ukuran dewan direksi, ukuran dewan komisaris, kualitas audit, dan transparansi komite audit. Penelitian ini dilaksanakan untuk mengetahui penerapan prinsip-prinsip good governance terhadap manajemen laba. Obyek yang diteliti yaitu perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia.
BAB 2 TINJAUAN TEORETIS DAN PERUMUSAN HIPOTESIS
2.1
Tinjauan Teoretis
2.1.1 Asimetri Informasi Adanya pemisahan fungsi kepemilikan dengan pengelolaan pada perusahaan dapat menciptakan permasalahan seperti asimetri informasi antara pihak internal dan eksternal perusahaan. Asimetri informasi adalah suatu keadaan manajer
memiliki akses informasi atas prospek perusahaan yang tidak dimiliki oleh pihak luar. Watts dan Zimmerman (1986:165) berpendapat bahwa asimetri informasi adalah suatu masalah yang muncul karena satu pihak pada transaksi potensial memiliki lebih banyak informasi dibandingkan pihak lain, sehingga beberapa konsekuensi tertentu hanya akan diketahui oleh pihak tertentu tanpa pihak lain yang juga memerlukan informasi tersebut. Masalah tersebut semakin luas apabila corporate governance tidak diterapkan karena akan membuat salah satu pihak memiliki informasi lebih lanjut mengenai nilai perusahaan dari pada investor luar. Ada dua jenis asimetri informasi (Scott, 2006:11): 1.
Adverse selection Adverse Selection adalah jenis asimetri informasi dimana satu pihak atau
lebih yang melangsungkan suatu transaksi usaha atau transaksi potensial, memiliki keunggulan informasi dibandingkan pihak-pihak lain. Hal ini dapat terjadi karena beberapa orang seperti manajer perusahaan dan pihak dalam (insider) lainnya lebih mengetahui kondisi masa kini dan prospek masa depan suatu perusahaan daripada investor luar. Laporan keuangan dapat menjadi salah satu sarana untuk mengendalikan adverse selection. Adverse selection dapat menyebabkan investor beranggapan mengenai adanya informasi yang bias dan membuat mereka khawatir untuk membeli sekuritas perusahaan dan berpengaruh terhadap pengambilan keputusan investasi, sehingga pasar modal tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya. 2.
Moral hazard
Moral Hazard adalah jenis asimetri informasi dimana satu pihak atau lebih yang melangsungkan suatu transaksi usaha atau transaksi potensial dapat mengamati tindakan-tindakannya dalam memenuhi transaksi sedangkan pihak lainnya tidak dapat melakukan pengamatan tersebut. Moral hazard dapat terjadi karena adanya pemisahan antara pemilik dengan manajer yang merupakan karakteristik kebanyakan perusahaan besar.
2.1.2 Teori Keagenan Pemegang saham sebagai pihak prinsipal mengadakan kontrak untuk memaksimalkan kesejahteraan dirinya dengan profitabilitas
yang selalu
meningkat. Masalah keagenan muncul karena adanya oportunistik dari agen yaitu perilaku manajemen untuk memaksimumkan kesejahteraan sendiri yang berlawanan dengan kepentingan prinsipal.
Manajer memiliki dorongan untuk memilih dan menerapkan metoda akuntansi yang dapat memperlihatkan reaksi pasarnya yang baik untuk tujuan mendapat bonus prinsipal. Adanya peralihan dalam lingkungan bisnis mengakibatkan perusahaan yang dulunya hanya dimiliki satu orang yaitu manajer-pemilik (owner-manager) sekarang menjadi perusahaan yang kepemilikannya tersebar dengan pemegang saham yang dimiliki oleh berbagai kalangan. Peralihan ini mengakibatkan terjadinya pemisahan antara kepemilikan dan pengelolaan, kepemilikan berada pada tangan para pemegang saham sedangkan pengelolaan berada pada tangan tim manajemen. Hubungan keagenan ini sebagai suatu kontrak di mana satu atau
lebih pihak (principal) memberi tugas kepada pihak lain (agen) untuk melaksanakan
jasa
dan
pendelegasian
wewenang
dalam
pengambilan
keputusan, hubungan inilah yang dinamakan teori keagenan. Pemisahan dalam teori keagenan ini menandakan pemilik tidak lagi terlibat dalam pengelolaan perusahaan karena telah dialihkan kepada agen. Pihak principal hanya bertindak sebagai pengawas dengan memonitor kinerja perusahaan melalui laporan yang diberikan oleh agen. Agency theory yang dikembangkan oleh Johnson (dalam Emirzon, 2007) memandang bahwa manajemen perusahaan sebagai agen bagi pemegang saham akan
bertindak
dengan
penuh
kesadaran
bagi
kepentingannya sendiri, bukan sebagai pihak yang arif dan bijaksana serta adil terhadap pemegang saham. Hal inilah yang nantinya akan menimbulkan permasalahan keagenan.
