Komunike, Volume viii, No. 2, Desember 2016
KOMUNIKASI PEREMPUAN DALAM KELUARGA: ANTARA EKSISTENSI DAN TRADISI Syukur Alumni Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Email:
[email protected] Abstract Women are said to be the second subject in family while men are central in forming power. Men are attributed as strong humans who can protect and keep women as weak humans. These paradigms then grow in society life; moreover these paradigms utter the tradition who wants women always become domestic women. While today the struggle of women often becomes the new kingdom for themselves who immolate other women to find their identities. The tradition of patriarchy in society for example, the existences of women as humans who have potentials are often dammed by values of prevailing tradition. Interaction within family or social is monitored by tradition and when the women can communicate and fight discrimination, the women are attributed as bad women or they violate the norms. Ideologies which are reputed as women resistance are basically to fight and insert their rights in family community Keywords: Women, Family, Communication, Existence, Tradition.
Syukur
93
Komunike, Volume viii, No. 2, Desember 2016
Abstrak Perempuan yang dikatakan sebagai subjek kedua dalam keluarga, sedangkan laki-laki sebagai sentral dalam membentuk kekuasaan. Laki-laki dinisbatkan sebagai manusia tangguh (fisik) yang dapat melindungi dan menjaga perempuan sebagai manusia yang lemah. Paradigma ini kemudian mengakar secara kental dalam kehidupan masyarakat, terlebih lagi paradigma ini melahirkan tradisi yang menginginkan perempuan selalu menjadi perempuan domestik. Sedangkan perjuangan perempuan dewasa ini terkadang menjadi kerajaan baru bagi perempuan itu sendiri, yang mana mengorbankan perempuan-perempuan lain untuk mendapatkan identitasnya. Tradisi patriarki dalam masyarakat misalnya, eksistensi perempuan sebagai mahkluk yang memiliki potensi acapkali dibendung oleh nilai-nilai tradisi yang berlaku. Interaksi dalam keluarga maupun sosial dimonitoring oleh tradisi, ketika perempuan mampu berkomunikasi dan melawan diskriminasi, maka perempuan dinisbatkan sebagai perempuan yang tidak baik atau melanggar norma-norma. Ideologi-ideologi yang dianggap sebagai perlawanan perempuan tersebut pada dasarnya hanya untuk memperjuangkan dan menyisipkan hak-hak mereka dalam komunitas keluarga. Kata Kunci: Perempuan, Keluarga, Komunikasi, Eksistensi, Tradisi. A. Pendahuluan Diskursus yang tidak pernah luntur dibicarakan dalam dunia akademis adalah perempuan, karena dari sudut manapun, perempuan begitu seksi untuk dibahas, mulai dari fisik sampai pada idiologi. Buku Megatrend 2000 yang ditulis oleh John Naisbith dan Patricia Aburdene meramalkan bahwa abad ke-21 merupakan abad perempuan sehingga perempuan diharapkan dapat menyambut abad ke-21 dengan
94
jauh lebih optimis.1 Namun, kondisi perempuan Indonesia dewasa ini agaknya memunculkan keraguan, tidak banyak perempuan Indonesia mampu mempertahankan dan menguatkan eksistensinya sebagai bentuk memperkuat identitasnya. Perempuan dituntut untuk semaksimal mungkin memanfaatkan Loekman Soetrisno, Kemiskinan, Perempuan dan Pemberdayaan, (Yogyakarta: Kanisius, 1997), 61. 1
Komunikasi Perempuan dalam Keluarga: Antara Eksistensi dan Tradisi
Komunike, Volume viii, No. 2, Desember 2016
kesempatan yang ada, memiliki sikap yang mandiri sebagai bentuk kebebasan yang ada “pra-terikat” dalam mengembangkan diri sebagai manusia sesuai dengan kemampuan yang dimiliki. Perempuan dan laki-laki sebagai aktor dari komunikasi, memiliki peran central dalam memainkan fungsi dan tujuan komunikasi. Sebagai mahluk individu maupun sosial, manusia diberi kelebihan secara fungsional untuk berinteraksi dan menjalin hubungan, baik dalam bertahan hidup dan membangun mitra kerja. Karena komunikasi merupakan unsur terpenting dalam diri seseorang maupun dalam kehidupan umat manusia. Seperti halnya yang dipaparkan oleh Mulyana bahwa prilaku komunikasi masuk sebagai budaya dalam masyarakat dan komunikasi bisa menolong individu maupun kelompok dalam menentukan, mengembangkan, memelihara dan atau sebagai jejak budaya yang diwariskan kepada generasi secara turun temurun.2 Hovland, Jenis dan Kelly dalam Cangara memandang bahwa komunikasi adalah suatu proses dimana individu (komunikator) Deddy Mulyana, Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar. (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2010), 5-6. 2
