11. TINJAUAN PUSTAKA MINYAK KELAPA SAWIT Minyak kelapa sawit (crude palm oil, CPO) diperoleh dari buah tanaman kelapa sawit (Elaeis pineensis JACQ). Proses pengolahan kelapa sawit untuk menghasilkan minyak kelapa sawit secara garis besar disajikan pada Garnbar 1. Bentuk yang paling banyak diperdagangkan adalah minyak kelapa sawit yang dapat diolah menjadi berbagai produk hilir. Produktivitas ideal kebun kelapa sawit adalah 25,9 hingga 30,2 ton tandan buah segar/ha per tahun, yang akan rnenghasilkan minyak kelapa sawit sekitar 6,7 hingga 7,O ton/ha per tahun (Tim Penulis Penebar Swadaya, 1997). Namun demikian, PTP Nusantara VI (1999) melaporkan bahwa produktivitas rata-rata kebun kclapa sawit per tahun yang dikelolanya adalah 18,9 ton tandan buah segarha yang menghasilkan 4,17 ton MKS/ha. Produktivitas kebun kelapa sawit dipengaruhi oleh varietas tanaman, kondisi agroklimat, jenis dan kesuburan tanah, serta teknologi budidaya yang diterapkan. Pada suhu karnar di daerah tropis (sekitar 27
-
30°C), minyak kelapa sawit
berbentuk cair dan sebagian fraksi tetap berbentuk padat. Pada suhu sekitar 10°C, minyak kelapa sawit berbentuk padat. Perbandingan fraksi padat pada beberapa jenis minyak dan lemak disajikan pada Tabel 2. Minyak ini mulai rnelebur pada suhu antara 25OC hingga 50°C dengan titik lebur antara 3 1°C hingga 39OC.
+ Pelurnatan Buah
I
+ + Penjernihan MKS
Pengepresan MKS
l Minyak Kelapa Sawit (MKS), Crude Palm Oil
Gambar 1. Proses pengolahan kelapa sawit untuk menghasilkan rninyak kelapa sawit (Southworth di dalam Corley er al., 1976).
Tabel 2. Proporsi fraksi padat beberapa minyak dan lemak pada berbagai suhu Proporsi fraksi padat (%)
Jenis lemak/rninyak 10°C
20°C
2S°C
Minyak kelapa
58
34
4
Minyak inti sawit
49
38
20
<1
Mentega
40
18
10
5
1
Minyak kelapa sawit
40
22
15
9
5
1
Lemak sap i
48
40
32
26
19
13
3OoC
35OC
40°C
lumber: deGraff di dalam Corley et al. (1976) menyadur Wieske (1970)
45OC
4
10
Minyak kelapa sawit mengandung cukup banyak asam palmitat yang jenuh
(CI6). Selain itu, MKS juga mengandung asam-asarn lemak talc jenuh, terutama twunan asam oleat. Menurut deGraff di dalarn Corley et al. (1976), pada MKS juga terdapat beberapa senyawa minor seperti karoten (antara 0,05 hingga 0,2 persen), sterol (0,03 persen), fosfatida (0,l persen), dan tokoferol (0,05 persen). Komposisi asam lemak, dan kandungan logam serta mineral pada minyak kelapa sawit dapat dilihat pada l'abel 3 dan .l'abel 4. Bobot jenis MKS pada suhu 50°C adalah 0,89.SeIain titik lebur, sifat fisik minyak kelapa sawit yang penting diperhatikan dalam pengangkutannya adalah titik asap (suhu ketika minyak mulai berubah menjadi asap), titik nyala (suhu ketika
produk-produk volatil terbentuk secara cepat sehingga dapat menimbulkan nyala seketika pada permukaan minyak, ignition), dan titik api (suhu ketika pengubahan produk volatil cukup cepat untuk terjadinya combuslion secara kontinyu). Ketiga nilai titik ini ditentukan oleh panjang rantai asam lemak dan kandungan asam lemak bebas (Rossell, 1986). Ketaren et al. (1994) melaporkan bahwa titik nyala minyak kelapa sawit adalah 520°F (27 1,1°C). Kadar asam lemak bebas, salah satu karakteristik penentu kualitas minyak kelapa sawit, harus ditekan serendah mungkin. Asarn lemak bebas terbentuk melalui dua cara yaitu aksi autokatalitik (akibat aktivitas lipase alarniah), dan atau aksi lipase dari mikroba lipolitik. Pada umumnya, asam lemak bebas terutama terbentuk sebelum buah kelapa sawit diproses. Naibaho dan Manurung (1994) menyatakan bahwa kadar asam lemak bebas, kotoran, dan air pada minyak kelapa sawit yang
dihasilkan dipengaruhi oleh kematangan buah dan kualitas penanganan hasil panen tandan buah segar. Tabel 3. Komposisi asam lemak minyak kelapa sawit Komponen
Jumlah (96)
Asam Laurat
0,13
Asam Miristat Asam Palmitat Asam Stearat Asam Oleat
tidak jenuh (Cl8.1)
Asam Linoleat
tidak jenuh (CIS2 )
,umber: Ketaren el Tabel 4. Kandungan logam dan mineral pada minyak kelapa sawit
I
Unsur
I
~urnlah 8,77
Tidak terdeteksi Tidak terdeteksi 41,88 0,08
N (%)
0,05
S(PP~) Na (%)
Tidak terdeteksi 0,02
lumber: Ketare et al. (1994)
12
Namun
demikian, asam lemak bebas masih &pat
terbentuk setelah
pengolahan melalui proses hidrolisis atau proses enzimatis akibat aktivitas mikroba. Kandungan asam lemak bebas juga dapat meningkat akibat pemanasan berlebihan atau berulang kali, dan oksidasi. Semakin tinggi suhu minyak, semakin cepat pembentukan asam lemak bebas jika kandungan air minyak semakin tinggi. Proses pembentukan asam lemak bebas disajikan pada Gambar 2. Selama penyimpanan dan pengangkutan, Ilal yang hams diperhatikan untuk menekan kadar asam lemak bebas adalah kandungan air hams kurang dari 0,1%, kandungan kotoran hams serendah mungkin, dan kondisi minyak hams diusahakan tetap steril. Hartley (1987) mengutip penelitian Vanneck dan Loncin (1951) mengemukakan bahwa selama penyimpanan dan pengangkutan, pembentukan asam lemak bebas terhenti jika kandungan air pada minyak k w g dari 0,1%. Coursey (1963), dan Hartley (1987) yang mengutip penelitian Loncin dan Jacobsberg (1965) menyatakan bahwa aktivitas mikroba lipolitik juga tetap terjadi jika minyak tidak bersih. Kontak minyak kelapa sawit dengan oksigen mengoksidasi asam lemak tidak jenuh
pada ikatan gandanya, sehingga membentuk senyawa peroksida yang
menyebabkan ketengikan pa&
minyak kelapa sawit. Kemasan dan kondisi
penyimpanan mempengaruhi tingkat oksidasi pada minyak kelapa sawit, karena senyawa logam dan cahaya mempercepat proses oksidasi (Nnadozie et.al, 1990; ElShatorry e t a [ , 1996).
