26
BAB II ATURAN HUKUM PRINSIP EXCEPTIO NON ADIMPLETI CONTRACTUS DALAM HUKUM PERJANJIAN
A. Prinsip Exceptio Non Adimpleti Contractus Menurut Paul Scolten bahwa: “prinsip atau asas hukum merupakan pikiranpikiran dasar yang terdapat di dalam sistem hukum masing-masing yang dirumuskan dalam aturan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim”.51 Prinsip hukum diperlukan sebagai dasar pembentukan aturan hukum dan sekaligus sebagai dasar dalam menyelesaikan persoalan hukum yang timbul manakala aturan hukum yang tersedia tidak memadai. Sudikno Mertokusumo berpendapat bahwa prinsip hukum bukanlah peraturan hukum konkret, melainkan merupakan pikiran dasar yang umum sifatnya atau merupakan latar belakang dari peraturan yang konkret yang terdapat di dalam sistem hukum yang terjelma dalam peraturan perundang-undangan dan putusan hakim yang merupakan hukum positif dan dapat diketemukan dengan mencari sifat-sifat umum dalam peraturan konkret tersebut.52 Prinsip hukum merupakan metanorma yang dapat dijadikan landasan pembentukan suatu peraturan perundang-undangan dan dapat pula dijadikan dasar bagi hakim di dalam menemukan suatu hukum terhadap kasus-kasus yang sedang dihadapinya untuk diputuskan ketika hakim tidak dapat merujuk kepada aturan hukum positif.53 51 52
M. Hadi Subhan, Op.cit, hal. 26. Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, (Yogyakarta: Liberty, 2005),
hal. 34. 53
Ibid.
26
Universitas Sumatera Utara
27
Dalam perjanjian timbal balik, terdapat sebuah prinsip hukum yang menegaskan bahwa kedua pihak harus sama-sama melakukan kewajibannya dan sama-sama menerima haknya.54 Masing-masing pihak dalam perjanjian tersebut bertindak sebagai kreditor dan debitor. Tidak dipenuhinya prestasi oleh salah satu pihak akan berhubungan langsung dengan pemenuhan prestasi oleh pihak lainnya.55 Karena itu tidak logis apabila salah satu pihak menuduh wanprestasi terhadap pihak lain sedangkan pihak itu sendiri dalam keadaan wanprestasi. Oleh karena itu, pihak yang dituduh lalai dan dimintakan pertanggungjawabannya atas kelalaian tersebut dapat membela dirinya dengan mengajukan tangkisan yang disebut exceptio non adimpleti contractus.56 Berdasarkan kamus Istilah Hukum Belanda-Indonesia, prinsip exceptio non adimpleti contractus diartikan sebagai sangkalan dalam suatu persetujuan timbal balik yang dikemukakan oleh suatu pihak bahwa pihak lawan juga berada dalam keadaan lalai (in gebreke) dan dengan demikian tidak dapat menuntut pemenuhan prestasi.57 Pengertian prinsip exceptio non adimpleti contractus, dipahami sebagai suatu bentuk tangkisan dengan jalan mengungkap keadaan nyata yang mana sesungguhnya kreditor yang menggugat sebenarnya tidak berhak mengajukan
tuntutan untuk
memaksa debitor memenuhi prestasinya karena kreditor telah wanprestasi terlebih dahulu.58 54
Harlien Budiono, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang Kenotariatan; Buku Ke dua, (Bandung: PT.Citra Aditya Bakti, 2010), hal. 202. 55 H. Ridwan Syahrani, Loc.cit. 56 Ibid. 57 Fockema Andreae, Kamus Istilah Hukum Belanda-Indonesia, (Bandung: Bina Cipta, 1983), hal. 127. 58 Ibid.
Universitas Sumatera Utara
28
Achmad Ali berpendapat bahwa: prinsip exceptio non adimpleti contractus merupakan pembelaan bagi debitor untuk dibebaskan dari kewajiban membayar ganti rugi akibat tidak dipenuhinya perjanjian, dengan alasan kreditorpun lalai.59 Riduan Syahrani mengemukakan bahwa: “Exceptio non adimpleti contractus adalah tangkisan yang menyatakan bahwa ia (debitur) tidak melaksanakan perjanjian sebagaimana mestinya justru karena kreditur sendiri tidak melaksanakan perjanjian itu sebagaimana mestinya. Bilamana debitur selaku tergugat dapat membuktikan kebenaran tangkisannya maka ia tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban apa-apa atas tidak dilaksanakannya perjanjian itu”.60 Selanjutnya J. Satrio mengemukakan bahwa: prinsip exceptio non adimpleti contractus adalah suatu tangkisan, yang menyatakan bahwa kreditor sendiri belum berprestasi dan karenanya kreditor tidak patut untuk menuntut debitor berprestasi. Tangkisan ini dikemukakan untuk melawan tuntutan kreditor akan pemenuhan perjanjian. Sudah bisa diduga, bahwa tangkisan ini hanya berlaku untuk perjanjian timbal balik saja.61 Debitor yang menggunakan tangkisan atau pembelaan berdasarkan prinsip exceptio non adimpleti contractus tentunya ingin menghindar dari kewajibannya untuk melaksanakan perjanjian sebagaimana yang telah disepakati. Kewajiban tersebut merupakan kewajiban untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu atau untuk tidak melakukan sesuatu yang disebut dengan prestasi. 62
59
Achmad Ali, Op.cit, hal. 248. H. Riduan Syahrani, Op.cit, hal. 242. 61 J. Satrio, Beberapa Segi Hukum Tentang Somasi (Bagian IV), Kamis 11 November 2010, http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4cdb67c58d247/beberapa-segi-hukum-tentang-somasibagian-iv-brioleh-j-satrio-, diakses pada tanggal 06 Juni 2014. 62 Lihat ketentuan Pasal 1234 KUHPerdata. 60
