79
7 FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KOMUNIKASI PARTISIPATIF PEREMPUAN KEPALA KELUARGA Penerapan komunikasi partisipatif melalui model dialogis menuntut adanya pengetahuan tentang heteroglassia sosial dalam sistem pembangunan. Pengetahuan tentang informasi detail dan signifikan tentang kelompok sosial dan masyarakat serta hubungan struktural yang mencakup aspek; ekonomi, sosial dan aktivitas budaya serta event-event yang merupakan pola kehidupan mereka yang normal; agen dan lembaga, melalui mana mereka dapat mewakilkan sudut pandang dan nilai-nilai. Terutama informasi pada kelompok masyarakat yang sampai saat ini masih dalam kondisi marjinal, ketidakberuntungan, terabaikan atau tertindas di bawah hegemoni sosial (Rahim dalam White 2004). Penerapan komunikasi partisipatif dalam pengambilan keputusan dan pertukaran informasi dengan penekanan pada dialog dalam program pembangunan dipengaruhi oleh berbagai faktor baik internal maupun eksternal. Faktor internal yaitu karakteristik masyarakat sebagai sistem sosial dan heteroglossia sosial dalam usia, pendidikan, status perkawinan, jumlah tanggungan, jenis pekerjaan, motivasi dan faktor lainnya (Mefalopulos 2003). Sedangkan faktor eksternal yang berpengaruh dalam penerapan komunikasi partisipatif melalui dialog adalah peran pendamping sebagai agen eksternal (Ife 1995), dan dukungan kelembagaan (White 2004). Pada bagian ini akan dibahas bagaimana faktor individu, peran pendamping dan komponen sosial budaya mempengaruhi komunikasi partisipatif dalam program PEKKA. Faktor individu terdiri dari umur, pendidikan, alokasi waktu dalam program (yang dipengaruhi oleh sebab menjadi perempuan kepala keluarga, jumlah tanggungan keluarga dan pekerjaan), dan motivasi. Sedangkan komponen sosial budaya meliputi peran kelembagaan kemasyarakatan/norma dan bahasa.
7.1 Faktor Individu 1. Umur Umur mempengaruhi komunikasi partisipatif perempuan kepala keluarga dalam menjalankan program PEKKA. Perempuan kepala keluarga yang berusia lanjut cenderung menerapkan bentuk komunikasi monolog dibandingkan yang berusia muda. Mereka jarang menyampaikan saran, pendapat ataupun pertanyaan dalam pertemuan. Meskipun mereka hadir, namun mereka lebih sering diam dan mendengarkan, sehingga mereka hanya mengikuti saja apa yang diputuskan bersama. Anggota muda juga diberikan kepercayaan oleh anggota lain untuk menjadi pengurus. 2. Pendidikan Sebagian anggota kelompok Jeumpa memiliki tingkat pendidikan rendah (tidak bersekolah atau tidak tamat sekolah dasar) sehingga menyebabkan mereka buta huruf. Sementara sisanya tamatan SLTP dan SMA, dan hanya satu orang lulusan
80
perguruan tinggi. Mereka yang berpendidikan rendah tidak berani menyampaikan pendapatnya pada awal pengenalan program karena mereka menganggap dirinya tidak memiliki kecakapan dalam berbicara. Sehingga pada pertemuan sosialisasi hanya Ibu NT (lulusan PT) dan Am (SMA) yang berani bertanya, sehingga mereka kemudian dipercayakan untuk menjadi pengurus. 3. Alokasi Waktu Akses dan bentuk komunikasi perempuan kepala keluarga dalam program pemberdayaan juga dipengaruhi oleh waktu luang (alokasi waktu) yang mereka miliki. Alokasi waktu perempuan kepala keluarga dalam program pemberdayaan ini berbeda-beda. Alokasi waktu mereka dalam program dipengaruhi oleh faktor sebab menjadi kepala keluarga, jumlah tanggungan keluarga dan pekerjaan mereka. a) Status Perkawinan Sebab menjadi perempuan kepala keluarga dikarenakan beberapa faktor yaitu: (1) karena ditinggalkan atau dicerai hidup oleh suaminya, (2) suaminya meninggal dunia, (3) tidak menikah/membujang tetapi memiliki tanggungan, (4) memiliki suami tetapi suaminya tidak dapat mencari nafkah karena sakit dan (5) bersuami tetapi tidak mendapat nafkah lahir bathin lebih dari setahun (berpergian). Perempuan yang memiliki suami sakit-sakitan mengaku sering tidak dapat menghadiri pertemuan rutin kelompok karena tidak mendapat izin dari suami. Sementara itu, anggota yang tidak menikah/membujang dianggap memiliki banyak waktu untuk terlibat banyak dalam kegiatan kelompok, karenanya mereka juga dijadikan sebagai pengurus. b) Jumlah Tanggungan Keluarga Jumlah tanggungan keluarga juga mempengaruhi komunikasi partisipatif perempuan kepala keluarga. Perempuan kepala keluarga yang memiliki jumlah tanggungan lebih dari lima orang (Ibu Hmm) mengaku sulit membagi waktu antara bekerja, mengurus anak dan mengahadiri pertemuan sehingga ia sering tidak menghadiri pertemuan anggota. Karenanya ia selalu menanyakan informasi-informasi dalam pertemuan kepada anggota lain agar tidak ketinggalan informasi. c) Pekerjaan Jenis pekerjaan perempuan kepala keluarga juga mempengaruhi komunikasi partisipatif, perempuan yang memiliki pekerjaan berdagang kue ke pasar kecamatan seperti Ibu NC mengaku sering terlambat menghadiri pertemuan karena jaraknya yang jauh. Meskipun demikian mereka selalu berusaha untuk pulang lebih cepat. Anggota yang berkerja sebagai petani lebih mudah membagi waktu karena letak sawah di desa sendiri. 4. Motivasi Motivasi perempuan kepala keluarga untuk berperan aktif dalam program berbeda-beda. Perempuan kepala keluarga yang lanjut usia mengaku mengikuti program hanya untuk mengisi waktu luang, berkumpul bersama dan memperoleh informasi serta pengetahuan. Sedangkan anggota lainnya mengikuti program dan
81
berusaha selalu dapat mengakses semua kegiatan serta berperan aktif karena ingin meningkatkan kesejahteraan keluarga dan memperoleh pengetahuan, informasi yang dapat merubah kondisinya dalam masyarakat. Motivasi para anggota kelompok semakin bertambah dengan adanya bantuan dana modal usaha untuk perorangan dengan membuat proposal dan memenuhi syarat-syarat tertentu. Dengan dana tersebut, mereka dapat mengembangkan usahanya untuk meningkatkan pendapatan keluarga. Selain itu, pemberdayaan ekonomi melalui simpan pinjam juga sangat membantu mereka terutama pada saat membutuhkan uang mendadak (tak terduga). Dampaknya sudah dapat dirasakan langsung oleh anggota, misalnya dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari keluarga, dapat menyekolahkan anak-anaknya dan lain sebagainya. Dengan adanya perubahan dalam bidang ekonomi, mereka berharap kehidupan bermasayarakat di desa ini juga dapat berubah terutama dalam perubahan status sosial. Meskipun mereka kepala keluarga perempuan tetapi mereka dapat hidup dan memiliki akses yang sama dengan masyarakat lainnya. Hal ini seperti dikutip dari wawancara dengan Ibu NC: “Motivasi saya yang pertama ya untuk bisa lebih pintar, lebih maju lah kayak orang-orang lain di kampung ini. Kan ada kegiatan simpan pinjam jadi saya pikir saya dan anggota lain ada tempat untuk pinjam duit kalau adabutuh dana mendadak, daripada dulu kita minjam ke tetangga, saudara belum tentu dikasih, kalau ini insyaallah lah. Apalagi setelah dikasi dana batuan untukmodal usaha saya jadi lebih bersemangat karena dengan modal tersebut saya bisa mengembangkan usaha dagang kue saya. Saya bisa buat kue lebih banyak lagi dan insyallah pendapatan akan bertambah untuk keluarga buat sekolah anak dan lain-lain lah. Dan kalau kita dah punya uang pasti kita dah lebih dianggap dikampung ini, kalau gak punya duit ya kita kan dianggap rendahan, hehhehee...(NC)”
7.2 Peran Pendamping Kegiatan pemberdayaan salah satunya bermaksud menghilangkan dominasi dan kekuasaan pihak luar terhadap kelompok marjinal. Karenanya, peran agen perubah dan tenaga pendamping dalam memfasilitasi masyarakat memiliki peranan penting berupa: (1) keterampilan untuk membantu masyarakat menyelidiki dan mengidentifikasi permasalahan mereka; (2) kebutuhan dan prioritas serta keahlian untuk membantu masyarakat memformulasi dan menseleksi strategi yang sesuai. Oleh karena itu, kerampilan komunikasi agen/fasilitator sangat menentukan keefektifan aktivitas, terutama dalam menghadapi keragaman dan keunikan budaya (nilai, sikap, kepercayaan dan lain sebagainya) untuk memberi penguatan dalam membangun kepercayaan diri, kompetensi, dan ketrampilan berkomunikasi untuk fungsi-fungsi dalam masyarakat mereka. PL merupakan salah satu faktor pendukung dalam keberhasilan suatu program pemberdayaan. Bentuk pendampingan dapat dikembangkan secara kreatif, terlebih
82
disaat teknologi komunikasi yang semakin mudah diakses oleh setiap orang, misalnya saja saat ini hampir semua orang sudah memiliki telepon genggam. Pendampingan yang diperoleh dari kegiatan pemberdayaan perempuan kepala keluarga memperlihatkan kinerja yang bagus, melahirkan banyak ide kreatif dengan pemanfaatan potensi lokal. Kegiatan pendampingan yang dilakukan PL biasanya melalui kunjungan langsung kepada para anggota secara individual. Dalam aktivitas ini PL mengajak para anggota untuk mau terbuka dan berani menyampaikan persoalan-persoalan yang dihadapinya maupun persoalan dalam kelompok. Dengan demikian kelompok dapat difungsikan sebagai wadah untuk membangun kepedulian dan rasa empati terhadap persoalan-persoalan orang lain khususnya sesama anggota kelompok. Selain kunjungan individual, PL juga mengadakan pendampingan ke pengurus kelompok, menfasilitasi dan menumbuhkan kepercayaan diri pengurus dalam mengelola kelompok,dan mendampingi pengurus dalam melakukan administrasi dan pembukuan kelompok. Hal ini juga terjadi dari arah anggota kelompok, artinya jika merasa perlu atau ada masalah yang ingin didiskusikan mereka dapat menghubungi PL setiap saat untuk berdiskusi. Melalui pendekatan ini, secara perlahan dan pasti telah terbangun kepercayaan antara PL dengan dampingannya. PL sudah dianggap menjadi bagian dari kehidupan para anggota PEKKA. Ini sangat penting dan menjadi salah satu faktor penentu keberhasilan proses pemberdayaan perempuan. Seperti pendapat Ife (1995) yang menyatakatan bahwa keberhasilan komunikasi partisipatif dalam pembaharuan budaya melalui proses dialogis sangat tergantung pada peran fasilitator sebagai inisiator dan perencana. Karenanya fasilitator harus memiliki sensitifitas dan kesadaran dampak pembangunan ekonomi terhadap kultur masyarakat. Kompetensi yang perlu dimiliki fasilitator adalah pengetahuan tentang konsep-konsep manajemen, cara mengatasi masalah, dapat bertindak sebagai pengarah orchestra dinamika kelompok, sebagai komunikator yang mengetahui akses informasi (klarifikasi, sintesis, keterhubungan (link) dengan warga, mengembangkan diskusi dan memfasilitasi partisipasi. Dalam program PEKKA ini terdapat satu orang PL yang bertugas mendampingi anggota selama pelaksanaan program. Pada tahap awal pengenalan program, PL dijabat oleh warga desa setempat dan berjenis kelamin laki-laki, namun tidak menjadi penghalang dalam melakukan komunikasi dengan para perempuan kepala keluarga karena mereka sudah saling kenal, mengetahui karakteristik perempuan kepala keluarga serta budaya yang berlaku dalam masyarakat setempat. Saat ini, PL telah diganti, bukan lagi warga setempat dan berjenis kelamin perempuan. Berikut kutipan dari Ibu AA: “Kami emang sudah ganti PL, dulu pertama kali PL nya Bapak MD warga desa ini. Kami senang karena udah kenalkan dan kami tidak malu kalau berdiskusi atau tanya sesuatu. Sekarang diganti PL perempuann (Ibu FJ) tapi bukan dari desa ini, kami tetap bisa berkomunikasi dengan baik karena sama-sama perempuan jadi lebih enak kalau kita tanya-tanya. (AA)”
83
