59
6 KOMUNIKASI PARTISIPATIF PEREMPUAN KEPALA KELUARGA DALAM PEKKA Program PEKKA di Desa Dayah Tanoh dilaksanakan secara partisipatif dengan sasarannya adalah perempuan kepala keluarga. Dalam tesis ini, aktivitas komunikasi partisipatif berupa akses dan cara berkomunikasi. Akses dilihat dari adanya hak dan kesempatan yang sama bagi perempuan kepala keluarga untuk menghadiri setiap pertemuan dalam program, akses terhadap pelatihan-pelatihan, dan akses terhadap program-program bidang ekonomi seperti simpan pinjam dan dana bantuan langsung masyarakat. Sedangkan cara berkomunikasi dilihat dari bentuk komunikasi yang berlangsung antara perempuan kepala keluarga dengan PL dalam setiap tahapan program baik secara monolog, dialog atau gabungan antara monolog dengan dialog. Berikut ulasan mengenai akses dan cara komunikasi kegiatan PEKKA yakni: (1) tahap penumbuhan ide, (2) tahap perencanaan program, (3) tahap pelaksanaan program dan (4) tahap penilaian terhadap program (Levis 1996).
6.1 Tahap Penumbuhan Ide Penumbuan ide merupakan suatu proses atau kegiatan dalam mensosialisasikan, memperkenalkan, dan memperoleh masukan dan keinginan serta dukungan perempuan kepala keluarga terhadap PEKKA (Tabel 9).
Tabel 9 Matriks komunikasi partisipatif pada tahap penumbuhan ide Bentuk komunikasi Partisipan Kegiatan Isi pesan Akses Cara yang berperan berkomunikasi 1. Pertemuan Informasi Semua Cenderung PL, sosialisasi mengenai anggota monolog perwakilan program maksud, tujuan, diundang dan PEKKA sasaran, hadir Provinsi, Ibu pendekatan dan NT dan Am penerima berpendidikan manfaat lebih tinggi 2. Kunjungan Informasi PL Komunikasi PL dan semua ke rumah, mengenai mengunjungi interpersonal anggota tempat maksud, tujuan, perempuan (tatap muka) berkumpul sasaran, dan kepala dengan cara penerima keluarga berdialog manfaat
60
Tahap sosialisasi merupakan kegiatan yang sangat sulit bagi PL karena mereka harus menghadapi dan membujuk perempuan kepala keluarga untuk mau bergabung dan menerima program pemberdayaan ini. PL harus menjelaskan secara detail maksud dan tujuan program dimanapun bertemu dengan sasaran. Karenanya dibutuhkan usaha keras dan kesabaran yang tinggi untuk membuat calon sasaran mengerti dan bersedia mengikuti program, apalagi individu-individu yang dihadapi adalah orang-orang dengan tingkat pendidikan rendah dan sebagian besar lanjut usia sehingga sulit dalam berkomunikasi. “Pada awal masuk program ke desa ini, selain faktor keamanan, kesulitan lain adalah bagaimana saya mendekati dan menjelaskan kepada janda-janda tentang maksud dari program ini. Cara yang saya lakukan pertama adalah buat pertemuan di Meunasah dengan Ibu-ibu janda, saya datangi ke rumah mereka satu-satu untuk saya jelaskan maksud program, bertemu di warung-warung juga saya ajak ngobrol, pelan-pelan lah. Saya harus menjelaskan dengan bahasa saya supaya mereka mengerti, apalagi mereka banyak yang udah tua-tua, banyak gak sekolah jadi agak susah kita ngomong. Tetapi dengan kesabaran dan kerja keras saya, akhirnya mereka mau bergabung dalam program walaupun belum sepenuhnya mengerti tentang program tersebut. Saya pikir nanti kan bisa dijelaskan lagi dalam setiap pertemuan kelompok. Yang penting mereka udah mau dulu bergabung. (MD)” Pertemuan pertama kegiatan sosialisasi dilaksanakan di meunasah yang dihadiri oleh perempuan kepala keluarga, PL, perwakilan PEKKA Provinsi, tuha peut dan aparat Desa Dayah Tanoh. Dalam pertemuan tersebut semua perempuan kepala keluarga 25 orang hadir. Pertemuan dimulai dan dibuka oleh kepala desa dengan memperkenalkan tamu-tamu perwakilan dari PEKKA, kemudian dilanjukan dengan penyampaian maksud, tujuan dan manfaat program oleh perwakilan PEKKA. Setelah itu, PL memberikan kesempatan kepada peserta yang hadir untuk bertanya dan menyampaikan pendapatnya mengenai program yang akan dilaksanakan. Dalam pertemuan tersebut belum semua perempuan kepala keluarga mau bertanya atau menyampaikan pendapatnya, hanya beberapa orang saja yang bersedia bertanya. “Pertemuan pertama sekali itu waktu sosialisasi program ya, kita undang semua perempuan kepala keluarga yang ada di desa ini ke meunasah. Waktu itu yang hadir kalau gak salah sekitar 25 orang. Waktu itu hadir perwakilan PEKKA dari provinsi untuk menjelaskan maksud, tujuan dan manfaat program kepada perempuan-perempuan ini. Ada pak Geuchik juga, ada tuha peut juga. Dalam pertemuan itu, terlihat perempuan kepala keluarga itu masih malu-malu ya, masih takut-takut. Waktu dipersilakan untuk bertanya atau kasih pendapat, mereka malu-malu hanya beberapa orang saja yang berani bertanya, kayak ibu NT, Am yang lain pada diam. (MD)”
61
Seperti Bapak MD, Ibu NC juga menyampaikan: “Pada mula masuk program ini kan kami gak tau apa-apa, tujuannya apa, manfaat untuk kami apa kan gak tau. Jadi pertama kali dulu, kami yang janda-janda di kampung ini disuruh datang ke Meunasah ya oleh pak geuchik dipanggil melalui mix, katanya ada program untuk kami. Iya kami datang ya, di sana sudah hadir pak geuchik, pak MD selaku PL, ada orang dari Banda Aceh juga. Pertama-tama pak geuchik membuka rapat, cerita keinginan dan tujuan mereka datang ke kampung ini, kemudian pak MD bicara dan perwakilan dari Banda Aceh. Mereka menjelaskan tentang program PEKKA ini. Setelah mereka bicara kemudian mereka menyuruh kami untuk bicara, kalau ada yang bertanya silakan. Tapi waktu itu hanya dua orang dari kami yang bertanya kalau gak salah, mungkin gak berani ya, saya sendiri juga gak berani ya, takut salah ngomong, jadi kami hanya diam saja. Dan ketika ditanya mau ikut program ini, semua juga diam. Waktu itu yang hadir sekitar 20 orang ya lebih kurang lah buk...