BAB 1V PEMBAHASAN
4.1 Analisis Hukum Putusan Hakim Perkara No.201/Pid.B/2011/ PN.GTLO Tentang Penganiayaan Hukum pidana adalah hukum yang bersifat Publik, hukum pidana merupakan suatu kaidah hukum penting yang menjadi wacana hukum di Indonesia. Di dalam hukum pidana itu terkandung Aturan-aturan yang menentukan Perbuatan-perbuatan yang tidak boleh dilakukan dengan disertai ancaman berupa pidana (nestapa), dan menentukan syarat-syarat pidana dapat dijatuhkan. Sifat Publik yang memiliki hukum pidana menjadikan konsekuensi bahwa hukum pidana itu bersifat Nasional. Dengan demikian, maka hukum pidana Indonesia diberlakukan diseluruh wilayah Negara Indonesia.1 Hukum pidana bertujuan menegakan nilai kemanusian, namun disisi lain penegakan hukum pidana justru memberikan sanksi kenestapaan bagi siapa saja yang melanggarnya. Hal ini juga didukung oleh
Van Hamel mengatakan bahwa hukum pidana pada umumnya
dibagi menjadi dua bagian yaitu hukum pidana materiil dan hukuman pidana formal. Sedangkan
menurut Moelyatno Pengertian Hukum
pidana sebagai bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku di suatu 1
Tata Wijayanta, Hery Firmansyah,Perbedaan Pendapat Dalam Putusan Pengadilan, yogyakarta. Pustaka yustisia, hlm.37.
36
Negarayang mengadakan dasar-dasar dan mengatur tentang ketentuan yang tidak boleh dilakukan dan dilanggar disertai ancaman pidana bagi barang siapa yang melakukan. Kapan dan dalam hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan itu dapat dikenakan sanksi pidana dan dengan cara bagaimana penanganan pidana itu dapat dilaksanakan.2 Hukum pidana materiil mengatur ketentuan tentang perbuatan yang tidak boleh dilakukan dan dilarang yang disertai ancaman pidana bagi barang siapa yang melakukan, sedankan hukum pidana formal mengatur tentang kaitan dengan dalam hal apa kepada mereka yang telah melanggar itu dapat dikenakan sangsi pidana dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan, atau dengan pengertian lainnya, hukum podana formal berfungsi untuk menegakkan hukum pidana materil (hukum pidana formal biasanya disebut sebagai hukum acara pidana didalam sistim peradilan pidana).3 Adapun beberapa asas yang dikenal dalam hukum pidana formal atau hukum acara pidana yaitu: 1. Asas legalitas yaitu setiap perbuatan pidana harus di tuntut. 2. Asas oportunitas artinya demi kepentingan umum, jaksa agung dapat mengesampingkan penuntutan perkara pidana. 3. Asas lexcripta yang artinya bahwa hukum acara pidana yang mengatur proses beracara dengan segala kewenangan yang ada harus tertulis. 2
Ibid,hlm.38. Ibid,hlm.38.
3
37
4. Asas lexstricta yang artinya bahwa aturan hukum acara pidana harus ditafsirkan secara ketat. 5. Asas diferensiasi fungsional yang artinya setia aparat penegak hukum dalam sistim peradilan pidana memiliki tugas dan fungsinya sendiri yang terpisah antara satu dengan yang lain.4 Berdasarkan penjelasan di atas dikaitkan dengan putusan perkara No. 201/Pid.B/2011/PN.GTLO dalam putusan ini merupakan suatu bentuk Implementasi dari Asas Legalitas bahwa tindakan penganiayaan dalam putusan tersebut mendapatkan suatu penuntutan secara hukum, sehingganya dalam setiap perbuatan pidana haruslah dituntut berdasarkan aturan yang ada. Perkara tindak pidana penganiyaan merupakan tindak pidana yang diancam dengan hukuman dua tahun delapan bulan sebagaimana yang dijelaskan pada pasal 351 KUHP yang berbunyi barang siapaPasal 351 KUHP berbunyi sebagai berikut: 1) Penganiayaan dihukum dengan hukuman penjara selamalamanya dua tahun delapan bulan atau denda sebanyakbanyaknya tiga ratus rupia. 2) Jika perbuatan itu berakibat luka berat, yang bersala dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya lima tahun. 3) Jika perbuatan itu berakibat matinya orang, yang bersalah dihukum penjara selama-lamanya tujuh tahun. 4) Dengan penganiayaan disamakan merusak kesehatan orang dengan sengaja. Dalam putusan tersebut terdakwa di jatuhkan putusan 4 bulan penjara, dengan tuntutan dari jaksa penuntut umum dengan pidana 4
Ibid,hlm.38-39.
