Sofiah : Komunikasi Phatic Dalam Keluarga
KOMUNIKASI PHATIC DALAM KELUARGA ( Studi Deskriptif tentang Penggunaan Komunikasi Phatic sebagai Sarana Pemenuhan Fungsi Afektif dan Sosialisasi dalam Keluarga di Kawasan Hunian Liar Kampung Kentingan Baru, Surakarta ) Sofiah1 Abstract Phatic communication interaction is a form of communication such pleasantries, small talk is delivered either by using verbal and non verbal language. Phatic communication is a bonding ritual and strategies to manage and maintain interpersonal relationships. This research aims to reveal how far the form of communication phatic speech, attitude and behavior imposed on family Kampung Kentingan Baru, Surakarta in order to foster warmth, harmony, self-recognition and also in the development of norms and values - family values. By using qualitative descriptive research method on a number of sources that become an end, and through techniques of observation and interview data collection, the research results were obtained which showed that fatis - fatis speech used in interacting with family members is strongly influenced by the origins of their birthplace which mostly come from Java (Central Java), so they mostly use the language "Java ngoko" in the form of symbolic rites and rituals of intimacy. Key words : Phatic communication, verbal and nonverbal language, interpersonal relationships
Pendahuluan Membangun keluarga bahagia dan sejahtera adalah impian bagi semua orang terutama adalah bagi orang yang sudah terikat oleh tali perkawinan. Terlebih bahwa perkawinan adalah hal yang sakral maka tidak seorangpun menginginkan perkawinan mereka diwarnai dengan kehidupan yang tidak serasi, atau terjadi disorganisasi Berdasarkan anggapan itulah maka setiap keluarga berusaha menjaga keutuhan keluarga. Apalagi bahwa di dalam Al-Qur’an telah menyebutkan adanya 80 – 90 ayat yang membicarakan tentang penguatan bangunan rumah tangga, sebab keluarga adalah sendi dasar terciptanya masyarakat yang ideal
1
Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret Surakarta
Jurnal Komunikasi Massa Vol 3 No 2 Juli 2010
1
Sofiah : Komunikasi Phatic Dalam Keluarga
Namun dalam perjalananya ternyata menegakkan keutuhan
keluarga
tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Perselisihan, percekcokkan, perilaku agresif kadang hadir di tengah-tengah kehidupan rumah tangga sehingga kadang sampai berakibat pada keputusan terakhir yang memilukan yaitu “cerai”. Nampaknya sudah selayaknya untuk dijadikan bahan perenungan karena ternyata perceraian itu kini menjadi fenomena menarik yang terjadi pada masyarakat di dunia. Di Amerika lebih dari 50 % pasangan yang menikah berakhir dengan perceraian; di Inggris lebih dari 70 % pasangan yang menikah berakhir serupa ( Tubb & Moss, 2006 : ix ). Di negara kita sendiri banyak juga krisis serupa, bahkan memiliki angka yang mencengangkan seperti apa yang dikemukakan oleh Dirjen Binmas Islam Departemen Agama Nazaruddin Umar dalam acara Pembukaan Pemiliha Keluarga Sakinah dan Pemilihan Kepala KUA Teladan Tingkat Nasional di Asrama Haji Pondok Gede Jakarta, Selasa 14 Agustus 2007 dengan pernyataan sebagai berikut : “ Indonesia berada di peringkat tertinggi yang memiliki angka perceraian paling banyak dalam setiap tahunnya dibandingkan negara Islam di dunia lainnya. Setiap tahun ada 2 juta perkawinan, tetapi yang memilukan perceraian bertambah manjadi dua kali lipat, setiap 100 orang yang menikah, 10 pasangan yang bercerai, dan umumnya mereka yang baru berumah tangga“ ( Media Islam, edisi 10, Jakarta, 2007 ) Data di atas dipertegas oleh laporan Iping Supingah yang ditulis dalam Suara Surabaya Net yang mengatakan bahwa : “Jumlah perceraian di Indonesia mencapai angka yang fantastic setiap tahunnya 200.000 pasangan berpisah, rekor no 1 untuk kawasan Asia Pasific “ ( Suara Surabaya Net, Surabaya, 21 September 2007 ) . Perlu disadari bahwa rasa sayang dan cinta kasih diantara sesama anggota keluarga adalah roh keharmonisan karena rasa sayang dan cinta kasih sebenarnya adalah bagian dari kebutuhan manusia.
Hal ini harus difahami oleh semua
anggota keluarga untuk saling memberikan kebutuhan afektif baik antara suami dan istri maupun antara orang tua dan anak-anak. Kebutuhan afektif akan terpenuhi manakala di dalam keluarga mampu menggunakan komunikasi secara
Jurnal Komunikasi Massa Vol 3 No 2 Juli 2010
2
Sofiah : Komunikasi Phatic Dalam Keluarga
baik, dalam arti tidak semata baik dilihat dari kuantitasnya tapi juga seberapa jauh kualitas komunikasinya. Kurang intensnya komunikasi diantara anggota-anggota keluarga dan tidak adanya keakraban dalam berinteraksi diantara anggota keluarga maka pemenuhan akan kasih sayang atau rasa dicintai sulit untuk bisa dibangun, tidak mustahil bila generation gap ada dimana-mana dan perceraian merajalela Persoalan lain yang muncul dari kekurang intensifan dan kedekatan komunikasi juga bisa berpengaruh pada keringnya penanaman norma, dan nilai yang sangat menentukan terhadap pembentukan konsep diri Rosenberg (1978) menceriterakan kisah “anak liar dari eveyron” yang dibesarkan oleh srigala. Dia sama sekali tidak memiliki identitas kemanusiaan sebelum berinteraksi dengan manusia. Setiap individu memperoleh identitas diri dengan memperhatikan dan diperhatikan oleh orang lain. Lebih jauh lagi kita menumbuhkan identitas dan nilai diri dengan membandingkannya dengan orang lain (Tubb & Moss, 2006: 34). Melalui komunikasi manusia bisa belajar makna cinta, kasih sayang, keintiman, simpati, rasa hormat, rasa bangga, bahkan iri hati dan kebencian. Oleh karenanya untuk memperoleh kesehatan emosional, masing-masing anggota keluarga harus mampu memupuk perasaan-perasaan positif dan mencoba menetralisir perasaan-perasaan negatif. Orang yang tidak pernah memperoleh kasih sayang dari orang lain akan mengalami kesulitan untuk menaruh perasaan itu terhadap orang lain, karena ia sendiri tidak pernah mengenal dan merasakan perasaan tersebut. Dan kecenderungannya mereka akan bersikap dan berperilaku kasar dan agresif, seperti ditunjukkan oleh berbagai penelitian, misalnya Philip G.Zimbardo yang melakukan penelitian ekstensif di Amerika Serikat tentang hubungan antara anonimitas ( keterasingan ) dan agresivitas ( kekerasan ) : “Ia dan kawan-kawannya meninggalkan sebuah mobil tanpa pelat nomor dan tanpa kap di sebuah jalan di Palo Alto, California, juga meninggalkan mobil serupa di sebuah jalan di daerah Bronx, New York yang penduduknya tidak saling mengenal dan terasing antara satu dengan lainnya. Dalam dua kasus itu masing-masing mobil berwarna putih dan ditempatkan di daerah kelas menengah dekat sebuah universitas besar.