2.1.3 Positive Accounting Theory (PAT) Scott (2006:240) mengutarakan bahwa teori akuntansi positif (positive accounting theory) adalah prediksi tindakan-tindakan sebagai pilihan kebijakan akuntansi oleh manajer perusahaan dan bagaimana manajer akan merespon untuk mengusulkan standar akuntansi baru. PAT merupakan suatu pandangan bahwa perusahaan mampu mengorganisir dirinya dengan cara yang paling efisien untuk memaksimalkan prospeknya untuk bertahan. Cara yang paling efisisen tersebut tergantung dari beberapa faktor seperti lingkungan institusi dan hukum, teknologi, serta tingkat persaingan dalam industri. Terdapat dua perspektif dalam teori akuntansi positif yaitu efficiency perspective dan opportunistic perspective, berdasarkan pandangan ini, tidak sulit
untuk mengetahui bahwa kebijakan akuntansi dapat menyebabkan konsekuensi ekonomi. Efficiency perspective menyebutkan bahwa pengaturan kebijakan yang diterapkan dapat mempengaruhi fleksibilitas perusahaan. Di sisi lain, oportunistic perspective menjelaskan bahwa keinginan manajemen untuk memenuhi keuntungannya sendiri dapat berpengaruh terhadap pemilihan kebijakan akuntansi (Scott, 2006:252). Terdapat tiga hipotesis Teori Akuntansi Positif bahwa manajer memilih kebijakan akuntansi berdasarkan kepentingan mereka sendiri yang mungkin tidak sesuai dengan kebutuhan perusahaan. 1.
The bonus plan hypothesis Perusahaan yang mempunyai rencana bonus (bonus plan) dapat mendorong
manajer untuk melakukan manajemen laba. Manajer perusahaan dengan rencana bonus lebih memilih prosedur akuntansi yang menggeser laba masa depan yang dilaporkan ke periode berjalan. Salah satu cara untuk melakukan ini adalah dengan memilih kebijakan akuntansi yang dapat meningkatkan laba saat ini yang dilaporkan, sehingga kinerjanya akan tampak baik dan dapat memaksimalkan insentif yang diterimanya. 2.
The debt covenant hypothesis Semakin besar rasio hutang/ekuitas perusahaan yang berarti semakin dekat
perusahaan dengan kemungkinan pelanggaran perjanjian hutang berbasis akuntansi, semakin besar kemungkinan manajer memilih prosedur akuntansi yang dapat menggeser laba masa depan ke masa sekarang. Kenaikan laba bersih yang dilaporkan akan mengurangi kemungkinan terjadinya kegagalan teknik. Hipotesis ini mengharuskan manajemen mengadopsi kebijakan untuk meningkatkan laba
masa kini. 3.
The political cost hypothesis Semakin besar biaya politik yang dihadapi perusahaan, semakin besar
kemungkinan perusahaan memilih prosedur akuntansi yang menunda laba yang dilaporkan pada masa kini ke masa depan, ukuran perusahaan dapat mengarah pada biaya politik. Perusahaan yang sangat besar mungkin memiliki kinerja standar, jika perusahaan yang besar mampu menghasilkan profit yang tinggi, maka biaya politik akan diperbesar. Perusahaan mungkin menghadapi biaya politik pada titik waktu tertentu, persaingan asing mungkin mengarah untuk mengurangi profitabilitas kecuali perusahaan yang terkena dampak dapat memberi pengaruh pada proses politik untuk menjamin perlindungan impor. Hipotesis ini mengharuskan manajemen mengadopsi kebijakan akuntansi yang mampu menurunkan laba dalam upaya untuk meyakinkan pemerintah bahwa keuntungan sedang kecil.
2.1.4 Manajemen Laba 1.
Definisi Manajemen Laba Setiawati dan Na’im (2000) mendefinisi manajemen laba sebagai campur
tangan manajemen dalam proses pelaporan keuangan eksternal dengan tujuan untuk menguntungkan dirinya sendiri. Manajemen laba merupakan satu faktor yang dapat mengurangi kredibilitas laporan keuangan. Manajemen laba menambah bias dalam laporan keuangan dan dapat menggangu pemakaian laporan keuangan yang mempercayai angka laba hasil rekayasa tersebut sebagai angka laba tanpa rekayasa.
Sugiri (dalam Widyaningdyah, 2001:92) membagi definisi earnings management menjadi dua, yaitu: a.
Definisi sempit Earnings management hanya berkaitan dengan pemilihan metode akuntansi.
Dalam artian sempit, earnings management adalah perilaku manajer untuk “bermain” dengan komponen discretionary accruals dalam menentukan besarnya earnings. b.
Definisi luas Earnings management merupakan tindakan manajer untuk meningkatkan
(mengurangi) laba yang dilaporkan pada saat ini atas suatu unit dimana manajer harus bertanggung jawab, tanpa mengakibatkan peningkatan (penurunan) profitabilitas ekonomis jangka panjang unit tersebut. Dapat disimpulkan bahwa manajemen laba merupakan suatu usaha campur tangan manajemen untuk mengubah laba yang terdapat dalam laporan keuangan dengan maksud untuk mencapai suatu tujuan tertentu yang diharapkan perusahaan. 2.
