di masa yang akan datang karena investasi yang menguntungkan menghasilkan profit bagi perusahaan. Perusahaan yang memiliki likuiditas yang baik menunjukkan bahwa perusahaan itu sehat dari sisi keuangan karena ia mampu membayar semua biaya yang harus dikeluarkan dalam jangka pendeknya dan mendanai operasionalnya. Selain itu, likuiditas yang baik mampumeningkatkan kepercayaan para invetorterhadap perusahaan sehingga mengurangi ketidakpastian investor dalam menanamkan dananya ke dalam perusahaan. 4. Bagi Investor sebaiknya perlu memperhatikan faktor-faktor yang mempengaruhi kebijakan dividen tunai seperti, set kesempatan investasi, dan likuiditas perusahaan. Investor perlu memperhatikan investasi-investasi yang akan dilakukan oleh suatu perusahaan. Apabila perusahaan tersebut melakukan investasi di masa yang akan datang kemungkinan perusahaan tidak dapat membayar dividen tunainya. Dalam kondisi seperti ini investor dapat melihat posisi likuiditas perusahaan. Apabila likuiditas perusahaan baik, berarti perusahaan dapat mendanai operasional dan kewajiban jangka pendeknya. Sehingga ini dapat dijadikan dalam pengambilan keputusan dalam berinvestasi.
69
Farida Titik Kristanti Fitrianingsih
DAFTAR REFERENSI Adminkepri. (2011). Adaro bagikan deviden Rp970 miliar. [online]. http://wwwbisniskepri.com. [24 Februari 2013]. Ahmad, Rizal. (2009). Pengaruh profitabilitas dan Investment Opportunity Set Terhadap kebijakan Dividen Tunai. Jurnal Ilmiah Abdi Ilmu ISSN, Vol 2. No.2, 175-188. Amah, Nik. (2012). Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Dividend Policy Perusahaan Go Public Di Indonesia. Jurnal Akuntansi dan Pendidikan, Vol 1. No.1, 45-55. Arifin, Zaenal. (2005). Teori Keuangan dan Pasar Modal. Yogyakarta: Ekonisia. Arilaha, Muhammad Asril. (2009). Pengaruh Free Cash Flow, Profitabilitas, Likuiditas, dan Leverage Terhadap Kebijakan Dividen. Jurnal Keuangan dan Perbankan, Vol 13. No. 1, 7887. Atmaja, Lukas Setia. (2008). Teori dan Praktek Manajemen Keuanga Edisi Pertama. Yogyakarta: Andi Offset. Bringham, Eugene F and Joel F.Houston. (2006). Dasar-Dasar Manajemen Keuangan, alih bahasa Ali Akbar Yulianto, Buku Satu, Edisi Sepuluh. Jakarta: Salemba Empat. Darminto. (2008). Pengaruh Profitabilitas, Likuiditas, Struktur Modal, dan Struktur Kepemilikan Saham terhadap Kebijakan Dividen. Jurnal Ilmu Sosial, Vol 20. No.2, 87-97. Fahmi, Irham. (2011). Analisis Laporan Keuangan Panduan Bagi Akademis, Manajer, dan Investor untuk Menilai dan Menganalisis Bisnis dari Aspek Keuangan. Bandung: Alfabeta. Fahrurrozy. (2007). Analisis Faktor Faktor Yang Mempengaruhi Penentuan Kebijakan Pembagian Dividen Pada Perusahaan Manufaktur Di Bursa Efek Indonesia. Jurnal Tepak Manajerial Magister Manajemen UNRI, Vol 7. No. 7, 29- 42. Ghozali, Imam. (2011). Aplikasi Analisis Multivariate dengan Program IBM SPSS 19. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro. Inneke, Theoral Maria dan Supatmi. (2008). Analisis Investment Opportunity Set (IOS) Dan Profitabilitas Dalam Memoderasi Pengaruh Kebijakan Dividen Terhadap Tingkat Leverage Perusahaan. Jurnal Akuntansi. No.03, 277-288. Marpaung, dan Hadianto. (2009). Pengaruh Profitabilitas dan Kesempatan Investasi terhadap Kebijakan Dividen: Studi Empirik pada Emiten Pembentuk Indeks LQ45 di Bursa Efek Indonesia. Jurnal Akuntansi, Vol 1. No. 1, 70-84. Munawir S. (2002). Analisis Informasi Keuangan. Yogyakarta: Liberty. Priyatno, Duwi. (2009). SPSS untuk Analisis Korelasi, Regresi, dan Multivariate. Yogyakarta: Gava Media.
70
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Volume 1, Nomor 1, Oktober 2013
Raharjaputra, Hendra S. (2009). Manajemen Keuangan dan Akuntansi untuk Eksekutif Perusahaan. Jakarta: Salemba Empat. Sadalia, Isfenti dan Saragih, Nurul Sari Syafitri. (2008). Pengaruh Profitability dan Investment Opportunity Set Terhadap Dividen Tunai Pada Perusahaan Terbuka Di Bursa Efek Indonesia. Jurnal Manajemen Bisnis, Vol 1. No. 3, 103-108. Sanusi, Anwar. (2011). Metodologi Penelitian Bisnis. Jakarta: Salemba Empat. Sekaran, Uma. (2009). Metedologi Penelitian untuk Bisnis. Jakarta: Salemba Empat. Stice, Earl K., James D. Stice, fred Skousen. (2005). Intermediate Accounting, Alih Bahasa Barlev Nicodemus, Akuntansi Keuangan Menengah, Jilid 1. Jakarta: Salemba Empat. Sugiyono. (2007). Metodologi Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan Kombinasi (Mixed Methods). Bandung: Alfabeta. Suharli, Michell dan Oktarina. (2005). Memprediksi Tingkat Pengembalian Investasi Pada Equity Securities Melalui Rasio Profitabilitas, Likuiditas, dan Hutang Pada Perusahaan Publik Di Jakarta. Kumpulan Makalah Simposium Nasional Akuntansi 8. Solo. Suharli, Michell. (2007). Pengaruh Profitability dan Investment Opportunity Ser terhadap Kebijakan Dividen Tunai dengan Likuiditas sebagai Variabel Penguat. Jurnal Akuntansi dan Keuangan, Vol 9. No. 1, 9-17. Sujarweni, V.Wiratna dan Poly Endrayanto. (2011). Statistika Untuk Penelitian. Yogyakarta: Graha Ilmu. Suryanto. (2012). Apple Setuju Ubah Susunan Direksi. [online]. http://m.antaranews.com. [23 Februari 2013]. Van Horne, James C. (2007). Prinsip-Prinsip Manajemen Keuangan, Buku 2 Edisi 12. Jakarta:Salemba Empat. Warsono. (2003). Manajemen Keuangan Perusahaan, Jilid Satu. Malang: Bayumedia. Wirjolukito, A. Yanto, H dan Sandy. (2003). Faktor-Faktor Yang Merupakan Pertimbangan Dalam Keputusan Pembagian Dividen : Tinjauan Terhadap Teori Persinyalan Dividen Pada Perusahaan Go Public Di Indonesia. Jurnal Ekonomi dan Bisnis, Vol 6. No. 1, 78-89
71
Agus Maolana Hidayat Fauzia Rahayu
STUDI KOMPARARTIF KUALITAS PELAYANAN DAN STRATEGI DELIVERY SERVICE PADA KENTUCKY FRIED CHICKEN (KFC) DAN MC DONALD’S CABANG BUAH BATU BANDUNG Agus Maolana Hidayat (
[email protected]) Fauzia Rahayu (
[email protected]) Telkom University, Bandung
Abstrak Bisnis waralaba di Indonesia mulai marak sejak tahun 1970-an. Jumlah perusahaan waralaba di Indonesia mencapai 35 perusahaan, 6 diantaranya adalah perusahaan waralaba lokal dan sisanya (29) adalah waralaba asing (www.neraca.co.id, 1 Maret 2012). Beberapa restoran cepat saji tumbuh berkembang seperti : Kentucky Fried Chicken (KFC), Mc Donald’s, Domino’s Pizza, dan Gokana Teppan. Ketersediaan makanan cepat saji (fast food) dirasakan sangat tepat untuk memenuhi keinginan dan gaya hidup masyarakat yang menginginkan sesuatu serba praktis. Persaingan yang ketat menyebabkan suatu restoran perlu melakukan usaha pelayanan yang terbaik kepada konsumennya, strategi distribusi (delivery service) menjadi salah satu pilihan. Penelitian ini mengambil objek adalah KFC (Kentucky Fried Chicken) dan Mc Donalds Cabang Buah Batu, dikarenakan dari segi produk dan pelayanan selain memiliki banyak kesamaan, kedua restoran cepat saji ini merupakan restoran yang paling diminati atau dikunjungi oleh banyak masyarakat, terutama usia anak-anak dan remaja. Dalam penelitian ini menggunakan metode descriptive komparatif dan eksplanatori, dengan populasi berdasarkan jumlah transaksi terbanyak di KFC untuk bulan Januari- maret 2012. Teknik sampling yang digunakan adalah Teknik Purposive Sampling dengan pengambilan secara acak (simple random sampling). Adapun jumlah responden/sampel dengan menggunakan perhitungan Slovin. Selanjutnya dilakukan analisis berdasarkan indeks kinerja kepuasan, uji Wilcoxon dan Importance Performance Analysis (IPA), dalam perhitungannya menggunakan software SPSS. Hasil penelitian menunjukkan bahwa persepsi konsumen cukup baik untuk kualitas pelayanan delivery service yang dilakukan oleh KFC maupun Mc. Donald’s, tetapi terdapat perbedaan berarti pada atribut-atribut pelayanan yang diberikannya, yaitu Mc. Donald’s relatif lebih unggul dibandingkan dengan KFC. Oleh karena itu perlu dilakukan strategi yang berbeda untuk masing-masing atribut pelayanan manasaja sesuai hasil pemetaan diagram kartesius untuk ditingkatkan, dipertahankan, ataupun dipertimbangkan, agar kedua restoran cepat saji ini tatap tumbuh.
Kata kunci : Kualitas pelayanan jasa, delivery service, Indeks kinerja kepuasan, dan Importance Performance Analysis
72
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Volume 1, Nomor 1, Oktober 2013
PENDAHULUAN
Latar Belakang Menurut data Top Brand Tahun 2009-2011, Kentucky Fried Chicken (KFC) adalah salah satu restoran waralaba asing Indonesia yang berhasil mendapatkan predikat “Top Brands” kategori fast food (top brand.marketing.co.id, 3 Februari 2012). Kesuksesan KFC justru memicu persaingan yang ketat dalam industri restoran cepat saji dan membuat restoran-restoran cepat saji lainnya melakukan upaya-upaya yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas produk dan pelayanannya. Demikian untuk pesaing pada tanggal 22 Februari 1991 hingga tanggal 21 Juni 2011 tercatat ada 111 gerai restoran yang telah dibuka oleh Mc Donald’s (www.mcdonalds.co.id, April 2012). Bisnis waralaba di Indonesia mulai tumbuh sejak tahun 1970-an, dengan bermunculannya restoran-restoran cepat saji seperti Kentucky Fried Chicken dan Pizza Hut. Hingga tahun 1992 jumlah perusahaan waralaba di Indonesia mencapai 35 perusahaan, 6 diantaranya adalah perusahaan waralaba lokal dan sisanya (29) adalah waralaba asing (www.neraca.co.id, 1 Maret 2012). Ketersediaan makanan cepat saji (fast food) dirasakan sangat tepat untuk memenuhi keinginan dan gaya hidup masyarakat sekarang ini yang menginginkan sesuatu serba praktis. Restoran cepat saji yang berkembang sekarang ini contohnya adalah KFC, Mc Donald’s, Pizza Hut, Domino’s Pizza, dan Gokana Teppan. Persaingan yang ketat tersebut menyebabkan suatu restoran perlu melakukan usahausaha pelayanan yang terbaik kepada konsumennya. Hal ini menyebabkan restoranrestoran yang ada saling berlomba untuk menyediakan kemudahan dan kelengkapan produk yang sesuai dengan keinginan konsumen untuk tercapainya kepuasan pelanggan. Strategi distribusi menjadi salah satu pilihan yang berkembang saat ini, salah satu diantaranya adalah sistem delivery service (layanan antar). Dari segi produk dan pelayanan KFC dan Mc Donald’s selain memiliki banyak kesamaan, kedua restoran cepat saji ini merupakan restoran yang paling diminati atau dikunjungi oleh banyak masyarakat, terutama usia anak-anak berkaitan dengan acara ulang tahun, dan remaja tempat mereka janjian berkumpul atau sekedar makan bersama. Oleh karena itu biasanya keluarga yang mau menikmati makan bersama keluarga secara praktis, mereka akan memesan pada salah satu restoran siap saji yang terkenal mereknya, sebagaimana dalam publikasi dalam internet menujukkan bahwa KFC dan Mc. Donald’s termasuk dalam the Top fast Food Brands. (http://www.ranker.com/crowdranked-list/top-fast-food-brands). Oleh karena itu penelitian ini mengambil objek penelitian adalah KFC (Kentucky Fried Chicken) dan Mc Donalds Cabang Buah Batu. Kualitas pelayanan, menjadi faktor penting yang bepengaruh dalam penciptaan kepuasan pelanggan. Menciptakan peningkatan kepuasan pelanggan menjadi isu penting bagi perusahaan karena manfaatnya. Dalam jangka pendek, kepuasan pelanggan menghasilkan loyalitas yang mengarah kepada profitabilitas. Perusahaan 73
Agus Maolana Hidayat Fauzia Rahayu
yang menginginkan tercapainya kebutuhan konsumennya.
kepuasan
pelanggan
hendaknya
memenuhi
Tujuan Penelitian Mengacu pada permasalahan di atas, maka tujuan penelitian ini adalah: 1. Mengetahui sejauh mana kualitas pelayanan delivery service KFC dan Mc Donald’s Cabang Buah Batu? 2. Mengetahui adakah perbedaan kualitas layanan jasa yang diberikan oleh delivery service KFC dengan Mc Donald’s Cab. Buah Batu? 3. Mengetahui strategi yang harus dilakukan oleh delivery service KFC dengan Mc Donald’s Cab. Buah Batu?
Landasan Teori dan Pengembangan Hipotesis Menurut Tjiptono dan Chandra (2011:17) berpendapat bahwa jasa merupakan aktivitas, manfaat, atau kepuasan yang ditawarkan untuk dijual. Menurut Kotler & Keller (2009:36), jasa/layanan (service) adalah semua tindakan atau kinerja yang dapat ditawarkan satu pihak kepada pihak lain yang pada intinya tidak berwujud dan tidak menghasilkan kepemilikan apapun. Produksinya dapat atau tidak terkait dengan produk fisik. Kepuasan (Satisfaction) secara umum adalah perasaan senang atau kecewa seseorang yang timbul karena membandingkan kinerja yang dipersepsikan produk (atau hasil) terhadap ekspektasi mereka. Jika kinerja gagal memenuhi ekspektasi, pelanggan akan tidak puas. Jika kinerja sesuai dengan ekspektasi, pelanggan akan puas. Jika kinerja melebihi ekspektasi, pelanggan akan sangat puas atau senang. (Kotler & Keller 2009:138) Sedangkan menurut Lovelock & Wright (2007 : 96) kepuasan konsumen atau kepuasan pelanggan adalah reaksi emosional jangka pendek pelanggan terhadap kinerja suatu jasa. Menurut Olson & Dover (Tjiptono & Chandra 2011:181) Harapan pelanggan merupakan keyakinan pelanggan sebelum mencoba atau membeli suatu produk, yang dijadikan standar atau acuan dalam menilai kinerja produk yang bersangkutan. Kualitas jasa merupakan evaluasi kognitif jangka panjang pelanggan terhadap penyerahan jasa suatu perusahaan. Pengukuran kualitas jasa dapat diukur dengan dimensi kualitas jasa. Terdapat 5 dimensi kualitas jasa menurut Lovelock & Wright (2007 : 98), yaitu :Kehandalan (Reliability) yaitu ; Apakah perusahaan dapat diandalkan dalam menyediakan jasa seperti yang dijanjikan. Keberwujudan (Tangible), yaitu: fasilitas fisik, perlengkapan, karyawan, dan bahan komunikasi penyedia jasa tersebut. Daya Tanggap (Responsiveness) yaitu : karyawan perusahaan tersebut senang membantu dan mampu memberikan jasa yang cepat. Jaminan (Assurance) yaitu : karyawan jasa memiliki pengetahuan yang cukup, sopan, kompeten, dan dapat dipercaya. Empati (Empathy) yaitu : perusahaan jasa 74
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Volume 1, Nomor 1, Oktober 2013
memberikan perhatian yang besar dan khusus. Adapun rumusan hipotesis dalam penelitian untuk melihat ada tidaknya perbedaan kualitas pelayanan delivery service pada KFC dengan Mc Donald’s Cabang. Buah Batu penulis bersifat netral dengan mengajukan hipotesis sebagai berikut : H0 : Tidak ada perbedaan yang berarti persepsi konsumen untuk kualitas pelayanan jasa KFC dan Mc Donald’s Cabang Buah Batu. H1 : Ada perbedaan yang berarti persepsi konsumen untuk kualitas pelayanan jasa KFC dan Mc Donald’s Cabang Buah Batu.
Metode Penelitian Penelitian ini dengan objek penelitian adalah KFC Cabang Buah Batu dan Mc Donald’s Cabang Buah Batu periode Februar-Juli 2012. Metode dalam penelitian adalah deskriptif-komparatif dan eksplanatory. Penelitian deskriptif digunakan untuk memahami karakteristik sebuah kelompok dalam situasi tertentu, memikirkan secara sistematis mengenai berbagai aspek dalam situasi tertentu, memberikan gagasan untuk penyelidikan dan penelitian lebih lanjut, dan atau membuat keputusan tertentu yang sederhana (Sekaran, 2006:158-160). Sedangkan metode komparatif adalah penelitian yang membandingkan keberadaan satu variabel atau lebih pada dua atau lebih sampel yang berbeda, atau pada waktu yang berbeda. (Sugiyono 2012:36). Secara teoritis menurut Hatch & Farhady (Sugiyono, 2012:38) variabel dapat didefinisikan sebagai atribut seseorang, atau obyek, yang mempunyai “variasi” antara satu orang dengan yang lain atau satu obyek dengan obyek lain. Dalam penelitian ini menggunakan operasional variabel kualitas pelayanan delivery service yang terdiri dari : Reliability, Tangible, Responsiveness, Assurance, dan Empathy. Skala Instrumen yang digunakan skala likert. Menurut Sugiyono (2010 146), menyebutkan skala likert digunakan untuk mengukur sikap, pendapat, dan persepsi seseorang atau sekelompok orang tentang fenomena sosial. Penelitian ini menggunakan data primer dengan menyebarkan kuesioner kepada para konsumen yang pernah memesan pada KFC dan Mc Donald’s. Selain itu data sekunder melalui studi kepustakaan, buku, internet, dan informasi lain yang dapat memperdalam peneletian. Populasi diambil berdasarkan jumlah transaksi terbanyak di KFC Cabang Buah Batu. untuk bulan Januari 2.389, februari 2.115, dan maret sebanyak 2.312 transaksi. Hal itu karena, delivery service tidak menggunakan jumlah konsumen sebagai indikator penjualannya, melainkan menggunakan transaksi. Teknik sampling yang digunakan adalah Teknik Purposive Sampling dengan pengambilan responden secara acak (simple random sampling). Dalam penelitian ini responden yang dijadikan sample adalah seorang yang memenuhi kriteria yaitu pernah melakukan pemesanan pada KFC dan Mc Donald’s. Adapun untuk mendaptkan respondenya peneliti pada waktuwaktu tertentu mendatangi konsumen disekitar area KFC dan Mc,Donald’s untuk meminta kesediaan mengisi kusetioner berkaitan dengan pelayanan delivery service. Besarnya sampel atau jumlah responden dengan menggunakan perhitungan Slovin yang dikutip oleh (Umar 1999:49) sebagai berikut : 75
Agus Maolana Hidayat Fauzia Rahayu
Dimana :
N
n= n = Ukuran sampel 1 + N (e 2 ) N = Ukuran populasi e = % Kelonggaran ketidaktelitian karena kesalahan pengambilan keputusan sampel yang masih dapat ditolelir (batas kesalahan ± 10 %) diperoleh sampel sebanyak :
n=
2.389 ≈ 95,98 1 + 2.389 0,12
(
)
Untuk sampel yang representative digunakan masing-masing sebanyak 100 responden yang pernah melakukan pemesanan produk pada KFC dan Mc Donald’s Cabang Buah Batu. Uji validitas dan reliabilitas merupakan salah satu aspek penting dalam menyusun maupun memverivikasi kuesioner. Peritungan validitas dan reabilitas yang dilakukan dengan Software SPSS diperoleh semua pernyataan memiliki nilai korelasi di atas 0,367 shingga setiap butir pernyataan dinyatakan valid. Adapun uji reliabilitas menggunakan teknik Alpha Croanbach. Hasil pengolahan data reliabilitas Cronbach’s Alpha diperoleh atas 0,60 yaitu sebesar 0,94, maka variabel kualitas pelayanan delivery service dinyatakan reliabel. Untuk mengetahui indeks kinerja kualitas pelayanan (kepuasan pelanggan) dapat digunakan rumus yang dikemukankan Lovelock & Wright sebagai berikut: Kepuasan =
Jasa yang dipahami (Perceived Service Quality) Jasa yang diharapkan (Expected Service Quality)
Hasil jawaban kuesioner responden akan dilakukan pengolahan secara deskriptive yaitu diberikan scoring 1 sampai 4, sehingga nilai prosentase tertinggi adalah 100% dan terendah 25%. Nilai rentang prosentase 75% dan dibagi 4 katagori, maka didapatkan nilai interval prosentase mendekati 19%. Sehingga diperoleh klasifikasi sebagai berikut : Skor Jawaban 1 2 3 4
Kategori Jawaban Sangat Tidak Setuju Tidak Setuju Setuju Sangat Setuju
Kategori (Prosentase) 25% - 43% 44% - 62% 63% - 81% 82% - 100%
Keterangan Jawaban Tidak Baik Kurang Baik Cukup Baik Baik
Untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan kualitas pelayanan jasa yang dipersepsikan konsumen dilakukan uji beda. Menurut Suharyadi & Purwanto (2009:234), uji jumlah peringkat wilcoxon dirancang untuk menentukan apakah dua sampel yang independen berasal dari populasi yang sama, serta jumlah observasi yang relevan cukup besar. Uji jumlah peringkat Wilcoxon digunakan uji Z dengan rumus sebagai berikut: 76
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Volume 1, Nomor 1, Oktober 2013
Dimana : Z : Nilai Z-hitung W: Jumlah peringkat sampel pertama n1 : Jumlah observasi sampel relevan pertama n2: Jumlah observasi sampel relevan kedua Selanjutnya untuk melihat strategi yang harus dilakukan dalam kualitas pelayanan menggunakan Importance Performance Analysis (IPA) merupakan suatu metode analisis yang bertujuan menggambarkan kinerja sebuah objek dibandingkan dengan harapan konsumen akan kinerja yang seharusnya ada, menggunakan Diagram Cartesius. (Riyanto, 2009:141). Konsep ini sebenarnya berasal dari konsep SERVQUAL. Intinya, sebagaimana disarankan oleh Pasuraman (Rangkuti, 2006:109), tingkat kepentingan pelanggan (customer expectation) diukur dalam kaitannya dengan apa yang seharusnya dikerjakan oleh perusahaan agar menghasilkan produk atau jasa yang berkualitas tinggi. Expectation sebaiknya diganti dengan Importance atau tingkat kepentingan menurut persepsi pelanggan dapat digambarkan menjadi 4 kuadran yaitu : kuadran 1 (attributes to improve), kuadran II (maintain performance), Kuadran III (attributes to maintain) dan kuadran IV (main priority) Hasil dan Pembahasan 1. Kualitas Pelayanan Delivery Service KFC dan Mc. Donal’s Kepuasan konsumen dalam memesan makanan siap saji pada KFC dan Mc. Donal’s pada penelitian ini diukur dengan menggunakan metode Indeks Kinerja Kepuasan, Berdasarkan hasil jawaban kuestioner reponden pemesan KFC diperoleh hasil indeks kinerja sebagai berikut : TABEL 1 Indeks Penilaian Kepuasan Pelanggan KFC Nilai Indeks Harapan
Importance (y) Variabel Kualitas Pelayanan 4
3
2
1
Performance (X) 4
3
2
1
Nilai Indeks Kinerja
Gap
A
Tangible (Penampilan fasilitas fisik kebersihan, kerapihan dan kelengkapan penampilan karyawan)
1
Penampilan driver KFC terlihat bersih
1
95
3
1
73.75
6
91
2
1
75.5
1.75
2
Penampilan driver KFC terlihat menarik Kendaraan driver KFC terlihat menggunakan kelengkapan khas kendaraan delivery KFC
0
91
8
1
72.5
3
83
14
0
72.25
-0.25
0
85
15
0
71.25
2
95
3
0
74.75
3.5
19
81
0
0
79.75
6
75
19
0
71.75
-8
3 4
Kemasan pesanan makanan dan minuman tidak rusak pada saat diterima
77
Agus Maolana Hidayat Fauzia Rahayu
Rata-rata
74.31
73.56
-0.75
B
Reliability (Kemampuan untuk memberikan pelayanan yang sesuai dengan janji yang ditawarkan)
5
Pengiriman pesanan dalam layanan pesan antar KFC cepat.
24
76
0
0
81
1
70
27
2
67.5
-13.5
6
Makanan yang dipesan masih dalam keadaan hangat ketika diterima pelanggan
13
83
4
0
77.25
5
56
34
5
65.25
-12
7
Dalam pelayanannya, driver bersikap ramah.
18
82
0
0
79.5
2
81
17
0
71.25
-8.25
8
Dalam pelayanannya, operator bersikap ramah dalam menerima telepon
19
70
11
0
77
21
68
11
0
77.5
0.5
9
Layanan pesan antar KFC memudahkan konsumen dalam pembelian jarak jauh
8
90
2
0
76.5
9
91
0
0
77.25
0.75
71.75
-6.5
KFC
Rata-rata
C
10
11 12 13
78.25
Responsiveness (respon atau kesigapan karyawan dalam membantu pelanggan dan memberikan pelayanan yang cepat dan tanggap, yang meliputi: kesigapan karyawan dalam melayani pelanggan, kecepatan karyawan dalam menangani transaksi, dan penanganan keluhan pelanggan) Driver KFC menginformasikan kepada pelanggan tentang kepastian waktu pesanan tiba. Pelanggan mudah mengakses call center KFC jika akan melakukan pesanan Karyawan/ti KFC menanggapi keluhan pelanggan dengan baik Driver KFC selalu menyediakan uang kembalian Rata-rata
D
Assurance (Meliputi Kemampuan karyawan atas: pengetahuan terhadap produk secara tepat, kualitas keramahtamahan, perhatian dan kesopanan dalam memberi pelayanan, keterampilan dalam memberikan informasi, kemampuan dalam memberikan keamanan di dalam memanfaatkan jasa yang ditawarkan, dan kemampuan dalam menanamkan kepercayaan pelanggan terhadap perusahaan)
14
Karyawan/ti KFC mempunyai pengetahuan yang luas mengenai menu
78
13
86
1
0
78
3
90
5
2
73.5
-4.5
6
94
0
0
76.5
16
84
0
0
79
2.5
31
69
0
0
82.75
1
62
36
1
65.75
-17
15
77
7
1
76.5
8
92
0
0
77
0.5
73.81
-4.63
77.75
1.25
78.44
11
85
3
1
76.5
13
85
2
0
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Volume 1, Nomor 1, Oktober 2013
15
Karyawan/ti KFC mempunyai kemampuan untuk menjelaskan menu kepada pelanggan
0
100
0
0
75
16
69
15
0
75.25
0.25
16
Pesanan yang diantar selalu sesuai dengan apa yang dipesan pelanggan
14
86
0
0
78.5
21
70
9
0
78
-0.5
17
KFC memberikan refund/penukaran pesanan jika terjadi kesalahan pada pesanan
16
83
1
0
78.75
7
70
21
2
70.5
-8.25
18
Makanan dan minuman yang dipesan selalu tersedia
10
86
4
0
76.5
11
89
0
0
77.75
1.25
75.85
-1.2
Rata-rata
E
19
20 21
22
23
77.05
Emphaty (Perhatian secara individual yang diberikan perusahaan kepada pelanggan seperti kemudahan untuk menghubungi perusahaan, kemampuan karyawan untuk berkomunikasi dengan pelanggan, dan usaha perusahaan untuk memahami keinginan dan kebutuhan pelanggannya) Driver KFC selalu menyiapkan kebutuhan pelanggan walaupun tidak diminta (contoh memberikan tambahan tissue, sendok dan sebagainya) Operator KFC sabar dalam menghadapi konsumen Driver KFC sabar dalam menunggu konsumen membuka pintu untuk mengambil pesanan Operator KFC memberikan salam ketika telepon pertama kali diangkat dan memberikan ucapan terimakasih setelah selesai melakukan pemesanan. Driver KFC mengucapkan salam ketika bertemu dengan pelanggan, dan mengucapkan terimakasih setelah transaksi pembayaran dilakukan
7
93
0
0
76.75
10
86
4
0
76.5
-0.25
17
83
0
0
79.25
11
82
7
0
76
-3.25
6
94
0
0
76.5
7
93
0
0
76.75
0.25
11
87
2
0
77.25
16
84
0
0
79
1.75
26
73
1
0
81.25
26
70
4
0
80.5
-0.75
Rata-rata
78.2
77.75
-0.45
Rata-Rata Kesenjangan Keseluruhan
77.33
74.62
-2.71
Sumber : Hasil Pengolahan Data Kuesioner
Berdasarkan Tabel 1. di atas, menunjukkan rata-rata nilai nilai indeks kinerja KFC Cabang Buah Batu adalah 74,62 dan dapat dikatagorikan kinerja kualitas pelayanan KFC Cabang Buah Batu cukup baik dalam melayani pesanan konsumennya. TABEL 2 Indeks Penilaian Kepuasan Pelanggan Mc Donald’s Importance (y) Variabel Kualitas Pelayanan 4
3
2
1
Nilai Indeks Harapa
Performance (X) 4
3
2
1
Nilai Indeks Kinerj
Gap
79
Agus Maolana Hidayat Fauzia Rahayu
n A
1 2
3
4
Tangible (Penampilan fasilitas fisik kebersihan, kerapihan dan kelengkapan penampilan karyawan) Penampilan driver McD terlihat bersih Penampilan driver McD terlihat menarik Kendaraan driver McD terlihat menggunakan kelengkapan khas kendaraan delivery McD Kemasan pesanan makanan minuman tidak rusak pada diterima Rata-rata
dan saat
9 9
8 5 7 0
a
6
0
75.75
8
90
2
0
76.5
0.75
2 0
1
73.75
13
87
0
0
78.25
4.5
1 1
8 2
7
0
78.25
14
86
0
0
78.5
0.25
1 9
7 4
7
0
80.75
8
87
5
0
75.75
-5
77.25
0.13
77.13
B
Reliability (Kemampuan untuk memberikan pelayanan yang sesuai dengan janji yang ditawarkan)
5
Pengiriman pesanan dalam layanan pesan antar McD cepat
1 7
7 9
4
0
78.25
15
69
15
1
74.5
3.75
6
Makanan yang dipesan masih dalam keadaan hangat ketika diterima pelanggan
2 0
7 5
5
0
78.75
22
68
10
0
78
0.75
7
Dalam pelayanannya, driver McD bersikap ramah
8
7 9
1 2
1
73.5
14
72
13
1
74.75
1.25
1 2
7 5
1 3
0
74.75
12
79
9
0
75.75
1
1 3
8 6
1
0
78
16
84
0
0
79
1
76.4
0.25
8
9
Dalam pelayanannya, operator bersikap ramah dalam menerima telepon Layanan pesan antar McD memudahkan konsumen dalam pembelian jarak jauh Rata-rata
76.65
C
Responsiveness (respon atau kesigapan karyawan dalam membantu pelanggan dan memberikan pelayanan yang cepat dan tanggap, yang meliputi: kesigapan karyawan dalam melayani pelanggan, kecepatan karyawan dalam menangani transaksi, dan penanganan keluhan pelanggan)
1 0
Driver McD menginformasikan kepada pelanggan tentang kepastian waktu pesanan tiba.
