DOKTRIN BUSINESS JUDGMENT RULE ATAS TINDAKAN DIREKSI YANG DIANGGAP MELANGGAR PRINSIP FIDUCIARY DUTY “BUSINESS JUDGMENT RULES ON THE ACTION OF DIRECTOR CONSIDERED VIOLATING FIDUCIARY DUTY PRINCIPLES” Dedy Indrawan Darsan1, Badriyah Rifai2, Oky Deviany2 1
Program Studi Kenotariatan Pascasarjana Universitas Hasanuddin 2 Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin
Alamat Korespondensi : Jurusan Kenotariatan Fakultas Hukum Unhas Email :
[email protected] Hp : 081341990994
Abstrak Direksi berkewajiban mengurus perseroan dengan itikad baik sebagaimana ditegaskan didalam Pasal 97 Ayat (2) UUPT, setiap tindakan Direksi yang didasari oleh itikad baik dilindungi oleh undang-undang. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menjelaskan ; (1) Tanggung jawab Direksi dalam Perseroan Terbatas. (2) sejauhmana prinsip business judgment rule memberikan perlindungan terhadap Direksi yang dianggap melanggar prinsip fiduciary duty. Metode penelitian yang digunakan adalah tipe penelitian yuridis normatif, yaitu penelitian yang didasarkan pada penelitian kepustakaan, diteliti dengan cara meninjau dari segi peraturan perundang-undangan yang berlaku dan bahan hukum lainnya, bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah bahan hukum primer dan sekunder yang dianalisis secara deskriptif kualitatif. Berdasarkan hasil penelitian, menunjukkan bahwa tanggung jawab Direksi sebagai pengurus perseroan menciptakan konsekuensi yuridis dalam kapasitasnya sebagai organ perseroan, kecakapan seorang Direksi dapat dilihat dari tanggung jawabnya dalam melaksanakan pengurusan perseroan sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan serta peraturan perundang-undangan/Anggaran Dasar perseroan. Keberadaan doktrin business judgment rule pada UUPT dapat memberikan perlindungan yang maksimal terbhadap Direksi sepanjang dapat membuktikan bahwa tindakannya telah sesuai dengan Pasal 97 ayat (5) UUPT, hal ini tentu hanya dapat dibuktikan pada proses persidangan dan hakimlah yang akan memutuskan apakah tindakan tersebut dapat dimintakan pertanggung jawaban atas kerugian atau tidak. Perlunya diatur secara tegas mengenai kriteria dalam Pasal 97 ayat (5) UUPT, agar jelas dapat dijadikan acuan dalam pelaksanaannya. Kata kunci : Tanggung jawab Direksi, fiduciary duty, perlindungan business judgment rule.
Abstract The aims of the research were to aknowledge and to describe (1) the responcibility of the direktor in running the corporation, (2) how far the principles of business judgment rule provides protection of director considered violating fiduciary duty principles. The method of the research was a normative jurisdiction research, based on library research, by studying the existing regulations and other. Legal materials used in this research are primary and secondary materials analized with descriptive qualitative method. The results of the research indicated that the responsibility of direktor as a management of the corporate create jurisdiction consequence in his capacity as the corporate organ, competence of a director is visible through his responsibility in managing the corporate according to the aims of the corporate, regulations, an the corporate statutes. The existence of business judgment rule doctrines UUPT is able to provide maximum protection to the director as long as he can prove his action is appropriate to chapter 97 point (5) of UUPT, this case can only be determined in the court process and the judge will decide whether the action can or cannot be asked for responsibilities for a loss. The need of a firm regulation on the criteria of chapter 97 point (5) UUPT, so that the regulation can be made as reference in its implementation. Keywords : Responsibility of director, fiduciary duty, business judgment rule protection.
