IV.B.5.Urusan Wajib Penataan Ruang
5. URUSAN PENATAAN RUANG Peningkatan kebutuhan ruang semakin bertambah sejalan dengan pertumbuhan ekonomi penduduk dan aktivitas penduduk, sementara itu keberadaan lahan tetap dan terbatas. Akibatnya terdapat konflik kepentingan lahan untuk mengakomodasi berbagai kebutuhan ruang penduduk. Oleh karena itu, diperlukan upaya penataan pada ruang yang tetap dan terbatas agar dapat mengakomodasi kebutuhan pembangunan yang ada secara serasi antara untuk kepentingan kawasan lindung dan kawasan budidaya serta efisiensi dalam alokasi investasi. Di samping itu, penataan ruang merupakan isu strategis dalam pembangunan wilayah dikarenakan semua kegiatan pembangunan khususnya yang memanfaatkan ruang harus mengacu pada rencana tata ruang dan menjadi salah satu jawaban dari persolan wilayah kabupaten yang semakin kompleks baik ekonomi maupun lingkungan. Melalui penataan ruang, pembangunan di daerah diharapkan dapat diselenggarakan secara terpadu baik lintas sektor, lintas wilayah, maupun lintas pemangku kepentingan agar terwujud ruang yang aman, nyaman, produktif dan berkelanjutan. Penataan ruang ini merupakan suatu sistem proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang. Urusan penataan ruang daerah menjadi salah satu urusan wajib dan penting dilakukan Pemerintah daerah untuk menata ruang-ruang yang ada secara cerdas dan peduli terhadap penataan ruang. Hal tersebut selaras dengan strategi dan kebijakan yang tercantum dalam RPJMD Kabupaten Wonosobo 2010-2015 yang dalam misi “meningkatkan kemajuan pembangunan menuju kemandirian daerah” menyebutkan salah satu strategi dan arah kebijakannya yaitu dengan penyusunan rencana makro dan rencana rinci tata ruang. Hal tersebut didasari juga pada salah satu isu strategis RPJMD dalam ranah lingkungan hidup terdapat sub isu “pertanahan dan tata ruang”. Terjadinya alih fungsi lahan pertanian menjadi lahan pemukiman yang tidak terkendali akan semakin menurunkan ketahanan pangan baik daerah maupun nasional. Selain itu masih adanya pemanfatan ruang yang tidak sesuai dengan peruntukannya karena kurangnya pemahaman, ketaatan, serta kedisiplinan masyarakat. Konsolidasi kebijakan penanganan dan pemanfaatan tanah untuk kepentingan umum secara menyeluruh dan pengelolaan tata ruang secara terpadu perlu dilakukan untuk mengantisipasi dampak yang kontra produktif dalam pembangunan. Kemudian jika dikaitkan dengan isu strategis pembangunan infrastruktur dalam RPJMD, salah satu program prioritas adalah peningkatan prasarana publik melalui kebijkan penanganan dan pemanfataan tanah untuk kepentingan umum secara menyeluruh dalam pengelolaan tata ruang secara terpadu. Untuk mendukung pelaksanaan urusan penataan ruang daerah, pada tahun 2013 telah dialokasikan anggaran untuk pelaksanaan program-program yang dijabarkan dalam berbagai kegiatan di bidang penataan ruang.
