BAB 11. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Otonomi Daerah
Dengan ditetapkannya Undang-undang No 22 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah dan Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah setiap daerah di Indonesia baik provinsi, maupun kabupaten dan kota diberikan kewenangan dalam melaksanakan pemerintahannya, sehingga lebih leluasa mengatur dan melaksanakan kewenanganya atas prakarsa sendiri sesuai dengan kepentingan masyarakat setempat dan pote.. i setiap daerah. Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonom dalam kerangka negara kesatuan republik Indonesia". Kewenangan yang diserahkan tersebut, mencakup semua kewenangan bidang pemerintahan, kecuali kewenangan politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter, fiskal
dan agama.
Kewenangan pemerintah daerah dilaksanakan secara luas, utuh dan bulat meliputi perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, pengendalian dan evaluasi pada semua aspek pemerintahan. Tambunan dalam Pakasi (2005) menyatakan bahbra salah satu aspek penting dari pelaksanaan otonomi daerah bahwa pihak daerah, baik kota maupun kabupaten, memiliki kewenangan yang luas dalam m~,ijalankanpemerintahan di tingkat daerah. Kewenangan ini mencakup baik dari sisi penerimaan maupun sisi pengeluaran. Dari sisi penerimaan, pihak daerah diberi keleluasaan dalam menggali herbagai potensi yang ada guna menyokong peningkatan pendapatan daerahnya. Sementara dari sisi pengcluuran, pihak daerah juga diberi keleluasaan dalam mengatur alokasi dana dalam membiayai jalannya pemerintahan maupun pembangunan daerah. Menurut Tandjung (2001). pelaksanaan otonomi daerah hams terus berjalan sebab merupakan suatu upaya untuk mempererat persatuan dan kesatuan dengan jalan mengurangi adanya ketidakadilan dan ketidakrneratan di berbagai bidang kehidupan. Tandjung juga menyatakan bahwa kebijakan otonomi daerah ini juga dimaksudkan untuk memberikan kesempatan kepada munculnya sentra-
sentra ekonomi baru di daerahnya, sehingga pemeratarn hasil-hasil pembangunan dapat dirasakan oleh seluruh masyarakat.
2.2 Desentralisasi Fiskal Desentralisasi mencakup aspek-aspek politik, administratif, fiskal dan ekonomi. Desentralisasi administratif sendiri merupakan pelimpahan wewenang yang dimaksudkan untuk mendistribusikan kewenangan, tanggung jawab dan sumber-sumber keuangan untuk menyediakan pelayanan publik. Pelimpahan tanggung jawab tersebut terutama menyangkut perencanaan, pendanaan, dan pelimpahan manajemen fungsi-fungsi pemerintahan dari pemerintah pusat kepada aparatnya di daerah, tingkat pemerintahan yang lebih rendah, badan otoritas tertentu atau perusahaan. Desentralisasi fiskal merupakan komponen utama dari desentralisasi. Apabila pemcrintah daerah melaksanakan fungsinya secara efektif dan mendapatkan kebebasan dalam pengambilan keputusan pengeluaran sektor publik, maka mereka harus mendapatkan dukungan sumber-sumber keuangan yang memadai baik berasal dari pendapatan asli daerah (PAD), bagi hasil pajak dan bukan pajak, pinjaman maupun subsidiantuan dari pemerintah pusat. Pelaksanaan desentalisasi fiskal akan berjalan dengan baik kalau didukung faktorfaktor berikut: (1) pemerintah pusat yang mampu melakukan pengawasan dan
enforcement; (2) sumberdaya manusia yang kuat pada Pemda guna menggantikan peran pemerintah pusat dan keseimbangan; dan (3) kejelasan dal; m pembagian tanggungjawab dan kewenangan dalam melakukan pu.igutan pajak dan retribusi (Davcy, 1988 dalam Sacfudin. 2005). Sumber pembiayaan pemerintahan daerah dalam rangka perimbangan keuangan pemerintah pusat dan daerah dilakukan atas dasar desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada dan kerangka negara kesatuan republik Indonesia,
sedangkan dekonsentrasi adalah pelimpahan
wewenang dari
pemerintah kepada gubemur sebagai wakil pemerintah dan atau perangkat pusat di daerah (Syamsuddin. 2005).
Semangat otonomi daerah yang disertai dengan desentralisasi fiskal didasari jvga dengan keinginan y lng kuat untuk meningkatkan pemerataan pendapatan bagi seluruh masyarakat Indonesia. Saat in' telah terjadi ketimpangan pembangunan antar daerah khususnya antara daerah Jawa dan Iuar Jawa. Dengan adanya desentralisasi fisl,al diharapkan nantinya pemerintah daerah akan lebih efektif dan mampu untuk menenuhi pelayanan publik yang dibutuhkan. Pembangunan sarana dan perekonomian akan menciptakan lapangan pekerjaan bagi masyarakat sehingga pada akhimya meningkatkan pendapatan masyarakat (Pakasi, 2005). Menurut (Tadjoeddin, 2000) dalam desentralisasi fiskal, transfer dana dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah mempakan ha1 yang tidak dapat dihindari. Pada dasarnya transfer pemerintah pusat kepada pemerintah daerah dapat dibedakan atas bagi hasil pendapatan dan bantuan. Adapun tujuan transfer ini adalah pemerataan vertikal dan pemerataan horizontal, mengatasi efek pelayanan publik, mengarahkan prioritas dan melakukan eksperimen dengan ideide baru stabilitas dan kewajiban untuk menjaga tercapainya standar pelayanan minimum (SPM) di setiap daerah. Pemerataan vertikal (Vertical bqlralization Transfer) Pemerintah pusat menguasai sebagian besar sumber-sumber penen'maan (pajak) utama negara. Pemerintah daerah hanya benvenang utuk memungut pajak-pajak yang berbasis lokal dan mobilitas yang rendah dengan karakteristik besaran penerimaannya relatif kurang signifikan. Kondisi tersebut akhimya menimbulkan ketimpangan vertikal antara pemerintahan pusat dengan pemerintah daerah (Tadjoeddin, 2000). Pemerataan Horizontal (Horizontal Equalizalion Transfer) Keseimbangan antara kebutuhan pendapatan dan kemampuan untuk menghasilkan pendapatan juga memiliki dimensi. iorizontal artinya dengan transfer yang sama seharusnya juga menghasilkan penenmaan yang sarna di antara daerah. Sidik (2002) mengemukaan bahwa kemampuan daerah untuk menghasilkan
pendapatan
sangat
bervariasi,
tergantung kondisi daerah