Pola Manajemen Laba Menurut Scoot (2000), pola manajemen laba dapat di lakukan dengan cara
sebagai berikut: a.
Taking a bath. Taking a bath adalah pola manajemen laba yang dilakukan dengan cara
menjadikan laba perusahaan pada periode berjalan menjadi sangat ekstrim rendah (bahkan rugi) atau sangat ekstrim tinggi dibandingkan dengan laba pada periode sebelumnya atau sesudahnya. Taking a bath terjadi selama periode adanya
tekanan organisasi atau pada saat terjadinya reorganisasi, seperti pergantian CEO (Chief Executive Officer) baru. Teknik taking a bath mengakui adanya biaya-biaya pada periode yang akan datang dan kerugian pada periode berjalan ketika terjadi keadaan buruk yang tidak menguntungkan dan tidak bisa dihindari pada periode berjalan. Konsekuensinya manajemen menghapus beberapa aset, membebankan perkiraanperkiraan biaya mendatang. Akibatnya laba pada periode berikutnya akan lebih tinggi dari seharusnya.
b.
Income minimization. Income minimization adalah pola manajemen laba yang dilakukan dengan
cara menjadikan laba pada laporan keuangan periode berjalan lebih rendah daripada laba sesungguhnya. Income minimization biasanya dilakukan pada saat profitabilitas perusahaan sangat tinggi dengan maksud agar tidak mendapat perhatian secara politis. Kebijakan yang diambil dapat berupa penghapusan atas barang modal dan aset tak berwujud, pembebanan pengeluaran iklan, pengeluaran R&D (Research and Development), dan lain-lain. Cara ini mirip dengan taking a bath tetapi lebih halus. Cara ini dilakukan pada saat profitabilitas perusahaan sangat tinggi, sehingga jika periode yang akan datang diperkirakan laba turun drastis dapat diatasi dengan mengambil laba periode sebelumnya. c.
Income maximization. Income maximization (maksimisasi laba) adalah pola manajemen laba
yang dilakukan dengan cara menjadikan laba pada laporan keuangan periode
berjalan lebih tinggi daripada laba sesungguhnya. Income dilakukan
dengan
tujuan
untuk
memperoleh
bonus
maximization
yang lebih besar,
meningkatkan keuntungan, dan untuk menghindari dari pelanggaran atas kontrak hutang
jangka
panjang. Income
maximization
dilakukan dengan cara
mempercepat pencatatan pendapatan, menunda biaya, memindahkan biaya untuk periode lain, dan dilakukan pada saat laba menurun. Tindakan atas income maximization bertujuan untuk melaporkan net income yang tinggi untuk tujuan bonus yang besar. Pola ini dilakukan oleh perusahaan yang melakukan pelaggaran perjanjian hutang. d.
Income Smoothing. Income smoothing atau perataan laba merupakan salah satu bentuk
manajemen laba yang dilakukan dengan cara membuat laba akuntansi relatif konsisten (rata atau smooth) dari periode ke periode. Dalam hal ini pihak manajemen dengan sengaja menurunkan atau meningkatkan laba untuk mengurangi gejolak dalam pelaporan laba, sehingga perusahaan terlihat stabil atau tidak berisiko tinggi.
3.
Pengukuran Manajemen Laba Terdapat berbagai model yang digunakan untuk mengukur manajemen laba,
antara lain: a.
Model Healy Healy (1985) melakukan penelitian untuk mengukur manajemen laba
dengan menggunakan total akrual sebagai proksi manajemen laba, yang dihitung
dengan rumus sebagai berikut: TAit
= (ΔCAit – ΔCLit – ΔCashit – ΔSTD – Depit) / (Ait-1) ……...................... (1)
Keterangan: TAit
= Total akrual peusahaan i pada periode t
ΔCAit = Perubahan dalam aset perusahaan i pada periode t ΔCLit = Perubahan dalam hutang lancar perusahaan i pada periode t ΔCashit = Perubahan dalam kas perusahaan i pada periode t ΔSTD = Perubahan dalam hutang jangka panjang yang termasuk dalam hutang .....lancar pada perusahaan i pada periode t Depit
= Biaya depresiasi atau amortisasi perusahaan i pada periode t
Ait-1
= Total aset perusahaan i pada periode t Model Healy ini mempunyai kelemahan karena menggunakan nilai total
accruals sebagai proksi manajemen laba, serta tidak memisahkan antara discretionary accruals dan non discretionary accruals. b,.
Model De Angelo De Angelo (1981) melakukan penelitian untuk mengukur manajemen laba
menggunakan nilai discretionary accruals sebagai proksi manajemen laba. Discretionary accruals dihitung dengan mengurangi total accruals periode t dengan total accruals periode sebelum t, kemudian membaginya dengan total aset perusahaan. Total accruals diukur sebagai selisih antara laba bersih (net income) dengan arus kas dari aktivitas operasi. DAit
= (TAit / Ait) – (TAit-1 / Ait-1) ………....................…………….………… (2)
Keterangan: DAit
= Discretionary accruals perusahaan i pada periode t
TAit
= Total akrual perusahaan i pada periode t
Ait
= Total aset perusahaan i pada periode t
TAit-1 = Total akrual perusahaan i pada periode t-1 Ait-1
c.