a. Program dan Kegiatan Pada dasarnya urusan penataan ruang terdiri dari program perencanaan tata ruang, program pemanfaatan ruang dan program pengendalian pemanfaatan ruang. RPJMD baru menfokuskan pada penyusunan rencana makro dan mikro tata ruang. Jika pada tahun 2011 (tahun kedua RPJMD) telah dicapai penyusunan rencana makro yaitu rencana tata ruang wilayah (RTRW) Kabupaten Wonosobo yang telah dilegalisasi melalui peraturan daerah. Untuk tahun-tahun selanjutnya terkait program perencanaan tata LKPJ 2013 Bab IV – Penyelenggaraan Urusan Pemerintahan Daerah
76
IV.B.5.Urusan Wajib Penataan Ruang
ruang diarahkan pada penyusunan rencana rinci tata ruang sebagai operasionalisasi RTRW yaitu dengan penyusunan Rencana detail tata ruang (RDTR). Pada tahun 2013 ini dapat dikatakan menjadi titik awal perkembangan program urusan penataan ruang karena adanya perkembangan dinamika penataan ruang wilayah dan geliat semangat SKPD DPU yang ikut andil dalam usaha menata ruang bersama dengan Bappeda yang selama ini menjadi leading sector penataan ruang. Peningkatan perhatian Pemerintah Kabupaten pada urusan penataan ruang diwujudkan dengan alokasi anggaran APBD Kabupaten Wonosobo 2013 Rp 3.328.220.000. Alokasi tersebut naik sekitar 674% dari alokasi anggaran urusan penataan ruang pada tahun 2012. Jika pada tahun 2012 hanya ada satu (1) program urusan penataan ruang yaitu program perencanaan tata ruang, maka pada tahun 2013 ini telah ditambahkan alokasi anggaran untuk program pemanfaatan ruang serta program pemanfaatan pengendalian ruang yang juga dijabarkan dalam berbagai kegiatan. Berdasarkan perhitungan pada akhir tahun anggaran, dari alokasi tersebut telah terealisasi sejumlah Rp 3.240.541.800 atau 0,33% dari total realisasi belanja Kabupaten Wonosobo tahun 2013 yang berjumlah Rp 988.103.772.409,00
Tabel IV.B.5.1 Program, Alokasi dan Realisasi Anggaran Urusan Penataan Ruang Tahun 2013 No.
Program
A
Belanja Langsung
1
Program Perencanaan Tata Ruang a.
b.
Penyusunan Rencana Detail Tata Ruang (RTDR) dan Studi Kebencanaan Fasilitasi Raperda RDTRK
c.
2
Fasilitasi Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah d. Review Penyusunan RDTR KawasanPerkotaan Program Pemanfaatan Ruang a. b.
3
Penyusunan Peraturan Zonasi ( Zoning Regulation) Identifikasi Pemanfaatan Ruang
Alokasi (Rp)
Realisasi (Rp)
3.328.220.000
3.240.541.800
575.000.000
549.155.800
400.000.000
396.816.000
50.000.000
36.012.800
25.000.000
21.084.000
100.000.000
95.243.000
103.000.000
100.721.000
51.500.000
49.974.000
51.500.000
50.747.000
2.650.220.000
2.590.665.000
30.220.000
30.149.000
2.620.000.000
2.560.516.000
B
Program Pengendalian Pemanfaatan Ruang a. Penyusunan prosedur dan manual pengendalian pemanfaatan ruang b. Penataan Taman Makam Pahlawan Belanja Tidak Langsung
-
-
1
Belanja Gaji dan Pegawai
-
-
Gaji dan Tunjangan
-
-
Tambahan Penghasilan
-
-
Insentif Pajak/Retribusi Daerah
-
-
LKPJ 2013 Bab IV – Penyelenggaraan Urusan Pemerintahan Daerah
77
IV.B.5.Urusan Wajib Penataan Ruang
No.
Program
Alokasi (Rp)
Realisasi (Rp)
2
Belanja Hibah dan Bantuan Sosial
-
-
3
Belanja Tak Terduga
-
-
3.328.220.000
3.240.541.800
Jumlah Total
Sumber: APBD Kabupaten Wonosobo Tahun 2013 (diolah)
Berdasarkan tabel di atas, dapat terlihat bahwa alokasi anggaran porsi terbesar pada kegiatan Penataan Taman Makam Pahlawan yang mencapai 79% dari total alokasi anggaran untuk penataan ruang. Hal ini memang wajar karena kegiatan tersebut lebih mengarah pada implementasi fisik pembangunan ruang terbuka hijau perkotaan bernilai historis yang sudah terlihat nyata dan menjadi “ikon” baru wajah masuk kota Wonosobo dari sisi timur. Kegiatan tersebut merupakan perwujudan pembangunan fisik dari dokumen perencanaan tata ruang studi penataan taman makam pahlawan yang dilakukan pada tahun 2012. Alokasi terbesar kedua, yaitu pada program perencanaan tata ruang yang memang rutin dilaksanakan. Selanjutnya, hal baru dalam penataan ruang selain kegiatan penataan taman makam pahlawan adalah penyusunan peraturan zonasi; identifikasi pemanfaatan ruang (program pemanfaatan ruang) serta penyusunan prosedur dan manual pengendalian pemanfaatan ruang (program pengendalian pemanfaatan ruang). Kedua program terakhir tersebut baru dianggarkan kegiatannya mulai tahun 2013. Adapun ketiga dokumen tersebut menjadikan “Perkotaan Mojotengah” sebagai wilayah kajian yang dijadikan “pilot project” penyusunan dokumen yang terintegrasi dalam satu wilayah kajian. Pemilihan lokasi kajian didasarkan pada kondisi eksisting perkotaan Mojotengah yang masih belum tertata dengan optimal, keberadaan salah satu