11. TINJAUAN PUSTAKA A. SENYAWA ANTIMIKROBA Senyawa antimikroba adalah bahan pengawet yang berfungsi untuk menghambat kerusakan pangan akibat aktivitas mikroba. Penggunaan antimikroba yang tepat dapat memperpanjang umur simpan dan menjamin keamanan pangan. Pemilihan dan penggunaan antimikroba perlu mempertimbangkan banyak faktor, dan semua kembali pada keseimbangan dari resiko dan keuntungan (Giese, 1994). Faktor-faktor pertimbangan untuk memilih antimikroba yang tepat adalah sifat kimiawi dan antimikroba senyawa; sifat dan komposisi produk; sistem pengawetan lain yang digunakan selain antimikroba; tipe, karakteristik dan jumlah mikroba didalam produk; aspek legalitas dan keamanan antimikroba; aspek ekonomi penggunaannya dan jaminan bahwa antimikroba tersebut tidak merusak kualitas produk (Giese, 1994; Branen, 1993; Busta dan Foegeding, 1983).
1. Spektrum Antimikroba dan Mekanisme Kerja Antimikroba Pemilihan awal suatu senyawa antimikroba umumnya didasarkan atas spektrum antimikrobanya. Senyawa yang diinginkan adalah yang mempunyai spektrum antimikroba luas (Branen, 1993; Busta dan Foegeding, 1983), meskipun ha1 ini sulit dicapai. Beberapa senyawa mempunyai kemampuan untuk menghambat beberapa jenis mikroorganisme (Branen, 1993), tetapi penghambatan suatu mikroorganisme kadang-kadang menyebabkan mikroorganis~nelain didalam suatu produk menjadi dominan (Busta dan Foegeding, 1983). Karenanya, senyawa antimikroba terpilih untuk suatu produk sebaiknya aktif untuk semua mikroba yang tidak diinginkan didalam produk tersebut (Busta dan Foegeding, 1983). Efektifitas antimikroba didalam mengawetkan produk pangan adalah dengan cara mengendalikan pertumbuhan atau merusak mikroba (Branen, 1993). Menurut Fardiaz (1989), senyawa antimikroba dapat bersifat bakteristatik dan fungistatik (menghambat pertumbuhan bakteri dan kapang) atau bakterisidal dan fungisidal (me-
rusak bakteri dan kapang). Menurut Liick dan Jager (1997), perbedaan dari statik dan sidal adalah dalam kecepatan kematian mikroba. Pola pertumbuhan mikroba relatif jika kontak dengan bahan antimikroba dapat dilihat pada Gambar 1. Penggunaan pengawet untuk jangka waktu yang lama didalam suatu produk pangan, dapat menyebabkan kematian mikroba atau menyebabkan mikroba tumbuh kembali.
w
tidak mengawet
.-5c
daya awet
a
F 0 0
L
Y
E a E
mikrobiostatis
c
3
7 I
I
Waktu
Gambar 1. Pola pertumbuhan relatif mikroba yang dikontakkan dengan bahan antimikroba (Liick dan Jager, 1997).
Cara kerja senyawa antirnikroba bermacam-macam, yaitu: menghambat sintesa dinding sel bakteri; bereaksi dengan membran sel yang menyebabkan peningkatan permeabilitas dan kehilangan bahan-bahan penyusun seluler; inaktifasi enzim esensial dan merusak sintesa protein dan asam nukleat (Branen, 1993; Russell, 1983; Frazier dan Westhoff, 1981). Mengetahui mekanisme kerja dari antimikroba dan bagaimana pengaruhnya terhadap mikroba akan sangat membantu dalam menilai efisiensi dan kegunaan dari suatu antimikroba. Umumnya, antimikroba yang bereaksi dengan membran sel mempunyai spektrum antimikroba yang luas (Branen, 1993).
2. Sifat Fisikokimia Antimikroba Spektrum antimikroba, cara kerja dan efisiensi senyawa sangat tergantung kepada sifat fisikokimia senyawa tersebut. Polaritas senyawa merupakan sifat fisik yang penting. Sifat hidrofilik diperlukan untuk menjamin senyawa larut didalam fase air yang merupakan tempat hidup mikroba; tetapi senyawa yang bekerja pada membran sel yang hidrofobik memerlukan pula sifat lipofilik; sehingga senyawa memerlukan keseimbangan hidrofilik-hidrofobik untuk mencapai aktifitas yang optimal. Sifat-sifat lain yang perlu diketahui misalnya titik didih senyawa, kemampuan terionisasi dan reaktifitasnya dengan komponen makanan (Branen, 1993). Titik didih senyawa akan mempengaruhi aktivitas senyawa antimikroba. Jika produk diproses dengan menggunakan panas, maka komponen antimikroba yang bersifat volatil akan menguap dan hilang. Kemampuan komponen untuk terionisasi menyebabkan perbedaan yang nyata terhadap aktivitasnya. Ionisasi senyawa antimikroba ini tergantung pada pH produk atau medianya. Umumnya, komponen mempunyai aktivitas antimikroba yang rendah pada kondisi pH medium yang menyebabkan komponen terionisasi. Reaksi antara antimikroba dengan komponen lain yang terdapat didalam pangan penting untuk diketahui. Interaksi antara antirnikroba dengan lemak, protein, karbohidrat atau aditif pangan lainnya dapat menyebabkan turunnya aktifitas komponen antimikroba tersebut (Branen, 1993). Beberapa komponen pangan yang mempengaruhi efektifitas senyawa antimikroba adalah garam, karbohidrat dan alkohol (Luck dan Jager, 1997). Selain itu, reaksi kimiawi tersebut juga dapat menyebabkan penyimpangan flavor dan warna produk.
B. ANTIMIKROBA ALAMI DARI TANAMAN Banyak senyawa kimia yang menunjukkan potensi sebagai antimikroba, tetapi hanya sedikit yang digunakan didalam pangan; karena alasan keamanan pangan (Nishina et al., 1993) atau karena tidak aktif dalam model makanan walaupun aktif secara in vitro (Jay, 1995).