= Total aset perusahaan i pada periode t-1
Model Jones Jones (1991) menawarkan suatu model yang dapat memisahkan
discretionary accruals dan non discretionary accruals. Pengukuran nilai total akrual dalam Jones serupa dengan model De Angelo, yaitu dengan menggunakan selisih antara net income dengan arus kas dari aktivitas operasi. Selanjutnya nilai tersebut dimasukkan dalam persamaan sebagai berikut: TAit / Ait-1 = α (1 / Ait-1) + β1(REVit / Ait-1) + β2 (PPEit / Ait-1) + εit ….............…(3) Kemudian nilai discretionary accruals dihitung sebagai berikut: DAit
= TAit / Ait-1 – [α (1 / Ait-1) + β1(REVit / Ait-1) + β2 (PPEit / Ait-1)] .....(4)
Keterangan: TAit
= Total akrual perusahaan i pada periode t
ΔREVit = Perubahan pendapatan perusahaan i pada periode t PPEit
= Aset tetap perusahaan i pada periode t
DAit
= Discretionary accruals perusahaan i pada periode t
Ait-1
= Total aset perusahaan i pada periode t
εit
= Error term perusahaan i pada periode t Jones menggunakan perubahan pendapatan β1(REVit / Ait-1) dalam model
estimasinya untuk mengendalikan perubahan dalam non discretionary accruals
yang disebabkan oleh perubahan kondisi, sehingga pendapatan dapat digunakan sebagai control terhadap lingkungan perusahaan karena pendapatan merupakan ukuran obyektf dari operasi perusahaan sebelum terjadi manipulasi, sedangkan β2 (PPEit / Ait-1) merupakan bagian dari total akrual yang berhubungan dengan biaya depresiasi yang termasuk non discretionary. d.
Model Modifikasi Jones Penelitian yang dilakukan Dechow (1995) berhasil melakukan modifikasi
atas model Jones (modified Jones model) dengan menambahkan perubahan piutang sebagai pengurang perubahan pendapatan. Perubahan piutang ini dimasukkan dalam model dengan asumsi bahwa semua penjualan kredit disebabkan oleh adanya praktik manajemen laba, karena akan lebih mudah untuk melakukan rekayasa dengan menggunakan penjualan kredit dibandingkan dengan penjualan tunai. Model modifikasi Jones ini diyakini dapat memberi hasil yang lebih baik dibandingkan dengan model lainnya. Adapun model Jones yang telah di modifikasi adalah sebagai berikut: DACC it = TACC it – NDACC it Untuk mencari Total Accruals (TACC) digunakan model sebagai berikut: TACC = NI it – CFO it.........................................................................................(5) Nilai Total Accruals (TACC) diestimasi dengan persamaan regresi OLS (Ordinal Least Square) sebagai berikut: TA it/A it-1 = 1(1/a it-1)+ 2(ΔREVit / A it-1)+ 3(PPEit / Ait-1) + εi................(6) Dengan menggunakan koefesien regresi diatas nilai non-discretionary accruals (NDACC) dapat dihitung dengan rumus: NDACC it = 1(1/A it-1)+ 2((ΔREVit - ΔRECit )/A it-1)+
(PPE it/A it-1)....(7)
Keterangan: DACC it
= Discretionary accruals perusahaan i pada tahun t
TACC it
= Total accruals perusahaan i pada tahun t
NDACC it = Non discretionary accruals perusahaan i pada tahun t A it-1
= Total assets perusahaan i pada tahun t-1
NI it
= Net income atau laba bersih perusahaan i pada tahun t
CFO it
= Cash flow operation perusahaan i
ΔRECit
= Piutang perusahaan i pada tahun t dikurangi piutang pada tahun t-1
ΔREVit
= Perubahan pendapatan perusahaan i pada periode t
PPE it
= Aset tetap perusahaan i pada tahun t
εi
= Error term perusahaan i pada periode t
2.1.5 Corporate Governance 1.
Latar belakang dan tujuan Good Corporate Governance (GCG) Good Corporate Governance (GCG) atau dikenal dengan nama tata kelola
perusahaan yang baik muncul tidak semata-mata karena adanya kesadaran akan pentingnya konsep GCG namun dilatar belakangi oleh maraknya skandal perusahaan yang menimpa perusahaan-perusahaan besar. Joel Balkan (2002) mengatakan bahwa perusahaan (korporasi) saat ini telah berkembang dari sesuatu yang relatif tidak jelas menjadi institusi ekonomi dunia yang amat dominan. Kekuatan tersebut terkadang mampu mendikte hingga ke dalam pemerintahan suatu negara, sehingga mejadi tidak berdaya dalam menghadapi penyimpangan perilaku yang dilakukan oleh para pelaku bisnis yang berpengaruh tersebut. Semua itu terjadi karena perilaku tidak etis dan bahkan cenderung kriminal yang
dilakukan oleh para pelaku bisnis yang memang dimungkinkan karena kekuatan mereka yang sangat besar disatu sisi dan ketidakberdayaan aparat pemerintah dalam menegakkan hukum dan pengawasan atas perilaku para pelaku bisnis tersebut. Disamping berbagai praktik tata kelola perusahaan dan pemerintahan yang buruk. Salah satu dampak signifikan yang terjadi adalah krisis ekonomi disuatu negara, dan timbulnya praktik korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Sebagai akibat adanya tata kelola perusahaan yang buruk oleh perusahanperusahaan besar yang mengakibatkan terjadinya krisis ekonomi dan krisis kepercayaan para investor, seperti yang terjadi di Amerika pada awal tahun 2000 dan tahun 2008 yang mengakibatkan runtuhnya beberapa perusahan besar dan ternama dunia. Disamping juga menyebabkan krisis global dibeberapa belahan negara dunia. Konsep GCG belakangan ini makin mendapat perhatian masyarakat dikarenakan GCG memperjelas dan mempertegas mekanisme hubunganantar para pemangku kepentingan di dalam suatu organisasi yang mencakup: a.