1
0
ii
H C - 0 - C - R + 3 H 2 0 -->HC-OH katal~s
1;.
H,C-0-C-R Trigliserida
1 I .+3R-C-OH Asam Lemak
I
H,C
Bebas -
OH
Gliserol
Gambar 2. Hidrolisis trigliserida membentuk gliserol dan asam lemak bebas (Vanneck dan Loncin (1951) di dalam Hartley, 1987).
Keluhan konsurnen dalam ha1 teknis pada perdagangan minyak kelapa sawit internasional adalah mutu yang tidak sesuai (out of specz~icarion),volume yang kurang (shortage), atau ada kontaminan. Kontaminasi minyak kelapa sawit dapat terjadi hampir pada semua tahap, yaitu pengolahan, penimbunan, pengangkutan darat maupun laut, proses bongkar muat, serta pada proses pengapalan. Pada sistem transportasi konvensional moda truk tangki, kontaminasi dapat terjadi pada saat bongkar muat isi langki (Darnoko et a l . , 1993). Standar kualitas ekspor rninyak kelapa sawit Indonesia dan yang berlaku di negara pengirnpor berturutturut dapat dilihat pada Tabel 4 dan 5 .
Tabel 5. Standar Ekspor Minyak Kelapa Sawit Indonesia
I
NO.
I
Karakteristik
Syarat
1.
Warna
2.
Asam Lemak Bebas (%)
maksimum 5,00
3.
Kadar Air (%)
maksimum 0,45
1 4. 1 Kadar Kotoran (%) I
1
I
I
Kuning jingga sarnpai jingga kemerah-merahan
1
maksimum 0,05
I
Sumber: SNI No. 01-290 1-1992
Kontaminan dapat mencemari minyak kelapa sawit pada tiga tahapan transportasi yang hams dilalui minyak kelapa sawit sebelum sarnpai ke konsumen, yaitu tahap pengangkutan dari pabrik kelapa sawit ke tangki timbun, penimbunan di tangki timbun di pelabuhan,
dan pengangkutan melalui laut menuju tujuan.
Kontaminan yang dapat mencemari minyak kelapa sawit adalah logam (terutama Fe dan Cu), bahan kimia dan bahan asing lainnya seperti toluena, etilen dekolida (EDC) dan lain-lain apabila bahan-bahan tersebut menjadi muatan sebelumnya pada moda pengangkut minyak kelapa sawit; kontarninasi silang dari produk-produk turunan minyak kelapa sawit seperti stearin, minyak inti sawit; dan kontaminasi dari air laut (Subramaniam, 1985). Leong et al. (1987) melaporkan bahwa terjadi kenaikan kandungan Fe dalam RBD olein, minyak kelapa sawit, dan FU3D stearin selama transportasi minyak kelapa sawit dari Malaysia ke Korea (Tabel 7).
Tabel 6. Spesifikasi minyak kelapa sawit permintaan negara-negara Timur Tengah No.
I
Karakteristik
1.
Asam Lemak Bebas (Oh)
2.
Kadar Air (?A)
3.
Bilangan Iod
I
Standar
5.
1 Densitas pada suhu 25 dan 50°C 1 Peroksida (meq)
6.
TotaI Karoten (P-karoten mg/kg)
500 - 1000
7.
Indeks Refraksi
1,4546 - 1,4560
8.
Cu @pm)
10,4
9.
Fe (ppm)
1 5
10.
Bahan tak tersabunkan (Oh)
1,5 - 9,9
1 1.
Bilangan Penyabunan
190 - 202
12.
Warnapadasuhu50-55OC
Cerah oranye
13.
Komposisi asam lemak (%)
4.