perguruan tinggi swasta unggulan Wonosobo, dan juga untuk dijadikan salah satu bahan revisi dokumen RDTR kawasan perkotaan Mojotengah yang disusun pada tahun 2010 untuk disesuaikan lagi dengan pedoman Menteri PU No 20/PRT/M/2011 tentang Pedoman Penyusunan RDTR dan Peraturan Zonasi. b. Realisasi Program dan Kegiatan b.1. Program Perencanaan Tata Ruang Program perencanaan tata ruang mengedepankan suatu proses untuk menentukan struktur ruang dan pola ruang yang meliputi penyusunan dan penetapan rencana tata ruang. Hasi pada program ini lebih banyak berupa dokumen akdemis yang digunakan sebagai bahan perumusan kebijakan penataan ruang. Hirarki rencana tata ruang pada lingkup wilayah kabupaten yaitu RTRW Kabupaten sebagai rencana makro dan diturunkan pada rencana rinci berupa RDTR kecamatan dan atau RDTR kawasan strategis. Pada tahun 2013, program perencanaan tata ruang, masih difokuskan pada upaya untuk penyusunan studi rencana rinci melalui kegiatan “Penyusunan Rencana Detail Tata Ruang Dan Studi Kebencanaan” yang dijabarkan pada paket pekerjaan penyusunan RDTR Kecamatan Garung; Penyusunan RDTR Kecamatan Sukoharjo; Pemetaan Kerentanan Gerakan Tanah Wilayah Sukoharjo dan Watumalang. Selain itu, karena dengan adanya aturan pedoman terbaru, yaitu Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No 20/PRT/M/2011 tentang Pedoman
LKPJ 2013 Bab IV – Penyelenggaraan Urusan Pemerintahan Daerah
78
IV.B.5.Urusan Wajib Penataan Ruang
Penyusunan RDTR dan Peraturan Zonasi, juga dialokasikan anggaran untuk Review Penyusunan RDTR Kawasan Perkotaan (Wonosobo). Hasil dari kegiatan ini masih berupa dokumen hasil studi yang nantinya akan dikaji lebih mendalam lagi untuk dirumuskan kedalam rancangan peraturan daerah tentang rencana detail tata ruang (RDTR). Dalam legalisasi raperda RDTR membutuhkan waktu dan proses yang panjang karena harus melibatkan dan koordinasi tentang materi substansi baik itu materi teknis dokumen akademik, dan materi raperda RDTR ke BKPRD Provinsi Jawa Tengah yang telah mendapatkan kewenangan pelimpahan pemberian persetujuan substansi Menteri yang membidangi penataan ruang, serta rekomendasi teknis aspek perpetaan dari instansi vertikal yang menangani yaitu Badan Informasi Geospasial (BIG) sebelum nantinya dibahas di DPRD Kabupaten. Untuk keperluan fasilitasi tersebut, pemerintah Kabupaten telah terbantu dengan adanya anggaran kegiatan Fasilitasi Raperda RDTRK, yang pada tahun 2013 lalu lebih banyak digunakan untuk asistensi, koordinasi dan fasilitasi, bimbingan teknis di tingkat provinsi maupun pusat. Meskipun demikian, Berdasarkan evaluasi dan dinamika perubahan kebijakan legalisasi raperda RDTR, di tingkat pusat dan provinsi, belum ada satu-pun raperda RDTR yang telah disusun Pemerintah kabupaten layak untuk dibahas di BKPRD Provinsi dalam rangka memperoleh persetujuan substansi. Selanjutnya secara tupoksi Organisasi Perangkat Daerah, urusan penataan ruang daerah berada di Bappeda dan juga DPU. Untuk kelembagaan ranah koordinatif dan teknis telah dijalankan Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah (BKPRD) Kabupaten Wonosobo, yang terbentuk pada tahun 2010 meskipun belum berjalan secara optimal. Selain dukungan dari APBD Kabupaten, pada program perencanaan Tata ruang juga difasilitasi Penyusunan Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan (RTBL) Kawasan Alun-Alun Wonosobo melalui Dirjen Penataan Ruang Kementerian PU. b.2. Program Pemanfaatan Ruang Program pemanfaatan pemanfaatan ruang merupakan upaya untuk mewujudkan struktur ruang dan pola ruang sesuai dengan rencana tata ruang melalui penyusunan dan pelaksanaan program beserta pembiayaannya. Melalui program ini, telah dialokasikan anggaran untuk kegiatan penyusunan peraturan zonasi (zoning regulation) dan identifikasi pemanfaatan ruang. Program ini termasuk hal yang baru dapat dianggarkan di APBD 2013. Sebagai program baru, lokus kegiatan pada program tersebut dipilih pada skala kecil. Adapun kedua dokumen hasil kegiatan tersebut menjadikan “Kawasan Perkotaan Mojotengah” sebagai wilayah kajian yang dijadikan “pilot project” penyusunan dokumen yang terintegrasi dalam satu wilayah kajian. Pemilihan lokasi kajian didasarkan pada kondisi eksisting perkotaan Mojotengah yang masih belum tertata dengan optimal, keberadaan salah satu perguruan tinggi swasta unggulan Wonosobo, dan juga untuk dijadikan salah satu bahan revisi dokumen RDTR kawasan perkotaan Mojotengah yang disusun pada tahun 2010 untuk disesuaikan lagi dengan pedoman Menteri PU No 20/PRT/M/2011 tentang Pedoman Penyusunan RDTR dan Peraturan Zonasi.
