Eksistensi Perempuan dalam Keluarga
EKSISTENSI PEREMPUAN DALAM KELUARGA: Pandangan Muhammad Nawawî Bin ‘Umar dan Fatima Mernisi
Oleh: Qurrotul Ainiyah STAI Al-Falah As-Suniyyah Kecong Jember
[email protected] ABSTRACT Islam prioritizes justice and equality since they are the measurement of human’s dignity to the God. On the other hand, there are many texts religion that is patriarchy which makes women are positioned as the second human. Especially, in a family, woman is considered as a complement that is created from men’s interest which make the existence of women are restricted. In this research, the writer explore more about the existence of women in family by comparing the thought of two figures, they are Muhammad Nawawi bin Umar and Fatima Mernissi. This research is library research with content analysis method. While the research question of this research is how are Muhammad Nawawi bin Umar and Fatimah Mernissi’s view about rights and duties of women in a family? The analysis reveals some findings covering the formulated research question. First, it is found that there is dissimilar understanding toward the rights and duties of women between Nawawi and Fatima. Nawawi is more inclined toward patriarchal, so that husband has full authority toward his wife. While Fatimah contends between rights and duties of women must be balance. Second, Fatimah had a notion that justice and equality in a family can be realized by supporting each other between husband and wife in everything. Keywords: Existence, Woman, Family
PENDAHULUAN Islam telah membuka peran dan kesempatan yang sama antara laki-laki dan perempuan untuk berprestasi dalam berbagai sektor kehidupan. Karena itu ketika al-Qur’ān menjelaskan bahwa yang disebut manusia ideal itu adalah manusia yang bertaqwa,1 pernyataan ini berlaku untuk semua jenis kelamin. 1
Al-Qur’ān, 49:13.
An-Nisa', Vol. 9 No. 1 April 2016 | 53
Qurrotul Ainiyah
Secara normatif doktrinal itu telah dijelas Islam dengan tegas dalam ayatayatnya2
Artinya:
“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam Keadaan beriman, Maka Sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan Sesungguhnya akan Kami beri Balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan”. (Qs. an-Naẖl (16):97)3
Bersandarkan pada ayat tersebut, bahwa Islam mengatur konsep kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Akan tetapi status dan peran perempuan dikalangan sebagian masyarakat muslim terutama yang menganut pemahaman patriarki masih berada pada posisi dan kondisi yang kurang menggembirakan. Implikasi yang muncul dari sebab kondisi tersebut, masih banyaknya marginalisasi, subordinasi, stereotip, kekerasan dan beban kerja pada perempuan.4 Hal yang demikian tidak lepas dari pandangan keagamaan masyarakat muslim yang telah terkonstruk oleh pemahaman patriarkhi yang teruraikan dalam beberapa kitab klasik. dan salah satunya kitab klasik yang cukup masyhur dikalangan pesantren di Indonesia adalah kitab Syarh Uqūd al-Lijain karangan Muhammad Nawawî bin ‘Umar. Terdapat dalam lembaran-lembaran kitab klasik ini beberapa nilai inferioritas perempuan dibanding laki-laki. Stasus perempuan (khususnya istri) adalah sebagai obyek sedangkan laki-laki berperan sebagai subyek. Sedangkan eksistensi perempuan menurut teolog feminisme lebih bermitra dan setara dengan kaum laki-laki apabila dibandingkan dengan konsep kitabkitab fiqh konvensional. Para teolog feminis telah mengembangkan suatu teologi alternatif yang berbeda sekali dengan ajaran tradisional yang begitu paternalis dan menindas perempuan. Salah satu pemikir feminisme Islam yang mempengaruhi pandangan pemaham feminis di Indonesia adalah Fatima Mernissi. 2
Al-Qur’ān, 3:195; 4:124; 16:97. Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemah, (Bandung: Diponegoro, 2005), 278. 4 Mansour Fakih, Analisis Gender dan Tranformasi sosial, (yogyakarta:Pustaka Pelajar,2003), 12. 3
54 | An-Nisa', Vol. 9 No. 1 April 2016
Eksistensi Perempuan dalam Keluarga
Dalam pandangan Fatima Mernissi peran perempuan banyak terdapat pada bukunya yang berjudul Wanita dalam Islam dan Setara dihadapan Allah. Dan kebanyakan karya Fatima Mernissi menggugat kepentingan-kepentingan patriarki yang mengatas namakan agama. Penulis sengaja memunculkan pemikir feminisme dan ulama’ salafi yang mempunyai corak pemikiran yang berbeda. Hal ini dimaksudkan untuk mengkomparasikan pemikiran kedua tokoh tersebut yaitu Syaikh Muhammad Nawawī bin ‘Umar sebagai salah satu ulama’ fiqh salafi yang mempunyai banyak murid-Nya yang berasal dari Indonesia menjadi ulama’ besar, jadi tidak heran apabila sampai saat ini karyanya banyak digunakan sebagai referensi oleh sebagian masyarakat terutama dari kalangan pesantren. Sedangkan Fatima Mernissi mewakili pemikir feminisme yang dalam tulisannya selalu menggunakan metode historis kontektual dalam menguraikan pandangan mereka tentang eksistensi perempuan. Dengan harapan bahwa pada nantinya dapat menyajikan hasil penelitian yang relatif komperhensip tentang kajian perempuan menurut agama. Tulisan ini bermaksud mengeksplorasi dan mengkomparasikan gagasangagasan Fatima Mernissi dan Muhammad Nawawī bin ‘Umar tetang eksistensi perempuan dalam keluarga; khususnya pembahasan tentang hak dan tanggung jawab perempuan sebagai istri sehingga dapat menerima ajarannya secara proporsional dan menilainya secara obyektif. Serta mendiskripsikan prinsip keadilan dan kesetaraan dalam keluarga dalam pandangan Fatima mernissi dan Muhammad Nawawī bin ‘Umar MUHAMMAD NAWAWĪ BIN ‘UMAR DAN FATIMA MERNISI: SKETSA BIOGRAFI 1. Biografi Muhammad Nawawī bin ‘Umar Muhammad bin Umar Nawawî adalah ulama Indonesia bertaraf internasional. Lahir di Kampung Pesisir, Desa Tanara, Kecamatan Tanara, Serang, Banten, 1813 M. Ketenaran beliau di Makkah berpredikat Sayyid al-Ulama’ alHijaz. Karena berasal dari jawa maka di Makkah beliau dijuluki Nawawî alJawi.5 An-Nawawî dilahirkan dan dibesar dalam keluarga terpandang didaerah tanara Banten, ayahnya adalah seorang tokoh yang dihormati kerena ilmu agamanya. Konon nasabnya bersambung sampai Maulana Syarif Hidayatullah 5
Imām Muhammad Nawawî ibn ‘Umar, Nihāyah al-Ziyān fi Irsyād al-Mubtadi’in, (Bandung: al-Ma’arif, t.t), 1.
