NEGARA KESEJAHTERAAN DALAM KEPEMIMPINAN UMAR BIN KHATTAB Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S.sos)
Disusun Oleh: Abdul Aziz Azamzami NIM: 104033201076
JURUSAN PEMIKIRAN POLITIK ISLAM FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2008./1429 H.
LEMBAR PERNYATAAN Dengan ini penulis menyatakan bahwa; 1. Skripsi ini merupakan hasil karya penulis yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata Satu (S1) di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber yang penulis gunakan dalam penulisan ini telah penulis cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidaytullah Jakarta. 3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya penulis atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka penulis bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Ciputat, 11 Desember 2008 M 13 Dzulhijjah 1429 H
Abdul Aziz Azamzami
KATA PENGANTAR Alhamdulillah, segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT. Dialah sumber tempat bersandar, dialah sumber dari kenikmatan hidup yang tanpa batas, Rahman dan Rahim tetap menghiasi asma-Nya sehingga penulis diberikan kekuatan yang begitu melimpah dari kekuatan fisik hingga psikis untuk dapat menyelesaikan skripsi ini yang berjudul: “NEGARA KESEJAHTERAAN DALAM KEPEMIMPINAN UMAR BIN KHATTAB.” Shalawat serta salam juga penulis curahkan kepada Baginda Nabi Muhammad SAW beserta para keluarganya, sahabat, dan para pengikutnya yang telah membuka pintu keimanan yang bertauhid dan kebahagiaan, kearifan hidup manusia, dan pencerahan atas kegelapan manusia yang dijadikan sebagai sebuah pembelajaran bagi umat muslim hingga akhir zaman. Skripsi ini penulis susun untuk memenuhi syarat akhir untuk mencapai Gelar Sarjana Sosial (S1) pada Program Studi Pemikiran Politik Islam Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Selama penyusunan Skripsi ini, penulis banyak sekali bantuan dan motivasi dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada yang terhormat: 1. Bapak Dr. Amin Nurdin, MA selaku Dekan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Bapak Drs. Agus Darmaji, MFils dan Ibu Wiwi Siti Sajaroh, MAg selaku Ketua dan Sekretaris Program Studi Pemikiran Politik Islam Fakultas
Ushuluddin dan Filsafat
Universita
Islam
Negeri (UIN)
Syarif
Hidayatullah Jakarta. 3. Bapak Dr. H. Sirojuddin Aly, MA selaku dosen pembimbing atas kesebaran, kritik, saran-saran yang diberikan kepada penulis selama menyusun skripsi ini. 4. Seluruh Dosen dan Staf pengajar pada Program Studi Pemikiran Politik Islam, atas segala pengetahuan, bimbingan, dan dorongan, wacana, wawasan, dan intelektualitas yang telah “ditularkan” kepada penulis selama menempuh studi. Seluruh Staf dan karyawan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 5. Pimpinan dan Staf Perpustakaan Utama dan Perpustakaan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah memberikan fasilitas kepada penulis dalam pencariaan literatur yang diperlukan. 6. Kedua orang tua tercinta, Ayahanda K. H. Nahrawi, dan Ibunda Hj. Bahriah, terima kasih atas kasih sayang dan dukungan yang diberikan baik moril maupun materil. Semoga Allah Swt. selalu melindungi dan memberikan
kasih sayang
kepada mereka,
sebagaimana mereka
mencurahkan semua itu kepada penulis. 7. Kakakku Abdul Kholik, dan Musyarofah, dan adik-adikku Humaero, Ahmad Kholil, dan Saeful Maki, yang selalu memberikan kritik, saransaran dan do’a kapada penulis. 8. Keluarga besar bapak H. Suwarno S.H dan Hj. Nini Warsini S. H, M. H, beserta
Muhammad Adib Adam dan Dini Rahmawati yang banyak
memberikan
semangat
dan
dorongan
bagi
penulis
untuk
cepat
menyelesaikan skripsi. 9. Dinar Wardani (Nontz), dialah sang bintang yang paling bersinar di dalam hati penulis di antara jutaan sinar bintang yang ada. Serta yang paling dekat merasakan jatuh-bangun penulis dalam pembuatan skripsi ini. 10. Bang Soim “Mbah Satria”, yang selalu bersedia untuk diajak berdiskusi ketika penulis mengalami “kebuntuan” untuk menulis skripsi ini, dan memberikan pinjaman buku, mudah-mudahan Allah Swt. membalas kebaikannya. Serta semua teman-teman FORMAL (Forum Mahasisawa Lirboyo), yang banyak memberikan kontirbusi dalam pembentukan intelektualitas penulis, dan teman-teman di HMI (Himpunan Mahasisawa Islam). 11. Sahabat-sahabatku, Fahmi Irfani, Nafi, Yusri, bim-bim, Abay, Aris, Agus, Acu, Ghozy, wulan, Dedi Supriadi, yang selalu mewarnai kehidupan penulis selama menjalankan studi di Kampus Hijau UIN Jakarta, merekalah yang menjadi teman diskusi ketika penulis mulai kehilangan semangat, serta dorongan, dan kritik mereka merupakan pemacu bagi penulis untuk cepat menyelesaikan skripsi ini. 12. Teman-temanku di Jurusan Pemikiran Politik Islam angkatan 2004, Dika, Ulmanto, Mulyani, Rahmat, Demank, Dedi, Imam, Iman, Ikhsan, Dini, Ipeh, Inem, Ray, Iin Handayani, Hayat, Rosi, Yunus, terima kasih atas kerjasamanya selama menjalankan studi. 13. Teman-teman kostanku, Zane, Vera, Lulut, Boby, Siska, Iwan, Iim, Lina, Hakim, atas semua dorongan, do’a dan kritik mereka kepada penulis.
Skripsi ini tentu saja bukan karya yang sempurna dan bebas dari kesalahan, karena itu, masukan-masukan dari para pembaca untuk perbaikan di masa mendatang sangat penulis nantikan. Penulis mohon ampun-Nya atas segala kesalahan. Karya ini penulis dedikasikan kepada semua orang yang selalu merindukan adanya peranan negara dalam pembangunan kesejahteraan warga negaranya. Terakhir, hanya kepada Allah lah semua dikembalikan. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat adanya. Amin.
Ciputat,11 Desember 2008 M 13 Dzulhijjah 1429 H
Abdul Aziz Azamzami
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR…………………………………………………………….i DAFTAR ISI……………………………………………………………………...v BAB I PENDAHULUAN………………………………………………………..1 A. Latar Belakang Masalah……………………………………………….1 B. Batasan dan Rumusan Masalah…………………………………..……7 C. Tujuan Penelitian ………………………………………………..……8 D. Metode Penelitian……………………..……………………………....8 E. Sistematika Penulisan………………………………………………....9
BAB II KONSEPSI NEGARA KESEJAHTERAAN …….…….………...….11 A. Pengertian Negara Kesejahteraan………………..…………………..11 B. Negara Kesejahteraan Dalam Praktek Pada Masa Rasulullah Saw….16 1. Kondisi Negara Madinah Pada Awal Pembentukkannya…………16 2. Sumber-sumber Pendapatan Negara Madinah …………………....20 C. Negara Kesejahteraan Dalam Perspektif Barat………………………27 1. Kebijakan Sistem Negara Kesejahteraan Modern …………….…36
BAB III KEPEMIMPINAN KHALIFAH UMAR BIN KHATTAB ……….45 A. Biografi Khalifah Umar bin Khattab……………………..………. 45 B. Negara Madinah Di Bawah Kepemimpinan Umar……………...…61
BAB IV
NEGARA KESEJAHTERAAN DALAM KEPEMIMPINAN UMAR BIN KHATTAB …………………………………………67
A. Kebijakan-kebijakan
Politik
Umar
Dalam
Mewujudkan
Kesejahteraan …………………………………….……...……….. 67 1. Pendirian Baitul Mal....................................................................68 2. Pendirian Al-diwan…………………………………...……...….73 B. Model Negara Kesejahteraan Islam Periode Umar ………………..76 C. Sumber-sumber Pendapatan Negara Pada Periode Umar …………80 D. Jaminan Sosial Pada Era Pemerintahan Umar……………………. 92
BAB V PENUTUP…………………………………………………………..…97 A. Kesimpulan………………………………………………………...97 B. Saran-saran…………………………………………………………99
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………...….100
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Pertanyaan awal ketika berbicara tentang negara kesejahteraan adalah bagaimana mendefinisikan konsep negara kesejahteraan itu sendiri, karena negara kesejahteraan bukanlah sebuah konsep dengan pendekatan yang baku. Negara kesejahteraan sering ditengarai dari atribut-atribut kebijakan pelayanan sosial dan transfer sosial yang disediakan negara kepada warganya, seperti pelayanan pendidikan, lapangan pekerjaan, pengurangan kemiskinan, sehingga negara kesejahteraan dan kebijakan sosial sering diidentikan.1 Saat ini upaya untuk mentransformasikan gagasan konsep negara kesejahteraan begitu urgen. Faktor utama yang mendorong mengapa konsep negara kesejahteraan begitu urgen dan secepat mungkin harus direalisasikan karena didasarkan pada fakta bahwa di negara-negara berkembang saat ini tingkat kemiskinan kian hari kian memperihatinkan. Peran negara yang semakin berkurang di sektor publik seiring dengan berjalannya proses demokratisasi, segala sesuatu yang bukan menjadi urusan negara akan diserahkan kepada masyarakat. Sebagai salah satu contoh misalnya ialah privatisasi beberapa perguruan tinggi negeri, rumah sakit dan perusahaan-perusahan milik negara. Tim Peneliti PSIK dalam bukunya ”Negara Kesejahteraan dan Globalisasi”, mengutip dari buku Adam Smith, yang berjudul “An Inquiry into 1
Darmawan Triwibowo dan Sugeng Bahagijo, Mimpi Negara Kesejahteraan (Jakarta: LP3ES, 2006), h. 8.
the Nature and the Causes of the Wealth of Nation”, menjelaskan bahwa ada dua tugas utama yang menjadi tanggung jawab negara. Pertama, negara memiliki kewajiban untuk menciptakan sebuah rasa aman bagi setiap warga negaranya dari ancaman dalam bentuk apa pun. Kedua, kewajiban negara harus mendorong dan menciptakan kesejahteraan ekonomi bagi semua warga negara. Faktor keamanan biasanya menjadi pilar utama bagi terwujudnya kesejahteraan sosial.2 Jadi keamanan dan kesejahteraan merupakan dua hal yang sangat sulit untuk dipisahkan, situasi sosial dan politik yang tidak stabil akan menyulitkan terciptanya kesejahteraan sosial, dan situasi keamanan sulit untuk terwujud bila suatu negara warganya tidak memiliki jaminan kesejahteraan sosial. Mimpi akan terciptanya sebuah negara yang ”budiman”, yakni sebuah negara yang kuat namun mencurahkan kuasanya untuk memenuhi dan melindungi hak-hak warganya, dan negara yang berdaya dan peduli terhadap kebutuhankebutuhan dasar sosial-politik-ekonomi warga negaranya. Namun, setelah tiga dasawarsa lebih, negara lebih sering diidentikan dengan wajah bengisnya, anganangan tentang sebentuk negara yang kuat dan budiman bisa menjadi bahan ”cemooh.” Tidak bisa dipungkiri lagi ruang publik didominasi oleh wacana “emoh negara” atau “state denial”. Negara seolah-olah berasosiasi dengan segala keburukan. Di ranah ekonomi, negara berkonotasi dengan kolusi, inefisiensi dan nepotisme; di ranah birokrasi, negara bergandeng makna korupsi; sedangkan dalam ranah politik, negara disandingkan dengan aneka bentuk pelanggaran hak-
2
Tim Peneliti PSIK Universitas Paramadina, Negara Kesejahteraan dan Globalisasi: Pengembangan Kebijakan Dan Perbandingan Pengalaman (Jakarta: PSIK Universitas Paramadina, 2008), h. 16.
hak asasi manusia. Sebuah reputasi buruk yang seolah memberikan legitimasi bagi pelucutan kapasitas dan peran negara.3 Pengalaman empiris negara-negara Eropa dengan demikian merupakan sumber telaah yang menarik dan penting. Perjalanan negara kesejahteraan Eropa yang dimulai dari era Otto Van Bismarck pada tahun 1883 hingga awal abad ke21 ini telah menggambarkan pengalaman empiris yang kaya tentang bagaimana negara menjalankan peran kesejahteraan dan beradaptasi dengan tantangantantangan eksternal dan internal yang terus berubah. Eksperimen yang dilakukan negara-negara Eropa Barat dan Utara melalui format negara kesejahteraan tersebut menunjukkan bahwa negara mampu memikul peran yang aktif dalam pengurangan kemiskinan, penyediaan lapangan kerja yang luas, sistem kesehatan dan pendidikan yang terjangkau oleh warga, serta jaminan sosial yang universal. Hal ini membuktikan bahwa negara kesejahteraan (walfare state) merupakan bentuk paling riil dari angan-angan tentang ”negara budiman”.4 Berbicara mengenai kesejahteraan, secara normatif konsep kesejahteraan dalam ajaran Islam sangat jelas dan gamblang. Walaupun masih agak sulit untuk mendapatkan definisi yang jelas mengenai konsep kesejahteraan dari sudut pandang Islam. Apalagi jika dikaitkan dengan pengertian dalam khazanah ilmuilmu sosial modern. Meskipun demikian tidak bisa dikatakan bahwa Islam tidak memiliki pandangan tentang kesejahteraan sosial. Berdasarkan pada realitas perkembangan masyarakat Islam sendiri, di mana masyarakat Islam juga menjadi bagian dari masyarakat dunia yang secara evolutif berkembang dari masyarakat agraris dan kemudian menjadi masyarakat industri. Konsekuensi dari tahapan 3 4
Darmawan Triwibowo dan Sugeng Bahagijo, Mimpi Negara Kesejahteraan, h. 1-2. Ibid., h. 4.
perkembangan masyarakat yang terjadi di Barat inilah yang kini turut mengubah tatanan kehidupan sosial masyarakat Islam. 5 Menjadikan Madinah sebagai pusat pemerintahan Islam pertama merupakan sebuah langkah yang berilian yang dilakukan oleh Nabi Muhammad. Karena dakwah tauhid yang dibawa oleh Nabi Muhammad sulit untuk diterima penduduk Makkah pada saat itu, dan kuatnya keyakinan penduduk Makkah akan kepercayaan nenek moyang mereka kepada berhala (patung-patung) sebagai Tuhan. Selain itu karena kondisi ekonomi masyarakat Makkah yang kuat, menimbulkan sikap kapitalistik dan sikap sombong, dan membanggakan kekuasaan manusia. Sehingga ajaran Islam sulit untuk berkembang dan diterima oleh masyarakat Makkah. 6 Sebuah revolusi tauhid yang digelontarkan oleh Nabi Muhammad telah memberikan sebuah tamparan bagi para bangsawan Arab saat itu. Karena secara horizontal menggusur tatanan sosial, politik, dan budaya tradisional. Revolusi tauhid yang dilakukan oleh Nabi Muhammad ternyata bukan hanya terletak pada kalimat tiada “Tuhan selain Allah”nya namun pada implikasinya. Nabi Muhammad mengambil
yang
dekat
dengan
kebijakan-kebijakan
kelompok-kelompok
yang
menguntungkan
marginal, orang-orang
banyak yang
terlemahkan (mustadh’afin) oleh sistem sosial-politik Arab saat itu. Oleh karena itu, keberpihakan Nabi tersebut mengindikasikan adanya kebijakan-kebijakan
5
Tim Peneliti PSIK Universitas Paramadina, Negara Kesejahteraan dan Globalisasi, h.
44-45. 6
Taufiqurrahman, Sejarah Sosial Politik Masyarakat Islam, (Surabaya: Pustaka Islamika Press, 2003), h. 42.
sosialnya yang secara substansial memiliki kedekatan “teoritik” dengan konsep welfare state. 7 Melihat apa yang terkandung dalam semangat kebijakan welfare state, terkandung nilai-nilai kerelaan dan ketulusan untuk membantu dan meringankan beban orang miskin oleh kaum kaya. Nilai-nilai kesejahteraan yang terkandung dalam Al-Qur’an merupakan tugas atau kewajiban umat Islam untuk mengaplikasikannya dalam kehidupan bernegara atau sehari-hari, dan keadilan merupakan faktor dasarnya. Hal itu merupakan perintah, maka perintah zakat bagi orang Islam yang mampu merupakan sebuah kewajiban yang harus dilaksanakan, dan apabila perintah itu tidak dilaksanakan maka negara dalam hal ini yang memiliki wewenang untuk mengambilnya secara “paksa”. Karena di dalam harta yang kita miliki ada hak orang lain, yakni hak orang-orang fakir dan miskin. Khalifah Umar bin Khattab sebagai pemimpin negara Madinah pasca kepemimpinan Nabi Muhammad dan Khalifah Abu Bakar, berhasil melakukan perluasan penaklukan (futuhat) wilayah-wilayah. Luasnya wilayah-wilayah yang berada di bawah pemerintahan Madinah, memaksa Khalifah Umar bin Khattab untuk ekstra ketat ketika memilih pejabat-pejabat yang akan memimpin wilayahwilayah hasil penaklukan. Karena dikhawatirkan terjadinya penyalahgunaan kekuasaan, maka salah satu hal terpenting yang harus dilakukan Khalifah Umar bin Khattab adalah melakukan pengawasan terhadap tata cara para pejabatnya dalam memperlakukan penduduk dan Baitul mal atau perbendaharaan umat, sehingga Khalifah Umar bin Khattab memberlakukan suatu kontrol khusus
7
h.46
Tim Peneliti PSIK Universitas Paramadina, Negara Kesejahteraan dan Globalisasi,
terhadap para pejabat pemerintahan dan mencatat kekayaan mereka pada permulaan penganggkatan mereka.8 Puncak sorotan mengenai diskursus welfare state dalam sejarah politik Islam adalah pada masa kepemimpinan Khalifah Umar bin Khattab, karena Khalifah Umar telah berhasil menggariskan suatu sistem “politik ekonomi” yang kemudian telah dipakai menjadi dasar politik ekonomi sehat di negara-negara modern saat ini. Sistem politik ekonomi yang dilakukan oleh Khalifah Umar bin Khattab, yaitu penggunaan kekayaan negara untuk mengatasi kesulitan-kesulitan yang sangat dan untuk mencukupi kebutuhan rakyat yang mendesak.9 Dalam arti kesejahteraan rakyat sebuah negara merupakan hal yang mendasar yang harus diwujudkan. Baitul mal (kas negara) pada masa Khalifah Umar bin Khattab digunakan untuk kesejahteraan umat Muslim, sehingga tunjangan bagi Khalifah Umar sebagai kepala negara hanya dua potong pakaian musim panas dan sepotong pakaian musim dingin, dan uang yang cukup untuk kehidupan sehari-hari seperti seorang Quraisy yang biasa. Hal ini menggambarkan bahwa baitul mal lebih diperioritaskan untuk kepentingan mensejahterakan rakyat, pertahanan dan pembangunan.10 Pada masa Khalifah Umar pendapatan negara terbagi menjadi empat bagaian; Pertama, pendapatan yang diperoleh dari zakat dan ushr yang dikenakan terhadap muslim. Kedua, pendapatan dari Khumus dan sadaqah. Ketiga, pendapatan yang diperoleh dari kharaj, fay, jizya, ushr dan sewa tanah-tanah milik negara. Keempat, pendapatan dari sumber-sumber lainnya. Dari semua sumber 8
Rasul Ja’fariyan, Sejarah Khilafat, (Jakarta: Al-Huda, 2006), h. 83-89. A. Hasjmy, Di Mana Letaknya Negara Islam, (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1984), h. 103. 10 Inu Kencana, Ilmu Pemerintahan dan Al Qur’an, (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), h. 191. 9
pendapatan negara ini pemerintahan Khalifah Umar memiliki pengaturan distribusi yang sangat baik. Fokus dari sebuah ide dasar negara kesejahteraan adalah bagaimana upaya negara dalam mengelola semua sumber daya yang ada demi kesejahteraan rakyatnya. Dalam hal ini kebijakan yang dilakukan atau dikeluarkan oleh negara harus berlandaskan pada prinsip efisiensi dalam penggunaan sumber daya yang dimiliki negara dan prinsip keadilan dan kesamaan dalam proses distribusi sumber daya negara. Dalam desain negara kesejahteraan ada dua pertanyaan mengenai kebijakan negara; Pertama, apa tujuan dari sebuah kebijakan?, Kedua, dengan metode atau cara apa tujuan kebijakan negara dapat tercapai?.11 Prinsip-prinsip negara kesejahteraan saat ini,
jelas dahulu pernah
dipraktekkan dalam kepemimpinan Khalifah Umar bin Khattab, walaupun bentuk negara kesejahteraan saat ini yang dipraktekan oleh negara-negara Barat berbedabeda, akan tetapi tujuan dari semua negara kesejahteraan adalah adanya tanggungjawab negara untuk menciptakan kesejahteraan warga negaranya lewat fasilitas-fasilitas atau bantuan-bantuan yang diciptakan negara untuk warganya yang lemah (miskin).
B. Batasan dan Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, agar jangkauan skripsi ini lebih terarah, maka penulis dalam pembahasannya akan membahas permasalahan skripsi ini pada: model negara kesejahteraan dalam kepemimpinan umar bin khattab. Adapun untuk perumusan masalah yang menjadi objek kajian skripsi ini terfokus 11
h.17-18.
Tim Peneliti PSIK Universitas Paramadina, Negara Kesejahteraan dan Globalisasi,
kepada pertanyaan: bagaimana Model negara kesejahteraan dalam kepemimpinan umar bin khattab ?
C. Tujuan Penelitian Membahas judul skripsi “Negara Kesejahteraan Dalam Kepemimpinan Umar bin Khattab” ini secara akademis bertujuan: 1. Melacak jejak akar praktek prinsip-prinsip negara kesejahteraan dalam sejarah politik Islam pada masa kepemimpinan Umar bin Khattab. 2. Mejelaskan otoritas negara dan sumber-sumber pendapatan negara pada masa Umar. 3. Menjelaskan kebijakan politik Umar dalam mewujudkan kesejahteraan sosial umat Islam. 4. Mengaktualisasikan
prinsip-prinsip
kesejahteraan
yang
pernah
dipraktekkan dalam sejarah perpolitikan negara Islam yang dipimpin Umar bin Khattab.
D. Metode Penelitian Sebagai wacana kajian sosial politik historis, maka teknik pengumpulan data yang dipakai dalam skripsi ini menggunakan metode kepustakaan (library research) sebagai sumbernya yaitu buku-buku, artikel, jurnal, majalah, internet, dan dokumentasi-dokumentasi yang berkaitan dengan pokok permasalahan, yang membahas tentang negara kesejahteraan dan sejarah politik kenegaraan pada periode Khalifah Umar bin Khattab yang mengacu pada terciptanya kesejahteraan sosial umat Islam. Metode pembahasan skripsi adalah deskripsi analisis, yaitu
mendeskripsikan data-data
yang ada,
kemudian menganalisisnya
secara
proporsional sehingga akan nampak jelas rincian jawaban atas persoalan yang berhubungan dengan pokok permasalahan. Sedangkan metode penulisannya berdasarkan kepada buku “Pedoman Penulisan Karya Ilmiah” yang diterbitkan oleh CeQDA Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta 2007.
E. Sistematika Penulisan Sistematika penulisan dibagi menjadi 5 bab, sedangkan setiap bab disamakan dengan out line yang sudah ada. Bab pertama seputar signifikansi tema yang diangkat. Mengapa tema yang akan ditulis ini layak diangkat sebagai sebuah skripsi. Akan diungkapkan mulai dari Menerangkan latar belakang masalah, batasan dan perumusan masalah, tujuan penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan. Pada bab kedua menjelaskan konsepsi negara kesejahteraan dengan subsub babnya akan menjelaskan mengenai pengertian negara kesejahteraan, negara kesejahteraan dalam praktek pada masa Rasulullah Saw. yang meliputi pembahasan: Kondisi negara Madinah pada awal Pembentukkannya dan sumbersumber pendaptan negara Madinah. Sedangkan sub bab yang terakhir membahas mengenai negara kesejahteraan dalam perspektif Barat yang meliputi penjelasan tentang kebijakan sistem negara kesejahteraan modern. Bab Ketiga menjelaskan tentang kepemimpinan Khalifah Umar bin Khattab yang membahas; biografi Khalifah Umar bin Khattab dan negara Madinah di bawah kepemimpinan Khalifah Umar bin Khattab.