mengirim atau menyampaikan stimulus (dengan menggunakan kata-kata) untuk merubah prilaku individu lainnya.3 Sedangkan Richard West dan Linn H. Turner mendevinisikan komunikasi sebagai proses sosial dimana individuindividu menggunakan simbolsimbol untuk menciptakan dan menginterpretasikan makna dalam lingkungannya.4 Dengan demikian, kedua pengertian ini dapat disimpulkan bahwa perempuan maupun laki-laki memiliki peran yang sama sebagai rantai komunikasi dalam kehidupan berkeluarga. Perempuan dan laki-laki dapat menjadi komunikator dalam berinterkasi dengan orang lain untuk membangun hubungan yang baik. Seperti yang dijelaskan oleh Mulyana bahwa komunikasi sebagai fungsi sosial dalam keberlangsungan hidup.5 Bahkan komunikasi merupakan proses interaksi sosial yang tidak terlepas dari kehidupan manusia.6 Hafied Cangara, Komunikasi Politik, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2009), 19-20. 4 Richard West, Linn H. Turner, Introducing Communication Theory: Analysis and Application. Ter. Maria Natalia Damayanti Maer. Pengantar Teori Komunikasi: Analisis dan Aplikasi, ( Jakarta: Salemba Humanika, 2009), 5. 5 Deddy Mulyana, Ilmu Komunikasi…, 5. 6 Alo Liliweri, Komunikasi Serba Ada Serba Makna, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011), 67 3
Syukur
95
Komunike, Volume viii, No. 2, Desember 2016
Gambar: I.I Kerangka berpikir dalam tulisan ini adalah sebagai berikut: Perempuan
Komunikasi
Keluarga
Tradisi Perempuan tidak Terdidik
Eksistensi Rasional Strategi Ideal
Lemah Peran
Politik
Perempuan Terdidik
Kesejahteraan Keluarga
B. Perempuan dalam Rasionalitas Keluarga dan Pendidikan Keanekaragaman arah dan tujuan perempuan dalam masyarakat membentuk satu wacana yang selama ini tetap terjaga dalam sistem sosial masyarakat. Wacana tersebut adalah “perempuan adalah perempuan” namun “laki-laki tidak hanya didefinisikan sebagai laki-laki tetapi juga sebagai rantai sosial dalam masyarakat”. Ketika perempuan didefinisikan sebagai perempuan itu sendiri, maka perempuan merupakan mahkluk yang lemah lembut, penuh kasih sayang sehingga tak membutuhkan aktivitas seperti yang dilakukan oleh
96
Sosial Masyarakat
laki-laki. Perempuan adalah sosok “ke-ibu-an” yang dapat meredam amarah, kesejukan dan kedamaian dalam keluarga-lah yang dapat dilakukan oleh perempuan. Lakilaki memiliki kebebasan yang tidak dapat terjangkau oleh perempuan, sedangkan perempuan diikat oleh berbagai rantai, walaupun terkadang dirantai oleh kilauan emas.7 a. Keluarga Apa yang dapat dilakukan perempuan dalam keluarga?. Berbicara masalah
M. Quraish Shihab, Perempuan: dari Cinta sampai Seks, dari Nikah Mut’ah sampai Nikah Sunnah, dari Bias Lama sampai Bias Baru, ( Jakarta: Lentera Hati, 2014), 388. 7
Komunikasi Perempuan dalam Keluarga: Antara Eksistensi dan Tradisi
Komunike, Volume viii, No. 2, Desember 2016
potensi8, perempuan adalah manusia yang memiliki potensi atau kelebihan sesuai yang dimiliki. Namun, meng ekspresikan potensi yang dimiliki perempuan merupakan permasalahan central yang dihadapi selama ini. Pasalnya, perempuan dalam keluarga dihadapkan dengan fungsinya sebagai seorang ibu (melahirkan, menyusui dan membesarkan) maupun egokejantanan laki-laki yang tidak memiliki harga diri jika dihidupi oleh perempuan. Dua dilema ini merupakan penghambat perempuan untuk menjadi perempuan mandiri (berpenghasilan tetap) yang mampu menciptakan generasi cerdas dengan akar yang kuat (ekonomi). Kenyataan ini, tidak nampak ideal dan rasional ketika berbicara masalah potensi manusia yang dianugerahkan oleh Tuhan. Perempuan dan lakilaki adalah manusia yang sama-sama memiliki peran dan fungsi, tidak hanya pada konteks rantai sosial dalam masyarakat juga regenerasi kehidupan di muka bumi ini. Salah satu indikator yang dapat dilihat dalam 8
Potensi dimaknai sebagai kekuatan, sebuah kekuatan yang tersembunyi didalam diri seseorang. Lihat Jalaluddin, Teologi Pendidikan, ( Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001), 137. Lihat juga, Slamet Wiyono. Manajemen Potensi Diri, ( Jakarta: Grasindo, 2004, 37-38. Begitu juga dengan Chalijah Hasan. Dimensi-Dimensi Psikologi Pendidikan, (Surabaya: al Ikhlas, 1994), 35.