(NC)” Berdasarkan hasil wawancara dengan informan, keengganan untuk mau bertanya atau menyampaikan pendapatnya pada saat pertemuan sosialisasi karena banyak dari mereka tidak berani dan malu, apalagi selama ini mereka tidak pernah menghadiri rapat-rapat desa dan berbicara di muka umum. Berikut adalah kutipan wawancara dengan Ibu Rh: “Iya pada saat pertama kali rapat dulu itu, kan dijelaskan apa itu program PEKKA, setelah itu kami disuruh bertanya, sampaikan pendapat atau sekedar bersuara tapi banyakan dari kami gak berani dan malu untuk ngomong apalagi saat itu banyak orang, ada PL, ada orang dari Banda Aceh, Pak Geuchik dan lain-lain. Selama ini aja kami gak pernah ikut rapat-rapat desa apalagi ngomong depan orang banyak ya gak berani lah. Ada yang bertanya cuma beberapa orang saja, kalau gak salah yang tanya itu Ibu Am yang sekretaris sekarang ama NT bendahara sekarang. (Rh)” Menurut salah satu informan yang diam ketika rapat sosialisasi ketika ditanya kenapa tidak bertanya atau memberi pendapat adalah menganggap dirinya kurang cakap dalam berbicara karena tingkat pengetahuan yang rendah dan juga sungkan untuk berbicara langsung didepan orang laki-laki yang hadir saat itu karena masih berpegang pada budaya patriarkhi yang menganggap dirinya lebih rendah dari lakilaki. Seperti yang diutarakan Ibu Hmm yang tidak pernah bersekolah berikut ini: “Pada pertama kali rapat program itu saya gak berani ngomong ya karena takut salah kan saya gak pernah sekolah jadi gak tau mau ngomong apa gimana caranya, apalagi di depan ada pak geuchik, tuha
62
peut, PL kan banyak laki- laki jadi saya gak berani ngomong biar mereka-mereka yang pintar- pintar saja yang ngomong. (Hmm)” Berbeda dengan informan yang tingkat pendidikan yang lebih tinggi, mereka menganggap kesempatan yang diberikan kepada mereka untuk berbicara atau menyampaikan pendapat dalam rapat sosialisasi tersebut merupakan kesempatan yang berharga karena dengan berdiskusi mereka dapat memperoleh lebih banyak informasi mengenai program yang akan dilaksanakan. Mereka tidak merasa takut dan malu untuk bertanya dan menyampaikan pendapatnya. Seperti yang diungkap Ibu NT, satu-satunya anggota PEKKA lulusan perguruan tinggi: ”Pada rapat awal itu saya ikut sama-sama dengan yang lain juga. Ooo...saya ada berbicara, kalau gak salah saya bertanya waktu itu mengenai siapa saja yang boleh ikut program, saya berani kok bicara kan udah disuruh ngomong, saya tanyakan aja kan kita jadi lebih tau gimana itu program, saya gak malu walaupun ada hadir pak geuchik, tuha peut, dan yang lain kan saya udah biasa kalau ngomong-ngomong gitu, saling diskusi. (NT)” Melihat kondisi perempuan kepala keluarga yang masih tertutup dan malumalu dalam menyampaikan pendapat ketika pertemuan tersebut, PL mencoba pendekatan interpersonal dengan mendatangi rumah mereka satu persatu,tempattempat mereka sering berkumpul seperti tempat pengajian ibu-ibu dan ketika bertemu di warung. PL berkomunikasi secara langsung (tatap muka) untuk mendapatkan feedback dari mereka. Dalam kunjungan ke rumah dan berdialog dengan perempuan kepala keluarga, PL selalu ditemani oleh anggota keluarga perempuan dan dilakukan di teras rumah. Hal ini dilakukan untuk menghindari fitnah, karena dalam nilai-nilai budaya Aceh jika seorang laki-laki mengunjungi dan berbicara dengan seorang perempuan dianggap tidak pantas. Untuk kemudahan dan kelancaran proses komunikasi, bahasa lokal (bahasa Aceh) adalah bahasa utama yang digunakan karena umumnya mereka tidak paham dan fasih berbahasa Indonesia. “Iya waktu kita buat rapat awal dulu di meunasah, cuma beberapa orang saja yang mau ngomong. Udah kita kasih kesempatan untuk bertanya tapi hanya berapa orang aja yang berani. Mungkin mereka masih malu atau takut ngomong karena rame orang. Jadi lihat kondisi gitu, saya coba datangi rumah mereka satu-satu atau datang ke tempat pengajian ibu-ibu, ternyata mereka lebih berani ngomong kalau di rumah, mereka mau bercerita, juga tanya-tanya tentang program. Ketika saya tanya kenapa waktu di rapat dulu gak mau ngomong, hampir semua mereka jawab gak berani, malu, takut salah ngomong kan rame orang. Tapi setiap berkunjung ke rumah saya selalu minta ditemani oleh anggota keluarga lain, baik itu anaknya, ibunya atau saudaranya agar tidak ada fitanh. (MD)”
63
Penjelasan di atas dipertegas oleh Ibu BR berikut ini: “Iya dalam rapat pertama kami takut dan malu untuk ngomong karena banyak orang. Tapi ketika PL datang kerumah dan ngomong-ngomong dengan kami, kami lebih berani. Saya berani bercerita dan tanya-tanya masalah program itu. Sehingga saya bisa paham apa itu program PEKKA. (BR)” Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa dalam tahap penumbuhan ide terlihat bahwa semua perempuan kepala keluarga memiliki akses yang sama untuk menghadiri pertemuan sosialisasi melalui undangan yang disampaikan melalui pengeras suara di meunasah. Pada tahap ini bentuk komunikasi cenderung monolog, karenanya tidak semua perempuan kepala keluarga memberikan feedback terhadap apa yang disampaikan oleh petugas, lebih banyak diam dan mendengarkan. Melihat kondisi demikian, PL mencoba melakukan komunikasi dengan media interpersonal di mana pengirim pesan (PL) bertatap muka (face to face) dengan penerima pesan (perempuan kepala keluarga). Pendekatan ini lebih efektif karena terjadinya persamaan makna antara penyampai pesan dan penerima pesan sehingga muncul kesepahaman. Melalui tatap muka perempuan kepala keluarga lebih berani dan terbuka dalam menyampaikan pendapat.