Jurnal Komunikasi Massa Vol 3 No 2 Juli 2010
3
Sofiah : Komunikasi Phatic Dalam Keluarga
Di Palo Alto mobil tersebut tidak dijamah siapapun selama seminggu lebih, kecuali seseorang yang lewat merendahkan kap mobil agar mesin mobil tidak basah. Di Bronx dalam beberapa jam saja anak muda dan pada siang hari bolong orang-orang dewasa dan anak muda mempreteli onderdil mobil yang masih bisa dipakai dan dijual. Tidak ada orang yang mempedulikan perilaku mereka. Berikutnya, anak-anak memecahkan kaca depan dan kaca belakang mobil, lalu orang-orang dewasa menghantam mobil dengan batu, pipa dan palu. Dalam waktu kurang dari tiga hari mobil itu menjadi barang rongsokan yang hancur tanpa bentuk. Kejadian itu menunjukkan betapa keterasingan yang dialami seseorang cenderung membuatnya berperilaku agresif, dan bahkan brutal “ (Mulyana, 2006 : 21 ) Lebih jauh lagi komunikasi juga telah dihubungkan dengan bukan hanya dengan kesehatan psikis, tetapi juga kesehatan fisik. Pada tahun 1945 Rene Spitz melaporkan hasil penelitian yang menunjukkan bahwa kesehatan bayi-bayi yang jarang memperoleh belaian manusia akan mengalami kemrosotan dan menderita penyakit yang mengancam jiwa mereka.” (Ibid : 23 ) Komunikasi yang dilakukan di dalam upaya mencapai kesehatan emosional yaitu untuk pemenuhan diri, untuk merasa terhibur, untuk merasa nyaman dan untuk memupuk kehangatan dengan anggota lain adalah dikenal dengan sebutan komunikasi fatik ( phatic communication ). Komunikasi ini dalam kehidupan sehari-hari sering diungkapkan dengan menggunakan ujaran namun juga bisa diungkapkan melalui isyarat, seperti ucapan : selamat pagi;
bersalaman,
tersenyum, menyapa, membelai, menanyakan kegiatan dan lain sebagainya. Dengan komunikasi fatik diharapkan akan dapat meredusir munculnya permasalahan generation gap dan disorganisasi keluarga di dalam rangka menegakkan keutuhan keluarga dan membentuk keluarga yang berkualitas melalui pemenuhan fungsi afektif dan fungsi sosialisasi Penelitian ini mencoba untuk mengungkap seberapa jauh sikap; perilaku dan ujaran – ujaran yang berlaku pada beberapa keluarga di lingkungan komunitas hunian liar di dalam rangka memupuk kehangatan, dan memberi pengakuan pada orang lain , dalam hal ini adalah anggota keluarga. Masih adakah kehangatan, keakraban dan keharmonisan di dalam keluarga mereka?
Jurnal Komunikasi Massa Vol 3 No 2 Juli 2010
4
Sofiah : Komunikasi Phatic Dalam Keluarga
Pilihan terhadap subyek penelitian di lingkungan komunitas hunian liar yang cenderung memiliki karakteristik sebagai masyarakat marginal tidak lain karena keinginan peneliti untuk melihat korelasi antara status sosial ekonomi dengan kesehatana emosional keluarga. . Sekalipun dalam banyak fenomena
memang tidak bisa disangkal bila
tindak kekerasan antara suami terhadap istri atau sebaliknya, antara anak terhadap orang tuanya, atau antara orang tua terhadap anak-anaknya umumnya bisa saja terjadi di lingkungan keluarga dari setiap kelas sosial, entah itu keluarga yang kaya atau miskin maupun keluarga yang berpendidikan atau tidak. Namun tidak diingkari bahwa fenomena tindak kekerasan dalam keluarga cenderung lebih sering terjadi dan dialami oleh kelurga-keluarga yang secara sosial-ekonomi tergolong miskin dan rentan sebagaimana dinyatakan oleh Horton dan Hunt dengan pernyataan bahwa tindak kekerasan dalam keluarga probabilitasnya akan cenderung lebih besar dialami oleh keluarga-keluarga yang serba susah ( Ibid : 189 ).
Tinjauan Pustaka 1. Hakekat Keluarga Keluarga adalah lembaga sosial dasar dari mana semua lembaga atau pranata sosial lainnya berkembang. Di masyarakat manapun di dunia, keluarga merupakan kebutuhan manusia yang universal dan menjadi pusat terpenting dari kegiatan dalam kehidupan individu. Keluarga dapat digolongkan sebagai kelompok primer, selain karena para anggotanya saling mengadakan kontak langsung juga karena adanya keintiman dari para anggotanya. Menurut Horton dan Hunt (1987), istilah keluarga umumnya digunakan untuk menunjuk beberapa pengertian sebagai berikut : (1). Satu kelompok yang mempunyai nenek moyang yang sama ; (2). Suatu kelompok kekerabatan yang disatukan oleh darah dan perkawinan; (3). Pasangan perkawinan dengan atau tanpa anak; (4). Pasangan nikah yang mempunyai anak; dan (5). Satu orang entah duda atau janda dengan beberapa anak ( J.Dwi Narwoko – Bagong Suyanto, 2006 : 227 ).