LKPJ 2013 Bab IV – Penyelenggaraan Urusan Pemerintahan Daerah
79
IV.B.5.Urusan Wajib Penataan Ruang
b.3. Program Pengendalian Pemanfaatan Ruang Program pengendalian pemanfaatan ruang dilaksanakan dalam upaya mewujudkan tertib tata ruang. Program tersebut diwujudkan melalui kegiatan Perwujudan tersebut dilakukan dalam bentuk kegiatan pertama berupa Penyusunan prosedur dan manual pengendalian pemanfaatan ruang, dengan output berupa dokumen yang berisikan penjabaran mengenai langkah-langkah dalam melaksanakan pengendalian pemanfaatan ruang dam sistem pengendalian pemanfaatan ruang meliputi kedudukan monitoring dan evaluasi pemanfaatan ruang dalam proses perijinan pembangunan, variabel dan formulasi perubahan pemanfaatan ruang. untuk lokasi kajian ini juga disamakan dengan program pemanfaatan ruang agar diperoleh dokumen yang terintegrasi dan melengkapi satu sama lainnya yaitu di kawasan perkotaan Mojotengah. Kegiatan kedua yaitu “Penataan Taman Makam Pahlawan”. Lokasi kegiatan ini yaitu di kompleks Taman Makam Pahlawan Wirapati dengan bentuk kegiatan berupa penataan pembangunan fisik kompleks TMP yang merupakan salah satu bentuk RTH kawasan perkotaan. Keberadaan RTH kawasan perkotaan dalam ranah penataan ruang daerah wajib disediakan oleh Pemerintah Daerah dengan luasan minimal 30% dari luas perkotaan. Penataan TMP ini dengan tidak hanya dengan konsep beautifikasi ruang terbuka hijau (RTH), tetapi juga Penataan ulang furniture dan kelengkapan taman, peningkatan sarana dan prasarana pendukung nilai historis TMP misalnya dengan adanya ikon patung pahlawan revolusi nasional Letjen S. Parman yang berasal dari Wonosobo.
c. Capaian Kinerja Urusan Penataan Ruang Dalam rangka mengetahui keberhasilan penyelenggaraan pemerintahan daerah dalam urusan penataan ruang perlu dianalisis capaian kinerjanya khususnya yang terkait dengan fungsi untuk melayani masyaakat. Kinerja urusan penataan ruang merupakan capaian atas penyelenggaraan urusan penataan ruang di daerah yang diukur dari masukan, proses, keluaran, hasil, manfaat, dan/atau dampak. Hal tersebut dapat dilihat dari indikator capaian kinerja. Indikator capaian kinerja urusan penataan ruang sebagaimana dituangkan dalam dokumen RPJMD Kabupaten Wonosobo 2010 dan juga menggunakan indikator kinerja kunci yang ditetapkan Pemerintah melalui EKPPD, dan serta SPM Bidang Penataan Ruang (lihat tabel di bawah). Nilai indikator berkorelasi positif dan progresif. Jika nilai semakin tinggi, maka menunjukkan kinerja yang semakin baik. Tabel IV.B.5.2 Capaian kinerja Urusan Penataan Ruang Tahun 2013 berdasarkan Indikator Kinerja EKPPD No.