6.2 Tahap Perencanaan Program Perencanaan program merupakan kegiatan komunikasi partisipatif dalam PEKKA untuk merancang, menentukan dan menyusun kegiatan yang akan dilakukan. Aspek perencanaan melibatkan perempuan kepala keluarga meliputi pembentukan kelompok, lokakarya, perencanaan kegiatan simpan pinjam kelompok dan dana bantuan langsung masyarakat. Pembentukan kelompok bertujuan mengefektifkan dan mengefisienkan kegiatan pemberdayaan perempuan kepala keluarga. Proses pembentukan kelompok dilakukan melalui pertemuan yang difasilitasi oleh PL di meunasah. Berdasarkan hasil wawancara dengan informan, mereka memiliki akses yang sama untuk berpartisipasi dalam pertemuan tersebut. Mereka mengaku selalu diundang untuk menghadiri pertemuan-pertemuan yakni pembentukan kelompok, pemilihan pengurus, penentuan visi misi kelompok, dan perencanaan kegiatan kelompok kedepan. Dalam rapat tersebut semua anggota diberikan kesempatan untuk berbicara dan menyampaikan pendapatnya mengenai siapa pantas dan memiliki kemampuan untuk menjadi ketua, sekretaris dan bendahara kelompok. Semua anggota juga diberi kesempatan dan peluang yang sama untuk menjadi pengurus. Melalui diskusi bersama, mereka memutuskan pengurus adalah orang-orang yang aktif, muda dan memiliki pendidikan lebih tinggi. Karena mereka percaya dengan demikian kelompok akan maju di kemudian hari. Matriks komunikasi pada tahap perencanaan program dapat dilihat pada Tabel 10.
64
1.
2.
3.
4.
Tabel 10 Matriks komunikasi partisipatif pada tahap perencanaan program Bentuk komunikasi Partisipan Kegiatan Isi pesan Akses Cara yang berperan berkomunikasi Pertemuan Informasi Semua Dialog PL dan Ibu pembentukan mengenai maksud perempuan NT, Am, AA kelompok dan tujuan kepala yang pembentukan keluarga berpendidikan kelompok, diundang tinggi, muda pemilihan dan hadir serta aktif pengurus dan nama kelompok Lokakarya Membangun visi, Semua Monolog dan Hampir peningkatan misi, anggota dialog semua kapasitas mengidentifikasi diundang anggota anggota masalah, posisi, dan hadir kecuali status dan kondisi anggota yang mereka, potensi berumur yang di miliki, lanjut membangun harapan bersama Pertemuan Informasi Semua Dialog PL dan semua perencaan mengenai besar anggota anggota kegiatan simpanan pokok, diundang kecuali simpan pinjam wajib, sukarela, dan hadir anggota yang dan tatacara berumur simpan pinjam lanjut Pertemuan Informasi Semua Monolog dan PL, bendahara perencanaan mengenai cara anggota dialog dan semua usulan dana mengakses, diundang anggota BLM menyusun dan hadir kecuali proposal dan cara anggota yang pengembalian dana berumur BLM lanjut
Berikut pernyataan Ibu BR: “Pada rapat pembentukan kelompok kami juga diundang. Dan saat itu kami sudah mulai berani ngomong ya, walaupun masih malu-malu. Tapi PL menyuruh kami untuk berbicara jangan takut katanya. Kita semuanya sama, sama-sama belajar kalau selalu malu dan tidak berani kapan bisa maju. Dari situ kami mulai ngomong dan berani kasih pendapat. (BR)”
65
Bapak MD juga menyatakan: “Pada rapat bentuk kelompok, milih siapa ketua, sekretaris dan bendahara semua anggota disuruh bicara untuk kasih pendapat, pada saat itu sudah mulai ada yang mau ngomong walaupun masih agak malu-malu. Setelah diskusi dan persetujuan bersama terpilih lah Ibu AA sebagai ketua, Ibu AM sebagai sekretaris dan Ibu NT sebagai bendahara. Mereka mengangkat Ibu AA sebagai ketua karena dia seorang yang aktif dan berani di desa, Ibu AM karena dia masih muda paling muda dalam anggota dan pendidikannya yang lumayan tinggi SMA dan Ibu NT sebagai bendahara karena Ibu NT lulusan perguruan tinggi jadi dianggap lebih pintar dalam ngurusin masalah uang dan belum menikah. (MD)” Setelah pembentukan kelompok dan terbangun visi dan misinya, kemudian PL juga memfasilatasi anggota untuk membuat kesepakatan bertemu secara rutin yaitu sebulan sekali yang bertempat di meunasah. Informasi pertemuan diumumkan melalui alat pengeras suara dari meunasah agar semua anggota bisa mendengar. Hal ini dinilai lebih efektif karena sebagian besaranggota adalah buta huruf sehingga jika dibuat undangan tertulis merekapun tidak dapat membacanya. Berikut kutipan wawancara dengan Ibu Hmm: “Iya kami sepakat buat rapat anggota sebulan sekali, undangannya melalui mikrofon biar semua dengar. Materi yang dibahas akan ditentukan pada rapat bulan sebelumnya. Waktu rapat awal dulu kan kami setuju yang jadi ketua itu Ibu AA karena kami anggap dia aktif dan berani bicara, sekretaris AM karena dia masih muda, belum menikah dan tamatan SMA dan bendahara NT karena dia ada kuliah jadi kami anggap lebih pintar dari kami-kami yang tidak sekolah ini. Iya semua dikasih kesempatan untuk jadi pengurus tapi kami lebih percaya ke mereka, karena dengan mereka jadi pengurus bisa buat kelompok kami jadi maju nantinya. (Hmm)” Aktivitas berikunya PL memfasilitasi anggota kelompok untuk mengikuti lokakarya dan pelatihan baik di tingkat kecamatan maupun kabupaten. Salah satu lokakarya yang wajib diikuti oleh semua anggota kelompok adalah peningkatan kapasitas anggota dengan membangun visi dan misi mereka. Perempuan kepala keluarga difasilitasi untuk mengidentifikasi masalah, memahami posisi, status dan kondisi mereka dalam tataran masyarakat, mengidentifikasi potensi yang dimiliki, lalu bersama membangun harapan dan impian yang ingin diraih. Aktivitas diakhiri dengan membangun kesepakatan bersama dalam kelompok. Proses ini juga memberikan kesempatan pada mereka untuk berfikir secara kritis melihat posisi dan kondisi mereka serta membangun motivasi untuk berkembang. Dalam proses ini mereka merumuskan kondisi dan karakteristik perempuan kepala keluarga sebelum mengikuti program. Hasilnya, perempuan kepala keluarga identik dengan: miskin,
66