Hak-hak para pemegang saham (shareholders) dan perlindungannya,
b.
Peran para karyawan dan pihak-pihak yangberkepentingan (stakeholders) lainnya.
c.
Pengungkapan (disclosure) yang akurat dan tepat waktu.
d.
Transparansi terkait dengan struktur dan operasi perusahaan.
e.
Tanggung jawab dewan komisaris dan direksi terhadap perusahaan itu sendiri, para pemegang saham, dan pihak lain yang berkepentingan.
Good Corporate Governance (GCG) adalah prinsip yang mengarahkan dan mengendalikan perusahaan agar mencapai keseimbangan antara kekuatan serta kewenangan perusahaan dalam memberi pertanggungjawaban kepada para shareholder khususnya dan stakeholders pada umumnya. Tentu saja hal ini dimaksudkan untuk mengatur kewenangan direktur, manajer, pemegang saham, dan pihak lain yang berhubungan dengan perkembangan perusahaan di lingkungan tertentu. Apabila mekanisme good corporate governance tersebut dapat berjalan dengan efektif dan efisien, maka seluruh proses aktivitas perusahaan akan berjalan dengan baik, sehingga hal-hal yang berkaitan dengan kinerja perusahaan baik yang sifatnya kinerja finansial maupun non finansial akan juga turut membaik.
2
Tujuan Good Corporate Governance Menurut Siswanto Sutojo dalam E. John Aldridge (2005:5-6), Good
Corporate Governance mempunyai lima macam tujuan utama, yaitu: a.
Melindungi hak dan kepentingan pemegang saham.
b.
Melindungi hak dan kepentingan para anggota stakeholders non pemegang saham.
c.
Meningkatkan nilai perusahaan dan para pemegang saham.
d.
Meningkatkan efisiensi dan efektifitas kerja Dewan Pengurus atau Board of Directors dan manajemen perusahaan
e.
Meningkatkan mutu hubungan Board of Directors dengan manajemen senior perusahaan.
3.
Asas Good Corporate Governance Dalam pelaksanaan good corporate governance pada perusahaan, penerapan
asas GCG juga harus diterapkan pada setiap aspek bisnis perusahaan untuk mencapai
kesinambungan
usaha
(sustainability)
perusahaan
dengan
memperhatikan pemangku kepentingan (stakeholder). Berdasarkan Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG:2006) asas corporate governance terdiri atas: a.
Transparansi (Transparancy) Untuk menjaga obyektivitas dalam menjalankan bisnis, perusahaan harus
menyediakan informasi yang material dan relevan dengan cara yang mudah diakses dan dipahami oleh pemangku kepentingan. Perusahaan harus mengambil inisiatif untuk mengungkapkan tidak hanya masalah yang disyaratkan oleh peraturan perundang-undangan, tetapi juga hal yang penting untuk pengambilan keputusan oleh pemegang saham, kreditur, dan pemangku kepentingan lainnya. b.
Akuntabilitas (Accountability) Perusahaan harus dapat mempertanggungjawabkan kinerjanya secara
transparan dan wajar. Untuk itu perusahaan harus dikelola secara benar, terukur, dan sesuai dengan kepentingan perusahaan dengan tetap memperhitungkan kepentingan pemegang saham dan pemangku kepentingan lain. Akuntabilitas merupakan
prasyarat
berkesinambungan.
yang
diperlukan
untuk
mencapai
kinerja
yang
c.
Responsibilitas (Responsibility) Perusahaan
harus
mematuhi
peraturan
perundang-undangan
serta
melaksanakan tanggung jawab terhadap masyarakat dan lingkungan sehingga dapat terpelihara kesinambungan usaha dalam jangka panjang dan mendapat pengakuan sebagai good corporate citizen. d.
Independensi (Independency) Untuk melancarkan pelaksanaan asas corporate governance perusahaan
harus dikelola secara independen sehingga masing-masing organ perusahaan tidak saling mendominasi dan tidak dapat diintervensi oleh pihak lain. e.