Indikator Kinerja
1
2
Rasio ruang terbuka hijau per satuan luas wilayah ber HPL/HGB (Luas ruang terbuka hijau) / (Luas wilayah ber HPL/HGB) Perda RTRW
3
Dokumen RDTR
4
Perda RDTR
Capaian Kinerja 2013 2012 44,16
43,85
Perda No 2/2011
Perda No 2/2011
10 RDTR
13 RDTR
Proses 2 perda*
0
Sumber: Bappeda, BLH, DPU (analisis, 2014)
LKPJ 2013 Bab IV – Penyelenggaraan Urusan Pemerintahan Daerah
80
IV.B.5.Urusan Wajib Penataan Ruang
Tabel IV.B.5.3 Capaian kinerja Urusan Penataan Ruang Tahun 2013 berdasarkan Indikator Kinerja RPJMD Capaian Pembangunan
No.
Indikator Kinerja Pembangunan Daerah
1
Ketersediaan dokumen dan regulasi tata ruang (Perda RTRW)
2
% Ketaatan pada RTRW
3
Rasio ruang terbuka hijau per satuan luas wilayah ber HPL/HGB
44,16%
4
Dokumen RDTR
10 RDTR
5
Perda RDTR
2013
2012 Ada (Perda No. 2 Tahun 2011) 15%
2 Proses perda
Ada (Perda No. 2 Tahun 2011) 25% 43,85 13 RDTR 0
Sumber: Bappeda, BLH, DPU (analisis, 2014)
Berdasarkan tabel IV.B.5.2 dan tabel IV.B.5.3 di atas, indikator kinerja hampir sama untuk rinciannya dengan hasil capaian yang bervariasi, ada yang tetap, meningkat dan menurun. Indikator tersebut pada intinya masih dalam tataran suprastruktur terkait regulasi. Untuk ketersediaan dokumen regulasi, masih tetap/stagnan, baru ada peraturan daerah terkait RTRW Kabupaten. Belum ada rencana rinci yang ditetapkan menjadi peraturan daerah, meskipun naskah studi akademik RDTR telah bertambah tiap tahunnya (meningkat dalam hal jumlah). Hal ini karena, terkait dinamika perubahan kebijakan di tingkat pusat dan provinsi terkait proses legalisasi raperda RDTR, dan waktu yang dibutuhkan sangat panjang karena proses yang rumit. Meskipun dalam kondisi capaian sampai dengan tahun 2012 telah ada dua (2) raperda yang pernah dibahas di DPRD, tapi karena selanjutnya ada dinamika kebijakan ditingkat pusat, raperda RDTR (Kertek dan Mojotengah) belum dapat dilanjut prosesnya untuk mendapatkan persetujuan substansi di tingkat provinsi. Selain itu, syarat kelengkapan terutama data spasial materi peta RDTR belum memenuhi syarat dari Badan Informasi Geospasial (BIG). Untuk indikator yang menurun adalah pada substansi rasio ruang terbuka hijau per satuan luas wilayah HPL/HGB. Meskipun ada penurunan, namun masih dijauh di atas angka 30% luasan sebagai syarat minimal luasan RTH di suatu wilayah. Penurunan ini lebih banyak disebabkan pada area-area hutan rakyat di perkotaan (jika masuk kategori RTH) yang notabene milik masyarakat yang dialihfungsikan untuk lahan terbangun. Asumsi perhitungan yang digunakan yaitu satuan luas wilayah HPL/HGB meliputi seluruh luasan wilayah Kabupaten, bukan kawasan perkotaan saja (umumnya indikator RTH lebih mengarah pada kawasan perkotaan), serta kategorisasi jenis RTH yang diluar kawasan perkotaan ikut dimasukkan dalam perhitungan. Dengan demikian, wajar saja jika dilihat dari tutupan lahan di seluruh Kabupaten Wonosobo yang berada di daerah pegunungan, untuk luasan RTH memang masih besar meskipun ada penurunan luas RTH. Hal yang patut dilakukan adalah, upaya untuk tetap mempertahankan luasan RTH minimal 30% dari luas kawasan perkotaan (bukan total luas kabupaten). Jika mengacu pada kabupaten dan batas ekologi DAS, yang mensyaratkan minimal 30% berupa hutan, maka Wonosobo masih mencukupi untuk ikut andil dalam pemenuhan kebutuhan hutan. Selanjutnya, terkait dengan indikator persentase ketaatan terhadap RTRW ada peningkatan cukup signifikan, yang ditandai dengan semakin meningkatnya masyarakat, instansi yang akan mengubah fungsi ruang dengan menanyakan informasi tata LKPJ 2013 Bab IV – Penyelenggaraan Urusan Pemerintahan Daerah