1 4
8 6
0
0
78.5
35
65
0
0
83.75
5.25
1 1
Pelanggan mudah mengakses call center McD jika akan melakukan pesanan
1 7
7 9
4
0
78.25
29
71
0
0
82.25
4
80
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Volume 1, Nomor 1, Oktober 2013
1 2
Karyawan/ti McD menanggapi keluhan pelanggan dengan baik
1 7
8 2
1
0
79
19
81
0
0
79.75
0.75
1 3
Driver McD selalu menyediakan uang kembalian
7
7 4
1 9
0
72
9
79
12
0
74.25
2.25
80
3.06
Rata-rata
D
1 4
76.94
Assurance (Meliputi Kemampuan karyawan atas: pengetahuan terhadap produk secara tepat, kualitas keramahtamahan, perhatian dan kesopanan dalam memberi pelayanan, keterampilan dalam memberikan informasi, kemampuan dalam memberikan keamanan di dalam memanfaatkan jasa yang ditawarkan, dan kemampuan dalam menanamkan kepercayaan pelanggan terhadap perusahaan) Karyawan/ti McD mempunyai pengetahuan yang luas mengenai menu
2 2
7 5
3
0
79.75
28
72
0
0
82
2.25
1 5
Karyawan/ti McD mempunyai kemampuan untuk menjelaskan menu kepada pelanggan
6
8 7
7
0
74.75
15
76
9
0
76.5
1.75
1 6
Pesanan yang diantar selalu sesuai dengan apa yang dipesan pelanggan
1 6
8 4
0
0
79
20
80
0
0
80
1
1 7
McD memberikan refund/penukaran pesanan jika terjadi kesalahan pada pesanan
2 5
7 4
1
0
81
16
71
12
1
75.5
-5.5
1 8
Makanan dan minuman yang dipesan selalu tersedia
2 5
7 5
0
0
81.25
17
82
1
0
79
2.25
78.6
0.55
Rata-rata
E
1 9
2 0
79.15
Emphaty (Perhatian secara individual yang diberikan perusahaan kepada pelanggan seperti kemudahan untuk menghubungi perusahaan, kemampuan karyawan untuk berkomunikasi dengan pelanggan, dan usaha perusahaan untuk memahami keinginan dan kebutuhan pelanggannya) Driver McD selalu menyiapkan kebutuhan pelanggan walaupun tidak diminta (contoh memberikan tambahan tissue, sendok dan sebagainya) Operator McD sabar menghadapi konsumen
dalam
1 3
8 7
0
0
78.25
24
76
0
0
81
2.75
1 7
8 3
0
0
79.25
14
77
17
2
80.75
1.5
81
Agus Maolana Hidayat Fauzia Rahayu
2 1
Driver McD sabar dalam menunggu konsumen membuka pintu untuk mengambil pesanan
1 1
8 7
2
0
77.25
22
76
2
0
80
2.75
2 2
Operator McD memberikan salam ketika telepon pertama kali diangkat dan memberikan ucapan terimakasih setelah selesai melakukan pemesanan.
1 9
8 1
0
0
79.75
15
86
17
0
88
8.25
2 3
Driver McD mengucapkan salam ketika bertemu dengan pelanggan, dan mengucapkan terimakasih setelah transaksi pembayaran dilakukan
1 6
8 4
0
0
79
19
81
0
0
79.75
0.75
Rata-rata
78.7
81.9
3.2
Rata-Rata Keseluruhan
77.77
78.85
1.08
Sumber : Hasil Pengolahan Data Kuesioner Berdasarkan Tabel 2. Di atas nilai rata-rata indeks kinerja Mc Donald’s Cabang Buah Batu adalah 78,85 dan dapat dikatagorikan kinerja kualitas pelayanan Mc Donald’s Cabang Buah Batu cukup baik dalam melayani pesanan konsumennya. 2. Uji Beda Kinerja Kualitas Pelayanan Service Delivery KFC dan Mc Donald’s Pelayanan yang diberikan oleh produsen merupakan salah satu faktor yang menjadi pilihan bagi konsumen untuk menentukan pesanan produk/makanan siap saji pada kedua restoran tersebut. Kelebihan dan kekurangan atas indicator/atribut kualitas pelayanan delivery service dan persepsi konsumen berkaitan dengan ada tidaknya perbedaan yang berarti atas kepuasan kinerja delivery service pada KFC dan Mc.Donal’s menggunakan uji Wilcoxon. Hasil uji peringkat kinerja indikator /atribut kualitas pelayanan delivery service yang dilakukan oleh KFC dan Mc. Donald’s dapat dijabarkan pada Tabel 3 dan Tabel 4 sebagai berikut : Tabel 3 Wilcoxon Signed Ranks Test Ranks Ranks N Negative Ranks KFC – McD
Positive Ranks
20 3
a
b
Mean Rank
Sum of Ranks
13.08
261.50
4.83
14.50
c
Ties
0
Total
23
a. KFC < McD b. KFC > McD c. KFC = McD
Sumber: Hasil Pengolahan data. 1) 82
Negative Ranks merupakan selisih antara kinerja indikator kualitas pelayanan delivery service yang dilakukan oleh KFC dan Mc. Donald’s bernilai negatif yaitu sebanyak 20
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Volume 1, Nomor 1, Oktober 2013
2)
3)
Indikator/atribut dari total 23 indikator/atribut. Dari hasil tersebut dapat dikatakan bahwa persepsi pemesan produk siap saji terhadap kinerja kualitas pelayanan delivery service KFC sebanyak 20 indikator lebih rendah dibandingkan dengan kinerja kualitas pelayanan delivery service yang dilakukan oleh Mc. Donald’s. Positive Ranks merupakan selisih antara kinerja indikator kualitas pelayanan delivery service yang dilakukan oleh KFC dan Mc. Donald’s bernilai positif yaitu sebanyak 3 Indikator/atribut dari total 23 indikator/atribut. Dari hasil tersebut dapat dikatakan bahwa persepsi pemesan produk siap saji terhadap kinerja kualitas pelayanan delivery service KFC sebanyak 3 indikator/atribut lebih tinggi dibandingkan dengan kinerja kualitas pelayanan delivery service yang dilakukan oleh Mc. Donald’s. Ties merupakan hasil dimana tidak ada perbedaan di antara keduanya. Dalam penelitian ini jumlah Ties adalah 0 indikator/atribut. Dari hasil tersebut dapat dikatakan bahwa persepsi pelanggan pemesan produk terhadap kinerja kualitas pelayanan delivery service adalah sama untuk keduanya. : TABEL 4. Z-hitung Uji Peringkat Nilai Indeks Kinerja KFC dan Mc Donald’s Cabang Buah Batu Test Statistics
b
KFC – McD Z
-3.757
Asymp. Sig. (2-tailed)
a
.000
a. Based on positive ranks. b. Wilcoxon Signed Ranks Test
Sumber: Hasil Pengolahan Data Nilai Asymp Sig Z hitung adalah 0.000 lebih kecil dibandingkan dengan α = 0,05. Maka H0 ditolak dan H1 diterima sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa ada perbedaan yang berarti antara kualitas pelayanan jasa KFC dan Mc Donald’s Cabang Buah Batu atau dapat dikatakan Kualitas Pelayanan delivery service Mc Donald’s Cabang Buah Batu relative lebih baik dipersepsikan konsumennya dibandingkan dengan kualitas pelayanan delivery service yang dilakukan KFC Cabang Buah Batu. 3. Strategi Strategi yang harus dilakukan untuk berbagai atribut-atribut kualitas pelayanan pada masing-masing restoran siap saji berdasarkan teknik Importance Performance Analysis (IPA). Metode ini
dilakukan dengan cara setiap responden diminta untuk menilai tingkat kepentingan berbagai siap atribut yang relevan dan tingkat kinerja perusahaan (perceived performance). Berdasarkan hasil pengolahan IPA diperoleh mapping berbagai atribut dalam bentuk diagram sebagai berikut :
83
Agus Maolana Hidayat Fauzia Rahayu
(Kuadran I)
(Kuadran II)
(Kuadran III) (Kuadran IV)
GAMBAR 1 Diagram Kartesius Atribut Kualitas Pelayanan KFC Gambar 1 di atas,. menunjukkan diagram kartesius yang mempertemukan tingkat kepentingan/harapan dan tingkat realitas terbagi menjadi 4 bagian yang dapat dijelaskan sebagai berikut: a) Kuadran I (A. Prioritas Utama) Atribut-atribut yang dianggap penting oleh konsumen tetapi pada kenyataannya belum sesuai seperti yang konsumen harapkan, sehingga perlu ditingkatkan atau menjadi prioritas, diantaranya : keadaan kemasan, kecepatan pengiriman, keramahan driver KFC, kesigapan driver KFC, respon keluhan pelanggan, dan jaminan terjadinya kesalahan dalam pemesanan. b) Kuadran II (B. Pertahankan) Atribut-atribut yang dianggap penting oleh konsumen dan sudah sesuai dengan yang dirasakannya sehingga patut dipertahankan, diantaranya: kesabaran operator KFC, pemberian salam oleh driver KFC dan kesesuaian pesanan yang diantar dengan yang dipesan. c) Kuadran III (C. Diabaikan/Dipertimbangkan) Atribut-atribut yang dianggap kurang penting oleh konsumen dan pada kenyataannya kinerjanya tidak terlalu istimewa, sehingga perlu dipertimbangkan kembali karena manfaat yang dirasakan oleh konsumen sangat kecil, diantaranya: penampilan driver KFC yang menarik dan keadaan makanan yang dipesan. d) Kuadran IV (D. Prioritas Rendah) Atribut-atribut yang dianggap kurang penting oleh konsumen tetapi KFC tetap memberikan pelayanan yang baik, diantaranya: kebersihan penampilan driver KFC, pemberian salam oleh operator KFC, kesabaran driver KFC, perhatian khusus yang diberikan driver kepada konsumen, jaminan tersediannya makanan/minuman yang dipesan, kemampuan untuk menjelaskan menu, pengetahuan karyawan/ti mengenai 84
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Volume 1, Nomor 1, Oktober 2013
menu, kemudahan proses pembayaran, kemudahan dalam mengakses call center, kemudahan dalam mengkonsumsi (praktis), kelengkapan kendaraan driver KFC, dan keramahan operator KFC. (Kuadran II) (Kuadran I)
(Kuadran III) (Kuadran IV)
GAMBAR 2 Diagram Kartesius Atribut Kualitas Pelayanan Mc Donald’s Gambar 2 di atas, menunjukkan diagram kartesius yang mempertemukan tingkat kepentingan/harapan dan tingkat realitas terbagi menjadi 4 bagian yang dapat dijelaskan sebagai berikut: a) Kuadran I (A. Prioritas Utama) Atribut-atribut yang masuk dalam kuadran ini harus ditingkatkan atau menjadi prioritas, diantarany: jaminan terjadinya kesalahan dalam pemesanan, keadaan kemasan, kecepatan pengiriman, keadaan makanan yang dipesan, dan kelengkapan kendaraan driver Mc Donald’s. b) Kuadran II (B. Pertahankan) Atribut-atribut yang dianggap penting oleh konsumen dan sudah sesuai dengan yang dirasakannya sehingga patut dipertahankan prestasinya. Diantaranya : kesabaran operator Mc Donald’s, respon keluhan pelanggan, pengetahuan karyawan/ti mengenai menu, kesesuaian pesanan yang diantar dengan yang dipesan, kesigapan driver Mc Donald’s, kemudahan dalam mengakses call center, perhatian khusus yang diberikan driver Mc Donald’s, pemberian salam oleh operator Mc Donald’s, pemberian salam oleh driver Mc Donald’s, kemudahan dalam mengkonsumsi (praktis) dan jaminan tersedianya makanan/minuman. c) Kuadran III (C. Diabaikan/Dipertimbangkan) Atribut-atribut yang ini dapat dipertimbangkan kembali karena manfaat yang dirasakan oleh konsumen sangat kecil., diantaramya: kemampuan karyawan/ti untuk menjelaskan menu, keramahan operator Mc Donald’s, kemudahan proses pembayaran, dan keramahan, kebersihan serta penampilan driver Mc Donald’s yang menarik. d) Kuadran IV (D. Prioritas Rendah) 85
Agus Maolana Hidayat Fauzia Rahayu
Atribut-atribut yang dianggap kurang penting oleh konsumen, tetapi MC. Donals tetap memberikan pelayanannya yang baik, yaitu diantaranya: kesabaran driver Mc Donald’s. Kesimpulan Berdasarkan analisis kualitas pelayanan delivery service KFC dan Mc Donald’s Cabang Buah Batu diperoleh kesimpulan sebagai berikut : 1. Indeks kinerja kualitas pelayanan delivery service KFC adalah sebesar 74,62 dan Mc. Donal’s sebesar 78,85, kedua restoran ini memberikan pelayanan makanan siap saji cukup baik kepada para konsumen/pemesannya. 2. KFC dan Mc Donald’s Cabang Buah Batu memiliki jenis produk yang hampir sama, tetapi dari segi kualitas pelayanan (atribut-atributnya) memiliki perbedaan yang berarti. Mc. Donald’s relative lebih baik dipersepsikan oleh konsumen dalam memberikan kualitas pelayanan delivery service dibandingkan dengan KFC Cabang Buah Batu. 3. Strategi yang perlu dilakukan pada kedua restoran siap saji masing-masing sebagai berikut : A. Atribut-atribut kualitas pelayanan KFC Cabang Buah Batu yang harus ditingkatkan menjadi prioritas adalah: keadaan kemasan, kecepatan pengiriman, keramahan driver KFC, kesigapan driver KFC, respon keluhan pelanggan, dan jaminan terjadinya kesalahan dalam pemesanan. Atribut-atribut patut dipertahankan prestasinya adalah: kesabaran operator KFC, pemberian salam oleh driver KFC dan kesesuaian pesanan yang diantar dengan yang dipesan. Atribut-atribut yang dipertimbangkan adalah: penampilan driver KFC yang menarik dan keadaan makanan yang dipesan. Atribut-atribut yang dianggap kurang penting oleh konsumen adalah: kebersihan penampilan driver KFC, pemberian salam oleh operator KFC, kesabaran driver KFC, perhatian khusus yang diberikan driver kepada konsumen, jaminan tersediannya makanan/minuman yang dipesan, kemampuan untuk menjelaskan menu, pengetahuan karyawan/ti mengenai menu, kemudahan proses pembayaran, kemudahan dalam mengakses call center, kemudahan dalam mengkonsumsi (praktis), kelengkapan kendaraan driver KFC, dan keramahan operator KFC. B. Atribut-atribut kualitas pelayanan Mc. Donald’s Cabang Buah Batuyang harus ditingkatkan atau menjadi prioritas adalah: jaminan terjadinya kesalahan dalam pemesanan, keadaan kemasan, kecepatan pengiriman, keadaan makanan yang dipesan, dan kelengkapan kendaraan driver Mc Donald’s. Atribut-atribut yang harus dipertahankan adalah: kesabaran operator Mc Donald’s, respon keluhan pelanggan, pengetahuan karyawan/ti mengenai menu, kesesuaian pesanan yang diantar dengan yang dipesan, kesigapan driver Mc Donald’s, kemudahan dalam mengakses call center, perhatian khusus yang diberikan driver Mc Donald’s, pemberian salam oleh operator Mc Donald’s, pemberian salam oleh driver Mc Donald’s, kemudahan dalam mengkonsumsi (praktis) dan jaminan tersedianya makanan/minuman. Atribut86
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Volume 1, Nomor 1, Oktober 2013
atribut yang dipertimbangkan adalah: kemampuan karyawan/ti untuk menjelaskan menu, keramahan operator Mc Donald’s, kemudahan proses pembayaran, keramahan driver Mc Donald’s, kebersihan penampilan driver Mc Donald’s, dan penampilan driver yang menarik, Atribut-atribut yang dianggap kurang penting oleh konsumen adalah kesabaran driver Mc Donald’s. Saran Saran terhadap Perusahaan KFC dan Mc Donald’s sesuai dengan hasil Importance Performance Analysis (IPA), yaitu atribut-atribut yang termasuk dalam kuadran I yang perlu ditingkatkan adalah sebagai berikut : 1. Untuk KFC Cabang Buah Batu adalah keadaan kemasan, kecepatan pengiriman, keramahan driver KFC, kesigapan driver KFC, respon keluhan pelanggan, dan jaminan terjadinya kesalahan dalam pemesanan harus diperbaiki/ditingkatkan dalam memenuhi pesanannya. 2. Untuk Mc.Donald’s Cabang Buah Batu adalah jaminan terjadinya kesalahan dalam pemesanan, keadaan kemasan, kecepatan pengiriman, keadaan makanan yang dipesan, dan kelengkapan kendaraan driver Mc Donald’s harus diperbaiki/ditingkatkan dalam memenuhi pesanannya. 3. Dalam merespon keluhan pelanggan perusahaan perlu menyediakan fasilitas tambahan untuk menampung dan memberikan solusi yang cepat dan langsung kepada pelanggan tidak hanya melalui SMS saja, misalnya melalui internet dengan Yahoo Mesengger, email dan lain-lain.
87
Agus Maolana Hidayat Fauzia Rahayu
DAFTAR PUSTAKA Abdurrahman, Maman & Muhidin, Sambas Ali. Panduan Praktis Memahami Penelitian. CV Pustaka Setia. Jasfar, Farida. (2005). Manajemen Jasa Pendekatan Terpadu. Ghalia Indonesia. Kotler, Philip & Keller, Kevin Lane. 2009. Manajemen Pemasaran. Erlangga. Lovelock & Wright, Lauren K. 2007. Manajemen Pemasaran Jasa. PT Indeks Kelompok Gramedia. PT. Fast Food Indonesia Tbk. 2011. Annual Report 2011. 1-60. Rangkuti, Freddy. 2006. Teknik Mengukur dan Strategi Meningkatkan Kepuasan Pelanggan. PT Gramedia Pustaka Utama. Redaksi.2012. KFC.[Online].http://topbrand.marketing.co.id/2012/02/03/kfc/ [3 Maret 2012]. Riyanto, Agus. 2009. Penerapan Analisi Multivariat dalam Penelitian Kesehatan. Niftramedia Press. S.Soerono, Agus. 2012. Pasang Surut Bisnis Waralaba di Indonesia. [Online].http://www.neraca.co.id/2012/03/01/pasang-surut-bisnis-waralaba-diindonesia / [1 Maret 2012]. Sugiyono. 2012. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Alfabeta. Suharyadi & Purwanto. 2009. STATISTIKA: Untuk Ekonomi dan Keuangan Model. Salemba Empat Sunyoto, Danang. 2009. Analisis Regresi dan Uji Hipotesis. Media Pressindo. Tjiptono, Fandy & Chandra, Gregorius. 2011. Service, Quality, Satisfaction. CV Andi Offset. Umar, Husein.1999. Metodologi Penelitian : Aplikasi Dalam Pemasaran. Gramedia. Mc Donald’s. 2012 [Online].http://www.mcdonalds.co.id [Maret 2012] KFC.2006. [Online].http://www.kfcindonesia.com/ [Maret 2012].
88
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Volume 1, Nomor 1, Oktober 2013
PENGARUH MODAL INTELEKTUAL, ORIENTASI ETIKA, DAN GENDER TERHADAP SENSITIVITAS ETIS MAHASISWA Zulhawati (
[email protected]) UTY Yogyakarta Abstrak Penelitian ini menguji pengaruh modal intelektual, orientasi etika dan gender terhadap sensitivitas etis pada proses pengambilan keputusan etis oleh mahasiswa. Pengukuran sensitivitas etis oleh mahasiswa menggunakan nilai etis organisasi dengan kuesioner yang dikembangkan dari kode etik mahasiswa, modal intelektual menggunakan tingkat kesadaran moral dan orientasi etika digunakan Ethical Position Questionnaire berdasarkan pada dua dimensi etis (idealisme dan relativisme). Rancangan penelitian ini menggunakan crosssectional dengan responden mahasiswa S1. Hasil penelitian reliabilitas menunjukkan cronbach’s alpha lebih besar dari 0,6 dan pengujian validitas konstruk menunjukkan bahwa variabel mempunyai validitas konstruk lebih besar dari rule of tumb 0,5. Hasil penelitian menunjukkan bahwa modal intelektual dan orientasi etika idelisme berpengaruh terhadap sensitivitas etis mahasiswa. Sedangkan untuk orientasi relativisme dan gender tidak berpengaruh terhadap sensitivitas etis mahasiswa. Hal ini menunjukkan bahwa pendidikan memiliki peran penting dan harus mampu menciptakan calon pebisnis yang kualified dan etis, memiliki kecerdasan intelektual setara dengan kepekaan nurani, sehingga mampu menciptakan sebuah investasi dan esensi yang sesungguhnya dari konsep human capital. Keywords; modal intelektual, orientasi etika, gender, sensitivitas etis, PENDAHULUAN Kasus Sunbean, Enron, WorldCom, Tyco, Health South di Amerika, Parmalat di Italia, HIH Insurance di Australia, Bank Global, Bank Lippo, Century, Telkom dan Hambalang merupakan contoh terjadinya pelanggaran etika yang dilakukan oleh para pelaku bisnis di Indonesia. Kasus-kasus kecil berkaitan dengan makanan ringan, misalnya mi bekas yang sudah membusuk disulap jadi makanan ringan kemasan, pembuatan makanan dengan pewarna tekstil dan lain-lain kasus pelanggaran etika hanya demi meningkatkan laba, atau mungkin hanya sekedar untuk meningkatkan penghasilan. Wajar bila ada kesimpulan, dalam bisnis, satu-satunya etika yang diperlukan hanya sikap baik dan sopan kepada pemilik. Harus diakui, kepentingan utama bisnis adalah menghasilkan keuntungan maksimal bagi pemilik. Fokus itu membuat perusahaan yang berpikir pendek dengan segala cara berupaya melakukan hal-hal yang dapat meningkatkan keuntungan. Kompetisi semakin ketat dan konsumen lebih mementingkan sesuatu yang praktis dan instan sering menjadi faktor pemicu perusahaan mengabaikan etika dalam berbisnis. Berdasarkan kasus-kasus tersebut, sebagian besar merupakan perilaku berkaitan dengan etika yang dihadapi para pelaku bisnis, faktor penting dalam perilaku pengambilan keputusan etis adalah faktor-faktor yang secara unik berhubungan dengan individu pembuat keputusan dan variabel-variabel yang merupakan hasil dari proses sosialisasi dan pengembangan masingmasing individu seperti ciri pembawaan sejak lahir (gender, umur, kebangsaan) dan faktor 89
Zulhawati
organisasi, lingkungan kerja dan profesi (Paolillo dan Vitell 2002). Berkaitan dengan etika tersebut, pendidikan diharapkan tetap memainkan peran utama dalam pengembangan professional entry level employee. (Russell dan Smith 2003) menyoroti bahwa kegagalan bisnis yang melibatkan salah satu kantor akuntan publik global, tidak terlepas dari desain kurikulum pendidikan tinggi yang dirasa belum mampu menyediakan materi yang cukup untuk mempersiapkan mahasiswa sebagai calon-calon pebisnis. (Clark 2003) menyatakan bahwa masyarakat dan pandangannya mempunyai pengaruh secara langsung terhadap perilaku etis, sedangkan para pendidik dan praktisi belum mampu mengembangkan konsepkonsep etika yang sesuai dengan keadaan dunia bisnis yang sedang berlangsung. Namun, belakangan beberapa akademisi dan parktisi bisnis melihat adanya hubungan sinergis antara etika dan laba. Menurut mereka, justru di era kompetisi yang ketat ini, reputasi baik merupakan sebuah competitive advantage yang sulit ditiru. Salah satu kasus yang dijadikan acuan adalah Johnson & Johnson (J&J) menangani kasus keracunan Tylenol tahun 1982. Pada kasus itu tujuh orang dinyatakan mati secara misterius setelah mengkonsumsi Tylenol di Chicago, tapi setelah itu J&J segera menarik produknya dan bekerjasama dengan polisi, FBI, dan FDA (BPOM-nya Amerika Serikat) menyelidiki, hasilnya membuktikan, keracunan itu disebabkan oleh pihak lain yang memasukkan sianida ke botol-botol Tylenol. Biaya yang dikeluarkan dalam kasus ini lebih dari 100 juta dollar AS. Namun, hasil kesigapan dan tanggung jawab yang mereka tunjukkan, perusahaan itu berhasil membangun reputasi bagus yang masih dipercaya hingga kini. Begitu kasus diselesaikan, Tylenol dilempar kepasaran dengan penutup lebih aman dan produk ini segera kembali memimpin pasar (market leader) di AS. Berdasar latar belakang tersebut, penelitian ini menguji apakah modal intelektual, orientasi etis yaitu orientasi idealisme dan relativisme, serta gender mempengaruhi pengembilan keputusan etis oleh mahasiswa. Responden dalam penelitian ini dipilih mahasiswa salah satu Perguruan Tinggi Swasta di Jogjakarta karena mereka akan menjadi calon pebisnis yang secara intelektual di didik dan dipersiapkan untuk menjadi pebisnis yang etis. Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah: (1) membantu mahasiswa dalam memahami etika bisnis dan membantu dalam memecahkan permasalahan saat menghadapi dilemma etis, (2) bagi pendidik dapat menjadi masukan untuk mengembangkan konsep pendidikan etika dengan lebih memperhatikan perkembangan moral dan pertimbangan etis mahasiswa agar dapat membentuk perilaku etis mahasiswa sebagai calon pebisnis.
LANDASAN TEORI DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS Teori Disonansi Kognitif dan Teori Perilaku Berencana Menurut teori disonansi kognitif, pada dasarnya manusia bersifat konsisten dan akan cenderung mengambil sikap-sikap yang tidak bertentangan satu sama lain, serta menghindari melakukan tindakan yang tidak sesuai dengan sikapnya. Namun demikian, dalam kenyataannya manusia seringkali terpaksa harus melakukan perilaku yang tidak sesuai dengan sikapnya (Severin 2005). Arti disonansi adalah adanya suatu inkonsistensi dan perasaan tidak suka yang mendorong orang untuk melakukan suatu tindakan untuk keluar dari ketidaknyamanan tersebut dengan dampak-dampak yang tidak dapat diukur. Disonansi terjadi apabila terdapat hubungan yang bertolak belakang akibat penyangkalan dari satu elemen kognitif terhadap elemen lain, antara elemen-elemen kognitif dalam diri 90
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Volume 1, Nomor 1, Oktober 2013
inidividu. Disonansi kognitif mengacu ada inkonsistensi dari dua atau lebih sikap-sikap individu, atau inkonsistensi antara perilaku dan sikap. Dalam teori ini, unsur kognitif adalah setiap pengetahuan, opini, atau apa saja yang dipercayai orang mengenai lingkungan, diri sendiri atau perilakunya. Menurut (Severin 2005) teori ini mampu membantu untuk meprediksi kecenderungan individu dalam mengubah sikap dan perilaku dalam rangka untuk mengurangi disonansi yang terjadi. Menurut (Ajzen 1991) dalam Theory Planned of Behavior didasarkan pada asumsi bahwa manusia biasanya akan berperilaku pantas (behave in a sensible manner). Tujuan dan manfaat dari teori ini adalah untuk meramalkan dan memahami pengaruh-pengaruh motivasi perilaku, baik kemauan individu itu sendiri maupun bukan kemauan dari inidividu tersebut. Pada dasarnya teori ini merupakan fungsi dari tiga dasar determinan. Pertama, terkait dengan sikap dasar seseorang (person in nature) disebut dengan attitude toward the behavior (sikap seorang terhadap perilaku). Fungsi dasar determinan yang kedua menggambarkan pengaruh sosial (sosial influence) yang disebut norma subjektif (subjective norm). Persepsi seseorang terhadap perilaku yang bersifat normatif (sesuai dengan norma yang dapat diterima orang lain) akan membentuk suatu norma subyektif dalam diri seseorang. Ketiga yang berkaitan dengan isu kontrol (issues of control) yang disebut dengan perceived behavioral control (persepsi mengenai control perilaku). Faktor ini berkaitan dengan pengalaman masa lalu dan persepsi seseorang mengenai seberapa sulit untuk melakukan suatu perilaku tertentu. Etika Menurut (Cytron 2005) ada beberapa definisi etika tergantung pada kontek yang dibicarakan. Etika berarti watak kesusilaan atau adat kebiasan. Etika biasanya berkaitan erat dengan perkataan moral yang berarti juga adat kebiasaan atau cara hidup seseorang dengan melakukan perbuatan yang baik (kesusilaan), yang menghindari hal-hal yang buruk. Dalam beberapa konteks, etika sinonim dengan filosofi moral, yang mencoba menjawab pertanyaan teoritis mengenai sifat dan rasionalitas moral. Menurut Teori etika Michael Davis seperti yang telah dikutip oleh (Ashgate 2002 dalam Cytron 2005), etika didefinisikan sebagai berikut: standar untuk setiap orang (yang secara rasional terbaik bagi mereka) sehingga orang lain ingin mengikutinya, bahkan jika mungkin mereka harus mengikutinya. Sedangkan dalam kasus lain, etika berarti kode etik khusus yang diterapkan bagi para anggota profesi tertentu. Salah satu pengertian etika menurut (Mappes 1998 dalam Huss dan Denis 1993) adalah Etika dapat didefinisikan sebagai falsafah ilmu moral, dan karena itu, moralitas adalah jelas sebagai karakteristik subjek soal etika. Dari definisi-definisi tersebut, ide utama tentang etika merupakan suatu “aturan main” tertentu yang mengatur perilaku dan seharusnya dipatuhi oleh para anggotanya. Modal Intelektual Menurut Human Capital Theory, modal intelektual memiliki peran yang sangat penting dan strategis di perusahaan. Intelektual kapital ini dapat didorong melalui pendidikan, pelatihan dan pengalaman (Becker 1964). Menurut (Nahapiet dan Ghoshal 1998), intelektual kapital merupakan pengetahuan dan kemampuan yang dimiliki oleh suatu kolektivitas sosial, seperti sebuah organisasi, komunitas intelektual, atau praktek professional. Intellectual kapital mewakili sumber daya yang bernilai dan kemampuan untuk bertindak yang didasarkan pada pengetahuan.
