BAB III PRINSIP BUSINESS JUDGMENT RULE DALAM UU NO.40 TAHUN 2007
A. Pengertian Doktrin putusan bisnis (Business Judgment Rule) yang merupakan cermin dari kemandirian dan diskresi dari Direksi dalam memberikan putusan bisnisnya merupakan perlindungan bagi Direksi yang beritikad baik dalam menjalankan tugastugasnya selaku Direksi. Hanya salah dalam mengambil putusan (mere error of judgment), atau kesalahan yang jujur (honest mistake) tidak dapat dipikulkan tanggung jawabnya kepada direksi. 74 "Business Judgement Rule" merupakan salah satu doktrin dalam hukum perusahaan
yang
menetapkan
bahwa
Direksi
suatu
perusahaan
tidak
bertanggungjawab atas kerugian yang timbul dari suatu tindakan pengambilan keputusan, apabila tindakan Direksi tersebut didasari itikad baik dan sifat hati-hati. Dengan prinsip ini, Direksi mendapatkan perlindungan, sehingga tidak perlu memperoleh justifikasi dari pemegang saham atau pengadilan atas keputusan mereka dalam pengelolaan perusahaan. Doktrin Business Judgment Rule ini berlaku berdampingan dengan doktrin lain yang lebih memberatkan posisi Direksi, seperti doktrin fiducia duty, due care and loyalty, derivative suit, piercing the corporate veil, ultra vires, proper purpose dan lain-lain. Seperti yang telah dijelaskan di atas, Business Judgment Rule adalah suatu 74
Munir Fuadi, Doktin-doktrin Modern dalam Corporate Law , Op. Cit, hal. 197
Universitas Sumatera Utara
aturan yang memberikan kebebasan dan perlindungan bagi manajemen perseroan dari setiap tanggung jawab yang lahir sebagai akibat dari transaksi atau kegiatan yang dilakukan olehnya sesuai dengan batas-batas kewenangan dan kekuasaan yang diberikan kepadanya, dengan mempertimbangkan bahwa kegiatan tersebut telah dilaksanakan dengan memperhatikan standart kehati-hatian dan itikad baik. 75 Dapat dikatakan bahwa Business Judgment Rule memeng dikonsep untuk melindungi kepentingan anggota Direksi dari pertanggung jawaban, dari setiap keputusan usaha tertentu yang diambilnya yang menerbitkan atau mengakibatkan kerugian bagi perseroan. Business Judgment Rule adalah salah satu aturan main dalam Corporate Governance. Ini berarti siapa yang menyangkal berlakunya Business Judgment Rule bagi Direksi, dalam suatu keputusan atau tindakan bisnis tertentu
yang
mengatasnamakan
perseroan,
maka
orang
tersebut
harus
membuktikannya. Yang harus dibuktikannya adalah bahwa Direksi dalam mengambil keputusan atau tindakan tidak berdasarkan semata-mata pada kepentingan perseroan (terdapat kepentingan pribadi), melakukannya dengan tidak kehati-hatian yang sewajarnya atau tidak dengan itikad baik. Itu berarti, dalam menjalankan kegiatan usaha perseroan, melakukan pengurusan dan mewakili perseroan, Direksi perseroan senantiasa dilindungi Business Judgment Rule. Pada sisi lain Business Judgment Rule dapat dilihat sebagai suatu standart of conduct yang memberitahukan apa dan bagaimana seorang Direksi harus bertindak
75
Gunawan Widjaya, 150 tanya jawab tentang Perseroan Terbatas, (Jakarta: Forum Sahabat, 2008) , hal. 66
Universitas Sumatera Utara
dalam suatu keadaan tertentu untuk memutus suatu hal tertentu (dalam kegiatan mengurus, menjalankan dan mengelola perusahaan. Doktrin putusan bisnis (Business Judgment Rule) ini merupakan suatu doktrin yang mengajarkan bahwa suatu putusan Direksi mengenai aktivitas perseroan tidak boleh diganggu gugat oleh siapa pun, meskipun putusan tersebut merugikan perseroan, sepanjang putusan tersebut memenuhi syarat sebagai berikut :76 1. Putusan sesuai hukum yang berlaku. 2. Dilakukan dengan iktikad baik. 3. Dilakukan dengan tujuan yang benar (proper purpose) 4. Putusan tersebut mempunyai dasar-dasar yang rasional (rasional basis) 5. Dilakukan dengan kehati-hatian (due care) seperti dilakukan oleh orang yang cukup hati-hati pada posisi yang serupa. 6. Dilakukan dengan cara yang secara layak dipercayainya sebagai yang terbaik bagi perseron. Berbeda tapi tidak bertentangan dengan doktrin-doktrin lain yang lebih memberatkan Direksi semisal doktrin fiducia duty, due care and loyalty, derivative suit, piercing the corporate veil, ultra vires, proper purpose dan lain-lain. Doktrin putusan bisnis ini lebih memihak kepada Direksi, tetapi masih dalam koridor hukum perseroan yang umum bahwa pengadilan dapat melakukan scrutiny (penilaian) terhadap setiap putusan dari Direksi, termasuk putusan bisnis yang telah disetujui 76
Munir Fuadi, Doktrin-Doktrin Dalam Corporate Law, Op. Cit. Hal. 197
Universitas Sumatera Utara
oleh rapat umum pemegang saham, sepanjang untuk memutuskan apakah putusan tersebut sesuai dengan hukum yang berlaku atau tidak. Akan tetapi, tidak untuk menilai sesuai atau tidaknya dengan kebijaksanaan bisnis. Ide dasar dari tidak berlakunya perlindungan Business Judgment Rule bagi anggota Direksi perseroan dalam hal terdapat kecurangan (fraud) dan terdapat benturan kepentingan (conflict of interest) sedangkan para anggota Direksi itu ternyata telah berupaya untuk mengedepankan kepentingan pribadinya atau telah terdorong untuk membuat syarat-syarat transaksi yang dilakukannya demi kepentingan pribadinya adalah karena judgment yang telah diambilnya itu tidak dapat dikatakan sebagai ”discretionary exercises of power on behalf of the corporation” yang ingin dilindungi dengan rule tersebut. Sedangkan ide yang berada dibelakang pengecualian terhadap berlakunya Business Judgment Rule apabila terdapat perbuatan yang melanggar hukum (illegality exception). 77 Sepintas tampaknya doktrin Business Judgment Rule menyisihkan kekuatan berlakunya doktrin-doktrin duty of care. Praktis semua pengadilan di Amerika Serikat sepakat bahwa anggota Direksi tidak harus bertanggungjawab atas terjadinya kerugian perseroan apabila anggota Direksi dalam mengambil suatu pertimbangan (judgment) dilakukan dengan itikad baik. Namun kebanyakan dari pengadilan juga berpendapat bahwa tidak seharusnya para anggota Direksi itu bertindak sembrono (act negligently) atau melakukan kelalaian yang berat (act in a grossly negligently
77
www hukumonline.com, di akses pada tanggal 8 Juli 2010
Universitas Sumatera Utara
way). Bila demikian halnya, maka anggota Direksi yang bersangkutan harus bertanggungjawab atas kerugian perseroan yang telah ditimbulkannya.
B. Latar Belakang Yuridis Prinsip Business Judgment Rule Selain doktrin duty of care, di Amerika Serikat juga dianut doktrin lain yang disebut Business Judgment Rule. Berlakunya doktrin ini (menurut pendapat beberapa ahli hukum) telah duty of care telah menimbulkan kekhawatiran yang mendalam para anggota direksi perseroan di amerika serikat. 78 Business Judgment Rule adalah sebuah prinsip dalam kepemimpinan perusahaan yang menjadi tujuan dari Common Law sejak 150 tahun yang lalu. Business Judgment Rule telah lama diterapkan sebagai awan yang melindungi Direksi dari tanggung jawab yang diambil dari keputusan-keputusan bisnis mereka. Apabila Direksi-direksi dalam pelaksanaan tanggung jawab yang dimandati atas perlindungan tersebut, maka pengadilan tidak boleh mencampuri hal tersebut atau memberikan pendapat lain atas keputusan direksi. Sebaliknya jika direksi tidak dimandati atas perlindungan Business Jugdment Rule maka pengadilan wajib memeriksa keputusankeputusan tersebut apakah perilaku Direksi memang untuk kepentingan perusahaan dan dengan itikad baik serta memperhatikan pemegang saham minoritas perusahaan.. Latar belakang dari berlakunya doktrin putusan bisnis ini adalah karena di antara semua pihak dalam perseroan, sesuai dengan kedudukannya selaku Direksi, maka pihak direksilah yang paling berwenang dan yang paling profesional untuk 78
Gunawan Widjaya, Tanggung jawab Direksi Atas Kepailitan Perseroan, Op. Cit. Hal. 37
Universitas Sumatera Utara
memutuskan apa yang terbaik dilakukan untuk perseroannya, sementara jika karena putusan bisnis dari Direksi terjadi kerugian bagi perseroan, sampai batas-batas tertentu masih dapat ditoleransi mengingat tidak semua bisnis harus mendapat untung. Dengan perkataan lain, perseroan juga harus menanggung resiko bisnis, termasuk risiko kerugian. 79 Karena itu, Direksi tidak dapat diminta tanggung jawabnya hanya karena alasan salah dalam memutuskan (mere error of judgment) atau hanya karena alasan kerugian perseroan. Direksi tidak dapat dimintakan tanggung jawabnya hanya karena adanya
tindakan
yang
termasuk
ke
dalam
kategori
miscalculation
atau
mismanagement. Business Judgment Rule merupakan sebuah doktrin yang telah lama diterapkan untuk melindungi Direksi dalam pertanggungjawaban hukum yang diambil dari keputusan-keputusan bisnis mereka, yang melibatkan pemegang saham yang mengajukan gugatan minoritas dan/atau melawan Direksi-direksi perusahaan yang diduga melanggar prinsip-prinsip keadilan dalam pengambilalihan saham kepada perusahaan lain. 80 Besarnya pengaruh prinsip Business Judgment Rule telah menyebabkan beberapanegara bagian di Amerika Serikat mengecualikan berbagai kerugian perseroan dari tanggung jawab Direksi, namun demikian sebagaiman berlaku di negara bagian Delaware, kerugian yang terbit sebagai akibat perbuatan Direksi
79 80
Munir Fuadi, Doktrin-Doktrin Dalam Corporate Law, Op. Cit. Hal. 199 www.hukumonline.com, di akses pada tanggal 8 Juli 2010
Universitas Sumatera Utara
tersebut di bawah ini, tidak dapat diberlakukan prinsip Business Judgment Rule. Tindakan-tindakan tersebut adalah : 81 1. Pelanggaran terhadap duty of loyaliti, khususnya terkait dengan keterbukaan informasi dari transaksi yang mengandung benturan kepentingan. 2. Melakukan atau tidak melakukan suatu hal tidak dengan itikad baik atau melibatkan perbuatan yang dengan sengaja melawan hukum atau patut diduga perbuatan akan melawan hukum. 3. Pembagian Deviden atau pembelian kembali saham yang tidak layak. 4. Transaksi yang membawa akibat Direksi mendapat keuntungan secara tidak layak. Menurut ajaran dari doktrin putusan bisnis ini, karena Direksi yang paling berkompeten untuk menjalankan dan memutuskan terhadap bisnis perusahaan, maka tidak ada 1 (satu) orang lagi pun yang berwenang memberi kepurusan tentang bisnis perseroan. Bahkan, pengadilan tidak boleh melakukan pendapat bandingan terhadap putusan bisnis dari Direksi tersebut. Karena itu, gugatan terhadap Direksi dalam hubungan dengan putusan bisnisnya dengan berdalilkan kelirunya putusan Direksi, sering kali ditolak pengadilan berdasarkan doktrin putusan bisnis ini, meskipun kepada Direksi dibebankan fiducia duty, yang membebankan tanggung jawab yang besar kepada pundak Direksi. Sebenarnya inti dari pemberlakuan doktrin putusan bisnis adalah bahwa semua pihak, termasuk pengadilan harus menghormati putusan bisnis yang diambil 81
Gunawan Widjaya, Risiko Hukum Pemilik, Direksi dan Komisaris Perseroan terbatas, (Jakarta: Forum Sahabat, 2008), hal. 60
Universitas Sumatera Utara
oleh orang-orang yang memang mengerti dan berpengalaman di bidang bisninya, terutama sekali terhadap maslah-masalah bisnis yang kompleks. Karena itu, kepada mereka patut diberikan diskresi yang besar. Mereka yang berpengalaman dan mempunyai pengetahuan tentang bisnis tentunya adalah pihak Direksi, paling tidak mereka telah berpengalaman dari pada hakim dipengadilan, yang sama sekali tidak mengetahui bisnis dan memutuskan hanya berdasarkan sejumlah petunjuk dan pendapat dari pengacara. Yurisprudensi pengadilan Ameriaka Serikat menawarkan pedoman yang sangat berguna untuk dijadikan rujukan setiap anggota Direksi perseroan dalam menjalankan tugasnya, yaitu bahwa anggota direksi harus : 82 a. Memiliki pemahaman yang baik mengenai bisnis perseroan yang dipimpinnya b. Dari waktu ke waktu mengetahui mengenai kegiatan usaha perseroan; c. Melakukan pemantauan kegiatan perseroan; d. Menghadiri rapat-rapat direksi secara teratur; e. Melakukan review atas laporan-laporan keuangan perseroan secara teratur; f. Menanyakan apabila menjumpai masalah-masalah yang meragukan; g. Menyatakan keberatan terhadap dilakukannya perbuatan-perbuatan yang jalasjelas melanggar hukum; h. Berkonsultasi dengan penasehat (counsel) perseroan; i.
Mengundurkan diri apabila perbaikan-perbaikan yang harus dilakukan ternyata tidak dilakukan.
82
Gunawan Widjaya, Tanggung jawab Direksi atas Kepailitan Perseroan, Op. Cit, hal. 42
Universitas Sumatera Utara
Jika sebenarnya dengan berlakunya atau diberlakukannya prinsip Business Judgment Rule adalah terjadinya beban pembuktian terbalik, dimana pihak yang menduga bahwa Direksi (dan atau anggotanya) tidak boleh bertindak secara baik untuk keuntungan perseroan wajib membuktikan adanya dugaan tersebut.