Jurnal Komunikasi Massa Vol 3 No 2 Juli 2010
5
Sofiah : Komunikasi Phatic Dalam Keluarga
Kemudian secara konseptual, istilah keluarga oleh Terkelsen, didefinisikan dengan pengertian sebagai berikut : “Keluarga adalah diartikan “sebagai sebuah sistem sosial terkecil dari masyarakat yang tercipta dari hubungan individu-individu yang satu dengan individu yang lain yang mempunyai dorongan perasaan hati yang kuat sehingga timbul loyalitas dalam hubungan tersebut serta kasih sayang yang permanen dalam jangka waktu yang lama” ( Galvinand Brommel, 1982 : 2 ). Dari pengertian semacam itu, tersirat makna bahwa keluarga muncul karena adanya unsur perkawinan, dan hubungan darah, sehingga rasa emosional dan keterikatan antar anggota keluarga menjadi sangat kuat dibandingkan dengan institusi lainnya. Perkawinan adalah penerimaan status baru, dengan sederetan hak dan kewajiban yang baru serta pengakuan akan status baru oleh orang lain. Perkawinan merupakan persatuan dari dua atau lebih individu yang berlainan jenis seks dengan persetujuan masyarakat, seperti dikatakan oleh Horton dan Hunt ( 1987 ) bahwa perkawinan adalah pola sosial yang disetujui dengan cara mana dua orang atau lebih membentuk
keluarga. ( J.Dwi Narwoko – Bagong Suyanto,
2006 : 229 ). Atas dasar perkawinan itulah maka sebuah keluarga terbentuk, dan oleh karena keluarga dianggap penting dan menjadi pusat perhatian kehidupan individu maka di dalam keberlangsungannya perlu diperhatikanadanya beberapa fungsi keluarga sebagai mana dikemukakan oleh ( Horton dan Hunt, 1987 : 227 ) sebagai berikut : 1. Fungsi pengaturan keturunan, yaitu sebagai fungsi reproduksi. 2. Fungsi sosialisasi atau pendidikan, fungsi ini untuk mendidik anak mulai dari awal pertumbuhan anak hingga terbentuk personalitynya. 3. Fungsi ekonomi atau unit produksi. Dalam menjalankan fungsi ini, bertindak sebagai unit yang terkoordinir dalam produksi ekonomi. 4. Fungsi pelindung. Fungsi ini adalah melindungi seluruh anggota keluarga 5. Fungsi penentuan status. Keluarga dapat mewariskan statusnya pada tiap-tiap anggota keluarga atau individu sehingga tiap-tiap anggota keluarga mempunyai hak-hak istimewa.
Jurnal Komunikasi Massa Vol 3 No 2 Juli 2010
6
Sofiah : Komunikasi Phatic Dalam Keluarga
6. Fungsi pemeliharaan.
Keluarga pada dasarnya berkewajiban untuk
memelihara anggota yang sakit, menderita, dan tua. 7. Fungsi afeksi. Salah satu kebutuhan dasar manusia adalah akan kasih sayang atau rasa dicintai. ( Ibid, 2006: 234-237 ) 2. Komunikasi dalam Keluarga a. Komunikasi Relasional Keluarga menurut Undang – Undang No.10 tahun 1992 pasal 1 ayat 10 yang dinyatakan sebagai unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami, istri atau suami-istri dan anak tentunya sangat sarat dengan kegiatan komunikasi, sehingga dalam keluarga komunikasi bisa dibilang mempunyai peranan yang sangat azasi seperti yang dikemukakan oleh Wilbur Schramm yang menyatakan bahwa komunikasi merupakan hal yang sangat mendasar dalam proses sosial suatu masyarakat. Komunikasi merupakan jalan penghubung antar manusia ( Schramm & Kincaid, 1978 ). Judee Burgon dan para koleganya telah melakukan penelitian untuk melakukan dimensi-dimensi dari tingkat relasional
dari komunikasi. Mereka
melakukan sebuah survei besar-besaran terhadap literatur komunikasi relasional dan mengisolasikan beberapa aspek landasan komunikasi relasional. Landasan ini meliputi empat dimensi dasar yang independen, yaitu : 1. Rangsangan emosional, ketenangan, dan formalitas 2. Keintiman dan kemiripan 3. Kedekatan ( kesukaan ) 4. Dominasi – kepatuhan ( Littlejohn, 2001: 236 ) Komunikasi relasional pada hakekatnya memang mampu memenuhi kebutuhan-kebutuhan seperti memupuk hubungan dengan orang lain, untuk mendapatkan kesenangan, untuk menunjukkan ikatan dengan orang lain, untuk eksistensi diri dan lain sebagainya, seperti yang dikatakan oleh para ahli, seperti Rudolp F. Verdeber yang mengemukakan bahwa : “Komunikasi mempunyai dua fungsi. Pertama, fungsi sosial yakni untuk tujuan kesenangan, untuk menunjukkan ikatan dengan orang lain,
Jurnal Komunikasi Massa Vol 3 No 2 Juli 2010
7
Sofiah : Komunikasi Phatic Dalam Keluarga
membangun dan memelihara hubungan. Kedua, fungsi pengambilan keputusan (Mulyana, 2006: 5 ). Yudy C. Pearson & Paul E.Nelson dalam bukunya yang berjudul “ An Introduction
to
Human
Comunication,
Understanding
and
Sharing”,
mengemukakan tentang adanya 5 alasan penting dari hubungan personal yaitu : 1. untuk memahami diri kita sendiri 2. untuk memahami orang lain 3. untuk memahami dunia kita 4. untuk memenuhi kebutuhan kita 5. untuk meningkatkatkan dan memperkaya pengalaman positif kita ( Yudy C.Pearson & Paul E.Nelson, 2000: 149 - 151 ) . Hubungan personal dapat diartikan sebagai hubungan antara seseorang dengan orang lain. Miller (1976) dalam Explorations in Interpersonal Communication yang menyatakan memahami proses komunikasi personal menuntut hubungan simbiosis antara komunikasi dan perkembangan relasional dan pada gilirannya ( secara serentak ), perkembangan relasional mempengaruhi sifat komunikasi antara fihak-fihak yang terlibat dalam hubungan tersebut.” . b. Komunikasi Phatic Setiap individu dalam sebuah hubungan interpersonal bisa menggunakan beberapa bentuk konsistensi interaksi, dalam hal ini bisa berupa pernyataan, sikap atau perilaku yang secara umum berupa pengertian dalam setiap keadaan. Contoh, seorang suami yang biasa menyapa istrinya berupa ciuman. Ciuman ini dapat diartikan sebagai sinyal kehangatan dan rasa kasih sayang, atau mungkin menyebut nama dengan sebutan tertentu seperti misal menyebut nama istri dengan sebutan: “bidadariku”, “ sayangku “ atau dan sebagainya sebagai ungkapan rasa kedekatan. Dalam Ilmu komunikasi bentuk konsistensi interaksi seperti basa – basi, pebicaraan ringan dikenal sebagai komunikasi phatic ( Phatic communication ).