hal ini adalah komunikasi, karena komunikasi dapat membentuk potensi dalam diri perempuan. Dalam hal inilah, perempuan dan laki-laki dilihat sebagai subjek yang dapat berinteraksi dengan satu sama lainnya. Kemampuan berkomunikasi tidak hanya dimiliki oleh laki-laki, namun perempuan juga dapat membangun dan mempertahankan kesejahteraan keluarga dengan kemampuan berkomunikasi. Dalam kitab “Duratin Nasihin” menjelaskan secara tegas bahwa “dan kami anugerahkan anak Adam itu atas kebanyakan dari apa yang telah aku ciptakan, hal kelebihan dan aku anugerahkan kepada anak adam dengan semulia-mulianya”.9 Dengan demikian, gambaran ini memberikan makna tentang potensi bahwa manusia (perempuan maupun laki-laki) memiliki gerak (daya) untuk merealisasikan peran masing-masing secara proporsional. Sehingga pemikiran lama dengan pemikiran baru perlu diikat menjadi satu untuk mendapatkan solusi yang tidak berdampak pada diskriminasi satu sama lain. Sehingga demikian, perempuan dalam keluarga se tidaknya ada tiga hal penting yang dapat dilakukan. Ahmad Sakiri Al-hubui, Durratin Nasihin, (Bandung: Sarikat Ma’rif Littobii, t.t, 118. 9
Syukur
97
Komunike, Volume viii, No. 2, Desember 2016
Pertama, Membangun komuni kasi. Kecepatan komunikasi tak dapat dielakkan pada zaman modern saat ini, komunikasi mampu melesat secepat waktu dengan menggunakan teknologi. Mulai dari penggunaan HP sampai online Cat-Rome yang memungkin individu dapat berkomunikasi secara langsung dalam membangun komunikasi sesuai dengan tujuan. Dalam konteks perempuan, “melek teknologi” merupakan hal yang harus disadari guna membangun kemunikasi yang lebih luas. Kedua, Mempertahankan iden titas10. Identitas perempuan dalam keluarga yang dibenturkan dengan doktrin atau penafsiran yang salah terhadap ajaran agama dan tradisi patriarkal yang memposisikan perempuan sebagai pekerja domes tik. Dalam pandangan penulis, pada dasarnya perempuan tidak lahir dalam wujud yang lemah maupun dalam kekangan laki-laki. Namun, dilahirkan dalam wujud yang memiliki pilihan (choise) dan hanya pada konteks instansi keluarga Identitas merupakan suatu konsep yang dibentuk dan dibangun dimana ia tinggal yang membedakan satu sama lain. Identitas merupakan sifat yang mendasar dalam diri seseorang. Lihat Katryin Woodward, 1997, 301. Giles and Middleton, t.t, 30. Stuart Hall, 1990, 227. 10
98
perempuan diikat tanpa pilihan oleh superioritas sebagai laki-laki dan pemimpin. Terlebih lagi, paradigma masyarakat yang melekatkan perempuan pada daya tawar yang lemah, dikarenakan pemikiran lama tentang “mun te besentuh ime doang teparan bau betian”,11 sehingga ketika perempuan keluar dengan “jarak” yang jauh, hal terebut dianggap sebagai aib bagi keluarga, berbeda halnya dengan laki-laki. Ketiga, Merancang masa depan keluarga. Perempuan yang dilahirkan idiologinya melalui pendidikan, tentu saja tidak sebanding dengan perempuan yang tidak terdidik walaupun idiologi tetap ada. Namun, idiologi yang dimiliki oleh perempuan tidak terdidik lahir secara keluarga dan sosialmasyarakat, sehingga ada jarak yang Hanya bersentuhan tangan dianggap bisa membuat perempuan hamil”. Dalam masyarakat sasak (generasi lama) telah banyak cerita yang menarik dan unik tentang gaya berpacaran. Yang mana gaya pacaran jauh berbeda dengan gaya pacaran generasi masa kini. Kebebasan telah membuat jarak tidak menjadi persoalan ditambah lagi kecanggihan teknologi. Perempuan dan lakilaki dengan mudah bahkan tanpa jarak untuk dapat melampiaskan kebutuhannya (nafsu). Sedangkan orang tua (generasi lama) ketika bertamu kerumah perempuan memiliki jarak yang tidak bisa dilanggar, bahkan ketika perempuan dan laki-laki hanya bersentuhan tangan akan menjadi aib. 11“
Komunikasi Perempuan dalam Keluarga: Antara Eksistensi dan Tradisi
Komunike, Volume viii, No. 2, Desember 2016
jelas diantara keduanya. Misalnya: pendidika melahirkan perlawanan sedangkan keluarga dan sosialmasyarakat (tradisi) melahirkan ketaatan. Dengan demikian, dari kedua perbedaan ini, tentu saja melahirkan manajemen keluarga yang berbeda dan tidak terlepas dari doktrinasi yang ada. Perempuan terdidik dengan konsepsi yang dihasilkan dari pendidikan, setidaknya dua hal penting yang harus dipahami dalam merancang masa depan keluarga. 1. Rasionalitas Pendidikan Keinginan pendidikan pada dasarnya dapat dilihat dari tiga konsep (Tri Darma Perguruan Tinggi) yang dimiliki, yakni: pengembangan penelitian dan pengabdian. Dalam ketiga konsep ini penulis lebih menafsirkan pada konteks perempuan. Dimana pengembangan didefinisikan sebagai bentuk proses aktualisasi diri terhadap nilainilai pendidikan yang dimiliki. Kaum perempuan dituntut untuk mampu mengembangkan diri secara universal (keluarga, sosial masyarakat, politik dll). Secara penelitian, perempuan tidak hanya dirumuskan oleh pendidikan sebagai subjek namun juga dirumuskan sebagai
