11. TINJAUAN PUSTAKA A. PENYAKIT TETELO (NEWCASTLE DISEASE). 1. Sejarah penyebaran penyakit.
Penyakit Tetelo atau lebih dikenal dengan narna Newcastle Disease (ND) merupakan penyakit unggas yang sangat penting, sehingga dalam daftar penyakit hewan menular yang temuat dalam "Office International Des
Epizooties Zoonisatory Code" adalah satu-satunya penyakit unggas yang
dimasuklcan dalarn L i t A (Epidemiological Major Diseases). Penyakit yang ternasuk List A yang menyerang jenis ternak di luar unggas antara lain Penyakit Mulut dan Kuku (Aphtae E p h t i c a e ) , Penyakit Sampar Sapi
(Rinderpest), Penyakit Dada Menular (Contagious Bovine Pleura Pneumonia) dan Penyakit Lepuh Mulut (Vesicular Stomatitis), yang kesemuanya merupakan penyakit hewan menular yang sering menimbulkan masalah dalam bidang peternakan (Anonim, 1993 dan 1994). Diketahui, penyakit-penyakit yang termasuk List A tersebut secara ekonomis sangat merugikan dan dapat mengganggu dan menjadi hambatan bagi kegiatan perdagangan (ternak, bahan clan hasil ternak) internasional. Penyakit ND disebabkan oleh mikroorganisme (jasad renik) kelompok virus, yaitu dari Famili Paramyxoviridae d e n p genera termasuk Genus Pneumovirus
atau
Paramyxovirus. Pada
umumnya virus
Famili
Paramyxoviridae ukurannya berkisar antara 100-300 nm (Waterson dan Cruickshank, 1963; Allan et al., 1978). Diameter heliks nukleoprotein adalah 18 nm dan berat molekul Asam Ribo Nucleat (ARN)4-8 x lo6 Dalton
9
(Granoff, 1964; Palmieri dan Perdue, 1989). Resisten terhadap actinomycin, memproduksi haemolisin, serta dalam kultur sel membentuk badan inklusi (inclusion body) yang terletak di dalam sitoplasma atau kadang-kadang di dalarn inti (Alexander, 1982; King, 1986). Berdasarkan jenis hewan yang diserang, gejala klinik dan sifat-sifat keganasan penyakit yang ditimbulkannya, maka penyakit tetelo selain disebut Newcastle disease juga disebut sebagai penyakit pseudo fowl plague, pseudo poultry plague, pseudo wgelpest (Kraneveld dan Nasoetion, 194I), atypische
getlugelpet, avian pat, avian disremper dan ranikhet disease (Beaudette dan Black, 1946; Haddow dan Idnani, 1946; Beard dan Hanson, 1984).
Dalarn catatan sejarah penyakit, disebutkan bahwa penyakit tetefo mulai dilaporkan kejadiannya secara resmi pada tahun 1927, yaitu sewaktu tejadi wabah penyakit yang ganas pada unggas yang timbul di daerah Newcastle Upon Tyne, Inggris. Oleh karena pada waktu itu kejadian wabah tersebut belum diketahui penyebabnya, maka oleh pelapor (Doyle, 1927) disebut sebagai penyakit Newcastle (Newcastle disease), yaitu sesuai dengan tempat pertama kali ditemukannya. Sejak itu penyakit ini disebut sebagai Newcastle disease disingkat ND sampai sekarang. Sebenarnya penyakit yang diduga sama, karena menunjukkan tanda yang sarna dengan penyakit tetelo pernah diidentifikasi pada tahun sebelumnya yaitu tahun 1924 di Semenanjung Korea (Doyle, 1935; Levine, 1964) dan wabah dengan tanda yang sama yang terjadi di Eropah Tengah tahun 1926 (Alexander, 1988). Beberapa tahun kemudian, penyakit tersebut menyebar dengan cepat ke belahan bumi lainnya, dan akhirnya merupakan penyakit yang bersifat universal. Di benua Amerika khususnya di negara Amerika Serikat penyakit
yang menimbulkan gangguan pernapasan pada unggas ditemukan kasusnya sekitar tahun 1930 yang pada waktu itu disebut sebagai penyakit Pneumoencephalitis (Beach, 1944). Selanjutnya kejadian wabah yang meluas, yang terjadi bukan di suatu negara saja tetapi menyerang beberapa negara (panzootik) yaitu yang terjadi di Eropah Tengah yang lamanya sekitar 30 tahun (1926 - 1960). Kejadian wabah panzootik lainnya di negara-negara Asia seperti di negara Timur
Tengah terjadi pada tahun 1940-1948 dan pada tahun 1962-1972 (Alexander, 1982). Dengan melihat kejadian-kejadian ini, maka apabila wabah Penyakit tetelo terjadi secara panzootik baru dapat dikendalikan setelah berjalan bertahun-tahun sampai puluhan tahun (Chu et al., 1976).
Pada saat ini penyakit tetelo telah menyebar ke berbagai belahan dunia (universal), dan diduga yang kemungkinan belum tertular hanya daerah kutub (antartika) baik kutub utara maupun kutub selatan (Allan and Lancaster, 1978). Secara umum kejadian penyakit bersifat enzootik, narnun tidak jarang di beberapa dae*
atau negara terjadi wabah (epizootik). Di beberapa negara
seperti Australia, Selandia Baru, Kanada, Amerika Serikat, Jerrnan dan
beberapa negara Eeropah penyakit ini sarnpai sekarangjuga ada, namun diduga oleh virus lentogenik, bukan oleh virus velogenik (Spradbrow, 1988). Di Indonesia, sebenarnya penyakit tetelo sudah diketahui sebelum ditemubnya penyakit Newcastle di Inggris (1927), yaitu pada tahun 1926 di Jakarta dan Bogor. Pada waktu itu Kraneveld seorang akhli rnikrobiologi
bangsa Belanda yang bekerja di Balai Penelitian Veteriner yang waktu itu bernama Veeartsenijkundig Instituut (V.I.) melaporkan terjadinya wabah penyakit pada ayarn yang menyerupai penyakit pes sehingga disebutnya sebagai wabah pseudo vogel pest (Kraneveld and Nasoetion, 1941). Setelah
kejadian itu, penyakit tersebut terus menyebar ke daerah lainnya baik di Jawa rnaupun di luar Jawa, dan dilaporkan hampir sepanjang tahun terjadi di manamana. Saat ini hampir seluruh wilayah Indonesia merupakan daerah tertular dan belum ada satu daerah atau satu pulau pun yang dapat dibebaskan dari penyakit tetelo (Soeripto et al., 1991). Pada umurnnya serangan ND mulai meningkat pada awal musim hujan dan mencapai puncaknya pada pertengahan m u s h tersebut, serta wabah biasanya terjadi pada peralihan musim hujan ke musim kemarau (Danninto, 1992),
2. Etiologi ND. Seperti telah disinggung diatas, Penyakit Tetelo disebabkan oleh virus yang berukuran 100 - 250 nm, yang tersusun dari Asam Inti Ribo (AIR) atau sering disebbt Ribo Nucleic Acid (RNA), protein dan lemak (Waterson, P. dan Cruickshank, 1963; Granoff, 1964). Virus ini terrnasuk dalam Famili
Paramyxoviridae dengan genera terrnasuk Genus Pneumovirus atau Genus Parampmirus (PMV. Genus Paramyxovirus mempunyai 9 serogroup, yaitu Paramyxovirus-1 sarnpai Paramyxovirus-9. Serogroup yang paling penting dan paling patogen pada ayam adalah Paramymvirus-I (dengan prototype Newcastle h e m e virus), Paremyxovirus-2 clan Paramyxovirus-3. Serogroup lainnya yaitu Paramyxovirus-4, Paramyyxovirus-5, Paramyxovirusd,
Paramyxovirm- 7, Paramyyxovirus-8 dan Paramymvirus-9 pada urnurnnya menyerang itik, angsa, merpati, betet, dan beberapa jenis burung lainnya (Alexander, 1982; 1991). Serogroup Paramyxovirus-I dengan prototype Newcastle disease virus (NDV adalah penyebab penyakit tetelo pada ayam yang utama. Virus
prototipe ini mempunyai sifat hayati dapat menggumpalkan (haemaglulinasi) sel-sel darah merah ayam, selain itu virus ini mengeluarkan toksin dan hemolisin (Alexander, 1982). Di alam serogroup Pararnyxovim- 1 berdasarkan sifat keganasan (virulensi) yang ditimbulkannya dibagi dalam 3 strain, yaitu strain velogenik yang sifat keganasannya sangat tinggi, strain mesogenik yang sifat keganasannya sedang dan strain lentogenik yang sifat keganasannya
rendah atau sama sekali tidak ganas (Palmieri, 1989; Parede dan Young, 1990; Alexander and Allan, 1974; Alexander, 1982). Strain velogenik dapat menyebabkan angka kematian (fatality rate) cukup tinggi yaitu dapat mencapai 80 - 100% (Aini dan Ibrahim, 1990; Ronohardjo, 1993; Anonim, 1981) strain mesogenik menyebabkan kematian sekitar 10% dan ayam yang tidak mati produksi telurnya turun serta terjadi hambatan terhadap pertumbuhan, sedang strain lentogenik tidak menyebabkan kematian atau tidak menimbulkan gangguan kesehatan ayam yang berarti (Alexander and Allan, 1974; Alexander, 1982). Sebagai dasar yang menyebabkan perbedaan keganasan diantara strain Paramyxovirus belurn jelas, namun salah satunya adalah terletak pada cepat
atau larnbatnya perbanyakan (multiplikasi) virus bersangkutan (Granoff, 1964;
Russel, 1993). Sernakin cepat v i m tersebut berkembang biak, maka sifatnya akan semakin ganas (vimlen). Untuk menentukan penggolongan strain virus di lapang dapat dilakukan dengan uji patogenitas (pathogenity test) (Ozai et
al., 1987; Hanson, 1972). Penentuan strain virus berdasarkan keganasaMya, pengujian dilakukan dengan menyuntikkan (inokulasi) virus lapangan pada kantong alantois telur tertunas (telur berembryo). Larnanya waktu kematian atau "mean death time" (MDT) dari embryo ini yang menentukan
Tabel 1. Jenis-jenis unggas sebagai serogroup Paramysovirus.