PENDAHULUAN Indonesia sebagai negara berkembang pada saat ini berkewajiban untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional secara merata, seiring dengan itu pula perkembangan Perseroan Terbatas pada dunia usaha kian berkembang pesat di negara ini, dengan demikian negara kita butuh pembelajaran yang sangat berharga dari negara-negara maju yang jauh berkembang dalam dunia usaha, tentang bagaimana menata perekonomian yang baik dan benar demi tercapainya kemakmuran bangsa secara menyeluruh. Jika dilihat dari perkembangan bisnis negara-negara maju bahwa tidak hanya berpatokan terhadap bisnis saja akan tetapi juga harus memperhatikan rule (aturan) yang terkait dengan dunia bisnis. Untuk memenuhi perkembangan dunia usaha serta untuk memenuhi tuntutan masyarakat akan praktek yang menghendaki perubahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995, maka pemerintah merasa perlu untuk melakukan perubahan dan mengganti Undang-Undang Perseroan Terbatas tersebut dan terakhir diubah dengan UndangUndang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas yang biasa juga disebut dengan UUPT. Republik Indonesia khususnya dalam ruang lingkup Hukum Perusahaan masih sangat dominan menganut doktrin yang keberadaannya diakomodasi dan bersumber dari sistem Hukum negara lain baik itu dari sistem Hukum Anglo Saxon maupun Eropa Kontinental. Dalam menjalankan kepengurusan terhadap perseroan sepenuhnya adalah tanggung jawab Direksi, yang mempunyai tanggung jawab penuh atas pengelolaan perseroan dan tidak terhadap para pemegang saham dalam perseroan melainkan untuk kepentingan dan tujuan perseroan serta mewakili perseroan baik didalam maupun diluar pengadilan. Dengan diakomodirnya doktrin prinsip Business Judgment Rule kedalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, diharapkan dapat memberikan perlindungan hukum bagi Direksi dalam mengelola perseroan sesuai tugas dan fungsinya berdasarkan prinsip Fiduciary Duty. Direksi berkewajiban mengurus perseroan dengan itikad baik sebagaimana ditegaskan didalam Pasal 97 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, bahwa pengurusan sebagaimana dimaksud ayat (1), wajib dilaksanakan setiap anggota Direksi dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab, setiap tindakan Direksi yang didasari oleh itikad baik dilindungi oleh undang-undang sepanjang perbuatan tersebut dapat dibuktikan dengan cara terhindar dari perbuatan yang menguntungkan pribadi seorang Direksi dalam mengambil suatu keputusan penting terhadap perseroan yang mengakibatkan perseroan tersebut mengalami kerugian. Seorang Direksi dapat dimintai pertanggungjawaban secara
pribadi, jika terbukti melanggar prinsip fiduciary duty dalam menjalankan kepengurusan perseroan yang mengakibatkan kerugian terhadap perseroan. Dalam
perkembangannya
penerapan prinsip fiduciary duty telah menimbulkan kekhawatiran yang mendalam bagi para Direksi untuk mengambil keputusan bisnisnya. Permasalahan yang timbul adalah ketika keputusan bisnis yang diambil oleh seorang Direksi ternyata dianggap merugikan perseroan, padahal dalam mengambil keputusan tersebut, Direksi melakukannya dengan itikad baik, seperti dalam Putusan Nomor : 406/PDT/G/2010/PN.Bks, yaitu adanya tuntutan perseroan terhadap Direksi yang menuntut pertanggungjawaban Direksi secara pribadi atas kerugian yang dialami oleh perseroan, yang dikarenakan
tindakannya
dalam
melaksanakan
pengurusan
perseroan
dianggap
mengakibatkan kerugian dalam hal ini melanggar prinsip fiduciary duty yang diamanahkan oleh perseroan kepada Direksinya. Ada kecenderungan bahwa penerapan doktrinbusiness judgment rule terhadap Direksi yang dianggap melanggar prinsip fiduciary duty dalam perseroan ini belum berjalan sebagaimana mestinya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui (1) Tanggung jawab Direksi dalam Perseroan Terbatas. (2) sejauhmana prinsip business judgment rule memberikan perlindungan terhadap Direksi yang dianggap melanggar prinsip fiduciary duty. Berdasarkan penelusuran kepustakaan
yang
penulis
lakukan diperpustakaan
Pascasarjana Universitas Hasanuddin, dan penelusuran di situs-situs resmi berbagai perguruan tinggi di Indonesia, belum ada penelitian yang berjudul “Doktrin Business Judgment Rule atas Tindakan Direksi yang Dianggap Telah Melanggar Prinsip Fiduciary Duty”. Penelitian tentang doktrin business judgment rule telah pernah dilakukan sebelumnya, antara lain ; Penelitian oleh Rudi Dogar Harahap, (2008), Universitas Sumatera Utara, dengan judul “Penerapan Business Judgment Rule Dalam Pertanggung jawaban Direksi Bank Yang Berbadan Hukum Perseroan Terbatas”. Penelitian Christian Ochard, (2006), Universitas Sumatera Utara, dengan judul “Analisis Yuridis Terhadap Business Judgment Rule Sebagai Wujud Perlindungan Hukum Terhadap Direksi Suatu Perseroan Terbatas”. Penelitian oleh Bustanul Arifin, (2009), Universitas Sumatera Utara, dengan judul “Tanggung Jawab Direksi Perseroan Terhadap Perseroan yang Dinyatakan Pailit”. Penelitian oleh Irma Hani Nasution, (2003), Universitas Sumatera Utara, dengan judul “Analisis Hukum Terhadap Tanggung Jawab Direksi Dalam Perseroan Terbatas”. Penelitian oleh Guntur Graha Gideon Sitepu, (2009), Universitas Sumatera Utara, dengan judul “Analisis Terhadap Kewajiban Direksi Perseroan Dalam Menyelenggarakan Rapat Umum Pemegang Saham”. Penelitian ini yang membedakan dari tesis diatas adalah bahwa dalam penelitian ini spesifik dilakukan pada
kajian beberapa putusan yang kaitannya dengan doktrin business judgment rule atas tindakan Direksi yang dianggap melanggar prinsip fiduciary duty. Dengan demikian penelitian ini dapat dikatakan asli baik dari segi substansi maupun dari segi permasalahan sehingga dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah.
BAHAN DAN METODE Tipe Penelitian dan Pendekatan tipe penelitian yang digunakan adalah Tipe Penelitian yuridis normatif, yaitu penelitian yang didasarkan pada penelitian kepustakaan dengan menggunakan pendekatan terhadap masalah-masalah yang diteliti dengan cara meninjau dari segi peraturan perundangundangan yang berlaku dan bahan hukum lainnya. Sebagai penelitian hukum normatif, metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan perundangundangan (statute approach), dan pendekatan konseptual (conceptual approach). Bahan Hukum Bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah bahan hukum primer yang terdiri dari peraturan perundang-undangan, yaitu meliputi Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dan yurisprudensi-yurisprudensi atau putusan-putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.Data sekunder, yaitu data yang sudah tersedia ditempat penelitian yang diperoleh melalui penelitian kepustakaan (library research)dengan mempelajari, buku-buku literatur, peraturan perundang-undangan, jurnal ilmiah dan lain-lain yang berhubungan dengan objek penelitian.