objek itu sendiri. Sedangkan secara pengabdian, ketaatan dan kebebasan perempuan dipilah dan dipilih untuk dapat menerapkan nilai-nilai pendidikan yang telah dinikmati. 2. Rasionalitas Tradisi Problema yang muncul pada tradisi pada dasarnya dapat dilihat dari pertanyaan: adakah konsep tradisi yang ideal? Tradisi yang mampu memposisikan manusia secara proporsional dan tradisi yang dapat menjadikan individu atau kelompok terbangun dengan kesadaran bersama atas diskriminasi maupun penindasan. Namun, hal yang dapat dipahami bahwa tradisi dianggap sebagai “objek” yang diyakini dan dibangun sesuai subjektif setiap orang, kemudian disepakati bersama untuk membangun satu nilai yang objektif sebagai adat yang berlaku dalam masyarakat tersebut. Sehingga nilai-nilai rasionalitas tradisi diukur berdasarkan kesepakatan bersama bukan berdasarkan nilai-nilai objektif dari tradisi itu sendiri, yang dipandang sebagai nilai-nilai yang utuh dan tidak tercampur dengan idiologi “kepentingan” individu maupun kelompok. Sedangkan
Syukur
99
Komunike, Volume viii, No. 2, Desember 2016
perempuan yang tidak terdidik berpatokan pada satu konsep, yakni rasionalitas tradisi, karena idiologi yang terbangun berdasarkan keluarga dan sosialmasyarakat secara utuh. Dimanakah posisi perempuan dalam keluarga?. Pertanyaan kedua ini merupakan pertanyaan yang mudah dan tidak tabu, pertanyaan yang pada dasarnya sudah terjawab oleh realita yang ada. Dimana perempuan dan laki-laki memiliki posisi masing-masing dalam keluarga. perempuan sebagai ibu dan lakilaki sebagai pemimpin (bapak), laki-laki sebagai pencari nafkah dan perempuan sebagai penerima nafkah, dan seterusnya. Namun, hal yang perlu disadari bersama adalah perubahan zaman yang menuntut suatu peran yang baru, sebuah peran yang menempatkan perempuan dan laki-laki pada posisi yang seimbang walaupun tidak selamanya peran harus disetarakan. Gerakan perempuan yang dibangun dalam bingkai women in development (WID) pada tahun 70-an12 memberi arti bahwa Lihat Rian Nugroho, Gender dan Administrasi Publik: Studi tentang Kesehatan Gender dalam Administrasi Publik Indonesia
terdapat angin segar walau pada kritik yang muncul perempuan masih dijadikan sebagai objek pembangunan. Di satu sisi, perempuan memiliki kesempatan untuk berpartisipasi, dilain sisi perempuan ditafsirkan sebagai pelengkap. Namun, kenyataan positif terhadap agenda WID bagi perempuan adalah awal “nafas baru” dalam merebut setiap hak-hak yang sepantasnya menjadi milik perempuan. Karena Bim salabim bukanlah wujud sempurna karena setiap gerakan terdapat proses yang panjang dalam mewujudkan posisi tawar yang tinggi bagi perempuan. b. Pendidikan Wajah pendidikan dewasa ini nampak dengan jelas bahwa kesetaraan telah mencapai kese imbangan antara laki-laki dan perempuan. Refresentasi perem puan yang mengeyam pendidikan telah mencapai titik perubahan yang signifikan. Namun, persoalan yang muncul dalam hal ini adalah refresentasi politik kampus “mahasiswa” yang masih didominasi oleh laki-laki, mulai dari presiden mahasiswa sampai ketua kelas
12
100
pasca-reformasi 1998-2002, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), 70-76.
Komunikasi Perempuan dalam Keluarga: Antara Eksistensi dan Tradisi
Komunike, Volume viii, No. 2, Desember 2016
yang kelihatannya perempuan membiarkannya langgeng dengan begitu saja.13 Kaum perempuan seakan-akan “acuh tak acuh” terhadap hak politik yang dimiliki. Dimana ketidak ingin-tahuan perempuan ini pun berimbas pada kehidupan politik praktis dalam tataran pemerintah, presentasi 30% yang diperuntukkan bagi perempuan tetap saja selalu dipertanyakan kerasionalitasanya. Kondisi dan situasi ini pun menjadi doktrin yang selalu berlanjut dari generasi ke generasi. Padahal demikian tidak nampak ideal terhadap pembelajaran politik bagi perempuan. Apakah perempuan tidak mampu berkomunikasi dengan baik?. Tentu saja, doktrin pendidikan tidak membedakan kemampuan setiap mahasiswa. Mahasiswa dibebaskan Hasil Analisis penulis terhadap politik kampus yang dilakoni mahasiswa/i yang ada di IAIN Mataram. Perempuan yang dijuluki MAHA-SISWI tidak banyak menymbangkan idiologinya untuk kemajuan perempuan secara umum. Mereka hanya berkutat pada penyelesaian kuliah untuk dapat mengenyam dunia kerja lebih cepat. mereka melupakan untuk menelurkan ide-ide yang cemerlang guna perubahan gerakan perempuan yang lebih baik. Namun, penulis juga tidak menafikkan bahwa setiap iraman musik ada pemainnya masing-masing yang bersifat “regenerasi”. Bisa saja, gerakan perempuan yang sekarang, jauh berbeda dengan gerakan perempuan dimasa mendatang. 13