Banyak tanaman rempah dan ekstrak tanaman memiliki aktivitas antimikroba, yang disebabkan oleh komponen tertentu yang ada didalamnya (Giese, 1994). Laporan tertua (1550 SM) menyebutkan bahwa masyarakat Mesir kuno telah menggunakan rempah sebagai pengawet pangan dan pembalsem mumi (Davidson et al., 1983; Conner, 1993). Dari Wilkins dan Board (1975) seperti disitasi oleh Nychas (1995) diketahui bahwa lebih dari 1389 jenis tanaman merupakan sumber antimikroba yang potensial. Saat ini, perhatian terhadap antimikroba alarni semakin meningkat karena dianggap lebih baik, khususnya ditinjau dari keamanan pangan (Nishina et al., 1993). Meskipun demikian, beberapa komponen yang memberikan efek antimikroba, mungkin juga menyebabkan efek lain yang tidak menguntungkan terhadap pangan, misalnya toksik atau meningkatkan sifat karsinogen komponen yang lain (Banwart, 1989). Senyawa allyl isothiocyanate didalam allyl mustard oil dalam jumlah besar dapat menyebabkan kerusakan kandung kemih. Senyawa ini juga bersifat karsinogen terhadap tikus (Neudecker dan Henschler, 1985 yang disitasi oleh Liick dan Jager, 1997). Komponen antimikroba tanaman, seringkali terdapat didalam fraksi minyak esensialnya (Nychas, 1995; Giese, 1994; Conner, 1993), yang juga bertanggung jawab terhadap aroma dan flavor rempah-rempah. Senyawa fenolik mungkin merupakan komponen antimikroba utama didalam minyak esensial tanarnan (Nychas, 1995), walaupun beberapa komponen lain juga menunjukkan aktivitas serupa. Menurut Conner (1993), komponen terpenoid di dalam oleoresin tampaknya juga memiliki aktivitas antimikroba. Antimikroba yang terdapat didalam tanaman, adalah kelompok komponen yang disebut fitoaleksin. Fitoaleksin merupakan metabolit sekunder dengan berat molekul rendah, yang dibentuk oleh jaringan tanaman sebagai tanggapan terhadap stress, trauma atau infeksi yang disebabkan oleh mikroba dan tidak terdapat pada jaringan tanaman yang sehat (Harborne, 1987; Conner, 1993; Mann, 1994; Nychas, 1995). Aktivitas antimikroba utama senyawa fitoaleksin adalah terhadap kapang, walaupun juga dapat melawan bakteri. Bakteri Gram positif lebih sensitif terhadap fito-
aleksin daripada bakteri Gram negatif (Nychas, 1995). Beberapa komponen antimikroba yang ada didalam tanaman dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Komponen antimikroba alami yang terdapat didalam tanaman atau makanan yang berasal dari tanaman*
I Komponen antimikroba
TanamanIPangan
I Pigmen antosianin
Asetaldehida Dimetoksi isoflavon Purotionin
I I
Lemak Asam lemak bebas Tanin Lu~ulon.humulon. isohumulon Metilxantin Sinamaldehid, sitral, perillaldehid dan sitronellal Ekstrak Hidroksi sinamat: p-coumaric acid
I
Buah Jaringan buah Kacang tanah Endosperm gandum
Pecan Barlev Jagung Bean 1 Peas I Coklat I Kacang tanah I HOD Biji coklat Minyak esensial
-
I Wortel Kacang kedelai Sayur dan buah anggur Curcurma zedoaria
p-methoxy cinnamate
1 Asam kafeat, asam klorogenat
Organisme yang dihambat Bakteri Khainir Aspergillus jlavus Pseudomonas, Xanthomonas, I Erwinia amylovora, Corynebacterium Fusicladium effusum As~er~illus Kapang Selulase dari kapang I Ka~an~ I Aspergillus parasiticus I Aspergillus parasiticus I Bakteri mam ~ositif Aspergillus parasiticus Ka~ang
Chycory
I Aspergillus parasiticus Aspergillus parasiticus
S. cerevisiae, E. coli, S. aureus, B. cereus Tricophyton rubrum, A. Niger, S. cerevisiae, Fusarium nivale Bakteri
*Banwart (1 989) Penelitian tanaman obat telah banyak dilakukan di Indonesia. Beberapa tanaman obat yang mempunyai efek anti bakteri dan anti kapang hasil penelitian in vitro yang dilakukan dibeberapa perguruan tinggi Indonesia, dirangkum oleh Santoso
(1995), seperti tampak pada Tabel 2.
Tabel 2. Tumbuhan obat di Indonesia yang mempunyai efek antimikroba* No
Nama latin
Nama Indonesia Bagian Bentuk
~fek~)
Bawang putih Umbi Lengkuas malaka Akar
Ekstrak
1
3.
Allium sativum L. Alpinia galanga L Alpinia malaccansis Rose Anacardium occidentale L.
Jambu mede
4.
Averrhoea carambola L.
Belimbing
Ekstrak Ekstrak Ekstrak
1. 2.
Daun, biji Daun
-
1 2 1 1 1
"Santoso (1995)
C . ATUNG (Parinarium glaberimum Hassk) Di beberapa daerah di Indonesia, tanaman ini dikenal masyarakat dengan nama yang berbeda Atung merupakan nama yang dikenal di Maluku, pde' kambing di Aceh, lamo di Makasar, samaka di Bugis dan saya di daerah Ternate (Heyne, 1987).
1. Tanaman Atung Tanaman atung (Parinarium glaberimum Hassk) merupakan tanaman hutan tropis dan tumbuh secara alami (indigenous). Menurut Burkil (1935), tanaman ini terdapat di daerah Jawa, Kalimantan terus kearah timur sampai daerah Pasifik, sedangkan menurut Heyne (1987), tanaman ini tidak ditemukan di daerah Jawa. Moniharapon (1991) menyebutkan, tanaman ini terdapat hampir di semua tempat di Maluku, terutama didaerah Maluku Tengah. Pohon atung merupakan pohon yang tumbuh lambat. Ketinggian pohon dapat mencapai 10 m atau lebih dengan diameter 40 cm, dan berbuah sepanjang tahun (Koorders and Valeton, 1913). Kayunya berwarna putih, kasar, keras tapi getas sangat berat dan tidak awet (Heyne, 1987, Burkills, 1935).
