11. TINJAUAN PUSTAKA A.
TANAMAN KENTANG Kentang (Solanum tuberosum) merupakan tanaman dikotil bersifat semusim.
Umbi kentang terbentuk dari pembesaran bagian ujung stolon dan berfungsi sebagai tempat cadangan makanan. Bentuk umbi kentang dapat dipengaruhi oleh cara bertanam, keadaan lingkungan tumbuh dan adanya penyakit, selain itu bentuk umbi kentang dapat mencirikan varietas kentang. 1.
Penyebaran dan Persyaratan Pertumbuhan Kentang Tanaman kentang berasal dari Amerika Selatan yaitu ditandai oleh
terdapatnya kentang liar di daerah pegunungan Andes di Peru dan Bolivia. Dalam sejarah penyebaran dari daerah asalnya, mula-mula kentang diintroduksi ke benua Eropa, kemudian ke Portugal dan selanjutnya oleh Camelita Frias kentang diintroduksikan ke Italia (Permadi, 1989). Penyebaran kentang ke Asia (India, Cina dan Jepang) dilakukan oleh orangorang Inggris pada akhir abad ke-17 (Hawkees, 1978 dalam Permadi, 1989). Penyebaran kentang di Indonesia tidak diketahui secara pasti awalnya, tetapi pada 0
tahun 1794 kenrang ditemukan telah ditana~ndi daerah Cisarua dan pada tahun 18 11 kentang telah tersebar luas di Indonesia terutama di daerah-daerah pegunungan di Aceh, Tanah Karo, Padang, Bengkulu, Sumatera Selatan, Minahasa, Bali dan Flores. Di P. Jawa, daerah-daerah pertanaman kentang berpusat di Pangalengan, Lernbang dan Pacet (Jawa Rarat), Wonosobo dan Tawangmangu (Jawa tengah), Batu dan Tengger (Jawa Tirnur) (Sunarjono dan Sahat, 1976 dalam Permadi, 1989; Rukmana, 1997).
Berdasarkan
taksonominya,
kentang
diklasifikasikan
kedalam
famili
Solarzaceae, genus Solanum, subgenus Pachystemonum, seksi Tuberarium, Subseksi Hyperbasarthrum yang meliputi kira-kira 150 spesies yang berumbi. Spesiesnya dapat berupa diploid, triploid, tetraploid, pentaploid atau hexaploid. Namun sebagian
besar kentang budidaya merupakan kentang tetraploid (70%) dan 25% merupakan kentang diploid dan triploid (Permadi, 1989) Di Indonesia, tanaman kentang ulnurnnya diusahakan di dataran tinggi (diatas 1.000 dpl.), karena temperatur kawasan tersebut memungkinkan kentang untuk membentuk umbi dengan baik. Namun untuk pengembangan produksi kentang, penanaman kentang dapat dilakukan di daerah dataran medium (300-700 m dpl.) sampai dataran rendah (dibawah 300 m dpl.) terutama pada daerah persawahan (Hutagalung, 1986). Syarat tumbuh tanaman kentang antara lain adalah curah hujan dan intensitas cahaya. Ke dua faktor tersebut akan berpengaruh terhadap pertumbuhan dan produksi kentang. Sunarjono (1975) dalam Asandhi dan Gunadi (1989) menyatakan bahwa curah hujan antara 200 - 300 mm tiap bulan atau rata-rata 1000 mm selama masa pertumbuhan merupakan syarat tumbuh tanaman kentang. Faktor lain untuk syarat tumbuh kentang adalah kondisi tanah. Tanaman kentang dapat tunlbuh dengan baik pada tanah-tanah yang subur, dalam, 'mempunyai drainase yang baik, tanah liat yang gembur, debu atau debu berpasir dengan pH berkisar antara 5 sampai 6,5. 2.
Morfologi dan Anatomi Kentang 0
Tiap-tiap kultivar kentang mempunyai karakteristik bentuk umbi yang relatif tergantung dari kondisi perturnbullan dan adanya penyakit yang dapat menyebabkan variasi dari genetik yang menentukan bentuk umbi (Van Es dan Hartmans, 1981). Keseragaman bentuk umbi tidak hanya dipengaruhi oleh kultivar, namun juga dipengaruhi oleh tempat pertanaman. Telnpet pertanaman yang dekat dapat menghasilkan bentuk umbi yang lebih seragall1 (Gray dan Hughes, 1978 dalam Van Es dan Hartmans, 1981). Bentuk umbi kentang ditentukan dengan meletakkan umbi pada permukaan bawahnya dan dikenal ada 4 macam bentuk umbi yaitu 1) bulat, 2) lonjong, meruncing ke arah kedua ujung umbi, 3) meruncing, lebih meruncing ke arah ujung umbi dan lebih lebar pada bagian pangkal umbi, 4) ginjal, meruncing pada bagian pangkal umbi, lebar pada bagian ujung (Permadi et al., 1989). Pada umbi
kentang terdapat mata tunas yang tersusun secara spiral dan umunulya makin keujung umbi makin rapat mata tunasnya. Talburt dan Smith (1986) menyatakan bahwa bagian kulit terluar dari kentang terdiri dari lapisan periderm yang tersusun atas 6 - 14 lapis sel. Lapisan periderm mulai dibentuk sejak pembengkakan ujung stolon yang merupakan awal terbentuknya umbi. Di bawah lapisan peridem terdapat kortex, letaknya dekat dengan jaringan parenkim. Pembuluh parenkim mengandung pati yang tinggi. Anatomi umbi kentang secara jelas dapat dilihat pada Gambar 1. Penampakan sel umbi kentang dan sel mikroskopik umbi kentang dengan granula pati dapat dilihat pada Gambar 2. Ket.: 1. mata tunas 2. pangkal umbi 4. pembuluh parenkim 5. ikatan pembuluh
9
7. kulit (periderm) 1 8. mata tunas I 9. u j u n ~umbi Gambar 1. Penampang membujur umbi kentang (Talburt dan Smith, 1986)
A
Keterangan : 1. dinding sel 2. kompleks granula 3. granula tunggal
Keterangan : 1. kortex 2. parenkim 3. intisari
Gambar 2.
Penampakan sel umbi kentang (A) dan sel mikroskopik umbi kentang (B) dengan granula pati (Lisinska dan Leszczynski, 1989)
3.
Komposisi Kimia Kentang Komposisi kimia umbi kentang sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor antara
lain varietas, keadaan tanah yang ditanami, pupuk yang dipergunakan (Lisinska dan Leszczynski, 1989), umur umbi ketika dipanen, waktu dan suhu penyimpanan. Perubahan komposisi umbi kentang selama pertumbuhan meliputi meningkatnya kandungan pati dan sukrosa dan menurunnya kadar air dan gula pereduksi. Makin lama umur panen kentang, maka kandungan gula reduksi yang terbentuk semakin rendah dan berat jenisnya semakin meningkat. Hasil penelitian Asgar dan Kusdibyo (1997) menunjukkan bahwa berat jenis umbi mengalami peningkatan dengan bertambahnya umur panen, namun peningkatannya hanya terjadi sampai umur panen 100 hari, diatas 100 hari berat jenis umbi dan kandungan pati akan mengalami penurunan karena tanamanriya telah mati. Komposisi kimia dari umbi kentang dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Komposisi kimia umbi kentang secara umum Unsur Pokok Kadar Air Bahan kering Pati Gula Reduksi Total gula Serat kasar Pektin Total nitrogen Protein kasar ( total nitrogen x 6.25) Nitrogen ainida Nitrogen asam amino Nitrat Lemak Abu Asam organik Vitamni Ca Glikoalkaloid a Sumber : Lisinska dan Leszczynski (1989) Keterangan : ; a = mg/100g
Kandungan (%) Kisaran I Rata-Rata 75 70 - 80 23.7 13.1 - 36.8 17.5 8.0 - 29.4
Kon~posisiutama dari umbi kentang secara umum adalah air (SO%), pati (18%) dan protein (2%). Dengan mengkonsumsi umbi kentang sebanyak 1 buah yang berukuran sedang, seseorang telah dapat memenuhi sepertiga bagian (33%) dari kebutuhannya akan vitamin C dan sebagian besar vitamin B serta zat besi. Nilai kalori sebuah umbi kentang yang berukuran sedang ini adalah 100 kalori yang sama nilainya dengan sebuah ape1 atau pisang ukuran sedang atau sebuah jeruk berukuran besar (Siswoputranto, 1985). 4.
Jenis-Jenis Kentang dan Spesifikasi Penggunaannya
Varietas kentang komersil yang tersebar di dunia cukup banyak, namun hanya beberapa yang telah dikembangkan di Indonesia diantaranya adalah varietas Desiree, Donata, Cosima, Radosa, Patrones, Katela dan varietas hasil silangan dalam negeri yaitu Thung dan Rapan.
Namun varietas tersebut tidak tahan terhadap penyakit
busuk daun, sehingga dilakukan silangan-silangan diantara varietas tersebut (Sahat dan Sunarjono, 1989). Varietas kentang hasil silangan yang telah dilepas di Indonesia sampai saat ini adalah varietas kentang Cipanas, Segunung, Cosima dan Granola (BBN 1980 dan 1983 dalam Sahat dan Asandhi, 1995). Menurut Rukrnana (1997), pada zaman sebelum perang, varietas kentang yang banyak ditanam di Indonesia adalah Eigenheimer, Bevelander, Profit, Marieta, Pimpernel dan Bintje yang berasal dari Belanda. Namun sejak Pelita I (1969) tersebar varietas-varietas Katela, Donata, Cosima, Radosa, Desire, T h u g , Rapan, Cipanas, Segunung dan kemudian bertambah dengan varietas unggul baru antara lain seperti Granola, Hertha, LBC- 1, LBC-4, Diamant, Atlantik dan Agria. Sahat dan Asandhi (1995) menyatakan bahwa varietas kentang Diamant, Red Pontiac dan DTO-33 tumbuh dengan baik pada dataran medium, sedangkan di dataran tinggi varietas Remako, Morene dan Mondial memberikan harapan untuk ditanam di Indonesia. Berdasarkan hasil survai di beberapa kabupaten penghasil kentang di wilayah Jawa Barat, ternyata varietas kentang yang paling banyak diusahakan petani adalah varietas Granola (Setiani et al., 1995), berdasarkan pertimbangan bahwa varietas Granola resisten terhadap penyakit busuk daun dan pemasarannya di tingkat lokal
lebih mudah karena permintaannya sangat tinggi yaitu sebagai kentang konsumsi . Sedangkan varietas yang cocok untuk bahan pabrik prosesing seperti Atlantik kurang banyak diusahakan ole11 petani dikarenakan pemasarannya hanya terbatas pada pabrik prosesing, namun tidak dapat Oijual ke pasaran lokal seperti halnya Diamant karena bentuknya lonjong (Fathullah et al., 1993). Kentang, selain dikonsumsi dalam bentuk segar, biasailya digunakan sebagai bahan baku suatu jenis olahan seperti keripik kentang, chip kentang, samba1 goreng keripik kentang, keripik keju kentang, kentang tumbuk, pati dan tepung kentang. Namun untuk ketiga jenis olahan terakhir (pati, tepung kentang dan kentang tumbuk instan) belum secara umum diperdagangkan di Indonesia. Selain dimanfaatkan sebagai bahan baku makanan, kentang juga dapat digunakan dalam industri kecil seperti pada pengolahan wol, kain sutera,
industri kertas dan lain-lain
(Siswoputranto,l985). Setiap varietas kentang masing-masing memiliki sifat fisik dan kimia yang berbcda-beda. Sifat ini akan mempengaruhi nlutu dari produk olahan yang dihasilkan, sehingga tidak senlua varietas kentang cocok digunakan untuk bahan baku olahan. Misalnya untuk pembilatan kroket atau perkedel kentang adalah menggunakan kentang yang pulen dan tidak mudah pecah atau hancur pada saat digoreng. Untuk bahan baku pen~buatan soup yang bening diperlukan jenis kentang yang tidak mengakibatkan air rebusannya menjadi keruh dan untuk tepung dipilih kentang yang berpati (Siswoputranto, 1985; Rukrnana, 1997). Menurut Siswoputrantc (1985), varietas yang-cocok untuk kentang rebus adalah varietas Katella, Thung, Donata dan Eigenheimer, untuk kentang kukus adalal~Katellla, Eige~;hein~er,Desire, Rapan, Thung dan Donata, untuk kentang goreng adalal~Katella, Thung, Rapan, dan Eigenheimer, untuk 'kroket kentang adalah Rapan, Katella, Desire, Donata dan Eigenheimer; untuk soup dan perkedel kentang adalah Katella, Thung, Rapan dan Eigenheimer.