bersangkutan seperti memiliki kekayaan sumberdaya dam atau tidak, atau daerah
dengan intensitas kegiatan ekonomi yang tinggi atau rendah. Terdapat daerahdaerah dengan penduduk miskin, penduduk lanjut usia, anak-anak yang proporsinya tinggi. Adapula daerah yang infrastruktur masih belum memadai, sementara di lain pihak daerah yang jumlah penduduk terlalu besar memiliki infrastruktur yang lengkap, ini mencerminkan tinggi rendahnya kebutuhan fiskal suatu daerah. Dengan membandingkan antara kebutuhan fiskal dan kapasitas fiskal maka dapat dihitung adanya kesenjangan keuangan. Oleh karena itu dari masing-masing daerah ditutup oleh transfer pemerintah pusat. Menurut undangundang NO. 25 Tahun 1999 ketentuan mengenai aturan alokasi DAU adalah DAU ditetapkan sekutang-kutangnya 25 persen dari penerimaan dalam negeri yang ditetapkan dalam APBN dan DAU untuk provinsi dan untuk kabupatenlkota ditetapkan masing-masing 10 persen dan 90 persen dari total DAU nasional (Sidik, 2002) Faktor yang dapat rnenciptakan pelaksanan otonomi d a ~ ~ akondusif h terhadap kebijakan penanggulangan kemiskinan yaitu dengan pemberian bantuan dalam bentuk block grant agar pemerintah daerah memiliki fleksibilitas yang tinggi dalam menggunakan dana tersebut termasuk penanggulangan kemiskinan. Hal tersebut penting dikemukakan karena dalam formula pembagian DAU mencakup variabel jumlah penduduk miskin, ini artinya agenda penanggulangan kemiskinan seharusnya secara otomatis menjadi agenda kebijakan semua pemerintah daerah (Sidik, 2002). Sistem transfcr di Indonesia mengalami perubahan yang cukup berarti. Saat ini ada tiga jenis transfer yaitu dana perimbangan antara lain: bagi hasil pajak dan bukan pajak, PBB, PPh perorangan, bagi hasil dari SDA, bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB) serta Dana Alokasi Umurn (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK). DAU digunakan untuk tujuan pemerataan pembangunan sebagaimana disebutkan secara eksplisit dalam UU No 25 tahun 1999, sementara transfer spesifik (DAK) umumnya digunakan untuk mengatasi masalah dampak tembesan, bencana, distribusi pendapatan, merjaga kualitas lingkungan hidup. Dalam UU no 25 tahun 1999 dinyatakan bahwa DAK dialokasikan untuk membantu membiayai kebutuhan khusus yaitu kebutuhan yang tidak dapat
diperkirakan secara umum dengan DAU, kebutuhan yang merupakan komitmen atau prioritas nasionaI (Sidik, 2002). Transfer fiskal antara berbagai tingkat pemerintahan merupakan inti (core) dari suatu hubungan fiskal antar tingkat pemerintahan. Hal ini menunjukkan bahwa transfer fiskal memiliki peranan penting di dalam mendukung program desentralisasi. Hubungan antara desentralisasi eengan kemiskinan dijelaskan dengan kerangka konseptual yang dikemukakan oleh Braun dann Grote dalam Usman (2006) seperti yang ditunjukkan dalam Gambar 2 di bawah ini.
Participationlempower men1 Government b
v I'engurangan kerniskinan
Ucscalrulisusi polilik. administrasi,liskdl
A
----+
Public servicdinveslment, priorifies/effciency/ targeting
Sumber: Usman (2006) Gambar 2 Hubungan Desentralisasi dengan Kemiskinan. 2.3 Indikator Pembangunan
Menurut Rustiadi (2007), persoalan pembangunan di negara yang sedang berkembang tidak hanya menyangkut perlunya investasi pembangunan dalam mendorong petumbuhan ekonomi tetapi juga harus memperhatikan aspek distribusi dan pemerataan hasil
pembangunan. Dengan demikian hasil
pembangunan dapat dinikniati olch seluruh lapisan masyarakat secara adil dan proposional. Para pakar pembangunan di tahun 70-an mulai mxgkaji ulang indikator tingkat pencapaian pcrnbangunan dari tujuan yang tclah ditctapkan dari suatu wilayah sebagaimana disajikan pada TabeI I.
Tabel 1 Indikator-Indikator Pembangunan I
I
I
Kelompok Pertumbuhan, produktivitas dan etisiensi
b
a. ~Distribusi ~ Pendapatan: i ~ gini ratio b ~ b. Ketenagakerjaan :pengangguran terbuka, pengangguran terselubung, setengah pengangguran c. Kemiskinan: ood service ratio, % konsumsi mafanan, garis kemiskinan (pendapatan setara beras dll) d. Regional balance: spatial balance, sentral balance dun capital balance
Keberlanjutan (susteinability)
Dimensi lingkungan, diiensi ekonomi dan dimensi sosial.
1. Sumberdaya Manusia
Pengetahuan, skill, etas kerja kompetensi, pendapatan, kesehatan, HDI dan IPM
pemerataan, ~ ~ dan keadilan (equity)
Sumberdaya
I
1
Indikator-indikator a. Pendapatan wilayah (I) PDRB (2) PDRB Perkapita (3) Pertumbuhan PDRB b. Kelayakan Finansial dan Ekonomi ( I ) NVP (2) BC Ratio (3) IRR (4) BEP c. Spesialisasi, Keunggulan Komparati dan kompetitif: LQ dan Shrffshare d. Produksi-produksi utama: migas
1 2. Sumberdaya alanl 3. Sumberdaya buatadsarana
dan pra. drana 4. Sumberdaya Sosial
Input. Implementasi,output, Proses outcome, benejil, impact Pembangunan Sumber: Rustiadi (2007).
I Degradasi
Skalogram, akh'sbilitas terhadap fasilitas Organisasi sosial. Aturan adat ibudaya
~
I
I
Input d jar ( SDM, SDA, Infrastruktur, SDS) input antara
Pilihan antara pertumbuhan ekonomi dan pemerataan menurut Kuznet
(1996) dalarn Rustiadi (2007) dinyatakan bahwa bagi negara yang pendapatannya rendah, bertumbuhnya perekonomian hams mengorbankan pemerataan (terjadi
frude off antara pertumbuhan dan pernerataan). Hal inilah yang telah memberi legitimasi pemerintah untuk memusatkan pengalokasian sumberdaya pada sektorsektor atau wilayah yang berpotensi besar dalam menyumbang pertumbuhan ekonomi. Kasus di Indonesia strategi ini telah rnembuat ketimpangan
~
pembangunan wilayah yang lebib besar dan tidak adanya keterpaduan pembangunan wilayah (Hadi, 2001). Paradigma pembangunan baru pembangunan diarahkan kepada tejadinya pemerataan, pertumbuhan dan keberlanjutan dalam pembangunan ekonomi. Paradigma baru ini dapat mengacu kepada apa yang disebut dalil kedua fundamental ekonomi kesejahteraan bahwa sebenarnya pemerintah dapat mernilih target pemerataan ekonomi yang diinginkan melalui transfer, perpajakan dan subsidi (Rustiadi, 2007).
