11.
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Ekosistem Terumbu Karang
Ekosistem terumbu karang pada hakekatnya mempunyai sitkt multi hngsi (Nybakken, 1992; Kantor Men KLY 1992) Selain sebagai habitat berbagai jenis biota, ekosistem ini berfbngsi sebagai sumberdaya hayati, sumber keindahan dan pelindung fisik pulau Sebagai habitat, ekosistem terumbu karang merupakan tempat untuk tinggal, berlindung, mencari makan dan berkembang biaknya biota, baik yang hidup di dalam terumbu karang maupun dari perairan sekitarnya Di dalam ekosistem ini terdapat kumpulan kelompok biota dari berbagar tingkatan tropik yang mempunyai sifat saling tergmtung erat Biota tersebut meliputi berbagai jenis ikan karang, seperti ikan kerapu d m ikan baronang, teripang, bulu babi; beberapa jenis rumput laut, d m beberapa jenis moluska yang bernilai komersial Sebagai sumber keindahan, ekosisitem terumbu karang dengan keanekaragaman jenis, bentuk biota dan keindahan warna, serta jernihnya perairan mampu membentuk perpaduan harmonis dan estetis, ideal untuk tempat rekreasi bawah iaut.
As~ek Biotoei d a m E k o l o ~Terumbu i Karang Ekosistem
Terumbu
karang
adalah
ekosistem
dasar
laut
tropis
yang
komunitasnya didominasi oleh biota laut penghasil kapur, terutama karang batu (sfony
coral) dan algae berkapur (cafcarecnrsalgae). Terumbu karang bempa gugusan karang yang terbentuk dari endapan masif kristal kalsium karbonat (CaCOp), berasal dari epidermis pada setengah bagian bawah kolom dan binatang karang (polip menetap),
8
algae dan organisme lain penghasil kalsium karbonat tersebut. Terumbu karang mempunyai respon spesitik terfiadap lingkungan sekitarnya. Pertumbuhan yang pesat pada kedalaman rata-rata 2-15 meter, dan cahaya merupakan faktor utama yang mempengaruhi distribusi vertikalnya (Nybakken, 1992; Soewignyo, 1989; ). Karang pembentuk terumbu hanya dapat tumbuh dengan baik pada daerahdaerah tertentu, seperti pulau-pdau yang sedikit mengalami proses sedimentasi atau di sebelah timur dari benua yang umumnya tidak teqengaruh oleh adanya arus dingin (Suharsono, 1996). Keberadaan terumbu karang ditandai oleh rnenonjotnya jenis biota yang hidup di dalamnya, diperkirakan menempati sekitar 0.2% dari luas samudera dunia sekitar 362 059 000 krnz atau 70.8% permukaan bumi. Sebagian besar terumbu karang (coral reeJ) tumbuh di perairan tropis yang jernih dan agak dangkal pada rentang isothermal 20" C dengan ketersediaan nutrisi rendah, dan pada kedalaman kurang dari 40 meter (Allister, 1989; Hardianto, dkk., 1998). Tiga daerah besar sebaran terumbu karang di dunia, yaitu di laut Karibia, laut Hindia, dan laut Indo-Pasifik. Di Laut Karibia, terumbu karang tumbuh di tenggara pantai Amerika sampai di sebelah barat utara pantai Amerika Seiatan. Walaupun merupakan laut dangkal, di daerah ini karang hanya tumbuh di bagian tertentu. Di laut Hindia, sebaran karang meliputi pantai timur Afi-ika, h u t Merah, Teluk Aden, Teluk Persia, Teluk O m a n sampai di Lautan Hindia Selatan (garis lintang 26O). Di kawasan ini, sebaran karang lebih banyak ditentukan oieh adanya upwelling. Sebaran karang di Laut Pasifik meliputi Laut Cina Selatan sampai pantai timur Australia, Pantai Panama sampai pantai selatan Teluk California. Di kawasan ini, karang tumbuh dengan baik hingga mencapai kurang lebih 80 marga karena faktor alami (Suharsono, 19%).
9
Sebaran karang di Indonesia menurut Suharsono (1996) lebih banyak terdapat di sekitar Pulau Sulawesi, laut Flores dan Banda. Sebaran karang di sepanjang pantai timur Sumatera, sepanjang pantai utara Pulau Jawa, Kalimantan Barat dan Kalimantan Selatan dibatasi oleh tingginya sedimentasi. Tumbuh dan berkembangnya karang dengan baik di Sulawesi (utara) adalah karena adanya arus lintas Indonesia yang mengalir sepanjang tahun dari laut Pasifik dan Laut Hindia Sebagai suatu ekosistem yang sangat produktif, terumbu kmtrang memiliki mkup kaya keanekaragaman hayati laut, sehingga menampakkan panorama dasar laut yang sangat indah. Ekosistern ini terdiri dari jaringan mata rantai yang menumbuhkan siklus fauna, siklus flora, siklus air dan berbagai siklus lainnya yang d i n g berkaitan. Karena itu, menurut Salim (1991), ekosistem terumbu karang memiliki iima fingsi penting, yaitu: (a) fingsi keterkaitan, (b) fungsi keanekaragaman, (c) fingsi keserasian antar komponen satu dengan lain, (d) hngsi efisien, dan (e) fingsi keberlanjutan.
Jenis-ienis Temmbu Karang Terurnbu karang tersusun oleh ratusan ribu jenis karang batu (stony coral) dari empat ordo, yaitu scleracfiniu, stoionz~era,cwnothecalia, dan milieporina. Sebagai biota yang paling dominan, peran karang batu tersebut sangat penting, mirip dengan peran pohon dalam ekosistem hutan (Sukamo dkk., 1983 dalam Hardianto, dkk., 1998). Karena itu, kerusakan dan kematian karang batu dapat mengubah lingkungan dan keseimbangan komunitas terumbu h a n g secara keselumhan. Karang batu disebut juga polip atau polip koral yang hidup bersimbiosis dengan tumbuhan mikroskopis, Zooxanthella, yaitu ganggang bersel satu. Ganggang ini hidup
10
dalam jaringan tubuh polip. Walaupun hidup menurnpang pada polip, ganggang tersebut tidak bersifat parasit.
Bahkan sebaliknya, terjadi hubungan antara polip dan
ZoomnthelCa yang saling menguntungkan (simbiosis mubuaIisme).
Ganggang ini
rnenghasilkan bahan makanan dan nitrogen sebagai sumber makanan polip koral. Secara fisik, polip sebenarnya adalah hewan.
Di sekitar mulut polip terdapat
sejurnlah rumbai (disebut tentakel). Tentakel b d n g s i menangkap makanan karena mempunyai sel-sel racun untuk melumpuhkan plankton (organisme sangat kecil) di dalam perut polip guna mendukung proses pertumbuhan dan perkembangbiakan polip. Kelahiran polip barn melalui dua cara, yaitu pertunasan (aseksual) dan larva (seksual). Larva (disebut planula) berasal dari pembuahan sel telur oleh sperma. Dari Larva, polip baru melepaskan diri dari induknya dan hidup bebas di air. Setelah beberapa hari, polip baru berbentuk larva ini melekat pada substart yang keras, seperti cadas atau karang yang sudah mati. Dari proses inilah, terumbu karang tumbuh sangat lambat melalui pembentukan polip-polip baru dengan cara pembiakan aseksual (fkagmentasi).
Dari pertunasan, polip baru tetap melekat pada induknya yang dibatasi oleh sekat kapur. Berdasarkan bentuk perturnbuhamya, Dahl (1981) dalam Ongkosongo (1988) membedakan bentuk hewan karang menjadi enam jenis, yaitu karang bercabang (Branching),
karang padat (Massive), karang kerak (Encrusting), karang meja
(Tabuwe), karang daun (Foliose) dan karang jamur (Mushroom). Formasi terumbu karang tersebut selanjutnya secara struktural oleh Odum (1971); Sheppard (1963) dalarn
Ongkosongo (1988); Nybakken (1992) dikelompokkan menjadi tiga tipe umum, yaitu: (a) tenrmbu karang tepi
(f?inging reef/Shore reefi, (b) terurnbu karang penghalang
( b i e reefs) ~ d m (c) terumbu karang cincin (Atoll). Di k t a r a tiga struktur tersebut,
11
terumbu
karang
tepi
yang
paling
umum
dijumpai
di
perairan
Indonesia
(Suharsono, 19%). Dijelaskan oleh Hardianto, dkk. (1998) bahwa terumbu karang tepi atau pantai
(fringing reefs) tumbuh subur di daerah cukup ombak dengan kedalaman tidak lebih dari 40 meter. Terumbu karang jenis ini ditemukan hampir di selumh pantai Indonesia.
Terumbu karang tepi tumbuh menuju ke permukaan laut dengan arah ke iaut lepas. Pertumbuhan terumbu karang dapat terhambat akibat perubahan suhu yang sering tejadi danbanyaknyaendapan. Terumbu karang penghalang (barrier reefs) umumnya terdapat di sekitar pulaupulau gunung api, terpisah jauh dari pantai oleh suatu goba atau laguna dengan kedalaman mencapai 40 meter, lebar puluhan kilometer dan dasar yang sangat dalam.
Di Indonesia, terumbu karang ini dapat dijumpai di Selat Makasar, yaitu di "Sunda Besar". Tenunbu karang penghalang yang terkenal adalah "The Great Barrier Reer di timur laut Australiq. membentuk struktur penghalang sepanjang 1.350 mil (Sukarno
dkk., 1983 dalam Hardianto, dkk., 1998). Bentuk temmbu karang cincin (atof) seperti cincin dan di tengah-tengahnya terdapat suatu goba. Kedalaman rata-rata suatu goha adalah 45 meter. Seperti terumbu karang penghalang, terumbu karang cincin bertumpu pada dasar yang cukup d d a m hingga terumbu itu tidak &pat tumbuh lagi. Di perairan Indonesia, terumbu karang cincin terdapat di sekitar pulau-pulau Taka Bonerate, yang pernah dikenal dengan sebutan "Tiger lsIa&.