HASIL Berdasarkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, Tanggung jawab Direksi termuat dalam ketentuan, antara lain ; Pasal 1 ayat (5), yang menyatakan “Direksi adalah organ perseroan yang berwenang dan bertanggung jawab penuh atas pengurusan perseroan untuk kepentingan perseroan, sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan serta mewakili perseroan, baik di dalam maupun di luar pengadilan sesuai dengan ketentuan Anggaran Dasar”.
Pasal 97 ayat (1), menyatakan bahwa “Direksi bertanggung jawab atas pengurusan perseroan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 92 ayat (1)”. Pasal 97 ayat (2), menyatakan : “Pengurusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib dilaksanakan setiap anggota Direksi dengan iktikad baik dan penuh tanggung jawab”. Pasal 97 ayat (3), menyatakan bahwa :“Setiap anggota direksi bertanggung jawab penuh secara pribadi atas kerugian perseroan apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai menjalankan tugasnya sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)”.
Ketentuan tersebut diatas sangatlah jelas memberikan gambaran tentang tanggung jawab Direksi dalam melakukan pengurusan perseroan sesuai dengan ketentuan perundangundangan yang berlaku. Dalam melaksanakan
tugas dan wewenangnya Direksi harus
berlandaskan pada prinsip kepercayaan (fiduciary duty), dan senantiasa bertindak secara hatihati dan dengan iktikad baik sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan, peraturan perundang-undangan/Anggaran Dasar perseroan. Bilamana tanggung jawab Direksi sebagaimana dimaksudkan diatas sebagai bentuk dari prinsip fiduciary duty dilanggar maka, konsekuensi yuridis bagi seorang Direksi adalah harus mempertanggung jawabkan perbuatannnya tersebut, dan yang akan menjadi perlindungan Direksi ketika dianggap melanggar prinsip fiduciary duty adalah doktrin business judgment rule yang akan di pakai oleh Direksi untuk melindungi dirinya dari segala bentuk pertanggung jawaban atas kerugian yang dialami oleh perseroan. Sebagaimana dimaksud pada Pasal 97 ayat (5) UUPT yang menyatakan bahwa : “Anggota Direksi tidak dapat dipertanggung jawabkan atas kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (3) apabila dapat membuktikan” : (a) Kerugian tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaiannya; (b) Telah melakukan pengurusan dengan iktikad baik dan kehati-hatian untuk kepentingan dan sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan; (c) Tidak mempunyai benturan kepentingan baik lansung maupun tidak lansung atas tindakan pengurusan yang mengakibatkan kerugian; dan (d) Telah mengambil tindakan untuk mencegah timbul atau berlanjutnya kerugian tersebut.
Pasal 97 ayat (5) UUPT tersebut sebagai bentuk dari penjelmaaan dari doktrin prinsip business judgment rule, dapat diterapkan sepanjang seorang Direksi dapat membuktikan bahwa tindakannya tersebut telah sesuai dengan kriteria pada Pasal 97 ayat (5) UUPT, dimana pembuktiannya pada peradilan, dan hakimlah yang akan menilai apakah tindakan Direksi tersebut dapat dibebaskan dari pertanggung jawaban pribadi atau tidak.
PEMBAHASAN Penelitian ini menunjukkan bahwa tanggung jawab Direksi dalam mengelola perseroan harus didasari dengan iktikad baik dan kehati-hatian serta sesuai dengan peraturan perundang-undangan/Anggaran Dasar perseroan. Bilamana dalam pelaksanaan tugas dan wewenang Direksi telah melaksanakan tugasnya berdasarkan prinsip fiduciary duty, maka tidak dapat dimintakan pertanggung jawaban secara pribadi. Apabila terbukti bahwa seorang Direksi telah melanggar prinsip fiduciary duty, konsekuensi hukumnya adalah harus mempertanggung jawabkan perbuatannya tersebut. Untuk dapat terlepas dari pertanggung jawaban pribadi, Direksi harus dapat membuktikan perbuatannya tersebut sesuai dengan
kriteria pada Pasal 97 ayat (5) dimana pada pasal ini dikatakan sebagai bentuk dari penjelmaan doktrin business judgment rule. Kewajiban fiduciary oleh Direksi adalah suatu hubungan Direksi dengan perseroan serta pemegang saham, dimana Direksi dalam pengurusannya sehari-hari bertanggung jawab kepada perseroan serta para pemegang saham, hubungan fiduciary ini membawa suatu konsekuensi hukum bahwa Direksi di berikan kewenangan untuk bertindak atas nama perseroan serta bertindak atas kepentingan para pemilik saham. Dalam pelaksanaannya hubungan fiduciary ini adalah suatu hubungan kepercayaan yang melekat dalam diri pribadi seorang Direksi, dimana pihak Direksi melaksanakan tugas dan wewenangnya untuk kepentingan pihak lain dalam hal ini pemegang saham. Sedangkan prinsip kehati-hatian