Jurnal Komunikasi Massa Vol 3 No 2 Juli 2010
8
Sofiah : Komunikasi Phatic Dalam Keluarga
Bisa berupa bahasa lisan atau sekedar bahasa tubuh seperti senyuman, anggukan, bersalaman dan lainnya. Menurut F. Casalegno and I.M.Mc William dalam “Communication Dynamics in Technological Mediated learning Environment” ( 2004 ), mengartikan komunikasi phatic adalah : “Small communication : the non referential use of language to share feeling or establish a mood of sociability rather than to communicatoe information or idea; ritualized formulas intended to attract the attention of the listener or prolog communication“ (F. Casalegno and I.M.Mc William , Nov. 2004). Kata-kata fatis lazimnya digunakan dalam ragam bahasa lisan yang berciri non standar. Tuturan non standard kebanyakan terdapat dalam tuturan kedaerahan yang muncul dalam dialek-dialek regiona. Bentuk komunikasi ini bertujuan untuk pemenuhan diri, merasa terhibur, nyaman, baik untuk diri sendiri terlebih orang lain. Cara berkomunikasi seperti ini memang terlihat remeh, tapi memiliki fungsi sebagai mekanisme untuk menunjukkan ikatan
sosial dengan orang yang
bersangkutan, mengakui kehadiran orang lain dan untuk menumbuhkan atau memupuk kehangatan dengan orang lain (Mulyana, 2006: 18 ). Obrolan ringan menurut Dunbar ( 1996 )
juga dapat berfungsi untuk
membangun hubungan dan kepercayaan diantara lawan bicara dan membangun reputasi mereka (Bickmore, 1999: 1 ). Meskipun tampaknya memiliki manfaat kecil, komunikasi phatic adalah sebuah ikatan ritual dan
strategi
untuk
mengelola dan mempertahankan hubungan interpersonal. Bruess dan Pearson (1997) menjelaskan 7 ritual yang merupakan karakter penting dalam hubungan jangka panjang : 1. Ritual couple time, contoh : berlatih bersama, makan malam bersama 2. Idyosyncratic / ritual sibolik, contoh : saling memanggil dengan sebutan khusus, dan merayakan hari jadi. 3. Rutinitas harian dan tugas-tugas, contoh : membagi tugas rumah pada masing-masing pasangan. 4. Ritual intimasi, contoh : saling bersurat-suratan, saling menyurati saat berjauhan 5. Ritual komunikasi,contoh : makan di luar dengan teman-teman Jurnal Komunikasi Massa Vol 3 No 2 Juli 2010
9
Sofiah : Komunikasi Phatic Dalam Keluarga
6. Kebiasaan,
perilaku, contoh : menyiapkan atau memastikan sesuatu
sebelum acara keluarga dimulai. 7. Ritual spiritual, contoh, melakukan yoga bersama atau beribadah bersama. ( Yudy C.Pearson & Paul E.Nelson, 2000: 156 ). c. Komunikasi Phatic Sebagai Sarana Pemenuhan Fungsi Afeksi. Para psikolog berpendapat, kebutuhan utama kita sebagai manusia dan untuk menjadi manusia yang sehat secara rohaniah adalah kebutuhan akan hubungan sosial yang ramah, yang hanya bisa terpenuhi dengan membina hubungan yang baik dengan orang lain. Abraham Maslow, menyebutkan bahwa manusia mempunyai lima kebutuhan dasar yaitu kebutuhan fisiologis, keamanan, kebutuhan cinta dan kasih sayang, penghargaan diri dan aktualisasi diri. Di dalam keluarga tidak pelak dari kebutuhan kasih sayang dan rasa dicintai sebagaimana yang dijelasakan dalam jenjang kebutuhan dasar manusia. Seseorang yang berkeluarga niscaya mendambakan apa yang dinamakan kebahagiaan dalam rumah tangganya, oleh karenanya mereka senantiasa mengupayakan untuk dapat mewujudkan harapannya. Apa yang bakal terjadi apabila anggota keluarga tidak dapat merasakan kasih sayang dan cinta. Banyak kasus-kasus yang terjadi akibat tidak terpenuhinya fungsi afektif dalam keluarga, seperti kemerosotan mental, gangguan kesehatan secara fisik, tindakan agresif, broken home, dan perceraian. Rene Spitz misalnya, ia telah menemukan bukti tentang hubungan kesehatan bayi dengan sentuhan emosional yang ditunjukkan dari laporan penelitiannya pada tahun 1945 yang menunjukkan bahwa kesehatan bayi-bayi yang
jarang memperoleh belaian manusia
akan cenderung mengalami
kemerosotan dan menderita penyakit yang mengancam jiwa mereka. Kasus lain adalah berupa perilaku agresif yaitu bahwa orang yang tidak memperoleh kasih sayang dan kehangatan dari orang-orang disekelilingnya maka perilakunya cenderung agresif. Kasus ini terungkap dari hasil penelitian Philip G. Zimbardo di Amerika Serikat tentang hubungan anonimitas ( keterasingan ) dan agresi ( kekerasan ). Jurnal Komunikasi Massa Vol 3 No 2 Juli 2010 10
Sofiah : Komunikasi Phatic Dalam Keluarga
Dari beberapa kasus di atas bisa disimpulkan bahwa cinta dan kasih sayang adalah memiliki peranan yang dominan dalam menjaga keharmonisan keluarga dan kesehatan rokhani para anggota keluarga. Melalui komunikasi phatic yang hangat, ramah dan akrab maka akan diharapkan dapat memenuhi kebutuhan emosional dan intelektual keluarga, sehingga suasana bahagia, dan harmoni mampu terpancar dalam kehidupan keluarga. Hal ini sinkron dengan sebuah teori hubungan sosial yang dikembangkan oleh Eric Berne yang ia namakan Transactional Analysis ( 1961 ). Teorinya berdasarkan hasil penelitian mengenai keterlantaran indrawi ( sensory deprivation ) yang menunjukkan bahwa : “Bayi-bayi yang kekurangan belaian dan hubungan manusiawi yang normal menunjukkan tanda-tanda kemerosotan fisik dan mental yang bisa berakibat fatal. Ia menyimpulkan bahwa sentuhan emosional dan indrawi