Terumbu karang cincin atau at01 Taka Bonerate di laut Flores ini
adalah at01 tersebar di dunia, dengan luas 2.220 kilometer persegi.
Faktor-Faktor Y a w Mem~ennaruhiPertumbuhan dan Keianesun~anHidun Terumbu &rang Ekosistem terumbu karang yang unsur utamanya berupa biota laut memiliki persyaratan hidup yang sama dengan persyaratan hidup karang batu (stony coral) dan zooxanthellae. Persyaratan tersebut, menurut Nybakken (1992), Sukarno (1995) dan Hardianto, dkk. (1998) berkaitan dengan : (a) Cahava matahari. Cahaya matahari sangat dtperlukan zoaxanthellae hidup bersimbiose di jaringan emhakrm poiip karang batu untuk proses fotosintesis (proses fotosintesis juga menghasilkan oksigen terlarut di dalam air laut). Karena
itu, endapan pada perairan yang terdapat karang hidup, selain menghalangi penetrasi cahaya matahari ke dasar laut dapat menutupi mulut karang batu dan mematikan terumbu karang (b) Suhu normal. Karang batu dapat tumbuh baik pada perairan dengan suhu rata-rata lebih dari 18 OC, dan tumbuh normal pada suhu perairan 25-30°C Suhu ekstrim dapat mempengaruhi kehidupan karang batu, seperti proses produksi, metabolisme
clan pembentukan kerangka kapur sebagai kerangka luamya. Suhu perairan Indonesia yang dikenat memiliki kekayaan dan keindahan tenunbu karang, berkisar antara 27-2g0C.
(c) Salinitas (kadar param). Karang batu dikenal sebagai biota laut yang memiliki toleransi tinggi terhadap perubahan salinitas air laut, yaitu antara 2740 %. Namun, aliran air sungai tawar dapat menghalangi perhunbuhan bahkan memati-kan karang
batu.
(d) Keiernihan Air, sangat diperlukan untuk menjamin masuknya sinar matahari ke dasar laut. Sinar matafiari sangat penting untuk berlangsungnya proses fotosintesis endosimbion zooxanthellae di endoderm karang batu. Banyaknya partikel atau
endapan di dalam air laut dapat menimbulkan kekeruhan yang dapat menghalangi penetrasi sinar matahari ke dasar laut. Akibatnya proses fotosintesis terganggu, dan pertumbuhan karang batu terhambat. (e) Pereerakan air laut (atau arus) diperlukan untuk kelangsungan hidup karang batu. Karena karang batu hidup menetap (tidak dapat berpindah tempat), maka kebutuhan makanan dan oksigen di malam hari hanya dapat terpenuhi oleh keberadaan arus yang membawa ke tempat karang batu hidup tersebut (kebutuhan oksigen siang hari untuk proses fotosintesis z o o ~ n t h e l h edi jaringan endod-erm karang batu lebih dari cukup). Pergerakan air laut juga membantu membersihkan endapan yang menempel menutupi muIut h a n g batu hidup. (f)
.
Substrat dasar. Substrat dasar yang keras dan bersih dari endapan diperlukan untuk penempelan larva karang batu yang siap membentuk koloni baru.
Funpsi dan Manfaat Terumbu Karang Ekosistem terumbu karang sebagai ekosistem kawasan pesisir, berperan besar sebagai: (a) tempat tumbuh biota lain karena fingsinya sebagai tempat memijah, mencari makan, daerah asuhan berbagai biota laut, (b) sumber plasma nutfah, (c) mencegah erosi dan mendukung terbentuknya pantai berpasir, dan (d) melindungi pantai dari hempasan o d a k dan keganasan badai, disamping melindungi berbagai macam .
,
_-
*
bangunan fisik (Nybakken, 1992; Dahuri, 19%). Selain itu, terumbu karang merupakan sumber bahan baku untuk berbagai macam kegiatan, seperti karang batu dan pasir
14
sebagai bahan bangunan, karang hitam (black coral) sebagai bahan perhiasan, dan kerang atau molusca yang dapat untuk bahan penghias mmsh (Sukarno, 1995). Di negara-negara berkembang, terumbu karang secara tidak langsung sebagai penghasil protein bagi penduduk, disamping sebagai obyek wisata, penangkal ombak atau pelindung usaha perikanan laguna, pelindung pelabuhan-pelabuhan kecil dari badai dan hempasan air laut, serta kegunaan lainnya. Terumbu karang mempunyai produktivitas tinggi, terutama karena adanya simbiosis antara koloni karang dan zooumthefhe,yakni sel-sel alga renik pada jaringan terluar dari karang yang membangun terumbu karang. Alga ini memberi lebih dari tiga per empat tenaga maupun kalsium untuk pembentukan kerangka karang. Perairan yang jernih clan bebas sedimen (sehingga sinar matahari menembus perairan), menjadikan zooxanfhelhedapat berfungsi. Forum Internasional mengakui bahwa Indonesia memiliki fauna karang batu paling beragam, sehingga Best (1994) menganggap Indonesia paling kaya dan sebagai pusat sebaran jenis karang di dunia. Datam strategi konservasi dunia, terumbu karang termasuk salah satu komponen utarna yang sangat penting, karena: (a) memiliki variasi bentuk pertumbuhan yang kompleks dan produktif, @) memiliki keanekaragaman j e ~ s biota yang sangat tinggi dan (c) sebagai penunjang berbagai macam kehidupan, seperti produksi makanan, obat-obatan dan berbagai kebutuhan manusia secara berkelanjutan (IUCN/LJNEP/WWF
1980; Kantor Men LH, 1992).
Sedikitnya 350 spesies karang batu diperkirakan berada di Indonesia
Keane-
karagaman spesies ini diketahui dari ditemukannya berbagai jenis kehidupan pada ekosistem terumbu karang, seperti berbagai ikan, kerang, kepiting, udang dan lain-lain
15
(Hardianto, dkk., 1998). Hasil temuan terdahulu diketahui bahwa pada ekosistem terumbu karang yang sehat menghasilkan 35 ton ikan/kilometer persegi setiap tahun, sedangkan dafam ekosistem terumbu karang rusak menghasilkan kurang dari lima ton ikan (Allister, 1989). Dalam kondisi fisik yang baik, terumbu karang dapat berfungsi secara optimal sebagai sumber penghidupan masyarakat pesisir, khususnya nelayan. Ancaman Terhada~Terumbu Kamng Ancaman langsung terhadap twerumbu karang dapat berupa penangkapan yang berlebihan untuk bahan makanan, penggunaan alat-alat penangkapan ikan yang Iebih efektif, dan komersialisasi telah mengurangi populasi species ikan karang. Pemalcaian cyanida untuk mengumpulkan ikan-ikan hias taut dan penangkapan ikan dengan
menggunaan alat peledak untuk kebutuhan pangan, menyebabkan banyaknya terumbu karang yang tidak dapat pulih dari kerusakan dan terbunuhnya satwa perairan lain beserta telur-telur dan larva-larva yang berada dalam perairan tersebut. Selama ini terdapat berbagai ancaman langsung terltadap keiangsungan hidup sebagian besar species ikan-ikan karang beserta habitatnya yang tidak (belum) diketahui staiusnya. Bahkan jumlah sebenarnya dari species-species ikan-ikan karmg belum diketahui. Sementara itu, disadari bahwa banyak stock ikan besar yang mulai berkurang Dengan diketahuinya penyebab utama (langsung maupun tidak langsung) hilangnya populasi tersebut, sudah saatnya dikembangkan rencana-rencana kegiatan pada perairan yang habitat tenrmbu karangnya parah dan ikan-ikannya lenyap. Negara berkembang, seperti Indonesia, perlu memandang jauh ke depan serta menyusun dan menetapkan prioritas kebijakan melindungi ekosistem terumbu h a n g dari kerusakan.
16
Ancaman terhadap kelangsungan hidup ekosistem terumbu karang dapat berasal dari beberapa faktor, antara lain: (a) bencana alam, seperti gempa, taifimq kenaikan suhu air laut karena el-nino, letusan gunung berapi, naiknya air laut, dan (b) kegiatan manusia. Terumbu karang sebagai ekosistem sangat rapuh d m tergolong sangat lambat tumbuh kembali bila d i s a k . Karena itu, kegiatan manusia berupa pengambilan biota terumbu karang secara berlebihan, sedimentasi, ataupun karena pencemaran laut (polusi), menyebabkan perubahan persyaratan hidup terumbu karang dan dapat berdampak negatif terhadap kelangsungan hidupnya. 2.2.