Universitas Sumatera Utara
29
Prinsip exceptio non adimpleti contractus merupakan prinsip yang berasal dari hukum Romawi yang menyatakan bahwa: “apabila salah satu pihak dalam perjanjian timbal balik tidak memenuhi kewajibannya atau tidak berprestasi, pihak lainpun tidak perlu memenuhi kewajibannya”.63 Prinsip exceptio non adimpleti contractus telah mendapatkan tempat di dalam KUHPerdata yang mengikuti ketentuan Code Civil Perancis.64 Dalam sejarah hukum perjanjian, semula yang berlaku dalam suatu perjanjian timbal balik, yaitu antara kewajiban dari masing-masing pihak dalam suatu perjanjian saling berdiri sendiri dan terlepas satu sama lain. Konsekuensinya dalam perjanjian timbal balik, jika salah satu pihak tidak melaksanakan prestasinya (wanprestasi), maka pihak lain harus tetap melaksanakan prestasinya sampai selesai.65 Hal ini dirasakan sangat tidak adil, sehingga kewajiban dari masing-masing pihak dalam suatu perjanjian saling berdiri sendiri dan terlepas satu sama lain ini sudah lama ditinggalkan, antara lain karena munculnya konstruksi hukum sebagai berikut: “pihak yang digugat telah melakukan wanprestasi dapat membela diri dengan membuktikan bahwa pihak lawan juga sudah terlebih dahulu melakukan wanprestasi”.66
63
H. Riduan Syahrani, Op.cit, hal. 203. J. Satrio, Ketika Penggugat dan Tergugat Sama-Sama Dihukum, Kamis, 23 Agustus 2007, http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol17439/ketika-penggugat-dan-tergugat-sama-samadihukum, diakses pada tanggal 08 Juni 2014. 65 Munir Fuady, Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis) Buku Ke dua, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2007), hal. 126. 66 Ibid, hal. 127. 64
Universitas Sumatera Utara
30
Dalam sejarah hukum di Inggris dan Amerika Serikat misalnya, semula juga berlaku kewajiban dari masing-masing pihak dalam suatu perjanjian timbal balik saling berdiri sendiri dan terlepas satu sama lain, yakni berlaku sampai pertengahan abad ke-18 (delapan belas). Baru kemudian diparuh abad ke-18 (delapan belas), muncul putusan-putusan pengadilan yang tidak lagi memberlakukan hal tersebut. Kasus terkenal (landmark case) yang tidak lagi memberlakukan kewajiban dari masing-masing pihak dalam suatu perjanjian timbal balik saling berdiri sendiri dan terlepas satu sama lain adalah yang dikenal dengan kasus Kigston melawan Preston (diputuskan di Inggris pada tahun 1773).67 Duduk perkara dari kasus Kigston melawan Preston adalah tergugat menjual bisnisnya kepada penggugat di mana pembeli dapat membayarnya secara cicilan. Penjualan bisnis ini disertai dengan pemberian jaminan utang yang dapat dieksekusi oleh penjual manakala pihak pembeli tidak dapat membayar cicilan harga belinya itu. Kemudian, pihak pembeli tidak dapat memenuhi kewajibannya untuk menyediakan jaminan utang, sehingga pihak penjual tidak mau menjual bisnisnya. Akan tetapi pihak pembeli menggugat pihak penjual ke pengadilan karena dengan tidak dijualnya lagi bisnis tersebut kepada pembelinya. Dalam hal ini pihak penjual dikatakan telah melakukan wanprestasi atau ingkar janji oleh pihak pembeli.68 Putusan menyatakan bahwa tidak dijualnya lagi bisnis kepada pembeli bukanlah tindakan wanprestasi, karena pihak pembeli telah terlebih dahulu 67 68
Ibid. Ibid, hal. 127-128.
Universitas Sumatera Utara
31
wanprestasi. Pengadilan menyatakan bahwa pengikatan jaminan utang merupakan syarat bagi penjualan bisnis. Sebab jika pihak penjual diharuskan untuk menjual bisnisnya, sementara pihak pembeli nyata-nyata tidak melakukan kewajibannya, hal tersebut akan menjadi sangat tidak adil (the greatest injustice).69 Prinsip exceptio non adimpleti contractus berlaku dalam hukum perjanjian Indonesia. Meskipun demikian, masih ditemukan kasus bahwasannya majelis hakim mengabulkan permintaan penggugat dalam perjanjian timbal balik dengan alasan pihak tergugat telah melakukan wanprestasi, padahal pihak penggugat juga telah melakukan wanprestasi terlebih dahulu. Seperti pada putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dalam kasus PT. Surya Mas Duta melawan Bank Niaga. Hakim memutuskan bahwa pihak tergugat (Bank Niaga) harus menambah lagi kreditnya kepada penggugat sesuai yang diperjanjikan, meskipun pihak penggugat sudah tidak membayar terhadap kredit yang diambilnya.70 Berdasarkan perjanjian timbal balik yang mana kewajiban para pihak berhubungan sangat erat antara satu sama lain, maka kiranya bisa diterima, bahwa jika pihak yang satu menuntut pemenuhan kewajiban dari pihak yang lain, maka pihak tersebut sudah seharusnya melaksanakan kewajiban sebagaimana yang telah disepakati di dalam perjanjian. Menurut Nieuwenhuis, prinsip exceptio non adimpleti
69 70
Ibid. Ibid, hal. 120.