C. Tujuan Prinsip Business Judgment Rule Disamping
konsepsi fiduciary duty,
khususnya duty of
care and
skill/diligence, dalam konsepsi Business Judgment Rule, seorang anggota Direksi tidak dengan mudah dianggap telah melakukan pelanggaran atas duty of care and skill, selama ia dalam mengambil suatu tindakan telah didasarkan pada iktikad baik, kecuali jika terdapat kecurangan (fraud), benturan kepentingan (conflict of interest), atau perbuatan melawan hukum ( ilegallity). 83 Perseroan Terbatas sebagai suatu perusahaan atau suatu entitas ekonomi dimana salah satu karakteristiknya adalah terpusatnya manajemen di bawah struktur Dewan Direksi. Oleh karena itu sangat penting untuk mengontrol prilaku dari para Direktur yang mempunyai posisi dan kekuatan besar dalam mengelola perusahaan, termasuk menentukan standart prilaku (standart of conduct) untuk melindungi pihakpihakyang akan dirugikan apabila seorang direktur berprilaku tidak sesuai dengan kewenangannya atau berprilaku tidak jujur. 84
83 84
Gunawan Widjaya, Tanggung jawab Direksi Atas Kepailitan Perseroan, Op. Cit, hal. 152 Janet Dine, Company Law, (Macmillan Press Ltd, 1998) hal. 179
Universitas Sumatera Utara
Konsep Business Judgment Rule, yang berasal dari Amerika Serikat ini, mencegah peradilan-peradilan di Amerika untuk mempertanyakan pengambilan keputusan usaha oleh Direksi, yang diambil dengan itikad baik, tanpa kepentingan pribadi, dan keyakinan yang dapat dipertanggung jawabkan bahwa mereka telah mengambil suatu keputusan yang mengntungkan perseroan. 85 Jadi, sudah sepantasnya jika seorang Direktur perseroan tidak di generalisir untuk bertanggung jawab atas kesalahannya dalam mengambil keputusan (mere error of judgment) tanpa pertimbangan unsur manusiawinya. 86 Doktrin Business judgment Rule secara tradisional, juga di konsep untuk melindungi kepentingan anggota Direksi dari pertanggung jawaban diambilnya keputusan usaha tertentu yang mengakibatkan kerugian bagi perseroan. 87 Doktrin Business Judgment Rule memberikan perlindungan kepada Direksi perseroan atas kemungkinan adanya kesalahan yang diakibatkan oleh suatu keadaan yang wajar dan manusiawi. Sutan Remi Syahdeini dalam makalahnya “Tanggung Jawab Pribadi Direksi dan Komisaris” yang dimuat dalam Jurnal Hukum Bisnis, Volume 14, juli 2001, mengatakan bahwa menurut Business Judgment Rule, pertimbangan bisnis (business judgment) para anggota Direksi tidak dapat di tantang (diganggu gugat) atau ditolak oleh pengadilan atau oleh pemegang saham. Para anggota Direksi tidak dapat dibebani tanggung jawab atas akibat-akibat yang timbul karena telah diambinya suatu 85
Gunawan Widjaya, Op. Cit, hal. 37 Tri Widiyono, Op. Cit, hal. 123 87 Gunawan Widjaya, Op Cit, hal. 38 86
Universitas Sumatera Utara
pertimbangan bisnis (business judgment) oleh anggota Direksi yang bersangkutan, sekalipun apabila pertimbangan itu keliru, kecuali dalam hal-hal tertentu. 88 Berdasarkan hal tersebut di atas, Business Judgement Rule pada pokoknya mengasumsikan bahwa, dalam membuat suatu keputusan bisnis, Direksi dari suatu perusahaan bertindak atas dasar informasi yang dimikinya, dengan itikad baik dan dengan keyakinan bahwa tindakan yang diambil adalah semata-mata untuk kepentingan perusahaan. Doktrin ini pada prinsipnya mencegah campur tangan judisial terhadap tindakan Direksi yang didasari itikad baik dan kehati-hatian, dalam rangka mencapai tujuan perusahaan yang sah menurut hukum. Business Judgement Rule dimaksudkan untuk memberikan dorongan bagi Direksi agar dalam melakukan tugasnya, tidak perlu takut terhadap ancaman tanggung jawab pribadi, dengan kata lain, Business Judgement Rule mendorong direksi untuk lebih berani mengambil risiko ketimbang terlalu hati-hati. Prinsip tersebut juga mencerminkan asumsi bahwa pengadilan tidak dapat membuat keputusan yang lebih baik dalam bidang bisnis ketimbang direksi. Sebab, para hakim pada umumnya tidak memiliki keterampilan kegiatan bisnis dan baru mulai mempelajari permasalahan setelah terjadi fakta-fakta. Fungsi kontrol terhadap Direktur tidak terlepas dari perkembangan teory pemisahan kekayaan dalam hukum perusahaan itu sendiri. Teori ini berasal dari teori Salomon yang muncul dari putusan pengadilan kasus Solomon v Salomon & Co Ltd
88
Sutan Remy Sjadeini, Tanggung jawab Pribadi Direksi dan Komisaris, (Dalam Jurnal Hukum Bisnis Volume 14, 2001), hal. 132
Universitas Sumatera Utara
(1897). Teoti ini mengungkapkan bahwa pada sebuah pembentukan perseroan terbatas, perusahaan menjadi bagian terpisah dari orang yang membentuknya atau menjalankannya, dimana perusahaan tersebut mempunyai hak dan kewajiban yang berkaitan
erat
dengan
aktivitasnya
bukan
kepada
orang
memiliki
atau
menjalankannya. 89 Dalam perkenbangannya teori Solomon tersebut sering disalah gunakan oleh para pemilik dan Direktur yang beritikad buruk untuk kepentingan sendiri. Pemegang ini sering kali hanya mempunyai pengawasan yang kecil atau bahkan tidak sama sekali terhadap prilaku seorang Direktur. Oleh karena itu, dengan adanya pemisahan kekayaan antara Direktur dan perusahaannya, para Direktur mempunyai moral hazard yang tinggi karena mereka tidak dapat konsekwensi finansial yang serius apabila keputusan mereka merugikan perusahaan. Akibatnya banyak para direktur yang menggunakan kekuasaanya untuk memperkaya diri sendiri yang sering kali menyebabkan perusahaan mereka mengalami kerugian. 90 Dalam hal ini maka dibutlah pengecualian terhadap teori ini, misalkan dalam hal para pemilik dan Direktur berada dalam posisi tidak terlindungi (exposed position) maka mereka bertanggung jawab secara pribadi kepada akibat-akibat hukum dari perbuatan mereka. 91 Namun demikian, Business Judgement Rule hanya berlaku terhadap pertimbangan atau keputusan bisnis, termasuk keputusan untuk tidak
89
Cristopepher L. Ryan, Company Directors, Liabilities, Right and Duties, (CCH Edition Limited, Third Edition, 1990), hal. 215 90 Ibid 91 Ibid, hal. 216
Universitas Sumatera Utara
bertindak. Prinsip tersebut tidak dapat diterapkan dalam hal tidak ada keputusan bisnis yang diambil. Namun, sejauh mana Bisniss Judgement Rule dapat diterapkan oleh pengadilan di luar konteks pengambilan keputusan, merupakan sesuatu yang tidak dapat dipastikan. Doktrin Business Judgment Rule menyisihkan kekuatan berlakunya doktrin duty of care, dimana praktis semua pengadilan di Amerika Serikat sepakat bahwa anggota Direksi tidak harus bertnggung jawab atas kerugian perseroan, apabila anggota Direksi dalam mengambil suatu pertimbangan diketahui telah melakukannya dengan iktikad baik. Tidak ada yang dapat menguji perbuatan atau tindakan yang diambil oleh direksi tersebut, sehingga tidak ada pula yang dapat meminta kepadanya untuk mempertanggung jawabkan hasil perbuatan atau tindakan atau keputusan yang diambil tersebut kecuali jika terbukti ada terdapat kecurangan (fraud), benturan kepentingan (conflict of interest), atau perbuatan melawan hukum (ilegallity). Dalam konteks yang demikian, berarti tidak semua kepailitan akan membawa direksi ke arah pertanggung jawaban yang ditentukan dalam Pasal 104 kecurangan (fraud), benturan kepentingan (conflict of interest), atau perbuatan melawan hukum (ilegallity), yang memungkinkan dimintakannya pertangggungjawaban anggota direksi secara pribadi. Tindakan anggota Direksi yang dengan tidak membayar kewajibannya yang telah jatuh tempo sehingga menyebabkan perseroan dimohonkan kepailitan dan pada
Universitas Sumatera Utara
akhirnya jatuh pada keadaan pailit, berdasarkan putusan pengadilan jelas dapat dianggap sebagai pelanggaran terhadap konsepsi Business Judgment Rule. 92 Beberapa pengadilan di Amerika Serikat berpendapat bahwa pertimbangan (judgment) seorang anggota Direksi tidak dapat di ganggu gugat kecuali apabila pertimbangan (judgment) tersebut didasarkan atas kecurangan (fraud), atau menimbulkan benturan kepentingan (conflict of interest), atau perbuatan melawan hukum (ilegallity). Perlindungan Business Judgment Rule dikatakan tidak berlaku bagi anggota direksi perseroan, jika dalam transaksi bisnis yang dilakukan oleh Direksi, diketahui bahwa Direksi tersebut telah berupaya untuk mengendapkan kepentingan pribadinya, atau telah terdorong untuk membuat syarat-syarat transaksi yang diberlakukan demi kepentingan pribadinya. Tindakan anggota Direksi yang sangat sengaja tidak membayar kewajibannya yang telah jatuh tempo sehingga menyebabkan perseroan dimohonkan kepailitan dan apda akhirnya jatuh berada dalam keadaan pailit, berdasarkan putusan pengdilan jelas dapat dianggap sebagai pelanggaran terhadap konsepsi Business Judgment Rule ini.
D. Kontradiksi Dari Prinsip Business Judgment Rule Seperti yang telah disebutkan bahwa doktrin putusan Business Judgment Rule, maka jika karena putusan bisnis dari Direksi terjadi kerugian bagi perseroan, sampai
92
Gunawan Widjaya, Op. Cit, hal. 153
Universitas Sumatera Utara
batas-batas tertentu masih dapat ditoleransi mengingat semua bisnis harus mendapat untung. Dengan perkataan lain, perseroan harus juga menanggung risiko bisnis, termasuk risiko kerugian. Karena itu, Direksi tidak dapat dimintakan tanggung jawabnya hanya karena alasan-alasan salah dalam memutuskan (mere error of judgment). Toleransi hukum terhadap kesalahan Direksi hanya sampai batas-batas tertentu saja, Artinya, ada kesalahan Direksi yang diberikan toleransi, tetapi ada jaga kesalahan Direksi yang sama sekali tidak dapat di toleransi, dan karenanya kepadanya harus dimintakan pertanggung jawaban hukum. 93 Dalam literatur hukum perseroan sering disebut-sebut bahwa kesalahan direksi yang dapat di toleransi adalah sebagai berikut :94 a. Hanya salah dalam mengambil putusan (mere error of judgment) b. Kesalahan yang jujur (honesrt mistake, honest error in judgment) c. Kerugian perusahaan karena kesalahan pegawai perusahaan (kecuali jika tidak ada system pengawasan yang baik) Sebagai bahan acuan kiranya patut diketahui bahwa sebenarnya dalam setiap saat, Direktur harus bertindak jujur (honest) dan bertugas dengan menggunakan ketekunan yang pantas (reasonable diligent) dalam melaksanakan tugas jabatannya. Direktur harus bertindak dengan pertimbangan yang jujur berdasarkan kepentingan perusahaan dan bukan atas dasar kepentingan kelompok orang atau badan, tidak 93 94
Munir Fuadi, Doktrin-Doktrin Dalam Corporate Law, Op. Cit, hal. 200 Ibid
Universitas Sumatera Utara
menempatkan dirinya dalam posisi yang mengakibatkan terjadinya pertentangan antara kepentingan perusahaan dan kepentingan pribadi atau antar tugas dan kepentingannya, dan Direktur harus menggunakan wewenang dan aset yang dipercayakan kepadanya untuk maksud yang telah diberikan dan bukan untuk tujuan lain. 95 Sementara kesalahan-kesalahan Direksi yang mesti diminta pertanggung jawaban adalah : 96 a. Kesalahan yang bertentangan dengan prinsip fiduciary duty. Dalam hal ini termasuk jika ada unsur benturan kepentingan (conflict of interest). b. Kesalahan yang bertentangan dengan prinsip kehati-hatian (due care). Dalam hal ini termasuk jika ada unsur kesengajaanatau kelalaian. c. Kesalahan yang bertentangan dengan prinsip putusan yang bijaksana (prudence). d. Kesalahan yang bertentangan dengan prinsip itikad baik. e. Kesalahan yang bertentangan dengan tujuan bisnis yang benar (proper purpose) f. Kesalahan direksi karena tidak kompeten. g. Kesalahan karena melanggar hukum dan perundang-undangan yang berlaku. h. Kesalahan karena direksi kurang informasi (ill informed) i. Kesalahan karena dalam mengambil tindakan/putusan, direksi terlalu tergesa-gesa (hasty action).
95 96
I.G Ray, Op. Cit, hal. 72 Munir Fuadi, Doktrin-doktrin Dalam Corporate Law , Op. Cit, hal. 201
Universitas Sumatera Utara
j.
Kesalahan karena keputusan diambil tanpa investigasi dan pertimbangan yang rasional. Jika dibandingkan dengan fiduciary duty Direksi, maka semua hal yang
dikatakan sebagai pelanggaran yang menyebabkan tidak berlakunya Business Judgment Rule adalah pelanggara terhadap fiduciary duty Direksi, dengan demikian dapat dikatakan secara sederhana Direksi yang melanggar fiduciari duty tidak dilindungi oleh prinsip Business Judgment Rule. Jadi dengan demikian dapat dikatakan bahwa untuk mendapat perlindungan Business Judgment Rule ada beberapa syarat yang harus diperhatikan Direksi yaitu : 97 1. Direksi harus mengambil keputusan (judgment). Kelalaian Direksi untuk meminta dokumen yang diperlukan untuk mengambil suatu keputusan sudah cukup untuk membuat Direksi yang bersangkutan dikeluarkan dari perlindungan Business Judgment Rule. 2. Direksi dalm mengambil keputusan harus sudah memperoleh masukan yang menurutnya selayaknya diperlukan yang terkait dengan keputusan yang akan diambil tersebut dan bahwa proses atau langkah-langkah yang sewajarnya untuk mengambil suatu keputusan bisnis sudah juga ditempuh. 3. Keputusan yang diambil tersebut harus berdasarkan pada itikad baik, dengan pengertian tidak ada seorang pun dari anggota Direksi yang mengetahui bahwa
97
Gunawan Widjaya, Risiko Hukum Pemilik, Direksi dan Komisaris Perseroan Terbatas, Op.