38
penjara selama 6 (enam) bulan.Dari tuntutan dan putusan tersebut dapat diuraikan bahwa putusan tersebut jauh dari rasa keadilan.Keadilan yang dilamksud adalah keadilan masyarakat, keadilan dimana korban mendapatkan perlindungan dengan putusan yang sesuai dengan perbuatan terdakwa tersebut. Bila dilihat dari materi tuntutan jaksa penuntut umum dapat diuraikan bahwa: 1. Menyatakan
terdakwa
bersalah
melakukan
tindak
pidana
penganiayaan yang diatur dan diancam pidana dalam pasal 351 ayat (1) KUHP sebagaimana yang telah kami dakwakan dalam surat dakwaan; 2. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa dengan pidana penjara selama 6 (enam) bulan dikurangi selama terdakwa berada didalam tahanan; 3. Menetapkan supaya terdakwa dibebani biaya perkara sebesar Rp. 1.000,- (seribu rupiah); Dengan tuntutan 6 bulan penjara menurut penulis tuntutan tersebut jauh dari rasa keadilan, hal ini menurut salah seorang masyarakat. Berdasarkan hasil Wawancara yang dilakukan penulis dengan beberapa informan diantaranya yaitu: Hendra pada tanggal 19 September 2013 dikatakan bahwa keluarga merasakan kecewa dengan tuntutan jaksa tersebut bagaimana mungkin perbuatan terdakwa yang menganiaya dengan mengakibatkan luka hanya di tuntut dengan penjara 6 bulan, padahal perbuatan tersebut menurut saya sangat menyakitkan. Hal yang sama dikemukakan oleh Maryam Haras(wawancara, 28 September) 39
dengan tuntutan 6 bulan menurut saya tidak seimbang dengan perbuatan yang dilakukan, jaksa penuntut umum tidak melihat akibat secara psikologi dari korban tindakan penganiayaan. Pertimbangan Aspek Yuridis,Filosofis, Dan Sosiologis Dalam Putusan Hakim Mahkamah Agung RI sebagai badan tertinggi pelaksana kekuasaan kehakiman yang membawa 4 (empat) badan peradilan di bawahnya, yaitu peradilan umum,peradilan agama,peradilan militer,dan peradilan tata usaha
negara,
telah
menetukan
bahwa
putusan
hakim
harus
mempertimbangkan segala aspek yang bersifat yuridis, filosofis, dan sosiologis, sehingga keadilan yang ingin dicapai, diwujudkan, dan dipertanggungjawabkan dalam putusan hakim adalah keadilan yang berorientasi pada keadilan hukum (legal justice), keadilan moral (moral justice), dan keadilan masyarakat (sosial justice).5 Aspek yuridis merupakan aspek yang pertama dan utama dengan berpatokan kepada undang-undang yang berlaku.Hakim sebagai aplikator undang-undang yang berlaku.Hakim sebagai aplikator undang-undang, harus memahami undang-undang dengan mencari undang-undang yang berkaitan dengan perkara yang sedang dihadapi.Hakim yang harus menilai apakah undang-undang tersebut adil, ada kemanfaatannya, atau
5
Pedoman perilaku hakim,dalam bukunya Ahmad Rifai,op.Cit,hlm.126
40
memberikan kepastian hukum jika ditegakan, sebab salah satu tujuan hukum itu unsurnya adalah menciptakan keadilan.6 Amar putusan nomor No.201/Pid.B/2011/PN.GTLO menyatakan: 1. Bahwa terdakwa Halid Daud telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana penganiayaan; 2. menjatuhkan pidana oleh karena itu kepada terdakwa dengan pidana penjara selama 4 (empat) bulan penjara; 3. menetapkan masa penahanan yang dijalani oleh terdakwa dikurangi seluruhnya dari pidan yang dijatuhkan; 4. menetapkan terdakwa tetap berada dalam tahanan; 5. menetapkan barang bukti berupa 1 (satu) buah pisau panjang 21 cm dengan ciri gagang berbentuk kotak dan ujungnya pipih dan bagian bawahnya tajam dirampas untuk dimusnahkan; 6. menetapkan terdakwa dibebani membayar biaya perkara Rp. 1.000,(seribu rupiah). Pertimbangan
hakim
dalam
menjatuhkan
putusan
harus
mencerminkan rasa keadilan baik bagi korban maupun bagi terdakwa. Untuk menentukan bahwa terdakwa terbukti bersalah atau tidak, hakim harus berpedomanpada sistem pembuktian sebagaimana diatur dalam Pasal 184 KUHAP sebagai berikut: “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana 6
Ahmad Rifai,penemuan hukum oleh hakim dalam persfektif hukum progresif ,Jakarta. Sinar Grafika,2010,hlm.126.