untuk berekspresi dalam menggali setiap potensi yang dimiliki dan bertarung melawan waktu untuk meraih masa depan yang lebih baik, sehingga tidak ada belenggu yang akan menghambat setiap mata rantai mahasiswa untuk melahirkan gaya komunikasi yang handal, terutama kaum perempuan. Satu hal yang penulis sadari bahwa kemampuan perempuan untuk berkomunikasi dalam keluarga tidak terlepas dari rekam jejaknya disaat menjadi mahasiswa. Pendidikan sebagai wadah untuk mengasah diri dalam mempertajam ide dan kreatifitas dapat berdampak pada kemampuan perempuan untuk ikut serta dalam membangun kesejahteraan keluarga, begitu juga sebaliknya. Djuwaeli dalam hal ini menjelaskan bahwa dengan kemampuan berbicara atau berkomunikasi, manusia dapat menyatakan diri dengan lebih jelas, sehingga pendidikan memiliki tugas untuk dapat menentukan generasi untuk dapat mengungkapkan diri dalam berbicara atau berkomunikasi, berfikir dan bertindak untuk dapat berinteraksi secara lebih luas.14
A. Arsyad Djuwaeli, Pembaruan Kembali Pendidikan Islam, ( Jakarta: Karsa Utama Mandiri, 1998), 3. 14
Syukur
101
Komunike, Volume viii, No. 2, Desember 2016
C. Komunikasi Terbuka dalam Keluarga: Perempuan dalam Tantangan Tradisi Siapakah pemain utama dalam keluarga ketika dihadapkan dengan gelombang persoalan?. Komunikasi terbuka dalam keluarga dapat dimaknai sebagai wujud keterbukaan keluarga (suami, istri dan anak) dalam menumbuhkembangkan nilai-nilai positif dalam keluarga. Ruang-ruang diskusi yang dibangun secara kolektif dan tanpa adanya diskriminasi akan membentuk keluarga menjadi lebih pleksibel, yang mana penulis sebut sebagai perempuan “bebasterkontrol”. Selain itu, Johnson mendefinisikan komunikasi terbuka sebagai bentuk saling memahami, saling mempercayai, saling membuka diri (mengkomunikasikan dan merespon situasi yang sedang dihadapi), baik berupa ucapan atau perbuatan yang didasari atas komunikasi yang dilakukan.15 Sedangkan Yusuf menjelaskan bahwa komunikasi terbuka merupakan keterbukaan masing-masing anggota keluarga guna menghindari ketidaksejahteraan dalam keluarga.16 Johnson, Komunikasi Keluarga: Kunci Kebahagiaan Anda, (Yogyakarta: Kanisius, 1981), 204. 16 Pawit M. Yusuf, Ilmu Informasi, Komunikasi dan Kepustakaan, ( Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2009), 23.
Namun, persoalan yang muncul dalam hal ini adalah tradisi yang pro-laki-laki, dimana laki-laki dilanggengkan kesuperioritasannya sebagai pemimpin. Tradisi ini lebih memunculkan nilai jual laki-laki sebagai pencari nafkah, bahkan doktrin laki-aki sebagai “pencari nafkah” menjadi biang kerok terhadap pelabelan “lemah” pada perempuan. Dengan kata lain, perempuan selalu menjadi “bahan makanan” yang dianggap dapat memberikan kepuasan bagi lakilaki. Menurut Funk dan Wagnalls dalam Muhamimin menggambarkan bahwa tradisi diartikan sebagai pengetahuan, doktrin, kebiasaan dan praktek turun temurun.17 Dengan demikian, dapat dipahami bahwa tradisi merupakan sistem yang tidak dapat dielakkan dalam masyarakat, tradisi memiliki posisi central dalam mengatur tingkah laku, bahasa maupun aktivitas “gerakan” perempuan dalam mewujudkan harapan dan cita-cita yang tertanam sejak kecil. Tradisi memposisikan individu menjadi satu kesatuan yang (patuh, patut dan patju18) dan tidak dapat
15
102
Muhaminin AG, Islam dalam Bingkai Budaya Lokal: Potret dari Cirebon, Ter. Suganda, (Ciputat: PT. Logos Wacana Ilmu, 2001), 11. 18 Selain sebagai Semboyan Lombok Timur, tetapi secara umum semboyan 17
Komunikasi Perempuan dalam Keluarga: Antara Eksistensi dan Tradisi
Komunike, Volume viii, No. 2, Desember 2016
ditolak oleh individu (perempuan) baik dalam keluarga maupun lingkungan masyarakat. Posisi ini memberi peluang yang pada dasarnya tidak hanya bagi lakilaki, namun perempuan juga dapat memposisikan diri sebagai bagian dari tradisi itu sendiri. Perempuan bisa saja sebagai pemain utama maupun sebagai garda kedua dalam mempertahankan nilai-nilai tradisi maupun melawan nilai-nilai tradisi yang bersifat merugikannya. D. Eksistensi Perempuan dalam Keluarga: Benarkah Perempuan itu Lemah Bagaimana cara perempuan mempertahankan eksistensinya dalam keluarga?. Tulisan Erniati tentang “menjadi perempuan bukan diperempuankan” menggambarkan bahwa kelembutan yang dimiliki perempuan tidak lantas disosialisasikan sebagai perempuan yang lemah. Karena perempuan tidak hanya dipandang sebagai pemuas nafsu laki-laki atau konotasi negatif lainnya. Perempuan juga mampu menjadi mitra kerja laki-laki yang tidak melepas kodratnya sebagai ini diterapkan dalam masyarakat Sasak. Perempuan diharapkan menjadi istri yang patuh, patut akan tingkah laku dan padju dalam memelihara hubungan keluarga maupun melayani kebutuhan suami dan anak.