Universitas Sumatera Utara
32
contractus dapat diterapkan dalam perjanjian timbal balik, sekurang-kurangnya dapat diterapkan pada jual beli.71 B. Aturan Hukum Prinsip Exceptio Non Adimpleti Contractus dalam Hukum Perjanjian 1.
Peraturan Perundang-undangan Hukum perjanjian di Indonesia masih menggunakan aturan hukum
peninggalan Belanda, yaitu yang diatur di dalam Buku III KUHPerdata, yang berjudul tentang perikatan yang terdiri dari ketentuan umum dan ketentuan khusus. Ketentuan-ketentuan tersebut masih berlaku di Indonesia berdasarkan ketentuan Pasal II aturan peralihan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyebutkan bahwa: “segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku selama belum diadakan yang baru menurut Undang-undang dasar ini”. Perkataan perikatan (verbintenis) mempunyai arti yang lebih luas dari perkataan “perjanjian”, sebab dalam Buku III KUHPerdata diatur perihal perhubungan-perhubungan hukum yang sama sekali tidak bersumber pada suatu persetujuan atau perjanjian, yaitu perihal perikatan yang timbul dari perbuatan yang melanggar hukum (onrechmatige daat) dan perihal perikatan yang timbul dari pengurusan kepentingan orang lain yang tidak berdasarkan persetujuan (zaak waarneming). Namun, sebagian besar dari Buku III KUHPerdata ditujukan kepada
71
Harlien Budiono, Op.cit, hal. 204.
Universitas Sumatera Utara
33
perikatan-perikatan yang timbul dari persetujuan atau perjanjian, jadi isinya mengenai hukum perjanjian.72 Buku III KUHPerdata yang berjudul tentang perikatan, keseluruhannya terdiri atas delapan belas bab (bab I sampai dengan bab XVIII). Bab I sampai dengan IV yang mengatur tentang: Bab I : ketentuan perikatan pada umumnya (Pasal 1233-1312 KUHPerdata) Bab II : Perikatan-perikatan yang dilahirkan dari persetujuan atau perjanjian (Pasal 1313-1351 KUHPerdata). Bab III : Perikatan-perikatan yang dilahirkan dari undang-undang (Pasal 1352-1350 KUHPerdata) Bab IV : Mengatur tentang hapusnya perikatan (Pasal 1381-1456 KUHPerdata) Bab V sampai dengan Bab XVIII mengatur tentang perjanjian-perjanjian khusus yang merupakan tipe-tipe dari perjanjian-perjanjian yang selalu terjadi dalam masyarakat dan lazim disebut dengan perjanjian bernama. Secara garis besar, Bab I sampai dengan Bab IV mengatur tentang pokok-pokok perikatan, sedangkan bab V sampai dengan Bab XVIII memuat pembahasan lebih lanjut, kadang-kadang pengulangan dari bagian umum. Jadi bagian umum dari Buku III tersebut pada dasarnya berlaku terhadap semua perjanjian, baik bernama maupun yang tidak bernama. Misalnya: Pasal 1320 KUHPerdata yang mengatur syarat-syarat sahnya
72
Rahayu Hartini, Hukum Komersial, (Malang: UMM Press, 2005), hal. 35.
Universitas Sumatera Utara
34
perikatan, haruslah diberlakukan pada semua perjanjian yang ada dalam Bab V sampai Bab XVIII.73 Prinsip exceptio non adimpleti contractus diatur dalam hukum perjanjian, yaitu yang terdapat di dalam ketentuan Pasal 1478 KUHPerdata. Pasal 1478 KUHPerdata menyebutkan bahwa: “si penjual tidak diwajibkan menyerahkan barangnya, jika si pembeli belum membayar harganya, sedangkan si penjual tidak telah mengizinkan penundaan pembayaran kepadanya”. Adanya kata “tidak diwajibkan” pada ketentuan Pasal 1478 KUHPerdata bermakna penjual diperbolehkan untuk tidak melaksanakan kewajibannya, dengan ketentuan pembeli tidak melaksanakan kewajibannya terlebih dahulu sesuai dengan yang disepakati. Ketentuan Pasal 1478 KUHPerdata bertujuan agar terdapat suatu keadilan yang mana salah satu pihak tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana yang ditentukan dalam perjanjian, jangan sampai dapat memaksakan pihak lainnya untuk melaksanakan kewajiban sebagaimana yang diperjanjikan. Berdasarkan ketentuan Pasal 1513 KUHPerdata menyebutkan bahwa: “Kewajiban utama si pembeli ialah membayar harga pembelian, pada waktu dan di tempat sebagaimana ditetapkan menurut perjanjian”. Pasal 1514 KUHPerdata menyebutkan bahwa: “jika pada waktu membuat persetujuan tidak ditetapkan tentang itu,74 si pembeli harus membayar di tempat dan pada waktu di mana penyerahan harus dilakukan. 73 74
Ibid. Lihat ketentuan Pasal 1513 KUHPerdata.