41
benar-benar terjadi dan bawa terdakwalah yang bersalah melakukannya.” Berdasarkan rumusan Pasal di atas, sistem pembuktian yang dianut dalam KUHP adalah sistem pembuktian menurut undang-undang secara gabungan antara sistem pembuktian positif dan negatif. Sistem pembuktian tersebut terdiri dari dua komponen, yaitu: a. Pembuktian harus dilakukan menurut cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang. b. Keyakinan hakim harus didasarkan atas cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang. Alat-alat bukti yang sah sebagaimana diatur dalam Pasal 184 ayat (1)KUHAP terdiri dari: a. Keterangan saksi b. Keterangan ahli c. Surat d. Petunjuk e. Keterangan terdakwa Dalam perkara ini alat bukti yang sah untuk dijadikan sebagai bahan pertimbangan bagi hakim, yakni keterangan saksi, surat, dan keterangan terdakwa. Selain itu, juga dihubungkan dengan barang bukti yang diajukan dalam persidangan. Kesesuaian antara masing-masing alat bukti serta barang bukti, maka akan diperoleh fakta hukum yang menjadi dasar bagi hakim untuk memperoleh keyakinan. Berdasarkan ketentuan Pasal 184 ayat (1) KUHAP, Penulis menganggap bahwa keseluruhan alat
42
bukti yang diajukan di persidangan berupa keterangan saksi, alat bukti surat dalam hal ini visum et repertum, dan keterangan terdakwa menunjukkan kesesuaian satu sama lain. Selain itu, juga terdapat kesesuaian antara alat bukti dan barang bukti yang diajukan di persidangan sehingga terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah di hadapan persidangan. Putusan
hakim
No.201/Pid.B/2011/PN.GTLO
Tentang
Penganiayaan dalam penerapan aspek yuridis sangatlah jelas, ketentuan pasal 351 menjadi rujukan utama. Bila di lihat lebih rinci lagi maka dapat di uraikan bahwa unsur yang terdapat dalam pasal 351 KUHP antara lain: 1. Unsur barang siapa Didalam setiap rumusan pasal-pasal KUHP maupun tindak pidana, unsur (bestitelen) “barang siapa” merupakan sebuah kata yang penting didalam melihat kesalahan dan pertanggungjawaban pidana.Sebagai sebuah kata “barang siapa” maka memerlukan kajian yang cukup serius dalam asas kesalahan dan pertanggungjawaban pidana dalam upaya pembuktian. Namun dalam upaya pembuktian, unsur “barang siapa/setiap orang” tidak serta merta langsung menunjuk kepada perseorangan (naturalijk persoon).Apabila meninjau pada Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Indonesia yang dianggap sebagai subyek hukum pidana hanyalah orang perseorangan dalam konotasi biologis yang alami (naturlijkee person). Selain itu, KUHP juga masih menganut asas
43
“sociates delinquere non potest” dimana badan hukum atau korporasi dianggap tidak dapat melakukan tindak pidana (walaupun diluar KUHP sudah
mengatur
tentang
pertanggungjawaban
korporasi
dan
pertanggungjawaban komando)untuk membuktikan apakah terdakwa telah melakukan perbuatan sebagaimana didalam surat dakwaan jaksa penuntut
umum,
maka