yang melekat dalam tugas serta wewenang dari Direksi adalah menuntut Direksi untuk bertindak secara hati-hati dan disertai dengan iktikad baik, semata-mata untuk kepentingan dan tujuan perseroan(Ais, 2004).Oleh karena itu, demi tercapainya maksud dan tujuan perseroan, Direksi dituntut untuk senantiasa bertindak hati-hati (duty of care). Direksi adalah orang yang melaksanakan tugas atas dasar kepentingan dari perseroan, dengan demikian pemberian tugas dan kewenangan kepada Direksi adalah wujud dari hubungan fiduciary oleh perseroan dengan Direksi. Pendelegasian kewenangan tersebut adalah berdasarkan tanggung jawab. Oleh karena itu, Direksi dalam mengurus perseroan dituntut untuk senantiasa bertindak secara profesional berdasarkan keahliannya sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan, karena mustahil berjalannya suatu perseroan tanpa adanya Direksi. Dalam sebuah kasus, kaitannya dengan kedudukan Direksi dalam Perseroan Terbatas, sebagaimana dimuat oleh Tempo news. Kasus yang terjadi pada PT. Asian Agri, yang diduga telah melakukan pelanggaran pajak, dan diminta keterangannya oleh panitia kerja perpajakan komisi keuangan dan perbankan DPR RI dalam rapat dengar pendapat bersama Direktur Utama PT. Asian Agri. Pertanyaan yang dilontarkan oleh anggota panja DPR RI menimbulkan kecurigaan bahwa Direktur Utama PT. Asian Agri tersebut hanyalah sebagai Direktur boneka, hal ini terjadi pada saat Direktur Utama tersebut diminta untuk menjelaskan Anggaran Dasar serta struktur perusahaan dan siapa Direktur dan Komisarisnya pada perusahaan yang ia pimpin, jawaban Direktur Utama tersebut terkesan sama sekali tidak mengetahui apa yang ditanyakan oleh anggota DPR RI. Hal inilah yang membuat pertanyaan bagi anggota DPR RI tentang siapa sesungguhnya yang mengambil keputusan dalam proses pengambilan kebijakan dalam PT. Asian Agri tersebut. menurut penulis sangat mustahil bagi seorang Direktur aktif dalam suatu perusahaan tidak dapat menjelaskan tentang siapa organ
dalam perusahaannya, kasus seperti inilah yang sering terjadi dalam pelaksanaan Perseroan Terbatas yaitu adanya Direktur boneka dalam pelaksanaan perusahaan sehingga menimbulkan conflict of interest yaitu benturan kepentingan oleh Direksi sebagai orang yang melakukan suatu pekerjaan berdasarkan prinsip fiduciary dengan pemegang saham atau organ lainnya. Benturan kepentingan digambarkan sebagai konflik yang timbul ketika kepentingan pribadi mempengaruhi seseorang pada saat dirinya melaksanakan kepentingan pihak lain dan untuk kepentingan pihak lain tersebut (Kurniawan, 2012). Hal ini tentulah sangat merugikan pihak Direktur tersebut karena apabila terjadi suatu permasalahan hukum yang diakibatkan oleh kebijakan yang diambil bukan merupakan suatu kebijakannya atau sama sekali tidak mengetahui keputusan tersebut akantetapitetap dapat dimintakan pertanggung jawabannya. Prinsip fiduciary duty yang melekat dipundak seorang Direksi pada dasarnya sejalan dengan keberadaan tugas dan kewenangan serta hak dan kewajiban yang melekat pada dirinya. Oleh karena itu tanggung jawab Direksi sebagai salah satu organ perseroan terwujud dalam bentuk tugas beneficiary perseroan kepada Direksi atas dasar kepercayaan (fiduciary duty) Bilamana seorang Direksi dianggap melanggar prinsip fiduciary duty dalam perseroan, maka doktrin business judgment rule yang akan dijadikan sebagai bentuk perlindungan kepada Direksi yang beriktikad baik. Doktrin business judgment rule berkaitan erat dengan doktrin fiduciary duty, guna mengukur kepercayaan yang diberikan perseroan kepada Direksi, berdasarkan prinsip fiduciary duty, maka sebagai organ perseroan yang menjalankan kegiatan usaha sebagaimana maksud dan tujuan perseroan, Direksi tentu dihadapkan kepada risiko bisnis. Risiko ini terkadang berada di luar kemampuan maksimal Direksi. Oleh karena itu, guna melindungi ketidakmampuan yang disebabkan adanya keterbatasan manusia, maka Direksi dilindungi oleh doktin business judgment rule (Widiyono, 2005). Berlandaskan dari pemikiran tersebut penulis terfokus hanya kepada aplikasi serta penerapan dari doktrin business judgment ruledalam sistem hukum Indonesia sebagai doktrin dimana seorang Direksi dapat dilindungi terhadap keputusannya dalam melakukan pengelolaan perusahaan berdasarkan doktrin business judgment rule. Bilamana seorang Direksi terbukti melanggar prinsip fiduciary duty, maka terhadap pelanggaran tersebut secara otomatis tidak dapat dilindungi oleh doktrin business judgment rule, akan tetapi sepanjang dapat membuktikan sebaliknya bahwa Direksi tersebut tidak melakukan pelanggaran terhadap fiduciary duty maka akan terlepas dari bentuk pertanggungjawaban. Pada kasus yang terjadi antara PT. Usayana (Penggugat) melawan Iriansyah Zain (Tergugat I), FX.Suripto (Tergugat II), PT.Indo Petro Nusantara (Tergugat III),