induk semang dari masing-masing
Sumber : Disease of Poultry, 1991
keganasannya (Allan et al., 1978). Apabila embryo mati h a n g dari 60 jam setelah inokulasi virus, ini berarti virus bersangkutan terrnasuk strain velogenik, kernatian embryo antara 60-90 jam termasuk strain mesogenik dan
embryo mati setelah 90 jam, maka virus lapang tersebut masuk strain lentogenik (Allan et al., 1978; Ozai et al., 1987). Penentuan strain virus ini dapat juga dilakukan dengan menggunakan uji patogenitas lainnya, y aitu dengan Intra Cerebral Pathogenecity Index (ICPI) pada anak ayam umur sehari (day old chick) atau dengan Intra Venous Pathogenicity Index (IVPI) pada anak ayam umur 6 hari. Apabila pada uji lCPI memperoleh nilai 1.20 1.60 dan pada uji IVPI rnemperoleh nilai 1.OO - 1.45, maka virus bersangkutan termasuk strain mesogenik, bila nilainya lebih tinggi termasuk virus strain velogenik dan sebaliknya bila lebih rendah termasuk strain lentogenik (Alexander, 1991). Sebagai dasar yang menyebabkan perbedaan keganasan diantara strain Paramyxovirus belum jelas, narnun salah satunya adalah terletak pada cepat atau lambatnya perbanyakan (multiplikasi) virus bersangkutan (Granoff, 1964; Russel, 1993). Virus Newcastle disease (NDV)tidak dapat dibunuh oleh antibiotika atau obat-obatan farrnasetik lainnya, tetapi mati oleh berbagai desinfektan. Selain itu NDV sangat kontagius dan agak tahan terhadap pengaruh lingkungan. Akan tetapi virus akan hancu pada suhu 100°C dalam waktu satu menit, pada suhu 60°C mati dalarn proses pemanasan selama 30 menit (Allan et al., 1978), pada suhu 37°C tahan beberapa hari sampai seminggu, pada suhu
20°C sarnpai 28°C dapat tahan berbulan-bulan. Pada daerah suhu 40°C dengan kelembaban 20-30% virus dapat tahan 4 rninggu dalam karkas, 5 minggu dalam air sungai dan lebih 8 minggu dalam feces dan makman ayam (Anonim, 1981). Pada karkas beku virus dapat tahan hidup berbulan-bulan (Lancaster, 1966; Hanson, 1972). NDV tahan pula terhadap pH, sarnpai pH,,, tetapi peka terhadap sinar ultra violet dan sinar rnatahari langsung. Virus akan
hancur dalam formalin 1-2%, dalam phenol 1 : 20 dan oleh Kalium Permanganat larutan 1 : 5.000, dalam kresol 5% dan hancur oleh berbagai desinfektan lainnya (Lancaster, 1966; Allan et al., 1978; Hanson, 1972). Tabel 2.
Contoh-contoh pengelompokan strain virus dari serogroup Paramysovirus berdasarkan uji patogenitas dengan metoda ICPI, IVPI dan MDT.
Sumber :Disease of Poultry, 1991.
3. Epidemiologi ND. a. Induk semang. Penyakit tetelo menyerang berbagai jenis unggas, seperti ayam ras, ayam buras, kalkun, ayam liar, itik, angsa, burung merpati, betet dan jenisjenis burung lainnya (Doyle, 1935; Erickson, 1976; Alexander, 1991).
Berdasarkan serogroupnya Paramyxovirus mempunyai induk semang sendiri-sendiri, baik induk semang utama atau induk sernang primer (primary host) maupun induk semang sekunder (secondary host)
sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 1 di atas (Alexander, 1991). Virus yang patogen pada ayam mungkin akan lebih patogen terhadap jenis unggas lainnya ataupun dapat sebaliknya. Secara umum prototipe Newcastle
disease Virus (NDV) dapat menimbulkan gejala penyakit yang hebat pada ayam, narnun sebaliknya pada itik, an@ dan entok biasanya menunjukkan gejala yang ringan. NDV pada kalkun dapat menimbulkan penyakit yang hebat tapi tidak sehebat pada ayam, sedangkan pada burung merpati, betet, dan burung gereja yang terserang dapat menunjukkan gejala penyakit sehebat seperti pada ayam (Alexander, 1982; Ozai et al., 1987; Erickson, 1976; Stone el al., 1975). Selain kerentanan spesies unggas yang berbeda, juga terdapat kerentanan berdasarkan umur hewan, unggas muda akan lebih rentan
daripada yang dewasa (Djaenoedin dan Koerjana, 1952; Lancaster, 1981). Dengan demikian tingkat angka kematian yang disebabkan NDV pada
unggas muda akan jauh lebih tinggi daripada unggas dewasa (Darminto ef al., 1990). Sedangkan berdasarkan jenis kelamin (seksual) tidak ada
perbedaan terhadap serangan NDV, baik jantan rnaupun betina menimbulkan akibat yang sarna ( k c a s t e r , 1981). Infeksi NDV di alam yang tidak menyebabkan kematian unggas akan menimbulkan kekebalan selama 6 - 12 bulan. Kekebalan yang diperoleh dari hasil vaksinasi tergantung dari jenis vaksin yang digunakan, yaitu apabila vaksin berasal dari virus lentogenik akan menimbulkan kekebalan selama
1 - 3 bulan, sedangkan vaksin dari virus mesogenik lama kekebalan dapat
berlangsung 3 - 6 bulan. Prototipe Paramyxovirus satu dengan yang lain saling memberikan reaksi silang (cross raaction) secara serologik, sehingga vaksin dari prototipe Paramyxovirus yang satu sedikit banyak dapat menimbulkan kekebalan yang dapat mencegah infeksi prototipe Paramyxovirus lainnya (Allan et al., 1978).
b. Sifat penularan penyakit Penularan penyakit tetelo dari satu hewan ke hewan lainnya dapat melalui berbagai cara, antara lain melalui saluran pernafasan dan melalui kontak dengan bahan-bahan yang tercernar NDV. Penularan melalui saluran pernafasan, merupakan bentuk penularan penyakit yang utama, yaitu hewan bersangkutan menghirup udara yang mengandung partikel virus
dalamjumlah yang besar (Alexander, 1988; 1991). Terdapatnya virus dalam udara merupakan hasil semburan dari hewan yang sakit (Alexander, 1988; 1991). Hewan yang terserang penyakit tetelo beberapa waktu sebelum dan
sesudah gejala klinis timbul, akan menyemburkan virus infektif, terutama bila hewan penderita tersebut sedang batuk atau sedang bernafas (Alexander, 1988; Beard and Hanson, 1984). Pada umumnya hewan yang textular penyakit tetelo sudah akan mengeluarkan virus melalui batuk atau pernafasan 1 - 2 hari setelah infeksi, yaitu sebelum gejala klinis terlihat.
Masa inkubasi Penyakit Tetelo berkisar antara 2 - 15 hari dengan rata-rata 6 hari (Beard and Hanson, 1984).
Penularan penyakit tetelo dari satu hewan ke hewan lainnya dapat pula terjadi karena kontak langsung antara hewan yang sehat dengan hewan sakit atau dengan bahan-bahan yang tercemar virus. Sekresi dari hidung, paruh atau cungur clan juga tinja banyak mengandung virus. Kulit telur dan
karkas serta semen unggas terserang penyakit tetelo yang sedang dalam keadaan viremia juga banyak mengandung virus. Bahan-bahan tersebut semuanya akan merupakan sumber penularan secara kontak dan masuk melalui alat pernafasan, mulut, bahkan dapat pula melalui selaput lendir hidung atau selaput lendir kelompok mata (Beard and Hanson, 1984). Dikenal dua kelompok cara penyebaran penyakit tetelo, yaitu cara
alarni dan cara mekanik. Secara alami penyebaran penyakit terjadi melalui udara atau melalui air. Pada daerah wabah udara penuh dengan partikel virus, demikian pula air terutama air yang mengalir dapat tercemar oleh
virus yang berasal dari hewan sakit atau oleh sekresi, tinja dan bahan-bahan yang dikeluarkan oleh hewan yang sakit (Alexander, 1988). Penyebaran virus strain velogenik melalui udara dalarn jarak 8 km dari sumber penularan masih mempunyai potensi untuk menimbulkan penyakit atau virus masih infektif. Dalam ha1 ini bila suatu daerah terkena wabah, rnaka dalam radius 8 - 10 km merupakan wilayah yang udaranya tercemar virus. Dengan demikian wilayah pada radius tersebut merupakan area yang rawan terhadap penularan penyakit (Stone et al., 1975). Penyebaran penyakit secara mekanik terjadi katena adanya lalu-lintas unggas dan bahan serta hasil unggas (daging, telur, bulu) yang tercemar virus (Allan et al., 1978). Selain itu penularan dapat terjadi karena ldu-lintas orang seperti tenaga vaksinator (Beard and Hanson, 1984), petugas kandang dan orang-orang lainnya (Burridge et al., 1975). Dengan sernakin ramainya perdagangan
antar daerah maupun antar negara, beberapa kejadian penyebaran penyakit yang cepat telah terjadi melalui daging (karkas) unggas beku (Lancaster, 1966; Hanson, 1972 dan Alexander, 1988). Resiko penyebaran penyakit
menjadi semakin tinggi lagi, yaitu dengan sernakin berkembangnya
19
teknolagi transportasi, sehingga seolah-olah tidak ada lagi batas (barrier) yang dapat mencegahnya antara satu herah atau negara dengan daerah atau negara lainnya. Newcastle disease dapat pula disebarkan melalui binatang pengerat (rodensia), arthropods dan cacing, sehingga hewan-hewan sejenis ini merupakan vektor ND yang perlu diperhitungkan. Burung-burung liar seperti burung merpati, pheasant dan burung gereja dapat pula sebagai penyebar atau vektor virus yang velogenik (Stone et al., 1975): c. Kerugian akibat ND.
Sejak ditemukan, ND terus menyebar, seolah-olah tidak bisa dibendung lagi. Di beberapa negara penyakit ini bersifat enzootik, bahkan tidak jarang yang kemudian bersifat epizootik. Pada umurnnya wabah penyakit menyerang peternakan unggas yang intensif, baik pada peternakan ayam, kalkun, itik, burung merpati ataupun burung puyuh, sehingga kerugian ekonomi yang ditimbulkannya cukup besar. Mengingat sifat keganasan penyakit yang dapat menyerang unggas 80 - 100% pada suatu peternakan atau pada suatu populasi (Aini dan Ibrahim, 1990; Ronohardjo, 1993, Alexander and Parsons, 1986) maka Badan Kesehatan Hewan Dunia (Office Internationale Des E p b t i e s ) menempatkannya sebagai penyakit yang termasuk
kedalam List A atau Epidemiological Major Disease
(Anonim, 1993 dan 1994). Selanjutnya di Indonesia penyakit ini dikelompokkan sebagai Penyakit Ekonomik dan juga sebagai Penyakit Strategik (Anonim, 1995). Di luar negeri terutarna di negara-negara yang dunia peternakannya maju, apabila suatu peternakan unggas terserang wabah penyakit tetelo, dalarn pemberantasannya dilaksanakan tindak
pemusnahan (stamping out method), yaitu pemusnahan ternak yang sakit dan yang sekandang atau sekelornpok dengan yang sakit (Lancaster, 1966 dan 1979; Bumdge et al., 1975). Di Indonesia, semua daerah propinsi sudah tertular dan sering terjadi wabah yang hebat (Ronohardjo, 1983). Wabah penyakit tidak saja menyerang peternakan ayam ras, tetapi juga menyerang ayam buras terutama yang berada di pedesaan (Awan et al., 1994). Nilai kerugian ekonomi yang ditirnbulkan setiap tahun berdasarlcan perhitungan tahun 1986 rata-rata 25 milyar rupiah. Diperhitungkan ayam yang mati karena penyakit tetelo setiap tahunnya diperkirakan sebanyak 20% dari populasi (Anonim, 1986 dan 1988).