5.
Persyaratan Varietas Kentang untuk Bahan Baku Industri Olahan Varietas atau jenis kentang yang cocok untuk industri pengolahan hams
mempunyai mutu yang baik pada saat panen niaupun setelah mengalami penyinipanan. Varietas kentang dengan kandungan gula reduksi sangat tinggi tidak baik untuk diolah. Adanya kandungan gula reduksi akan menentukan mutu warna olahan kentang yang dihasilkan. Varietas kentang yang mengandung gula reduksi rendali antara lain adalah Atlantik dan Granola yaitu berkisar antara 0,05
-
0,06%
(Asgar dan Kusdibyo, 1997). Syarat lain yang hams dipenuhi oleh kentang sebagai bahan baku prosesing adalali berat jenis dan kandungan bahan padatnya tinggi serta hams mempunyai kadar air tidak terlalu tinggi, khususnya untuk kentang goreng, sehingga tidak hancur pada saat digoreng. Kandungan bahan kering yang tinggi merupakan suatu keharusan untuk memperoleh hasil pengolahan umbi kentang dengan mutu lebih baik dilihat dari segi tekstur maupun penampakan. Kadar bahan kering untuk setiap varietas berbeda-beda. Van Es dan Hartmans (1981) n~enyatakanbahwa kandungan bahan kering dipengarulii ole11 beberapa faktor yaitu tingkat kematangan umbi, kultivar, ;ipe pertumbuhan, iklim, keadaan tanah dan aplikasi pemupukan. Berat jenis kentang dipengaruhi oleh beberapa faktcr yaitu varietas, kematangan, faktor kultural (irigasi atau kandungan air, pemupukan, metode pengontrolan penyakit dan serangga dan pembasmian gulma), suhu selama pertumbuhan, intensitas cahaya dan faktoi lainnya (Smith, 1976). EAPR (1986) dalarn Cicu et al. (1999) nienyatakan standar minimum berat jenis kentang untuk pengolahan adalali 1,07. Berdasarkan hasil penelitian, beberapa berat jenis kentang dan komponen lain dari umbi kentang yang ditanam di Indonesia dapat dilihat pada Tabel 2. Umumnya varietas kentang yang banyak diusahakan oleh petani di Indonesia, yaitu varietas Granola, kurang memenuhi syarat untuk industri, karena kandungan bahan padatnya < 20% atau berat jenisnya kurang dari 1,07. Namun demikian varietas Granola kadang-kadang dapat memiliki berat jenis yang memenuhi persyaratan untuk industri, tapi ha1 ini tidak selamanya dapat diperoleh, karena sangat
tergantung pada kondisi saat pertanaman seperti kondisi tanah (lingkungan), pemupukan, irigasi, pemeliharaan tanaman dan umur panen (tingkat kenlatangan). Menurut Shibli et al. (1997) dalam Asgar dan Marpaung (1998) bahwa kualitas produk olahan kentang dipengaruhi oleh varietas dan umur panen. Asgar dan Marpaung (1998) melaporkan bahwa dengan memanipulasi umur panen kentang varietas Granola (100 hari) dapat menghasilkan keripik kentang dengan kualitas yang baik dilihat dari segi warna, tekstur, rasa dan penampakan. Tabel 2.
I
Berat jenis, kadar air dan kandungan pati ulnbi kentang dari beberapa hasil penelitian Berat Jenis 1,118
Varietas Granola''
Keterangan :
')
2,
I
Kadar Air (%) 83,5 1
I
Kadar Pati (%) 9,14
I
Cicu, et al. (1999) Sahat dan Asandhi (1995)
Menurut Rukmana (1997), bahwa berdasarkan spesifikasi penggunaannya, varietas kentang yang dapat digunakan sebagai bahan baku industri olahan adalah varietas Granola, Hertha, Agria dan Atlantik cocok untuk dibuat keripik; varietas Hertha, Agria dan LBC-1 untuk kentang goreng; varietas Diarllant untuk dibuat tepung dan varietas Atlantik untuk dibuat chip kentang. Namun demikian masih banyak yang diteliti potensi hasil dan daya adaptasi beberapa varietas kentang yang dapat digunakan sebagai bahan baku industri di berbagai daerah di Indonesia. Industri pengolahan kentang umumnya mensyaratkqn kanduligan bahan kering, gula, protein dan campuran nitrogen lainnya sebagai bahan baku olahan. Adanya kandungan gula pereduksi yang berlebih pada umbi kentang tidak dikehendalti, karena akan mengakibatkan timbulnya warna coklat pada waktu proses pengeringan maupun selama penyimpanan. PT Indofood Frito-Lay Corp. telah menetapkan standar mutu kentang untuk kentang hasil olahan yaitu chip kentang dan kentang goreng (Budiman, 1999). Standar mutu kentang olahan untuk chip kentang dan kentang goreng dapat dilihat pada Tabel 2. Sedangkan berdasarkan persyaratan
,
yang diperlukan sebagai bahan baku industri olahan kentang yaitu berat jenis lebih dari 1,07; kandungan gula reduksi rendah (1%); kandungan bahan padatnya lebih dari 20%, maka dapat dikategorikan bahwa varietas kentang Granola, Hertha, Diamant,
dan Atlantik dapat juga digunakan sebagai bahan baku untuk pembuatan produk kentang tumbuk instan. Persyaratan (standar) kentang untuk kentang tumbuk instan juga dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3.
Standard mutu kentang untuk chip kentang, kentang goreng dan kentang tumbuk
Kriteria 1. Ukuran (Sizes) Over Sizes Under Sizes
2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Bentuk Berat Jenis Total Solid (%) Varietas
Standar
Standar Kentang
Chip k en tan^')
k or en^')
5-7cm 5%
20% : 170 gr 40% : 199-284 gr 4096 : > 284 gr Memanjang Min. 1.079 Min. 20.5% Lebih disukai RBB
5% Min. 1,067
Min. 16,7 Atlantik
Kadar pati (%) Maks. 13 Cacat (%) Penampakan (%) Maks. 16 Kedalaman Mata Keterangan : 'I~udiman(1 999) 2 ) ~ a d z i y edan v Steele (1979) 3)~aiburt dan Smith (1986) B.
Tumbuk 2)3)
Oval panjang 1,078 - 1,098 20 - 25% Russet Burbank Rata-rata 173 %
Dangkal
KENTANG TUMBUK (MASHEDP O T ' TO)
Produk kcntang tumbuk merupakan salah satu bentuk hasil olahan kentang yang dibuat dengan cara mengukus kentang, kemudian lnasih dalam keadaan panas langsung ditumbuk hingga menjadi halus dan dapat diberi bumbu seperti garam, bawang putih, nlentega dan iain-lain Produk ini hampir sama d e ~ g a nproduk olahan ubi kayu maupun ubi jalar yang juga diolah dengan cara dikukus, lalu ditumbuk dalalx keadaan panas hingga halus. Pada ubi kayu nama umumnya adalah getuk lindri.
1.
Pengertian dan Bentuk Kentang Tumbuk (Mashed Potato) Pengertian kentang tunlbuk secara umum adalah kentang setelah dikupas,
dicuci, dipotong dan dimasak (dikukus), kemudian dihancurkan (ditumbuk) dalam keadaan panas hingga teksturnya halus namun tidak lengket. Setelah itu dapat diberi bumbu seperti keju, mentega, garam , lada dan lain-lain. Bentuk kentang tumbuk dapat dijumpai dalam bentuk basah, kering dan beku. Bentuk kentang tumbuk basah biasanya dapat langsung dikonsumsi dan sudah dilengkapi dengan bumbu-bumbu, misalnya garam, mentega, susu dan lain-lain. Sedangkan bentuk kentang tumbuk kering adalah merupakan bentuk produk instan, sehingga lebih tahan disimpan. Menurut Bunker dan LaRue (2001), bahwa bentuk kentang tumbuk kering adalah potato flake dan butiran kentang yang mempunyai kadar air 6-8%. Kedua bentuk kentang tumbuk instan tersebut dapat direhidrasi atau direkonstitusi menjadi produk kentang tuxbuk dengan cara mencampur air hangat (panas) atau dapat juga dimanfaatkan dalam pembuatan produk-produk snak, roti dan lain-lain. Bentuk lain kentang tumbuk dapat dijumpai dalam bentuk beku, yaitu non.Ji-ied ji-ozen product. Menurut Ooraikul et al. (1974), kentang tumbuk dibekukan
dalam air blast .fi-eezel- pada suhu
-
29 "C dan sebelum digunakan kentang tumbuk
beku tersebut dicairkan (tlzalving) dahulu l~ingga suhunya 0
-
5OC. Kemudian
dilakukan pe~geringan tahap awal, dibentuk butiran (granulation) dan terakhir dikeringkan hingga kadar airnya 8 - 12 %. 2.
Cara Pembuatan Kentang Tumbuk (Mashed Potato) Secara garis besar tahapan pembuatan produk kentang tumbuk instan bentuk
potato flake
adalah pencucian, pengupasan, pemotongan dan pembersihan,
pemasakan awal, pendinginan, pemasakan, penumbukan, penambahan bahan aditif dan pengeringan (Gambar 3).