2.4 Disparitas Pembangunan antar Wilayah Isu utama masalah pembangunan regional dewasa ini adalah disparitas yang meliputi (1) disparitas antar wrlayah (2) disparitas antar sektor ekonomi dan
(3) disparitas antar golongan masyarakat/individu. Pernasalahan ini disebabkan antara lain oleh perencanaan pembangunan yang bersifat sentralistik, lop down, &an scragam. Konscp p~mbangunanekonomi lebih menekankan pertumbuhan dibandingkan redistribusi pendapatan yang adil, sesuai dengan keadaan budaya penguasa (rezim) yang selarna ini temyata menyisakan ketimpangan seperti di atas. Penyebab disparitas pcmbangunan karena faktor alami, kondisi sosial budaya dan keputusan-keputusan kebijakan. Faktor alami meliputi kondisi agroklimat, sumberdaya alam, lokasi geografis, jarak pelabuan dengan pusat aktivitas ekonomi, wilayah potensial untuk pembangunan ekonomi. Sementara faktor sosial budaya meliputi tradisi, mobilitas ekonomi, inovasi dan kewirausahaan. Sedangkan keputusan kebijakan adalah sejauhmana kebijakan yang mendukung secara langsung atau tidak langsung terjadinya disparitas pembangunan. Disparitas antar wilayah berarti perbedaan tingkat pertumbuhan antar wilayah. Disparitas antar wilavah ini dapat terletak pada perkembangan sektorsektor pertmian, industri, perdagangan, perbankan, aswansi, transportasi, komunikasi, perkembangan infrastruktw, pendidikan, pelayanan kesebatan, fasilitas penunahan dan sebagainya. Secara lebih terperinci terdapat beberapa
faktor utama (Murty, 2000) yang menyebabkan terjadinya kesenjangan pembangunan antar wilayah antara lain:
1. Faktor geografis Suatu wilayah atau daerah yang sangat luas akan tejadi variasi pada keadaan fisik alam berupa topografi, iklim, curah hujan, sumberdaya mineral dan variasi spasial laimya. Apabila faklor-faktor lainnya baik, dan ditunjang dengan kondisi geografis yang baik, maka wilayah tersebut akan berkembang dengan baik. 2. Faktor historis Perkembangan masyarakat dalam suatu wilayah tergantung dari kegiatan atau budaya hidup yang telah dilakukan di masa lalu. Bentuk kelembagaan, budaya atau kehidupan perekonomian pada masa lalu merupakan penyebab yang cukup penting terutama yang terkait dengan sistem insentif terhadap kapasitas kerja.
3. Faktor politis Tidak stabilnya suhu politik sangat mempengaruhi perkembangan dan pembangunan di suatu wilayah. Instabilitas politik akan menyebabkan orang ragu untuk untuk berusaha atau melakukan investasi sehingga kegiatan ekonomi suatu wilayah tidak akan berkembang. Bahkan pelarian modal ke luar wilayah untuk diinvestasikan ke wilayah yang lebih stabil.
4. Faktor kebijakan Terjadinya kesenjangan antar wilayah bisa diakibatkan oleh kebijakan pemerintah. Kebijakan pemerintah yang sentralistik hampir Ji semua sektor, dan lebih menekan petumbuhan dan membangunan pusat-pusat pembangunan di antar daerah. wilayah tertentu menyebabkan kesenjangan yang luar 1~1asa 5. Faktor administratif
t
Kesenjangan wilayah dapat terjadi karena kemampuan pengelola administrasi. Wilayah yang dikelola dengan administrasi yang baik cenderung lebih maju. Wilayah yang ingin maju harus mempunyai administator yang jujur, terpelajar, terlatih, dengan sistem administrasi ymg efisien. 6. Faktor sosial Masyarakat dengan kepercayaan-kepercayaan yang primitif, kepercayaan tradisional dan nilai-nilai sosial yang cenderung dan menghambat perkembangan ekonomi. Sebaliknya masyarakat yang relatif maju pada umumnya memiliki
institusi dan perilaku yang kondusif untuk berkembang, perbedaan ini merupakan salah satu penyebab kesenjangan wilayah.
7. Faktor ekonomi Faktor ekonomi yang menyebabkan kesenjangan antar wilayah yaitu: a) Perbedaan kuantitas dan kualitas dari faktor produksi yang dimiliki seperti lahan, infrastruktur, tenaga kerja, modal, organisasi dan perusahaan. b) Terkait akumulasi dari berbagai faktor. Salah satu lingkaran kemiskinan, kemudian kondisi masyarakat yang tertinggal, standar hidup rendah, efisiensi rendah, konsumsi rendah, tabungan rendah, investasi rendah dan penggangguran meningkat. Sebaliknya di wilayah yang maju, masyarakat maju, standar hidup tinggi, pendapatan semakin meningkat tabungan semakin banyak yang pada akhimya masyarakat semakin maiu. c) Kekuatan pasar bebas telah mengakibatkan faktor-faktor ekonomi seperti tenaga kerja modal, perbankan dan asuransi yang dalam ekonomi makin memberikan hasil yang lebih besar, cenderung terkonsentrasi di wilayah maju. d) Terkait dengan distorsi pasar, kebijakan harga keterbatasan spesialisasi, keterbatasan keterampilan tenga kerja dan sebagainya.
2.5 Konsep Kemiskinan dan Kesejahteraan Kemiskinan menjadi topik yang dibahas dan diperdebatkan di berbagai forum nasional maupun intemasional. Mengangkat kemiskinan menjadi prioritas pembangunan merupakan ha1 yang sangat tepat, pembangunan yang tidak dikaitkan dengan masalah kemiskinan akan membuka peluang munculnya pennasalahan-pennasalahan jangka pendek dan jangka panjang yang akan rnembahayakan proses dan keberlanjutan pembangunan itu sendiri. Sebelum kita membicarakan kemiskinan ada baiknya kita memahami apa itu kesejahteraan. Ada banyak definisi dan konsep yang berbeda tentaqg kesejahteraan, menurut (BPS, 2002) kesejahteraan adalah fenomena multidimensional yang dapat dilihat dari
berbagai komponen yang dapat menggambarkan apakah masyarakat tersebut sudah berada pada kehidupan yang sejahtera atau belurn sejahtera. Komponen kesejahteraan yang dipakai sebagai indikator kesejahteraan masyarakat itu adalah
(a) kependudukan, (b) tingkat kesehatan dan gizi masyarakat, (c) tingkat pendidikan (d) ketenagakejaan (e) taraf dan poIa konsumsi masyarakat
(0
keadaan perumahan dan lingkungan (g) keadaan sosial budaya. Indikator utama yang digunakan untuk melihat derajat kesehatan masyarakat adalah angka kesakitan. Indikator kesejahteraan dari komponen pendidikan dilihat dari tingkat portisipasi sekolah, fasilitas sekolah, dan tingkat pendidikan yang ditamatkan. Indikator dari komponen perumahan dan lingkungan adalah kualitas rurnah tinggal yang ditentukan oleh kualitas bahan bangunan dan fasilitas dalam kehidupan sehari-hari. Pola pengeluaran rumah tangga didekati dari pengeluaran untuk makan dan pengeluaran untuk non makanan. Sehingga karakteristik sosial ekonomi atau tingkat kesejahteraan masyarakat yang lebih spesifik disimpulkan berdasarkan: 1. Konsumsi/pengeluaran/per~~apatan 2. Kesehatan, pendidikan, perumahan dan permukiman 3. Sosial budaya, kesejahteraan rumah tangga.