Berikut adalah peran pendamping dalam berbagai kegiatan-kegiatan PEKKA: 1) Pemberdayaan Ekonomi Program pemberdayaan ekonomi yang dilakukan pada kelompok PEKKA dimulai dengan pendekatan swadaya. Awal mulanya, kegiatan ini sulit dilakukan karena masyarakat sudah terbiasa mendengar pendekatan proyek (mendapat bantuan uang/barang). Karenanya, mereka juga meminta program ini melakukan hal yang sama yaitu memberikan uang atau bantuan langsung. Pada saat program BLM ada, pendekatannya tetap bertumpu pada penguatan mereka sendiri. BLM hanya merupakan stimulan untuk mereka lebih berkembang. Adalah fungsi PL untuk secara terus-menerus memotivasi mereka untuk mengakumulasi dana swadaya melalui kegiatan simpan pinjam. Proses pendampingan biasanya dilakukan pada saat pertemuan rutin. Pendampingan dilakukan secara intensif melalui konsultasi dan dialog secara interpersonal, kelompok hingga penguatan kapasitas manajemen kelompok termasuk administrasi dan pembukuan. Selain itu, PL juga selalu mendampingi anggota dan pengurus dalam memecahkan masalah yang dihadapi dirinya dan kelompok, seperti angsuran macet, pengajuan pinjaman, mengidentifikasi usaha yang layak, dan lain sebagainya. Anggota diberikan dan dibekali dengan kartu anggota yang memuat informasi data pribadi dan kegiatan simpan pinjam. Dalam proses pembuatan proposal, PL juga mengajarkan dan mendampingi anggota kelompok tata cara pengisian formulir permohonan. Kehadiran PL juga sangat membantu para anggota dalam menentukan jenis usaha yang sesuai dengan kompetensi dirinya. Selain bertemu dalam pertemuan rutin, anggota juga bebas berkonsultsi dengan PL kapan dan dimana saja. Berikut wawancara dengan FJ: “Saya selalu berusaha untuk memotivasi dan membantu mereka kapan aja mereka meminta bantuan kepada saya. Kayak dulu waktu buat proposal untuk dapat dana bantuan usaha. Banyak yang bertanya ke saya mengenai jenis usaha yyang cocok untuk mereka dan gimana cara buat proposal. Saya bantu saya bilang ibu sebaiknya jalankan usaha sesuai dengan keahlian dan kemampuan ibu. Misalnya yakin dengan usaha sekarang silakan, itu lebih baik buat mereka karena takutnya kalau buka usaha baru tapi gak ada pengalaman ntar bisa rugi kan kasian. Saya hanya beri pandangan, semua juga kembali ke mereka masing-masing. Tapi banyak yang mengikuti saran saya. (FJ)” Hal senada juga diungkapkan Ibu AA: “Pada saat buat proposal dulu, PL sangat membantu kami. Kami bisa belajar cara buat proposal, bisa tanya-tanya tentang usaha yang cocok dengan kami. Kayak saya karena saya punya usaha tani, jadi saya dianjurkan dana tersebut digunakan untuk bertani saja karena udah ada pengalaman, karena kalau digunakan untuk usaha baru takutnya tidak berhasil apalagi saya gak punya pengalaman tuk usaha lain. Jadi,
84
karena saya buta huruf, saya minta tolong pada PL buat proposal saya tapi sesuai dengan keinginan saya sendiri” (AA). Pun demikian dengan Ibu NC: “Waktu mau cairkan uang bantuan dulu, PL sangat menolong saya terutama dalam menentukan jenis usaha dan cara buat proposal. Saya dianjurkan membuat proposal untuk usaha yang sedang saya jalani waktu itu yaitu jualan kue kayak sekarang tapi dulu masih kecil-kecilan. Ya saya turuti karena saya takut kalau usaha lain gak berhasil. Dan Alhamdulillah usaha saya sekarang dah bisa berkembang. (NC)” Setelah proposal jadi, kemudian dikumpulkan oleh PL untuk diserahkan kepada Seknas PEKKA. Pada saat pencairan dana, PL juga mendampingi bendahara kelompok ke Bank untuk membuka rekening tabungan yang digunakan untuk pencairan dana bantuan kepada kelompok. PL juga melakukan pendampingan usaha, mengingat sebagian anggota memiliki dan melanjutkan usaha sebelumnya. Bimbingan yang diberikan antara lain memberikan informasi yang diperlukan oleh anggota misalnya tentang cara menghitung biaya produksi, keuntungan, penentuan harga jual, cara memasarkan atau mencari informasi kepada pihak lain yang terkait. Berikut penuturan Ibu Hmm: “PL berperan dan selalu mengingatkan kami untuk selalu hati-hati dalam menjalankan usaha jangan sampai rugi. Dia selalu menginformasikan harga padi kalau lagi musim panen, harga pupuk, jangan sampai kami jual murah. (Hmm)” Pendampingan juga dilakukan dengan memantau perkembangan usaha simpan pinjam dan penyetoran dana bantuan usaha pada bendahara. PL akan menegur dan memperingati anggota yang mengalami penunggakan. Dalam hal ini PL berperan sebagai mediator antara anggota dengan bendahara kelompok. Seperti cerita FJ berikut ini tentang penunggakan salah satu anggota yang berselisih faham dengan bendahara kelompok: “Saya juga berusaha netral dan berusaha memfasilitasi jika ada masalah antara anggota kelompok. Misalnya dulu pernah terjadi salah paham antara salah satu anggota kelompok dengan bendahara kelompok yaitu masalah penyetoran dana pinjaman usaha. Di mana anggota ini sudah beberapa bulan tidak menyicil setoran dana pinjaman ke bendahara, kemudian bendahara mendatanginya dan bertanya kenapa tidak menyetor dan kapan akan menyetor. Mungkin karena sedang emosi atau ada masalah pribadi sehingga si anggota ini marah-marah kepada bendahara dan berkata bukan urusan bendara dia mau balikin uang pinjaman atau gak, saya lagi gak punya uang. Jadi bendahara melaporkan kepada saya tentang masalah itu.
85
Kemudian beberapa hari kemudian saya datangi anggota tersebut, saya tanya baik-baik kenapa dia berkata begitu kepada bendahra, dan setelah bercerita banyak ternyata ketika itu dia lagi ada masalah keuangan dan usahataninya gagal sehingga untuk kwbutuhan seharihari aja susah. Dan saya mencoba menasehati dia dan mau meminta maaf kepada bendahara. Saya bertanya kapan dia akan menyetor lagi, dia bilang nanti kalau panen kedepan. Saya bilang boleh tapi tolong jelaskan baik-baik ke bendahara. Beberapa hari kemudian saya peroleh informasi dari bendahara bahwa anggota tersebut telah minta maaf padanya dan berjanji akan menyicil setorannya lagi. Alhamdulillah lah. (FJ)” Selain itu peran PL juga dapat dilihat pada saat terjadi perubahan sistem simpan pinjam. Dimana model simpan pinjam LKM dengan keanggotaan kelompok menjadi model simpan pinjam LKM Berbasis Komunitas (LKM Siskom) dengan keanggotaan individu anggota kelompok. Kelompok berubah menjadi unit dari LKM Siskom yang berbadan hukum koperasi. Model ini membawa konsekuensi terhadap pembenahan terhadap seluruh administrasi pembukuan yang ada dari tingkat kelompok hingga LKM. Peran PL disini adalah memberi informasi dan menjelaskan kepada anggota kelompok tentang mekanisme perubahan tersebut dan para anggota tidak mengalami kerugian atau dana simpanan dulu hilang. PL juga memfasilitasi serta mengajarkan bendahara dalam membuat pembukuan baru. 2) Pendidikan Peningakatan kapasitas anggota kelompok PEKKA telah dilakukan melalui berbagai kegiatan pelatihan dan pendampingan. Fokus pelatihan adalah peningkatan kesadaran dan wawasan, motivasi dan keyakinan diri, ketrampilan teknis, manajerial dan kapasitas lainnya. Peran PLdi bidang pendidikan bukan menguatkan struktur pengawasan dan dominasi dari agenda pemerintah, badan pembiayaan atau asosiasi professional melainkan memberi pemahaman, menfasilitasi dan transfer pengetahuan dengan menggunakan bahasa rakyat yang jelas untuk dipahami, mendengar dan menanggapai pertanyaan yang diajukan dan merasakannya. Jadi, PL adalah untuk menerbitkan kesadaran, menginformasikan, menghadapkan (mengkonfrontasi) dan memberikan pelatihan kepada partisipan. Menurut PL ibu FJ, proses penguatan kapasitas dimulai dengan memunculkan kesadaran, membangun visi dan misi mereka. Aktivitas ini dilakukan melalui training lokakarya di Center PEKKA. Berikutnya, PL juga memfasilitasi berbagai kegiatan pelatihan di meunasah terutama untuk memotivasi anggota untuk memahami filosofi kerjasama dalam kelompok, cara berkomunikasi dan memahami tugas, peran dan tanggung jawab masing-masing komponen dalam kelompok yaitu anggota dan pengurus. PL juga berperan dalam memfasilitasi pelatihan kepemimpinan manajemen, administrasi dan pembukuan kelompok yang diberikan kepada para pengurus kelompok yang dilakukan di Center PEKKA bersamaan dengan pengurus kelompok lain dalam satu kecamatan. Pelatihan ini bertujuan agar pengurus mampu mengelola
86
dan memimpin kelompok secara baik dan benar. Materi yang diajarkan antara lain adalah: (1) membangun kesadaran potensi diri sebagai pemimpin serta membangun kapasitas sebagai pemimpin kelompok; (2) mengenal tugas, peran, hak dan kewajiban pengurus dan anggota kelompok; (3) mengembangkan kesepakatan peraturan dan mekanisme kelompok yang tertuang dalam AD/ART; (4) membuat perencanaan kelompok dan (5) berlatih mengelola administrasi kelompok, pembukuan simpan pinjam kelompok, membuat kas, dan neraca kelompok serta cara perhitungan SHU. Berikut kutipan wawancara dengan bendahara: “Ya banyak pelatihan, apalagi pada awal-awal mulai program. Pelatihan untuk semua anggota kelompok. Pelatihan untuk pengurus saja. Saya pernah ikut pelatihan untuk pengurus aja di Center PEKKA, yang ikut hanya kami bertiga saja, ketua, sekretaris dan saya bendahara. Yang diajarkan mengenai cara kelola kelompok, pembukuan dan lain-lain. (NT)” Selain itu, PL juga berperan dalam kegiatan pelatihan kepada guru dan tutor untuk PAUD di desa ini. Pelatihan tutor dilakukan di Center PEKKA bersamaan dengan tutor-tutor lain dari PAUD dampingan PEKKA dari desa lain. Metode yang digunakan dalam pelatihan adalah ceramah, presentasi, permainan, diskusi, tanya jawab, tugas kelompok dan individu serta praktik. Penyampaian materi pelatihan melibatkan narasumber dari Dinas Pendidikan Kabupaten Pidie dan dari pihak serikat PEKKA. Materi yang diberikan meliputi tumbuh kembang anak, mengetahui bakat anak, psikologi anak, teknik mengajar, teknik menggambar serta permainan yang bersifat edukatif. Lebih lanjut, PL membantu tutor untuk menyiapkan bahan ajar misalnya menyediakan gambar, memfotocopi gambar untuk diwarnai, menyediakan bukubuku cerita dan buku gambar. PL juga selalu memberikan dukungan moril berupa semangat dan motivasi kepada tutor untuk ikhlas dan sukarela sebagai pekerja sosial pemberdayaan masyarakat dalam mendidik anak-anak di Desa Dayah Tanoh. ”Kalau di bidang pendidikan saya banyak memfasilitasi anggota kelompok untuk mengikuti berbagai pelatihan yang sudah direncanakan dalam Program Pemberdayaan ini. Dan kadang-kadang saya juga menjadi pengajar. Banyak pelatihan yang sudah diikuti oleh anggota ini, dulu pada awalnya pelatihan motivasi kelompok, pelatihan untuk pengurus kelompok, pelatihan untuk guru PAUD, banyak lah. Saya juga kadang-kadang menyampaikan informasi yang berguna bagi anggota ketika pertemuan rutin bulanan misalnya masalah kesehatan, memberi resep makanan baru dll. Dan juga kadang-kadang mengajar anggota yang buta huruf jika kegiatan pertemuan rutin diisi dengan kegiatan belajar. (FJ)” Peran PL yang sangat besar adalah perannya sebagai pendidik yaitu memberikan atau menyampaikan materi-materi pembelajaran pada saat
87