81
IV.B.5.Urusan Wajib Penataan Ruang
ruangnya di Bappeda. Hal ini didukung pula oleh koordinasi yang baik antara Bappeda (selaku sekretaris BKPRD), KPPT (instansi pemberi ijin tertentu), dan kantor Pertanahan (terkait izin IPPT), yang mensyaratkan setiap proses sertfikasi, alih fungsi lahan agar menyertakan syarat surat informasi tata ruang. Penerapan kebijakan tersebut dinilai cukup efektif untuk membiasakan sekaligus mengkampanyekan kepada masyarakat untuk bersama menata ruang sesuai dengan arahan penataan ruang dalam Perda RTRW Kabupaten Wonosobo 2011-2031. Selain capaian kinerja berdasar dua hal di atas, terkait kebijakan di tataran pusat sektoral terdapat capaian kinerja berdasarkan standar pelayanan minimal (SPM). SPM bidang penataan ruang merupakan hasil penyusunan NSPK Instansi Kementerian PU selaku pembina di pusat dalam urusan penataan ruang. capaian kinerja sebagai berikut: Tabel IV.B.5.4 Capaian kinerja Urusan Penataan Ruang Tahun 2013 berdasarkan SPM Bidang Penataan Ruang (Kementerian PU)*) No.
Indikator Kinerja Pembangunan Daerah
1
2
3
4
5
Capaian Pembangunan 2012**
2013
Informasi Penataan Ruang Tersedianya informasi mengenai Rencana Tata Ruang (RTR) wilayah kabupaten/kota beserta rencana rincinya melalui peta analog dan peta digital. Pelibatan Peran Masyarakat dalam Proses Penyusunan RTR Terlaksananya penjaringan aspirasi masyarakat melalui forum konsultasi publik yang memenuhi syarat inklusif dalam proses penyusunan RTR dan progam pemanfaatan ruang, yang dilakukan minimal 2 (dua) kali setiap disusunnya RTR dan program pemanfaatan ruang.
Ada (peta digital dan analog RTRW Kab. Wonosobo)
Izin Pemanfaatan Ruang Terlayaninya masyarakat dalam pengurusan izin pemanfaatan ruang sesuai dengan Peraturan Daerah tentang RTR wilayah kabupaten/kota beserta rencana rincinya. (kondisi untuk di kab. Wonosobo masih sebatas pada informasi tata ruang, terkait proses IPPT di BPN dan IMB di KPPT) Pelayanan Pengaduan Pelanggaran Tata Ruang Terlaksanakannya tindakan awal terhadap pengaduan masyarakat tentang pelanggaran di bidang penataan ruang dalam waktu 5 (lima) hari kerja. Penyediaan Ruang Terbuka Hijau (RTH)
Ada (dalam bentuk penerbitan 11 surat informasi tata ruang)
Ada (peta digital dan analog RTRW Kab. Wonosobo) 6x FGD/konsultasi publik penyusunan studi RDTR (Kawasan perkotaan, Kecamatan Garung, Kecamatan Sukoharjo) Ada (dalam bentuk penerbitan 40 surat informasi tata ruang)
LKPJ 2013 Bab IV – Penyelenggaraan Urusan Pemerintahan Daerah
6x FGD/konsultasi publik penyusunan studi RDTR (Kecamatan Selomerto, Sapuran, Kalikajar)
Tidak ada aduan pelanggaran
Tidak ada aduan pelanggaran
12,82
13,58
82
IV.B.5.Urusan Wajib Penataan Ruang
No.
Indikator Kinerja Pembangunan Daerah
Capaian Pembangunan 2012**
2013
Publik Tersedianya luasan RTH publik sebesar 20% dari luasan wilayah kota/kawasan perkotaan. *) SPM berdasarkan Permen PU Nomor 14/PRT/M/2010 tentang Standar Minimal Bidang Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang **) pada dokumen LKPJ 2012 belum dicantumkan angka SPM tersebut.