Kewajaran dan Kesetaraan (Fairness) Dalam
melaksanakan
kegiatannya,
perusahaan
harus
senantiasa
memperhatikan kepentingan pemegang saham dan pemangku kepentingan lainnya berdasarkan asas kewajaran dan kesetaraan.
4.
Manfaat Good Corporate Governance (GCG) Dengan melaksanakan
Corporate Governance, menurut
Corporate Governance in Indonesia
Forum of
(FCGI) ada beberapa manfaat yang
diperoleh, antara lain: a.
Meningkatkan kinerja perusahaan melalui terciptanya proses pengambilan keputusan yang lebih baik, meningkatkan efisiensi operasional perusahaan, serta lebih meningkatkan pelayanan kepada stakeholder.
b.
Mempermudah diperolehnya dana pembiayaan yang lebih murah dan tidak rigid (karena faktor kepercayaan) yang pada akhirnya akan meningkatkan corporate value.
c.
Mengembalikan kepercayaan investor untuk menanamkan modalnya di Indonesia.
d.
Pemegang saham akan puas dengan kinerja perusahaan karena sekaligus akan meningkatkan shareholder value dan deviden.
Menurut (Hery dalam Tadikapury, 2010) ada lima manfaat yang dapat diperoleh perusahaan yang menerapkan Good Corporate Governance yaitu: a.
GCG secara tidak langsung akan dapat mendorong pemanfaatan sumber daya perusahaan ke arah yang lebih efektif dan efisien, yang pada gilirannya
akan
turut
membantu
terciptanya
pertumbuhan
atau
perkembangan ekonomi nasional. b.
GCG dapat membantu perusahaan dan perekonomian nasional, dalam hal ini menarik modal investor dengan biaya yang lebih rendah melalui perbaikan
kepercayaan
investor
dan
kreditur
domestik
maupun
internasional. c.
Membantu pengelolaan perusahaan dalam memastikan/menjamin bahwa perusahaan telah taat pada ketentuan, hukum, dan peraturan.
d.
Membangun manajemen dan Corporate Board dalam pemantauan penggunaan aset perusahaan.
e.
Mengurangi korupsi.
Dari tujuan dan manfaat di atas maka dapat disimpulkan bahwa perusahaan yang menerapkan GCG akan selalu melindungi kepentingan pemegang saham dan pihak-pihak yang terkait dalam pengelolaan perusahaan dan selalu melaksanakan kegiatan perusahaan secara efektif dan efisien untuk meningkatkan perekonomian perusahaan dan pada akhirnya akan meningkatkan kepercayaan publik kepada perusahaan tersebut. 2.1.6 Pengaruh Corporate Governance dengan Manajemen Laba 1.
Ukuran Dewan Komisaris Tugas utama dewan komisaris adalah melakukan melaksanakan fungsi
pengawasan terhadap manajemen untuk memastikan bahwa mereka melakukan segala aktivitas dengan kemampuan terbaiknya demi kepentingan perseroan, serta tidak mengambil keputusan yang dapat merugikan berbagai pihak. Fungsi pengawasan yang dilakukan oleh dewan komisaris dianggap sebagai suatu bentuk pemecahan yang efektif terhadap masalah keagenan yang terjadi antara principal atau manajer dan agent atau pemegang saham. Masalah keagenan tersebut dapat berupa benturan kepentingan yang kadangkala juga terjadi di antara pemegang saham, terutama pada perusahaan yang mempunyai pemegang saham mayoritas dan pemegang saham minoritas yang kepentingannya tidak selalu sejalan. Kepentingan pemegang saham minoritas yang jumlahnya besar dan tersebar sering tidak terwakili dengan baik, sehingga menyebabkan kedudukan dan kewenangannya menjadi kurang penting.
2.
Ukuran Dewan Direksi
Dewan direksi sebagai organ perusahaan bertugas dan bertanggung jawab secara kolegial dalam mengelola perusahaan. Masing-masing anggota direksi dapat melaksanakan tugas dan mengambil keputusan dengan pembagian tugas dan wewenangnya, namun pelaksanaan tugas oleh masing-masing anggota direksi tetap merupakan tanggung jawab bersama (KNKG, 2006:17). Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG, 2006:17) juga menyebutkan bahwa prinsipprinsip harus dipenuhi agar pelaksanaan tugas direksi dapat berjalan dengan efektif. Prinsip-prinsip tersebut yaitu: a.
Komposisi direksi harus disesuaikan dengan kompleksitas perusahaan dengan tetap memperhatikan efektivitas dalam pengambilan keputusan sehingga memungkinkan pengambilan keputusan secara efektif, tepat, dan cepat, serta bertindak independen.
b.
Direksi harus profesional yaitu berintegritas dan memiliki pengalaman serta kecakapan yang diperlukan untuk menjalankan tugasnya.
c.
Direksi bertanggung jawab terhadap pengelolaan perusahaan agar dapat menghasilkan
keuntungan
dan
memastikan
kesinambungan
usaha
perusahaan. d.