terkucilkan, terdiskriminasi, tidak diperhitungkan, mengalami trauma, akses terbatas dan korban kekerasan. Melalui program pemberdayaan ini mereka memiliki harapan untuk mengubah kondisi tersebut. Kemudian mereka menyusun visi dan misi bahwa setelah mengikuti program ini mereka harus menjadi perempuan kepala keluarga yang kehudupannya lebih sejahtera, dihormati, setara dengan masyarakat lainnya, sebagai motivator, adanya akses dan sebagai kelompok kontrol sosial yang kuat. “Waktu awal-awal setelah bentuk kelompok, semua anggota wajib ikut pelatihan kayak lokakarya untuk peningkatan kapasitas anggota. Disitu kita fasilitasi mereka untuk mengenal dirinya, kehidupannya dalam masyarakat, potensi yang mereka miliki. Setelah itu kita sama-sama bangun harapan untuk berubah dan menjadi lebih baik dengan mengikuti program pemberdayaan ini. Mereka menganggap dirinya miskin, terkucilkan, terdiskriminasi, tidak dihitung, trauma, akses terbatas dan korban kekerasan sebelum mengikuti program. Dan kemudian kita juga rumuskan harapan dan impian ke depannya dimana mereka harus lebih sejahtera, dihormati, setara dengan yang lainnya, jadi motivator, adanya akses dan sebagai kelompok kontrol sosial yang kuat. Dengan adanya harapan demikian, mereka akan sungguh-sungguh dan bertanggungjawab dalam pelaksanaan program. (MD)” Selain itu, anggota juga diberi berbagai topik materi yang berkaitan dengan pengembangan diri seperti yang diungkapkan ibu Rh: “Iya dulu kita setelah bentuk kelompok, semua anggota wajib ikut pelatihan kalau gak salah untuk peningkatan kapasitas anggota namanya. Di situ kita difasilitasi oleh PL untuk mengenal diri kita sebelum mengikuti program saat itu, kita sama-sama susun. Tersusun lah kalau kami itu miskin, terkucilkan, mengalami trauma, tidak ada akses yang sama, dan lain-lain pokoknya yang gak baik. Kemudian kita merumuskan impian atau harapan setelah mengikuti program ini, kita harus menjadi lebih sejahtera, ada akses, sama kedudukan dengan yang lain. Jadi dengan adanya impian itu kita jadi serius dan bertanggungajawab dalam pelaksanaan program, kalo gak benar-benar kita ikuti berarti impian itu gak tercapai nantinya. Dan Alhamdulillah sekarang sudah ada perubahan ya jadi lebih baik sesuai dengan impian yang kita susun dulu meskipun belum seratus persen. (Rh)” Seperti telah diungkapkan sebelumnya, kegiatan pemberdayaan ekonomi yang pertama dilaksanakan adalah kegiatan simpan pinjam. Perencanaan kegiatan simpan pinjam dilakukan melalui musyawarah bersama anggota. Dalam pertemuan tersebut, semua anggota kelompok memiliki akses yang sama untuk hadir dan memiliki kesempatan untuk berbicara dan mengemukakan pendapatnya. Semua anggota diundang dan hadir. Dalam pertemuan ini hampir semua anggota sudah aktif, berani berbicara, memberi pendapat, saran selama rapat berlangsung. Namun, masih ada
67
beberapa yang masih pasif terutama yang sudah berusia lanjut, mereka hanya hadir dan mendengarkan. Seperti yang diungkapkan Bapak MD: “Iya pada musyawarah untuk kegiatan simpan pinjam, menentukan tata cara simpan pinjam, besar dana simpanan, itu semuanya mereka yang putuskan dalam rapat anggota. Saya hanya memfasilitasi saja. Semua keputusan mereka yang tentukan, karena kegiatan ini kan untuk mereka sendiri, saya paling mengarahkan saja. Tapi di sini udah terlihat semua anggota sudah mulai aktif untuk berpendapat, mereka serius dan melaksanakan rapat dengan bagus, kan mereka udah dapat banyak meteri dan pelatihan sehingga mereka udah lebih berani mengeluarkan pendapat. Tidak ada yang mendominasi, gak ada yang memaksakan pendapatnya, kalau ada yang berbicara yang lain mendengarkan ya. Yang masih banyak diam itu ibu-ibu yang sudah tua ya. Sudah mulai bagus lah. (MD)” Menurut hasil wawancara Ibu Sb yang berusia lanjut: “Saya lebih banyak diam, dengarkan saja biar mereka yang mudamuda yang berbicara menentukan. Kami yang sudah tua-tua ini ikut saja ama mereka, pasti keputusan mereka baik dan baik juga untuk kami. Kami senang bisa ikut program ini, walaupun kami sering banyak diam ya tapi kami senang bisa gabung sama mereka. (Sb)” Sebagian besar informan menyatakan bahwa sudah ada perubahan ketika mengikuti pertemuan membahas tentang rencana kegiatan, mereka menjadi lebih berani dan aktif dalam mengeluarkan pendapat. Keberanian dan kemampuan untuk berbicara dan mengungkapkan pendapat di depan umum muncul setelah mereka mengikuti beberapa pelatihan, sehingga mereka pun sudah bisa mengemukakan pendapat dengan lebih baik. Hal ini seperti yang diungkapkan Ibu Hmm: “Iya ketika rapat mengenai rencana kegiatan simpan pinjam, kami sudah berani untuk bicara ya, gak malu-malu lagi. Kan kami udah banyak dapat pelatihan, materi dari PL jadi pengetahuan kami jadi tambah, kami juga dilatih untuk bisa berbicara di depan orang banyak. Kan program ini untuk kebaikan kami jadi kami harus sungguh-sungguh biar program ini dapat berjalan dengan baik kedepannya. Lagian kegiatan simpan pinjam ini kan bagus, nanti bisa membantu kami dan keluarga jika ada keperluan mendadak kan bisa minjam. (Hmm)” Ibu NT mengungkapkan: “Penentuan besar simpanan wajib, simpanan pokok, dan sukarela anggota kita bahas bersama dalam rapat anggota, tata caranya juga. Dalam rapat itu semua dikasih kesempatan untuk bicara apa
68