harus
melihat
teori
pemidanaan,
pertanggungjawaban dan kesalahan dan pembuktian dimuka persidangan. Menurut ilmu pengetahuan hukum pidana, sesuatu tindakan itu dapat merupakan “een doen” atau “een niet doen” atau dapat merupakan “hal melakukan sesuatu” ataupun “hal tidak melakukan sesuatu”. 7 Menurut SIMONS, “strafbaar feit” harus dirumuskan karena : a. untuk adanya suatu strafbaar feit itu disyaratkan bahwa disitu harus terdapat suatu tindakan yang dilarang ataupun yang diwajibkan oleh UU, dimana pelanggaran terhadap larangan atau kewajiban semacam itu telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum; b. agar suatu tindakan itu dapat dihukum maka tindakan tersebut harus memenuhi semua unsure dari delik seperti yang dirumuskan didalam UU; c. setiap strafbaar feit sebagai pelanggaran terhadap larangan atau kewajiban menurut UU itu pada hakekatnya merupakan suatu tindakan melawan hukum atau merupakan suatu “onrechtmatige handeling”.8 Syarat-syarat pokok dari sesuatu delik itu adalah : a. dipenuhinya semua unsur dari delik seperti yang terdapat didalam rumusan delik; b. dapat dipertanggungjawabkannya si pelaku atas perbuatannya; c. tindakan dari pelaku tersebut haruslah dilakukan dengan sengaja atau tidak disengaja; d. pelaku tersebut dapat dihukum. 7 8
http://www.jambiekspres.co.id/opini http://www.jambiekspres.co.id/opini
44
Semua syarat-syarat tersebut oleh Lamintang, disebut “begeleidende omstandigheden” atau “ vergezellende omstandigheden” atau “keadaankeadaan penyerta atau keadaan yang menyertai sesuatu tindakan. Tindak pidana atau strafbaar feit merupakan suatu perbuatan yang mengandung unsur “perbuatan atau tindakan yang dapat dipidanakan” dan unsur “pertanggungjawaban pidana kepada pelakunya”. Sehingga dalam syarat hukuman pidana terhadap seseorang secara ringkas dapat dikatakan bahwa tidak akan ada hukuman pidana terhadap seseorang tanpa adanya hal-hal yang secara jelas dapat dianggap memenuhi syarat atas kedua unsur itu. Pertanggungjawaban pidana adalah konsep pertanggungjawaban terhadap pelaku tindak pidana sebagai subjek hukum pidana dalam mempertanggungjawabkan perbuatannya yang memenuhi syarat-syarat pertanggungjawaban pidana (asas kesalahan) karena melanggar pasalpasal tertentu dari aturan pidana yang mengancam sanksi pidana bagi yang melanggarnya. Dengan demikian, maka kita dapat memperhatikan tentang konsep dasar didalam lapangan hukum pidana, maka ada 3 masalah pokok yaitu perbuatan bagaimanakah yang dikategorikan sebagai tindak pidana, kesalahan apa yang dapat dipertanggungjawabkan secara umum, sanksi pidana apa yang pantas dikenakan kepada terdakwa
45