pendampingan khususnya pada saat pertemuan rutin bulanan. Materi yang disampaikan tergantung pada kebutuhan dan permintaan peserta. Biasanya materi diskusi berkaitan dengan kesehatan, pengembangan diri, ketrampilan khusus sesuai dengan kebutuhan anggota, seperti diajarkan cara menjahit, bordir, buat kue dan anyaman. PL juga memfalitasi untuk mengahadiri pakar dalam kegiatan diskusi mereka misalnya mengundang bidan desa, Komnas Perempuan dan lainnya yang berkopetensi di bidang masing-masing. 3) Pemberdayaan Hukum Peran PL dalam kegiatan pemberdayaan hukum di Desa Dayah Tanoh antara lain: (1) memunculkan kesadaran dan transfer pengetahuan sadar hukum melalui belajar berdasarkan pengalaman yang sering dihadapi oleh peserta; (2) memfasilitasi pelaksanaan kursus/kelas hukum bagi anggota kelompok yang diadakan tiga bulan sekali; (3) memfasilitasi pertemuan atau dialog dengan forum pemangku kepentingan hukum di Kabupaten Pidie seperti dengan pihak kepolisian untuk menjalin hubungan dengan aparat hukum yang ada di wilayah tersebut sehingga bisa membantu pelaksanaan penyadaran hukum serta pelayanan hukum. Lebih lanjut, PL juga memfasilitasi anggota dengan jaringan penegakan hukum yang ada baik dari pemerintah atau unsur masyarakat yang lain seperti P2TP2A, Dinas Catatan Sipil, Pengadilan Agama, LSM perempuan, LBH lokal, dan lain-lain); dan (4) memfasilitasi masyarakat umum untuk memperoleh pelayanan hukum, mulai dari penyadaran hukum, memberikan informasi hukum, membantu memfasilitasi pemecahan persoalan hukum yang ada. “Dalam bidang hukum ya saya berusaha membantu masyarakat memahami hukum, kan masyarakat kita apalagi perempuan kepala keluarga ini banyak yang tidak ngerti hukum, kalau udah dengar polisi aja udah takut. Jadi saya berusaha menjelaskan masalah hukum dan hak-hak mereka di bidang hukum. Saya juga membantu mereka untuk mengurus akte kelahiran keluarganya, ngurus KK atau KTP. Udah pernah juga kita buat pertemuan dengan pihak kepolisian agar mereka para anggota jangan takut kalau berurusan dengan masalah hukum. (FJ)” Pernyataan PL tersebut juga didukung oleh ibu BR: “Peran PL di bidang hukum sangat berarti buat kami ya. Dulu sebelum ikut PEKKA kami takut sekali kalo udah berhubungan dengan hukum, kami gak ngerti masalah hukum, dengar polisi aja dah takut apalagi harus berurusan dengan mereka. Tapi sekarang setelah ada penjelasan dari PL dan kita juga dah pernah bertemu dan diskusi dengan bapakbapak polisi kita jadi ngerti dan tidak takut lagi. PL juga membantu kami dalam mengurus akte kelahiran anak, ngurus KK ataungurus KTP. Saya senang lah ikut program ini, saya banyak dapat ilmu. (BR)”
88
4) Pendidikan Politik Pendidikan politik diberikan untuk meningkatkan kesadaran politik anggota PEKKA sebagai warga negara yang baik.Untuk mencapai pemahaman tersebut, maka dilakukan upaya penyadaran kepada ibu-ibu PEKKA dan masyarakat sekitar melalui pertemuan rutin di kelompok, pelatihan/kursus dan melakukan dialog langsung dengan pemerintah ataupun anggota dewan. Pertemuan, pelatihan dan dialog tersebut selalu difasilitasi oleh PL. Selain menfasilitasi, PL kadang juga menjadi nara sumber. PL juga berperan menghubungi dan mengkoordinasi tentang waktu dan tempat diadakan dialog dengan nara sumber. Melalui proses ini secara bertahap ibu-ibu PEKKA menjadi semakin kritis dengan situasi yang ada di lingkungannya. Mereka juga tidak canggung untuk berdialog dan mengungkapkan persoalan masyarakat kepada berbagai pihak. Seperti dikutip dari hasil wawancara berikut: “Penjelasan mengenai politik banyak saya selipkan ketika pertemuan kelompok tiap bulannya, ada pelatihan untuk anggota juga sehingga mereka mengerti dunia politik yang selama ini tidak pernah mereka pelajari. Mereka lebih senang kalau belajar dengan cara diskusi tanya jawab dan menceritakan keluh kesah mereka sendiri karena dengan begitu mereka nggak bosan, karena di sela-sela itu ada juga yang bercerita lucu jadi ketawa sama-sama. ..Pengetahuan politik juga dapat mereka peroleh ketika kita mengadakan dialog dengan pihak-pihak pemerintah, anggota dewan dan lainnya sehingga mereka bisa langsung berdiskusi dan bertanya langsung kepada pihak terkait. Saya lihat para anggota sudah berani berbicara di dalam forum dialog, mereka tidak malu atau takut lagi. (FJ)” Berbagai kegiatan pendidikan politik yang pernah diikuti oleh anggota kelompok Jeumpa Desa Dayah Tanoh antara lain adalah: pelatihan di tingkat kabupaten untuk para pengurus dan anggota kelompok PEKKA, diskusi dalam pertemuan rutin kelompok untuk memahami peran dan fungsi politik, pelaksanaan kursus politik di PEKKA Center bersamaan dengan anggota dari kelompok lain dalam satu kecamatan, dan dialog pemerintah daerah seperti DPRD, BPM, Bappeda dan PPK yang diadakan di Center PEKKA di Kecamatan Mutiara Timur. Berikut adalah penuturan salah satu anggota kelompok mengenai peran PL dalam bidang pendidikan politik: “Kalau menurut saya bu, PL itu sudah banyak kasih ilmu atai informasi tentang politik ke kita, apalagi sebelum ikut PEKKA kita gak pernah tau dunia politik. Kami juga ikut pelatihan dan kursus politik. Dan yang senangnya kami bisa berdialog langsung dengan pihak pemerintah, anggota dewan sehingga bisa tanya jawab langsung. Semuanya diurus oleh PL, kami hanya ikut saja. (Rh)” Anggota PEKKA di Desa Dayah Tanoh juga pernah menjadi anggota KPPS ketika pemilu dan pemilukada yang lalu. Keberanian anggota mengikuti kegiatan ini merupakan hasil dari pelatihan dan pendampingan rutin dan terus menerus. PLselalu
89
berusaha untuk melakukan transfer pengetahuan yang didapat kepada anggota kelompok dan masyarakat di Desa Dayah Tanoh. “Manfaat yang saya rasakan banyak ya, dari yang dulu tidak mengerti politik sekarang jadi mengerti walaupun belum banyak. Saya juga udah berani ketika diminta menjadi anggota KPPS waktu Pemilu dan Pemilukada dulu. Saya udah berani tampil kalau ada kegiatan-kegiatan lah, kalau dulu saya gak berani takut salah, padahal gak apa-apa ya. (NT)” 5) Pengembangan Media Komunitas Dalam kegiatan pengembangan media komunitas, PL bersama-sama dengan pengurus PEKKA mendampingi dan mengajarkan metode dan tata cara mendokumentasikan dan menyampaikannya ke khalayak. Diantaranya adalah kegiatan dokumentasi foto-foto komunitas. Seperti yang diungkapkan ibu Am: “Iya kalau foto-foto saya yang jepret-jepret. Dulu pertama kali sih PL yang moto-moto kami, lama-lama saya jadi tertarik dan PL juga menyuruh saya karena takut kalaua da kegiatan kelompok dan PL gak bisa hadir jadi gak ada yang foto. Jadi saya belajar dari PL cara memfoto yang baik dan benar sehingga fotonya jadi bagus. (Am)” Pengetahuan fotografi PL diperoleh melalui pelatihan fotografi yang diadakan oleh Center PEKKA di tingkat propinsi. Menurut PL, pelatihan tersebut diikuti oleh para kader fotografi dan PL selama empat hari di Aceh Besar. Materi yang dibahas adalah visioning, bercerita dengan foto, pengenalan peralatan fotografi, teknik dasar fotografi, pengenalan cerita visual, penulisan naskah, praktek pengambilan gambar, dan pameran foto. Di akhir pelatihan peserta membuat rencana kegiatan berkaitan dengan pengambilan foto-foto kegiatan anggota dan masyarakat serta membagi ilmu tersebut pada anggota lainnya di kelompok. 6) Kesehatan Perempuan PL menfasilitasi penyampaian materi tentang kesehatan perempuan seperti kesehatan reproduksi, pentingnya mempelajari kesehatan reproduksi, dampak memahami kesehatan reproduksi, masalah kesehatan reproduksi perempuan, mengenali gejala-gejala penyakit dan cara merawat atau menjaga kesehatan. “Saya sering kalau di pertemuan kelompok saya beri materi tentang masalah kesehatan terutama kesehatan reproduksi perempuan. Saya kan udah pernah ikut pelatihan itu dan ada modulnya jadi saya selaku PL harus menyampaikan apa yang saya pelajari di pelatihan ke anggota dampingan saya. Perempuan di sini senang kalau udah belajar tentang masalah tersebut karena kita bisa berdiskusi dan menceritakan masalah masing-masing dan bersama-sama juga kita berusaha
90
membahasnya, gak ada yang malu-malu bercerita karena kan perempuan semua. (FJ)” Selain itu, PL juga memfasilitasi anggota kelompok untuk mengikuti pelatihan kesehatan yang dilaksanakan di Center PEKKA. Berikut adalah kutipan wawancara dengan salah satu anggota kelompok: “Kalau masalah kesehatan, kami banyak dikasih informasi oleh PL waktu dalam rapat bulanan, khususnya masalah kesehatan wanita. Saya juga pernah ikut pelatiahan dan diskusi tentang kesehatan di center yang jadi pembicara itu kalau gak salah dokter dari banda aceh. Kadang-kadang ada juga bidan desa yang kasih penyuluhan kepada kami. Alhamdulillah sekarang saya jadi lebih tau dan tau bagaimana cara menjaga kesehatan saya. (Am)”
7.3 Faktor Sosial Budaya 1. Peran Lembaga Kemasyarakatan/Norma Partisipasi anggota kelompok PEKKA dan kualitas komunikasi partisipatif merupakan sarana pemberdayaan perempuan kepala keluarga yang turut ditentukan oleh peran kelembagaan (termasuk norma) baik kelembagaan masyarakat, maupun kelembagaan eksternal (pemerintah dan non pemerintah). Norma merupakan aturan sosial, patokan berperilaku yang pantas, atau tingkah laku rata-rata yang diabstraksikan. Norma bersumber dari nilai dan merupakan wujud konkrit dari nilai. Dalam norma termuat hal-hal tentang keharusan, dianjurkan, dibolehkan, atau larangan. Norma mengontrol perilaku masyarakat. Dengan adanya norma-norma tersebut, dalam setiap kehidupan bermasyarakat diselenggarakan penegendalian sosial atau social control (Soekanto 2006). Norma dalam masyarakat sangat berpengaruh menentukan kualitas komunikasi partisipatif di masyarakat. Norma yang berlaku dalam masyarakat desa Dayah Tanoh masih kental dengan budaya patriarki. Patriarki adalah sistem yang selama ini meletakkan perempuan terdominasi dan tersubordinasi. Di mana hubungan antara laki-laki dan perempuan bersifat hierarkis, yakni laki-laki berada pada kedudukan dominan sedangkan perempuan sebagai sub-ordinat, “laki-laki menentukan sementara perempuan ditentukan”. Kondisi ini juga terlihat dalam aktivitas keseharian mereka. Dalam pekerjaan sehari-hari misalnya umumnya lakilaki terlihat lebih dominan dalam mengontrol, menentukan serta melakukan pekerjaan utama dibandingkan perempuan. Umumnya perempuan hanya bekerja sebagai ibu rumah tangga yang mengurusi pekerjaan domestik saja. Kondisi masyarakat ini tentu saja sangat tidak memihak kepada kehidupan perempuan kepala keluarga yang ada di Desa Dayah Tanoh, dimana mereka harus bekerja di luar rumah untuk mencari nafkah dan sekaligus harus mengerjakan pekerjaan domestiknya, makanya kehidupan perempuan kepala keluarga di desa ini sebelum
91
mengikuti PEKKA berada pada tingkatan rendah. Dimana mereka tidak mendapatkan akses yang sama dengan laki-laki. Kehidupan mereka terkekang oleh adanya norma tersebut. Karena mereka tidak bisa melakukan pekerjaan produktif yang biasanya dilakukan oleh laki-laki sementara mereka adalah sebagai pencari nafkah utama dalam keluarga. Mereka juga sering tidak diikutkan dalam kegiatan desa, misalnya dalam rapat desa mereka hanya sebagai pelengkap saja, mereka tidak pernah dimintai pendapat ataupun saran sehingga mereka sering tidak hadir dalam kegiatan di desa. Karena semua kegiatan hanya mendengar dan berdasarkan aspirasi kaum laki-laki saja. Seperti yang dituturkan Ibu Hmm: “Di sini kan kedudukan perempuan dan laki-laki itu jauh berbeda ya. Perempuan dianggap menjadi nomor dua dalam berbagai hal apalagi kami janda-janda ini. Perempuan itu kerjaannya di rumah, ngasuh anak, masak, nyuci dan lain-lain. Kalau cari uang itu ya suami. Tapi gimana dengan kami janda ini, kalau gak kerja mau makan apa coba, orang saya jadi kepala keluarga anak saya mau makan apa, jadi saya harus tetap kerja jualan kue ke pasar walaupun banyak masyarakat lain yang cemoohin saya, saya gak peduli. Yang penting kerjaan saya halal dan tidak mengganggu orang lain. Tapi setelah ada program ini semuanya jadi berubah, saya menjadi lebih paham kedudukan dan hak saya sebagai kepala keluarga. Masyrakat disini juga udah berubah, udah banyak yang mengerti setelah melihat keberhasilan kami setelah mengikuti program ini. (Hmm)” Pun demikian seperti juga diungkapkan Ibu NC: “...Gak ya, kalau ada rapat di meunasah itu kan penguman atau undangan dengan cara diumumkan di mix (mikrofon yang dipakai untuk azan), agar semua warga disuruh hadir ada rapat. Ya saya malas ikut rapat karena kita disana gak pernah dimintai pendapat, kita perempuan hadir hanya sebagai pendengar saja dan biasanya ngurusin nyediain kue dan minum buat bapak-bapak. Keputusan rapat kan ditangan bapak-bapak. Jadi saya sering gak datang. Tapi sekarang ada sedikit perubahan setelah saya ikut program ini. Kalau di undang rapat, saya sengaja hadir dan jika kita-kita gak dimintai pendapat dan kalau hasil rapat tidak memuaskan perempuan, saya sudah berani untuk bersuara supaya pendapat dan kebutuhan perempuan juga didengarkan oleh bapak-bapak. Jadi sekarang kami ini sudah dianggap lah kedudukannya di desa ini. (BR)” Budaya patriarkhi merupakan salah satu penyebab terhambatnya pelaksanaan kegiatan PEKKA pada awal program. Apalagi sasaran dari program ini adalah perempuan kepala keluarga yang selama ini kehidupan mereka jarang bahkan tidak pernah mendapat perhatian dari pihak manapun. Namun usaha PL