keinginannya, apa pendapatnya pokoknya gak ada pemaksaan dari PL atau bendahara. Semua keputusan merupakan kesepakatan bersama anggota. (NT)” Kemudian juga dipertegas oleh Ibu BR: “Dalam menentukan kegiatan simpan pinjam, besar dana pokok, simpanan wajib dan sukarela kami tentukan bersama, cara-cara peminjaman juga kami yang tentukan, PL hanya memfasilitasi saja gak ada paksaan dari siapapun. Karena itu kan kegiatan kita anggota jadi semua kita yang putuskan, jadi dalam rapat itu semua berhak untuk kasih pendapat, ide. Setelah itu baru kita sama-sama putuskan mana yang terbaik. (BR)” Melalui musyawarah tersebut dibicarakan beberapa hal, antara lain adalah besar simpanan pokok, simpanan wajib dan simpanan sukarela, tata cara peminjaman dan pengembalian, dan aturan-aturan lainnya. Pinjaman dan setoran dilakukan melalui bendahara tiap bulannya. Setiap anggota dapat meminjam sebesar Rp100 000 atau tergantung ketersediaan uang kas. Peminjam harus mengembalikan pinjaman dalam jangka waktu yang telah ditentukan, biasanya per bulan, jika tidak maka akan dikenakan denda berupa bunga pinjaman satu persen. Setoran dapat dilakukan setiap saat dengan jumlah yang tidak ditentukan. Setelah kegiatan simpan pinjam kelompok berjalan, tahun 2004 anggota kelompok juga menerima Bantuan Langsung Masyarakat (BLM) dari pemerintah sebagai program pemberdayaan ekonomi yang kedua. Semua anggota juga memiliki akses yang sama untuk mendapatkan bantuan dana ini dengan syarat pengajuan proposal usaha. Dalam perencanaannya, setiap anggota diberi kesempatan untuk menentukan jenis usaha dan jumlah dana yang akan diusulkan dalam proposal. Bagi anggota yang buta huruf, penyusunan proposal dibantu oleh PL dan bendahara kelompok. Dalam penyusunan proposal, anggota sering berdiskusi (interpersonal) dengan PL membahas mengenai jenis usaha yang cocok untuk diusulkan. PL bersedia berdiskusi dengan anggota kapan saja tidak hanya dalam pertemuan rutin kelompok. “BLM itu diberikan kepada semua anggota kelompok. Setiap anggota diberi kesempatan untuk menentukan sendiri jenis usaha yang akan dijalankan dan besar dana yang diperlukan untuk usaha. Waktu program BLM itu kan harus buat proposal, jadi anggota yang buta huruf kita bantu membuat proposalnya, bendahara juga banyak membantu. Anggota banyak berdiskusi dengan saya jenis usaha yang cocok untuk mereka. Saya sarankan usaha yang sudah sering dijalankan, atau yang sedang dijalankan sehingga bantuan tersebut bisa untuk tambahan modal dan resiko gagal rendah karena mereka udah ada pengalaman, tapi keputusan tetap di tangan mereka. (MD)”
69
Tata cara mengakses, menyusun proposal dan cara pengembalian dana bantuan tersebut dibahas dalam pertemuan rutin anggota. Penjelasan mengenai program BLM diberikan oleh bendahara kelompok yang sebelumnya telah terlebih dahulu mendapatkan pelatihan administrasi dan manajemen BLM. Setelah bendahara menjelaskan, semua anggota diberi kesempatan untuk bertanya dan berdiskusi dengan bendahara dan PL. Setelah semua mengerti, setiap anggota mulai menyusun proposal berdasarkan jenis usaha dengan jumlah dana yang dibutuhkan untuk kemudian diusulkan. “BLM itu kan syaratnya buat proposal. Jadi saya sebagai bendahara bertanggung jawab menyampaikan bagaimana manajemen BLM itu, karena hanya saya yang mendapatkan pelatihan tentang manajemen BLM jadi saya harus sampaikan ke anggota lain apa yang saya peroleh ketika pelatihan sehingga semua anggota mengerti. Saya juga selalu berkoordinasi dengan PL dan bersedia berdialog dengan anggota lain jika ada hal-hal yang ingin ditanyakan dan saya juga bersedia membantu membuat proposal ibu-ibu yang buta huruf. (NT)” Pernyataan senada juga disampaikan oleh Ibu Am: “Iya kita dikasih dana bantuan yang disebut kalau gak salah BLM. syaratnya buat proposal sesuai jenis usaha dan disitu kita usulkan jumlah dana yang kira-kira sesuai dengan usaha kita. Kita buat proposal banyak belajar dari bendahara karena yang ikut pelatihan BLM kan cuma bendahara kemudian baru dia sampaikan ke kita anggota. Saya juga diskusi dengan PL jenis usaha yang kira-kira cocok dengan saya. Saya disarankan usahatani saja bisa tambah modal karena selama ini saya emang kerja di sawah jadi sudah biasa. Anggota yang lain juga gitu banyak yang diskusi dengan PL atau bendahara. Ada yang usul usaha bertani, jualan kios dan jualan kue. (Am)” Sebagian besar anggota kelompok berperan aktif dalam kegiatan perencanaan program BLM ini. Sebagian besar dari mereka mengusulkan usaha yang sudah mereka jalankan sebelumnya yaitu bertani dan berdagang. Selain itu, mereka menganggap sudah berpengalaman di bidang tersebut sehingga dapat mengurangi resiko kegagalan usaha. Salah satu motivasi mereka mau terlibat aktif dalam perencanaan program ini adalah mereka menganggap program BLM ini bisa menambah modal usaha dan meningkatkan pendapatan mereka. “Iya hampir semua anggota kelompok mengusulkan proposal dengan jenis usahanya masing-masing, kebanyakan sih usaha yang sudah dijalankan sekarang kayak saya usahatani ya saya usul untuk usahatani saja, gak berani usaha lain gak ada pengalaman jadi takut gak berhasil. Iya, sangat bagus kan bisa nambah modal ya, kalau berhasil bisa
70
nambah pendapatan, jadi semua kita itu sibuk waktu itu untuk buat proposal. (Rh)” Namun demikian, ternyata tidak semua anggota ikut dalam kegiatan perencanaan ini. Sebanyak lima orang tidak ikut dan mereka semua telah berusia lanjut. Mereka tidak termotivasi untuk melakukan usaha apapun karena usia yang sudah tua. Seperti yang diungkapkan Ibu Sb: “Saya gak ikut buat proposal. Saya kan udah tua udah gak tau mau usaha apalagi, saya udah gak kuat. Saya gak ada pendapatan, sekarang saya tinggal sama anaknya, saya dibiayai anak saya. Jadi kalau buat proposal yang ada beban saya gak tau mau balikin dana gimana gak ada uang. Jadi lebih baik saya gak ikut. (Sb)” Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa dalam tahap perencanaan program, semua perempuan kepala keluarga memiliki akses yang sama baik dalam rapat pembentukan kelompok, perencanaan kegiatan simpan pinjam maupun kegiatan perencanaan usulan dana BLM. Seluruh informan mengaku diundang dan hadir dalam pertemuan tersebut. Bentuk komunikasi yang berlangsung adalah bersifat monolog dan dialog. Mereka juga sudah mulai terlibat aktif dalam menyampaikan pendapat, keiunginan dan mengajukan pertanyaan. Mereka juga memiliki kebebasan untuk memutuskan jenis usaha yang ingin diusulkan dalam proposal pengajuan dana BLM berdasarkan hasil konsultasi dengan PL. Aktivitas komunikasi antara sesama anggota dan dengan PL sudah lebih terbuka, mereka bisa saling berkomunikasi melalui pertemuan-pertemuan dan tatap muka (interpersonal).