Pembangunan Berkelanjutan Dan Pemanfaatan Sumberdaya Alam
Problems Umum Pemban~unanDi Pedesaan
Pengalaman sejarah menunjukkan bahwa pendekatan pembangunan yang berorientasi hanya pada
"'growth first and distribution Cater" tidak sesuai lagi bagi
negara-negara berkembang. Di Indonesia, misalnya, penerapan strategi tersebut menghasilkan berbagai kesenjangan, s e w kesenjangan spasial yang terjadi antara desa dengan kota, antara Jakarta dan luar Jakarta, antara Jawa d m Luar Jawa, serta antara Kawasan Barat Indonesia dan Kawasan Timur Indonesia. Beberapa isu di pedesaan nelayan (kawasan pesisir) yang sering disoroti adalah: (1) terjadinya pengurasan sumberdaya modal (capitalout-flow) dda desa ke kota melalui
mekanisme pertukaran yang bersifat asimentris, di mana masyarakat desa (khususnya nelayan) menghadapi struktur pasar oligopolistis d m berkaitan dengan rendahnya nilai tukar hasil tangkapan terhadap produk industri dari perkotaan; (2) tingginya jumlah migran d m laju mi--asi
desa-kota (urbanisasi) yang semakin meningkat belakangan ini;
17
(3) terjadinya penyedotan tenaga kerja terdidik dan terampil dari desa ke kota; dan (4)
masuk dan meleburnya tata nilai kota, serta melunturnya tata nilai masyarakat pedesaan. Latar beiakang paradigma "ekonomi dualistik" yang dipelopori oleh Boeke (1953) dan kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh Lewis (1954) dan Myint (1964), tampak mewarnai sistem perekonomian di atas. Paradigma ini memandang bahwa perekonamian negara-negara berkembang (termasuk Indonesia), sebagai akibat dari upaya eksploitasi negara penjajah, dan terbelah dalam dua kutub ekstrim. Dua kutub tersebut secara umum dikategorikan sebagai: (1) sektor tradisional (termasuk pertanian rakyat dan industri kecil yang berlokasi di desa), dan (2) sektor modem (termasuk usaha perkebunan besar dan industri yang berlokasi di kota). Kedua sektor ini terpisah satu sama lain, tanpa kaitan produksi, kecuali secara pasif hanya terjadi melalui aliran tenaga kerja dan tiskal. Dalam pola ekonomi perdesaan yang terisolasi dari kegiatan ekonomi yang Lebih luas, seperti diilustrasikan Geertz (1963), yang teqadi adalah struktur diran perubahan energi antar berbagai komponen ekosistem, seperti mahluk hidup mengambil bahan makanan dari dan mengembalikan bahan-bahan buangan ke linglcungan sekitarnya. Kegiatan penangkapan ikan tradisional, seperti di Kawasan Timur Indonesia, merupakan
salah satu contoh kegiatan ekonorni wilayah pedesaan. Di Kawasan Timur Indonesia, proses involusi rnenjadi perangkap kemiskinan akibat keterbatasan interaksi. Penduduk lokal menderita berbagai kekurangan dalam pola-pola interaksi yang diperlukan, seperti bentuk pertukaran informasi/ pengetahuad ide-ide, modal, clan pasar. Oleh karena itu penduduk lokal menghadapi kesulitan di
dalam proses penyegaran dan pembaharuan prilaku, serta berbagai kegiatan untuk
18
memenuhi dinamika peningkatan permintaan akibat peningkatan jumlah penduduk. Pada wilayah-wilayah pedesaan yang menghadapi masalah tersebut, membangun model keterkaitan pemberdayaan penduduk lokal dengan sistem perekonomian di sekitarnya (perkotaan dan perekonornian yang lebih luas), dapat dipandang sebagai suatu kerangka model pemberdayaan penduduk lokal yang strategis. Pola ekonomi pedesaan yang terkait dengan perekonomian perkotaan dan struldur perekonomian yang lebih luas namun pola keterkaitannya tidak simetris, diperkiakan akan menghadapi struktur pasar yang hegemonik dan non altruistik dari perekonomian perkotaan serta struktur perekonomian yang lebih luas (SaefUlhakim, 1998). Dalam hal ini perekonomian perdesaan diposisikan sebagai penerima harga.
Sumberdaya perdesaan dieksploitasi tanpa perbaikan yang nyata pada pembangunan kesejahteraan penduduk lokal di perdesaan secara berkelanjutan. Oleh karena itu, keterkaitan ini memperparah kemiskinan di pedesaan, memperlemah struktur keterkaitan desa-kota, dan mengtmcam keberlanjutan pembangunan. Berdasackan beberapa isu perrnasalahan di atas dapat diiemukakan suatu pandangan umum bahwa dalam prespektif sistem pembangunan, upaya pemecahan masalah-masalah perdesaan, khususnya desa-desa nelayan, tidak dapat dilakukan dari sisi perdesaan saja atau perkotaar. saja, tetapi yang lebih penting adalah melalui perbaikan pola keterkaitan keduanya secara nyata. Dalam kondisi ini, pembaharuan (reformasi) pola keterkaitan ke arah format yang lebih baik dapat dipandang sebagai kerangka pembangunan masyarakat perdesaan yang strategis.
Paradwma Pembanpunan Berkelaniutan. Pemberdavaan Masvarakat dan Pemanfaatan Sumberdava Alam Pembangunan berkelanjutan (sustainabb development) adalah pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan generasi masa depan tanpa kompromi apakah generasi tersebut memiliki kemampuan untuk memenuhi kebutuhannya sendiri. Definisi ini diperkuat Bank Dunia dalam mempromosikan pembangunan berkelanjutan dengan menyatakan bahwa "pembangunan ekonomi mengurangi kemiskinan dan pengaturan lingkungan yang baik adalah tujuan yang secara konsisten ditingkatkan mutunya" (World Bank, 1988 dalam Pezzey, 1992). Ide dasar konsep pembangunan berkelanjutan di atas bermula dari 'the Club of Rome" tahun 1972. Pesan penting dokumen tersebut diantaranya bahwa sumberdaya alam telah berada p ~ d atingkat ketersediaan yang memprihatinkan dalam menunjang keberlanjutan (sustainabilify) pertumbuhan penduduk dan ekonomi. Pesan tersebut meluas setelah ada debat "Lzmits to Growth" di awal tahun 1979-an (Friedmann, 1992). Debat tersebut membahas apakah kelanjutan perkembangan ekonomi yang tidak &pat dielakkan ini akan menjadi faktor penyebab penurunan kualitas lingkungan dan kehancuran sistem sosial skala global atau tidak. Pada akhir tahun 1970-an,debat panjang berakhu dengan resohsi bahwa pembangunan ekonomi harus berkelanjutm. Konsep "pembangunan berkelanjutan" pertama kali dipublikasikan secara luas oleh WorM Conservation Strategy ( W C N , 1980 dalarn Pezzey, 1992). Sejak itu pemikiran dipusatkan pada lingkungan dan pembangunan. Seperti dalam laporan World Commision on Li:mironment and Uevefopmenf
(WCED), @a
bagian
-
"Laporan
Bmndtland" dan .makalah Bank Dunia yang berjudul "Environment, Growth, and
20
Development" (World Bank, 1987
Pezzey,
1992), konsep
pembangunan
berkelanjutan mendapat dukungan para pemirnpin beberapa negara di dunia Sejak itu konsep pembangunan berkelanjutan dan saling ketergantungan antara ekonomi dan linglcungan menjadi konsep-konsep penting pembuat keputusan politik di seluruh dunia. Dalam kaitannya dengan konsep pembangunan berkelanjutan, Friedmann (1992) membangun konsep ''empowerment (pemberdayaan) berdasarkan dua premis utama, yaitu kegagalan dan harapan Kegagalan yang dimaksud adalah gagalnya model-model pembangunan ekonomi dalam menanggulangi kemiskinan dm pembangunan lingkungan yang berkelanjutan Sedangkan munculnya harapan adalah karena adanya altematifaltematif pembangunan yang mernasukhn nilai-nilai demohatis, persamaan gender, persamaan antar generasi, dan pertumbuhan ekonomi yang rnemadai Menurutnya, kegagalan dan harapan tersebut bukan merupakan alat ukur dari hasil kerja ilmu-ilmu sosial, melainkan lebih merupakan cermin dari nilai-nilai normatif dan moral yang akan terasa sangat nyata pada tingkat individu dan masyarakat. Pada tingkat yang kbih luas,
yang dirasakan hanya gejala dari kegagalan d m harapan. Dengan demikian, pemberdayaan masyarakat adalah nilai kolektif dari pemberdayaan individual (Friedmann, 1992). Pembangunan berkelanjutan pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan rnanusia. Kesejahteraan tersebut hanya dapat dicapai jika pembangunan sesuai dengan martabat kemanusiaan, karena secara universal manusia berkeinginan untuk membangun kehidupan dan meningkatkan kesejahieraan. Untuk penjelasan ini, secara konseptual dapat ditunjukkan berbagai keterkaitan antara sistem internal penduduk lokal, organisasi kelembagaan masyarakat berpengaruh terhadap sistem secara keseluruhan.