An-Nisa', Vol. 9 No. 1 April 2016 | 55
Qurrotul Ainiyah
atau yang lebih dikenal Sunan Gunung Jati. Semenjak kecil beliau memang terkenal cerdas. Otaknya dengan mudah menyerap pelajaran yang telah diberikan ayahnya sejak umur 5 tahun. Ketika belajar ngaji pada ayahnya an-Nawawî kecil sering melontarkan pertanyaan kritis yang sering membuat ayahnya bingung. Melihat potensi yang begitu besar pada putranya, pada usia 8 tahun sang ayah mengirimkannya keberbagai pesantren di Jawa. Beliau mula-mula mendapat bimbingan langsung dari ayahnya, kemudian berguru kapada Kyai Sahal, Banten; setelah itu mengaji kepada Kyai Yusuf, Purwakarta. Pada usia 15 tahun, 2 tahun sepeninggalan ayahnya, an-Nawawi berangkat ke mekkah. Pada mulanya Nawawi hanya ingin menunaikan ibadah haji, akan tetapi minatnya terhadap ilmu pengetahuan telah mengurungkan niatnya untuk kembali ketanah air dan mulai belajar kepada beberapa ulama’ antara lain seperti Yusuf Sumbulawainy, Syaikh Sayyid Ahmad al-Nahrawi, Syaikh al-Hamid alDagistany adalah guru yang berpengaruh dari mesir6 Syaikh Muhammad Khatib Hambali dan Syaikh Ahmad Zaini Dahlan dari Madina, Syaikh Ahmad Dimyati dan lain sebagainya.7 Setelah belajar dari luar negeri an-Nawawî, mulai mengamalkan ilmu yang didapat di Indonesia selama kurang lebih tiga tahun. Akan tetapi karena kondisi negara dalam kekuasaan belanda, maka perjuangan an-Nawawî sangat dibatasi oleh belanda. Akibat dari pembatasan dan pengawasan yang dilakukan belanda, memaksa an-Nawawî untuk kembali lagi ke mekkah untuk menekuni kembali dunia keilmuan agama. An-Nawawi menikah dengan Nasimah gadis asal Tanara, dari pernikahan ini dikaruniai tiga orang putri yakni; Nafisah, Maryam dan Rubi’ah. Nasimah meninggal sebelum Syaikh Nawawî wafat. Diusia 100 tahun Syaikh an-Nawawî menikah dengan dengan Hamdanah, putri KH. Soleh Darat Semarang yang dikaruniai putri bernama Zuhroh. Tidak ada keterangan yang pasti apakah pernikahannya dengan Hamdanah dilakukan pada waktu Nasimah masih atau sudah meninggal, sehingga tidak bisa dipastikan apakah anNawawî seorang yang monogami atau poligami.8 Sampai wafatnya. Selama hidupnya, an-Nawawî konsen menulis tentang keagamaan. Tulisan-tulisannya dalam bentuk buku / kitab ditulis dalam bahasa 6
C. Snouck Hurgronte, Mekka in The Letter Part of The Nineteenth century, (Leiden: Brill, 1931), 268-269. 7 Ibid. 8 Sinta Nuriyah Dkk., Wajah baru Relasi Suami Istri; Telaah Kitab Uqūd al-Lijjain, (Yogyakarta: LKiS, 2001), 208.
56 | An-Nisa', Vol. 9 No. 1 April 2016
Eksistensi Perempuan dalam Keluarga
Arab sehingga dapat dicetak dan diedarkan di Mesir dan Makkah kemudian beredar dinegara yang bermadzhab Syafi’i.9 Menurut Zamarkhasyari Dhofier berdasarkan hasil penelitian Sarkis dalam Directory Of Arabic Printed Books menyebut karangan an-Nawawî mencapai 38 buah,10 dan Snouck Hurgronte menyebutkan kurang lebih 20 buah.11 Kebanyakan karangan Nawawî merupakan Syarẖ (komentar) atas berbagai kitab yang ditulis oleh ulama’ lain dalam bidang ilmu uṣūluddîn, fiqh, tasawwuf dan lain sebagainya. Dimakkah an-Nawawi banyak mengajar orang Indonesia, dan kebanyakan dari murid-murid beliau banyak yang menjadi ulama besar di Indonesia diantaranya; KH. Hasyim Asya’ri, KH Raden Asnawi, KH Khalil Bangkalan, KH Ahmad Dahlan, dan lain sebagainya.12 Oleh karna itulah beliau mempunyai tempat tersendiri dikalangan pesantren dan sangat dihormati. Bagi kalangan pesantren mengidolakannya dan mengharap berkahnya13 Dikalangan pesantren di Indonesia, hampir semua karyanya menjadi bahan pelajaran dan dikaji berkali-kali. Seorang professor belanda Martin van Bruinisen melakukan penelitian terhadap kitab-kitab yang digunakan rujukan di Pesantren Indonesia, hasilnya menunjukkan bahwa kitab-kitab an-Nawawî yang sering dibaca antara lain: al-Thimār al-Yāni’ah fi al-Riyādh al-Badî’ah, Kāshifa al-Sajā, Sullam al-Munajat, Fath al-Qarib dan Uqūd al-Lijain. Selain itu, masih ada kitab lainnya, seperti Nūr al-Ẓalām, Fath al-Majîd dan Tijan Durari. Salah satu karyanya yang membicarakan tentang hukum keluarga, yang sampai saat ini masih menjadi pelajaran bahkan rujukan dikalangan pesantren adalah Kitab Uqūd al-Lijain. Kitab yang membahas hubungan suami istri ini masih menjadi rujukan yang representatif dikalangan masyarakat pesantren. Karena dipandang memiliki relevansi dengan kondisi dan zaman.14 Tentu saja kitab ini sedikit banyak dapat mempengaruhi sikap dan pandangan bagi pembacanya. Beginilah penilaian KH. Husein Muhammad tentang kitab Uqūd al- Lijain; Kitab ini mengutip lebih dari 100 ẖadîth dan hikayat. Cerita-cerita ini dipaparkan untuk mendukung hadith yang terkait, atau untuk memperjelas maknanya. Akan tetapi sayangnya, dalam hal ini nawawi sering kali tidak memberikan catatan apapun tentang nilai keabsahan dari hadith atau cerita 9
Zamarkhasyari Dhofier, Tradisi Pesantren, Studi tentang Pandangan Hidup Kyai, (Jakarta: LP3ES, 1982), 89. 10 Ibid., 88. 11 Snouck Hurgronte, Mekka in The Letter, 271. 12 Sinta, Wajah Baru Relasi, 208. 13 Ibid., ix. 14 Husein Muhammad, Fiqh Perempuan, 234.