4. Tanda klinis. Tanda klinik yang disebabkan oleh virus ND baik yang terjadi di lapang maupun secara eksperimental memperlihatkan berbagai variasi dan tidak menunjukkan tanda-tanda penyakit yang menciri (pathognomonic). Menwut Alexander (1982), bentuk dari tanda klinik yang diperlihatkan tergantung pada berbagai faktor antara lain strain virus yang menyerang. Apabila strain virus yang menyerang cukup virulen, maka tanda klinik yang ditimbukamya cukup berat dan bennacam-macam. Sedangkanjika virus yang menginfeksi kurang virulen, tanda klinis yang diakibatkannya tidak
begitu berat dan biasanya yang menonjol hanya satu-dua rnacam gejala saja. Pada infeksi ringan atau sedang gejala yang terlihat umumnya berupa gangguan pencernaan, gangguan syarat atau gabungan keduanya atau bahkan
gejalanya tidak jelas (asymptomatic) (Lancaster, 198 1;French et al., 1967). Demikian pula ringan beratnya gejala klinis tergantung dari prototype
Paramyxovirus, yang satu dengan lainnya berbeda-beda. Faktor lain yang dapat mempengaruhi berat-ringannya gejala klinis adalah spesies dan umur induk sernang (unggas yang diserangnya), ada atau tidaknya organisme lain (infeksi sekunder) dan faktor lingkungan yang ada pada waktu infeksi terjadi (Spradbrow, 1988; Anonim, 1981).
Tanda-tanda klinik yang ditimbulkan oleh masing-masing strain adalah sebagai berikut. a. Infeksi virus viscerotropic velogenic. Gejala klinik yang pertama-tama akan terlihat adalah hilangnya &u
makan, kemudian terjadi diare yang kadang-kadang disertai dengan
perdarahan. Kemudian unggas kelihatan lesu, nafb sesak dan mengapmengap, ngorok, bersin, batuk-batuk, kelumpuhan sebagian (paralysis partialis) atau kelumpuhan lengkap (paralysis total) (Allan et al., 1978) serta unggas sekali-sekali atau dapat juga term menerus memutarkan kepala (torticollis) yang dapat masuk di bawah sayap atau berputar ke belakang. Balung atau pial mengalami perubahan warna yang biasanya kemerahan (merah jambu) menjadi kebinran (cyanotic) (Kraneveld dan Nasoetion, 194 1;Picard, 1933; Anonim, 1981;Alexander, 1991). Pada umumnya virus yang menyebabkan gejala viscerotropic velogenic merupakan strain virus Newcastle Disease yang paling p a s (Allan et al., 1978) dan dapat menyebabkan kematian 80% sampai 100% (Aini dan Ibrahim, 1990; Ronohardjo, 1993; Anonim, 1981). Virus kelompok ini banyak dijumpai di negara-negara Asia (Allan ef al., 1978; Spradbrow, 1992; Alexander, 199 1) sehingga sering dikatakm sebagai strain virus velogenic type Asia (Beard and Hanson, 1984; Ibrahim dan
Babjee, 1985; Alan et al., 1978). Namun virus viscerotropic velogenic ini terdapat pula di negara-negara Eropa seperti di Inggris dan di Italia (Alexander and Allan, 1974; Alexander et al., 1985).
b. Infeksi virus neurotropic velogenic. Tanda klinik yang disebabkan oleh virus neurotropic velogenic yang menonjol adalah gejala pemafasan dan gejala syaraf, rnaka disebut sebagai pneumo encephalitis atau neurotropic (Beach, 1942), sedangkan gejala lainnya tidak begitu jelas. Pada gejala pemafasan yang terlihat adalah unggas sesak m f i s dan mengap-mengap, batuk, bersin dan ngorok Pada gejala syaraf yang sering terlihat adalah kelumpuhan partial atau total dan juga
terjadi torticolis (Allan et al., 1978). Pial dan balung
berubah warna jadi kebiruan, dan terjadi pula gjala umum seperti kelesuan serta nafsu makan yang menurun (Beach, 1942; Anonim, 1981). Strain virus neurotropic velogenic merupakan kelompok virus Newcastle disease yang kegamsamya nomor dua setelah virus viscerotropic velogenic, yaitu menyebabkan angka kematian berkisar antara 60% sampai 80% (Anonim, 1981). Telur yang diiasilkan oleh unggas yang menderita penyakit tetelo yang disebabkan virus neurotropic velogenic bentuknya mengalami kelainan (tidak normal) clan daya tetasnya sangat menurun. Apabila ayam dapat sembuh dari penyakit, maka bentuk badannya tidak d q a t normal seperti semula dan pertumbuhannya sangat larnbat (Beach, 1942; Anonim,
1981). Kelompok virus neurotropic velogenic pada umumnya banyak menyerang unggas-unggas di negara-negara Amerika bagian Selatan rnaupun Arnerika bagian Utara termasuk Amerika Serikat (Allan et al.,
23
1978; Spadbrow, 1991 ;Alexander, 1991). Mengingat virus neutropik ini menimbulkan kerugian di negara-negara Amerika, maka dikenal pula sebagai virus ND velogenic tipe Amerika (Beard and Hanson, 1984; Spradbrow, 1988; Anonim, 198 1).
c. Infeksi virus mesogenik.
Gejala klinik yang disebabkan oleh virus strain mesogenik pada urnumnya tidak berat dan angka kematian sekitar 10% bahkan tidak lebih dari itu (Beaudette dm Black, 1946). Unggas yang mati sebagian besar adalah unggas muda, sedangkan unggas dewasa relatif lebih tahan (Alexander, 1991; Soeripto et al., 1989). Tanda-tanda penyakit yang terlihat adalah gejala pernafasan seperti sesak nafas dan mengap-mengap, batuk dan bersin. Pada ayam dewasa yang tahan terhadap serangan penyakit ini produksi telurnya akan menurun (Alexander, 1991) dan gejala penurunan produksi malah menonjol pada infeksi virus ND kelompok mesogenik ini. Pada unggas yang sembuh dari penyakit seperti oleh strain velogenik rnaka perturnbuhan dan produksi telurnya terganggu, telur yang dihasilkan oleh ayam-ayarn tersebut bentuknya menunjukkan kelainan dan daya tetasnya menurun (Beaudette clan Black, 1946; Anonim, 1981). Strain
mesogenik ini banyak diantaranya yang dibuat vaksin dan daya kebal yang ditimbulkan pada umumnya lebih tinggi dan lebih lama dibanding dengan vaksin yang berasal dari strain lentogenik (Beard clan Hanson, 1984). Strain mesogenik yang telah dibuat vaksin antara lain strain Mukteswar, Roakin, Beaudette C, Komarov dan strain M (Beard dan Brugh, 1975; Beard dan Hanson, 1984).
24
d. Infeksi virus lentogenik. Gejala klinis yang ditimbulkan akibat infeksi virus lentogenik ringan saja bahkan ada yang tidak menunjukkan tanda klinik sarna sekali. Gejala klinik bentuk asimtomatik juga disebabkan oleh virus strain lentogenik (French et al., 1967; Lancaster, 1981). Tanda penyakit yang dapat dilihat adalah gejala respirasi yang ringan dan gejala syaraf sangat jarang terjadi (Hitchner clan Johnson, 1948). Pada urnumnya infeksi virus lentogenik tidak menyebabkan kematian unggas baik pada yang dewasa maupun pada
anak unggas (Asplin, 1952). Namun walaupun gejala ringan dan kematian tidak ada tetapi produksi telur bila menyerang unggas yang sedang berproduksi akan terjadi p e n m a n (Hitchner dan Johnson, 1948; Anonim, 1981).
Tanda-tanda penyakit yang terlihat berdasarkan bagian tubuh yang terserang, sebagai berikut : a. Bentuk sepsis. Gejala klinik pada bentuk sepsis akan terlihat gejala-gejala umum. yaitu unggas lesu atau seperti mengantuk, kepala ditundukkan dan unggas bersangkutan hanya bangun jika ada bunyi-bunyian, gerakan tiba-tiba dan ayam kepayahan sampai pingsan. Tanda lain adalah balung dan pial unggas berubah warna menjadi kebiruan (Hitchner dan Johnson, 1948; Anonim, 1981).
b. Bentuk respirasi.
Gejala klinik yang timbul pada bentuk respirasi bi&anya terlihat pada waktu permulaan penyakit di samping adanya gejala-gejala umum seperti pada bentuk sepsis. Unggas terlihat sesak nafas dan mengapmengap, pada waktu bernafas paruh dibuka serta kepala di dongakkan ke atas, tidak jarang disertai batuk dan bersin. Terdengar pula suara ngorok atau bunyi-bunyian mencicit seakan-akan unggas tercekik atau jalan hawa untuk pemafasan seperti ada penyurnbatan (Hitchner dan Johnson, 1948; French et al., 1967; Anonim, 1981).
c. Bentuk gastro intestinal. Pada bentuk gastro intestinal gejala klinik yang dapat terlihat adalah nafsu makan unggas menurun atau terganggu. Tinja pada permulaan penyakit terlihat warna putih padat seperti kapur narnun kemudian tinja akan encer (mencret) dengan warna kehijauan. Selanjutnya unggas bersangkutan akan semakin kurus (Hitchner dan Johnson, 1948; French et al., 1967; Anonim, 1981).
d. Bentuk cerebralis.
Pada bentuk cerebralis atau bentuk syaraf pusat yang terlihat biasanya gejala otak yaitu terlihat kekakuan (ataksis) kehilangan keseimbangan (inkoordinasi), memutar-mutar kepala (torticollis), berjalan keliling, bejalan kearah belakang, kepala diletakkan di atas punggung dan kelumpuhan parsial ataupun total. Gejala syaraf ini biasanya akan terlihat setelah jalan penyakit berlangsung beberapa hari (Hitchner dan Johnson, 1948; French at al., 1967; Anonim, 198 1).