0
21
Dalam konteks Indonesia, seperti tersirat dalam tujuan Pembangunan Nasional, pembangunan berkeianjutan tidak semata-mata mengejar pertumbuhan ekonomi yang tinggi, tetapi juga memberikan penekanan yang sama terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat, terutama pendapatan dan pemerataan Peningkatan kesejahteraan tersebut adalah untuk menumbuhkan aspirasi dan tuntutan baru masyarakat dalam mewujudkan kualitas kehidupan yang lebih baik. Dengan demikian, aspirasi dan tuntutan masyarakat dapat berkembang dengan dilandasi oleh hasrat untuk lebih berperan serta dalam mewujudkan masyarakat yang maju, mandiri dan sejahtera, sesuai tuntutan yang berkembang di era reformasi dewasa ini Pembangunan berkelanjutan merupakan proses yang dinamis dan berkesinambungan. Pembangunan tersebut, secara garis besar didukung oleh empat faktor penggerak utama Vour prime mover), yaitu sumberdaya dam, sumberdaya manusia, teknologi dan kelembagaan (Pakpahan, 1982; Temenggung, 1996). Peningkatan peran serta surnberdaya tersebut tampak dari pergeseran posisi sentral peranan pemerintah dalam merencanakan dan melaksanakan pembangunan ke peningkatan kemandirian masyarakat. Sistem perencanaan, pengendalian, dan pengawasan pembangunan yang terpadu dan terkoordinasi terrsebut. dilaksanakan secara efektif di berbagai tingkatan pemerintahan, muiai dari tingkat nasional hingga tingkat desa (Kartasasmita, 1996a). Pembangunan perdesaan sebenamya diarahkan untuk memacu pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya dalarn rangka meningkatkan kesejahteraan rakyat, menggalakkan
pralcarsa dan peran
serta aktif
masyarakat
serta meningkatkan
pendayagunaan potensi sumberdaya d a m domistik wilayah secara optimal dan terpadu. Sasaran pokok pembangunan tersebut adalah terciptanya kondisi ekonomi rakyat
22
pedesaan yang kuat, mampu tumbuh secara mandiri, serta menjadi mitra yang seimbang bagi ekonomi perkotaan dalam mernperkuat keberlanjutan sistem pernbangunan secara keseluruhan. Namun selama ini fakta menunjukkan bahwa faktor eksternal sebagai persoalan pokok pembangunan perdesaan (tei-masuk di kawasan pesisir) sering kali terabaikan Pembangunan berkelanjutan yang ditempuh dengan menerapkan strategi saling menunjang antara pendekatan sektoral dan regional, pada dasarnya mernberi pengertian bahwa pembangunan regional dan iokal merupakaa upaya yang tidak lepas dalam konteks pembangunan nasional itu sendiri. Betapapun demikian, antara pembangunan nasional dan pembangunan regional memiliki tujuan yang sama, yaitu pembangunan manusia seutuhnya melalui peningkatan pendapatan, kesempatan kerja, distribusi pendapatan dan kesejahteraan masyarakat. Perbedaannya terletak pada pertimbangan (consideration) sifat dan keadaan ruang lingkup masing-masing dan lebih menekankan kepada p e W a a t a n sifat keadaan daerah d m lokal yang bersmgkutan, terutama asp& sumberdaya fisik dan sosio-kultural wilayah yang bersanglwtan. Sehingga, untuk mengkaji dan mernahami pembangunan regional dalarn kerangka strategi pembangunan berkelanjutan (sustainable developmenl), disyaratkan untuk lebih memperhatikan aspekaspek sumberdaya dasar ("initial resource ena!owmenP') dan diarahkan pada tujuan serta menampung aspirasi sosial kultural daerah (Nasution, 1991;Anwar, 1989). Dalam kondisi krisis ekonomi seperti yang berlangsung di Indonesia dewasa ini, konsep ''hsic needs strategy" merupakan konsep pembangunan aaternatif yang dekat dengan konsep pemberdayaan masyarakat. Pendekatan ini pernah sangat populer. Namun bersamaan dengan mundurnya ekonomi negara-negara OECD (O@zatjonfor
23
Economic Cooperation and Development) akibat "the Jirst oil shock" dan dibentuknya
Komisi Willy Brandt yang menempatkan problem Utara-Selatan sebagai pendekatan baru.
maka pendekatan "basic needs strategyn menjadi
terlantar.
Terlantamya
pendekatan ini, Arndt (1989) rnenyebut sebagai kenangan rnasa lalu dengan catatancatatan besar yang menekankan pentingnya pendekatan "'basicneeds strafegv" sebagai solusi masalah pembangunan di perdesaan. Konsep dasar "basic needs strategy" menekankan pada penyediaan kebutuhan minimum bagi kelompok sasaran, yaitu 40 persen penduduk miskin dunia. Kebutuhan minimum tersebut meliputi: pangan, pakaian dan papan, serta kemudahan akses pada pelayanan air bersih, sanitasi, transport, kesehatan dan pendidikan. Pendekatan ini menurut Streeten dan Burki (1978) lebih bersifat ' c ~ o m m u ndevelopmenf' i~ daripada "central planning", karena lebih memusatkan perhatian pada lokasi sasaran di mana
sebagian besar penduduk miskin berada. Konse~ Dasar Pemberdavaan Penduduk Lokal
Konsep dasar pemberdayaan (empowerment)dalam penelitian ini mengacu pada konsep daya @ewer) yaw dikembangkan oleh Talcott Parsons (dalam Kartasasmita, 1996b). Menurut Parsons, daya e w e r ) adalah sebuah alat sirkulasi (cirmhting
medium) dalam subsistem politik dari sistem masyarakat atau negara.
Daya adalah
kemarnpuan bersama untuk memenuhi kineja kewajiban yang mengikat (binding obligation) dari satuan-satuan dalam sistem organisasi kolektif saat kewajiban-
kewajiban itu disahkan dengan mmjuk pada tujuan-tujuan kolektif yang terkandung dalam organisasi itu. Dengan demikian, daya @ewer) menurut Parsons diartikan sebagai mandat untuk metaksanakan sesuatu yang dikehendaki atau menguntungkan bagi
24
mereka
yang terkena penggunaan power tersebut,
disertai kewenangan untuk
mewujudkannya. Dalam ha1 ini semua pihak akan diuntungkan karena dengan pelaksanaan
power,
yang terkena power akan diuntungkan,
selama ia absah
(Kartasasmita, 1996). Daya (power) dalam pemberdayaan (empowerment) diaitikan sebagai kekuatan dari dalam, tetapi dapat diperkuat dengan unsur-unsur penguatan yang diserap dari luar (Kartasasmita, 1996b). Konsep ini mematahkan lingkaran setan yang menghubungan
power dengan pembagian kesejahteraan. Oleh sebab itu, pemberdayaan bertujuan dua arah, yaitu (a) meiepaskan belenggu kemiskinan dan keterbelakangan, dart (b) mem-
perkuat posisi lapisan masyarakat dalam shulrtur kehasaan. Keduanya hams ditempuh dan rnenjadi sasaran dari upaya pemberdayaan. Pendekatan pemberdayaan dalam pembangunan penduduk Lokal pada dasarnya adalah upaya
Iangsung pada akar pertnasalahan,
yaitu
meningkatkan
poternsi
kemarnpuan penduduk tokai itu sendiri. Kenyataan menujukkan ketidakberdayaan sebagai surnber malapetaka dan dehumanisasi dapat saja tg-adi karena lingkungan di luar politik, bahkan dapat pula terjadi sebagai akibat dari disposisi batin dan mental subyektif dari individu yang bersangkutan. Absurditas untuk membuang segala kekuasaan menjadi terasa karena gagasan tentang pemberdayaan apapun asumsinya addah rnenerima odanya kehauum sebagaifior, d m membuat yang tidak berkuasa menjadi memiliki kekuasaan, yaitu yang powerIess diberi power melalui empowemtent
(Pranaka, 19%). Pemahaman dan cakupan konsep pemberdayaan sangat has, karena konsep ketidakberdayaan dapat terjadi sebagai akibat dari struktur sosial, dari hubungan
25
manusia satu dengan yang lain, dari situasi keluarga, dari situasi masyarakat, dari situasi kerja, dari kondisi ekonomi, pendidikan, sosial budaya, di samping yang tergelar dalam tata politik dan pemerintahan. Dalam ha1 ketidakberdayaan yang diakibatkan oleh kondisi dan disposisi subyektic maka pemberdayaan hams menjadi gerak yang tumbuh dari dalam. Di dalam membangun konsep abstrak pemberdayaan penduduk lokal dalam kaitannya dengan pota pemanfaatan sumberdaya alam, pertama-tama yang perlu dipahami adalah penyederhanaan konsep sedemikian rupa sehingga dapat dianalisis dan diperbandingkan. Konsep pemberdayaan penduduk lokal dalam pengelolaan terumbu karang secara berkelanjutan mengandung dua konsepsi penting yang didefinisikan secara lebih baik dan realistis, yaitu: (a) pemberdayaan (penduduk lokal), dan (b)
pengelolaan ekosistem terumbu karang secara berkelanjutan. Konsep pemberdayaan penduduk lokal dianalogkan pula dengan konsep "hidup layak" yang menjadi ciri dari keberadaan potensi suatu masyarakat untuk berkembang, serta mampu mentaati tata nilai dan nonna yang disepakati dan dijunjung tinggi oleh lingkungan masyarakat. Untuk memudahkan pemahaman, konsep ini seakan-akan merupakan sisi lain dari mata uang yang bergambar ketidakberdayaan. Dalam mengkaitkan ukuran ketidakberdayaan dengan hidup layak dinyatakan secara relatif, yaitu berubah dari waktu ke waktu. Konsep
ketidakberdayaan penduduk
lokal
sebagai
analogi
dari konsep
kemiskinan menunjuk pada suatu keadaan yang menyebabkan penduduk lapisan ini tidak berdaya dan tidak mampu mentaati tata nilai dan norrna yang disepakati d m di junjung tinggi oleh masyarakat lingkungannya (White, 1991). Ditinjau dari sisi pandang
26
ekonomi (Nasution, 1991), ketidakberdayaan masyarakat (jika dianalogkan dengan kemiskinan) adalah (a) cenninan dari rendahnya permintaan agregat yang secara langsung mengurangi insentif mengembangkan sistem produksi, (b) berkaitan dengan ratio kapitdtenaga kej a yang rendah sehinga mengakibatkan rendahnya produktivitas tenaga k e j a (termasuk misalokasi sumberdaya). Dari sudut sosial, fenomena ini rnerupakan
ciri
lemahnya
potensi
masyarakat
untuk
berkembang,
disamping
berhubungan langsung dengan aspirasi masyarakat yang sempit dan pendeknya horison wawasan ke depan. Sementara
itu,
konsep
pengelolaan
ekosistem
terumbu
karang
secara
berkelanjutan mengacu pada upaya pemanfaatan ekosistem terumbu karang secara optimal dan diimbangi dengan tindakan konservasi secara berkelanjutan. Pengelolaan yang dimaksud menghindari pemanfmtan yang eksploitatif dan melampaui ambang batas daya dukung ekosistem temmbu karang, sebaliknya menjaga kelestarian ekosistem tersebut merupakan nilai tambah tersendiri bagi penduduk lokal. Konsep pemberdayaan penduduk lokal dan pengelolaan ekosistem tenrmbu h a n g secara berkelanjutan dapat dibangun melalui peningkatan kemampuan penduduk lokal berpendapatan rendah uniuk akses terhadap kegiatan ekonomi. Peningkatan kemampuan (daya) penduduk lokal tersebut diarahkan sumber yang dapat menghasilkan daya @ewer), yaitu kekayaan, status sosial, pendidikan, legitimasi sosial, penguasaan informasi clan pengetahuan, clan keterampilan. Untuk maksud tersebut, Saehlhakim (1998) menyatakan paling tidak hams ada perbaikan akses terhadap empat hal, yaitu:
pertama, akses terhadap sumberdaya; kedua, akses terhadap teknologi, yaitu suatu kegiatan dengan cara dan alat yang lebih baik dan tebih efisien; Refiga, &ses terhadap
27
pasar, produk yang dihasilkan hams dapat dijual; dan hempat, akses terhadap sumber pendanaan. Perbaikan akses tersebut dimaksudkan untuk mendukung penyediaan kebutuhan dasar penduduk lokal berpendapatan rendah melalui pendekatan kelompok dalam bentuk usaha bersama. Dalam beberapa hat, meskipun disadari tidak benar-benar bebas dari kritik, konsep model yang dikembangkan dalam studi ini diupayakan lebih realistik. Dalam konteks ini, Robert Ayres (1978) antara lain menyatakan bahwa: ".. kondisi-kondisi khusus yang jauh dari keadaan sebenarnya dan nilai praktis dari contoh yang dibuat, ternyata mengalami kerapuhan sampai sejumtah besar model yang disederhanakan dapat dianalisis dan diperbandingkan ." (Ayres 1978 dalam Pissey, 1992) Konsep pemberdayaan penduduk lokal dapat dikembangkan melalui kegiatan ekonomi produktif berbasis desa yang berkembang secara dinamis. Sistem kepemilikan sumberdaya alam pedesaan (misalnya: sumberdaya lahan) perlu diiata sedemikian mpa' sehingga dapat dialokasikan secara optimal ke dalam berbagai kegiatan sosial-ekonomi masyarakat (Saefblhakim, H.R.Sunsun. clan L.I. Nasoetion, 1995).