An-Nisa', Vol. 9 No. 1 April 2016 | 57
Qurrotul Ainiyah
yang menjadi landasannya. Dia tidak melakukan takhrij (penilaian). Kita dapat memaklumi persoalan ini karena agaknya buku-bukunya sengaja dimaksudkan sebagai buku petunjuk praktis bagi masyarakat umum tentang suatu tema bahasan, agar mudah diamalkan.15 Kecenderungan Nawawî dalam mengambil dalil-dalil keagamaan yang umumnya diambil dari kitab-kitab karangan ulama’ lain yang dijadikan rujukan, diantaranya Ihyā’ ‘Ulūm al-Dîn karya Abu Hamid al-Ghazali, al-Zawājir karya Ibn Hajar al-Haitami, Uqūbat Ahl al-Kabāir karya Abu laits al-Samarqandi, alTarghîb wa al- Tarhîb karya al-Mundziri, dan al-Kabāir karya adz Dzahabi. Kitab-kitab ini dijadikan sumber rujukan primer. Sedangkan sumber lainnya al Jami’ al-Ṣaghîr karya jalaluddin as Suyuti, Syarẖ Ghāyah wa al- Taqrib, Tafsir Khāzin dan Tafsir Khathîb al- Syarbînî.16 Sayang sekali, ẖadîth-ẖadîth dan kisah-kisah yang disebut dalam kitab Uqūd al-Lijain sering tidak diberi penilaian apakah status ẖadîth yang ditulis, shaẖiẖ atau dha’if. Tidak seperti Imam Nawawî Syarifuddin, Muhammad Nawawi ibn ‘Umar al-Banteni memang tidak dikenal sebagai ahli ẖadîth. Gaya tulisan tanpa catatan kaki dan daftar referensi yang dianggap lazim pada masa itu, menyebabkan peneliti karya-karya beliau menghadapi kesulitan melacak sumber kutipan. Kitab Uqūd al-Lijain ini boleh dibilang tipis yaitu hanya terdiri dari 22 halaman dan empat pasal; Pasal Pertama, membahas hak istri pada suami. Pasal kedua, hak suami pada istri. Pasal Ketiga, keutamaan shalat perempuan dirumah. Pasal Keempat, keharaman laki-laki melihat perempuan bukan muhrim dan sebalik-Nya dan pada tiap pasal-Nya selalu menampilkan nuansa tradisional atau budaya lokal, Sehingga memberikan andil yang signifikan bagi masyarakat pesantren terutama dijawa, yang memang masih indentik dengan masyarakat tradisional. Tapi kini, seabad kemudian kitab tersebut dikritik dan digugat, terutama oleh kalangan pejuang feminisme. Mereka menilai kandungan kitab tersebut sudah tidak cocok lagi dengan perkembangan masa kini. Tradisi syarah atau komentar bahkan kritik mengkritik terhadap karya beliau, tentulah tidak mengurangi kualitas kepakaran dan intelektual beliau17 2. Biografi Fatima Mernissi Fatima Mernissi lahir tahun 1940 di Fez, kota abad kesembilan di Maroko, 15
Ibid., 235. Ibid., 236. 17 Nurul Huda, Sekilas tentang: Kiai Muhammad Nawawi al-Bantani, Jurnal Alkisah, No.4, 14 September 2003 M, 7. 16
58 | An-Nisa', Vol. 9 No. 1 April 2016
Eksistensi Perempuan dalam Keluarga
sekitar lima ribu kilometer sebelah barat kota Makkah dan seribu kilometer disebelah timur Madrid (salah satu ibu kota kaum kristen). Fatima tinggal dan dibesarkan dalam sebuah harem bersama ibu dan keluarga besar lainnya18. Sebuah harem yang dijaga ketat seorang penjaga pintu agar perempuan-perempuan itu tidak keluar. Karena pada waktu itu terjadi peperangan antara Maroko dan Prancis. Didalam harem Fatima dan keluarga lainnya dirawat dengan baik dan dilayani oleh pelayan. Neneknya, Yasmina, merupakan salah satu isteri kakeknya yang berjumlah sembilan. Sementara ayahnya hanya punya satu isteri dan tidak berpoligami. Hal ini dikarenakan ayah Fatima seorang penganut nasionalis dan kaum nasionalis yang berjuang melawan Prancis waktu itu, menjanjikan akan menciptakan negara Maroko yang baru, negara dengan persamaan untuk semua. Setiap perempuan memiliki hak yang sama atas pendidikan sebagaimana lakilaki. Mereka juga akan menghapuskan praktek perkawinan poligami. Walaupun ayah Fatima seorang penganut nasionalis tetapi dia dan paman Fatima (Ali), masih mempraktikkan faham patriarki dalam keluarga besarnya. Terbukti kelahiran Fatima Mernissi yang bersamaan dengan sepupunya Samir. Dan lahirnya samirlah yang disambut lebih antusias oleh keluarga lainnya. Namun demikian, pengaruh ibu dan neneknya yang lebih melekat di benak Fatima. Kedua orang ini mempunyai peran dalam mempengaruhi pemikiran Fatima. Ibunya menanamkan penolakan terhadap superioritas laki-laki dan menganggapnya sebagai omong kosong dan bertentangan dengan Islam.19 Sedangkan neneknya orang bijaksana yang mengajarkan al-Qur’ān kepada Fatima dan sepupu-sepupu perempuan lainya dengan cara yang menyenangkan.20 Dari ibunyalah dari sejak kecil Fatima telah terlibat dengan pergulatan pemikiran dan selalu melontarkan pertanyaan kritis. Misalnya dalam hal batas antara laki-laki dan perempuan. Fatima kecil menanyakan, kalau disepakati ada batas antara perempuan dan laki-laki, kenapa yang harus ditutupi dan dibatasi itu perempuan. Pertanyaan itu selalu ia lontarkan kepada neneknya, Yasmina. Neneknya tak bisa menjawab pertanyaan cucunya itu karena menurutnya itu terlalu berbahaya.21 Di sisi lain, Fatima kecil menerima keindahan agama lewat nenek Yasmina, yang telah membukanya menuju pintu agama yang puitis. Nenek-Nya, yasmin 18
Fatima Mernissi, Dreams of Trespass: Tales of Harem Girlhood, Perempuan-Perempuan Harem, terjemah Ahmad Baiquni (Bandung: PT Mizan Pustaka, 2008), 12. 19 Ibid., 22. 20 Ibid. 21 Ibid, 26.
An-Nisa', Vol. 9 No. 1 April 2016 | 59
Qurrotul Ainiyah
selalu bercerita tentang perjalanan hajinya. Dan dengan semangat selalu bercerita tentang dua kota, Mekkah dan Madinah sering ceritakan tiap malam menjelang tidur. Hal ini sangat berpengaruh pada Fatima kecil. Madinah kemudian menjadi kota impian yang diobsesikannya. Menurut Fatima Mernissi, Madinah merupakan kota perjuangan Rasulullah Saw. dimulai dari Madinahlah Islam dikenal dan tersebar diseluruh dunia, dan al-Qur’ān dihimpun serta dibukukan dikota ini. Al-Qur'ān sebagai kitab suci agama Islam selanjutnya menjadi inspirasi dan pedoman tindakan dalam tiap nafas manusia. Sedangkan Ibu Fatima selalu mengajarkan kepada Fatima kecil bagaimana bisa bertindak dan bertahan sebagai perempuan: "Kamu harus belajar untuk ber-
teriak dan protes, sebagaimana kamu belajar untuk berjalan dan berbicara,”22
kata sang Ibu pada Fatima. Dari sang ibu juga ia mendapatkan cerita tentang bagaimana agar perempuan bertindak cerdik dan bijaksana. Ibunya sering menceritakan kisah-kisah dalam Seribu Satu Malam. Cerita ini mengisahkan seorang sultan yang sangat menggemari dongeng. Dikisahkan, Sultan Nebukadnedzar suatu ketika memergoki permaisurinya berzina dengan pengawalnya. Sang Sultan marah lalu membunuh keduanya. Sejak itu Sultan membenci perempuan. Hal ini membuatnya mempunyai kebiasaan buruk, yakni menikahi perempuan di malam hari, dan keesokan harinya si isteri tersebut harus dipancung. Begitu terus terjadi setiap hari. Tak terbilang banyaknya gadis yang mati karena itu. Kebiasaan ini berhasil dihentikan oleh seorang gadis bernama Shahrazad, dengan memikat sultan lewat cerita-ceritanya, sehingga sang sultan selalu mengurungkan niatnya untuk memancung gadis itu. Kebijaksanaan semacam inilah yang disarankan sang ibu. Pokok penting ini digaris bawahi, ketika anak perempuan itu balik bertanya: "Tetapi bagaimana kita bisa belajar tentang cara mendongeng, yang bisa menyenangkan hati raja?" Si ibu komat-kamit23, seakan-akan berbicara pada dirinya sendiri, bahwa itulah pekerjaan seumur hidup perempuan. Fatima mengakui, ibu dan neneknya yang mendorongnya untuk sekolah yang tinggi, agar perempuan bisa berdiri sendiri. Ketika Fatima menginjak sebagai gadis remaja, ia mulai mendapatkan pelajaran agama, dengan masuk pada bidang as-Sunnah. Pada saat itu, ia menemukan suatu kejadian yang membuatnya terluka. Fatimah berkata: “Beberapa ẖadîth yang bersumber dari kitab Bukhori, dikisahkan oleh para guru pada kami, membuat hati saya terluka. Katanya Rasulullah Saw. 22 23
Ibid, 125. Ibid, 30.