Dengan demikian maka unsure “barang siapa/setiap orang” ialah orang yang apabila orang tersebut terbukti memenuhi unsure tindak pidana yang dituduhkan terhadap terdakwa. Unsure “barang siapa/setiap orang” tidak dapat ditujukan kepada diri terdakwa karena menentukan unsure ini tidak cukup dengan menghubungkan terdakwa sebagai perseorangan sebagaimana manusia pribadi atau subyek hukum yang diajukan sebagai terdakwa dalam perkara ini, akan tetapi yang dimaksud setiap orang dalam undang-undang adalah orang yang perbuatannya secara sah dan meyakinkan terbukti memenuhi semua unsure dari tindak pidana. Jadi untuk membuktikan unsure “barang siapa/setiap orang” harus dibuktikan dulu unsure lainnya. Karenanya unsure “barang siapa/setiap orang” masih tergantung pada unsure lainnya. Apabila unsure itu telah terpenuhi maka unsure “barang siapa/setiap orang” menunjuk kepada terdakwa, tetapi sebaliknya apabila unsure-unsur yang lain tidak terpenuhi maka unsure “barang siapa/setiap orang” tidak terpenuhi pula. Dengan demikian dalam praktek yang sering terjadi dimana unsure “barang siapa/setiap orang” sebagaimana sering didalam surat tuntutan maupun dalam putusan hakim langsung menunjuk kepada terdakwa tanpa melihat teori yang telah disampaikan memang menimbulkan persoalan hukum.9
9
http://www.jambiekspres.co.id/opini/unsur barang siapa dalam tindak pidana.html
46
Berdasarkan analisis hakim yang memutus perkara Putusan hakim No.201/Pid.B/2011/PN.GTLO
Tentang
Penganiayaan
menguraikan
bahwa barang siapa yang dimaksud adalah subjek hukum pendukung hak dan kewajiban yang mampu mempertanggung jawabkan perbuatannya, yang dalam perkara ini adalah terdakwa Halid Daud alias Liko.Sebagai subjek hukum pribadi kodrat. Selain dari pada itu maksud dimutnya unsur ini adalah untuk menghindari adanya kesalahan subjek dalam suatu perkara pidana. Dalam penelitian ini penulis berkesimpulan bahwa unsur barang siapa
menempatkan
orang/pelaku
dalam
subuah
tindak
pidana
berdasarkan fakta-fakta yang terungkap di persidangan sehingga unsur barang siapa tersebut menyakinkan hakim dalam putusannya. Majelis dalam persidangan berdasarkan fakta hukum terdakwa sebagai subjek hukum yang mampu mempertanggung jawabkan perbuatannya dalam perkara ini tidak terdapat kesalahan subjek hal ini berdasarkan analisis hakim perkara Putusan hakim No.201/Pid.B/2011/PN.GTLO Tentang Penganiayaan di Pengadilan Negeri Gorontalo. 2. Unsur Melakukan Penganiayaan Penganiayaan
adalah
suatu
perbuatan
dengan
sengaja
menyebabkan perasaan tidak enak (penderitaan) rasa sakit atau luka. Sifat kesengajaan melakukan sesuatu perbuatan mencakup pengetahuan si pelaku bahwa perbuatanya melawan hukum (dilarang). Jadi harus ada hubungan antara keadaan batin si-pelaku dengan melawan hukumnya
47
perbuatan. Dikatakan, bahwa sengaja disini berarti dolus malus, artinya sengaja untuk berbuat jahat.Jadi menurut pendirian yang pertama, untuk adanya kesengajaan perlu bahwa si
pelaku menyadari bahwa
perbuatannya dilarang. Kesengajaan senantiasa ada hubungannya dengan dolus molus, dengan perkataan lain dalam kesengajaan tersimpul adanya kesadaran mengenai
sifat
melawan
hukumnya
perbuatan.