PT.Pelumpang Raya Anugrah (Tergugat IV), PT. Permata Drilling International (Tergugat V) dalam Putusan Nomor : 406/PDT/G/2010/PN.Bks. Tergugat I dan II, yang dahulu merupakan Direksi dari PT. Usayana, sebagaimana dalam gugatan Penggugat bahwa Tergugat I dan II dianggap melanggar prinsip fiduciary duty terhadap perseroan. Berdasarkan duduk perkara, pada tahun 2004 Penggugat melakukan pengeboran eksplorasi gas PT. Pertamina kemudian Penggugat mengalami blow out yaitu mengalami semburan gas dengan tekanan tinggi sehingga menyebabkan tidak berfungsinya mesin dikarenakan terbakar dan mengalami kerusakan. Peralatan mesin tersebut sebelumnya telah diasuransikan kepada PT. Tugu Pratama Indonesia. Penggugat melakukan klaim asuransi untuk penggantian dan perbaikan mesin tersebut, setelah penyataan klaim asuransi Penggugat di terima. Kemudian Penggugat melakukan tender lelang dan yang muncul menjadi pemenang lelang tersebut adalah PT. Indo Petro Nusantara (Tergugat III) yang ditunjuk untuk melakukan penggantian dan perbaikan mesin tersebut berdasarkan surat perjanjian borongan antara Pihak I (Penggugat) dengan Tergugat III.Dalam masa perbaikan mesin yang dilakukan Tergugat III, Penggugat masih melaksanakan kegiatan pengeboran, menurut Tergugat I. Penggugat masih membutuhkan tambahan mud pump, kemudian dengan inisiatif Tergugat I mengajukan permohonan sewa mesin mud pump kepada Tergugat IV, namun kemudian Tergugat II mengalihkan penyewaan tersebut kepada Tergugat V. Lebih lanjut menurut Penggugat bahwa Tergugat I dengan inisiatif sendiri menerbitkan surat yang ditujukan kepada Tergugat III dimana dalam surat tersebut meminta agar Tergugat III meningkatkan kapasitas mesin, dibuatlah perjanjian borongan tambahan yang merupakan addendum atas surat perjanjian borongan sebelumnya yang disepakati oleh Tergugat I dan Tergugat III tentang perubahan spek kapasitas mesin. Dalam perkara sebagaimana diatas, Tergugat dianggap melakukan pemborosan keuangan perusahaan karena melakukan penyewaan pompa dalam kenyataannya pompa tersebut tidak digunakan serta dianggap melakukan tindakan yang menyebabkan terjadinya kerugian perseroan karena perubahan spek mesin ternyata tidak dapat langsung di fungsikan sehingga mengalami denda (penalty). Tergugat menolak gugatan Penggugat,
dengan
beralasan bahwa segala kegiatan serta keputusan yang dilakukan oleh Tergugat telah disampaikan kepada pemilik saham perihal untung rugi dari segala tindakannya dan telah mendapat pembebasan tanggung jawab karena telah diterima oleh pemilik saham melalui RUPS. Majelis hakim dalam memutus perkara ini menyimpulkan bahwa yang dijadikan dasar oleh Penggugat dalam mengajukan gugatan adalah surat perjanjian borongan dan addendum perjanjian pemborongan ada tercantum pemilihan domisili oleh para pihak, dimana dinyatakan bahwa “apabila terjadi perselisihan dalam pelaksanaan surat perjanjian borongan
ini yang tidak dapat diselesaikan secara musyawarah tersebut akan diselesaikan melalui pengadilan Jakarta Timur”. Berdasarkan pilihan domisili tersebut Pengadilan Negeri Bekasi tidak berwenang untuk memeriksa dan mengadili perkara tersebut sehingga gugatan Penggugat dinyatakan tidak dapat diterima. Seperti yang telah dijelaskan diatas, hal ini tentunya sangatlah berkaitan dengan doktrin business judgment rule yang termuat didalam Pasal 97 ayat (5) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas sebagaimana yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya, yaitu : “Anggota Direksi tidak dapat dipertanggungjawabkan atas kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (3) apabila dapat membuktikan”, a) Kerugian tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaiannya; b)Telah melakukan pengurusan dengan iktikad baik dan kehati-hatian untuk kepentingan dan sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan. c) Tidak mempunyai benturan kepentingan baik lansung maupun tidak lansung atas tindakan pengurusan yang mengakibatkan kerugian; dan d) Telah mengambil tindakan untuk mencegah timbul atau berlanjutnya kerugian tersebut.
Direksi yang memiliki kewenangan besar untuk menentukan arah serta metode yang akan diambil perusahaan menyebabkan setiap tindakan yang akan diambil wajib memenuhi unsur-unsur fiduciary duty karena tidak akan ada seorangpun yang dapat mencegah dirinya mengambil
keputusan
tersebut.