Kentang
I
0 Pencucian
'7 am Pengupasan
Pemotongan
dan
Pembersihan
Pemasakan Awal T=71,1 "C-73,9 "C; t = 15-20menit)
I Pendinginan hingga 23,9 "C I
* Kentang tumbuk basah
I
Pengeringan dengan alat drunl Gambar 3.
Diagram alir pembuatan kentang tumbuk instan bentuk potato flake (Hadziyev dan Steele, 1979; Bunker dan LaRue, 2001)
Pemasakan awal potongan kentang dilakukan dengan cara mencelupkan kedalam air bersuhu 7 1,l "C - 73,9 OC (160 OF - 165 OF) selama 15 - 20 menit.
Selanjutnya dilakukan tahap pendinginan hingga suhunya turun menjadi 23,9 OC (75 OF) atau lebih rendah selama 20
-
60 menit, pemasakan irisan kentang dengan uap
pada suhu 87,s OC - 100 OC (190 OF - 212 OF) selama 15 - 60 menit, penumbukan (mashing) dan penambahan bahan aditif, pengeringan menggunakan alat pengering drum hingga kadar airnya menjadi 6 - 8% (Talburt dan Smiths, 1975; Hadziyev dan Steele, 1979; Bunker dan LaRue, 2001). Pada cara ini setelah perlakuan penumbukan tidak dilakukan tahapan kondisioning, oleh karena itu untuk mencegah terjadinya produk yang lengket akibat terbetuknya pati bebas w e e starclz), maka selama proses penumbukan ditambahkan monogliserida atau bahan emulsifier lainnya. Selain itu untuk mempertahankan warna dan memperbaiki masa simpan produk akhir dengan densitas kamba rendah, ditambahkan sulfit dan antioksidan selama proses penumbukan (Hadziyev dan Steele, 1979). Pada proses pembuatanpotatoflake, tahap kritis terlatak pada proses pemasakan kedua dan penumbukan. Skema pembuatan produk kentang tumbuk instan bentuk potato flake secara lengkap dapat dilihat pada Gambar 3. Sedangkan tahapan pembuatan kentang tumbuk bentuk butiran kentang terdiri dari tahap pencucian, pengupasan, pemotongan dan pembersihan, pemasakan awal (preecooking) pada suhu 7 1.1 "C - 73,9 "C (1 60 OF - 165 OF) selan~a15 - 20 menit, pendinginan hingga mencapai suhu 23,9 "C, pemasakan ke 11 (dengan uap) pada 87,8 OC - 100 "C (190 OF - 212 OF) selama 15 - 60 menit. Kemudian dilanjutkan dengan tahap penumbukan dan penambahan bahan aditif seperti bahan antioksidan dan amulsifier monogliserida. Pada tahap ini dapat ditambahkan kembali butiran kentang yang telah kering hasil pengeringan I yang mempunyai ukuran besar (< 80 mesh). Produk kemudian dikeringkan melalui 2 tahap pengeringan yaitu pengeringan I menggunakan alat pengering air lift atau fluidized bed hingga kadar air 12 - 13%. Setelah dikeringkan melalui pengeringan tahap I, butiran kentang yang sudah kering disaring menggunakan saringan 80 mesh. Kemudian dengan alat yang sama dikeringkan kembali hingga mencapai kadar air produk 6 - 8%. Produk yang dapat melalui saringan langsung dikeringkan ketahap pengeringan 11, sedangkan yang tidak
I
Kentang k.a = 77,1%)
+ Pengupasan
Pemotongan dan Pembersihan (k.a = 77,l %)
(Sul~u: 7 1.1
O C
Pemasakan awal - 73.9 O C selan~a15 - 20 menit)
I Pendinginan hingga 23,9 I O C
Pemasakan I1 (dengan uap) (k.a = 60 (Suhu : 87,s "C - 100 "C selama 15 - 60 menit)
, 1 -
1 Kondisioning (k.a = 30%)
Pengeringan I dengan air ljfi drier atau fluidized bed drier H i n w a k.a = 12-1 3 O / A
Butiran kentang add back
Penyaringan dengan saringan 80 mesh
kentang < 80 m Pengeringan I1 dengan pengering air lift atau pengering fluidized bed Hingga k.a = 6 - 8 %
Gambar 4. Diagram alir pembuatan kentang tumbuk instan bentuk butiran kentang (Hadziyev dan Steele, 1979; Bunker dan LaRue, 200 1)
dapat lewat saringan digunakan sebagai bahan campuran yang ditambahkan pada saat proses penumbukan dan penambahan bahan additif (Hadziyev dan Steele, 1979; Bunker dan LaRue, 2001). Skema cara peillbuatan produk kentang tumbuk instan bentuk butiran kentang dapat dilihat pada Gambar 4. Masing-masing tahapan dalam proses pembuatan kentang tumbuk instan mempunyai tujuan tertentu yaitu : tahapan pemotongafi dilakukan untuk nlenjamin keefektifan dan keseragaman pindah panas akibat pemanasan (Hadziyev dan Steele, 1979). Tahap pemanasan awal dan pendinginan bertujuan untuk menghindari pengelupasan selama pemanasan dan menghasilkan kekerasan yang sesuai untuk dinding sel yang diperlukan pada tahapan penghancuran dan pencampuran, tahap pemasakan juga akan mengakibatkan pelunakan jaringan kentang (Hadziyev dan Steele, 1979). Selain itu tahap pemasakan awal akan mengakibatkan terjadinya gelatinisasi pati dalam sel kentang namun diharapkan pembengkakan dan pecahnya sel kentang minimal dan juga memperkecil hilangnya komponen flavor dari sel kentang (Bunker darl LaRue, 2001). Tahap pendinginan bertujuan untuk mengontrol terjadinya retrogradasi pati yang tergelatinisasi dan ~nelnperkuatdinding sel. Tahap pemasakan kedua bertujuan untuk menghasilkan pelunakan akl~irdari jaringan kentang masak agar lnemudahkan proses penghancuran. Tahapan penghancuran-pencampuran pada kondisi panas akan mcnghasilkan pemisahan jaringan kedalam sel individu dengan jumlah sel rusak minimull1 (Hadziyev dan Steele, 1979). Selain itu untuk menghindari terjadinya kelengketan akibat terbentuknya pati bebas, maka pada tahap penumbukan diberi bahan emulsifier (monogliscrida). Tahap
kondisioning
pada
alirsn
udara
dingin
bertujuan
untuk
~nenyeimbangkankadar air kentang tumbuk basah dan llntuk mempertahankan kadar air diatas 30% serta menurunkan pembentukan pati bebas (Hadziyev dan Steele,1979). Penggunaan pendinginan vakuin dapat mengontrol kerusakan pati dan mempertahankan dinding sel kentang, sedangkan hilangnya komponen flavor dari sel kentang yang kontak dengan air diperkecil (Bunker dan LaRue, 2001).
terbentuk sangat lengket; antara 10 - 20% tekstur yang terbentuk rata-rata (pertengahan lengket dan mealy) dan batas minimal jumlah sel yang rusak adalah lebih kecil dari 6% (tekstur baiklunggul). Sel dari kentang dengan kandungan padatan yang tinggi akan menghasilkan tekstur yang lebih halus seperti tepung dibandingkan kentang dengan kandungan padatan yang rendah. Potato flake yang dibuat dengan tahapan pemasakan awal-pendinginan dan diberi penambahan emulsifier monogliserida akan me~npunyaitekstur yang lebih halus seperti tepung, karena air yang digunakan untuk rekonstitusi akan lebih banyak yang berpenetrasi kedalam dinding sel dari sel utuh, sehingga akan mengembang dan terbentuk tekstur yang halus (Willard dan Kluge dalam Talburt dan Smith, 1975). Karakteristik lain dari produk kentang tumbuk instan adalah mempunyai sifat yang sangat rentan terhadap dua tipe kerusakan utama yaitu pencoklatan enzimatis (warna coklat) dan kerusakan oksidatif (tengik) selama penyimpanan. Upp-ya penanggulangan terjadinya kerusakan akibat pencoklatan non enzimatis adalah dengan menggunakan kentang yang ~nempunyai kandungan gula reduksi yang rendah. Kentang dengan kadar gula reduksi rendah (< 1%) adalah paling baik (Talburt dan Smiths, 1975). Selain itu penggunaan sulfit sebanyak 200 ppm juga efektif untuk menghambat pencoklatan. Kerusakan oksidatif berbeda dari pencoklatan enzimatis dalam beberapa hal, yaitu : (1) Laju perubahan oksidatif tidak secara n>.ata dipengaruhi oleh suhu penyimpanan, (2) Pengemasan dengan nitrogen dapat menghambat kerusakan oksidatif, namun sedikit berpengaruh terhadap pencoklatan dan (3) Walaupun penurunan kadar air dapat n~enghambatpencoklatan non enzimatis, ha1 itu dapat menlpercepat kerusakan oksidatif (Talburt dan Smiths, 1975). Pengurangan kerusakan akibat reaksi autooksidasi pada produk kentang kering
dapat
menggunakan
bahan
antioksidan
seperti
BHA
(Butylated
Hydroxyanisole), BHT (Butylated Hydroxytoluene) dan PG (Propyl Galate). Antioksidan ini akan memutus reaksi radikal bebas melalui perpindahan radikal alkilperoxy dari proses oksidasi lemak. Selanjutnya bahan antioksidan berfungsi untuk melindungi lemak dengan memperpanjang periode induksi autooksidasi
(Hadziyev dan Steele, 1979). Reaksi tersebut dapat diperlihatkan pada Gambar 5 (Branen et al., 1990).
radikal lemak bebas
fen01
lemakl minyak
H. radikal bebas antioksidan
Gambar 5. Mekanisme antioksidan fenolik dalam bahan pangan lemak atau minyak (Branen et al., 1990) 4.
Persyaratan Pembuatan Produk Kentang Tumbuk Instan (Masked Potato l i t stant) Kentang tumbuk instan tennasuk jenis produk olahan kentang dalam bentuk
kering karena rxempunyai kadar air pada kisaran 6
-
8%. Produk kentang tumbuk
instan d;pat diperoleh melalui pembuatan potato flake maupun butiran kentang melalui
tahapan
proses
pengupasan,
pencucian,
pemotongan,
pemasakan,
penumbukan, penambahan additif dan proses pengeringan. Beberapa unsur pokok yang terlibat pada pengolahan butiran kentang kering untuk pembuatan ke~~tangtumbuk instan adalah lemak, fraksi pektin (pectic subtailces), protein dan pati (Hadziyev dan Steele, 1979), namun yang paling berpengaruh terhadap tekstur produk yang dihasilkan adalah fraksi pektin dan pati (Ooraikul et al., 31974). Hasil penelitian Ooraikul et al. (1974) menyatakan bahwa kompleks heterogen dari fraksi pektin yang diduga mempengarulii sifat tekstur dari kentang mentah dan jaringan kentang olahan adalah fraksi poliuronida. Perbedaan sifat tekstur kentang masak antara lembek dan seperti tepung (mealy) dikarenakan perbedaan kuantitas dan karakteristik dari fraksi pektin yang terdapat dalam dinding sel dan antar sel. Namun pati bebas merupakan komponen yang paling penting dalam , matriks intersellular yang berpengaruh terhadap karakteristik tekstur produk yang direkonstitusi dibandingkan dengan fraksi pektin selama proses pengolahan.
