BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG DOKTRIN BUSINESS JUDGMENT RULE DI INDONESIA
A. Sejarah Doktrin Business Judgment Rule Lahirnya doktrin Business Judgment Rule diawali dari beberapa kasus yang terjadi di beberapa negara dimana dari kasus tersebut menimbulkan kesan bahwa direktur sering ditempatkan sebagai pihak yang selalu dipersalahkan dalam perseroan. Kesan tersebut tidak mencerminkan keadilan. Direktur bukanlah suatu obyek yang selalu dapat dipersalahkan sepenuhnya atas pengelolaan perusahaan atau dengan kata lain tanggung jawab tidak dapat dibebankan secara penuh kepada direksi.22 Pembebanan tanggung jawab secara penuh terhadap direksi akan menghambat inovasi dan kreatifitas direksi dalam mengambil keputusan bisnis.23 Direksi harus tetap diberi otonomi yang dibatasi oleh asas kepantasan.24 Melihat kepada potensi penyalahgunaan posisi oleh direktur, maka perlu dilakukan pengawasan yang intensif terhadap direktur sebagai otak dalam perusahaan yang mengendalikan perusahaan sehari–hari. Salah satu cara untuk melakukan pengawasan kepada direktur adalah dengan membatasi kewenangannya dalam mengambil sebuah keputusan bisnis yang dituangkan dalam sebuah standar keputusan bisnis yang di negara–negara anglo saxon dikenal dengan Business Judgment Rule.25 Doktrin Business Judgment Rule berasal dari Amerika Serikat yang didasarkan pada sistem hukum common law, dimana sumber hukum utama bagi negara Amerika Serikat ini menganut asas presedent. Konsep Business Judgment Rule sudah diterapkan sejak 170 tahun yang lalu di Amerika Serikat dan telah memainkan peranan yang sangat penting dalam perusahaan dan dalam kasus-
22
Robert Prayoko, Doktrin Business Judgment Rule ; Aplikasinya dalam Hukum Perusahaan Modern (Yogyakarta:Graha Ilmu, 2015), hlm. 2. 23 Ibid. 24 Ibid. 25 Ibid., hlm. 3.
Universitas Sumatera Utara
kasus bisnis. Secara umum doktrin ini merupakan doktrin yang memberikan perlindungan bagi direksi terhadap keputusan bisnis yang diambilnya. Dasar pemikiran dari aturan ini adalah pengakuan dari pengadilan bahwa sudah menjadi sifatnya dalam menjalankan bisnis yang bernuansa resiko, direksi harus terbebas dari rasa takut atas jeratan hukum yang mungkin menjerat direksi dalam hal direksi mengambil keputusan bisnis yang beresiko, rasa takut direksi dalam mengambil keputusan bisnis tersebut akan mempengaruhi keputusan bisnis direksi tersebut.26 Hakim merupakan ahli dalam bidang hukum, namun bukan merupakan ahli dalam mengelola perusahaan dan bisnis, oleh karena itu hakim harus menghormati keputusan bisnis direksi tanpa perlu campur tangan dan memberi pendapat bandingan atas kerputusan bisnis direksi. Pokok dari pemberlakuan doktrin ini adalah bahwa semua pihak, termasuk pengadilan harus menghormati putusan bisnis yang diambil oleh orang-orang yang memang mengerti dan berpengalaman di bidang bisnisnya, terutama sekali terhadap masalah-masalah bisnis yang kompleks. Business Judgment Rule secara tradisional, juga dikonsep untuk melindungi kepentingan anggota direksi dari pertanggungjawaban diambilnya keputusan usaha tertentu yang mengakibatkan kerugian bagi perseroan. Selanjutnya oleh Salomon dikutip pertimbangan hakim dalam perkara Gries Enterprises Inc V.Cleveland browns Football co, inc.496 NE 2nd 959 (ohio), dimana : “ the business judgment rule is a principle of corporate governance that has been part of common law for at least one hundred fifty years. It has traditionally operated as ashield to protect directors from liability for the protection of the rule, then the courts should not intereferewith or second guess their decisions. If the directors are not entiled to the protection of the rule, then the court scrutinize the decisions as to its intrinsic fairness to the coorporation and the coorporation’s minority shareholders. The rule is rebutablle presumption that directors acted without self dealingor personal interest and exercised reasonable diligence and acted with good faith. A party challenging a board of directors decisions was a proper exercise of the business judgment of the board.”27