Sedangkan menurut Menkokesra (2005) dalam Lumbessy (2005) bahwa faktor-faktor yang memperburuk kondisi kesejahteraan rakyat antara lain: 1. Tingkat pendapatan yang masih rendah 2. Pengangguran yang masih tinggi
3. Biaya hidup yang masih tinggi dan pemenuhsn kebutuhan hidup sehari-hari yang masih sulit dipenuhi oleh masyarakat lapisan bawab 4. Kurangnya penghayatan, pengamalan, pengembangan nilai keagamaan
5. Lambatnya pengembangan sumberdaya manusia 6. Lemahnya kapasitas dan kualitas sumberdaya manusia termasuk aparatur
negara 7. Lemahnya daya dorong perekonomian 8. Tingginya kesenjangan antar daerah 9 . Menumnnya penyediaan infrastruktur
10. Lemahnya kelembangnun sosial baik formal maupun informal 11. Menipisnya sumberdaya alam dan menurunnya daya dukung lingkungan gangguan keamanan, konflik sosial serta kondisi sosial yang tidak stabil.
Jadi dalam konsep kesejahteraan tersebut, kemiskinan berarti merupakan masalah yang bersifat multidimensi sehingga dapat ditinjau dari berbagai sudut pandang. Menurut Sumodiningrat (1999) diklasifikasikan dalam lima kelas antara lain: 1. Kemiskinan absolut diartikan apabila tingkat pendapatan seseorang di bawah garis kemiskinan atau sejumlah pendapatannya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup minimum (basic needs) seperti pangan, sandang, papan, kesehatan dan pendidikan.
2. Kemiskinan relatif adalah bila seseorang mempunyai penghasilan di atas garis kemiskinan, namun relatif lebih rendah dibandingkan dengan pendapatan masyarakat disekitamya. 3. Kemiskinan kultur
mengacu ,nda sikap seseorang atau ma3yarakat yang
disebabkan oleh faktor budaya tidak mau beru aha memperbaiki tingkat kehidupan meskipun ada usaha luar membantunya. 4. Kemiskinan kronis uisebabkan oleh beberapa ha1 yaitu: (1) kondisi sosial
budaya yang mendorong sikap dan kebiasaan masyarakat yang tidak produktif; (2) keterbatasan sumberdaya dan keterisolasian; (3) rendahnya tingkat
pendidikan;
(4)
terbatasnya
lapangan
pekejaan;
dan
(5)
ketidakberdayaan masyarakat dalam mengikuti ekonomi pasar. 5. Kemiskinan sementara terjadi akibat adanya pembahan siklus ekonomi dari kondisi normal menjadi krisis ekonomi, pembahan musiman seperti kemiskinan nelayan, pertanian tanaman pangan dan bencana suatu kebijakan tertentu yang menyebabkan menurunnya tingkat kesejahteraan suatu masyarakat. Menurut Suryawati (2005) Kemiskinan dalam dimensi ekonomi paling mudah untuk diamati, diukur, dan diperbandingkan. Ada beberapa metode pengukuran tingkat kemiskinan yang dikembangkan di Indo~~esia yaitu:
1. Biro Pusat Statistik (BPS): 'ngkat kemiskinan didasarkan pada jumlah rupiah konsumsi berupa makanan yaitu kurang dari 2100 kalori per orang per hari (dari 52 jenis komoditi yang dianggap mewakili pola konsumsi penduduk yang berada di lapisan bawah), dan konsumsi nonmakanan (dari 45 jenis komoditi makanan sesuai kesepakatan nasional dan tidak dibedakan antara wilayah
pedesaan dan perkotaan). Patokan kecukupan 2100 kalori ini berlaku untuk susunan umur, jenis kelamin, d m perkiraan tingkat kegiatan fisik, berat badan, serta perkiraan status fisiologis penduduk.
2. Sayogyo: tingkat kemiskinan didasarkan jumlah rupiah pengeluaran rumah tangga yang disetarakan dengan jumlah kilogram konsumsi beras per orang per tahun dan dibagi wilayah pcrdcsaan dan perkotaan. Daerah perdesaan: a) Miskin: bila pengeluaran keluarga lebih kecil daripada 320 kg nilai tukar beras per orang per tahun. b) Miskin sekali: bila pengeluaran keluarga lebih kecil daripada 240 kg nilai tukar beras per orang per tahun. c) Paling miskin: bila pengeluaran keluarga lebih kecil daripada 180 kg nilai tukar beras per orang pci tahun. Daerah perkotaan: a) Miskin: bila pengeluaran keluarga lebih kecil daripada 480 kg nilai tukar beras per orang per tahun. b) Miskin sekali: bila pengeluaran keluarga lebih kecil daripada 380 kg nilai tukar beras per orang per tahun. c) Paling miskin: bila pengeluaran keluarga lebih kecil daripada 270 kg nilai
tukar beras per orang per tahun.