ibu rumah tangga. Setidaknya identitas perempuan terdapat dua pilihan, menjadi “perempuan” atau “diperempuankan”. Nur Aida dalam tulisan Erniati menjelaskan bahwa perempuan berarti memilih identitas diri dan sosial sesuai keinginan, bukan karena tawaran yang ada. Sedangkan A. Nur Fitri Balasong dalam Erniati juga menjelaskan bahwa menjadi perempuan adalah pilihan identitas yang dilakukan dengan bebas, rasional dan eksis dari seseorang mahluk hidup sehingga identitas keperempuanannya men jadi suatu kebanggaan. Sedang kan diperempuankan merupakan proses penekanan dan cendrung mengeksploitasi atas jenis kelamin perempuan untuk tunduk pada realitas yang seringkali merugikan jenis kelamin perempuan itu sendiri.19 Gambaran ini, memberikan pemahaman bahwa perempuan pada dasarnya tidak lahir dalam wujud yang lemah, hanya saja perempuan dilemahkan oleh sistem dan tradisi dalam masyarakat. Pembentukan identitas perempuan selama ini masih berpatokan pada sifat keibuibuan yang dimiliki oleh perempuan, Erniati, “Menjadi Perempuan atau Diperempuankan”, Jurnal Musawa, vol. 3. No. 1, Juni 2011, 81-83. 19
Syukur
103
Komunike, Volume viii, No. 2, Desember 2016
sehingga selama konstruksi ini masih ada, maka perempuan selamanya akan dianggap lemah, baik dalam sistem keluarga maupun sistem sosial masyarakat. Salah satu cara yang dapat dilakukan oleh perempuan harus mampu berpikir progresif. Berpikir progresif dalam keluarga didasari atas kesadaran individu terhadap keadaan keluarga yang dikaitkan dengan lingkungan atau sosial masyarakat. dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mendefinisikan progresif adalah ke arah kemajuan, berhaluan ke arah perbaikan keadaan sekarang dan bertingkat-tingkat naik.20 Dengan demikian, dari pen jelasan di atas seyogyanya ada dua proses yang harus dipahami oleh perempuan dalam mempertahankan eksistensinya sebagai perempuan dalam keluarga. 1. Suami sebagai “Teman-Hidup” Dalam pandangan penulis, menjadikan laki-laki sebagai “temanhidup” tidak seperti gambaran perempuan pra-nikah, dalam arti: gambaran perempuan tentang laki-laki akan selalu romantis dan tetap berjuang mempertahankan kebahagiaan yang didasarkan KBBI Online. Diambil pada tanggal 02 september 2015.
pada romantisme perjuangan dengan kata-kata “alay” dan perbuatan yang berlebihan untuk mempertahankan cinta perempuan terus berdampak pasca-pernikahan. Padahal yang dilakukan laki-laki dalam perjuangan cinta, berbeda dengan perjuangan laki-laki ketika perempuan telah menjadi milikinya. Hal ini dikarenakan tugas laki-laki sebagai pencari nafkah. Dalam hal ini, M. Quraish Shihab menjelaskan bahwa ada satu hal yang hilang dan ada satu hal dipertahankan oleh laki-laki, sedangkan perempuan mempertahankan kedua-duanya. Dimana satu hal yang hilang dari laki-laki adalah kebahagian rohani perempuan, sedangkan yang dipertahankan adalah kebahagiaan jasmani (seksualitas).21 Dengan demikian, suami sebagai “teman-hidup” dapat berjalan ketika perempuan mampu mengkomunikasikan idiologi dan harapannya. Karena kemampuan berkomunikasilah yang dapat menentukan arah dan tujuan sebuah keluarga. Apalagi ketika perempuan dihadapkan dengan kehamilan, seksualitas laki-laki bisa saja menjadi pemicu hubungan keluarga.
20
104
21
Lihat M. Quraish Shihab, Perempuan…,
245.
Komunikasi Perempuan dalam Keluarga: Antara Eksistensi dan Tradisi
Komunike, Volume viii, No. 2, Desember 2016
2. Suami sebagai “Teman-Kerja” Laki-laki sebagai “temankerja” bukanlah hal yang mudah untuk dilakukan, kesamaan idiologi dan harapan menjadi tantangan perempuan untuk tetap mempertahankan identitasnya sebagai perempuan. Terlebih lagi tradisi dalam masyarakat terkadang berbanding terbalik dengan idiologi dan harapan perempuan. Sehingga perempuan dapat merumuskan pola hubungan kerja yang dibangun berdasarkan kepentingan keluarga. Kondisi perempuan sebagai ibu rumah tangga tentu saja tidak terlepas dari kebutuhan “waktu” secara normal, profesi sebagai pekerja domestik membutuhkan penghormatan dan penghargaan yang bersifat rohani maupun jasmani dalam upaya pengakuan laki-laki terhadap keberadaan perempuan sebagai pekerja domestik. Tentu saja peremusan ini dikomunikasikan dalam berbagai bentuk, baik secara individu keluarga maupun secara kolektif, misalnya Aliansi Perempuan Pekerja Domestik (APPD). Gambar: I.II Proses berajalan berkelindan dalam mempertahankan eksistensi perempuan dalam keluarga.