itu penting bagi kelangsungan hidup. Ia menyimpulkan teorinya dengan ungkapan bahwa : “ If you are not stroked, your spinal cord will shrivel up “ ( Jika engkau tidak mendapatkan belaian, urat syaraf tulang belakangmu akan layu ). d.. Komunikasi Phatic Sebagai Sarana Sosialisasi Keluarga merupakan institusi yang paling penting pengaruhnya terhadap proses sosailisasi manusia. Hal ini dimungkinkan karena berbagai kondisi yang dimiliki oleh keluarga. Pertama, keluarga merupakan kelompok primer yang selalu tatap muka diantara anggota keluarganya, sehingga dapat selalu mengikuti perkembangan anggota-anggotanya. Kedua, orang tua mempunyai kondisi yang tinggi untuk mendidik anak-anaknya, sehingga menimbulkan hubungan emosional dimana hubungan ini sangat diperlukan dalam proses sosialisasi.. Ketiga, adanya hubungan sosial yang tetap, maka dengan sendirinya orang tua mempunyai peranan yang penting terhadap proses sosialisasi (Narwoko & Suyanto, 2006: 92). Menurut Vender Zande ( 1979: 75 ) sosialisasi adalah proses interaksi melalui mana kita mengenal cara-cara berfikir, berperasaan dan berperilaku sehingga dapat berperan serta secara efektif dalam masyarakat ( R. Diniarti dalam T.Ihromi, 1999 : 30). Menurut David A.Goslin (1969 : 2 ) sosialisasi adalah proses belajar yang dialami seseorang untuk memperoleh pengetahuan, ketrampilan, nilai-nilai dan norma-norma agar ia dapat berpartisipasi sebagai anggota dalam kelompok masyarakat. Jurnal Komunikasi Massa Vol 3 No 2 Juli 2010 11
Sofiah : Komunikasi Phatic Dalam Keluarga
Rosenberg ( 1979 ) menunjukkan bukti tentang pengaruh sosialisasi terhadap kepribadian seseorang yang diceriterakan melalui kisah “anak liar dari everyron” yang dibesarkan oleh serigala. Dia sama sekali tidak memiliki identitas kemanusiaan sebelum berinteraksi dengan manusia. Setiap individu memperoleh identitas diri dengan memperhatikan dan diperhatikan orang lain. Lebih jauh lagi kita menumbuhkan identitas dan nilai diri dengan membandingkannya dengan orang lain” ( Tubbs & Moss, 2006: 4 ) Berkenaan dengan proses sosialisasi, nampaknya komunikasi phatic cenderung lebih relevan dengan proses sosialisasi yang informal. Bentuk ini memungkinkan untuk mendukung hubungan orang tua – anak yang berpola menerima-menolak yaitu pola yang didasarkan atas taraf kemesraan ( Vembriarto, 1984 dalam Narwoko & Suyanto, 2006: 93 ). Dengan proses sosialisasi yang dilakukan melalui komunikasi phatic maka anak akan lebih bisa menerima daripada menolak. Anak yang dibesarkan dalam pola menolak maka akan bersikap menentang kekuasaan. Penelitian-penelitian menunjukkan bahwa anak-anak nakal kebanyakan berasal dari keluarga yang menganut pola menolak karena mereka selalu curiga terhadap orang lain dan suka menentang kekuasaan. Anak sudah tidak takut lagi akan hukuman karena sudah terlalu banyak mendapatkan hukuman ang dijatuhkan orang tuanya ( Narwoko & Suyanto, 2006: 94 ). Fenomena mengenai fungsi sosialisasi dalam keluarga yang telah dijabarkan di atas nampaknya sangat signifikan dengan penjelasan-penjelasan yang terurai dalam pendekatan interaksionis. Dalam pendekatan interaksionis ada asumsi bahwa seorang bayi tidaklah bersifat sosial tapi bersifat asosial dalam arti anak memperoleh sifat-sifat sosial melalui interaksi dengan orang lain. Sumber utama sosialisasi ini adalah keluarga karena melalui keluarga seorang anak mempelajari norma, nilai - nilai, simbol – simbol dan makna. Individu adalah aktor atau pelaku-pelaku tapi juga reaktor atau bertindak sebagai pemberian respon terhadap orang lain. Melalui proses sosialisasi para individu terbiasa belajar memainkan peran orang lain dan membayangkan bagaimana pengaruh dari interaksi yang dilakukan Jurnal Komunikasi Massa Vol 3 No 2 Juli 2010 12
Sofiah : Komunikasi Phatic Dalam Keluarga
terhadap orang lain dan membayangkan bagaimana penerimaan orang lain itu berkenaan dengan tindakannya. Dalam diri anak berkembang self conciousness ‘kesadaran diri’ yaitu bagaimana dia dilihat melalui mata orang lain’. Inilah yang oleh Cooley disebut sebagai looking glass self . Dengan demikian dapat difahami bahwa pendekatan interaksionis adalah cenderung bisa digunakan untuk kajian terhadap perkembangan pribadi, pembentukan
kebiasaan-kebiasaan,cinta,perkawinan,
dan
status
ibu-bapak
(Ihromi, 1999: 276 -277 ). Metodologi Penelitian Jenis penelitian ini bersifat eksploratif yang mencari peristiwa-peristiwa senyatanya yang terjadi di dunia empirik dengan metode penelitian deskriptif kualitatif. Sasaran penelitian adalah keluarga yang terdiri dari suami, istri dan anak yang tinggal di Kampung Kentingan Baru, Jebres, Surakarta. Dan guna mendapatkan informasi yang detail dan penuh nuansa, peneliti menentukan teknik samplingnya adalah dengan teknik bertujuan purposive sampling yaitu memilih nara sumber yang memiliki karakteristik sebagaimana yang diinginkan dalam penelitian yaitu keluarga inti yang di dalamnya terdapat suami, istri dan anak secara lengkap. Data diambil melalui teknik wawancara, observasi dan dokumen, sementara untuk mendapatkan keakuratan data digunakan valiliditas metode, dan kemudian data dianalisis dengan menggunakan teknik analisa interaktif.