Fraksi pati merupakan komponen terbesar yang mempengaruhi tekstur kentang tumbuk instan. Kandungan pati kentang berkisar antara 11 - 15%. Menurut Belitz dan Grosch (1999), secara kimia granula pati kentang mempunyai 2 fraksi utania yaitu amilosa dan amilopektin. Kedua fraksi ini menyusun lapisan lamela yang bersifat kristalin dan amorf dalam susunan radial terhadap hilum. Ilustrasi struktur amilopektin dan struktur aniilosa dbpat dilihat pada Gambar 6. Sifat kristalinitas dan susunan radial lamela akan menghasilkan sifat birefringence apabila granula pati kentang mentah diamati dengan mikroskop polarisasi. Susunan kristal dalam granula pati secara jelas dapat dilihat pada Gambar 7. Sifat birefringence ini akan hilang apabila granula pati telah mengalami pemanasan. Menurut Wurzburg (1989), bahwa pati bila dipanaskan diatas suhu kritis maka ikatan yang bertanggungjawab terhadap struktur integritas granula menjadi lemah, kemudian diikuti oleh penetrasi air dan hidrasi segmen linier amilopektin. Pada saat ini molekul mulai membentuk heliks dan adanya tekanan tangensial akan menyebabkan granula menyerap air dan mcmbengkak melebihi volume awal. Selain kedua unsur pokok tersebut, faktor lain yang berpengaruh terhadap tekstur produk kentang yang dimasak adalah rasio smilosa/amilopektin dari pati, tingkat retrogradasi pati, pengaruh berat jenis, total padatan, ukuran sel, permukaan sel, kandungan kalsium dan asam organik ser-ta unlur dan lama penyimpanan umbi kentang (Hoff, 1972 dalam Hadziyev dan Steele, 1979).
Kcterangan : S € r i E N l Of CINEbR C W N
.----' --. --
Gambar 6.
A. Amilosa B. Amilopektin
Ilustrasi struktur amilopektin dan struktur amilosa (Wurzburg, 1989)
-15nrn
. . c - ,
lieliks berbentuk V dari aniilosa dan lemak
Gambar 7.
Struktur kristal pada granula pati (Belitz dan Grosch 1999).
Untuk mendapatkan mutu kentang tumbuk instan yang baik, faktor yang harus diperhatikan antara lain adalah pemilihan varietas kentang dalam ha1 komposisi kandungan kimia (misalnya kandungan bahan padatan dall berat jenis yang tinggi) sehingga dapat dihasilkan produk kentang tulnbu~yang bersifat seperti tepung (mealy) dan halusllunak (fluffy) dan cara pengolahan maupun penyimpanan. Menurut Hadziyev dan Stecle (1979), kentang yang diolah menjadi produk kering mempunyai berat jenis 1,098, bahan kering 25% dan pati 17,5% (21,2% amilosa dan sisanya amilopektin). Faktor atau karakteristik yang berperan dalam kualitas kentang tumbuk instan adalah tekstur dan sifat rehidrasi (Hadziyev dan Steele, 1979). Menurut Faulks dan Griffits (1983), tekstur yang halus seperti tepung lebih disukai dibandingkan dengan tekstur yang lunak, bersatu atau melekat. Ooraikul et al. (1974) menyatakan bahwa untuk menghasilkan produk kentang tumbuk dengan tekstur halus seperti tepung diperlukan jenis kentang dengan kandungan bahan padatan tinggi. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi pembentukan tekstur dari kentang tumbuk antara lain adalah tahap pemasakan, dimana pemasakan berlebih (over cooking) atau pcmasakan yang kurang (under cooking) dapat bersifat merusak pada kentang. Pada saat pemasakan berlebih (adanya air dan panas) mengakibatkan pati tergelatinisasi sehingga akan
terbentuk pati bebas dan viskositasnya menjadi tinggi, kemudian sel menjadi rusak dan terbentuk tekstur lengket seperti pasta. Sedangkan pada pemasakan yang kurang dapat mengakibatkan hilangnya kentang tumbuk yang berlebih pada bagian aplicator roll dan dapat menurunkan hasil yang diperoleh.
Ooraikul et al. (1974) menyatakan bahwa tahap pemasakan akan berpengaruh terhadap produk, szlain itu tahap penumbukan juga merupakan titik kritis dimana akan menentukan tingkat pemisahan sel kentang masak dan tingkat kerusakan sel akibat pemisahan sel. Hal lain yang juga memegang peranan penting adalah perlakuan freeze-thaw.
Rendle (1 965) dalam Ooraikul et al. (1 974) menyatakan
bahwa bila produk kentang tumbuk dibekukan dan segera dithawing, maka akan menghasilkan produk dengan tekstur yang baik dan dapat mengurangi terjadinya penggelembungan gel pati akibat terjadinya proses gelatinisasi berlebih yang dapat mempengaruhi tekstur dibandingkan bila tidak dibekukan. Selain itu tahap penumbukan juga merupakan tahap kritis yang dapat menyebabkan kerusakan tekstur akibat terjadinya pemisahan sel kentang yang dimasak. Penisahan sel akibat hidrolisis pektin ~ a d lamela a tengah dapat menyebabkan kerusakan sel. Hal lain yang perlu diperhatikan pada pembuatan kentang tumbuk adalah pembentukan butiran kentang. Pembentukan butiran yang baik merupakan faktor yang penting untuk menghindari terbentuknya rasa seperti pasir atau meng_gumpal. Pecahnya sel akan melepaskan pati-pati bebas, jika komponen ini berlebihan maka produk yang dihasilkan akan menjadi lengket atau menyerupai pasta. Pcmbentukan produk yang lengket adalah merupakan masalah utama dalam pernbuatan kentang tumbuk. Fau!ks dan Griftits (1983) mengatakan baliwa tekstur yang lengket diakibatkan oleh berlebihnya jumlah ekstraselllllar pati bebas yang diproduksi ole11 difusi
pati
melalui
dinding
sel selama proses
pemasakan
dan
melalui
putusnya/pecahnya dinding sel yang matang selama proses penumbukan dan pencampuran.
5.
Peningkatan Gizi Produk Kentang Tumbuk Instan (Mashed Potato I~rstarzt) Sclama proses pengolahan beberapa zat gizi yang ada dalam bahan pangan
dapat hilang atau berkurang kandungannya. Pada kentang kandungan protein maupun vitaminnya sangat rendah, sehingga untuk meningkatkan nilai gizi produk olahan kentang dapat ditambah dengan beberapa zat gizi yang masih kurang. Ada beberapa istilah yang biasa digunakan dalam meningkatka~~ nilai gizi produk olahan yaitu fortifikasi, enrichment (pengkayaan) dan supplernentasi. Menurut Russell dan Williams (1994), fortifikasi adalah penambahan zat-zat gizi ke dalam bahan pangan dengan jumlah lebih besar dari kandungan awal bahan pangan itu sendiri. Misalnya penambahan vitamin C pada susu, fortifikasi margarine, fortifikasi jus buah dan lain-lain. Darnton (2002) menyatakan bahwa berdasarkan Codex Alimentari, fortifikasi didefinisikan sebagai penambahan satu atau lebih nutrisi ke dalam bahan pangan, baik itu ada atau tidak terkandung secara alami dalam bahan pangan tersebut, dengan tujuan untuk mencegah defisiensi satu atau lebih nutrisi pada kelompok populasi khusus. Sedangkan menurut Tannenbaum et al. (1985), tbjuan fortifikasi adalah untuk menambahkan zat-zat gizi yang kurang dalam bahar? pangan sehingga dihasilkan komposisi gizi lebih baik. Fortifikasi juga mencakup penambahan sejumlah zat gizi yang biasanya tidak terdapat dalam bahan pangan yang bersangkutan dan rehabilitasi zat gizi yang rusak akibat pengolahan. Enrichment (pengkayaan gizi) adalah penambahan nutrisi dalam jenis dan
jumlah yang sesuai menurut standar yang ditetapkan oleh FDA (Food Drug Administration). Misalnya enrichment roti, berarti dibuat dari tepung yang diperkaya gizinya dengan penambahan beberapa vitamin, pcnambahan nutrisi kedalam formula roti atau menggunakan ragi yang mempunyai kandungan vitamin tinggi dalam proses peinbuatannya (Russel dan Williams, 1994). Sedangkan menurut Bender dan Bender (1995), di USA istilah enrich~nentdigunakan untuk penambahan nutrisi kedalam bahan pangan dimana kandungan nutrisi tersebut sangat sedikit atau hampir tidak ada, sedangkan fortifikasi didefinisikan sebagai rehabilitasi nutrisi yang hilang selama proses pengolahan.
Supplementasi merupakan bentuk umum yang dikhususkan pada penambahan nutrisi dengan tujuan untuk meningkatkan nutirisi intake (Russel dan Williams, 1994). Bahan supplemen dapat berupa ragi, gandum, minyak liver cod atau vitamin dan mineral. Peningkatan nilai gizi pada produk kentang tumbuk instan biasa dilakukan dengan cara enricl~mentdan supplementasi. Hasil penelitian Rios et al. (1972) dalam Hadziyev dan Steele (1979), bahwa supplementasi metionin dapat meningkatkan nilai kualitas protein potato fluke. Lebih lanjut dihasilkan bahwa penambahan metionin sebesar 1% tidak akan mempengaruhi rasa kentang tumbuk instan. Sedangkan untuk mengganti kehilangan kandungan vitamin C pada produk kentang tumbuk instan, biasanya diperkaya dengan vitamin C sintetik yang ditambahkan pada tahap akhir pengolahan. Hasil penelitian Wang, et al. (1992), bahwa fortifikasi kentang tumbuk instan dengan vitamin C dapat mengalami penurunan selama : (1) produksifluke, (2) penyimpananflake, dan (3) rekonstitusi kentang tumbuk. C.
PENGEKlNGAN
Pengeringan merupakan metode untuk menghilangkan atau mengeluarkan sebagian air dari suatu bahan dengan cara menguapkan air tersebut dengan menggunakan energi panas. Biasanya kandungan air bahan tersebut dikurangi sampai suatu batas agar mikroba tidak dapat tvmbuh lagi didalarnnya. 1.