-
1 0,892 1ll0
- 0,893
Laurat 0 - 0,4 Miristat 0,6 - 1,7 Palmitat 41,l - 4 7 Palmitoleat 0 - 0,6 Stearat 3,7 - 5,6 Oleat 38,3 - 43,5 Linoleat 6,B - 11,9 - Linolenat 0 - 0,5 - Arakhidat 0 - 0,8 Sumber: PT Perkebunan VI dalam Darnoko et al. (1993)
Tabel 7. Pembahan konsentrasi Fe pada minyak kelapa sawit selama transportasi minyak kelapa sawit dari Malaysia ke Korea Lokasi
Kandungan Fe (ppm) RSD Stearin RBD Minyak
RBD Olein
Sawit
Tangki timbun eksportir
1 Pemuatan ke kapal
0,24
1
0 3
1 3
0,3
1
0,4
I
1,6
Pembongkaran dari kapal
0,38
0,s
1,4
Tangki tongkang
0,47
0,7
1,33
Tangki timbun importir
0,52
0,7
1,s
1
Sumber: Leong et al.(1987) Dua moda transportasi yang digunakan untuk mengangkut minyak kelapa sawit melalui darat dari pabrik kelapa sawit ke pelabuhan adalah truk tangki dan gerbong kereta api. Kapasitas angkut setiap tmk tangki antara 9 hingga 13 ton, sedangkan kapasitas angkut setiap gerbong antara 13 hingga 27 ton. Tangki truk sebaiknya terbuat dari alurnunium atau baja lunak yang dilapisi epoksi pada bagian dalam. Tidak boleh ada bagian yang terbuat dari tembaga termasuk bagian pipa dan kran, karena tembaga rnempakan katalis proses oksidasi minyak yang membentuk aldehida dan keton. Beberapa sifat fisik minyak kelapa sawit yang hams diperhatikan dalam proses pengangkutannya antara lain: 1) memadat pada suhu sekitar 20-24OC; 2) suhu pengaliran dari tangki penampung melalui pipa ke truk tangki sckitar 54,4OC; dan 3) pemompaan pada suhu 48,S°C sudah memadai untuk mengalirkan minyak kelapa sawit. Suhu yang disarankan untuk pemuatan minyak kelapa sawit, stearin dan olein
17
bertumt-turut 50-55OC; 55 - 70°C; dan 30 - 35OC (Darnoko et al., 1993). Viskositas minyak kelapa sawit pada suhu 3Q°C,70°C dan 90°C berturut-turut adalah 0,1465 P a s ; 0,0194 P a s ; dan 0,0098 P a s (Ketaren, et aL, 1994). Densitas minyak kelapa sawit pada suhu lg°C berkisar antara 0,920 hingga 0,927 kg/l dan titik lebumya adalah 26 hingga 30°C (Budavari et al., 1996). Viskositas fluida mempengaruhi sifat aliran dan kebutuhan tekanan untuk mengalirkan fluida. Oleh karena itu, viskositas merupakan faktor yang sangat penting dalam perancangan
aliran fluida melalui pipa. Tekanan akan mempengaruhi
kecepatan alir. Fluida yang viskositasnya tidak dipengaruhi oleh gaya geser (shear
rate) disebut fluida Newtonian, sedangkan fluida yang viskositasnya dipengaruhi oleh gaya geser disebut fluida Non-Newtonian. Viskositas beberapa fluida Non-Newtonian dipengaruhi waktu dan gaya geser. Viskositas pada suatu waktu tertentu, selain dipengaruhi suhu, juga dipengaruhi oleh banyaknya gaya geser dan pengadukan yang telah dialami fluida tersebut (Ferry, 1980). Ada tiga jenis fluida Non-Newtonian. Pertama, fluida Pseudo-plastik yang viskositasnya menurun sejalan dengan peningkatan gaya geser. Contohnya sabun, minyak pelumas, larutan pati, dan hampir semua emulsi lainnya. Pemompaan dan pengaliran fluida yang termasuk kelompok ini tidak sulit karena viskositas fluida akan menurun akibat pemompaan dan pengaliran. Kedua, bahan Dilatan yang viskositasnya meningkat sejalan dengan peningkatan gaya geser. Contohnya bahan baku permen dan tanah liat. Pengaliran bahan Dilafan hams dilakukan dengan hatihati mengingat bahan ini dapat mendekati sifat bahan padat apabila dikenai gaya
18
geser cukup tinggi.
Ketiga, fluida bersifat plastik yang viskositasnya menurun
apabila menerima gaya geser. Namun demikian, sejumlah daya dibutuhkan sebelum fluida dapat bergerak. Viskositas fluida ini berbeda pada waktu tertentu tergantung pada jumlah gaya geser yang pernah diterimanya. Fluida kategori ketiga ini disebut juga cairan tiksotropik (thixotropic liquid). Contohnya saus tomat. Setelah mengalir, fluida plastik akan mengikuti sifat fluidapseudo-plastik (Feny, 1980). Viskositas adalah karakteristik fluida yang menggambarkan kecenderungan fluida untuk menahan gaya geser. Dengan kata lain, viskositas adalah friksi internal yang terjadi apabila satu lapisan fluida digerakkan relatif terhadap lapisan lainnya yang diam. Viskositas absolut (dynamic viscosity) merupakan gaya yang dibutuhkan untuk memindahkan satu satuan luas fluida dalam satu satuan jarak. Satuan yang urnum digunakan untuk viskositas absolut adalah Poise (g/cm.s). Viskositas kinematik adalah viskositas absolut dibagi dengan kerapatan bahan (densitas) dan dinyatakan dalam stoke. Viskositas fluida merupakan peubah yang mempengaruhi ukuran pipa, kekuatan pompa, dan dalam perhitungan kehilangan tekanan akibat friksi (IPL ~ e c h .1995). , Kerapatan (density) fluida adalah jumlah massa dalam satu satuan volume bahan. Kerapatan jenis adalah perbandingan antara kerapatan fluida terhadap kerapatan air. Fluida dengan kerapatan tinggi mernbutuhkan pompa yang rnemberikan kerja lebih besar. Hal ini berarti bahwa untuk mengalirkan bahan yang kerapatannya lebih tinggi, dibutuhkan energi lebih banyak.
PERENCANAAN TRANSPORTASI Sistem transportasi merupakan suatu sistem yang terkait dengan tiga sistem lainnya yaitu sistem produksi, sistem persediaan (inventory) dan sistem pasar (permintaan dan penawaran). Keterkaitan sistem transportasi dengan seluruh sistem sosioekonomis yang dilayaninya sangat kuat. Morlok (1995) rnenyatakan bahwa elemen transportasi
yang
dapat diubah
untuk
memberikan
altematif
dalam
perencanaan sistem transportasi adalah institusi tetap, cara pengoperasian sistem, dan kepemilikan sistem. Institusi tetap meliputi aspek lokasi, moda dan teknologi transpor, kapasitas dan tingkat pelayanan. Institusi tetap merupakan elemen yang paling sulit diubah. Oleh karena itu, sangat dianjurkan untuk melakukan perencanaan institusi tetap dengan pendekatan simulasi atau permodelan (modelling). Cara pengoperasian sistem meliputi penentuan jadwal, biaya, dan rute. Kepemilikan sistem meliputi sistem pengelolaan transportasi dan struktur kepemilikan modal. Simulasi adalah suatu metode numerik untuk melakukan eksperimen pada komputer secara digital, yang melibatkan hubungan logik dan matematis untuk menggambarkan perilaku (behaviour) dari suatu sistem nyata dan kompleks pada suatu waktu tertentu. Langkah-langkah yang perlu dilakukan dalam membangun model simulasi adalah forrnulasi masalah, membangun model, mengurnpulkan data, translasi model, verifikasi, validasi, perencanaan strategis dan taktis, eksperimentasi, analisis hasil, dan implementasi dan dokumentasi. Perencanaan strategis umumnya melibatkan pula kebijakan transportasi.