60 | An-Nisa', Vol. 9 No. 1 April 2016
Eksistensi Perempuan dalam Keluarga
mengatakan bahwa: "anjing, keledai dan perempuan akan membatalkan salat seseorang apabila ia melintas di depan mereka, menyela diantara orang yang salat dan kiblat". Perasaan saya amat terguncang mendengar ẖadîth semacam itu, saya hampir tak pernah mengulanginya dengan harapan, kebisuan akan membuat ẖadîth ini terhapus dari kenangan saya. Saya bertanya, "Bagaimana mungkin Rasulullah Saw. mengatakan ẖadîth semacam ini? Bagaimana mungkin Muhammad yang terkasih, bisa begitu melukai perasaan gadis cilik, yang disaat pertumbuhannya, berusaha menjadikannya sebagai pilar-pilar impian-impian romantisnya”.24 Fatima telah melewati harem dengan dilewatinya berbagai jenjang pendidikan. Ini juga menjadi bukti keberhasilannya melewati batas-batas harem yang selalu ia tanyakan sejak kecil. Ia mendapatkan gelar di bidang politik dari Mohammed V University di Rabat, Marokko. Gelar Ph.D didapatkan di Universitas Brandels, Amerika Serikat tahun 1973. Disertasinya, Beyond the Veil, menjadi buku teks yang menjadi rujukan dalam pustaka Barat. Ia terlibat sebagai konsultan pada sejumlah lembaga internasional seperti UNESCO (United Educotional Scientic and Cultural Organization), ILO (International Labor Organization), dan lain sebagainya. Dan dalam penelitiannya ia fokus menyebarkan ide Islam yang pluralis-humanis dan menopang posisi perempuan dalam penguatan kedudukan masyarakat. Karya-karya Mernissi yang sebagian besar ditulis dalam bahasa Prancis yang kemudian di translite ke bahasa inggris sarat dengan pengalaman individualnya. Setidaknya pengalaman individualnya itulah yang memacunya untuk melakukan riset historis tentang sesuatu yang dia rasa mengganggu paham keagamaannya. Misalnya dalam karyanya The Veil and Male Elite (Menengok kontroversi Keterlibatan Wanita Dalam Politik) yang kemudian ia revisi menjadi Women and Islam: A Historical and Theological Enquiry (Wanita dalam Islam). Pelacakan Fatima Mernissi terhadap naṣ-naṣ suci baik Al-Qur'ān dan ẖadîth didasari pada pengalaman individunya sehari-hari ketika berhubungan dengan masyarakat. Seperti misalnya ẖadîth-ẖadîth yang ia sebut misoginis yang menyatakan posisi perempuan sama dengan anjing dan keledai sehingga membatalkan salat sesorang, dikarenakan rasa ingin tahu yang mendalam terhadap posisi ẖadîth tersebut. Pengalaman itu ia dapatkan waktu remaja di sekolah. Selain itu beberapa tulisan Fatima Dream of Trespass menguraikan potret realitas perempuan ditengah patriarki yang merupakan realitas hidupnya dari 24
Fatima, Wanita dalam Islam, 82.
An-Nisa', Vol. 9 No. 1 April 2016 | 61
Qurrotul Ainiyah
kecil hingga remaja, Islam and Demokrasi mengurai tentang hubungan Islam dengan demokrasi, The forgotten Queen of Islam mengurai sejumlah pemimpin perempuan dalam Islam, Dreams of Trespass membahas tentang potret realitas perempuan ditengah patriarki dan masih banyak buku dan artikel yang konsisten membahas tentang perjuangan perempuan akibat pengekangan budaya patriarki. Dalam berpikir Fatima menerapkan metode kritis-analitis yaitu mencoba kritis pada realitas tentang keberadaan perempuan ditengah masyarakat muslim. Dan juga mengurai jalinan kusut yang membuatnya tidak berdaya.25 Metode berfikir histories kritis dalam membaca penafsiran al-Qur’ān atau pandangan keagamaan. Metode ini dalam membaca ẖadîth menghasilkan suatu pendekatan kritik ẖadîth sebagaimana yang diwarisi Imam Maliki. Fatima mengguna metode tersebut guna melacak keshahihan ẖadîth-ẖadîth yang dinilai merendahkan perempuan. EKSISTENSI PEREMPUAN DALAM PANDANGAN NAWAWI DAN FATIMA Tampaknya pengambilan dasar nash yang digunakan oleh Fatima dan anNawawî tentang eksistensi perempuan dalam keluarga terdapat kesamaan, yakni sama-sama mengambil dasar teks yang sama yaitu Qs. an-Nisā’: 34. yang menafsirkan qawwāmuna dalam lingkup keluarga mempercayakan kaum pria untuk menjadi kepala keluarga (ra’in fi ahlî) sedangkan istri adalah pemimpin dalam rumah suaminya (ra’iyah fi bait zaujiha). Akan tetapi ketika menafsirkan kalimat bimā faḍḍala Allāh ba’ḍohum ‘alā ba’ḍin wa bimā anfaqū min amwālihim. Tampak kedua kedua tokoh ini, condong berbeda dalam penafsirannya. an-Nawawî menafsirkan bahwa kepemimpinan laki-laki sebagai superioritas terhadap perempuan. Karena menurut anNawawî, laki-laki dijadikan pemimpin dalam keluarga karena laki-laki dianggap mempunyai kelebihan akal dan kekuatan fisik dibandingkan perempuan.26 hal serupa dikemukkan oleh Imam al-Alusi yang menafsirkan qawwām untuk lakilaki disegala sektor, karena perempuan dianggap kurang akalnya, dan sebagai pihak yang memerintah dan melarang terhadap perempuan sebagaimana pe-
25
Fatima Mernissi, Women Relebion, 16. Muhammad Nawawî bin Umar, Uqūd al-Lujjain fi Bayāni al-Haqūq az-Zaujāin, (Surabaya:Dar al-Ilm, t.t), 7 26
62 | An-Nisa', Vol. 9 No. 1 April 2016
Eksistensi Perempuan dalam Keluarga
mimpin berfungsi pada rakyatnya.27 maka dominasi laki-laki atas perempuan dianggap wajar dan bersifat ilahiyah. Mengkritisi penafsiran Qs. an-Nisā’:34 yang ditafsirkan sebagai superioritas laki-laki atas perempuan. Fatima Mernissi berusaha meluruskan bahwa kewenangan laki-laki terhadap istri akibat konsekwensi dari sadaq (mas kawin) dan nafkah tidak ada kesatuan pendapat mengenai seberapa besar kewenangan kaum pria, terutama dalam masalah nuzuz dan pemberontakan dalam seks28. Kritik Fatimah Mernissi terhadap ulama’ konvensional yang berupaya menjelaskan keinginan Tuhan, untuk mengembangkan egalitarianisme dalam Islam dimana diturunkan ayat dalam kasus Ummu Salamah29 yang memperkenalkan akses kekayaan sebagai faktor membangun sosial yang mapan30 Fatima Mernissi mengapresiasikan pendapatnya dengan mengutip cerita at-Thabari tetang rumah tangga Rasulullah Saw. bersama khadijah, walaupun secara ekonomi khadijah lebih unggul dari Rasulullah Saw. namun ketika Rasulullah Saw. mengalami kemelut ketika menerima wahyu pertama kali, khadijahlah yang menenangkan beliau.31 Jadi yang lebih tepat, status suami sebagai pemimpin adalah pengayom, 27
Al- Alūsi, Ruẖ al- Ma’āni fi Tafsîr al-Qur’ān al- Aḍim wa al-Sab al-Ma’āni, (Bairut: Dar alFikr, t.t), 25-24. 28 Fatima Mernissi, Women and Islam: An Historical and Theological Enguity (Basil Blackwell: Oxford, 1991), 201. 29 Menurut Fatima asbāb an-Nuzūl ayat ini berawal dari pertanyaan Ummu Salamah terhadap Rasulullah Saw. “mengapa hanya laki-laki yang disebut dalam al-Qur’ān sementara kami tidak?” rasulullah Saw. membacakan Qs.al-Ahzāb (33): 35 sore harinya dimimbar masjid dihadapan para sahabat. Turunnya ayat ini, sekaligus menjawab kegelisahan ummu Salamah. Lihat Fatima, Wanita dalam Islam, 149.