2. Morfologi dan Anatorni Buah Atung Bentuk buah atung menyerupai telur (bulat lonjong) sebesar telur bebek, berwarna merah gading pudar, coklat atau coklat pudar. Kulit buah keras, setebal jarijari tangan dengan permukaan yang kasar dan jika buah kering, sebagian kulit akan menjadi retak (Heyne, 1987; De Guzman et al, 1986 dan Adawiyah, 1998). Adawiyah (1998) membedakan kulit menjadi kulit buah dan daging buah (mesokarp). Mesokarp buah atung tebal dengan struktur berserat dengan arah vertikal. Biji atung yang terdapat dibagian dalam buah adalah biji tunggal, sebesar telur ayam tetapi lebih pipih, bentuknya agak keriput dengan tekstur yang sangat keras. Menurut Heyne ( 1987), biji atung berwarna kelabu sementara menurut Adawi yah (1998), biji atung berwarna coklat tua dan dilapisi oleh serabut tipis berwarna putih. Panjang buah atung sekitar 6-9 cm dan lebar 6 cm. Tebal kulit sekitar 7 mm, sedangkan panjang dan lebar biji masing-masing sekitar 5 dan 4 cm (De Guzman et al., 1986). Berat buah atung bervariasi antara 31.3 sampai 48.7 gram. Berat bagian kulit (dan mesokarp) mencapai 2/3 dari berat total buah utuh (68%), sementara berat biji mencapai 1/3 berat utuh (Adawiyah, 1998).
3. Komposisi Kimia Biji Atung Menurut Greshoff yang disitasi oleh Heyne (1987), komponen utama biji atung adalah lemak sebesar 31%. Tanin juga ditemukan didalam biji atung (Burkill, 1935). Analisis proksimat biji atung telah dilakukan oleh Adawiyah (1998), dan datanya dapat dilihat pada Tabel 3. Terlihat bahwa lemak merupakan komponen utama biji atung (42.7 %, bb). Kadar tanin biji atung adalah 1.7 % dan menyebabkan ekstrak air biji atung berasa agak sepat dan pahit.
Tabel 3. Komposisi kimia biji atung* Komponen Air Abu Protein Lemak Serat kasar Pati Tanin *Adawiyah (1998)
Persentase (% bb) 8 - 13.2 2.1 5.4 42.7 4.3 2.3 1.7
Analisis asam lemak dari lemak biji atung yang dilakukan Adawiyah (1998) menyimpulkan bahwa asam lemak rantai panjang adalah tipe asam lemak yang dominan terdapat didalam lemak biji atung, yaitu behenat, palmitat, linoleat, stearat, oleat dan sejumlah kecil asam dokosaheksaenoat (DHA), gadoleat, arakhidat dan linolenat. Komposisi masing-masing asam lemak tersebut dapat dilihat pada Tabel 4. Adawiyah (1998) juga melakukan karakterisasi dari ekstrak biji atung hasil ekstraksi bertingkat (Tabel 5). Hasilnya menunjukkan bahwa kandungan total fenol terbesar ada pada ekstrak heksan-etil asetat-etanol. Menurut Adawiyah (1998), tingginya total fenol yang ada didalam ekstrak heksan-etil asetat-etanol disebabkan oleh adanya komponen pigmen (flavonoid) yang turut terekstrak dalam pelarut etanol yang ditandai oleh warna merah gelap dari ekstraknya.
Tabel 4. Komposisi asam lemak dari lemak biji atung*
22:OO 22:06 *Adawiyah (1998)
Nama asam lemak Palmitat Stearat Oleat Linoleat Linolenat Arakhidat Gadoleat Behenat Docosaheksanoat/DHA
Konsentrasi (mglg lemak)
27,98 4,27
Tabel 5. Karakteristik ekstrak biji atung hasil ekstraksi bertingkat*
I
Jenis ekstrak
I
Warna
I Rendemen I Berat jenis (%I
Kuning Heksan Heksan-etil Oranye asetat Heksan-etil Merah I asetat-etanol 1 gelap *Adawiyah (1998)
( Indeks refraksi
I Total fen01 I (PP~)
1,o
(dcm3) 0,9229 0,9876
(29OC) 1,5200 1,0070
23,7
1,0248
1,4410
1 138,5
41,6
-
47,6
4. Pemanfaatan Biji Atung Masyarakat Ambon mengenal tanaman atung sebagai tanaman obat dan pengawet. Biji atung digunakan untuk membuat kohu-kohu, sejenis makanan yang dibuat dari ikan mentah atau goreng, yang dicincang halus dengan parutan biji atung, jahe, bawang, cabe dan air jeruk (Heyne, 1987). Menurut Burkill (1935), biji buah atung biasa dicampur kedalam makanan untuk obat disentri atau untuk menghilangkan gatal-gatal akibat makan ikan. Biji atung merupakan obat tradisional untuk menghentikan diare yang daya kerjanya sangat kuat, dan untuk menghentikan keputihan serta pendarahan pada wanita hamil. Bubur dari biji atung yang setengah tua dioleskan pada tiang-tiang kayu
I
untuk mencegah rayap dan pembubukan kayu serta untuk menambal perahu yang bocor (Heyne, 1987). Sebelum penggunaan es balok sebagai pengawet ikan populer dikalangan nelayan Ambon, buah atung biasa digunakan untuk mengawetkan ikan hasil tangkapan. Kerusakan ikan dapat diperlambat dan mutu ikan dapat dipertahankan beberapa hari sampai nelayan kembali ke pelabuhan untuk memasarkan ikan (Moniharapon, 1991).