Universitas Sumatera Utara
35
Pasal 1517 KUHPerdata menyebutkan bahwa: “Jika si pembeli tidak membayar harga pembelian, si penjual dapat menuntut pembatalan pembelian menurut ketentuan-ketentuan Pasal 1266 dan 1267”. Dalam hal ini terdapat ketentuan bahwasannya si pembeli harus melaksanakan kewajibannya melakukan pembayaran terlebih dahulu untuk dapat menerima haknya yang merupakan kewajiban dari si penjual. Asser-Rutten berpendapat bahwa exceptio non adimpleti contractus dapat diajukan mengingat dalam perjanjian timbal balik para pihak telah menjanjikan prestasi yang saling bergantungan antara satu dengan yang lain. Di dalam jual beli, baik pihak pembeli hendak membeli sebuah rumah maupun karena penjual juga telah sepakat dengan harga jual belinya. Sepakat akan benda yang dibeli tergantung pada harga yang telah disetujui. Ini berarti prestasi untuk membayar harga jual beli bergantung langsung pada prestasi untuk menyerahkan bendanya. Akibatnya pihak yang telah menolak memenuhi prestasi yang telah dijanjikan, tetapi menuntut pelaksanaan prestasi oleh pihak lawan bertindak tanpa itikad baik (kepatutan dan kesusilaan).75 2.
Yurisprudensi Berdasarkan ketentuan Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman menyebutkan bahwa: “Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili dan memutus suatu
75
Harlien Budiono, Op.cit, hal. 204.
Universitas Sumatera Utara
36
perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya”. Di dalam praktik terdapat hukum yurisprudensi (yurisprudentie recht) yang timbul dari putusan-putusan pengadilan, terutama putusan-putusan Mahkamah Agung.76 Menurut C.S.T Kansil, yurisprudensi adalah keputusan hakim terdahulu yang sering diikuti dan dijadikan dasar keputusan oleh hakim kemudian mengenai masalah yang sama di masa yang akan datang.77 Yuriprudensi terbagi menjadi 2 (dua) macam, yaitu: a.
Yurisprudensi (biasa), merupakan seluruh putusan pengadilan yang telah telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde), yang terdiri dari putusan perdamaian dalam perkara perdata, putusan pengadilan negeri yang tidak dibanding, putusan pengadilan tinggi yang tidak dikasasi dan seluruh putusan Mahkamah Agung.78
b.
Yurisprudensi tetap (vaste jurisprudentie), merupakan putusan hakim yang terjadi karena rangkaian keputusan yang serupa dan yang menjadi dasar bagi pengadilan (standard arresten) untuk mengambil keputusan.79
Adapun yurisprudensi mengenai prinsip exceptio non adimpleti contractus dapat dilihat pada :
76
R. Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), hal. 158. Titik Triwulan Tutik, Hukum Perdata dalam Sistem Hukum Nasional, (Jakarta: Kencana Media Group, 2008), hal. 317. 78 Ahmad Ali, Op. cit, hal. 125. 79 C.S.T. kansil, Op. cit, hal. 50. 77
Universitas Sumatera Utara
37
a.
Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia tertanggal 15 Mei 1957 Nomor 156 K/SIP/1955, yang menguatkan putusan Pengadilan Tinggi Jakarta pada tanggal 2 Desember 1953 Nomor 218/1953, yang telah menguatkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta pada tanggal 29 September 1951 Nomor 767/1950 G dalam perkara perdata antara PT. Pacific Oil Company melawan Oei Ho Liang. Perkara ini bermula dari tuntutan PT. Pacific Oil Company kepada tergugat Oei Ho Liang selaku penjual dalam perjanjian jual beli karet untuk menyerahkan sejumlah karet yang diperjanjikan dan membayar ganti kerugian yang diderita penggugat karena kelalaian tergugat. Bahwa tergugat dalam suratnya tertanggal 27 Januari 1950 telah menyatakan bahwa tergugat tidak akan menyerahkan barang-barangnya tersebut, dengan demikian tergugat telah menyatakan dirinya lalai. Selanjutnya ditangkis oleh tergugat dengan menyatakan bahwa penggugat sendiri telah lalai melaksanakan janjinya, yaitu tidak membayar harga pembelian karet tersebut tepat pada waktunya yaitu selambat-lambatnya pada tanggal 21 Januari 1950 pukul 12.00 WIB. Tuntutan penggugat akhirnya ditolak oleh hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang memeriksa dan memutuskan perkara tersebut dengan pertimbangan, bahwa penggugat sendiri telah lalai sehingga ia tidak berhak mengajukan tuntutan sebagaimana diatur dalam Pasal 1267 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Putusan tersebut dalam pemeriksaan
Universitas Sumatera Utara
38
banding telah dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi di Jakarta dengan putusan tertanggal 2 Desember 1953 No. 218/1953P.T. Perdata. Selanjutnya PT. Pacific Oil Company mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung dengan keberatan-keberatan, yaitu: 1)
Keputusan Pengadilan Tinggi tersebut tidak berdasarkan alasanalasan yang cukup.
2)
Bahwa perjanjian tidak dengan sendirinya batal menurut hukum sehingga
sesuatu
“wanprestasi”
tidaklah
secara
langsung
membebaskan pihak lawan dari kewajibannya untuk memenuhi perjanjian tersebut. 3)
Untuk membebaskan dirinya dari kewajiban tersebut pihak lawan tersebut seharusnya memajukan suatu gugatan balasan untuk membatalkan perjanjian tersebut.
4)
Penggugat untuk kasasi itu karena suatu keadaan darurat (overmacht) tidak dapat melakukan pembayaran pada 21 Januari 1950 sebelum pukul 12.00 WIB.