92
dalam melakukan pendekatan secara interpersonal dan dialogis, kesadaran dan minat masyarakat untuk berubah semakin tinggi. Lebih lanjut, keberhasilan anggota PEKKA dalam menjalankan usaha serta kehidupan sosial mereka membuat pemikiran masyarakat lain di sekitar mereka menjadi lebih terbuka dan budaya patriarki mulai perlahan-lahan tersamarkan. Sekarang perempuan di sini telah memiliki kesempatan untuk memenuhi kebutuhan dasar, ekonomi dan politik serta dapat mengakses aset-aset produktif sama dengan laki-laki. Selain faktor norma, kelembagaan masyarakat juga memepengaruhi perilaku komunikasi partisipatif. Adapun Kelembagaan masyarakat tersebut seperti Pemerintahan Desa, Tuha Peut, PKK, Posyandu, dan kelompok pengajian. Namun yang memiliki peran dan dukungan besar dalam program PEKKA adalah Pemerintahan Desa dan Tuha Peut. 1) Pemerintahan Desa Pemerintahan desa merupakan faktor pendorong percepatan keberhasilan pembangunan di tingkat desa. Perangkat desa Dayah Tanoh sangat mendukung program pemberdayaan PEKKA ini. Sosialisasi dan pengenalan program oleh pihak PEKKA difasilitasi oleh pihak aparat desa. Ini adalah bentuk dukungan pemerintahan desa dalam membangun kapasitas dan kesejahteraan masyarakatnya. Desa menyambut baik rencana dan kehadiran program serta siap membantu mensukseskannya. Meskipun pada awalnya ada sedikit salah paham mengingat saat masuknya program ini, kondisi Aceh dalam keadaan darurat militer sehingga pemerintah desa harus berhati-hati dalam menjalankan tugasnya agar tidak ada kecurigaan dari pihak-pihak yang sedang bertikai. Diterimanya kehadiran Program PEKKA di Desa Dayah Tanoh diperkuat oleh penuturan Kepala Desa: “Saya sebagai geuchik (kepala desa) di desa ini sangat mendukung program PEKKA ini karena bisa memajukan para janda-janda di desa ini dan juga bisa membawa dampak baik untuk kemajuan desa kami. Meskipun dulu pada awal masuk saya sempat salah paham dengan PL, karena dulu masa konflik kan jadi saya sangat hati-hati dalam menerima orang apalagi ini program untuk janda kan sangat takut kita apa ini dari pihak GAM atau RI. Jadi setelah dijelaskan oleh PL saya ngerti dan memberi izin untuk pelaksanaan program ini. (MYH)” Lebih lanjut diungkapkan: “Peran aparat desa atau saya sebagai geuchik hanya memfasilitasi pelaksanaan program, memotivasi kepada anggota agar serius dalam mengikuti program karena program ini sangat bagus. Saya juga membantu PL memberi informasi mana-mana saja keluarga janda di desa ini. Saya juga memberi izin berupa tandatangan jika ada anggota yang mengikuti pelatihan ke luar desa dan saya juga memberi izin ketika mereka dulu mengajukan proposal untuk dapat dana usaha kan saya harus tanda tangan juga. Saya juga pernah diundang kalau
93
mereka buat rapat ya, ya saya hadir tapi saya tidak mencampuri keputusan mereka saya hanya mendengar dan memberi nasehat saja, sejauh ini saya melihat program ini sangat baik dan keputusankeputusan mereka juga sangat saya dukung. (MYH)” Sebelum melaksanakan program, pihak penyelenggara harus terlebih dahulu mendapatkan izin dari pemerintahan desa. Karena selanjutnya, kegiatan ini akan menjadi merupakan tanggung jawab dari desa ini. Tanggung jawab yang diberikan pihak aparat desa terhadap kegiatan di wilayahnya adalah dengan mengetahui kegiatan apa saja yang dilakukan, melakukan kontrol serta koordinasi terhadap kegiatan yang ada. Seperti penjelasan salah satu anggota kelompok berikut ini: “Iya pak geuchik sangat mendukung program ini. Dia juga hadir ketika kami mengundangnya untuk rapat walaupun hanya sebagai penasehat, dia juga bersedia memberi izin dengan tanda tangan kalau kami butuh izin untuk ikut pelatihan, menandatangani proposal kami, mengizinkan kami untuk melakukan kegiatan di balai desa. (Am)” 2) Tokoh masyarakat Tuha Peut (kelembagaan perwakilan masyarakat) adalah sebutan masyarakat Aceh kepada tokoh masyarakat yang ada di desanya, terdiri dari empat orang tokoh masyarakat yang diangkat oleh masyarakat. Tokoh masyarakat adalah pengayom masyarakat, tempat berbagi cerita serta pengalamandan menjadi suri tauladan masyarakat. Tuha Peut adalah orang yang dituakan, disegani, dihormati, memiliki status sosial yang prestise di lingkungan masyarakat, berkepribadian baik serta merupakan orang terpandang di dalam masyarakatnya. Dalam pelaksaan program PEKKA, tuha Peut berperan sebagai penasehat memberi masukan dan saran serta membantu menyelesaikan masalah yang terjadi dalam kegiatan pemberdayaan ini. Tuha peut juga berperan sebagai fasilitator pada saat sosialisasi program bersama-sama dengan PL. PL meminta mereka untuk membantu dirinya dalam memberikan penyadaran dan motivasi kepada perempuan kepala keluarga untuk dapat berpartisipasi aktif dan mau menerima program ini. Tuha Peut juga kadang sering diundang dalam rapat anggota PEKKA serta dimintai saran. Seperti yang diungkapkan salah seorang Tuha Peut berikut ini: “Saya cuma memantau program ini. Saya beri nasehat kalau mereka minta nasehat kepada kita, saya mengingatkan jangan sampai kegiatan dalam program itu menyalahi aturan agama dan budaya aceh. Saya dulu juga pernah diminta bantu oleh PL untuk menjelaskan kepada janda-janda disini apa itu PEKKA dan memotivasi mereka supaya mau ikut program ini. Saya juga sering diundang rapat sama mereka, saya cuma jadi penasehat saja, itu saja. (Ib)” Peran dari tokoh masyarakat ini hanya sebatas memberikan nasehat, pengarahan, dan saran. Sebagai tokoh masyarakat, kehadirannya dalam suatu
94
komunitas atau kegiatan yang dilaksanakan sangat memberikan manfaat, dikarenakan tokoh masyarakat telah melalui dan mengikuti berbagai macam kegiatan di sepanjang pengalaman hidupnya sehingga dapat saling berbagi. 2. Bahasa Bahasa pengantar yang digunakan dalam program juga mempengaruhi komunikasi partisipatif perempuan kepala keluarga. Bahasa yang digunakan oleh PL adalah bahasa daerah yaitu bahasa Aceh mengingat sebagian besar perempuan kepala keluarga tidak bisa berbahasa Indonesia. Dengan menggunakan bahasa daerah, mereka merasa lebih leluasa dalam berbicara dan menyampaikan pendapat. Berikut kutipan wawancara dengan Ibu Rh yang tidak bisa berbahasa Indonesia: “Iya bahasa sangat mendukung ya, karena kami disini banyak gak bisa bahasa Indonesia. Jadi PL harus bisa bahasa Aceh sehingga kami cepat mengerti dan kalaupun ada yang mau kami tanyakan bisa langsung bertanya gak usah diterjemahkan. Jadi kami senang karena PL kami semuanya bisa bahasa Aceh jadi kami cepat tahu apa yang disampaikan. (Rh)”
7.4 Ikhtisar Pennerapan komunikasi partisipatif perempuan kepala keluarga dalam PEKKA dipengaruhi oleh faktor individu, peran pendamping dan faktor sosial budaya. Adapun faktor individu meliputi umur, pendidikan, alokasi waktu (yang dipengaruhi oleh sebab menjadi kepala keluarga, jumlah tanggungan, dan jenis pekerjaan) dan motivasi mereka mengikuti program. Peran pendamping sebagai fasilitator dan pendidik menyebabkan perubahan bentuk komunikasi perempuan kepala keluarga dari yang bersifat monolog menjadi cenderung dialog (kecuali anggota yang berusia lanjut). Kedudukan anggota dengan PL dalam program ini adalah sejajar sehingga tidak ada yang merasa “digurui” ataupun “menggurui.” Di mana proses belajar yang terjadi bersifat dialogis atau interaktif, kedudukan PL dengan anggota kelompok setara, dimana mereka menjadi sebagai pembelajar atau sama-sama menjadi subyek dalam proses belajar. Dukungan aparat desa dan tokoh masyarakat terhadap pelaksanaan program membuat perempuan kepala keluarga lebih yakin dan serius dalam menjalankan program, sehingga budaya patriarkhi yang berkembang dalam masyarakat perlahanlahan dapat tersamarkan. Selain itu, penggunaan bahasa daerah yaitu bahasa Aceh sebagai bahasa komunikasi antara PL dan perempuan kepala keluarga menyebabkan keakraban anatara keduanya sehingga pelaksanaan kegiatan program mudah dijalankan. Mengingat sebagian besar perempuan kepala keluarga tidak bisa berbahasa Indonesia, sehingga penggunaan bahasa Aceh merupakan pilihan yang tepat oleh PL.
95
8 KEBERDAYAAN PEREMPUAN KEPALA KELUARGA Proses pembangunan seperti yang didefinisikan oleh sebagian besar agenagen pembangunan, memerlukan keterlibatan aktif kelompok sasaran sebagai peserta dalam proses pembangunan itu, mereka tidak boleh hanya menjadi penerima bantuan proyek yang pasif, tetapi harus memperbaiki kapasitas mereka agar mampu mengenali dan mengatasi masalah-masalah mereka sendiri. Untuk sampai definisi ini, proses pembengunan perempuan harus mengkombinasikan konsep kesetaraan gender dan konsep pemberdayaan perempuan di mana perempuan dapat terlibat dalam semua proses pembangunan. Jika kesetaraan antara perempuan dan laki-laki merupakan tujuan hakiki pembangunan perempuan, maka wajar pemberdayaan perempuan menjadi alat utama untuk mengatasi hambatan-hambatan dalam mewujudkan kesetaraan. Dalam penelitian ini keberdayaan perempuan kepala keluarga dilihat dari tingkat kesejahteraan, akses terhadap sumberdaya, kesadaran kritis, partisipasi dan kontrol setelah mengikuti program sesuai dengan tujuan dari program pemberdayaan ini. Adapun tingkat kesejahteraan dinilai dari peningkatan pendapatan, peningkatan simpanan di kelompok, peningkatan pinjaman di kelompok, tingkat pengembalian pinjamandan peningkatan aset perempuan kepala keluarga.Peningkatan akses terhadap sumberdaya dinilai dari terbukanya akses sumberdaya bagi anggota dalam hal: dana emerintah (Dana Desa, APBD, dan lain-lain) untuk kegiatan hukum, politik, sosial dan ekonomi, dana untuk layanan kesehatan gratis bagi perempuan miskin, pendidikan dan pelatihan keterampilan yang diadakan oleh pihak lain. Tingkat partisipasi dinilai dari tingkat kehadiran anggota dalam kegiatan kelompok, tingkat keaktifan para anggota dalam kegiatan untuk menyuarakan kebutuhannya dalam kelompok, tingkat kehadiran dalam kegiatan yang diadakan pihak lain seperti rapat desa, musrenbang dan lainnya. Kesadaran kritis dilihat dari: tumbuh kebutuhan belajar dan mendapat pengetahuan untuk mengembangkan kapasitas diri, peningkatan jumlah masalah yang berhasil diidentifikasi dan yang berhasil diselesaikan, kemampuan mengadvokasi persoalan atau perlakuan tidak adil yang mereka hadapi ke pihak berwenang untuk menyelesaikannya. Peningkatan kontrol dilihat dari: kemampuan membuat keputusan diri sendiri di lingkup rumahtangga, partisipasi aktif dalam mengawasi, mempertanyakan dan menentukan kegiatan kelompok yang akan dilakukan, mampu mengusulkan dan mengawasi pembuatan kebijakan lokal yang berhubungan dengan persoalan ketidakadilan yang mereka hadapi. Keberdayaan tersebut akan dilihat pada setiap tipologi perempuan kepala keluarga berdasarkan bentuk komunikasi partisipatif dalam program pemberdayaan, yaitu (1) tipologi perempuan kepala keluarga sebagai pendengar, (2) tipologi perempuan kepala keluarga yang kurang aktif dan (3) tipologi perempuan kepala keluarga yang aktif.