91
Zulhawati
Modal manusia seperti dideskripsikan oleh (Nahapiet dan Ghoshal 1998) adalah atributatribut kualitas populasi (manusia) yang diperoleh (acquired vs innate human abilities) yang diwariskan secara genetik, yang bernilai dan dapat ditingkatkan melalui investasi yang tepat. Modal manusia terdiri atas, 1) ciri-ciri pribadi yang dibawa ke dalam pekerjaan (seperti kecerdasan, energi, sikap positif, dapat dipercaya, berkomitmen), 2) kemampuan untuk belajar (ketrampilan, imajinasi, kreativitas, kelincahan berpikir dan bekerja, kapabilitas mengeksekusi), 3) motivasi untuk berbagi informasi dan pengetahuan tersebut, knowledge dan knowing capability. Namun, dalam penjelasannya, dibedakan dua jenis pengetahuan, yakni pengetahuan individual, baik yang eksplisit maupun yang tacit (automatic knowledge), serta pengetahuan sosial yang juga terdiri atas yang eksplisit (objectified knowledge) dan yang tacit (collective knowledge). Menurut (Bontis 2005), modal intelektual pada level bangsa dipahami sebagai nilai-nilai tersembunyi (hidden values) dari individu-individu, perusahan-perusahaan, institusi-institusi, dan masyarakat serta wilayah yang merupakan sumber nyata maupun potensial bagi penciptaan nilai/kesejahteraan. Lebih jauh, dengan mengadopsi model (Edvinsson dan Malone 1997) dalam (Bontis 2005) merumuskan komponen modal intelektual bagi konteks bangsa atau masyarakat. Menurutnya dalam konteks ini, modal intelektual terdiri atas human capital, organizational capital (dipilah menjadi renewal capital dan process capital), serta market capital. Keseluruhan hal itulah yang membentuk kesatuan entitas modal intelektual. Pendidikan, pelatihan dan pengalaman akan mengubah kemampuan emosional dan kognitif seseorang seiring berjalannya usia dan kemampuan mereka untuk menghadapi isu moral yang berkembang. Pada usia anak-anak secara jujur mampu mengatakan apa yang benar dan apa yang salah, setelah dewasa untuk memutuskan sesuatu memulai mengevaluasi secara kritis standar moral yang ada dan konsekuensinya, dan mengevaluasi ketika tidak konsisten atau tidak masuk akal (Paolillo dan Vitell 2002) Orientasi etika Orientasi etika (ethical orientation atau ethical ideology) berarti mengenai konsep diri dan perilaku pribadi yang berhubungan dengan individu dalam diri seseorang. (Cohen dkk. 1996) menyatakan bahwa setiap orientasi etika individu, pertama-tama ditentukan oleh kebutuhannya. Kebutuhan tersebut berinteraksi dengan pengalaman pribadi dan sistem nilai individu yang akan menentukan harapan atau tujuan dalam setiap perilakunya sehingga pada akhirnya individu tersebut menentukan tindakan apa yang akan diambilnya. Orientasi Etika menurut (Forsyth 1992 dalam Barnett dkk. 1994) dioperasionalisasikan sebagai kemampuan individu untuk mengevaluasi dan mempertimbangkan nilai etika dalam suatu kejadian. Orientasi etika menunjukkan pandangan yang diadopsi oleh masing-masing individu ketika menghadapi situasi masalah yang membutuhkan pemecahan dan penyelesaian etika atau dilema etika. Kategori orientasi etika yang dibangun oleh (Forsyth 1992 dalam Barnett dkk. 1994) menyatakan bahwa manusia terdiri dari dua konsep yaitu idealisme versus pragmatisme, dan relativisme versus nonrelativisme yang ortogonal dan bersama-sama menjadi sebuah ukuran dari orientasi etika individu. Idealisme menunjukkan keyakinan bahwa konsekuensi sebuah keputusan yang diinginkan dapat diperoleh tanpa melanggar nilai-nilai luhur moralitas. Dimensi ini dideskripsikan sebagai sikap individu terhadap suatu tindakan dan bagaimana tindakan itu berakibat kepada orang lain. Individu dengan idealisme yang tinggi percaya bahwa tindakan yang etis seharusnya mempunyai konsekuensi yang positif dan 92
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Volume 1, Nomor 1, Oktober 2013
selalu tidak akan berdampak atau berakibat merugikan kepada orang lain sekecil apapun (Barnett dkk. 1994). Di lain pihak, pragmatisme mengakui hasil keputusan adalah yang utama dan jika perlu mengabaikan nilai-nilai moralitas untuk mendapatkan keuntungan yang lebih besar. Konsep relativisme menunjukkan perilaku penolakan terhadap kemutlakan aturan-aturan moral yang mengatur perilaku individu yang ada. Orientasi etika ini mengkritik penerapan prinsip-prinsip aturan moral yang universal. Relativisme menyatakan bahwa tidak ada sudut pandang suatu etika yang dapat diidentifikasi secara jelas merupakan ‘yang terbaik’, karena setiap individu mempunyai sudut pandang tentang etika dengan sangat beragam dan luas. Kebalikannya, orientasi etika non-relativisme (atau absolutisme) menunjukkan pengakuan adanya prinsip-prinsip moral dengan kewajiban-kewajiban yang mutlak. Orientasi Etika idealisme merupakan sikap yang menganggap bahwa tindakan yang tepat atau benar akan menimbulkan konsekuensi hasil yang diinginkan. Idealisme mengacu pada luasnya seseorang individu percaya bahwa keinginan dari konsekuensi dapat dihasilkan tanpa melanggar petunjuk moral. Seorang individu yang idealis mempunyai prinsip bahwa mereka tidak akan melakukan tindakan yang berkonsekuensi negatif. Seorang yang idealis akan menghindari tindakan yang dapat merugikan orang lain. Idealisme mengacu pada suatu hal yang dipercaya oleh individu dengan konsekuensi yang dimiliki dan diinginkannya tidak melanggar nilai-nilai moral. Seorang yang idealis akan memegang teguh perilaku etis, sehingga individu yang tingkat idealismenya tinggi cenderung menjadi whistle blower dalam menghadapi situasi yang di dalamnya terdapat perilaku tidak etis. Seorang yang idealis juga akan mengambil pilihan yang paling sedikit mengakibatkan kerugian pada individu lain. Sebaliknya individu dengan idealisme yang lebih rendah, mereka menolak prinsip moral universal, mereka berpendapat bahwa terkadang perlu melakukan tindakan negatif untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Orientasi Etika relativisme merupakan teori yang mengatakan bahwa tindakan dapat dikatakan etis atau tidak, benar atau salah, tergantung kepada masyarkat itu. Teori ini menganut aturan etika yang sifatnya tidak universal karena etika dilatar belakangi oleh budaya masing-masing dengan aturan yang berbeda-beda. Individu yang memiliki tingkat relativisme yang tinggi menganggap bahwa tindakan moral tergantung pada situasi dan sifat individu yang terlibat. Dengan kata lain, relativisme etis maupun relativisme moral adalah pandangan bahwa tidak ada standar etis yang secara absolute benar. Dalam penalaran moral seorang individu, ia harus selalu mengikuti standar moral yang berlalu dalam masyarakat dimanapun berada. Sensitivitas etis Sensitivitas etis merupakan kemampuan untuk menyadari nilai-nilai etika atau moral dalam suatu keputusan. Keputusan etis (ethical decision) per definisi adalah sebuah keputusan yang baik secara legal maupun moral dapat diterima oleh masyarakat luas (Trevino 1986; Jones 1991). Beberapa review tentang penelitian etika (Louwers dkk. 1997; Loe dkk. 2000; Paolillo dan Vitell 2002) mengungkapkan beberapa penelitian empirik tentang pengambilan keputusan etis. Mereka menyatakan bahwa salah satu determinan penting perilaku pengambilan keputusan etis adalah faktor-faktor yang secara unik berhubungan dengan individu pembuat keputusan dan variabel-variabel yang merupakan hasil dari proses sosialisasi dan pengembangan masing-masing individu. Faktor-faktor individual tersebut 93
Zulhawati
meliputi variabel-variabel yang merupakan ciri pembawaan sejak lahir (gender, umur, kebangsaan dan sebagainya). Sedangkan faktor-faktor lainnya adalah faktor organisasi, lingkungan kerja, profesi dan sebagainya. Zeigenfuss dan Martison (2002) menyatakan bahwa model pengambilan keputusan etis terdiri dari 4 (empat tahapan), yaitu pertama pemahaman tentang adanya isu moral dalam sebuah dilema etika (recognizing that moral issue exists). Dalam tahapan ini menggambarkan bagaimana tanggapan seseorang terhadap isu moral dalam sebuah dilema etika. Kedua adalah pengambilan keputusan etis (make a moral judgment), yaitu bagaimana seseorang membuat keputusan etis. Ketiga adalah moral intention yaitu bagaimana seseorang bertujuan atau bermaksud untuk berkelakuan etis atau tidak etis. Sedangkan keempat adalah moral behavior, yaitu bagaimana seseorang bertindak atau berperilaku etis atau tidak etis. Jones (1991) menyatakan ada 3 unsur utama dalam pengambilan keputusan etis, yaitu pertama, moral issue, menyatakan seberapa jauh ketika seseorang melakukan tindakan, jika dia secara bebas melakukan tindakan itu, maka akan mengakibatkan kerugian (harm) atau keuntungan (benefit) bagi orang lain. Dalam bahasa yang lain adalah bahwa suatu tindakan atau keputusan yang diambil akan mempunyai konsekuensi kepada orang lain. Kedua adalah moral agent, yaitu seseorang yang membuat keputusan moral (moral decision). Ketiga adalah keputusan etis (ethical decision) itu sendiri, yaitu sebuah keputusan yang secara legal dan moral dapat diterima oleh masyarakat luas. Perkembangan penalaran moral (cognitive moral development), sering disebut juga kesadaran moral (moral reasoning, moral judgment, moral thinking), merupakan faktor penentu yang melahirkan perilaku moral dalam pengambilan keputusan etis, sehingga untuk menemukan perilaku moral yang sebenarnya hanya dapat ditelusuri melalui penalarannya. Artinya, pengukuran moral yang benar tidak sekedar mengamati perilaku moral yang tampak, tetapi harus melihat pada kesadaran moral yang mendasari keputusan perilaku moral tersebut. Dengan mengukur tingkat kesadaran moral akan dapat mengetahui tinggi rendahnya moral tersebut (Jones 1991). Gender Secara kodrati karakter yang dimiliki antara pria dan wanita memang berbeda. Pengaruh dari perbedaan gender terhadap penilain etis sangat komplek dan tidak pasti. Hasil penelitian (Sankaran dan Bui 2003) menunjukkan bahwa seorang perempuan akan lebih peduli terhadap perilaku etis dibanding laki-laki. Pendapat lain mengenai perbedaan yang berdasarkan jenis kelamin dalam pemikiran moral, berdasarkan fakta bahwa struktur penghargaan dan pendorong suatu profesi yang diberikan memaksa semuanya untuk mengembangkan kepercayaan-kepercayaan moral dan nilai-nilai moral yang serupa. Karenanya, laki-laki dan perempuan pada profesi yang sama akan menunjukkan perilaku moral serupa. Modal Intelektual dan Sensitivitas Etis Theory Planned of Behavior mengasumsikan bahwa manusia biasanya akan berperilaku pantas dengan dasar tiga fungsi dasar determinan, yaitu : (1) attitude toward the behavior, (2) subjective norm, (3) perceived behavior control. Fungsi dasar determinan attitude toward behavior dan subjective norm mampu menjelaskan sikap dari diri sesorang, sesuai dengan lingkungan dan norma-norma yang diyakini orang-orang di sekitarnya. Orang lain akan menilai seseorang yang berkeahlian tinggi pasti akan berperilaku baik, oleh karena itu setiap 94
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Volume 1, Nomor 1, Oktober 2013
individu dengan keahlian tertentu biasanya akan bersikap sesuai dengan bagaimana persepsi orang lain terhadap dirinya. Mendasari teori ini, maka modal intelektual didudukkan di tempat strategis dalam konteks kinerja atau kemajuan suatu organisasi atau masyarakat, fenomena ini merujuk berdasar pergeseran tipe masyarakat dari masyarakat industrialis dan jasa ke masyarakat pengetahuan. (Drucker 1997, 2001) misalnya meramalkan datangnya dan sekaligus mendeskripsikan pergeseran ke arah era masyarakat pengetahuan (knowledge society). Dalam masyarakat tipe ini, pengetahuan, juga kapabilitas untuk belajar (learning capability), dan tindakan berinvestasi untuk maksud membangun basis-basis intelektual merupakan penggerak perubahan yang cepat dalam masyarakat dan karenanya manusia sebagai pekerja pengetahuan (knowledge worker) menjadi aktor utamanya. Intellectual capital adalah materi intelektual (pengetahuan, informasi, property intelektual, pengalaman) yang dapat digunakan untuk menciptakan kekayaan. Ini adalah suatu kekuatan akal kolektif atau seperangkat pengetahuan yang berdaya guna (Stewart, 1997). Berdasarkan uraian tersebut, diatas maka hipotesis kedua dari penelitian ini adalah: H1: Terdapat pengaruh positif antara modal intelektual dengan sensitivitas etis mahasiswa Orientasi Etika dan Sensitivitas Etis Faktor yang penting dalam penilaian dan perilaku etis adalah kesadaran para individu bahwa mereka adalah agen moral. Kemampuan untuk menyadari adanya nilai-nilai etik atau moral dalam suatu keputusan inilah yang disebut sensitivitas etis. Keputusan atau tindakan yang berkaitan dengan masalah moral harus mempunyai konsekuensi buat yang lain dan harus melibatkan pilihan atau kerelaan memilih dari sang pembuat keputusan. Definisi ini jadi memiliki pengertian yang luas, karena keputusan seringkali memiliki konsekuensi bagi pihak lain dan kerelaan untuk memilih hampir selalu merupakan pemberian, walaupun pilihanpilihan itu seringkali memiliki risiko yang berat. Dalam beberapa hal, banyak keputusan dinilai sebagai keputusan moral hanya karena memiliki kandungan moral, padahal tidak demikian. Seperti yang dikatakan oleh (Jones 1991), bahwa suatu keputusan dapat dinilai dari segi moral jika pada saat keputusan itu dibuat dengan memperhitungkan atau memasukkan nilai-nilai moral. Ratdke (2000) mengemukakan bahwa sensitivitas etis mahasiswa merupakan gambaran atau proksi dari tindakan etis mahasiswa setelah lulus. Sensitivitas merupakan ciri-ciri tindakan yang mendeteksi kemungkinan lulusan dalam berperilaku etis. Apabila sebagai calon pebisnis, mahasiswa telah berperilaku tidak etis maka kemungkinan setelah lulus akan berperilaku tidak etis. Hal ini perlu dideteksi sejak awal sebagai awal untuk mencegah perilaku tidak etis melalui cakupan atau muatan kurikulum etika, sehingga sebagai calon pebisnis mampu bersaing dan bertindak secara profesional. Keputusan etika menjadi rumit untuk dinilai terutama karena peraturan-peraturan yang ada tidak secara sempurna dapat menjadi sarana terwujudnya keputusan yang etis. Seringkali terjadi bahwa keputusan yang legal tidak selalu etis. Keadaan yang bias ini seringkali menjadi pemicu adanya masalahmasalah etika. Model yang diajukan Trevino (1986) dapat jelaskan yaitu ketika seseorang dihadapkan pada sebuah dilema etika maka individu tersebut akan mempertimbangkannya secara kognitif dalam benaknya. Hal ini searah dengan pernyataan Jones (1991) tentang moral issue yang ada dalam dilema etika tersebut bahwa kesadaran kognitif moral seseorang tergantung kepada 95
Zulhawati
level perkembangan moral. Pembentukan pemahaman tentang moral issue tersebut akan tergantung kepada faktor individual (pengalaman, orientasi etika dan komitmen kepada profesi) dan faktor situasional (nilai etika organisasi). Mahasiswa yang memiliki idealisme tinggi akan memberikan persepsi yang positif terhadap perilaku etis, sedangkan orientasi relativisme tidak ada standar etis yang secara absolute benar. Individu yang tergolong idealisme lebih sensitif terhadap situasi yang melanggar norma atau aturan, sedangkan individu yang tergolong relativisme justru tidak mengindahkan prinsip-prinsip yang ada dan lebih melihat pada keadaan sekitar sebelum akhirnya bertindak merespon suatu kejadian yang melanggar etika. Individu relativis cenderung mengabaikan prinsip dan kurang bertanggung jawab. Berdasarkan penjelasan tersebut maka dalam penelitian ini dihipotesiskan: H2: Orientasi etika idealisme mahasiswa mempunyai pengaruh positif terhadap sensitivitas etis mahasiswa H3: Orientasi etika relativisme mahasiswa mempunyai pengaruh terhadap sensitivitas etis mahasiswa Gender dan Sensitivitas Etis Teori disonansi kognitif membantu menjelaskan pengaruh gender terhadap sensitivitas etis. Sifat psikologis manusia yang pada dasarnya mencari kenyamanan dalam segala situasi membuat teori ini menjadi dasar mengapa wanita dan pria berbeda cara berpikir dan berperilaku serta pengolahan informasi. Setiap individu dituntut memiliki kemampuan dalam memproses informasi (secara kognitif). Hasil penelitian (Chung dan Monroe 2001) membuktikan bahwa auditor wanita lebih akurat dibandingkan dengan auditor pria dalam melakukan penugasan yang kompleks. Wanita lebih berperilaku etis daripada laki-laki. Berdasarkan uraian di atas, maka hipotesis keempat penelitian ini adalah sebagai berikut: H4: Gender mempengaruhi sensitivitas etis mahasiswa
METODE PENELITIAN Deskripsi sampel Metode pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan metode kuesioner. Data dikumpulkan melalui personal. Metode ini menggunakan penyebaran kuesioner yang telah disusun secara terstuktur, sejumlah pertanyaan tertulis disampaikan pada responen untuk ditanggapi sesuai dengan kondisi yang dialami oleh responden yang bersangkutan. Pertanyaan berkaitan dengan data demografi responden serta opini atau tanggapan terhadap sensitivitas etis, modal intelektual, orientasi etika serta gender dari mahasiswa yang telah mengambil matakuliah etika bisnis dan profesi, alasan ini dipilih karena mahasiswa pada level tersebut sudah mendapatkan pengetahuan tentang hal-hal yang pantas dilakukan atau tidak kaitannya dengan bisnis. Mahasiswa diambil dari salah satu Perguruan Tinggi Swasta di Kota Yogyakarta. Variabel penelitian dan definisi operasional variabel Dalam penelitian ini variabel dependennya adalah sensitivitas etis mahasiswa, sedangkan variabel independennya adalah modal intelektual, orientasi etika idealisme, orientasi etika relativisme dan gender. Definisi operasional masing-masing variabel adalah: 96
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Volume 1, Nomor 1, Oktober 2013
Modal Intellectual diukur dengan menggunakan item pertanyaan tentang kemampuan seseorang untuk menghasikan solusi terbaik berdasarkan pengetahuan. Tujuh item pertanyaan digunakan untuk mengetahui kemampuan mahasiswa dengan tingkat pengetahuannya, informasi yang diperoleh, dan pengalaman yang didapat digunakan untuk memberikan solusi terbaiknya. Pertanyaan menggunakan 1, 2, 4 dan 5 skala likert. Arti dari skor 1 adalah sangat tidak setuju, skor 2 tidak setuju, skor 4 setuju dan skor 5 sangat setuju. Dalam penelitian ini skor 3 atau netral sengaja tidak dicantumkan sebagai pilihan dalam kuesionear, karena menurut pertimbangan peneliti skor netral kurang memberikan manfaat dan cenderung memberikan pilihan kepada responden tidak bertanggung jawab. Orientasi Etika, Variabel orientasi etika dalam penelitian ini menggunakan instrumen yang disusun oleh (Forsyth 1980) yang juga diadopsi oleh (Ziegenfuss dan Singhapakdi 1994) yaitu Ethics Position Questionaire (EPQ) dengan penyesuaian karena respondennya mahasiswa. EPQ untuk mengukur idealisme dan relativisme, yang merupakan dua faktor dasar dari nilai etika individual. Idealisme adalah suatu sikap yang menganggap bahwa tindakan yang tepat atau benar akan menimbulkan konsekuensi atau hasil yang diinginkan. Seorang individu yang idealis mempunyai prinsip bahwa merugikan individu lain adalah hal yang selalu dapat dihindari dan mereka tidak akan melakukan tindakan yang mengarah pada tindakan yang berkonsekuensi negatif. Item pertanyaan tentang idealisme menanyakan persepsi mahasiswa tentang keharusan tidak merugikan orang lain, tidak menyakiti orang lain dan harus bermoral. Pertanyaan kuesioner berjumlah 10 dengan menggunakan 1, 2, 4 dan 5 skala likert. Arti dari skor 1 adalah sangat tidak setuju, skor 2 tidak setuju, skor 4 setuju dan skor 5 sangat setuju. Jika individu tersebut sangat setuju dengan pertanyaan tersebut maka diasumsikan bahwa individu tersebut memiliki tingkat idealisme yang tinggi, namun jika individu tersebut sangat tidak setuju maka diasumsikan bahwa individu tersebut memiliki tingkat idealisme yang rendah. Item pertanyaan tentang relativisme menanyakan persepsi mahasiswa tentang tipe moralitas yang berbeda-beda, etika pribadi, dan kebohongan situasional. Secara umum relativisme berpendapat bahwa manusia, budaya, etika, moral, agama, bukanlah perbedaan hakikat, melainkan perbedaan karena faktor-faktor diluarnya. Pertanyaan kuesioner berjumlah 10 dengan menggunakan 1, 2, 4 dan 5 skala likert. Arti dari skor 1 adalah sangat tidak setuju, skor 2 tidak setuju, skor 4 setuju dan skor 5 sangat setuju. Jika individu tersebut sangat setuju dengan pertanyaan tersebut maka diasumsikan bahwa individu tersebut memiliki tingkat relativisme yang tinggi, namun jika individu tersebut sangat tidak setuju maka diasumsikan bahwa individu tersebut memiliki tingkat relativisme yang rendah. Gender adanya fenomena professional wanita yang sebanding dengan pria pada saat ini, menjadi salah satu dasar mengapa variabel gender akan mempengaruhi pengambilan keputusan etis. Perbedaan sifat diantara wanita dan pria membuat intensi perilaku dan pola berfikir yang berbeda pula. Indikator penelitian untuk variabel gender terlihat dari demografi responden pada kuesioner, dengan keterangan (1) Wanita, (0) Pria. Sensitivitas Etis menggunakan skenario yang akan membantu menstandarisasikan stimulus sosial dari responden dan pada saat bersamaan merupakan gambaran yang lebih nyata dalam proses pembuatan keputusan etis. Hal ini sesuai dengan dua tahapan pertama pengambilan keputusan etis menurut (Zeigenfuss dan Martison 2002) yaitu tahapan pemahaman mengenai ada tidaknya muatan etika dan tahapan pengambilan keputusan etis itu sendiri. Pertanyaan 97
Zulhawati
berkaitan dengan mahasiswa tidak akan melakukan pemalsuan, tindakan kekerasan, pencurian, adu domba, kecurangan, dan pelanggaran perjanjian. Pertanyaan kuesioner berjumlah 5 dengan menggunakan 1, 2, 4 dan 5 skala likert. Arti dari skor 1 adalah sangat tidak setuju, skor 2 tidak setuju, skor 4 setuju dan skor 5 sangat setuju. Jika individu tersebut sangat setuju dengan pertanyaan tersebut maka diasumsikan bahwa individu tersebut memiliki tingkat sentitivitas etis yang tinggi, namun jika individu tersebut sangat tidak setuju maka diasumsikan bahwa individu tersebut memiliki tingkat sentitivitas etis yang rendah. Analisis data dalam penelitian ini menggunakan analisis regresi berganda. Variabel dependen dalam penelitian ini adalah sensitivitas etis mahasiswa dengan variabel independen adalah modal intelektual, orientasi etika (idealisme dan relativisme) dan gender. Sebelum melakukan uji hipotesis penulis melakukan uji validitas kuesioner untuk mengukur sah atau valid tidaknya suatu kuesioner dan pengujian reliabelnya atau handalnya kuesioner untuk menguji konsistensi jawaban responden.
HASIL DAN PEMBAHASAN Kuesioner diberikan secara langsung kepada mahasiswa saat perkuliahan. Responden yang digunakan sebagai sampel adalah mahasiswa yang telah mengambil matakuliah etika bisnis, harapannya mahasiswa dapat membedakan tindakan etis dan tidak etis. Dari sejumlah 100 kuesioner yang disebarkan, 72 kuesioner yang kembali. Kemudian dari 72 kuesioner, 2 tidak terjawab lengkap, sehingga yang diolah dalam penelitian ini hanya 70 kuesioner. Sebelum pengujian hipotesis, maka peneliti melakukan pengujian validitas untuk mengukur sah atau valid tidaknya suatu kuesioner. Pengujian validitas dalam penelitian ini digunakan loading factor. Kuesioner juga dinilai reliabelnya atau handalnya, jika jawaban seseorang terhadap pertanyaan adalah konsisten atau stabil dari waktu ke waktu maka didapatkan Cronbach Alpha yang besar. Hasil uji validitas dan reliabilitas masing-masing variabel tersaji dalam tabel 1 berikut: Tabel 1 Uji Validitas dan Reliabilitas Pengukuran Kode Items Modal Intelektual MI1 MI2 MI3 MI4 MI5 MI6 MI7 Orientasi Idealisme OI1 OI2 OI3 OI4 OI5 98
Factor
Alpha 0,805
0,57 0,65 0,60 0,79 0,63 0,72 0,77 0,837 0,73 0,57 0,78 0,81 0,87
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Volume 1, Nomor 1, Oktober 2013
OI6 0,77 OI7 0,79 OI8 0,86 OI9 0,79 OI10 0,81 Orientasi Relativisme OR1 0,70 OR2 0,72 OR3 0,74 OR4 0,73 OR5 0,78 OR6 0,72 OR7 0,74 OR8 0,87 OR9 0,81 OR10 0,83 Sensitivitas Etis SE1 0,88 SE2 0,92 SE3 0,74 SE4 0,89 SE5 0,84 Sumber : Ouput SPSS
0,719
0,883
Dari tabel 1 tersebut menyajikan hasil uji validitas dan reliabilitas. Hasil uji dapat dilihat bahwa penelitian ini mempunyai factor loading lebih besar dari 0,5, sehingga indikatorindikator tersebut dapat diterima sebagai pengukur variabel laten penelitian. Uji kekonsistenan indikator-indikator dalam satu variabel dilakukan dengan uji reliabilitas Cronbach Alpha, nilai Cronbach Alpha telah melampui rule of thumb alpha sebesar minimal 0,6. Jadi data penelitan ini lolos uji reliabilitas (Ghozali 2011). Setelah lolos uji validitas dan reliabilitas, maka selanjutnya menguji hipitesis dengan analisis regresi, untuk menguji pengaruh modal intelektual, orientasi etika idealisme, orientasi etika relativisme dan gender terhadap sensitivitas etis mahasiswa. Hasil analisis regresi untuk menguji hipotesis dapat dilihat pada tabel 2 berikut: Tabel 2 Hasil uji hipotesis Koefisien T Constant 1.876 5.910 Modal Intelektual 0.137 2.515 Idealisme 0.160 2.169 Relativisme 0.416 1.830 Gender 0.172 1.000 Dependen Variabel: Sentitivitas Etis R2 : 0,254 F Statistik: 5.000 2 Adjusted R : 0,052 Signifikansi: 0,008 ∗
∗
signifikan pada α = 5%, R2 dan Adjusted R2 untuk menguji besarnya korelasi, F Statistik untuk menguji model ∗
99
Zulhawati
Hasil uji F untuk mengetahui apakah variabel independen dapat menjadi prediktor bagi variabel dependen. Nilai F sebesar 5,000 dengan nilai signifikansi sebesar 0,008 diterima pada taraf signifikansi 5%. Artinya model regresi mengenai modal intelektual, orientasi etika idealisme, orientasi etika relativisme dan gender terhadap sensitivitas etis signifikan secara statistik. Hal ini menunjukkan bahwa modal intelektual, orientasi etika idealisme, orientasi etika relativisme dan gender dapat memprediksi sensitivitas etis mahasiswa. Hipotesis satu mengatakan bahwa terdapat pengaruh positif antara modal intelektual dengan sensitivitas etis. Hasil uji regresi didapat nilai koefisien modal intelektual adalah sebesar 0,137 dengan nilai t sebesar 2,515 dan signifikansi 0,013 (sig<0,05), berarti variabel modal intelektual berpengaruh secara positif terhadap sensitivitas etis mahasiswa. Hipotesis dua mengatakan bahwa terdapat pengaruh positif antara orientasi etika idealisme dengan sensitivitas etis. Hasil uji regresi didapat nilai koefisien orientasi etika idealisme sebesar 0,160 dengan nilai t sebesar 2,169 dan signifikansi 0,032 (sig<0,05), berarti variabel orientasi etika idealisme berpengaruh secara positif terhadap sensitivitas etis mahasiswa. Hipotesis tiga mengatakan bahwa terdapat pengaruh antara orientasi etika relativisme dengan sensitivitas etis. Hasil uji regresi didapat nilai koefisien orientasi etika relativisme sebesar 0,416 dengan nilai t sebesar 1,830 dan signifikansi 0,072 (sig>0,05), berarti variabel orientasi etika relativisme tidak signifikan berpengaruh sensitivitas etis mahasiswa. Hasil uji hipotesis empat nilai koefisiennya sebesar 0,172 dengan nilai t sebesar 1,000 dan signifikansi 0,321, sehingga variabel gender juga tidak signifikan berpengaruh sensitivitas etis mahasiswa. Dari hasil pengujian determinasi menghasilkan nilai R2 dan Adjusted R2 sebesar 0,254 dan 0,052 sehingga dapat dikatakan bahwa korelasi variabel modal intelektual, orientasi etika idealisme, orientasi etika relativisme dan gender terhadap sensitivitas etis sebesar 25,4% (5,2%), sehingga masih banyak variabel yang belum terobservasi dalam penelitian ini. Hasil pengujian ini sesuai dengan Theory Planned of Behavior yang mengasumsikan bahwa manusia biasanya akan berperilaku pantas dengan dasar tiga fungsi dasar determinan, yaitu : (1) attitude toward the behavior, (2) subjective norm, (3) perceived behavior control. Fungsi dasar determinan attitude toward behavior dan subjective norm mampu menjelaskan sikap dari diri sesorang, sesuai dengan lingkungan dan norma-norma yang diyakini orang-orang di sekitarnya. Orang lain akan menilai seseorang yang berkeahlian tinggi pasti akan berperilaku baik, oleh karena itu setiap individu dengan keahlian tertentu biasanya akan bersikap sesuai dengan bagaimana persepsi orang lain terhadap dirinya. Hasil pengujian ini menunjukkan bahwa semakin banyak pengetahuan yang dimiliki oleh mahasiswa maka mahasiswa tersebut dalam bertindak berdasarkan pengetahuannnya tentang etika. Dengan adanya pengetahuan yang dimiliki maka akan berpengaruh terhadap penalaran yang diberikan individu dalam tiap tahapan perkembangan moral sehingga terdapat perubahan perkembangan dan perilaku pada tiap tahap perkembangan moral individu. Mahasiswa dengan idealisme tinggi akan menjunjung tinggi nilai-nilai etika. Idealisme yang tinggi akan membawa mahasiswa kepada orientasi etika dan selalu memegang teguh sesuai dengan aturan yang berlaku. Hal ini mengindikasikan pentingnya pembelajaran etika pada 100
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Volume 1, Nomor 1, Oktober 2013
setiap level perkuliahan, sehingga memberikan pemahaman yang baik mengenai etika dan proses pembelajaran yang efektif, akhirnya saat dihadapkan pada kasus sensitivitas etis mahasiswa dapat memberikan penilaian dengan tegas. Hal ini sesuai dengan penelitian (Hunt dkk 1989) yang menyatakan bahwa nilai etika organisasi merupakan komponen sangat penting dalam kultur organisasi dan secara interaktif merupakan pembentuk orientasi etika individu dalam organisasi. Temuan ini menunjukkan bahwa orientasi etika mahasiswa berpengaruh secara positif terhadap keputusan yang diambil dalam situasi dilema etika. Hasil pengujian orientasi etika relativisme tidak signifikan, hal ini menunjukkan bahwa individu yang memiliki sifat relativisme akan lebih fleksibel dalam menanggapi suatu kasus, sehingga saat memutuskan kasus yang berkaitan dengan sensitivitas etis akan menyesuaikan keadaan dan terpaksa harus melakukan perilaku yang tidak sesuai dengan sikapnya. Sesuai teori disonansi disaat individu merasakan akan menimbulkan ketidaknyamanan psikologis, hal ini akan memotivasi seseorang untuk mengurangi disonansi tersebut dan mencapai konsonansi. Artinya pada saat timbul suatu inkonsistensi dan perasaan tidak suka yang mendorong orang untuk melakukan suatu tindakan untuk keluar dari ketidaknyamanan tersebut dengan dampak-dampak yang tidak dapat diukur. Disonansi terjadi apabila terdapat hubungan yang bertolak belakang akibat penyangkalan dari satu elemen kognitif terhadap elemen lain, antara elemen-elemen kognitif dalam diri inidividu. Disonansi kognitif mengacu ada inkonsistensi dari dua atau lebih sikap-sikap individu, atau inkonsistensi antara perilaku dan sikap. Unsur kognitif yang terjadi berdasar pengetahuan, opini, atau apa saja yang dipercayai orang mengenai lingkungan, diri sendiri atau perilakunya mampu membantu untuk meprediksi kecenderungan individu dalam mengubah sikap dan perilaku dalam rangka untuk mengurangi disonansi yang terjadi. Hasil pengujian menemukan gender tidak signifikan mempengaruhi sensitivitas etis mahasiswa. Mahasiswa yang bergender perempuan belum tentu akan menilai sensitivitas etis dengan lebih baik dari pada laki-laki. Hal ini menunjukkan bahwa individu yang bergender perempuan dan laki-laki tidak terdapat perbedaan intensitas etis maupun evaluasi etis. Hasil ini konsisten dengan teori fungsional struktural. Teori ini dipengaruhi oleh adanya asumsi kesamaan antara kehidupan organisme biologis dan struktur sosial tentang adanya keteraturan dan keseimbangan dalam masyarakat. Asumsi dasar teori fungsional struktural, yaitu bahwa masyarakat terintegrasi atas dasar kesepakatan dari para anggotanya akan nilai-nilai kemasyarakatan tertentu yang mempunyai kemampuan mengatasi perbedaan-perbedaan sehingga masyarakat tersebut dipandang sebagai suatu sistem yang secara fungsional terintegrasi dalam suatu keseimbangan. Pekerjaan membentuk perilaku melalui struktur reward, laki-laki dan perempuan akan memberi respon yang sama pada lingkungan jabatan yang sama. Jadi pendekatan struktural memprediksikan bahwa laki-laki dan perempuan yang mendapat pelatihan dan jabatan yang sama akan menunjukkan prioritas etis yang sama pula. SIMPULAN Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menguji pengaruh modal intelektual, orientasi idealisme, orientasi relativisme dan gender terhadap sensitivitas etis mahasiswa. Berdasarkan hasil uji statistika maka dapat disimpulkan bahwa modal intelektual dan orientasi idealisme mempengaruhi sensitivitas etis mahasiwa. Sedangkan untuk variabel orientasi relativisme dan gender tidak mempengaruhi sensitivitas etis mahasiwa. Hasil pengujian ini menunjukkan 101
Zulhawati
bahwa semakin banyak pengetahuan yang dimiliki oleh mahasiswa maka akan berpengaruh terhadap penalaran yang diberikan individu dalam tiap tahapan perkembangan moral sehingga terdapat perubahan perkembangan dan perilaku pada tiap tahap perkembangan moral individu. Berdasarkan hasil penelitian ini maka berimplikasi pada materi ajar yang harus didesain dengan memasukkan materi etika pada tiap-tiap level pembelajaran. Mahasiswa dengan idealisme tinggi akan menjunjung tinggi nilai-nilai etika dan selalu memegang teguh sesuai dengan aturan yang berlaku. Hal ini mengindikasikan pentingnya pembelajaran etika pada setiap level perkuliahan, sehingga memberikan pemahaman yang baik mengenai etika dan proses pembelajaran yang efektif, akhirnya saat dihadapkan pada kasus sensitivitas etis mahasiswa dapat memberikan penilaian dengan tegas. Temuan ini menunjukkan bahwa orientasi etika idealisme mahasiswa berpengaruh secara positif terhadap keputusan yang diambil dalam situasi dilema etika. Individu yang memiliki sifat relativisme akan lebih fleksibel dalam menanggapi suatu kasus, sehingga saat memutuskan kasus yang berkaitan dengan sensitivitas etis akan menyesuaikan keadaan dan terpaksa harus melakukan perilaku yang tidak sesuai dengan sikapnya. Saat individu pada posisi ketidaknyamanan psikologis, maka akan memotivasi seseorang untuk melakukan suatu tindakan untuk keluar dari ketidaknyamanan tersebut dengan dampakdampak yang tidak dapat diukur. Berdasar pengetahuan, opini, atau apa saja yang dipercayai orang mengenai lingkungan, diri sendiri atau perilakunya maka individu tersebut akan mengubah sikap dan perilakunya. Mahasiswa yang bergender perempuan belum tentu akan menilai sensitivitas etis dengan lebih baik dari pada laki-laki. Hal ini menunjukkan bahwa individu yang bergender perempuan dan laki-laki tidak terdapat perbedaan intensitas etis maupun evaluasi etis. Hasil ini konsisten dengan teori fungsional structural, laki-laki dan perempuan akan memberi respon yang sama pada lingkungan jabatan yang sama, laki-laki dan perempuan yang mendapat pelatihan dan jabatan yang sama akan menunjukkan prioritas etis yang sama pula. Keterbatasan Dari sisi metoda, penelitian ini belum menunjukkan hasil yang memuaskan seperti jumlah responden yang terbatas sehingga dalam penelitian belum dapat digunakan untuk menarik kesimpulan secara umum. Untuk memperjelas hasil penelitian ini, maka perlu dilakukan penelitian lebih lanjut yang mengeksplorasi hubungan faktor-faktor lain yang dapat mempengaruhi pengambilan keputusan etis mahasiswa dalam situasi dilema etika atau dapat juga dibandingkan dengan pelaku bisnis yang telah berpengalaman. Implikasi Terlepas dari berbagai keterbatasan yang ada dalam penelitian ini, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi berbagai pihak yang terkait dengan materi ajar terutama berkaitan sensitivitas etis. Kompleknya proses pengambilan keputusan dalam situasi dilema etis merupakan hal yang harus bisa ditangkap oleh mahasiswa agar proses pembelajaran mampu menciptakan calon pebisnis yang kualified dan etis, memiliki kecerdasan intelektual setara dengan kepekaan nurani, sehingga mampu menciptakan sebuah investasi dan esensi yang sesungguhnya dari konsep human capital.