Pembahasan Lokasi penelitian ini adalah di sebuah wilayah perkampungan yang berdiri di atas tanah negara, maka Kampung Kentingan Baru ini bisa dikatakan sebagai salah satu bagian hunian liar yang ada di Surakarta yang secara keseluruhan tercatat sekitar 3.721 hunian liar yang menyebar ke beberapa Kecamatan (www.kotasolo.Info, 15 Mei 2010 ). Kampung ini pada mulanya adalah sebuah wilayah yang berupa hutan dan semak belukar hingga tahun 2000. Melihat kenyataan ini lalu masyarakat Jurnal Komunikasi Massa Vol 3 No 2 Juli 2010 13
Sofiah : Komunikasi Phatic Dalam Keluarga
berinisiatif untuk membuka wilayah ini yang memiliki luas 11.680 m2 untuk dihuni oleh warga yang benar-benar terdesak oleh kebutuhan pemilikan rumah. Memasuki tahun 2001 terbentuklah organisasi kemasyarakatan yang diberi nama BIMA ( Bina Masyarakat ) Kentingan Baru yang menaungi sekitar 291 KK. Masyarakat Kampung Kentingan Baru memiliki mata pencaharian tidak tetap seperti sopir angkutan, buruh kasar, pengumpul barang bekas, berjualan makanan. Dengan sumber penghidupan semacam itu maka hampir sebagian besar memiliki kondisi hidup yang masih berada di bawah layak. Rumah mereka sangat sempit yaitu berkisar antara 40 meter persegi/ KK dengan fasilitas terkesan seadanya dan sederhana. Dan tingkat pendidikan merekapun masih relatif rendah yaitu SD dan SMP bahkan ada yang tidak lulus SD atau SMP.
Fatis Sapaan dalam Hubungan Antara Orang Tua dan Anak : Ungkapan fatis banyak ditemukan dalam bahasa keseharian termasuk di dalamnya adalah berupa pernyataan sapaan yang berkembang di dalam sebuah keluarga. Sapaan khusus bagi seseorang bisa memiliki beberapa makna, antara lain adalah bisa bermakna sebagai identitas diri, namun sapaan khusus secara psikologis juga dapat berdampak pada perasaan pengakuan, penghargaan dan keintiman Bagaimana fatis sapaan yang digunakan oleh para orang tua di Kampung Kentingan Baru kepada anak-anaknya ? Dari hasil wawancara dan observasi terhadap beberapa sumber menunjukkan bahwa sapaan atau sebutan khusus yang diberikan dari para orang tua kepada anak adalah masih sangat kental dengan pengaruh kulturalnya yaitu “ Jawa“
seperti misal sebutan dengan
penggunaan kata “ Nduk” atau “Genduk” untuk sebutan bagi anak perempuannya, dan “Le” atau “Tole” panggilan bagi anak laki-lakinya . Panggilan “Tole” dan “Genduk” bagi sang anak nampaknya tidak menjadi masalah meskipun mereka hidup di tengah perkotaan yang relatif lebih dekat dengan kemodernan. Sebutan semacam itu justru dirasa menyentuh di hati karena dianggapnya memiliki kekuatan sebagai perekat hubungan, dan pengakuan diri sebagai anak oleh kedua orang tuanya. Jurnal Komunikasi Massa Vol 3 No 2 Juli 2010 14
Sofiah : Komunikasi Phatic Dalam Keluarga
Kendati demikian,
muncul juga
sapaan atau
sebutan dengan
menggunakan sebutan nama anak seperti misal “ Wulan”, “ Rendy”, “Nur” dan lain sebagainya. Fatis inipun juga tidak mengurangi rasa keintiman diantara anak dan orang tua. Hanya saja identitas diri bisa dimengerti lebih jelas sehingga bisa digunakan untuk pembeda antara anak satu dengan lainnya. Kemudian dalam hal panggilan atau sebutan khusus bagi kedua orang tua dari anak-anak, sebutan yang sering digunakan oleh anak-anak untuk menyebut kedua orang tua adalah “ Pak” atau “Bapak” dan “Buk” atau “Ibu”, bahkan ada pula yang menyebut dengan panggilan “Mak”. Fatis “ Pak” atau “Bapak” adalah digunakan untuk menyebut orang tua laki, sementara “Buk” atau “Ibu” adalah digunakan untuk panggilan khusus orang tua perempuan. Fatis “Bapak” dan “Ibu” adalah fatis yang sudah sangat lazim digunakan untuk panggilan kepada orang tua laki dan perempuan oleh para anak-anak secara nasional, terkecuali adalah fatis “Mak” atau “Emak” . Fatis ini adalah lebih menunjuk pada sebutan yang memiliki warna kedaerahan seperti misal sebutan orang tua perempuan di “ Jawa”, di “Sumatra”, di “Kalimantan” dll. Dengan fatis ritual symbolic yaitu saling memanggil dengan sebutan khusus, mereka dapat mengelola dan mempertahankan hubungan interpersonal dengan anggota keluarganya.