ۡ ُ ۡ ن ن ۡ ُ ۡ ن َٰ ن ۡ ُ ۡ ِ ن ن ۡ ُ ۡ ن َٰ ن ۡ ن َٰ ن ۡ ن ن ِي نوٱلصَٰ َِّد نق َٰ َِّ ن َّت َِّب ن َِّي نوٱل َٰقن ِتَٰتَِّ نوٱلصَٰ ِدق ن َّ ِي وٱلمؤمِنتَِّ وٱلقنِت َّ ت وٱلمؤمن َِّ ِي وٱلمسل ِم َّ إِنَّ ٱلمسلِم ِ َٰ ين نوٱلصَٰب ِ نر ِ ِ َٰت وٱلص ۡ ۡ ۡ ۡ ۡ ُ ن ن ن ُ ن ن َٰ ن َّٰٓ ن ن َّٰٓ ن َٰ ن ن َٰ ن ُ ن ُ ۡ ن ن ن ۡ ن ن ن َّت نوٱلذَٰك ِِر ن ين َِّ َٰحَٰفِظ ِي فروجه َّم وٱل َّ ِي وٱلصئِمتَِّ وٱلحفِظ َّ ِي وٱلمتصدِقتَِّ وٱلصئِم َّ ِي نوٱلخَٰشِعَٰتَِّ نوٱل ُمتن نص ِدق َّنوٱلخَٰشِ ع ن ن ن ٗ ن َٰ ن َٰ ن ن ٗ ٱّلل ل ن ُهم م ۡغف نِرَّٗة نوأ ن ۡج ًرا نعظ ٣٥ ِيما َُّ َّت أعد َِّ ٱّلل كث ِريا وٱلذكِر َّ
Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyuk, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar. Qs.al-Ahzāb (33): 35 Jawaban Allah terhadap Ummu Salamah sangat jelas, menunjukkan kesejajaran dalam agama Islam. bahwa Allah menyebut dua jenis kelamin dalam kedudukan sama yaitu dinilai dari keimanan dan kepatuhannya kepada Allah Saw. 30 Fatima, Women and Islam, 197. 31 Kisah secara tersurat diuraikan dalam Qs. al-Mujammil
An-Nisa', Vol. 9 No. 1 April 2016 | 63
Qurrotul Ainiyah
penanggung jawab dan penjamin bagi keluarganya. dan perempuan bukan sekedar konco wingking, the second human ataupun yang sejenisnya. Perempuan adalah relasi bagi laki-laki baik itu dalam keluarga maupun diranah publik. Untuk mempertegas bagaimana pandangan Fatima Mernissi dan Muhammad Nawawî Bin ‘Umar tentang eksistensi dalam keluarga maka akan diuraikan dalam tulisan ini tentang hak dan kewajiban perempuan dalam keluarga dan prinsip keadilan dan kesetaraan dalam keluarga 1. Pandangan Fatima Mernissi dan Muhammad Nawawî Bin ‘Umar tentang Hak dan Kewajiban Perempuan dalam Keluarga a. Pengajaran Ilmu Pengetahuan Kedua tokoh ini berpendapat bahwa Islam memperioritaskan ilmu pengetahuan tanpa harus melihat jenis kelamin. Perempuan mempunyai hak yang sama sebagaimana laki-laki dan itu ditegaskan dalam ẖadîth “mencari ilmu wajib bagi kaum muslim” dan kata “muslim” tidak terfokus hanya untuk laki-laki, para ulama’ sepakat tuntunan dari Allah Swt. berlaku bagi laki-laki dan perempuan.32 begitu pula dengan apa yang dikatakan Aisyah r.a: Betapa hebatnya kaum perempuan anṣar! Mereka tidak merasa malu saat mempelajari ilmu pengetahuan yang benar dalam agama”.33 An-Nawawî mengatakan walaupun perempuan berhak dan berkewajiban menerima ilmu pengetahuan terutama ilmu agama. Akan tetapi disini anNawawî melakukan pembatasan pengajaran terhadap perempuan, yakni suami yang memberi pengajaran kepada istri, Jika suami tidak dapat mengajar istri akibat sedikit ilmu yang dimiliki, maka ia harus bertanya pada ulama’ yang lalu menerangkan jawaban ulama’ tersebut, dan istri tidak boleh keluar rumah. Jika suami tidak sanggup bertanya pada ulama’ maka istri boleh keluar untuk bertanya bahkan hukumnya wajib, dan suami berdosa kalau melarangnya.34 Pendapat ini kalau diterapkan pada saat ini menjadi begitu sulit, mengingat betapa tinggi kebutuhan dalam keluarga yang tentu saja berimbas pada kesibukan masing-masing anggota keluarga. Akibat padatnya aktifitas dari pihak suami, maka sulit kalau pengajaran ilmu hanya dari dan bergantung pada suami. Dan menurut penulis pendapat an-Nawawî itu merupakan pendapat pribadi beliau, karena Islam telah memberi peluang kepada perempuan untuk belajar 32
Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir al-Manar, juz I, (Mesir: Al-Haiah al-mishriyah li al-kitab, 1973), 18. 33 Muhmmad Bin Ismail Bukhari, Al-Shahih al- bukhari, Juz I,(Kairo: Dar Ma’rifah, 1978), 41. 34 An-Nawawî, Uqūd al-Lijjain, 6.