3. Bank Dunia: Bank Duria mengukur garis kemiskinan berdasarkan pada pendapatan seseorang kurang dari US$] per hari 4. Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasicnal (BKKBN): mengukur kemiskinan berdasarkan kriteria Keluarga Pra Sejahtera (Pra KS) dan Keluarga Sejahteraan I (KS 1). Kriteria Keluarga Pra KS yaitu keluarga yang tidak mempunyai kemampuan untuk menjalankan perintah agarna dengan baik, minimum makan dua kali sehari, membeli lebih dari satu stel pakaian per orang per tahun, lantai rumah bersemen lebih dari 80%
dan berobat ke
Puskesmas bila sakit. Kriteria Keluarga Sejahtera 1 (KS 1) yaitu keluarga yang tidak berkemampuan untuk melaksanakan perintah agarna dengan baik, minimal satu kali per minggu makan dagingJtelorJikan, membeli pakaian satu stel per tahun, rata-rata luas lantai rumah 8 m2 per anggota keluarga, tidak ada
anggota keluarga umur 10 sampai 60 tahun yang buta huruf, semua anak berumur antara 5 sampai 15 tahun bersekolah, satu dari anggota keluarga mempunyai penghasilan rutin atau tetap, dan tidak ada yang sakit selama tiga bulan. Penetapan pengukuran dan kriteria kemiskinan secara nasional sangat sulit. Masih diperlukan kajian yang dapat mengakomodasikan permasalahan kemiskinan yang kompleks baik dari segi ekonomi, budaya, sosial, psikologik, dan geografik yang sangat bewariasi di Indonesia. Pengukuran kemiskinan sangat dipengaruhi oleh perspektif income poverfy yang menggunakan pendapatan sebagai satu satunya indikator garis kemiskinan. Di bawah kepemimpinan ekonom asal Pakistan, Mahbub U1 Haq, pada tahun 1990-an UNDP memperken?lkan pendekatan Human Development yang diformulasikan dalam bentuk Indeks Pembangunan Manusia
(Human
Development Index) dan Indeks Kemiskinan Manusia (Human Poverty Index). Dibandingkan dengan petldekatan yang dipakai Bank Dunia, pendekatan UNDP relatif lebih komprehensif karena bukan hanya mencakup dimensi ekonomi (pendapatan), melainkan juga pendidikan (angka melek huruf), dan kesehatan (angka harapan hidup). Pendekatan kemiskinan versi UNDP berporos pada paradigma pembangunan populis atau kerakyatan (popular development paradigm) yang memadukan konsep pemenuhan kebutuhan dasar dari Paul Streeten dan teori kapabilitas yang dikembangkan peraih Nobel ekonomi 1998, Amartya Sen (Suharto, 2000) Menurut kajian penelitian Suryawati (2005) Indonesia sebagai salah satu negara yang sedang berkembang, secara konsisten telah melakukan pembangunan nasional mulai zaman Orde Baru (tahun 1966 sampai dengan 1998) dan dilanjutkan dengan Orde Reformasi (1998 sampai sekarang) tidak lepas dari permasalahan kemiskinan. J~unlahpenduduk miskin di tahun 1970 berjumlah 70 juta jiwa (60%) turun menjadi 22 juta jiwa (1 1%) pada tahun 1997, tetapi meniiigkat pesat menjadi 80 juta jiwa pada tahun 1998 ketika krisis ekonomi melanda Indonesia (Tabel 2).
Tabel 2 Perkembangan Pendudul; Miskin di Indonesia Tahun 1970-2007 Tahun
Junilah Cjuta jiwa)
Persentase
1970 1976 1980 1984 1987 1990 1993 1996
70,O 54,2 43,2 35.0 30.0 27,2 25.9 343
60,O 40,4 28,6 21,6 17,4 15,l 13,7 17.5
2006 2007
39.3 37.2
17.8 16.6
Sumber: BPS berbagai edisi Pada rentang tahun 1981 sampai dengan 2001 jumlah penduduk miskin di dunia tumn dari 1,5 milyar orang (40%) menjadi 1,l milyar orang (21%). Angka ini mempakan statistik Bank Dunia yang mengukur garis kemiskinan berdasarkan pendapatan seseorang kurang dari US$l per hari (sztara Rp8.500,OO per hari). 2.6 Distribusi Pendapatan
Distribusi pendapatan pada dasarnya mcr~pakan konsep mengenai penyebaran pendapatan di setiap orang atau ~ m a htangga dalam masyarakat. Konsep pengukuran distribusi pendapatan dapat ditunjukan oleh dua konsep pokok, yaitu ketimpangan absolut dan konsep ketimpangan relatif. Ketimpangan absolut merupakan konsep pengukuran ketimpangan yang menggunakan parnrneter dengan suatu nilai mutlak. Ketirnpangan relatif merupakan konsep pengukuran ketimpangan distribusi pendapatan yang membandingkan besarnya pendapatan yang diterima oleh seseorang atau sekelompok anggota masyarakat dengan besamya total pendapatan yang diterima oleh masyarakat secara keselumhan (Sukirno, 1985).
Menurut Todaro (2003), ketimpangan distribusi pendapatan dapat digambarkan oleh kurva lorenz. Kurva ini terletak dalam sebuah bujur sangkar yang sisi tegaknya melambangkan presentase kumulatif pendapatan nasional sedangkan sisi datamya melambangkan persentase kumulatif penduduk. Kurva lorenz yang semakin dekat ke arah diagonal (semakin lurus) menyiratkan distribusi
pendapatan nasional yang semakin merata. Sebagai
contoh, titik tengah garis diagonal melambangkan 50 persen pendapatan yang tepat didistribusikan untuk 50% dari jumlah penduduk. Titik yang terletak pada posisi tiga perempat garis diagonal melambangkan 75 % pendapatan nasional yang didistribusikan kepada 75 persen dari jurnlah penduduk. Dengan kata lain, garis diagonal tersebut merupakan garis pemerataan sempurna. Sebaliknya jika kurva lorenz semakin jauh dari diagonal (semakin melengkung) maka mencermi~~kan keadaan yang semahin memburuk, distribusi pendal latan nasional makin timpang atau tidak merata (Todaro, 2003). C ambar 3 memperlihatkan pengukuran ratio gini dengan kadar kemerataan distribusi pendapatan nasional yang angka berkisar antara 0 hingga 1.