5. Kelainan pasca mati.
Kelainan pasca mati yang terlihat pada bentuk gejala sepsis adalah adanya kelainan patologi-anatomi berupa hemoragi (perdarahan) yang sangat jelas pada perikard dan epikard jantung. Pada pleura dan di bawah peritonium terdapat pula perdarahan tetapi tidak sejelas pada jantung. Perdarahan terdapat pula di bawah selaput lendir lambung kelenjar yaitu di sekitar lubang-lubang keluamya kelenjar. Perdarahan di bawah kelenjar lambung ini merupakan tanda menciri (patognomonik) pada kasus penyakit stetelo terutama sangat mencolok pada bentuk gejala sepsis. Pada semua kasus serangan penyakit tetelo tanda penyakit berupa perdarahan di bawah kelenjar lambung ini hampir selalu ditemukan, jika tidak ditemukan kemungkinannya bukan disebabkan oleh infeksi NDV (Anonim, 1981). Kelainan patologi-anatomi pada bentuk gejala respirasi akan terlihat di bawah trakhea dan larynx ditemukan lendir dalam jumlah yang cukup banyak. Terlihat pula adanya trakheitis dan laryngitis, peradangan di kedua organ ini yang menyebabkan penderita penyakit tetelo akan berbunyi ngorok sewaktu
bemafhs atau menyebabkan sulitnya unggas waktu bernafas. Peradangan pada trakhea clan larynx sering pula menimbulkan kenrsakan sel (nekrotik). Selain itu akan terlihat pula adanya pneumonia dan busung air pada paru-paru (Hamid et al.,
1992). Pada bentuk $ejala gastro intestid akan terliihat adanya gastritis kataralis
di dalam lambung kelenjar. Tembolok dan larnbung otot kosong %tauhanya berisi sedikit rnakanan. Selanjutnya pada usus terlihat adanya enteritis kataralis dengan keluarnya cairan mukopurulen, selain itu bisa pula terlihat enteritis nekrotikan. Di bawah selaput lendir usus dan bronkhi secara normal ditemukan
27
kelompok-kelompok sel limfoid yang berhgsi sebagai kelenjar, karena ayam memang tidak mempunyai kelenjar getah bening. Kelompok sel-sel limfoid ini dalam kasus penyakit tetelo, banyak ditemukan di bursa Fabricus. Pada tempattempat sel limfoid ini terjadi nekrosis dan nekrosis tersebut ditemukan pula pada kedua usus buntu, pada trakhea dan larynx. Selaput lendir usus yang tidak mengalami nekrosis akan terjadi penebalan dan berkaca-kaca (Picard, 1928; Hamid et al., 1992). Kelainan patologi-anatomi pada bentuk gejala serebral, adalah berupa peradangan pada susunan syaraf pusat (otak). Timbulnya gejala syaraf disebabkan oleh adanya degenerasi dan nekrosis dalam otak (Bhaiyat et al., 1994).
6. Diagnosis penyakit.
Diagnosis penyakit tetelo di dasarkan pada tanda-tanda klinik, gambaran patologi-anatomis dan sifat epidemiologisnya. Narnun untuk menguatkan diagnosis diperlukan pemeriksaan laboratorium, baik dengan cara isolasi dan indentifikasi virus ataupun dengan metoda serologis ataupun dengan metoda pemeriksaan laboratorium lainnya (Allan and Gough, 1974; Hanson, 1980; Alexander, 199 1). Virus ND dapat diisolasi dari trakhea, kloaka clan paru-paru (Senne et al., 1983), juga dari otak unggas (Smit and Rondhuis, 1976) dengan cara
memupukkan virus ke dalam telur bertunas atau kultur jaringan (Beard et al., 1970).
Untuk identifikasi virus dapat dilakukan dengan haemoglobin
aglutination test (Hl) (Allan and Gough, 1974) atau dengan fluorescent antibo* technique (FAT) (Helbink el al., 1982) dan juga dengan metoda
enzyme linked immunosorbent assay (ELISA) (Adair et al., 1978). Metoda pengujian yang dapat digunakan sebagai diagnosis dan sekaligus untuk menghitung titer antibodi yang ditimbulkan oleh virus atau antigen Newcastle disease virus adalah dengan haemoglutination inhibition test atau virus netralization test (Allan and Grough, 1974; Partadiredja, 1991).
Dalam mendiagnosis penyakit tetelo tersebut hams diperhatikan terhadap kemungkinan penyakit lain karena terdapat beberapa jenis penyakit yang rnirip ND (Alexander, 199I), baik secara klinik, patologi-anatomik maupun
epidemiologiknya. Beberapa jenis penyakit unggas yang dapat dikelirukan dengan penyakit tetelo, a n t m lain penyakit yang disebabkan mycoplasma dan
E. coli (Allan et al., 1978), virus influenza tipe A (Alexander, 1991).
7. Tindak pengendalian.
Sampai saat ini belum ada pengobatan yang efektif terhadap penyakit tetelo, sehingga tindakan yang paling baik adalah pencegahan (Spradbrow, 1990). Kegiatan pencegahan yang perlu ditangani adalah sanitasi dan higiene lingkungan serta tatalaksana kesehatan hewan lainnya. Pertama tindakan yang perlu dilakukan adalah desinfektan kandang sebelum digunakan (Allan et al., 1978). Kandang dibersihkan dapat pula dilabur dengan kapur yang dibubuhi NaOH 2%, formalin 1 - 2 %, KMnO, 5 "1, atau disinfektan lainnya (Anonim, 1981). Selanjutnya kandang dan lingkungan dijaga agar tetap bersih, tidak berbau dan ventilasi diatur sedemikian rupa agar pengaturan u d m berjalan dengan baik, demikian pula sinar matahari diatur agar dapat masuk ke kandang pada pagi hari. Apabila kandang memakai litter dijaga hams tetap kering,
karena bila basah akan merupakan media yang cukup baik untuk tinggal (ketahanan) mikroorganisme termasuk virus penyakit tetelo. Penularan ND sering terjadi selain melalui ayam yang baru masuk, juga melalui makanan, barang-barang atau peralatan dan lalu-lintas orang (Burridge et al., 1975). Untuk mencegah timbulnya penyakit ini maka anak ayarn yang
akan dipelihara harus benar-benar ayam sehat dan berasal dari peternakan yang ti& tertular ND. Dernikian pula makanan untuk ayam harus benar-benar
bersih dari lingkungan pencemaran virus dan jangan sampai menggudcan barang-barang
bekas. Kendaraan yang membawa makanan atau untuk
keperluan peternakan lainnya tidak berasal dari peternakan lain apalagi dari peternakan yang sedang tertular penyakit. Lalu-lintas orang di peternakan juga hams dijaga agar tidak semua orang bisa keluar masuk kandang (Lancaster, 1979). Sebaiknya pada perusahaan peternakan ayarn dan pintu keluar-masuk peternakan disediakan bak atau semprotan desinfektan, sehingga orang atau kendaraan yang masuk atau keluar mendapat desinfektan. Di samping itu kandang atau lingkungan peternakan sedapat mungkin tidak menjadi tempat bemain burung-burung liar (Beard dan Hanson, 1984). Upaya pencegahan penyakit tersebut di atas perlu ditunjang dengan pelaksanaan vaksinasi ND secara rutin dan berkesinarnbungan. Jenis vaksin yang digunakan tergantung umur hewan dan cara vaksinasi disesuaikan dengan ketentuan pemakaian yang disarankan oleh pembuatnya. Pada ayarn umur 1 7 hari digunakan vaksin lentogenik yang pemakaiannya bisa melalui tetes
hidung, tetes mata, atau penyemprotan (Allan et al., 1978). Vaksinasi selanjutnya tergantung jenis vaksin yang digunakan dan tergantung pula pada ketentuan dari pembuatnya. Jenis vaksin yang beredar di Indonesia antara lain jenis lentogenik adalah vaksin yang berasal dari virus ND strain F, strain
30
Lasota, dan strain B,. Sedangkan jenis mesogenik adalah strain Komarov atau Mukteswar (Anonim, 1981). Tindak pengendalian lainnya adalah yang berkaitan dengan kegiatan pemberantasan apabila peternakan ayam tertular penyakit. Ayam yang mati karena penyakit tetelo harus dibakar dan atau dikubur. Ayam yang sakit harus disingkirkan dengan cara memusmhkan (dibakar, dikubur) atau dipotong untuk tujuan konsurnsi. Apabila daging ayam yang berasal dari peternakan tertular ND akan diedarkan atau diperjual belikan sebelurnnya harus dikebus atau dimasak lebih dahulu. Telur yang berasal dari ayam sakit tidak boleh ditetaskan, namun dapat dikonsumsi dan diedarkan tapi setelah didesinfeksi atau W g a s i lebih dahulu (Anonim, 1981).
B. VAKSIN ND. 1. Pengertian dan penyiapan vaksin virus.
Bahan yang dinamakan vaksin secara umurn adalah bahan yang berasal dari mikroorganisme atau parasit yang lain (secara utuh atau partikelnya) yang dapat merangsang pembentukan kekebalan terhadap penyakit bersangkutan. Vaksin berfimgsi sebagai sarana alat untuk mencegah suatu serangan penyakit, terutama penyakit yang sulit diberantas oleh pengobatan baik oleh antibiotika ataupun oleh fmasetik lainnya. Di antara penyakit yang sulit diberantas dengan obat-obatan farrnasetik adakah penyakit yang disebabkan virus, seperti
ND.Secara konvensional vaksin terdiri dari vaksin aktif (Russell, 1994; Allan et al., 1978) dan vaksin inaktif (Box et al., 1988; Van Eck, 1990). Vaksin aktif
mengandung mikroorganisme yang hidup (aktif) sedang vaksin inaktif mengandung mikroorganisme utuh atau partikelnya yang diinaktifkan (Box et al., 1988; Van Eck, 1990; Allan et at., 1978).
Vaksin aktif dibuat dengan jalan membiakkan mikroorganisme hidup (antara lain virus) di dalam media penumbuh yang steril (Russell, 1994). Biasanya yang digunakan sebagai media penumbuh adalah biakan jaringan
(tissue culture) (Reddy and Srinivasan, 1992), telur bertunas (Allan et al., 1978) hewan percobaan bebas hama atau hewan yang merupakan induk semang dari mikroorganisme bersangkutan. Khusus mengenai biakan jaringan yang digunakan dalam pembuatan vaksin dapat dibuat langsung dari jaringan hewan hidup yang disebut kultur primer (primary culture) (Huygelen dan Petermans, 1963) atau dapat pula merupakan jaringan sel lestari (cell line), yaitu sel yang dapat tumbuh terns melalui beberapa puluh kali pasase (Reddy
dan Srinivasan, 1992). Vaksin inaktif berasal dari mikroorganisme virulen yang d i i n a k t i h dengan menggunakan bahan kimia, seperti formaldehid (Hofktad, 1953), beta propiolakton (Piercy et al., 1964) asetile etilenimin (AEI) dan etil etilenimin (EEI). Untuk meningkatkan daya imunogenik vaksin inaktif biasanya
vaksin tersebut ditambah dengan adjuvant (Box dan Furminger, 1975). Bahan yang digunakan sebagai adjuvant adalah bahan kimia yang dapat memperlambat proses penghancuran antigen dalam tubuh dan dapat merangsang timbulnya kekebalan. Jenis adjuvant yang sering dicarnpurkan ke dalam vaksin inaktif, antara lain lemak nabati, minyak mineral dan aluminium hidroksida atau
Al(OH), (Box dan Furminger, 1975).
.
2. Tipe vaksin ND.
Berbagai tipe vaksin ND yang saat ini diproduksi dan digunakan di dunia, termasuk di Indonesia. Tipe-tipe vaksin tersebut menurut Allan et a1 (1978) adalah sebagai berikut (Allan et al., 1978) : a. Lentogenik aktif yang diadaptasikan dengan telur; b. Mesogenik aktif yang diadaptasikan dengan telur;
c. Mesogenik aktif yang diadaptasikan dengan kultur jaringan; d. Vaksin &if dengan mineral adjuvant untuk injeksi; dan e. Vaksin inaktif.
a. Vaksin lentogenik aktif.