D. DAYA ANTIMIKROBA BIJI ATUNG Beberapa penelitian rintisan telah dilakukan untuk mengkaji potensi pemanfaatan biji atung. Dari beberapa penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa biji atung memiliki potensi untuk diteliti lebih lanjut sebagai bahan pengawet. 1. Pengawet Pangan dan Produk Pangan Potensi atung sebagai pengawet pangan telah diteliti oleh Moniharapon (199 I), Soeherrnan (1997), Saragih (1998) dan Elfi (1999). a. Pengawetan udang windu Aplikasi atung sebagai pengawet udang windu (Penaeus monodon Fab) segar telah dilakukan oleh Moniharapon (1991). Diketahui bahwa penggunaan bubuk biji atung dapat meningkatkan umur kesegaran udang windu. Penggunaan hancuran biji atung sebanyak 3-5 % (berat basah) dari berat udang, dapat meningkatkan umur kesegaran udang dari 5 jam (tanpa perlakuan) menjadi 9 - 10 jam pada penyimpanan di suhu ruang. Jika penambahan bubuk biji atung 5% dikombinasikan dengan penggunaan es, kesegaran udang dapat dipertahankan sampai 2 hari dan jika dikombinasikan dengan penyimpanan dingin (~OC),dapat mencapai 9 hari. Pada umur simpan tersebut, rupa, tekstur, rasa, pH dan kadar air udang tidak berbeda dengan kontrol. Selain dapat menahan pertumbuhan mikroba, penggunaan bubuk biji atung juga mengurangi susut bobot udang selama penyimpanan. Pada penyimpanan 14 jam
di suhu kamar, susut bobot udang windu segar tanpa perlakuan sebesar 4.08%, sementara yang diberi atung 5% sebesar 1.79%. Masalah yang timbul pada penggunaan atung sebagai pengawet udang segar ini adalah tertinggalnya bau khas atung pada udang tersebut. Tetapi, bau ini dapat dihilangkan dengan pencucian.
b. Pengawetan ikan segar Penelitian Saragih (1998) menyimpulkan, bahwa atung dapat memperpanjang umur simpan ikan mujair (Tilapia mossambica Peters) dan ikan kembung (Rastrelliger sp) segar yang disimpan pada suhu O'C. Aplikasi bubuk atung dengan konsentrasi 5-1596 pada ikan mujair segar, dapat meningkatkan umur simpannya dari 3 hari menjadi 7 hari. Pada ikan kembung, penambahan bubuk atung sebesar 15% meningkatkan umur simpannya dari 8 hari menjadi 13 hari. Pada akhir penyimpanan, total koloni mikroba kedua jenis ikan masih dibawah batas kerusakan ikan atau kurang dari 5 x 10' kolonilgram. Penggunaan pengawet alami untuk meningkatkan umur simpan ikan segar juga telah dilaporkan oleh Rahayu (1999). Didapatkan bahwa umur simpan ikan kembung segar yang disimpan pada suhu 4 ' ~dapat ditingkatkan dari 5 hari menjadi 7 hari dengan perlakuan perendaman ikan didalam larutan garam 5% selama 3 jam dan dilanjutkan dengan penambahan bubuk lengkuas 2.5% dari berat ikan. c. Pennawetan ikan vindansz dan ~indang;presto
Pada penyimpanan di suhu ruang, pindang mujair yang ditambahkan bubuk atau ekstrak air biji atung mempunyai umur simpan yang lebih lama dibandingkan dengan kontrol (Saragih, 1998; Soeherman, 1997). Penambahan bubuk biji atung sebesar 5-7.5 % dari berat ikan mujair pada kadar garam 20%, dapat meningkatkan umur simpannya dari 1 hari (tanpa atung) menjadi 3 hari. Pada penyimpanan tiga hari, nilai TPC pindang tanpa atung sebesar 2 . 9 lo8 ~ kolonilgram sementara pada pindang yang diberi atung 7.5% sebesar 3 . 9 10' ~ kolonil gram (Soeherman, 1997).
Penggunaan ekstrak air dari biji atung sebanyak 515% dari berat ikan mujair dan kadar garam 18%, meningkatkan umur simpan pindang mujair dari 4 hari (tanpa atung) menjadi 5 hari. Pada pindang ikan kembung, umur simpan selama lima hari dapat dicapai pada penambahan ekstrak sebesar 10-15% dari berat ikan kedalam air pemasak (Saragih, 1998). Efek pengawetan pindang kembung dengan menggunakan atung yang dilaporkan oleh Saragih (1998) ini, lebih rendah dari efek pengawetan protamin/K-sorbat seperti telah dilaporkan Nitibaskara (1997). Menurut Nitibaskara (1997), pindang dengan penambahan protamin sebesar 2% (penggunaan garam 20%), masih diterima oleh panelis setelah penyimpanan 4 rninggu di suhu ruang. Produk yang ditambahkan protaminIK-sorbat juga mempunyai nilai organoleptik yang baik. Pada pindang presto ikan kembung, penggunaan ekstrak etil asetat biji atung sebesar 1% dari berat ikan dapat memperpanjang umur simpan produk dari 2 hari menjadi 4 hari (Elfi, 1999). Bakteri pembusuk yang diisolasi dari ikan pindang oleh Nitibaskara dan Motohiro (1991) bersifat halofilik dan masuk dalam genera Micrococcus, Bacillus, Staphylococcus dan Acinetobacter. Penelitian Moniharapon (1998) melaporkan bahwa
ekstrak atung menghambat bakteri dari genera Micrococcus, Bacillus, Staphylococcus sementara efektifitas terhadap Acinetobacter tidak diketahui. Penggunaan bubuk atau ekstrak biji atung pada pembuatan pindang dan pindang presto, juga dapat memperbaiki tekstur daging ikan menjadi lebih padat dan kompak (Soeherman, 1997; Saragih, 1998; dan Elfi, 1999). Kelemahan dari aplikasi bubuk atau ekstrak atung kedalam produk sebelum proses pemanasan adalah menyebabkan terjadinya sedikit penyimpangan citarasa dari ikan pindang dan pindang presto yang dihasilkan. Produk sedikit berbau atung dengan rasa yang agak sepat. 2. Kajian Terhadap Daya Antimikroba Biji Atung Potensi antimikroba biji atung telah dilaporkan oleh Moniharapon et al., ( 1 997) dan Adawiyah (1998). Dari hasil penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa
biji atung dalam bentuk ekstrak mempunyai daya antimikroba yang kuat dengan spektrum mikrobial yang luas. a. Pengaruh umur dan bagian buah terhadap dava antimikroba Moniharapon et al. (1997), telah mengkaji aktivitas antimikroba dari bagian buah dan umur buah atung. Didapatkan bahwa bagian biji mempunyai daya antimikroba yang tinggi, sementara bagian kulit buah tidak efektif sebagai antimikroba. Aktifitas antimikroba biji dari buah tua (yang jatuh dari pohon) lebih tinggi (2-5 kali) dari biji yang berasal dari buah muda. Aktivitas antimikroba biji menurun dengan meningkatnya umur simpan buah. Dari hasil uji difusi agar diketahui bahwa aktivitas antimikroba ekstrak dari biji tua yang telah disimpan selama 4 bulan sedikit lebih rendah dari biji tua segar, tetapi masih lebih tinggi dari biji muda (Moniharapon et al., 1997).