102
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Volume 1, Nomor 1, Oktober 2013
DAFTAR REFERENSI Ajzen, I. 1991. The Theory of Planned Behavior. Organizational Behavior and Human Decision Processes. 179-211 Barnett, T. K. Bass dan G. Brown. 1994. Ethical Ideology and Ethical Judgment Regarding Ethical Issues in Business. Journal of Business Ethics. vol.13. Becker. Gary S. 1964. Human Capital: A Theoretical and Empirical Analysis, with Special Reference to Education. Chicago. University of Chicago Press. Bontis, Nick. 2005. National Intellectual Capital Index: The Benchmarking of Arab Countries. Boudreau Chung, J and Monroe, G. 2001. A research note on the effects of gender and task complexity on an audit judgment, Behavioral Research in Accounting, Vol. 13 : 111-126 Clark, C.K. 2003. Reviewing the Value Ethic Education. Pennsylvania CPA Journal. Vol. 74. No.2. Cohen, J.R., L.W. Pant dan D.J. Sharp. 1996. Measuring the Ethical Awareness and Ethical Orientation of Canadian Auditors. Behavioral Research in Accounting,Vol. 8. Supplement. Cytron, Scot H. 2005. Evolving Curricula: Ethics Proposal Stirs Debate. Catalyst, September – Oktober. Drucker, Peter F. 1997. Manajemen di Tengah Perubahan Besar. Jakarta: Elex Media Komputindo. Drucker, Peter F. 2001. The Essential Drucker. New York: Harper Collins. Fitz-enz, Jac. 2000. The ROI of Human Capital: Measuring the Economic Value of Employee Performance. New York: AMACOM. Ghozali, Imam. 2011. Aplikasi Analisis Multivariate dengan Program SPSS 19. Edisi 5. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro Hunt, S.D.; V.R. Wood dan L.B. Chonko. 1989, Corporate Ethical Values and Organizational Commitment in Marketing, Journal of Marketing, Vol. 53 (July). Huss, H. Fenwick dan Denies M. Patterson. 1993. Ethics in Accounting: Values Education without Indoctrination. Journal of Business Ethics. vol 12 (3):235 - 243 Jones, T.M. 1991. Ethical Decision Making by Individuals in Organizations: An IssueContingent Model. Academy of Management Review, Vol. 16 No. 2, hal. 366-395. Loe, T.W., L. Ferrel dan P. Mansfield. 2000. A Review of Empirical Studies Assesing Ethical Decision Making in Business. Journal of Business Ethics. Vol. 25, hal. 185-204.
103
Zulhawati
Louwers, T.J.; L.A. Ponemon dan R.R. Radtke. 1997. Examining Accountants’ Ethical Behavior: A Review and Implications for Future Research dalam Behavioral Accounting Research: Foundation and Frontiers, Editor Vicky Arnold dan Steve G. Sutton Nahapiet, Janine and Sumantra Ghoshal. 1998. Social Capital, Intellectual Capital, and the Organizational Advantage. Academy of Management Review Vol 23 No. 2, 242-266. Paolillo, J.G.P dan S.J. Vitell. 2002. An Empirical Investigation of the Influence of Selected Personal, Organizational and Moral Intensity Factors on Ethical Decision Making”, Journal of Business Ethics 35. hal. 65-74. Radtke, R.R. 2000. The Effect of Gender and Setting on Accountants’ Ethically Sensitive Decisions. Journal of Business Ethics. Vol 24(4). 299-312 Russel, K.A dan C.S. Smith. 2003. Accounting Education’s Role in Corporate Malfeasance: Its’s Time for a New Curriculum, Strategic Finance, Vol. 85, No.6 Sankaran. S. dan Bui, T. 2003. Relationship between student’s characteristics and ethics:Implications for educators. Journal of Instructional Psychology. 30 (3). pp. 240253 Severin, Werner J. 2005. Teori Komunikasi; Sejarah, Metode Dan Terapan Dalam Media Massa. terjemahan. Sugeng Hariyanto. Jakarta: Kencana Stewart, T. 1997. Intellectual capital: the new wealth of organizations. New York, NY: Doubleday. Trevino, L.K. 1986. Ethical Decision Making in Organizations: A Person-Situation Interactionist Model. Academy of Management Review, Vol. 11. No. 3. Ziegenfuss, D.E. dan O.B. Martinson. 2002. The IMA Code of Ethics and IMA Members’ Ethical Perception and Judgment. Managerial Auditing Journal, Vol. 17 No. 4. Ziegenfuss, D.E. dan A. Singhapakdi. 1994. Professional Values and Ethical Perceptions of Internal Auditors. Managerial Auditing Journal, Vol. 9 No. 1.
104
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Volume 1, Nomor 1, Oktober 2013
BELIEF STRENGTH IN LOW-PRICED PRODUCT CONSUMPTION EXPERIENCE Ignasius Heri Satrya Wangsa (
[email protected]) De La Salle University, Malaysia
ABSTRACT This research aims to identify emotional values within low-priced product attractiveness context by employing scientific rationalization on belief strength in consumption experience. Comparison among two price-benefit regimes i.e. “cheap is the best” and “expensive is the best” is made. Belief strength is applied to explore new dimension in low-priced product consumption experience research. Keywords: belief strength, low-priced product attractiveness, low-priced product consumption experience
INTRODUCTION Most products have been equipped with attractive element or “cosmetics” to trigger buying behavior. In many cases it has shown that buying behavior is not the end. Some start developing “eye-catching” elements to mainly attract attention. Therefore, the cosmetical dimension might lead to be effective tool to draw attention which at the end would contribute benefit to consumer’s perception. This drawing attention is consumption experience which has become the product itself. In other words, consumption experience does not start from consuming the tangible appearance rather it begins with consuming the intangible representation (of product). The reality of technology has been offering a very sophisticated way to create manipulation of image. Indeed, in certain degree, image manipulation creativity leads to be a significant factor contributing to emotion. In the context of low-priced product attractiveness, emotional values lay in consumer’s rationality on the connection between low price and high quality. Irrationality and emotion can potentially go to reciprocal direction. However, in most cases that emotion is the root for irrationality, people have become so irrational when they fail to manage emotion. Based on the above background, three areas are covered in this research. First, belief strength (Smith & Swinyard, 1982) in which consumer’s decision has been made in an extreme and subjective way. Belief strength may create barrier of consumer’s access to think rationally toward the product. Consumer brings himself to the extreme point referring to perception of the highest degree of benefit such as in the idea of symbolic price “high price is the best” and rationalization of “less for more”. This perspective leads to two different orientations of price i.e. price as major indicator to product value (high price represents high quality) and price as the main reason for relative thinking (low price is relative to more savings). In the symbolic price, high price would always have high benefit (e.g. for social acceptance) and becomes the only main indicator for high quality. In the opposite way, low price is always beneficial for “investment” i.e. creating more savings. Second, experience of surprising moment (moment of truth) which involves emotion. Third, responses of rejection or appreciation. 105
Ignasius Heri Satrya Wangsa
This research is trying to integrate the construct of belief strength with experience of surprising moment (moment of truth) which involves cognitive activity and responses of rejection or appreciation. In belief strength of savings benefit (low price for high quality or benefit) the perception of “cheap is the best” most likely happens. Perception of “expensive is the best” happens in belief strength of social benefit (high price for high quality or benefit). In both context of belief strength, consumers’ experience of surprising moment produces response of appreciation when there is no gap or distance between consumers’ expectation and product performance. Response of rejection happens if product can not meet with expectation. THEORETICAL FRAMEWORK Price has become main object in marketing research as its ability to explain market behaviour. Prices as market instrument is used to allocate scarce resources and constrain desires and coordinate actions. In practical aspect, contribution of price-related research is to know the social phenomena of human behaviour, specifically to structure sociological theories (Becker 1976:5). Context of price-consumer connectivity brings consumer as the main actor in price consumption process in which consumption as expressing the making use of price or acquisition of price utility (see Nassar Senior in Becker). The value and utility designate the worth that a person attaches to a good or service. They are not inherent in the good or service but they are inherent in regard a person or people have for it. Likewise, attachment or having to a good or service means that it has worth (and, at the same time, value and utility). Possession which leads to a satisfaction means that a good or service has worth i.e. value and utility. There is emotional dimension of value and utility as mentioned by Fabricky (1998). First, the range of emotion and user’s evaluation of the utility. The utility that available good or service may have in the mind of a prospective user may be expected to be such that his desire for them will range from abhorrence, through indifference, to intense desire. Second, most things that have utility for an individual are physically manifested. Price has utility (for an individual) with physical aspects in “realization through emotional senses”. Hence, the physical aspects of price might be “creation of certain emotion”. Third, the wants of people are motivated largely by emotional drives and tensions, and to a lesser extent by logical reasoning processes. Krug & Cass (1989) mention that emotion, behavior, thinking or somatic responses are manifestation of disturbance in affect. Emotion is more transient, less pervasive, more directly reflected in physiological responses, and more specific in ideational content. In certain condition, emotion can also be very sensitive or emotional liability i.e. emotional responses in excess of what is usually anticipated even with minor stimuli. Consumer’s response to value and utility involves his cognitive actity. In other words, there is cognitive component of response (see Smith & Swinyard, 1982). Cognitions have been measured as recall or recognition of the product or its attributes. Fishbein and Ajzen has introduced analysis of cognitive variable using diagnostic value of expectancy-value model to identify belief strength. It is the magnitude of the subjective probability of association between the attribute and the object. Increasing belief strengths could contribute to overall 106
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Volume 1, Nomor 1, Oktober 2013
affect in a nonlinear manner by raising total affect in some multiple of the increase in belief strength. (Smith & Swinyard, 1982). Cognitive refers to thinking activity which is a process of conceptualization, construction, manipulation, and communication of symbols. Product of thinking activity is thought manifested in categories of language (Benveniste in Lechte, 1994). Thought contains ideas of reference. Any events interpreted as having special personal meaning can be part of ideas of reference (see Krug & Cass, 1989:15). METHODS Methodological framework for this research is derived from integration of three methods of knowing and acquiring knowledge namely tenacity, rational and empirical (Gravetter & Forzano, 2009). Method of tenacity involves holding on to normative idea of price and product quality relationship. Rational method is logical reasoning of positive direction in price and product quality relationship. While empirical method is applied by qualitativequantitative approach to know the phenomena of belief strength in low-priced product consumption experience. In this research, belief strength is used to know the degree of emotion with five Likert-scales as the tool. Two extreme points or values of 1 (=strongly disagree) and 5 (=strongly agree) in the Likert-scale are chosen as the indicator for belief strength. In addition, belief strength may potentially happen when the sample mean value is close to those points or values as it is indicated by the lower value of sample mean difference. Belief strength may not potentially happen when the sample value is far from the extreme points of 1 (=strongly disagree) and 5 (=strongly agree) as it is indicated by the greater value of sample mean difference. Participants and respondents of this research are Third Year College students who are taking Marketing Management class. They are assigned to make composition entitled “My Story of Best Offer Product” (Wangsa 2011:229-251). One of the best composition is used by the author for qualitative research. The author applies integration of qualitative and quantitative approach. It is built upon the very practical need to develop best possible methodology for the issue of low-priced product consumption experience (Carson et al. 2001: 204). First, narrative analysis which includes paragraph and sentencial analysis. Content analysis for each paragraphs and sentences is used to find and identify components of social benefit in highprice regime and components of savings benefit in low-price regime. Second, quantitative approach is applied to measure strength of tendency or direction for the two regimes. RESULTS AND DISCUSSION The following is a composition entitled “My Story of Best Offer Product” by AA (18 years old). Paragraph analysis Paragraph-1 (P-1) The last time that I experienced to buy a “best offer” product was yesterday, June,30,2012. A best offer is something that a buyer and seller can achieve through exchange or negotiations that satisfies both parties Me and my family went to 888 china town square Bacolod yesterday. We were supposed to buy new CDs but nothing of my interest was there. We strolled around and I was getting bored but then I saw something that attracted me. A store 107
Ignasius Heri Satrya Wangsa
full of Iphone casings. I bought myself a new casing for my Iphone. At first I didn’t like anything but scanned my eyes around and I found a cute little case. It was a simple metallic casing. It had few designs but it looked cute and was very colorful. I know that it is not branded but the designs looked so elegant and neat that I would’ve considered it as one. At first it was sold for 500 pesos but after a few bargaining with the store manager, I got it for 350 pesos. It was a good bargain for me because I saved 150 pesos. (AA/P-1) General message: Memorable event as the participant can easily recognize the date, place, product and price. Expression of mood can easily be seen. (AA/P-1/GM) Specific message: The participant is able to express satisfaction because of a good bargain. (AA/P-1/SM) Paragraph-2 (P-2) The product is not at all disappointing except that it had little scratches at the sides. It actually looked like an original, if someone showed it to me I would’ve considered it as an original casing. It’s not as clean as the original casings found on Istore but it was enough for me. I think that it is a “best offer” because it had great quality for a low price. It had great attractive designs only for a cost of 350 pesos. It should’ve been 500 pesos but they offered it to me for 350 pesos. (AA/P-2) General message: Definition of best offer product (AA/P-2/GM) Specific message: Details on high quality for a low price (AA/P-2/SM) Paragraph-3 (P-3) I didn’t get the sense of originality from the product. Of course it was just a mere copy of the original designs from Istore but at least I got it for a low price and really, it just looked the same. I was happy to have the product that most people couldn’t even afford to buy if it was original. That product was just a copy but it says it all. It had the same features and quality as the original product. Really, you couldn’t tell the difference I got to save a lot of money from buying it too. It was a benefit for me more than a cost because I got to have it for a low price. It was cute and looked attractive too. It had great designs and it was only for a low price. I couldn’t imagine I could buy something as a amazing as that for a low price. I didn’t even think they could a copy of the original and still look like an original. I got the benefit of using it. It was sturdy enough to hold my phone and I think it would last long if I’d just take care of it. (AA/P-3) General message: Expression of satisfaction (AA/P-3/GM) Specific message: Reasons for satisfaction i.e. social and money/saving benefit (AA/P-3/SM) Paragraph-4 (P-4) From seeing the original cases before at the Istore, I realized that maybe they are over pricing it. Something as little as a iphone cover or casing should not cost that much like 2000 pesos. That is just ridiculous. Why then at 888 it only cost 300 pesos? It looks exactly the same; i bet it’s even made from the same materials. Some things are just meant to be bargained. Some things are overpriced. I realized that we people should be smart in buying our products. Products like this shouldn't cost us that much. Why buy an Iphone case that costs 1000 pesos or more, when we could get it for as low as 200-300 pesos. Of course i am not suggesting we buy pirated products or products that are just copies, I’m just saying that store owners should adjust their prices fairly and right so that we buyers wouldn't question 108
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Volume 1, Nomor 1, Oktober 2013
them and it is also our right to know and pay the exact fair price for whatever product we buy. General message: Expression of justice for the right price (AA/P-4/GM) Specific message: Conclusion or judgment of unfair and incorrect price (AA/P-4/SM) Paragraph-5 (P-5) I recommend store owners to be more fair in giving reasonable prices. Over pricing is to put too high a price or value on everything. It is never right. I suggest they adjust their prices fairly so that more people would be capable of buying their products. Of course i recommend high quality products too so that more customers would be satisfied and delighted. They might even be willing to buy different products or new products to you because then they'd develop a trust in your company. I also recommend people to be thorough when buying their products. They must be wise in picking out low-priced-high quality products. It would benefit them greatly like it did to me. Some low-priced products are also low quality products so people need to really open their eyes and see. They must be observant with the things they buy like at some point, there are some products that are highly priced but posses a very low quality features. We must pick those that are either low or medium priced products with high quality, that way we can say that we had the best offer products of our life. General message: Recommendation, suggestion and conclusion for best offer product (AA/P5/GM) Specific message: Rationalization on the connection between price and product quality (AA/P-5/SM) Discussion for Paragraph analysis: The composition contains five paragraphs. The participant is able to express idea on best offer product using her past experience. The experience itself is memorable as she is able to recall specific date (AA/P-1/GM). She has expressed positive experience on lower or cheaper price either for social or savings benefit (AA/P-3/SM). Quality is also about opportunity to have good bargain (AA/P-1/SM), and nothing to do with high price. High price is easily perceived as unfair and incorrect (AA/P-4/SM). Sentence analysis Paragraph-1 (P-1) Sentence-1 (P-1/S-1): The last time that I experienced to buy a “best offer” product was yesterday, June,30,2012. (specific time) Sentence-2 (P-1/S-2): A best offer is something that a buyer and seller can achieve through exchange or negotiations that satisfies both parties. (definition of best offer) Sentence-3 (P-1/S-3): Me and my family went to 888 china town square Bacolod yesterday. (action, specific place/store) Sentence-4 (P-1/S-4): We were supposed to buy new CDs but nothing of my interest was there. (mentioning product, mood)
109
Ignasius Heri Satrya Wangsa
Sentence-5 (P-1/S-5): We strolled around and I was getting bored but then I saw something that attracted me. (from dissatisfaction to attention) Sentence-6 (P-1/S-6): A store full of Iphone casings. (product atmospheric) Sentence-7 (P-1/S-7): I bought myself a new casing for my Iphone. (independence, maturity, self-sufficient) Sentence-8 (P-1/S-8): At first I didn’t like anything but scanned my eyes around and I found a cute little case. (mind flow from nothing to something) Sentence-9 (P-1/S-9): It was a simple metallic casing. (description) Sentence-10 (P-1/S-10): It had few designs but it looked cute and was very colorful. (description with emotion) Sentence-11 (P-1/S-11): I know that it is not branded but the designs looked so elegant and neat that I would’ve considered it as one. (description with emotion) Sentence-12 (P-1/S-12): At first it was sold for 500 pesos but after a few bargaining with the store manager, I got it for 350 pesos. (success of bargaining) Sentence-13 (P-1/S-13): It was a good bargain for me because I saved 150 pesos. (emotion of success of bargaining) Discussion for Paragraph-1: Paragraph-1 contains 13 sentences. Expression of emotion can be found in P-1/S-4, P-1/S-7, P-1/S-8, P-1/S-10, P-1/S-11. There is “nothing” that is attractive and relative to expectation (P-1/S-4). There is not enough set of object that can meet with participant’s expectation. The participant has certain criteria but it can not be fulfilled. Internally, there is an emotion of proud to be independent (P-1/S-7) which is relative to financially sufficient. Emotion is also about sudden flow of awareness from “nothing to something” (P-1/S-8) which is actually driven by active participation “I scan my eyes around”. Design may trigger earlier attraction which could bring participant to another more emotional part (P-1/S-10). Participant is also rational enough to know that product is unbranded (P-1/S-11) but other product element i.e. the design is able to produce emotion. Emotion is also related to participant’s winning of good bargain (P-1/S-13). Paragraph-2 (P-2) Sentence-1 (P-2/S-1): The product is not at all disappointing except that it had little scratches at the sides. (tolerable dissatisfied, acceptance) Sentence-2 (P-2/S-2): It actually looked like an original, if someone showed it to me I would’ve considered it as an original casing. (biased original) Sentence-3 (P-2/S-3): It’s not as clean as the original casings found on Istore but it was enough for me. (tolerable dissatisfied, acceptance) 110
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Volume 1, Nomor 1, Oktober 2013
Sentence-4 (P-2/S-4): I think that it is a “best offer” because it had great quality for a low price. (definition of best offer) Sentence-5 (P-2/S-5): It had great attractive designs only for a cost of 350 pesos. (attractivenes for low price) Sentence-6 (P-2/S-6): It should’ve been 500 pesos but they offered it to me for 350 pesos. (attractiveness for low price) Discussion for Paragraph-2: Paragraph-2 contains six sentences which mostly mention positive orientation for low price. Loyalty to low price is shown by tolerable dissatisfaction or acceptance for product defects. Acceptance for product defect is represented by words/phrases such as “scratches” (P-2/S-1), “looked like an original” (P-2/S-2), and “not as clean as the original casings” (P-2/S-3). Emotion on “attractive design” equals to appreciation for the best low price “only for 350 pesos” (P-2/S-5). Quality is about low price. Participant’s values “little” defect as tolerable which has no impact to her defining “great “ quality product (P-2/S-4). Low price policy from the seller is quite effective to win the heart of consumer (P-2/S-6). Paragraph-3 (P-3) Sentence-1 (P-3/S-1): I didn’t get the sense of originality from the product. (acceptance, tolerance) Sentence-2 (P-3/S-2): Of course it was just a mere copy of the original designs from Istore but at least I got it for a low price and really, it just looked the same. (tolerance for fake product as long as it is cheaper) Sentence-3 (P-3/S-3): I was happy to have the product that most people couldn’t even afford to buy if it was original. (social benefit) Sentence-4 (P-3/S-4): That product was just a copy but it says it all. (acceptance, tolerance) Sentence-5 (P-3/S-5): It had the same features and quality as the original product. (defending, justification for fake product) Sentence-6 (P-3/S-6): Really, you couldn’t tell the difference I got to save a lot of money from buying it too. (assurance, justification for fake product) Sentence-7 (P-3/S-7): It was a benefit for me more than a cost because I got to have it for a low price. (attractiveness for low price) Sentence-8 (P-3/S-8): It was cute and looked attractive too. (justification the best for low price) Sentence-9 (P-3/S-9): It had great designs and it was only for a low price. (attractiveness for low price, repetition for P-2/S-5) Sentence-10 (P-3/S-10): I couldn’t imagine I could buy something as a amazing as that for a low price. (success buying for low price) 111
Ignasius Heri Satrya Wangsa
Sentence-11 (P-3/S-11): I didn’t even think they could a copy of the original and still look like an original. (defending, justification for fake product) Sentence-12 (P-3/S-12): I got the benefit of using it. (re-assurance for the best buying decision) Sentence-13 (P-3/S-13): It was sturdy enough to hold my phone and I think it would last long if I’d just take care of it. (complimentary for the best buying decision) Discussion for Paragraph-3: Paragraph-3 contains thirteen sentences. Low price offers great advantage specially when it is relative to physical appearance. Emotional expressions on physical appearance such as “cute, attractive” are commonly used (P-3/S-8). Belief strength can also be found in the way participant’s defending or making justification that fake product is accepted as long as it is cheap. However, participant seems to be “very tolerable” when she expresses the using of fake product. This can be seen from the sentences that she would like to express such as in P3/S-5 and P-3/S-11. In other words, she would like to say in her own perception that the product is still “completely original”. Product’s physical appearance in complement with low price seems to be the successful factor to win the heart of participant. Paragraph-4 (P-4) Sentence-1 (P-4/S-1): From seeing the original cases before at the Istore, I realized that maybe they are over pricing it. (sensitivity for high price) Sentence-2 (P-4/S-2): Something as little as a iphone cover or casing should not cost that much like 2000 pesos. (expression of upset, evaluation) Sentence-3 (P-4/S-3): That is just ridiculous. (expression of upset) Sentence-4 (P-4/S-4): Why then at 888 it only cost 300 pesos? (attractiveness for low price) Sentence-5 (P-4/S-5): It looks exactly the same; I bet it’s even made from the same materials. (defending, justification for fake product) Sentence-6 (P-4/S-6): Some things are just meant to be bargained. (sensitivity for high price) Sentence-7 (P-4/S-7): Some things are overpriced. (sensitivity for high price) Sentence-8 (P-4/S-8): I realized that we people should be smart in buying our products. (recommendation) Sentence-9 (P-4/S-9): Products like this shouldn't cost us that much. (evaluation) Sentence-10 (P-4/S-10): Why buy an Iphone case that costs 1000 pesos or more, when we could get it for as low as 200-300 pesos. (attractiveness for low price)
112
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Volume 1, Nomor 1, Oktober 2013
Sentence-11 (P-4/S-11): Of course I am not suggesting we buy pirated products or products that are just copies, I’m just saying that store owners should adjust their prices fairly and right so that we buyers wouldn't question them and it is also our right to know and pay the exact fair price for whatever product we buy. (justification of fake product for external purposes using price unfairness)
Discussion for Paragraph-4: Paragraph-4 contains eleven sentences. Participant’s sensitivity and critical evaluation on high price in P-4/S-1, P-4/S-6, and P-4/S-7 are used to justify for her best decision (lowpriced fake product). She defends her best decision by giving recommendation to be more critical on unfairness of price. She seems to be reluctant to expose herself that she is favor to low price. Her advocacy for price fairness is just for social or external purposes so that her best decision (for low price) can easily be “legalized” or socially accepted. Paragraph-5 (P-5) Sentence-1 (P-5/S-1): I recommend store owners to be more fair in giving reasonable prices. (comment on price unfairness) Sentence-2 (P-5/S-2): Over pricing is to put too high a price or value on everything. (general meaning for over pricing) Sentence-3 (P-5/S-3): It is never right. (comment on price unfairness) Sentence-4 (P-5/S-4): I suggest they adjust their prices fairly so that more people would be capable of buying their products. (suggestion for price unfairness) Sentence-5 (P-5/S-5): Of course I recommend high quality products to so that more customers would be satisfied and delighted. (high quality corresponds with satisfaction) Sentence-6 (P-5/S-6): They might even be willing to buy different products or new products to you because then they'd develop a trust in your company. (the importance of trust) Sentence-7 (P-5/S-7): I also recommend people to be thorough when buying their products. (recommendation for smart buying) Sentence-8 (P-5/S-8): They must be wise in picking out low-priced-high quality products. (smart buying for low-priced and high quality product) Sentence-9 (P-5/S-9): It would benefit them greatly like it did to me. (personal experience for smart buying) Sentence-10 (P-5/S-10): Some low-priced products are also low quality products so people need to really open their eyes and see. (relationship between price and product) Sentence-11 (P-5/S-11): They must be observant with the things they buy like at some point, there are some products that are highly priced but posses a very low quality features. (relationship between price and product) 113
Ignasius Heri Satrya Wangsa
Sentence-12 (P-5/S-12): We must pick those that are either low or medium priced products with high quality, that way we can say that we had the best offer products of our life. (recommendation for smart buying)
Discussion for Paragraph-5: Paragraph-5 contains twelve sentences. Three sentences are comments on price unfairness (P5/S-1), (P-5/S-3) and (P-5/S-4). Those are followed by participant’s suggestions for smart buying (P-5/S-7) and (P-5/S-12). The various direction of relationship between price and product quality is mentioned (P-5/S-10) and (P-5/S-11). P-5/S-8 and P-5/S-5 show her choice for low price product does not seem to be the best decision in comparison with her personal experience for smart buying (P-5/S-9). The author summarizes the above sentencial analysis by developing the following Table of Expressions. Price decision is categorized into two motives of benefit. Category-1 contains expressions of justification for choosing lower price i.e. lower price for internal motives of benefit (see Table-1). Category-2 contains expressions of justification for not choosing higher price (see Table-2). In Category-2, participant justifies that her price decision is considered as the best decision. In addition, critical comments/expressions in Category-2 are made by participant to conclude her decision as “socially” correct and highly recommended. Category2 is also considered as rejection, concealment or camouflage to justify Category-1. Expressions of acceptance in price and quality relationship are also provided (see Table-3). Table-1 Expressions – Internal motives of benefit for price decision (Category-1) *) p.a. = physical appearance performance ; o.v. = overall performance ; s.c. = social performance ----------------------------------------------------------------------------Lower price for Internal motives of benefit ----------------------------------------------------------------------------1) simple metallic casing (p.a, P-1/S-9) 2) it looked cute and was very colorful (p.a., P-1/S-10) 3) the designs looked so elegant and neat (p.a., P-1/S-11) 4) It was a good bargain (o.v., P-1/S-13) 5) It had great attractive designs (p.a.,P-2/S-5) 6) it just looked the same (o.v.,P-3/S-2) 7) I was happy to have the product (o.v.,P-3/S-3) 8) just a copy but it says it all (o.v.,P-3/S-4) 9) the same quality as the original product (o.v., P-3/S-5) 10) Really, you couldn’t tell the difference (o.v.,P-3/S-6) 11) a benefit for me more than a cost (o.v.,P-3/S-7) 12) cute and looked attractive (p.a.,P-3/S-8) 13) It had great designs (p.a.,P-3/S-9) 14) still look like an original (o.v.,P-3/S-11) 15) I got the benefit (o.v.,P-3/S-12) 16) it would last long (o.v.,P-3/S-13) 17) It looks exactly the same (o.v.,P-4/S-5) 18) people should be smart (s.c.,P-4/S-8) 114
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Volume 1, Nomor 1, Oktober 2013
-------------------------------------------------------------------------------Table-2 Expressions – Rejection (Category-2) -------------------------------------------------------------------------------Higher price unfairness -------------------------------------------------------------------------------1) I realized that maybe they are over pricing it (P-4/S-1) 2) should not cost that much (P-4/S-2) 3) That is just ridiculous (P-4/S-3) 4) meant to be bargained (P-4/S-6) 5) Some things are overpriced (P-4/S-7) 6) shouldn't cost us that much (P-4/S-9) 7) should adjust their prices fairly and right (P-4/S-11) 8) store owners to be more fair (P-5/S-1) 9) never right (P-5/S-3) 10) adjust their prices fairly (P-5/S-4) 11) I recommend high quality products (P-5/S-5) 12) recommend people to be thorough (P-5/S-7) 13) wise in picking out low-priced-high quality products (P-5/S-8) 14) highly priced but posses a very low quality (P-5/S-11) ----------------------------------------------------------------------------------Table-3 Expressions – Acceptance Price and quality relationship -----------------------------------------------------------------------------------------Low price for low quality -----------------------------------------------------------------------------------------1) looked like an original (P-2/S-2) 2) just a copy but it says it all (P-3/S-4) 3) Some low-priced products are also low quality products (P-5/S-10) -----------------------------------------------------------------------------------------Analysis of respondents’ responses on the relationship between price and product quality The author uses quantitative approach to measure respondents’ strength of tendency for low price regime (belief strength in savings benefit) and high price regime (belief strength in social benefit). There are 64 respondents participated in this research. They are required to give response using five Likert-scales (1 = strongly disagree ; 2 = disagree ; 3 = uncertain ; 4 = agree ; 5 = strongly agree) on the following statements: (1) Price always has connection with product quality (p_pq1); (2) Price is more important than product quality (p_pq2); (3) High quality is always followed by high price (hq_hp); (4) What I need is high quality with low price (hq_lp). Data is analyzed using SPSS Ver. 17. One-sample t-test is employed to measure strength of tendency for low price regime (belief strength in savings benefit) and high price regime (belief strength in social benefit). Output of SPSS is interpretated. An integrated qualitativequantitative discussion is made. 115
Ignasius Heri Satrya Wangsa
In low price regime, price becomes major orientation for savings benefit. Relationship between price and product quality can be negative i.e. low price for high quality product. Tendency for the highest degree of belief strength happens in the following indicators: (Indicator-1) when p_pq1 (price always has connection with product quality) is closer to 1 (=strongly disagree); (Indicator-2) when p_pq2 (price is more important than product quality) is closer to 5 (=strongly agree); (Indicator-3) when hq_hp (high quality is always followed by high price) is closer to 1 (=strongly disagree); and (Indicator-4) when hq_lp (what I need is high quality with low price) is closer to 5 (=strongly agree). In high price regime, price is the main reason for social benefit as long as it is consistently connected with product quality. Relationship between price and product quality usually positive i.e. high price for high quality product. It is also with the assumption that high quality product can be beneficial for social acceptance. Tendency for the highest degree of belief strength happens in the following indicators: (Indicator-1) when p_pq1 (price always has connection with product quality) is closer to 5 (=strongly agree); (Indicator-2) when p_pq2 (price is more important than product quality) is closer to 1 (=strongly disagree); (Indicator-3) when hq_hp (high quality is always followed by high price) is closer to 5 (=strongly agree); and (Indicator-4) when hq_lp (what I need is high quality with low price) is closer to 1 (=strongly disagree). Low price regime 1. Belief strength in savings benefit with Indicator-1 i.e. when p_pq1 (price always has connection with product quality) is closer to 1 (=strongly disagree) Table-4.1 .1 One-sample statistics Belief strength in savings benefit with Indicator-1 One-Sample Statistics
N price=quality
Mean 64
Std. Deviation
4.36
Std. Error Mean
.880
.110
Table-4.1.2 One sample test (test value = 1) Belief strength in savings benefit with Indicator-1 One-Sample Test Test Value = 1
t 116
Df
Sig. (2-tailed)
Mean Difference
95% Confidence Interval of the Difference Lower
Upper
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Volume 1, Nomor 1, Oktober 2013
One-Sample Test Test Value = 1
t price=quality
Df
30.556
Mean Difference
Sig. (2-tailed) 63
95% Confidence Interval of the Difference
.000
Lower
3.359
Upper 3.14
3.58
Mean difference from the belief strength point (1 = strongly disagree) is accounted for 3.359. The value of 1 (=strongly disagree) is significantly different with 4.36 at 0.000 (very significant). Respondents agree (mean = 4.36) that price always has connection with product quality. The result shows that there is no belief strength. 2. Belief strength in savings benefit with Indicator-2 i.e. when p_pq2 (price is more important than product quality) is closer to 5 (=strongly agree) Table-4.2.1 One-sample statistics Belief strength in savings benefit with Indicator-2 One-Sample Statistics
N price>quality
Mean 64
Std. Deviation Std. Error Mean
1.88
.984
.123
Table-4.2.2 One sample test (test value = 5) Belief strength in savings benefit with Indicator-2 One-Sample Test Test Value = 5
t price>quality
-25.407
Df
Sig. (2-tailed) 63
.000
Mean Difference -3.125
95% Confidence Interval of the Difference Lower -3.37
Upper -2.88
Mean difference from the belief strength point (5 = strongly agree) is accounted for -3.125. The value of 5 (=strongly agree) is significantly different with 1.88 at 0.000 (very 117
Ignasius Heri Satrya Wangsa
significant). Respondents tend to disagree (mean = 1.88) that price is more important than product quality. The result shows that there is no belief strength. 3. Belief strength in savings benefit with Indicator-3 i.e. when hq_hp (high quality is always followed by high price) is closer to 1 (=strongly disagree) Table-4.3 .1 One-sample statistics Belief strength in savings benefit with Indicator-3
One-Sample Statistics
N h_quality=h_price
Mean 64
Std. Deviation Std. Error Mean
3.59
.971
.121
Table-4.3.2 One sample test (test value = 1) Belief strength in savings benefit with Indicator-3
One-Sample Test Test Value = 1
t h_quality=h_price
21.363
Df
Sig. (2-tailed) 63
.000
Mean Difference 2.594
95% Confidence Interval of the Difference Lower
Upper 2.35
Mean difference from the belief strength point (1 = strongly disagree) is accounted for 2.594. The value of 1 (=strongly disagree) is significantly different with 3.59 at 0.000 (very significant). Respondents tend to agree (mean = 3.59) that high quality is always followed by high price. The result shows that there is no belief strength. 4. Belief strength in savings benefit with Indicator-4 i.e. when hq_lp (what I need is high quality with low price) is closer to 5 (=strongly agree)
Table-4.4 .1 One-sample statistics Belief strength in savings benefit with Indicator-4 118
2.84
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Volume 1, Nomor 1, Oktober 2013
One-Sample Statistics
N i need hq_lp
Mean 64
Std. Deviation
4.31
Std. Error Mean
.889
.111
Table-4.4.2 One sample test (test value = 5) Belief strength in savings benefit with Indicator-4
One-Sample Test Test Value = 5
t i need hq_lp
Df
-6.189
Sig. (2-tailed) 63
.000
Mean Difference -.688
95% Confidence Interval of the Difference Lower
Upper -.91
-.47
Mean difference from the belief strength point (5 = strongly agree) is accounted for -0.688. It means the mean value of 4.31 (=agree) is relatively close to 5 (=strongly agree). The value of 5 (=strongly agree) is significantly different with 4.31 at 0.000 (very significant), but the mean difference is low. Respondents tend to agree (mean = 4.31) that price is more important than product quality. The result shows that there is a potential belief strength indicated by the lower value of mean difference.