Persentase pendapatan Nasional
Persentase kumulatif penduduk nasional Gambar 3 Pengukuran gini ratio dengan menggunakan kurva Lorenz. Koefisien semakin kecil (semakin mendekati nol) artinya semakin baik atau lebih terdistribusi secara merata. Di lain pihak, koefisien yang semakin besar
(semakin mendekati satu) mengisyaratkan distribusi semakin timpang atau senjang. Angka gini ratio dapat ditaksir secara visual langsung dari kuwa lorenz yaitu perbandingan luas a r u segitiga BCD. Semakin melengkung kuwa lorenz akan semakin luas area segitiga yang dibagi maka ratio gininya akan semakin besar, menyiratkan distribusi pendapatan semaki~~ timpang. Todaro (2003) memberikan batasan bahwa negara-negara yang ketimpanganya tinggi maka koefisien gini terletak antara 0,50 sampai 0,70, sedangkan untuk negara-negara yang ketimpangannya relatif rendah atau merata koefisien gininya terletak antara 0,20-0,35. 2.7 Persepsi
Persepsi pada hakikatnya adalah proses kognitif yang dialami oleh setiap orang di dalam memahami informasi tentang lingkungannya baik melalui penglihatan, pendengaran, penglihatan, perasaan dan penciurnan. Kunci untuk memahami persepsi adalah terletak
pada pengenalan bahan persepsi ini
me~pzikansuatu penaksiran yang unik terhadap situasi dan bukannya suatu pencatatan yang benar terhadap situasi (Thoha, 1999) Menurut Asngari (1984) persepsi adalah pemahaman atau pandangan seseorang tentang segala sesuatu yang ada disekitamya. Selanjutnya dikemukakan bahwa persepsi orang dipengaruhi oleh pandangan seseorang pada suatu keadaan, fakta atau tindakan. Karena itu individu perlu mengerti dengan jelas tugas dan tanggung jawab yang dipikulkan kepadanya. Persepsi adalah pengalaman tentang objek dan hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan. Persepsi memberikan stimulasi inderawi (sensory stimuli). Hubungan sensa: i dan penepsi adalah jelas bahwa sensasi bagian dari persepsi. Wa.3upun begitu menafsirkan makna informasi inderawi tidak hanya melibatkan sensasi, tetapi juga atensi berhatian) ekspektasi (harapan), motivasi dan memori. Persepsi seperti juga sensasi ditentukan oleh faktor personal dan situasional (Rahmat, 2000). Tentang faktor-faktor yang berpengaruh pada persepsi, Krech & Crutchfield (Sarwono, 1983) menyatakan bahwa ada dua golongan variabel yang mempengamhi persepsi yaitu (1) variabel struktural yaitu faktor yang terkandung
dalam rangsangan fisik d m proses neurofisikologi dan (2) variabel fungsional yaitu faktor-faktor yang terdapat dalam diri si pengamat seperti kebutuhan, suasana hati, pengalaman masa lalu d m sifat-sifat individual lainnya. 2.8 Struktur Keuangan Negara dan APBD Salah satu pembahan mendasar dengan ditetapkannya UU Nomor 22 Tahun 1999 dan UU Nomor 25 Tahun 1999 adalah pengelolaan keuangan daerah. Kedua UU tersebut telah memberikan kewenangan yang lebih luas kepada pemerintah daerah dalam menata sistem pengelolaan keuangan daerah. Kewenangan dimaksud adalah keleluasaan dalam mobilisasi sumber dana, menentukan arah, tujuan d: n target penggunaan anggaran. Selanjutnya, pada tahun 2003 telah diterbitkan satu undang-undang yang mengatur pengelolaan keuangan negara, yaitu UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (Mulyana, 2006). Selama ini pelaksanaan pengelolaan keuangan negara masih menggunakan ketentuan pemndang-undangan yang disusun pada masa Pemerintahan Kolonial Hindia Belanda. Sebelum masa kemerdekaan ditetapkan pertama kali pada tahun 1864 dan mulai berlaku pada tahun 1867, Indische Bedrijvenwet (IBW) Stbl. 1927
No. 419 jo. Stbl. 1936 No. 445 dan Reglement voor hef Administratief Beheer (RAB) Stbl. 1933 No. 381. Sementara itu, dalam pelaksanaan pemeriksaan
pertanggungjawaban keuangan negara digunakan Instructieen verdere bepalingen voor de Algemeene Rekenkamer (IAR) Stbl. 1933 No. 320. Peraturan perundang-
undangan
pra-kemerdekaan
tidak
dapat
mengakomodasikan
berbagai
perkembangan yang tejadi dalam sistem kelembagaan negara dan pengelolaan keuangan pemerintahan negara Republik Indonesia. Oleh karena itu, meskipun berbagai ketentuan tersebut secara formal masih tetap berlaku, namun secara materiil sebagian dari ketentuan dalarn peraturan perundang-undangan dimaksud tidak lagi dilaksanakan (Mulyana, 2006). Pada awal kemerdekaan berdasarkan Aturan Peralihan Undang-Undang
Dasar 1945, yaitu Indische Compfabilifei~swet, yang lebih dikenal dengan nama
ICW Stbl. 1925 No. 448. Selanjutnya ketentuan tersebut diubah dan diundangkan
dalam Lembaran Negara 1954 Nomor 6. Lembaran Negara 1955 Nomor 49, dan terakhir Undang-undang Nomor 9 Tahun 1968 (Mulyana, 2006) Salah satu aspek penting dalam perwujudan otonomi daerah adalah pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan daerah. Dalam ha1 ini Pemerintah Daerah diberikan kewenangan yang cukup luas untuk bisa mengelola aspek tersebut demi kepentingan daerahnya masing-masing namun tetap dalam kerangka kepentingan nasional. Berkaitan dengan itu, otonomi daerah khususnya dalam aspek keuangan dijabarkan melalui beberapa aturan pelaksanaan sebagai berikut : 1. Peraturan Pemerintah Nomor 104 Tahun 2000 tentang Dana Perimbangan. 2. Peraturan Pemerintah Nomor 105 Tahun 2000 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah.
3. Peraturan Pemerintah Nomor 106 Tahun 2000 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban
Keuangan
Daerah
dalam
rangka
Pelaksanaan
Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan. 4. Peraturan Pemerintah Nomor 107 Tahun 2000 tentang Pinjaman Daerah. 5. Peraturan Pemerintah Nomor
108 Tahun 2000 tentang Tata Cara
Pertanggungjawaban Kepala Daerah. 6. Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2000 tentang Kedudukan Keuangan Daerah.
7. Peraturan Pemerintah nomor 110 Tahun 2000 tentang Kedudukan Keuangan DPRD. Pada awal tahun 1980-an dikeluarkan Permendagri Nomor 9001099 tentang Manual Administrasi Keuangan Daerah (MAKUDA), Permendagri Nomor 020-595 tentang Manual Administrasi Barang Daeral~,dan Permendagri Nomor 970 tentang Manual Administrasi Pendapatm Daerah. Kelemahan paling mendasar sistem administrasi keuangan daerah adalah masih iiterapkannya pembukuan tunggal (singleentry bookkeeping) dan 1zrbasis kas (cash basis). Secara struktural, yaitu Penerimaan meliputi sisa lebih anggaran tahun lalu, Pendapatan Asli Daerah (PAD), bagi hasil pajak dan bukan pajak, sumbangan dan b a n t w , dan pinjaman. Sedangkan belanja dibagi menjadi belanja mtin dan Belanja pembangunan (Mulyana, 2006).