20
Menurut Bayliss (1992), instrumen untuk kebijakan transportasi terdiri dari regulasi pasar, rnanajernen operasi, rnanajemen lalu lintas (fraflc management), dan kebijakan sosial. Instrumen regulasi pasar rnencakup aspek kekuatan pasar, keterbukaan, dan aspek eksternal. Ketiga aspek ini pada dasarnya bertujuan untuk menghapus distorsi pasar sedemikian runa sehingga tejadi kompetisi yang efektif untuk mernberikan tingkat pelayanan transportasi sesuai dengan biaya transportasi yang sesungguhnya. Aspek keterbukaan adalah tersedianya informasi bagi pengguna jasa transportasi tentang altematif rnoda transportasi yang rnungkin dipilih, lengkap dengan tingkat harga yang sesungguhnya. Aspek ekstemal, mencakup kernacetan, polusi udara, kecelakaan, kebisingan, dan getaran yang ditirnbulkan oleh suatu sistem transportasi. Aspek ini cukup sulit untuk diukur, narnun perlu dicermati dalam penetapan kebijakan transportasi. Aspek ekstemal yang negatif dari keberadaan suatu infrastruktur transportasi umumnya ditinjau dari pengaruh yang tidak menguntungkan akibat keberadaan infrastruktur tersebut.
Namun
demikian,
perbandingan
yang
objektif
antara
keberadaan dengan ketiadaan suatu infrastruktur transportasi jarang sekali dapat ditentukan. Pengurangan aspek ekstemal negatif dapat dipahami sebagai aspek eksternal positif dari keberadaan suatu jaringan infrastruktur transportasi (Blum, 1998).
Instrumen kebijakan transportasi untuk mengendalikan aspek ekstemal antara lain: 1) memberikan altematif pilihan mods transportasi yang seiama ini beium digunakan; 2) memberikan keringanan pajak bagi pengguna dan pengoperasi moda
21
transportasi yang rendah emisi polutannya atau sebaliknya; dan 3) membebankan biaya akibat kecelakaan kepada para operator transportasi. Penyusunan model evaluasi ekonomi dari pengembangan sistem infrastruktur transportasi yang baru disajikan pada Garnbar 3 (Bayliss, 1992). Han dan Fang (2000) menjelaskan bahwa tingkat kepentingan dan manfaat transportasi tidak dapat secara sederhana diukur dari Pendapatan Domestik Bruto (PDB). Penyebabnya adalah aspek pasokan dan permintaan pada transportasi sulit
dipisahkan, serta kornpleksnya pengertian tentang transportasi itu sendiri. Permintaan
akan layanan transportasi banyak yang dipenuhi sendiri oleh konsurnen. Segmen ini sering luput dari perhitungan tolok ukur ekonomi yang dihitung secara agregat. Selain itu, sektor transportasi tidak hanya mencakup industri yang memberikan pelayanan jasa transportasi, tetapi juga mencakup industri penyedia sarana dan prasarana transportasi, baik jasa maupun barang.
Biaya yang ditanggung pengguna pada jaringan infrastruktur yang ada, disesuaikan dengan umur ekonomi jaringan
I I
Biaya konstruksi jaringan infrastruktur yang baru (C)
pengguna pada jaringan infrast~kturbaru yang akan dikembangkan dan disesuaikan dengan umur ekonomi jaringan
I
I
Manfaat bagi pengguna: Pengurangan biaya akibat adanya jaringan infrastruktur yang ban (R = E - N) Peningkatan kualitas layanan
Kriteria ekonomi untuk NPV (Net Prese;ct Value) CR - C )
I
Gambar 3. Model evaluasi ekonomi untuk pengembangan jaringan infrastruktw transportasi baru (Bayliss, 1992). Selanjutnya, dipaparkan oleh Han dan Fang (2000), peran transportasi dalam ekonomi nasional digambarkan dengan jumlah sumber daya ekonomi yang diberikan untuk menunjang kegiatan transportasi. Semakin kecil surnber daya yang digunakan untuk kegiatan transportasi untuk mencapai tingkat layanan transportasi tertentu, semakin efisien operasi sistem transportasi tersebut. Kendati demikian, ha1 ini berarti akan semakin kecil surnbangan kegiatan transportasi dalam Produk Domestik Bruto pada suatu negara.
Berdasarkan kerangka ini, besarnya surnbangan kegiatan
transportasi pada PDB tidak dapat menjadi dasar untuk suatu keputusan investasi
23
untuk kegiatan ini. Keputusan investasi pada kegiatan transportasi hams didasarkan pada rasio
keuntungan
dengan biaya (benefit/cost ratio) d m analisis biaya
transportasi. Beberapa manfaat transportasi sulit diukur dan dinilai dengan uang. Morlok (1995) menjelaskan bahwa biaya transportasi yang hams ditanggung oleh pemakai jasa biasanya lebih kecil dari biaya operasi yang sesungguhnya yang ditanggung operator. Operator jasa transportasi menanggung biaya operasi moda transportasi, tetapi jarang sekali rnemperhitungkan biaya yang ditanggung pemerintah untuk menyediakan fasilitas transportasi seperti jalan raya, terminal, dan lain-lain. Pajak yang dibayar oleh operator transportasi sering kali belum merupakan pembayaran biaya ini, akibat sistem perpajakan yang belurn efektif. Beberapa
komponen
biaya
yang
timbul
dari
setiap
upaya
untuk
mempertahankan suatu tingkat kehidupan tertentu di daerah tertentu, termasuk pola kehidupan sebagai akibat dari adanya suatu sistem transportasi di daerah itu, merupakan biaya yang berhubungan
dengan sistem transportasi
tersebut. Itu
sebabnya, suiit mengukur secara pasti biaya total transportasi yang ditanggung oleh semua keIompok yang terlibat (TabeI X), sebagai akibat dari keberadaan suatu sistem transportasi di suatu wilayah tertentu. Morlok (1 995) menandaskan bahwa nilai uang yang dibayar untuk menerima suatu pelayanan transportasi belum tentu mencerminkan biaya sesungguhnya untuk pengadaan pelayanan tersebut. Beberapa biaya tidak dapat diukur dengan nilai uang. Selain karena tidak dapat diukur, sering juga karena kelompok yang menanggungnya
tidak dibebani secara langsung atas biaya yang dikeluarkannya, seperti waktu yang terpakai
untuk
memperoleh pelayanan transportasi.