Konsekuensi
kebebasan
adalah
Direksi
harus
mempertanggung jawabkan keputusan tersebut dalam RUPS tahunan, dan apabila RUPS menerima laporan pertanggung jawaban tersebut, maka untuk setiap keputusan Direksi akan diberikan pelunasan dan pembebasan (Boen, 2008). Seperti yang telah diuraikan diatas bahwa Tergugat dalam eksepsinya telah mempertimbangkan tindakan yang akan diambilnya dan Tergugat telah melaporkan perihal untung dan rugi dari tindakan yang akan diambil tersebut di dalam RUPS dan telah disetujui oleh pemilik saham. Dari rumusan Pasal 97 ayat (5) UUPT tersebut diatas secara jelas, memberikan konsekuensi yuridis kepada seorang Direksi bilamana ingin terlepas dari pertanggungjawaban secara pribadi apabila dianggap melanggar prinsip fiduciary duty.Beban pembuktian tersebut tentunya ada pada Direksi yang dianggap melanggar prinsip fiduciary duty. Dalam hal ini tentulah sangat membutuhkan peran serta hakim dalam proses peradilan, dimana hakimlah yang akan menentukan bahwa dapatkah seorang Direksi yang dianggap melanggar prinsip fiduciary duty untuk dimintakan pertanggungjawabannya terhadap sebuah keputusan yang telah diambil oleh Direksi. Kedudukan hakim dalam memutus perkara tersebut juga seharusnya tidak boleh memberikan second guess terhadap keputusan bisnis yang diambil oleh Direksi karena pihak Direksilah yang paling mengetahui posisi serta keadaan bisnis pada
saat itu mengenai perihal untung dan ruginya suatu keputusan bisnis, dan hakim dianggap tidak boleh mengambil suatu perbandingan hukum terhadap keputusan tersebut. Kasus lainnya yang penulis coba kaitkan dengan doktrin business judgment rule adalah pada kasus inifisiensi PLN oleh Dahlan Iskan yang dahulu selaku Direktur, mengakibatkan timbulnya kerugian negara sebesar 37 triliun berdasarkan temuan BPK atas pemakaian BBM pada pembangkit listrik yang seharusnya memakai gas untuk melakukan penghematan keuangan negara. Dahlan Iskan menegaskan inefisiensi di tubuh PLN bukanlah kesalahannya. Pemborosan terjadi akibat tidak tersedianya pasokan gas untuk pembangkit listrik. Pada kasus ini menurut penulis nantinya dapat pula diterapkan prinsip business judgment rule kedalamnnya. Bilamana pada kasus Dahlan Iskan tersebut di atas diterapkan business judgment rule, harus dilihat terlebih dahulu putusan bisnis yang telah dikeluarkannya, putusan Dahlan Iskan untuk memakai Bahan Bakar Minyak (BBM) dikarenakan pasokan terhadap gas pada saat itu tidak ada. Apabila Dahlan Iskan pada saat tersebut tidak mengambil tindakan, maka dapat dianggap Dahlan Iskan melakukan pembiaran dan tidak melakukan langkah-langkah yang efektif untuk mencegah dampak dari ketidak tersediaan gas sehingga apabila tidak dialihkan ke BBM, maka dapat menimbulkan konsekuensi yang sangat besar, yakni adanya kerugian negara yang lebih besar ketimbang dari apa yang telah di temukan oleh BPK tersebut. Karena jika tidak memilih untuk memakai BBM dapat ditaksir bahwa kerugian negara dapat lebih besar. Keempat unsur yang ada pada Pasal 97 ayat (5) UUPT, yang dianggap sebagai penjelmaan dari prinsip business judgment rule, nantinya dapat diimplementasikan pada proses persidangan bilamana kasus ini berlanjut hingga pada proses peradilan, dimana hakimlah yang akan menentukan ada tidaknya suatu pelanggaran yang dilakukan oleh Dahlan Iskan selaku Direktur Utama PLN dalam hal pengambilan keputusannya, sepanjang hal tersebut dapat dibuktikan oleh Dahlan Iskan bahwa keputusannya telah memenuhi syarat sebagaimana pada Pasal 97 ayat (5) UUPT, maka dapat terlepas dari segala bentuk pertanggung jawaban pribadi atas kerugian tersebut. Business judgment rule timbul sebagai akibat telah dilaksanakannya fiduciary duty oleh seorang Direksi, yaitu prinsip duty of skill and care, maka semua kesalahan yang timbul setelah dijalankannya prinsip duty of skill and care ini, memperoleh konsekuensi Direksi mendapat pembebasan tanggung jawab secara pribadi bila terjadi kesalahan dalam keputusannya tersebut (Boen, 2008). Bertitik tolak pada hal tersebut sudah sewajarnya bahwa Dahlan Iskan dapat dibebaskan dari segala bentuk pertanggung jawaban kepada dirinya.