Fatis Sapaan dalam Hubungan antara Suami – Isteri. Penggunaan sebutan “ Mas” yang sebenarnya berarti sebutan untuk lakilaki yang lebih tua cenderung lebih banyak digunakan untuk menyebut suami oleh para isteri di Kampung Kentingan Baru. Bagi seorang suami saat mendengar sang isteri memanggil dengan sebutan “Mas” tentunya akan dapat menimbulkan perasaan tersendiri bagi dirinya karena fatis itu akan ditafsir sebagai sebuah penghargaan dan penghormatan seorang isteri kepada suaminya. Suami adalah kepala keluarga maka wajar apabila suami mendapat kedudukan tertinggi dalam keluarga. Oleh karena suami mendapat peringkat lebih tinggi maka wajar apabila kemudian sang suami menggunakan fatis “Dik” atau “Adik” untuk sebutan khusus isteri. Fatis tersebut bagi isteri dapat menimbulkan kesan keramahan, kasih Jurnal Komunikasi Massa Vol 3 No 2 Juli 2010 15
Sofiah : Komunikasi Phatic Dalam Keluarga
sayang, dan penghargaan, sehingga secara tidak langsung akan timbul perasaan saling menghormati, saling menyayangi dan saling mencintai yang dapat menyemai keharmonisan keluarga. Selain itu ada pula beberapa nara sumber yang menggunakan sebutan “ Buk” untuk panggilan isteri dari suami dan sebutan “ Pak ” sebagai panggilan khusus bagi suami dari seorang isteri. Fatis semacam ini digunakan oleh nara sumber sebagai pernyataan diri mereka yang tidak semata berstatus sebagai suami isteri akan tetapi juga sudah berstatus sebagai seorang ayah atau ibu bagi anakanak mereka.
Fatis Kedekatan Emosi atau Perhatian Komunikasi phatic bisa membantu keluarga dalam membangun kedekatan emosi atau memberikan perhatian apabila digunakan secara positif. Melalui bahasa ujar dengan dialek Jawa, mereka saling menyapa dan memperhatikan sekalipun bahwa para suami di Kampung Kentingan Baru pulang ke rumah sering pada larut malam dikarenakan pekerjaan yang harus dijalaninya, seperti sopir angkut, sopir bis, buruh pabrik, buruh bangunan dll.sehingga waktu berinteraksi dengan istri dan anak menjadi sangat terbatas. Kendati demikian mereka bisa mengatasi hambatan komunikasi mereka dengan memanfaatkan teknologi seluler. Fatis yang diungkapkan adalah seperti misal : “Dik anak-anak piye?” (“Dik, bagaimana anak - anak ?) “ Masak opo dik ?”. (“ Masak apa dik ?”) “ Bocah-bocah sehat?” (“ Anak-anak sehat ?”). “ Lagi opo saiki ?” (“ Sedang apa sekarang?”) Sang istripun seringkali menggunakan fatis untuk bisa berinteraksi dengan suami dengan ungkapan-ungkapan sebagai berikut : “ Wis tekan ngendi mas ? “ ( “Sudah sampai mana, mas?” ) “ Wis dahar opo durung mas?” (“ Sudah makan apa belum mas?”) Jurnal Komunikasi Massa Vol 3 No 2 Juli 2010 16
Sofiah : Komunikasi Phatic Dalam Keluarga
“ Ati-ati yo mas !” (“ Hati – hati ya mas ?” } “ Kundur jam piro?”. ( “Pulang jam berapa?”) Wujud perhatian dan kasih sayang isteri terhadap suami ketika mereka sedang berkumpul di rumah tidak jarang dijumpai ungkapan fatis berupa senyuman, dan duduk berdampingan. Fatis non verbal semacam inipun adalah sangat penting untuk menyemai cinta dan kasih sayang suami. Hal ini selaras dengan pernyataan Abdullah Hassan & Ainon Mohd melalui artikelnya berjudul “Komunikasi intim: Pabduan Menjalin Persahabatan, Kekeluargaan dan Kasih Sayang yang Memuaskan dan Berkekalan yang berbunyi : “ A good way to win a husband’s heart is to message him with the fingers (Hassan & Ainon Mohd, 2002: 3 ) Adapun ungkapan anaknya
fatis yang digunakan oleh orang tua untuk anak-
dalam rangka memberi perhatian dan kedekatan emosi dengan
menggunakan bahasa ujaran adalah seperti yang tertera di bawah ini :
.
“Nduk lagi opo ?”, “Lagi sinau buk?”. (“ Nduk sedang apa?”. “ Sedang belajar buk?”) “ Mau diwulang opo karo pak guru ning sekolah?” ( “Tadi diberi pelajaran apa sama pak guru di sekolah”?) “Ma’em disik, mengko masuk angin ?” ( “Makan dulu nanti sakit masuk angin ?”) “ Le… Nduk… kok durung ning TPA ( Taman Pendidikan Alqur’an) ?” (“ Le….Nduk… kok belum ke TPA ?”) “ Ojo cedak-cedak nonton tivine mengko mripate lara ? “ ( Jangan dekat-dekat menonton televisinya nanti matanya sakit?”) Perhatian orang tua juga kadang disampaikan melalui bahasa non verbal
seperti sentuhan, senyuman, belaian, dekapan, ciuman dan lain sebagainya sebagai wujud kasih sayang orang tua terhadap anak dan sebaliknya. Jenis pesan-pesan semacam ini adalah
sangat penting dalam mengkomunikasikan rangsangan
emosional, ketenangan, dan formalitas sebagaimana keintiman dan kesenangan (Littlejohn, 2001: ibid ) Dari fatis – fatis yang mewarnai interaksi dalam keluarga mereka dapat diketahui bahwa ritual intimacy terjadi pada keluarga para narasumber yang Jurnal Komunikasi Massa Vol 3 No 2 Juli 2010 17
Sofiah : Komunikasi Phatic Dalam Keluarga