Untuk
adanya
kesengajaan, di perlukan syarat, bahwa pada si pelaku ada kesadaran, bahwa perbuatannya dilarang dan/ atau dapat dipidana Unsur ini telah terpenuhi bahwa perbuatan tersangka dengan memukul orang laintelah menimbulkan rasa sakit dan luka terhadap korban.Unsur ini dikuatkan dengan keterangan Saksi dan hasil visum. Seperti yang telah disebutkan diatas bahwa kesengajaan dalam hukum pidana adalah merupakan bagian dari kesalahan. Sengaja berarti membayangkan akan akibat timbulnya akibat perbuatannya, orang tak bisa menghendaki akibat, melainkan hanya dapat membayangkannya. Teori ini menitik beratkan pada apa yang diketahui atau dibayangkan oleh sipelaku ialah apa yang akan terjadi pada waktu ia akan berbuat. Apabila di hubungkan dengan uraian pertimbangan hakim dalam putusan perkara
pidana
Nomor
No.201/Pid.B/2011/PN.GTLO
Tentang
Penganiayaan di Pengadilan Negeri Gorontalo anatar lain bahwa menimbang uraian pengertian serta fakta-fakta huku majelis hakim menyimpulkan bahwa perbuatan terdakwa yang mengayunkan pisau
48
adalah merupakan pelaksanaan kehendak (willen) serta setidaknya terdakwa mengerti (wetten) bahwa dengan melakukan perbuatan tersebut terdakwa mengharapkan atau sekurang-kurangnya terdakwa dapat menduga bahwa perbuatannya tersebut dapat menyebabkan atau menimbulkan rasa sakit pada saksi korban.10 Lebih lanjut di uraikan mejelis hakim dalam putusan tersebut bahwa unsur pasal yang terdapat dalam dakwaan tunggal penuntut umum telah terpenuhi, maka terdakwa harus dinyatakan telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana yang di dakwakan dalam dakwaan tunggal penuntut umum. Uraian diatas menunjukkan bahwa mejelis hakim dalam memutus suatu perkara pidana sangatlah hati-hati. Pertimbangan hakim dalam putusan haruslah berdasarkan pada fakta-fakta persidangan dan keyakinan dari majelis hakim itu sendiri. Pencapaian keadilan dalam putusan ini sangat jelas tidak dapat diterima oleh pihak korban. Keluarga korban tidak dapat menerima putusan tersebut, hal ini berdasarkan hasil wawancara dengan salah seorang keluarga korban Nanang Buyung, kami berharap putusan hakim dalam perkara ini dapat memenuhi unsur keadilan, harapan kami putusan hakim sesuai dengan perbuatan yang ia lakukan tetapi. Konsep keadilan yang selama ini di dengung-dengungkan hanya sebatas perkataan dan materi saja penegak hukum sering kali tidak dapat memberikan rasa keadilan kepada para pencari keadilan itu sendiri.
10
Pertimbangan majelis hakim pada perkara No.201/Pid.B/2011/PN.GTLO
49
Hal ini di akibatkan oleh karena hakim dalam hal memutus suatu perkara tidak mempertimbangkan keadilan masyarakat, hakim seringkali hanya bergantung pada ketentuan hukum tertulis tidak menafsirkan hukum pada sisi sosiologis. Karena akibat dari Putusan tersebut saksi Korban mengalami Luka pada bagian lengan kanan serta mengalami trauma akibat luka tersebut saksi korban tidak dapat melakukan aktifitas saksi korban sehari-hari. Menganai aspek filosofis, merupakan aspek yang berintikan pada kebenaran dan keadilan, sedangkan aspek sosiologis, mempertimbangkan tata nilai budaya yang hidup dalam masyarakat. Aspek filosofis dan sosiologis,
penerapannya
sangat
memerlukan
pengalaman
dan
pengetahuan yang luas serta kebijaksanaan yang mampu mengikuti nilainilai dalam masyarakat yang terabaikan. Jelas penerapannya sangat sulit sebab tidak mengikuti asas legalitasdan tidak terikat pada sistem. Pencantuman ketiga unsur tersebut tidak lain agar putusan dianggap adil dan diterima masyarakat.11 Keadilan hukum (legal justice), adalah keadilan berdasarkan hukum dan perundang-undangan. Dalam arti hakim hanya memutuskan perkara hanya berdasarkan hukum positif
dan peraturan perundang-
undangan. Keadilan seperti ini keadilan menurut penganut aliran legalistis positivisme. Dalam menegakan keadilan ini hakim atau pengadilan hanya sebagai pelaksana undang-undang belaka, hakim tidak
11
Ibid,hlm.126-127
50