26
Business Judgment Rule, http://en.wikipedia.org/wiki/Business_judgment_rule, (diakses pada tanggal 16 Oktober 2015 pukul 21.15). 27
Lewis D Salomon, Donald E Schwartz, Jeffry D Bauman and Eliot j Weiss, Coorporation Law and Policy Materials and Problems, 4th ed, west group, St paul, 1998, hlm. 685
Universitas Sumatera Utara
Dalam terjemahan bebas dapat diartikan sebagai berikut: “Business Judgment Rule dapat diartikan adalah salah satu prinsip dari pengelolaan perusahaan yang telah menjadi bagian dalam common law sekitar tahun 1950 (seribu sembilan ratus lima puluh). Business Judgment Rule ini melindungi direktur dari tanggung jawab atas putusan bisnis yang telah diambilnya. Jika direktur tersebut berhak atas perlindungan hukum, maka pengadilan tidak dapat mencampuri terhadap putusan yang telah diambilnya tersebut, namun sebaliknya jika tidak berhak atas perlindungan hukum atas putusan yang telah diambilnya maka pengadilan wajib memeriksa putusan tersebut apakah terdapat kejujuran yang mendasar dan itikad baik kepada perusahaan dan pemegang saham minoritas dan harus dilakukan tanpa self dealing28, tidak dilakukan untuk kepentingan pribadi, dan harus dengan itikad baik.”
Prinsip Business Judgment Rule merupakan ketentuan yang dapat dikesampingkan jika direktur bertindak lebih baik daripada pengadilan yang akan mendalilkan Business Judgment Rule dan apabila direksi bertindak dalam keputusan bisnis yang bebas dari self-dealing (atau untuk kepentingan pribadi) dan dapat menunjukan tindakan tersebut dilaksanakan berdasarkan alasan yang wajar serta itikad baik. Pihak yang menggugat keputusan dewan direksi menghadapi resiko akan adanya ketentuan akan ditolaknya gugatan jika pada akhirnya dapat dibuktikan bahwa direksi membuat keputusan bisnis yang tepat.29 Blacks Law Dictionary mendefenisikan Business Judgment Rule sebagai berikut30 : “Business Judgment Rule is the rule shields directors and officers from liability for unprofitable or harmful corporate transactions if the transactions were made in good faith, with due care, and within the directors or officers authority.” sebagaimana dikutip dalam buku Gunawan Widjaja, Tanggung Jawab Direksi atas Kepailitan Perseroan (Jakarta:PT Raja Grafindo Persada, 2003), hlm. 38. 28 Transaksi self dealing, yakni transaksi antara perseroan dengan direksi, yang dalam sejarah hukum semula dilarang by definition, kemudian dalam perkembangannya mulai dipilahpilah untuk dinilai mana yang dilarang dan mana yang diperbolehkan oleh sektor hukum. Atas adanya self dealing ini, maka dibebankan tanggung jawab pribadi terhadapa direksi, karena transaksi ini pada dasarnya tidak layak dan bertentangan dengan fiduciary duty dari direksi. Di Indonesia sendiri tidak ada larangan bagi direksi untuk melakukan self dealing, asalkan dilakukan secara fair, tidak ada unsur penipuan yang dapat merugikan perseroan. 29 Bismar Nasution, “Pertanggungjawaban Direksi Dalam Pengelolaan Perseroan”, http://bismar.wordpress.com/2009/12/23 (diakses pada tanggal 16 Oktober 2015 pukul 21.30). 30 Bryan A Garner, dalam buku Frans Satrio Wicaksono : Tanggung Jawab Pemegang Saham, Direksi dan Komisaris Perseroan Terbatas (PT) (Jakarta : Visimedia, 2009), hlm. 125.