5)
Andaikan penggugat untuk kasasi pada saat itu dengan cara lain misalnya
dengan
membayar
uang
tunai
dapat
melakukan
pembayaran, maka tergugat dalam kasasi tidak akan dapat memenuhi kewajibannya oleh karena dokumen-dokumen yang bersangkutan ada di kantor Cirebon, yang mana kantor tersebut sedang ditutup.
Universitas Sumatera Utara
39
Majelis Hakim Mahkamah Agung dalam pertimbangan hukumnya menolak keselurahan alasan-alasan kasasi dengan pertimbangan hukum yaitu: Penggugat telah melakukan wanprestasi terlebih dahulu, maka Penggugat tidak dapat menuntut pemenuhan perjanjian kerjasama tersebut.80 b.
Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 23 K/N/1999 yang menguatkan putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat pada tanggal 30 Juni 1999 Nomor 35/Pailit/1999/PN.Niaga/i.Jkt.Pst. kepailitan. Dalam perkara kepailitan antara PT. Waskita Karya melawan PT. Mustika Princess Hotel. Permohonan pailit ini bermula dari perjanjian kerjasama tentang pembangunan gedung. PT. Waskita Karya sebagai Pemohon Pailit adalah kontraktor yang ditunjuk oleh Termohon Pailit sebagai pemilik gedung hotel Sheraton Mustika Princess untuk membangun atau sebagai pelaksana pembangunan gedung berdasarkan surat perjanjian kerja sama. Pemohon Pailit telah melaksanakan seluruh pekerjaan dengan baik dan penuh tanggung jawab namun Termohon Pailit tidak membayar kewajibannya pada Pemohon Pailit sebesar Rp. 2.085.608.726.23 (dua milyar delapan puluh lima juta enam ratus delapan ribu tujuh ratus dua puluh enam Rupiah dua puluh tiga sen).
80
Lihat I. Rubini, R. Roechimat dan M. Chidir Ali, Hukum Acara Perdata dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung (1955-1975), (Bandung: Penerbit Alumni, 1982), hal. 148-173.
Universitas Sumatera Utara
40
Bahwa karena pekerjaan telah diselesaikan namun Termohon Pailit tidak membayar meskipun telah ditagih oleh Pemohon Pailit, maka berdasarkan perjanjian-perjanjian tersebut Termohon Pailit berhutang pada Pemohon Pailit dan utang tersebut telah jatuh tempo dan dapat ditagih. Ditangkis oleh Termohon Pailit bahwa Pemohon Pailit tidak melaksanakan perjanjian sesuai dengan yang diperjanjikan sehingga menimbulkan kerugian bagi Termohon Pailit baik karena robohnya bangunan jembatan layang menuju hotel maupun karena keterlambatan pengoperasian hotel. Tuntutan Pemohon Pailit akhirnya ditolak oleh hakim Pengadilan Niaga Jakarta Pusat yang memeriksa dan memutuskan perkara tersebut dengan pertimbangan bahwa Pemohon Pailit dan Termohon Pailit telah mengadakan perjanjian, Pemohon Pailit selaku kontraktor membangun hotel milik Termohon Pailit. Dari hubungan hukum antara kedua pihak tersebut timbul suatu keadaan yang mana Pemohon Pailit telah menyelesaikan pekerjaannya tetapi Termohon Pailit tidak bersedia membayar, yaitu sebesar Rp. 2.085.688.726,23,- (dua milyar delapan puluh lima juta enam ratus delapan puluh delapan ribu tujuh ratus dua puluh enam Rupiah dua puluh tiga sen). Prestasi sejumlah uang yang dituntut oleh Pemohon Pailit yang tidak dibayar oleh Termohon Pailit, merupakan utang Termohon Pailit kepada Pemohon Pailit.
Universitas Sumatera Utara
41
Sebaliknya dalam hubungan kerja atau perjanjian antara Pemohon Pailit dengan Termohon Pailit, ternyata ada satu pekerjaan pembuatan bangunan jembatan layang menuju hotel yang harus dikerjakan oleh Pemohon Pailit. Tentang pekerjaan pembuatan bangunan jembatan layang menuju hotel tersebut tidak disangkal keberadaannya oleh Pemohon Pailit. Bahwa bangunan jembatan layang menuju hotel yang dikerjakan oleh Pemohon Pailit ternyata roboh atau gagal. Pemohon Pailit tidak memperbaiki atau mengerjakan kembali bangunan jembatan layang menuju hotel. Termohon Pailit telah menunjuk kontraktor lain untuk membuat dan memperbaiki bangunan jembatan layang menuju hotel tersebut. Biaya yang dikeluarkan oleh Termohon Pailit untuk biaya yang telah dibayarkan kepada Pemohon Pailit dan biaya yang dikeluarkan atau dibayarkan kepada kontraktor yang baru untuk pembuatan bangunan jembatan layang menuju hotel baru serta perbaikan lainnya, seluruhnya sebesar Rp. 4.378.244.000,- (empat milyar tiga ratus tujuh puluh delapan juta dua ratus empat puluh empat ribu Rupiah). Prestasi sejumlah uang tersebut dituntut oleh Termohon Pailit kepada Pemohon Pailit, prestasi tersebut merupakan utang Pemohon
Pailit