Biaya transportasi yang
diperhitungkan adalah biaya tetap, biaya tidak tetap, biaya marjinal. Mengingat pelayanan sistem transportasi urnumnya berlangsung lebih dari lima tahun, biayabiaya yang diperhitungkan harm juga memperhitungkan waktu (nilai sistem pada masa mendatang). Tabel 8. Kelompok yang menanggung biaya transportasi Biaya akibat kegiatan transportasi yang ditanggung
Kelompok Pemakai
Harga langsung (biaya tol, ongkos, dan sebagainya)
Pemilik sistem operator
Biaya langsung untuk pembelian moda transportasi, perizinan dan asuransi, konstruksi, operasi, dan pemeliharaan
Non pemakai
I Pemerintah
I
Perubahan nilai lahadtempat tinggal, produktivitas, dan lain-lain
I
1
r
Penurunan kualitas lingkungan (kebisingan, polusi, estetika, dali sebagainya)
r
Subsidi dan sumbangan modal
r
Prasarana dan infrastruktur transportasi Kehilangan hasil pajak sebagai akibat alih fungsi lahan menjadi prasarana transportasi
r
Daerahkegional
I
I
Biasanya tidak langsung seperti reorganisasi tata guna lahan, clan lain-lain.
Sumber: Morlok (1995) Sementara itu, Pearson-Kirk dalam Bayliss (1992) menyatakan bahwa sekitar 45 hingga 95% truk yang beroperasi di negara berkembang membawa muatan yang
melebihi kapasitas. Buchari (1 997) melaporkan peningkatan okupansi jalan raya oleh truk pada ruas jalan Palembang-Inderalaya di Sumatera Selatan, yaitu sebanyak
25
15,6% pada tahun 1992 menjadi 35,6% pada tahun 1996. Muatan berlebihan dan jumlah trip truk yang meningkat dapat mempercepat kerusakan pada fasilitas jalan raya dan jembatan. Oleh sebab itu, perlu diupayakan pengendalian jumlah trip dan muatan truk dengan cara melalui kebijakan pembatasan muatan, d m kebijakan harga bahan bakar minyak (BBM). Apabila harga BBM ditingkatkan secara substansial di atas harga rata-rata tertinggi, permintaan BBM untuk transportasi akan menurun (Dargay dan Gately, 1997; Nozick dan Morlok, 1997). Hal ini akan mengurangi kepadatan lalu lintas.
Peningkatan harga SBM yang tidak menyolok tidak akan efektif untuk menurunkan jumlah perjalanan. Selain itu, permintam akan BBM tidak akan terlalu dipengaruhi oleh perubahan harga yang tipis. Artinya, untuk menurunkan permintaan akan BBM, diperlukan kebijakan yang menaikkan harga BBM secara menyolok agar kepadatan lalu lintas berkurang. Apabila penurunan kepadatan lalu Iintas telah tercapai, sedikit penurunan harga BBM tidak akan meningkatkan permintaannya. Kapasitas transportasi atau output dapat dihubungkan dengan beberapa komponen transportasi, yang masing-masing komponennya merniliki biaya tetap, tidak tetap, dan lain-lain. Secara umurn, ada tiga metode yang digunakan untuk memperkirakan biaya transportasi, yaitu Meetode Satuan Biaya, Model Biaya Statistik, dan Model Biaya Satuan Teknik (Morlok, 1995).
26
Metode Satuan Biaya merupakan salah satu jenis metode perkiraan biaya yang menggunakan proses perkiraan biaya. Tahap pertama adalah memperkirakan jumlah sumber-sumber fisik yang diperlukan. Kemudian, biaya total dihitung dengan menentukan harga masing-masing surnber tersebut.
Model Biaya Statistik merupakan model biaya yang dikembangkan dengan bantuan data dari biaya-biaya yang terdapat pada sistem transportasi yang benarbenar terjadi. Pertama, hubungan mateaatis dikembangkan antara biaya dengan keluaran (output), yang menggambarkan bentuk fimgsional dari hubungan tersebut. Hubungan matematis awal tidak menyatakan nilai nurnerik dari parameterparameternya. Kemudian, data biaya yang sebenarnya terjadi digunakan untuk memperkirakan nilai parameter dengan menggunakan metode regresi atau metode lain yang berkaitan.
Model Biaya Satuan Teknik memperhitungkan teknologi yang akan diterapkan dalam penyediaan suatu pelayanan transportasi. Tahap pertama adalah membuat suatu hubungan antara beberapa surnber daya yang digunakan dengan jenis, kapasitas, dan pelayanan transportasi yang dihasilkan. Selain hubungan antara biaya dengan keluaran, dikembangkan pula hubungan antara harga jasa transportasi dengan berbagai faktor produksi seperti biaya bahan bakar untuk setiap satu satuan kendaraan, biaya penyediaan lajur setiap satu krn, dan lain-lain. Model Biaya Teknik lebih tepat digunakan untuk memperkirakan biaya pelayanan berbagai moda transportasi, karena memungkinkan pengkajian tentang perubahan-perubahan yang terjadi pada kom~onen-komponenbiaya tertentu.