Berdasarkan tabel di atas, dapat terlihat capaian kinerja Urusan Penataan Ruang berdasarkan SPM, kinerjanya sudah baik yang terlihat melalui berbagai ketersediaan materi yang dipersyaratkan indikator dan juga peningkatan permohonan informasi tata ruang hingga mencapai 300% dari tahun 2012 (10 menjadi 40 permohonan informasi tata ruang). Hal itu juga turut mengindikasikan peningkatan kesadaran dari masyarakat tentang kesesuaian tataruang, meskipun dilakukan dengan penerapan kebijakan syarat kesesuaian tata ruang untuk perijinan (di KPPT dan Kantor Pertanahan BPN) dan proses penyusunan dokumen UKL/UPL, AMDAL (BLH). Untuk kondisi yang stagnan adalah pelayanan aduan masyarakat yang melanggar tata ruang. selama kurun waktu 20122013, tidak ada aduan masyarakat terkait pelanggaran tata ruang. Hal ini karena boleh jadi indikasi adanya sikap apatis masyarakat terhadap pembangunan yang “seakan terbiarkan” tidak sesuai tata ruang karena terbatasnya lahan dan potensi konflik kepentingan ruang. Hal yang masih menjadi tantangan Pemerintah kabupaten adalah upaya lebih menyadarkan lagi pada masyarakat bahwa hak kepemilikan lahan memang diakui Pemerintah, namun penggunaannya yang diatur untuk keserasian fungsi kawasan lindung dan budidaya. Selama ini, ada anggapan dari sebagian masyarakat bahwa lahan milik mereka akan bebas untuk digunakan apa saja, tidak peduli arahan fungsi ruangnya sebagai kawasan lindung maupun kawasan budidaya.
d. Permasalahan dan Solusi Permasalahan dalam urusan penataan ruang di Kabupaten Wonosobo 1) Aspek Suprastruktur Regulasi, Kelembagaan, Pendanaan -
Belum selesainya penyusunan Norma, Standar, Pedoman, Kebijakan (NSPK) teknis khususnya aspek perpetaan sebagai data dasar awal penyusunan RDTR di tataran Pemerintah Pusat
-
Proses menuju legalisasi raperda RDTR masih panjang karena dinamika perubahan tataran kebijakan penataan ruang di tingkat pusat dan provinsi
-
Belum ada produk hukum skala rinci/detail (RDTR) yang dapat dijadikan operasional dan pertimbangan perijinan lebih tepat
-
Belum lengkapnya Syarat minimal raperda RDTR untuk dapat diajukan di BKPRD Provinsi
-
Belum optimalnya kelembagaan BKPRD sebagai lembaga adhoc dalam koordinasi penataan ruang
-
Rencana tata ruang belum sepenuhnya efektif menjadi acuan dalam pemanfaatan ruang
-
Masih lemahnya pengendalian dan penegakan hukum terhadap pemanfaatan
LKPJ 2013 Bab IV – Penyelenggaraan Urusan Pemerintahan Daerah
83
IV.B.5.Urusan Wajib Penataan Ruang
ruang karena belum didukung oleh penyidik pegawai negeri sipil (PPNS) Penataan Ruang di Wonosobo -
Tingginya biaya penyediaan peta dasar skala detail melaui citra satelit resolusi tinggi liputan seluruh kabupaten Wonosobo
2) Aspek Teknis -
Sulitnya penerapan delineasi aspek pola ruang ideal karena Penyusunan rencana tata ruang kebanyakan dilakukan pada kawasan yang sudah terlanjur terbangun secara organik.
-
Masih terbatasnya kompatibilitas dan kesesuaian standar peta yang digunakan dalam perencanaan tata ruang wilayah pada berbagai macam skala (ketelitian peta), khususnya peta dasar.
-
Belum tersedianya peta dasar skala 1:5.000 yang disetujui Badan Informasi Geospasil (BIG) sebagai materi awal penyusunan RDTR
-
Aturan perolehan peta dasar untuk RDTR melalui citra satelit resolusi tinggi terbaru dan survei Ground Check Point (GCP) untuk koreksi geometrik baru muncul pada tahun 2013, sementara secara kumulatif, sudah banyak RDTR yang telah disusun.
-
Belum sesuainya materi naskah studi akademik RDTR yang telah disusun dengan pedoman RDTR terbaru (dari 12 naskah studi akademik yang disusun tahun 20082013, sebagian besar harus direvisi “berat”).