kepada Termohon Pailit. Menurut Majelis Hakim Pengadilan Niaga Jakarta Pusat dalam pertimbangannya menyebutkan, bahwa utang Termohon Pailit kepada Pemohon Pailit sebesar Rp. 2.085.688.726,23,- (dua milyar delapan puluh
Universitas Sumatera Utara
42
lima juta enam ratus delapan puluh delapan ribu tujuh ratus dua puluh enam Rupiah dua puluh tiga sen) belum jatuh tempo, karena berdasarkan bukti-bukti yang ada Pemohon Pailit belum menyelesaikan pekerjaan secara penuh sesuai yang ditentukan dalam Surat perjanjian yang dibuat oleh Pemohon Pailit dengan Termohon Pailit. Berdasarkan putusan tersebut, selanjutnya PT. Waskita Karya mengajukan Permohonan Kasasi. Alasan Permohonan Kasasi adalah bahwa Pengadilan Niaga telah salah menerapkan hukum Pasal 1 ayat (1) dan Pasal 6 ayat (3) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 tentang adanya utang yang telah jatuh tempo dan salah menerapkan hukum tentang adanya utang pada kreditor lain. Terhadap keberatan-keberatan kasasi tersebut Mahkamah Agung berpendapat bahwa dengan terkaitnya perkara ini dengan masalah prinsip hukum yaitu exceptio non adimpleti contractus dihubungkan pula dengan masalah hukum ipso jure compensatur, maka penyelesaian permasalahan ada atau tidak adanya utang yang disyaratkan Pasal 1 ayat (1) UndangUndang Nomor 4 Tahun 1998, memerlukan pembuktian yang rumit dan berkepanjangan. Sedangkan prinsip proses pemeriksaan pembuktian maupun sistem pembuktian yang digariskan Pasal 6 ayat (3) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 adalah acara cepat (expedited prosedure) dengan sistem pembuktian
sederhana,
bertitik
tolak
dari
fakta-fakta
indikasi
Universitas Sumatera Utara
43
permasalahan hukum adanya exceptio non adimpleti contractus dan ipso jure compensatur dihubungkan dengan prinsip Pasal 6 ayat (3) dimaksud, penyelesaian perkara ini tidak bisa diselesaikan melalui proses Pengadilan Niaga berdasar Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998, akan tetapi harus melalui jalur penyelesaian perdata biasa.81 c.
Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 04 PK/N/2001 yang menguatkan Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia di Jakarta tanggal 13 Februari 2001 Nomor: 06 K/N/2001 yang membatalkan putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tanggal 04 Januari 2001 No.81/Pailit/2000/PN.Niaga/Jkt.Pst. dalam perkara kepailitan antara PT. Kadi Internasional melawan PT. Wisma Calindra. Permohonan Pailit ini bermula dari perjanjian kerjasama tentang pembangunan gedung (Construction Contract) yang mana Pemohon Pailit yaitu PT. Kadi Internasional dan Termohon Pailit yaitu PT. Wisma Calindra telah setuju untuk membangun sebuah kondominium yang terletak di Jalan Jenderal S. Parman Kav.76 Jakarta dengan sistem kontrak Turn Key. Di dalam Kontrak tersebut disepakati bahwa Pemohon Pailit mengerjakan Proyek Kondominium tersebut secara keseluruhan, dari penyusunan konsep, studi kelayakan, perencanaan konstruksi, pengadaan
81
Lihat putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 23 K/N/1999.
Universitas Sumatera Utara
44
sampai pada penyelesaian proyek Kondominium tersebut seperti yang telah disepakati oleh kedua belah pihak. Sedangkan Termohon Pailit terikat untuk melakukan pembayaran dalam jumlah harga kontrak yang telah disepakati pada saat proyek kondominium tersebut selesai dibangun oleh Termohon Pailit. Bahwa dalam Pasal 1 ayat (9) Perjanjian Kesepakatan (Agreement of understanding) yang dibuat dengan Akta Notaris No.140 tanggal 30 Maret 1985 yang merupakan perjanjian yang tidak dapat dipisahkan dari “Perjanjian Pembangunan” (Construction Contract) di atas dinyatakan bahwa kewajiban dari Termohon Pailit tersebut sebagai loan (pinjaman) antara lain sebagaimana terbukti sebagai berikut: “Pinjaman”: adalah jumlah yang setara dengan harga kontrak ditambah dengan bunga 12,5% (dua belas koma lima persen) pertahun. Selanjutnya dalam Pasal 4 ayat (2) dari Perjanjian Kesepakatan (Agreement of Understanding) dinyatakan sebagai berikut: “Pinjaman dan bunga sebesar 12,5% (dua belas koma lima persen) pertahun atas jumlah yang terhutang termasuk pajak penghasilan, akan dibayarkan kembali oleh Termohon Pailit kepada Pemohon Pailit dari setiap dan semua pendapatan tidak termasuk biaya pelayanan akan tetapi termasuk uang jaminan yang berasal dari setiap dan semua perjanjian sewa yang diadakan oleh Termohon Pailit dengan para penyewa dalam waktu 9 (sembilan) tahun sejak tanggal penyelesaian proyek”.