b. Pennaruh pelarut terhadau dava antimikroba ekstrak Pelarut merupakan faktor yang sangat berperan dalam proses ekstraksi. Pelarut yang baik mampu melarutkan komponen yang diinginkan dan memiliki viskositas rendah untuk memudahkan sirkulasi (Heldman dan Singh, 1980). Pemilihan pelarut untuk memperoleh ekstrak biji atung dengan aktivitas antimikroba yang tinggi telah dilakukan oleh Moniharapon et al. (1997) dan Adawiyah (1998). Ekstraksi tunggal dengan kepolaran pelarut yang berbeda telah dilakukan oleh Adawiyah (1998). Tiga jenis pelarut yang dicobakan adalah heksan, etil asetat, etanol 95% dan air. Nilai polaritas (E) heksan, etil asetat, etanol dan air berturut-turut adalah
0, 0.38, 0.68 dan 0.9 (Moyler, 1995) dan konstanta dielektriknya berturut-turut adalah 2.00, 6.00, 24.3 dan 78.5 debye (Snyder dan Kirkland, 1979). Seleksi ekstrak dilakukan dengan metode difusi agar pada media Nutrient Agar dengan Pseudomonas aeruginosa sebagai bakteri uji Dari hasil penelitian tersebut diketahui bahwa ekstrak heksan tidak bersifat antimikroba (diameter penghambatan nol). Ekstrak polar (air dan etanol 95%), juga sangat lemah daya antimikrobanya, dimana hasil uji difusi agar tidak menunjukkan
suatu areal bening zona penghambatan tetapi hanya zona dengan kerapatan pertumbuhan mikroba uji yang lebih rendah. Indeks pertumbuhan relatif (log N, / log No) yang diperoleh dengan metode kontak selama 24 jam masih lebih besar dari satu (walaupun masih dibawah nilai kontrol). Ini berarti, ekstrak polar tidak cukup efektif untuk menghambat pertumbuhan, tetapi dapat memperlambat laju pertumbuhan bakteri uji. Aktivitas antimikroba tertinggi ditunjukkan oleh ekstrak etil asetat. Uji difusi agar menghasilkan zona penghambatan (areal bening) berdiameter 9.1 mm. Ekstraksi bertingkat dengan 3 tahap ekstraksi dilakukan Adawiyah (1998), dengan 3 jenis pelarut: heksan, etil asetat dan etanol 95%. Perlakuan ini dimaksudkan agar zat ekstraktif yang belum diketahui sifat-sifatnya dapat diekstrak secara optimal pada salah satu pelarut yang digunakan (Adawiyah, 1998). Ekstrak yang diperoleh diuji aktivitas antimikrobanya dengan uji difusi agar. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa proses ekstraksi dengan heksan dimana terjadi penghilangan lemak dapat menghasilkan ekstrak etil asetat dengan aktivitas antimikroba yang lebih baik (diameter zona penghambatan meningkat 2-3 kali ekstrak etil asetat tunggal). Sementara itu, ekstrak etanol yang diperoleh dari tahap ekstraksi berikutnya (setelah ekstraksi etil asetat) tidak berbeda dari ekstrak etanol tunggal.
c . Dava antimikroba ekstrak atung Pengujian yang dilakukan Moniharapon et al (1997) dan Adawiyah (1998) menunjukkan bahwa ekstrak hasil ekstraksi bertingkat heksan-etil asetat dapat menghambat pertumbuhan bakteri Gram positif Bacillus subtilis, Staphylococcus aureus, Micrococcus luteus dan Enterococcus faecalis; serta bakteri Gram negatif Pseudomonas aeruginosa, Vibrio cholerae, Eschericia coli B , E. coli C , Salmonella enteritidis dan S. typhimurium dengan kepekaan berbeda. Pada Tabel 6 dapat dilihat aktivitas antimik-
roba dari ekstrak biji atung. Dari Tabel 6 dapat disimpulkan bahwa ekstrak heksan-etil asetat biji atung bersifat antimikroba dengan spektrum yang luas, karena dapat menghambat bakteri Gram positif dan Gram negatif. Karena aktivitas antimikroba ekstrak biji atung mem-
Tabel 6. Aktifitas antimikroba dari ekstrak biji atung Jenis Ekstrak Heksan
Heksanetil asetat
Heksanetil asetat Etil asetat
Keterangan:
Aktivitas antirnikroba MIC~ 4 pengham- UIBa batan (mm) (mmlg) (pllml) B. subtilis, 1015 357 E. faecalis, 19,O 6,47 M. luteus, 4,47 13,l S. aureus 15,9 5,40 E. coli B, 3,13 92 E. coli C , 3,23 9s S. enteriditis 533 15,7 B. subtilis, 14,80 27,4 E. faecalis, 12,90 23,8 M. luteus, 14,6 8,83 S. aureus 17,17 31,7 7,5 E. coli B , 14,73 27,4 E. coli C , 24,9 13,47 S. enteriditis 24.8 13,20 S. typhimurium, 7,5 P. aeruginosa 7,O 27,4 P. aeruginosa 5,6 4,5 V. cholerae 32,O 65 4,5 S. typhimurium 24,2 4,9 6,O P. aeruginosa 9,1 7,3 V. cholerae 16,l 12,9 S. typhimurium 10,8 816 - data tidak tersedia a : UIB = unit inaktivasi bakteri : MIC = minimum inhibitory concentration Mikroba yang Dihambat
Sumber
(Moniharapon, 1998)
(Moniharapon, 1998)
(Adawiyah, 1998) (Adawiyah, 1998)
punyai spektrum yang luas, maka diduga antimikroba bekerja dengan cara non spesifik pada membran sel. Antimikroba dari ekstrak heksan-etil asetat tampaknya mempunyai aktivitas yang sama terhadap bakteri Gram positif dan Gram negatif. Hal ini rnenyebabkan potensi antimikroba ekstrak biji atung perlu diteliti lebih lanjut, karena menurut Kubo el a1 (1995) dan Nychas (1995) sangat sedikit senyawa fitokimia yang berpotensi meng-
hambat bakteri Gram negatif. Beberapa ekstrak tanaman yang mempunyai aktivitas antimikroba terhadap bakteri Gram negatif adalah destilat dari ekstrak heksan daun
Ilex paraguayensis (Kubo et al, 1993), komponen flavor dari minyak zaitunlOlea europaea L (Kubo et al, 1995) dan destilat daun Perilla frutescens (Kang et al, 1992).