Perubahan format yang berbasis Manual Administrasi Keuangan Daerah (Makuda 1981) (format lama) diganti dengan format yang berbasis Kinerja dengan berdasarkan Kepmendagri 29 Tahun 2032. Perundangan Kepmendagri 29 Tahun 2009 tersebut tentang Pedoman Pengurusan, Pertanggungjawaban dan Pengawasan Keuangan Daerah serta Tata Cara Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, Pelaksanaan Tata Usaha Keuangan Daerah dan Penyusunan Perhitungan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. Pembahan struktur anggaran belanja dalam APBD berdasarkan (MAKUDA 1981) berbeda dengan struktur belanja dalam APBD tahun Anggaran 2003-2006 (kepemendagri No 29 Tahun 2002). Perbedaan tersebut karena adanya perubahan sistem pencatatan dari
" Single Entry" ke
"
Double Entry" (dari sistem tunggal ke sistem berpasangan)
yang berbasis kinerja dan prt stasi (Mulyana, 2006) Struktur keuangan daerah Berdasarkan Kepmendagri 29 Tahun 2002 merupakan satu kesatuan yang terdiri dari (a). PerAuapatanDaerah, (b). Belanja Daerah, dan (c). Pembiayaan. Dalam ha1 ini, yang dimaksud dengan satu kesatuan adalah dokumen APBD yang merupakan rangkuman seluruh jenis pendapatan, jenis belanja dan sumber-sumber pembiayaannya. Pendapatan daerah dirinci menurut kelompok pendapatan dan jenis pendapatan. Kelompok pendapatan meliputi Pendapatan Asli Daerah, Dana Perimbangan, dan Lain-lain Pendapatan Daerah yang Sah dan menurut jenis pendapatan misalnya Pajak Daerah, Retribusi Daerah, Dana Alokasi Umurn dan Dana Alokasi Khusus (Mulyana, 2006). Sementara itu, belanja dirinci menurut organisasi, fungsi dan jenis belanja. yang dimaksud dengan belanja menurut organisasi adalah suatu kesatuan pengguna anggaran seperti DPRD dan Sekretariat DPRD, Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, Sekretariat Daerah, serta Dinas Daerah dan Lembaga Teknis Daerah lainnya. Fungsi belanja misalnya pendidikan, kesehatan, dan fungsi-fungsi lainnya. Jenis belanja maksudnya adalah belanja pegawai, belanja barang,
belanja
pemeliharaan,
belanja
perjalanan
dinas
dan
belanja
modal/pembangunan (Mulyana, 2006) Selanjutnya, pembiayaan dirinci menurut sumber pembiayaan. Sumbersumber pembiayaan yang merupakan penerimaan daerah antara lain, yaitu sisa lebih perhitungan anggaran tahun lalu, penerimaan pinjaman dan obligasi serta
penerimaan dari penjualan asset daerah yang dipisahkan. Sumber pembiayaan yang merupakan pengeluaran yaitu pembayaran hutang pokok. Sedangkan selisih lebih pendapatan daerah terhadap belanja daerah disebut surplus anggaran. Sedangkan selisih kurang Pendapatan Daerah terhadap Belanja Daerah disebut defisit anggaran (Mulyana, 2006). Anggaran untuk membiayai pengeluaran yang sifatnya tidak terduga disediakan dalam bagian anggaran ?engeluaran tidak terduga. Pengeluaran yang dibebankan pada pengeluaran tidak terduga adalah untuk penanganan bencana alam, bencana sosial, dan pengeluaran tidak terduga lainnya, yang sangat diperlukan dalam ranpka penyelenggaraan kewenangan pemerintah daerah (Mulyana, 2006) Belanja Aparatur Daerah adalab. bagian belanja berupa : Belanja Administrasi Umum, Belanja Operasi dan Pemeliharaan, serta Belanja ModdPernbangunan yang dialokasikan pada atau digunakan untuk membiayai kegiatan yang hasil (outcome), manfaat (benefit), dan dampaknya (impact) tidak secara langsung dinikmati oleh masyarakat. Sedangkan Belanja Pelayanan Publik adalah bagian belanja berupa : Belanja Administrasi Umum, Belanja Operasi dan Pemeliharaan, serta Belanja Modal/Pembangunan yang dialokasikan pada atau digunakan untuk membiayai kegiatan yang hasil (outcome), manfaat (benefit), dan dampaknya (impact) secara langsung dinikmati oleh masyarakat (publik) (Mulyana, 2006). Kepmendagri Nomor 29 Tahun 2002 tersebut berjalan hanya sampai 4 tahun dan direvisi kembali dengan PP 58 Tahun 2005 tentang pengelofaan keuangan yang ketentuan lebih lanjutnya dijelaskan oleh Permendagri No 13 Tahun 2006 tentang pedoman pengelolaan keuangan daerah sebagai pengganti Kepmendagri No 29 Tahun 2002. Permendagri No 13 Tahun 2006 ini sebagai pedoman umum bagi pemerintahan daerah dalam melaksanakan tata kelola keuangannya, yang tentu saja dalan~rangka perbaikan inenajemen keuangan daerah yang sehat tercapai transparansi, akuntabilitas. Tabel 3 disajikan struktur belanja daerah dengan berbagai peraturan yang berlaku (Mulyana, 2006).
Tabel 3 Pemetaan Format Anggaran Pemerintah KabupatenKota Berdasarkan Beberapa Peratwan M A K U D A 1981 Rutin
Pcngeluaran Staf
..... -..-..... -.......................... Rutin
Kepmendagri NO 29iZ002 AparalurPengeluaran Adm umum Staf
Publik-adm umum -. ... -.........................................
Permendaeri Nol3I2006 Belanja
Pengeluaran staf -..... -...........
-
Pcngcluaran Star
tidak Langsung
-........ -................
Pemhayarnn
-...................... Pembayaran Bunga
Hut.angd~?~~~cga. .
...
.aa.aa.aaaa....a.a.a..aa.a..aaaaa..aaaa.aaaa..aaaa..aa.aaaaa.aaa.a.......a.a.....a.a....aa.aa...a...a...a......
Rulin
Subsidi Pengeluaran yang tidak termasuk dalam pengeluaran lainya
.
.. llibah Rutin
Pcnsiun dan Santunan
Rutin
Subsidi IBantuan
Dana Bagi hasil
Keuangan Untuk Pemcrintah diTingka' yidng icbih rcndnh
dan Bantuan Keuangan
Rutin
Pen~cluaran tdk re!dug_a ...g_a.g_a.g_a...g_a...
Rutin
Barang &jasa Opcrasional &
Pemeliharaan Biava nerialanan .................................................Dinus ................................................................
. . -
Bantuan Sosial
Bantuan Kcuangan untuk pemcrinlah daereh atau desa Pengeluamn Tnk
Pengcluarantak AparaturOperasional &pernwatan PublikOperasional &perawalan AparalurOperasional &perawatan
I'ublik0pcr;aionul &pcrawulan
Aparatur Publik
Sumber: Mulyana, 2006
Pembagian pendapalun untuk pemerintah daerah atau desa
..-Te!d%! Pengcluaran
.~._.-.g_a.g_a.g_a.g_a.g_a.g_a.g_a..