High price regime
1. Belief strength in social benefit with Indicator-1 i.e. when p_pq1 (price always has connection with product quality) is closer to 5 (=strongly agree)
Table-4.5 .1 One-sample statistics Belief strength in social benefit with Indicator-1
One-Sample Statistics
N
Mean
Std. Deviation
Std. Error Mean 119
Ignasius Heri Satrya Wangsa
One-Sample Statistics
N price=quality
Mean 64
Std. Deviation
4.36
Std. Error Mean
.880
.110
Table-4.5.2 One sample test (test value = 5) Belief strength in social benefit with Indicator-1
One-Sample Test Test Value = 5
t price=quality
df
-5.827
Sig. (2-tailed) 63
.000
Mean Difference -.641
95% Confidence Interval of the Difference Lower
Upper -.86
-.42
Mean difference from the belief strength point (5 = strongly agree) is accounted for -0.641. The mean value of 4.36 is closer to 5. The value of 5 (=strongly agree) is significantly different with 4.36 at 0.000 (very significant), but the mean difference is relatively low. Respondents tend to agree (mean = 4.36) that price is more important than product quality. The result shows that there is a potential belief strength indicated by the lower value of mean difference. 2. Belief strength in social benefit with Indicator-2 i.e. when p_pq2 (price is more important than product quality) is closer to 1 (=strongly disagree)
Table-4.6.1 One-sample statistics Belief strength in social benefit with Indicator-2
One-Sample Statistics
120
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Volume 1, Nomor 1, Oktober 2013
N price>quality
Mean 64
Std. Deviation
1.88
Std. Error Mean
.984
.123
Table-4.6.2 One sample test (test value = 1) Belief strength in social benefit with Indicator-2 One-Sample Test Test Value = 1
t price>quality
df
7.114
Sig. (2-tailed) 63
Mean Difference
.000
95% Confidence Interval of the Difference Lower
.875
Upper .63
1.12
Mean difference from the belief strength point (1 = strongly disagree) is accounted for 0.875. The mean value of 1.88 is closer to 1. The value of 1 (=strongly disagree) is significantly different with 1.88 at 0.000 (very significant), but the mean difference is relatively low. Respondents tend to disagree (mean = 1.88) that price is more important than product quality. The result shows that there is a potential belief strength indicated by the lower value of mean difference.
3. Belief strength in social benefit with Indicator-3 i.e. when hq_hp (high quality is always followed by high price) is closer to 5 (=strongly agree)
Table-4.7.1 One-sample statistics Belief strength in social benefit with Indicator-3 One-Sample Statistics
N h_quality=h_price
Mean 64
Std. Deviation
3.59
Std. Error Mean
.971
.121
Table-4.7.2 One sample test (test value = 5) Belief strength in social benefit with Indicator-3
One-Sample Test 121
Ignasius Heri Satrya Wangsa
Test Value = 5
t h_quality=h_price
Df
-11.582
Sig. (2-tailed) 63
Mean Difference
.000
-1.406
95% Confidence Interval of the Difference Lower
Upper
-1.65
-1.16
Table-4.7.3 One sample test (test value = 3) Belief strength in social benefit with Indicator-3
One-Sample Test Test Value = 3
t h_quality=h_price
Df
4.890
Sig. (2-tailed) 63
Mean Difference
.000
95% Confidence Interval of the Difference Lower
.594
Upper .35
.84
Table-4.7.4 One sample test (test value = 4) Belief strength in social benefit with Indicator-3 One-Sample Test Test Value = 4
t h_quality=h_price
-3.346
Df
Sig. (2-tailed) 63
.001
Mean Difference -.406
95% Confidence Interval of the Difference Lower
Upper -.65
Mean difference from the belief strength point (5 = strongly agree) is accounted for -1.406. The value of 5 (=strongly agree) is significantly different with 3.59 at 0.000 (very significant). Output from SPSS shows mean difference for test value 3 (0.594) is greater than mean difference for test value 4 (-0.406). Mean value 3.59 is closer to 4. Respondents agree 122
-.16
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Volume 1, Nomor 1, Oktober 2013
(4 = agree) that high quality is always followed by high price. The result shows that there is potential belief strength. 4. Belief strength in social benefit with Indicator-4 i.e. when hq_lp (what I need is high quality with low price) is closer to 1 (=strongly disagree)
Table-4.8.1 One-sample statistics Belief strength in social benefit with Indicator-4
One-Sample Statistics
N i need hq_lp
Mean 64
Std. Deviation
4.31
Std. Error Mean
.889
.111
Table-4.8.2 One sample test (test value = 1) Belief strength in social benefit with Indicator-4
One-Sample Test Test Value = 1
t i need hq_lp
29.821
df
Sig. (2-tailed) 63
.000
Mean Difference 3.313
95% Confidence Interval of the Difference Lower
Upper 3.09
3.53
Mean difference from the belief strength point (1 = strongly disagree) is accounted for 3.313. The value of 1 (=strongly disagree) is significantly different with 4.31 at 0.000 (very significant). Respondents tend to agree (sample mean value = 4.31) with the statement “what I need is high quality with low price”. The result shows that there is no belief strength. Table-5 Belief strength in low price regime *) t.v. = test value ; m.d. = mean difference ------------------------------------------------------------------------------------------------------Indicator-1 : No belief strength (t.v. = 1 ; m.d. = 3.359) Indicator-2 : No belief strength (t.v. = 5 ; m.d. = -3.125) Indicator-3 : No belief strength (t.v. = 1 ; m.d. = 2.599) 123
Ignasius Heri Satrya Wangsa
Indicator-4 : Belief strength may potentially happen (t.v. = 5 ; m.d. = -0.688) -------------------------------------------------------------------------------------------------------
Table-6 Belief strength in high price regime *) t.v. = test value ; m.d. = mean difference ------------------------------------------------------------------------------------------------------Indicator-1 : Belief strength may potentially happen (t.v. = 5 ; m.d. = -0.641) Indicator-2 : Belief strength may potentially happen (t.v. = 1 ; m.d. = 0.875) Indicator-3 : Belief strength may potentially happen (t.v. = 5 ; m.d. = -1.406) Indicator-4 : No belief strength (t.v. = 1 ; m.d. = 3.313) ------------------------------------------------------------------------------------------------------Integrated qualitative-quantitative approach shows consumers’ great favor on high quality low-price product which is not only in the level of expectation but also experience. There are 18 expressions of smart buying experience which are oriented to “cheap is the best” (see Table-1). There is also a high expectation for high quality low-priced product (see Table 4.4.1, 4.4.2 and 5). Meaning to say, belief strength in expectation for high quality low-priced product is contributed by experience of smart buying i.e. best effort to have good bargaining (see Table-1). It is a matter of effort and active participation to have the best (low) price. Repetition of complimentary expression is made specially to appreciate physical appearance. There is an emotion of happiness and proud for the best low price buying decision which is validated by recommendation in “people should be smart (P-4/S-8)” (see Table-1). In Table-2 contains 14 expressions of high price unfairness. They are also considered as disagreement or rejection toward high price. This contradiction of emotion is found in Table-1 and Table-2. It is intended to justify, and at the same time, magnifying best decision to choose low-priced product, for example, it is not just “I was happy to have the product (P-3/S-3)” but also “should adjust their prices fairly and right (P-4/S-11)”. In other words, the choice for lowpriced product is non-negotiable. It is a manifestation of “rights to have fair price” which corresponds with “rights to have cheap price”. This has become truth. This non-negotiable truth is another representation for belief strength. Paragraph and sentencial analysis have shown phenomena of struggling “a conflict” between tendency to favor the “attractiveness” of low price and accumulated rationality on “normative” positive price-quality relationship. From this perspective, responses of appreciation and rejection happen simultaneously. Appreciation and rejection happen at the same time. Product physical appearance has created “eye-catching” to drive responses of appreciation and rejection. Table-3 contains rationalization on the relationship between price and quality which is actually in positive direction i.e. low price for low quality and high price for high quality. Tendency of high expectation on high quality product is shown by the potential belief strength in the statements “price always has connection with product quality” (see Indicator1 Table 4.5.1 and 4.5.2), “price is more important than product quality” (see Indicator-2 Table 4.6.1 and 4.6.2), and “high quality is always followed by high price” (see Indicator-3 Table 4.7.1 and 4.7.2). This belief strength reflects permanent knowledge resulted from 124
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Volume 1, Nomor 1, Oktober 2013
accumulation of experience. In Table-6 there three indicators which are used so that belief strength can be accepted. This may indicate strong normative rules for the positive pricequality relationship. However, the essence is not this normative rules which are socially accepted but the potential belief strength of Indicator-4 “what I need is high quality with low price” (see Table-5). From Table-1 it reveals the definition of high quality and low price in the context of high quality low-priced product. High quality specifically refers to physical appearance i.e. the design (elegant, neat, attractive, cute, great) and color (colorful). Quality is defined more on the product’s performance to be perceived as the original product such as in “still look like an original (P-3/S-11)”, and “It looks exactly the same (P-4/S-5)”. Consequently, belief strength in “price is more important than product quality” (see Table 4.6.1, 4.6.2 and 6) can be in the frame of “fake” product acceptance (see Table-3). Context of “high price” as in Indicator-3 “high quality is always followed by high price” (Table-4.7.1, 4.7.2, 4.7.3, 4.7.4 and Table-6) is accepted as long as it becomes high price unfairness (Table-2). It is a rejection as well as complete acceptance to favor lower price benefit. MANAGERIAL IMPLICATION Emotion in price consumption context could be essential specially to support the argument that it is not price matter (in this research is low-priced product) that has become “object of consumption” rather the ability of price to generate emotion and experience of thinking. This research can measure how consumer expresses emotion through controversial price consumption experience i.e. price which is perceived irrationally. It is irrational when decision to favor low-priced product is considered as high-risk in which consumer accepts that low price corresponds to low quality but at the same time it is tolerable and feasible, even as the best choice. It is not just low price but low price with emotional dimension. At this level, product seems to successfully accomodate experience of thinking and facilitate to reach rationality of low price – high quality. Product may attract consumer to think critically. Firms can gain insight from this perspective by developing substitute product. The substution might not be on the aspect of brand rather the functional value which is valid enough to represent the branded version. In other words, creating competitive products i.e. products with the same quality but different price is also recommended. As perception is strongly influenced by past experience, it is necessary to create moment of truth when product is about to enter market. Product should create first impression in which it can produce ideas of reference i.e. having special personal meaning. CONCLUSION This research attempts to see dynamics of emotional dimension in low-priced product consumption experience using comparison among two price-benefit regimes i.e. “cheap is the best” and “expensive is the best”. Terminology of belief strength is introduced to create better perspective on the dimension of emotion. It is used to see emotion as an extreme effort or totality in cognitive activity. 125
Ignasius Heri Satrya Wangsa
Consumption experience is consumer’s cognitive process for defining quality. It includes consumer’s justification for low price which is at the expense of high price unfairness in high price regime. In other words, low price refers to high quality as long as high price is unfair. There is a critical thought in consumer’s mind that in positive price-quality relationship, high price is considered as incorrect. The incorrect high price in positive price-quality relationship is also strongly supported by consumer’s recommendation to be more careful and critical toward high price. In the environment of low price (low price regime), the social benefit of high price rejection is “I can show and certify that high price tends to be firm’s incorrect and inappropriate decision”. It is an expression of identity which has social value such as “I want to show you that I am doing something important for other people”. The author would like to extend suggestion for in-depth research to achieve instrument validity specially in the area of low-priced product consumption experience.© REFERENCES Becker, Gary S. (1976). The Economic Approach to Human Behavior. Chicago: The University of Chicago Press Carson, David; Gilmore, Audrey; Perry, Chad and Gronhaug, Kjell (2001). Qualitative Marketing Research. London: Sage Publication Fabrycky, W.J. Thuesen, G.J. and Verma, D. (1998). Economic Decision Analysis. New Jersey: Prentice-Hall Inc. Gravetter, Frederick J. & Forzano, Lori-Ann B (2009). Research Methods in Behavioral Sciences.USA: Wadsworth Cengage Learning Krug, Ronald S. & Cass, Aluah R (1989). Behavioral Sciences. New York: Springer-Verlag New York Inc. Lechte, John (1994). Fifty Key Contemporary Thinkers. From Structuralism to Postmodernity. London: Routledge Smith, Robert E. & Swinyard, William R. (1982). Information Response Models: An Integrated Approach. Journal of Marketing Vol. 46 (Winter 1982) pp. 81-93 Wangsa, Ignasius H.S (2011). The Insights on Perceived Price-Quality. International Research Journal of Business Studies Vol. 4 No. 3 December 2011 – March 2012 pp. 229251
126
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Volume 1, Nomor 1, Oktober 2013
MODEL PENINGKATAN KOMPETENSI SUMBERDAYA MANUSIA PADA SEKTOR PARIWISATA DI KOTA BANDUNG SEBAGAI UPAYA MENINGKATKAN DAYA SAING SEKTOR PARIWISATA Rofi Rofaida (
[email protected]) Universitas Pendidikan Indonesia
ABSTRAK Perkembangan sektor pariwisata tidak terlepas dari kemajuan industri hotel dan restoran. Kontribusi sektor terhadap PDRB, penyerapan tenaga kerja, dan adanya peningkatan jumlah entitas usaha menunjukkan bahwa aktifitas ekonomi sektor ini tetap tinggi dan menjadi andalan Kota Bandung. Namun demikian permasalahan yang terjadi terkait dengan SDM adalah rendahnya tingkat penyerapan tenaga kerja disebabkan adanya ketidaksesuaian antara kompetensi yang dimiliki dengan kebutuhan industri. Tujuan dari kajian ini adalah : 1) Menyusun strategi peningkatan kompetensi SDM pada sektor hotel dan restoran yang berbasis pada analisis kesenjangan antara profil kompetensi SDM yang dibutuhkan dengan profil kompetensi SDM yang ada saat ini. 2) Melakukan pemetaan dan analisis peran sistem ‘triple helix’ (industri, pemerintah dan akademisi) dalam menyusun model peningkatan kompetensi SDM Hasil penelitian terhadap karyawan front office, tatagraha, pramusaji, dan cook/koki menunjukkan bahwa kompetensi yang dimiliki belum memenuhi standar yang ditetapkan SKKNI untuk bidang hotel dan restoran. Strategi Peningkatan Kompetensi SDM yang diajukan terdiri dari : (1). Peningkatan kapasitas lembaga diklat (2). Peningkatan kompetensi SDM melalui pelatihan, dan (3) Peningkatan kompetensi SDM melalui program sertifikasi dan standarisasi Peningkatan kompetensi SDM ditentukan oleh tiga faktor, yaitu : industri, kebijakan pemerintah, dan institusi pendidikan. Pemetaan dan analisis peran sistem ‘triple helix’ (industri, pemerintah dan akademisi) akan menghasilkan Model Peningkatan Kompetensi SDM Sektor Hotel dan Restoran. Kata kunci : kompetensi, Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI), pelatihan, dan model peningkatan kompetensi SDM
PENDAHULUAN Latar Belakang Sesuai dengan visi “Memantapkan Kota Bandung sebagai Kota Jasa yang BERMARTABAT”, seperti yang tercantum dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) tahun 2009-2013, Pemerintah Kota Bandung menjadikan sektor jasa sebagai sektor unggulan pembangunan yang diharapkan dapat menjadi motor penggerak perekonomian Kota Bandung. Pariwisata, yang produk utamanya adalah jasa pelayanan, merupakan bagian tak terpisahkan bahkan menjadi andalan pembangunan sektor jasa Kota 127
Rofi Rofaida
Bandung. Peran strategis sektor pariwisata terhadap perekonomian kota Bandung dapat dilihat dari kontribusi terhadap pendapatan asli daerah (PAD). Kontribusi sektor pariwisata terhadap PAD Kota Bandung meningkat dari 66% atau Rp176 miliar pada tahun 2011 menjadi 72% pada tahun 2012 (http://diskominfo.jabarprov.go.id dan bisnis-jabar.com). Perkembangan sektor pariwisata tidak dapat dilepaskan dari kemajuan industri hotel dan restoran. Salah satu sasaran pembangunan pariwisata kota Bandung adalah meningkatkan jumlah kunjungan dan memperpanjang lama tinggal wisatawan. Pada kurun waktu 20052008 terdapat peningkatan jumlah kunjungan wisatawan nusantara dan wisatawan mancanegara yang sebagian besar memanfaatkan fasilitas akomodasi dan makanan di kota Bandung (Disbudpar Kota Bandung 2008 dan BPS Kota Bandung 2011). Statistical Report on Visitor Arrivals to Indonesia, Disbudpar Jawa Barat 2008, menunjukkan bahwa sebagian besar pengeluaran wisatawan baik wisatawan mancanegara maupun wisatawan nusantara adalah untuk akomodasi dan dari beberapa pilihan akomodasi, 74,98 % memilih hotel. Gambar 1. Tipe Akomodasi yang dipilih Wisatawan
Sumber: Statistical Report on Visitor Arrivals to Indonesia, Disbudpar Jawa Barat (2008)
Jumlah kunjungan yang meningkat merupakan peluang investasi yang menguntungkan bagi sektor hotel dan restoran. Aktifitas ekonomi di sektor ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam pengurangan tingkat pengangguran sekaligus peningkatan pendapatan masyarakat Kota Bandung. Potensi penyerapan tenaga kerja sektor ini cukup tinggi dilihat dari beberapa indikator, yaitu : 1) Kontribusi sektor terhadap PDRB Kota Bandung saat ini dan proyeksi nya untuk tahun 2013-2015 2) Kontribusi sektor dalam penyerapan tenaga kerja saat ini dan proyeksinya untuk tahun 2013-2015 3) Pertumbuhan populasi usaha Kontribusi sektor terhadap PDRB Kota Bandung saat ini dan proyeksi nya untuk tahun 20132015 menunjukkan bahwa untuk kurun waktu 2013-2015 peranan sektor perdagangan, hotel, dan restoran tetap tinggi. Tabel 1.1 di bawah ini menunjukkan bahwa pada tahun 2013 sektor ini memberikan kontribusi sebesar 42,21% dan meningkat menjadi 42,83% (tahun 2014) dan 43,37 (tahun 2015). Ini memberikan gambaran bahwa pada tiga tahun yang akan datang potensi ekonomi sektor ini akan tetap tinggi dan menjadi andalan. Pada aspek penyerapan tenaga kerja sektor ini juga memberikan kontribusi terbesar jika dibandingkan dengan sektor ekonomi yang lain. Tabel 1.1 menunjukkan bahwa tahun 2011 128
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Volume 1, Nomor 1, Oktober 2013
jumlah tenaga kerja yang bekerja pada sektor perdagangan, restoran, dan hotel sebesar 369.161 orang dan diperkirakan akan terus meningkat untuk tahun 2013-2015. Tabel 1.1 Kontribusi Sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran terhadap PDRB dan Penyerapan Tenaga Kerja di Kota Bandung Tahun 2013-2015 2011 2013* 2014* 2015* Kontribusi terhadap PDRB Kota Bandung 40,64% 42,21% 42,83% 43,37% Kontribusi terhadap penyerapan 369.161 396.304 412.879 NA tenaga kerja Ket: * nilai proyeksi Sumber : BPS Kota Bandung (2012), diolah
Khusus untuk hotel, populasi jumlah hotel terus mengalami peningkatan. Jumlah kunjungan wisatawan merupakan peluang investasi yang menguntungkan sehingga jumlah hotel di kota Bandung terus meningkat. Tabel 1.2 di bawah ini menunjukkan perkembangan jumlah hotel melati, hotel bintang 1, 2, 3, 4, dan 5 di kota Bandung.
Tahun
Hotel non bintang
Tabel 1.2 Perkembangan Jumlah Hotel di Kota Bandung Bintang 1 Bintang Bintang Bintang 2 3 4
Bintang 5
2007
NA
7
16
23
11
4
Jumlah hotel bintang 61
2008
NA
7
16
27
15
4
69
2009
NA
10
15
26
15
6
72
2010
NA
7
16
28
19
7
77
2012
189
9
18
29
20
8
84
Sumber : Disbudpar Kota Bandung (2008) dan BPS Kota Bandung (2012)
Kecuali untuk tahun 2009 terdapat peningkatan jumlah hotel berbintang selama periode tahun 2007-2012 dari 61 buah pada tahun 2007 menjadi 84 buah pada tahun 2012 atau meningkat sebesar 23% dalam waktu lima tahun. Diproyeksikan pada lima tahun ke depan jumlah hotel bintang dan non bintang akan semakin meningkat. Namun demikian salah satu permasalahan terkait dengan sumberdaya manusia di sektor hotel dan restoran adalah rendahnya tingkat penyerapan tenaga kerja. Data yang diperoleh dari Dinas Tenaga Kerja Kota Bandung yang dikutip oleh BPS Kota Bandung (2011) menunjukkan dari 2010 hingga 2011 terjadi penurunan daya serap tenaga kerja. Pada tahun 2010 sekitar 62,71% maka tahun 2011 hanya 32,69 %. Hal ini disebabkan adanya ketidaksesuaian antara kompetensi yang dimiliki dengan kebutuhan dunia usaha. Studi yang dilakukan pada sektor pariwisata menunjukkan bahwa kompetensi SDM di hotel dan restoran belum memenuhi standar pelayanan yang diterima secara nasional (SKKNI) dan memerlukan peningkatan kompetensi melalui pelatihan yang berorientasi pada katan kebutuhan sektor hotel dan restoran saat ini dan yang akan datang. Peningkatan kompetensi menjadi suatu hal yang mutlak untuk dilakukan jika dikaitkan dengan adanya kemudahan bagi tenaga kerja asing untuk masuk ke Indonesia. Ini merupakan 129
Rofi Rofaida
ancaman bagi tenaga kerja Indonesia jika tidak diimbangi dengan kemampuan yang memenuhi standar pelayanan dan sertifikasi secara nasional atau internasional Pendidikan merupakan hal yang amat penting dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM). Namun, sampai saat ini belum sepenuhnya terjadi link and match (keterkaitan dan kecocokan) antara dunia pendidikan dengan dunia usaha. Dengan kata lain belum terjadi sinkronisasi antara lembaga penyelenggara pendidikan dengan perkembangan lapangan pekerjaan. Dampaknya adalah banyak lulusannya yang kemudian tidak terserap oleh pasar kerja dan meningkatkan tingkat pengangguran. Didasarkan pada uraian di atas, dianggap penting untuk melakukan penelitian berkaitan dengan : Model Peningkatan Kompetensi Sumberdaya Manusia Pada Sektor Pariwisata Di Kota Bandung Sebagai Upaya Meningkatkan Daya Saing Sektor Pariwisata Rumusan Masalah dan Tujuan Penelitian Beberapa masalah yang dapat diidentifikasi berkaitan dengan peningakatan kompetensi SDM pada sektor hotel dan restoran diuraikan sebagai berikut: 1) Masih terbatasnya kajian untuk melakukan identifikasi dan analisis berkaitan dengan profil kompetensi SDM sektor hotel dan restoran yang dibutuhkan pasar seperti : tingkat pendidikan dan keahlian/skill yang dibutuhkan 2) Masih terbatasnya kajian berkaitan dengan profil kompetensi SDM sektor hotel dan restoran di Kota Bandung yang ada saat ini berkaitan dengan: tingkat pendidikan dan keahlian/skill yang dibutuhkan 3) Perlu dilakukan pemetaan/mapping dan analisis kesenjangan antara poin (2), dan (3) di atas sehingga dapat disusun strategi peningkatan kompetensi SDM sektor hotel dan restoran di Kota bandung 4) Perlu dilakukan pemetaan dan analisis peran sistem ‘triple helix’ (industri, pemerintah dan akademisi) dalam peningkatan kompetensi SDM untuk menyusun model peningkatan kompetensi SDM sektor hotel dan restoran di Kota bandung
Tujuan dari kajian ini adalah : 1)
2)
3) 4)
130
Menyusun strategi peningkatan kompetensi SDM pada sektor hotel dan restoran yang berbasis pada analisis kesenjangan terhadap dua aspek penting yaitu profil kompetensi SDM yang dibutuhkan pasar/aspek permintaan (demand) dengan profil kompetensi SDM yang ada saat ini/aspek ketersediaan (supply). Analisis dilakukan secara sistematis dan komprehensif Hasil analisis ini juga dapat dijadikan informasi bagi industri dalam melakukan training needs assessment (analisis kebutuhan pelatihan). Bagi institusi pendidikan hasil penelitian dalam menyempurnakan kurikulum untuk meningkatkan link and match antara pendidikan dengan kebutuhan industri Melakukan pemetaan dan analisis peran sistem ‘triple helix’ (industri, pemerintah dan akademisi) dalam menyusun model peningkatan kompetensi SDM Menyediakan rujukan dalam kerangka penyusunan rencana-rencana yang lebih operasional dan teknis, bagi Disnaker Kota Bandung agar program dan kegiatan yang akan diimplementasikan dapat saling bersinergi, baik antar kebijakan, antar program
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Volume 1, Nomor 1, Oktober 2013
sektoral dan wilayah dalam kerangka mengoptimalkan kompetensi SDM di sektor hotel dan restoran kota Bandung LANDASAN TEORI Kompetensi (Competency) Sumberdaya manusia dalam pariwisata merupakan salah satu faktor sangat penting karena bagi perusahaan jasa (service-based organization). SDM berperan sebagai faktor kunci dalam menentukan kinerja perusahaan. Hal ini tidak terlepas dari salah satu karakteristik jasa dimana proses penghantaran jasa akan terjadi bersamaan dengan proses konsumsi jasa oleh pelanggan. Karakteristik ini menuntut kinerja SDM dalam membangkitkan minat dan memberikan pelayanan prima/service excellent kepada pelanggan. Pengalaman tamu hotel atau restoran merupakan aktifitas yang memiliki intensitas dan intimasi yang sangat tinggi dan tidak mudah direplikasi oleh entitas usaha yang lain. Pengalaman interaktif tersebut umumnya terjadi dengan karyawan sehingga kualitas pelayanan yang diberikan oleh karyawan akan menjadi salah satu keunggulan bersaing bagi hotel atau restoran. Pendidikan dan pelatihan memberikan kontribusi yang sangat besar dalam menciptakan SDM yang andal dan profesional baik secara kuantitas maupun kualitas dalam mendorong daya saing sektor hotel dan restoran secara signifikan. Salah satu permasalahan rendahnya daya serap tenaga kerja adalah karena adanya kesenjangan antara kompetensi yang dibutuhkan industri dengan kompetensi yang dimiliki tenaga kerja. Beberapa ahli mendefinisikan istilah kompetensi sebagai berikut: 1.