27
Hal-ha1 yang hams diperhatikan dalam pemilihan moda transportasi antara lain adalah ketersediaan prasarana dan sarana, aspek ekonomis, aspek teknis, dan keterandalan (reliability). Dalam suatu kegiatan observasi sistem transportasi, aspekaspek yang harus dicakup antara lain: 1) fenomena transportasi (origin-destiny, jarak, dan waktu tempuh); 2) elemen sistem transportasi; 3) bagaimana sistem bekerja; 4) bagaimana ukuran penarnpilan dari sistem tersebut (Price, Quality, Delivery); dan 5) bagaimana dengan perbaikan sistem. Sistem transportasi yang dirancang secara lebih efisien dan efektif selain menghemat penggunaan bahan bakar minyak bumi (Dargay dan Gately, 1997; Nozick dan Morlok, 1997) juga diharapkan dapat menghemat penggunaan prasarana transportasi darat yang dibangun pemerintah (Bayliss, 1992; Blum, 1998; Han dan Fang, 2000).
TRANSPORTASI MODA PIPA
Transportasi
moda
pipa
termasuk
sistem
transportasi
terus-menerus
(continuousflow system). Menurut Morlok (1 995),semua material yang dipindahkan
dengan pipa harus bergerak secara bersarnaan agar aliran terus-menerus dapat terjadi. Namun demikian, volume maksimum yang dapat &tampung suatu jalur sistem terusmenerus dibatasi oleh kapasitas maksimum pada jalur terkecil. Sistem transportasi moda pipa telah dimanfaatkan secara luas sebagai moda transportasi berbagai fluida seperti air, minyak dan burni, arnonia anhidrous. Pipa bahkan telah dikembangkan menjadi moda transportasi bahan-bahan lain yang bersifat curah, seperti biji-bijian dan batubara (Latto dan Chow, 1982; Assadollahbaik
28
et. al, 1990; Liu, 1993; Swamee, 1998). Berbagai model dan metode teknis yang
rinci tentang pengaliran fluida melalui pipa telah dikembangkan secara luas untuk diterapkan dalam pemanfaatan pipa sebagai moda transportasi (Zaghloul, 1998; Li dan Wei, 1998; Chilton dan Sainsby, 1998). Minyak clan gas bumi, serta air merupakan bahan yang paling banyak memanfaatkan pipa sebagai moda transportasi. Transportasi moda pipa yang cukup fenomenal adalah Trans Alaska yang merupakan jalur pipa untuk mengangkut minyak bumi dari Alaska Utara ke pelabuhan Valdez di Alaska bagian Selatan yang tidak memiliki wilayah es. Jarak yang ditempuh adalah 800 mil (sekitar 1200 km) dengan diameter pipa 48 inci (sekitar 122 cm). Trans Alaska, dengan konfigurasi zig-zag untuk mengakomodasi pembahan
panjang pipa akibat pemuaian dan pendinginan sejalan dengan perubahan suhu, menyeberangi tiga wilayah pegunungan dan lebih dari 800 sungai besar dan sungai kecil. Kapasitas angkut rata-rata 2 I36 000 barel per hari dengan tekanan yang diterapkan sebesar 1 180 psi. Minyak bumi dialirkan pada suhu maksimum 145,5"F (sekitar 63OC). Akibat suhu lingkungan, suhu terendah pipa $aja pada awal pengoperasian Trans Alaska adalah -60,5OF (sekitar -51°C), yaitu pada pipa yang berada di bawah pemukaan tanah yang tertutup es. Pada wilayah yang tanahnya menjadi tidak stabil apabila es di sekitarnya mencair, pipa diletakkan di atas pemukaan tanah. Suhu pengaliran minyak bumi dipertahankan dengan cara melengkapi pipa dengan insulator.
29
Pada jalur Trans Alaska, insulasi setebal 3,75 inci (sekitar 9,s cm) dipasang pada pipa yang berada di atas di permukaan tanah, setebal 3,2 inci (sekitar 8 cm) untuk pipa yang berada di bawah tanah. Insulasi setebal 2 hingga 4 inci (sekitar 5 hingga 10 cm) dipasang pada pipa yang berada di bawah jalan raya dan konstruksi beton lainnya.
Trans AIaska telah dioperasikan aelama 144 429 jam 11 menit, sejak tanggal 20 Juni 1977 hingga 3 1 Desember 1993. Penghentian operasi akibat kerusakan dan perbaikan selama pengoperasian sistem tersebut, addah selama 530 jam 49 menit atau hanya sekitar 0,37% (Aleyska Pipeline, 2001). Seperti pada sistem transportasi moda lainnya, gaya yang bekerja pada suatu moda transportasi untuk dapat menggerakkan moda tersebut diperlukan untuk: 1) mengatasi tahanan beban (muatan) terhadap gerakan; 2) menyediakan percepatan dan perlambatan; 3) pengarahan;
dan 4) pengubahan elevasi. Tiga faktor yang
rnenentukan perancangan jaringan pipa secara teknis adalah suhu operasi, tekanan (internal dan eksternal pipa), dan sifat fluida yang diangkut (ASME, 1993). Morlok (1995) menjelaskan bahwa pengangkutan melalui jaringan pipa bersifat tertutup sempuma sehingga hampir tidak ada kontarninasi atau kehilangan muatar. Walaupun demikian, proses pengaliran pada sistem transportasi moda pipa dapat mengubah sifat fisik dan kimia bahan sebagai akibat dari tekanan yang diterapkan, fiiksi, gaya geser, dan hal-ha1 lain yang terjadi akibat pengaliran. Islam dan Chaudry (1998) melaporkan perubahan dispersi kandungan klorin pada air minum sepanjang pengaliran di dalam pipa.