Cit, hal. 60
Universitas Sumatera Utara
akibat dari keputusan tersebut akan mengakibatkan kerugian bagi perseroan secar nyata, yang merupakan perbuatan curang atau melawan hukum. 4. Tidak ada seorang anggota Direksi pun yang mempunyai benturan kepentingan secara finansial dengan kepentingan perseroan terhadap keputusan yang diambi tersebut. Doktrin Business Judgment Rule lebih melindungi Direksi dalam menjalankan tugasnya, khususnya dalam mengambil putusan-putusan bisnisnya. Karena itu, selintas kelihatannya prinsip Business Judgment Rule ini akan berdiri berhadapan atau bertentangan dengan teori-teori hukum lain yang lebih membebankan tanggung jawab kepada Direksi, yaitu dengan teori-teori hukum sebagai berikut : 98 1. Teori fiduciary duty dari Direksi 2. Teori due care and loyalty dari Direksi 3. Teori derivative suit 4. Teori piercing the corporate veil 5. Teori ultra vires 6. Teori tujuan yang benar (proper purpose) 7. Teori tanggung jawab promotor perusahaan Akan tetapi, sebenarnya semua teori tersebut tidak bertentangan, tetapi sejalan dengan teori Business Judgment Rule adalah juga putusan bisnis yang diambil dengan kehati-hatian, sesuai dengan anggaran dasar, dengan tujuan yang benar, dan 98
Munir Fuadi, Doktrin-Doktrin Dalam Corporate Law, Op. Cit, hal. 201
Universitas Sumatera Utara
sebagainya sebagaimana juga yang disyaratkan oleh doktrin fiduciary duty, due care and loyalty, piercing the corporate veil, ultra vires, dan lain-lain sebagainya. E. Business Judgmet Rule Menurut Hukum Indonesia Dalam
hukum
perseroan,
fiduciary
duty
mengandung
arti
dalam
melaksanakan tugas dan wewenangnya untuk mengurus perseroan, Direksi harus bertolak dari landasan bahwa tugas dan wewenang yang diperolehnya didasarkan pada dua prinsip. Kedua prinsip itu adalah kepercayaan yang diberikan perseroan dan prinsip yang merujuk kepada kemampuan dan kehati-hatian dari tindakan Direksi. Untuk dimengerti, dalam konsep fiduciary duty, seorang Direksi bertanggung jawab terhadap perseroan, bukan organ perseroan lainnya, baik rapat umum pemegang saham ataupun dewan komisaris, apalagi pemegang saham. Hal ini diperkuat dengan bunyi Pasal 1 angka 5 UUPT yang berbunyi: Direksi adalah organ perseroan yang berwenang dan bertanggung jawab penuh atas pengurusan perseroan untuk kepentingan perseroan, sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan serta mewakili perseroan, sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan serta mewakili perseroan, baik di dalam maupun di luar pengadilan dengan ketentuan anggaran dasar. 99 Karena kedudukannya yang bersifat fiduciary duty, yang dalam UndangUndang Oerseroan Terbatas sampai batas-batas tertentu diakui, maka tanggung jawab Direksi menjadi sangat tinggi. Tidak hanya dia bertanggung jawab terhadap ketidak jujuran yang disengaja (dishonesty), tetapi juga bertanggung jawab secara hukum 99
Lihat Pasal 1 ayat (5) UUPT
Universitas Sumatera Utara
terhadap tindakan mismanagement, kelalaian atau gagal atau tidak melakukan sesuatu yang penting bagi perusahaan. 100 Fiduciary duty merupakan tugas-tugas yang dipercayakan kepada dari Direksi oleh perseroan dan dasar bertindak dari kegiatan direksi dalam mengambil keputusan berkenaan dengan tugasnya menjalankan kegiatan (bisnis) perseroan. Seperti yang telah dijelaskan bahwa indikasi berlakunya teori fiduciary duty ini terlihat dari beberapa pasal dari Undang-undang Perseroan Terbatas Nomor 40 Tahun 2007, yaitu sebagai berikut : Pasal 97 ayat (1) yang berbunyi : Direksi betanggung jawab atas pengurusan perseroan sebagaimana dimaksud Pasal 92 ayat (1). Pasal 98 ayat (1) yang berbunyi : Direksi mewakili perseroan di dalam maupun di luar pengadilan. Pasal 99 UUPT yang bebunyi sebagai berikut :101 1. Anggota direksi tidak bewenang mewakili perseroan apabila : a. Terjadi perkara di pengadilan antara perseroan dengan anggota direksiyang bersangkutan; atau b. Anggota direksi yang bersangkutan mempunyai benturan kepentingandengan perseroan 2. Dalam hal terdapat keadaan sebagaimana dimaksud pada pasal (1), yang tidak mewakili perseroan adalah : a. Anggota direksi lainnya yang tidak mempunyai benturan kepentingan dengan perseroan; b. Dewan komisaris dalam hal seluruh anggota direksi mempunyai benturan kepentingandengan perseroan; atau c. Pihal lain yang ditunjuk RUPS dalam hal seluruh anggota direksi atau dewan komisaris mempunyai benturan kepentingan dengan perseroan. 100 101
Munir Fuadi, Perseroan Terbatas Paradigma Baru, Op. Cit, hal. 82 Lihat Pasal 99 UUPT
Universitas Sumatera Utara
Tanggung jawab Direksi pada dasarnya dilandasi oleh 2 (dua) prinsip penting, yaitu prinsip yang lahir karena tugas dan kedudukan yang dipercayakan kepadanya oleh perseroan (fiduciary duty) dan prinsip yang merujuk pada kemampuan serta kehati-hatian tindakan Direksi (Duty of skill and care). Kedua prinsip ini menuntut Direksi untuk bertindak secara hati-hati dan disertai itikad baik, semata-mata untuk kepentingan dan tujuan perseroan. pelanggaran terhadapnya membawa konsekuensi yang berat bagi bagi Direksi, karena itu dapat dimintai pertanggung jawaban pribadi. 102 Dalam hal tindakan Direksi merugikan perseroan, maka pemegang saham yang memenuhi persyaratan sebagaimana yang ditetapkan pada Pasal 97 ayat (6) UUPT dapat mewakili perseroan untuk melakukan tuntutan atau gugatan terhadap Direksi melalui pengadilan. Pasal-pasal tersebut di atas terutama Pasal 97 menekankan akan tugas fiduciary duty dari Direksi, tetapi sebenarnya dari pasal-pasal tersebut dapat ditarik kesimpulan tentang berlaku tidaknya doktrin Business Judgment Rule. Pasal 97 ayat (1) dan ayat (2) UUPT Tahun 2007 mengindikasikan bahwa Undang-undang Perseroan Terbatas tersebut memberlakukan doktrin Business Judgment Rule. Dari ketentuan dalam pasal Pasal 97 ayat (1) dan ayat (2) UUPT Tahun 2007 dapat disimpulkan bahwa tindakan direksi terhadap perseroan haruslah dilakukan dengan memenuni ketiga syarat yuridis sebagai berikut: 103
102 103
www. hukum online.com, di akses pada tanggal 8 Juli 2010 Lihat Pasal 97 ayat (1) dan (2)
Universitas Sumatera Utara
1. Itikad baik (good faith), 2. Penuh tanggung jawab, dan 3. Untuk kepentingan dan usaha perseroan (proper purpose) Manakala salah satu dari ketiga unsur yuridis tersebut tidak dipenuhi, maka direksi tersebut dianggap bersalah (dalam arti kesengajaan) atau setidaknya dalam keadaan lalai (negligence) dalam menjalankan tugasnya itu, sehingga dia harus bertanggung jawab secara pribadi. 104 Dapat ditarik suatu kesimpulan yuridis miscalkulasi, kesalahan yang jujur (honest mistake) atau kesalahan dalam melakukan
judgment (mere error of
judgment), selama tidak melanggar salah satu atau lebih dari 3 (tiga) unsur tersebut di atas, belumlah dapat dibebankan kewajiban hukum kepada Direksi secara pribadi, meskipun mungkin saja pihak perseroan atau pemegang saham telah dirugikan secara materil maupun nonmaterial. Karena itu dapat dikatakan bahwa sampai batas-batas tertentu, Undang-undang Perseroan terbatas Nomor 40 Tahun 2007 memang memberlakukan doktrin putusan bisnis (business judgment rule) ini. 105 Dalam menjalankan fiduciary duty, Direksi mutlak memiliki diskresi dan kebebasan dalam membuat keputusan, yang menurutnya adalah yang paling baik untuk kepentingan perseroan. Apabila ternyata keputusan tersebut salah, maka
104 105
Munir Fuadi, Doktrin-Doktrin Dalam Corporate Law, Op. Cit, hal. 206 Ibid
Universitas Sumatera Utara
keputusan tersebut akan dinilai dengan mekanisme yang dikenal dengan Business Judgment Rule.106 Dalam perkembangannya penerapan prinsip fiduciary duty telah menimbulkan kekhawatiran yang mendalam bagi para Direksi untuk mengambil keputusan bisnisnya. Dalam dunia bisnis adalah lazim bagi Direksi untuk mengambil sebuah keputusan yang bersifat spekulatif karena ketatnya persaingan usaha. Permasalahan timbul ketika keputusan bisnis yang diambilnya ternyata merugikan perusahaan, padahal dalam mengambil keputusan tersebut, Direksi melakukannya dengan jujur dan itikad yang baik. Untuk melindungi para Direksi yang beritikad baik tersebut maka mucul prinsip Business Judgment Rule yang merupakan salah satu prinsip yang sangat populer untuk menjamin keadilan bagi para Direksi yang mempunyai itikad baik. Penerapan prinsip Business Judgment Rule mempunyai misi utama, yaitu untuk mencapai keadilan, khususnya bagi para Direksi sebuah Perseroan dalam mengambil keputusan bisnis. 107
Prinsip
Business
Judgment
rule
merupakan
ketentuan
yang
dapat
dikesampingkan jika Direktur bertindak lebih baik dari pada pengadilan yang akan mendalilkan Business Judgment Rule dan apabila direksi bertindak dalam keputusan bisnis yang bebas dari self-dealing (atau untuk kepentingan pribadi) dan dapat menunjukan tindakan tersebut dilaksanakan berdasarkan alasan yang wajar serta itikad baik. Pihak yang menggugat keputusan dewan direksi menghadapi risiko akan 106 107
www. hukumonline.com, di aksess pada tanggal 8 Juli 2010 Gunawan Widjaya, Op. Cit, hal. 117
Universitas Sumatera Utara
adanya ketentuan akan ditolaknya gugatan jika pada akhirnya dapat dibuktikan bahwa Direksi membuat keputusan bisnis yang tepat.