E. Wacana Agama dan Modern dalam Keluarga: Perempuan dalam Tuntutan Zaman Kesalahan pada agama pada dasarnya tidak terletak pada ajaran yang diampaikan, melainkan terletak pada penafsiran yang berbau kepentingan. Terkadang agama dijadikan sebagai embelembel kesejehateraan dalam setiap penafsiran yang ditawarkan. Surat An-Nisa’ Ayat 34 misalnya, kesejahteraan dalam konteks kelanggengan superioritas laki-laki membentuk ketidaksejahteraan peran perempua. Kemampuan berkomunikasi perempuan sesuai dengan tuntutan zaman terhambat oleh ketidaksejahteraan peran yang dimiliki. Bahkan pelabelan kemiskinan yang didominasi oleh perempuan disebabkan oleh doktrin tersebut. Sehingga kesadaran secara aplikatif lebih menarik bila dibandingkan dengan kesadaran secara teoritis. Sebagai contoh, wacana sosialisasi ketaatan dan kepatuhan sebagai bentuk kesadaran teoritis tidak selamanya dipahami dalam wujud aplikatif. Banyak perempuan yang merasa terkekang yang pada akhirnya berdampak pada ketidakpuasan perempuan dalam menerima doktrin teoritis tersebut. Pasalnya ketaatan dan kepatuhan yang disosialisasikan berujung pada
Syukur
105
Komunike, Volume viii, No. 2, Desember 2016
peningkatan kekebalan superioritas laki-laki dalam keluarga. Dalam konsep modernitas “aturan-modern” menjadi bagian penting untuk didiskusikan, terlebih lagi bagi kaum perempuan. Pasalnya pasar kerja modern bersifat memilah dan memilih perempuan mana yang dapat dijadikan sebagai pekerja. Mulai dari kecantikan, tinggi badan, ke-seksi-an perempuan, kemampuan perempuan berinteraksi dan lain sebagainya. Kondisi ini membentuk satu wacana bahwa tuntutan zaman dewasa ini mementingkan “kepuasan”. Misalnya: sales promotion girl (SPG) pekerjapekerja pasar modern (Mall, Café, Hotel dan lainnya) yang identik dengan kecantikan bergantung pada kepuasan pelayanan terhadap konsumen. Dimana konsumen terkadang melihat kecantikan dan kemampuan berinteraksi.22 Pertanyaannya adalah bagaimana dengan perempuan yang tidak termasuk dalam kriteria Kenyataan ini terlihat diberbagai pelosok daerah, pasar kerja modern diduduki oleh perempuan-perempuan yang memiliki keterampilan berkomunikasi dalam berinterkasi. Dan perempuan-perempuan seperti tidak lahir sebagai manusia yang lemah, namun memiliki status. Bahkan mampu merubah secara perlahan keterikatan sosial yang dilahirkan oleh tradisi. 22
106
tersebut? Apakah perempuan yang tidak termasuk, tidak mampu berkomunikasi atau berinteraksi dengan baik? Penulis merasa bahwa akan terlalu mendukung perempuan jika yang disalahkan adalah konsep yang dibawa oleh dunia modern. Karena berbagai macam sisi, dunia modern telah membawa umat manusia menjadi lebih baik. Terlebih lagi, gagasan post-modernisme menginginan “ke-ideal-an dan rasionalitas”. Hanya saja yang perlu disadari bahwa perempuan terkadang terlalu dimanjakan oleh kemegahan dunia modern, sehingga lupa terhadap tugas dan tanggungjawab yang dimiliki. Sehingga perlu ada solusi tengah yang membawa perempuan berada pada identitasnya dan mampu ikut serta dalam kemajuan zaman guna pengembangan perempuan dalam keluarga yang bertaraf sejahtera. Oleh karena itu, pendidikan (melahirkan perlawan) dan tradisi (melahirkan ketaatan dan kepatuhan) dalam masyarakat menjadi dua landasan dasar yang harus dibingkai dalam satu konsep yang utuh. Dan hal ini menjadi tugas perempuan dalam meretas pelabelan “kemiskinan” yang melakat selama ini.