Faktor pembatas utama untuk pemakaian moda pipa sebagai alat transportasi adalah besar tekanan optimum untuk dapat mengalirkan bahan, tanpa memberikan tekanan berlebihan yang berbahaya pada pipa. Salah satu cara untuk meningkatkan keamanan pengaliran fluida melalui pipa adalah dengan membenamkan pipa
d l
bawah permukaan tanah. ASME (1993) menetapkan kedalarnan minimum untuk pipa pengangkut minyak bumi atau amonia cair (Tabel 9). Pipa untuk mengangkut gas bumi hams dipendam lebih dalarn, sekitar 1,2 m untuk penggalian normal di daerah industri, komersial, atau pemukiman, penyeberangan sungai dan saluran drainase. Pada daerat.1 lain, pipa gas bumi dapat dibenamkan pada kedalaman 0,9 m. Tabel 9. Kedalaman Minimum Penanaman Pipa Bawah Tanah Lokasi
0
I
-
Kondisi Penggalian Normal
Kondisi penggalian di wilayah berbatu atau wilayah
Industri, komersial, pemukiman
0,9 m (36 inci)
0,6 m (24 inci)
Penyeberangan sungai, aliran air
1,2 m (48 inci)
0,45 m ( 1 8 inci)
Saluran drainase, jalan raya, re1 kereta api
0,9 m (36 inci)
0,6 m (24 inci)
1 0,75 m (30 inci)
1 0,45 m (18 inci)
Lokasi lainnya Sumber: ASME (1993)
31
Pada suatu sistem aliran fluida, dimana fluida mengalir dari satu titik ke titik lainnya dan di antara kedua titik tersebut fluida mengalami berbagai proses, seperti pemanasan, pemompaan, dan lainnya, maka semua proses yang terjadi di dalam sistem tersebut akan mengikuti hukum konservasi energi. Secara umurn, hukum ini menyatakan bahwa energi yang masuk ke titik satu ditambah kerja-kerja yang dilakukan oleh dan terhadap fluida di antara titik satu dan titik dua, dikurangi dengan energi yang hilang d l antara kedua titik tersebut sarna dengan energi yang keluar dari titik dua. Hukum ini diterangkan pada Gambar 4 (Sukarno dan Rubiandini, 1995). Secara singkat, Morlok (1995) menjelaskan bahwa energi total dari satu satuan bobot fluida pada setiap titik sepanjang jalur geraknya merupakan jurnlah dari energi dalam, energi yang diberikan dari tekanan, energi kinetis, dan energi potensial. Dalam gerakan suatu fluida, perubahan energi dalam dan energi panas sangat kecil, sehingga dapat diabaikan. Demikian pula halnya apabila diameter pipa konstan dan fluida
yang
dialirkan
merupakan
fluida
yang
tak
dapat
dimampatkan
(incompressible).Sukarno dan Rubiardini (1995) menyatakan bahwa gradien tekanan
sangat dipengaruhi oleh karakteristik dinding pipa, yang dinyatakan dengan derajat kekasaran pipa.
Datum
Gambar 4. Sistim aliran fluida
(Sukarno dan Rubiartini , 1995).
Persarnaan yang dapat disusun berdasarkan hukum konservasi energi dengan memperhatikan Gambar 4 adalah sebagai berikut (Sukarno dan Rubiandini, 1995):
Keterangan: UI dan U2 = energi dalam pada titik 1 dan titik 2. Energi dalam adalah energi yang
dibawa oleh molekul-molekul fluida bempa energi rotasi, translasi, dan vibrasi. Energi dalarn tidak dapat diukur atau dihitung. mv1,2~/2~, = energi kinetik pada titik 1 clan titik 2. Energi kinetik adalah energi yang dimiliki oleh fluida sebagai akibat aliran fluida yang mengalir pada kecepatan tertentu.
33
~ n g Z ~ , ~= / genergi , potensial pada titik 1 dan 2. Energi potensial disebabkan oleh perbedaan ketinggian antara dua titik yang diamati. p1,2V1,2= energi yang terjadi akibat ekspansi atau kompresi selama pengaliran fluida pada titik 1 d m titik 2. W,
= kerja
yang diberikan pompa kepada fluida.
W,
= kerja
yang diberikan fluida untuk menggerakkan turbin.
=
kerja yang hilang akibat proses tak-dapat-balik, seperti akibat gesekan fluida dengan pipa, pengaruh viskositas, tegangan permukaan, dan lain-lain.
q
= energi
panas yang diberikan pemanas kepada fluida.
Apabila kecepatan alir dan diameter pipa dipertahankan tetap, tidak ada perubahan energi kinetis. Energi panas dan energi mekanis dapat bertambah ataupun berkurang, tetapi jumlahnya dapat diabaikan. Pada kondisi pengaliran dengan kecepatan tetap dalam rangkaian pipa berdiameter sama, kesetimbangan energi yang hams diperhitungkan adalah energi yang hilang atau bertambah akibat kehilangan tekanan (hL, head loss), perbedaan tekanan pada titik 1 dan titik 2, dan perbedaan elevasi (HI dan Hz). Penyederhanaan persamaan hubungan konservasi energi di antara dua titik, titik 1 dan titik 2, pada suatu rangkaian pipa dengan perbedaan elevasi dinyatakan pada Gambar 5 dan persamaan berikut (Morlok, 1995).
Keterangan: Pj = tekanan pada titik j di dalam pipa,j = 1, 2
vi = kecepatan alir pada titik i , I
=
1, 2
HI,= elevasi pada titik k di atas suatu datum tetap, k = 1,2
h~ = kehilangan tekanan dari titik 1 ke titik 2
Tinggi enargi. dal a m satuan panjang
Datum horisontsl
Gambar 5. Pengaruh perbedaan ketinggian pipa terhadap kesetimbangan energi di dalam pipa (Morlok, 1995) Persamaan energi pada kondisi mantap (steady state energy equation) merupakan persamaan yang membandingkan energi fluida pada dua titik yang berbeda dengan memperhitungkan penambahan atau kehilangan energi. Persamaan ini
menggabungkan persamaan Bernoulli
dengan persamaan-persamaan yang
menggambarkan kehilangan tekanan akibat fiiksi, kerja yang diberikan pada fluida
35
melalui pemompaan ataupun gaya gravitasi, dan kerja yang dilakukan oleh fluida (IPL Tech., 1995). Tiga besaran yang mewakili energi yang ada pada aliran tetap adalah energi statis, energi dinamik, dan energi akibat perbedaan ketinggian. Hal mendasar yang hams diperhatikan pada perancangan sistem moda transportasi pipa adalah pengaruh gesekan Vi.iction) yang ditimbulkan oleh fluida yang mengalir di dalarn pipa terhadap kebutuhan energi bagi pengaliran fluida tersebut. Parameter yang harus diperhatikan dalam perancangan jaringan pipa untuk transportasi fluida adalah karakteristik pipa, karakteristik fisik fluida, dan hubungan antara pipa dengan fluida yang dialirkan (IPL Tech., 1995). Kehilangan tekanan akibat gesekan berkaitan dengan diameter pipa. Langkah pertarna yang dilakukan adalah rnenentukan diameter pipa yang akan digunakan (API, 1991). Penetapan diameter pipa terutama ditentukan oleh jumlah fluida yang akan dialirkan pada satu satuan waktu. Diameter pipa menentukan kapasitas angkut sistem jaringan pipa. Berdasarkan pengalaman empiris pengaliran minyak bumi, kecepatan alir maksimum adalah 15 kaki/detik (sekitar 4,6 d d e t i k ) agar dapat menekan pengikisan pipa oleh partikel yang dikandung oleh fluida sedangkan kecepatan minimumnya adalah 3 kaki/detik (sekitar 0,9 d d e t i k ) untuk mencegah terjadinya presipitasi (pengedapan) padatan terlarut dalam fluida (API, 1991). Pengaliran fluida di dalam pipa sangat dipengaruhi oleh sifat fisik fluida. Besaran yang menyatakan hubungan antara karakteristik fisik fluida dengan kondisi pengalirannya adalah Bilangan Reynold yang dinyatakan pada persamaan (2.1).