2.
3.
Competence encompasses an individual’s technical and interpersonal knowledge and skills (Robbin, Stephen P 2010:357). Kompetensi merupakan pengetahuan dan skill individu secara teknik dan interpersonal A competency is an underlying characteristics on individual that is causally related to criterion referenced effective and/or superior performance in a job or situation (Spencer and Spencer 1993:9). Kompetensi berkaitan dengan ciri dasar idividu yang dikaitkan dengan standar kinerja yan efektif dan atau superior Competence refers to an individual’s knowledge, skill, abilities or personality characteristics that directly influences his or her performances (Becker, Huselid, dan Ulrich dalam Yuniarsih dan Suwatno 2008:22). Kompetensi merupakan pengetahuan, keahlian, kemampuan, dan kepribadian yang secara langsung mempengaruhi kinerjanya.
Dari ketiga definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa kompetensi adalah karakteristik berupa pengetahuan, keahlian, dan kepribadian yang mempengaruhi kinerja individu. Salah satu model kompetensi yang diterima secara baik oleh sektor akademis dan praktisi adalah model kompetensi yang dikemukakan oleh Spencer dan Spencer (1993:11). Model tersebut terdapat pada Gambar 2.1. Spencer and Spencer (1993:9) menyatakan terdapat 5 karakteristik kompetensi yaitu: 1. 2. 3.
motif (motive), secara konsisten merupakan apa yang mendorong (memotivasi individu melakukan sesuatu) ciri bawaan (trait), ciri fisik dan reaksi yang bersifat kosisten terhadap apa yang terjadi dai lingkungan konsep diri (self concept), nilai diri, cara individu memandang dirinya sendiri 131
Rofi Rofaida
4. 5.
pengetahuan (knowledge), informasi yang dimiliki seseorang tentang sesuatu hal keterampilan (skill), kemampuan melaksanakan tuas-tugas fisik dan mental.
Pengetahuan dan keterampilan cenderung lebih tampak (visible) dan relatif mudah untuk dikembangkan melalui program pelatihan. Motif dan ciri bawaan berada pada lingkaran di tengah merupakan faktor yang tersembunyi sehingga sulit sekali untuk dinilai dan dikembangkan. Terakhir adalah konsep diri, Nerada pada lingkaran ditengah-tengah, artinya sikap, nilai dan nilai diri dapat diubah melalui pelatihan dan psikoterapi atau pengalaman pengembangan yang positif, walaupun memerlukan jangka waktu yang lama. Gambar 2.1 Model Kompetensi trait, motive Self concept Attitudes Knowledge value skill
Sumber : Spencer and Spencer, 1993, p.11, Competence at Work: Model for Superior Performance, John Wiley &Sons, Inc, New York
Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) Model Kompetensi Spencer and Spencer menjadi rujukan dalam menyusun standar kompetensi nasional termasuk didalamnya untuk sektor pariwisata. Kompetensi menurut Undang Undang No. 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan adalah : kemampuan kerja setiap individu yang mencakup aspek pengetahuan, keterampilan, dan sikap kerja yang sesuai dengan standar yang ditetapkan. Standar kompetensi kerja untuk Indonesia tertuang dalam SKKNI (Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia) yang dikeluarkan oleh Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) adalah uraian kemampuan yang mencakup pengetahuan, keterampilan dan sikap kerja minimal yang harus dimiliki untuk menduduki jabatan tertentu. Standar kompetensi kerja merupakan rumusan yang benar-benar dikerjakan di tempat kerja pada industri. Hingga saat ini SKKNI telah dibakukan dengan Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi adalah sebanyak 14 standar. Pengembangan sertifikasi kompetensi kerja yang dilakukan oleh BNSP terkait dan terpadu dengan pengembangan Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) serta pengembangan pelatihan berbasis kompetensi di lembagalembaga pelatihan kerja sebagai kesatuan Sistem Latihan Kerja Nasional (SISLATKERNAS). Sesuai dengan Pasal 18 ayat (1), (2) dan (3) Undang-Undang No. 13 tahun 2003, sertifikasi kompetensi kerja adalah bentuk pengakuan secara formal terhadap kompetensi kerja yang telah dikuasai. Standar kompetensi untuk ketenagakerjaan hotel dan restoran diatur berdasarkan Penetapan Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) Sektor Pariwisata Sub Sektor Hotel dan Restoran melalui KepMen 239/MEN/X/2004. Pengukuran kompetensi SDM pada kajian ini mengacu pada SKKNI Sub Sektor Hotel Dan Restoran 132
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Volume 1, Nomor 1, Oktober 2013
Arah Kebijakan ketenagakerjaan Kota bandung juga memfokuskan peningaktan kualitas SDM melalui standarisasi pelayanan, akreditasi lembaga, dan sertifikasi profesi. Berdasarkan Perda Kota Bandung No. 07 Tahun 2012 BAB X tentang Pelatihan Sumberdaya Manusia, standarisasi, Sertifikasi, dan Tenaga Kerja, menyebutkan beberapa hal, yaitu : 1) 2) 3) 4) 5)
Tenaga kerja di bidang kepariwisataan memiliki standar kompetensi. Standar kompetensi dilakukan atau diperoleh melalui sertifikasi kompetensi Sertifikasi kompetensi dilakukan oleh lembaga sertifikasi profesi yang memiliki lisesnsi sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan Produk, pelayanan, danpengelolaan usaha memiliki standar usaha Standar usaha dilakukan melalui sertifikasi usaha Pemerintah Daerah menyelenggarakan pelatihan SDM pariwisata untuk memenuhi standar kompetensi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
METODE PENELITIAN Metode Penelitian Obyek studi adalah Model Peningkatan Kompetensi Sumberdaya Manusia Pada Sektor Pariwisata Di Kota Bandung Sebagai Upaya Meningkatkan Daya Saing Sektor Pariwisata. Studi dilakukan pada hotel dan restoran di Kota Bandung. Penelitian ini dilakukan secara kualitatif. Metode yang digunakan adalah metode survei . Survei dilakukan pada karyawan front office dan tatagraha hotel sedangkan untuk restoran adalah pramusaji dan cook/koki. Penetapan empat jenis pekerjaan ini karena empat jenis pekerjaan berinteraksi langsung dan memberikan kontribusi terbesar bagi penghantaran /delivery jasa kepada konsumen. Pengamatan menggunakan cakupan waktu “one shoot” / cross sectional. Analisis dilakukan secara deskriptif. Pengukuran variabel penelitian dapat dijelaskan pada matriks operasionalisasi variabel di bawah ini : Tabel 3.1 Tabel Operasionalisasi Variabel 1
Variabel Kompetensi SDM sektor hotel dan restoran yang dimiliki saat ini
Sub Variabel Kompetensi front office sesuai dengan SKKNI Sektor Pariwisata Sub Sektor Hotel dan Restoran
Kompetensi tatagraha sesuai dengan SKKNI Sektor Pariwisata Sub Sektor Hotel dan Restoran
a)
b)
c) d) e) 1.
2.
3.
Indikator yang diukur Indikator : Menerima dan memproses reservasi : • Menerima permintaan reservasi • Mencatat rincian reservasi Indikator : Menyediakan layanan akomodasi • Menyiapkan kedatangan tamu • Menyambut dan mendaftarkan • Mengorganisir keberangkatan tamu Indikator : Memproses transaksi keuangan Indikator : Berkomunikasi melalui telepon Indikator : Menyediakan jasa porter Indikator : Menyediakan layanan housekeeping untuk tamu : a) Menangani permintaan housekeeping b) Memberi saran tamu mengenai perlengkapan housekeeping Indikator : Menyiapkan kamar untuk tamu a) Akses ke kamar untuk pelayanan b) Membereskan tempat tidur c) Membereskan dan membersihkan kamar Indikator : Menangani pakaian tamu
133
Rofi Rofaida
a) Memproses dan mencuci barang barang b) Mengemas dan menyimpan barang cucian Kompetensi pramusaji sesuai dengan SKKNI Sektor Pariwisata Sub Sektor Hotel dan Restoran
1)
2) 3) 4) Kompetensi cook/koki sesuai dengan SKKNI Sektor Pariwisata Sub Sektor Hotel dan Restoran
Indikator bekerjasama dengan rekan kerja dan pelanggan: a) Komunikasi dengan rekan kerja b) Menyediakan bantuan ke pelanggan c) Menjaga standar penampilan diri Indikator Pelayanan prima pada pelanggan Indikator mengembangkan dan memperbaharui pengetahuan tantang makanan dan minuman Indikator Proses transaksi pembayaran
a)
Indikator Mematuhi prosedur kemanan dan keselamatan makanan dan minuman b) Indikator Mengoperasikan peralatan pembersih beserta sarana pendukungnya: • Persiapan dan pelaksanaan • Perawatan c) Indikator Melaksanakan prosedur kesehatan dan kebersihan di tempat kerja • Melaksanakan kebersihan dan kesehatan • Penyimpanan makanan dan pengelolaan limbah makanan d) Indikator Merancang dan Mengoperasikan dapur e) Indikator Merencanakan urutan dalam pengolahan makanan f) Indikator Penggunaan metode dan alat memasak g) Indikator Menyajikan makanan h) Indikator Menghitung porsi makanan i) Indikator Kerjasama tim
Metode Pengumpulan Data Untuk menjawab tujuan kegiatan seperti disebutkan di atas maka dilakukan pengumpulan data primer dan data sekunder. Pengumpulan data primer dilakukan dengan melakukan observasi, wawancara, survey, expert justification, dan FGD. Pengumpulan data sekunder dilakukan melalui desk study. Matriks variabel penelitian dan metode pengumpulan data yang dilakukan dapat dijelaskan pada Tabel 3.2 Tabel 3.2 Matrik Metode Pengumpulan Data 1 2 4
Variabel Kompetensi SDM sektor hotel dan restoran yang dibutuhkan pasar Kompetensi SDM sektor hotel dan restoran di Kota Bandung yang ada saat ini Kebijakan berkaitan dengan peningkatan SDM Sektor Hotel dan Restoran
Metode Pengumpulan Data ü Observasi lapangan,Survey dan in depth interview, dan desk study ü Observasi lapangan,Survey dan in depth interview, dan desk study ü Desk study,FGD, dan expert justification
Teknik Penarikan Sampel Populasi pada penelitian ini adalah sektor hotel dan restoran di Kota Bandung. Penarikan sampel dilakukan dengan metode purposive sampling. Purposive sampling adalah teknik sampling yang digunakan jika peneliti mempunyai pertimbangan tertentu didalam pengambilan sampelnya, atau disebut juga sebagai sampel untuk tujuan tertentu. Penelitian 134
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Volume 1, Nomor 1, Oktober 2013
kualitatif biasanya menggunakan non probability sampling (termasuk di dalamnya purposive sampling) (Arikunto 2010:33). Sampel hotel terdiri dari hotel berbintang 4, 3, dan 2 sedangkan restoran terdiri dari restoran nusantara, barat, dan cepat saji. Sumber data / responden adalah karyawan front office dan tatagraha hotel sedangkan untuk restoran adalah pramusaji dan cook/koki. Penetapan empat jenis pekerjaan ini karena empat jenis pekerjaan berinteraksi langsung dan memberikan kontribusi terbesar bagi penghantaran /delivery jasa kepada konsumen. Penilaian kompetensi dilakukan dengan penyebaran kuesioner kepada konsumen yang pernah menggunakan layanan hotel dan kepada karyawan. Penyebaran kuesioner dilakukan kepada konsumen dan karyawan hotel dilakukan karena ada beberapa item kompetensi yang tidak terkait langsung dengan konsumen sehingga tidak bisa dinilai oleh konsumen. Metode penilaian untuk kuesioner kompetensi yang disebarkan kepada karyawan digunakan metode self appraisal method . Metode Analisis Data Item pertanyaan dalam kuesioner disusun dengan skala likert 1-5. Sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai, maka data yang diperoleh dianalisis dengan tahapan: 1. 2. 3. 4. 5.
6.
7.
Menyusun data mengecek kelengkapan identitas responden dan pengisian kuesioner Tabulasi Data, dilakukan untuk mengelompokkan data berdasarkan indikator Identifikasi, pemetaan/mapping dan analisis deskriptif berkaitan dengan profil kompetensi SDM sektor hotel dan restoran yang dibutuhkan pasar Identifikasi, pemetaan/mapping dan analisis deskriptif berkaitan dengan profil kompetensi SDM sektor hotel dan restoran yang ada saat ini Melakukan analisis kesenjangan (gap analysis) antara poin (3), dan (4) sehingga dapat disusun kebijakan peningkatan kompetensi termasuk didalamnya kebijakan pendidikan dan pelatihan yang seharusnya dilakukan industri maupun Disnaker Kota Bandung Hasil analisis ini juga dapat dijadikan informasi bagi industri dalam melakukan training needs assessment (analisis kebutuhan pelatihan). Bagi institusi pendidikan hasil penelitian dalam menyempurnakan kurikulum untuk meningkatkan link and match antara pendidikan dengan kebutuhan industri Pemetaan dan analisis peran sistem ‘triple helix’ (industri, pemerintah dan akademisi) dalam peningkatan kompetensi SDM
Data diolah dan disajikan dalam bentuk distribusi frekuensi, tabulasi silang, disajikan berdasarkan kesamaan karakteristik atau dibandingkan untuk memahami fenomena, atau diolah agar mudah digunakan untuk pengolahan analisis deskriptif
135
Rofi Rofaida
Kerangka Kerja Penelitian Gambar 3.1 Kerangka Kerja Penelitian %" &'()*+,+-#.'-)-/,+0+-# ,12.'0'-3) 0'42+35,# 6)6+7+2-8+#,'()*+,+-## .'7+0)9+-# :" ;'2'0++-#6+-#+-+7)3)3# .'4+-#3)30'2#!"#$%&'( )'&$*+#<)-65304)=# .'2'4)-0+9#6+-# +,+6'2)3)"#6+7+2# .'-)-/,+0+-# ,12.'0'-3)#>?@### !" ;'-8535-+-#@16'7# &12.'0'-3)#>?@#910'7# 6+-#4'3014+-##
HASIL DAN PEMBAHASAN Identifikasi, pemetaan/mapping dan analisis deskriptif berkaitan dengan profil kompetensi SDM sektor hotel dan restoran yang dibutuhkan pasar Indikator kompetensi front office mengacu pada SKKNI berdasarkan Penetapan Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia Sektor Pariwisata Sub Sektor Hotel Dan Restoran Keputusan Menteri : Kep 239/MEN/X/2004. Indikator yang masuk dalam ruang lingkup kajian adalah sebagai berikut: 1. Front office hotel : a) Indikator : Menerima dan memproses reservasi : • Menerima permintaan reservasi • Mencatat rincian reservasi b) Indikator : Menyediakan layanan akomodasi • Menyiapkan kedatangan tamu • Menyambut dan mendaftarkan • Mengorganisir keberangkatan tamu c) Indikator : Memproses transaksi keuangan d) Indikator : Berkomunikasi melalui telepon e) Indikator : Menyediakan jasa porter 2. Tata graha hotel a) Indikator : Menyediakan layanan housekeeping untuk tamu : • Menangani permintaan housekeeping • Memberi saran tamu mengenai perlengkapan housekeeping 136
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Volume 1, Nomor 1, Oktober 2013
b) Indikator : Menyiapkan kamar untuk tamu • Akses ke kamar untuk pelayanan • Membereskan tempat tidur • Membereskan dan membersihkan kamar c) Indikator : Menangani pakaian tamu • Memproses dan mencuci barang barang • Mengemas dan menyimpan barang cucian 3. Pramusaji Restoran a) Indikator bekerjasama dengan rekan kerja dan pelanggan: • Komunikasi dengan rekan kerja • Menyediakan bantuan ke pelanggan • Menjaga standar penampilan diri b) Indikator Pelayanan prima pada pelanggan c) Indikator mengembangkan dan memperbaharui pengetahuan tantang makanan dan minuman d) Indikator Proses transaksi pembayaran 4. Cook / Koki a) Indikator Mematuhi prosedur kemanan dan keselamatan makanan dan minuman b) Indikator Mengoperasikan peralatan pembersih beserta sarana pendukungnya: • Persiapan dan pelaksanaan • Perawatan c) Indikator Melaksanakan prosedur kesehatan dan keberseihan di tempat kerja • Melaksanakan kebersihan dan kesehtan • Penyimpanan makanan dan pengelolaan limbah makanan d) Indikator Merancang dan Mengoperasikan dapur e) Indikator Merencanakan urutan dalam pengolahan makanan f) Indikator Penggunaan metode dan alat memasak g) Indikator Menyajikan makanan h) Indikator Menghitung porsi makanan i) Indikator Kerjasama tim Identifikasi, Pemetaan/mapping dan Analisis Deskriptif Berkaitan dengan Profil Kompetensi SDM Sektor hotel dan Restoran saat ini Analisis Deskriptif Berkaitan dengan Profil Kompetensi Front Office Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara keseluruhan kompetensi kompetensi front office di hotel belum memperoleh hasil yang sempurna yaitu skor 5. Artinya kompetensi real karyawan masih di bawah kompetensi yang diharapkan. Masih ada gap/kesenjangan antara kompetensi ekspektasi dengan kompetensi real nya. Namun analisis lebih lanjut menunjukkan bahwa keseluruhan indikator kompetensi berada pada skor di atas 3,00 (cukup baik) kecuali untuk indikator menerima dan memproses permintaan reservasi rata-rata skor masih di bawah 3,00 yaitu 2,96. Hasil selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 4.1
137
Rofi Rofaida
Tabel 4.1 Profil Kompetensi Front Office Indikator kompetensi dengan skor tertinggi 1) Menyediakan layanan akomodasi, dengan skor kompetensi 3,30 dan skor gap 1,70
2) Menyediakan jasa porter, dengan skor kompetensi 3,58 dan skor gap 1,43
3) Memproses transaksi keuangan, dengan skor kompetensi 3,45 dan skor gap 1,55
Sub indikator kompetensi dengan skor tertinggi 1) Permintaan tamu untuk bantuan keberangkatan dilakukan dengan sopan dan ditujukan ke departemen yang berkaitan, dengan skor kompetensi 3,45 dan skor gap 1,55 2) Express check-outs dan rekening diproses sesuai dengan prosedur perusahaan dengan skor kompetensi 3,60 dan skor gap 1,40
Indikator kompetensi dengan skor terendah Menerima dan memproses reservasi
ü Tamu-tamu disambut segera dan dibantu dengan barangbarang bawaan sesuai dengan prosedur perusahaan dan persyaratan keselamatan dengan skor kompetensi 3,58 dan skor gap 1,42 ü Tagihan tamu diterangkan secara jelas dan sopan kepada tamu, dan diproses secara akurat dengan skor kompetensi 3,35 dan skor gap 1,65 ü Transaksi pembayaran dicatat dengan benar dan segera. dengan skor kompetensi 3,45 dan skor gap 1,55
Menyediakan layanan akomodasi
Berkomunikasi melalui telpon
Sub indikator kompetensi dengan skor terendah 1) Ketersediaan reservasi yang diminta ditentukan secara benar dan disarankan secara sopan kepada pelanggan skor kompetensi 3,1 dan skor gap 1,9 2) Informasi dan saran tentang fasilitas hotel serta layanan ditawarkan secara pro-aktif skor kompetensi 2,68 dan skor gap 2,32 3) Pertanyaan-pertanyaan tentang biaya dan bentukbentuk produk lain dijawab secara tepat. skor kompetensi 2,83 dan skor gap 2,17 informasi dan saran tentang fasilitas dan layanan lain seperti fasilitas safety deposit ditawarkan secara pro-aktif skor kompetensi 3,00 dan skor gap 2,00
telepon dijawab secara cepat, jelas dan sopan skor kompetensi 3,23 dan skor gap 1,77
Dari Tabel 4.1 dapat diketahui bahwa indikator yang masih harus ditingkatkan adalah: menerima dan memproses reservasi, menyediakan layanan akomodasi dan berkomunikasi melalui telpon. Karyawan front office kurang mampu menginformasikan dan menawarkan keseluruhan produk/layanan hotel/fasilitas hotel. Hanya menerima dan memproses reservasi tanpa adanya upaya pro aktif untuk mempromosikan dan menawarkan fasilitas-fasilitas lain di luar pemesanan konsumen. Lima sub indikator kompetensi dengan skor rendah (lihat Tabel 4.1) merupakan area pengembangan atau menjadi program pelatihan yang menjadi prioritas Disnaker Kota Bandung. 138
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Volume 1, Nomor 1, Oktober 2013
Analisis Deskriptif Berkaitan dengan Profil Kompetensi Tata Graha Secara keseluruhan kompetensi belum memperoleh hasil yang sempurna yaitu skor 5. Artinya kompetensi real karyawan masih di bawah kompetensi yang diharapkan. Namun analisis lebih lanjut menunjukkan bahwa keseluruhan indikator kompetensi berada pada skor di atas 3,00 (cukup baik). Artinya potensi peningkatan kompetensi masih cukup luas. Pengolahan data memberikan hasil skor kompetensi untuk setiap indikator, seperti dapat dilihat pada Tabel 4.2 di bawah ini : Tabel 4.2 Profil Kompetensi Tata Graha Indikator Kompetensi dengan skor tertinggi
Sub indikator kompetensi dengan skor tertinggi
1) Menyiapkan kamar tamu dengan skor tertinggi yaitu 3,66 dan nilai gap sebesar 1,34.
1) Tempat tidur dibersihkan, bantal dan linen diperiksa, noda dihilangkan sesuai dengan prosedur perusahaan dengan skor 3,73 dan nilai gap sebesar 1,27.
Indikator kompetensi dengan skor terendah Menyediakan layanan housekeeping
2) Seprai tempat tidur diganti sesuai dengan standar dan prosedur perusahaan dengan skor 3,73 dan nilai gap sebesar 1,27
2) Menyediakan layanan housekeeping
Rincian permintaan dikonfirmasi dan dicatat dengan skor 3,70 dan nilai gap sebesar 1,30
Menangani linen dan pakaian tamu
Menyediakan pelayanan valet
Sub indikator kompetensi dengan skor terendah
1) Permintaan ditangani dengan cara yang ramah dan sopan sesuai dengan standar layanan pelanggan perusahaan dan prosedur keamanan, skor kompetensi 3,33 dan skor gap 1,77 2) Tamu diberi saran dengan sopan tentang penggunaan peralatan yang benar, skor kompetensi 3,10 dan skor gap 1,90 3) Pertanyaan-pertanyaan tentang biaya dan bentukbentuk produk lain dijawab secara tepat, skor kompetensi 2,83 dan skor gap 2,17 Proses pencucian, menyeterika dilaksanakan dengan benar dan hasil akhir berkualitas baik, skor kompetensi 3,35 dan skor gap 1,65 Cucian tamu dikemas dan disajikan dengan baik, skor kompetensi 3,45 dan skor gap 1,55 Informasi dan saran tentang layanan khusus dan manfaat diberikan secara pro-aktif pada tamu, skor kompetensi 3,23 dan skor gap 1,77
Sumber : pengolahan data, 2013 Dari Tabel 4.2 dapat diketahui bahwa terdapat tiga indikator yang memiliki skor tertinggi yaitu: Menyiapkan kamar tamu dan menyediakan layanan housekeeping (pada sub indikator rincian permintaan dikonfirmasi dan dicatat).
139
Rofi Rofaida
Indikator yang masih harus ditingkatkan adalah: menyediakan layanan housekeeping, menangani linen dan pakaian, serta menyediakan layanan valet. Tujuh sub indikator kompetensi dengan skor rendah (lihat Tabel 4.2) adalah area pengembangan atau menjadi program pelatihan prioritas. Analisis Deskriptif Berkaitan dengan Profil Kompetensi Pramusaji Tabel 4.3 menunjukkan bahwa secara keseluruhan kompetensi pramusaji belum memperoleh hasil yang sempurna yaitu skor 5. Artinya kompetensi real karyawan masih di bawah kompetensi yang diharapkan. Masih ada gap/kesenjangan antara kompetensi ekspektasi dengan kompetensi real nya. Tetapi jika dibandingkan dengan kompetensi SDM pada sektor perhotelan (frontoffice dan tata graha) maka gambaran kompetensi pramusaji menunjukkan gambaran yang lebih baik. Sebagian besar item kompetensi yaitu 52,90% memiliki skor di atas 4,00 ( kompetensi baik). Sisanya yaitu 47,10% memiliki nilai di atas 3,40. Seluruh indikator kompetensi memiliki skor di atas 3,40. Ini merupakan indikasi bahwa SDM pramusaji memiliki potensi untuk mencapai kompetensi yang maksimal (skor 5). Tabel 4.3 Profil Kompetensi Pramusaji Indikator kompetensi dengan skor tertinggi
Sub indikator kompetensi dengan skor tertinggi
Pelayanan prima pada pelanggan
1. Menyambut kedatangan pelanggan dengan ramah dan menempatkan pelanggan di meja yang telah ditetapkan , dengan skor kompetensi 4,43 dan skor gap 0,57 2. Membersihkan meja pada waktu yang tepat selama makan dan penyelesaian makan, dengan skor kompetensi 4,40 dan skor gap 0,60 Bantuan kepada pelanggan dalam memilih makanan dan minuman, disediakan sesuai Kebutuhan, dengan skor kompetensi 4,40 dan skor gap 0,60 Saran pelanggan dalam mengkombinasikan makanan dan minuman ditanggapi, dipilih dan diikuti atau ditindaklanjuti, dengan skor 4,51 dan gap 0,49
Mengembangkan dan memperbaharui pengetahuan tantang makanan dan minuman
Indikator kompetensi dengan skor terendah bekerjasama dengan rekan kerja
Pelayanan prima pada pelanggan
Proses transaksi pembayaran
Sub indikator kompetensi dengan skor terendah 1. Harapan dan keperluan pelanggan termasuk kepentingan khusus, diperhatikan dan disediakan dengan produk layanan yang tepat, skor kompetensi 3,64 dan skor gap 1,36 2. Keluhan tamu segera dipahami dan diambil solusi pemecahannya, skor kompetensi 3,45 dan skor gap 2,55 Menyajikan makanan sesuai yang dipesan oleh pelanggan, skor kompetensi 3,80 dan skor gap 1,20
Memberikan tagihan kepada pelanggan dengan sopan, skor kompetensi 3,82, gap 1,18
Sumber : pengolahan data, 2013
Hal yang menjadi area pengembangan/pelatihan adalah pada aspek kerjasama tim. Restoran memerlukan kerjasama tim sehingga kompetensi untuk bekerjasama dengan rekan kerja secara efektif dan efisien sangat diperlukan.
140
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Volume 1, Nomor 1, Oktober 2013
Analisis Deskriptif Berkaitan dengan Profil Kompetensi Cook/Koki Tabel 4.4 menunjukkan bahwa secara keseluruhan kompetensi cook memberikan hasil yang lebih baik jika dibandingkan dengan kompetensi pramusaji. Rata rata kompetensi tiap indikator lebih dari 4,00 (kompetensi baik). Beberapa item kompetensi bahkan memperoleh skor sempurna yaitu 5.