Sernentara itu,
penyediaan sarana produksi dan peningkatan keterampilan per111 diimbangi dengan tersedianya pasar, diutamakan untuk penduduk lokal agar dapat melakukan kegiatan sosial-ekonomi sesuai dengan kondisi setempat. Upaya ini pada dasarnya ditujukan untuk mendorong dan memperlanoar proses transformasi penduduk tokal yang terpencil dari sistem tradisional-terisolir ke sistem yang iebih maju agar mampu berinteraksi yang sating memperkuat dengan wilayah lain yang lebih luas. Dengan demikian, konsep pemberdayaan penduduk lokal dalam studi ini memusatkan perhatian pada kenyataan bahwa penduduk lokal dapat mengalami kendala
dan hambatan dalam proses dan gerak aktualisasi eksistensinya. Dalam kaitan itu, konsep pemberdayaan tersebut terutama adalah berusaha menciptakan kondisi yang memberikan kemungkinan penduduk tokal untuk dapat melakukan tugas aktualisasi eksistensinya seluas-luasnya dan setinggi-tingginya. Untuk
itu
perhatian upaya
pemberdayaan terhdap penduduk iokal dipusatkan pada kendala serta hambatan yang menjadi penghambat bagi tugas aktudisasi eksistensi tersebut upaya untuk menciptakan kondisi ekonomi, sosial, budaya, keamanan, pendidikan, hukum, keluarga, yang memberikan kemungkinan setinggi-tingginya, sebanyak-banyaknya, seluas-luasnya aktualisasi eksistensi penduduk Lokal. 2.3. Pengamh Paktor-faktor Sosial Ekonomi Penduduk Lob1 di Kawasan Pesisir Terhadap Pola Pemanfaatan dan Kerusakan Terumbu Karang Kawasan pesisir tersusun dari berbagai macam ekosistem yang dicirikan oleh sifat dan proses biotik dan abiotik yang jelas, satu
sama lain tidak berdii sendiri
bahkan saling terkait (Nybakken, 1982, Dahuri 1995, 1996). Dinyatakan bahwa kaini memiliki kekhususan karena dipengaruhi oleh berbagai macam kegiatan manusia dan proses alamiah yang terdapat di lahan atas (upland areas) maupun laut lepas (oceans). Seperti disebutkan di dalam Undang-undang No. 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang, bahwa kawasan ini berdasarkan fungsi utamanya meliputi kawasan lindung dan kawasan budidaya, dan berdasarkan kegiatan utamanya di bidang pertanian, termasuk perikanan, kawasan ini tergolong sebagai kawasan perdesaan (Kantor Meneg. KLH, 1993). Empat alasan utama yang mendasari kawasan pesisir Indonesia sebagai bagian terpenting dalam kegiatan pembangunan dan perekonomian nasional. yaitu: (a) sebagai
29
negara kepulauan terbesar di dunia, wilayah Indonesia meliputi 17.508 p u l a dengan garis pantai (pesisir) sepanjang 8 1.000 kilometer (terpanjang kedua setelah Canada) dan luas laut sekitar 3,l juta kilometer persegi atau 62% dari luas teritorial (Dahuri, 1992; Dahuri et.al., 1996), (b) kawasan pesisir dan sumber-sumbernya sangat penting untuk pemenuhan kebutuhan, terutama bagi 22% (41 juta jiwa) penduduk Indonesia yang tinggal di wilayah pesisir dan setengah dari jumlah itu tinggal di wilayah perdesaan yang terpencil dan tergantung pada sumberdaya lokal pesisir, ( c ) sekitar 80% dari seluruh kegiatan terkait dengan sektor kelautan dan telah menyumbang kesempatan kerja sekitar 24% (16 juta jiwa) dari total angkatan ketja, serta (d) kecenderungan surnberdaya d w t a n yang semakin langka, menjadikan target dasar pembangunan ekonorni Indonesia pada tahun 2000 akan bertumpu pada zona pantai dan sumber-sumbernya (Dahuri, 1992; Dahwi &.a]., 1996; Pakpahan, 1996). Pengelolaan khususnya
sumberdaya alam
ekosistern temmbu
di kawasan
karang,
pesisir
menghendaki
secara berkelanjutan,
pengelolaan
yang
sesuai
(compafibIe) dengan ekosisternnya. Ha1 ini dimaksudkan agar pencapaian peningkatan produktivitas
dapat rnenyumbang sasaran pertumbuhan ekonomi dan distribusi
pendapatan yang diharapkan serta memperhitungkan aspek pelestarian yang lebih baik. Oleh karena itu, pengelolaan sumberdaya tersebut mensyaratkan agar dampak yang ditimbulkan tidak mengakibatkan biaya ekstemditas ( e x t e m I s-aI
cost) kepada
subsistem lain di luar ekosistem kawasan tersebut. Dalam pelaksanaan pembangunan berkelanjutan, ha1 itu dijadikan aspek penting untuk mengkualifikasi dampak pengaruh ganda ("iimpcf rnultipLieP), terutama berkenaan dengan siapa yang diuntungkan dan siapa yang hants menmggung beban (Azis, 1991).
30
Hal di atas sebenarnya berkaitan dengan upaya menemukan cara-cara menangkap dampak multiplier dari tingkat keberdayaan penduduk lokal dalam mengorganisasikan suatu kelembagaan wilayah secara efektif agar dapat mengurangi akibat sampingan negatif pengelolaan ekosistem temmbu karang secara berkelanjutan. Bila upaya ini tidak mampu diangkat kepermukaan, maka dikhawatirkan bahwa pengelolaan sumberdaya ekosistem tersebut hanya akan lebih mempakan ekspfoitasi, dan penduduk lokal di kawasan tersebut tidak berkemampuan menangkap manfaat yang dapat difiasilkannya.
Pada kondisi terjadi "kebocoran" (regional leakages) manfaat wilayah, dan biasanya diikuti oleh mengalirnya sumberdaya produktif yang tidak dapat diikutsertakan dalarn kegiatan tersebut ke luar kawasan yang bersangkutm. Di Indonesia, sering terjadi bahwa kebocoran wilayah (regional
leakages)
sebagai akibat pengembangan kegiatan yang menghasilkan komoditi komersial, terutama yang berteknologi (bukan subsistence), pada kawasan yang rnasyarakatnya belum mencapai kemajuan ekonomi yang berarti (Azis, 1991). Dalam kondisi demikian, manfaat tersebut sering ditangkap bukan secara lokal melainkan oleh wilayah luar. Dampak lanjutan yang timbul adalah rnasalah sosial akibat dari rusaknya sumberdaya alam dan terancamnya keamanan ekosistem kawasan tersebut. Temuan lapangan
dt
wilayah pesisir di negara-negara kepulauan Asia Tenggara
yang penduduknya berkembang sangat cepat menunjukkan bahwa pemanfaatan tennnbu
karang berlangsung terus meningkat (Wilkinson e
t 1993). Akibatnya, beberapa
kawasan terumbu karang di mana 70% penduduk berdomisili di wilayah terse3n1t, dikatagorikan sebagai kawasan terumbu karang rusak, bahkan di antaranya a& yang msak parah (kritis). Lebih dari 70% areal terumbu karang di Philipina berada dalam
31
kondisi yang parah; di Jepang lebih dari 10% terumbu karangnya berada dalam kondisi parah. Terumbu karang di Tanzania lebih parah lagi akibat penangkapan ikan dengan menggunakan dinamit. Di Atlantik, terumbu karang d l pesisir pantai Costa Rica 80% telah rnati. Hasil temuan Puslitbang Oseanologi-LIP1 menunjukkan bahwa hampir 43% terumbu karang di Indonesia sudah rusak berat atau bahkan dapat dianggap berada diambang kepunahan, sedangkan yang masih sangat baik hanya sekitar 6,48% (Soelcarno. 1995). Pada tahun 1993 keadaan tersebut mtelah berubah, di mana sekitar 14% terumbu karang diperikanan dalam keadaana kritis, 46% mengalami kerusakan, dan
hanya 7% yang berkondisi bagus (Kantor Meneg LH, 1997). Hilangnya habitat di perairan pantai ini seringkali disertai dengan hilangnya hutan-hutan basah di daratan dan mengancam sejumlah be=
species ikan karang. Kondisi terumbu karang yang telah
rusak parah, jika tidak segera dikelola dengan baik, maka kngsi terumbu karang tersebut a
h hilang dalam waktu 10-20 tahun.