Vaksin ini kadang-kadang disebut sebagai vaksin lunak. Strain yang paling dikenal adalah strain F (Asplin, 1952), B1 (Hitchner dan Johnson, 1948), clan La Sota (Winterfield et al., 1957). Pada umumnya vaksin F dan
B 1 tidak menyebabkan gangguan syaraf pada anak ayam umur sehari (day old chick) kecuali bila disuntikkan secara intraserebral tetapi dapat
menyebabkan gangguan pernafasan. Strain F biasanya paling sedikit reaksinya (Mallick et al., 1969) dan strain B1 umumnya menimbulkan sedikit atau tidak ada gangguan (Hitchner dan Johnson, 1948). Strain La Sota sering menyebabkan gejala pernafasan setelah vaksinasi (Winterfield et al., 1957). Kekebalan yang ditimbulkan ketiga strain ini selalu &pat
dibandingkan dengan reaksi yang terjadi. Strain tersebut tumbuh dengan cepat pada telur tertunas dengan titer lebih dari 1O9 EID,, per ml. Apabila digunakan sebagai agen untuk pengebalan, maka kekebalan yang timbul sangat tergantung kepada dosis yang diberikan. Sifat demikian lebih jelas
terlihat bila menggunakan strain yang lebih lunak, dan pada umumnya yang lebih lunak dari strain La Sota. Untuk vaksin lentogenik, dosis optimal antara 1O6 s/d 1O7 O EIDSOtiap unggas (Allan et al., 1978).
b. Vaksin mesogenik aktif. Vaksin aktif mesogenik mencakup strain Roakin (Beaudette et al., 1949), strain Komarov atau Haifa (Komarov dan Goldsrnit, 1946), strain Hertfordshire atau Herts (Iyer dan Dobson, 1940), dan strain Mukteswar (Haddow dan Idnani, 1946). Untuk vaksin hidup mesogenik, dosis optimalnya kira-kira 105 EID, per unggas, diberikan melalui injeksi. Vaksin mesogenik digunakan pada ayam dewasa dan tidak direkomendasikan pada ayam yang berurnur kurang dari 8 minggu (Allan et al., 1978)
Strain Roakin telah diisolasi di amerika Serikat dari alam dan digunakan sebagai vaksin booster (Allan et al., 1978). SZrain Komarov telah dikembangkan dari virus p a s melalui rangkstlan pasase intracerebral pada anak itik dan rata-rata waktu kematian berkisar 70 jam, penggunaannya sebagai vaksin booster (Karczewski et al., 1969).
Strain Heritfordchire diperoleh dari virus ganas (Herts 33) melalui
rangkaian pasase pada telur dan rata-rata waktu kematian 48 jam dan dapat menimbulkan reaksi pada ayam umur di bawah 8 rninggu dan pada ayam petelur. Strain tersebut telah digunakan di beberapa negara Eropa sebagai booster. Strain tersebut telah dikombinasi dengan vaksin cacar (Allan et al., 1978).
Strain Mukteswar diperoleh dengan melakukan pasase virus ganas pada embryo ayam. Strain Mukteswar merupakan strain vaksin mesogenik
yang paling virulen dengan rata-rata waktu kematian berkisar 46 jam. Patogenesitas intravena index adalah 0,08. Strain ini digunakan untuk booster kekebalan ayam yang baru divaksinasi dengan virus lentogenik (Allan el al., 1978)
c. Vaksin aktif kultur jaringan.
Pernupukan strain virus penyakit ND pada sistem kultur sel mamalia telah berhasil dalam memproduksi vaksin yang dilemahkan (attenuated), walaupun tidak menular tetapi dapat mengideksi ayam dengan inokulasi. Salah satu vaksin yang telah dilemahkan yakni strain Call1914, dipupuk pada sel monolayer ginjal babi. Vaksin lain yang telah di produksi yakni Komarov yang dipupuk pa& sel monolayer ghjal sapi (Huygelen dan Petermans, 1963). Strain Muktewar telah dipupuk pada sel monolayer ginjal babi dan digunakan sebagai vaksin mesogenik di lapang (Vasic, 1965). Vaksii ini diinjeksikan pada unggas yang peka dan menimbulkan antibodi yang mantap dalam waktu yang lama. Hasil penelitian serupa juga telah dilaporkan oleh Markovits dan Toth (1964).
d. Vaksin aktif dengan adjuvant. Vaksii aktif dengan adjuvant merupakan campuran antara vaksin B 1 atau La Sota dengan suspensi (gel) aluminium hidroksid yang diberikan melalui injeksi intramuskuler. Strain H mesogenik yang dicampur dengan gel aluminium hidroksid ternyata patogenik dan immunogeniknya lebih rendah dari pada vaksin strain H yang dipersiapkan dengan NaCl faal (Palatka dan Toth, 1966).
e. Vaksin inaktif.
Vaksin inaktif ini dibuat dengan menginaktifkan virus dengan formalin atau bahan inaktif lainnya. Adjuvant dasar yang selalu digunakan adalah gel aluminium hidroksid, atau dapat dalam bentuk emulsi minyak (Box dan Furminger, 1975). Vaksin tersebut mempunyai volume yang lebih besar dibandingkan dengan produk hidup
kering
beku.
Selanjutnya vaksin demikian juga memerlukan tempat yang lebih luas di dalam lemari es dan transportasi.
3. Pemilihan tipe vaksin ND.
Apabila penyakit yang ada ringan, maka v a k s i i i dengan B 1 dilakukan melalui air minum secara alami. Biasanya vaksiasi dimulai dengan strain B 1,
dan vaksin La Sota digunakan untuk vaksinasi ulang. Apabila pada vaksinasi awal menggunakan strain La Sota telah ditemukan reaksi ringan yang merugikan. Pada beberapa program vaksinasi strain ini digunakan sebagai vaksin utarna (Allan et al., 1978). Pemberian vaksin lentogenik melalui air minum tidak selalu menimbulkan reaksi positif pada tiap individu unggas tetapi cukup
memberikan perlindungan kelompok yang efektif. Vaksinasi secara individuai melalui tetes rnata atau
intranasal seperti pemakaian vaksin strain F
memberikan respon antibodi yang lebih baik (Allan et al., 1978; Van Eck, 1990). Penyuntikan vaksin inaktif secara subkutan atau pemberian intranasal menimbulkan rangsangan kekebalan lebih baik dibandingkan dengan menggunakan dosis ulang virus lentogenik yang diberikan melalui air minum.
Keuntungan vaksin inaktif karena tidak menimbulkan stres atau gangguan pernapasan. Kerugiannya karena biaya produksi vaksin inaktif lebih mahal dibandingkan vaksin hidup dan selain itu memerlukan lebih banyak tenaga
dalam aplikasinya sehingga tidak menarik secara ekonomis (Allan et al., 1978; Satar et al., 1988; Van Eck, 1990). Metoda vaksinasi yang lain yang biasa dilakukan pada ayam buras yalcni menggmakan vaksiin lentogenik strain F sebagai vaksinasi awal, diikuti dengan vaksin mesogenik strain Komarov sebagai vaksinasi ulang
(Karczewski et al., 1969). Program ini dipergunakan pada daerah yang virulensi virus lapang cukup tinggi yang membutuhkan antibodi yang lebih tinggi dan konsisten. Pada umumnya virus lapangan yang ada di Indonesia
rneru-
virus yang vedensinya tinggi, sehingga memerlulcan metode
vaksiinasi ulangan, yaitu setelah menggunakan vaksii yang mengandung virus strain lentogenik diulangi dengan vaksin yang mengandung virus strain mesogenik (Anonim, 1981; 1986). Pemilihan vaksin mungkin didasarkan pa& tingkat kekebalan yang diperlukan, biaya dan virus lapang yang ada berkaitan dengan virulensi dan prevalensinya. Vaksinasi seharusnya diberikan seminimum mun-
karena
alasan ekonomi dan akibat stres dan gangguan pernapasan yang timbul.
J d a h pemberian vaksin seharusnya tidak berlebihan. H a . ditekankan bahwa tingkat kekebalan yang timbul itu erat kaitannya dengan konsentrasi virus dalam vaksin (Toth dan Markovits, 1954). Pada umumnya vaksin yang
lebih aktif (mesogenik) digunakan di daerah-daerah yang memiliki penyakit lapangan yang parah. Penggunaan vaksin lentogenik pada suatu program vaksinasi apabila penyakit di lapang disebabkan oleh virus yang kurang ganas (Allan et a]., 1978).
Sehubungan dengan wabah ND yang ganas di Eropa yang terjadi pada 1970, banyak program vaksinasi yang diubah untuk mendapatkan proteksi
setinggi munglun. Vaksin lentogenik dan vaksin inaktif yang berkualitas tinggi apabila diberikan secara hati-hati dan benar dapat menimbulkan proteksi sama dengan bila menggunakan strain mesogenik Tingkat stres yang timbul juga merupakan faktor yang perlu diperhitungkan pada unit peternakan unggas yang intensif (Allan et al., 1978).