96
8.1 Perempuan Kepala Keluarga sebagai Pendengar Perempuan kepala keluarga yang hanya menjadi pendebgar dalam program adalah perempuan kepala keluarga yang berusia lanjut melebihi 60 tahun yaitu Ibu Sb. Ibu ini mengikuti program hanya untuk mengisi waktu luang, berkumpul bersama, memperoleh informasi dan pengetahuan. Ibu ini sangat jarang menyampaikan pendapat, saran atau pertanyaan dalam setiap pertemuan program. Jenis program yang diikuti hanya kegiatan simpan pinjam kelompok dan tidak rutin melakukan penyetoran. Selain itu, Ibu ini juga tidak pernah melakukan pinjaman di kas kelompok ataupun mengusulkan proposal untuk memperoleh dana bantuan usaha. Beliau tidak sanggup lagi menjalankan usaha apapun karena usianya yang sudah tua dan sekarang tinggal bersama anak dan menjadi tanggungan anaknya. Pelaksanaan Program PEKKA di Desa Dayah Tanoh telah memberi dampak positif terhadap kegiatan perekonomian anggotanya, salah satunya dapat meningkatkan kesejahteraan ekonomi anggota. Namun, hal ini tidak dialami oleh Ibu Sb disebabkan beliau tidak pernah melakukan pinjaman dan mengusulkan dana pinjaman usaha karena tidak ingin menjalankan usaha apapun sehingga tidak mendapatkan pendapatan apapun yang dapat digunakan untuk peningkatan aset bagi dirinya. Selama ini kebutuhan sehari-harinya dipenuhi oleh anaknya, sedangkan uang penyetoran kepada kas kelompok merupakan sisa uang jajan yang diberikan oleh anaknya rata-rata sepuluh ribu per hari. Berikut pernyataan Ibu Sb: ”......Gak pernah pinjam juga di kas atau modal usaha. Untuk apa saya pinjam kan saya gak sanggaup lagi buka usaha, yang ada saya kepikiran dah pinjam gak bisa balikin, enak gini aja dikasih dikit-dikit oleh anak saya, untuk setoran kas baru sedikit kalau ada uang lebih saya setor, biasanya saya dikasih uang sepuluh ribu oleh anak saya buat jajan katanya, hehehee...dah terbalik dulu kita kasih ke dia. (Sb)” Keikutsertaan dalam program ini dapat meningkatkan kebahagiaan bathin bagi Ibu Sb karena beliau merasa terhibur ketika berkumpul dengan anggota lain, bisa saling bercanda, tertawa, memperoleh informasi dan pengetahuan, seperti yang dijelaskannya berikut ini: “Saya kan ikut program ini hanya untuk bisa ngumpul ama yang lain, kan saya gak da kerja jadi bisa untuk hiburan, isi waktu, selain bisa tau informasi dan nambah ilmu juga. Jadi buat senang-senang aja, kan udah tua apa yang saya pikirkan lagi, buat makan dah dikasih anak saya karena tinggal ama dia sekarang. (Sb)” Akses terhadap sumberdaya Ibu Sb adalah dapat mengikuti kelas KF. Mereka diajarkan baca tulis, seperti yang disampaikannya berikut ini: “Saya ikut kelas buta huruf itu, kan saya dan beberapa anggota lain gak bisa baca tulis jadi kami diajarkan oleh PL atau kadang-kadang oleh
97
anggota lain seperti NT atau Am. Kami belajar sampai kami bisa lah tapi agak susah ya karena udah tua ya, tapi pelan-pelan lah, sekarang saya sudah mengenal huruf. (Sb)” Selain itu, Ibu Sb juga mendapatkan pelayanan kesehatan secara gratis dan bantuan beras untuk orang miskin (raskin). Ibu Sb mengaku jika sakit dapat berobat ke puskesmas atau rumah sakit secara gratis hanya dengan membawa kartu miskin. Bantuan beras miskin diperolehnya per waktu tiga bulan sekali atau kadang-kadang dalam waktu yang tidak menentu. “Kalau berobat ke puskesmas gratis ya, kalau mau kerumah sakit juga gratis hanya bawa KTP katanya, soalnya saya belum pernah ke rumah sakit. Paling kalau saya demam, rematik kambuh ke puskesmas aja dikasih obat udah sembuh jadi gak perlu ke rumah sakit....Iya beras miskin itu saya dapat, kadang-kadang tiga bulan sekali, gak tentu lah. Biasanya ada pengumuman di Meunasah disuruh ambil beras miskin, biasa saya cuma dapat sepuluh kilo apa, gak ingat saya, biasa diambil anak saya. (Sb)” Tingkat partisipasi Ibu Sb dalam kegiatan di desa cenderung rendah. Dalam setiap pertemuan dalam program maupun pertemuan desa beliau hanya hadir mendengarkan saja tidak menyampaikan pendapatataupun bertanya. Ibu Sb mengaku selalu menghadiri pertemuan rutin anggota dan pernah mengikuti rapat desa yang membahas mengenai program PNPM. “Saya pernah ikut rapat desa, kalau gak salah rapat mengenai program PNPM tapi saya cuma dengar aja gak kasih saran atau bertanya. Saya ikut aja kalau saya senang dan ada waktu ya ikut untuk hiburan lah...Saya kan dah tua apalagi yang saya pikirkan. (Sb)” Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa keberdayaan perempuan kepala keluarga sebagai pendengar hanya pada tingkat kesejahteraan bathin, akses terhadap kelas KF, pelayanan kesehatan gratis dan raskin, dan partisipasi yang cenderung rendah, sedangkan kesadaran kritis dan kontrol dalam lingkup keluarga maupun lingkungan belum tercapai.
8.2 Perempuan Kepala Keluarga Kurang Aktif Perempuan kepala keluarga yang kurang aktif dalam program adalah Ibu Hmm, Ibu Rh, Ibu NC dan Ibu BR. Ibu-ibu ini pada awal masuknya program (tahap sosialisasi) mengaku tidak berani menyampaikan pendapat, saran atau pertanyaan dalam pertemuan, mereka lebih memilih diam dan mendengarkan. Namun, setelah dilakukan pendekatan secara interpersonal, mengikuti pelatihan-pelatihan dan menerima materi-materi pengembangan diri dari PL atau pakar dalam pertemuan
98
rutin anggota telah merubah pola fikir dan perilaku mereka dalam mengikuti program. Mereka menjadi berani dan aktif dalam pertemuan serta pelaksanaan kegiatan program, meskipun ada di antara mereka yang mengaku sering terlambat dan jarang mengikuti pertemuan anggota dikarenakan oleh beberapa alasan (Ibu NC, Ibu BR, dan Ibu Hmm). Pelaksanaan program pemberdayaan ini memberi dampak positif bagi perempuan kepala keluarga tipologi ini. Mereka mengaku dengan adanya program simpan pinjam kelompok dan dana pinjaman modal usaha dapat meningkatkan pendapatan sehingga meningkatkan kesejahteraan diri serta keluarganya. Sebelum mengikuti program ini, perempuan kepala keluargaini dapat dikatakan memiliki pendapatan yang rendah dibandingkan dengan rumahtangga yang kepala keluarga laki-laki. Kehidupan PEKKA ini hanya memiliki usaha kecilkecilan seperti jualan kue ke warung, jualan kue tradisional, tukang nyuci panggilan dan menjadi buruhtani pada musim ke sawah. Penghasilan yang mereka terima tidak menentu. Rata-rata mereka hanya mendapatkan uang sebesar Rp15 000 sampai Rp20 000 perhari dari perkerjaannya tersebut. Tetapi setelah mengikuti program pemberdayaan ini dan memiliki usaha masing-masing, kehidupan anggota jauh lebih sejahtera dan bahkan ada yang memiliki pendapatan melebihi rumahtangga yang kepala keluarga laki-laki. Peningkatan pendapatan dapat dilihat dari adanya penerimaan penghasilan dari usaha yang telah dijalankan dengan modal pinjaman tersebut, seperti yang dialami oleh Ibu NC dan BR yang memiliki usaha jualan kue tradisional dengan pendapatan rata-rata sebesar satu juta lima ratus rupiah setiap bulan. “Dari hasil jualan kue ini saya dapat lima puluh ribu lah satu hari, rata-ratanya ya, kadang-kadang juga tiga puluh, empat puluh gak tentu lah. Daripada dulu cuma dua puluh ribu sehari itupun kalau ada, karena dulu kue yang saya jual cuma sedikit dan titipan orang lain, kalau sekarang karena dah ada modal saya buat sendiri jadi agak banyak lah untungnya. Kalau dulu ya cukup buat beli kebutuhan sehari-hari lah, beli ikan, beras, minyak dan lain-lain lah. Pokoknya saya bersyukur aja berapa yang dapat yang penting keluarga saya tidak lapar, itu saja. Tapi kalau ada lebih ya saya simpan buat jajan anak sekolah, mudah-mudahan saya bisa sekolahkan anak saya sampai kuliah kalau sanggup, amiiinnn. (NC)” Pun demikian dengan Ibu BR: “Iya ada peningkatan ya, dulu saya jualan kue hanya dapat untung paling lima belas sehari tapi sekarang dengan ada modal dari PEKKA, saya bisa buat kue lebih banyak sehingga pendapatan bertambah, biasanya saya dapat untung empat puluh, lima puluh satu hari gak tentu lah. Sehingga kehidupan keluarga saya sekarang udah terbantu jadi lebih baik. Sekarang udah bisa tabung sedikit. (BR)”
99
Peningkatan pendapatan juga dialami oleh Ibu Hmm dan Ibu Rh yang memiliki usaha di bidang pertanian. Sebelum mengikuti program ini, mereka hanya menjadi buruhtani pada musim ke sawah, pendapatan mereka rata-rata per hari sebesar Rp20 000. Namun, setelah mendapat bantuan modal usaha mereka sudah berani menggarap sawah orang lain dengan sistem bagi hasil. Dari usahanya tersebut mereka mendapat keuntungan rata-rata lima juta sampai enam juta per sekali panen (empat bulan sekali) jika hasil panennya tidak gagal. “Iya dulu saya kan cuma jadi buruhtani kalau musim ke sawah gak punya sawah sendiri dan gak sanggup garap punya orang karena gak ada modal. Dulu hanya dapat paling dua puluh ribu sehari, kalau gak lagi ke sawah saya jadi tukang nyuci di rumah tetangga. Tapi sekarang dengan ada modal usaha saya sudah bisa garap punya Pak Ah tetangga saya itu dengan bagi hasil. Ya saya bisa dapat untung, biasanya sekali musim panen saya dapat lima juta kalau padinya bagus. (Hmm)” Ibu Rh mengungkapkan: “Iya ada peningkatan pendapatan buat saya, sekarang saya garap sawah Nyak Aj dengan bagi hasil. Dapat lah untung kalau padinya bagus sekitar empat setengah juta sekali panen. Daripada dulu saya cuma jadi buruhtani paling dapat dua puluh ribu sehari, itu kalau saya rajin ke sawah. (Rh)” Tingkat kesejahteraan juga dapat dilihat dari tingkat simpanan di kelompok. Jumlah simpanan perempuan kepala keluarga pada tipologi ini adalah Rp200 000 (Ibu BR), Rp210 000 (Ibu Rh), Rp76 000 (Ibu NC) dan Rp146 000 (Ibu Hmm) (dapat dilihat pada Tabel 8.). Jumlah simpanan Ibu-Ibu ini relatif besar, hanya Ibu NC saja yang memiliki jumlah simpanan paling sedikit. Menurut Ibu NC hal tersebut terjadi karena dia lebih memilih mengembalikan pinjaman modal usaha terlebih dahulu dibandingkan menyimpan di kas kelompok. Karena pengembalian modal usaha adalah suatu kewajiban, sedangkan simpanan bisa dilakukan kapan saja dalam jumlah yang tidak ditentukan. Berikut hasil wawancara dengan Ibu NC: “Saya pikir kalau modal usaha itu kan kewajiban, jadi kalau ada uang saya bayar uang pinjaman dulu sampai lunas dan alhamdulillah sekarang saya sudah lunas. Kalau simpanan kelompok kan bisa kapan aja, yang penting simpanan pokok udah saya bayar. Kalau modal usaha belum lunas saya kepikiran terus, kalau sekarang saya udah tenang tinggal saya jalankan usaha saja. (NC)” Perempuan kepala keluarga pada tipologi ini belum melakukan peminjaman kedua untuk modal usaha mereka karena pinjaman sebelumnya belum dapat dilunaskan, begitu juga dengan Ibu NC meskipun beliau sudah melunasi pinjaman
100