64 | An-Nisa', Vol. 9 No. 1 April 2016
Eksistensi Perempuan dalam Keluarga
berbagai ilmu pengetahuan tanpa batasan ruang. Para perempuan dizaman Rasulullah Saw. memohon kepada beliau untuk meluangkan waktu khusus mereka agar dapat menuntut ilmu dan beliaupun mengabulkannya. Sedangkan Fatima mengatakan bahwa tidak ada batasan bagi perempuan dalam mencari ilmu, baik itu ruang, waktu dan tidak ada ketentuan ilmu yang harus dipelajari. Kegerahan Fatima, ketika ada klaim dari kaum fundamentalis yang mengatakan bahwa pendidikan bagi perempuan telah menghancurkan batas-batas tradisional dan definisi ruang dan peranan seks.35 Apa yang diklaim kaum fundamentalis adalah kegagalan era revolusioner dalam konsep Islam. mereka mencoba menciptakan kekuasaan yang sepenuhnya menjadi dominan laki-laki. b. Istri Bekerja dan Relasi Seksual Persoalan ini berkaitan nafkah yang menjadi hak bagi perempuan dengan realitas keadaan saat ini, banyak perempuan bekerja diluar public baik itu sebagai nafkah pokok untuk keluarga ataupun hanya sebagai nafkah tambahan. Keberadaan perempuan dalam perkawinan menurut Fatima, bukan berarti menghambat kreaitifitasnya berperan dalam ranah publik. Hak perempuan untuk mendapat kesempatan melakukakan pekerjaan diluar rumah dan hak perempuan juga untuk bersama-sama untuk menetukan kapan ia kumpul dengan suami. Pendapat Fatima tentang bahwa perempuan diberi peluang untuk bekerja sebagaimana uraiannya dalam buku women and islam yang mana Fatima mentauladani kehidupan Rasulullah Saw. seorang pemimpin yang dalam sejumlah ekspedisi, istrinya bukan cuma figur dibelakang layar, melainkan dilibatkan dalam beberapa masalah strategis. Rasulullah Saw. juga mendengarkan nasehat mereka dalam menentukan perundingan-perundingan36 disisi lain, aktivitas militer dan keagamaan tidak mengurangi aktivitas kehidupan pribadi ataupun mengesampingkannya. Pentingnya persoalan keluarga sering ditekankan kepada sahabat-sahabat terdekat untuk tetap meletakkan kehidupan pribadi dan publik sesuai porsi37 Pendapat serupa dari Ibn Hajar diperbolehkan perempuan atau istri meninggalkan rumah meskipun tanpa izin suami jika dalam keadaan darurat seperti bekerja karena suami tidak memberikannya dengan cukup, keperluan 35
Fatima Mernissi, Setara Dihadapan Allah: Relasi Laki-laki dan Perempuan dalam Tradisi Islam Pasca Patriarki, (Yogyakarta: LSPPA, 1995), 260. 36 Fatima, Women and Islam, 132 37 Fatima, 133
An-Nisa', Vol. 9 No. 1 April 2016 | 65
Qurrotul Ainiyah
istiftā (belajar, bertanya tentang hukum-hukum agama) dan lain sebagainya.38 Sementara itu berbeda dari Fatima, an- Nawawî berpandangan bahwa tugas istri selain menjaga rumah tanggga suami, ia berkewajiban menjaga kehormatan diri dengan tidak keluar rumah. Bahkan menurut an-Nawawî jika istri melanggar pantangan dari suami ia disebut nuzuz. Selanjutnya demikian yang dikatan an-Nawawî; Perempuan yang kamu sangka nuzuz yakni meninggalkan kewajiban suami istri; seperti meninggalkan rumah tanpa izin suami, menentang dengan sombong, maka nasehatilah mereka dengan menakut-nakuti akan siksa Allah Swt. dan suami menjelaskan bahwa perbuatan nuzuznya itu dapat menggugurkan nafkah dan giliran. Nasehat itu jangan disertai mendiamkan dan jangan memukul39 Pernyataan an-Nawawî yang mengatakan bahwa nuzuz mengakibatkan hak nafkah lahir batin bagi istri,dapat dijadikan rujukan bagi penganut paham patriarki untuk melegalkan superioritas terhadap perempuan. Juga pernyataan an-Nawawî yang memperumpamakan perempuan sebagai awānin yang harus tunduk dan patuh kepada laki-laki karena ia adalah amanat dari Allah Swt. Hal ini tentu saja menyisakan banyak persoalan ketika dipakai konteks saat ini. Dari kedua pandangan tokoh tersebut diatas, sebenarnya ada titik kelemahan dan keunggulannya. Pendapat Fatima misalnya yang membebaskan perempuan bekerja dan berkreatifitas diranah publik, maka hak nafkah sangat tergantung dengan pertimbangan kedua belah pihak. Apabila bekerja istri dengan ijin suami maka ia berisiko memiliki kewajiban ganda yaitu mengurus pekerjaan diluar dan mengurus keluarga. Kehawatiran muncul ketika perempuan tidak bisa mengatur karena terlalu banyak tugas dari pekerjaan luar yang menyita waktu untuk suami dan anak-anaknya. Karena tugas utama bagi seorang ibu adalah tarbiyatul ula bagi anak-anaknya. Sebagaimana diungkapkan teolog mesir kontemporer: “Bagaimanapun prinsip dasar yang harus diikuti dan diupayakan agar selalu dekat dengan Rabb-Nya adalah didalam rumah. Saya merasa gelisah ketika para ibu yang membiarkan anaknya tinggal dan diasuh oleh para pembantu atau diserahkan kepenitipan anak. Nafas seorang ibu memiliki pegaruh yang luar biasa dalam menumbuhkan dan memelihara perilaku yang baik 38
Ibn Hajar al-Haitami, al-Fatāwā al-Kubrā al-Fiqhiyyah, juz IV, (Beirut: Dār al-Kutub al‘Ilmiyah, 1983), 205 39 An-Nawawî, Uqūd al-Lijjain,7
66 | An-Nisa', Vol. 9 No. 1 April 2016
Eksistensi Perempuan dalam Keluarga
dalam diri anak. ia sangat berpengaruh dalam membentuk manusia yang baik dan sehat lahir batin”40 Sebenarnya sah-sah saja ketika perempuan bekerja dalam rangka menghasilkan belanja tambahan baik bagi dirinya, keluarga maupun untuk kepentingan social. Selama ia bisa mengatur waktu antara urusan pekerjaan luar dengan mengurus keluarga. Karena pada masa Rasulullah Saw. kaum perempuan juga banyak yang bekerja. Yang menjadi perhatian Islam adalah jaminan bagaimana perempuan bisa menjaga kehormatan mereka, mejaga kenyamanan dan keharmonisan keluarga mereka, dan menjaga relasi seks bersama suami. Toh… tugas utama istri menjadikan rumah sebagai sakan yakni tempat yang menenangkan dan menentramkan bagi seluruh anggota keluarganya. Disisi lain, dalam pandangan an-Nawawî ketika memprioritaskan laki-laki dalam segala hal membuat laki-laki besar kepala. Relasi dan pembagian peran dimana laki-laki punya otoritas nafkah maka istri menjadi