Universitas Sumatera Utara
BAB IV TANGGUNG JAWAB DIREKTUR PT TERHADAP KEPAILITAN PT DIKAITKAN DENGAN PRINSIP BUSINESS JUDGMENT RULE A. Kepailitan Perseron Menurut UU No 37 Tahun 2004 dan UU No. 40 Tahun 2007 Kepailitan perusahaan merupakan suatu fenomena hukum perseroan yang sering sangat ditakuti, baik oleh pemilik perusahaan atau oleh mamajemennya. Karena dengan kepailitan perusahaan, berarti perusahaan tersebut telah gagal dalam berbisnis atau setidak-tidaknya telah gagal dalam membayar utang. 108 Istilah pailit dijumpai dalam perbendaharaan bahasa Belanda, Perancis, Latin dan Inggris. Dalam bahasa Perancis, istilah “faillite” artinya pemogokan atau kemacetan dalam melakukan pembayaran. Didalam bahasa Belanda dipergunakan istilah failit yang dalam bahasa Inggris dipergunakan istilah to fail, dan didalam bahasa Latin dipergunakan istilah failire. 109 Kepailitan menurut pasal 1 ayat (1) UU No. 37 Tahun 2004 adalah sita umum atas semua kekayaan dibitor pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam Undang-undang ini. 110
108
Munir Fuadi, Pengantar Hukum Bisnis Menata Bisnis Modern di Era Global, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2005), hal. 75 109 Sunarmi, Hukum Kepailitan, (Medan: USU Press, 2009), hal. 20 110 Lihat Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
Universitas Sumatera Utara
Menurut Retnowulan, dalam bukunya kapita selekta Hukum Ekonomi dan Perbankan, seri Varia Yustisia, yang dimaksud dengan kepailitan adalah eksekusi masal yang ditetapkan dengan keputusan hakim, yang berlaku serta merta, dengan melakukan penyitaan umum atas semua harta orang yang dinyatakan pailit, baik yang ada pada pernyataan pailit maupun yang diperoleh selama kepailitan berlangsung, untuk kepentingan semua direktur, yang dilakukan dengan pengawasan pihak yang berwajib. 111 Mohammad Chidir berpendapat bahwa kepailitan adalah pembeslahan masal dan pembayaran yang merata serta pembagian yang seadil-adilnya di antara para kreditor dengan di bawah pengawasan pemerintah. 112 Sementara itu Kartono mengemukakan, kepailitan adalah suatu sitaan umum dan eksekusi terhadap seluruh kekayaan debitor untuk kepentingan semua kreditornya. 113 Undang-undang kepailitan tidak merinci secara spesifik mengenai ketentuan yang membedakan antara kepailitan orang perorangan dengan kepailitan badan hukum. Namun demikian, jika dikaji lebih mendalam banyak terdapat suatu norma yang sebenarnya hanya dapat diberlakukan terhadap kepailitan perseroan terbatas. Zainal Asikin menyebutkan bahwa hukum kepailitan mempunyai fungsi yang sangat penting yaitu melalui hukum kepailitan akan diadakan suatu penyitaan umum 111
Retnowulan, Kapita Selekta Hukum Ekonomi dan Perbankan, (Seri Varia Yustisia, 1996),
hal. 88 112
Mohammad Chidir Ali, Kepailitan dan penundaan Pembayaran, (Bandung: Mandar Maju, 1995), hal. 10 113 Kartono, Kepailitan dan Pengunduran Pembayaran, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1974), hal. 76
Universitas Sumatera Utara
(eksekusi masal) terhadap seluruh harta kekayaan debitor, yang selanjutnya akan dibagikan kepada kreditor secara seimbang dan adil dibawah kewenangan petugas yang berwenang. 114 Undang-undang
kepailitan
dapat
juga
berfungsi
untuk
melindungi
kepentingan, pihak-pihak terkait dalam hal ini Kreditor dan Debitor, atau juga masyarakat. Mengenai hal ini Undang-Undang Kepailitan menyebutkan beberapa faktor perlunya pengaturan mengenai kepailitan yaitu: 115 1. Untuk menghindari perbuatan harta Debitor apabila dalam hal waktu yang sama ada beberapa Kreditor yang menegih piutangnya dari Debitor. 2. Untuk menghindari adanya Kreditor pemegang hak jaminan kebendaan yang menuntut haknya dengan cara menjual barang milik Debitor tanpa memperhatikan kepentingan Debitor atau para Kreditor lainnya. 3. Untuk menghindari adanya kecurangan-kecurangan yang dilakukan oleh salah seorang Kreditor atau Debitor sendiri. Mengutip Mochtar Kusumaatmadja yang berpendapat bahwa hukum harus merupakan sarana pembaharuan dan pembangunan masyarakat, diharapkan UndangUndang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
juga berperan
dalam pembaharuan masyarakat untuk menyelesaikan utang piutangnya. 116
Zainal Asikin, Hukum Kepailitan dan Penundaan Pembayaran di Indonesia , (Jakarta: Penerbit Rajawali Pers, 1991), hal. 24 115 H.Man S. Sastarwidjaja, Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, (Bandung: PT Alumni, Bandung, 2006), hal. 72 116 Mochtar Kusuaatmaja, Konsep-konsep Hukum dalam Pembangunan, Pusat Studi Wawasan Nusantara, (Bandung: PT Alumni, 2002), hal. 88
Universitas Sumatera Utara
Prinsip commercial exit from financial ditress dari kepailitan memberikan makna bahwa kepailitan adalah merupakan solusi dari masalah penyelesaian utang debitor yang sedang mengalami kebangkrutan dan bukan sebaliknya bahwa kepailitan justru dugunakan sebagai pranata hukum untuk membangkrutkan suatu usaha. 117 Untuk mempailitkan debitor sebenarnya tidak bertentangan dengan prinsip ini sepanjang kemudahan untuk mempailitkan adalah dalam konteks penyelesaian utang karena adanya kesulitan finansial dari usaha debitor. Dari pengertian kepailitan seperti disebutkan di atas, dapat disimpulkan bahwa : 118 1. Kepailitan dimaksud untuk mencegah penyitaan dan eksekusi yang dimintakan kreditor secara perorangan. 2. Kepailitan hanya mengenai harta benda dibitur, bukan pribadinya. Jadi, ia tetap cakap untuk melakukan perbuatan hukum di luar hukum kekayaan. Kepailitan dapat dimohonkan apabila Direktur mempunyai dua atau lebih kreditor yang tidak membayar setidaknya satu utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih. Utang yang tidak dapat dibayar oleh debitor sebagaimana yang dimaksud dalam ketentuan Pasal 1 tersebut adalah utang pokok atau bunganya. Fred B.G Tumbuan berpendapat bahwa keharusan sedikitnya ada 2 (dua) kreditor dalam UU. 37 Tahun 2004 tentang kepailitan sesuai dengan ketentuan Pasal
117
M.Hadi Shubhan, Hukum Kepailitan: Prinsip, Norma, & praktik di Peradilan, (Jakarta: Kencana, 2008), Jakarta, hal. 189 118 Rahayu Hartini, Hukum Kepailitan, (Malang: Penerbit UMM Press, 2008), hal. 22
Universitas Sumatera Utara
1132 KUHPerdata, yang pada dasarnya menetapkan bahwa pembagian kekayaan debitor diantara kreditor harus dilaksanakan secara pari passu parte. Dalam UU No. 37 Tahun 2004 ditentukan pihak-pihak yang dapat mengajukan permohonan pailit yaitu : 119 1. Debitor sendiri; 2. Seorang atau beberapa kreditor (Pasal 2 ayat 1); 3. Kejaksaan demi kepentingan umum (Pasal 2 ayat 1); 4. Bank Indonesia dalam hal menyangkut debitor yang merupakan bank (pasal 2 ayat 3); 5. Badan Pengawas pasar Modal dalam hal menyangkut debitor yang merupakan Perusahaan Efek, Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, Lembaga Penjaminan dan Penyelesaian (Pasal 2 ayat 4); 6. Menteri Keuangan dalam hal debitor adlah Perusahaan Asuransi, Perusahaan Reasuransi, Dana pensiun, atau Badan Usaha Milik Negara yang bergerak dibidang kepentingan publik (Pasal 2 ayat 5) Ketentuan Pasal 2 ayat (5) yang memberikan kewenangan kepada Menteri Keuangan sebagai satu-satunya pihak yang berhak mengajukan pailit Perusahaan Asuransi, Perusahaan Reasuransi, Dana Pensiun, atau Badan Usaha Milik Negara yang bergerak di bidang kepentingan publik ini merupakan sesuatu yang baru yang
119
Sunarmi, Op. Cit, hal. 34
Universitas Sumatera Utara
tidak dijumpai dalam UU No. 4 Tahun 1998. 120 Dalam hal debitor merupakan badan hukum, maka kedudukan hukumnya adalah sebagaiman dimaksud dalam anggaran dasarnya (Pasal 2 UUK). Pengurusan dan atau pemberesan harta palit yang meliputi penyelamatan, pengelolaan, penjaminan dan penjualan harta pailit dilakuan oleh kurator (Pasal 13 jo Pasal 67 UUK). Harta kekayaan pailit meliputi seluruh harta kekayaan debitor yang ada pada saat pernyataan pailit maupun harta kekayaan yang diperoleh selama kepailitan itu. 121 Akibat dengan dinyatakan pailit, debitor demi hukum kehilangan haknya untuk berbuat bebas terhadap kekayaan yang dimasukkan kedalam kepailitan terhitung sejak tanggal pernyataan pailit itu (Pasal 12 UUK). Dalam UUK No. 37 Tahun 2004 Pasal 24 ayat (2) disebutkan bahwa tanggal putusan dihitung sejak pukul 00.00 waktu setempat. Yang dimaksud waktu waktu setempat adalah waktu tempat putusan pernyataan pailit di ucapkan oleh Pengadilan Niaga. 122 Sebaliknya menurut Pasal 7 UUK selama putusan atas permohonan pernyataan pailit belum ditetapkan, setiap kreditor atau kejaksaan dapat mengajukan permohonan kepada pengadilan niaga untuk :123 1. Meletakkan sita jaminan terhadap sebagian atau seluruh kekayaan debitor. Upaya pengamanan ini bersifat prefentif dan sementara dan dimaksudkan untuk mencegah kemungkinan debitor untuk melakukan tindakan hukum terhadap
120
Ibid Ibid, hal. 24 122 Lihat Pasal 24 ayat (3) UUK 123 Lihat Pasal 7 UUK 121
Universitas Sumatera Utara
kekayaan sehingga dapat merugikan kepentingan kreditor dalam rangka pelunasan utangnya. 2. Menunjuk kurator sementara untuk : a. Mengawasi pengelolaan usaha debitor dan b. Mengawasi pembayaran kepada kreditor, pengadilan atau penggunaan kekayaan debitor yang dalam rangka kepailitan memerlukan persetujuan kurator. Permohonan tersebut hanya dapat dikabulkan apabila hal tersebut diperlukan untuk melindungi kepentingan kreditor. Sementara itu debitor pailit dapat mengajukan akur yaitu restrukturisasi dan penghapusan sebagian utang-utangnya kepada para kreditor (Pasal 134 UUK). Jika akur ini disetujui oleh mayoritas kreditor dan Pengadilan Niaga mengesahkan dalam bentuk homologasi, kepailitan berakhir (Pasal 156 UUK). Akan tetapi jika tidak ada akur sita jaminan menjadi sita eksekutorial (Pasal 168 UUK) apabila hal ini yang terjadi proses kepailitan tersebut memasuki tahap insolvensi (harta pailit berada dalam keadaan tidak mampu membayar). Dan pada tahap ini dilakukan verifikasi terhadap tagihan-tagihan dan pencairan asset harta kekayaan pailit serta pembayaran utang-utang secara tuntas, terhadap ini akan bermuara pada pembubaran perseroan terbatas tersebut.124
124
Rahayu Hartini, Op. Cit, hal. 26
Universitas Sumatera Utara
Debitor yang mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak membayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih dapat dijatuhi putusan kepailitan. Debitor disini terdiri orang atau badan maupun badan hukum, maka berdasarkan hal tersebut diatas pihak-pihak yang dapat dinyatakan pailit adalah : 125 1. Orang perorangan 2. Perserikatan-perserikatan atau perkumpulan-perkumpulan yang bukan badan hukum seperti maatschap, firma dan perkumpulan komanditer. 3. Perseroan-perseroan atau perkumpulan-perkumpulan yang berbadan hukum seperti Perseroan Terbatas (PT), koperasi dan Yayasan. 4. Harta Peninggalan. Harta peninggalan atau warisan dapat dinyatakan pailit oleh hakim. Dalam hal badan hukum yang dinyatakan pailit organ badan hukum tersebut akan kehilangan hak untuk mengurus kekayaan badan hukum. Pengurusan kekayaan badan hukum yang dinyataka pailit beralih pada kurator. Apabila yang dipailitkan suatu perseroan terbatas yang mempunyai status badan hukum, maka pengurus yang mempunyai kewajiban untuk mempertanggung jawabkan kepailitan tersebut. Tujuan utama proses kepailitan terhadap persoran terbatas adalah untuk mempercepat proses likuidasi dalam rangka pendistribusian aset perseroan dalam rangka membayar utang-utang perseroan karena perseroan telah mengalami kesulitan
125
Sunarmi, Op. Cit, hal. 56
Universitas Sumatera Utara
keuangan yang menyebabkan insolvensi perseroan tersebut. Dengan demikian eksistensi perseroan terbatas yang dipailitkan segera berakhir dengan percepatan pemberesan proses likuidasi tersebut. Prinsip utama kepailitan perseroan terbatas adalah
menyegerakan
proses
likuidasi
aset
perseroan
untuk
kemudian
membagikannya kepada segenap kreditornya. 126 Dengan dinyatakannya pailit tidak mutatis mutandis badan hukum perseroan menjadi tidak ada. Kepailitan Perseroan Terbatas tidak mesti berakhir dengan likuidasi dan pembubaran badan hukum perseroan. dalam hal harta kekayaan telah mencukupi seluruh tagihan-tagihan kreditor dan biaya-biaya yang timbul dari kepailitan, maka langkah berikutnya adalah pengakhiran kepailitan dengan jalan rehabilitasi terhadap Perseroan Terbatas tersebut dan kepailitan diangkat serta berakibat perseroan terbatas itu kembali pada keadaan semula sebagaimana perseroan sebelum adanya kepailitan. Dalam proses kepailitan perseroan terbatas, maka perseroan terbatas tersebut masih dapat melakukan transaksi hukum terhadap pihak kedua, dimana tentunya yang melakukan perbuatan hukum perseroan tersebut adalah kurator atau setidaknya atas mandat kurator. Menurut Fred BG Tumbuan, pernyataan pailit tidak dengan sendirinya mengakibatkan perseroan menjadi bubar, hanya apabila terjadi salah satu dari dua kejadian berkanaan dengan kepailitan perseroan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 117ayat (1) c.1) dan 2) UUPT Lama, Pengadilan Negeri dapat membubarkan perseroan atas permohonan kreditor. Oleh karana itu, perseroan pailit yang belum 126
M.Hadi Shubhan, Op. Cit, hal. 198
Universitas Sumatera Utara
bubar, tetap cakap dan berwenang melakukan perbuatan hukum. Kepailitan badan hukum tidak mengurangi kewenangan dan kecakapan bertindak pengurusnya. Kepailitan tidak menyentuh status hukum badan hukum, mengingat bahwa kepalitan berkaitan dengan dan hanya mencakup harta kekayaan badan hukum. Direksi perseroan tetap berwenang mewakili perseroan secara sah dalam melakukan setiap perbuatan hukum, baik yang berhubungan dengan hak dan kewajibannya, sejauh perbuatan tersebut bukan melakukan perbuatan pengurusan (beheerdaden) dan perbuatan pengalihan (beschikkingsdaden) berkenaan dengan kekayaan perseroan yang tercakup dalam harta pailit. 127 Kemudian pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Amir Abadi Jusuf, bahwa kurator tidak menggantikan kedudukan direksi/komisaris sehubungan dengan pengurusan kekayaan perusahaan pailit. Kurator hanya bertanggung jawab atas pengurusan dan pemberesan kekayaan perusahaan, tetap berada di tanga Direksi dan Komisaris. 128 Pendapat yang berbeda dikemukakan oleh Sutan Remi Sjahdeini, bahwa dalam kaitannya dengan perseroan debitor. Kurator berkedudukan sama dengan direksi perseroan tersebut karena kurator menggantikan kedudukan Direksi perseroan setelah perseroan dinyatakan pailit. 129
127
Fred B.G Tumbuan, Pembagian Kewenangan Antara Kurator dan Organ-Organ Perseroan Terbatas, (Jakarta: PPH, 2004), hal. 246-247 128 Amir Abadi Jusaf, Tanggung jawab Direksi dan Komisaris Perusahaan Pailit, (Jakarta, 2004), hal. 253 129 Sutan Remy Sjahdeini, Hukum Kepailitan, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 2002), hal. 66-67
Universitas Sumatera Utara
Kepailitan perseroan tidak berarti status badan hukum perseroan menjadi hilang. Eksisnya badan hukum Perseroan Terbatas berarti organ-organ perseroan juga harus tetap eksis. Status badan hukum perseroan yang pailit, tetap eksis, sebelum perseroan tersebut dibubarkan yang dilanjutkan dengan likuidasi. Pasal 143 ayat (1) UUPT secara tegas menentukan pembubaran Perseroan Terbatas tidak mengkibatkan perseroan kehilangan status badan hukum sampai dengan selesainya likuidasi dan pertanggung jawaban likuidator diterima oleh Rapat Umum Pemegang Saham atau pengadilan. 130 Munir Fuady mengatakan bahwa, pembubaran adalah suatu tindakan yang menyebabkan perusahaan berhenti eksistensinya dan tidak lagi menjalankan bisnis untuk selama-lamanya, diikuti dengan proses administrasinya berupa pemberitahuan, pengumuman, dan pemutusan hubungan kerja dengan karyawannya. Pada prisipnya kepilitan Perseroan Terbatas adalah merupakan salah satu dari bentuk pembubaran Perseroan Terbatas yang berujung pada likuidasi perseroan tersebut dan bukan pranata hukum yang terpisah sama sekali dengan pengakhiran Perseroan Terbatas pada umumnya. Prinsip ini tidak dianut dalam hukum kepailitan Indonesia. 131 Dalam Pasal 142 ayat (2) menuntukan dalam hal pembubaran perseroan sebagaimana dimaksud ayat (1) :132
130
Lihat Pasal 143 ayat (1) UUPT M. Hadi Shubhan , Op. Cit, hal. 191 132 Lihat Pasal 142 ayat (2) UUPT 131
Universitas Sumatera Utara
a. Wajib diikuti dengan likudasi yang dilakukan oleh likuidator atau kurator ; dan b. Perseroan tidak dapat melakukan perbuatan hukum, kecuali diperlukan untuk membereskan semua urusan perseroan dalam rangka likuidasi. Dari pasal tersebut diatas, dapat ditafsirkan bahwa meskipun pembubaran mengakibatkan suatu perseroan menjadi tidak cakap untuk melakukan perbuatan hukum, tetapi dalam hal untuk membereskan kekayaannya yaitu dalam proses likuidasi, perseroan masih tetap cakap untuk melakukan perbuatan hukum dalam rangka likuidasi. 133 Ini menggambarkan bahwa pembubaran tidak mengakibatkan status badan hukum perseroan langsung menjadi hilang. Kedudukan hukum Direksi dan Komisaris selaku organ perseroan yang pailit tetap eksis dan tetap dapat melakukan perbuatan hukum untuk dan atas nama perseroan, sepanjang perbuatan hukum tersebut tidak menyangkut harta kekayaan perseroan. Kurator hanya berwenang untuk melakukan pengurusan dan pemberesan harta perseroan, dan tidak berwenang untuk menggantikan kedudukan Direksi sebagai organ perseroan. Tetapi statusnya baru berakhir setelah selesainya likuidasi dan pertanggung jawaban likuidator diterima oleh Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). Kepailitan Perseroan Terbatas sering kali diiringi dengan pembubaran perseroan, karena kepailitan memberikan peluang pembubaran perseroan tersebut.