Staf
Belanja 1.angsung
l_'erdue Belanja Barang dan Jasd
Pcngeli~aran
Staf
Barang & Jasa Biaya perjalanan Dinas Operasional dan pcrawatan Lain-lain I3nra11g& Jasa LIiaya pcrjalanull Dines Opernsional dan perawntan Loin-lain Belanja Modal Belanja Modal
Pengeluaran Staf
Belanja Modal
2.9 Penelitian Terdahulu
Berdasarkan hasil penelitian terdahulu yang relevan dengan permasalahan yang akan diangkat dan juga wilayah sebagai lokasi penelitiannya. Penelitian dari Nazara (2006) ingin mengetahui dampak otonomi daerah terhadap pemekaran Provinsi Banten mengunakan alat analisis shifshare. Dapat disimpulkan setelah berlakunya kebijakan otonomi daerah, PDRB Provinsi Banten semakin meningkat. Apabila dilihat per sektor maka sektor keuangan, persewaan dan jasa memiliki laju pertumbuhan yanr paling cepat, dan sektor pertambangan merupakan sektor yang laju perturnbuhanya paling lambat. Namun jika dibandingkan dengan Provinsi Jawa Barat, pada masa otonomi daerah, PDRB Provinsi Banten masih lebih kecil dari pada PDRB Propinsi Jawa barat. Penelitian Lubis (2008) mengangkat kajian pencapaian tujuan pokok Millenium Development Goals (MDGs) dan faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan kesempatan kerja Provinsi Banten 1996-2005. Hasilnya dapat disimpulkan bahwa kondisi perekonomian Provinsi Banten secara umum semakin membaik sejak diberlakukannya otonomi daerah. Dalam kurun waktu 2001-2005 tejadi berbagai perubahan kc arah yang lebih baik yang mendukung pencapaian Millenium Development Goals. Tiga target pokok MDGs menunjukkan bahwa dalam pertumbuhan ekonomi masa otonomi daerah cenderung meningkat terutama sektor jasa dan sektor industri. Kemudian kedua jika dilihat dari sisi tingkat pemerataan pendapatan yang dilihat dari koefisien gini, Provinsi Banten memiliki distribusi pendapatan yang cukup merata di tiap daerahnya yaitu antara 0.2-0.35. Jika diperhatikan per-wilayah, masih terdapat ketimpangan distribusi antara perdesaan
dan perkotaan. Dan yang ketiga, dari sisi pertumbuhan kesempatan kerja, faktor yang paling baik untuk lebih menyerap tenaga kerja adalah Sektor industri merupakan sektor yang paling banyak menyerap investasi di Provinsi Banten. Hal ini sesuai dengan karakteristik ekonomi di Provinsi Banten yang cenderung didominasi oleh sektor industri yang memiliki kontribusi yang paling besar terhadap PDRB. Sektor perdagangan, hotel dan restoran merupakan sektor yang mengalami penguatan selama otonomi daerah, sementara sektor pertanian masih merupakan yang lebih padat karya (Lubis, 2008).
Usman (2006) mengkaji dampak desentralisasi fiskal terhadap kemiskinan dan distribusi pendapatan, menyimpulkan desentralisasi fiskal memiliki arah positif dengan kinerja fiskal dan perekonomian. Kinerja desentralisasi fiskal memiliki arah negatif terhadap distribusi pendapatan, tetapi secara statistik pengaruhnya tidak nyata. Desentralisasi fiskal menyebabkan distribusi pendapatan semakin merata namun ha1 ini baru sebatas indikasi karena belum terbukti nyata. Sementara itu desentralisasi fiskal memiliki pengaruh negatif terhadap indeks kemiskinax dengan pengaruh y a l g nyata. Menurunnya indek; kemiskinan mengandung arti semakin kecil tingkat kemiskinan, scmakin kecilnya gap antara rata-rata pendapatan penduduk miskin dan garis kemiskinan, serta semakin kecilnya variasi di antari penduduk miskin. Hasil simulasi model padd pengeluaran pemerintah pada sektor pertanian, sektor pendidikan dan kesehatan, serta sektor perumahan clan kesejahteraan. berdampak positif terhadap kinerja ekonomi, pemerataan pendapatan dan penurunan tingkat kemiskinan. Dari ketiga pengeluaran pemerintah tersebut peningkatan pengeluaran untuk sektor pertanian memberikan pengaruh paling besar. Hal ini dimungkinkan karena sektor pertanian memiliki linkages (keterkaitan) yang besar terhadap sektor lain baik di bidang hulu maupun dibidang hilir. Pada bagian hulu sektor pertanian dapat menyerap tenaga kej a yang banyak. Pada bagian hilir, hasil pertanian banyak digunakan sebagai input antara berbagai macam industri. Pengeluaran pemerintah untuk sek,or pendidikan dan kesehatan adalah yang paling kecil pengaruhnya. Hal ini dikarenakan pendidikan dan kesehatan hanya dirasakan pengaruhnya pada jangka panjang. Pendidikan dan kesehatan akan rneningkatkar iumberdaya manusia di masa yang akan datang, yang artinya akan meningkatkan taraf hidup masyarakat dan melepaskannya dari jeratan kemiskinan (Usman, 2006). Hasil penelitian Hermawan (2007) kajian desentralisasi fiskal terhadap pemerataan keuangan dan kineja pembangunan daerah antar kabupaten dan kota di Provinsi Banten (2001-2005). Komposisi peran alokasi minimal dalam formula
DAU yang relatif masih tinggi, tahun 2001 komposisi alokasi minimal sebesar 80 % dan tahun anggaran 2005 menjadi 35% (provinsi) dan 45% (Kabupatenlkota).
Komposisi ini tentu akan menguntungkan daerah-daerah y ~ memiliki g kapasitas
fiskal yang tinggi. Seharusnya daerah tersebut mendapatkan DAU yang kecil atau tidak mendapatkan sama sekali, tetapi dengan itomposisi tersebut mereka mendapatkan minimal sebesar alokasi minimal ditambah lumpsum. Kineja pembangunan daerah Provinsi Banten, Peranan DAU terhadap kinerja pembangunan kabupa:- dkota di Provinsi Banten (2001-2005) dengan menggunakan panel data menunjukkan bahwa desentralisasi belum mampu mendukung perkembangan perekonomian di Kota Cilegon, Kabupaten Serang dan Kabupaten Pandeglang. Hasil estimasi panel data di ketiga wilayah tersebut menunjukan nilai DAU negatif artinya bahwa dengan adanya alokasi DAU cenderung mendorong ketiga daerah tersebut kurang kreatif dalam melakukan keragaman perekonomian (Hermawan, 2007). Dari hasil kajian terdahulu tersebut peneliti ingin mengkaji mengenai dampak otonomi daerah terhadap kemiskinan ~~i dan distribusi pendapatan antar kabupaten dan kota di P r o v i ~Banten.