Seperti yang telah diuraikan pada beberapa kasus diatas terlihat jelas bahwa doktrin business judgment rule ini belum diaplikasikan dengan baik terhadap seorang Direksi yang dianggap melanggar prinsip fiduciary duty, Fiduciary duty dalam hal ini dimaksudkan adalah tugas yang terbit dari suatu hubungan fiduciary antara Direksi dengan perusahaan yang dipimpinnya, yang menyebabkan Direksi berkedudukan sebagai trustee dalam pengertian hukum trust. Maka seorang Direksi haruslah mempunyai kepedulian dan kemampuan (duty of care and skill), iktikad baik, loyalitas dan kejujuran terhadap perusahaannya dengan “derajat yang tinggi” (high degree), (Fuady, 2002). Eksistensinya dalam sistem hukum Indonesia masih sebatas teori dan belum sepenuhnya diterapkan apabila Direksi dianggap melanggar fiduciary duty perseroan, seharusnya ketika seorang Direksi dianggap melakukan pelanggaran terhadap fiduciary duty perseroan, yang dijadikan pembelaan adalah doktrin business judgment rule sepanjang dapat membuktikan sesuai dengan Pasal yang dikenal sebagai penjelmaan doktrin business judgment rule di dalam UUPT yaitu Pasal 97 ayat (5) UUPT. Penulis sependapat dengan Boen, dalam bukunya Bianglala Business Judgment Rule, yang menyatakan walaupun secara teoritis business judgment rule dikenal dinegara ini, namun dikarenakan situasi dan kondisi pengadilan di Indonesia, maka para hakim-hakim tidak banyak yang mengenali keberadaan doktrin ini (Boen, 2008).Dalam sistem peradilan memang menyisahkan sedikit pertanyaan tentang bagaimana standar dalam menilai apakah tindakannya tersebut telah sesuai dengan business judgment rule atau tidak. Hakim dalam memeriksa perkara terkait keputusan bisnis seorang Direksi yang dianggap merugikan perseroan seharusnya tidak hanya melihat dari sisi kesalahan dan kelalaian seorang Direksi dalam mengambil keputusan, akan tetapi juga harus memperhatikan dari posisi seorang Direksi ketika mengambil keputusan bisnis apakah mengandung kecurangan (fraud), dilakukan semata-mata untuk kepentingan pribadi seorang Direksi ataukah betul semata-mata untuk kepentingan usaha perseroan dalam mengambil keputusan tersebut. Karena mengingat bahwa dalam dunia bisnis tidak selamanya suatu keputusan bisnis dapat memperoleh keuntungan melainkan kadang menimbulkan kerugian. Sehingga sudah sewajarnya apabila seorang Direksi dalam melaksanakan tugas sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan dapat dilindungi oleh business judgment rule serta dapat dibebaskan dari segala bentuk pertanggungjawaban. Seharusnya ketika Direksi dianggap melanggar prinsip fiduciary duty terhadap perseroan, maka yang dijadikan alasan pembelaan agar terlepas dari pertanggungjawaban atas kerugian yang dialami perseroan tersebut dapat berlindung pada business judgment rule sepanjang dapat membuktikan bahwa tindakannya tersebut telah sesuai dengan apa yang di
maksudkan dalam Pasal 97 ayat (5) UUPT yang dikenal sebagai bentuk perlindungan Direksi ketika dianggap lalai dalam menjalankan tugasnya berdasarkan iktikad baik dan kehati-hatian dalam mengelola perseroan. Business judgment rule yang diakomodasi kedalam UUPT belum sepenuhnya memberikan dampak yang efektif bagi pelaku bisnis, dikarenakan belum adanya standar yang jelas yang dapat dijadikan sebagai perbandingan terhadap keputusan yang dianggap melanggar prinsip fiduciary duty sehingga dalam ruang lingkup peradilan ketika terjadi tuntutan perseroan kepada Direksi masih belum menjamin seorang Direksi terlepas dari pertanggungjawaban, apalagi pada kenyataannya keputusan yang diambil tersebut tidak di dasari oleh kepentingan pribadi melainkan kepentingan perseroan semata. Dalam Business Judgement Rule
atau disingkat BJR merupakan aturan yang
memberikan kekebalan atau perlindungan bagi manajemen perseroan dari setiap tanggung jawab yang lahir sebagai akibat dari transaksi atau kegiatan yang dilakukan olehnya sesuai dengan batas-batas kewenangan dan kekuasaan yang diberikan kepadanya, dengan pertimbangan bahwa kegiatan tersebut telah dilakukan dengan memperhatikan standar kehatihatian dan itikad baik (Widjaja, 2008). Untuk mengukur salah atau tidaknya seorang Direksi dalam mengambil suatu keputusan bisnis adalah melalui pengadilan (litigasi), dan pada saat terjadi suatu kerugian perseroan, karena titik tolak dari perlindungan business judgment rule ini yakni ketika perseroan sedang mengalami kerugian yang di anggap di akibatkan oleh keputusan bisnis seorang Direksi. Sehingga ketika dalam proses peradilan seorang Direksi terbukti melakukan pelanggaran, maka konsekuensi yuridisnya adalah harus mempertanggungjawabkan perbuatannya tersebut. Karena itu, apabila ada tindakan Direksi yang kekurang hati-hatian dalam pengelolaan perseroan dapat menimbulkan kerugian pada perseroan. Kerugian tersebut terlihat dari gagalnya mempertahankan sifat kehati-hatian (reasonable care) dalam menjalankan perseroan. Dalam hal demikian, Direktur yang bersangkutan harus menanggung atau bertanggung jawab atas kerugian perseroan. Apabila Direksi terdiri dari beberapa anggota, maka para anggota Direksi bersama-sama harus bertanggung jawab untuk membayar kerugian yang dialami oleh Perseroan Terbatas (Nadapdap, 2012).Kriteria untuk menilai keputusan Direksi tersebut tentunya bukan hanya terhadap unsur kehati-hatian saja, melainkan harus sejalan dengan unsur-unsur lainnya seperti, Direksi dalam mengambil suatu keputusan tidak berupaya mengendapkan kepentingan pribadinya. Dan hal yang terpenting ketika ingin terlepas dari segala tuntutan pertanggung jawaban adalah keputusan bisnis
tersebut harus dilakukan dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan atau Anggaran Dasar perseroan.