Universitas Sumatera Utara
45
Dari kutipan perjanjian tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa perjanjian atau utang yang harus dibayarkan oleh Termohon Pailit kepada Pemohon Pailit adalah berupa nilai pokok hutang yang telah disepakati dalam kontrak (contract price) ditambah dengan bunga sebesar 12,5% (dua belas koma lima persen) pertahunnya yang akan dibayarkan secara bertahap dalam jangka waktu pembayaran selama 9 tahun terhitung dari dikeluarkannya berita acara serah terima (Certificate of Completion). Pemohon Pailit telah menyelesaikan proyek Kondominium tersebut secara
keseluruhan
di
mana
Termohon
Pailit
juga
telah
mengkonfirmasikan bahwa proyek Kondominium tersebut telah selesai dibangun dengan diterbitkannya berita acara serah terima (Certificate of completion) pada tanggal 18 Desember 1987. Bahwa dalam akta Perjanjian Tambahan (Suplementary Agreement) No. 56 tanggal 24 Desember 1987 Termohon Pailit kembali mengkonfirmasikan
bahwa
Termohon
Pailit
telah
menyelesaikan
pembangunan proyek Kondominium tersebut pada tanggal 30 September 1987 dan untuk itu Termohon Pailit telah menerbitkan Certificate of Completion pada tanggal 18 Desember 1987. Selain itu, Termohon Pailit juga mengakui bahwa jumlah utang pokok yang menjadi kewajiban Termohon Pailit untuk dibayarkan kepada Pemohon Pailit adalah sebesar US$ 6.059.250 (enam juta lima puluh sembilan ribu dua ratus lima puluh dolar Amerika Serikat).
Universitas Sumatera Utara
46
Bahwa meskipun utang Termohon Pailit telah jatuh tempo dan dapat ditagih, namun Termohon Pailit tidak melakukan pembayaran seperti yang telah diperjanjikan, walaupun Pemohon Pailit telah berkalikali melakukan peringatan. Utang Termohon Pailit kepada Pemohon Pailit yang seharusnya menurut Pasal 4 ayat (2) dari Perjanjian Kesepakatan (Agreement of Understanding) telah harus dilunasi pada tanggal 17 Desember 1996, ternyata sampai saat permohonan pernyataan pailit ini didaftarkan tidak dilunasi, sehingga utang tersebut secara keseluruhan telah jatuh tempo dan dapat ditagih. Berdasarkan atas niat baik, Pemohon Pailit tetap mengingatkan Termohon Pailit untuk melunasi utangnya, akan tetapi Pemohon Pailit hanya menawarkan janji-janji penyelesaian tanpa pernah melaksanakan janji pelunasan tersebut kepada Pemohon Pailit. Sejak tanggal 18 Agustus 1994, Termohon Pailit tidak pernah melakukan pembayaran utangnya sama sekali terhadap Pemohon Pailit. Keseluruhan utang yang dimiliki Termohon Pailit (utang ditambah dengan bunga) yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih kepada Pemohon Pailit sampai dengan tanggal 4 Desember 2000 adalah sebesar US$ 23.488.949,- (dua puluh tiga juta empat ratus delapan puluh delapan ribu sembilan ratus empat puluh sembilan dolar Amerika Serikat). Majelis hakim Pengadilan Niaga Jakarta Pusat dalam pertimbangan hukumnya berpendapat bahwa berdasarkan bukti yang ada Termohon
Universitas Sumatera Utara
47
Pailit telah mengakui adanya utang kepada Pemohon Pailit dan utang tersebut terbukti telah jatuh tempo dan dapat ditagih. Kalimat dapat ditagih pada syarat kedua ini bersifat fakultatif, artinya apabila utang telah jatuh tempo, maka utang tersebut boleh ditagih dan boleh belum ditagih, dan apabila belum ditagih tidak menghilangkan syarat kedua ini, sebab pada Prinsipnya utang harus dibayar, tanpa melakukan penagihan sebelumnya. Berdasarkan
syarat substansial sebagaimana diatur di dalam
ketentuan Pasal 1 ayat (1) Undang-undang kepailitan secara sederhana telah terpenuhi dan terbukti, maka permohonan pailit yang diajukan harus dikabulkan, sedangkan dalil Termohon Pailit yang mengatakan bahwa perkara ini tidak memenuhi unsur Pasal 6 ayat (3) undang-undang kepailitan, melainkan suatu perkara yang kompleks dan rumit tidak beralasan dan harus dikesampingkan. Akhirnya hakim dalam putusannya tertanggal 04 Januari 2001 menetapkan mengabulkan permohonan pailit dan menyatakan PT. Wisma Calindra pailit. Atas putusan pailit tersebut selanjutnya PT. Wisma Calindra mengajukan Permohonan Kasasi. Alasan Permohonan Kasasi adalah bahwa judex factie telah keliru dan salah menerapkan hukum serta lalai dalam memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan yaitu:
Universitas Sumatera Utara
48
1)
Bahwa Judex Factie tidak membedakan dan salah menerapkan hukum atas dua jenis aspek hukum perjanjian konstruksi yang terbagi atas: a)
Jenis pertama: Perjanjian kontruksi di mana kontraktor murni dan hanya wajib sebagai kontraktor sedangkan customer wajib menyediakan tanah dan biaya kontrak.
b)
Jenis kedua: jenis perjanjian konstruksi yang mana kontraktor di samping sebagai kontraktor juga wajib sebagai penyandang dana atau wajib mencari kreditor yang membiayai biaya konstruksi. Sedangkan klien hanya menyediakan tanah atau lahan. Ternyata judex factie salah karena menerapkan hukum untuk perjanjian konstruksi jenis pertama padahal perjanjian antara kreditor dan debitor adalah jenis kedua.
2)
Unsur contract price atau utang “dapat ditagih” tidak dipenuhi sebab prasyarat contract price dapat ditagih tidak terpenuhi.