Tabel 4.4 Profil Kompetensi Cook/Koki Indikator kompetensi dengan skor tertinggi Merancang dan mengoperasikan dapur
Perencanaan Urutan makanan
Sub indikator kompetensi dengan skor tertinggi
Indikator kompetensi dengan skor terendah
Sub indikator kompetensi dengan skor terendah
1. Item menu dimasak, didinginkan dan dikemas sesuai dengan prosedur usaha, peraturan dan persyaratan kesehatan dengan skor kompetensi 5,0 dan skor gap 0,0 2. Produk yang sudah dimasak disajikan secara tepat dan menarik untuk memenuhi keinginan pelanggan dengan skor kompetensi 5,0 dan skor gap 0,0 1. Bumbu dipilih , ditakar dengan teliti sesuai standar resep dengan skor kompetensi 5,0 dan skor gap 0,0 2. Bumbu hasil racikan disiapkan sesuai resep dan tenggang waktunya dengan skor kompetensi 5,0 dan skor gap 0,0. 3. Kegiatan perencanaan urutan dalam pengolahan masakan dilakukan dengan skor kompetensi 5,0 dan skor gap 0,0 4. Hasil evaluasi pelaksanaan kegiatan perencanaan urutan dalam pengolahan masakan dievaluasi kepada manajemen/pimpinan, dengan skor kompetensi 5,0 dan skor gap 0,0
bekerjasama dengan rekan kerja
1) Harapan dan keperluan pelanggan termasuk kepentingan khusus, diperhatikan dan disediakan dengan produk layanan yang tepat, skor kompetensi 3,64 dan skor gap 1,36 2) Keluhan tamu segera dipahami dan diambil solusi pemecahannya, skor kompetensi 3,45 dan skor gap 2,55
Pelayanan prima pada pelanggan
Menyajikan makanan sesuai yang dipesan oleh pelanggan, skor kompetensi 3,80 dan skor gap 1,20
Sumber : pengolahan data, 2013
Strategi Peningkatan Kompetensi SDM Sektor Hotel dan Restoran Terdapat beberapa hal penting berkaitan dengan kompetensi SDM sektor hotel dan restoran yaitu: 1. Persaingan dengan tenaga kerja asing 2. Tuntutan standarisasi layanan/kompetensi 141
Rofi Rofaida
3. Tuntutan sertifikasi profesi 4. Optimalisasi Lembaga pendidikan dan pelatihan Berkaitan dengan hal tersebut di atas strategi yang dapat diajukan berkaitan dengan peningkatan kompetensi ketenagakerjaan dilakukan pada : (1). Strategi Peningkatan kapasitas kelembagaan, (2). Strategi Peningkatan kompetensi SDM melalui pelatihan, dan (3) Strategi Peningkatan kompetensi SDM melalui program sertifikasi dan standarisasi Strategi Peningkatan Kapasitas Lembaga Pendidikan dan Pelatihan Beberapa program dilakukan terkait strategi peningkatan kapasitas kelembagaan. Lembaga pendidikan sebagai pelaku pengembangan SDM dari sisi supply, berperan penting untuk dapat menghasilkan SDM yang berkualitas, dan memiliki kompetensi yang sesuai dengan kebutuhan di pasar kerja. 1. Program Peningkatan Kualitas Sistem Pengajaran a. Peningkatan kapasitas lembaga agar mampu menyusun program dan kurikulum yang bertaraf nasional dan internasional namun sesuai dengan kebutuhan SDM. b. Peningkatan kemampuan lembaga pendidikan baik formal maupun non-formal dalam penyelenggaraan program diklat sertifikasi keahlian profesi yang dibutuhkan industri 2. Program Peningkatan Kualitas Tenaga Pengajar Peningkatan kemampuan tenaga pengajar di lembaga pendidikan dan pelatihan melalui program beasiswa di dalam maupun di luar negeri, dan pelatihan berbasis pada standard ASEAN maupun internasional. 3. Peningkatan Sarana dan Prasarana a. Penetapan standar minimal ketersediaan sarana prasarana pendidikan bagi lembaga pendidikan untuk dapat memenuhi kebutuhan proses pembelajaran yang kondusif. b. Pemanfaatan teknologi seperti ICT, seperti internet dan multimedia dalam meningkatkan penerapan metode teknik dan strategi pembelajaran. Strategi Peningkatan Kompetensi SDM melalui Pelatihan Definisi pelatihan menurut UU no 13 tahun 2003 adalah : keseluruhan kegiatan untuk memberi, memperoleh, meningkatkan, serta mengembangkan kompetensi kerja, produktivitas, disiplin, sikap, dan etos kerja pada tingkat keterampilan dan keahlian tertentu sesuai dengan jenjang dan kualifikasi jabatan atau pekerjaan. Fokus utama pelatihan adalah meningkatkan kemampuan karyawan untuk melaksanakan pekerjaan saat ini sedangkan pendidikan meliputi proses pembelajaran di luar pekerjaan saat ini dan lebih fokus pada jangka panjang (long-term focus) Starting point dalam pelatihan adalah adanya penilaian kebutuhan (needs assessment) yang bertujuan untuk mengumpulkan informasi dan melakukan analisis untuk menentukan perlu tidaknya pelatihan dilakukan. Perlu dilakukan identifikasi jenis kompetensi yang dibutuhkan saat ini dan yang akan datang untuk menentukan jenis pelatihan yang akan diberikan. Jika terjadi kesenjangan antara kompetensi yang dibutuhkan dengan yang tersedia maka perlu dilakukan pelatihan.
142
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Volume 1, Nomor 1, Oktober 2013
Dari hasil analisis kesenjangan (gap analysis) terhadap kompetensi SDM sektor hotel dan restoran dapat disusun pada matriks penilaian kebutuhan (needs assessment) dan jenis pelatihan didasarkan pada pebilaian kebutuhan pelatihan. Tabel 4.5 Matrik Area Kebutuhan Pelatihan pada Sektor Hotel dan Restoran Kota Bandung Jenis pekerjaan Front office hotel
Housekeeping /tata graha
Kompetensi yang perlu ditingkatkan Ketersediaan reservasi yang diminta ditentukan secara benar dan disarankan secara sopan kepada pelanggan. Informasi dan saran tentang fasilitas hotel serta layanan ditawarkan secara pro-aktif. Pertanyaan-pertanyaan tentang biaya dan bentuk-bentuk produk lain dijawab secara tepat Informasi dan saran tentang fasilitas dan layanan lain seperti fasilitas safety deposit ditawarkan secara pro-aktif. Telepon dijawab secara cepat, jelas dan sopan menangani permintaan tamu dengan cara yang ramah dan sopan sesuai dengan standar layanan pelanggan perusahaan dan prosedur keamanan kemampuan untuk memberikan saran kepada tamu tentang penggunaan peralatan hotel dengan sopan melakukan proses pencucian, menyeterika dengan benar dan hasil akhir berkualitas baik pengemasan dan penyajian cucian tamu dengan baik memberikan informasi dan saran tentang layanan khusus dan manfaat diberikan hotel secara pro-aktif
• •
Pelatihan berkomunikasi • Pelatihan pelayanan prima • Pelatihan problem solving • Pelatihan kemampuan berkomunikasi Pelatihan pencucian dan pengemasan barang • •
Pramusaji
Jenis pelatihan Pelatihan berkaitan dengan product knowledge Pelatihan untuk meningkatkan kemampuan promosi produk
Pelatihan berkaitan dengan product knowledge Pelatihan untuk peningkatkan kemampuan melakukan promosi produk Pelatihan product knowledge Pelatihan pelayanan prima Pelatihan problem solving Pelatihan berkomunikasi
memperhatikan dan menyediakan produk layanan yang tepat sesuai dengan harapan dan keperluan pelanggan memahami keluhan tamu dan mengambil solusi pemecahannya.
• • • •
menyajikan makanan sesuai yang dipesan oleh pelanggan memberikan tagihan kepada pelanggan dengan sopan Mensortir dan membuang limbah sesuai dengan peraturan kesehatan dan praktek perusahaan. Mengidentifikasi dan menggunakan perlengkapan masak sesuai kebutuhan dan metoda memasak masakan tertentu Menggunakan alat memasak yang bersih dan aman sesuai dengan menu dan standar perusahaan. Melakukan evaluasi secara berkala dari pihak manajemen terhadap penggunaan metode dan alat memasak Kerja sama di dapur untuk layanan makanan ditampilkan untuk memaksimalkan mutu makanan dan mengurangi keterlambatan. Mengevaluasi hasil pelaksanaan kegiatan penyajian makanan sesuai kebijakan dan standar perusahaan.
Pelatihan pelayanan prima Pelatihan kesehatan dan kemanan lingkungan kerja • Pelatihan penggunaan metode memasak yang tepat sesuai urutan pengolahan makanan • Pelatihan penggunaan alat sesuai dengan standar keamanan dan kesehatan Pelatihan kerjasama tim Pelatihan manajemen penyajian makanan
Sumber : Pengolahan dan analisis data, 2013
Strategi Peningkatan kompetensi SDM melalui Program Sertifikasi dan Standarisasi. Salah satu upaya dalam meningkatkan kompetensi SDM adalah dengan menetapkan standar kompetensi, melaksanakan uji kompetensi dan sertifikasi profesi berbasis kompetensi. Pengembangan sertifikasi kompetensi kerja yang dilakukan oleh BNSP dengan 143
Rofi Rofaida
mengembangkan SKKNI bersinergi dengan pengembangan pelatihan berbasis kompetensi di lembaga-lembaga pelatihan kerja sebagai kesatuan Sistem Latihan Kerja Nasional (SISLATKERNAS) (Bappenas 2008). Beberapa strategi yang diajukan adalah: 1. Program Standardisasi a. Pengembangan pedoman pemanfaatan dan pelaksanaan SKKNI (Standard Kompetensi Kerja Nasional Indonesia) di industri serta menetapkan kebijakan bagi industri agar menerapkannya dalam program pengembangan SDM di masing-masing entitas usaha. b. Penetapan standard minimal sebagai syarat ketersediaan sarana prasarana pendidikan/pengajaran bagi lembaga pendidikan untuk dapat memenuhi kebutuhan proses belajar-mengajar yang kondusif. 2. Program Sertifikasi a. Pengembangan sistem pelaksanaan sertifikasi profesi yang lebih efektif memberikan manfaat bagi industri sehingga memotivasi baik individu, manajemen dan pemilik usaha untuk menerapkannya sebagai bagian program pengembangan SDM internal b. Pengembangan sistem sertifikasi profesi dengan mengakomodasi standar dan perkembangan yang ada di tingkat regional maupun internasional c. Penguatan lembaga pendidikan untuk juga berperan aktif sebagai pelaksana sertifikasi SDM, sesuai bidang keahlian lulusan. Model Peningkatan Kompetensi SDM Sektor Hotel dan Restoran Peningkatan kompetensi SDM sektor hotel dan restoran sangat ditentukan oleh tiga faktor, yaitu : industri, kebijakan pemerintah, dan institusi pendidikan. Masing – masing pihak memberikan kontribusi terhadap peningkatan kompetensi. Pemetaan dan analisis peran sistem ‘triple helix’ (industri, pemerintah dan akademisi) akan menghasilkan Model Peningkatan Kompetensi SDM Sektor Hotel dan Restoran. (Gambar 4.1) Gambar 4.1 Model Peningkatan Kompetensi SDM Sektor Hotel dan Restoran
144
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Volume 1, Nomor 1, Oktober 2013
Dari Gambar 4.1 dilihat bahwa peningkatan kompetensi SDM akan melibatkan triple helix (industri, pemerintah dan akademisi). Simpulan Peran masing masing pihak dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Industri termasuk didalamnya adalah lingkungan bisnis (dalam bentuk masyarakat pengguna entitas usaha). Masyarakat memiliki standar pelayanan yang diinginkan. Sehingga upaya perusahaan untuk mengetahui standar tersebut menjadi sangat penting. Standar pelayanan yang diinginkan masyarakat dapat menjadi input untuk menentukan kompetensi yang dibutuhkan untuk memenuhi standar tersebut. Industri dalam hal ini perusahaan berkewajiban untuk memberikan pelatihan (on the job dan off the job training) untuk memastikan bahwa SDM perusahaan memiliki standar pelayanan yang diinginkan. 2. Pemerintah, termasuk didalamnya Dinas Tenaga Kerja Kota Bandung, memiliki peran yaitu : menetapkan standar kompetensi nasional (SKKNI) dan menetapkan kebijakan dan program agar SDM sektor hotel dan restoran secara bertahap memiliki kompetensi sesuai SKKNI 3. Institusi pendidikan dan pelatihan. Institusi pendidikan memiliki peran sebagai berikut : a. Menyusun kurikulum berbasis pada kompetensi yang dibutuhkan saat ini dan melakukan prediksi tentang kompetensi yang dibutuhkan saat yang akan datang b. Melakukan proses pembelajaran yang berkualitas c. Melakukan penelitian/kajian yang hasilnya dapat diterapkan pada industri hotel dan restoran d. Melakukan sertifikasi profesi. Institusi pelatihan memiliki peran sebagai berikut : a) Melaksanakan pelatihan peningkatan kompetensi a. Melakukan sertifikasi profesi.
145
Rofi Rofaida
Daftar Pustaka Arikunto, Suharsimi.2010. Prosedur penelitian suatu pendekatan praktik. PT. Rineka Cipta:33 BPS Kota Bandung. 2012.Bandung dalam Angka 2011 BAPPENAS. 2008. Pengembangan SDM Kepariwisataan di Indonesia. Badan Pusat Statistik Kota Bandung.2011. Kota Bandung dalam Angka Disbudpar Jawa Barat. 2008. Statistical Report on Visitor Arrivals to Indonesia KEP. 239/MEN/X/2004 tentang Penetapan SKKNI Sektor Pariwisata Subsektor Hotel dan Restoran Perda Kota Bandung No. 07 Tahun 2012 BAB X tentang Pelatihan Sumberdaya Manusia, standarisasi, Sertifikasi, dan Tenaga Kerja Publikasi Disbudpar Propinsi Jawa Barat.2008 Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kota Bandung Tahun 2009-2013 Robbin, Stephen P.2010. Perilaku Organisasi. Jakarta: PT INDEKS Kelompok Gramedia:357 Spencer and Spencer. 1993. Competence at Work: Model for Superior Wiley &Sons, Inc, New York:9 dan 11
Performance, John
Undang-Undang No. 13 / 2003 tentang ketenagakerjaan Yuniarsih, Tjutju dan Suwatno. 2008. Manajemen Sumberdaya Manusia, Alfabeta:22 http://diskominfo.jabarprov.go.id bisnis-jabar.com
146
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Volume 1, Nomor 1, Oktober 2013
DETERMINAN GAYA HIDUP SEHAT KONSUMEN ORGANIK Tony Wijaya (
[email protected]) STIE IEU Yogyakarta
Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk menguji pengaruh nilai orientasi alami manusia terhadap sikap pada makanan organik dan pengaruh sikap pada makanan organik terhadap gaya hidup sehat. Data dikumpulkan melalui survei menggunakan kuesioner. Responden dalam penelitian ini adalah konsumen makanan organik yang berdomisili di DIY dan Jawa Tengah. Alat analisis dalam penelitian ini menggunakan Structural Equation Modeling (SEM). Hasil analisis data menunjukkan bahwa nilai orientasi alami manusia berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap sikap pada makanan organik, dan sikap pada makanan organik memiliki pengaruh yang positif dan signifikan terhadap gaya hidup sehat.
Kata-kata kunci: Nilai orientasi alami manusia, Sikap, Gaya hidup sehat, makanan organik
PENDAHULUAN Pola hidup sehat dengan slogan “back to nature” atau kembali ke alam telah menjadi tren masyarakat dunia. Pola hidup ini didasari bahwa segala sesuatu yang berasal dari alam adalah baik dan berguna serta menjamin adanya keseimbangan antara manusia dan alam (Chan 2001). Kesadaran masyarakat akan gaya hidup sehat akhir-akhir ini mulai meningkat (Rifai et al. 2008). Manusia semakin menyadari bahwa penggunaan bahan-bahan kimia non alami seperti pestisida kimia dalam produksi pertanian menimbulkan efek negatif terhadap kesehatan manusia dan lingkungan. Penggunaan pestisida seperti insektisida, fungisida dan herbisida untuk membasmi hama tanaman, hewan, dan gulma (tanaman benalu) sering menimbulkan komplikasi lingkungan (Supardi 1994). Beberapa hasil penelitian melaporkan adanya sejumlah residu insektisida permetrin pada tomat dan kubis, insektisida kartap hidroklorida dan endosulfan pada kubis, dan residu fungisida mankozeb pada tomat dan petai (Munarso et al. 2006). Penggunaan pestisida dalam kegiatan pertanian dapat mengakibatkan dampak negatif pada kesehatan manusia, misalnya terdapat residu pestisida pada produk pertanian dan bioakumulasi dan biomagnifikasi melalui rantai makanan. Manusia sebagai makhluk hidup yang letaknya paling ujung dari rantai makanan dapat memperoleh efek biomagnifikasi yang paling besar (Adriyani 2006). Noorastuti & Astuti (2010) melaporkan bahwa hasil penelitian University of Montreal di Quebec menunjukkan bahwa paparan pestisida yang digunakan pada makanan anak-anak seperti stroberi segar, seledri bisa meningkatkan risiko Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD) pada anak. Para ilmuwan di AS dan Kanada menemukan bahwa anakanak dengan tingkat residu pestisida yang tinggi dalam urin mereka, rentan mengalami ADHD. ADHD adalah gangguan perkembangan dalam peningkatan aktifitas motorik anak147
Tony Wijaya
anak. Gangguan ini berdampak pada masalah mental seperti cara berpikir, bertindak dan merasa. Anak-anak yang mengalaminya akan bermasalah dengan konsentrasi dan pemusatan pikiran. Menurut kajian National Academy of Sciences pada tahun 2008, 28% sampel blueberry beku, 25% sampel stroberi segar, dan 19% sampel seledri mengandung residu pestisida. Paparan pestisida kebanyakan berasal dari buah-buahan dan sayuran segar sehingga ahli kesehatan menganjurkan untuk mengkonsumsi makanan organik. Munculnya berbagai isu kesehatan yang melanda dunia di bidang skandal makanan, sepert krisis bovine spongy encephalopathy (BSE) atau yang lebih dikenal sebagai penyakit sapi gila, dan beberapa penyakit baru lain yang disebabkan bakteri Ecoli pada produk daging, wabah flu burung telah mendorong melonjaknya permintaan produk organik di kawasan Asia Pasifik (Winarno 2003). Perbaikan mutu kehidupan yang sehat disertai preferensi konsumen menyebabkan permintaan produk pertanian organik di seluruh dunia tumbuh rata-rata 20% per tahun. Berbagai literatur kesehatan sebagian besar selalu menyarankan untuk mengkonsumsi makanan yang segar dan alami. Makanan yang baik adalah semua makanan segar yang memenuhi kebutuhan gizi tubuh, yaitu makanan yang mengandung unsur-unsur hidrat arang, protein, lemak, vitamin, mineral, air, dan zat-zat penting lainnya seperti serat, enzim, dan antioksidan (Gunawan 1999). Makanan yang terkontaminasi oleh pestisida akan meninggalkan residu berbahaya yang terus menumpuk di dalam tubuh manusia. Tren mengkonsumsi makanan organik memang mulai meningkat seiring dengan kesadaran terhadap pentingnya gaya hidup sehat dengan konsumsi makanan organik. Pertumbuhan permintaan produk kesehatan seperti makanan organik didorong oleh pertumbuhan segmen konsumen yang mengarah pada gaya hidup sehat (Divine & Lepisto 2005). Gaya hidup sehat dengan cara kembali ke alam dengan mengkonsumsi makanan yang diproduksi secara alamiah sedang menjadi trend baru bagi sebagian masyarakat (Rifai et al. 2008).
Pemahaman faktor-faktor yang berperan menjelaskan gaya hidup sehat konsumen organik diharapkan mampu mengurangi degradasi lingkungan melalui aspek konsumsi. Peningkatan permintaan makanan organik yang tinggi akan memicu pertumbuhan produksi makanan organik atau dari aspek ekonomi disebut penawaran (Wijaya & Hidayat 2011). Faktor-faktor yang berhubungan dengan gaya hidup sehat pernah dilakukan oleh penelitian sebelumnya yaitu sikap konsumen (Chen 2009; Suprapto & Wijaya 2012b) dan nilai konsumen (Divine & Lepisto 2005). Perilaku yang memperhatikan kualitas lingkungan hidup sangat bergantung pada tingkat pengetahuan, sikap, dan nilai yang ada pada konsumen sebagai umat manusia (Mansaray & Abijoye 1998; Chen & Chai 2010; Said 2003). Sikap merupakan salah satu komponen yang digunakan untuk menjelaskan perilaku terutama gaya hidup sehat. Kontroversi hubungan sikap konsumen dan gaya hidup masih diperdebatkan. Studi empiris dari beberapa peneliti menunjukkan kesenjangan penelitian antara hubungan gaya hidup dengan sikap konsumen organik. Beberapa penelitian menunjukkan adanya hubungan positif gaya hidup dengan sikap konsumen (Beharrel & MacFie 1991; Chen 2009; Sanjuan et al, 2003; Chryssohoidis & Krystallis 2005; Magistris & Gracia 2008; Suprapto & Wijaya 2012b ;Wijaya & Hidayat 2011). Berbeda dengan hasil penelitian Durham & Andrade (2005) yang menemukan bahwa sikap konsumen produk organik tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan gaya hidup.
148
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Volume 1, Nomor 1, Oktober 2013
Chen (2009) dalam penelitiannya menemukan bahwa sikap pada lingkungan berpengaruh signifikan terhadap gaya hidup sehat, namun penelitian tersebut belum mempertimbangkan aspek nilai konsumen sebagai faktor yang menentukan perilaku yang memperhatikan kualitas lingkungan hidup (Mansaray & Abijoye 1998; Chen & Chai 2010; Said 2003). Konsep tentang makanan dan nutrisi memiliki nilai sosial, karena pilihan personal dipengaruhi oleh nilai-nilai personal dan nilai-nilai yang diakui lingkungan sosial (Fotopoulos & Krystallis 2002). Secara teoritis, nilai merupakan determinan dasar dalam memprediksi perilaku sesuai konsep hirarki nilai, sikap dan perilaku (Arnould et al. 2004; Homer & Kahle 1988). Nilai merupakan variabel psikografis yang menjadi orientasi perusahaan dalam mengidentifikasi segmentasi konsumen untuk produk-produk yang ramah lingkungan (Engel et al. 2000; Fraj & Martinez 2006). Nilai sering digunakan oleh mengidentifikasi perilaku konsumen ramah lingkungan untuk keperluan pemasaran. Nilai konsumen dipertimbangkan sebagai variabel penting dalam memahami perilaku konsumen sebab nilai menghadirkan tujuan yang fundamental yang konsumen cari, dan pada akhirnya untuk pemuasan bagi segmen mereka (Divine & Lepisto 2005). Beberapa penelitian mengidentifikasi bahwa nilai yang sesuai dengan perilaku ramah lingkungan adalah nilai orientasi alami manusia (Chan 2001; Wijaya & Hidayat 2012; Suprapto & Wijaya 2012a). Penelitian yang dilakukan bertujuan menguji pengaruh nilai orientasi alami manusia sebagai determinan dasar terhadap gaya hidup sehat melalui sikap konsumen pada makanan organik sesuai konsep hirarki nilai, sikap dan perilaku.
LANDASAN TEORI DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS
Hirarki Sikap, Nilai dan Perilaku Konsep mekanisme nilai-sikap-perilaku menjelaskan bahwa perilaku konsumen dapat diprediksi melalui nilai konsumen. Pengaruh hirarki dari nilai, sikap dan perilaku dapat ditemukan secara teoritis dan empiris dalam membahas masalah konsumen dan lingkungan. Beberapa studi menguji pengaruh nilai terhadap sikap dan perilaku ekologikal (Milfont et al. 2009). Secara spesifik, Arnould et al. (2004) dan Homer dan Kahle (1988) menjelaskan hubungan nilai dengan perilaku konsumen melalui mekanisme hirarki nilai-sikap-perilaku (The value-attitute-behavior hierarchy). Konsep nilai merupakan salah faktor yang penting dalam menjelaskan perilaku konsumen. Nilai relatif stabil dibandingkan faktor-faktor lain yang mempengaruhi perilaku konsumen. Nilai berperan dalam membentuk sikap konsumen, kemudian mempengaruhi perilaku konsumen dalam konsumsi. Pola ini disebut juga sebagai hirarki nilai-sikap-perilaku (The value-attitute-behavior hierarchy) (Arnould et al. 2004; Homer & Kahle 1988). Nilai merupakan pertimbangan yang fundamental bagi hubungan konsumen dengan lingkungan. Makanan organik sebagai produk ramah lingkungan merupakan elemen sistem keyakinan individu (Dembkowski & Lloyd 1994). Nilai merupakan faktor penting yang mendorong individu dalam melihat dunia (Engel et al. 2005; Homer & Khale 1988). Studi literatur yang membandingkan antar negara atau antar kota mengungkapkan bahwa nilai suatu masyarakat tertentu berpengaruh pada perilaku pembelian yang memperhatikan dampak lingkungan sosial dan individu (Chan & Lau 2000; 149
Tony Wijaya
Fotopoulos & Krystallis 2000). Nilai yang dianut seseorang akan menentukan konsumsinya karena nilai-nilai merupakan manifestasi kognitif atas tuntutan-tuntutan universal manusiawi seperti biologis, interaksi sosial, dan tuntutan pranata sosial terhadap individu (Schwartz & Bilsky 1987). Sikap individu pada umumnya didasarkan pada nilai yang dianutnya untuk membuat keputusan relevan. Dalam memprediksi perilaku konsumen, para ahli berpendapat bahwa perilaku konsumsi merupakan bagian dari gaya hidup seseorang. Nilai Orientasi Alami Manusia dan Sikap pada Makanan Organik Nilai merupakan pertimbangan yang fundamental bagi hubungan konsumen dengan lingkungan. Individu yang menganut nilai akan memberikan pengaruh terhadap perilaku konsumsi. Pengaruh tersebut membentuk sebuah kesadaran akan manfaat yang diperoleh setelah mengkonsumsi barang tersebut. Nilai yang dianut setiap individu akan mempengaruhi sikap, dan kemudian dari sikap tersebut akan mempengaruhi perilaku konsumsinya (Mowen & Minor 2006). Makanan organik sebagai produk ramah lingkungan merupakan elemen sistem keyakinan individu (Dembkowski & Lloyd 1994). Secara tradisional keyakinan manfaat makanan dan nutrisi merupakan bagian budaya bagi bangsa Cina, Jepang, Korea dan beberapa negara Asia lainnya (Verschuren 2002; Westrate 2002). Nilai adalah kepercayaan atau segala sesuatu yang dianggap penting oleh seseorang atau masyarakat. Nilai bisa berarti sebuah kepercayaan tentang suatu hal, namun nilai bukan hanya kepercayaan. Dalam berperilaku seseorang diarahkan oleh nilai yang sesuai dengan budayanya. Konsumen yang memperhatikan produk ramah lingkungan diharapkan memiliki nilai-nilai orientasi pada hubungan manusia dengan alam sehingga memahami dampak konsumsi produk pada lingkungan. Orientasi nilai konsumen dapat dibedakan dalam beberapa tipe yaitu man-nature orientation, man-himself orientation, relational orientation, past-time orientation, dan activity orientation. Tipe nilai yang dikemukakan oleh Kluckhohn & Strodtbeck (1961) dalam Variations in Value Orientations, lebih banyak digunakan dalam penelitian perilaku konsumen dibandingkan tipe nilai lainnya (Churchill 1979; Engel et al. 2005). Kategorisasi yang dilakukan oleh Chan dan Lau (2000), Chan (2001) dan Sihombing (2007) menunjukkan bahwa tipe nilai menurut Kluckhohn dan Strodtbeck (1961) yang mampu memprediksi perilaku pembelian produk hijau atau ramah lingkungan adalah man nature orientation atau orientasi alami manusia. Orientasi alami manusia (man-nature orientation) berfokus pada hubungan manusia dengan alam dan pada dasarnya manusia mengarah pada kehidupan yang harmonis dengan lingkungannya. Orientasi alami manusia memiliki dimensi subjugation to nature, harmony with nature, dan mastery over nature (Chan & Lau 2000). Penduduk Asia memandang diri mereka sebagai bagian dari alam dan hidup harmonis dengan alam atau berorientasi pada alam (de Mooij 2004) yang disebut Chan (2001) sebagai orientasi alami manusia (Man Nature Orientation). Konsumen yang memiliki orientasi alami manusia cenderung mempertimbangkan akibat-akibat konsumsi pada lingkungan sehingga memiliki sikap ramah lingkungan (Chan 2001). Beberapa studi menunjukkan terdapat inkonsistensi hasil penelitian hubungan nilai konsumen dengan sikap konsumen terhadap makanan organik. Nilai konsumen memiliki pengaruh yang positif terhadap sikap konsumen pada produk organik (Dreezens et al. 2005; Krystallis et al. 150
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Volume 1, Nomor 1, Oktober 2013
2008; Grunert & Juhl, 1995; Loureiro et al. 2001; Magnusson et al. 2001, 2003; Durham & Andrade 2005; Kuhar & Juvancic 2005; Midmore et al. 2005; Padel & Foster 2005; Verhoef 2005; Gracia & de Magistris 2007; Stobbelaar et al. 2007; Hidayat & Wijaya 2012). Berbeda dengan hasil penelitian lainnya yang mengemukakan bahwa nilai konsumen tidak berpengaruh signifikan terhadap sikap konsumen pada makanan organik (Chryssohoidis & Krystallis 2005; Baker et al. 2004). Orientasi alami manusia berisi nilai-nilai yang mengarah pada hubungan manusia dengan alam sehingga konsumen berupaya mencari atau memperoleh informasi-informasi yang berkaitan dengan masalah lingkungan. Orientasi alami manusia berpengaruh positif terhadap sikap konsumen (Chan & Lau 2000; Chan 2001). Dengan demikian konsumen yang memiliki orientasi nilai alami manusia akan memiliki sikap yang mendukung konsumsi produk organik (Wijaya & Hidayat 2011; Suprapto & Wijaya 2012a). Studi meta-analisis menunjukkan ada hubungan nilai konsumen dengan sikap terhadap produk organik yaitu sebesar 0,324. Hipotesis yang diajukan sebagai berikut: H1: Nilai orientasi alami manusia berpengaruh positif terhadap sikap pada makanan organik
Sikap pada Makanan Organik dan Gaya Hidup Sehat Gaya hidup menggambarkan keseluruhan diri konsumen yang berinteraksi dengan lingkungannya termasuk pola konsumsi. Pemilihan produk biasanya disesuaikan dengan gaya hidup konsumen. Para pemasar berupaya mencari hubungan jenis produk dengan gaya hidup untuk keperluan segmentasi. Konsumen mengembangkan seperangkat konsepsi untuk mengurangi ketidaksesuaian atau inkonsistensi dalam nilai dan gaya hidup mereka (Engel et al. 2005). Gaya hidup adalah pola hidup seseorang di dunia yang diekspresikan dalam aktivitas, minat dan opini (Kotler 2006). Gaya hidup didefinisikan sebagai pola orang hidup yang menghabiskan waktu serta uang pada aktivitas tertentu dan bersifat kontemporer dan komprehensif (Engel et al. 2005). Gaya hidup menggambarkan keseluruhan diri seseorang yang berinteraksi dengan lingkungannya. Dibandingkan dengan nilai yang relatif stabil, gaya hidup cenderung lebih cepat berubah. Menurut Kasali (1998), para peneliti pasar yang menganut pendekatan gaya hidup cenderung mengklasifikasikan konsumen berdasarkan konsep AIO, yaitu aktivitas (activity), minat (interest), dan opini (opinion). Aktivitas konsumsi konsumen yang diekspresikan dalam aktivitas, minat dan opini yang mendukung kesehatan seperti hidup seimbang, peduli dan menjaga kesehatan (Gil et al. 2000; Magistris & Gracia 2008). Gaya hidup sehat diukur dengan indikator aktivitas, minat dan opini orientasi konsumsi sehat. Bloch (1984) mendefinisikan gaya hidup sehat sebagai orientasi pencegahan masalah kesehatan dan memaksimalkan kesejahteraan personal melalui pola konsumsi. Gaya hidup konsumsi sehat dapat didefinisikan sebagai pengertian aktivitas konsumsi yang diekspresikan dalam aktivitas, minat dan opini yang yang beorientasi pada kesehatan untuk kesejahteraan hidup. Konsumen yang memiliki gaya hidup sehat cenderung melakukan upaya-upaya yang menyehatkan tubuh seperti berolahraga, konsumsi makan natural, serta hidup yang seimbang (Gil et al. 2000) dan memiliki sikap yang positif terhadap makanan organik. Selain itu konsumen yang memiliki gaya hidup sehat lebih mempertimbangkan segala aktivitas yang 151
Tony Wijaya