KESIMPULAN DAN SARAN Tanggung jawab Direksi sebagai pengurus perseroan, menciptakan konsekuensi yuridis dalam kapasitasnya sebagai organ perseroan. Kewenangan serta kecakapan seorang Direksi dapat dilihat dari tanggung jawabnya sebagai Direksi dalam melaksanakan pengurusan terhadap perseroan sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan dan peraturan perundang-undangan/Anggaran Dasar Perseroan. Disimpulkan bahwa bilamana seorang Direksi dianggap melanggar prinsip fiduciary duty terhadap perseroan, tindakan pengambilan keputusannya tidak didasari dengan iktikad baik dan kehati-hatian serta dianggap melanggar peraturan perundang-undangan/Anggaran Dasar
perseroan,
maka dapat
dimintakan
pertanggung jawaban secara pribadi maupun tanggung renteng. Agar dapat terlepas dari pertanggung jawaban pribadi seorang Direksi, bnusiness judgment rule yang dapat dijadikan sebagai suatu bentuk perlindungan hukum bagi Direksi yang senantiasa beriktikad baik dalam menjalankan perseroan sebagaimana disebutkan pada Pasal 97 ayat (5) UUPT. Hal ini tentulah harus dibuktikan oleh Direksi di dalam proses peradilan bilamana sangkmaan tersebut dialamatkan kepadanya. Doktrin business judgment rule pada UUPT sangat jelas dapat memberikan perlindungan yang maksimal bagi Direksi yang dianggap melanggar prinsip fiduciary duty, hanya dapat dibuktikan di dalam proses persidangan, hakimlah yang mempunyai peranan penting untuk menilai apakah tindakan yang dilakukan oleh Direksi tersebut dapat dimintakan pertanggungjawaban secara pribadi atau tidak, Olehnya itu dibutuhkan suatu pemahaman yang lebih terhadap implementasi dari business judgment rule tersebut sehingga dapat berjalan sesuai yang diharapkan. Agar pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Direksi dapat berjalan sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan, diharapkan para pelaku bisnis dalam menetapkan seorang Direksi sebagai pengurus perseroan tidak berdasarkan pada kepentingan pribadi pemilik perusahaan semata, pentingnya memperhatikan kualifikasi serta profesionalisme sebagai syarat untuk menjadikan seseorang sebagai Direksi. Agar implementasi dari doktrin business judgment rule ini dapat berjalan sebagaimana mestinya diharapkan kepada pelaku bisnis dan kepada para hakim, benar-benar mengetahui secara cermat tentang konsep business judgment rule di dalam UUPT, serta perlunya diatur secara tegas mengenai kriteria pada Pasal 97 ayat
(5) UUPT agar dapat dijadikan acuan untuk mengetahui batasan kriteria tindakan mana yang dianggap melanggar aturan.
DAFTAR PUSTAKA Binoto Nadapdap, (2012), Hukum Perseroan Terbatas, Jakarta, Permata Aksara Bustanul Arifin, (2009), “Tanggung Jawab Direksi Perseroan Terhadap Perseroan yang Dinyatakan Pailit” Universitas Sumatera Utara Chatamarrasjid Ais, (2004), Penerobosan Cadar Perseroan dan Soal-Soal Aktual Hukum Perusahaan, Bandung, PT. Citra Aditya Bakti Christian Ochard, (2006), “Analisis Yuridis Terhadap Business Judgment Rule Sebagai Wujud Perlindungan Hukum Terhadap Direksi Suatu Perseroan Terbatas”, Universitas Sumatera Utara Guntur Graha Gideon Sitepu, (2009), “Analisis Terhadap Kewajiban Direksi Perseroan Dalam Menyelenggarakan Rapat Umum Pemegang Saham”, Universitas Sumatera Utara Gunawan Widjaja, 2008, 150 Tanya jawab tentang Perseroan Terbatas, Jakarta, forum sahabat Boen Hendra Setiawan, (2008), Bianglala Business Judgment rule, Jakarta, Tatanusa Irma Hani Nasution, (2003), “Analisis Hukum Terhadap Tanggung Jawab Direksi Dalam Perseroan Terbatas”, Universitas Sumatera Utara Munir Fuady, (2002), Doktrin-Doktrin Modern Dalam Corporate Law dan Eksistensinya Dalam Hukum Indonesia,Bandung, Citra Aditya Bakti Rudi Dogar Harahap, (2008), “Penerapan Business Judgment Rule Dalam Pertanggungjawaban Direksi Bank Yang Berbadan Hukum Perseroan Terbatas” Universitas Sumatera Utara Try Widiyono, (2005), Direksi Perseroan Terbatas (Bank dan Persero), Bogor, Ghalia Indonesia Wahyu Kurniawan, (2012), Corporate Governance Dalam Aspek Hukum Perusahaan, Jakarta, PT. Pustaka Utama Grafiti