6.3 Tahap Pelaksanaan Program Pelaksanaan program pemberdayaan ekonomi perempuan kepala keluarga merupakan suatu kegiatan komunikasi yang dilakukan dalam rangka melaksanakan kegiatan-kegiatan yang telah direncanakan dalam PEKKA. Pelaksanaan program bertujuan agar perencanaan yang telah dirumuskan yaitu pertemuan rutin anggota, kegiatan simpan pinjam dan usaha produktif masing-masing anggota sesuai dengan proposal dapat dijalankan oleh anggota. Matriks komunikasi partisipatif pada tahap pelaksanaan program dapat dilihat pada Tabel 11. Pada tahapan ini semua informan mengaku memiliki akses yang sama dalam setiap kegiatannya. Dalam pertemuan rutin, semua anggota diundang secara informal melalui pengumuman oleh ketua atau bendahara kelompok dengan menggunakan pengeras suara yang ada di meunasah sesuai dengan kesepakatan pada saat perencanaan kegiatan sebelumnya. Pengumuman biasanya dilakukan satu hari lebih awal dari pertemuan supaya anggota dapat mengatur waktu beraktivitas dengan kegiatan rapat. Pertemuan biasanya dilaksanakan setelah waktu zuhur, karena banyak anggota yang memiliki aktivitas di pagi hari.
71
Tabel 11 Matriks komunikasi partisipatif pada tahap pelaksanaan program Bentuk komunikasi Partisipan Kegiatan Isi pesan yang Akses Cara berperan berkomunikasi 1. Pertemuan rutin Informasi Semua Monolog dan PL, pakar, anggota, membahas mengenai anggota dialog semua tentang: hukum, diundang dan anggota a. Materi politik, tidak semua yang hadir pengemban ekonomi, dan dapat hadir kecuali yang gan diri kesehatan berusia anggota perempuan lanjut. Yang sering tidak hadir adalah Ibu NC, BR, Hmm
b. Laporan kegiatan simpan pinjam kelompok
2. Usaha produktif dan pendampingan usaha
Informasi mengenai kegiatan simpan pinjam kelompok
Informasi mengenai perkembangan usaha
Semua anggota dapat meminjam dan mengembali kan dana Semua anggota dapat memperoleh dana BLM untuk modal usaha produktif
Dialog
Dialog
PL, bendahara dan semua anggota kecuali anggota yang sudah berumur lanjut PL dan semua anggota kecuali anggota yang sudah berumur lanjut
Semua informan menyatakan selalu berusaha untuk mengikuti pertemuan meskipun kadang sulit membagi waktu antara pekerjaan dengan jadwal pertemuan. Anggota yang berprofesi sebagai petani lebih mudah membagi waktu antara pekerjaan dengan pertemuan karena tempat kerja (lahan sawah) mereka masih berada di sekitar desa, sedangkan anggota yang berdagang ke luar desa (pasar kecamatan) sedikit sulit dalam membagi waktu sehingga mereka sering telat menghadiri pertemuan. Ini seperti diungkapkan Ibu NC yang sehari-hari berjualan kue di Pasar Kota Beureunun berikut ini:
72
“Saya selalu berusaha untuk ikut pertemuan rutin ya, saya rencanakan cepat pulang tapi kadang-kadang mau cepat pulang tapi dagangan belum habis, ya jadinya telat lagi. Tapi walaupun terlambat saya tetap datang ke pertemuan itu, yang penting saya ikut. Mau gimana lagi kan, jualan juga penting, pertemuan juga penting. (NC)” Hal yang sama juga terjadi pada anggota yang memiliki suami sakitsakitanatau yang memiliki jumlah tanggungan keluarga banyak (lebih dari lima orang). Mereka sering tidak dapat mengikuti pertemuan karena tidak dizinkan keluar rumah oleh suaminya atau tidak dapat membagi waktu antara pertemuan dengan mengurus anak. Seperti yang diungkap Ibu BR yang memiliki suami sakitsakitan: “Pertemuan bulanan saya selalu berusaha untuk ikut ya. Tapi kan saya jualan di pasar, kadang-kadang udah bisa pulang cepat eh sampe rumah harus ngurus suami ya, kan suami saya sedang sakit jadi saya harus ngurusin dia seperti anak kecil, suapin makan, kasih minum obat. Kadang-kadang juga gak kasih saya pergi, katanya udah pergi dari pagi, sekarang gak usah pergi lagi. Ya jadinya saya gak ikut rapat. Tapi kadang-kadang dia malah suruh saya ikut rapat, biar gak ketinggalan informasi katanya. Ya gitu lah buk. (BR)” Ibu Hmm yang memiliki tanggungan lebih dari lima mengungkapkan: “Saya agak susah bagi waktu untuk ikut pertemuan, kerja di sawah, ngurus anak yang lumayan rame. Jadi saya sering telat atau gak ikut pertemuan bulanan tapi saya selalu bertanya ke anggota lain mengenai informasi yang disampaikan sehingga saya tidak ketinggalan informasi. (Hmm)” Pertemuan rutin adalah aktivitas yang sangat penting bagi anggota, karena pertemuan tersebut merupakan kesempatan mereka untuk saling bertemu, berdiskusi dan berbagi informasi baik dengan sesama anggota maupun dengan PL. Biasanya pertemuan difasilitasi oleh PL, tetapi jika PL berhalangan pertemuan difasilitasi oleh ketua kelompok. Selain membahas materi untuk pengembangan diri anggota, pertemuan tersebut juga diisi dengan laporan keuangan oleh bendahara dan kegiatan penyetoran uang pinjaman baik pinjaman dari kas kelompok maupun dana BLM. “Pertemuan rutin kelompok setiap bulan dulu selalu difasilitasi oleh PL, biasanya PL kasih materi kemudian kita diskusi bersama. Kita juga dibiasakan oleh PL untuk berbicara jadi setiap orang itu disuruh menyampaikan keluh kesahnya selama sebulan belakang terutama tentang usahanya, apa ada kendala, masalah. Biasanya juga ada kegiatan setoran uang pinjaman. Tapi sekarang walaupun PL gak hadir kami tetap buat pertemuan. (AA)”