C. AYAM BURAS.
1. Sejarah ayam buras. Nenek moyang ayam buras adalah ayam liar yang sering disebut sebagai ayam hutan dan digolongkan dalam genus Gallus. Menurut Hutt (1949)dan Jull
(1951 ) terdapat 4 spesies ayam yang termasuk genus Gallus, yaitu Gallus gallus Linnaeus (Red Jungle Fowl) atau ayam hutan merah, Gallus varius Shaw (Green Jungle Fowl) atau ayam hutan hijau, Gallus sonneratii Ternnick (Grey
Jungle Fowl) atau ayam hutan abu-abu dan Gallus lafqetti h o n atau ayam hutan Ceylon. Ayam hutan merah (Gallus gallus Linnaeus) sering pula disebut sebagai Gallus ban-
atau GaUusferrugineus terdapat di Indonesia yaitu di
Sumatera, j u g di Semenanjung Malaysia, di India bagian timur, Thailand dan
Birma. Ayam hutan hijau (GaUus -us
Shaw) yang dikenal pula sebagai Gallus
Javanicus atau Gallusfurcatus atau lebih sering disebut sebagai ayam hutan Jawa, terdapat di Pulau Jawa dan pulau - pulau sekitar Jawa (Mansyur,
1985; Whendrato dan Madyana, 1992). Ayam hutan abu-abu (Gallus sonneratii Ternnick),terdapat di India bagian barat dan tirnur. Ayam hutan Ceylon
(Gallus lafayetti Lesson) sesuai dengan namanya terdapat di Ceylon atau Sri
Lanka (Mansyur, 1985). Dalarn perkembangan selanjutnya, para penggemar ayam liar dan
para ahli mengembangbiakkan serta menjinakkannya, sehingga menjadi ayam piaraan yang mudah diatur. Di antara ayam hutan tersebut terjadi perkawinan silang, baik secara alarni maupun dengan perlakuan manusia, sehingga menurunkan keturunan ayam campuran. Menurut Mansjur (1985) dari basil perkawinan silang dari keempat spesies ayam hutan tersebut ternyata lebih subur
(ferti) sehingga lebih cepat berkembaagt>iak bii diidingkan dengan keturunan spesies mumi (yaitu sebagai ayam hutan). Para peneliti tiada hentinya men-
penelitian antara lain mengadah pemilihan ayam-ayam yang
dianggap unggul untuk bibit. Ayam-ayam yang metnpunyai produksi tinggi dan sifat-sif'at unggul lainnya terus dikembangkan, yang pada akhiiya terciptalah bangsa ayam ras atau ayam modem yang pada saat ini betkernbang dengan pesatnya (Mansyur, 1985). Keempat spesies ayam hutan tersebut mempunyaiciri-ciri tertentu, Hutt (1949) menjelaskan bahwa ciri-ciri tubuh dari ke empat spesies satu sama lain berbeda, masing-masing memiliki ciri yang khas. Ayam hutan merah (Gallus gaUm Liirnaeus) mmiliki ciri khas dari bentuk jenggemya yang tunggal. Ayam
betinanya warm bulu merah kecoklatan yang diselingi warna hitam, sedang pada yangjantan bulu leher, sayap dan punggung h a m a merah jingga clan bagian dadanya behulu hitam. Ciri lainnya dari ayam hutan merah ini adalah cakarnya yang berwarna hitam ke hijauan (warna gelap) serta telurnya berwarna
coklat. Ayam hutan hijau (Gallus varius S h w ) ciri khasnya mempunyai bentuk jengger yang tidak bergerigi. Ayam hutan betina mempunyai bulu dasar berwarna kekuningan yang ditutupi bulu warna hitarn kehijauan dan warna
coklat, sedang pada yang jantan sebagian besar bulu tubuhnya berwarna hitarn dengan bagian punggung terdapat bulu berwarna kehijauan. Selain itu pialnya bentuk tunggal dengan warna merah, kuning dan hijau kebiruan. Ayam hutan abu-abu (Gallus sonneratii Ternnick) mempunyai ciri pada betina rnaupun jantannya berbulu berwarna abu-abu yang dorninan dan pada bulu bagian lehernya terdapat garis keputihan. Telur ayam hutan abu-abu ada yang tidak
berwarna (polos) ada pula yang totol-totol. Ayam hutan Ceylon (Gallus lafayetti Lesson) cirinya mempunyai warna bulu yang mirip dengan ayam hutan merah,
namun pa& yang betina memiliki bulu sekunder yang bercorak lurik (barred) dan pada yang jantan bulu bagian dada berwarna merah jingga. Pada jengger ayam hutan Ceylon bagian tengahnya berwama kuniig, telurnya totol-tot01
(Mansyur, 1985). Ayam buras yang a& di Indonesia pada umwnnya merupakan keturunan ayam hutan merah (terutama di Pulau Sumatera dan sekitarnya) dan ayam hutan hijau (terutama di Pulau Jawa dan pulau sekitarnya). Kedua spesies ayam hutan tersebut merupakan ayam hutan asli d i kedua pulau (wilayah) tersebut. Selanjutnya den@ masuk clan berkernbangnya ayam ras, maka pada ayam buras asli terjadi persilangan menjadi ayam buras campuran, yaitu ayam buras asli dan ayam buras hasil silangan dengan ayam ras (Wendrato dan Madyana, 1992). Ayam buras telah lama dipelihara oleh masyarakat Indonesia, diperkirakan sudah ratusan tahun bahkan mungkin ribuan tahun yang lalu, yalcni sejak ayam hutan yang ada di sini mulai dijinakkan orang. Terdapat ayam hutan yang dapat ditangkap, kemudian dijinakan, dipelihara dan dikembang-biakkan, yang akhirnya menjadi ayam buras seperti yang ada sekarang ini. Sedangkan ayam hutan yang tidak tertangkap dan terus hidup secara liar di hutan, terus berkembangbiak dan tetap menurunkan ayam hutan asli (Mansyur, 1985).
Dengan demikian di Indonesia terdapat dua jenis keturunan ayam hutan, yaitu ayam buras "piaraan" dan ayam buras "hutan". Ayam buras "piaraan" yang dipelihara oleh penduduk, sedangkan ayam buras "hutan" merupakan ayam hutan liar yang hidup di hutan-hutan atau di pinggiran hutan dekat pemukiman atau perkampungan penduduk Namun yang sebenarnya dimaksudkan dengan "ayam buras" adalah keturunan ayam hutan yang berhasil ditangkap rnasyarakat, dijinakkan, dan diternakkan dengan melalui proses dan kurun waktu yang cukup
lama,dan terjadi kawin silang-menyilang yang tidak terkontrol dari generasi ke generasi (Mansyur, 1985; Whendrato dan Madyana, 1992). Ayam hutan (merah
maupun hijau) yang masih liar (asli) masih mempunyai ciriciri khasnya, sedan@
ayam hutan yang sudah dipelihara sudah tidak mempunyai ciri
tertentu lag- dan bahkan sudah jauh berbeda dengan ayam hutan nenek moyangnya (Whendrato dan Madyana, 1992).
2. Ragam ayam buras.
Sebagaimana diuraikan di atas, di antara 4 jenis ayam hutan liar, 2 jenis diantaranya merupakan ayam hutan asli Indonesia, karena kedua jenis tersebut sudah ribuan tahun diketahui dan berhasil diternakkan oleh masyarakat di Indonesia (Mansyur, 1985). Mengingat kondisi lingkungan yang berbeda,
sangat luas, yang relatif terpisah satu sama lain dan karena adat istiadat masyarakat yang berbeda, berbeda pula menyeleksi, memelihara dan mengembangkannya. Selanjutnya dengan pelaksanaan kawin silang yang terus menerus baik yang terkontrol maupun yang tidak terkontrol clan perlakuanperlakuan yang berbeda lainnya, mengakibatkan timbulnya keaneka ragaman ayarn buras yang ada di Indonesia (Whendrato dan Madyana, 1992).
41
Secara keseluruhan, menurut Whendrato dan Madyana (1992) pada dasarnya terdapat 3 jenis ayam buras, yaitu ayam buras tipe besar yang mengarah pada ayam pedaging, tipe sedang yang mengarah pada ayam petelur dan tipe kecil yang mengarah pada ayam hias. Dari ketiga tipe tersebut muncul tipe ayam aduan yang mempunyai ciri-ciri khusus, yaitu pemberani, gagah, pantang menyerah bila sedang dalam pertarungan. Dalam perkembangan lebih lanjut, di rnasyarakat Indonesia timbul berbagai macam atau ragam ayam buras. Keragaman tersebut, ada yang berdasarkan daerah asal ayam buras itu dikembangkan, berdasarkan warna dari bulunya, kokok suaranya, disamping
keragman berdasarkan bobot badannya (When-
dan Madyana, 1992). Dalam
uraian berikut, dapat disirnak berbagai ragam, macam dan nama ayam buras di Indonesia, berturut-turut berdasarkandaerah asal, berdasarkan keadaan dan bulu, serta berdasarkan kokok suaranya. a. Berdasarkan daerah asalnya.
.
Berdasarkan daerah asalnya terdapat beberapa jenis ayam buras yang
namanya sesuai daerah asalnya, antara lain ayam : Kedu, Ciparage, Bali,
Madura, Nunukan,Banten, Sumatera, Melayu dan Bangkok (Whendrato dan Madyana, 1992; Mansyur, 1989). b. Berdasarkan kokok suara.
Diantara ayam buras di Indonesia terdapat pula jenis-jenis yang namanya sesuai dengan kokok suaranya, seperti ayam : Pelung, Bekisar, Balengek dan Bakekok (Whendrato dan Madyana, 1992; Mansyur, 1989).
c. Berdasarkan ukuran badan.
Penamaan ayam buras di Indonesia terdapat pula yang berdasarkan ukuran badannya, seperti ayam : Kate, Wareng dan Batu (Whendrato dan Madyana, 1992).
d. Berdasarkan warna bulu. Penamaan ayam buras di Indonesia yang lainnya adalah berdasarkan warna bulunya, seperti ayam : Cemani, Kurnbang, Sanggabuana, Wido, Merah sapi, Jali, Sawunggaling.
e. Berdasarkan keadaan badan dan bulunya. Ayam buras di Indonesia terdapat yang penamaannya sesuai dengan keadaan badan dan bulunya, seperti ayam : Terondol, Tukung, Cambang, Jepun dan Walik (Whendrato dan Madyana, 1992).
3. Populasi ayam buras. Berdasarkan Buku Statistik Peternakan (1993) dapat dilihat bahwa populasi ayam buras setiap tahunnya terus berkembang, yang perkembangannya sejalan dengan peningkatan jumlah penduduk, Pada Pembangunan Lima Tahun
I (Pelita I) rata-rata kenaikan populasi ayam buras per tahun sebesar 6,86 persen, dengan jurnlah populasi pada tahun pertarna (1969) sebanyak 6 1,788 juta ekor kemudian pada tahun ke lima (1973) naik menjadi 79,906 juta ekor. Pada Pelita I1 rata-rata kenaikan populasi per tahun sebesar 6,44 persen, dengan populasi sebanyak 89,650 juta ekor pada tahun pertarna (1974) naik menjadi 108,916 juta ekor pada tahun ke lima (1978). Pada Pelita I11 rata-rata kenaikan
populasi per tahun sebesar 6,37 persen, dengan jumlah populasi 114,350 juta ekor pada tahun pertama (1979) kemudian menjadi 159,462juta ekor pada tahun ke lima (1983). Pada Pelita IV rata-rata kenaikan populasi sebesar 2,5 persen, , ,
dengan populasi sebesar 166,815juta ekor pada tahun pertama (1984) naik menjadi 182,879 juta ekor pada tahun ke lima (1988). Pada Pelita V rata-rata kenaikan populasi per tahun sebesar 6 persen, dengan populasi pada tahun pertama (1989) sebanyak 191,463 juta ekor, kemudian pada tahun ke lima (1993) menjadi sebanyak 229 juta ekor (Anonim, 1994).