Komunikasi Perempuan dalam Keluarga: Antara Eksistensi dan Tradisi
Komunike, Volume viii, No. 2, Desember 2016
F. Penutup Sebuah Wacana Menemukan Posisi Perempuan dan Laki-Laki dalam Era-Modern Terhadap Kehidupan Berkeluarga. Posisi perempuan dan laki-laki selama ini masih berporos pada dua titik, yakni: pemimpimdipimpin dan suami-istri. Laki-laki sebagai pemimpin memberi makna tentang perlindungan terhadap yang dipimpin agar terhindar dari bahaya, baik secara fisik maupun mental. Laki-laki sebagai suami (pencari nafkah) bertanggungjawab atas kebutuhan istri, baik secara individu istri yang lebih kepada peralatan kecantikan maupun secara kolektif yang lebih kepada materi (sandang, papan dan pangan). Kedua poros ini, perdebatan yang muncul selalu berkutat pada diskriminasi peran (domestik dan non-domestik) yang kemudian menjastifikasi perempuan sebagai garis kemiskinan yang mendominasi dalam keluarga. Alasan dasar yang muncul secara kolektif yang didasari idiologi adalah pengekangan terhadap perempuan dalam mengakses pasar kerja produktif yang berkelanjutan. Persoalan perempuan tidak sebatas ini, lagi-lagi muncul dilema23 Dilema yang muncul ketika perempuan berhadapan antara domestik dan non-domestik adalah beban multi-peran, dilema identitas, 23
yang diakibatkan oleh peran nondomestik (publik), perempuan seakan-akan ingin dinisbatkan secara idiologi untuk tetap bertahan sebagai ibu rumah tangga yang baik dengan fungsi sebagai perempuan yang melahirkan, menyusui dan membesarkan anak serta mengurusi kebutuhan suami. Idiologi pembebasan perempuan dari belenggu domestik menuju nondomestik seolah-olah pembebasan “bersyarat” sesuai dengan tenggang waktu yang berlaku. Dengan alasan inilah, penulis merasa bahwa satusatunya upaya yang bisa dilakukan oleh perempuan dalam mewujudkan daya tawar yang baik dalam keluarga adalah menggunakan keahlian berkomunikasi. Penulis juga tidak menafikkan bahwa komunikasi yang dilakukan oleh perempuan dalam memposisikan daya tawar telah dilakukan, baik komunikasi yang bersifat membangun hubungan yang harmonis maupun bersifat menjamin kesejahteraan keluarga. Namun, kenyataannya masih berbanding terbalik, sebagain besar perempuan masih belum mendapatkan pengakuan dari laki-
dilema lingkaran peran, dilema tugas sosial dan dilema normatif. Lihat Aliyah Rasyid Baswedan, Wanita, Karier dan Pendidikan Anak, (Yogyakarta: Ilmu Giri, 2015), 23-26.
Syukur
107
Komunike, Volume viii, No. 2, Desember 2016
laki akan peningkatan ekonomi yang dihasilkan. Dengan demikian, tuntutan zaman yang mengamanahkan perempuan untuk kreatif dalam membangun ide, baik tataran keluarga maupun masyarakat walau harus dibenturkan dengan dilemaperan yang dimunculkan pasca nondomestik. Berpikir progresif adalah jawaban yang tidak terlalu muluk untuk menjawab persoalan di atas. Membangun ruang-ruang diskusi dalam keluarga misalnya yang didasari atas kemampuan berkomunikasi, perempuan akan lebih maju dan
108
tidak menjadi bahan diskriminasi dari segala arah, terutama diskriminasi masyarakat patriarkal. Berpikir progresif yang diiringin dengan positif tingking merupakan sikap mental yang melibatkan proses penyusupan idiologi yang konstuktif bagi perkembangan dan kemajuan perempuan. Terlebih lagi, keluarga sebagai wadah yang positif membutuhkan partisipasi perempuan untuk dapat menemukan hasil maksimal sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai. Selain itu, responsif merupakan elemen yang penting untuk menghasilkan perempuan yang kreatif.
Komunikasi Perempuan dalam Keluarga: Antara Eksistensi dan Tradisi
Komunike, Volume viii, No. 2, Desember 2016
Daftar Pustaka AG, Muhaminin, Islam dalam Bingkai Budaya Lokal: Potret dari Cirebon, terj. Suganda, (Ciputat: PT. Logos Wacana Ilmu, 2001) Al-hubui, Sakiri, Ahmad, Durratin Nasihin, (Bandung: Sarikat Ma’rif Littobii, tanpa tahun) Baswedan, Rasyid, Aliyah, Wanita, Karier dan Pendidikan Anak, (Yogyakarta: Ilmu Giri, 2015) Cangara, Hafied, Komunikasi Politik, ( Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2009) Erniati, “Menjadi Perempuan atau Diperempuankan”, (Jurnal Musawa, vol. 3. No. 1, Juni 2011) Hasan, Chalijah, Dimensi-Dimensi Psikologi Pendidikan, (Surabaya: al Ikhlas, 1994) Jalaluddin, Teologi Pendidikan, ( Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001) Johnson, Komunikasi Keluarga: Kunci Kebahagiaan Anda, (Yogyakarta: Kanisius, 1981) Liliweri, Alo, Komunikasi Serba Ada Serba Makna, ( Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011)
Mulyana, Deddy, Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2010) Nugroho, Rian, Gender dan Administrasi Publik: Studi tentang Kesehatan Gender dalam Administrasi Publik Indonesia pasca-reformasi 1998-2002, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008) Shihab, Quraish, M., Perempuan: dari Cinta sampai Seks, dari Nikah Mut’ah sampai Nikah Sunnah, dari Bias Lama sampai Bias Baru, ( Jakarta: Lentera Hati, Cet. KeIX, 2014) Soetrisno, Loekman, Kemiskinan, Perempuan dan Pemberdayaan, (Yogyakarta: Kanisius, 1997) West, Richard, Linn H. Turner, Introducing Communication Theory: Analysis and Application, terj. Maria Natalia Damayanti Maer. Pengantar Teori Komunikasi: Analisis dan Aplikasi, ( Jakarta, Salemba Humanika, 2009) Wiyono, Slamet, Manajemen Potensi Diri, ( Jakarta: Grasindo, 2004) Yusuf, Pawit, M., Ilmu Informasi, Komunikasi dan Kepustakaan, ( Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2009)
Syukur
109