73
Pertemuan biasanya diawali dengan memberi kesempatan kepada anggota untuk menyampaikan perkembangan usahanya selama sebulan berjalan. Jika ada masalah yang dihadapi akan didiskusikan bersama mencari solusi. Setelah itu, kegiatan diakhiri dengan penyampaian laporan keuangan oleh bendahara dan penyetoran pinjaman jika ada anggota yang ingin menyetor. Kutipan wawancara dengan Ibu FJ selaku PL saat ini: “Pertemuan bulanan itu biasanya kita isi dengan diskusi materi, misalnya materi tentang cara simpan pinjam atau materi lainnya yang udah kita sepakati bersama pada rapat bulan lalu, kemudian tiap peserta harus menyampaikan keluh kesahnya mengenai usahanya, kita sama-sama diskusi kalau ada masalah kita cari jalan keluar bersama. Di sini saya kasih kesempatan semua anggota untuk bicara, gak ada yang mendominasi semua saling menghormati. Kita selalu berdialog dan diskusi bersama. Dan anggota pun jadi senang dan mau berbicara menyampaikan pendapatnya. (FJ)” Pendapat yang senada juga disampaikan Ibu Rh: “Dalam pertemuan rutin itu kita sama-sama belajar dengan PL, kita dikasih kesempatan untuk bicara menyampaikan permasalahan kita masing-masing kalau ada masalah kita diskusi bersama. PL gak pernah memaksakan kita untuk ikut keputusan dia, dia serahkan semua ke kita. Jadi kami senang dengan sikap PL itu, kita diperlakukan sama, cara ngomong dan menyampaikan materi ke kita juga enak, kita bisa langsung tanya dan diskusi kalau gak ngerti. (Rh)” Dalam kegiatan pertemuan rutin, semua anggota diberikan kesempatan dan akses yang sama dalam menyampaikan pendapat dan pengambilan keputusan. Setiap anggota juga mendapat perlakuan yang setara dan saling menghormati dalam menyampaikan pendapat. Posisi tempat duduk antara anggota dan PL juga memberikan kontribusi partisipasi aktif peserta dalam menyampaikan pendapat karena tidak ada penghalang sehingga secara fisik mereka tatap muka saling berhadapan. Partisipasi anggota kelompok pada tahap pelaksanaan juga bisa dilihat pada kegiatan simpan pinjam kelompok, pencairan dan penyetoran dana BLM serta pelaksanaan usaha produktif masing-masing anggota. Menurt bendahara kelompok, semua anggota kelompok pernah meminjam dana kepada kas kelompok, kecuali anggota kelompok yang sudah berusia lanjut yang tidak pernah meminjam tetapi mereka tetap menyetor dana simpanan. Pencairan dana BLM juga telah dilakukan oleh semua anggota kelompok, jumlah dana yang diberikan bervariasi ada yang sesuai dengan jumlah yang diusulkan dalam proposal, ada juga yang tidak sesuai. Semua dana BLM digunakan untuk tambahan modal usaha mereka baik di bidang usahatani dan perdagangan.
74
Pengangsuran dana pinjaman kas kelompok dan dana BLM relatif lancar. Setiap anggota bisa menyetor kepada bendahara dalam jumlah yang tidak ditentukan setiap saat. Setoran umumnya dilakukan setiap bulan dalam pertemuan rutin, tetapi jika ada yang mau menyetor setiap minggu juga akan dilayani. Jika ada anggota yang memiliki tunggakan, biasanya bendahara berinisiatif membayar terlebih dahulu, namun dengan catatan anggota tersebut akan menggantikannya. Walaupun telah memiliki kesadaran untuk membayar angsuran, setiap bulan sebelum pertemuan rutin, bendahara selalu mengingatkan anggota untuk mempersiapkan dana anggsurannya. “Semua anggota udah pernah minjam di kas kelompok, kecuali orang tua yang belum pernah minjam. Kalau BLM udah cair semua, mereka udah pakai uang untuk usaha mereka masing-masing. Ya sekarang tinggal bayar setorannya. Biasanya setor tiap bulan tapi kalau mau tiap minggu juga boleh. Kapan mereka ada uang boleh setor ke saya, ada lima puluh berapa yang ada. Saya selalu ingatkan ke mereka untuk bayar tiap bulan jangan ada yang nunggak, kalau nunggak satu dua orang bisa saya tanggung dulu dan nanti diganti. (NT)” Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwadalam tahap pelaksanaan program semua anggota kelompok memiliki akses yang sama untuk mengikuti pertemuan, melakukan kegiatan simpan pinjam dan pencairan dana BLM sebagai tambahan modal usaha produktif. Semua anggota diberikan kesempatan untuk menyampaikan pendapat, saran dan ikut serta dalam membuat keputusan bersama. Dalam pelaksanaan program selalu mengkedepankan diskusi dan dialog antara sesama anggota maupun dengan PL jika ada masalah yang dihadapi. Dialog menjadi media atau basis komunikasi dalam pertukaran informasi antara PL dengan anggota penerima manfaat. Hal ini sesuai dengan pendapat Rahim dalam White (2004) yang menyatakan bahwa esensi dialog adalah pengakuan (recognition) dan penghormatan (respect) untuk pembicaraan lain, suara lain sebagai subjek yang mandiri (autonomos subject), tidak hanya sebagai objek komunikasi.