Kerusakan terumbu b a n g oleh kegiatan manusia sangat mengancam ikan-ikan terumbu karang akibat hilangnya habitat (Allister, 1989). Penyebab langsung mortalitas terumbu karang adalah penangkapan yang berlebihan, cara-cara pmngkapan yang rnerusak, pencemaran dari pertanianlpeternakan, industri dan kegiatan perkotaan, peleburan mineral yang ikut mengancam kelangsungan populasi ikan-ikan terumbu karang, baik jumlah maupun speciesnya. Banyak di antara kegiatan tersebut yang erat kaitannya dengan kerniskinan dm pertumbuhan penduduk di dunia ketiga, disamping berhubungan erat dengan kebijakan negara industri dan kegiatan perusaham-perusahaan multinasional.
32
Hasil penelitian para ahli terumbu karang di Asia-Pasifik menyimpulkan bahwa kerusakan temmbu karang di kawasan Asia Tenggara terutama diakibatkan oleh kegiatan manusia, berupa pengambilan biota terumbu karang secara berlebihan, sedirnentasi karena pengundulan hutan dan ekstensifikasi pertantan, dan karena pencemaran laut atau polusi. Berkaitan dengan kerusakan tersebut, kelompok kerja konservasi terumbu karang yang bemaung di bawah IUCN menunjukkan adanya 24 macam kegiatan manusia yang didattar sebagai penyebab kemsakan terumbu karang dewasa ini (Sukamo, 1995). Kegiatan merusak tersebut meliputi tiga kelompok, yaitu: (1) penangkapan dan pengumpulan ikan, (2) polusi, dan (3) kegiatan lain. Tindakan
perusakan ekosistem terumbu karang tersebut, difahami ataupun tidak, merupakan bentuk kegiatan yang berakibat langsung terhadap menurunnya kualitas ekosistem terumbu karang. Dapat dinyatakan bahwa secara umum kerusakan ekosistem terumbu karang di Indonesia disebabkan oleh iima alasan utama, yaitu: (a) penambangan karang batu untuk bahan bangunan, pembangunan jalan dan hiasan (ornaments), (b) ekspoiitasi berlebihan sumberdaya perilcanan karang, (c) penangkapan ikan dengan bahan peiedak, bahan beracun, dan alat tangkap tertentu yang pengoperasiannya merusak terumbu karang, (d) pencemaran perairan oleh berbagai limbah industri, pertanian dan rumah tangga, baik berasal dari kegiatan di darat (land based activities) dan kegiatan di laut (mmine h
d
activities), dan (e) pengendapan (sedirnentasi) dan peningkatan kekeruhan perairan dalam ekosistem terumbu karang akibat erosi tanah daratan, serta penggalian dan penambangan di sekitar terumbu karang (Sukamo, 1995; Dahuri, et.al., 19%; Cesar, 1997). Kerusakan k a n g karena penambangan karang batu dinyatakan sebagai urutan
33
tertinggi kerugian negara, jauh lebih besar dibandingkan manfaat bersih yang diperoleh perorangan, (Cesar, 1997). Pengelolaan ekosistem terumbu karang di kawasan pesisir yang penduduknya mayoritas nelayan, seharusnya terus dipelihara. Namun, sering ditemui bahwa ekosistem terumbu karang mengalami kerusakan sebagai akibat m a n f a a t a n h a n g yang tidak berkelanjutan. Hasil pengamatan pendahuluan di kawasan pesisir barat pulau Lombok menunjukkan bahwa rusaknya terumbu karang diperkirakan sebagai akibat dari tindakan sebagian besar kelompok penduduk lokal secara sosial dan ekonomi tergolong tidak berdaya (miskin). Kelompok masyarakat ini dalam mernenuhi kebutuhan sehari-hari sering kali menempuh jalan pintas dengan tindakan yang cenderung destruktif terhadap keberadaan terumbu karang di wilayah tersebut. Pengalaman terdahulu menunjukkan bahwa meningkatnya pembangunan fisik di pesisir barat Pulau Lombok secara langsung mempengaruhi tingginya permintaan kapur (lokal), sehingga produksi kapur dari bahan baku karang batu di wilayah tersebut meningkat (P2BK-UNRAM, 19%). Peningkatan produksi kapur dari bahan baku karang batu secara kumulatif menimbulkan permintaan karang batu maupun barang dan jasajasa lain meningkat dan mengunclang pihak luar untuk melakukan berbagai investasi terutama di pusat-pusat wilayah tersebut. Pemanfaatan terumbu h a n g dapat pula tejadi karena pengamh konversi lahan pertanian untuk penggunaan lain. Laju pengmqgan lahan pertanian dari waktu ke waktu yang semakin tinggi, antara lain karena lahan kurang produktif untuk tanaman pangan (lahan kering). Sementara itu kegiatan usahatani di kawasan pesisir Lombok Barat h m g ditunjang oleh sarana dan prasarana pertanian, sehingga penduduk lokal harus
34
puas menerima pemberian alam, seperti pengairan tadah hujan. Pengurangan lahan pertanian yang semakin tin&
di wilayah tersebut pada gilirannya berdampak pada
pengalihan kegiatan usaha penambangan karang batu (PZBK-UNRAM, 1996). Pemanfaatan yang berlebihan twhadap ksrang batu dan perikanan laut yang keduanya bersifat "'irreversible",sangat besar pengaruhnya terhadap kerugian sosial. Konversi ekosistem temmbu karang ke penggunaan
laimya, sebagai tindakan
'"disinvestment"cenderung mengakibatkan kerugian sosial ("netsosial lost") yang besar.
Kerugian sosial tersebut berupa hilangnya fungsi lingkungan sebagai pengikat kerjasama sosial penduduk lokal dalam rangka "institufionalbuildinf yang telah lama dibina sejak lama. Karenanya, konversi ekosistem terumbu karang dapat dipandang sebagai "instifutiomldestruction " yang sangat merugikan.
Dampak misalokasi pemanfaatan karang batu dalam sistem pasar persaingan bebas bukan hanya d a p &mengancam keamanan pantai dengan segala resikonya, tetapi berangsur-angsur dapat berkaitan dengan kegiatan ekonomi komplementer lainnya ke
muka cforward linkage") dan ke belakang ("backward, linkage"). Kaitan-kaitan ekonomi tersebut antara lain berupa ancaman ke arah stagnasi kegiatan ekonomi lain
berikut angkatan tenaga kerjanya. Tantangan pokok penduduk lokal kawasan pesisir (terutama yang tergolong ekonomi lemah) adalah menghadapi tingkat kemakmuran d m kesejahteraan yang rendah. Tantangan berat tersebut lebih tertekan Iagi karena terlibat hut-
baik dari
lembaga formal maupun terutama informal (non institusionaE). Pola penerimaan dan pengeluaran yang dialami setiap hari, menyebabkan penduduk Iokal "haus"terhadap
35
bantuan, misalnya untuk membayar biaya sekolah, untuk keperluan yang bersifat mendadak tainnya, serta untuk kebutuhan ekonomi dan sosiak lainnya. 2.4.
Pemberdayaan Penduduk U k a l Dalam Knitannya Dengan Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang Secara Berkelanjutan
Penduduk lokal yang dimaksud dagam studi ini adalah penduduk (kelompok masyarakat dan bukan perorangan) yang tinggal di kawasan pesisir dan sangat tergantung pada sumberdaya darn yang ada di sekitamya, terutama sumberdaya laut. Penduduk lokal yang tinggal terpencil berdampingan dengan ekosistem terumbu karang di kawasan pesisir, dapat dipastikan akan sangat tergantung hidupnya dari keberadaan ekosistem tersebut. Pengetahuan tradisional tidak jarang mengandung artr mendalam tentang biologi jenis-jenis biota laut yang hidup di dalam ekosistem terumbu karang. Menurut Johnson (1986),
yang sangat penting diperlukan oleh dimensi
pengetahuan antara lain kerangka analitik mengenai pengetahuan rnengenai "apa yang seharusnya dilakukan ataupun apa yang seharusnya tidak dilakukan", sehingga dapat digunakan untuk mendasari suatu penelitian empiris mengenai alternatif kelembagaan. Bab ini mendiskusikan dan berusaha menemukan relevansi model pemberdayaan penduduk lokal dalam pengelolaan ekosistem terumbu karang secara berkelanjutan. Pakpahan j1989)
menyebutkan bahwa Johnson (1986) menyederbanakan
berbagai jenis pengetahuan ke dalam tiga kelompok pengetahuan.Pertama, pengetahuan tentang nilai, meliputi pengetahuan tentang nilai uang clan bukan nilai uang dari sesutu, situasi, atau kondisi (goodness dan buhess) dan pengetahwan tentang benar dan dab
(rightness dan wrongness). Kedua, pengetahuan tentang bukan nilai (value-fiee positivistic knowledge), dan k-q
pengetahuan mengenai preskripsi (prescriptive
36
knowledge) atau resep untuk memecahkan suatu masalah yang dimiliki swrang atau sekelompok pengambil keputusan yang memiliki masalah sama. Jernis pengetahuan ini merupakan fangsi dari kedua jenis pengetahuan yang disebut sebelumnya. Schmid (1987) membedakan dua jenis penelitian ekonomi kelembagaan, yaitu: (a) penelitian ekonomi kelembagaan untuk menjelaskan dan memprediksi perubahan kelembagaan (devefopmental i m t i l u t i o d economics), dan (b) penelitian mengenai dampak perubahan kelembagaan terhadap performance (institutional impact anaZysis).