E. Staphylococcus aureus Staphylococcus aureus adalah bakteri Gram positif, yang termasuk dalam genus Staphylococcus dan famili Micrococcaceae, berbentuk bulat (kokus) bisa berupa sel tunggal, berpasangan atau menggerombol seperti buah anggur dan bersifat anaerob fakultatif. Bakteri ini merupakan kelompok bakteri mesofil dengan suhu pertumbuhan optimal 35-39'~(Fardiaz, 1989; Banwart, 1989).
S. aureus merupakan rnikroba flora normal yang terdapat pada permukaan tubuh, seperti pada permukaan kulit, rambut, hidung, mulut dan tenggorokan. Mikroba ini banyak mencemari pangan karena tindakan yang tidak higienis dalam penanganan pangan (Banwart, 1989). Bakteri ini digunakan sebagai bakteri indikator keamanan pangan disamping Salmonella dan Clostridium perfringens (Fardiaz, 1992). Bakteri S. aureus bersifat patogen dan sering mengkontaminasi makanan seperti produk-produk daging, ikan, susu, produk-produk olahan susu dan produk daging yang diolah dengan kadar garam relatif tinggi. Gejala keracunan makanan oleh
S. aureus berupa diare, mual, muntah, dan kejang perut. Masa inkubasi tergolong singkat, dari 30 menit sampai 8 jam setelah mengkonsumsi makanan yang tercemar (Banwart, 1989). Ketahanan S. aureus terhadap ekstrak tanaman telah banyak diteliti. Hampir semua minyak esensial dari rempah-rempah memberikan efek penghambatan terhadap pertumbuhan dan pembentukan toksin dari S. aureus (Nychas, 1995). Pada Tabel
7 dapat dilihat aktivitas penghambatan beberapa antimikroba terhadap bakteri ini. Perbedaan konsentrasi antimikroba akan memberikan pengaruh yang berbeda terhadap suatu mikroba, termasuk S. aureus. Conner (1993) mensitasi hasil penelitian Mantis et a1 (1978) mengenai pengaruh ekstrak bawang putih terhadap S. aureus. Dilaporkan bahwa pada konsentrasi 5%, ekstrak bawang putih bersifat bakterisidal
Tabel 7. Aktivitas beberapa bahan antimikroba terhadap Staphylococcus aureus
I
Jenislbentuk antimikroba
1
Bubuk lengkuas Ekstrak kloroform lengkuas Ekstrak kunyit Ekstrak bawang putih Ekstrak heksan-etil asetat Biji atung Ekstrak etanol biji picung -~kstrakkopi sangrai Robusta Arabica Minyak esensial dari Perilla Frutescens Minyak esensial dari Mentha Pulegium Juice kubis yang dipanaskan Pada 121 OC, 15 menit (autoklaf) Bumbu p l a i l Fluoroquinolone-3s Nisin
I
Aktivitas antirnikroba
I
Sumber
I
Rahayu (1999) Rahayu (1999) Suwanto (1983)
MIC: 35 mglml MIC: 2,5 mglml Menghambat pada konsentrasi 2 mglml Menghambat pada konsentrasi 4% MIC: 7,5 mglml
Davidson et a1 (1983) Moniharapon (1 998)
MIC: 3,45%
Nuraida et a1 (1999)
MIC: 3-12 pglml MIC: 6- 17 pglml MIC: 125 pglml
Daglia et a1 (1994) Kang et a1 (1992)
I Bakterisidal pada pengenceran -
-
1 Sivropoulou et a1
11100 Menghambat pada konsentrasi 0,05%
(1995) Kyung et a1 (1997)
Menghambat pada konsentrasi 18% (bk) MIC: 0,2 pglrnl MIC: 6,25 pg/rnl2 MIC: 2,5 pglml
Rahayu (1999) Ito et a1 (1992) Hurst dan Hoover (1993)
' ' ~ a m ~ u r adari n bawang merah, bawang putih, lengkuas, jahe dan kemiri * ' ~ n t u kgalur yang resisten terhadap methicillin
terhadap S. aureus, sementara jika konsentrasi kurang dari 1% tidak terjadi penghambatan.
F. STABILITAS KOMPONEN ANTIMIROBA SELAMA PENGOLAHAN DAN PENYIMPANAN Seperti halnya atribut mutu pangan, aktivitas antimikroba juga mengalami perubahan aktivitas karena pengolahan atau penyimpanan yang disebabkan oleh perubahan komponen aktifnya. Perubahan komponen aktif menyebabkan perubahan akti-
vitas antimikroba. Pada umumnya, perubahan akan menyebabkan penurunan aktivitas, walaupun dalam beberapa kasus menyebabkan peningkatan aktivitas (Houghton dan Raman, 1998).