3)
Karena Pemohon Kasasi (debitor) mengajukan tangkisan fakta bahwa exceptio non adimpleti contractus maka perkara a quo tidak dapat diperiksa oleh Pengadilan Niaga secara sederhana, melainkan harus di pengadilan umum, akan tetapi judex factie tidak mengindahkan persyaratan mutlak pembuktian sederhana. Majelis hakim dalam pertimbangan hukumnya membenarkan alasan
yang dikemukakan oleh Pemohon Kasasi. Dari bukti-bukti yang diajukan
Universitas Sumatera Utara
49
oleh Pemohon Kasasi, Majelis hakim berpendapat bahwa perjanjian antara Pemohon Kasasi dan Termohon Kasasi adalah perjanjian timbal balik di mana kedua belah pihak menurut perjanjian kesepakatan mempunyai kewajiban. Perjanjian
kesepakatan
tetap
berlaku
hingga
disediakannya
pinjaman kepada Pemohon Kasasi yang cukup untuk membayar jumlah yang terutang yang harus dibayar kepada Termohon Kasasi. Oleh karena masih
harus
diperiksa
dahulu
apakah
Termohon
kasasi
telah
melaksanakan kewajibannya, pemeriksaan mana tidak bersifat sederhana oleh karena harus memberikan kesempatan kepada kedua belah pihak yang mengadakan perjanjian tersebut untuk membuktikannya atau membantahnya. Seperti memberikan kesempatan kepada Pemohon Kasasi untuk menanggapi bukti tambahan yang diajukan oleh Termohon Kasasi. Sehingga belumlah dapat dikatakan bahwa utang yang telah jatuh waktu tersebut juga telah dapat ditagih dan karena salah satu syarat tidak dapat dipenuhi maka permohonan pailit haruslah ditolak. Majelis hakim kasasi dalam putusannya tertanggal 13 Februari 2001 dengan
putusan
No.
06
K/N/2001
memutuskan
mengabulkan
Permohonan Kasasi dan membatalkan putusan Pengadilan Niaga No. 81/Pailit/2000/PN.Niaga/Jkt.Pst. tanggal 04 Januari 2001. Selanjutnya
Universitas Sumatera Utara
50
Termohon Kasasi (PT. Kadi Internasional) mengajukan peninjauan kembali pada tanggal 9 Maret 2001. Menurut hakim majelis Peninjauan kembali Mahkamah Agung dalam pertimbangannya menyatakan bahwa,
mengenai keberatan
Pemohon Peninjauan kembali, bahwa keberatan ini tidak dapat dibenarkan, karena penemuan bukti-bukti baru (novum) yang diajukan tidak dapat dikatakan sebagai bukti baru, sebab bukti-bukti tersebut sudah pernah diajukan oleh Pemohon Peninjauan kembali dalam pemeriksaan tingkat kasasi, yaitu ternyata dalam daftar bukti tambahan tertanggal 16 Januari 2001 sewaktu Pemohon Peninjauan kembali bertindak sebagai Termohon Kasasi dalam perkara ini. Mengenai keberatan Pemohon Peninjauan kembali selanjutnya bahwa: keberatan inipun tidak dapat dibenarkan, karena Majelis Kasasi telah tepat dan benar dalam pertimbangan hukumnya. Lagipula hubungan hukum antara Pemohon Peninjauan kembali dan Termohon Peninjauan kembali merupakan perjanjian timbal balik yang mana masing-masing pihak terdapat hak dan kewajiban (obligator). Pihak
Termohon
Peninjauan
kembali
memang
melakukan
wanprestasi oleh karena sebelumnya juga Pemohon Peninjauan kembali telah melakukan wanprestasi terlebih dahulu. Sehingga dalam kasus ini terdapatlah adanya konstruksi yuridis “exceptio non adimpleti contractus” yang mana satu sama lain masih harus diberi kesempatan membuktikan
Universitas Sumatera Utara
51
kebenaran dalil masing-masing dan karenanya tentang eksistensi adanya utang tidak dapat dilakukan pembuktian secara sederhana. Syarat Kepailitan juga ditentukan oleh adanya pembuktian utang yang dapat dilakukan secara sederhana dan mudah (vide pasal 6 ayat (3), di samping Pasal 1 Undang-Undang Kepailitan). Bahwa perkara ini tidak dapat diajukan melalui prosedur Kepailitan, tetapi melalui proses perdata biasa yang mana satu sama lain mendapat kesempatan untuk saling membuktikan tentang dipenuhinya hak dan kewajiban (obligator) masing-masing pihak (Pemohon Peninjauan kembali dan Termohon Peninjauan kembali).82 Bercermin pada kasus dipailitkannya PT. Telkomsel, yang bermula dari perjanjian kerjasama, maka di dalam perjanjian tersebut terdapat klausul-klausul ataupun syarat-syarat perjanjian yang wajib dipatuhi oleh kedua belah pihak. Ketika PT. Telkomsel menolak memenuhi prestasi dengan alasan PT. Prima Jaya Informatika terlebih dahulu tidak memenuhi prestasi atau wanprestasi, maka berlaku prinsip hukum yaitu exceptio non adimpleti contractus, sehingga penyelesaian perkara tersebut lebih tepat melalui gugatan perdata ke Pengadilan Negeri.
82
Lihat Yurisprudensi Kepailitan 2001 (Himpunan Lengakap Putusan Pengadilan Niaga Tingkat 1, Putusan Mahkamah Agung dalam Kasasi dan Peninjauan Kembali), dihimpun oleh tim Redaksi Tatanusa, (Jakarta: PT. Tatanusa, 2002), hal. 123-172.
Universitas Sumatera Utara