Dari dua jenis penelitian tersebut, studi ini cendentng lebih menekankan pada penelitian jenis kedua, yaitu mengenai dampak perubahan institusi terhadap performance. Seperti dinyatakan Pakpahan (1989) bahwa dampak alternatif institusi terhadap per$onnance ditentukan oleh kemampuan institusi dalam mengendalikan sumber interdependensi antar individu
dalam
suatu masyarakat.
Dampak perubahan institusi terhadap
performance yang dimaksud ditentukan oleh sumber interdependensi yang dikontrol dalam perubahan institusi tersebut. Model
pemberdayaan
(empowerment)
penduduk
lokal
sebagai
model
pembangunan alternatif, pada intinya memberikan tekanan pada otonomi pengambilan keputusan suatu kelompok masyarakat yang berlandaskan pada sumberditya pribadi, langsung (melatui partisipasi), demokcatis, dan pembdajaran sosial rqelalui pengalaman langsung. Seperti dinyatakan Friedmann (1992), fokusnya adalah Iokalitas, karena ''civil society" akan merasa siap diberdayakan lewat isue-isue lokal. Dalam konteks ini,
dipandang perlu memperhatikan kekuatan-kekuatan ekonomi dan struktur-strukhrr di luar "civil sociely" tersebut.
37
Menurut Friedmann (1992), pemberdayaan masyarakat (dalam studi ini diistilahkan sebagai pemberdayaan penduduk lokal) mentpakan hasil kerja dari proses dialektika, baik ditingkat ideologis maupun praktis, tidak hanya sebatas pada lingkup ekonomi namun juga secara politis, sehingga masyarakat memiliki posisi tawar yang lebih baik. Di tingkat ideologis, model pemberdayaan merupakan hasil dialektika antara konsep "top-down dan buttom-up", maupun antara ''growth strategy dan people-centered strstegy'', sedangkan dialektika tingkat praktis terwujud dari pertentangan antar otonomi.
Model pemberdayaan penduduk lokal adaiah model pembangunan ekonomi yang merangkum nilai-nilai sosial. Menurut Chamber (1995), paradigma baru pembangunan tersebut lebih bersifat ''peopfecentered, participtory, empowerzng, and sustainable". Dalam tingkat konsepsional, daya diartikan sebagai kekuatan dari dalam yang dapat diperkuat oleh unsur-unsur penguatan dari luar untuk memotong lingkaran setan yang menghubungkan daya tersebut dengan pembagian kesejahteraan. Karena itu, model pemberdayaan penduduk lokal dapat ditujukan pada dua sasaran, yaitu (a) melepaskan belenggu kemiskinan dan keterbelakangan, (b) memperkuat posisi lapisan penduduk fokal dalam struktur kekuasaan. Model pemberdayaan penduduk
lokal pada dssainya tidak untuk mem-
pertentangkan konsep pertumbuhan dengan pemerataan. Dua konsep tersebut tidak h a s diasumsikan sebagai tidak serasi (inconrpafible) atau bersifat antitesis (antitkicaZ). Model pemberdayaan penduduk lokal dalam pengelolaan ekosistem terumbu karang
secara berkelanjutan ini berpendirian bahwa dengan pemerataan akan tercipta landasan yang lebih luas untuk pertumbuhan, sehingga dapat menjamin pertumbuhan secara berkelanjutan. Oleh karena itu, pola pertumbuhan sarna pentingnya dengan -1aju
38
pertumbuhan itu sendiri. Dalam era reformasi seperti saat ini, pola pertumbuhan yang tepat bukan yang bersifat vertikal dan menghasilkan 'tetesan ke bawah", melainkan bersifat horizontal, berbasis has, menciptakan kesempatan kerja, dan tidak terkotakkotak (Kartasasmita, 1996b). Sementara i t y penduduk lokal y a w sudah tidak tergantung pada norma adat kebiasaan tradisional, terurnbu karang sebagai sumber sosial budaya cenderung lebih dinilai ekonomis. Dalam kondisi ekonomi yang subsisten, menurut Sukarno (19951, ekosistem terumbu karang merupakan segalanya, baik dari segi kepentingan sosial dan ekonomi. Hasil laut tetap diperlukan, sehingga prinsip memperoleh keuntungan lebih besar cendentng tidak mernperhatikan norma dan etika tradisional. Karenanya, penduduk lokal cenderung lebih menghendaki usaha yang secara ekonomis menguntungkan dalam jangka pendek, namun kurang memperhatikan kelangsungannya dalam jangka yang panjang. Model pemberdayaan penduduk lokal dalam konteks pembangunan berkelanjutan berpendirian tidak menjadikan penduduk lokal sebagai objek berbagai proyek pembangunan. Penduduk lokal adalah subjek dari pembangunannya sendiri. Berbagai kebijaksanaan yang berpihak pada kepentingan rakyat tidak berarti menghambat upaya mempertahankan atau meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Diyakini bahwa kebijaksanaan tersebut akan berlangsung seoara berkelanjutan &lam jangka panjang jika sumber utamanya @roduktivitas m p u n mmberdaya yang berkembmg) berasal dari penguatan ekonomi rakyat (Sumodiningrat, 1997). Oleh sebab itu, model pemberdayaan penduduk lokal dalam studi ini dikembangkan sebagai strategi membangun kawasan pesisir, khususnya di dalam mengelola ekosistem te-bu
karang secara berkelanjutan.
39
Model pemberdayaan penduduk lokal dalam studi ini diarahkan langsung pada akar persoalannya, yaitu meningkatkan kemampuan penduduk lokal di wilayah studi. Artinya, bagian yang tertinggal dalam masyarakat diberdayakan melalui peningkatan kemampuan dengan mengembangkan dan mendinamisasikan potensi penduduk lokal. Sehubungan dengan itu, model pemberdayaan penduduk lokal dalam studi ini tidak hanya sernata-mata diarahkan untuk memenuhi kebutuhan dasar (basic needs), namun lebih dari itu menyangkut pula tentang penyediaan mekanisme untuk mencegah proses pemiskinan lebih lanjut. Model ini antara lain dikembangkan dari pandangan John Friedman (1992) mengenai pembangunan alternatif atau aZtemtive development yang antara lain menghendaki demokrasi melekat, pertumbuhan ekonomi yang tepat, d m keadilan antar generasi. Memodelkan pemberdayaan penduduk lokal dapat dilakukan melahi tiga sisi, yaitu (a) menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang, (b) memperkuat potensi (day&) masyarakat, dan (c) pemberdayaan mengandung pengertian melindungi. Dalam konteks ini model pemberdayaan penduduk lokal bertitik tolak dari asumsi bahwa setiap manusia ataupun masyarakat rnemiliki potensi yang dapat dikembangkan, karena tidak ada rnasyarakat yang sama sekali tanpa daya. Sehingga, konsep pemberdayaan lebih memfokuskan pada membangun daya itu sendiri melalui upaya mendorong, memotivasi dan membangkit-kan untuk maksud mengembangkannya. Dalam ha1 memperkuat daya, model pemberdayaan yang dikernbangkan bertumpu pada langkah-langkah lebih positif yang nyata, menyangkut penyed'iaan berbagai peluang (opportunities) yang secara kondusif menjadikan penduduk lokal
40
makin berdaya. Untuk itu, diperlukan penanganan khusus bagi penduduk lokal yang kurang berdaya, karena program-program umum yang berlaku untuk semua dan tidak selalu menyentuh lapisan penduduk lokal ini. Disamping itu, model pemberdayaan dimaksudkan pula untuk mencegah penduduk lokal yang Iemah tidak menjadi bertambah lemah karena ketidakberdayaannya menghadapi yang h a t . Dalam ha1 ini, melindungi tidak selalu berarti mengisolasi penduduk lokal dari interaksi yang justru akan
mengerdilkannya,
namun dipandang sebagai upaya
mencegah
terjadinya
persaingan yang tidak seimbang serta eksploitasi yang h a t terhadap yang lemah. Mendasarkan pada pendekatan di atas, model pemberdayaan penduduk lokal dalam pengelolaan ekosistem terumbu karang di kawasan pesisir dibangun dengan
pertama-tama menelusuri kondisi ketidakberdayaan penduduk lokal yang dikaitkan dengan pelaksanaan prinsip-prinsip perencanaan pembangunan berkelanjutan dalam mengelola ekosistem terumbu karang. Melalui pendekatan ini dihitrapkan dapat diperoleh suatu penalaran yang menjelaskan model pemberdayaan penduduk lokal dalam ksitannya dengan pengelolaan ekosistem terumbu karang secara berkelanjutan. Model pemberdayaan penduduk Iokal di kawasan pesisir pada dasarnya memegang peranan penting dalarn membantu rneningkatkan kesejahteram atau mengurangi kesulitan hidup serta kemampuan penduduk lokal
dalam mengelola
ekosistem tenunbu karang secara berkelanjutan. Karenanya, berbagai jenis bantuan yang melibatkan penduduk bkal yang lemah tingkat ekonominya (tanpa kecuali) lebih banyak
untuk membantu m e n i n g k a t h usaha dan peluang kerja. Namun, jika bantuan tersebut lebih diutamakan untuk mencukupi dan menutup kebutuhan, maka memisahkan lintara kebutuhan produktif dan kebutuhan koniumtif menjadi ti&
mudah. ~ a r -
jika
41