-
Belum optimalnya kualitas hasil rencana tata ruang, baik disebabkan sulitnya memperoleh data dan peta dasar
-
kompetensi dan kapasitas penyusun dokumen tata ruang yang belum memadai terutama dalam aspek spasial/keruangan
-
Belum tersedianya sebaran data spasial yang pasti terkait lahan pertanian (lahan basah dan kering) yang akan ditetapkan menjadi Lahan pertanian pangan berkelanjuta (LP2B), meskipun secara angka sudah ditetapkan.
3) Aspek Sosial Budaya, pembangunan, lingkungan -
Belum optimalnya partisipasi masyarakat dalam penataan ruang (masih terbatas pada partisipasi saat perencanaan tata ruang, belum meningkat pada tahap pemanfaatan, dan pengendalian pemanfaatan ruang).
-
Kesadaran masyarakat masih rendah dalam upaya pelaksanaan pembangunan ruang sesuai arahan tata ruang (hal ini ditandai dengan permohonan informasi tata ruang yang meningkat karena syarat mengikat atas hal-hal yang memang dibutuhkan masyarakat seperti proses perijinan IMB untuk syarat pinjaman di bank, proses sertifikasi lahan yang akan digunakan sebagai covernote di bank, jadi bukan atas kesadaran dan kemauan masyarakat sendiri untuk mengetahui rencana peruntukan lahan miliknya).
-
Belum dipahaminya secara benar terkait bahwa hak kepemilikan lahan pribadi yang diakui pemerintah, namun penggunaannya dibatasi mengikuti ketentuan ataupun arahan penataan ruang).
-
Pengembangan suatu kawasan acapkali tidak sejalan dengan rencana tata ruang yang telah disusun (rencana tata ruang akan tetap menjadi dokumen sedangkan pelaksanaan pembangunan tetap berjalan berdasarkan permintaan pasar).
-
Munculnya konflik sektoral dalam memanfaatkan ruang seperti: kehutanan,
LKPJ 2013 Bab IV – Penyelenggaraan Urusan Pemerintahan Daerah
84
IV.B.5.Urusan Wajib Penataan Ruang
pertambangan, perindustrian, pertanian, lingkungan hidup, pariwisata dan sebagainya. -
Penurunan luas dan fungsi kawasan resapan air menjadi kawasan terbangun
-
Konversi lahan kawasan lindung menjadi kawasan budidaya
-
Meningkatnya fenomena bencana seperti longsor, banjir (genangan) di permukiman khususnya perkotaan maupun di jalan.
Rumusan solusi yang dapat dilakukan, antara lain: 1) Peningkatan koordinasi penyelenggaraan penataan ruang antarsektor, antar wilayah, BKPRD Kabupaten, BKPRD Provinsi dan BKPRN 2) Asistensi, konsultasi dan supervisi secara intensif terkait materi raperda dan peta RDTR kepada instansi yang berwenang (fokus pada raperda RDTR Perkotaan) 3) Optimalisasi BKPRD Kabupaten dalam penyelenggaraan penataan ruang daerah 4) Peningkatan kapasitas SDM daerah dibidang penataan ruang melalui diklat dan bimtek penataan ruang tingkat pusat 5) Mengalokasikan anggaran untuk penyediaan peta dasar yang berkualitas dengan diawali penyediaan citra satelit resolusi tinggi (bukan dari google earth). Pada proses ini terintegrasi dari pengadaan citra satelit, koreksi geometrik, radiometrik, survei GCP, digitasi peta dasar) 6) Revisi ulang peta dasar dan naskah studi 13 RDTR kecamatan yang telah disusun 7) Identifikasi spasial awal sebagai bahan penetapan LP2B/sawah lestari 8) Penyusunan Aturan Teknis Persiapan Mekanisme Pemberian Insentif dan Disinsentif Tata Ruang 9) Pengendalian pemanfaatan ruang untuk mewujudkan tertib tata ruang dan memastikan bahwa proses pemanfaatan ruang telah sesuai dengan rencana tata ruang. 10) Intensifikasi sosialisasi penataan ruang sampai pada skala lingkungan RT 11) Kampanye dan Penyebaran Brosur/leaflet mekanisme permohonan informasi tataruang 12) Penyediaan informasi tata ruang berbasis teknologi informasi dan komunikasi dan SIG 13) Peningkatan level skala partisipasi masyarakat dalam penataan ruang 14) Mendorong terbentuknya Forum Tata Ruang sebagai wujud konsultasi publik
LKPJ 2013 Bab IV – Penyelenggaraan Urusan Pemerintahan Daerah
85