Direksi mempertanggung jawabkan kepengurusannya dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
3
Kualitas Audit
Adanya pihak yang independen berupa auditor eksternal diharapkan dapat meningkatkan kredibilitas laporan keuangan, mengurangi asimetri informasi serta menghambat aktivitas manajemen laba yang dilakukan oleh manajemen. Pelaksanaan audit yang dilakukan oleh pihak eksternal dapat berupa verifikasi atas validitas laporan keuangan. Pengauditan juga merupakan mekanisme pengendalian dalam mengendalikan kebijakan manajerial. De Angelo (dalam Van Tendeloo dan Vanstraelen, 2005:5) kualitas audit tergantung pada: a.
Kemungkinan salah saji material dan sinyal kesulitan keuangan ditemukan.
b.
Kemungkinan auditor akan melaporkan salah saji dan sinyal tersebut. Sehingga kemampuan auditor dan fungsi independensi auditor menjadi salah satu tolak. Penegakan hukum dan kedisiplinan diduga juga berpengaruh terhadap independensi auditor. Tanpa adanya mekanisme ini, auditor mungkin akan tergoda untuk mengkompromi independensinya sehingga mengabaikan untuk membatasi manajemen laba atau mengeluarkan pendapat wajar bila diperlukan.
4
Transparansi Keberadaan Komite Audit Berdasarkan Kep. 29/PM/2004 (Nasution dan Setiawan, 2007:7), komite
audit adalah komite yang dibentuk oleh dewan komisaris untuk melakukan tugas pengawasan pengelolaan perusahaan. Keberadaan komite audit sangat penting bagi pengelolaan perusahaan. Komite audit merupakan komponen baru dalam sistem pengendalian perusahaan. Selain itu komite audit dianggap sebagai
penghubung antara pemegang saham dan dewan komisaris dengan pihak manajemen dalam menangani masalah pengendalian. Komite audit memproses calon auditor eksternal termasuk imbalan jasanya untuk disampaikan kepada dewan komisaris. Sesuai dengan pedoman good corporate governance, dewan komisaris wajib membentuk komite audit sebagai sub komite dari dewan komisaris, yang diharapkan berfungsi efektif dalam hal-hal yang terkait dengan proses dan personil audit bagi perusahaan terutama dalam pelaporan hasil audit keuangan perusahaan yang dipaparkan untuk publik.
2.2
Rerangka Pemikiran Mekanisme good corporate governance yang diproksikan ukuran dewan
direksi, ukuran dewan komisaris, kualitas audit, serta transparansi komite audit
yang diharapkan dapat meningkatkan proses pengawasan terhadap manajemen, sehingga mencegah terjadinya praktik manajemen laba yang dapat berpengaruh pada kinerja keuangan perusahaan. Rerangka berfikir pada penelitian ini adalah sebagai berikut: Agency Theory
Agen
Principal
(manajer)
(pemilik/pemegang saham)
Konflik
Corporate Governance: 1) 2) 3) 4)
Ukuran Dewan Direksi Ukuran Dewan Komisaris Kualitas Audit Transparansi Keberadaan Komite Audit Manajemen Laba
2.3
Perumusan Hipotesis
Gambar 1 Rerangka Pemikiran
2.3.1 Pengaruh Ukuran Dewan Direksi terhadap Manajemen Laba Dewan direksi mempunyai peran dan tanggung jawab yang penting dalam menentukan kebijakan yang akan dijalankan oleh perusahaan, baik dalam jangka waktu yang pendek maupun jangka panjang. Ukuran dewan direksi juga sebagai salah satu komponen good corporate governance yang sangat berperan penting dalam mengatasi manajemen laba. Keberadaan dewan direksi tersebut sebagai
mekanisme pengendali internal utama untuk memonitor para manajer perusahaan. Dengan adanya kebutuhan yang besar akan jumlah dewan direksi mengakibatkan munculnya permasalahan antara pihak principal dengan agent, karena perusahaan dengan jumlah dewan direksi yang besar tidak dapat melakukan koordinasi, komunikasi, dan pengambilan keputusan yang lebih baik dibanding dengan perusahaan yang memiliki jumlah dewan direksi yang lebih kecil. Hasil penelitian yang di lakukan oleh Iqbal dan Fachriyah (2008) menyakatan bahwa dewan direksi berpengaruh secara signifikan terhadap manajemen laba, penelitian tersebut mengindikasi bahwa semakin banyak jumlah dewan direksi, maka akan semakin menekan terjadinya manajemen laba. Berdasarkan uraian di atas, maka dirumuskan hipotesis sebagai berikut: H1: Ukuran Dewan Direksi berpengaruh negatif terhadap manajemen laba.