133
Lihat Pasal 142 ayat (2) UUPT
Universitas Sumatera Utara
Dalam hukum perseroan terbatas di Indonesia, pembubaran perseroan terbatas merupakan pranata hukum yang diatur dalam pasal 142 ayat (1) UUPT dinyatakan bahwa perseroan bubar karena : 134 a. Berdasarkan keputusan RUPS; b. Karena jangka waktu berdirinya yang ditetapkan dalam anggaran dasar telah berakhir; c. Berdasarkan penetapan pengadilan; d. Dengan dicabutnya kepailitan berdasarkan putusan pengadilan niaga yang telah mempunyai kekuatan hokum tetap, harta pailit perseroan tidak cukup untuk membayar biaya kepailitan; e. Karena harta pailit perseroan yang telah dinyatakan pailit berada dalam keadan insolvensi sebagaiman diatur dalam Undang-Undang tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang; f. Karena dicabutnya izin usaha perseroan, sehingga mewajibkan perseroan melakukan likuidasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dalam hal perseroan terbatas bubar karana Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), maka Direksi perseroan dapat mengajukan usul pembuburan perseroan kepada RUPS, yaitu diikuti oleh proses likuidasi yang dilakukan oleh likuidator. Sedangkan dalam hal pembubaran Perseroan Terbatas karena putusan pengadilan, dalam Pasal 146 ayat (1) UUPT dikatakan bahwa pembubaran tersebut diajukan atas inisiatif adanya permohonan dari pihak kejaksaan berdasarkan alasan kuat perseroan melanggar kepentingan umum atau perseroan melakukan perbuatan yang melanggar peraturan perundang-undangan, adanya permohonan pihak yang berkepentingan berdasarkan alasan adanya cacat hukum dalam akta pendirian perseroan, adanya permohonan pemegang saham, Direksi atau Dewan Komisaris berdasarkan alasan perseroan tidak mungkin untuk dilanjutkan. 134
Lihat Pasal 142 UUPT
Universitas Sumatera Utara
Perseroan Terbatas yang dalam status dalam likuidasi masih eksis badan hukumnya seperti dalam kepailitan. Hanya saja perusahaan dalam likuidasi tidak boleh menjalankan bisnis baru melainkan hanya menyelesaikan tugas-tugasnya dalam rangka proses pemberesan dan likuidasi tersebut dan tidak bisa melakukan kegiatan diluar tugas tersebut. Dalam hal perseroan bubar yang diikuti dengan likuidasi, maka tidak dimungkinkan untuk dicabut status likuidasi tersebut apalagi direhabilitasi untuk kemudian menjadi badan hukum normal seperti sedia kala. Proposisi ini jelas berbeda dengan status pailit perseroan terbatas tersebut. Munir Fuadi menjabarkan konsekwensi hukum dari penempatan perseroan menjadi PT (dalam likuidasi), yakni antara lain : 135 1. Yang paling pokok adalah bisnis dari perusahaan tersebut dihentikan; 2. Semua kekuasaan direksi beralih kepada likuidator; 3. Kekuasaan Komisaris dibekukan; 4. Kekauasaan RUPS dibekukan, kecuali dalam hal laporan terakhir dari likuidator, yang memang harus diberikan kepada RUPS; 5. Perusahaan tetap jalan sejauh untuk kepentingan pemberesan dan pembubarannya saja; 6. Perusahaan tidak dapat lagi mengubah status asetnya, kecuali yang dilakukan oleh likuidator dalam rangka pemberesan;
135
Munir Fuadi, Doktrin-Doktrin Dalam Corporate Law , Op. Cit, hal. 186
Universitas Sumatera Utara
7. Menjadi restriksi terhadap kekuasaan kreditornya untuk memproses dengan proses hukum lainnya. Jika kepailitan Perseroan Terbatas akan berujung pada likuidasi perseroan, apakah masih bermanfaat makna kepailitan karena pada satu sisi dalam rezim hukum perseroan terbatas dikenal dengan lembaga pembubaran perseroan melalui likuidasi perusahaan. Justru disinalah funsi kepailitan untuk mempercepat likuidasi. Suatu Perseroan Terbatas yang telah dilikuidasi, maka eksistensi badan hukum dari perseroan terbatas masih tetap ada sampai proses likuidasi tersebut beres sama sekali yang berujung pada bubarnya perseroan terbatas tersebut. Karena itu, dalam proses pembubaran Perseroan Terbatas yang masih dalam proses likuidasi atau dalam bahasa teknis hukum disebut sebagai PT (dalam likuidasi) masih dapat digunakan lembaga kepailitan di dalamnya. Hal ini berarti bahwa PT (dalam likuidasi) masih bisa diajukan permohonan untuk dipailitkan dan pengadilan masih dapat menyatakan pailit atas permohonan tersebut.136 Kepailitan terhadap PT (dalam likuidasi) memiliki makna untuk lebih mempercepat proses likuidasi tersebut, disamping karena PT (dalam likuidasi) ini masih eksis status badan hukumnya. Dalam kasus-kasus tertentu kepailitan perseroan bisa dimungkinkan tanpa likuidasi. Hal terakhir ini jika dipandang perlu untuk meneruskan kegiatan usaha perseroan sehingga menghasilkan keuntunganyang lebih yang pada akhirnya hasil
136
M. Hadi Shubhan, Op. Cit, hal. 201
Universitas Sumatera Utara
keuntungan tersebut digunakan untuk membayar utang-utang perseroan. melanjutkan perusahaan ini merupaka langkah yang sangat strategis dalam terjadinya kepailitan perseroan adalah karena kesulitan likuidasi jangka pendek sementara prospek perusahaan tersebut masih baik. Pelanjutan perusahaan akan sangat bermanfaat terhadap perseroan yang pailit karena masalah keuangan. Dengan diberlanjutkannya usaha perseroan, maka akan jauh lebih menguntungkan dari pada langsung diadakan pemberesan harta perseroan. keuntungan ini bukan hanya pihak debitor pailit (dalam hal ini perseroan terbatas yang dipailitkan) melinkan juga bagi para kreditor perseroan. Sedangkan dalam tataran praktis, manfaat dari perseroan terbatas pailit yang melanjutkan usaha adalah untuk menghentikan tindakan-tindakan kreditor yang secara a priori menginginkan perseroan terbatas tersebut bubar serta menggunakan kepailitan tidak pada tempatnya. Tidak sedikit kreditor yang tidak mau tahu terhadap kondisi perusahaan apakah perusahaan itu tidak mampu membayar kewajiban utangnya ataukah tidak mau membayar kewajiban utangnya. Ketidak mampuan perseroan untuk memenuhi kewajiban membayar utang juga harus diklasifikasikan apakah karena perseroan tersebut sedang mengalami kesulitan likuidasi jangka pendek ataukah memang perseroan tersebut masuk pada tahap penuaan seperti teori corporate life cycle. Terhadap perusahaan yang mengalami kesulitan likuidasi jangka pendek serta menghadapi kreditor yang a priori tersebut, maka manfaat pelanjutan usaha perseroan terbatas dalam pailit sangat bermakna.
Universitas Sumatera Utara
Oleh karena itu yang menjadi pertimbangan Pengadilan Niaga untuk menyatakan seorang debitor pailit, tidak saja oleh karena ketidak mampuan debitor tersebut untuk membayar utang-utangnya, tetapi juga termasuk ketidakmauan debitor tersebut untuk melunasi uatang-utang tersebut seperti yang telah diperjanjikan. 137 Pertimbangan utama untuk melanjutkan kegiatan usaha terhadap perseroan terbatas yang telah dinyatakan pailit adaalah bahwa nilai ekonomis (economic value) perusahaan jauh lebih tinggi dibandingkan dengan nilai aset fisik dari perusahaan tersebut. Kepailitan sebenarnya diperuntukan terhadap perusahaan yang mempunyai aset negative dan tidak ditujukan terhadapa perusahaan yang hanya sekedar bermasalah dalam kinerja cash flow-nya. Adapun mengenai manfaat pelanjutan usaha perusahaaan yang pailit sebagaimana dikemukakan oleh J.B Huiizink bahwa nilai suatu perusahaan sering lebih tinggi dari pada jumlah nilai dari masing-masing unitnya. Jika suatu perusahaan dibekukan, karyawannya diberhentikan seta aktivanya dilikuidasi, maka hasil yang diperoleh jelas lebih sedikit dari pada jika perusahaan itu dijual sebagai suatu on going concern. 138 Pelanjutan kegiatan usaha dapat didorong juga oleh berbagai alasan,
misalnya
karena kurator
melihat
kemungkinan-kemungkinan untuk
meneruskan perusahaan pailit itu di dalam bentuk yang lebih ramping, baik oleh si pailit (setelah penawaran suatu perdamaian) atau yang lebih sering, oleh pihak lain.