tergantung secara ekomoni kepada suami. Kenyataannya, banyak laki-laki yang berkuasa secara finansial menjadikannya semena-mena terhadap istri, hal ini yang dilarang dalam Islam. penerapan secara ketat atas konsep an-Nawawî ini, juga membawa konsekwensi yang tidak kalah serius. Karena fungsi dan peran dalam rumah tangga menjadi sangat terbatas, hanya melayani suami. Perempuan seakan-akan dimarginalkan dari kegiatan-kegiatan social dan kemanusiaan, dan aktualisasi perempuan semuanya tergantung pada suami. c. Mu’asyarah bi al-Ma’rūf An-Nawawî mengungkapkan keharusan yang dilakukan suami terhadap istri adalah berbuat ma’rūf, tidak boleh memukul muka istri ketika nuzuz, tidak berkata jelek semisal: “ semoga Allah membuat jelek kamu”41 an-Nawawî juga mengatakan bahwa kesempurnaan iman orang mukmin adalah yang terbaik ahlaknya, dengan meninggalkan perbuatan jelek dan hina dan juga harus bersikap halus kepada istri dengan mengutip hadith nabi:
“Sesungguhnya orang-orang mukmin yang sempurna imannya ialah yang terbaik
40
Syaikh Muhammad al-Ghazali, as-Sunnah an-Nabawiyyah baina ahl al-Fiqh wa ahl alḪadîth, (bairut: Dār asy-Syurūq, 1988), 125 41 An-Nawawî, Uqūd al-Lijjain,7
An-Nisa', Vol. 9 No. 1 April 2016 | 67
Qurrotul Ainiyah
ahlaknya dan mereka bersikap halus (menyayangi) kepada keluarganya”.42 Penentangan Fatima terhadap kekerasan perempuan terutama dalam rumah tangga, dibukunya Women and Islam diuraikan dalam histori umar dan para pria madinah. Dimana para pria menganggap perilaku Rasulullah Saw. Tidaklah lazim ketika bersikap lembut bahkan ketika ada sahabati yang dianggap nuzuz Rasulullah Saw. melarang melakukan pemukulan dan sahabat pria datang kepada Rasulullah Saw. mengeluh tentang hal ini. Kemudian Rasulullah Saw. mengijinkan mereka sambil bersabda: “saya tidak sanggup melihat pria yang berwatak pemarah, memukul istrinya ketika marahnya sedang meluap”.43 Percontohan dari sifat kemaksuman dimiliki Rasulullah Saw. diterjemahkan Fatima bahwa Islam merupakan agama yang mengedepankan keegaliteran, bahwa dalam suatu keluarga hendaknya dihindari terhadap sesuatu yang melukai pasangannya. Baik itu menyakiti melaku spikis maupun fisik itu tidak selayaknya dilakukan. Bahwa adanya penafsiran Qs.an-Nisā yang seolah-olah menegaskan supremasi laki-laki merupakan legitimasi fanatisme budaya patriarki. tidaklah sejalan dengan ajaran agama Islam yang rahmatan li al- ‘alamîn. Terdapat kesamaan pandangan tentang mu’āsyarah bi al-ma’rūf kedua tokoh ini bahwa seorang istri untuk diperlakukan ma’rūf oleh suami. Karena itu, sungguh keliru apabila ada pernyataan bahwa kewajiban istri pada suami dijadikan alasan untuk melakukan pendiskriminasian, kesewenangan dan kekerasan kepada perempuan. Yang paling ideal, justru dengan adanya hak dan beban kewajiban bagi suami istri akan membuat nyaman kedua belah pihak, suami- istri harus saling mengisi dan saling melengkapi kekurangan masing-masing. Jika suami pelindung bagi istri, maka istri berperan menjadi telaga ketenangan bagi suami. Sehingga antara suami-istri akan mudah melaksakan kemitraan dalam keluarga. 2. Pandangan Fatima Mernissi dan Muhammad Nawawî Bin ‘Umar tentang Konsep Keadilan dan Kesetaraan dalam Keluarga Walaupun secara umum pandangan an-Nawawî tentang perempuan dalam kitab uqūd al-lijain memang lebih condong terhadap faham patriarki, tetapi bukan berarti tidak ada sama sekali unsur keadilan pada tulisannya itu. Misalkan 42
Hadith ini diriwayatkan at-Turmudzi hadith yang juga diriwayatka Aisyah r.a (no. 2537) dan al-Hakim (juz I, 3) hadith ini sahih. Menurut as-Suyūti hadith ini hasan (al-Jāmi’ aṣ-Ṣaghîr, juz I,335) 43 Fatima, Women and Islam, 200-201
68 | An-Nisa', Vol. 9 No. 1 April 2016
Eksistensi Perempuan dalam Keluarga
saja ketika an-Nawawî menyebutkan hak istri pada suami yakni supaya suami memperlakukan istri dengan baik, adil bagi yang memiliki lebih dari satu istri dan berbuat ma’rūf dalam tingkah laku ataupun berbicara dengan istri.44 Perimbangan antara suami dan istri juga dinisbatkan oleh an-Nawawî dalam Qs.alBaqarah:228 dengan ukuran baik dimata Allah Swt. maupun masyarakat. Sekelumit dari pernyataan an-Nawawî ini secara tersirat mengandung unsur keadilan. Dikatakan adil, karena disini walaupun perempuan terbatasi pada ranah domestik, dia selayaknya tidak diperlakukan sewenang- wenang, ada hak untuk perempuan dicukupi kehidupannya oleh laki-laki, dan kebebasan perempuan untuk mendapat ilmu pengetahuan yang tentu saja hal itu sulit sekali diwujudkan pada masa pra-Islam. Pada tataran kesetaraan, kalau dilihat kondisi saat ini. Menurut penulis pandangan an-Nawawi tentang eksistensi dan peranan perempuan dalam keluarga, belum terpenuhi. Superioritas laki-laki terhadap perempuan masih sangat dominan sekali. Dalam relasi seksual, ranah perempuan dalam mencari ilmu dan nafkah semua bergantung dan didominasi laki-laki. tidak ada pilihan bagi perempuan untuk melakukan aktifitas publik kecuali dengan ijin dan pengawasan suami. Sedangkan uraian Fatima yang memang konsisten memperjuangkan hahak perempuan, kesetaraan dan kemitraan antara laki-laki dan perempuan lebih dominan. Akan tetapi dalam menafsirkan ẖadîth dan pendapat dari ulama’ klasik tampaknya emosional dari sikap pribadinya ikut berperan dalam mengomentari beberapa pendapat ulama’ klasik dan ẖadith tersebut. Misalnya saja ketika ia mengkritik pribadi Abu Hurairah sebagai perawi ẖadîth yang kerap berdebat dengan Aisyah r.a. ia juga mengatakan “bukanlah suatu usaha yang sia-sia untuk menggali kepribadian Abu Hurairah, Perawi ẖadîth yang begitu menjenuhkan tentang kehidupan sehari-hari wanita muslim modern”.45 Dan menurut penulis kritik terhadap suatu ilmu itu sah-sah saja, asal diimbangi dengan keilmuan yang sudah mapan dalam bidang yang dikritisi, agar ketika sudah merumuskan dan menyimpulkan kutipan tidak salah dan keblabasan. Ada beberapa poin yang mempengaruhi pendapat serta kontruksi sosial kedua tokoh ini; Pertama, latar belakang kehidupan dan pendidikan. Fatima yang hidup di era feminisme ditegakkan (modern), sedang an-Nawawî hidup ketika sistem patriarki berkuasa (tradisional). Kedua, sumber informasi dan 44 45