6.4 Tahap Penilaian Program Penilaian terhadap program merupakan kegiatan komunikasi yang dilakukan antara PL dengan perempuan kepala keluarga, di mana mereka diberi kesempatan dan kepercayaan untuk menilai kegiatan yang telah dilaksanakan dalam program pemberdayaan ekonomi yaitu kegiatan simpan pinjam dan pinjaman modal usaha. Tabel 12 menyajikan matriks komunikasi partisipatif pada tahap penilaian program.
75
Tabel 12 Matriks komunikasi partisipatif pada tahap penilaian program Bentuk komunikasi Partisipan Kegiatan Isi pesan yang Akses Cara berperan berkomunikasi Pertemuan Informasi Semua anggota Dialog PL dan evaluasi mengenai dapat menilai semua Kegiatan simpan perkembangan dan anggota pinjam dan kegiatan mengetahui kecuali usaha produktif simpan laporan anggota pinjam, usaha keuangan dan yang sudah produktif dan perkemabangan berumur hambatanusaha lanjut hambatan Evaluasi terhadap kegiatan simpan pinjam kelompok, dana BLM dan perkembangan usaha masing-masing anggota dilakukan setiap sebulan sekali dalam pertemuan rutin anggota. Semua informan mengaku memiliki akses yang sama untuk terlibat dalam kegiatan tersebut, dan semua anggota juga diberi kesempatan yang sama menyampaikan dan menilai perkembangan usahanya masing-masing. Sementara itu, bendahara menyampaikan perkembangan pembukuan simpan pinjam sehingga semua anggota bisa menilai dan mengetahui jumlah kas dan jumlah setoran masing-masing anggota. Setiap anggota juga diberi kesempatan untuk mengemukakan pendapat, bertanya, memberi masukan dan saran untuk menyelesaikan berbagai persoalan dalam kelompok. Keputusan kelompok diambil melalui musyawarah mufakat. “Iya setiap bulan itu kan kami disuruh sampaikan perkembangan usaha kami masing-masing, apa kendala, apa ada perkembangan dan lainnya, sedangkan bendahara menjelaskan ke kami mengenai pembukuan dana simpan pinjam, dana BLM. Jadi kami bisa tau berapa jumlah dana sekarang, siapa yang masih ada pinjaman dan lainnya. Jadi kalau ada masalah akan segera dibicarakan dalam rapat itu dan diselesaikan secara bersama sehingga masalah tidak berlarutlarut. Saya merasa senang ya karena semua kami sangat terbuka sehingga semua masalah dapat kami selesaikan bersama. (BR)” Setelah melaksanakan pertemuan dan mendapatkan kesepakatan bersama, selanjutnya bendahara akan menyusun laporan keuangan serta laporan perkembangan usaha anggota untuk disampaikan kepada kantor PEKKA kecamatan. Pengerjaan laporan biasanya dibantu oleh sekretaris kelompok, sementara anggota yang lain tidak terlibat. Semua anggota mempercayakan pembuatan pembukuan dan pelaporan pada kepada bendahara dan sekretaris kelompok.
76
“Kan setiap bulan saya lapor tu tentang keuangan simpan pinjam kelompok, dana BLM dan lain-lain. Dan anggota sampaikan perkembangan usahanya masing-masing. Setelah itu kita diskusi sama-sama. Kalau ada masalah kita selesaikan sama-sama. Misalnya kalau ada yang menunggak kita sama-sama cari solusi. Kalau ada yang mau menanggung silakan, atau kadang-kadang saya yang tanggung dulu nanti dibayar. Setelah semua setuju, baru saya susun biaya dibantu oleh sekretaris untuk menulisnya. (NT)” Ibu Hmm juga mengungkapkan hal senada: “Yang buat dan tulis laporan keuangan dan perkembangan usaha kami biasanya bendahara dan sekretaris, saya dan anggota yang lain tidak ikut. Kan saya gak bisa baca tulis, gitu juga yang lain banyak yang gak bisa. Jadi kami percaya ke bendahara dan sekretaris untuk menulisnya, kan yang dilaporkan itu hasil kesepakatan kami dalam rapat. Jadi walaupun kami gak ikut dalam menulis tapi kami tau isinya apa. (Hmm)” Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa semua anggota memiliki akses yang sama dalam menilai kegiatan yang telah dilaksankan khususnya kegiatan simpan pinjam dan usaha produktif. Mereka juga dilibatkan secara langsung dalam memutuskan dan atau menyelesaikan permasalahan yang dihadapi dalam kegiatan simpan pinjam maupun dalam kegiatan usaha. Namun, dalam penyusunan laporan keuangan dan perkembangan usaha hanya dilakukan oleh pengurus kelompok. Isi dan acuan laporan merupakan hasil kesepakatan dan keputusan bersama anggota kelompok.
6.5 Ikhtisar Komunikasi partisipatif berupa akses dan cara berkomunikasi dalam kegiatan Program PEKKA. Terlihat bahwa perempuan kepala keluarga memiliki akses yang sama untuk berpartisipasi dalam tahap penumbuhan ide, perencanaan, pelaksanaan, penilaian serta pengambilan keputusan dalam program. Akses dapat dilihat dari bentuk semua perempuan kepala keluarga diundang untuk menghadiri pertemuan baik pada saat penumbuhan ide, perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi program. Pada awal program bentuk komunikasi partisipatif cenderung monolog. Partisispasi anggota cenderung masih pasif karena dipengaruhi budaya patriarkhi dan tingkat pendidikan. Pada tahapan berikutnya, bentuk komunikasi sudah lebih terbuka dan cenderung bersifat dialogis dan atau gabungan monolog dan dialog. Namun, hal tersebut tidak terjadi pada perempuan kepala keluarga yang berusia lanjut. Bentuk komunikasi mereka tetap bersifat monolog karena mereka mengikuti program hanya untuk berkumpul bersama, mengisi waktu luang dan memperoleh informasi bukan untuk mengubah kondisi kehidupannya selama ini.
77
Proses dialog dengan PL dan antar sesama anggota selalu terlihat dalam setiap pertemuan. Dialog dalam menyelesaikan dan mengatasi masalah dilakukan untuk mencari kesepakatan keputusan bersama kelompok. Melalui dialog tumbuh rasa saling menghargai dan saling memiliki kegiatan sehingga menimbulkan rasa tanggungjawab bersama anggota untuk mencapai tujuan bersama. Keterbukaan dan penyampaian suara dalam rapat merupakan bentuk kontribusi anggota terhadap perkembangan dan kemajuan program.