137
Ricardo Simanjuntak, Rancangan Perubahan Undang-Undang Kepailitan Dalam Persfektif Pengacara, (Jurnal Hukum Bisnis Vol 17, 2002), hal. 6 138 J.B Huizink, Insolventie, Terjemahan Linus Doludjawa, (Jakarta; Penerbit Pusat Studi Hukum dan Ekonomi FH UI, 2004), hal. 10-11
Universitas Sumatera Utara
Alasan kedua, yang lebih umum adalah untuk menyelesaikan pekerjaan-pekerjan yang sedang berjalan atau untuk mewujudkan tercapainya hasil yang lebih besar dalam rangka pencairan perusahaan tersebut. 139 Namun demikian, jika Perseroan Terbatas dalam pailit memutuskan untuk tidak melnjutkan usaha, maka akan memasuki tahap-tahap kepailitan selanjutnya yang pada gilirannya nanti sampai pada pemberesan perseroan. Pada tahap pemberesan ini pula masih terjadi dua kemungkinan yakni perseroan tersebut dilikuidasi dan bubar atau perseroan tersebut mencukupi harta pailitnya untuk membayar seluruh tagihannya sehingga kepailitan perseroan terbatas tersebut berakhir dan dilakukan rehabilitasi serta eksistensi perseroan tersebut kembali kepada posisi semula seperti sebelum kepailitannya dan kemli pada subjek hukum mandiri dan penuh. 140
B. Pemberlakuan Business Judgment Rule Terhadap Direktur PT Sebelum keluarnya UUPT , Indonesia tidak secara jelas mengadopsi prinsip Business Judgment Rule. Dalam Pasal 82 UU No. 1 Tahun 1995 (UUPT Lama) menyatakan, bahwa Direksi bertanggung jawab penuh atas pengurusan perseroan untuk kepentingan dan tujuan perseroan serta mewakili perseroan baik di dalam maupun di luar pengadilan, sedangkan Pasal 85 UUPT Lama menetapkan bahwa setiap anggota Direksi
wajib dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab
menjalankan tugas untuk kepentingan dan usaha perseroan. Pelanggaran terhadap hal 139 140
Ibid, hal. 70 . M. Habdi Shubhan, Op. Cit, hal. 207-208
Universitas Sumatera Utara
ini dapat menyebabkan Direksi bertanggung jawab penuh secara pribadi apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai menjalankan tugasnya tersebut. 141 Dalam prakteknya penerapan UUPT tersebut mengalami banyak kendala, khususnya dalam hal pertanggung jawaban Direktur. Hal ini terjadi karena masih belum adanya standar yang jelas untuk mengukur pertanggung jawaban Direktur. Misalnya, ukuran “itikad baik” dalam Pasal 85 UUPT belum ada ukuran yang jelas, sehingga dalam penerapannya sulit untuk menentukan ukuran kapan seorang Direktur bertindak dengan itikad baik atau tidak. 142 Oleh karena itu masuknya prinsip Business Judgment Rule dalam UUPT adalah hal yang sangat positif untuk mendukung perkembangan iklim usaha di Indonesia. Sebagai salah satu doktrin yang diakui dan diterapkan dalam Corporate Law, Business Judgment Rule atau yang disebut dengan Doktrin putusan bisnis mempunyai peranan yang cukup penting dalam melindungi kemandirian wewenang Direksi dan atau Dewan Komisaris. Doktrin putusan bisnis ini tidak terpisahkan dengan prinsip fiduciary duty yang diemban oleh seorang Direksi di dalam melaksanakan tugasnya dan diwenangnya sebagai pengurus perusahaan. Prinsip perlindungan terhadap Direksi perusahaan memang dianggap perlu untuk menentukan jalannya perusahaann itu sendiri. Sebagai seorang manusia biasa yang tidak pernah dari kesalahan atau human error, wajarlah bila seorang Direksi pernah melakukan kelalaian di dalam 141
Bismar Nasution, UU No. 40 Tahun 2007 dalm perspektif Hukum Bisnis; Pembelaan Direksi melalau Prinsip Business Judgment Rule, hal. 9 142 Ibid
Universitas Sumatera Utara
menentukan putusan bisnis yang akan diterapkan untuk mencapai tujuan perusahaan. 143 Doktrin putusan bisnis ditetapkan untuk memutuskan apakah Direksi atau Dewan Komisaris telah melaksanakan tugasnya dengan benar dan menaati tugas dan kewenangannya sebagai organ perusahaan. Tidak semua putusan bisnis yang ditetapkan Direksi selalu menghasilkan keuntungan bagi perusahaan. Oleh karena itu Direksi atau Dewan Komisaris lah yang pada akhirnya akan bertanggung jawab terhadap kerugian yang ditimbulkan dalam perusahaan. Direksi harus bertanggung jawab apabila unsur-unsur yang terkandung dalam doktrin putusan bisnis tidak dapat dibuktikan seluruhnya. Untuk dapat menggunakan doktrin Putusan Bisnis ini sebagai pembelaan bagi Direksi, Direksi atau Dewan Komisaris harus bertindak dengan itikad baik dan dengan kepercayaan yang wajar dalam melakukan tindakan yang secara sah dan sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam mencapai tujuan-tujuan perusahaan. Direksi juga harus melaksanakan putusan bisnis yang jujur terhadap kebijakankebijakan yang telah dipertimbangkan secara rasional berdasarkan faktor-faktor yang ada. 144 Doktrin putusan bisnis ini melindungi pembuat keputusan perusahaan dan keputusan-keputusan perusahaan yang sudah ditetapkan untuk kepentingan bisnis dari pendapat bandingan pengadilan (Judicial Second Guessing)
143 144
www.hukumonline.com, di akses pada tanggal 8 Juli 2010 www.hukumonline.com di akses pada tanggal 8 Juli 2010
Universitas Sumatera Utara
Hanya perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh Direksi dan Dewan Direksi yang dilindungi oleh doktrin Business judgment Rule sedangkan untuk perbuatan yang dilakukan oleh selain pihak Direksi tidak akan dilindungi dalam pembelaan melalui doktrin putusan bisnis ini. Doktrin putusan bisnis ini tidak meliputi baik dalam hal seorang Direksi yang tidak menjalankan fungsinya atau gagal dalam bertindak untuk kepentingan perusahaan. Akan tetapi doktrin ini dapat dilaksanakan berdasarkan keputusan yang wajar yang telah ditetapkan oleh perusahaan. 145 Doktrin putusan bisnis melindunmgi Direksi yang tidak memiliki kepentingan pribadi dalam pengambilan keputusan. Seorang Direksi yang betindak bukan berdasarkan kepentingan pribadi dalam melakukan transaksi-transaksi bisnis ataupun keuntungan-keuntungan financial yang diperoleh dari pihak lain untuk kepentingan perusahaan dan pemegang saham pada umumnya akan dilindungi pada doktrin ini. Perbuatan-perbuatan bisnis serta putusan bisnis yang telah diambil seorang Direksi juga harus bebas dari unsur kepentingan pribadi dari mayoritas Dewan Direksi dan pemegang saham. Unsur pembuktian ada tidaknya personal interest dari seorang Direksi harus dibuktikan oleh para pihak yang merasa dirugikan. 146 Dalam keitannya dengan prinsip kehati-hatian, doktrin putusan bisnis Business Judgment Rule hanya akan melindungi Direksi apabila Direksi dalam menjalankan tugas dan wewenangnya secara hati-hati sehingga terhindar dari
145 146
Dennis J. Block, Op. Cit, hal. 12-13 Ibid, hal. 49-51
Universitas Sumatera Utara
perbuatan kelalaian yang merugikan pihak lain. Dalam teori ilmu hukum perseroan prinsip kehati-hatian (due care) dari Direksi terhadap perseroan memiliki 2 (dua) persyaratan sebagai berikut :147 1. Syarat Prosedural Syarat prosedural yang dipersyaratkan oleh hukum kepada Direksi suatu perseroann adalah bahwa seorang Direksi harus selalu menaruh perhatian dengan sunggung-sungguh kepada jalannya perseroan. disamping itu, dia harus selalu mendapatkan informasi yang lengkap (well informed) terhadap perseroannya. 2. Syarat Subtantif Sementara itu, syarat subtantif yang timbul dari prinsip kehati-hatian (due care) terhadap Direksi perusahaan adalah bahwa dalam mengambil keputusan perseroan, pihak Direktur haruslah dilakukannya berdasarkan pertimbangan yang rasional. Akan tetapi pertimbangan yang rasional tersebut tidak berarti bahwa Direksi harus mengambil keputusan yang benar-benar optimal. Agar terpenuhinya unsur duty of care, maka terhadap Direksi berlaku standart kepedulian (standard of care) yaitu selalu beritikad baik, tugas-tugas dilakukannya dengan penuh kepedulian seperti yang dilakukan oleh orang biasa yang berhati-hati dalam posisi dan situasi yang sama.atau seperti yang dilakukan orang tersebut untuk kepentingan bisnis pribadinya dan tugastugas harus dilakukan oleh Direksi dengan
147
Munir Fuadi, Doktrin-Doktrin Dalam Corporate Law , Op. Cit, hal. 49-51
Universitas Sumatera Utara
cara yang dipercaya secara logis (reasonably believe) merupakan kepentingan yang terbaik dari perseroan. Secara hukum, Direksi perseroan tidak akan bertanggung jawab semata-mata atas salah dalam mengambil keputusan. Bahkan asalkan dia beritikad baik dan cukup berhati-hati, keputusan yang salah tidak dapat dibebankan kepada Direksi, sungguhpun kesalahan tersebut akibat kurang pengalaman atau kurang konprehensif dalam mengambil keputusan. Dengan demikian, suatu honest mistake yang dilakukan oleh Direksi masih dapat ditoleransi oleh hukum. Doktrin Business Judgment Rule menghendaki Direksi atau Dewan Komisaris bertindak dalam putusan bisnisnya dengan itikad baik dan dengan kejujuran di dalam bertindak untuk kepentingan perusahaan. Kewajibannya, tugas dan wewenang Direktur harus dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab yang nantinya akan mengarahkan perusahaan dalam mencapai keuntungan dan tujuan akhir perusahaan, serta memberikan kekuasaan bisnis terhadap seluruh pemegang saham yang terikat. Seluruh putusan dan tindakan Direksi harus bebas dari pengaruh pribadi maupun pihak luar. Oleh karena setiap kesalahan dan atau kelalaian dalam menjalankan tugas dan atau kewajiban Direksi akan membawa akibat pertanggung jawaban secara pribadi, maka masing-masing Direktur tersebut wajib dengan itikad baik, penuh tanggung jawab berdasarkan prinsip kehati-hatian secara loyaliyas yang tinggi dalam melaksanakan funsi organ perseroan layaknya seorang Direksi.
Universitas Sumatera Utara
Direksi dalam menjalankan tugasnya selalu diwajibkan untuk menguasai dan mengetahui pengetahuan-pengetahuan bisnis yang wajar dan dengan sepenuh hati bertanggung jawab terhadap semua tindakan yang telah diambil. Berkaitan dengan prinsip fiduciary duty yang menghendakai adanya itikad baik baik seorang Direksi dalam melakukan tugasnya dengan penuh tanggung jawab serta berdasrkan prinsip kehati-hatian dan loyalitas yang tinggi, apabila sang Direksi melakukan kelalaian (negligence) yang menimbulkan kerugian bagi perusahaan, maka berdasarkan doktrin fiduciary duty ini, Direksi tersebut bisa saja dikenakan pertanggung jawaban pribadi. Tetapi dengan adanya prinsip Business Judgment Rule yang memberikan perlindungan kepada Direksi di dalam mengambil putusan bisnis, maka Direksi tersebut bisa saja bebas dari jeratan gugatan atau tuntutan pihak ketiga asalkan Direksi tersebut dapat membuktikan unsur-unsur doktrin Business Judgment Rule dimana salah satu unsur yang pailing fundamental adalah itikad baik (good faith). Undang-undang Perseroan Terbatas sebagai salah satu ketentuan peraturan yang mengatur tentang Perseroan Terbatas juga menganut prinsip itikad baik bagi seoarang Direksi dalam me;laksanakan tugas pengurusannya. Pasal 97 ayat 2 Undang-undang Perseroan Terbatas menyebutkan : 148 Seoarang direksi wajib dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab menjalankan tugas untuk kepentingan dan usaha perseroan.
148
Lihat Pasal 97 ayat (2) UUPT
Universitas Sumatera Utara
Mengacu kepada Pasal 97 ayat 2 UUPT, dapat diketahui bahwa Undangundang Perseroan Tebatas juga mengakui dan melatakkan itikad baik sebagai salah satu prinsip yang melekat bagi seorang Direksi dalam melaksanakan semua tugas kepengurusannya. Seorang Direksi yang bertindak sebagai bagian dari organ perusahaan tentunya harus mempunyai dan memenuhi sejumlah persyaratan atau kualifikasi dalam penguasaan tentang pengetahuan keperusahaan. Di dalam menjalankan semua tugas kepengurusan, seorang Direksi selain diberi wewenang kemandirian dalam bertindak dan mengambil keputusan, ia juga dibatasi oleh prisipprinsip yang melandasi tindakan tersebut seperti itikad baik, prinsip kehati-hatian (due care), kesetian yang tinggi (loyality) bebas dari dari kepentingan pribadi atau self dealing (disinterestedness), dan no abuse of discrition or waste. Oleh karena itu untuk melindungi atau membela Direksi yang menghadapi gugatan akibat keputusan yang ia tentukan sendiri, maka doktrin Corporate Law menentukan salah satu prinsip pembelaan Direksi yang dikenal dengan doktrin putusan bisnis. Dalam UUPT unsur good faith sebagaimana yang terkandung dalam Pasal 97 ayat 2 merupakan salah satu ukuran penting dalam menentukan apakah seorang Direksi dikatakan telah melanggar prinsip-prinsip hukum perusahaan. Memang pada kenyataannya, terdapat kesulitan untuk menentukan unsur itikad baik seorang Direksi dalam melakukan tugas kepengurusan perseroan. namun dalam perkembangan hukum korporasi selanjutnya, hal ini menjadi sangat penting. Business Judgment Rule mensyaratkan unsur itkad baik sebagai salah satu elemen
Universitas Sumatera Utara
yang harus dibuktikan oleh seorang Direksi apabila ia menghadapi gugatan dan harus bertanggung jawab secara pribadi terhadap putusan bisnis yang ia ambil. Dalam ketentuan Pasal 97 ayat (5) UUPT, seorang Direktur bebas dari tanggung jawab atas kerugian perusahaan apabila dapat membuktikan :
149
1. Kerugian yang timbul bukan karena kesalahan atau kelalaiannya; 2. Direktur melakukan kepengurusan dengan itikad baik dan hati-hati; 3. Kepengurusan dilakukan untuk kepentingan dan tujuan perusahaan; 4. Direktur tidak mempunyai conflict of interest; dan 5. Telah mengambil langkah-langkah untuk mencegah kerugian. Dalam UUPT prinsip ini belaku pada “pengurusan perseroan” yang merupakan aspek yang lebih luas di bandingkan dengan keputusan bisnis. Hal ini berarti direktur dapat dibebaskan dari tanggung jawabnya bukan hanya dalam hal keputusan bisnis yang dia ambil, tetapi juga dalam aspek manajemen perusahaan jika Direktur tersebut dapat membuktikan kelima unsur diatas. Ada beberapa hal dan proses yang harus diperhatikan oleh para Direktur untuk mendapat perlindungan dari UUPT. Adapun beberapa hal yang harus dilakukan oleh para Direktur adalah: Pertama, seorang Direktur telah melakukan kepengurusan atau mengambil suatu keputusan bisnis dengan secara rasional. Ukuran dari rasionalitas disini dapat merujuk pada tindakan apa yang akan dilakukan oleh para Direktur lainnya jika
149
Lihat Pasal 97 ayat (5)
Universitas Sumatera Utara
dihadpkan pada kondisi dan situasi yang sama. 150 Selain itu untuk menghindari unsur kesalahan atau kelalaian dan menjamin terpenuhinya unsur kehati-hatian dalam keputusannya, seorang Direktur harus : 151 1. Mendapat informasi yang cukup mengenai kebijakan pengurusan atau keputusan yang akan diambil. 2. Agenda dan dokumen pendukung mengenai aspek-aspek kepengurusan dan keputusan bisninya harus tersedia dalam proses pengambilan keputusan. 3. Mengungkapkan pertanyaan atau pernyataan dengan pikiran yang tidak memihak dalam proses penganbilan keputusan. 4. Membuat catatan dan dokumen tentang partisipasi mereka dalam proses pengambilan keputusan. 5. Membentuk sebuah komite untuk menjamin hal-hal penting yang berkaitan dengan keputusan yang akan diambiltelah diperiksa para ahli di bidang tersebut dalam hal yang tidak dapat ditangani atau dipahami oleh manajemen. Kedua, para Direktur harus menjamin tidak ada benturan kepentingan (conflik of interest) untuk menjamin keputusan yang diambil dan pengurusan perusahaan semata-mata untuk kepentingan perusahaan tersebut. Di sini para Direktur harus dapat menunjukkan bahwa mereka tidak punya kepentingan pribadi dalam keputusan bisnis atau kepengurusan yang dilakukan dan secara optimal memupuk keuntungan
150
Janet Dine dalam Bismar Nasution, UU No. 40 Tahun 2007 dalam Perspektif Hukum Bisnis; pembelaan Direksi Melalui prinsip Business Judgment Rule, hal. 13 151 Ibid
Universitas Sumatera Utara
bagi perusahaan dan tidak mengambil keuntungan pribadi bagi perusahaan dan pihak lain.