Bab Keempat menjelaskan mengenai negara kesejahteraan dalam kepemimpinan Umar bin Khattab, dengan sub-sub bab yang menjelaskan mengenai; kebijakan-kebijakan politik Umar dalam mewujudkan kesejahteraan, model negara kesejahteraan Islam pada periode Umar bin Khattab, sumbersumber pendapatan negara pada periode Umar,
dan jaminan sosial pada era
pemerintahan Umar, ini sebagai gambaran adanya aplikasi prinsip negara kesejahteraan dalam kepemimpinan Khalifah Umar bin Khattab. Bab Kelima diisi dengan penutup yang mencoba menyimpulkan dan memberikan analisa kritis dalam pembahasan mengenai Negara Kesejahteraan Dalam Kepemimpinan Umar Bin Khattab, untuk melengkapi pembahasan dalam skripsi ini.
BAB II KONSEPSI NEGARA KESEJAHTERAAN
A. Pengertian Negara Kesejahteraan Kesejahteraan rakyat merupakan sebuah wacana yang menarik untuk selalu dijadikan bahan perbincangan oleh para politisi atau para akademisi, karena kesejahteraan merupakan hal paling mendasar yang wajib diciptakan oleh negara. Ide konsep negara kesejahteraan berangkat dari upaya negara dalam mengelola sumber daya yang dimiliki dengan tujuan untuk menciptakan kesejahteraan (welfare) rakyat. Tujuan mulia untuk mensejahterakan rakyat, kemudian direalisasikan oleh negara lewat kebijakan-kebijakan politik yang menghadirkan pelayanan sosial (social services). Jadi dalam negara kesejahteraan menuntut adanya peranan negara yang dominan dalam pengelolaan sektor publik. Definisi negara kesejahteraan adalah negara yang mengusahakan kesejahteraan rakyat dengan mengatasi anarki produksi dan krisis ekonomi, meningkatkan jaminan hidup warga dengan memberantas pengangguran.12 Sedangkan definisi lain dari negara kesejahteraan yaitu negara yang merujuk pada sebuah model ideal pembangunan
yang difokuskan
pada
peningkatan
kesejahteraan melalui pemberian peran yang lebih penting kepada negara dalam memberikan pelayanan sosial secara universal dan komperhensif kepada warganya. Jadi fokus dari sistem negara kesejahteraan adalah untuk menciptakan sebuah sistem perlindungan sosial yang melembaga bagi setiap warga negara 12
Save M. Dagun, Kamus Besar Ilmu Pengetahuan (Jakarta: LPKN, 2000), h. 708.
sebagai gambaran adanya hak warga negara dan kewajiban negara.13 Negara kesejahteraan sebenarnya tidak hanya menciptakan pelayanan-pelayanan sosial untuk orang-orang miskin saja, akan tetapi pelayanan-pelayanan sosial ditunjukkan untuk semua penduduk seperti; orang tua dan anak-anak, pria dan wanita, kaya dan miskin. Hal ini dimaksudkan agar pelayanan-pelayanan sosial yang diselenggarakan oleh negara bisa tersebar secara merata dan adil. Muhammad Iqbal, sebagai pemikir politik Islam menjelaskan mengenai tujuan negara. Negara menurutnya hanya salah satu upaya untuk merealisasikan nilai spiritual dalam organisasi yang manusiawi. Dengan demikian negara dalam Islam dilihat sebagai salah satu instrumen untuk merealisasikan tujuan akhir, spiritual dan material warga negaranya. Kekuasaan negara yang dimiliki negara tidak bersifat mutlak, karena kekuasaan adalah amanat dari Allah Swt. dan harus dilaksanakan sesuai dengan kehendak syariat. Jadi, negara pada dasarnya memiliki dua kewajiban yang paling utama, yaitu negara harus bersifat demokratis dan berkemakmuran (menciptakan kesejahteran bagi warga negara).14 Mengenai penjelasan bahwa kekuasaan negara hanya merupakan amanat dari Allah, hal ini tergambar dalam Al-Qur’an sebagai berikut:
$% # !" -./0 * +☺ &'(%) ) 5" 4) &3 2) 1 ABC <=>?2@ :; 7"87 Artinya: “Tiadakah kamu mengetahui bahwa kerajaan langit dan bumi adalah kepunyaan Allah? dan tiada bagimu selain Allah 13
Edi Suharto, “Negara Kesejahteraan dan Reniventing Depsos,” artikel diakses pada 6 September 2008 dari http://209.85.175.104/search?q=cache:gBlPSii64oJ:www.depsos.go.id/modules.php%3Fname%3 DDownloads%26d_op%3Dgetit%26lid%3D24+sejarah+lahir+negara+kesejahteraan&hl=id&ct=cl nk&cd=5&gl=id 14 M. Umer Chapra, “Negara Kesejahteraan Islami dan Peranannya Di Bidang Ekonomi,” dalam Ainur Rofiq, ed., Etika Ekonomi Politik: Elemen-elemen Strategis Pembangunan Masyarakat Islam (Surabaya: Risalah Gusti, 1997), h. 24-25.
seorang pelindung maupun seorang penolong.” (Q.S. AlBaqarah Ayat 107) Rasulullah Saw. dilukiskan dalam Al-Qur’an sebagai pemimpin politik yang menjadi rahmatan bagi seluruh umat manusia. Beberapa perwujudan sifat ini dinyatakan secara jelas dalam Al-Qur’an. Misalnya, perlunya kehidupan yang baik (hayat Thayyibah) dan kesejahteraan atau sukses (falah), sikap ramah dan keras, generasi yang makmur; mendidik dalam suasana penuh cinta dan kasih sayang, jaminan keamanan dari bahaya korupsi, kelaparan, ketakutan, dan tekanan mental. Karena itu semua lembaga-lembaga organisasi, termasuk negara, haruslah mencerminkan sifat rahmatan dan harus mampu mewujudkan kesejahteraan bagi semua umat manusia. Kemudian mengenai fungsi dari negara Islam secara khusus ditegaskan oleh Rasulullah, yang menyatakan: “setiap penguasa yang bertanggung jawab terhadap umat Islam, namun tidak berjuang untuk kesejahteraan mereka, maka ia tidak akan masuk surga bersama mereka.” Para ahli hukum Islam sependapat bahwa meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan menolongnya dari kesusahan merupakan tujuan utama syariat, kemudian negara Islam.15 Allah Swt. telah menjadikan manusia sebagai khalifatullah fil al-ardh, dan telah menganugrahkan sumber penghidupan bagi seluruh umat manusia, seperti dijelaskan dalam Al-Qur’an sebagai berikut:
-./0 8I &3 GH#12) DEF LM=( K1 H(++J 2T%K1DU G) P⌧RS 1 N +2) AC Artinya: “sesungguhnya kami telah menempatkan kamu sekalian di muka bumi dan kami adakan bagi kamu di muka bumi itu 15
Ibid.,h. 26-27.
sumber penghidupan, hanya sedikit sekali di antara kamu yang bersyukur” (Q.S. Al A’raf Ayat 10)
Oleh sebab itu, manusia menggemban amanat Khalifah Allah dimuka bumi, dan diberikan kebebasan untuk mencari sumber penghidupan (nafkah) sesuai dengan hukum yang berlaku serta dengan cara yang adil. Dengan kata lain, Islam pada dasarnya mengakui kepemilikan peribadi. Islam tidak membatasi kepemilikkan peribadi, alat-alat produksi, barang dagangan, tetapi Islam melarang cara-cara yang ilegal dan tidak bermoral dalam memperoleh kekayaan. Islam juga sangat menentang setiap bentuk keutungan yang tidak layak dari kesulitan orang lain, dan melarang penimbunan kekayaan yang tidak sesuai dengan ketentuan ajaran Islam. seperti dijelaskan dalam Al-Qur’an:
[\2]+☺^ CYW&3Z WX +a^ ]S#
AC _\2]+☺` eNf2g dC $+cE2% H; 2) iC $2 0 h$% 2) GT Artinya: “Celakalah semua pedagang jahat dan suka menjatuhkan orang lain, yang menumpuk hartanya dan memperbanyak dengan harapan harta tersebut dapat menjadikannya hebat dan selalu bertahan selamanya.” (Q.S. Al Humazah Ayat 1-3) Dengan demikian, sifat menumpuk harta serta tidak menggunakan harta yang dimiliki untuk tujuaan yang bermaanfaat bagi seluruh umat manusia sangat dilarang oleh Allah Swt. karena sifat menumpuk harta hanya akan menjadi seseorang kaya raya sementara kesejahteraan umat manusia yang lain akan terabaikan dan menciptakan jurang pemisah antara si kaya dan si miskin. Kesejahteraan atau kebahagiaan dalam ajaran Islam bisa terwujud, apabila penduduk suatu negeri memiliki kualitas iman dan taqwa kepada Allah Swt. karena keimanan dan ketaqwaan akan membimbing kehidupan manusia kearah
yang baik, dan manusia akan lebih banyak melakukan perbuatan yang baik dan berusaha menjauhi perbuatan yang buruk atau tercela. Kemudian jika penduduk suatu negeri tidak beriman dan bertaqwa kepada Allah, maka mereka tidak akan mendaptkan kesejahteraan. Hal ini, dijelaskan dalam ayat Al-Qur’an sebagai berikut:
]2&Ff :W^ GT j FG j %H2) K [l ⌧m22n M=2% H2k⌧h -./0 K +☺ o 4) j npR⌧m >1 j @ :t +☺n lq 2@R0s( uC 2T'>12X Artinya:
Jikalau Sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, Maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya. (Q.S. Al A’raaf Ayat 96)
Islam adalah agama yang mengatur segala urusan kehidupan penganutnya, terutama masalah kesejahteraan. Berdasarkan penjelasan diatas, Islam memiliki nilai-nilai kesejahteraan dalam ajarannya. Walaupun pembahasan tentang negara kesejahteraan (welfare state) dalam Islam masih seputar melahirkan asumsiasumsi yang masih bisa dipertanyakan, tetapi, Islam memiliki nilai-nilai kesejahteraan yang terkandung dalam Al-Qur’an secara normatif, yang terangkum dalam sebuah konsep ajaran agama yang bersifat universal. Nilai-nilai kesejahteraan dalam Islam mampu menggambarkan bahwa Islam sebagai ajaran yang sangat menganjurkan terciptanya negara kesejahteraan (welfare state) dalam kehidupan bernegara dan politik, dengan menjadikan etika dan moralitas Islam sebagai pijakannya.
B. Negara Kesejahteraan Dalam Praktek Pada Masa Rasulullah Saw. 1. Kondisi Negara Madinah Pada Awal Pembentukannya Dalam pembahasan ini penulis tidak bermaksud untuk menyatakan bahwa konsep negara kesejahteraan sama dengan prinsip-prinsip kesejahteraan yang diterapkan oleh Rasulullah Saw. dalam pemerintahan Madinah yang dipimpinnya. Akan tetapi, penulis ingin melacak jejak nilai-nilai kesejahteraan yang diterapkan oleh Rasulullah dalam negara Madinah. Karena negara Madinah merupakan negara pertama dalam sejarah politik Islam yang mampu menghadirkan kesejahteraan bagi semua warga negaranya.16 Konsep negara kesejahteraan sendiri merupakan bentuk negara yang menjunjung tinggi nilainilai kesejahteraan bagi warga negaranya. Hijrahnya Rasulullah ke Yatsrib merupakan sebuah langkah politik yang terbaik bagi kemajuan Islam, dan Islam menjadi kekuatan politik pada periode Madinah. Dalam waktu yang relatif singkat, Rasulullah menjadi pemimpin sebuah komunitas kecil yang jumlahnya terus meningkat dari waktu ke waktu. Karier politik Rasulullah pun meningkat menjadi pemimpin bangsa Madinah, dalam diri Rasulullah terkumpul dua kekuasaan sekaligus, yaitu; kepala negara dan sekaligus pemimpin agama.17
16 Bahwa klaim masyarakat yang dipimpin Rasulullah Saw. itu sebagai negara adalah didasarkan pada tinjauan dari sudut ilmu politik. Karena dari segi ilmu politik sesuatu dapat dikatakan negara bila memenuhi syarat yaitu; wilayah, penduduk dan pemerintahan yang berdaulat. Semua unsur itu terdapat dalam negara Islam pertama itu. Wilayahnya adalah kota Madinah dan sekitarnya, rakyatnya terdiri dari unsur-unsur kaum Muhajirin, kaum Anshar, dan kaum Yahudi dan sekutu-sekutunya yang menetap di Madinah, serta pemerintahan yang berdaulat yang dipengang oleh Rasulullah yang dibantu oleh para sahabatnya. Lihat tulisan M. Hasbi Amiruddin dalam bukunya yang berjudul “Konsep Negara Islam Menurut Fazlur Rahman”, (Yogyakarta: UII Press, 2006), h. 51. 17 Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2004), h. 22-23.
Sebagai pemimpin politik negara, Rasulullah mengambil langkah politik untuk mengikat penduduk Madinah dari pihak kaum Muslimin, Kaum Yahudi, dan Musyrikin dengan sebuah ikatan “perjanjian” yang disebut dengan Piagam Madinah. Tujuannya tidak lain adalah untuk menciptakan stabilitas politik dan tegaknya hukum di negara Madinah. Dokumen politik pertama dalam sejarah Islam telah menggariskan dasar-dasar kehidupan sosial dan ekonomi serta kehidupan militer bagi segenap penduduk Madinah, baik Muslimin, Yahudi maupun Musyrikin. Mengenai kehidupan ekonomi, perjanjian tersebut menunjukkan keharusan orang kaya membantu dan membayar hutang orang miskin. Kemudian mengenai kehidupan sosial, perjanjian tersebut menetapkan kewajiban memelihara kehormatan tetangga, jaminan keselamatan jiwa dan harta bagi segenap penduduk, kebebasan beragama bagi setiap penduduk, kepastian pelaksanaan hukum bagi siapa saja yang bersalah, dan persamaan kedudukan di depan pengadilan.18 Madinah merupakan negara yang baru terbentuk yang tidak memiliki harta kekayaan. Sebagai negara yang tidak memiliki sumber pemasukan bagi keuangan negara, seluruh tugas negara dilaksanakan oleh kaum Muslimin secara gotong royong dan sukarela. Sedangkan untuk memenuhi kebutuhan hidup kaum Muslimin yang tinggal di Madinah, mereka memperoleh pendapatan dari sumber-sumber yang tidak terikat. Kemudian karakteristik pekerjaan pada masa itu masih sangat sederhana dan tidak memerlukan perhatian penuh.
Rasulullah sendiri adalah seorang kepala
negara yang memiliki jabatan rangkap, yaitu; sebagai Ketua Mahkamah
18
A. Hasjmy, Di Mana Letaknya Negara Islam (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1984), h. 47.
Agung, Mufti Besar, Panglima Perang Tertinggi, serta penanggung jawab seluruh administrasi negara.19 Rasulullah mengawali pembangunan Negara Madinah tanpa sumber keuangan yang pasti, meski demikian tujuan untuk membangun masyarakat Madinah menjadi masyarakat sejahtera dan beradab tetap dilakukan. Kendala-kendala seperti perekonomian negara Madinah yang relatif rendah bukanlah jadi penghalang. Karakter perekonomian pada masa itu adalah komitmen yang tinggi terhadap etika dan norma, serta perhatian yang besar terhadap keadilan dan pemerataan kekayaan. Sehingga adanya larangan penumpukkan kekayaan pada segelintir orang, melainkan harus beredar bagi kesejahteraan semua warga negara madinah baik umat Muslim atau non-Muslim. Pasar menjadi mekanisme ekonomi yang paling penting bagi pertumbuhan ekonomi negara Madinah, tetapi pemerintah dan masyarakat juga bertindak aktif dalam mewujudkan kesejahteraan dan menegakkan keadilan. Kegiatan ekonomi pasar yang maju mendorong Rasulullah untuk membuat lembaga yang disebut Al-Hisbah. Al-Hisbah adalah institusi yang bertugas sebagai pengawas pasar (market controller), dengan tujuan untuk menjaga agar mekanisme pasar tetap berada dalam bingkai etika dan moralitas Islam.20 Permasalahan lain yang dihadapi negara Madinah pada saat itu adalah banyaknya kaum Muhajirin yang menganggur, karena mereka semakin hari semakin kehabisan perbekalan hidup, dan harta-harta mereka banyak 19
Azwar, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, h. 37. Pusat Pengkajian dan Pembangunan Ekonomi Islam (P3EI), Ekonomi Islam (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2008), Cet. Ke-1, h. 98. 20
yang ditinggalkan di Mekkah. Untuk mengatasi masalah pengangguran tersebut, Rasulullah mengeluarkan kebijakan politik untuk menciptakan lapangan kerja penuh (full employment). Kebijakan tersebut dengan cara menyatukan kaum Muhajirin dengan kaum Anshar, yaitu penyatuan hubungan tali persaudaraan yang didasarkan agama, yang menggantikan hubungan tali persaudaraan sedarah. Tujuannya agar kaum Muhajirin dapat bertahan hidup di Madinah sampai mereka mendapatkan mata pencaharian yang layak. Kebijakan politik Rasulullah tersebut telah membuka hati kaum Anshar untuk membantu kaum Muhajirin, sehingga kaum Anshar berniat untuk membagi-bagikan sebagian harta dan hak miliknya pada kaum Muhajirin secara cuma-cuma. Namun, Rasulullah melarang kaum Muhajirin untuk menerimanya, dan hanya memberikan izin bagi kaum Muhajirin untuk mengelola ladang dan kebun kaum Anshar tanpa adanya hak kepemilikkan. Kemudian hasil dari pertanian tersebut dibagi setengah-setengah. Langkah politik yang dijalankan Rasulullah pada akhirnya berhasil membuka lapangan pekerjaan bagi kaum Muhajirin dan mendorong aktivitas produksi.21 Langkah
politik
Rasulullah
dalam
mengatasi
masalah
pengangguran yang dihadapi kaum Muhajirin, merupakan salah satu karakteristik kebijakan pokok yang ada dalam sistem negara kesejahteraan modern. Karena negara kesejahteraan memiliki tujuan untuk menciptakan kesempatan kerja penuh agar warga negara tidak bergantung pada negara.
21
Tim Peneliti PSIK Universitas Paramadina, Negara Kesejahteraan dan Globalisasi: Pengembangan Kebijakan Dan Perbandingan Pengalaman (Jakarta: PSIK Universitas Paramadina, 2008), h. 49.
2. Sumber-sumber Pendapatan Negara Madinah Zakat merupakan sumber awal pemasukan negara Madinah yang paling penting. Zakat sebelum diwajibkan hanya bersifat sukarela, yakni hanya berupa komitmen perorangan tanpa ada aturan khusus atau batasanbatasan hukum. Pada tahun ke-2 Hijriyah, Allah Swt. mewajibkan kaum Muslimin untuk menunaikan zakat fitrah pada setiap bulan Ramadhan, serta harus dibayar sebelum pelaksanaan shalat Idul Fitri. Zakat berbeda dengan sumber-sumber pendapatan negara Madinah yang lain dalam pendistribusiannya. Rasulullah Saw. mendistribusikan pendapatan negara yang berasal dari zakat kepada orang-orang yang telah digariskan dalam Al-Qur’an sebagai berikut:
&l S+Ex?
+☺w@F v CIy>1 N+☺f K 2F&h( LM=2{ 2Iz ☺ +f M{}S L⌧h#⌧☺f _ Si~
gI CWR3+ gI 2Iy)i 2f j CWR3
CIf
1 4) HL:uXi( C uR>3+ 2{ Artinya: “Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, Para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (Q.S. At Taubah Ayat 60)
Harta rampasan perang (ghanimah) juga merupakan pendapatan awal negara Madinah, meskipun nilainya relatif tidak besar jika dibandingkan dengan biaya perang yang dilakukan. Nilai harta rampasan perang pada dekade awal Hijriyah (622-632 M) tidak lebih dari 6 (enam) juta dirham, dan
jumlah harta ghanimah hanya dapat menunjang sejumlah kecil kaum Muslimin dan juga akibat perang tersebut. Diperkirakan biaya untuk perang yang telah dikeluarkan oleh negara Madinah pada masa pemerintahan Rasulullah lebih dari 60 juta dirham (sepuluh kali lipat lebih besar dari harta rampasan perang yang didapatkan).22 Akan tetapi, banyaknya tawan perang Badar yang ada di tangan kaum Muslimin menjadi keuntungan tersendiri bagi sumber pendapatan negara Madinah. Pada perang Badar, kaum Muslimin berhasil menaklukkan kaum kafir Makkah, kemudian Rasullulah Saw. menetapkan uang tebusan sebesar 4000 dirham untuk setiap tawanan perang. sedangkan untuk tawanan perang yang miskin dan tidak mampu membayar uang tebusan maka mereka diberikan tugas oleh Rasulullah untuk mengajar membaca 10 orang anak Muslim sebagai gantinya. Pendapatan dan sumber daya negara Madinah masih sangat kecil, bahkan sampai tahun ke-4 Hijriyah. Pendapatan terbesar pertama negara Madinah di dapat dari hasil penaklukan Bani Nadhir, suku bangsa Yahudi yang tinggal di pinggiran kota Madinah. Bani Nadhir merupakan kelompok yang masuk ke dalam Piagam Madinah, tetapi mereka telah melakukan kesalahan dengan cara melanggar perjanjian dan berusaha untuk membunuh Rasulullah. Kemudian Rasulullah memerintahkan mereka untuk segera meninggalkan Madinah, akan tetapi mereka menolak. Sehingga Rasulullah mengerahkan tentara Islam untuk mengepung mereka. Pada akhirnya Bani Nadhir menyerah dan setuju meninggalkan kota dengan membawa seluruh harta bendanya sebanyak daya angkut unta-unta mereka, kecuali beberapa
22
Pusat Pengkajian dan Pembangunan Ekonomi Islam (P3EI), Ekonomi Islam, h. 100.
peralatan perang seperi Baju Baja dan senjata. Karena Rasulullah mendapatkan harta tanpa melalui perlawanan atau perang, sesuai dengan ketentuan Al-Qur’an maka harta Bani Nadhir menjadi milik Rasulullah. Semua harta yang ditinggalkan Bani Nadhir dibagikan oleh Rasulullah kepada kaum Muhajirin dan dua orang Anshar yang Miskin, yaitu; Sahal bin Hanif dan Abu Dujanah. Pendapatan lainnya adalah pemberian tujuh kebun oleh Mukhairik, seorang rabi Bani Nadhir yang telah memeluk Islam. Kemudian tanah tersebut oleh Rasulullah dijadikan sebagai tanah sedekah, dan peristiwa tersebut merupakan wakaf pertama dalam sejarah Islam. 23 Kemudian pada tahun ke-7 Hijriyah, kaum Muslimin berhasil menduduki wilayah Khaibar, yaitu wilayah yang ditempati oleh orang-orang kafir yang menentang dan memerangi kaum Muslimin. Perang berlangsung selama 1 (satu) bulan, dan pada akhirnya penduduk Khaibar menyerah dengan syarat dan berjanji untuk meninggalkan tanahnya. Namun, mereka mencoba bernegosiasi ulang dengan Rasulullah agar mereka tidak meninggalkan tanah kelahirannya dan diberikan izin untuk mengelola tanah mereka yang telah menjadi milik kaum Muslimin, karena mereka menawarkan keterampilan khusus mereka dalam bertani dan berkebun kurma, dan akan memberikan setengah dari hasil panen yang didapat. Rasulullah akhirnya mengabulkan permintaan
penduduk
Khaibar.
Peristiwa
penaklukan
Khaibar
pada
selanjutnya menjadi salah satu sumber pendapatan negara yang kemudian digunakan untuk keperluan para delegasi, tamu, biaya 1400 tentara, dan 200 penunggang kuda.