P dv
NR==
(2.1)
(Mc.Cabe et al., 1993)
CI-
Keterangan:
N R= ~ bilangan Reynold, tidak bersatuan p = densitas fluida (kg/m3), dipengaruhi suhu pengaliran fluida
d
= diameter dalam
pipa (m)
v = kecepatan aliran fluida (m/s) I-I = viskositas fluida (kg/m.s), dipengaruhi suhu pengaliran fluida
Bilangan Reynold menentukan jenis aliran yang terjadi. Aliran akan bersifat turbulen apabila bilangan Reynold lebih dari 4000 sedangkan apabila bilangan
Reynold kurang dari 2000, aliran akan bersifat laminar (McCabe et aZ., 1993). Hubungan antara bilangan Reynold - yang mencerminkan sifat aliran fluida
- dengan
pipa dinyatakan dalam besaran yang disebut Faktor Friksi Moody (The Moody friction
factor; A. Besaran ini merupakan fungsi dari bilangan Reynold dengan kekasaran relatif perrnukaan pipa. Setiap jenis pipa, pada diameter tertentu, memiliki kekasaran relatif. Besaranfditentukan dengan menggunakan Friction Factor Chart ( A P I , 1991). Semakin besar kekasaran relatif pipa, semakin besar koefisien fi-iksi pada bilangan
Reynold yang sama. Kehilangan tekanan akibat friksi berkaitan dengan diameter dalarn pipa. Apabila debit dan kecepatan alir rata-rata dipertahankan tetap, semakin kecil diameter pipa, semakin besar kehilangan tekanan akibat friksi. Dengan dernikian, semakin kecil diameter pipa, semakin besar tekanan yang diaplikasikan pada sistem (IPL
37
Tech., 1995). Selanjutnya dijelaskan pula bahwa semakin panjang segmen (bagian) setiap pipa antar stasiun, semakin besar kehilangan tekanan yang terjadi dalam sistem. Kehilangan tekanan pada jaringan pipa dapat dihitung dengan menggunakan Persamaan Darcy. Asumsi yang harus dipenuhi untuk menggunakan persamaan ini adalah: 1) kecepatan alir dapat dikatakan tetap sepanjang jalur (steady state); 2) fluida yang dialirkan bersifat tak dapat dimampatkan (incompressible); 3) suhu rata-rata di sepanjang jalur tetap (isothermal); 4) panjang pipa lebih besar relatif terhadap diameter pipa; dan 5) diameter pipa sepanjang jalur tetap (IPL Tech., 1995). Kehilangan tekanan sepanjang jalur pipa digunakan untuk menentukan besar tekanan pada titik masuk (inlet) dan letak stasiun pompa penguat (booster station). Suatu rangkaian stasiun pompa penguat dibutuhkan untuk suatu jaringan transportasi moda pipa, terutama jaringan pipa yang melalui wilayah dengan ketinggian tempat yang bervariasi. Perbedaan ketinggian tempat mempengaruhi kinerja pompa. Namun demikian, stasiun pompa penguat ini lebih baik ditempatkan pada interval jarak yang sama sepanjang jalur. Pemilihan jenis pompa tidak dapat dilakukan tanpa melakukan analisis menyeluruh terhadap keseluruhan sistem yang menggambarkan karakteristik operasi (IPL Tech., 1995). Keterpaduan
pompa
dengan
sistem
jaringan
pipa
dikaji
dengan
menggabungkan karakteristik teknis pompa secara teoritis dengan kinerja ekonomi pompa (harga, efisiensi, biaya pemeliharaan, dan aspek-aspek ekonomi lainnya). Dua ha1 yang perIu diperhatikan dalam menentukan lokasi stasiun pompa penguat, selain
38
jar& dan ketinggian tempat, adalah Net Positive Sucfion Head ( N P S H ) pada pompa d m Maximum Allowable Operaiing Pressure (MAOP) pada jaringan pipa. NPSH pompa ditentukan oleh ukuran dan jenis pompa, sedangkan MAOP untuk jaringan pipa ditentukan oleh jenis dan ketebalan pipa. Rancangan
teknis
dasar
(basic
technical
design)
diperlukan
untuk
memberikan garnbaran urnum dan perkiraan awal sebelum penyusunan rancangan teknis jaringan operasional yang lebih rinci untuk implementasi suatu jaringan pipa di suatu wilayah (IPL Tech. 1995). Rancangan teknis dasar berguna untuk memberikan informasi awal tentang
kelayakan jaringan
pipa untuk
melayani kebutuhan
transportasi suatu materi. Penyusunan rancangan teknis jaringan operasional ini membutuhkan data yang rnemadai berkaitan dengan rute dan hal-hal teknis lainnya yang spesifik lokasi. Rute jaringan pipa dipengaruhi oleh titik awal dan titik tujuan (origin-destiny), topografi, dan kesesuaian (sifat fisik, kimia dan peruntukan) lahan.