menunjang kesehatan. Konsumen memiliki pemikiran bahwa segala aktivitas yang dilakukan konsumen mustahil dapat menunjang kesehatan mereka jika tidak disesuaikan dengan pola konsumsi yang sehat (Chen, 2009) sehingga makanan organik merupakan objek gaya hidup sehat. Konsumen yang memiliki gaya hidup sehat cenderung memiliki sikap yang positif terhadap makanan organik (Suprapto & Wijaya 2012b). Chen (2009) dalam penelitiannya menemukan hubungan positif antara sikap pada makanan organik dengan gaya hidup sehat. Konsumen yang memiliki gaya hidup sehat lebih mengutamakan konsumsi makanan organik sebagai bagian dari aktivitas hidup sehat dan memiliki sikap yang positif pada makanan organik sebagai penunjang kesehatan. Hal ini juga didukung oleh hasil penelitian Magistris dan Gracia (2008) yang mengungkapkan bahwa sikap konsumen pada makanan organik memiliki hubungan positif dengan gaya hidup sehat. Hipotesis yang diajukan daam penelitian ini yaitu: H2: Sikap pada makanan organik berpengaruh positif terhadap gaya hidup sehat
METODE PENELITIAN Paradigma Penelitian Paradigma dalam penelitian ini berorientasi pada paradigma positivisme yang menekankan verifikasi teori atau pengujian model. Paradigma ini mengutamakan pendekatan deduktif yang dimulai dengan melakukan abstraksi pernyataan teoritis yang luas, dan dihasilkan secara independen terhadap data (Williamson et al. 1977). Paradigma positivisme cenderung bersifat deduktif dengan mengukur fenomena dengan ketepatan variabel dan melakukan pengujian hipotesis. Metode Pengumpulan Data Penelitian ini menggunakan data primer. Metode pengumpulan data dilakukan dengan survei menggunakan kuesioner. Kueisoner yang didistribusikan sebanyak 300 kuesioner dan kuesioner yang kembali dan dapat dianalisis hanya sebanyak 202 kuesioner. Konstrak Variabel dan Definisi Operasional Variabel Tataran data variabel penelitian yang dikumpulkan berbentuk skor data rentang (interval) atau menggunakan skala interval yaitu rentang 1-5, dan definisi operasional yang berkaitan dengan arti dari seluruh variabel laten yang digunakan dalam penelitian lapangan ini dijabarkan serta dijelaskan sebagai berikut ini: 1. Variabel Gaya Hidup Sehat (GH) Gaya hidup sehat didefinisikan sebagai aktivitas konsumsi konsumen yang diekspresikan dalam bentuk aktivitas, minat dan opini yang mendukung kesehatan yaitu keseimbangan pola makan, menghindari makanan sintetis, tertarik pada hal kesehatan makanan, hubungan konsumsi dan kesehatan, dan mengelola pola konsumsi yang sehat (Magistris & Gracia 2008). Gaya hidup sehat diukur dengan indikator aktivitas, minat dan opini orientasi konsumsi sehat mengacu pada keseimbangan pola makan, menghindari makanan sintetis, tertarik pada hal kesehatan makanan, hubungan konsumsi dan kesehatan, dan mengelola pola konsumsi yang 152
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Volume 1, Nomor 1, Oktober 2013
sehat. Kuesioner yang digunakan mengacu pada alat ukur yang dikembangkan oleh Magistris dan Gracia (2008) dan Suprapto & Wijaya (2012b). Data skor variabel gaya hidup sehat diperoleh dari hasil komputasi skor jawaban butir kuesioner yang diisi oleh responden di pernyataan alat ukur penelitian. Berdasarkan hasil uji coba kuesioner dengan 128 responden diperoleh reliabilitas dengan Cronbach Alpha sebesar 0,927 dengan nilai korelasi butir berkisar 0,847-0,917. 2. Variabel Sikap pada Makanan Organik (ATB) Sikap pada makanan organik yaitu perasaan atau evaluasi umum tentang membeli makanan organik berdasarkan keyakinan membeli makanan organik dari segi manfaat dan kerugian. Sikap pada makanan organik diukur dengan indikator a) yakin bahwa makanan organik bermanfaat bagi kesehatan, b) makanan organik aman dikonsumsi keluarga, c) makanan organik tidak tahan lama (cepat rusak) dan d) alami untuk dikonsumsi keluarga (Wijaya 2013). Data variabel sikap pada makanan organik diperoleh dari hasil komputasi skor jawaban aitem kuesioner yang diisi oleh responden di pernyataan kuesioner penelitian. Berdasarkan hasil uji coba kuesioner dengan 128 responden diperoleh reliabilitas dengan Cronbach Alpha sebesar 0,937 dengan nilai korelasi butir berkisar 0,832-0,864. 3. Variabel Nilai Orientasi Alami Manusia (OAM) Nilai orientasi alami manusia didefinisikan sebagai tendensi hubungan manusia dengan lingkungan yang pada dasarnya akan mengarah pada kehidupan yang harmonis dalam kealamiannya (Chan & Lau 2000) yang diukur dengan alat ukur yang dikembangkan dari survey pendahuluan dan disesuaikan kuesioner yang dikembangkan oleh Chan dan Lau, (2000). Nilai orientasi alami manusia diukur dengan indikator: a. perlunya manusia memahami alam, b. perlakuan terhadap alam sepantasnya, c. menjaga keharmonisan dengan alam, d. manusia bagian dari alam dan e) adaptasi pada alam. Kuesioner yang digunakan mengacu pada alat ukur yang dikembangkan oleh Chan dan Lau (2000) yang disesuaikan dengan kondisi empiris di lapangan. Data skor variabel orientasi alami manusia diperoleh dari hasil komputasi skor jawaban butir alat ukur yang diisi oleh responden di pernyataan kuesioner penelitian. Berdasarkan hasil uji coba kuesioner dengan 128 responden diperoleh reliabilitas dengan Cronbach Alpha sebesar 0,886 dengan nilai korelasi butir berkisar 0,649-0,807. Populasi dan Sampel Populasi penelitian yang digunakan sebagai sumber sampel adalah konsumen makanan organik di DIY dan Jawa Tengah. Teknik sampel menggunakan teknik non probabilitas dengan metode purposive sampling, dan dipilih adalah konsumen yang mengetahui makanan organik dan melakukan pembelian dengan tujuan konsumsi keluarga, mengolah makanan atau memasak untuk konsumsi keluarga sehari-hari. Metode Analisis Data Metode analisis data dalam penelitian menggunakan analisis model persamaan struktural atau disebut Structural Equation Modeling (SEM). 153
Tony Wijaya
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Karakteristik Responden Sampel ditemui di sejumlah supermarket yang menyediakan makanan organik yang siap diolah seperti beras, sayur-sayuran dan buah-buahan organik. Responden yang berusia 26-30 tahun berjumlah 39 orang atau sebesar 19,3%, responden yang berusia 36-40 tahun sebanyak 76 responden atau sebesar 37,6%yang berusia 31-35 tahun berjumlah 36 orang atau sebesar 17,8%, dan yang berusia 41-45 tahun berjumlah 51 orang atau sebesar 25,2% Berdasarkan tingkat pendidikan responden, dapat diidentifikasi bahwa mayoritas responden memiliki pendidikan tinggi. Responden yang memiliki pendidikan SMU/setingkat sebanyak 21 orang atau sebesar 10,4%, responden yang memiliki pendidikan Diploma (D1-D3) sebanyak 41 orang atau sebesar 20,3%, responden yang memiliki pendidikan S1 sebanyak 95 orang atau sebesar 47,0%, dan responden yang memiliki pendidikan S2 sebanyak 45 orang atau sebesar 22,3%. Berdasarkan tingkat pendapatan keluarga, mayoritas responden tergolong menengah ke atas dengan pendapatan keluarga di atas Rp.9.000.000 yaitu sebanyak 88 responden atau sebesar 43,6%. Responden yang memiliki pendapatan Rp. 1.000.000-3.000.000 sebanyak 9 responden atau sebesar 4,4%, responden yang memiliki pendapatan Rp. 3.000.100-5.000.000 sebanyak 12 responden atau sebesar 5,9%. Responden yang memiliki pendapatan Rp. 5.000.100-7.000.000 sebanyak 48 responden atau sebesar 23,8%. Responden yang memiliki pendapatan Rp. 7.000.100 – 9.000.000 sebanyak 45 responden atau sebesar 22,3%. Uji Normalitas Data Normalitas data dapat diamati melalui skewness dan kurtosis value. Amatan dapat dilakukan dengan memperhatikan nilai z atau z value. Data dikatakan normal apabila memiliki nilai kritis di bawah nilai z (z value). Nilai z untuk probabilitas 1% sebesar ±2,58. Berdasarkan data uji normalitas diketahui bahwa semua data yang berasal dari data variabel manifes memiliki critical ratio atau nilai kritis di bawah ±2,58 Uji Validitas dan Reliabilitas Tabel 1 menunjukkan nilai muatan faktor yang diukur dari variabel laten melalui masingmasing variabel terobservasi. Nilai muatan faktor berkisar dari 0,77-0,93 di atas 0,5. Tabel. 1. Muatan Faktor (Factor Loading) Variabel laten
Nilai orientasi manusia (OAM)
Variabel terobservasi OAM1 OAM2 OAM3
154
0,91 0,89 0,93
alami
Sikap pada organik (ATB)
makanan
Gaya hidup sehat (GH)
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Volume 1, Nomor 1, Oktober 2013
OAM4 OAM5 ATB1 ATB2 ATB3 ATB4 GH1 GH2 GH3 GH4 GH5
0,90 0,91 0,92 0,92 0,91 0,91 0,88 0,86 0,82 0,77 0,78
Sumber: Data diolah, 2013 Reliabilitas diperlukan untuk ukuran internal konsistensi indikator suatu konstruk. Pendekatan untuk menilai model pengukuran adalah mengukur reliabilitas komposit (composite reliability) dan ekstraksi varian (variance extracted). Mengacu pada formulasi di atas dapat diketahui nilai reliabilitas komposit dan ekstraksi varian masing-masing variabel sebagai berikut: Tabel. 2. Koefisien Reliabilitas Komposit dan Ekstraksi Varian Variabel
λi
Nilai orientasi alami manusia (OAM): OAM1 0,91 OAM2 0,89 OAM3 0,93 OAM4 0,90 OAM5 0,91 Sikap pada makanan organik (ATB): ATB1 0,92 ATB2 0,92 ATB3 0,91 ATB4 0,91 Gaya hidup sehat (GH): GH1 0,88 GH2 0,86 GH3 0,82 GH4 0,77 GH5 0,78
εi
Reliabilitas komposit
Ekstraksi varian
0,95
0,82
0,94
0,84
0,88
0,68
0,83 0,79 0,86 0,81 0,82 0,85 0,85 0,83 0,83 0,77 0,74 0,67 0,59 0,61
Sumber: Data diolah, 2013 Berdasarkan tabel 2 di atas dapat diketahui bahwa koefisien reliabilitas komposit untuk masing-masing variabel yaitu 0,95 (nilai orientasi alami manusia), 0,94 (sikap pada makanan organik) dan 0,88 (gaya hidup sehat). Semua variabel berada di atas nilai penerimaan batas reliabilitas yaitu nilai minimum 0,7. Nilai ekstraksi varian berada pada tingkat batas penerimaan yaitu nilai minimum 0,5 (El Qadri & Wijaya 2012).Variasi nilai yaitu 0,82 (nilai orientasi alami manusia), 0,84 (sikap pada makanan organik) dan 0,68 (gaya hidup sehat). Uji Kesesuaian Model Persamaan Struktural Hasil uji kesesuaian model menggunakan chi-square, CMIN/DF, GFI, AGFI, RMSEA, TLI, CFI dan ECVI diringkas sebagai berikut: 155
Tony Wijaya
Tabel 3. Hasil Goodness of Fit Model Pengukuran Indeks Probability CMIN/DF GFI AGFI RMSEA TLI CFI
Cut off Value ≥ 0,05 ≤ 2,00 ≥ 0,90 ≥ 0,90 ≤ 0,08 ≥ 0,90 ≥ 0,90
Hasil
Evaluasi Model
0,324 1,067 0,947 0,925 0,018 0,998 0,998
Baik Baik Baik Baik Baik Baik Baik
Sumber: Data diolah, 2013
Tabel 3 menunjukkan bahwa model penelitian secara keseluruhan fit. Secara keseluruhan nilai Chi square dengan probabilitas sebesar 0,324 > 0,05 menunjukkan keseluruhan model fit (Overall goodness-of-fit). Selain itu setelah diuji kecocokannya nilai RMSEA, GFI, AGFI, TLI, dan CFI dibandingkan nilai acuan (cut off value) persamaan model struktural hasilnya baik. Uji Hipotesis Hasil uji kausalitas model dalam model jalur penelitian ini secara lengkap sebagai berikut: Gambar 1. Model Jalur
Hasil bobot regresi antar variabel laten yang sering disebut sebagai estimasi loading factors atau lambda value dapat digunakan untuk menganalisis uji kausalitas variabel. Berdasarkan signifikansi nilai CR (Critical Ratio) dengan nilai probabilitas (p) = 0.05. Hasil bobot regresi uji kausalitas sebagai berikut:
156
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Volume 1, Nomor 1, Oktober 2013
Tabel 4. Evaluasi Bobot Regresi Uji Kausalitas Hipotesis Hipotesis 1 Hipotesis 2
Variabel
Estimasi
CR
OAMàATB 0,571 8,797 ATBàGH 0,123 2,846 Sumber: Data diolah, 2013
P 0,000 0,004
Keterangan: OAM = Nilai orientasi alami manusia ATB = Sikap pada makanan organik GH = Gaya hidup sehat Penjelasan lebih lanjut analisis evaluasi bobot regresi tersebut dapat dijelaskan bahwa variabel nilai orientasi alami manusia mempengaruhi sikap pada makanan organik secara positif dan signifikan dengan tingkat signifikansi sebesar 0,000 lebih kecil dari nilai probabilitas ≤ 0,05. Dengan demikian hipotesis 1 diterima. Variabel sikap pada makanan organik mempengaruhi gaya hidup sehat secara positif dan signifikan dengan tingkat signifikansi sebesar 0,004 lebih kecil dari nilai probabilitas ≤ 0,05. Dengan demikian hipotesis 2 diterima. Besarnya kontribusi variabel secara simultan terhadap variabel lainnya diringkas dalam tabel 5 sebagai berikut:
Variabel Independen
Tabel 5. Koefisien Determinasi Variabel Dependen
Sikap terhadap makanan organik Gaya hidup sehat
Orientasi alami manusia
Sikap pada makanan organik
Sumbangan efektif 4,5%
33,4%
Sumber: Data diolah, 2013 Berdasarkan tabel 5 di atas dapat diketahui bahwa variabel sikap pada makanan organik memiliki peran sebesar 4,5% terhadap gaya hidup sehat. Variabel nilai orientasi alami manusia memiliki peran sebesar 33,4% dalam menjelaskan sikap pada makanan organik. Pembahasan Peran Nilai Orientasi Alami Manusia terhadap Sikap pada Makanan Organik Hasil analisis data menunjukkan nilai orientasi alami manusia berpengaruh positif dan signifikan terhadap sikap pada makanan organik. Hasil temuan penelitian ini konsisten dengan hasil temuan Dreezens et al.(2005); Krystallis et al.(2008); Grunert & Juhl (1995); Loureiro et al. (2001); Magnusson et al. (2001, 2003); Durham & Andrade (2005); Kuhar & Juvancic (2005); Midmore et al. (2005); Padel & Foster (2005); Verhoef (2005); Gracia & de Magistris (2007); Stobbelaar et al. (2007), Chen (2009); Suprapto & Wijaya (2012a) dan 157
Tony Wijaya
Wijaya & Hidayat (2011). Hasil temuan menunjukkan semakin tinggi nilai orientasi alami manusia pada konsumen maka semakin baik sikap pada makanan organik, sebaliknya semakin rendah nilai orientasi alami manusia pada konsumen maka semakin buruk juga sikap pada makanan organik. Makanan organik sebagai produk ramah lingkungan merupakan elemen sistem keyakinan individu (Dembkowski & Lloyd 1994). Secara spesifik, Arnould et al. (2004) dan Homer dan Kahle (1988) menjelaskan hubungan nilai dengan perilaku konsumen melalui mekanisme secara hirarki. Nilai berperan dalam membentuk sikap konsumen. Nilai merupakan pertimbangan yang fundamental bagi hubungan konsumen dengan lingkungan. Penduduk Asia memandang diri mereka sebagai bagian dari alam dan hidup harmonis dengan alam atau berorientasi pada alam (de Mooij 2004) yang disebut Chan (2001) sebagai orientasi alami manusia (Man Nature Orientation). Konsumen yang memiliki orientasi alami manusia cenderung mempertimbangkan akibat-akibat konsumsi pada lingkungan sehingga memiliki sikap ramah lingkungan (Chan 2001) dan mendukung penggunaan produk organik (Wijaya & Hidayat 2011). Masyarakat Indonesia yang memiliki kecenderungan kolektivis memiliki makna hidup untuk harmoni atau seimbang dengan alam (Susana 2009). Sebagai contoh pemetaan yang dilakukan oleh Susana (2009) berdasarkan konsep Koentjoroningrat menjelaskan bahwa masyarakat yang cenderung kolektivis yang ditunjukkan dengan pembangunan agraris, budaya tradisional, nilai-nilai gotong royong, hidup selaras dengan alam yang dicerminkan lewat acara-acara tradisi seperti slametan, tradisi di gunung merapi dan laut selatan, mengutamakan harmoni dibandingkan ambisi pribadi. Nilai-nilai tersebut perlu dijaga dan dilestarikan melalui jalur pendidikan. Peran Sikap pada Makanan Organik terhadap Gaya Hidup Sehat Hasil penelitian membuktikan adanya pengaruh sikap pada makanan organik secara positif dan signifikan terhadap gaya hidup sehat. Hasil temuan ini konsisten dengan temuan Beharrel & MacFie (1991), Chen (2009), Gil et al. (2000), dan Suprapto & Wijaya (2012b). Hasil ini menunjukkan semakin baik sikap konsumen pada makanan organik maka semakin tingggi kecenderungan untuk bergaya hidup sehat, sebaliknya semakin buruk sikap pada makanan organik maka semakin rendah kecenderungan untuk bergaya hidup sehat. Sikap merupakan susunan dari keyakinan dan evaluasi terhadap perilaku. Sesuai konsep dasar teori hirarki nilai sikap perilaku menunjukkan bahwa sikap merupakan prediktor yang baik bagi berperilaku. Selain itu teori perilaku terencana menyebutkan bahwa perilaku adalah fungsi dari determinan sikap terhadap perilaku, yang merupakan dasar bagi pembentukan perilaku. Menurut Ajzen (1991) terwujud tidaknya perilaku sangat tergantung pada faktor eksternal dan internal. Faktor internal tergantung pada keyakinan dari individu dalam berperilaku dan dapat tidaknya berperilaku sedangkan faktor eksternal merupakan stimulus yang mendorong individu untuk berperilaku sehat. Semakin positif keyakinan individu akan akibat dari suatu obyek sikap, maka akan semakin positif pula sikap individu terhadap obyek sikap tersebut, demikian pula sebaliknya (Fisbein & Ajzen 1975). Evaluasi akan berakibat perilaku penilaian yang diberikan individu terhadap tiap-tiap akibat atau hasil yang diperoleh oleh individu. Konsumen yang memiliki sikap yang positif terhadap makanan organik berdasarkan keyakinan dan evaluasi akan mengutamakan 158
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Volume 1, Nomor 1, Oktober 2013
pola hidup sehat karena makanan organik dianggap bermanfaat dan menguntungkan mereka sehingga menstimulasi gaya hidup yang berpola sehat. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Berdasarkan analisis data dan pengujian hipotesis dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Terdapat kesesuaian pada model yang menggambarkan pengaruh orientasi alami manusia, dan sikap pada makanan organik, terhadap gaya hidup sehat. Hal ini didukung dengan persyaratan goodness of fit dari model. Dengan demikian model dalam penelitian ini dapat diaplikasikan dalam konteks konsumen pangan organik 2. Nilai orientasi alami manusia memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap sikap pada makanan organik. Hal ini berarti semakin tinggi nilai orientasi alami manusia, maka semakin baik juga sikap pada makanan organik. 3. Sikap pada makanan organik memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap gaya hidup sehat. Hal ini berarti semakin baik sikap pada makanan organik, maka semakin tinggi kecenderungan untuk bergaya hidup sehat. Penelitian memberikan kontribusi yang sifatnya teoritis dan praktis dalam wujud implikasi manajerial. Variabel nilai secara parsial merupakan prediktor yang baik bagi gaya hidup sehat melalui sikap. Sikap pada makanan organik secara parsial berpengaruh terhadap gaya hidup sehat. Secara teoritis temuan ini sesuai teori hirarki nilai, sikap dan perilaku yang dapat diaplikasikan dalam perilaku konsumen organik. Secara praktis, berkaitan dengan pengaruh nilai orientasi alami manusia, diperlukan adanya penanaman nilai yang berorientasi alami manusia melalui sosialisasi kesadaran akan perilaku ramah lingkungan. Sosialisasi kesadaran akan ramah lingkungan dapat ditanamkan dari generasi ke generasi melalui jenjang formal seperti sekolah maupun non formal seperti keluarga. Cina contohnya, penanaman filosofi dilakukan oleh pemerintah melalui jenjang formal seperti lembaga pendidikan atau sekolah maupun non-formal melalui keluarga yang dilakukan sejak usia dini hingga mengakar dalam kehidupan masyarakat. Edukasi yang berbasis ramah lingkungan perlu mendapat perhatian dari pemerintah. Penanaman nilai juga akan menyadarkan manusia pentingnya hubungan manusia dengan alam sehingga tercipta sikap yang positif pada makanan organik yang terbentuk dalam pola konsumsi sehat berbasis ramah lingkungan. Perilaku yang memperhatikan kualitas lingkungan hidup sangat bergantung pada tingkat pengetahuan, sikap, dan nilai yang ada pada konsumen sebagai umat manusia (Mansaray & Abijoye 1998; Chen & Chai 2010; Said 2003). Penelitian ini memiliki keterbatasan hanya memprediksi gaya hidup sehat melalui aspek nilai dan sikap, penelitian selanjutnya dapat mempertimbangkan aspek pengetahuan secara komprehensif dalam memprediksi gaya hidup sehat. Secara metodologi, penggunaan kuesioner sebagai alat pengumpul data memiliki banyak kelemahan. Keterbatasan berupa persepsi responden tergantung pada pemahaman butir pertanyaan yang tercantum dalam kuesioner sehingga kemungkinan terjadi perbedaan persepsi responden dengan pengukuran yang bersifat self reported sehingga kemungkinan 159
Tony Wijaya
terjadi responden menjawab yang tidak sesuai dengan kenyataan diri. Penelitian selanjutnya sebaiknya menggunakan mix methods dalam melakukan analisis data.
DAFTAR PUSTAKA Adriyani, R. 2006. Usaha Pengendalian Pencemaran Lingkungan Akibat Penggunaan Pestisida Pertanian. Jurnal Kesehatan Lingkungan. 3 (1), 95-106. Ajzen, I. 1991. The Theory of Planned Behavior. Organizational Behavior and Human Decision Process, 50, 179-211. Arnould, E.J., Price, L.L. & Zinkhan, G.M. 2004. Consumers. New York: McGraw-Hill. Baker, S, Thompson, K,E.,Engelken, J. & Huntley, K. 2004. Mapping the Values Driving Organic Food Choice: Germany vs the UK. European Journal of Marketing, 38 (8), 9951012. Beharrel, B. & Macfie, J, H. 1991. Consumer Attitudes To Organic Foods. British Food Journal, 93 (2), 25-30. Bloch, P. 1984. The Wellness Movement: Imperatives For Health Care Marketers. Journal of Health Care Marketing, 4, 9-16. Chan, R.Y.K. 2001. Determinants of Chinese Consumers Green Purchase Behavior. Psychology & Marketing, 8, 389-413. Chan, R.Y.K., & Lau, L.B.Y. 2000. Antecedents of Green Purchases: A Survey in China, Journal of Consumer Marketing, 17.338-357. Chen, T,B & Chai, L, T. 2010. Attitude Towards the Environment and Green Product: Consumer Perspective. Management Science and Engineering, 4 (2), 27-39 Chryssohoidis, G, M.,& Krystallis, A. 2005. Organic Consumer’s Personal Value Research: Testing and Validating the List of Value Scale and Implementing a Value-Based Segmentation Task. Food Quality and Preference, 16, 585-599. Churchill, G. A. 1979. A Paradigm for Developing Better Measures of Marketing Constructs. Journal of Marketing Research, 16, 67–73. Dembkowski, D, S., & Lloyd, S, H. 1994. The Environmental Value Attitude System Model. Journal of Marketing Management. 19, 593-603 De Mooij, M. 2004. Consumer Behavior and Culture: Consequences for Global Marketing. California: Sage. Divine, R, L., & Lepisto, L. 2005. Analysis of Healthy Lifestyle Consumer. Journal of Consumer Marketing, 22(5), 275-283. 160
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Volume 1, Nomor 1, Oktober 2013
Dreezens, E., Martijn, C., Tenbult, P., Kok, G., & de Vries, N, K. 2005. Food and Values; an Examination of Values Underlying Attitudes Toward Genetically Modified and Organically Grown Food Products. Appetite, 44 (1), 115-122. Durham, C, A., & Andrade, D. 2005. Health vs Environmental Motivation in Organic Preferences and Purchases. Paper presnted at the American Agricultural Economics Association Annual Meeting, Providence, 24-27 July. Engel, J.F., Roger, D.B., & Paul, W. M. 2005., Consumer Behavior. International Edition, Forth Worth : Dreyden Press. El Qadri, Zainal, Mustafa., & Wijaya, T. 2012. Panduan Teknik Statistik SEM & PLS dengan SPSS AMOS. Yogyakarta: BP Cahaya Atma. Fishbein, M., & Ajzen, I. 1975. Belief, Attitude, Intention and Behavior: An Introduction To Theory and Research. Menlo Park, California; Addison-Wesley Publishing Company Inc. Fotopoulos, C., & Athanasios, K. 2002., Purchasing Motives and Profile of The Greek Organic Consumer: A Countrywide Survey. British Food Journal, 104, 730-765. Fraj, E., & Martinez, E. 2006. Environmental Values and Lifestyles As Determining Factors of Ecological Consumer Behaviour: An Emprical Analysis. Journal of Consumer Marketing, 23 (3), 113-144. Gil, J.M., Gracia, A., & Sanchez, M. 2000. Market Segmentation and Willingness to Pay for Organic Products in Spain. International Food and Agribusiness Management Review, 3 (2), 207-26. Gracia, A., & Magistris, T. 2007. Organic Food Product Purchase Behaviour: A Pilot Study for Urban Consumers in The South of Italy. Spanish Journal og Agricultural Research, 5 (4), 439-451. Grunert, S.C., & Juhl, H, J. 1995. Value, Environmental Attitudes, and Buying of Organic Foods. Journal of Economic Psychology, 16, 39-62. Gunawan, A. 1999. Food Combining, Kombinasi Makanan Serasi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Hidayat, A., & Wijaya, T 2012. Model of Purchase Intention on Organic Food. 19th International Conference on Recent Advances in Retailing and Service ScienceMarketing, Proceeding Vienna-Austria, 9-12 July. Homer, P.M., & Khale, L.R. 1988. A Structural Equation Test of the Value-AttitudeBehavior Hierarchy. Journal of personality and Social Psychology, 54, 638-646. Rifai, A., Muwardi, D., & Rangkuti, J.R.F. 2008. Perilaku Konsumen Sayuran Organik di Kota Pekanbaru. Jurnal Industri dan Perkotaan, 12 (22). Kasali, R. 1998. Membidik Pasar Indonesia: Segmentasi, Targeting, dan Positioning. Jakarta: Gramedia. 161
Tony Wijaya
Kluckhohn, F.R., & Strodtbeck, F.L. 1961. Variations in Value Orientations. Evanston, Ill.: Row, Peterson. Kotler, P. 2006. Marketing Management. Millennium Edition, New Jersey : Prentice Hall International, Inc. Krystallis, A., Vassallo, M., Chryssohoidis, G. & Perrea, T. 2008. Societal and Individualistic Drivers As Predictors of Organic Purchasing Revealed Through a Portrait Value Questionnaire (PVQ) Based Inventory, Journal of Consumer Behaviour, 7, 164-187. Kuhar, A., & Juvancic, L. 2005. Modelling Consumer Preferences Toward Organic and Integrated Fruits and Vegetables in Slovania, Paper presented at 97th EAAE Seminar on The Economics and Policy of Diet and Health, Reading. Loureiro, M, J., McCluskey, J,J., & Mittelhammer, R. C. 2001. Assesing Consumer Preferences For Organic, Eco-Labeled and Regular Apples, Journal of Agricultural and Resource Economics, 26 (2), 404-416. Magistris, T., & Gracia, A. 2008. The Decision to Buy Organic Food Products in Southern Italy. British Food Journal, 10, 929-947. Magnusson, M.K., Arvola, A., Hursti, U.K., Aberg, L., & Sjoden., P. 2001. Attitudes Towards Organic Foods Among Swedish Consumers. British Food Journal, 103, 209-226. Mansaray, A. and Abijoye, J.O. 1998. Environmental Knowledge, Attitudes and Behavior In Dutch Secondary School, Journal of Environmental Education, 30(2), 4-11. Midmore, P., Naspetti, S., Sherwood, A, M., Vairo, D., Wier, M., & Zanoli, R. 2005. Consumer Attitudes to Quality Safety Of Organic and Low Input Foods: A Review. University of Wales, Aberystwyth. Milfont, T..L, Duckitt, J., & Wagner, C. 2009. A Cross Cultural Test of The Value-AttitudeBehavior Hierarchy, Journal of Applied Social Psychology (In Press). Diunduh melalui www.milfont.com/pubs_br.shtml tanggal 12 desember 2009. Mowen, J. & Minor, M. 2006. Consumer Behavior, A Framework. Englewood Cliffs, NJ: Prentice-Hall Munarso, S.J.,Miskiyah. & Broto, W. 2006. Studi Kandungan Residu Pestisida Pada Kubis, Tomat, dan Wortel di Malang dan Cianjur. Buletin Teknologi Pascapanen Pertanian, 2. Noorastuti, P, T., & Astuti, L, D, P. 2010. Awas, Buah dan Sayur Bisa Picu Gangguan Mental. Diunduh melalui http://www.vivanews.com Padel, S., & Foster, C. 2005. Exploring the Gap Between Attitudes and Behaviour: Understanding Why Consumers Buy or Do Not Buy Organic Food. British Food Journal, 107 (8), 606 – 625. 162
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Volume 1, Nomor 1, Oktober 2013
Said, M. A. 2003. Environmental Concerns, Knowledge and Practices Gap Among Malaysian Teachers. International Journal of Sustainability in Higher Education, 4. 305-313. Sanjuan, A,I. Sanchez, M., Gil, J, M. Gracia, A & Soler, F. 2003. Brakes to Organic Market Enlargement In Spain: Consumers and Retailers Attitude and Willing to Pay. International Journal of Consumer Studies, 27 (2), 134 – 144. Schwartz, S. H., & Bilsky, W. 1987. Towards universal Psychological Structure of Human Values. Journal of Personality and Social Psychology, 53, 550-562. Sihombing, S.O. 2007. Predicting Environmentally Purchase Behavior: A Test of The ValueAttitude-Behavior Hierarchy. The 2nd Indonesian Business Management Conference, Jakarta, 30 Januari. Stobbelaar, D, J., Casimir, G., Borghuis, J., Marks, I, Meijer, L., & Zebeda, S. 2007. Adolescents Attitudes Toward Organic Food: A Survey of 15 to 16 Year Old School Children. International Journal of Consumer Studies, 31, 349-356. Supardi, I. 1994. Lingkungan Hidup dan Kelestariannya. Edisi Kedua. Bandung: Penerbit Alumni Suprapto, B., & Wijaya, T. 2012a. Model of Buying Intention On Organic Food. International Conference in Marketing, Proceeding Lucknow-India, 12-14 January. Suprapto, B., & Wijaya, T. 2012b. Intention of Indonesian Consumers On Buying Organic Food. International Journal of Trade, Economics and Finance, 3 (2), 114-119. Susana, T. 2009. Pengaruh Orientasi Budaya Individual, Jenis Kelamin, dan Orientasi Budaya Masyarakat Terhadap Gejala Somatisasi dan Depresi Murni. Disertasi doktor tidak diterbitkan, Fakultas psikologi UGM.Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada. Verhoef, P, C. 2005. Explaining Purchase of Organic Meat by Dutch Consumer. European Review of Agricultural Economics, 32, 245-267. Verschuren, P.M. 2002. Functional Foods: Scientific and Hlobal Perspectives. British Journal of Nutrition, 88, S125-S130 Westrate , J. A. Poppel, G. van & Verschuren, P, M. 2002. Functional Foods, Trends and Future. British Journal of Nutrition, 88, S233-S235 Wijaya, T. 2013. Sikap Terhadap Makanan Organik, Norma Subjektif, Kontrol Perilaku Konsumen Makanan Organik: Konsep dan Pengukuran”. Lantip-Jurnal Ilmu Sosial dan Ekonomi, 3 (1), 20-33. Wijaya, T. & Hidayat, A. 2011. Model Intensi Pembelian Makanan Organik. Call for Paper Update Ekonomi, Akuntansi dan Bisnis Indonesia, Proceeding Fakultas Ekonomi UIIYogyakarta, 28 Juni. Williamson, J.B., Karp, D.A. & Dalphin, J.R. 1977. The Research Craft: An Introduction to Social Sciences Methods. Boston: Little Brown and Company. 163
Tony Wijaya
Winarno, F.G. 2003. Pangan Organik di Kawasan Asia Pasifik, Kompas, Senin, 30 Juni 2003, 35.
164