23
Azwar, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, h. 41.
Penghasilan negara Madinah juga didapatkan dari jizyah, yaitu sistem pajak yang diterapkan oleh Rasulullah, dan pajak tersebut dibebankan kepada kaum non-Muslim yang tinggal di wilayah negara Madinah (kekuasaan Islam) seperti, ahli kitab, sebagai jaminan perlindungan jiwa, harta milik, kebebasan menjalankan ibadah, serta pengecualian dari wajib militer. Besarnya jizyah adalah 1 (satu) dinar pertahun untuk setiap orang laki-laki dewasa yang mampu membayarnya. Sedangkan perempuan, anak-anak, pengemis, pendeta, orang tua, penderita sakit jiwa, dan semua orang yang menderita penyakit dibebaskan dari pajak jizyah oleh negara. Sesuai dengan penjelasan diatas, bahwa pajak yang ditetapkan oleh Rasulullah dalam memimpin negara Madinah bukan bermaksud untuk menjadikan rakyat miskin dengan adanya pajak. Akan tetapi, pajak yang ditetapkan Rasulullah bertujuan untuk kesejahteraan warga negaranya secara universal dan komprehensif.. Selain pajak jizyah bagi non-muslim, Rasulullah juga menerapkan sistem kharaj, yaitu pajak tanah yang dipungut dari pihak non-Muslim seperti yang dilakukan oleh penduduk Khaibar yang tanahnya dikuasai oleh kaum Muslimin. Dalam hal ini, tanah taklukan dimiliki oleh kaum Muslimin, sedangkan pemilik lamanya diberikan hak untuk mengelola tanah tersebut dengan status sebagai penyewa dan bersedia memberikan setengah dari hasil produksi kepada negara Madinah. Kharaj dibayar oleh non-Muslim seperti halnya kaum Muslim membayar ushr dari hasil pertanian (ushr dalam konteks ini adalah zakat atas hasil pertanian dan buah-buahan, bukan ushr dalam arti bea impor). Perlu diketahui bahwa non-Muslim hanya membayar 3 (tiga) jenis pajak kepada negara Madinah, sementara kaum Muslimin lebih banyak, dan
ini menjadi bukti bahwa Islam merupakan agama yang rahmatan lil alamin, dengan menjunjung tinggi kesejahteraan bagi semua umat yang berada dibawah kekuasaan negara Islam tanpa memandang perbedaan agama. Dalam perkembangan selanjutnya kharaj menjadi salah satu sumber pendapatan negara yang terpenting. Sistem perpajakkan lain yang diterapkan oleh Rasulullah adalah ushr, yaitu jenis pajak yang telah ada sejak zaman Arab Jahiliyah, khususnya di Makkah yang merupakan pusat perdagangan terbesar saat itu. Sistem pajak ushr yang diterapkan oleh Rasulullah adalah sebagai bea impor yang dikenakan kepada pedagang dan dibayar hanya sekali dalam satu tahun. Pajak ushr ini hanya berlaku bagi barang-barang yang bernilai lebih dari 200 dirham. Besarnya pajak ushr yang dikenakan kepada non-Muslim yang dilindungi (ahl al-dzimmi) adalah 5%, sedangkan pedagang Muslim sebesar 2,5%. Selain sumber-sumber pendapatan negara Madinah di atas, terdapat beberapa sumber pendapatan lainnya yang bersifat tambahan (sekunder), diantaranya adalah:24 a. Uang tebusan para tawanan perang, terutama perang Badar. b. Pinjaman-pinjaman (setelah penaklukkan kota Makkah) untuk membayar diyat kaum Muslimin Bani Judzaimah atau sebelum pertempuran Hawazin sebesar 30.000 dirham. c. Khumus atas rikaz atau harta karun.
24
Ibid., h. 47-48.
d. Amwal fadilah, yaitu harta yang berasal dari harta benda kaum Muslimin untuk meninggal tanpa ahli waris atau harta seorang Muslim yang telah murtad dan pergi meninggalkan negaranya. e. Wakaf, yaitu harta benda yang didedikasikan oleh seorang Muslim untuk kepentingan agama Allah dan pendapatannya akan disimpan di Baitul Mal. f. Nawaib, yaitu pajak khusus yang diberikan kepada kaum Muslimin yang kaya raya dalam rangka menutupi pengeluaran negara selama masa darurat, seperti yang terjadi dalam perang Tabuk. g. Zakat Fitrah. h. Bentuk lain sedekah seperti hewan qurban dan kafarat.25
Berdasarkan sumber-sumber pendapatan negara Madinah pada masa Rasulullah Saw. diatas dapat diklasifikasikan sebagai berikut:26 Dari Kaum Muslimin 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
25
Zakat Ushr (5-10%) Ushr (2,5%) Zakat Fitrah Wakaf Amwal Fadilah Nawaib Shadaqah Khumus
Dari Kaum NonMuslimin 1. Jizyah 2. Kharaj 3. Ushr (5%)
Umum (Primer dan Skunder) 1. Ghanimah 2. Fai 3. Uang tebusan 4. Pinjaman dari kaum Muslimin atau non-Muslim. 5. Hadiah dari pemimpin atau pemerintah negara lain.
Kafarat adalah denda atas kesalahan yang dilakukan oleh seorang Muslim pada saat melakukan kegiatan ibadah, seperti berburu pada musim haji. 26 Tim Peneliti PSIK, Negara Kesejahteraan dan Globalisasi, h. 55.
Sedangkan sumber pendistribusian (pengeluaran) pendapatan negara Madinah pada masa kepemimpinan Rasulullah Saw, dibagi menjadi dua sumber, yaitu sumber pengeluaran primer dan sekunder. Adapun untuk perinciaannya sebagai berikut:27 1) Sumber-sumber pengeluaran negara Madinah yang bersifat primer: Biaya pertahanan seperti persenjataan, unta, dan persediaan. Penyaluran zakat dan ushr kepada yang berhak menerimanya menurut ketentuan Al-Qur’an. Pembayaran gaji untuk wali, qadi, guru, imam, muadzin, dan pejabat negara lainnya. Pembayaran upah para sukarelawan. Pembayaran utang negara. Bantuan untuk musafir (dari daerah Fadak) 2) Sumber-sumber pengeluaran negara Madinah yang bersifat sekunder: Bantuan orang yang belajar agama di Madinah. Hiburan untuk para delegasi keagamaan. Hiburan untuk para utusan suku dan negara serta biaya perjalanan mereka. pengeluaran untuk para duta-duta negara. Hadiah untuk pemerintah negara lain. Pembayaran untuk pembebasan kaum Muslimin yang menjadi budak. Pembayaran denda atas mereka yang terbunuh secara tidak sengaja oleh pasukan Muslim.
27
Pusat Pengkajian dan Pembangunan Ekonomi Islam (P3EI), Ekonomi Islam, h. 99.
Pembayaran utang orang meninggal dalam keadaan miskin. Pembayaran tunjangan untuk orang miskin. Tunjangan untuk sanak saudara Rasulullah Saw. Pengeluaran rumah tangga Rasulullah Saw. (hanya sejumlah kecil, 80 butir kurma dan 80 butir gandum untuk setiap istrinya). Persediaan darurat (sebagian dari pendapatan perang Khaibar). Berdasarkan penjelasan diatas mengenai pendapatan negara Madinah dan pendistribusiaannya pada masa Rasulullah, secara jelas bisa dilihat bahwa Islam memiliki sebuah sistem kenegaraan yang menjunjung tinggi nilai-nilai kesejahteraan bagi warga negaranya. Intervensi atau campur tangan negara dalam semua aspek kehidupan dalam pemerintahan Madinah telah mampu menghadirkan kesejahteraan bagi semua warga negarannya tanpa adanya diskriminasi terhadap non-Muslim.
Secara nilai-nilai, Islam
memiliki sebuah konsep negara kesejahteraan (welfare state) sendiri yang berlandaskan pada etika dan moralitas Islam.
C. Negara Kesejahteraan Dalam Perspektif Barat Mengenai akar atau sejarah lahirnya negara kesejahteraan yaitu ketika negara-negara di Eropa mengalami krisis pasca Perang Dunia I dan Perang Dunia II. Negara kesejahteraan merupakan respon terhadap tantangan kapitalisme dan kesulitan-kesulitan yang terjadi karena depresi dan perang. Tujuan jangka pendek dari sistem negara kesejahteraan adalah untuk meminimalisir dan menghapuskan akses kapitalisme yang paling mencolok. Karena sistem kapitalisme merupakan
sistem ekonomi yang sangat tidak memihak kepada orang-orang lemah atau miskin. Bahkan dalam sistem kapitalisme, negara memiliki peranan yang terbatas dalam mengelola sektor publik. Sedangkan tujuan lain hadirnya sistem negara kesejahteraan adalah untuk mengurangi daya tarik sistem sosialis.28 Perjalanan negara kesejahteraan di Eropa telah di mulai oleh Jerman ketika pada masa pemerintahan kanselir Otto Von Bismarck. Yang mana pada waktu itu rakyat Jerman meminta negara untuk lebih memperhatikan nasib mereka yang dalam kondisi pasca perang. Kemudian pertumbuhan industrialisasi yang semakin pesat telah menciptakan model ekonomi yang amat ekstraktif dan pengaturan kerja yang eksploitatif. Dalam hal ini, industrialisasi telah menyebabkan perubahan tatanan kehidupan masyarakat Jerman, sehingga pemerintah membuat skema kesejahteraan pada tahun 1883. Edi Suharto, dalam makalahnya yang berjudul “Negara Kesejahteraan dan Reinventing Depsos”, mengutip dari buku Bessant, Rob Watts Judith, Tony Dalton dan Paul Smith yang berjudul, “Talking Policy: How Social Policy in Made”, menjelaskan bahwa akar atau ide dasar konsep negara kesejahteraan telah ada sejak abad ke-18, yaitu ketika Jeremy Bentham (1748-1832), mempromosikan gagasan bahwa pemerintah memiliki tanggung jawab untuk menjamin the greatest happiness (welfare) of the greatest number of their citizens (kebahagiaan terbesar atau kesejahteraan dari sebanyak-banyaknya warga negara mereka).29 Ia mencoba menjelaskan konsep kebahagiaan dan kesejahteraan dengan menggunakan istilah kegunaan.
28
Menurutnya
segala sesuatu
yang
mampu
menciptakan atau
M. Umer Chapra, Islam dan Tantangan Ekonomi. Penerjemah Ikhwan Abidin Basri, dengan judul asli buku “Islam and the Economic Challenge” (Jakarta: Gema Insani Press, 2000), h. 133. 29 Edi , Negara Kesejahteraan dan Reniventing Depsos.
menghadirkan kebahagiaan yang lebih adalah sesuatu yang baik. Begitupun sebaliknya sesuatu yang tidak menghadirkan kebahagiaan atau kesejahteraan adalah sesuatu yang buruk. Dalam hal ini ia ingin menjelaskan bahwa negara harus mampu menciptakan kesejahteraan dan kebahagian sebanyak mungkin untuk rakyat. Negara pun harus mampu melakukan upaya reformasi hukum yang tidak mengarah kepada kesejahteraan, peran konstitusi dan penelitian sosial untuk membangun kebijakan sosial. Bentham, lewat gagasan-gagasannya itu ia digelari sebagai “Bapak Negara Kesejahteraan” (father of welfare state). Sir William Beveridge (1942) dan T.H. Marshall (1963) adalah merupakan tokoh lain yang turut mempopulerkan sistem negara kesejahteraan. Di Inggris, dalam laporannya mengenai Social Insurance and Allied Services (asuransi sosial dan kumpulan pelayanan sosial), yang terkenal dengan nama Beveridge Report, Beveridge, menyebut kekurangan (want), kemelaratan (squalor), Kebodohan (ignorance), Penyakit (disease) dan Kemalasan (idleness) sebagai ‘ the five giant evils’ (lima setan-setan raksasa) yang harus diperangi. Dalam laporan itu, Beveridge, memiliki gagasan-gagasan mengenai perlindungan hak-hak warga negara yang harus dipenuhi oleh negara, yaitu dengan menciptakan sebuah sistem asuransi sosial yang komperhensif. Menurut Beveridge, hanya sistem itu yang mampu memberikan kesejahteraan dan mampu melindungi hak-hak warga negara dari mulai lahir hingga meninggal (from cradle to grave). Pengaruh laporan Beveridge tidak hanya di Inggris, melainkan juga menyebar ke negara-negara lain di Eropa dan bahkan hingga ke Amerika Serikat dan kemudian menjadi dasar bagi pengembangan skema jaminan sosial di negara-negara tersebut.30
30
Ibid.
Kesejahteraan sosial dengan sistem asuransi yang digagas oleh Beveridge, memiliki banyak kekurangan. Karena dengan menggunakan dasar prinsip dan skema asuransi, banyak resiko-resiko yang dihadapi oleh warga negara, terutama ketika mereka tidak mampu membayar kontribusi (premi). Kemudian asuransi sosial juga tidak mampu
merespon kebutuhan kelompok-kelompok khusus,
seperti; orang cacat, orang tua tunggal, serta orang-orang yang tidak mendapatkan pekerjaan. Manfaat asuransi sosial terkadang tidak mampu memenuhi kesejahteraan warga negara, karena jumlahnya yang terlalu kecil sehingga hanya mampu memenuhi kebutuhan dasar secara minimal. Marshall, memiliki pemikiran yang berbeda mengenai kesejahteraan sosial terutama dalam konteks kapitalisme. Menurutnya kewajiban untuk menciptakan kesejahteraan sosial menjadi tanggungjawab semua warga negara. Warga negara memiliki kewajiban kolektif untuk memperjuangkan kesejahteraan orang lain lewat sebuah lembaga yang disebut negara. Ketidakadilan yang disebabkan karena ketidak sempurnaan pasar menyebabkan kesejahteraan sosial tidak tumbuh secara merata dalam kehidupan warga negara. Menjadikan negara sebagai lembaga yang mampu menciptakan pelayanan sosial dan kesejahteraan sosial merupakan sebuah solusi untuk menutupi dan mengurangi ketidak sempurnaan pasar dan juga untuk mengurangi dampak-dampak negatif dari sistem kapitalisme. 31 Pematangan konsep negara kesejahteraan terjadi pada periode akhir 1960an dan awal 1970-an. Pada periode-periode tersebut di negara-negara Eropa khususnya, kebijakan-kebijakan sosial tumbuh dengan pesat dan negara banyak mengeluarkan kas negaranya untuk menciptakan pelayanan sosial. Negara-negara
31
Ibid.
Eropa banyak mengadopsi berbagai program jaminan sosial baru, seperti; program pensiun, program jaminan orang cacat, dan santunan bagi pengangguran.32 Program-program kesejahteraan sosial yang diciptakan oleh negara terus mengalami peningkatan sesuai dengan kemajuan industrialisasi dan laju pertumbuhan ekonomi yang terjadi. Sistem negara kesejahteraan mencoba menjadi penyeimbang antara peran negara dan pasar, antara oligarki dan redistribusi ekonomi, antara pertumbuhan dan pemerataan. Seperti Amerika Serikat, Inggris, Kanada, Uni Eropa dan negara Skandinavia, menganut negara kesejahteraan atau welfare state sebagai langkah untuk membangun kesejahteraan sosial warganya. Seperti telah dijelaskan diatas, pada hakikatnya kesejahteraan sosial merupakan hak asasi warga negara yang wajib dipenuhi oleh negara. Maka, hak asasi merupakan sebuah titik sentral pertimbangan negara dalam pengambilan kebijakan-kebijakan sosial. hak-hak dasar warga negara yang harus dipenuhi oleh negara, yaitu; hak untuk mendapatkan keamanan sosial, hak mendapatkan pekerjaan, hak mendapatkan tempat tinggal yang layak, hak mendapatkan pendidikan, hak mendapatkan pelayanan kesehatan, dan jaminan-jaminan sosial lainnya. Bila hak warga negara tidak dipenuhi oleh negara maka negara telah melakukan pelanggaran kemanusiaan dan tidak menjalankan fungsinya.33 Upaya untuk menyingkirkan peranan negara atau intervensi negara terhadap kebijakan-kebijakan publik telah dimulai sejak lahirnya pemikiran aliran Kanan Baru, aliran ini sering disebut ekonomi Thatcherisme atau Reaganisme.
32
Darmawan Triwibowo dan Sugeng Bahagijo, Mimpi Negara Kesejahteraan (Jakarta: LP3ES, 2006), h. 28. 33 Negara dan Kesejahteraan, artikel diakses pada 6 September 2008 dari http://www.inilah.com/berita/2008/07/24/40004/negara-dan-kesejahteraan/
Neoliberalisme pertama kali diperaktekkan oleh Perdana Menteri Margareth Thatcher di Inggris, yaitu dengan menghapus kewajiban negara memikul tanggung jawab terhadap rakyat yang tidak produktif, meminggirkan komitmen pemerintah untuk mewujudkan full employment (kesempatan kerja penuh), memangkas secara radikal subsidi-subsidi sosial, dan sebagai gantinya, pemerintahan Thatcher lebih mementingkan pelayanan terhadap swasta, melakukan pemotongan pajak, menjalankan program privatisasi/ swastanisasi dan liberalisasi, menghilangkan pengawasan terhadap penyiaran, telekomunikasi, transportasi, dan perikanan, kemudian membabat habis seluruh serikat buruh dan menyalahkannya sebagai penyebab rendahnya kinerja industri Inggris.34 Pelucutan peran negara terus berlanjut lewat pengaruh globalisasi pada abad ke-21. Istilah globalisasi menempati berbagai agenda intelektual dan politik. Kata itu sekarang muncul dimana-mana, pidato politik tidak lengkap, atau manual bisnis tidak dapat diterima jika tidak menyebut kata globalisasi. Globalisasi dengan segala kebaikan dan keburukannya telah mendorong perdebatan intens, dan menjadi pusat dari sebagian besar diskusi politik dan perdebatan ekonomi.35 Istilah globalisasi berakar pada konsep yang lebih umum bahwa akumulasi modal, perdagangan dan investasi tidak lagi dibatasi pada negara-bangsa. Dalam pengertiannya yang lebih umum, globalisasi mengacu pada aliran-aliran barang, investasi, produksi dan teknologi lintas bangsa. Globalisasi telah menciptakan sebuah tatanan dunia baru dengan lembaga-lembaga dan konfigurasi-konfigurasi
34
Noreena Herzt, Perampok Negara: Kuasa Kapitalisme Global dan Matinya Demokrasi, dengan judul asli buku; “The Silent Take Over; Global Capitalism and the Death of Democracy” (Yogyakarta: Alinea, 2005), h. ix. 35 Anthony Giddens, Jalan Ketiga: Pembaruan Demokrasi Sosial, dengan judul asli buku; “The Third Way: The Renewal of Social Democracy” (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002), Cet. Ke-4, h. 32.
kekuasaannya
yang
menggantikan
struktur-struktur
sebelumnya
yang
diasosiasikan dengan negara-bangsa.36 Perkembangan ekonomi global memiliki implikasi terhadap negara kesejahteraan (welfare state). Batas dan kekuatan negara yang semakin memudar, organisasi-organisasi independen, badan-badan supra-nasional dan perusahaanperusahaan multinasional. Sebuah konsekuensi logis dari kecenderungan global dan telah memunculkan kritik terhadap sistem negara kesejahteraan yang dipandang tidak tepat lagi untuk diterapkan sebagai pendekatan dalam pembangunan suatu negara. Bahkan berkembangnya anggapan yang menyatakan bahwa negara kesejahteraan telah mati (welfare state has gone away and died).37 Edi Suharto, dalam makalahnya yang berjudul “Islam dan Negara Kesejahteraan” mengutip dari bukunya Ramesh Misrah, yang berjudul “Globalization and welfare state” , dijelaskan bahwa globalisasi telah membatasi kapasitas negara-bangsa dalam melakukan perlindungan sosial. Lembaga-lembaga internasional seperti Bank Dunia (World Bank) dan Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund/ IMF) menjual kebijakan-kebijakan ekonomi dan sosial kepada negara-negara berkembang dan negara-negara Eropa Timur agar memperkecil pengeluaran pemerintah, memberikan pelayanan sosial yang selektif dan terbatas, serta menyerahkan jaminan sosial kepada pihak swasta.38
36
James Petras dan Henry Veltmeyer, Imperialisme Abad 21, dengan judul asli buku; “Globalization Unmasked: Imperialism in the 21 Century” (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2002), Cet. Ke-1, h. 37. 37 Edi Suharto, “Peta dan Dinamika Welfare State Di Beberapa Negara”, artikel diakses pada tenggal 12 September 2008 dari situs:http://www.policy.hu/suharto/naskah%20PDF/UGMWelfareState .pdf 38 Edi Suharto, “Islam dan Negara Kesejahteraan”, artikel diakses pada tanggal 25 September 2008 dari http://www.policy.hu/suharto/Naskah20%PDF/IslamNegaraKesejahteraan.pdf
Adanya anggapan yang mengatakan bahwa negara kesejahteraan telah berakhir (mati), karena tidak mampu menghadapi ancaman globalisasi dan berkuasanya sistem kapitalisme adalah sebuah anggapan yang tidak benar. Sistem negara kesejahteraan masih tetap berdiri kokoh dengan segala skema-skema kesejahteraan sosial yang dipraktekkan di negara-negara Skandinavia, Eropa Barat, bahkan di negara-negara yang menganut paham liberal yang kuat seperti Amerika, Inggris dan Australia. Dalam hal ini, negara kesejahteraan sedang mengalami reformulasi dan penyesuaian sejalan dengan tuntutan perubahan tatanan global. Jadi, sangat salah bila menganggap sistem negara kesejahteraan telah menemui akhir dari sejarahnya.39 Salah satu bukti yang mampu mematahkan mitos the end of welfare state, adalah masih beroperasi 3 (tiga) model negara kesejahteraan yang dipraktekkan oleh negara-negara di dunia, yaitu:40 1. Model Residual (Residual Welfare State) Model ini dianut oleh negara-negara Anglo-Saxon yang meliputi Amerika Serikat, Inggris, Australia, Kanada dan Selandia Baru. Model negara kesejahteraan residual dicirikan dengan basis rezim kesejahteraan liberal dan pemberian jaminan sosial kepada warga negara secara terbatas dan selektif, serta adanya kesempatan besar bagi swastanisasi pelayanan publik. Umumnya pelayanan sosial yang diberikan berjangka pendek dan relatif kecil. 2. Model Universal (Universalist Welfare State) Model universal sering juga disebut sebagai the Scandinavia Welfare State. Model ini diadopsi oleh negara-negara seperti; Swedia, 39 40
Edi, Peta dan Dinamika Welfare State. Darmawan dan Sugeng, Mimpi Negara Kesejahteraan, h. 14-15.
Norwegia, Denmark, Finlandia, dan Belanda. Model negara kesejahteraan ini dicirikan dengan basis rezim kesejahteraan sosial demokrat dan jaminan sosial yang diberikan kepada warga negara bersifat komprehensif. 3. Model Korporasi atau Social Insurance Welfare State Model korporasi ini diadopsi oleh negara-negara seperti; Jerman, Austria, Belgia, Prancis, Italia, dan Spanyol. Model negara kesejahteraan ini dicirikan dengan basis rezim kesejahteraan konservatif dan jaminan sosial yang diberikan kepada warga negara dilaksanakan secara melembaga dan luas, namun kontribusi terhadap berbagai skema jaminan sosial berasal dari tiga pilar, yaitu; pemerintah, dunia usaha dan pekerja (buruh). Dalam hal ini, pelayanan sosial yang diselenggarakan oleh negara diberikan terutama kepada mereka yang bekerja atau mampu memberikan kontribusi melalui skema asuransi sosial.