4. Peranan ayam buras. Peranan ayam buras khususnya bila ditinjau dari aspek ekonomi, sosial dan budaya cukup besar. Secara kualitatif peranan ayam buras dilihat dari segi ekonomi adalah sebagai barang simpanan (tabungan) yang cukup berharga, (Johnson el al., 1992; Darmanto, 1992; Soeripto et al., 1989), yang sewaktuwaktu diperlukan dapat disediakan dalam waktu singkat (Mansyur, 1989; Anonim, 1988). Penyediaan dana dari penjualan .ayam buras adalah untuk kebutuhan hidup sehari-hari dan kebutuhan yang datang sewaktu-waktu (Anonim, 1988). Sedangkan ditinjau dari aspek sosial peran ayam buras juga cukup besar atau cukup dominan (Johnson et al., 1992; Darmanto, 1992; Soeripto et al., 1989). Ayam buras memegang peran penting dalam menunjang kegiatan sosial seperti dalam menghadapi hari raya atau acara keagamaan pesta kelwga dan kebutuhan lainnya (Anonim, 1988). Ayam buras merupakan sumber protein hewani yang dekat dengan masyarakat terutama yang berada di pedesaan (Partadiredja, 1991; Darmanto, 1992). Dengan demikian ayam buras sangat berpotensi dalam memenuhi
kebutuhan gizi, baik berupa daging maupun telur (Darmanto, 1993; Sumengkar, 1993; Whendrato dan Madyana, 1992). Sampai saat ini peranan ayam buras dalarn penyediaan bahan makanan bergizi masih cukup tinggi, yaitu selama Pelita V diperhitungkan produksi daging yang berasal dari ayam buras sebanyak 19,7%
dari seluruh produksi daging yang dihasilkan oleh semua jenis ternak dan sebanyak 36% dari produksi daging unggas (Muryanto, 1989; Soehadji, 1994).
Sedangkan produksi telur ayam buras sebanyak 16,9% dari seluruh produksi telur dari unggas (ayam ras dan itik). Secara langsung rnaupun tidak langsung ayam buras berperan ikut membantu pemenuhan kebutuhan protein hewani per kapita per hari, yaitu dari target norma gizi 4,5 gram per kapita per hari, pada tahun 1993 sudah terpenuhi 84,4% atau sebanyak 3,8 gram per kapita per hari (Soehadji, 1994). Posisi ayam buras ditinjau dari segi pandangan dan kepentingan rnasyarakat, terutarna yang berada di pedesaan masih belum tergoyahkan. Peran ayam buras yang "multipurpose" atau serbaguna rnasih berada di atas bila dibandingkan dengan peran jenis unggas laimya termasuk peran dari ayam ras baik pedaging maupun petelur (Muryanto, 1989; Mansyur, 1985). Meskipun ayam ras telah masuk dan dikembangkan di wilayah Indonesia sudah lebih dari seperempat abad yang lalu, dengan teknologi pemeliharaannya sudah demikian maju, namun kenyataannya belum dapat menggeser posisi ayam buras. Ayam
buras masih tetap mernegang peranan penting dalam dunia peternakan, dan tidak mungkin untuk dipaksa minggir dari kiprahnya dalam pembangunan khususnya pembangunan peternakan (Muryanto, 1989; Darmanto, 1983; Soehadji, 1994). Ayam buras tetap mendapat tempat khusus di hati masyarakat di pedesaan mengingat jenis ternak ini sudah terlalu akrab dan dekat dengan rnasyarakat (Whendrato, Madyana 1992).
45
Whendrato dan Madyana (1992) selanjutnya menyebutkan bahwa ayam buras dalam perkembangannya relatif lambat, produktivitasnya rendah bila dibandingkan dengan ayam ras yang pemeliharaannya dilaksanakan secara intensif. Meskipun ayam buras mempunyai kelemahan-kelemahan baik dalam perkembangan, produktivitas dan pemeliharclannya sebagian besar masih bersifat ekstensif dan tradisional (Muryanto, 1989), namun secara keseluruhan potensi ayam buras untuk dikembangkan masih cukup besar seperti halnya ayam ras,
maka ayam buras sampai saat ini masih mampu memenuhi berbagai kebutuhan masyarakat hampir di semua lapisan dan di seluruh wilayah Indonesia (Johnson et al., 1992; Darmanto, 1993; Sumengkar, 1993). Posisi ayam b u m terebut, akan tetap bertahan untuk beberapa dekade lamanya (Muryanto, 1989; Mansyur, 1989).
5. Produksi telur.
Berdasarkan hasil penelitian terbatas dari Proyek Penyempurnaan dan Pengembangan Statistik Peternakan (1982), produksi telur ayam buras ratarata setiap ekornya adalah 11,67 2 0,56 butir dalarn satu periode produksi. Dalam memproduksi telur, pada ayam buras selarna satu tahun terjadi beberapa periode, yaitu periode bertelur, mengeram, rnengasuh anak dan periode istirahat (Prasetyo et al., 1985). Dengan demikian jangka waktu bertelur relatif pendek bila dibandiigkan dengan ayam ras petelur. Apabila diperhitungkan waktu-waktu yang diperlukan oleh induk ayam mulai dari saat bertelur sampai mat bertelur kembali, selama 118 hari, yaitu lama bertelur dari satu periode 30 hari, lama mengeram 21 hari, dan rnengasuh anak rata-rata 67 hari. Dengan lamanya waktu yang dibutuhkan untuk bertelur kembali, maka dalam satu tahun ayam buras akan
.
mengalami periode bertelur sebanyak 380 : 118 x 1 periode
=
3,05 atau
dibulatkan menjadi 3 periode. Dalam satu tahun seekor induk ayam buras akan
+
dapat meng-hasilkan telur sebanyak 3 x (1 1,67 0,56) = (35,Ol
+ 1,68) atau 35
butir (Anonim, 1982). Produksi telur rata-rata 35 butir setahun adalah rendah sekali bila dibandingkan dengan ayam ras sebanyak 220 butir. Rendahnya daya produksi telur pada ayam buras hi, juga dilaporkan oleh Direktorat Kesehatan Hewan (1986) yang menyebutkan bahwa rata-rata produksi ayam buras satu periode sebanyak 15 butir. Selarna satu tahun terjacli tiga kali bertelur, sehingga selama satu tahun jumlah produksi telur sebanyak 45 butir. Angka-angka ini berdasarkan hasil pernantauan Direktorat Kesehatan Hewan (1986) pada beberapa desa percontohan yang melaksanakan intensifikasi vaksinasi (invak). Beberapa tahun sebelumnya beberapa orang peneliti melaporkan pula mengenai rendahnya produksi telur pada ayam buras, yaitu Sugandi et al., 1968; Siregar dan Sabrani, 1972; Wattimena, 1974 dan Kingston, 1979. Sugandi et al., ( 1968) melaporkan bahwa dari hasil pengamatannya yang berupa studi kasus di daerah Karawang dan Grobogan, tercatat di daerah pengamatannya produksi telur ayam karnpung per periode bertelur sebanyak 10,74 sampai 11,33 butir, dengan jumlah telur per tahun sebanyak 40 sarnpai 60 butir. Siregar dan Sabrani (1972) menyatakan produksi telur setahun berkisar
30
- 60
butir. Wattimena
memperkirakan produksi teiur ayarn buras yang dipelihara secara tradisional berkisar 30 - 40 butir per tahun. Selanjutnya Kingston (1979) menyebutkan bahwa hail pengamatannya terhadap lima desa di Jawa Barat, produksi telur ayam buras rata-rata sebanyak 7 1,9 butir. Rendahnya produksi telur pada ayam buras disebabkan oleh berbagai faktor yang pada umurnnya oleh sifat alarni yang ada pada ayam buras. Faktorfaktor yang menyebabkan produksi telur rendah pada ayarn buras tersebut, antara
lain umur induk pada waktu pertama kali bertelur, sifat dan lamanya mengeram, memelihara anak, sifat genetik clan lingkungan serta cara-cara mengeram. Anak ayarn tidak diasuh oleh induk tapi langsung disapih, temyata &pat meningkatkan jumlah telur yang diproduksi per tahunnya (Jull, 1951;Anonim, 1986). 6. Umur induk pertama bertelur.
Umur induk pertama kali bertelur berdasarkan beberapa hasil penelitian
dan pengamatan sedikit pehdaan satu dengan yang lainnya, tetapi secara mum berkisar pada urnur 6 - 7 bulan. Menurut laporan Proyek Penyempurnaan dan Pengembangan Statistik Petemakan (1982) ayam buras pertama bertelur pada umur 6,85 bulan dengan rata-rata induk yang bertelur mencapai umur 15,81 bulan. Pada hasil pemantauan Direktorat Kesehatan Hewan (1986) disebutkan bahwa ayam buras pertarna kali bertelur pa& urnur 6-7 bulan. Sebelumnya Sugandi dkk (1968) dalam laporannya menyebutkan bahwa umur dewasa ayam buras berkisar 6-7 bulan, sedangkan Hardjosubroto dan Atmodjo (1977) melaporkan mengenai umur dewasa ayam buras ini adalah 29 rninggu atau lebih dari tujuh bulan. Kemudian Kingston dan Creswell(1992) mengatakm bahwa umur dewasa kelamin ayam buras dengan pemberian makanan dan cara penelitian yang baik dapat memperpendek atau mempercepat umur bertelur ayam pertama kali yaitu sekitar 2 1 minggu.
7. Sifat mengeram.
Sifat mengeram pa& bangsa unggas adalah sifat yang bisa d i t u r d a n dari induk ke anak dan seterusnya (Hafez, 1969). Pada ayam buras sifat mengeram ini masih cukup dorninan, sedang pada ayam ras pada umumnya sudah tidak memiliki lagi sifat mengerarn. Waktu mengeram cukup banyak menyita
kesempatan si induk ayam untuk memproduksi telur, sehingga pengurangan waktu bertelur itulah yang menyebabkan jumlah telur yang dihasilkan menjadi sedikit (Jull, 195 1).
Hutt (1949) menyatakan bahwa ayam yang masih
mempunyai sifat mengeram paling banyak telurnya 180 butir. Ayam yang sudah tidak memiliki sifat mengeram dapat memproduksi telur 250 hingga 300 butir (Whendrato dan Madyana, 1992; Muryanto, 1989). Selanjutnya Hafer (1969) menerangkan bahwa sifat mengeram identik dengan sifat keindukan, yaitu yang hanya dirniliki oleh ayam betina. Sifat keindukan selain bertelur, mengeram, juga membuat sarang dan mengasuh anaknya sampai umur sapih. Diterangkan pula bahwa sifat mengeram ini terjadi karena adanya kelenjar pituitary yang berisi hormon prolaktin yang cukup banyak, sebalilcnya pada ayam yang tidak mengeram hoxmon tersebut jauh lebih sedikit. Selain itu si&t mengeram ini dipengaruhi oleh adanya rangsangan visual
clan suara, cahaya, temperatur dan kelembaban udara. Selanjutnya menurut hasil penelitian Proyek Penyempurnaan dan Pengembangan Statistik Peternakan (1982) waktu yang diperlukan untuk mengeram. 21 hari dan larnanya induk
mengasuh anak sampai bertelur kembali 67 hari. Waktu yang diperlukan untuk mengeram dan mengasuh anak yang jumlahnya 88 hari tersebut, merupakan waktu yang tersita untuk memproduksi telur pa& ayam buras. Pa& ayam ras
waktu mengeram dan mengasuh anak tidak ada, sehiigga seluruh waktu dipergunakan untuk memproduksi telur (Anonim, 1982).