1. Stabilitas Aktivitas Antimikroba Beberapa Bahan Pangan a. Ekstrak zaitun Nychas (1995) yang mensitasi penelitian Fleming et al. (1973) dan Walter et al. (1973) menyebutkan bahwa ekstrak etil asetat dari zaitun tidak hanya mengandung oleuropein (fenolik glukosida), tetapi juga produk-produk hidrolisisnya. Salah satu produk hidrolisis tersebut adalah oleuropein aglikon yang dilaporkan mempunyai aktivitas penghambatan terhadap bakteri asam laktat yang lebih besar dari komponen asalnya.
b. Minvak iahe Terjadinya dekomposisi komponen dapat menyebabkan perubahan warna ekstrak (Houghton dan Raman, 1998). Pada penyimpanan minyak jahe, kontak antara minyak dengan cahaya dan udara menyebabkan peningkatan viskositas, pembentukan residu (polimer) non volatil dan penurunan nilai rotasi optik (Purseglove et al, 1982). c.
Kor>i Munculnya aktivitas antimikroba didalam suatu bahan pangan dapat terjadi
pada waktu proses pengolahan, seperti dilaporkan oleh Daglia et a1 (1994). Penelitian Daglia et al. (1994) menunjukkan, aktivitas antibakteri pada kopi disebabkan oleh proses penyangraian. Hal ini karena biji kopi sendiri tidak menunjukkan aktivitas antibakteri. Aktivitas antimikroba meningkat jika kopi disangrai pada suhu yang lebih tinggi.
Diduga, aktivitas antimikroba kopi sangrai berasal dari polimer yang
merupakan hasil reaksi Mailard selama penyangraian dan komponen degradasi polimer tersebut (amin heterosiklik, furan, koinponen fenolik, dll).
d. Jus kubis Komponen antimikroba yang ada didalam jus kubis adalah metil metana tiosulfinat (MMTSO) yang dibentuk secara enzimatik dari komponen non antimikroba S-metil-L-sistein sulfoksida (SMCSO), asam amino sulfur non protein. Dari penelitian Kyung et a1 (1997) terhadap aktivitas antibakteri jus kubis pada S. aureus diketahui bahwa juice kubis yang dipanaskan selama 15 menit dalam autoklave suhu 121°c menunjukkan penghambatan terhadap pertumbuhan S. aureus. Aktivitas penghambatan jus kubis setelah dipanaskan lebih tinggi dari yang ditunjukkan oleh jus kubis yang tidak dipanaskan. Meningkatnya aktivitas jus yang dipanaskan ini bukan disebabkan oleh rusaknya komponen esensial karena destruksi termal, tetapi karena terbentuknya komponen antimikroba baru metil metana tiosulfonat (MMTS02) pada waktu pemanasan. MMTS02 merupakan hasil degradasi termal dari komponen SMCSO. Secara enzimatis, MMTS02juga terbentuk oleh pemecahan MMTSO menjadi dimetil disulfida (DMDS) dan MMTS02 selama penyimpanan jus kubis. Aktivitas antimikroba MMTS02 dilaporkan lebih tinggi dari MMTSO (Kyung et al, 1997).
2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Stabilitas Aktivitas Antimikroba selama Penyimpanan Perubahan komponen aktif dapat disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain terjadinya interaksi antar komponen aktif, kondisi proses pengolahan dan penyimpanan, pengaruh dari faktor fisik, adanya katalis (cahaya, kontarninan logam, kondisi asarn atau alkali, panas) yang memicu reaksi yang mengubah komponen aktif, adanya aktivitas enzim atau mikrobiologis dan terjadinya oksidasi karena kontak dengan oksigen (Apriyantono, 2001). Perubahan kimia dari bahan antimikroba terjadi dengan melibatkan komponen aktif dengan faktor lingkungan luar. Proses yang terjadi mungkin berupa reaksi oksidasi, hidrolisis, isomerisasi dan polimerisasi. Perubahan ini akan dipercepat jika terjadi peningkatan suhu, oksigen, aw dan cahaya selama penyimpanan (Houghton dan Raman, 1998; Bell et a]., 1992).
Umur simpan suatu produk pangan dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu keadaan alamiah atau sifat dari makanan dan mekanisme berlangsungnya perubahan, ukuran kemasan, kondisi atmosfir (suhu dan kelembaban) serta ketahanan keseluruhan kemasan terhadap gas dan air (Syarief et al, 1989). Aktivitas antimikroba juga dipengaruhi oleh kondisi lingkungannya. Faktor yang mempengaruhi stabilitas antimikroba adalah pH, suhu, cahaya, oksidator, dan logam berat (Davidson dan Doan, 1993; Sofos dan Busta, 1993). Faktor-faktor ini dapat bereaksi sinergis atau antagonis dan meningkatkan atau menurunkan aktivitas antimikroba. Berikut akan dijelaskan pengaruh beberapa faktor l u x pada stabilitas antimikroba selama penyimpanan.
a. Sistem kemasan Sistem kemasan bahan antimikroba sangat mempengaruhi stabilitas aktivitas antimikrobanya. Penelitian Kohn et a1 (1963) yang disitir oleh Morton (1982) menyebutkan bahwa sifat bakteristatik dari larutan khlorheksidin yang diencerkan dengan air (1:5000) terhadap Pseudomonas dapat berubah selama penyimpanan, dan dipengaruhi oleh kondisi kemasan yang digunakan. Larutan khlorheksidin yang disimpan pada botol bertutup plastik ulir tetap aktif setelah penyimpanan selarna satu tahun. Pada penyimpanan didalam botol dengan sumbat kayu, larutan ini dilaporkan kehilangan daya antimikrobanya beberapa jam setelah penyimpanan.