Ide
model negara
kesejahteraan
ini pertama
kali
dikembangkan oleh Otto Van Bismarck dari Jerman, dan model negara kesejahteraan ini sering disebut sebagai model Bismarck. Globalisasi yang menjadi anak kandung dari sistem kapitalisme memiliki peran yang besar dalam upaya pelucutan segi tiga “suci” (pertumbuhan ekonomikesempatan kerja penuh-jaminan sosial) sistem negara kesejahteraan. Seiring perubahan tatanan global dan perekonomian dunia, peristiwa itu telah memaksa sistem negara kesejahteraan yang dipraktekkan di beberapa negara-negara direstrukturisasi. Restrukturisasi itu sebenarnya lebih kepada upaya untuk melucuti
skema-skema
kesejahteraan. 41
41
Ibid., h. 29.
kesejahteraan
yang
ada
dalam
sistem
negara
Negara
memang
bukan
satu-satunya
lembaga
yang
dapat
menyelenggarakan pelayanan sosial kepada warga negaranya. Namun, negara memiliki kewajiban untuk memberikan pelayanan sosial kepada warga negaranya sebagai usaha untuk menciptakan kesejahteraan sosial, dan mandat negara untuk melaksanakan pelayanan sosial lebih kuat dari pada masyarakat, dunia usaha atau lembaga-lembaga kemanusiaan internasional. Negara sebagai lembaga yang memiliki legitimasi publik yang dipilih dan dibiayai oleh rakyat, memiliki kewajiban untuk memenuhi, melindungi dan menghargai hak-hak dasar warga negara, ekonomi dan budaya. 1. Kebijakan Sistem Negara Kesejahteraan Modern Negara
kesejahteraan
merupakan
bentuk
negara
yang
memposisikan negara sebagai lembaga yang mampu memenuhi hak-hak sosial warganya. Kebijakan-kebijakan politik negara yang bertujuan untuk menghadirkan kebahagiaan dan kesejahteraan merupakan komitmen politik sistem negara kesejahteraan. Dalam hal ini negara kesejahteraan lebih diidentikkan dengan kumpulan-kumpulan kebijakan sosial. kebijakan sosial digunakan sebagai alat untuk mendefinisikan hubungan negara dengan warganya. Kebijakan-kebijakan sosial dalam negara ksejahteraan bukanlah suatu entitas yang memiliki wajah tunggal. Pada praktekknya, kebijakankebijakan sosial yang diterapkan di satu negara kesejahteraan dengan negara kesejahteraan lain akan bervariasi. Perbedaan kebijakan sosial disebabkan oleh perbedaan sistem pemerintahan dan masalah-masalah yang dihadapi
negara. Namun, ada beberapa kebijakan pokok yang harus ada dalam sistem negara kesejahteraan modern (modern welfare state), yaitu:
a. Kebijakan ketenagakerjaan Kebijakan ketenagakerjaan merupakan kebijakan yang paling utama dalam negara kesejahteraan. Di sini, negara harus mampu menyediakan akses lapangan pekerjaan bagi warganya. Tujuan dari kebijakan ketenagakerjaan tidak lain adalah untuk menciptakan daya beli masyarakat dan mengurangi ketergantungan warga negara atas tunjangantunjangan sosial yang disediakan oleh negara. Kebijakan ketenagakerjaan (employment policy) dibagi kedalam dua kebijakan pokok, yaitu; outset kebijakan dan kebijakan active employment (kebijakan tenaga kerja aktif). Mengenai Outset kebijakan, negara memiliki beberapa kewajiban: Pertama, negara harus membuat sebuah kebijakan dan upaya untuk memberikan bantuk-bentuk asuransi penganguran, sebagai peranan negara dalam mensiasati kompetisi yang tidak sempurna dalam dunia lapangan kerja. Kedua, negara harus membuat kebijakan dan upaya agar tidak tercipta tingginya angka pengangguran, karena hal itu akan menimbulan konflik masyarakat dan meningkatnya angka kemiskinan. Ketiga, negara membuat kebijakan dan upaya untuk mengaitkan
antara
kebijakan
pendidikan
dengan
kebijakan
ketenagakerjaan dengan tujuan untuk merespon tantangan sosial-ekonomi yang dihadapi negara.42
42
Tim Peneliti PSIK, Negara Kesejahteraan dan Globalisasi, h. 70-71.
Sedangkan kebijakan active employment yaitu kebijakan yang akan menjawab segala permasalahan dalam ketenagakerjaan, terutama pasar tenaga kerja. Pasar tenaga kerja merupakan penjelasan mengenai kondisi dan status dari warga negara yang berkaitan dengan kerja, seperti; lapangan pekerjaan, usia kerja, jenis pekerjaan, dan output kerja. Ketika suatu lembaga statistik memberikan data mengenai pasar tenaga kerja, kewajiban pemerintah, para ahli dan politisi adalah mampu menafsirkan data pasar tenaga kerja secara benar dan kemudian merekomendasikan kepada warga negara. Jika mereka gagal menafsirkan data pasar tenaga kerja, maka warga negara akan menuai kualitas kehidupan yang buruk. Pemerintah tidak hanya berkewajiban untuk menyediakan lapangan pekerjaan bagi warga negara di satu sisi, disisi lain lapangan pekerjaan yang disediakan pemerintah harus mampu mensejahterakan.43
b. Layanan pendidikan Pendidikan merupakan hal yang terpenting dan mendasar yang harus didapatkan oleh setiap warga negara. Karena proses ekonomi dan politik suatu negara tidak terlepas dari layanan pendidikan yang didapatkan warga negara. Negara-negara yang penduduknya memiliki kualitas pendidikan yang rendah, maka negara tersebut akan berada pada posisi negara miskin dan terbelakang. Hal ini disebabkan karena ketidak mampuan warga negaranya dalam mengakses segala informasi penting. Sedangkan negara-negara yang penduduknya memiliki kualitas pendidikan
43
Ibid.,h. 71.
yang tinggi, maka negara tersebut akan berada pada posisi negara kaya dan maju. Ini disebabkan, karena warga negaranya memiliki bekal pendidikan yang tinggi, sehingga mereka mampu mengakses segala informasi yang dibutuhkan untuk mencapai kualitas hidup yang lebih baik. Layanan pendidikan memiliki posisi penting dalam mewujudkan sebuah negara yang adil, makmur dan sejahtera. Dalam hal ini pendidikan adalah bagian penting dari pemberdayaan masyarakat untuk turut serta dalam menciptakan kemakmuran negara. Jadi tugas negara agar bisa menjadi negara yang kehidupan rakyatnya sejahtera adalah menyediakan sistem pendidikan dan pengembangan pendidikan.44 Pendidikan akan menciptakan kemampuan orang perorang dan masyarakat
mengakses
sumber
daya
dan
tata
kebijakan,
dan
mengorganisasikannya untuk mencapai kesejahteraan dan kemakmuran mereka sendiri. Pendidikan yang didapatkan oleh warga negara akan menciptakan kemampuan efektif dalam menghadapi situasi dimana orang atau masyarakat terjebak dalam struktur sosial-kemasyarakatan yang bisa menciptakan kemiskinan dan kemunduran atau deprivasi sosial. Terutama dalam era globalisasi, kemampuan dan layanan pendidikan yang didapatkan warga negara akan menentukan seberapa jauh kehidupan sosial-ekonomi dapat terus berkembang, seiring berkembangnya negaranegara lain.
44
Ibid.,h. 101.
c. Layanan kesehatan Di negara-negara berkembang atau negara-negara yang memiliki penduduk miskin yang relatif tinggi, layanan kesehatan sesuatu yang sulit didapatkan. Dalam hal ini pelayanan kesehatan gratis yang disediakan oleh negara. Dalam model negara kesejahteraan, layanan kesehatan merupakan salah satu pilar penting yang harus disediakan oleh negara. Contohnya, Inggris dan Swedia merupakan model negara kesejahteraan yang memiliki skema layanan kesehatan yang paling dikagumi oleh negara-negara di dunia. Layanan kesehatan di Inggris diberikan secara gratis kepada rakyatnya, padahal Inggris sendiri menganut sistem ekonomi terbuka. Artinya, negara yang menganut sistem ekonomi terbuka sangat sulit untuk menyediakan layanan kesehatan secara gratis.45 Karena layanan kesehatan gratis hanya akan menguras keuangan negara sehingga bisa menciptakan krisis ekonomi. Inggris mengembangkan model asuransi dan pemajuan ekonomi dalam menyediakan layanan kesehatan. Skema layanan kesehatan dalam negara kesejahteraan bertujuan untuk warga negaranya yang tidak mampu. Akan tetapi model negara kesejahteraan yang diterapkan di negara-negara skandinavia, layanan kesehatan diberikan kepada seluruh warga negara tanpa harus melihat miskin dan kaya.
45
Ibid.,h. 109.
d. Jaminan sosial Secara definisi, jaminan sosial adalah sistem penyimpanan dan pengelolaan dana negara yang dipakai untuk membiayai berbagai layanan sosial publik. Dana jaminan sosial merupakan dana yang dikumpulkan oleh negara melalui beberapa sumber pendapatan negara, seperti: melalui perpajakan (terutama pajak penghasilan, pajak pertambahan nilai, dan pajak bisnis), dan melalui pungutan non-pajak (misalnya potongan gaji untuk asuransi). Jaminan sosial (social security) memiliki beberapa tujuan penting, yaitu:46 1) Untuk memenuhi kebutuhan finansial terhadap kejadian-kejadian yang tidak dapat diduga, seperti meninggalnya pelaku nafkah keluarga, berhenti bekerja atau kecelakaan kerja. 2) Untuk
menjawab
kebutuhan
yang
masih
dibutuhkan
yang
berhubungan dengan cacat atau perawatan. Contohnya, tunjangan hidup kaum cacat atau orang-orang yang menderita cacat berat. 3) Untuk mendukung keluarga sebagai unit sosial, yaitu layanan yang diperuntukkan untuk tunjangan anak dan tunjangan orang tua tunggal. 4) Untuk mencegah atau mengentaskan kemiskinan, yaitu; jaminan sosial yang diberikan untuk individu atau keluarga yang tidak mempunyai nafkah yang jelas disaat sosial-ekonomi mereka yang parah.
46
Ibid.,h. 122.
5) Menjadi instrumen redistribusi, yaitu; jaminan sosial dengan sendirinya menjadi mekanisme pengumpulan pajak dari setiap golongan masyarakat yang kemudian diarahkan ke orang-orang atau masyarakat yang memang layak mendapatkan dan membutuhkannya.
Bila salah mengelola jaminan sosial atau salah menggunakan sistem yang diterapkan oleh negara, hal ini akan menimbulkan keuangan negara yang tidak stabil, karena habis digunakan untuk membuat skema jaminan sosial.
e. Perumahan Masyarakat miskin identik dengan tempat tinggal yang tidak layak atau kumuh. Dalam kebijakan negara kesejahteraan, masalah kemiskinan menjadi perhatian utama. Kebijakan itu meliputi masalah perumahan atau tempat tinggal. Permasalahan naiknya model dan tingkat konsumsi menjadi justifikasi bagi naiknya harga dan model fasilitas perumahan. Ini menjadi penyebab nilai properti naik, harga sewa naik, dan sekaligus menyingkirkan kemampuan orang-orang yang berpendapatan rendah untuk membeli rumah. Warga negara yang memiliki pendapatan rendah akan semakin kesulitan untuk memiliki tempat tinggal yang layak akibat daya beli mereka menurun dan mereka akan semakin menjadi warga negara yang terpuruk. Fenomena seperti ini akan melahirkan sebuah kawasan kumuh dengan fasilitas yang amat rendah dan tanah-tanah sengketa yang tidak
jelas. Jika permasalahan mengenai perumahan tidak segera diatasi oleh negara,
maka
akan
menyebabkan
naiknya
angka
kemiskinan,
keterberlakangan, dan potensi timbulnya kriminal. Ada beberapa alasan pokok kenapa kebijakan mengenai layanan perumahan menjadi tanggungjawab negara dalam model negara kesejahteraan:47 1)
Perumahan adalah bagian dari pasar aset yang amat rentan terhadap spekulasi. Sektor perumahan mampu menimbulkan krisis ekonomi apabila tidak dikendalikan dengan baik. Jadi, sektor perumahan harus ditangani secara serius oleh negara.
2)
Perumahan secara langsung melibatkan tata ruang tata wilayah. Tata ruang tata wilayah merupakan pintu masuk terhadap kepentingan
ekonomi dan politik,
sehingga
membutuhkan
pengaturan yang akuntabel. 3) Berkembangnya kota-kota kecil menjadi mega-cities. Apabila pengelolaan sektor perumahan gagal ditangani secara baik, masalah perumahan menjadi embrio bagi kriminal. Untuk mengatasi permasalahan diatas, negara harus melakukan beberapa kebijakan:48 1) Negara menyediakan fasilitas tanah sekaligus bangunan untuk layanan perumahan bagi warganya. Layanan perumahan ini bisa berupa penyediaan rumah sederhana atau rumah susun oleh negara.
47 48
Ibid.,h. 128-129. Ibid.,h. 131-132.
2) Negara menyediakan model-model kredit bagi warga negara sesuai dengan jenis dan kelas perumahan, dengan tujuan agar warga negara bisa memiliki kualitas hidup yang layak dengan tempat tinggal yang layak dan dengan angsuran jangka panjang. Pola kredit dengan model subsidi. Dalam hal ini negara membeli perumahan melalui kerjasama dengan pengembang. Kemudian warga negara membelinya dengan harga yang jauh berkurang.
Penjelasan diatas mengenai konsep negara kesejahteraan dalam perspektif Barat, bukan bertujuan untuk menjadikan konsep kesejahteraan yang dipraktekkan di Barat sebagai ukuran standar bagi terwujudnya kesejahteraan, terutama dalam pembahasan penulis mengenai
negara
kesejahteraan dalam kepemimpinan Umar bin Khattab. Tujuannya adalah untuk menjelaskan konteks kesejahteraan yang dipraktekan di negara-negara modern saat ini. Karena secara perangkat kesejahteraan mungkin hampir sama, yaitu adanya peranan negara yang besar dalam memberikan jaminan sosial dan pelayanan sosial.
BAB III KEPEMIMPINAN KHALIFAH UMAR BIN KHATTAB
A. Biografi Khalifah Umar bin Khattab Pasca meninggalnya Nabi Muhammad Saw. kepemimpinan umat Islam dilanjutkan oleh empat sahabat Nabi yang dikenal dengan sebutan al-Khulafa’ arRasyidun. Umar bin Khattab adalah Khalifah kedua pengganti Abu Bakar, yang lebih dikenal sebagai tangan kanan Nabi Muhammad Saw. Umar adalah sosok pemimpin yang memiliki banyak keutamaan akan tetapi keutamaan yang ada dalam dirinya tidak menjadikan ia sombong. Umar lebih dikenal sebagai pemimpin yang tegas, sederhana dan menjungjung tinggi keadilan. Untuk itu sebelum Penulis menulis tentang negara kesejahteraan dalam kepemimpinan Umar bin Khattab, Penulis akan menjelaskan terlebih dahulu mengenai biogarafi Khalifah Umar bin Khattab agar kita bisa lebih mendalami tentang keperibadiannya. Umar bin Khattab memiliki nama lengkap Umar bin Khattab bin Nufail bin Abdul Uzza bin Riba’ah bin Abdullah bin Karth bin Razaah bin Adi bin Ka’ab. Sedangkan nama lengkap ayahnya adalah Khattab bin Nufail al-Mahzumi al-Quraisy, dan ibunya adalah Hantamah binti Hasyim bin Mugirah bin Abdullah bin Umar bin Makzum. Bani Makzun adalah cabang lain dari suku Quraisy dan sekutu dari Bani Umayah di zaman Jahiliyah. Keluarga Umar termasuk golongan
Quraisy dari Bani Adi, suku Adi terpandang mulia dan mempunyai martabat tinggi di kalangan orang-orang Arab.49 Umar di lahirkan di kota Makkah, dan ia lahir lebih muda empat tahun dari Rasulullah. Selain mempunyai budi pekerti yang luhur, fasih dan adil, Umar dikenal sebagai seorang pemberani dan pribadi yang dikenal keras sehingga ia digelari dengan ‘Singa Padang Pasir’. Pada masa kecilnya Umar ikut membantu ayahnya memelihara hewan ternak, dan ikut berdagang hingga ke Syiria. Walaupun Umar merupakan keturunan Bani Adi yang sangat terpandang dikalangan orang-orang Arab, akan tetapi ia bukan dari lingkungan keluarga kaya raya. Lingkungan keluarganya adalah lingkungan yang sangat menonjol dalam bidang ilmu pengetahuan. 50 Selain dikenal pemberani dan memiliki watak keras, Umar memiliki postur tubuh yang tegap dan kuat. Pada masa remaja, ia dikenal sebagai pegulat perkasa dan sering menampilkan kemampuannya itu dalam pesta tahunan pasar Ukaz di Makkah. Umar juga memiliki kecerdasan yang luar biasa, dalam hal ini ia mampu memperkirakan segala hal-hal yang akan terjadi pada masa yang akan datang. Kelebihan-kelebihan yang dimilikinya itu menjadikannya wakil kabilahnya, ketika terjadi perundingan-perundingan dengan suku-suku lain. Sehingga Umar dan ayahnya sangat dikenal pandai berdiplomasi, dan dipercaya untuk menyelesaikan barbagai perselisaihan yang terjadi baik antara suku Quraisy atau dengan suku-suku lain.51
49
Hamdani Anwar, “Masa al-Khulafa ar-Rasyidun,” dalam M. Din Syamsuddin, at all, ed., Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, vol. II (Jakarta: P.T Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002), h. 38. 50 Taufiqurrahman, Sejarah Sosial Politik Masyarakat Islam (Surabaya: Pustaka Islamika Press, 2003), h. 67. 51 Penyusun Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, vol. V (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994), h. 122.
Sebelumnya, Umar bin Khattab dikenal sebagai salah seorang tokoh dari barisan non Muslim Quraisy yang sangat gigih menentang semua seruan Nabi Muhammad Saw. Masuknya Umar ke dalam barisan sahabat Nabi Muhammad Saw. sangat mengejutkan semua pihak baik kaum muslim maupun suku Quraisy. Islamnya Umar bin Khattab dilatar belakangi oleh peristiwa ketika disampaikan kepadanya tentang berita mengenai adiknya yang bernama Fatimah beserta suaminya telah mengucapkan dua kalimat syahadat dan memeluk Islam. Peristiwa itu yang telah membuat Umar menjadi geram dan sangat murka, sehingga ia segera pergi ke rumah adiknya. Sesampainya disana ia mendapati adiknya beserta suaminya dan beberapa orang muslim sedang mempelajari Al-Qur’an. Ketika mereka semua melihat Umar, semua yang ada disana terdiam membisu dan tidak ada yang berani bergerak sedikit pun. Dengan emosi yang meluap-luap Umar menampar adiknya beserta suaminya. Sebuah petunjuk atau hidayah dari Allah Swt. datang pada Umar di waktu puncak emosi dan kemarahannya, lewat sebuah lembaran yang bertuliskan ayat-ayat Al-Qur’an yang tertangkap oleh matanya. Jantungnya tiba-tiba berdegup kencang dan nyalinya menjadi ciut, dengan tangan Umar yang gemetaran dipungutnya lembaran itu, lalu dibacanya ayat-ayat AlQur’an yang tertera dilembaran tersebut. Menurut sebagian riwayat, lembaran yang bertulisakan ayat-ayat Al-Qur’an yang dibaca Umar adalah beberapa Ayat dari permulaan surat at-Taha. Setelah membaca ayat-ayat itu, perasaannya menjadi tenang, dan rasa damai menyelinap dihatinya. Sehingga timbul dalam dirinya keinginan yang sangat kuat untuk segera menemui Rasul Saw. Umar pun bergegas meninggalkan rumah adiknya menuju rumah al-Arqam di mana Nabi
Muhammad Saw. pada saat itu sedang menyampaikan dakwah secara sembunyisembunyi.52 Sesampainya di rumah al-Arqam, Umar segera mengetuk pintu. Para sahabat yang sedang bersama Nabi Muhammad Saw. menjadi gentar dan ketakutan ketika melihat yang datang adalah Umar bin Khattab, kecuali Hamzah bin Abdul Muttalib, paman Nabi yang dikenal sebagai seorang yang gagah berani. Nabi Muhammad Saw. mempersilakan Umar untuk masuk. Melihat sikap Nabi yang sangat lembut dan bijaksana, Umar merasa kecil dan lemah di hadapannya. Sambil menggenggam leher baju Umar, Nabi berkata dengan suara lantang, “Islamlah engkau, wahai Ibnu Khattab”. Umar pun akhirnya mengucapkan dua kalimat syahadat, sebagai bukti ia telah memeluk Islam. Banyak sumber menyatakan Umar masuk Islam pada tahun kelima setelah keNabian, dan menjadi salah satu sahabat terdekat Nabi Muhammad Saw.53 Masuk Islamnya Umar segera diikuti oleh putra sulungnya, Abdullah dan isterinya Zainab binti Maz’nun. Selain itu, keislaman Umar membuka jalan bagi tokoh-tokoh Arab lainnya masuk Islam. Sehingga pada saat itu orang Arab banyak yang masuk Islam dan dalam waktu yang sangat singkat pengikut Islam bertambah dengan pesat.
54
Dakwah yang dilaksanakan oleh Nabi dan para
sahabatnya menjadi semakin terbuka setelah Islamnya Umar bin Khattab. Umar berkorban untuk melindungi Nabi dan agama Islam, dan ikut berperang dalam peperangan yang besar di masa Rasul Saw.