8. Daya tunas dan daya tetas telur. Daya tunas dan daya tetas memegang peranan penting kaitannya dengan tingkat perkembangan ayam buras terutama yang perneliharaannya masih bersifat
tradisional. Semakin banyak telur yang ditunasi d m yang menetas, maka akan semakin tinggi tingkat perkembangannya. Berdasarkan hasil penelitian Jull (195 1) dijelaskan bahwa jumlah telur yang ditunasi dan yang menetas sangat menentukan banyaknya anak ayam yang akan menjadi bibit. Pada umumnya ayam buras mempunyai daya tunas dan daya tetas cukup tin& dibanding dengan ayam ras yang produksi telurnya tinggi. Ayam yang memproduksi telur tinggi rnempunyai kecenderungan telur yang dihasilkannya banyak yang fertil, karena apabila laju ovulasi tinggi harus diimbangi dengan tingkat kopulasi yang fiekuensinya tinggi. Tingkat fertilitas rnasih cukup baik sampai sepuluh hari setelah kopulasi. Selanjutnya Jull(195 1) menerangkan bahwa faktor-faktor yang dapat mempengaruhi fertilitas (daya tunas) telur, antara lain temperatur lingkungan, urnur pejantan dan induk, sistem perkawinan dan tingkat produksi telur. Temperatur lingkungan lebih dari 38" C atau lebih rendah dari 4" C akan menu&
daya tunas telur. Umur pejantan atau betina lebih dari satu tahun
akan menimbulkan turunnya daya tunas. Pejantan yang muda akan menghasilkan daya tunas yang lebih baik dan pada pejantan tua, dan pejantan yang berumur lebih dari dua tahun tidak dianjurkan untuk digunakan sebagai pejantan. Sistem
perkawinan tenrtama pada ayam yang dipelihara secara kelompok, perbandingan jantan dan betina adalah satu berbanding 15 atau 18, sedang pada ayam tipe berat sebaiknya satu jantan berbanding 6 betina atau bisa sampai 10 betina (Mansyur, 1985; Whendrato dan Madyana, 1992). Hardjosubroto clan Atrnodjo (1977) menyatakan bahwa daya tetas telur ayam buras adalah sebesar 84%. Berdasarkan hasil penelitian Kingston (1979) di lima desa di Jawa Barat daya tetas telur ayam buras yang terdapat di daerah penelitiannya adalah 82%. Hasil pemantauan Direktorat Kesehatan Hewan (1986) diketahui bahwa daya tetas telur ayam buras berkisar antara 80-85%.
50
Daya tetas ini sangat penting artinya bagi perkembangan ayam buras terutama yang dipelihara secara tradisional. Kemudian penelitian lanjutan Kingston (1992) memperoleh data mengenai jumlah telur yang ditetaskan pada pemeliharaan yang bersifat tradisional di pedesaan, yaitu sebesar 86,5%, sedangkan menurut hasil penelitian Proyek Penyempurnaan dan Pengembangan Statistik Peternakan (1982) jumlah telur ayarn buras yang ditetaskan 23,7%.
D. RUMAH TANGGA PERTANM 1. Ketenagakerjaan sektor pertanian.
Jumlah ketenagakerjaan setiap tahun terus rneningkat, yang sebagian besar diserap oleh sektor pertanian. Penambahan tenaga kerja di sektor pertanian ini belum dapat diimbangi dengan pembukaan tanah pertanian atau pencetakan sawah baru yang mernadai. Hal ini &pat m e n i m b u b hambatan terhadap upaya peningkatan pendapatan. Dengan melihat keterbatasan tanah pertanian, terutama tanah untuk tanaman pangan, maka akan dapat diimbangi dengan pengembangan sub sektor lainnya. Harapan yang dapat diandalkan adalah pengembangan sub sektor peternakan sebagai salah satu sumber pertwnbuhan baru di sarnping sub sektor perikanan dan hortikultura (Saubari et al., 1992; Anonim, 1993). Dalam pidato Kenegaraan pada sidang DPR-RI tahun 1982, Presiden Soeharto, menggarnbarkan bahwa betapa besar tantangan yang akan timbul karena rnasalah ketenagakerjaan ini. Masalah tenaga kerja tersebut dapat dilihat dengan meningkatnyajumlah petani, baik petani pemilik tanah, petani penggarap maupun buruh tani. Dari tahun 1973 sampai 1980 jumlah petani meningkat
dengan kenaikan 2,8% per tahun, yaitu dari 14juta menjadi 17 juta orang lebih. Petani yang menggarap sawah kurang dari 0,5 hektar meningkat dari 6,6 juta orang menjadi 11 juta orang, atau naik rata-rata 7,7% setiap tahun. Petani penggarap naik dari 450 ribu orang menjadi 2,6 juta orang, yang berarti naik sebesar 28% per tahun (Saubari et al, 1992). Perkembangan ini menunjukkan bahwa penambahan tenaga kerja sebagai akibat pertumbuhan penduduk belum banyak diserap oleh sektor lain di luar pertanian. Sedangkanjumlah tenaga kerja yang masuk ke dalam sektor pertanian sebagai petani dan buruh tani cukup besar, yang sebagian besar berpusat di Pulau Jawa. Tambahan tenaga kerja ke dalam sektor pertanian jauh lebih banyak dari luas tanah pertanian baru yang dapat dibuka, sehingga mengakibatkan menyempitnya tanah pertanian yang diusahakan oleh seseorang (Anonim, 1993).
Salah satu upaya untuk mengimbangi penarnbahan tenaga kerja pada sub sektor pertanian dan sernakin menyempitnya lahan yang digarap, rnaka dikembangkanlah bidang peternakan (Soehadji, 1994). Presiden Soeharto sangat menaruh perhatian besar pada pembangunan sub sektor peternakan ini, seperti pernah disampaikan dalam pidato kenegaraan tanggal 16 Agustus 1973 yang menyatakan bahwa pengembangan peternakan mempunyai tempat yang penting dalam seluruh gerak pembangunan, baik dalam tahap permulaan maupun dalam tahap-tahap yang lebih maju di rnasa datang. Usaha di bidang peternakan mempunyai tujuan untuk memperluas lapangan kehidupan petani, menambah penghasilannya, memperbanyak jenis dan memperbaiki mutu makanan masyarakat, memperbesar dan memperluas ragam barang-barang ekspor serta untuk menggerakkan ekonomi desa (Saubari et al., 1992). Penduduk Indonesia berdasarkan data dari Biro Pusat Statistik (Anonim, 1992) pada tahun 1990 sebanyak 179,195 juta orang atau terdiri dari 30,7 juta
.
rumah tangga. Pada tahun 1993 jumlah penduduk tersebut diperkirakan sebanyak 200 juta orang. Dari jumlah penduduk tersebut sekitar 72% bekerja di sektor pertanian. Berdasarkan data
Sensus Pertanian (1993) jumlah
penduduk yang melalcukan kegiatan usaha pertanian secara luas sebanyak 2 1,8 juta rumah tangga pertanian. Diantaranya yang khusus melakukan kegiatan usaha peternakan sekitar 26% atau sebesar
5,7 juta
nunah tangga
peternakan (RTP). Selanjutnya Soehadji (1994) menguraikan dari 5,7 juta
rumah tangga peternakan tersebut, dirinci lagi berdasarkan jenis temak yang dipeliharanya. Sebanyak 92 ribu terdiri dari RTP sapi perah, 2.978 ribu RTP sapi potong, 490 ribu RTP kerbau, 75 ribu RTP kuda, 636 ribu RTP babi, 591 ribu RTP karnbingldomba dan 854 ribu RTP unggas.
2. Kelompok petani ternak. Dalam pembangunan pertanian, penerapan teknologi maju mutlak diperlukan, baik dalam kegiatan budidaya maupun pengelolaan pasca panen. Soehadji (1994) menguraikan bahwa teknologi diartikan sebagai suatu rekayasa untuk mencapai tujuan yang terdiri dari rekayasa teknik maupun sosial. Dalam perkembangan rekayasa teknik dibagi menjadi dua tahap yakni teknologi konvensional dan teknologi modern. Teknologi
konvensional antara lain
penerapan panca usaha dan sapta usaha yang disertai teknologi tepat guna. Sedangkan tehologi modern antara lain memanfaatkan biotehologi dan teknologi tinggi lainnya (Soehadji, 1994). Teknologi pertanian sangat penting dalam rangka meningkatkan produksi pertanian dan sekaligus untuk memperbaiki mutu hasil-hasil pertanian. Melalui teknologi pertanian yang tepat akan dapat memanfaatkan dan mendaya gunakan sumber daya alam yang dimiliki secara maksimal (Saubari et al., 1992).
Untuk pelaksanaan teknologi pertanian oleh para petani yang jumlahnya berjuta juta, perlu diupayakan alih teknologi dengan berbagai cara. Pelaksanaan oleh teknologi antara lain pendidikan dan penyebarluasan melalui kegiatan penyuluhan. Agar kegiatan alih teknologi ini baik melalui pendidikan atau penyuluhan dapat efektif dan efisien, rnaka perlu pembinaan petani dalarn bentuk kelompok. Petani yang jumlahnya jutaan tidak mungkin diberi pendidikan atau penyuluhan orang per orang, karena mereka diberi motivasi untuk membentuk kelompok tani. Di satu pihak mempennudah jangkauan p y u l u h dan kontak tani dalam menjalankan bimbingan kerja, di lain pihak dapat mengkonsolidasikan milik perorangan dalam satu satuan skala ekonomi usaha tani (Saubari et al., 1992). Pada saat ini (1994) jumlah kelompok tani sekitar 262.585 kelompok, diantaranya sekitar 45.268 kelompok me~pakankelompok atau sub kelompok tani ternak Klasifikasi dari kelompok tani tersebut, terdiri dari sekitar 43% kelompok tani pemula, 33% lanjut, 15% madya dan 5 % kelompok tani utarna,
serta 4% yang belum dikukuhkan. Kondisi ini masih jauh dari target yang ingin dicapai Pemerintah, yakni kelompok tani pemula 5%, lanjut 20%, madya 50%
clan utarna 25% (Soehadji, 1994; Anonim, 1995). Kelompok petani ternak ayam buras. Dengan semakin meningkatnya teknologi yang dirgunakan dalam pemeliharaan ayarn ras, maka berpengaruh pula pada pemeliharaan ayam buras. Sedikit derni sedikit beberapa peternak ayam buras bergabung dalam kelompok, mulai mengembangkan usaha peternakannya dari yang bersifat tradisional dan ekstensif menjadi usaha peternakan yang semi intensif bahkan beberapa diantaranya terdapat yang meningkat ke intensif (Sarengat, 1993). Pada usaha petemakan yang semi intensif dan intensif telah diterapkan teknologi maju
(Mansyur, 1989).
Kegiatan sapta usaha mulai diterapkan seperti dalam
penyediaan bibit yang baik, pengandangan yang memenuhi syarat sanitasilhigiene, pemberian pakan konsentrat, vaksinasi dan pelayanan kesehatan hewan lainnya, pengamanan pasca panen, pemasaran dan tatalaksana pemeliharaan/rnanajemen lainnya (Pmetyo et al., 1985).