perlu mencari sumber-sumber hukum di luar dari hukum tertulis dan hakim hanya dipandang menerapkan undang-undang pada perkaraperkara konkret rasional belak. Dengan kata lain, hakim sebagai corong atau mulut undang-undang.12 Keadilan hukum (legal justice) hanya didapat dari undang-undang, justru pada suatu kondisi, akan menimbulkan ketidakadilan bagi msyarakat, sebab undang-undang tertulis yang diciptakan mempunyai daya laku tertentu yang suatu saat daya laku tersebut akan mati, karena saat undang-undang diciptakan unsur keadilannya membela masyarakat, akan tetapi setelah diundangkan, seiring dengan perubahan nilai-nilai keadilan masyarakat, akibatnya pada undang-undang unsur keadilannya akan hilang.13 Keadilan moral (moral justice) dan keadilan sosial (social justice) diterapkan hakim, dengan pernyataan bahwa: “hakim harus menggali nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat “ (pasal 5 ayat (1) undang-undang 48 tahun 2009), jika dimaknai secara mendalam hal ini sudah masuk kedalam perbincangan tentang moral jistice dan social justice.14 Sejatinya pelaksanaan tugas dan kewenangan seorang hakim dilakukan dalam kerangka menegakan kebenaran dan berkeadilan, dengan berpegang pada hukum, undang-undang, dan nilai-nilai keadilan dalam masyarakat. Dalam diri hakim diemban amanah agar peraturan 12
Ibid,hlm.127 Ibid,hlm.127 14 Ibid,hlm.127 13
51
perundang-undangan diterapkan secara benar dan adil, dan apabila penerapan
peraturan
perundang-undangan
akan
menimbulkan
ketidakadilan, maka hakim wajib berpihak pada keadilan (moral justice) dan menyampingkan hukum atau peraturan perundang-undangan (legal justice). Hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup dalam masyarakat (the living law) yang tentunya sesuai pula atau merupakan pencerminan dari nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat (social justice). Keadilan yang dimaksud disni,bukanlah keadilan proseduril (formil), akan tetapi keadilan substantif (materiil), yang sesuai dengan hati nurani hakim.15 Secara analisis, keadilan meurut konsep Daniel S. Lev, menggunakan istilah proseduril dan substantif, sedangkan Schuyt menggunakan istila formil dan materiil. Keadilan proseduril (formil), komponennya bergaya dengan gaya suatu sitem hukum, seperti rule of law atau negara hukum rechtsstaat. Adapun komponen keadilan substantif (materill) menyangkut apa yang dewasa ini dinamakan hakhak sosial serta menandai penataan politik, ekonomi dalam masyarakat. Kosepsi
keadilan
berakar
dari
kondisi
masyarakat
yang
diinginkan.Konsep keadilan yang pada hakikatnya masih berupa gagasan-gagasan yang abstrak yang lebih sulit untuk dipahami. Akan lebih
mudah
memahami
adanya
ketidakadilan
dalam
masyarakat.Keadilan proseduril (formil), diartikan suatu keadilan yang
15
Ibid,hlm.127-128
52
didapatkan dalam suatu putusan-putusan lembaga resmi yang dibentuk menurut undang-undang negara, termaksuk putusan pengadilan.16 Selama ini banyak pihak menuntut hakim-hakim di Indonesia lebih berpihak kepada perwujudan keadilan substantif (materiil) daripada keadilan prosedural (formil) semata. Namun tuntutan itu memang bisa diterima secara teoretis daripada praktis, karena membawa problem hukum yang rumit.Keadilan prosedural (formil) adalah keadilan yang mengacu kepada bunyi undang-undang an-sich. Sepanjang bunyi undang-undang terwujud, tercapailah keadilan secara formal. Apakah secara materiil, keadilan itu benar-benar dirasakan adil secra moral dan kebajikan (virtue) bagi banyak pihak, para penegak keadilan prosedural (formil) tidak memperdulikannya.Mereka para penegak keadilan prosedural (formil) itu, baiasanya tergolong kaum positivistik.17 Bagi
kaum
positivisik,
keputusan-keputusan
hukum
dapat
didedukasikan secara logis dari peraturan-peraturan yang sudah ada lebih dahulu tanpa perlu menunjuk kepada tujuan-tujuan sosial, kebijakan, serta moralitas.Betapapun tidak adil dan terbatasnya bunyi undangundang yang ada.Hukum adalah perintah undang-undang, dan darisitu kepastian hukum bisa ditegakan.18 Pandangan positivistik tersebut ditantang oleh kalangan yang berpandangan bahwa prinsip kebajikan dan moralitas mesti harus 16 17
Mulyana w. kusumah,dalam bukunya Ahmad Rifai,op.Cit,hlm.128 Prijal Djatmika,dalam bukunya Ahmad Rifai,op.Cit,hlm.128.