52
Ibid., h. 125. Ali Mufrodi, Islam Di Kawasan Kebudayaan Arab (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), h. 52. 54 Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam , h. 125. 53
Nabi Muhammad Saw. memiliki pengaruh yang sangat besar dalam pembentukan karakter Umar bin Khattab. Karena selain sebagai sahabat terdekat Nabi, Umar juga sangat mengagumi Nabi Muhammad Saw. Seperti telah dijelaskan di atas, kekaguman Umar terhadap Nabi bisa terlihat ketika ia mendatangi rumah al-Arqam untuk menemui Nabi yang mana pada waktu itu Nabi memerintahkan para sahabat membukakan pintu dan mempersilakannya untuk masuk. Umar kagum atas sikap Nabi yang sangat lembut dan bijaksana, sehingga ia merasa lemah dan kecil dihadapan Nabi Umar bin Khattab menjadi sahabat terdekat Nabi setelah ia masuk Islam. begitu dekatnya dengan Nabi sampai Nabi Muhammad Saw. berkata; “Andaikan masih ada Nabi sesudahku, Umarlah orangnya.” Ia juga digelari oleh Nabi dengan gelar al-Faruq, artinya pembeda atau pemisah. Maksudnya, Allah telah memisahkan dalam dirinya antara yang hak dan yang batil.55 Sehingga ketika Umar menjadi Khalifah pengganti Abu Bakar, ia memimpin umat Islam dengan sikap adil, sederhana, bijaksana dan lebih mengutamakan kesejahteraan rakyatnya. Nabi Muhammad Saw. juga menggangap Umar seperti saudaranya sendiri. Pada suatu hari Umar pernah mendengar Nabi memanggilnya dengan perkataan, “wahai saudarku”. Bagi Umar panggilan saudara yang diucapkan oleh Nabi Muhammad Saw. tidak akan pernah ia lupakan sepanjang hidupnya. Peristiwa itu terjadi ketika Umar ingin memohon izin kepada Nabi untuk melaksanakan Umrah. Nabi bersabda; “wahai saudaraku, jangan lupakan kami dalam do’a mu”. Setiap kali Umar mengingat perkataan Nabi tersebut, Umar selalu berkata; “tidak ada kalimat yang aku sukai selama mentari masih terbit selain kalimat wahai
55
Ibid., h. 125.
suadaraku yang diucapkan oleh Nabi”.56 Perhatian Nabi yang lebih terhadap Umar merupakan hal yang masih dalam batas wajar. Karena Umar telah menunjukkan kesetiaannya dan pengabdiannya tanpa pamerih demi kejayaan dan tegaknya Islam. Umar menjadi pembela dan pelindung Umat Islam dari segala gangguan, dan ia membawa cahaya terang dalam permulaan perjuangan Islam. Sebagai bukti kebesaran Nabi Muhammad, ia menggangap saudara semua manusia baik besar maupun kecil. Semua umat muslim yang dianggap saudara oleh Nabi, mereka tidak akan pernah bisa melupakkannya. Karena hal itu disebabkan oleh rasa bangga dan gembira, padahal antara mereka dan Nabi terdapat perbedaan yang jauh. Sedangkan bukti kebesaran Umar adalah ia pantas untuk persaudaraan itu, karena ia memahami kebesaran arti yang terkandung di dalamnya dan mampu merasakan keridhaan di balik arti persaudaraan. Umar dikenal sebagai sahabat yang berani dalam mengemukakan pemikiran-pemikirannya dan pendapat-pendapatnya ke pada Nabi Muhamad Saw., bahkan ia tidak segan-segan menyampaikan kritik untuk kebaikan dan kemaslahatan umat Islam. Contohnya Umar pernah mengusulkan kepada Nabi agar memerintahkan isteri-isterinya untuk memakai hijab (tirai), dengan tujuan agar isteri-isteri Nabi ketika berbicara dengan tamu-tamunya dari belakang hijab, sebab menurut Umar, yang berbicara dengan isteri-isteri Nabi bukan semuanya orang baik-baik melainkan ada juga orang jahat. Tidak lama kemudian turunlah ayat tentang hijab yang membenarkan pendapat Umar itu. Kecerdasan yang luar biasa dan jiwa yang pemberani merupakan salah satu kelebihan Umar. Sehingga Umar terkadang diminta oleh Nabi untuk 56
Abbas Mahmud Al-Aqqad, Kejeniusan Umar bin Khaththab, terjemahan dari judul asli buku “Abqariyun Umar bin Khattab”, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2002), Cet. Ke-1, h. 128
mengemukakan saran-sarannya atau pemikirannya dalam menyelesaikan suatu permaslahan. Pandangan yang jauh kedepan, keluwesan, dan keadilannya membuat orang senang menerima pendapat-pendapat atau pemikiran-pemikiran Umar. Ia juga banyak menengahi perselisihan yang terjadi di kalangan isteri-isteri Nabi. Jadi Umar adalah sahabat Nabi dalam urusan rumah tangga dan sahabat dalam urusan syariat. Hal itu terlihat dari sikap Nabi yang selalu mendengar pendapat Umar ketika ia mengusulkan sesuatu, dan ketika Umar meminta ditetapkan hukum-hukum, dan ketika mengharapkan wahyu dalam suatu perkataan. Umar bin Khatttab dikenal sebagai orang yang sederhana, ikhlas dan zuhud dalam kehidupan sehari-harinya. Sehingga ia pantas dihormati dan dihargai oleh kaum Muslimin pada masa itu. Karena Umar bukan orang yang selalu mengutamakan kepentingannya sendiri, dan dengan hati ikhlas ia sering memberikan pendapatannya untuk kepentingan umum. Kalau Rasullullah memberikan kepadanya harta rampasan perang yang diperoleh kaum muslimin, Umar berkata: “berikan kepada yang lebih miskin dari saya”, kemudian Nabi mengatakan: “terimalah dan simpan kemudian sedekahkan”.57 Ketika Nabi Muhammad Saw. sakit ia lebih memilih Abu Bakar untuk menggantikannya menjadi imam shalat. Pernah suatu hari Abu Bakar tidak ada di tempat untuk menjadi imam shalat sehingga Umar menggantikannya menjadi imam dengan suara yang nyaring dan mengelegar, maka Rasulullah bertanya: “mana Abu Bakar? Allah dan kaum Muslimin tidak menghendaki yang
57
Muhammad Husein Haikal, Umar bin Khattab, terjemahan dari judul asli buku ”AlFaruq ’Umar,” (Jakarta: Pustaka Litera AntarNusa, 2002), Cet. Ke-3, h. 63.
demikian”.58 Dalam hal ini bukan berarti Nabi tidak menghendaki Umar menggantikan Abu Bakar menjadi imam, akan tetapi Nabi ingin menunjukkan kepercayaan kepada Abu Bakar untuk menjadi pemimpin shalat. Abu Bakar dan Umar bin Khattab merupakan dua sahabat Nabi yang paling dekat. Dua sahabat Nabi itu memiliki sifat yang berbeda dan saling melangkapi satu sama lain. Abu Bakar di kenal karena kelembutan dan kebijaksanaannya, sedangkan Umar ibn Khattab terkenal dengan sifat keras dan ketegasannya dalam memecahkan segala permasalahan. Kejayaan dan kemajuan Islam pada masa Nabi tidak lepas dari peranan kedua sahabatnya itu. Kesatuan Umat Islam pasca wafatnya Nabi diikat oleh ketegasaan Abu Bakar dan Umar untuk menghindari perpecahan. Kekaguman dan kecintaan Umar kepada Nabi Muhammad Saw. telah membuatnya lemah dan tidak berdaya ketika ia mendengar berita bahwa Nabi Muhammad Saw. telah wafat. Ia merasa amat terpukul dan bahkan tidak mau percaya mengenai kenyataan yang harus dihadapinya. Ia mendatangi kerumunan orang-orang dan mengatakan: “ada orang dari kaum munfik yang mengira bahwa Rasulullah Saw. telah wafat. Tetapi, Demi Allah sebenarnya dia tidak meninggal, melainkan ia pergi kepada Tuhan, seperti Musa bin Imran. Ia telah menghilang dari tengah-tengah masyarakatnya selama empat puluh hari, kemudian kembali lagi ke tengah-tengah mereka setelah ia dikatakan sudah mati. Sesungguhnya Rasulullah pasti akan kembali seperti Musa juga. Orang yang menduga bahwa dia telah meninggal, tangan dan kakinya harus dipotong !”. Sehingga pada saat itu Abu Bakar datang untuk memeriksa kondisi Nabi, dan Abu Bakar yakin bahwa
58
Ibid., h. 65.
Nabi Muhamad Saw. telah wafat. Kemudian Abu Bakar berkata di depan semua kaum muslimin dan Umar, 59 ia membacakan firman Allah Swt. Sebagai berikut:
2)
Ec☺L2 !;F <. DES Dl+o ) 'S %W Isv( N G) :W/S K3F@
8 2% K13 FD% 2) FH2X 8 2% fR23F2% ( =2X #
fR⌧# 1 ]i]DR+
2Ii>3 pU AC Arttinya : “Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang Rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang Rasul. Apakah jika Dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad)? Barangsiapa yang berbalik ke belakang, Maka ia tidak dapat mendatangkan mudharat kepada Allah sedikitpun, dan Allah akan memberi Balasan kepada orang-orang yang bersyukur.” (Q.S. Ali Imran ayat 144). Sikap Umar tersebut menunjukkan bahwa ia tidak ingin ditinggal oleh Nabi Muhammad Saw. karena Umat Islam pada saat itu baru mendapatkan masa kejayaan dan kemajuaannya lewat kepemimpinan Nabi. Ia memikirkan mengenai kondisi umat Islam pasca wafatnya Nabi Muhammad Saw.dan hanya Abu Bakar yang mampu menyadarkan dan meyakinkan Umar bahwa Nabi telah wafat. Setelah Umar mendengar firman Allah yang dibacakan oleh Abu Bakar, ia pun langsung terjatuh tersungkur ke tanah. Kedua kakinya sudah tidak mampu lagi menahan lemas, setelah ia yakin bahwa Nabi Muhammad Saw. memang benarbenar telah wafat. Kondisi Umar pada saat itu seolah-olah ia tidak pernah mendengar ayat yang dibacakan oleh Abu Bakar sebelumnya. Setelah Umar yakin mengenai wafatnya Nabi, ia sadar bahwa kaum Muslimin telah ditinggalkan oleh pemimpinnya. Sebagai manusia politik, ia harus 59
Ibid., h. 65.
memikirkan masa depan kaum Muslimin menuju puncak kejayaan dan tegaknya agama Islam seperti yang dicita-citakan Nabi. Kekosongan kepemimpinan dalam Islam menjadi pusat pemikiran Umar. Karena ia takut akan terjadi perpecahan dan permusuhan dalam Islam pasca wafatnya Nabi. Nabi Muhammad Saw. wafat pada hari senin tanggal 12 Rabiulawal 11 H, bertepatan dengan tanggal 9 Juli 632.60 Sepeninggalan Nabi muncullah sebuah permasalahan baru mengenai siapa orang yang pantas dan berhak menduduki jabatan politik untuk memimpin pemerintahan Madinah. Karena Nabi tidak meninggalkan wasiat mengenai pergantian kepemimpinan atau suksesi. Kelompok Muhajirin dan Anshar saling mengklaim bahwa mereka paling berhak dalam menggantikan posisi Nabi. Pembicaran mengenai suksesi itu akhirnya terjadi di Tsaqifah Bani Saidah, padahal pada saat itu jenazah Nabi masih diurus. Jika tidak ada orang yang dapat mengambil strategi dan langkah yang tepat, maka kaum Muhajirin dan Anshar akan terjerumus pada perselisihan dan akan terjadi perpecahan dalam umat Islam. Di tengah-tengah suasana goncang dan tidak menentu seperti itu, muncullah keajaiban yang mampu mengembalikan keadaan seperti sedia kala. Keajaiban itu tidak lain datang dari sebuah nama Umar bin Khattab. Semua fitnah dapat dihapuskan lewat sikap ketegasan Umar di Tsaqifah Bani Saidah. Mungkin peristiwa di Tsaqifah Bani Saidah merupakan kejelasan dan titik terang mengenai karier politik Umar untuk memimpin pemerintahan Madinah. Pada masa Nabi hidup ia sudah menjadi orang kepercayaan Nabi dan saransarannya selalu diminta oleh Nabi dalam memecahkan sebuah permasalahan.
60
Hamdani Anwar, Masa al-Khulafa ar-Rasyidun, h. 35.
Lewat perhatian atau sikap Nabi itu sebenarnya karier politik Umar sudah terlihat. Akan tetapi ia bukan tipe orang yang haus atau berambisi untuk menjadi pemimpin. Sikap Umar ini bisa kita lihat sebelum peristiwa pembaiatan yang dilakukannya kepada Abu Bakar. Sebelum peristiwa bersejarah itu berlangsung, Abu Bakar dan Umar sempat melakukan dialog. Abu Bakar berkata kepada Umar, “Bukalah tangan mu, aku akan membai’at mu!”. Umar dengan tegas dan spontan menjawab, “anda lebih utama dari pada aku”. Kemudian dengan penuh senyum dan keikhlasan Abu Bakar balik menjawab, “tapi anda lebih kuat dari pada aku “. Umar selanjutnya menjawab perkataan Abu Bakar, “kekuatan ku akan mendampingi kelemahan mu; setelah Rasullulah wafat, tidak ada orang lain yang melebihi anda, wahai Abu Bakar. Andalah yang telah mendampingi Rasulullah di gua. Rasulullah Saw. pun telah mempercayakan kepada anda saat ia sakit untuk menjadi imam shalat. Maka andalah orang yang paling tepat untuk menduduki jabatan ini”.61 Setelah itu Umar pun segera membai’at Abu Bakar untuk menjadi pemimpin pemerintahan Madinah setelah wafatnya Nabi. Setelah Umar membai’at Abu Bakar, kemudian orang-orang yang berkumpul di Tsaqifah Bani Saidah segara mengikuti langkah Umar untuk membai’at Abu Bakar. Dengan demikian, proses suksesi atau pemilihan Khalifah dilakukan secara aklamasi oleh perorangan yaitu Umar bin Khattab lalu disetujui oleh kaum Muslimin. Abu Bakar di bai’at dua kali, bai’at yang kedua dilakukam di masjid Nabawi. Peristiwa itu kemudian dikenal dengan al-bai’ah al-‘ammah (bai’at umum). Dalam pidato bai’atnya ia mengatakan: 61
Abbas Mahmud Aqqad, Keagungan Umar bin Khattab, terjemahan dari judul asli buku “Al-a’dzhom Umar bin Khattab,” (Solo Pustaka Mantiq, 1993), Cet. Ke-2, h. 253.
“wahai manusia! Aku telah diberi tugas memimpin kalian, padahal aku bukan yang terbaik di antara kalian. Karena itu jika aku bertindak benar bantulah aku; jika aku bertindak salah, tegurlah aku. Orang yang kalian pandang lemah aku pandang kuat hingga aku pulihkan hak mereka; sedangkan yang kalian pandang kuat aku pandang lemah sampai aku dapat mengembalikan hak kepadanya. Taatilah aku selama aku menaati Allah dan Rasulnya. Jika aku tidak menaati Allah, kalian tidak wajib taat kepadaku”.62 Umar telah tampil kedepan untuk menyelamatkan Islam dari kehancuran. Ketinggian nilai perbuatannya itu telah menempatkan Umar pada posisi yang paling mulia diantara para sahabat, bahkan disisi Allah Swt. sehingga Abu Bakar pun menjadikan dia sebagai tangan kanannya, yang mana nasihat-nasihat Umar selalu diminta oleh Abu Bakar dalam menjalankan kepemimpinanya sebagai Khalifah. Kekuatan Umar mampu mendampingi dan mengontrol kebijaksanaan Abu Bakar. Sehingga terkadang sejumlah kaum Muslimin sulit untuk membedakan siapa sebenarnya yang menjadi Khalifah. Sampai pernah timbul pertanyaan kepada Abu Bakar, sebagai berikut: “Demi Allah, kami tidak paham siapakah sesungguhnya yang menjadi Khalifah: anda ataukah Umar?’, kemudian Abu Bakar menjawab dengan Ikhlas: “seandainya dia mau dialah yang menjadi Khalifah.”63 Segala keutamaan Abu Bakar dan kekuatan Umar merupakan sebuah perpaduan yang memperkuat Islam pasca wafat Nabi Muhammad Saw. Bahkan kedua orang ini walaupun berbeda kareakter atau sifat, keduanya selalu saling tegur menegur dalam memilih antara dua pendapat yang berbeda. Sehingga seolah-olah keduanya mantap untuk menguatkan salah satu diantara sebagian pendapat yang nantinya tidak akan menjadi masalah yang akan menimbulkan perselisihan antara mereka. Semua ini karena Abu Bakar dan Umar berasal dari 62
Didin Saepudin, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Jakarta dengan UIN Prss, 2007), h. 32. 63 Abbas Mahmud Aqqad, Keagungan Umar bin Khattab, h. 255.
satu Aqidah (keyakinan) dan demi mencapai satu tujuan, yaitu untuk menegakkan Islam dan menyebarkan Islam keseluruh penjuru dunia. Seperti telah dijelaskan di atas, karier politik Umar sudah sangat jelas pada masa Abu Bakar lewat peran aktifnya dalam membantu roda pemerintahan Madinah yang dipimpin oleh khlaifah Abu Bakar. Keduanya mengalami perubahan sifat atau karakter, seolah-olah ada pertukaran karakter secara tidak langsung dalam diri mereka berdua. Abu Bakar sebelum memegang jabatan politik sebagai Khalifah ia memiliki perangai yang lemah lembut dan bijaksana. Setelah ia menjadi pemimpin pemerintahan Madinah pasca wafat Nabi, ia memiliki perangai atau sifat yang tegas dan keras terutama kebijakan politiknya dalam menghadapi orang-orang murtad dan orang-orang yang tidak mau mengeluarkan zakat. Sedangkan Umar bin Khattab pada masa Nabi ia dikenal memiliki perangai yang tegas, keras dan berani, akan tetapi pada masa kekahlifahan Abu Bakar ia mendadak menjadi orang yang lemah lembut dan bijaksana. Hal ini bisa dilihat ketika ia mengungkapkan saran-sarannya dalam menentukan kebijakan politik Abu Bakar. Perbedaan sikap politik antara Abu Bakar dan Umar bin Khattab dari segi kekuatan dan kebijaksanaan, bisa kita lihat ketika Abu Bakar mengambil sikap untuk meneruskan kebijakan-kebijakan politik Nabi Muhammad Saw. yang belum sempat direalisasikannya. Terutama mengenai ekspansi (futuhat) yang akan dipimpin oleh Usamah bin Zaid ke wilayah Syam, yang pada waktu itu diduduki oleh pasukan Romawi. Padahal Pemerintahan Madinah sedang terancam oleh pemberontakan yang dilakukan orang-orang murtad dan orang-orang yang tidak mau membayar zakat. Sehingga bila ekspansi ke wilayah Syam tetap dilakukan
maka pemerintahan Madinah akan mengalami kelemahan, karena semua pasukan muslim akan di tarik ke Syam. Usamah bin Zaid pada waktu itu meminta kepada Umar bin Khattab untuk meminta izin kepada Abu Bakar agar ia dan pasukannya untuk membantu pemerintahan Madinah dalam menghadapi kaum musyrik. Kemudian kaum Anshar pun berkata kepada Umar agar disampaikan kepada Abu Bakar untuk mengganti Usamah bin Zaid sebagai pemimpin pasukan ke Syam, karena usianya terlalu muda. Kedua permintaan Usamah dan kaum Anshar tidak ditolak oleh Umar dan disampaikan kepada Abu Bakar. Tetapi Abu Bakar Menjawab: “sekiranya saya yang akan disergap anjing dan serigala, saya tidak akan mundur dari keputusan yang sudah diambil oleh Rasulullah Saw.”, kemudian mengenai permintaan kaum Anshar, Abu Bakar menjawab: “celaka anda Umar, Rasulullah Saw. menempatkan dia kemudian saya akan mencabutnya.” Ini lah perbedaan kecil mengenai perbedaan kebijakan politik antara Umar dan Abu Bakar.64 Diantara perbedaan sikap politik yang terjadi, Umar merupakan tipe orang yang bertanggung jawab dan patuh pada orang yang memegang jabatan pemimpin. Ia akan menjalankan segala kebijakan politik yang dikeluar oleh Khalifah Abu Bakar dengan ikhlas dan sungguh-sungguh. Sehingga perbedaan diantara mereka bukan lah sebuah halangan dalam mencapai sebuah tujuan. Perbedaan di antara mereka hanya muncul dalam permasalahan kebijakan kenegaraan saja, diluar itu mereka merupakan dua sahabat yang saling menggagumi satu sama lain.
64
Muhammad Husein Haikal, Umar bin Khattab, h. 72-73.
Kekaguman dan kepercayaan Abu Bakar kepada Umar sangat lah besar. Sehingga ketika Abu Bakar sakit menjelang wafat, ia harus melakukan suksesi untuk mencari penggantinya sebagai Khalifah. Agar umat Islam tidak mengalami perpecahan hanya karena permaslahan suksesi kepemimpinan seperti yang terjadi pasca wafatnya Nabi. Secara diam-diam Abu Bakar berpikir tentang siapa tokoh yang pantas menggantikannya. Setelah ia meneliti pribadi masing-masing pemuka Islam pada waktu itu, pilihannya jatuh kepada Umar bin Khattab. Untuk meyakinkan pilihannya, Abu Bakar kemudian berkonsultasi dengan tokoh-tokoh terkemuka Islam tentang penunjukan Umar. Mereka yang diajak berdiskusi itu antara lain Abdur Rahman bin Auf, Usman bin Affan, Usaid bin Hudair alAnshari, Sa’id bin Zaid, dan Talhah bin Ubaidah.65 Pada akhirnya para pemuka Islam menyetujui pilihan Abu Bakar. Karena mereka mengenal dengan baik siapa dan bagaimana pribadi Umar. Namun mereka masih khawatir dengan sikap keras yang dimiliki Umar. Abu Bakar meyakinkan mereka bahwa sikap keras Umar itu ditunjukkan untuk mengimbangi sikap Khalifah yang lembut, ia pun yakin bahwa sikap keras itu akan berubah setelah Umar diserahi tanggung jawab sebagai pemimpin politik pemerintahan Madinah. Kemudian Khalifah Abu Bakar memanggil Usman bin Affan untuk mencatat wasiatnya mengenai penetatapn Umar bin Khattab sebagai pemimpin umat dan kepala pemerintahan setelah ia wafat. Sebagai seorang politikus yang tidak terlalu terobsesi untuk menjadi pemimpin politik
pemerintahan Madinah, Umar tidak langsung menerima
penunjukkan dirinya oleh Abu Bakar. Sehingga ketika ia akan di bai’at oleh Abu
65
Hamdani Anwar, Masa al-Khulafa ar-Rasyidun, h. 39.
Bakar, ia merasa berat. Kemudian Umar berkata kepada Abu Bakar: “Aku tidak butuh dengan jabatan ini.” Abu Bakar pun menjawab perkataan Umar: “Tetapi jabatan ini membutuhkan engkau wahai Umar ibn Khattab.”66
Bahkan ketika
dalam pidato Umar setelah ia di Bai’at ia pernah berkata: “Demi Allah aku tidak pantas mendapatkan jabatan ini, apabila ada orang yang lebih pantas dari pada aku untuk menduduki jabatan ini maka lebih baik kepalaku dipenggal.” Khalifah Umar bin Khattab di bai’at setelah jenazah Khalifah Abu Bakar dikebumikan. Seperti telah dijelaskan di atas, Umar menjadi Khalifah atas usulan Khalifah Abu Bakar kemudian dilanjutkan dengan Musyawarah dengan para pemuka Islam saat itu. Umar di bai’at di masjid Nabawi oleh semua umat Muslim, dan ia mendapatkan gelar “Khalifah khalifati Rasulillah” (pengganti pengganti Rasul). Ia juga mendapatkan gelar lainnya yaitu; Amir al-Mu’minin (pemimpin orang-orang beriman).67 Pemerintahan Khalifah Umar berlangsung selama 10 tahun 6 bulan, yaitu dari 13 H/634 M-23 H/644 M.68 Pemerintahan Madinah pada masa kepemimpinan Khalifah Umar bisa dikatakan sebagai pemerintahan yang penuh dengan nilai dan prinsip demokrasi. Ia mampu menjamin hak-hak setiap warga negaranya, dengan cara tidak membedakan antara atasan dengan bawahan, dan antara penguasa dengan rakyat. Khalifah Umar tidak memberikan hak istimewa kepada dirinya sendiri dan para pejabatnya, sehingga tidak ada pengawalan baginya dan pejabat pemerintahannya, tidak ada istana, bahkan tidak ada pakaian kebesaran.
66
Abbas Mahmud Aqqad, Keagungan Umar bin Khattab, h. 258. Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1997), Cet. Ke-6, h. 37. 68 Hamdani Anwar, Masa al-Khulafa ar-Rasyidun, h. 39. 67
Khalifah Umar meninggal akibat tikaman pisau yang dilakukan oleh seorang budak berkebangsaan persia yang bernama Feroz atau Abu Lu’lu’ah, ketika ia hendak melaksanakan shalat subuh. Umar mengalami luka yang sangat parah, dan setelah tiga hari dari peristiwa penikaman tersebut, ia wafat pada tanggal 1 Muharram 23 H.
B. Negara Madinah Di Bawah Kepemimpinan Umar Khalifah Umar bin Khattab pada masa pemerintahanya melakukan beberapa langkah politik untuk memperkuat dan memperluas pemerintahan Madinah. Langkah politik ekspansi (futuhat) merupakan langkah politik yang paling dominan dilakukan oleh Umar selama ia memimpin. Karena pada masa Abu Bakar ekspansi telah dilakukan keluar semenanjung Arab, dan Umar pun harus melanjutkan perjuangan yang telah dijalankan oleh Abu Bakar yang belum tuntas. Selain itu pasukan-pasukan Muslim telah tersebar ke beberapa wilayah yang akan ditaklukkan. Umar yang sangat memahami kondisi psikologis pasukan Islam yang memiliki semangat dakwah yang sangat besar untuk menyebarkan ajaran-ajaran Islam ke seluruh penjuru dunia. Selain karena bangsa Arab (kaum Badui) dikenal memiliki kebisaan berpindah-pindah tempat tinggal atau nomaden dan kebisaan berperang. Penyatuan antara aspek-aspek dakwah, nomad dan suka berperang dari pasukan Islam, digunakan oleh Umar untuk melanjutkan perjungan Khalifah Abu Bakar dalam memperluas kekuasaan pemerintahan Madinah dan menyebarkan Islam.69
69
Taufiqurrahman, Sejarah Sosial Politik, h. 68-69.