Oleh karena itu setidak-tidaknya ada tiga hal jenis transaksi yang harus
dihindari oleh para direktur dalam mengambil keputusan bisnis. 152 1. Seorang Direktur melakukan transaksi dengan perusahaannya sendiri; 2. Dua perusahaan yang mempunyai satu orang Direktur yang sama melakukan perjanjian; 3. Sebuah induk perusahaan melakukan transksi dengan cabang perusahaanya sendiri. Seorang Direktur dalam melakukan fungsinya harus pula memperhatikan kepentingan pegawainya, kepentingan pemegang saham dan kepentingan para kreditor. Ketiga, UUPT mensyaratkan bahwa Direktur harus mengambil langkah untuk mencegah kerugian agar lepas dari tanggung jawab atas kerugian tersebut. Hal ini ditemui secara implisit di negara Common Law. Namun demikian dapat dikatakan bahwa ketentuan ketentuan ini secara implisit menuntut Direktur agar mengetahui aspek operasional dari perusahaan sehinnga direktur tersebut well-informed terhadap segala perkembangan yang terjadi di dalam perusahaannya. Oleh karena itu, perlu adanya sebuah pengawasan internal dan prosedur keterbukaan yang dibentuk, dipelihara dan dievaluasi untuk menjamin bahwa semua
152
Bismar Nasution, Op. Cit, hal. 13
Universitas Sumatera Utara
informasi yang dibutuhkan untuk dimasukkan dalam laporan cukup dan akurat dan diserahkan pada waktu yang tepat.153
C. Tanggung Jawab Direktur PT Dikaikan Dengan Prinsip Business Judgment Rule Perseroan sebagai badan dan subjek hukum mempunyai hak dan kewajiban. Hak dan kewajiban perseroan dilaksanakan oleh organ perseroan yaitu Direksi perseroan. Direksi merupakan organ yang terdiri atas para direktur yang tiada lain adalah subjek hukum berupa organ atau natural person. Selanjutnya Direksi bertanggung jawab penuh atas pengurusan perseroan. Artinya, secara “fiduciary” harus melaksanakan “standard of care”. Yang dimaksud dengan fiduciary dury adalah tugas yang dijalankan oleh direktur dengan penuh tanggung jawab untuk kepentingan orang atau pihak lain (perseroan). Pengurussan perseroan sebenarnya hanya dapat dilakukan oleh Direksi, kecuali dalam hal Direktur tidak ada, maka undang-undang memberi wewenang kepada Komisaris untuk melakukan pengurusan perseroan (Pasal 100 ayat (2) UUPT 95. Direksi dalam melakukan tugas dan kewajiban atau tindakan hukum berdasarkan kemampuan serta kehati-hatian yang diperlukan untuk mewujudkan kepentingan dan tujuan perseroan. Dalam hal ini pada akhirnya fiduciary jaga bermanfaat bagi
153
Guy P. Lender dalam Bismar Nasution, UU No. 40 Tahun 2007 dalam Perspektif Hukum Bisnis; pembelaan Direksi Melalui prinsip Business Judgment Rule, hal. 15
Universitas Sumatera Utara
pemegang saham secara kaseluruhan karena kepentingan perseroan adalah identik dengan kepentingan pemegang saham dan juga termasukdi dalam kepentingan pihak kreditor perseroan. Jelas bahwa kewenangan pengurusan perseroan diberikan oleh Undangundang kepada Direksi untuk melakukan tindakan-tindakan hukum yang diperlukan. Atau kewenangan pengurusan dipercayakan kepada direksi agar direksi dengan itikad baik senantiasa bertindak semata-mata demi kepentingan dan tujuan perseroan. Namun demikian ada kalanya dalam pengurusan, dijumpai hal-hal sebagai berikut : Sebagai contoh terkaitnya pertentangan/benturan kepentingan (conflict of interest) antara Direksi secara pribadi dengan perseroan, antara lain sebagai berikut : 154 1. Direktur tidak boleh menggunakan kekayaan atau uang perseroan untuk membuat keuntungan bagi dirinya. Apabila terjadi demikian dia tidak hanya melanggar tugasnya, tetapi keuntungan yang diperoleh akan akan menjadi milik perseroan. Direktur yang menyalahgunakan kekayaan perseroan untuk keuntungan sendiri bisa dituntut secara pidana karena harta perseroan hanya boleh digunakan untuk tujuan yang telah ditentukan. 2. Direktur tidak boleh menggunakan informasi yang diperoleh atas dasar jabatan untuk membuat keuntungan bagi dirinya. Maksudnya adalah menggunakan informasi tersebut guna memperoleh keuntungan bagi dirinya atau untuk orang lain yang mengakibatkan kerugian pada perseroan. 154
I.G Ray, Op. Cit, hal. 75-76
Universitas Sumatera Utara
Direktur mengetahui bahwa perusahaan menghadapi risiko likuidasi dan menggunakan informasi tersebut untuk melindungi dirinya dan perusahaan lain yang dia juga sebagai direkturnya dari konsekuensi likuidasi tersebut, terhadap kerugian para kreditor yang bertindak secara wajar. 3. Direktur tidak boleh menggunakan jabatan atau mendapatkan keuntungan pribadi. Apabila direktur menggunakan jabatannya untuk memperoleh keuntungan, dia bertanggung jawab kepada perseroan. Jadi apabila direktur menerima suap karena jabatannya, dan jelas melanggar fiduciary duty. 4. Direktur tidak boleh menahan keuntungan yang dibuat dengan alasan dan di dalam “fiduciary relationship” dengan perusahaan. Dalam Pasal 97 ayat (1) UUPT menyatakan bahwa : Direksi bertanggung jawab atas pengurusan perseroan untuk kepentingan perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan. Dalam Pasal 97 ayat (2) UUPT menyatakan bahwa : Pengurusan sebagaimana diamksud ayat (1) wajib dilaksanakan setiap anggota direksi dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab. Dalam Pasal 97 ayat (3) UUPT menyatakan bahwa : Setiap anggota direksi bertanggung jawab secara pribadi, apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai menjalankan tugasnya sesuai dengan ketentuan sebagaimana disebut pada ayat (2).
Universitas Sumatera Utara
Anggota Direksi wajib melaksanakan tugasnya dengan itikad baik dan dengan penuh tanggung jawab. 155 Para Direksi tetap mempunyai tanggung jawab yang terbatas yang merupakan ciri utama dari suatu perseroan atau PT. Namun apabila hal tersebut dilanggar, artinya anggota Direksi yang bersangkutan lalai atau bersalah dalam menjalankan tugasnya, yang bersangkutan bisa dikenakan tanggung jawab penuh secara pribadi. Dalam hal kepailitan terjadi karena kesalahan atau kelalaian Direksi dan kekayaan perserohan tidak cukup untuk menutup kerugian akibat kepailitan tersebut, maka setiap anggota Direksi secara tanggung renteng betanggung jawab atas kerugian itu. 156 Sehubungan dengan hal tersebut, kiranya perlu disinggung suatu hal yang cukup penting yang terdapat dalam peradilan Amerika Serikat yaitu yang disebut business judgment rule yaitu suatu aturan yang melindungi para direktur dari tanggung jawab pribadi, bilamana mereka : 1. Bertindak berdasarkan itikad baik 2. Telah selayaknya memperoleh informasi yang cukup 3. Secara masuk akal dapat dipercaya bahwa tindakan yang diambil adalah yang terbaik untuk kepentinagn perseroan Bila demikian halnya, pengadilan tidak akan ragu-ragu lagi untuk melindungi direktur yang melaksanakan “business judgment” terrsebut. 155 156
I.G Ray, Op. Cit, hal. 77 Ibid, hal. 78
Universitas Sumatera Utara
Business Judgment Rule selain melindungi tanggung jawab pribadi seorang Direksi apabila terjadi pelanggaran, ia juga dapat diberlakukan terhadap pembenaranpembenaran keputusan bisnis dimana perintah-perintah yang ditujukan kepada Dewan Direksi, atau terhadap keputusan-keputusan itu sendiri, terhadap kasus yang menitik beratkan kepada keputusan bisnis yang merupakan tanggung jawab dari pembuat
keputusan.
Business
Judgment
Rule
yang
diterapkan
terhadap
Direksi/pembuat keputusan lazim disebut doktrin Business Jugdment Rule, dan Business Jugdment Rule yang diterapkan terhadap keputusannya langsung disebut Business Judgment Rule. 157 Dalam praktek bisa saja masalahnya tidak sesederhana itu, maka untuk itu diperlukan suatu profesionalisme dan wawasan dari para hakim yang mempunyai kewenangan dalam memberikan keputusan pada kasus yang diajukan kepadanya, sehingga benar-benar orang yang tidak bersalah dapat dilindungi, Sebab apabila seorang Direktur dapat membuktikan bahwa hal tersebut bukan merupakan kesalahannya, direktur dapat dibebaskan dari tanggung jawab pribadi. Seorang Direktur dalam pelaksanaan tugasnya tidak hanya terikat pada apa yang secara tegas dicantumkan dalam maksud dan tujuan serta kegiatan usaha perseroan, tetapi Direktur juga dapat mengambil prakarsa guna mewujudkan kepentingan perseroan dengan melakukan perbuatan yang menunjang dan memperlancar tugas-tugasnya, namun masih berada dalam batas-batas yang
157
www.hukumonline.com di akses pada tanggal 8 Juli 2010
Universitas Sumatera Utara
diperkenankan atau masih dalam ruang lingkup tugas dan kewajibannya sehingga direktur dapat bertindak asalkan sesuai dengan kebiasaan, kewajaran dan kepatutan. Disamping itu, dalam melaksanakan tugasnya tersebut, direksi tidak luput dari pengawasan komisaris. Maksudnya adalahagar direksi dalam menjalankan tugasnya selalu berada dalam “track” atau jalur yang telah ditentukanoleh perseroan, karena pengurusan perseroan dilakukan tiada lain untuk kepentingan dan tujuan perseroan. Kata direksi dalam pasal 104 ayat (2) UUPT menunjukkan bahwa semua anggota direksi mempunyai tanggung jawab yang sama. 158 Tugas pengurusan yang dilaksanakan Direksi adalah tugas dari setiap anggota Direksi tanpa suatu perbedaan dan pengecualian, karena dilaksanakan secara kolegial oleh setiap anggota Direksi. Dalam Pasal 104 ayat (2) UUPT disebutkan : Dalam hal kepailitan terjadi karena kesalahan atau kelalaian Direksi dan kekayaan perseroan tidak cukup untuk menutup kerugian akibat kepailitan tersebut, maka setiap anggota Direksi secara tanggung renteng bertanggung jawab atas kerugian itu. Tanggung renteng artinya adalah menanggung secara bersama-sama atas biaya atau utang yang harus dibyar. 159 Terhadap hal ini pun undang-undang memberikan ketentuan yang jelas bahwa apabila memang dapat dibuktikan kepailitan perseroan bukan karena kesalahan atau
158 159
Lihat Pasal 104 ayat (2) UUPT I.G Ray, Op. Cit, hal. 81
Universitas Sumatera Utara
kelalaian anggota Direksi yang bersangkutan, ia tidak bertanggung jawab secara tanggung renteng atas kerugian tersebut (Pasal 104 ayat (3) UUPT). 160 Menurut Business Judgment Rule, pertimbangan bisnis (business judgment) dari para anggota Direksi tidak akan ditantang (diganggu gugat) atau ditolak oleh pengadilan atau oleh para pemegang saham, dan para anggota Direksi tersebut tidak dapat dibebani tanggung jawab atas akibat-akibat yang timbul karena telah diambilnya suatu pertimbangan bisnis (business judgment) oleh anggota Direksi yang bersangkutan, sekalipun apabila pertimbangan itu keliru, kecuali dalam hal-hal tertentu. 161 Undang-undang Perseroan Terbatas menganut prinsip presumsi bersalah bagi semua anggota Direksi. Artinya, hukum menganggap semua anggota Direksi bertanggung jawab renteng, yaitu secara sendiri-sendiri atau secara bersama-sama atas seluruh kerugian pihak lain, tanggung jawab mana berlaku atas segala perbuatan yang dilakukan oleh Direksi untuk dan atas nama perseroan, meskipun anggota Direksi tersebut tidak ikut melakukan bahkan tidak mengetahui adanya tindakan tersebut. Direksi dilihat secara keseluruhan dalam satu kesatuan meskipundalam kenyataannya tindakan tersebut hanya dilakukan oleh seorang Direksi saja. Menurud Gunawan Widjaya, dalam konsepsi Business Judgment Rule, setiap anggota Direksi tidak dengan mudah dianggap telah melakukan pelanggaran atas duty of care and skill, selama ia dalam mengambil suatu tindakan telah didasarkan pada
160 161
Lihat Pasal 104 ayat (3) UUPT Sjahdeini, Op. Cit, hal. 429
Universitas Sumatera Utara
itikad baik, kecuali jika terdapat kecurangan, benturan kepentingan, atau perbuatan melawan hukum. 162 Karena hal tersebut bersifat persumsi bersalah, maka ini berarti masih terbuka kemungkinan bagi seorang atau lebih atau lebih anggota Direksi untuk membuktikan bahwa dia sebenarya tidak bersalah. Pembuktian tidak bersalah tersebut misalnya dengan hal-hal sebagai berikut : 163 1. Seorang anggota Direksi sengaja dikucilkan oleh pihak anggota direksi yang lain. 2. Seorang anggota Direksi tidak diberikan informasi yang cukup oleh Direksi yang lain. 3. Seorang anggota Direksi diberikan informasi yang keliru oleh Direksi yang lainnya. 4. Seorang anggota Direksi tidak setuju dengan tindakan tersebut tapi dia kalah dalam voting suara rapat Direksi Pasal 104 ayat (2) mengatur tanggungjawab Direki terhadap seluruh kewajiban perseroan yang telah dipailitkan, apabila ternyata kewajiban itu terhadap para kreditor tidak terlunasi seluruhnya dari harta kekayaan perseroan yang dipailitkan. Apabila direksi mengajukan voluntari petition untuk mempailitkan perseroan berdasarkan Perseroan Terbatas berdasarkan RUPS, dan ternyata : 164
162
Gunawan Widjaya, Op. Cit, hal. 152 Munir Fuadi, Perseroan Terbatas Paradigma Baru, Op. Cit, hal. 79 164 M. Yahya Harahap, Op. Cit, hal. 413 163
Universitas Sumatera Utara
1. Kepailitan itu terjadi karena kesalahan atau kelalaian Direksi, 2. Kemudian ternyata harta pailit perseroan tidak cukup membayar seluruh kewajiban utang kepada para krediror, 3. Dalam hal demikian, setiap anggota Direksi secara tanggung renteng bertanggung jawab terhadap seluruh kewajiban pembayaran utang yang tidak terlunasi dari harta perseroan yang dipailitkan tersebut. Untuk membuktikan adanya kesalahan atau kelalaian Direksi atas kepailitan perseroan, berpedoman pada penjelasan Pasal 104, yakni harus diajukan gugatan ke Pengadilan Niaga sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Tanggung
jawab
secara
renteng
Direksi,
bukan
hanya
ditegakkan
penerapannya atas kepailitan perseroan melalui cara voluntari prtition. Akan tetapi juga berlaku dalam kepailitan perseroan melalui cara involuntari prtition, dengan syarat asal terbukti, bahwa kepailitan itu akibat kesalahan atau kelalaian direksi mengurus perseroan. Tanggung jawab renteng tersebut jaga berlaku terhadap anggota Direksi yang bersalah atau lalai yang pernah menjabat sebagai anggota direksi dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sebelum putusan atau penetapan pernyataan pailit diucpkan Pengadilan Niaga. Prinsip pertanggung jawaban secara tanggung renteng yang seperti ini, bertujuan sebagai landasan prefensif atau upaya pencegahan bagi anggota Direksi
Universitas Sumatera Utara
untuk benar-benar bertindak dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab secara tekun dan cakap (diligent and skill) mengurus kepentingan perseroan. 165 Dari penjelasan pasal 104 ayat (2) dan ayat (3) UUPT, dapat diketahui bahwa setiap anggota Direksi bertanggung jawab secara tanggung renteng atas kepailitan perseroan, jika kepailitan perseroan tersebut disebabkan oleh kesalahan atau kelalaian anggota Direksi dan juga bagi anggota Direksi yang salah atau lalai yang pernah menjabat sebagai anggota Direksi dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sebelum putusan pernyataan pailit diucapkan, Kemudian ayat (4) memberikan kesempatan pada anggota Direksi untuk tidak bertanggung jawab atas kepailitan perseroan. Tanggung jawab anggota Direksi secara tangung renteng, tidak bersifat absolut. Tergantung pada faktor ada tidaknya kesalahan atau kelalaiannya atas kepailtan perseroan. Pasal 104 ayat (4) mengatur hal yang dapat membebaskan anggota Direksi dari tanggung jawab secara renteng atas kepailitan perseroan bersangkutan dapat : 166 a. Anggota direksi yang bersangkutan dapat membuktikan kepailitan itu bukan karena kesalahan atau kelalaiannya; b. Anggota direksi yang bersangkutan dapat membuktikan telah melakukan pengurusan perseroan dengan : 1) Iktikad baik (good faith duty) 2) Kehati-hatian (prudential and duty care) 3) Penuh tanggung jawab, secara seksama dan cakap (due diligent and skill) untuk kepentingan perseroandalam kerangka maksud dan tujuan perseroan yang ditetapkan dalam AD; c. Dapat membuktikan, bahwa anggota direksi tersebut tidak mempunyai benturan kepentingan baik langsung maupu tidak langsung atas tindakan pengurusan perseroan yang dilakukan selama menjabat sebagai direksi; 165 166
Ibid, hal. 414 Lihat Pasal 104 ayat (4) UUPT
Universitas Sumatera Utara
d. Dapat membuktikan, telah mengambil segala tindakan yang relevan dan urgen untuk mencegah terjadinya kepailitan.