Pengertian dan Prinsip Dasar Pengeringan
Prinsip dasar proses pengeringan adalah terjadinya penguapan air bahan ke udara karena perbedaan kandungari uap air antara udara dengan bahan yang dikeringkan. Agar suatu bahan dapat menjadi kering, maka udara hams memiliki kandungan uap air atau kelembaban nisbi yang lebih rendah daripada bahan yang akan dikeringkan sehingga dapat terjadi penguapan. Henderson dan Perry (1976) mengatakan bahwa mekanisme pengeringan diterangkan melalui teori tekanan uap. Air yang diuapkan terdiri dari air bebas dan air terikat. Air bebas berada dipermukaan dan yang pertama kali mengalami penguapan. Bila air permukaan telah habis, maka
terjadi migrasi air dan uap air dari bagian dalam bahan secara difusi. Migrasi air dan uap terjadi karena perbedaan konsentrasi atau tekanan uap pada bagian dalam dan bagian luar bahan. Chung dan Chang (1982) mengatakan bahwa tujuan utama dari proses pengeringan adalah mengurangi kandungan air dalam bahan sehingga dapat menghambat pertumbuhan mikroba maupun reaksi lainnya, selain itu produk yang dikeringkan akan lebih mudah dalam pengangkutan dan penyimpanan. Pada proses pengeringan ha1 yang hams diperhatikan adalah desain dan operasi dari sistem pengeringan yang diperlukan untuk mempertahankan kualitas optimum dari produk kering yang diinginkan. 2.
Laju Pengeringan
Laju pengeringan dalam proses pengeringan suatu bahan mempunyai arti penting, dimana laju pengeringan akan menggambarkan cepat lambatnya proses pengeringan berlangsung. Secara umum laju pengeringan diartikan dengan jumlah air yang diuapkan per bahan kering persatuan waktu (Muljoharjo, 1987). Terdapat dua impilikasi dari data laju pengeringan yaitu ~vaktupengeringan dan biaya pengeringan. Menurut Taib et al. (1988) laju pengeringan dipengaruhi oleh faktor-faktor yang terdapat di luar bahan dan di dalam bahan, dimana faktor-faktor tersebut berhubungan langsung dengan laju pengeringan. Faktor dalam yang sukar diawasi adalah struktur permukaan bahan, struktur molekuler bahan difusitas dalanl bahan, bentuk bahan dan komposisi kimia bahan. Faktor luar yang mempengaruhi laju pengeringan adalah distribusi aliran udara, keadaan udara pengering yaitu suhu, kelembaban dar, kecepatan udara (Muljohardjo, 1987). Menurut Brooker et al. (1982) secara umum proses pengeringan dapat dibagi menjadi dua periode yaitu periode laju pengeringan konstan dan periode laju pengeringan menurun. Kedua periode ini dibatasi oleh kadar air kritis. a.
Laju Pengeringan Konstan
Periode laju pengeringan konstan tejadi apabila bahan banyak mengandung air bebas. Selama proses laju pengeringan konstan, permukaan bahan masih sangat
basah tertutupi ole11 lapisan air yang kontinyu. Hal ini terjadi selama air yang menguap dari pern~ukaanbahan melniliki kecepatan yang sama dengan persediaan air dari dalam bahan ke permukaan atau selama tersedianya air bebas dala~nbahan. Laju pengeringan konstan terjadi karena gaya perpindahan air internal lebih kecil dari perpindahan uap air pada permukaan bahan. Laju pengeringan konstan terjadi pada awal proses pengeringan yang kemudian diikuti oleh laju pengeringan menurun. Besarnya laju pengeringan selama periode ini berlangsung tergantung pada : 1) luas hamparan produk yang dikeringkan, 2) perbedaan kelembaban antara udara
yang mengalir dan permukaan yang basah, 3) koeffisien pindah massa dan 4) kecepatan udara pengering (Hall, 1957). b.
Laju Pengeringan Menurun
Laju pengeringan menurun akan tejadi sejalan dengan penurunan kadar air selama proses pengeringan. Awal laju pengeringan menurun terjadi setelah akhir laju pengeringan konstan.
Pada periode laju pengeringan menurun, gaya kapiler
melnberikan gaya pengeringan untuk mendorong air nlelalui pori-pori ke pernlukaan. Setelah air yang tersedia tidak mencukupi lagi untuk membuat lapisan dari permukaan, rnaka kecepatan pengeringan secara ~nendadakrnenurun tepat pada akhir proses waktu selama laju pengeringan menurun (Titik E pada Gambar 8). Periode laju pengeringan menurun pertama (CD) dan laju pengeringan kedua (DE). yu
laju pcnehem
pcngenngm
I
menwun
Lt0nsl.u I
1
Penaenngan (kg rirIm2 jam)
-.
Gambar 8.
.
K.br Air (kg&&
baa1 lcring)
Kurva karakteristik pengeringan (Heldman dan Singh, 1981)
3.
Cara-Cara Pengeringan Proses pengeringan yang umumnya digunakan pada bahan pangan ada dua
cara yaitu pengeringan dengan penjemuran dan pengeringan dengan alat pengering. Kelemahan dari pengeringan dengan penjemuran (dibawah sinar matahari) adalah waktu pengeringan lebih lama dan lebih mudah terkontaminasi oleh kotoran atau debu sehingga dapat mengurangi mutu akhir produk yang dikeringkan. Pada pengering buatan, kondisi alat pengering dapat dikontrol dengan baik sehingga dapat dihasilkan produk kering sesuai yang diinginkan. Pemilihan jenis alat dan kondisi pengering yang akan digunakan tergantung dari jenis bahan yang dikeringkan, mutu hasil akhir yang dikeringkan dan pertimbangan ekonomi, misalnya untuk bahan yang berbentuk pasta atau pure maka alat pengering yang sesuai adalah alat pengering drum, sedangkan untuk bahan yang berbentuk lempengan atail jenis bahan padatan dapat menggunakan pengering kabinet (Brennan et al., 1974). Jenis alat pengering lainnya yang dapat digunakan untuk bahan pangan adalah pengeringan terowongan, pengering semprot, pengering fluidized bed, pengering beku dan lain-lain. a.
Pengering Drum Pengering drum merupakan tip. alat pengering yang terdiri dari satu atau
lebih silinder dan terbuat dari logam yang berputar sesuai dengan porosnya pada posisi horizontal yang dilengkapi dengan penlanasan internal oleh uap air, air atau media cairan pemanas lainnya (Brennan et al., 1974). Prinsip kerja alat pengering drum adalah drum berputar dengan tenaga penggerak motor, dipanaskan dari bagian dalarn dengin menggunakan steam. Panas permukaan drum mencapai suhu 120 - 170 "C. Lapisan bahan yang akan dikeringkan disebarkan secara merata pada permukaan atas drum. Sebelum mencapai putaran penuh, bahan akan mengering dan dikikis oleh pisau yang berada disepanjang permukaan drum dengan arah melintang. Produk akhir ditampung dibawah permukaan drum (Hariyadi et al., 2000). Sedangkan menurut Moore (1995), pada pengering drum bahan pangan dikeringkan diatas permukaan drum yang berputar
sebagai suatu lapisan tipis. Produk yang kering dilepaskan dari permukaan drum dengan pisau pengeruk. Selanjutnya lapisan yang kering tersebut digiling menjadi suatu bubuk yang halus. Pengeringan pada lapisan produk terjadi karena adanya perpindahan panas secara konduksi dari permukaan drum ke produk. Pada dasarnya untuk memperoleh mutu produk yang baik dengan penampakan yang baik, maka lapisan produk yang melewati permukaan drum sebaiknya memiliki ketebalan yang seragam. Beberapa ha1 yang hams dipertimbangkan dalam penggunaan pengering drum adalah jenis bahan yang dikeringkan, mekanisme pindah panas, desain dan konstruksi pengering, kondisi pada saat drum dioperasikan dan pertimbangan ekonomi. Beberapa kelebihan pengering drum antara lain laju pemanasan tinggi serta menggunaltan panas yang cukup ekonomis. Sedangkan kekurangannya adalah produk yang dikeringkan lianya berupa cairan, pasta atau bubur yang memiliki ketahanan terhadap suhu tinggi dalam waktu yang singkat yaitu
+ 2 - 30 detik (Brennan et al.,
1974). b.
Pengering Fluidized Bed
Prinsip pengering fluidized bed adalah udara panas yang berasal dari heater electric dialirkan dengan bantuan fan. Aliran udara bergerak dengan tipe vertikal, dimana udara panas digerakkan dengan kecepatan yang tinggi sehingga akan menggerakkan partikel bahan yang dikeringkan. Proses tersebut akan mengakibatkan seluruh permukaar. bahan bersentuhan dengan udara panas (Hariyadi et al., 2000). Menurut Jayaraman dan Das Gupta (1995), jenis pengering fluidized bed mcrupakan alat pengering yang biasa digunakan untuk pengeringan bahan berbentuk butiran, misalnya butiran kcntang. Pada alat ini, udara panas di hembuskan melalui dasar partikel makanan dengan kecepatan yang tinggi untuk mengatasi kekuatan gravitasi dalam produk dan mempertahankan partikel dalam bentuk suspensi. Beberapa keuntungan dari pengering fluidized bed adalah intensitas pengering dan effisiensi suhu tinggi, pengawasan suhu seragam dan teliti, lama pengeringan bahan dapat dirubah-rubah, waktu pengeringan lebih singkat dibandingkan dengan tipe alat
pengering lainnya, peralatan operasi dan pemeliharaan sangat sederhana, proses dapat diatur secara otomatis tanpa adanya kesulitan dan beberapa proses dapat dikombinasi dengan pengering fluidized bed. Alat pengering fluidized bed dapat digunakan untuk mengeringkan sayuran dalam bentuk irisan, kacang polong, buncis, butiran kentang dan jus buah dalam bentuk tepung. Alat ini juga bisa digunakan sebagai alat pengering kedua untuk n~enyelesaikan proses pengeringan yang dimulai dengan alat pengeringan lain. Pengeringan dengan alat ini dapat dilakukan secara proses batch atau kontinyu dengan beberapa modifikasi (Jayaraman dan Das Gupta, 1995). 4.
Cara Pengeringan Kentang Tumbuk (1Masked Potato) Kentang tumbuk instan umumnya dikeringkan menggunakan alat pengering
drum dan fluidized bed (Talburt dan Smith, 1986; Hadziyev dan Steele, 1979; Bunker dan La Rue, 2001). Pengeringan kentang tumbuk dengan alat fluidized bed secara sistematik disajikan pada Gambar 9. Alat ini terdiri dari ruangan (chanlber) dilengkapi dengan keramik yang berpori atau saringan mesh yang sangat halus pada bagian dasar yang dilewati aliran udara panas. Bahan yang akan dikeringkan masuk dari bagian sisi kiri dan kemudian akan keluar pada sisi lainnya. Selalna proses pengeringan, bahan akan tersuspensi atau dijadikan padatan oleh udara papas yang berasal dari bagian bawah yang berpori. Proses pengeringan ini dapat berlangsung selama 10 hingga 30 tnenit. Suhu udara yang masuk dapat sangat tinggi tanpa menghanguskan produk, karena transfer panas terjadi dengan cepat dan tidak ada produk atau bahan yang terkena udara panas. Suhu rata-rata selama proses pengeiingan pada alat pengering fluidized bed dapat dilihat pada Tabel 4.
Keterangan :
4
---
,:1 i
r*-
<.
2
.I
.,\.
.