Pemerintahan Umar merupakan pemerintahan yang paling terkenal dengan kebijakan politik ekspansi, pada masa pemerintahnnya itu imperium Roma Timur (Bizantium) telah kehilangan sebagian terbesar dari wilayah kekuasaannya pada pesisir Barat Asia dan Pesisir Utara Afrika. Pasukan Islam juga pada masa itu telah berhasil menguasai seluruh wilayah imperium Parsi (Persia) sampai pada Asia Tengah.70 Kemenangan pasukan Islam dalam peperangan dengan Pasukan Romawi dan pasukan Persia disebabkan oleh 2 (dua) faktor: 1. Melemahnya kondisi internal kedua kerajaan tersebut secara militer, hal itu diakibatkan oleh peperangan di antara mereka dan peperangan melawan pasukan Islam sebelumnya. 2. Perilaku kedua kerajaan tersebut kepada rakyatnya, bangsa-bangsa seperti Coptik di Mesir, Nonophysit di Siria dan Nestorian di Irak yang beragama Kristen memiliki sejarah panjang ketidakserasian hubungan dengan pejabat-pejabat Bizantium dan Sasania yang menguasasinya. Kondisi ini membuat mereka memilih bergabung dengan pasukan Islam dan menerima penguasa baru dalam kekuasaan pemerintahan Umar ibn Khattab.71
Perluasan wilayah pada zaman Khalifah Umar berlangsung dalam waktu sepuluh tahun. Pada waktu yang relatif singkat itu, daerah yang dikuasai oleh pemerintahan Madinah bertambah secara spektakuler. Pada saat itu daerah yang berada dibawah kekuasaan pemerintahan Khalifah Umar, terbentang dari Tripoli
70
Joesoef Sou’yb, Sejarah Daulat Khulafaur Rasyidin, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979),
71
Taufiqurrahman, Sejarah Sosial Politik, h. 70.
h. 141.
(Afrika Utara) di Barat sampai ke Persia di Timur, dan dari Yaman di selatan hingga Armenia di Utara. Hal ini merupakan hasil dari para panglima dan tentaranya, serta kebijakan Khalifah dalam mengarahkan dan membina mental pasukan. Ketika wilayah pemerintahan Madinah semakin luas, Umar menetapkan kebijakan politik bagi wilayah-wilayah yang telah ditaklukkan oleh pasukan Islam. kebijakan politik itu adalah memberikan kebebasan kepada warga yang wilayahnya telah menjadi bagian dari kekuasaan pemerintahan Madinah untuk memeluk atau tidak memeluk agama Islam. Prinsip ini pernah dijalankan oleh Rasulullah yang memberikan izin kepada pemeluk agama Yahudi dan Kristen tetap berpegang pada agamanya, dengan catatan mereka harus membayar upeti (pajak). Prestasi gemilang Umar bukan hanya dalam hal pembebasan wilayahwilayah baru ke pangkuan kekuasaan pemerintahan Islam, melainkan dalam aspek-aspek lain. Ia telah mampu memikirkan dan menciptakan administrasi negara yang sebelumnya tidak ada. Umar membagi kekuasaan Islam yang berpusat di Madinah ke dalam beberapa propinsi, yaitu; Mekkah, Madinah, Suriah, Jazirah, Bashrah, Kufah, Mesir dan Palestina. Sebuah langkah politik yang sangat tepat telah dilakukan Umar untuk membagi wilayah kekuasaan Islam yang sangat luas, karena wilayah kekuasaan yang begitu luas tidak mungkin dapat diatur oleh pemerintahan Madinah secara langsung. Setiap propinsi dipimpin oleh para gubernur, dan kedudukan gubernur disetiap wilayah merupakan wakil Khalifah di Madinah.
Dasar-dasar sistem pemerintahan yang tangguh telah dibentuk pada masa pemerintahan Umar. Ia telah menciptakan lembaga-lembaga kenegaraan untuk memudahkan urusan administrasi dan keuangan. Lembaga-lembaga dan dewandewan yang dibentuk Umar seperti; Bait al Maal (perbendaharaan negara), pengadilan dan pengangkatan hakim, jawatan pajak, penjara, jawatan kepolisian, juga membuat aturan pemberian gaji kepada tentara dan tentara cadangan, pemberian gaji kepada guru-guru, imam dan muadzin, pembebanan bea cukai, pungutan pajak atas kuda-kuda yang diperdagangkan, pungutan pajak atas orangorang Kristen bani Tighlab sebagai ganti Jizyah. Umar juga membuat mata uang dan kalender tahun hijriah yang dimulai dari hijrah Rasul.72 Lembaga-lembaga pemerintahan itu merupakan langkah awal bagi adanya prinsip-prinsip negara kesejahteraan dalam kepemimpinan Umar bin Khattab. Kemudian Umar menetapkan kebijakan politik untuk mendaftar atau mencatat seluruh kekayaan para pejabat yang akan dilantik untuk ditempatkan di wilayahwilayah pemerintahan Madinah. Hal ini dilakukan untuk menghindari adanya penyalahgunaan wewenang dan korupsi. Sehingga kesejahteraan warga disemua wilayah pemerintahan Madinah dapat terjamin. Khalifah Umar bukan hanya dikenal sebagai seorang negarawan yang mampu menciptakan sebuah peraturan baru, ia juga mampu memperbaiki dan mengkaji ulang terhadap segala kebijaksanaan yang telah ada pada masa Nabi dan Abu Bakar. Semua itu ia lakukan untuk menyesuaikan dengan perkembangan zaman dan kemaslahatan bagi semua umat Islam. Karena bagi Umar sudah menjadi kewajiban seorang politikus untuk mempertimbangkan semua peristiwa
72
Ibid., h. 72.
disekitarnya dan dapat mengatur segala persoalan dengan pandangan yang lebih tajam. Negara kesejahteraan (welfare state) dalam Islam merupakan istilah yang tidak dijelaskan dalam Al-Qur’an secara eksplisit. Namun, seperti telah dijelaskan di bab sebelumnya, bahwa Islam merupakan ajaran yang sangat menjungjung tinggi nilai-nilai kesejahteraan sosial. Islam merupakan ajaran (agama) yang memiliki nilai dan tujuan untuk mengatur seluruh aspek kehidupan umatnya, termasuk aspek sosial, ekonomi, dan politik. Karena semua aspek tersebut saling terkait, sedangkan pandangan hidup Islami merupakan sebuah kesatuan yang utuh, maka setiap tujuan dan nilai dari satu bidang kehidupan akan menentukan tujuan dan nilai pada bidang lainnya. aspek-aspek kehidupan yang ada dalam ajaran Islam tersebut merupakan inspirasi dan keharusan bagi Umar menciptakan sebuah negara yang memegang teguh prinsip-prinsip kesejahteraan. Prinsip-prinsip ‘adalah (social justice) merupakan prinsip yang ada dalam ajaran Islam, dan merupakan keharusan bagi setiap umat Islam untuk melaksanakannya pada semua aspek kehidupan. Sebagian penafsir menyatakan bahwa ayat-ayat Al-Qur’an yang diturunkan ketika Nabi Muhammad Saw. di Makkah sangat sarat dengan ajaran-ajaran tentang keadilan sosial. seperti tentang memperhatikan orang miskin, anak yatim dan kalangan dhua’fa lainnya. Prinsip dasarnya adalah setiap orang memiliki hak untuk hidup dan berkembang dengan sejahtera di dalam masyarakatnya. Kemudian Islam sangat melarang adanya ketimpangan dalam sebuah masyarakat (negara), dimana orang lapar dan lemah, orang miskin atau yatim, orang cacat dan buta huruf dibiarkan dalam kesulitan
sementara sebagaian masyarakat lainnya hidup dalam kondisi sejahtera dan berkecukupan. 73 Prinsip-prinsip di atas merupakan landasan awal bagi sistem politik kenegaraan pada masa Rasulullah untuk menjadikan negara Madinah sebagai sebuah institusi yang dibiayai oleh rakyat lewat pembayaran pajak-pajak, kemudian negara mencurahkan semua sumber daya negara untuk menciptakan skema-skema kesejahteraan bagi warga negaranya. Kewajiban membayar zakat (termasuk di dalamnya dianjurkan membayar sedekah, infaq, qurban dan wakaf) adalah sebuah sistem yang ada dalam Al-Qur’an yang tujuannya untuk menciptakan stabilitas dalam masyarakat (negara) agar tidak adanya ketimpanganketimpangan antara si miskin dan si kaya, dan zakat juga berfungsi sebagai penopang kesejahteraan sosial. Periode kepemimpinan Khalifah Umar bin Khattab merupakan masa keemasan (golden age) bagi Umat Islam. Walaupun sebenarnya pada masa kepemimpinan politik Rasulullah dan Abu Bakar negara Madinah sudah menjadi sebuah model negara sejahtera, tetapi pada masa Umar lah negara Madinah mengalami penyempurnaan. Kesempurnaan pemerintah pada masa Umar tidak hanya dilihat dari lahirnya institusi-institusi yang menopang pemerintahannya, akan tetapi kesempurnaan itu bisa lebih di lihat dari bagaimana cara Umar mencurahkan kekuasaan negara untuk kesejahteraan rakyatnya.
73
Sirojudin Abbas, “Sintesa Islam dan Kesejahteraan Sosial: Eksperimentasi Pendidikan Kesejahteraan Sosial di UIN Jakarta,” dalam Kusmana, ed., Bunga Rampai Islam dan Kesejahteraan Sosial (Jakarta: IAIN Indonesia Social Equity Project, 2006), h. 39.
BAB IV NEGARA KESEJAHTERAAN DALAM KEPEMIMPINAN UMAR BIN KHATTAB
A. Kebijakan-kebijakan Politik Umar Dalam Mewujudkan Kesejahteraan Adiwarman Azwar Karim, dalam bukunya yang berjudul “Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam,” mengutip dari bukunya Abu Yusuf yang berjudul “Kitab al-Kharaj,”
Menurut Abu Yusuf, tugas utama penguasa adalah
mewujudkan serta menjamin kesejahtraan rakyatnya. Ia selalu menekankan pentingnya memenuhi kebutuhan rakyat dan mengembangkan berbagai proyek yang berorientasi kepada kesejahteraan umum. Dengan mengutip pernyataan Khalifah Umar bin Khattab, yang mengatakan “bahwa sebaik-baik penguasa adalah mereka yang memerintah demi kemakmuran rakyatnya dan seburukburuknya penguasa adalah mereka yang memerintah tetapi rakyatnya malah menemui kesulitan….”74 Sesuai dengan penjelasan diatas, bahwa penguasa memiliki kewajiban untuk menciptakan sebuah kebijakan-kebijakan politik yang bertujuan untuk kebaikan bersama. Artinya segala kebijakan politik para penguasa harus berorientasi pada kemakmuran rakyat, bukan untuk mencari keutungan dibalik 74
Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2004), h. 236.
hilangnya kesejahteraan rakyat. Fenomena kebijakan-kebijakan politik para penguasa negara saat ini tidak selalu berpihak pada rakyat-rakyat lemah atau miskin, melainkan lebih memihak kepada kelompok-kelompok kepentingan (para pemilik modal, elit-elit politik, dan lain sebagainya). Pada sub bab ini penulis, ingin mencoba menjelaskan secara rinci mengenai kebijakan-kebijakan politik Khalifah Umar bin Khattab dalam memimpin negara Madinah. Karena banyak kebijakan-kebijakan politik Khalifah Umar yang pada masa Nabi Muhammad dan Abu Bakar belum pernah diterapkan, dan kebijakan-kebijakan politik ini lebih kepada kebijakan-kebijakan dalam mewujudkan
kesejahteraan
sosial
masyarakat
yang
berada
di
bawah
pemerintahannya. Kemudian lewat kebijakan-kebijakan politik Khalifah Umar bin Khattab, negara Madinah yang dipimpinnya telah menjadi sebuah model negara kesejahteraan yang sangat penting untuk diaktualisasikan.
1. Pendirian Baitul Mal Batul mal merupakan lembaga yang berfungsi sebagai tempat untuk menyimpan harta kekayaan negara yang diperoleh dari sumbersumber pendapatan negara, dan digunakan untuk kepentingan kesejahteraan sosial umat. Harta yang di simpan di Baitu mal adalah milik negara bukan milik individu, walaupun demikian, pemimpin negara dan gubernur bisa mengambil bagian dari harta Baitul mal untuk mencukupi kebutuhan pribadinya. Baitul mal dalam konteks ketatanegaraan di abad
modern,
terutama di Indonesia, bisa kita identikan dengan departemen keuangan,
karena lembaga tersebut memiliki tugas untuk mengatur dan menggelola keuangan atau kekayaan negara, dan semua pemasukan dan pengeluaran negara dicatat di lembaga tersebut. Hal ini, bisa dilihat dari tugas dan fungsi departemen keuangan, yaitu:75 1. Tugas • Membantu
Presiden
dalam
menyelenggarakan
sebagian
tugas
pemerintahan di bidang keuangan dan kekayaan negara. 2. Fungsi •
Perumusan kebijakan nasional, kebijakan pelaksana, dan kebijakan teknis di bidang keuangan dan kekayaan negara.
•
Pelaksana urusan pemerintahan di bidang keuangan dan kekayaan negara.
•
Pengelolaan barang milik/ kekayaan negara yang menjadi tanggung jawabnya.
•
Pengawasan atas pelaksanaan tugas di bidang keuangan dan kekayaan negara.
•
Penyampaian laporan hasil evaluasi, saran, dan pertimbangan di bidang keuangan dan kekayaan negara kepada Presiden.
Nabi adalah “kepala negara” pertama yang memperkenalkan konsep di bidang keuangan negara di abad ke-7, yaitu Baitul mal. Fungsi Baitul mal adalah menjamin kebutuhan hidup dan kesejahteraan sosial
75
Departemen Keuangan Republik Indonesia, Artikel diakses pada tanggal 16 November 2008 dari situs http://www.depkeu.go.id/Ind/Organization/TugasFungsi.htm
minimum bagi setiap orang Muslim dan non-Muslim yang hidup dalam pemerintahan Islam.76 Pada masa Pemerintahan Khalifah Umar ibn Khattab Baitul mal semakin dikembangkan fungsinya, sehingga menjadi lembaga yang reguler dan permanen. Baitul mal pada masa Umar juga tidah hanya ada di Ibu kota negara (Madinah), seiring dengan luasnya wilayah kekuasaan pemerintahan Islam, ia menetapkan kebijakan politik untuk membangun cabang-cabang baitul mal di Ibu kota provinsi. Untuk mengawasi lembaga tersebut agar berjalan dengan baik, Khalifah Umar menunjuk Abdullah ibn Irqam sebagai bendahara negara dengan Abdullah ibn Ubaidah Al-Qari dan Muayqab sebagai wakilnya. Hal itu dilakukan Umar agar kesejahteraan sosial warga negara yang berada di bawah kekuasaan pemerintahan Islam tercipta secara merata. Pembangunan institusi Baitul mal yang dilengkapi dengan sistem administrasi yang tertata baik dan rapih merupakan kontribusi terbesar yang diberikan oleh Khalifah Umar bin Khattab kepada dunia Islam dari segi ketatanegaraan.77 Dalam pengelolaan Baitul mal, Khalifah Umar dan para amil hanya sebagai pemegang amanah. Sedangkan pengelolaan Biatul mal di tingkatan cabang-cabang atau provinsi dilakukan oleh para pejabat setempat, dan tidak bertanggungjawab pada gubernur. Pejabat-pejabat Baitul mal di tingkatan cabang memiliki otoritas penuh dalam mengelola harta umat serta bertanggung jawab kepada pemerintah pusat. Oleh sebab itu negara
76 Tim Peneliti PSIK Universitas Paramadina, Negara Kesejahteraan dan Globalisasi: Pengembangan Kebijakan Dan Perbandingan Pengalaman (Jakarta: PSIK Universitas Paramadina, 2008), h. 51. 77 Azwar, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, h. 59-60.
memiliki tangunggjawab untuk menyediakan makanan bagi para janda, anak-anak yatim, serta anak-anak terlantar, membiayai penguburan orangorang miskin, membayar hutang-hutang orang yang bangkrut, membayar diyat untuk kasus-kasus tertentu, seperti membayar diyat perajurit Shebani yang membunuh orang Kristiani untuk menyelamatkan nyawanya, serta memberikan pinjaman tanpa bunga untuk tujuan komersial. Tanggung jawab negara pada masa Khalifah Umar di atas merupakan salah satu peranan negara dalam menghadirkan jaminan-jaminan sosial bagi orang-orang yang lemah atau miskin. Untuk mendukung distribusi harta umat yang ada di Baitul mal, Khalifah Umar bin Khattab menetapkan kebijakan politik untuk mendirikan beberapa departemen yang dianggap perlu, seperti: a. Departemen Pelayanan Militer. Departemen ini berfungsi untuk mendistribusikan dana bantuan kepada orang-orang yang terlibat dalam peperangan. Besarnya jumlah dana bantuan ditentukan oleh jumlah tanggungan keluarga setiap penerima dana. b. Departemen Kehakiman dan Eksekutif. Departemen ini bertanggung jawab terhadap pembayaran gaji para hakim dan para pejabat eksekutif. Besarnya gaji ini ditentukan oleh dua hal, yaitu jumlah gaji yang diterima harus mencukupi kebutuhan keluarganya agar terhindar dari praktik suap dan jumlah gaji yang diberikan harus sama dan kalaupun terjadi perbedaan, hal itu tetap dalam batas-batas kewajaran.
c. Departemen Pendidikan dan Pengembangan Islam. Departemen ini mendistribusikan bantuan dana bagi penyebar dan pengembang ajaran Islam beserta keluarganya, seperti guru dan juru dakwah. Semua orang yang terlibat di dalam penyebaran dan pengembangan ajaran Islam akan diberikan sumbangan uang dari Baitul mal setiap tahunnya. Meskipun pengabdian ini dilandasi karena Allah Swt. dan atas kemauan sendiri, maka hal ini dianggap merupakan tanggung jawab negara untuk memberikan santunan kepada keluargannya sehingga mereka tidak akan terlantar kebutuhan hidupnya.78 d. Departemen Jaminan Sosial. Departemen ini berfungsi untuk mendistribusikan dana bantuan kepada seluruh fakir miskin dan orang-orang yang menderita. Kemudian departemen ini juga memiliki daftar bantuan untuk mereka fakir yang menderita dan miskin. Tujuan dari departemen ini adalah agar tidak seorang pun di negara yang dipimpin oleh Khalifah Umar itu terabaikan kebutuhan hidupnya. Semua orang yang sakit, lanjut usia, cacat, yatim piatu, janda atau orang-orang yang tidak mampu memperoleh penghidupan sendiri diberi bantuan keuangan secara tahunan dari Baitul mal. Badan ini dibentuk oleh khalfiah Umar bin Khattab, atas dasar ayat-ayat AlQur’an mengenai sadaqah dan zakat, serta sabda Rasulullah Saw. secara eksplisit menyatakan bahwa sadaqah harus dikumpulkan dari 78
Afzalur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam, dengan judul asli buku “Economic Doctrines of Islam,” Jilid 1 (Yogyakarta: P.T Dana Bhakti Wakaf, 1995), h. 171.
orang-orang kaya dan diperuntukan bagi orang-orang miskin dan mendirita di dalam masyarakat.79
Secara umum, harta umat di Baitul mal digunakan untuk penyebaran Islam, gerakan pendidikan dan kebudayaan, pengembangan ilmu pengetahuaan,
pembangunan infrastruktur, pembangunan armada perang
dan keamanan. Kebijakan
politik
Khalifah
Umar
bin
Khattab
dalam
mendistribusikan pendapatan-pendapatan negara, sangat mirip dengan kebijakan-kebijakan
pokok yang
harus ada
dalam sistem
negara
kesejahteraan modern (modern welfare state system). Karena pendapatan negara oleh Khalifah Umar digunakan untuk menciptakan skema-skema yang mengarah pada terwujudnya kesejahteraan sosial. Walaupun masalahmasalah yang dihadapi oleh pemerintahan yang dipimpin Khalifah Umar tidak serumit permasalahan yang dihadapi oleh negara-negara modern saat ini. Akan tetapi secara cita-cita dan nilai-nilai pemerintahan Khalifah Umar telah mengarah pada model negara kesejahteraan.
2. Pendirian Al-diwan Selain Bitul mal, Khalifah Umar juga membentuk sebuah al-diwan yaitu sebuah lembaga pemerintahan yang memiliki fungsi untuk mengatur tunjangan-tunjangan untuk tentara dan pensiunannya, sekaligus sebagai perealisasian salah satu fungsi negara Islam, yakni fungsi jaminan sosial.
79
Ibid., h. 171-172.
Pembentukan al-diwan oleh Khalifah Umar, dilatar belakangi oleh peristiwa ketika Abu Hurairah, yang ketika itu menjabat sebagai gubernur Bahrain, membawa harta hasil pengumpulan pajak kharaj sebesar 500.000 dirham ke Madinah. Peristiwa ini terjadi pada tahun 16 H. Kemudian beberapa sahabat menuntut bagiannya masing-masing. Bahkan mereka mencoba untuk membagi-bagi sendiri. Agar pendapatan negara itu bisa didistribusikan dengan baik, maka Khalifah Umar, berinisiatif untuk mengaturnya, dan atas usulan Khalid bin Walid yang telah melihat konsep diwan di Syam, maka Umar menganggap perlu untuk mengikuti usulan Khalid bin Walid untuk membentuk al-diwan.80 Agar lembaga al-diwan berfungsi dengan baik, maka Khalifah Umar mengeluarkan kebijakan politik untuk membentuk komite Nassab (ahli sejarah dan keturunan), yang terdiri dari Aqil bin Abi Thalib, Mahzam bin Naufal, dan Jabir bin Mut’im untuk membuat laporan sensus penduduk Madinah sesuai dengan tingkat kepentingan dan golongannya. Daftar tersebut disusun dengan urutan sebagai berikut:81 a. Orang-orang yang memiliki hubungan kekerabatan dengan Rasulullah Saw. b. Para sahabat yang ikut berperang dalam perang Badar dan Uhud. c. Para imigran ke Abysinia dan Madinah. d. Para pejuang perang Qadisiyyah atau orang-orang yang menghadiri perjanjian Hudaibiyah.
80 81
PSIK Universitas Paramadina, Negara Kesejahteraan dan Globalisasi, h. 59. Azwar, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, h. 62-63.
e. Kaum wanita, anak-anak dan para budak juga mendapat tunjangan sosial.
Jumlah tunjangan yang diberikan kepada masing-masing golongan untuk setiap tahunnya berbeda-beda. Secara umum, jumlah tunjangan yang diberikan kepada mereka adalah sebagai berikut:82 1. Aisyah dan Abbas ibn Abdul Muthalib, mendapatkan tunjangan dari pemerintahan Khalifah Umar, masing-masing sebesar 12.000 dirham. 2. Para istri Rasulullah Saw. selain Aisyah, mendapatkan tunjangan dari pemerintahan Khalifah Umar, masing-masing sebesar 10.000 dirham. 3. Ali,
Hasan,
Husein,
dan
para
pejuang
perang
Badar,
mendapatkan tunjangan dari pemerintahan Khalifah Umar, masing-masing sebesar 5.000 dirham. 4. Para pejuang perang Uhud dan orang-orang yang migrasi ke Abysinia, mendapatkan tunjangan dari pemerintahan Khalifah Umar, masing-masing sebesar 4.000 dirham. 5. Kaum
Muhajirin
sebelum
peristiwa
Fathul
Makkah,
mendapatkan tunjangan dari pemerintahan Khalifah Umar, masing-masing sebesar 3.000 dirham. 6. Putra-putra para pejuang perang Badar, orang-orang yang memeluk Islam ketika terjadi peristiwa Fathul Makkah, anak-
82
Ibid., h. 63.
anak kaum Muhajirin dan Anshar, para pejuang perang Qadisiyyah, Uballa, dan orang-orang yang menghadiri perjanjian Hudaibiyah. Mereka mendapatkan tunjangan dari pemerintahan Khalifah Umar, masing-masing sebesar 2.000 dirham.