pilihan yang dihadapi adalah kelaparan atau hutang, maka penduduk lokal berpeluang memilih berhutang dengan harapan membayar dengan apa saja atau dengan cara apapun, a d k a n dapat terhindar dari ancaman kelaparan. Jika alternatif ini yang menjadi pilihan penduduk lokal, maka berbagai jenis bantuan untuk membantu meningkatkan u s a h dan peluang kerja menjadi tidak menjadi kenyataan. Pemanfaatan terumbu karang sebagai salah satu sumber penghasilan bagi penduduk lokal untuk mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari, berarti bahwa pemenuhan kebutuhan hidup tersebut tanpa ada altematif ditempuh dengan merusak ekosistem terumbu karang. Sedangkan di lain pihak, rusaknya ekosistem terumbu karang dapat berarti menghancurkan sumber penghasilan yang menjadi tumpuan pemenuhan kebutuhan hidup penduduk Lokal tersebut. Dilema ini akan dapat diatasi jika: (a) penduduk lokal memahami arti penting ekosistem terumbu karang; (b) adanya insentif bagi penduduk lokal atas terpelihara ekosistem terumbu karang, (c) adanya dksinsentif terhadap ppeduduk lokal atas terganggunya ekosistem terumbu karang, dan (d) adanya abematif sumber penghasilan lain sehingga penduduk lokd tidak semata-mata menggantungkan pada karang batu sebagai satu-satuya sumber penghasilan. Memodelkan pemberdayaan terhadap penduduk tokal sebenamya mengandung pula pengertian yang berkaitan dengan masalah kepercayaan. Dalam ha1 ini kepercayaan tersebut hanya akan timbul dan diberikan, sepanjang suatu usaha tertentu mampu menunjukkan swadaya d o n penerima bantuan. Penerima bantuan tersebut dittmtut mampu mengerjakan sesuatu berdasarkan milik atau kelcuatan sendiri. Erat kaitannya dengan faktor pertama dari empat *or
di atas, diperlukan adanya upaya-upaya fihak
luar untuk memberikan pengertian, tiimbingan dan pengarahan mengenai pentingnya
42
memelihara ekosistem terumbu karang. Hal ini tidak cukup dengan memberikan penjelasan,
namun disertai dengan pembimbingan mengenai upaya-upaya yang
berkaitan dengan pemeliharaan ekosistem tersebut. Berkaitan dengan faktor kedua dan ketiga, insentif diberikan secara selektif tidak kepada individual, tetapi lebih tepat pada peran kelompok. Hal ini untuk menjaga berkembang dan kelangsungan dari tumbuhnya " s e v controfr di antara anggota kelompok. Kaitannya dengan faktor keempat, dapat diartikan bahwa bukan tidak dibolehkan sama sekali pengambilan karang batu (terutama karang mati). Untuk menjaga keberlangsungan hidup dan berkembangnya ekosistem terumbu karang, penduduk lokal dalam volume dan pada wilayah yang terbatas masih diperkenankan memanfaatkan karang batu (karang mati). Ini berarti diperlukan upaya mendeliniasi ekosistem terumbu karang yang harus dijaga keberlanjutannya. Untuk itu, dengan memenfaatkan faktor kedua dan ketiga, diperlukan pula rambu-rarnbu pelarangan untuk pemanfaatannya berdasarkan kesepakatan yang diiasilkan dari musyawarah di antara penduduk lokal. Jika kesepakatan tersebut dipatuhi oleh penduduk lokal itu sendi* maka "enforcement" cukup dilakukan oleh penduduk lokal itu sendiri. Model pemberdayaan penduduk lokal dipandang sebagai 'penguat', bukan sebagai penopang berdirinya suatu usaha. Oleh sebab itu, konsepsi pemberdayaan penduduk lokal dalam studi ini merupakan proses dinamis yang diiembangkan untuk mengatasi permasalahan baru,
mengeksplorasi peluang-peluang
ban^ dan lebih
memperkuat kemampuan atau keterampilan pengeloiaan, kerjasama antar Lembaga, integrasi antar kepentingan pembangunan dan perlindungan.
43
Secara umum cita-cita utama pembangunan di kawasan pesisir adalah darnbaan tercapainya tatanan masyarakat adil dan makmur di kemudian hari. Sehingga dalarn penterjemahan konteks kebijaksanaan regional yang dimaksud secara dinamis itu, dapat dilakukan pengaturan tata ruang (spatial arrangement) sedemikian rupa agar tujuan dan sasaran pemberdayaan penduduk lokal tersebut dicapai iebih cepat. Patut disadari bahwa pada hakekatnya tujuan akhir pernberdayaan penduduk lokal di kawasan pesisir adalah lebih bersifat sosial politis, sedangkan peranan ekonomi adalah untuk rnembantu memberikan tujuan-tujuan sosial yang dikehendaki. Sehingga persoalan pada tahap ini adalah bagaimana cara mengalokasikan sumberdaya yang langka itu sebaik-baiknya agar tujuan yang diinginkan tercapai lebih cepat. Pengelolaan ekosistem terumbu karang, secara mendasar dibangun dari ketidak sesuaian antara keberadaan kondisi sistem lingkungan, sistem sosid dan harapan masyarakat yang berkenaan dengan pemanfaatan lingkungan dan wujud surnbernya. Ketidak sesuaian tersebut antara lain disebabkan oleh hak setiap kelompok yang menggunakan krtiteria berbeda dalam rnengatasi masalah dan pokok permasalahannya (Chambers, 1987). Sesuai dengan tujuan untuk mendisain suatu model pemberdayaan penduduk lokal dalam pengelolaan tenunbu karang (tennasuk sumberdaya laut lain yang menyertainya) secara berkelanjutan, penggunaan ukuran pernanfaatan karang batu di wilayah studi didasarkan pada prinsip pembangunan berkelanjutan. Model pemberdayaan penduduk lokal merupakan suatu proses adaptasi yang dinamis dan memiliki fleksiblitas yang adcup tinggi untuk dapat rnengatasi kejadian internat dan ekstemal yang tidak pasti dalam sistem yang dipelajari.
Oleh sebab itu,
suatu proses monitor dan evaluasi dapat membaatu meningkatkan fleksibilitas dari
model pemberdayaan tersebut melalui mekanisme timbal balik. Model ini ditelusuri rnelalui kondisi aktual ketidakberdayaan penduduk lokal yang secara langsung dikaitkan dengan pelaksanaan prinsip-prinsip
perencanaan pembangunan
dan
pengelolaan
ekosistem terumbu karang. Dengan pendekatan ini diharapkan diperoleh suatu penalaran yang menjelaskan kebutuhan model pemberdayaan penduduk lokal sebagai alternatif dalam pengelolaan ekosistem terumbu karang secara berkelanjutan. Tujuan utarna mengelola terumbu karang adalah untuk menjaga kondisi dan pemadaatan
sumber hayati terumbu karang secara berkelanjutan. Oleh sebab itu,
pengelolaan ekosistem terumbu karang melalaui model pemberdayaan penduduk lokal, sedikitnya diperhatikan beberapa hal, seperti ditunjulckan pada Tabel 1.
Tabel 1. Gagasan Pengelolaan EkosistemTerurnbu Karang dan Sasaran Yang Dicapai, 1998 No.
I 1
Pengelolaan Terumbu Karang Bidang 1 Pengelolaan Sosial 1 wmeliharaan ekoBudaya sitem terumbu karang Yang belum rusak Sosial memenuhi Ekonomi keblokal
-
-
3.
1
Biolo~i -
k - e k a r a-m
I
I-
Sasaran Yang- Dicapai perlindunnan terhada~keindahan alam berum kehidupanatau keinciahan geogmfis.
'
'
dimanfaatkan secara tradisional.
II-
pertumbuhan regional, pertumbuhan ekonomi, perdagangan nasional, regional atau internasional pemasukan devisa perikanan dan turisme, pe-gm, rekreasi. perlindungan t e h d a p habitat untuk imk h p h -&u jenis-rng me&unyai nilai e k o d p&g, untuk kelangsungan sumber hayati.
hayati
Sedikitnya ada enam faktor penting yang hams difahami dalam model pemberdayaan penduduk lokal, yaitu
45
Pendidikan, dimaksudkan untuk menjamin bahwa semua yang terlibat menyadari adanya rencana pengelolaan temmbu karang yang mereka ikut membuatnya dan akan mendapatkan keuntungannya, serta yang menjadi hak dan kewajibannya.
* Pelatihan, untuk menjamin bahwa semua yang terlibat dalam emplementasi pengelolaan dilatih untuk melakukan tugasnya sesuai dengan rencana yang telah ditentukan.
* Penaawasan, untuk mengukur sejauh mana pihak pengguna memenuhi peraturanperaturan yang telah ditentukan didalam perencanaan. Penegakan hukum, sebagai tindak lanjut penyimpangan perencanaan, dan untuk menjamin bahwa mereka yang tidak mematuhi rencana dianggap tidak disiplin.
* Pemantauan, untuk mengetahui kawasan yang dikelola, serta rnenilai kondisi fisik, biologi dan sosio-ekonomi kawasan yang dikelola dan peninjauan kembali dalam waktu tertentu untuk mengevaluasi, perubahan kondisi,
pengalaman selama
pengelolaan berlangsung, keberhasilan yang dicapai atau yang tidak sesuai dengan perencanaan dan bila perlu diadakan perubahan perencanaan.
Kekakuan hubungan institusional (zns2itutionai rigidities) pada dasarnya dapat dicegah atau dibatasi apabila dibina hubungan institusional komplementer yang saling menguntungkan. Persyaratan hubungan kelembagaan tersebut mutlak diperlukan untuk melaksanakan pengembangan dan pelestarian bangunan institusi bersama yang saling menguntungkan. Dalam konteks ini, pelembangam pemberdayaan penduduk lokal dalam mengelola ekosistem terumbu karang secara berkelanjutan membutuhkan tindakan pada saat yang tepat, terutsma menyangkut pembagian atau distribusi manfaat bersama yang dapat dilaksanakan secara optimal.