1. 2. 3. 4. 5.
butiran kering keluar insulated hood butiran basah masuk plerzum chamber udara panas masuk
Gambar 9. Alat pengering fluidized bed kontinyu yang digunakan pada tahap akhir pengeringan butiran kentang (Talburt dan Smith, 1986) Tabel 4. Suhu, waktu pengeringan dan kadar air produk pada pengeringan dengan alat fluidized bed kontinyu
/ Waktu
Rata-Rata
I
(PonJJam. per Inlet Air Exhaust Air / Dalam bed Sq.Ft. bed) ' 18 28 148,9 45,6; 57,8 59,4; 66 30 17 204,4 47,8; 61,7 60,6; 72,2 204,4 18 i 28 57,8; 72,2 77,8; 88,9 Keterangan : Nee1 et al. (1954) dalam Talburt dan Smith (1 986)
'
Produk
Kadar Air Produk (%b.b)')
61,l 65,6 78,9
5 5 3
Suhu ("C)
I
Kadar Air feed 1 1%
Pada pengeringan dengan drum, jenis yang umum digunakan adalah alat pengering drum tipe tunggal dengan 4 sampai 6 rol applicator untuk membuat kentang tumbuk bentuk jlakc. Bahan yang akan dikeringkan dimasukkan dari atas perrnukaan drum pada titik pusat atau pada dua titik yang sama jauhnya dari pusat dan bagian akhir drum. Kemudian bahan dibawa keluar melalui konveyor. Alat pengering drum secara jelas diperlihatkan pada Gambar 10. Kondisi proses pengeringan dengan alat drum secara umum agar dihasilkan potato flake dengan mutu lebih baik adalah sebagai berikut : bahan padatan dari
bahan yang akan dikeringkan antara 20 - 22%; tekanan uap 75 hingga 80 lbs. per sq.
in.; kecepatan perputaran drum 2 r.p.m.. Pada kondisi ini dapat dihasilkan ketebalan lembaran dengan kadar air antara 4,5 dan 5% (Talburt dan Smith, 1986).
Gambar 10. Alat pengering drum tipe tunggal dengan gulungan applicator dan mash basah (Talburt dan Smith, 1986) 5.
Keawetan Produk Kering Pengawetan bahan pangan menjadi produk kering adalah inerupakan salah
satu upaya untuk mcmpertahankan mutu bahar, pangan agar menjadi lebih awet dan melnperpanjang masa simpan. Ballan pangan dalam bentuk kering melnpunyai nilai a , cukup rendah sehingga akan meinpunyai daya simpan lebih lama dibandingkan dengan produk pangan dalam bentuk basah. Hal ini didasarkan atas pertumbuhan mikroba dan reaksi kimia lainya yang dapat terjadi bila kandungan air dalanl bahan pangan cukup tersedia (Cunningham, 1982). Menurut Chung dan Chang (1982), secara umum proses pengeringan adalah mengeluarkan air dari bahan pangan, sehingga pertumbuhan n~ikrobamaupun reaksi lainnya dapat dihambat. Selain itu proses pengeringan juga dapat mempertahankan flavor dan karakteristik nutrisi, serta reaksi deteriorasi dapat dicegah atau dikurangi.
D.
KADAR AIR DAN ISOTERMI SORPSI AIR Air dalam bahan pangan merupakan media yang balk. bagi pertumbuhan
mikroorganisme. Dalam bahan pangan air terdapat dalam bentuk air bebas dan air terikat. Menurut Barbosa-Canovas dan Vega-Mercado (1991), air bebas atau air
terikat didefinisikan sebagai air dalam bahan pangan yang bersifat sebagai air murni. Air tidak terikat akan dipindahkan selama proses pengeringan pada periode konstan rate apabila bahan pangan tersebut tidak berpengaruh terhadap proses pengeringan. Hubungan antara kadar air dan a, digambarkan dalaln bentuk kurva sorpsi isotermis. Sorpsi isotermis air merupakan karakteristik penting yang dapat ~nempengaruhi aspek pengeringan dan penyimpanan. Bentuk isotermi sorpsi umumnya akan menentukan stabilitas penyimpanan. 1.
Kadar Air Keseimbangan
Kadar air keseimbangan suatu bahan yang sedang dikeringkan menunjukkan tingkat kadar air terendah yang dapat dicapai selama proses pengeringan dalam ruang pengering pada suhu dan RH tertentu. Laju pengeringan makin rendah bilamana kadar air bahan mendekati kadar air keseimbangan. Kadar air keseimbangan juga penting untuk menentukan apakah suatu bahan pangan akan menyerap atau melepaskan air pada suatu kondisi suhu dan kelembaban relatif (RH) ruang penyimpana~nya(Henderson dan Peny, 1976). Kadar air keseimbangan sangat penting dalam pengeringan, karena akali menentukan kadar air terendah yang dapat dicapai pada proses pengeringan. Pada penyimpanan, kadar air keseimbangan menentukan kadar air terendah yang dapat dipertahankan sesuai dengan kondisi lingkungan tempat penyimpanan dilakukan. Selanjutnya menurut Henderson dan Perrj (1976), bahwa proses pengeringan dan penyimpanan bahan pangan sangat terkait dengan kondisi kadar air keseimbangan dan RH udara sekitar bahan (Me). Bahan basah di dalam ruang tertutup akan mengalami penguapan pada seluruh permukaannya. Pada suatu saat penguapan ini akan terhenti karena molekul-molekul air yang menguap dari bahan sama jumlahnya dengan molekul-molekul air yang diserap oleh permukaan bahan tersebut. Keadaan ini dikatakan sebagai keadaan keseimbangan antara penguapan dan pengembunan (Setijahartini, 1985). Sebaliknya produk kering dalam ruang tertutup akan mengalami penyerapan air dan akan berhenti sampai mencapai keseimbangan.
Menurut Brooker et al. (1974) ada dua cara untuk menentukan kadar kesetimbangan yaitu dengan metoda statis dan metoda dinamis. Pada metoda statis yaitu dengan cara meletakkan contoh bahan pada tempat dengan RH dan suhu terkontrol. Metoda dinamis adalah dengan cara meletakkan bahan pada tempat dimana (suhu dan RH dikontrol) digerakkan secara mekanik, sehingga proses metode dinamis lebih cepat daripada metoda statis. Metoda dinamis memerlukan waktu penyetimbangan yang lebih cepat daripada metoda statis, tetapi metoda dinamis mernpunyai permasalahan pada desain dan instmmen yang digunakan. Sedangkan metoda statis digunakan lebih luas, walau membutuhkan wakt penyetimbangan yang lebih lama (Hall, 1980) 2.
Isotermi Sorpsi Air
Salah satu konsep yang paling penting dalam proses pengeringan adalah keseimbangan kadar air, dimana tingkat kadar air suatu bahan pangan berada dalam keseimbangan dengan suatu lingkungan yang mempunyai tingkat suhu dan kelembaban tertentu. Kondisi kadar air keseimbangan dengan RH udara sekitar bahan (Me) sangat berperan dalam proses pengeringan dan penyimpanan (Henderson dan Peny, 1976). Aktivitas air pada sistim uap-padatan adalah rasio tekanan uap air parsial (P) dengan tekanan uap air murni (Po) pada kondisi suhu yang sama (Saravacos,l995 dalam Rao dan Rizvi, 1995). Rumus aktivitas air secara matematis dapat ditulis sebagai berikut : a,
= PIP0 = ERH1100
a, P Po ERH '
= = = =
...... . . ..... ... ............. .... ............ . . . . . . ..... ... ... (1)
aktivitas air tekanan uap air dalam bahan pangan (mmHg) tekanan uap air jenuh pada suhu yang sama (mmHg) kelembaban aktif keseimbangan (%)
Syarief dan Halid (1991) menyatakan bahwa bahan pangan baik sebelum diolah maupun sesudah diolah secara alami mempunyai sifat yang sangat higroskopis, yaitu dapat menyerap air dari udara disekelilingnya dan sebaliknya dapat melepaskan sebagian air yang terkandung didalamnya ke udara. Sifat-sifat hidratasi
ini dapat digambarkan dengan kurva isothermi sorpsi. Sedangkan Labuza (1968) lnenyatakan bahwa Isoterrni sorpsi air menunjukkan hubungan antara kadar air bahan dengan RH keseimbangan ruang tempat penyimpanan bahan atau aktiffitas air pada suhu tertentu.
Gambar 11
Kurva isotermi sorpsi air pada bahan pangan yang menunjukkan tiga daerah : A, B, dan C (Duckworth (1974) dalam Troller dan Christian (1978).
Duckworth (1974) dalam Troller dan Chistian (1978), membagi kurva isoter~nisorpsi air menjadi 3 bagian air terikat yaitu daerah A menyatakan daerah lapis tunggal (monolayer), dimana air bersifat sangat kuat teriliat dan stabil, bersifat sebagai bagian dari padatan dan tidak dapat dibekukan, daerah B menyatakan air kurang kuat terikat dibandingkan pada daerah monolayer, terjadi adsorpsi n~ultilayer dan daerah C mcnyatakan daerah air bebas ( ~ a m b i 1r I). Mazza (1982) melaporkan bahwa adsorpsi isoterm dari kentang adalah berbentuk sigmoid dan dipengaruhi oleh metode pengeringan, suhu dan penambahan gula. Produk kering beku akan mengadsorpsi uap air lebih banyak dari pada produk kering vakum (Gambar 12). Penambahan glukosa, sukrosa atau laktosa pada kentang mengakibatkan keseimbangan kadar air menurun pada kisaran aktivitas air (a, ) rendah dan intermediate. Rockland dan Nishi (1980) dalam Mazza (1982) mengatakan bahwa keseimbangan suhu berpengaruh terhadap isoterm. Peningkatan
suhu akan mengakibatkan kurva isoterm menurun dengan meningkatnya nilai aktivitas air (a,) pada nilai kadar air konstan, sehingga produk akan mudah terkena serangan mikroba.
/ +kering vakum
0.3 -1
0
0.1
0.2 0.3 0.4 0.5
~
0.6 0.7 0.8 0.9
Aktivitas air (aw)
Gambar 12. Isotermi adsorpsi produk kentang kering beku dan kering vakum setelah diblansing kultivar Norchip pada suhu 25°C (Mazza, 1982) 3.