An-Nawawî, Uqūd al-Lijjain, 2 Fatima, Wanita dalam Islam, 100
An-Nisa', Vol. 9 No. 1 April 2016 | 69
Qurrotul Ainiyah
referensi tentang gender, Fatima mempunyai latar belakang pendidikan gender yang telah terkonsep sedangkan an-Nawawî belajar ketika frim kesetaraan antara laki-laki dan perempuan diporak porandakan oleh pemahaman patriarki. Islam yang dasarnya rahmatan lil alamin, menjunjung keadilan dan kesetaraan dijadikan kelompok patriarki sebagai alat untuk mendominasi perempuan demi kepentingan mereka. Kembali lagi pada bahasan terhadap pola hubungan perempuan dan lakilaki, pada dasarnya kedua tokoh tersebut mengharapkan terjadinya keadilan bagi laki-laki maupun perempuan dalam hubungan keluarga. Keadilan seperti dirumuskan oleh Rasulullah Saw. adalah terpenuhinya hak bagi yang memilikinya secara sah dan hak pada saat yang sama, jika dilihat dari sudut pandang orang lain adalah kewajiban. Dan siapapun yang memikul kewajiban lebih besar, dialah yang lebih memiliki hak lebih dibanding yang lain.46 Walaupun an-Nawawî menganggap bahwa beban suami sebagai pencari nafkah dan penanggung jawab terhadap seluruh anggota keluarga lebih berat dari pada istri yang hanya mempunyai beban repoduksi, tidak serta merta bisa dijadikan tolok ukur untuk mendominasi sang istri. karena bobot hak dan kewajiban tidak diukur dari materi, bobot hak dan kewajiban harus diselaraskan melalui musyawarah dan relasi keadilan, dengan tidak merendahkan apalagi menafikan eksistensi pihak lain. Landasan yang paling penting dalam keluarga mawaddah wa rahmah. dengan landasan ini, konflik kepentingan dapat diatasi. Dominan ikhlas dan wani ngalah akan meleburkan hak dan kepentingan antara kedua belah pihak. Pola hubungan ini sesuai dengan firman Allah Swt.
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir. (Qs. al-Rūm (30): 21)47 Al-Qur’ān juga menyebut hubungan suami dan istri dengan kata ‘zauj yang 46 47
Masdar F. Mashudi, Islam dan Hak-hak Repoduksi (Bandung: Mizan, 1997), 181 Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemah, 406
70 | An-Nisa', Vol. 9 No. 1 April 2016
Eksistensi Perempuan dalam Keluarga
berarti pasangan; yang bermaksud agar urusan bersama dalam keluarga dibicarakan dan diputuskan bersama. Maqām tertinggi dalam hubungan suami-istri adalah Maqām berkeadilan yang dilandasi cinta-kasih. Jadi dalam keluarga tidak akan ada merasa unggul dan sak karepe dewe. Kedua belah pihak bermitra dan bisa saling mendukung dalam segala hal. Dengan pola ini tidak akan terjadi dominasi kepentingan oleh satu atas yang lainnya. KESIMPULAN Dari pemaparan diatas dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Dalam pembahasan hak dan kewajiban bagi perempuan, baik an-Nawawî maupun Fatimah berpendapat bahwa perempuan berhak mendapatkan pengajaran ilmu pengetahuan, dan nafkah serta perlakuan al-ma’rūf dari suami. Hanya saja an-Nawawî lebih condong pada paham patrirki, sehingga suami mempunyai otoritas penuh terhadap istri. Sedangkan Fatimah berpendapat antara hak dan kewajiban bagi laki-laki dan perempuan harus seimbang yang menyesuaikan kodratnya. 2. Pendapat Fatima untuk diterapkan keadilan dan kesetaraan dalam keluarga maka antara suami-istri seharusnya bermitra dan bisa saling mendukung dalam segala hal. Sedangkan penafsiran dan pengambilan an-Nawawî terhadap nash lebih men-subordinat perempuan yang menempatkan posisinya dalam keluarga sebagai the second human. Sebab itu, untuk terwujudnya penyadaran terhadap keadilan dan kesetaraan gender, perlu adanya pengkajian ulang dan reinterpretasi terhadap pemahaman ajaran agama secara kontekstual yang tentu saja tidak merubah pakem yang ditetapkan oleh Islam.
An-Nisa', Vol. 9 No. 1 April 2016 | 71
Qurrotul Ainiyah
DAFTAR PUSTAKA Al- Alūsi.t.t. Ruẖ al- Ma’āni fi Tafsîr al-Qur’ān al- Aḍim wa al-Sab alMa’āni.Bairut: Dar al-Fikr. Bakker.Anton dan Haris Zubair. Ahmad. 1992. Metodologi Penelitian Filsafat. Yogyakarta: Kanisius. Departemen Agama RI.2005. al-Qur’an dan Terjemah.Bandung: Diponegoro Dhofier. Zamarkhasyari . 1982.Tradisi Pesantren, Studi tentang Pandangan Hidup Kyai. Jakarta: LP3ES. al-Ghazali. Muhammad. 1988. as-Sunnah an-Nabawiyyah baina ahl al-Fiqh wa ahl al-ĥadîth. bairut: Dār asy-Syurūq. Huda. Nurul. 2003. Sekilas tentang: Kiai Muhammad Nawawi al-Bantani, Jurnal Alkisah, No.4, 14 September . Hurgronte. C. Snouck . 1931. Mekka in The Letter Part of The Nineteenth century. Leiden: Brill. Ibn Hajar al-Haitami.1983. al-Fatāwā al-Kubrā al-Fiqhiyyah, juz IV.Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyah Mansour. Fakih. 2003. Analisis Gender dan Tranformasi sosial. Yogyakarta:Pustaka Pelajar. Mashudi. Masdar.F. 1997. Islam dan Hak-hak Repoduksi.Bandung: Mizan. Mernissi. Fatima. 1991. Women and Islam: An Historical and Theological Enguity.Basil Blackwell: Oxford. -------------------, 1995. Setara Dihadapan Allah: Relasi Laki-laki dan Perempuan dalam Tradisi Islam Pasca Patriarki. Yogyakarta: LSPPA. ------------------------, 2008. Dreams of Trespass: Tales of Harem Girlhood, Perempuan-Perempuan Harem, terjemah Ahmad Baiquni. Bandung: PT Mizan Pustaka. Muhmmad Bin Ismail Bukhari. 1978. Al-Shahih al- bukhari, Juz I.Kairo: Dar Ma’rifah. Nawawî bin Umar. Muhammad. T.t. Uqūd al-Lujjain fi Bayāni al-Haqūq az-Zaujāin, Surabaya:Dar al-Ilm. -------------------, t.t. Nihāyah al-Ziyān fi Irsyād al-Mubtadi’in. Bandung: alMa’arif. Nuriyah. Sinta Dkk. 2001. Wajah baru Relasi Suami Istri; Telaah Kitab Uqūd al-Lijjain.Yogyakarta: LKiS. Rasyid Ridha.Muhammad. 1973. Tafsir al-Manar, juz I.Mesir: Al-Haiah almishriyah li al-kitab.
72 | An-Nisa', Vol. 9 No. 1 April 2016