modal usaha sebelumnya. Beliau mengaku belum membutuhkan dana tambahan untuk ussahanya sekarang. Berdasarkan hasil wawancara dengan Ibu-Ibu ini, mereka memiliki beberapa alasan tidak dapat melunasi pinjamannya, antara lain adalah karena gagal panen, memiliki kebutuhan lain yang lebih penting seperti untuk membeli kebutuhan seharihari, untuk biaya sekolah anak, biaya anggota keluarga yang sakit dan untuk tambahan modal usaha, seperti yang diungkapkan oleh Ibu Hmm dan Ibu Rh: “Saya belum bisa melunasi pinjaman, dulu saya pinjam satu juta setengah, yang baru saya lunasi lima ratus sisanya satu juta. Kadangkadang udah niat mau bayar ada keperluan lain misalnya untuk sekolah anak, atau kalau panen gagal jadi yang disimpan buat bayar pinjaman saya pakai lagi untuk modal kedepan, ya begitu lah. Tapi saya akan lunasi pelan-pelan semampu saya. (Hmm)” “Saya belum lunas, saya dikasih pinjaman satu juta setengah udah lunas satu juta tiga ratus, tinggal dua ratus. Insyaallah panen depan ini saya lunasi. Mudah-mudahan padinya bagus ya. (Rh)” Alasan yang serupa juga disampaikan oleh Ibu BR yang memiliki jumlah pinjaman sebesar Rp1 000 000 dan baru dapat mengembalikan sebesar Rp500 000. “Saya belum lunas pinjaman dulu, saya pinjam satu juta baru saya lunasi lima ratus. Saya kadang pake uang bayar cicilan buat beli obat suami saya yang sakit, atau buat kebutuhan sehari-hari kalau dagangan lagi sepi, jadi sya ambil uang yang ada dulu. Tapi saya tetap nyicil sedikit-sedikit. (BR)” Peningkatan kesejahteraan anggota kelompok juga dapat dilihat dari kepemilikan aset. Kepemilikan aset setiap perempuan kepala keluarga pada tipologi ini berbeda-beda tergantung kepada jumlah pendapatan yang diperoleh dari usaha mereka masing-masing. Misalnya Ibu BR telah dapat membeli televisi, Ibu Hmm telah dapat membeli sepeda untuk anaknya bersekolah, Ibu Rh sudah merenovasi rumahnya, sedangkan Ibu NC sudah dapat menambah peralatan membuat kue seperti mixer, penggorengan dan lain-lain. Berikut hasil wawancara dengan Ibu Rh: “Dari hasil usaha saya itu saya udah bisa renovasi rumah sedikit ya, jadi ada keliatan lah hasilnya, pelan-pelan. Kan untung dari kita bersawah kan gak terlalu banyak, ya kalauada lebih ya kita buat lah biar bagus dikit rumahnya biar gak bocor lagi...(Rh)”
101
Hal yang senada juga disampaikan oleh Ibu Hmm berikut ini: “Saya selama ikut program ini, ada banyak manfaatnya saya sudah sanggup beli sepeda buat anak saya sekolah. Ada lah hasilnya walaupun sedikit. (Hmm)” Perempuan kepala keluarga pada tipologi ini juga memiliki akses terhadap dana BLM yang disalurkan melalui program pemberdayaan ini. Jumlah dana yang diperoleh bervariasi ada yang sesuai dengan proposal dan ada juga yang tidak sesuai.Akses lain yang dimiliki oleh perempuan kepala keluarga ini adalah layanan untuk mendapatkan pengobatan gratis di puskesmas atau rumah sakit. Mereka mengaku hanya membawa KTP saja jika berobat dan tidak dikenakan biaya apapun, seperti yang dijelaskan oleh Ibu Rh berikut ini: “Kalau berobat kita gratis, hanya bawa KTP aja ke puskesmas. Kita gak bayar apa-apa. (Rh)” Di samping itu, mereka juga difasilitasi untuk mengurus akte kelahiran, KK dan KTP, seperti yang dijelaskan oleh Ibu Hmm berikut ini: “Kan dulu waktu anak-anak saya lahir gak buat akte kelahiran, jangan kan ngurus tau aja gak apa itu akte. Tapi setelah ikut program ini, ternyata akte kelahiran itu sangat penting ya untuk keperluan anak kita sekolah nantinya. Jadi melalui program ini, semua anggota dan keluarganya yang belum punya akte kelahiran semuanya diurus dan sekarang semua anak saya sudah ada akte kelahirannya. Begitu jugu kalau anggota yang belum punya KTP atau KK semua dibantu urus. Banyak memberi manfaat lah. (Hmm)” Perempuan kepala keluarga yang buta huruf mereka memiliki kesempatan untuk mengikuti kelas KF. Seperti yang disampaikan Ibu Hmm yang buta huruf: “Saya ikut kelas buta huruf karena saya gak pernah sekolah jadi gak bisa baca tulis. Ada beberapa orang anggota, kami diajarkan baca tulis, sekarang saya sudah mulai bisa dan baca tapi belum lancar...(Hmm)” Manfaat dari pelaksanaan program pemberdayaan ini bukan hanya dirasakan oleh ibu-ibu ini tapi juga dirasakan oleh anak-anaknya terutama yang masih duduk di bangku sekolah. Anak-anak yang masih berusia sekolah mereka mendapatkan beasiswa. Sedangkan yang masih usia dini bisa mengikuti program PAUD secara gratis. “Iya selain dapat manfaat ke saya, anak saya juga dapat manfaat dari program ini. Anak saya yang SMP dapat bea siswa berupa baju
102
sekolah, tas, buku-buku, sepatu ya. Kan itu sangat membantu saya dan keluarga. (Hmm)” Selain memiliki akses terhadap program-program PEKKA, perempuan kepala keluarga juga memiliki akses terhadap program lain, misalnya Ibu NC dan Ibu BR pernah memiliki kesempatan untuk mengikuti pelatihan dan keterampilan membuat kue yang diadakan pihak kecamatan melalui PKK. “Saya pernah ikut pelatihan yang dibuat oleh kecamatan, pelatihan keterampilan buat kue. Saya disuruh istri kepala desa perwakilan dari desa ini. Ya saya ikut, kan bisa nambah ilmu, apalagi masalah buat kue saya sangat tertarik karena sesuai dengan kerjaan saya...(NC)” Keberdayaan perempuan kepala keluarga pada tipologi ini juga dapat dilihat dari tingkat partisipasi mereka pada kehadiran dalam kegiatan kelompok, tingkat keaktifan mereka dalam kegiatan untuk menyuarakan kebutuhannya dalam kelompok, tingkat kehadiran dalam kegiatan yang diadakan pihak lain seperti rapat desa, musrenbang dan lainnya.Tingkat kehadiran dan keaktifan anggota dalm kelompok telah dibahas pada Bab 6, sekarang akan dibahas mengenai partisipasi perempuan kepala keluarga dalam kegiatan yang diadakan pihak lain seperti rapat desa, musrenbang dan lainnya. Partisipasi perempuan kepala keluarga pada tipologi ini dalam kegiatan desa tidak sama. Menurut hasil wawancara dengan informan, semuanya mengaku diundang setiap ada pertemuan/ rapat desa, namun tidak semuanya bisa menghadirinya karena berbagai alasan seperti tidak ada waktu karena harus menjalankan usahanya, tidak diizinkan oleh suami atau karena tidak dapat membagi waktu antara kegiatan desa dengan mengurus rumahtangga serta menjalankan usaha, seperti yang diutarakan oleh Ibu Hmm berikut ini: “Iya kalau ada rapat atau kegiatan di desa, ada diundang tapi saya jarang datang ya apalagi kalau kegiatannya siang hari, kan saya ke sawah, ngurus anak. Jadi gak ada waktu untuk datang. Saya paling bisa datang kalau kegiatannya diadakan sedang tidak musimke sawah. Ya itu saya datang setelah beresin rumah. Sebenarnya saya senang bisa ikut kegiatan di desa juga. (Hmm)" Hal yang sama juga disampaikan oleh Ibu BR: “Saya jarang hadir ya kalau ada kegiatan desa, karena saya kan kerja jualan di pasar. Belum lagi saya pulang harus ngurus suami, sama juga kayak ikut pertemuan anggota. Kadang-kadang dikasih izin kadangkadang gak. Ya mau gimana, sebenarnya saya suka ikut-ikut kegiatan apalagi kegiatan PKK kan bisa nambah ilmu. Tapi kalau ada waktu dan ada izin saya ikut juga. (BR)”
103
Sedikit berbeda dengan Ibu NC dan Ibu Rh; Ibu NC mengaku pernah mengikuti pelatihan ketrampilan memasak yang diadakan di Kecamatan sebagai perwakilan dari PKK desa meskipun beliau jarang menghadiri pertemuan desa karena tidak memiliki waktu disebabkan harus melaksanakan usahanya sebagai pedagang. Berikut hasil wawancara dengan Ibu NC: “Saya pernah ikut pelatihan yang dibuat oleh kecamatan, pelatihan keterampilan buat kue. Saya disuruh istri kepala desa perwakilan dari desa ini. Ya saya ikut, kan bisa nambah ilmu, apalagi masalah buat kue saya sangat tertarik karena sesuai dengan kerjaan saya. Tapi kalau rapat-rapat desa saya jarang ikut karena saya jualan jadi gak ada waktu, kecuali kalau rapatnya sangat penting, orang saya ikut pertemuan anggota program aja sering telat...(NC)” Ibu Rh mengaku setelah mengikuti program pemberdayaan ini menjadi sedikit lebih aktif dalam kegiatan-kegiatan desa dan sekarang menjabat menjadi sekretaris PKK. Ibu ini mengaku sering hadir dalam rapat desa baik rapat khusus perempuan maupun rapat yang melibatkan laki-laki dan sering memberikan saran, pendapat atau pertanyaan dalam rapat tersebut, di mana menurutnya tidak ada perbedaan antara kaum laki-laki dan perempuan semua diberikan hak dan akses yang sama, seperti yang disampaikannya berikut ini: “Saya sekarang diangkat jadi sekretaris PKK. Dulu sebelum ikut program saya gak mau karena gak berani tapi sekarang saya sudah berani kok kan udah banyak pengetahuan dan udah sering ngomong depan orang banyak, saya juga sering hadir kalau ada rapat di desa. Saya juga sering bertanya atau kasih pendapat dalam rapat walaupun rapat itu dihadiri oleh laki-laki, semua boleh bicara. (Rh)” Tingkat keberdayaan juga tercermin dari tingkat kesadaran kritis yang mereka miliki setelah mengikuti program pemberdayaan ini. Pelaksanaan program pemberdayaan ini diawali dengan pendekatan interpersonal PL dengan perempuan kepala keluarga. PL mencoba mendekati dan memberi penjelasan serta memperkenalkan PEKKA secara tatap muka karena mengingat perempuan kepala keluarga ini merupakan kelompok masyarakat yang marginal dalam masyarakat. Setelah mereka mengenal dan mengetahui maksud dari PEKKA barulah mereka bersedia mengikuti program melalui pembentukan kelompok. Tugas PL selanjutnya adalah memfasilitasi anggota kelompok untuk mengikuti berbagai pelatihan terkait dengan pengembangan diri dan memberikan materi-materi dalam pertemuan anggota menyangkut analisa sosial, motivasi bekerja dalam kelompok,kepemimpinan transformatif, hak kesehatan reproduksi,hukum dan hak perempuan, advokasi, dan kesadaran gender. Salah satu training lokakarya yang wajib diikuti oleh semua anggota kelompok adalah training lokakarya peningkatan kapasitas anggota dengan membangun visi dan misi mereka. Proses ini dilakukan dimana perempuan kepala
104
keluarga difasilitasi oleh PL untuk mengidentifikasi masalah mereka, memahami posisi, status dan kondisi mereka dalam tataran masyarakat, mengidentifikasi potensi yang mereka miliki, lalu bersama membangun harapan dan impian yang ingin diraih. Setelah itu, proses ini diakhiri dengan membangun kesepakatan untuk meraih harapan dan impian dengan bekerja bersama dalam kelompok. Proses ini juga memberikan kesempatan pada mereka untuk berfikir secara kritis melihat posisi dan kondisi mereka serta membangun motivasi untuk berkembang. Dalam proses ini mereka merumuskan kondisi dan karakteristik perempuan kepala keluarga sebelum mengikuti program dan hasilnya perempuan kepala keluarga identik dengan: miskin, terkucilkan, terdiskriminasi, tidak diperhitungkan, mengalami trauma, akses terbatas dan korban kekerasan. Dengan adanya program pemberdayaan ini mereka memiliki harapan dapat mengubah kondisi tersebut. Kemudian mereka menyusun visi dan misi bahwa setelah mengikuti program ini mereka harus menjadi perempuan kepala keluarga yang kehudupannya lebih sejahtera, dihormati, setara dengan masyarakat lainnya, sebagai motivator, adanya akses dan sebagai kelompok kontrol sosial yang kuat. Semua perempuan kepala keluarga pada tipologi ini mengaku pernah mengikuti pelatihan lokakarya ini. Berikut adalah hasil wawancara dengan Ibu Rh: “Iya dulu kita setelah bentuk kelompok, semua anggota wajib ikut pelatihan kalau gak salah untuk peningkatan kapasitas anggota namanya. Di situ kita difasilitasi oleh PL untuk mengenal diri kita sebelum mengikuti program saat itu, kita sama-sama susun. Tersusun lah kalau kami itu miskin, terkucilkan, mengalami trauma, tidak ada akses yang sama, dan lain-lain pokoknya yang gak baik. Kemudian kita merumuskan impian atau harapan setelah mengikuti program ini, kita harus menjadi lebih sejahtera, ada akses, sama kedudukan dengan yang lain. Jadi dengan adanya impian itu kita jadi serius dan bertanggungajawab dalam pelaksanaan program, kalo gak benar-benar kita ikuti berarti impian itu gak tercapai nantinya. Dan Alhamdulillah sekarang sudah ada perubahan ya jadi lebih baik sesuai dengan impian yang kita susun dulu meskipun belum seratus persen. (Rh)” Perempuan kepala keluarga pada tipologi ini juga mengaku pernah bertemu dan berdialog dengan forum pemangku kepentingan hukum di Kabupaten Pidie, yaitu pertemuan dengan pihak kepolisian untuk saling bertukar informasi dan membuka jaringan hukum, sehingga bisa membantu pelaksanaan penyadaran hukum serta pelayanan hukum bagi mereka. Berikut hasil wawancara dengan Ibu BR: “..dulu sebelum ikut PEKKA kami takut sekali kalo udah berhubungan dengan hukum, kami gak ngerti masalah hukum, dengar polisi aja dah takut apalagi harus berurusan dengan mereka. Tapi sekarang setelah ikut program dan dapat materi tentang hukum kita jadi mengerti dan kita juga dah pernah bertemu dan diskusi dengan bapak-bapak polisi kita jadi ngerti dan tidak takut lagi...(BR)”