Peranan dan Kegunaan Isotermi Sorpsi Air
Isotermi sorpsi air (ISA) dapat digunakan untuk perhitungan pendugaan umur simpan produk pangan dengan metode ASS (Acelerated Shelf Life Testing) yaitu penyimpanan produk pangan pada kondisi lingkungan yang lebih tinggi dari kondisi penyimpanan nom~al.Rockland dan Beuchat (1987) menyatakan bahwa Isotern~i Sorpsi Air (ISA) dapat digunakan untuk memprediksi waktu proses pengeringan dan menduga energi dari dehidrasi serta dapat memprediksi transfer kadar air pada sistim pangan yang multikomponen termasuk spengemasan yang kedap udara: Aplikasi Isotermi Sorpsi Air (ISA) sangat dipengaruhi oleh kondisi percobaan yaitu a) metode yang telah diikuti dalam penetapan kurva sorpsi air seperti adsorpsi atau desorpsi yang berhubungan dengan adanya gejala histeresis dan b) suhu yang berhubungan dengan a,. Syarief dan Halid (1991) melaporkan bahwa sorpsi isoterrnik dapat menunjukkan pada titik kadar air berapa dapat dicapai tingkat a, yang diinginkan atau yang tidak diinginkan, namun juga menunjukkan terjadinya perubahan-
perubahan penting kandungan air yang dinyatakan dalam a,. Model sorpsi isotermik BET (Brumauer, Emmerr dan Teleer) sangat bermanfaat bagi penentuan kadar air dimana absorpsi bersifat 1 lapis molekul air. Penerapan sorpsi isotermik BET suatu bahan pangan dapat lnencakup daerah kelembaban relatif (RH 10 - 50%). Analisis Fraksi Air Terikat
4.
Kurva isotermi sorpsi air dibagi menjadi tiga bagian, yaitu daerah fraksi air terikat primer (monolayer), daerah air terikat sekunder (multilayer) dan daerah air terikat tersier (menunjukkan air yang terkondensasi pada pori-pori bahan) (Labuza, 1968; Soekarto, 1978). Penentuan analisis fraksi air terikat dapat menggunakan beberapa model matematika tentang isotermi sorpsi air yang masing-masing mempunyai kelebihan dan kekurangan. Beberapa model yang dapat digunakan dalam penentuan fraksi air terikat dalam bahan pangan adalah : Model BET (Brunauer, Emmet dan Teller)
a.
Persamaan model BET merupakan model yang paling luas digunakan dan paling tepat untuk diterapkan pada bahan pangan yang mempunyai kisaran a , tertentu yaitu 0,05 < a, < 0,45 (Chirife dan Idlesias, 1978 dalam Rizvi, 1995). Model ini dapat digunakan untuk menduga nilai lapisan air monolayer yang diabsorpsi pada permukaan. Kandungan air pada lapisan monolayer ini sangat penting dalam ~nenentukanstabilitas fisik dan kimia bahan yang dikcringkan. Secara umum bentuk model persamaan BET adalah : aw
1 -
(1
-
a,) M
dimana : M, M C
M,C
+
C - 1
a,. . . .. . . . . . . . .. .. . .. . . . . . .. . .. . .. (2) M,C
= nilai
monolayer air (g air 1 g bahan kering) pada aktivitas air a , = konstanta
= kadar
Beberapa ha1 yang mendasari teori persamaan BET dikemukakan oleh Rizvi (1995) yaitu : 1) laju kondensasi pada lapisan pertama sebanding dengan laju penguapan dari lapisan kedua, 2) energi ikatan seluruh molekul penyerap (adsorben)
pada lapisan pertama sama, 3) energi ikatan pada lapisan lain sebanding dengan energi ikatan adsorben murni. Asumsi lebih jauh tentang perrnukaan adsorben yang seragam dan tidak adanya interaksi lateral antara molekul adsorben adalah tidak benar, karena interaksi pada permukaan bahan pangan sangat beragam. b.
Model GAB (Guggenheim-Anderson-de Boer)
Model persamaan ini memiliki tiga parameter yang masing-masing diturunkan secara terpisah oleh Guggenhei~n(1966), Anderson (1946) dan de Boer (1953). Bentuk persamaan GAB secara umum adalah sebagai berikut : M ------Mo
-
Cka, ............................... ................................................. (3) (1 - Ka,)(l - Ka, + Cka,)
dimana : Mo = kadar air monolayer M = kadar air (g air / g bahan kering) pada aktivitas air a, C = c exp [(HI - Ho) / RT] C = kalor jenis K = k exp [(HI - H,) / RT] k = konstanta H, = panas k~ndensasiuap air murni (Jlg) H" = panas sorpsi multilayer Ho = panas sorpsi monolayer R = konstanta gas T = Suhu absolut ("C) Model GAB mempunyai beberapa kelebihan dibandingkan dengan model
BET yaitu ( I ) memiliki latar belakang yang bersifat teoritis, (2) ciapat mendeskripsikan sifat sorpsi isotenni pada hampir semua bahan pangan, pada kisaran 0,l < anr < 0,9; (3) men~punyaibentuk persamaan matematik yang sederhana dengan
3 parameter, (4) parameter yang dimiliki mempunyai makna fisik proses sorpsi yaitu
dapat menentukan nilai konstanta C dan K yang berhubungan dengan energi interaksi antara air dan bahan, serta nilai Mo yang menunjukkan kadar air saat terjadi satu lapis molekul air, dan (5) mampu menggambarkan pengaruh suhu terhadap isoterrni dengan menggunakan persamaan Arrhenius (Rizvi, 1995). Model GAB ini dapat digunakan untuk penentuan kapasitas air terikat tersier
'
c.
Model Logaritma
Model ini dapat digunakan untuk menentukan kapasitas air terikat sekunder, dimana kurva sorpsi isotermi diplot sebagai kadar air terhadap (1 - a,) sehingga bentuk kurvanya serupa dengan kurva perambatan panas di dalam kaleng. Menurut Pflug dan Esselen (1963) yang dikutip oleh Soekarto (1978), menemukan hubungan linier jika plot perambatan panas itu dibuat sebagai log (To
-
T) yang merupakan
perbedaan suhu retort dan suhu pusat kaleng terhadap waktu (t). Hubungan linier itu akan patah menjadi dua garis lurus jika selama peinanasan terjadi perubahan konduktivitas panas atau perubahan dari konveksi ke konduksi. Plot log dari (1
- a,)
terhadap M juga dihasilkan garis patah yang terdiri dari dua garis lurus. Berdasarkan anologi kedua phenomena tersebut, didapatkan model matematik empirik sebagai berikut : Log(1-a,)=b(M)+a
....................................................................(4)
dimana : M = kadar air (g air 1 g bahan kering) pada aktivitas air a, b = faktor kemiringan r = titik potong pada ordinat Penerapan model ini pada produk pangan menghasilkan garis lurus patah dua. Garis lurus pertanla mewakili air ikatail sekunder dan garis lurus kedua mewakili air ikatan tersier. Titik potong kedua garis itu adalah titik peralihan dari a.ir ikatan sckunder ke terticr dan dianggap scbagai batas atas atau kapasitas air ikatan sekunder (Soekarto, 1978). E.
STABILITAS PRODUK KERING SELAMA PENYIMPANAN
Stabilitas produk pangan berl~ubungandengan mudah tidaknya produk pangan mengalami kerusakan akibat terjadinya perubahan kimia, fisik dan mikrobiologi. Menui-ut Arpah (2001), bahwa produk pangan akan mengalami reaksi deteriorasi yaitu penyimpangan suatu produk dari mutu awalnya segera setelah produk tersebut diproduksi. Reaksi deteriorasi dimulai pada saat produk pangan mengalami kontak dengan oksigen, udara, uap air, cahaya atau akibat perubahan suhu. Tingkat deteriorasi produk dipengaruhi oleh lamanya penyimpanan, sedangkan laju
deteriorasi dipengaruhi oleh kondisi lingkungan penyimpanan. Proses deteriorasi produk pangan dapat diperlambat dengan menggunakan teknik pengemasan sehingga stabilitas produk, kesegaran dan penerimaan konsumen terhadap produk dapat dipertahankan dan umur simpan dapat diperpanjang. Faktor-faktor yang dapat menlpengaruhi stabilitas penyimpanan produk pangan antara lain adalah jenis dan kualitas bahan baku yang digunakan, metode dan keefektifan pengolahan, jenis dan keadaan pengemasan, perlakuan mekanik selama distribusi dan pengaruh yang ditimbulkan oleh suhu dan kelembaban penyimpanan. Jayaraman dan Das Gupta (1 995) melaporkan bahwa stabilitas penyimpanan produk kering dapat dipengaruhi oleh metode pengeringan, kondisi penyimpanan (suhu dan periode penyimpanan), kadar air, oksigen dan cahaya. Hasil penelitian Sapers et al., (1974) menyebutkan bahwa pengeringan dengan oven dapat menurunkan stabilitas produk kentang serpih (potato Jake) sebagai akibat sensitivitas bahan pangan kering terhadap reaksi oksidasi pada a, rendah dan kerusakan yang terjadi pada produk selanla proses pengeringan. 1.
Kriteria Kerusakan
Produk bahan pangan secara alami akan mudah mengalami kerusakan, yaitu terjadinya perubahan
-
perubahan selama proses pengolahan dan penyimpanan.
Kondis~selama proses pengolahan maupun penyimpanan akan dapat mempengaruhi atribut mutu bahan pangan. Perubahan-perubahan yang dapat menyebabkan kerusakan pada produk pangan adalah perubahan kimia, fisik maupun mikrobiologi. Barbosa-Canovas dan Vega-Mercado ( 1991) mengatakan bahwa proses pengeringan produk pangan tidak hanya mempengaruhi kandungan air produk, namun juga akan mempengaruhi sifat fisik, kimia dan biologi produk pangan seperti aktivitas enzim, pertumbuhan mikroba, kerenyahan, viskositas, kekerasan, aroma, flavor dan kelezatan bahan pangan.
Menurut Jayaraman dan Das Gupta (1995), perubahan
yang tidak diinginkan pada produk pangan kering dapat terjadi akibat penyimpangan rasa (offflavor), pencoklatan, kehilangan pigmen serta penurunan kandungan gizi.
Perubahan sifat fisik yang sering terjadi pada produk pangan kering akibat reaksi deteriorasi adalah perubahan tekstur berupa retrogradasi, agglomerasi, perubahan kekentalan, pernasiran dan lain-lain. Penyimpangan-penyimpangan ini menyebabkan tekstur produk pangan tidak mempunyai tekstur aslinya lagi seperti pada awal produksi. Perubahan teksiur pada produk sayuran yang dikeringkan dengan udara panas selama penyimpanan dapat terjadi apabila tidak terlindungi dari pengaruh suhu atau proses dehidrasi yang kurang. Deteriorasi khususnya terjadi pada saat proses pembekuan, pengeringan, penyimpanan dan rekonstitusi (Jayaraman dan Das Gupta, 1995). Pada produk kentang tumbuk instan kerusakan fisik yang terjadi adalah terbentuknya agglomerasi (penggumpalan) pada saat terjadinya peningkatan kadar air yang diakibatkan oleh menurunnya densitas kamba dan peninglcatan daya kohesi. Selain itu penyimpangan tekstur kentang tumbuk adalah terbentuknya produk yang lengket atau menyerupai pasta pada saat rekonstitusi. Flavor yang terbentuk pada produk kentang setelah dikeringkan dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu komposisi kimia, varietas, pengaruh pemasakan, kondisi pengeringan, jumlah air yang digunakan dan konsentrasi residu antioksidan yang digunakan untuk mencegah perkembangan penyimpangan rasa (Willard dan Kluge dalam Talburt dan Smith, 1986). Perubahan flavor yang terjadi pada produk pangan kering terutama diakibatkan oleh adanya reaksi oksidasi lemak yaitu terjadinya proses ketengikan ditandai oleh timbulnya penyimpangan rasa dan penurunan interaksi gulaasam amino. Penyebab reaksi oksidasi adalah oksigen yang terdapat pada udara, peroksidasi, logam dan oksidator lainnya. Timbulnya penyimpangan rasa padapotuto flake yang disimpan ditandai oleh produksi heksanal atau aldehida lainnya melalui proses oksidasi lemak pada kentang dan percabangan aldehida seperti 2 dan 3metilbutanal yang dihasilkan dari reaksi asam arnino sehingga menghasilkan penyimpangan rasa (Willard dan Kluge dalam Talburt dan Smith, 1986). Selanjutnya Sapers et al., (1972) dalam Sapers et al., (1974) melaporkan bahwa masa simpan produk kentang tumbuk instan hanya mempunyai masa simpan selama 6 bulan pada suhu ruang. Masa simpan tersebut terutama dibatasi oleh reaksi oksidasi lemak sebagai hasil perkembangan penyimpangan rasa selama penyimpanan.