Apabila Direksi dapat membuktikan hal-hal tersebut diatas bukan karena kesalahannya atau kelalaiannya maka anggota Direksi akan mendapat perlindungan dari prinsip Business Judgment Rule dan akan bebas dari tanggung jawab renteng. Fred Tumbuan memberikan catatan tentang ketentuan Pasal 104 ayat (4) ini bahwa sesuai dengan sebagaimana dimaksud Pasal 97 ayat (2) UUPT bahwa tugas, wewenang dan tanggung jawab pengurusan PT untuk kepentingan dan usaha PT dipercayakan dan dibebankan kepada setiap anggota Direksi tanpa ada kecuali, maka baik kesalahan atau kelalaian seorang atau lebih anggota Direksi berakibat bahwa seluruh Direksi, yaitu masing-masing anggota Direksi harus menanggung akibatnya. Tanggung jawab kolegial ini yang dimaksud Pasal 104 ayat (4) UUPT. Selanjutnya, yang harus membuktikan bahwa kepailitan telah terjadi karena kesalahan atau kelalaian direksi PT adalah pihak yang mendalilkannya. Apabila pihak yang dimaksud berhasil membuktikan hal tersebut, maka sesuai ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 104 ayat (4) UUPT setiap anggota Direksi karena hukum secara tanggung renteng bertanggung jawab atas kerugian akibat kepailitan PT yang tidak dapat ditutup oleh kekayaan PT, kecuali anggota Direksi yang mersa dirinya tidak bersalah atau lalai dapat membuktikan bahwa kepailitan PT bukan karena kesalahan atau kelalaiannya. Sesuai ketentuan yang dimaksud Pasal 104 ayat (4) UUPT beban pembuktian ada pada anggota Direksi tersebut.
Universitas Sumatera Utara
Menurut Schreuder, pengertian kesalahan menurut hukum pidana menurutnya ada 3 (tiga) unsur-unsur yaitu : 167 1. Kelakuan yang bersifat melawan hukum 2. Dolus (kesengajaan) atau culva (kelalaian) 3. Kemampuan bertanggung jawab pelaku Menurut Sutan Remi Sjahdeini, yang dimaksud dengan “kesalahan” dalam UUPT Lama adalah “kesengajaan” karena dalam Pasal 90 ayat (2) UUPT itu disebut pula secara tersendiri unsur “kelalaian”. Dalam hukum pidana, dikenal 3 (tiga) macam gradasi dari unsur sesengajaan (dolus), yaitu : 168 1. Kesengajaan sebagai maksud (oorgmerk) 2. Kesengajaan dengan kesadaran pasti atau keharusan 3. Kesengajaan dengan menyadari kemungkinan (dolus eventualis) Sedangkan unsur kelalaian/kealpaan (culva) juga mempunyai 2 (dua) macam gradasi, antara lain: 169 1. Kealpaan yang berat (culva lata) 2. Kealpaan yang ringan (culva levis) Sutan Remi Syadjeni yang sependapat dengan pengadilan-pengadilan di Amerika Serikat, bahwa setiap anggota Direksi perseroan dalam menjalankan tugasnya hanya bertanggung jawab apabila kelalaian yang dilakukan adalah kelalaian 167
S.R Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, (Jakarta: Alumni Ahaem-Petehaem, 1996), hal. 160-161 168 Sjahdeini, Op. Cit, hal. 170-175 169 Sofjan Sastra Widjaja, Hukum Pidana (Asasa Hukum Pidana Sampai Dengan Alasan Peniadaan Pidana), (Bandung: Armico, 1996), hal. 214
Universitas Sumatera Utara
berat (gross negligence). Meskipun, menurut penulis, tidaklah mudah untuk membedakan mana perbuatan hukum Direksi yang bersifat kelalaian ringan dan mana perbuatan Direksi yang bersifat kalalaian berat. Bersifat penilaian tersebut merupakan sesuatu yang bersifat subjektivitas. 170 Hal-hal tersebutlah yang mampu membebaskan anggota Direksi ikut memikul tanggung jawab secara tanggung renteng untuk membayar pelunasan kewajiban perseroan pailit, apabila harta pailit tidak cukup melunasi seluruh utang kepada kreditor. Apabila anggota Direksi yang bersangkutan tidak dapat membuktikan halhal dimaksud, dia dipikulkan untuk melunasi kekurangan pembayaran utang secara tanggung renteng. Salah satu tolak ukur untuk memutuskan apakah suatu kerugian tidak disebabkan oleh keputusan bisnis (business judgment) yang tidak tepat sehingga dapat menghindar dari pelanggaran prinsip duty of care adalah: Pertama, memiliki informasi tentang masalah yang akan diputuskan dan percaya bahwa informasi tersebut benar. Kedua, tidak memiliki kepentingan dengan keputusan dan memutuskan dengan itikad baik. Ketiga, memiliki dasar rasional untuk mempercayai bahwa keputusan yang diambil adalah yang terbaik bagi perusahaan.
Apabila terbukti bahwa tindakan atau keputusan yang diambil oleh direktur untuk memberlakukan suatu kebijakan korporasi yang didasarkan atas business judgment yang tepat dalam rangka meraih keuntungan sebanyak-banyaknya bagi 170
Sutan Remi Sjahdeini, Op. Cit, hal. 440-441
Universitas Sumatera Utara
korporasi, maka apabila ternyata tindakan yang diambil tersebut menimbulkan kerugian yang melahirkan pertanggungjawaban pidana, tidak dapat dibebankan pada pribadi pengurus (Direksi atau pejabat korporasi lainnya), tetapi dibebankan pada korporasi. Pertanggungjawaban oleh pengurus hanya dimungkinkan apabila terbukti terjadi pelanggaran duty of care dan duty of loyality. 171
Akan tetapi, anggota Direksi tidak perlu terlampau risau, jika memperhatikan penjelasan Pasal 104. Bukankah penjelasan Pasal ini mengatakan untuk membuktikan kesalahan atau kelalaian Direksi, harus melalui proses gugatan ke Pengadilan Niaga sesuai dengan ketentuan UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Berarti sesuai dengan tata tertib dan prinsip hukum pembebanan pembuktian yang digariskan pada Pasal 163 HIR, Pasal 1865 KUH Perdata. Apabila diajukan gugatan terhadap anggota Direksi atas dalil telah salah atau lalai mengurus perseroan yang mengakibatkan perseroan pailit, maka pemohon atau penggugat yang harus membuktikan tentang kebenaran kesalahan atau kelalaian direksi. Dengan demikian Direksi harus memahami bahwa pengelolan perseroan harus dilakukan dengan mengambil pertimbangan yang dianggap tepat, mempunyai itikad baik dan penuh tanggung jawab. Harus dilakukan dengan kemampuan yang handal dan kehati-hatian yang tinggi sehingga tidak terdapat kesalahan atau kelalaian dalam pertimbangan tersebut. Menghindari adanya benturan kepentingan baik langsung 171
www.hukumonline.com di akses pada tanggal 8 Juli 2010
Universitas Sumatera Utara
maupun tidak langsung dalam setiap pertimbangn yang diambil. Melakukan upayaupaya antisipasi terhadap kemungkinan munculnya atau berlanjutnya suatu kerugian bagi perseroan.
Universitas Sumatera Utara
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN KESIMPULAN 1. Pengertian direksi yang sesuai dengan UUPT No. 40 Tahun 2007 Pasal 1 ayat (5) yaitu direksi adalah organ perseroan yang berwenang dan bertanggung jawab penuh atas pengurusan perseroan untuk kepentingan perseroan, sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan serta mewakili perseroan, baik di dalam maupun di luar pengadila sesuai dengan ketentuan Anggara Dasar. Direksi dalam melakukan semua tugas pengurusan sebuah perseroan wajib melakukan semua tindakan yang dianggapnya paling baik untuk mencapai tujuan perseroan. Namun dalam beberapa keadaan seorang Direksi bisa saja lalai atau dengan sengaja melanggar ketentuan yang ada untuk kepentingan dirinya sendiri atau pihak lain. Terhadap keadaan seperti ini Direksi dikenakan sanksi pertanggung jawaban pribadi, tetapi ada kalanya dalam hal tertentu direksi yang dengan itikad baik dan prinsip kehati-hatianya telah berusaha semaksimal mungkin untuk melindungi direksi dari keadaan seperni ini maka diterapkan doktrin Business Judgment Rule. 2. Disamping mengatur tentang kewajiban dan larangan Undang-undang secara seimbang mengatur tentang pembelaan direksi yang dikenal dengan doktrin Business Judgment Rule. Dalam UUPT Pasal 97 ayat (5) disebutkan syarat-syarat berlakunya prinsip Business Judgment Rule yaitu jika dapat membuktikan kerugian tersebut bukan
Universitas Sumatera Utara
karena kesalahan atau kelalaiannya, telah melakukan pengurusan dengan itikad baik dan kehati-haatian untuk kepentingan dan sesuai dengan maksud tujuan perseroan, tidak mempunyai benturan kepentingan baik langsung maupun tidak langsung atas tidakan pengurusan yang mengakibatkan kerugian dan telah mengambil tindakan untuk mencegah timbul atau berlanjutnya kerugian tersebut. 3. Business Judgment Rule memberi perlindungan kepada Direksi dalam melaksanakan tugas pengurusannya. Para Direktur kini dapat dilindungi oleh UUPT jika nantinya keputusan bisnis atau kepengurusannya menimbulkan kerugian selama para direktur tdi telah memenuhi ketentuan yang telah diterapkan dalam UUPT. Hal ini merupakan perkembangan positif bagi perekonomian karena perusahaan adalah sebuah entitas risk taker dimana terkadang direktur harus mengambil keputusan yang spekulatif demi kemajuan perusahaan. Terlihat lagi di tengah-tengah kuatnya kompetisi dalam dunia bisnis yang diakibatkan dengan globalisasi, para Direktur harus berani mengmbil keputusan dan kepengurusan yang inovatif agar perusahaan yang dipimpinnya dapat bersaing dengan perusahaan luar. Namun demikian tidaklah berarti seorang Direktur dapat secara gegabah mengeluarkan keputusan bisnisnya atau dalam mengurus perusahaanya dan berlindung pada UUPT,. Penerapan Business Judgment Rule tidak akan berhasil tanpa diikuti oleh sistem kontrol dan prinsip
keterbukaan
yang
kuat.
Oleh
karena
itu,
para
direktur
harus
mengimplementasikan kedua hal tersebut dalam perusahaannya agar dapat dilindungi oleh UUPT.
Universitas Sumatera Utara
SARAN
Adapun saran-saran yang penulis berikan adalah sebagai berikut :
1. Perseroan Terbatas (PT) dalam menjalankan prinsipnya harus benar-benar sesuai dengan ketentuan UU No. 40 Tahun 2007 tentan Perseroan Terbatas yang berlaku, agar tidak terjadi conflik of interst antar kepentingan Diretur dengan kepentingan perseroan
2. Bahwa doktrin putusan bisnis Business Judgment Rule hendaknya lebih diperhatikan, diadopsi oleh para penegak hukum di Indonesia khususnya hukum korporasi dalam memutuskan bersalah atau tidaknya seorang direksi kasus-kasus hukum perusahaan khususnya.
Universitas Sumatera Utara