B. Model Negara Kesejahteraan Islam Periode Umar Konsep negara kesejahteraan tidak hanya mencakup deskripsi mengenai sebuah cara pengorganisasian kesejahteraan atau pelayanan sosial (sosial service). Melainkan juga sebuah konsep normatif atau sistem pendekatan ideal yang menekankan bahwa setiap orang harus memperoleh pelayanan sosial sebagai haknya.83 Seperti telah dijelaskan di bab sebelumnya, dalam hal ini negara kesejahteraan lebih sering ditengarai sebagai atribut-atribut kebijakan pelayanan dan transfer sosial yang disediakan oleh negara untuk warga negaranya. Pelayanan yang harus disediakan oleh negara untuk warganya seperti: pelayanan pendidikan, transfer pendapatan, pengurangan kemiskinan, dan lain-lainnya. Oleh karena itu negara kesejahteraan sering diidentikan dengan kebijakan-kebijakan sosial yang diciptakan oleh negara dengan tujuan untuk mewujudkan kesejahteraan sosial. Walaupun kebijakan sosial bisa diterapkan oleh negara tanpa adanya negara kesejahteraan, akan tetapi negara kesejahteraan selalu membutuhkan kebijakan sosial. Secara umum, suatu negara bisa digolongkan sebagai negara kesejahteraan jika memiliki empat pilar utamanya, yaitu: kewarganegaraan sosial (social citizenship); demokrasi penuh (full democracy); sistem hubungan industri modern 83
Edi Suharto, “Peta dan Dinamika Welfare State Di Beberapa Negara”, artikel diakses pada tenggal 12 September 2008 dari situs:http://www.policy.hu/suharto/naskah%20PDF/UGMWelfareState .pdf
(modern industrial relation systems); dan hak atas pendidikan dan perluasan pendidikan massal dan modern (rights to education and the expansion of modern mass education systems).84 Kesejahteraan warga negara harus menjadi tanggung jawab negara, dan negara tidak bisa menyerahkan pengelolaan kesejahteraan warga negaranya kepada pihak manapun (swasta). Keempat pilar negara kesejahteraan diatas, bukan lah sesuatu hal yang baru dalam politik Islam. Karena sistem ketatanegaraan yang diterapkan sejak periode Rasulullah Saw. sebagai pemimpin negara Madinah, telah memenuhi empat pilar negara kesejahteraan tersebut. Sehingga bukan suatu istilah yang asing ketika mengatakan negara Madinah pada masa Rasulullah sebagai model negara kesejahteraan (sejahtera). Pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab sebagai pemerintahan yang dianggap demokratis, karena Umar telah meletakan prinsip-prinsip demokrasi dalam pemerintahannya dengan membangun jaringan pemerintahan sipil yang paripurna.85 Kekuasaan Khalifah Umar menjamin hak yang sama bagi setiap warga negaranya, hal ini terlihat ketika Umar memberikan pelayanan sosial atau tunjagan dari negara kepada warga negaranya baik yang Muslim atau nonMuslim. Kemudian sistem ekonomi pada masa Khalifah Umar, merupakan sebuah sistem yang terbaik pada masa itu. Karena Umar mampu menata sistem administrasi ekonomi negara Madinah secara baik, dan program pekerjaan umum sangat penting di zaman pemerintahan Umar.
84 Darmawan Triwibowo dan Sugeng Bahagijo, Mimpi Negara Kesejahteraan (Jakarta: LP3ES, 2006), h. 9. 85 Ali Mufrodi, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab (Ciputat: Logos Wacana Ilmu, 1997), h. 57.
Sedangkan pendidikan dalam Islam adalah sesuatu yang mendasar yang harus ada dalam pemerintahan Islam, karena pendidikan menjadi pilar dasar bagi terciptanya masyarakat yang cerdas, beriman dan sebagainya. Pentingnya pendidikan sudah sangat jelas. Rasulullah Bersabda; “mencari ilmu menjadi kewajiban bagi setiap Muslim, baik laki-laki dan perempuan.” Dalam Islam pendidikan tidak terbatas pada usaha memberantas buta huruf, karena melek huruf sebenarnya merupakan instrumen untuk “pendidikan sejati” dan bukan akhir tujuan itu sendiri. Tujuan utama pendidikan di sini adalah membangkitkan umat Muslim agar dapat menyesuaikan diri dengan cita-cita yang tersurat dalam AlQur’an dan As-Sunnah.86 Islam bukan hanya sekadar agama. Ia mencakup pandangan dan cara hidup secara total. Islam adalah agama yang menjungjung tinggi peradaban dan harkat martabat kemanusiaan yang memadukan antara aspek material dan spiritual (keduniawiaan dan keukhrowian). Pada puncaknya, Islam bertujuan menciptakan sebuah sistem dimana prinsip keadilan berada di atas keuntungan semua masyarakat. Kemudian sistem ekonomi Islam, paling tidak memiliki dua tujuan : memerangi kemiskinan dan menciptakan distribusi kekayaan yang adil secara ekonomi dan sosial. Tujuan itu memiliki dampak agar Umat Islam dapat beribadah kepada Allah Swt. secara fokus dan total jika kebutuhan dasarnya terpenuhi dengan baik. Sehingga negara dalam Islam memiliki tanggung jawab dalam memenuhi kebutuhan dasar warga negaranya.87
86
M. Umer Chapra, “Negara Kesejahteraan Islami dan Peranannya Di Bidang Ekonomi,” dalam Ainur Rofiq, ed., Etika Ekonomi Politik: Elemen-elemen Strategis Pembangunan Masyarakat Islam (Surabaya: Risalah Gusti, 1997), h. 39. 87 Edi Suharto, “Islam dan Negara Kesejahteraan”, artikel diakses pada tanggal 25 September 2008 dari http://www.policy.hu/suharto/Naskah20%PDF/IslamNegaraKesejahteraan.pdf
Islam menganggap pentingnya kesejahteran masyarakat ketimbang sekedar menghadapkan wajah kita ke barat atau timur ketika shalat, sehingga Islam bisa dikatakan memiliki model negara kesejahteraan tersendiri yang disebut Negara kesejahteraan Islam (Islamic Welfare State),88 sesuai dengan nilai-nilai kesejahteraan yang terkandung dalam ayat Al-Qur’an sebagai berikut
j ` T =f f# v =D+☺f :W23S K1+^%J% c >1 _if+☺f n o 2) K D 2) =f
i>o/+
Rf L⌧3w +☺f o ~R[GH 2k>1f 8 2% 2< +☺f
82< K g&Ff
] 3% 8+☺ 2kf 2If 2Iy>1 N+☺f 2Iz CWR3
S > Si~
8I \:tG] 82< K \x?
^EDq+n "(☺f j j E+q 2%
F 8I 2I= x? K = K +(s2'f
+'w s 1 G(s2'f 2Iy j j S+EN 2IS#
%^ +'w s ABBC 2T&Fk☺f
Artinya: “Kebajikan itu bukanlah menghadapkan wajah ke arah timur dan ke barat, tetapi kebajikan itu adalah orang-orang yang beriman kepada Allah, hari akhir, malaikat-malaikat, kitabkitab, dan nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabat, anak yatim, orang-orang miskin, orang-orang yang dalam perjalanan (musafir), peminta-minta, dan untuk memerdekakan hamba sahaya, yang melaksanakan zakat, orang-orang yang menepati janji apabila berjanji, dan orang 88
Ibid.
yang sabar dalam kemelaratan, penderitaan dan pada masa peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar, dan mereka itulah orang-orang yang bertaqwa.” (Q.S. Al Baqarah Ayat 177).
Negara kesejahteraan yang diterapkan di negara-negara Barat dan model negara kesejahteraan Islam, secara nilai-nilai dan tujuan memiliki kesamaan, yaitu menciptakan kesejahteraan bagi semua warga negara terutama mereka yang terlemahkan karena ke tidak sempurnaan sistem pasar. Namun, ada perbedaan yang mendasar antara kedua model negara kesejahteraan tersebut yang terletak pada landasan filosofisnya. Islam mengajarkan falsafah kesejahteraan yang unik, komprehensif dan konsisten dengan fitrah manusia. Dalam ajaran Islam semua manusia memiliki kebebasan, tetapi kebebasan itu tidak boleh sampai menciptakan kerugian terhadap umat manusia yang lain, sehingga manusia dalam ajaran Islam bertanggung jawab atas semua tindakannya dihadapan Allah Swt. di akhirat nanti. Seperti telah disinggung di atas, bahwa konsep kesejahteraan dalam Islam dapatlah dikatakan tidak semata-mata “ukhrawi” atau “duniawi”. Ajaran Islam menyerukan pada umatnya agar mampu menguasai alam serta mengelola sumber daya
yang
diberikan
Allah
untuk
kemakmuran
umat
manusia,
dan
memperingatkan dengan keras kepada umat Islam untuk tidak terlalu rakus dengan penguasaan materi dan menganggapnya sebagai ukuran keberhasilan seseorang. Apalagi sampai melupakan sisi spiritual diri Manusia.
C. Sumber-Sumber Pendapatan Negara Pada Periode Umar
Umar merupakan pemimpin negara Madinah setelah Nabi Muhammad dan Abu Bakar. Negara Madinah yang dididirkan oleh Nabi Muhammad Saw. merupakan negara pertama yang didirikan dalam sejarah politik Islam. Namun, negara pertama tersebut mampu melahirkan skema-skema kesejahteraan lewat kebijakan-kebijakan politik Nabi. Sumber-sumber pendapatan negara Madinah pada Periode Nabi merupakan penopang bagi terwujudnya kesejahteraan sosial pada saat itu. Sumber-sumber pendapatan negara pada masa Abu Bakar sedikit mengalami hambatan, sehingga Abu Bakar menghadapi kesulitan dalam mengembangkan model negara sejahtera yang telah dirintis oleh nabi. Hambatan bagi sumber-sumber pendaptan negara pada kemimpinan Abu Bakar disebabkan oleh orang-orang Arab yang tidak mengakui otoritas Abu Bakar sebagai pemimpin negara Madinah setelah wafatnya Nabi Muhammad Saw. kemudian banyaknya wilayah-wilayah yang jauh dari kota Madinah (Ibu kota negara) mulai melakukan pemberontak. Para pemberobtak berasal dari dua kelompok, Pertama, terdiri dari mereka yang kembali menyembah berhala di bawah pimpinan Musailamah, Tulaihah, Sajah, dan lain-lainnya. Kedua, mereka yang tidak menyatakan permusuhan terhadap Islam, tetapi hanya memberontak kepada negara. Hal ini dikarenakan mereka menolak membayar zakat dengan dalih bahwa pembayaran itu hanya sah kepada Nabi Muhammad. Setelah Nabi wafat mereka merasa bebas dan tidak lagi berkewajiban membayar pajak apa pun atau wajib menunjukkan sesuatu kesetiaannya kepada negara Madinah.89
89
Irfan Mahmud Ra’ana, Sistem Ekonomi Pemerintahan Umar Ibn Al-Khatab, dengan judul asli buku “Economic System Under Umar The Great,” (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1990), h. 6-7.
Kesejahteraan sosial umat Islam pada masa Abu Bakar kurang begitu mencolok, akan tetapi bukan berarti Abu Bakar tidak meneruskan model negara sejahtera yang dipraktekan oleh nabi. Kalau bukan karena jasa-jasa Abu Bakar, yang berhasil memberantas atau memerangi orang-orang yang tidak mau membayar pajak, pemerintahan pada masa Umar tidak akan sampai pada puncak keemasan. Kesejahteraan sosial Umat Islam pada masa Abu Bakar bisa dilihat dari kebijakan-kebijakan politiknya dalam membagun Baitul Mal dan meneruskan sistem pendistribusian harta rakyat sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah Saw. Abu Bakar juga mempelopori sistem penggajian bagi aparat negara, misalnya untuk Khalifah sendiri digaji amat sedikit, yaitu 2,5 atau 2,75 dirham setiap harinya dari Baitul mal.90 Seperti telah dijelaskan di atas, negara Madinah pada periode Umar bin Khattab merupakan periode ekspansi, sehingga wilayah kekuasaan pemerintahan Islam semakin luas. Seiring dengan semakin luasnya wilayah kekuasaan Islam pada masa pemerintahan Umar ibn Khattab, pendapatan negara mengalami peningkatan yang sangat signifikan. Sumber-sumber pendapatan negara menjadi perhatian khusus pemerintahan Umar, agar dapat dimanfaatkan secara benar, efisien dan efektif. Setelah melakukan musyawarah dengan para sahabat, Khalifah Umar ibn Khattab mengambil keputusan untuk tidak menghabiskan pendapatan negara yang di simpan di Baitul mal sekaligus, tetapi dikeluarkan secara bertahap sesuai dengan kebutuhan yang ada, bahkan diantaranya disediakan dana cadangan.
90
Pusat Pengkajian dan Pembangunan Ekonomi Islam (P3EI), Ekonomi Islam (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2008), h. 101-102.
Sumber-sumber pendapatan negara pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab diklasifikasikan menjadi empat macam pendapatan negara,91 yaitu: a. Pendapatan zakat Membayar zakat adalah wajib bagi orang-orang yang mampu (kaya). Negara memiliki kewajiban untuk memaksa orang-orang yang tidak mau mengeluarkan zakat agar kesejahteraan umat yang dalam posisi lemah dan miskin tidak terabaikan. Perintah untuk mengeluarkan zakat dijelaskan dalam ayat Al-Qur’an secara jelas, sebagai berikut:
[*f) D ) R0 ^%^qe HLS+EN CYWN LM} M=Zm2] +' N GTF j qfR2{ aaR☺+ 1 ¡[ ⌦ 1+ AiC 2{ Artinya: “Ambilah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan berdo’alah untuk mereka sesungguhnya do’a kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka, dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Q.S. At Taubah ayat 103)
Zakat dalam Islam pada dasarnya tidak hanya bertujuan untuk memelihara atau membantu orang-orang miskin untuk sekedar bertahan hidup, akan tetapi tujuan lainnya adalah untuk sebuah “transformasi”, yaitu menjadikan orang-orang miskin untuk bangkit agar mampu memperbaiki kehidupannya dan merubah mereka yang dahulunya menjadi
91
PSIK Universitas Paramadina, Negara Kesejahteraan dan Globalisasi, h. 57.
mustahik (penerima zakat) menjadi muzakki (pembayar zakat).
92
Dalam
hal ini, ketika orang dahulunya berada pada posisi miskin berubah menjadi orang-orang yang terlepas dari kemiskinan, dan hidup pada posisi rakyat yang sejahtera karena tidak lagi membutuhkan tunjangan-tunjangan yang diberikan oleh negara. Zakat merupakan sumber pendapatan negara yang telah ada pada masa Rasulullah, dan zakat menjadi sumber pertama pendapatan negara Madinah. Pada Masa Khalifah Umar, zakat dijalankan seperti yang telah dipraktekan oleh Rasulullah dan Abu Bakar. Khalifah Umar hanya mengembangkan sistem zakat sesuai dengan Al-Qur’an. Pada pemerintahannya, Umar menetapkan khumus zakat atas karet yang ditemukan di semenanjung Yaman, antara Aden dan Mukha, dan hasil laut. Karena ia menganggap barang-barang tersebut dianggap sebagai hadiah dari Allah Swt. padahal, barang-barang tersebut pada masa Khalifah Abu Bakar belum dikenakan zakat, hal itu disebabkan karena barang-barang tersebut belum menjadi salah satu sumber utama perekonomian. Pada masa Rasulullah kuda merupakan binatang yang digunakan sebagai alat transportasi untuk pribadi dan berperang. Pada perang Badar, pasukan kaum Muslimin yang berjumlah 313 orang hanya memiliki dua ekor kuda. Jumlah kuda pada masa Rasulullah ini tidak mengalami peningkatan yang signifikan sehingga tidak ditetapkan zakat bagi pemilik kuda. Namun pada masa Khalifah Umar, kegiatan berternak dan 92
Sirojudin Abbas, “Sintesa Islam dan Kesejahteraan Sosial: Eksperimentasi Pendidikan Kesejahteraan Sosial di UIN Jakarta,” dalam Kusmana, ed., Bunga Rampai Islam dan Kesejahteraan Sosial (Jakarta: IAIN Indonesia Social Equity Project, 2006), h. 39-40.
memperdagangkan
kuda dilakukan secara besar-besaran di Syiria dan
wilayah-wilayah kekuasaan Islam lainnya. Sehingga Umar menetapkan zakat atas kuda sebesar satu dinar, dan pendapatan zakat atas kuda didistribusikan kepada para fakir miskin. Khalifah Umar sangat memahami tujuan utama kewajiban zakat, selain sebagai sumber pendapatan negara, zakat bertujuan untuk menghindari adanya penumpukan harta di bawah kekuasaan kelampok kecil (orang-orang kaya). Oleh sebab itu, agar distribusi kekayaan dikalangan umat dapat berjalan secara adil dan merata, zakat harus diambil dari orang kaya untuk dibagikan kepada orang-orang miskin. Untuk mencapai tujuan ini Khalifah Umar, membuat berbagai kebijaksanan politik, yaitu dengan menambah jenis barang yang wajib dizakati bila dirasa perlu dan menghilangkannya jika dianggap sudah tidak relevan lagi bagi struktur perpajakan pada sewaktu-waktu, seperti telah dijelaskan diatas mengenai contoh zakat yang dikembangkan pada pemerintahan Khalifah Umar. Umar menetapkan sangsi yang sangat tegas bagi orang-orang kaya yang tidak mau mengeluarkan zakat. Permasalahan mengenai orang-orang kaya yang tidak mau membayar zakat telah ada pada periode pemerintahan Rasulullah Saw. dan Abu Bakar. Pada masa Rasulullah orang-orang yang tidak mau membayar zakat dikenakan denda sebesar 50% dari seluruh jumlah kekayaannya, sebagaimana yang dinyatakan oleh Rasulullah: “orang-orang yang tidak mau membayar zakat, akan saya ambil zakatnya setengah dari seluruh kekayaannya.”
Pemerintahan Khalifah Abu Bakar merupakan pemerintahan yang disibukkan dengan perang Riddah, yaitu perang untuk menumpas orangorang yang tidak mengakui otoritas pemerintahan Madinah dan orangorang yang tidak mau membayar zakat. Khalifah Abu Bakar mengingatkan orang-orang yang tidak mau membayar zakat dengan mengatakan: “Demi Allah, akan saya perangi mereka yang membedakan antara kewajiban ibadah dan kewajiban membayar zakat, karena zakat berurusan dengan harta benda. Ya Allah, jika mereka menghindari kewajiban mereka membayar zakat kepada saya, walaupun hanya seekor anak kambing, yang seharusnya itu telah mereka bayar kepada Rasulullah, saya akan perangi mereka – saya akan perangi mereka karena penolakkannya itu….”93 Ketegasan Rasulullah Saw. dan Khalifah Abu Bakar dalam menghadapi orang-orang yang menghambat sumber kesejahteraan (zakat) masyarakat Madinah menjadi rujukan Khalifah Umar Bin Khattab, ketika memimpin negara Madinah. Khalifah Umar mengaplikasikan hukuman bagi para pembangkang zakat seperti yang telah dijalankan oleh Rasulullah dan Abu Bakar. Pendapatan ini didistribusikan di tingkat lokal dan jika terdapat surplus, sisa pendapatan tersebut di simpan di baitul mal pusat dan dibagikan kepada delapan ashnaf, seperti yang telah ditentukan dalam AlQur’an. b. Pendapatan khums dan sedekah.
93
Irfan, Sistem Ekonomi Pemerintahan Umar, h. 87-88.
Khumus adalah pajak yang dikumpulkan dari berbagai jenis ghanimah, terutama dipungut dari tabungan konsumen dan keuntungan produsen, 20 persen dari dana yang terkumpul setiap tahunnya berupa khumus. Pendapatan ini didistribusikan kepada para fakir miskin atau untuk membiayai kesejahteraan mereka tanpa membedakan apakah ia seorang Muslim atau non-Muslim. Dalam sebuah riwayat, di perjalanan menuju Damaskus, Khalifah Umar bertemu dengan seorang Nasrani yang menderita penyakit kaki gajah. Melihat hal tersebut, Khalifah Umar segera memerintahkan pegawainya agar memberikan dana kepada orang tersebut yang diambilkan dari hasil pendapatan sedekah dan makanan yang diambil dari persediaan untuk para petugas.94 Peristiwa
di
atas
merupakan
contoh
adanya
nilai-nilai
kesejahteraan dalam kepemimpinan Khalifah Umar, dan merupakan kebijakan kesejahteraan berupa jaminan kesehatan bagi warga negaranya. Secara tidak langsung Khalifah Umar telah menerapkan nilai-nilai negara kesejahteraan (welfare state). c.
Pendapatan kharaj, fai, jizyah, ‘ushr (pajak perdagangan), dan sewa tanah. Kharaj atau pajak hasil bumi, adalah sejenis pajak yang dibebankan atas tanah yang dimiliki oleh non Muslim, yang berada di bawah kekuasaan pemerintahan Islam. Kharaj akan tetap dikenakan kepada non-Muslim walapun pada selanjutnya mereka memeluk Islam. Pajak jenis ini dibebankan atas tanah tanpa membedakan apakah
94
Azwar, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, h. 74.
pemiliknya anak-anak atau dewasa, orang merdeka atau budak, dan lakilaki atau perempuan.95 Khalifah Umar menentukan beban kharaj kepada tanah Sawad96 di Irak. Umar amat teliti mengenai jumlah kharaj yang dibebankan kepada para petani, misalnya, Umar melarang petugas pajak untuk memungut pajak melebihi kemampuan wajib pajak, sambil memperhatikan luas tanahnya. Kharaj hanya dibayar sekali dalam satu tahun, kendati lahan yang dimiliki warga negara Madinah bisa ditanami dan dipanen lebih dari satu kali dalam setahun. Sehingga pajak dari kharaj yang ada pada pemerintahan Umar tidak menjadi beban yang memberatkan bagi masyarakat yang berada di bawah kekuasan Madinah. Pendapatan Kharaj pada masa Umar jumlah begitu besar, jumlah kharaj dari Irak berkisar 86.000.000,- dirham setiap tahunnya, dan mengalami peningkatan pada tahun berikutnya menjadi 100.020.000,dirham. Sedangankan dari wilayah Mesir, jumlah kharaj berkisar 12.000.000,- dirham setiap tahunnya.97 Pendapatan
Baitul mal bisa
mencapai 160.000.000,- dirham dari pajak tanah setiap tahunnya.98 Sedangkan definisi jizyah seperti telah dijelaskan di atas adalah pajak yang dibebankan kepada orang-orang non-Muslim yang menetap di bahwah kekuasaan pemerintahan Islam. Pajak jizyah lebih berupa pengganti (kompensasi) bagi perlindungan yang diberikan kepada mereka, keluarga, dan harta miliknya oleh negara Madinah. Kemudian jizyah juga 95
Irfan, Sistem Ekonomi Pemerintahan Umar, h. 118-119. Sawad adalah nama sebuah wilayah di Irak, dan menjadi bagian dari wilayah kekuasaan negara Islam pada periode Khalifah Umar bin Khattab. 97 Irfan, Sistem Ekonomi Pemerintahan Umar, h. 126. 98 PSIK Universitas Paramadina, Negara Kesejahteraan dan Globalisasi, h. 59. 96
sebagai pajak pengganti tugas kemiliteran, karena orang-orang nonMuslim yang menjadi warga negara Madinah dibebaskan dari tugas kemiliteran (perang). Aplikasi pajak jizyah pada masa Khalifah Umar tidak jauh berbeda dengan yang diterapkan oleh Rasulullah dan Khalifah Abu Bakar. Dalam hal ini, Khalifah Umar tidak membebankan jizyah kepada; kaum wanita, anak-anak, orang-orang miskin, para budak dan rahib-rahib pun dibebaskan dari kewajiban pajak ini jika mereka miskin, tetapi bila kaya mereka tetap harus membayar. Pemerintahan Khalifah Umar sangat berlaku lemah lembut terhadap orang-orang miskin dan lemah, namun bersikap keras terhadp orang-orang kaya agar mereka tidak menghindar dari kewajiban membayar jizyah.99 Pembebasan pembayaran jizyah untuk orang-orang yang lemah dan miskin pada masa Khalifah Umar, dilatarbelakangi oleh peristiwa ketika Khalifah Umar berkunjung ke suatu tempat dan menjumpai seorang pengemis pria yang buta. Khalifah Umar bertanya kepada pengemis tersebut, siapa sebenarnya dirinya (pengemis), Kemudian pengemis tersebut menjawab dia adalah seorang Yahudi. Kemudian Khalifah Umar bertanya, apa yang telah memaksa dirinya untuk meminta-minta, dan ia menjawab
bahwa
yang
memaksa
dirinya
meminta-minta
adalah
kewajiaban membayar jizyah, kebutuhan ekonomi dan usia lanjut. Oleh sebab itu, Khalifah Umar memerintahkan petugas Baitul mal untuk membebaskan orang-orang non-Muslim yang lemah dan miskin dari
99
Irfan, Sistem Ekonomi Pemerintahan Umar, h. 100-101.
kewajiban membayar jizyah, dan menetapkan bantuan bagi mereka setiap tahunnya dari Baitul mal.100 Perbedaan pengaplikasian jizyah pada masa Khalifah Umar dengan masa Rasulullah dan Abu Bakar, terletak pada besarnya jumlah jizyah yang harus dibayar oleh non-Muslim. Jumlah pembayaran jizyah pada masa Khalifah Umar dinaikkan satu dinar. Pembayaran jizyah bagi setiap orang dalam setahun, menjadi empat dinar bagi orang-orang kaya dan dua dinar untuk kelas menengah. Sumber lain pendapatan negara pada pemerintahan Khalifah Umar adalah fai, yaitu harta rampasan perang (ghanimah) yang didapat tanpa adanya perlawanan dari musuh. Harta rampasan perang merupakan sumber pendapatan negara yang fungsinya tidak kalah penting dengan sumbersumber pendapatn negara lainnya. Apapun jenis barang harta rampasan perang harus dibagikan sesuai dengan aturan yang telah berlaku sejak masa Rasulullah. Pada Masa Khalifah Umar, tanah-tanah yang berasal dari fai sangat luas, sehingga pada selanjutnya tanah-tanah tersebut dikuasai oleh negara, namun penduduknya diberikan hak untuk mengelola dengan sistem sewa tanah. Khalifah Umar tidak membagi-bagikan tanah-tanah fai, dikarenakan kekhwatirannya mengenai timbulnya kesejahteraan yang tidak merata. Untuk harta umat dari ghanimah Umar mempergunakannya sesuai dengan ayat Al-Qur’an sebagai berikut:
100
Afzalur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam, dengan judul asli buku “Economic Doctrines of Islam,” Jilid 1 (Yogyakarta: P.T Dana Bhakti Wakaf, 1995), h. 174-175.