Warna adalah merupakan salah satu atribut mutu yang sangat mempengaruhi penerimaan konsumen terhadap suatu produk. Terjadinya perubahan warna selama penyimpanan dapat menyebabkan penurunan mutu produk. Reaksi deteriorasi yang sering terjadi pada produk ltentang tumbuk instan adalah terbentuknya warna coklat yang disebabkan oleh terjadinya reaksi pencoklatan non enzimatis atau reaksi Maillard. Perubahan mikrobiologis ditandai oleh adafiya pertumbuhan mikroba. Pertumbuhan mikroba pada produk pangan dipengaruhi oleh faktor intrinsik (pH, a,,
ERH, kandungan nutrisi, struktur biologis dan kandungan antimikroba) dan faktor ekstrinsik (suhu penyimpanan, kelembaban, jenis dan jumlah gas pada lingkungan) (Arpah, 2001). Menurut Jayaraman dan Das Gupta (1995), faktor yang dapat mempengaruhi populasi pertumbuhan mikroba pada produk pangan kering adalah kualitas mikroba awal pada produk segar, metode perlakuan awal pada sayuran (blansing atau pengupasan), selang waktu antara persiapan sayuran dan saat mulai proses pengeringan, waktu dan suhu pengeringan, kadar air akhir produk dan sanitasi pada proses pengeringan. Kemampuan mikroba untuk tumbuh dan memproduksi toksin dipengeruhi oleh nilai a, yaitu pada kisaran 0,78 - 0,98. Sebagai akibat dari pertumbuhan mikroba pada produk pangan adalah dapat menyebabkan perubahan organoleptik maupun penurunan nilai gizi dan dapat juga menyebabkan keracunan maupun kematian. Kentang termasuk salah satu jenis saqwran yang cukup banyak mengandung vitamin dan protein. Penurunan nilai gizi pada produk pangan sering terjadi selama proses pengolahan. Kehilangan nilai gizi yang terutama terjadi pada produk kentang tumbuk instan adalah penurunan kandungan vitamin. Wang et al. (1 992) menyatakan bahwa tahap kritis dalam pembuatan kentang tumbuk instan yang dapat mempengaruhi penurunan kandungan vitamin C adalah pada saat blansing, penumbukan. Lebih lanjut dikatakan bahwa kehilangan vitamin C terutama diakibatkan oleh proses oksidasi. Penurunannya dapat mencapai 50 hingga 64 % setelah disimpan selama 6 - 7 bulan. Proses rekonstitusi potato flake ke bentuk kentang tumbuk dan kemudian mempertahankannya dalam steam stable dapat
mengakibatkan penambahan kehilangan vitamin C sebesar 30 % setelah 30 menit pada suhu 77 - 82 "C. 2.
Pengenlasan
Pengemasan memegang peranan penting dalam pengawetan bahan hasil pertanian. Fungsi utama dari pengemasan antara lain adalah menjaga produk pangan akibat kontaminasi dari pengaruh lingkungan, melindungi produk makanan terhadap kerusakan fisik, perubahan kadar air dan cahaya, mempunyai fungsi yang baik, efisien dan ekonomis serta mempunyai kemudahan dalam membuka atau menutup dan juga memudahkan dalam tahap-tahap penanganan, pengangkutan dan distribusi. Jenis bahan pengemas yang umum digunakan adalah plastik, gelas, metal, kaleng dan dari bahan aluminium foil. Bahan pengemas plastik digunakan secara luas oleh industri makanan, karena harganya murah, mudah dibentuk, mudah dalam ha1 pengisian dan pembukaan. Kemasan plastik merupakan senyawa polimer tinggi yang dicetak dalam lembaranlembaran yang mempunyai ketebalan berbeda-beda. Sedangkan kemasan aluminium foil merupakan jenis kemasan golongan semi tegar dan harganya cukxp mahal. Oleh sebab itu biasanya digunakan untuk mengemas produk-produk yang menghendaki perlindungan terhadap gas, oksigen, air dan sinar. Karakteristik bahan pengemas beberapa jenis plastik dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Sifat dari bahan pengemas plastik. Komponen
LDPE
Densitas (glcc) 0.9 1- 0.925 WVTR, g-mi11100 in2-hari 1.2 @ 100°F dan 90% RH Rata-rata transmisi oksigen, 250-840 cm3-mi11100 in2-hari-atm @ 77°F dan 0% RH 65 Transmisi cahaya (%) 500-5000 Permeabilitas C 0 3 cm3mi11100 in2-hari-atm @ 77°F dan 0% RH Sumber : Taub dan Singh (1998)
HDPE
OPP
0.945-0.967 0.3 - 0.65
0.905 0.3 - 0.4
30-250
110
-
80 240-285
250-645
3.
Analisis Umur Simpan
Penentuan umur simpan suatu produk dapat dilakukan dengan mengamati perubahan yang terjadi pada produk selama penyimpanan sampai tidak dapat diterima lagi oleh konsumen. Syarief dan Halid (1991) menyatakan bahwa perubahan mutu makanan terutama dapat diketahui dari perubahan faktor inutu, oleh karena itu dalam menentukan daya simpan suatu produk perlu dilakukan pengukuran terhadap attribut mutu produk tersebut. Umur simpan merupakan waktu hingga produk mengalami suatu tingkat deteriorasi tertentu atau periode selang waktu antara saat produksi hingga saat konsumsi dimana produk berada dalam kondisi mutu yang memuaskan yaitu pada sifat-sifat penampakan, rasa, aroma, tekstur dan nilai gizi (IFT, 1974). Sedangkan Floros (1998) menyatakan bahwa umur simpan adalah waktu yang diperlukan oleh produk pangan, dalam suatu kondisi penyimpanan, untuk sarnpai pada suatu level pada tingkatan degradasi mutu tertentu. Menurut International of Food Technology (IFT, 1974), bahwa stabilitas dan masa simpan produk pangan berhubungan dengan beberapa faktor yaitu : kerusakan oleh bakteri atau reaksi enzimatik pada produk pangan yang tidak diawetkan melalui pemanasan, a, rendah atau metode kimia; kerusakan oleh mikroorganisme untuk produk pangan kering; pencegahan pemasukar, serangga pada makanan yang dikemas; kehilangan sifat fungsional; kehilangan mutu, seperti wanla, flavor, aroma, tekstur dan penampakan lteseluruhan; penurunan nilai gizi, seperti penurunan kandungan vitamin dan protein. Sedangkan Syarief clan Halid (1991), menyatakan bahwa umur simpan bahan pangan yang dikemas dipengaruhi oleh faktor-faktor sebagai berikut : (1) keadaan alamiah atau sifat makanan dan mekanisme berlangsungnya perubahan, misalnya kepekaan terhadap air dan oksigen, dan kemungkinan terjadinya perubahan kirnia internal dan fisik, (2) ukuran kemasan dalam hubungannya dengan volume dan (3) kondisi atmosfir (terutama suhu dan kelembaban) dimana kemasan dapat bertahan selama transit dan sebeium digunakan. Penentuan umur simpan dapat dilakukan dengan metode kondisi yang dipercepat (Accelerated Shelf Life Testing), yang kemudian dapat digunakan untuk
memprediksi umur simpan pada suhu rendah. Kondisi dipercepat dapat dilakukan dengan mengkondisikan bahan pada suhu dan RH yang tinggi sehingga kadar air kritis lebih cepat dicapai daripada kondisi nonnal (penyimpanan pada suhu rendah) (Labuza et al., 1985).
Metode akselerasi hanya dipakai untuk mempercepat,
sedangkan pengamatan pada kondisi nonnal tetap dilakukan sebagai kontrol. Perumusan model ASS (Accelerated Shelf Life Testing) dapat dilakukan dengan menggunakan 2 cara pendekatan, yaitu 1). Pendekatan kadar air kritis dengan bantuan teori difusi, yaitu suatu cara yang diterapkan untuk produk pangan kering dengan menggunakan kadar air atau a,, sebagai kriteria kadaluarsa. 2). Pendekatan empiris dengan bantuan persamaan Arrhenius, yaitu suatu cara pendekatan yang menggunakan teori kinetika yang pada umurnnya mempunyai reaksi ordo no1 atau satu untuk produk pangan (Arpah, 2001). Nilai a,
merupakan parameter yang dapat digunakan untuk menduga
kerusakan makanan atau menentukan waktu pengeringan yang diperlukan untuk produk yang stabil. Kerusakan yang terjadi psda produk pangan kering (a,
= 0,6-0,7)
bukan diakibatkan olel? pertumbuhan mikroorganisnle, namun diakibatkan oleh adanya resksi oksidasi dan enzimatik atau non enzimatik yang dapat menyebabkan perubahan warna, flavor dan stabilitas produk selama penyimpanan (Jayaraman dan Das Gupta,1995). Menurut Labuza (1982), a, bahan pangan sangat menentukan kondisi penerimaan atau kehilangail air dari bahan pangan. Karel (1983) menyatakan bahwa faktor-faktor yang inenentukan waktu penerimaan air dalam bahan pangan adalah sorpsi isotermi air, permeabilitas film kemasan, rasio luas permukaan kemasan terhadap berat bahan kering, kadar air awal, kadar air kritis, $RH dan suhu penyimpanan produk. Labuza (1982) telah mengembangkan model matematik yang dapat digunakan untuk memperkirakan waktu penerimaan air yaitu sebagai berikut :
Keterangan : umur simpan produk (hari) kadar air keseimbangan (% bk) kadar air awal (% bk) kadar air kritis (% bk) berat bahan (g) tekanan uap air murniljenuh pada ruang penyimpanan (mrnHg) permeabilitas kemasan (g ~ 2 0 / h a r i . m ~ . m r n ~ ~ ) luas permukaan kemasan (m2) slope kurva sorpsi isotermi air (g H20/g bk)