Bahan didalam
sumbat kayu yang diduga menginaktivasi komponen ini adalah tanin, yang menyerap komponen aktif dari larutan. Paul dan Ohlsson (1985) yang disitir oleh Conner (1993) menyebutkan bahwa larutan encer dari laktoperoksidase, enzim susu yang bersifat bakterisidal, mengalami penurunan aktivitas yang sangat nyata jika disimpan pada gelas kaca.
b. Suhu Ketahanan senyawa antimikroba sangat bervariasi mulai dari yang peka hingga yang sangat tahan terhadap panas. Senyawa berberat molekul rendah umumnya bersifat kurang stabil dan mudah menguap dengan adanya peningkatan suhu. Rahayu ( 1 999) yang meneliti ketahanan panas senyawa antimikroba ekstrak lengkuas mela-
porkan bahwa aktivitas antimikroba ekstrak lengkuas yang telah mengalami pemanasan pada 121°C selama 15 menit tetap dapat menahan laju pertumbuhan bakteri B. cereus selama waktu kontak 6 jam. Hasil penelitian Shashikant et al. (198 1) yang
disitir oleh Rahayu (1999) menyebutkan bahwa aktivitas antimikroba ekstrak bawang putih tetap stabil selama 48 jam jika disimpan pada suhu 37OC dan hanya stabil selama 36 jam jika suhu penyimpanan dinaikkan menjadi 58OC. Paraben (komponen fenolik: metil, propil dan heptil ester dari phidroxybenzoic acid) stabil terhadap udara dan resisten terhadap dingin dan panas termasuk sterilisasi uap. Larutan paraben pH 3,O dan 6,O stabil pada pemanasan 1 2 0 ' ~ selama 30 menit. Pada larutan paraben pH 8,0, perlakuan yang sama menyebabkan 6% paraben terhidrolisis. Penyimpanan larutan paraben pH 3,0, 6,O dan 8,O pada suhu 2 5 ' ~dapat mempertahankan stabilitasnya selama 6 minggu (Davidson, 1993). Dietil dikarbonat (DEDC) merupakan cairan sterilan yang tidak berwarna dengan bau seperti buah. Pada konsentrasi 30-3000 mg/L, DEDC dapat membunuh (100%) bakteri dengan jumlah awal lo2-10' koloni/ml. Peningkatan suhu penyimpanan menyebabkan peningkatan kecepatan hidrolisi DEDC ini seperti terlihat pada Gambar 2 (Ough, 1993).
0
1 0
8
16
24
32
Suhu (C)
Gambar 2. Hidrolisis DEDC pada suhu yang berbeda. Waktu paruh merupakan waktu yang dibutuhkan untuk menghidrolisis separuh dari DEDC (Ough, 1993)
Pada beberapa komponen, stabilitasnya selama penyimpanan dipengaruhi oleh kondisi pH seperti yang ditunjukkan oleh natamisin. Setelah penyimpanan 3 minggu di suhu 30°c, 100% aktivitas natamisin dapat dipertahankan pada pH 5-7, tetapi aktivitasnya menurun menjadi sekitar 85% pada pH 3,6 dan 75% pada pH 9,O Pada kondisi penyimpanan normal, suhu hanya memberikan sedikit efek pada aktivitas natamisin dalam bentuk suspensi aqueous netral. Aktivitas dapat dipertahankan selama beberapa hari pada penyimpanan disuhu 5 0 ' ~ . Sebaliknya, larutan natamisin encer tidak stabil dan mudah terhidrolisis (Brik, 1981; Gist-Brocades, 1991 yang disitir oleh Davidson dan Doan, 1993). Kelarutan dan stabilitas nisin terhadap panas, juga sangat dipengaruhi oleh pH larutan. Nisin didalam larutan HCL encer pada pH 2,5 mempunyai kelarutan 12% dan dapat di autoklave tanpa menyebabkan hilangnya aktivitas. Pada pH 5,O kelarutan akan menurun menjadi 4%. Nisin tidak dapat larut pada kondisi pH larutan netral atau alkali, dan penyimpanan di suhu ruang pada kondisi ini akan menyebabkan inaktivasi sifat antimikroba (Hurst dan Hoover, 1993). Stabilitas antimikroba dari rempah jauh lebih rendah dibandingkan antimikroba dalam bentuk murni. Penelitian Rahayu (1999) menyebutkan bahwa penyimpanan bumbu gulai menurunkan aktivitas antimikxobanya terhadap bakteri uji (B. cereus dan
S. aureus), karena terjadinya kerusakan bumbu. Penyimpanan pada suhu yang lebih tinggi akan mempercepat proses kerusakannya (Gambar 3). Pada suhu penyimpanan 3 0 ' ~bumbu yang disimpan selama 2 hari masih memiliki aktivitas terhadap B. cereus dan yang disimpan selama 4 hari masih memiliki aktivitas terhadap S. aureus. Sementara itu, penyimpanan pada suhu rendah ( 8 ' ~ ) dapat mempertahankan aktivitas terhadap B. cereus pada 3 minggu penyimpanan dan terhadap S. aureus masih efektif pada penyimpanan 4 minggu.
c. Bentuk bahan antimikroba
Bentuk antimikroba akan mempengaruhi ketahanannya terhadap reaksi degradasi selama penyimpanan. Dari beberapa literatur diketahui bahwa senyawa anti-
G. KINETIKA REAKSI Beberapa metode telah dikembangkan untuk mengevaluasi umur simpan dari suatu produk pangan. Hal ini dilakukan dengan mempelajari perubahan dari beberapa karakteristik mutu tertentu selama periode penyimpanan. Metode empiris atau pengujian secara analitik dapat dilakukan untuk mengkuantifikasi perubahan dari atribut mutu (Singh, 1994). Penggunaan pendekatan kinetika kimia telah dilakukan untuk model perubahan dalam produk pangan. Kinetika kimia bertujuan untuk mempelajari laju perubahan suatu komponen menjadi komponen lain dan faktor yang mempengaruhinya, tanpa memperhatikan mekanismenya (Espenson, 1995). Kecepatan reaksi ditentukan dengan memonitor konsentrasi reaktan yang digunakan atau konsentrasi produk yang dihasilkan per unit waktu (Singh, 1994). Jika suatu sifat fisik menunjukkan korelasi dimana perubahannya proposional dengan perubahan konsentrasi reaktan, maka data perubahan fisik ini dapat digunakan sebagai data kinetika (Espenson, 1995). Penggunaan pendekatan kinetika kimia untuk mempelajari pengaruh suatu faktor terhadap suatu komponen tertentu, harus memenuhi syarat bahwa semua kondisi diluar faktor yang akan diamati harus dipertahankan tetap selarna penelitian berlangsung. Karena itu, pendekatan kinetika tidak bisa dilakukan jika kondisi diluar faktor yang akan diamati tidak bisa dikontrol.