105
Perempuan kepala kepala keluarga hanya memiliki kontrol dalam lingkup rumahtangganya dan kegiatan kelompok. Mereka belum memiliki kontrol yang berhubungan dengan mengusulkan dan mengawasi pembuatan kebijakan lokal yang berhubungan dengan persoalan ketidakadilan yang mereka hadapi. Kontrol dalam lingkup keluarga yaitu kontrol yang berkaitan dengan bagaimana mengelola penggunaan pinjaman dan tabungan serta keuntungan yang dihasilkan. Para anggota dapat memutuskan untuk menggunakan pinjaman modal dari program untuk membuka usaha dan mengembangkannya sendiri serta mampu mengembalikan dana pinjaman meskipun tidak secara teratur dan tepat waktu. Berikut adalah hasil wawancara dengan Ibu Rh: “Semuanya tergantung anggota masing-masing, gimana mengelola uang pinjamannya, untuk usaha apa, semuanya kita sendiri yang putuskan. Yang penting kita bisa menyicil setoran pinjaman kita. Setoran tergantung pada kita juga bayarnya tiap bulan dalam jumlah yang gak ditentukan, atau kapan aja kita punya uang bisa langsung setor ke bendahara. (Rh)” Program pemberdayaan ini juga telah memberi perubahan bagi anggotanya dalam hal kontrol atas alokasi tenaga kerja keluarga. Mereka telah dapat mengontrol dan membagi alokasi waktu antara bekerja mencari nafkah (menjalankan usaha) dan bekerja mengurus rumahtangga (pekerjaan domestik) secara teratur dan tepat waktu. Mereka telah memiliki jadwal kegiatan sehari-hari yang mereka susun sendiri sehingga dapat secara teratur dalam mengontrol kegiatan rumahtangga seperti mengurus anak, mengurus suami (bagi yang masih memiliki suami yang menderita sakit), merapikan rumah, dan dalam menjalankan usahanya di luar rumah. Biasanya mereka memulai kegiatannya dari sebelum waktu Subuh hingga malam hari. Seperti yang dialami oleh Ibu BR yang memiliki usaha jualan kue kering di pasar kecamatan, beliau bangun jam empat pagi, kegiatan pertama adalah menyuci, memasak, merapikan rumah, menyiapkan dagangannya, mengurus suami yang sedang sakit, setelah semua selesai kira-kira pukul delapan pagi baru beliau berangkat ke pasar. Sedangkan jika ada pekerjaan rumah yang belum terselesaikan maka anak perempuannya yang masih SMA yang akan mengerjakannya. Beliau pulang sekitar pukul dua siang, karena harus mengurus suami terutama menyuapi makan suaminya. Berikut adalah penuturan Ibu BR mengenai kegiatannya seharihari: “Tiap hari kegiatan saya sama aja, tapi sejak saya jualan kue ke pasar ada sedikit perubahan ya, kalau dulu saya bangun waktu azan subuh tapi sekarang sebelum subuh jam empat saya udah bangun, nyuci dulu, masak, beres-beres rumah dikit, ngurus suami, kasih makan dia, mandiin dia, dah selesai semua baru berangkat ke pasar kira-kira jam delapan, jam dua saya pulang karena ingat suami di rumah gak ada yang kasih makan, kadang-kadang kalau anak saya cepat pulang sekolah dia kasih makan. Anak saya juga kadang-kadang bantu-bantu
106
di rumah, kalau dia gak sempat ya pulangnya baru saya kerjain. Buat kue juga siang hari pulang dari pasar, karena kue ini bisa tahan lama sampe sebulan jadi gak harus bikin tiap hari, paling seminggu dua kali tergantung lakunya. (BR)” Selain memiliki kontrol dalam keluarga, perempuan kepala keluarga juga partisipasi aktif dalam mengawasi, mempertanyakan dan menentukan kegiatan kelompok yang akan dilakukan meskipun belum dapat dilakukan sepenuhnya. Semua informan mengaku memiliki akses yang sama dalam setiap tahapan program mulai dari tahap penumbuhan ide, perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi (telah diuraikan pada Bab 6). Salah satunya adalah kontrol mereka dalam menentukan jenis materi yang akan didiskusikan pada bulan selanjutnya, menentukan jenis usaha yang akan dilaksanakan, informasi kegiatan simpan pinjam kelompok dan dana BLM dari bendahara, seperti yang dijelaskan oleh Ibu Hmm berikut ini: ”Dalam program ini kita dikasih kesempatan yang sama, baik dalam pertemuan, maupun kegiatan program. Misalnya dalam pertemuan, materi yang akan kita bahas bulan depan itu kita diskusi dulu samasama waktu pertemuan sebelumnya jadi semuanya bisa tau apa materi yang akan dibahas, kita sama-sama diskusi. Kita juga dikasih kebebasan untuk menjalankan usaha yang kita mau. Kita juga selalu dikasih informasi mengenai simapan pinjam kelompok dan dana BLM oleh bendahara, kalau ada masalah kita bahas sama-sama. (Hmm)” Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa keberdayaan perempuan kepala keluarga pada tipologi ini sudah mencapai kesejahteraan, akses terhadap sumberdaya, partisipasi, kesadaran kritis yang masih difasilitasi oleh PL bukan dari inisiatif diri sendiri dan kontrol dalam lingkup keluarga dan kelompok saja.
8.3 Perempuan Kepala Keluarga Aktif Perempuan kepala keluarga yang aktif dalam program adalah Ibu NT dan Ibu Am. Ibu-Ibu ini sudah memperlihatkan keaktifannya dari sejak dimulainya program hingga sekarang. Mereka sudah mulai aktif dalam pertemuan sosialisasi yang ditandai dengan adanya masukan, memberikan pendapat dan pertanyaan. Keduanya memiliki tingkat pendidikan yang lebih tinggi, berumur lebih muda sehingga dipercayai oleh anggota lain untuk menjadi pengurus kelompok yaitu sebagai sekretaris dan bendahara kelompok. Tingkat keberdayaan mereka dilihat dari tingkat kesejahteraan yang ditandai dengan adanya peningkatan jumlah pendapatan yang diterima dari usaha yang mereka jalankan. Ibu NT memiliki usaha jualan kios yang dikelola oleh adiknya, karena Ibu NT memiliki pekerjaan lain sebagai pengajar sehingga tidak memiliki waktu untuk menjalankan usaha. Sedangkan Ibu Am memiliki usaha di bidang usahatani. Sebelum mengikuti program ini, Ibu Am menjadi buruhtani ketika musim ke sawah,
107
pendapatan rata-rata per hari sebesar Rp20 000. Namun, setelah mendapat bantuan modal usaha Ibu Am sudah berani menggarap sawah orang lain dengan sistem bagi hasil. ”..sekarang ada lah penambahan sedikit dibandingkan dulu sebelum dapat modal usaha. Dulu saya cuma jadi buruhtani cuma dapat dua puluh ribua rata-rata satu hari tapi sekarang udah bisa garap punya kakak sepupu saya, sehingga pendapatan jadi namabah. Saya bisa dapat untung lima juta sekali panen kalau padinya jadi. (Am)” Sedangkan pendapatan yang diterima Ibu NT bertambah dari usahanya sekarang. Dalam usaha kiosnya Ibu NT mengaku mendapat keuntungan rata-rata Rp1 500 000 per bulan. Keuntungan tersebut dibagi dengan adiknya sebagai pengelola. Berikut hasil wawancara dengan Ibu NT: “Dari usaha kios itu saya dapat pendapat rata-rata sebulan satu juta setengah tapi saya bagi dua adek saya karena dia yang kelola, sebagian buat bayar pinjaman dan yang lain saya simpan di kas kelompok. (NT)” Tingkat kesejahteraan juga dapat dilihat dari tingkat simpanan mereka di kelompok. Ibu NT yang memiliki jumlah simpanan kelompok sebesar Rp450 000 dan Ibu Am sebesar Rp95 000. Berdasarkan hasil wawancara dengan Ibu NT, dia mengaku bahwa pendapatan yang diperoleh dari usaha kiosnya sebagiannya disimpan di kas kelompok, sedangkan untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya dia menggunakan pendapatan dari pekerjaannya sebagai pengajar. Berikut adalah hasil wawancara dengan Ibu NT: “Saya kan bendahara, jadi kalau saya ada uang lebih saya simpan saja ke kas kelompok. Biasanya keuntungan dari kios yang saya simpan, sedangkan untuk kebutuhan sehari-hari saya pakai uang gaji saya. Saya kira dengan begitu saya bisa bantu anggota lain kalau ada yang perlu pinjaman. (NT)” Selain itu, Ibu NT juga sudah melakukan peminjaman tahap kedua karena telah melunasi pinjaman sebelumnya. Jumlah peminjaman Ibu NT sekarang berjumlah Rp4 000 000, di mana pinjaman tahap pertama sebesar Rp2 500 000 dan tahap kedua sebesar Rp1 500 000, seperti penjelasan Ibu NT berikut ini: “Saya udah pinjam kedua kali, pertama saya pinja dua juta setengah, dan udah lunas dan yang kedua saya pinjam satu juta setengah tapi belum lunas, sembilan ratus ribu lagi. Jadi, bagi anggota yang sudah melunasi pinjaman pertama baru boleh pinjam selanjutnya biar gak banyak tunggakannya. (NT)”
108
Berbeda halnya dengan Ibu Am yang memiliki jumlah simpanan hanya Rp95 000. Ibu Am mengaku jumlah simpanannya di kelompok masih rendah, karena beliau lebih memilih untuk terlebih dahulu melunasi dana pinjaman modal usaha sehingga bisa melakukan pinjaman selanjutnya. “Simpanan saya di kas kelompok masih sedikit ya. Saya mau lunasi dulu pinjaman modal usaha saya kalau ada uang biar bisa pinjam lagi. Kan kalau simpanan bisa kapan aja. Kalau udah lunas kitapun gak kepikiran lagi. (Am)” Peningkatan kesejahteraan perempuan kepala keluarga pada tipologi ini juga dapat dilihat dari kepemilikan aset. Kepemilikan aset mereka berbeda-beda tergantung kepada jumlah pendapatan yang diperoleh dari usaha mereka masingmasing. Ibu Am sudah dapat membeli sepeda motor, sedangkan Ibu NT sudah dapat memperluas kios tempat usahanya. Seperti hasil wawancara dengan Ibu Am dan Ibu NT berikut ini: “Dari hasil usaha saya selama ini saya udah bisa beli motor...(NT)” “..kalau saya ada keuntungan udah bisa perluas kios sedikit biar luas jadi barang-barangnya gak ditarok di rumah lagi. (NT)” Ibu-Ibu ini memiliki akses terhadap dana Bantuan Langsung Masyarakat (BLM). Jumlah dana yang diperoleh bervariasi ada yang sesuai dengan proposal dan ada juga yang tidak sesuai (besar dana BLM masing-masing anggota dapat dilihat pada Tabel 8.). Ibu NT memperoleh dana pinjaman sebesar Rp4 000 000 dengan dua kali pinjaman, sedangkan Ibu Am memperoleh pinjaman sebesar Rp1 500 000. Akses lain yang dimiliki oleh perempuan kepala keluarga ini adalah layanan untuk mendapatkan pengobatan gratis di puskesmas atau rumah sakit sama dengan masyarakat lain. Selain memiliki akses terhadap program-program PEKKA, kedua ibu ini juga memiliki akses terhadap program lain, misalnya mereka pernah memiliki kesempatan untuk mengikuti pelatihan yang diadakan pihak kecamatan melalui program PKK atau kegiatan-kegiatan desa lainnya. Berikut hasil wawancara dengan Ibu NT: “Saya pernah ikut pelatihan tentang peningkatan kapasitas pemudi tingkat kecamatan, saya dan Am disuruh mewakili desa ini oleh Ibu Geuchik. Kami juga pernah ikut kegiatan dari PNPM ya, mungkin karena kami belum nikah dan masih muda makanya sering disuruh ikut kegiatan. (NT)” Kedua Ibu ini memiliki tingkat partisipasi yang cenderung tinggi dalam kegiatan program dan kelompok mengingat keduanya merupakan pengurus kelompok (Tingkat kehadiran dan keaktifan dalam kelompok telah dibahas pada bab 5). Selain itu, kedua Ibu ini juga aktif dalam kegiatan-kegiatan desa. Ibu NT selain menjabat bendahara dalam kelompok, juga menjabat bendahara dalam kegiatan PKK,