18
Ibid.128-129
53
dipertimbangkan pula dalam mengukur valditas hukum. Penganut hukum moralitas itu berprinsip bahwa hukum itu harus mencerminkan moralitas.Karena
itu,
hukum
yang
meninggalkan
prinsip-prinsip
moralitas, bahkan bertentangan dengan moralitas, boleh atau bisa tidak ditaati berdasar suatu hak moral (moral right).19
4.2
Akibat
Hukum
Terhadap
Putusan
Hakim
Perkara
No.
201/PID.B/2011/PN.GTLO tentang Penganiayaan Seiring dengan perkembangan peradaban, dimana masyarakat luas mulai sedikit demi sedikit mampu mengerti akan hak dan kewajibannya, memahami makna keadilan, serta mampu menempatkan dirinya pada fungsi kontrol terhadap pelaksanaan peran hakim dalam proses peradilan. Setiap penyimpangan, kesalahan prosedur,serta hal-hal yang dirasakan tidak adil atau tidak memuaskan dalam proses peradilan akan diikuti dengan reaksi-reaksi sosial dengan berbagai bentuk, dari yang reaksi halus sampai reaksi yang keras. Fakta
dilapangan
misalnya
pada
Putusan
hakim
No.201/Pid.B/2011/PN.GTLO tentang Penganiayaan telah meruntuhkan propesional hakim dalam melaksanakan tugas dan fungsinya. Sekiranya para hakim dalam melaksanakan tugas dan fungsinya masih didukung oleh moral atau akhlak yang mulia, berbagai rayuan dan godaan yang datang tidak akan mampu merubah sikap hakim itu sendiri. Kenyataan 19
Ibid.129
54
dilapangan masih banyak putusan hakim dalam proses peradilan yang justru menciptakan polemik baru dan tidak menyelesaikan masalah. Padahal idealnya putusan hakim yang dilahirkan tersebut harus mampu menyelesaikan perkara. Hasil survei Transparency International realitas praktik hukum dilapangan ternyata ditandai dengan ketidakpuasan masyarakat terhadap putusan-putusan peradilan yang dinilai tidak adil, tidak jujur, memihak, tidak sesuai dengan hukum yang ada atau dengan kata lain peradilan bukan lagi sebagai tempat yang dapat memberi perlindungan bagi para pencari keadilan. Menurut mantan Ketua Komisi III DPR periode 20042009 Trimedya Panjaitan. Hasil survey Transparency International tersebut menunjukan cita penegak hukum
(Hakim, Jaksa, Advokad,
Polisi) dan peradilan dimata masyrakat tampak buruk dan masih menunjukan praktik korupsi. Idealnya sebagai salah satu pilar perwujudan kekuasaan kehakiman yang bebas, mandiri, dan merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna meneggakan hukum dan keadilan, maka diperlukan adanya keterbukaan dan tanggungjawab hakim dalam melahirkan putusan yang mencerminkan kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan.Sebaiknya putusan hakim yang tidak mencerminkan kepastian hukum, keadilan, dan kemanfaatan pada akhirnya turut pengadilan.
55
mempengaruhi citra lembaga
Menurut Mochtar Kusumaatmadja setidaknya ada 6 (enam) faktorfaktor yang melatarbelakangi ketidakpuasan masyarakat terhadap proses peradilan selama ini. Faktor-faktor tersebut yakni, sebagai berikut: 1) Lambatnya penyelesaian perkara; 2) Adanya kesan hakim kurang berusaha memutuskan perkara dengan sungguh-sungguh yang didasarkan pada pengetahuan hukumnya; 3) Sering kasus penyuapan atau percobaan penyuapan terhadap hakim tidak dapat dibuktikan; 4) Perkara yang diperiksa di luar pengetahuan hakim yang bersangkutan, karena kompleksitas permasalahaan maupun kemalasan hakim yang bersangkutan untuk membuka buku referensi; 5) Para pengacara yang tidak profesional bertindak demi klien; 6) Pencari keadilan sendiri tidak profesional bertindak demi klien; sebagai suatu cara untuk mencari keadilan menurut hukum, melainkan hanya sebagai sarana untuk menenangkan perkaranya dengan jalan apapun.
56