sangat memiliki makna yang berharga bagi keharmonian dan kebahagiaan keluarga karena melalui pernyataan, sikap dan perilakunya akan dapat membuat anggota keluarga merasa nyaman, kehangatan, dan pengakuan, dan terjalinnya ikatan sosial sehingga fatis-fatis ini bisa dijadikan unit dasar tindakan sosial dalam kerangka membangun keseimbangan kesehatan intelektual dan emosional, seperti yang dikemukakan oleh teori hubungan sosial yang dikembangkan oleh Erick Berne dengan nama Transactional Analysis. Teori ini mengungkapkan bahwa If you are not stroked, your spiral cord will shrivel up. Dengan demikian hasil penelitian ini yang menunjukkan bahwa tingkat keharmonisan dan kebahagiaan yang tercermin pada keluarga di Kampung Kentingan Baru adalah berkorelasi terbalik dengan tingkat status sosial ekonomi mereka yang relatif rendah. Ini berarti menampik temuan penelitian Easterlin (1973) dan Camerson (1974) yang menyatakan bahwa : “Kebahagiaan tidak dipengaruhi oleh ada atau tidak adanya cacat tubuh. Tidak pula dipengaruhi oleh faktor usia. Dari semua faktor yang diteliti kelas sosialah yang tampaknya memiliki kaitan paling erat. Orang-orang kaya umumnya lebih mampu untuk memenuhi kebutuhan mereka, sehingga lebih memungkinkan untuk merasa bahagia daripada orangorang yang kurang berada “ (Narwoko & Suyanto, 2006: 186 ) Fatis Sosialisasi Nilai Keluarga sebagai unit terkecil mengemban tugas berat mendidik anggota keluarganya melalui sosialisasi. Dipundak keluargalah seseorang memperoleh pengetahuan, ketrampilan, nilai-nilai dan norma-norma. Dalam penelitian ini, beberapa informan menunjukkan masih rendahnya pemahaman nara sumber dalam menggunakan fatis sebagai sarana pelaksanaan fungsi sosialisasi norma atau nilai – nilai sosial atau agama dalam keluarga. Sebagian besar masih mengandalkan bahwa tugas penyampaian sosialisasi adalah tugas para guru – guru di sekolah atau lembagai-lembaga pendidikan non formal. Jarang sekali orang tua membiasakan putra-putrinya untuk bersalaman dengan orang tua sebagai lambang kesantunan dalam menerima kehadiran orang lain, lalu membongkokkan badan ketika melewati orang lain sebagai lambang kesantunan dalam menghormati keberadaan orang lain; ucapan-ucapan salam ketika berjumpa Jurnal Komunikasi Massa Vol 3 No 2 Juli 2010 18
Sofiah : Komunikasi Phatic Dalam Keluarga
dengan orang lain; ucapan terimakasih ketika menerima sesuatu atau mengembalikan sesuatu pada orang lain. Melalui komunikasi phatic sebenarnya adalah memungkinkan untuk membantu menegakkan fungsi sosialisasi dalam keluarga dengan cara-cara yang informal. Keluarga adalah institusi yang terkuat yang dimiliki masyarakat untuk menjalankan tugas-tugas sosialisasi.
Berkat keluargalah kita memperoleh
“kemanusiaan kita”, seperti halnya yang dikatakan John Lock ( 1985 ) dengan pernyataan sebagai berikut : “Bahwa posisi pertama di dalam mendidik seorang individu adalah ibarat sebuah kertas yang bentuk dan coraknya bergantung kepada keluarga bagaimana mengisi kertas kosong tersebut sejak bayi “ ( Irwanto, dkk, 1996: 38 ) Kesimpulan Fatis – fatis ujaran yang digunakan dalam berinteraksi dengan anggota keluarga sangat dipengaruhi oleh asal-usul tempat kelahiran mereka yang sebagian besar berasal dari Jawa ( Jawa Tengah ) sehingga mereka sebagian besar menggunakan bahasa “Jawa Ngoko” dalam bentuk ritual simbolik dan ritual intimasi. Fatis
ritual
intimasi
khususnya
juga
sering
digunakan
dengan
menggunakan bahasa non verbal seperti senyuman, ciuman, belaian, dan dekapan sebagai sinyal kasih sayang, kehangatan, dan pengakuan yang sangat bermakna dalam mempertahankan hubungan interpersonal dengan anggota keluarga sehingga meningkatkan fungsi afeksi yang berdampak pada peningkatan keharmonisan, keintiman dan kehangatan hubungan dalam keluarga. Pada fungsi sosialisasi, nampaknya keluarga di Kampung Kentingan Baru belum memahami perlunya penggunaan komunikasi phatic untuk kepentingan penanaman norma dan nilai – nilai keluarga yang sangat besar pengaruhnya terhadap pengembangan self conciousness ‘kesadaran diri’ yaitu bagaimana dia dilihat melalui mata orang lain. Mereka masih mengandalkan kepentingan itu pada lembaga-lembaga pendidikan formal dan informal .
Jurnal Komunikasi Massa Vol 3 No 2 Juli 2010 19
Sofiah : Komunikasi Phatic Dalam Keluarga
Daftar Pustaka Hasan, Abdullah dan Mohd, Ainon. (2002). Komunikasi Intim: Panduan Menjalin Hubungan Persahabatan, Kekeluargaan dan Kasih Sayang yang Memuaskan dan Berkekalan. Bentong, Malaysia: PTS Publications. Ihromi, T.O. (1999). Bunga Rampai Sosiologi Keluarga. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Littlejohn, Stephen W. (2001). Theories of Human Communication. United State: Wadsworth Group. Mulyana, Deddy. (2006). Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Narwoko, J. Dwi dan Suyanto, Bagong. (2006). Sosiologi. Jakarta: Kencana Pearsons, Yudy C. dan Nelson, Paul E. (2000). An introduction to Human Communication Understanding and Sharing, Eighth Edition, USA: Mc.Graw Hill Companies, Inc. Sandjaja, Sasa Djuarsa. (1993). Pengantar Komunikasi. Jakarta: Universitas Terbuka. Tubbs, Stewart L dan Moss, Sylvia. (2006). Human Communication, PrinsipPrinsip Dasar. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Schramm, Wilbur dan Laurence, Kincaid. (1978). Azas-azas Komunikasi Antar Manusia. Jakarta: LP3ES.
Sumber Lain : Media Islam, Edisi 10, 2007. Jakarta. Suara Surabaya Net, 21 September 2007. Surabaya. www.kotasolo.info. 15 Mei 2010. F. Casalegno and I.M.Mc. William. Communication Dynamics In Technological Mediated Learning Environment. International Journal of Instructional Technology and Distance. November 2004. earning.http://grammar.about.com/od/pq/g/phaticterm,htm.
Jurnal Komunikasi Massa Vol 3 No 2 Juli 2010 20
Sofiah : Komunikasi Phatic Dalam Keluarga
Jurnal Komunikasi Massa Vol 3 No 2 Juli 2010 21