109
sedangkan Ibu Am sebagai ketua pemudi desa. Keduanya mengaku sering hadir dalam rapat desa baik rapat khusus perempuan maupun rapat yang melibatkan lakilaki. Mereka mengaku sering juga memberikan saran, pendapat atau pertanyaan dalam rapat tersebut, tidak ada perbedaan antara kaum laki-laki dan perempuan semua diberikan hak dan akses yang sama, seperti yang disampaikan oleh Ibu NT: “Saya selain bendahara kelompok, saya juga bendahara PKK jadi saya harus aktif dikedua kegiatan itu, saya juga sering hadir kalau ada rapat di desa. Saya juga sering bertanya atau kasih pendapat dalam rapat walaupun rapat itu dihadiri oleh laki-laki, semua boleh bicara. (Rh)”: Selain aktif dalam kegiatan desa, Ibu NT dan Ibu Am juga pernah menjadi anggota KPPS ketika pemilu dan pemilukada yang lalu. Keberanian mereka mengikuti kegiatan ini merupakan hasil dari pelatihan dan pendampingan terus menurus yang dilakukan selama pelaksanaan program. Berikut kutipan wawancara dengan anggota kelompok: “Manfaat yang saya rasakan banyak ya, dari yang dulu tidak mengerti politik sekarang jadi mengerti walaupun belum banyak. Saya juga udah berani ketika diminta menjadi anggota KPPS waktu Pemilu dan Pemilukada dulu. Saya udah berani tampil kalau ada kegiatan-kegiatan lah, kalau dulu saya gak berani takut salah, padahal gak apa-apa ya. (NT)” Hal yang serupa juga disampaikan oleh Ibu Am berikut ini: “Saya udah pernah jadi anggota KPPS waktu pemilu dulu. Dulunya saya gak berani tapi sekarang selama ikut program ini saya jadi lebih berani tampil di muka umum. (Am)” Perempuan kepala keluarga pada tipologi ini selain mengikuti training lokakarya membangun visi misi bersama anggota lainnya. Mereka juga pernah mengikuti beberapa pelatihan khusus pngurus kelompok mengenai kepemimpinan, manajemen, administrasi dan pembukuan. Mereka juga pernah mengikuti dialog dan pertemuan dengan aparat kepolisian bersama dengan anggota lainnya. Berikut hasil wawancara dengan Ibu Am: “Selain ikut lokakarya yang wajib untuk semua peserta untuk membangun visi, misi dan identifikasi masalah, saya, Ibu AA dan Ibu Am sebagai pengurus kelompok juga pernah mengikuti beberapa pelatihan menyangkut kepemimpinan, manajemen dan masalah pembukuan serta administrasi. Selain itu kita juga dapat materi pengembangan diri setiap pertemuan bulanan anggota. (Am)”
110
Kedua Ibu ini juga memiliki kontrol berkaitan dengan bagaimana mengelola penggunaan pinjaman dan tabungan serta keuntungan yang dihasilkan. Mereka dapat memutuskan untuk menggunakan pinjaman modal dari program untuk membuka usaha dan mengembangkannya sendiri serta mampu mengembalikan dana pinjaman meskipun tidak secara teratur dan tepat waktu. Berikut adalah hasil wawancara dengan Ibu Am: “Semuanya tergantung anggota masing-masing, gimana mengelola uang pinjamannya, untuk usaha apa, semuanya kita sendiri yang putuskan. Yang penting kita bisa menyicil setoran pinjaman kita. Setoran tergantung pada kita juga bayarnya tiap bulan dalam jumlah yang gak ditentukan, atau kapan aja kita punya uang bisa langsung setor ke bendahara. (Am)” Selain memiliki kontrol dalam keluarga, perempuan kepala keluarga juga partisipasi aktif dalam mengawasi, mempertanyakan dan menentukan kegiatan kelompok karena keduanya merupakan pengurus kelompok. Mereka mengaku memiliki akses dan dapat berpartisipasi aktif dalam setiap tahapan program mulai dari tahap penumbuhan ide, perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi (telah diuraikan pada Bab 6). Perempuan kepala keluarga pada tipologi ini juga sudah mampu mengusulkan dan mengawasi pembuatan kebijakan lokal yang berhubungan dengan persoalan ketidakadilan yang mereka hadapi, misalnya mereka sudah pernah melakukan dialog dengan aparat pemerintahan tingkat kecamatan sampai dengan kabupaten bersama dengan anggota dari desa lain. Berikut hasil waawancara dengan Ibu Am: “Kalau masalah itu, dulu kita semua anggota ikut berdialog sama-sama dengan anggota dari desa lain di Center PEKKA, kita dialog dengan anggota DPRD, BPM, Bappeda dan PPK masalah yang dihadapi oleh perempuan kepala keluarga. Kita semua diberi kesempatan untuk menceritakan keluh kesah kita dan apa yang belum terpenuhi serta kendala-kendala yang dihadapi. Bagus lah jadi kita bisa mengerti dan merekapun menanggapi keluh kesah kita. (Am)”
8.4 Manfaat PEKKA Berdasarkan Pandangan Masyarakat bukan Anggota Manfaat penyelenggaraan program PEKKA bagi anggotanya juga dinilai berdasarkan dari sudut pandang masayarakat bukan penerima manfaat. Salah satu tokoh masyarakat yang dimintai pendapatnya adalah Bapak MYH yang menjabat sebagai Kepala Desa (geuchik) Dayah Tanoh. Bapak MYH menilai bahwa program PEKKA ini telah memberikan manfaat bagi anggotanya karena menurutnya kondisi perempuan kepala keluarga menjadi lebih baik dengan adanya program PEKKA. Kesejahteraan perempuan kepala keluarga menjadi lebih baik, pengetahuan dan keterampilannya juga meningkat. Bapak MYH pun berpendapat bahwa program ini
111
berkontribusi dalam menyetarakan kesejahteraan perempuan kepala keluarga dengan warga lainnya, jika tidak ada program PEKKA ini, mungkin kondisi ibu-ibu yang berstatus sebagai kepala keluarga akan jauh lebih buruk atau tidak seperti saat ini. Meski demikian, Bapak MYH menilai bahwa keberadaan PEKKA belum sepenuhnya mampu mengubah kondisi perempuan kepala keluarga yang sudah berusia lanjut. “..iya PEKKA itu programnya banyak kasih manfaat ya buat jandajanda yang ikut, selama ikut program itu mereka kelihatannya jadi lebih baik lebih sejahtera, lebih pintar dan berani. Mereka sekarang mampu hidup ssejajar dengan warga lain, daripada sebelum ada program, mereka hidupnya bisa dibilang serba kekurangan lah. Tapi janda yang udah usia lanjut tidak ada perubahan apa-apa ya karena mereka tidak lagi sanggup menjalankan usaha dan kebanyakan dari mereka tinggal dengan anaknya. (MYH)” Pendapat lain disampaikan oleh Ibu Um yang merupakan seorang tokoh agama menilai bahwa keberadaan PEKKA di desanya cukup memberikan dampak yang positif bagi para perempuan kepala keluarga karena mampu meringankan beban mereka terutama bidang ekonomi seperti adanya bea siswa bagi anak-anak mereka, pinjaman modal usaha dan kegiatan simpan pinjam kelompok. Namun demikian, beliau pesimis keberadaan program PEKKA ini dapat meningkatkan status perempuan kepala keluarga menjadi setara dengan kepala keluarga laki-laki karena bagaimanapun juga kodrat laki-laki dan perempuan berbeda. “PEKKA itu bagus ya terutama bagi anggota yang ikut. Karena sekarang sangat terbantu mereka dalam masalah ekonomi ya, dengan ikut PEKKA mereka bisa dapat pinjaman modal usaha, dapat bea siswa anak sekolah dan ada simpan pinjam jadi bisa terbantu lah untuk kebutuhan mereka. PEKKA memang sudah banyak merubah kehidupan dan perilaku janda-janda di sini ke arah yang lebih baik tapi saya belum yakin kalau perempuan itu bisa sama dengan laki-laki karena kan kodratnya emang beda. (Um)” Berbeda dengan tokoh masyarakat lainnya, Ibu Rm yang merupakan istri dari Kepala Desa Dayah Tanoh lebih menyeroti aspek sosial sebagai manfaat dari keberadaan program PEKKA ini. Menurut Ibu Rm keberadaan program PEKKA di desanya telah memberikan manfaat kepada para perempuan kepala keluarga, khususnya dari aspek sosial karena sebelum adanya program ini banyak perempuan kepala keluarga yang tidak pernah mengikuti kegiatan di desa, tidak tau program, umumnya merasa malu, minder dan tidak tahu apa-apa. Setelah adanya program PEKKA ini, mereka menjadi mempunyai kegiatan sosial yang lebih bersifat organisasi. Mereka juga sekarang menjadi aktif dalam kegiatan kemasyarakatan yang ada di desa, jika ada rapat desa mereka sudah berani datang. Keberadaan program ini juga telah mampu menggali dan mengembangkan potensi anggotanya
112
serta bisa tampil lebih percaya diri atau berani mengungkapkan pendapat di muka umum. Dari segi ekonomi, keberadaan program PEKKA ini sudah mampu meningkatkan kesejahteraan keluarga mereka melalui kegiatan pemberian pinjaman modal usaha dan kegiatan simpan pinjam kelompok. Berikut adalah kutipan wawancara dengan Ibu Rm: “Iya PEKKA memang telah beri banyak manfaat buat anggotanya. Misalnya dulu sebelum ada program ini mereka kan sangat jarang ikut dalam kegiatan desa, katanya gak berani, malu, minder kalau hadir di muka umum. Tapi sekarang mereka jadi lebih aktif dalam kegiatan desa, bahkan lsudah lebih berani diabandingkan dengan perempuanperempuan lain yang bukan anggota. kalau dari segi ekonomi, mereka sudah sudah lebih sejahtera lah buk...(Rm)”
8.5 Ikhtisar Tingkat keberdayaan perempuan kepala keluarga setelah mengikuti program pemberdayaan berbeda-beda (Tabel 13).
1.
2.
3.
4. 5.
Tabel 13 Matriks keberdayaan perempuan kepala keluarga Kriteria Tipologi perempuan kepala keluarga keberdayaan Pendengar Kurang aktif Aktif Kesejahteraan Kesejahteraan Kesejahteraan Kesejahteraan bathin (rasa material material senang, ingin (penghasilan, (penghasilan, berkumpul, dan pekerjaan, modal, pekerjaan, modal , lain-lain) dan lain-lain) dan lain-lain) Akses Pendidikan dan Dana BLM, Dana BLM, pelatihan (kelas pendidikan dan pendidikan dan KF), layanan pelatihan (KF, pelatihan (KF, kesehatan gratis Beasiswa anak), Beasiswa anak), akte kelahiran dan akte kelahiran dan KTP KTP, kegiatan desa (PKK) Partisipasi Partisipasi rendah Awalnya rendah, Tinggi (dalam kemudian kelompok dan meningkat desa) Penyadaran Belum ada Masih difasilitasi Dari diri sendiri PL Kontrol Belum ada Dalam keluarga Keluarga, dan kelompok kelompok dan masyarakat lokal
113
Tabel di atas menunjukkan bahwa tingkat keberdayaan perempuan kepala keluarga dipengaruhi oleh bentuk komunikasi partisipatif mereka dalam program. Perempuan yang aktif atau memiliki bentuk komunikasi cenderung dialogis dalam program memiliki tingkat keberdayaan paling tinggi dibandingkan dengan perempuan kepala keluarga yang kurang aktif maupun perempuan yang hanya sebagai pendengar. Secara umum, seluruh tokoh masyarakat yang diwawancarai tersebut berpendapat bahwa bagaimanapun juga, perempuan kepala keluarga tidak dapat disejajarkan dengan kepala keluarga laki-laki karena sudah menjadi kodrat bahwa laki-laki memang “lebih” dari perempuan. Terkait dengan perempuan yang memikul tanggung jawab sebagai kepala keluarga, mereka mengakui bahwa memang ada perempuan yang memikul tanggung jawab sebagai kepala keluarga, namun hanya sebatas mengakui perannya, bukan statusnya. Status kepala keluarga hanyalah milik laki-laki.