2.3.2 Pengaruh Ukuran Dewan Komisaris terhadap Manajemen Laba Dewan Komisaris merupakan organ penting perusahaan untuk melakukan pengawasan dan memberi nasihat kepada direksi serta memastikan bahwa perusahaan melaksanakan GCG secara efektif untuk menghindari terjadinya praktik manajemen laba. Penelitian yang di lakukan oleh Nasution dan Setyawan (2007), berdasarkan hasil penelitian mereka bahwa makin banyaknya dewan komisaris dalam perusahaan berhasil mengurangi manajemen laba yang terjadi. Hal ini
menunjukan bahwa komisaris independen telah efektif dalam menjalankan tanggungjawabnya mengawasi kualitas pelaporan keuangan demi membatasi manajemen laba di perusahaan. Hal tersebut disebabkan karena dengan makin banyak anggota komisaris independen maka proses pengawasan yang dilakukan dewan ini makin berkualitas dengan makin banyaknya pihak independen dalam perusahaan yang menuntut adanya transparansi dalam pelaporan keuangan perusahaan. Oleh karena itu hipotesis yang dirumuskan dalam penelitian ini adalah: H2: Ukuran Dewan Komisaris berpengaruh negatif terhadap manajemen laba.
2.3.3 Pengaruh Kualitas Audit terhadap Manajemen Laba Efektivitas proses auditing dan kemampuan auditor dalam mengaudit dapat menghambat terjadinya manajemen laba yang dilakukan oleh perusahaan. Kualitas audit mengacu pada penggunaan Kantor Akuntan Publik Big Four atau Non Big Four pada perusahaan. Audit merupakan suatu proses untuk mengurangi ketidakselarasan informasi yang terdapat para manajer dan para pemegang saham dengan menggunakan pihak luar untuk memberi pengesahan terhadap laporan keuangan. Para pengguna laporan keuangan terutama para pemegang saham akan mengambil keputusan berdasarkan pada laporan yang telah dibuat oleh auditor mengenai laporan keuangan suatu perusahaan. Hal ini berarti auditor mempunyai peranan penting dalam pengesahan laporan keuangan suatu perusahaan. Oleh karena itu kualitas audit merupakan hal penting yang harus diperhatikan oleh para auditor dalam proses pengauditan.
Penelitian terdahulu telah membuktikan bahwa terdapat hubungan antara kualitas audit dengan manajemen laba (Zhou dan Elder, 2004). Meutia (2004) mendefinisi kualitas audit sebagai kemungkinan bahwa auditor akan menemukan dan melaporkan pelanggaran dalam sistem akuntansi klien. Pelanggaran yang ditemukan oleh auditor mengukur kualitas audit berkaitan dengan pengetahuan dan kemampuan auditor untuk mengungkap pelanggaran tersebut. Kualitas audit ini sendiri dihubungkan dengan ukuran dari kantor akuntan publik yaitu KAP besar dan KAP kecil. KAP yang besar dan ternama dianggap memiliki kualitas yang lebih tinggi dibandingkan KAP kecil. Menurut dalam Zhou dan Elder (2004), KAP besar dianggap dapat mengurangi praktek akuntansi yang meragukan dan melaporkan setiap kesalahan material yang dilakukan manajemen. Selain diproksi dengan ukuran KAP, kualitas audit juga diproksi dengan auditor spesialis industri.
Berdasarkan uraian diatas, maka dirumuskan hipotesis sebagai berikut: H3: Kualitas audit berpengaruh negatif terhadap manajemen laba.
2.3.4 Pengaruh Transparansi Komite Audit terhadap Manajemen Laba Transparansi merupakan salah satu asas dari good corporate governance dan komite audit merupakan bagian penting dari pelaksanaan GCG, sehingga transparansi mengenai nama ketua dan anggota komite audit ke publik sangat penting agar terjadi kontrol sosial mengenai independensi komite audit perusahaan dan diharapkan dapat mengurangi terjadinya praktik manajemen laba pada perusahaan. Komite audit dibentuk untuk membantu dewan komisaris untuk
mengawasi kinerja kegiatan pelaporan keuangan dan pelaksanaan audit baik internal maupun eksternal di dalam perusahaan. Komite audit biasanya terdiri atas dua hingga tiga orang anggota, dipimpin oleh seorang komisaris independen. Seperti komite pada umumnya, komite audit yang beranggotakan sedikit cenderung dapat bertindak lebih efisien. Akan tetapi, komite audit beranggota terlalu sedikit juga menyimpan kelemahan yakni minimnya ragam pengalaman anggota. Sedapat mungkin anggota komite audit memiliki pemahaman memadai tentang pembuatan laporan keuangan dan prinsipprinsip pengawasan internal. Keberadaan komite audit pada saat ini telah menjadi salah satu aspek dalam kriteria penilaian dalam hal pelaksanaan good corporate governance. Selain itu, kehadirannya juga telah mendapat respon positif dari berbagai pihak, antara lain Pemerintah, Badan Pelaksana Pasar Modal (BAPEPAM), Bursa Efek, Investor, Profesi Hukum, Profesi Akuntan, dan lain-lain. Hal ini sejalan dengan perkembangan dunia bisnis yang terus diwarnai oleh berbagai skandal yang terkait dengan pengelolaan perusahaan. Penelitian yang dilakukan oleh Nasution dan Setiawan (2007) menyebutkan bahwa keberadaan komite audit yang diungkapakan melalui laporan keuangan atau tahunan perusahaan berpengaruh terhadap praktik manajemen laba. Berdasarkan uraian diatas, maka dirumuskan hipotesis sebagai berikut: H4: Transparansi Komite Audit berpengaruh negatif terhadap manajemen laba.