+☺w@ j ¢☺{ v GTs( K¤⌧ 4) kD☺£⌧
< $N¥ 8&Ff
]S 8+☺ 2kf n CIy>1 N+☺f k£Km TF CWR3
2) n k£2) K 2@E32% 8 2% Hf2]@ 2¦2X CT S&hf 2¦2X 1 CT +D☺+f
.F2kf
K¤⌧ CYW&t 8 2% AC XES Artinya: “ketahuilah, Sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh sebagai rampasan perang, Maka Sesungguhnya seperlima untuk Allah, rasul, Kerabat rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan ibnussabil, jika kamu beriman kepada Allah dan kepada apa yang Kami turunkan kepada hamba Kami (Muhammad) di hari Furqaan, Yaitu di hari bertemunya dua pasukan. dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (Q.S. Al Anfal ayat 41) ‘ushr merupakan suatu jenis pajak perdagangan yang dikenakan kepada para pedagang yang melakukan aktivitas perdagangan di wilayah kekuasaan pemerintahan Islam. Penetapan pajak atas perdagangan pada masa Khalifah Umar dilatar belakangi oleh peristiwa ketika orang-orang Manbij (orang-orang harabi) yang meminta izin kepada Khalifah Umar untuk diperbolehkan berdagang di negara Muslim dengan membayar sepersepuluh dari nilai barang. Setelah berkonsultasi dengan para sahabat, Khalifah Umar menyetujui permintaan orang-orang Manbij. Tetapi, ada peristiwa khusus yang melatar belakangi diberlakukannya ‘ushr oleh Khalifah Umar, yaitu ketika Abu Musa Al-Asy’ari menulis surat kepada Khalifah Umar yang menyatakan bahwa para pedagang Muslim yang melakukan aktivitas perdagangan di tanah harabi dikenakan pajak
sepersepuluh dari total dagangan mereka. Khalifah Umar memerintahkan kepada para pejabatnya agar para pedagang non-Muslim yang memasuki wilayah kekuasaan umat Islam juga harus dibebankan pajak seperti yang dibebankan kepada para pedagang Muslim di negeri-negeri asing.101 Pajak ‘ushr ini dibebankan hanya satu kali dalam setahun, dan dengan asumsi bahwa barang yang diperdagangkan jumlahnya melebihi 200 dirham. Sedangkan jumlah pajak yang harus dibayar adalah 2,5 % untuk para pedagang Muslim, 5% untuk para pedagang kafir dzimmi, dan 10% untuk para pedagang kafir harabi. Khalifah Umar juga melarang para petugas pajak untuk mengambil ‘ushr lebih dari satu kali dalam satu tahun. Pendapatan negara ini didistribusikan untuk membayar dana pensiun dan dana bantuan, serta untuk menutupi biaya oprasional administrasi, kebutuhan militer, dan sebagainya.
d. Pendapatan lain-lain. Pendapatan ini digunakan untuk membayar para pekerja, pemeliharaan anak-anak terlantar, dan dana sosial lainnya.
D. Jaminan Sosial Pada Era Pemerintahan Umar Dalam menciptakan kesejahteraan, Islam lebih menekankan pada orientasi spiritual dalam usaha-usaha material dan menciptakan keselarasan antara dorongan lahir dan batin individu maupun kelompok. Dengan demikian Islam sangat menjungjung tinggi aspek spiritual dan material kehidupan manusia,
101
Azwar, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, h. 71.
sebagai sumber kekuatan bersama serta menjadikannya sebagai tonggak kesejahteraan dan kebahagiaan umat manusia.102 Di dalam model negara kesejahteraan Islam (Islamic Welfare State), sedikitnya ada dua mekanisme yang membuat negara kesejahteraan Islam beroperasi, yaitu melalui pajak dan jaminan sosial. Pajak yang dimaksud adalah sumber-sumber pendapatan negara Islam yang disimpan di Baitul mal. Sedangkan jaminan sosial adalah skema-skema yang berupa tunjangan-tunjagan atau pelayanan sosial yang diberikan oleh negara Islam kepada orang-orang yang berhak mendapatkannya.103 Menurut beberapa ahli, baik Islam maupun non-Islam berpendapat bahwa memberikan jaminan terhadap berbagai macam malapetaka yang dialami masyarakat adalah sebagian dari tugas negara, misalnya; pengangguran, cacat yang diakibatkan suatu penyakit atau kecelakaan, ancaman kelaparan yang mengakibatkan kematian dan sebagainya. Kemudian apabila negara tidak mampu membantu orang-orang yang terlemahkan seperti orang miskin, fakir, orang sakit atau cacat dan lain sebagainya, maka negara (pemerintah) tidak berhak untuk menuntut kepada masyarakat untuk mematuhi yang berlaku. Dengan alasan pemerintah sudah tidak pantas lagi menduduki posisi sebagai wakil rakyat. Kemudian jika negara memiliki sumber dana yang sangat minim dalam mencapai sebuah tujuan, maka negara berkewajiban untuk mencari jalan dan sarana untuk tersedianya dana untuk menghadapi situasi yang dihadapi.104
102
Umer Chapra, Negara Kesejahteraan Islami, h. 28. Edi, Islam dan Negara Kesejahteraan. 104 Azalur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam, dengan judul asli buku “Economic Doctrines of Islam,” Jilid 4 (Yogyakarta: P.T Dana Bhakti Wakaf, 1996), h. 305-306. 103
Ketika negara-negara Eropa belum memiliki asuaransi pengangguran (unemployment insurance) hingga akhir abad ke-19, dunia Islam telah memilikinya sejak awal berdirinya negara Madinah. Negara Madinah memberikan jaminan sosial kepada orang-orang yang cacat atau orang-orang yang kehilangan kemampuannya untuk mencari nafkah, mereka dan keluargannya kemudian menjadi tanggungan negara untuk memastikan bahwa kebutuhan dasarnya terpenuhi. Tunjangan yang diberikan bersumber dari dana publik atau Baitul mal. Beberapa jaminan sosial yang dibuat pada masa Khalifah Umar bin Khattab masih bersifat fleksibel dan terbuka bagi perkembangan dan penyesuaian.105 Pada masa Khalifah Umar bin Khattab, mutualitas dan unit-unit asuransi diatur berdasaran profesi, administrasi militer atau sipil, serta wilayah. Pemerintah pusat atau provinsi memberikan bantuan dan dukungan dana terhadap unit-unit tersebut berdasarkan peraturan anggaran belanja negara yang telah ditetapkan. Asuransi pada masa Khalifah Umar sudah mencerminkan prinsip gotong royong dalam meringankan resiko-resiko yang dihadapi oleh anggota masyarakat seperti prinsip asuransi modern saat ini. Tetapi, berbeda dengan perusahaan asuransi kapitalistik, asuransi Islam mengatur mekanismenya berdasarkan prinsip kebersamaan dan kerja sama yang saling menguntungkan yang ditopang oleh gradasi piramid unit-unit asuransi yang kemudian memuncak di pemerintahan pusat. Prestasi gemilang lain Khalifah Umar dalam menciptakan kesejahteraan, adalah ia berhasil menciptakan skema asuransi pensiun. Asuransi ini mencakup semua warga negara yang berada dibawah pemerintahan negara madinah, baik
105
Edi, Islam dan Negara Kesejahteraan.
yang Muslim atau non-Muslim. Bahkan seorang bayi semenjak dilahirkan telah memiliki hak untuk memperoleh asuransi pensiun. Sedangkan untuk orang dewasa, mereka memperoleh tunjagan minimum yang cukup untuk memenuhi kebutuhan dasarnya dari negara. Pengeluaran negara Madinah pada masa Umar banyak
diprioritaskan
untuk
dana
pensiun,
pertahanan
negara,
dan
pembangunan.106 Model negera kesejahteraan Islam (Islamic welfare state), yang diciptakan oleh Khalifah Umar, tidak hanya mampu membuat skema-skema jaminan sosial atau pelayanan sosial. Tetapi, untuk mendukung skema-skema kesejahteraan yang dibuat oleh Khalifah Umar, agar bisa memenuhi kebutuhan dasar hidup warga negaranya, Umar berhasil membuat sistem untuk menentukan standar minimum yang kelak menjadi rujukan dalam membuat garis kemiskinan (poverty line made). Saat itu, orang-orang miskin selain menerima tunjagan uang, mereka juga menerima 50 kg terigu setiap bulannya.107 Negara kesejahteraan menurut orang-orang kapitalis, hanya akan menciptakan masyarakat yang malas, karena keterlenaan mereka terhadap jaminan sosial dan layanan sosial yang diberikan oleh negara. Sehingga negara-negara yang berhaluan kapitalis, seperti Amerika Serikat, Australia, Inggris dan lainnya, walaupun mereka menerapkan sistem negara kesejahteraan, tetapi mereka menciptakan skema-skema kesejahteraan yang terbatas. Selain itu, negara-negara tersebut menganggap bahwa kesejahteraan warga negaranya bisa diserahkan kepada swasta, dengan alasan untuk menghindari krisis keuangan negara. Karena
106 107
PSIK Universitas Paramadina, Negara Kesejahteraan dan Globalisasi, h. 58. Edi, Islam dan Negara Kesejahteraan.
keuangan negara akan habis bila negara terus-menerus menciptakan skema jaminan sosial atau layanan sosial. Negara Kesejahteraan Islam yang dipraktekan Khalifah Umar, tidak hanya bertujuan untuk membantu rakyat miskin. Tujuan utamanya adalah untuk membangkitkan perekonomiaan warga negara Madinah selama meraka berada dalam kesulitan ekonomi yang diakibatkan, karena pengangguran, dan hal-hal yang membuat mereka tidak mampu mencari nafkah. Untuk menghindari ketergantungan, mengemis dan malas-malasan tidak diberi toleransi. Mereka yang menerima bantuan sosial dari negara diupayakan untuk dapat memberikan kontribusi kepada negara dan masyarakat.
Khalifah Umar melarang warga
negaranya untuk bergantung pada negara dan berhenti mencari nafkah selama mereka mampu dan sehat, Umar mengatakan kepada rakyatnya: “Jangan ada diantara kalian yang melepaskan diri dari usaha mencari nafkah sambil berkata, Ya, Allah berilah aku ketabahan hidup.’ Karena tidak mungkin langit menjatuhkan emas dan perak,” dan “carilah kekayaan Allah dan jangan menjadi beban bagi orang lain….” 108 Berdasarkan penjelasan di atas, bahwa Islam memiliki model negara kesejahteraan yang memiliki perbedaan dengan negara kesejahteraan yang dipraktekkan di Barat. Sistem negara kesejahteraan bukan sesuatu yang baru dalam politik Islam. Sebelum negara-negara Barat menerapkan model negara kesejahteraan, dunia Islam telah mempraktikannya lebih dahulu.
108
Umer Chapra, Negara Kesejahteraan Islami, h. 33.
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Dari penjelasan bab-bab terdahulu dan untuk mengetahui pembahasan dalam skripsi ini, penulis membuat beberapa kesimpulan. Kesimpulan mengenai bagaimana model negara kesejahteraan dalam kepemimpinan Umar bin Khattab, sebagai berikut: 1. Luasnya wilayah kekuasaan pemerintahan Islam pada periode Khalifah Umar bin Khattab, tidak menjadi hambatan bagi Umar untuk memberikan peranan yang lebih besar dalam pembangunan kesejahteraan sosial warga negaranya. 2. Banyaknya wilayah-wilayah yang berhasil ditaklukkan oleh pemerintahan Islam pada masa Khalifah Umar bin Khattab berdampak pada meninggkatnya pendapatan negara Madinah secara signifikan. Sehingga Umar menetapkan kebijakan-kebijakan politik untuk mengatur sistem administrasi kenegaraannya, khususnya dengan membangun lembaga Baitul mal secara permanen, dan mendirikan cabang-cabang Baitul mal di tingkatan provinsi sebagai usaha untuk menciptakan kesejahteraan sosial secara merata di seluruh wilayah pemerintahan Islam yang dipimpinnya. Kemudian Umar juga mendirikan Al-diwan (kantor) sebagai lembaga untuk mengatur tunjangan-tunjangan dan pensiunan tentaranya. 3. Bahwa Khalifah Umar bin Khattab, telah berhasil menyempurnakan model negara kesejahteraan yang dahulu dipraktekkan oleh Rasulullah Saw. dan Khalifah Abu Bakar. Hal ini, terlihat dari peran dan tata cara Umar dalam
menggelola kekayaan negara yang disimpan di Baitul mal, yang tidak lain digunakan untuk menciptakan skema-skema kesejahteraan berupa jaminan sosial dan pelayanan sosial. Sehingga negara Madinah pada periode Khalifah Umar bin Khattab merupakan sebuah model negara kesejahteraan Islam, karena selain mengandung prinsip-prinsip negara kesejahteraan, ajaran Islam dijadikan sebagai dasar landasan bagi model negera kesejahteraan Islam. 4. Jaminan sosial pada masa Khalifah Umar diberikan kepada warganya secara komprehensif, dalam arti semua warga negara yang Muslim dan non Muslim mendapatkan jaminan sosial dari negara tanpa adanya diskriminasi. Umar juga tidak menetapkan peraturan pajak yang memberatkan bagi warga negaranya, bahkan bagi orang-orang yang miskin dibebaskan dari kewajiban membayar pajak-pajak yang ditetapkan oleh negara. 5. Negera kesejahteraan (welfare state) yang dipraktekan di negara-negara Barat, memiliki perbedaan dengan model negara kesejahteraan Islam (Islamic welfare state model) yang dipraktekkan Khalifah Umar dalam menentukan ukuran kesejahteraan seseorang. Kesejahteraan di negara Barat hanya didasarkan pada aspek materil saja, sedangkan dalam negara kesejahteraan Islam, kesejahteraan seseorang dilihat dari aspek materil dan spiritual.
B. Saran-saran Sungguh amat disayangkan, ketika negara-negara Barat berlomba-lomba menciptakan skema-skema kesejahteraan sosial bagi warga negaranya. Akan tetapi, negara-negara Muslim malah berbalik meninggalkannya. Hal ini terlihat dari tata cara atau kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh negara-negara Muslim yang tidak mengacu pada upaya pembangunan kesejahteraan. Sedikitnya anggaran negara yang dikeluarkan oleh negara-negara Muslim bagi pelayanan sosial adalah bukti lainnya, bahwa mereka sudah tidak lagi menjadi negara-negara “budiman”, yakni negara yang mencurahkan kekuasaannya untuk kepentingan rakyat. Penerapan welfare state pada masa kekhalifahan Umar bin Khattab yang kini diadopsi negara-negara Barat, merupakan referensi yang berharga yang telah dilupakan oleh negara-negara Muslim. Jika di negara-negara Barat, orang miskin, jompo, cacat, anak-anak, dan kelompok rentan mendapatkan perhatian dan perlindungan sosial dari negara secara komprehensif sebagaimana diajarkan Islam. Sedangkan di negara-negara Muslim jaminan sosial bagi kelompokkelompok kurang beruntung seringkali hanya diberikan secara sporadis. Kondisi ini pernah disinggung oleh Muhammad Abduh, ia mengatakan: “Di Barat saya sering melihat Islam tanpa Muslim, tetapi di Timur, saya banyak menjumpai Muslim tanpa Islam.” Harapan penulis, tema tentang kesejahteraan di negaranegara Muslim mudah-mudahan tidak hanya menjadi istilah yang selalu mewarnai debat politik, pidato kenegaraan, dan lain-lainnya, akan tetapi menjadi sebuah praktek yang dijalankan secara konsisten.
DAFTAR PUSTAKA
Abbas, Sirojudin. “Sintesa Islam dan Kesejahteraan Sosial: Eksperimentasi Pendidikan Kesejahteraan Sosial di UIN Jakarta,” dalam Kusmana, ed., Bunga Rampai Islam dan Kesejahteraan Sosial. Jakarta: IAIN Indonesia Social Equity Project, 2006. Ayoub, Mahmoud M. The Crisis of Muslim History. Bandung: Mizan Pustaka, 2004. Cet. Ke-1. Aqqad, Abbas Mahmud. Keagungan Umar bin Khatta. Solo Pustaka Mantiq, 1993. Cet. Ke-2. ----------------------. Kejeniusan Umar bin Khaththab. Jakarta: Pustaka Azzam, 2002. Cet. Ke-1. Amiruddin, M. Hasbi. Konsep Negara Islam Menurut Fazlur Rahman. Yogyakarta: UII Press, 2006. Anwar, Hamdani, “Masa al-Khulafa ar-Rasyidun,” Dalam M. Din Syamsuddin, at all, ed. Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, vol. II. Jakarta: P.T Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002. Chapra, M. Umer. Islam dan Tantangan Ekonomi. Jakarta: Gema Insani Press, 2000. Cet. Ke-1. Chapra, M. Umer. “Negara Kesejahteraan Islami dan Peranannya Di Bidang Ekonomi,” Dalam Ainur Rofiq, ed., Etika Ekonomi Politik: Elemenelemen Strategis Pembangunan Masyarakat Islam. Surabaya: Risalah Gusti, 1997. Dagun, Save M. Kamus Besar Ilmu Pengetahuan. Jakarta: LPKN, 2000. Fakih, Mansour. Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi. Yogyakarta: InsistPress dan Pustaka Pelajar, 2002. George, Vic dan Wilding, Paul, Ideologi dan Kesejahteraan Rakyat, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1992. Giddens, Anthony. Jalan Ketiga: Pembaruan Demokrasi Sosial. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002. Cet. Ke-4. Haikal, Muhammad Husein. Umar bin Khattab. Jakarta: Pustaka Litera AntarNusa, 2002. Hasjmy, A. Di Mana Letaknya Negara Islam. Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1984. Herzt, Noreena. Perampok Negara: Kuasa Kafitalisme Global dan Matinya Demokrasi. Yogyakarta: Alinea, 2005.
Ja’fariyan,Rasul. Sejarah Khilafat. Jakarta: Al-Huda, 2006. Karim, Adiwarman Azwar. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2004.Cet. Ke-3. Kencana, Inu. Ilmu Pemerintahan dan Al Qur’an. Jakarta: Bumi Aksara, 1995. Mufrodi, Ali. Islam Di Kawasan Kebudayaan Arab. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997. Naqvi, Syed Nawab Haider. Etika dan Ilmu Ekonomi: Suatu Sintesis Islam. Bandung: Mizan, 1985. Penyusun Deawan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, vol. V. Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994. Petras, James dan Veltmeyer, Henry. Imperialisme Abad 21. Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2002. Cet. Ke-1. Pusat Pengkajian dan Pembangunan Ekonomi Islam (P3EI), Ekonomi Islam. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2008. Cet. Ke-1.
Ra’ana, Irfan Mahmud. Sistem Ekonomi Pemerintahan Umar Ibn Al-Khatab., Jakarta: Pustaka Firdaus, 1990. Rahman, Afzalur. Doktrin Ekonomi Islam. Jilid 1. Yogyakarta: P.T Dana Bhakti Wakaf, 1995. --------------------. Doktrin Ekonomi Islam. Jilid 4. Yogyakarta: P.T Dana Bhakti Wakaf, 1996. Saepudin, Didin. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Jakarta dengan UIN Prss, 2007. Sou’yb, Joesoef. Sejarah Daulat Khulafaur Rasyidin. Jakarta: Bulan Bintang, 1979. Cet. Ke-1. Taufiqurrahman. Sejarah Sosial Politik Masyarakat Islam. Surabaya: Pustaka Islamika Press, 2003. Tim Peneliti PSIK Universitas Paramadina. Negara Kesejahteraan dan Globalisasi: Pengembangan Kebijakan Dan Perbandingan Pengalaman. Jakarta: PSIK Universitas Paramadina, 2008. Triwibowo, Darmawan dan Bahagijo, Sugeng. Mimpi Negara Kesejahteraan. Jakarta: LP3ES, 2006.
Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1997. Cet. Ke-6.
Literatur Internet Departemen Keuangan Republik Indonesia, Artikel diakses pada tanggal 16 November 2008 dari situs http://www.depkeu.go.id/Ind/Organization/TugasFungsi.htm Hambali, Muhammad. “Paradigma Sistem Kapitalisme dan Islam Tentang Welfare State.” Artikel diakses pada 12 September 2008 dari http://marx83.wordpress.com/2008/08/09/paradigma-sistem-kapitalisme-danislam-tentang-welfare-state/ Halim, Abdul Muhammad. “Mengkaji Peran Negara Dalam Pembangunan Kesejahteraan Sosial Di Indonesia.” Artikel diakses pada 25 September 2008 dari http://penaimm.com/index.php?option=com_content&task=view&id=16&Itemid= 9 Negara dan Kesejahteraan. artikel diakses pada 6 September 2008 dari http://www.inilah.com/berita/2008/07/24/40004/negara-dan-kesejahteraan/ Suharto, Edi. “Islam dan Negara Kesejahteraan.” Artikel diakses pada tanggal 25 September 2008 dari http://www.policy.hu/suharto/Naskah20%PDF/IslamNegaraKesejahteraan.pdf
---------------. “Negara Kesejahteraan dan Reniventing Depsos.” Artikel diakses pada 6 September 2008 dari http://209.85.175.104/search?q=cache:gBlPSii64oJ:www.depsos.go.id/modules.p hp%3Fname%3DDownloads%26d_op%3Dgetit%26lid%3D24+sejarah+lahir+neg ara+kesejahteraan&hl=id&ct=clnk&cd=5&gl=id
---------------. “Peta dan Dinamika Welfare State Di Beberapa Negara.” Artikel diakses pada tenggal 12 September 2008 dari situs:http://www.policy.hu/suharto/naskah%20PDF/UGMWelfareState .pdf