Universitas Sumatera Utara
Dalam terjemahan bebas dapat diartikan sebagai berikut: “Business Judgment Rule dimaksudkan untuk melindungi direksi dan karyawan, yang beritikad baik, dari pertanggungjawaban secara pribadi akibat keputusan bisnis yang menyebabkan kerugian bagi perusahaan.” Business Judgment Rule selain melindungi tanggung jawab pribadi seorang direksi apabila terjadi pelanggaran, ia juga dapat diberlakukan terhadap pembenaran-pembenaran keputusan bisnis dimana perintah-perintah yang ditujukan kepada dewan direksi, atau terhadap keputusan-keputusan itu sendiri, terhadap kasus yang menitikberatkan kepada keputusan bisnis yang merupakan tanggung jawab dari pembuat keputusan.31 Business Judgment Rule yang diterapkan terhadap direksi/pembuat keputusan lazim disebut doktrin Business Judgment Rule, dan Business Judgment Rule yang diterapkan terhadap keputusannya langsung disebut Business Judgment Rule.32 Dilihat dari uraian sejarah diatas, dapat dikatakan bahwa awal mula doktrin Business Judgment Rule tidak ditentukan waktunya secara pasti, namun dapat diambil kesimpulan bahwa perkembangan doktrin Business Judgement Rule sejalan dengan perkembangan doktrin doktrin lain dalam hukum perusahaan di negara anglo saxon, yang melandaskan hukumnya kepada perkembangan putusan–putusan hakim di pengadilan khususnya di negara Amerika Serikat.
B. Pemahaman Doktrin Business Judgment Rule Terhadap Direksi Perseroan sebagai badan hukum dalam melaksanakan kepengurusannya mempunyai organ yang terdiri rapat umum pemegang saham (RUPS), direksi dan komisaris. Ketiga organ tersebut melakukan metabolisme tubuh di dalam badan hukum perseroan terbatas, menjalankan roda kegiatan perseroan terbatas ke arah visi misi nya. Kegiatan organ–organ itu meliputi fungsi pembuat kebijakan, pelaksanaan, dan pengawasan. Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 angka 4, angka 5 dan angka 6 UUPT menjelaskan perbedaan dari ketiga organ tersebut, yaitu rapat umum pemegang saham (RUPS) adalah organ perseroan yang mempunyai wewenang yang tidak diberikan kepada direksi atau dewan komisaris dalam batas yang ditentukan dalam undang-undang ini dan/atau anggaran dasar. Direksi adalah organ perseroan yang berwenang dan bertanggung 31
Bismar Nasution, “Pertanggungjawaban Direksi Dalam Pengelolaan Perseroan”, http://bismar.wordpress.com/2009/12/23 (diakses pada tanggal 16 Oktober 2015 pukul 21.30). 32 Ibid.
Universitas Sumatera Utara
jawab penuh atas pengurusan perseroan untuk kepentingan perseroan, sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan serta mewakili perseroan, baik di dalam maupun di luar pengadilan sesuai dengan ketentuan anggaran dasar. Dewan komisaris adalah organ perseroan yang bertugas melakukan pengawasan secara umum dan/atau khusus sesuai dengan anggaran dasar serta memberi nasihat kepada direksi. Dalam hal ini akan dibahas lebih lanjut mengenai direksi sebagai pengurus perseroan. Pasal 1 angka 5 UUPT mendefinisikan direksi sebagai organ perseroan yang berwenang dan bertanggung jawab penuh atas pengurusan perseroan untuk kepentingan perseroan, sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan serta mewakili perseroan, baik di dalam maupun di luar pengadilan sesuai dengan ketentuan anggaran dasar. Direksi perseroan terbatas bisa terdiri dari satu orang atau bisa juga lebih dari satu orang. Kecuali untuk perseroan yang usahanya menghimpun dan mengelola dana masyarakat, menerbitkan surat pengakuan hutang, dan perseroan terbuka (Tbk.), wajib memiliki minimal 2 orang anggota direksi. Pembagian tugas dan wewenang direksi yang anggotanya terdiri dari 2 orang atau lebih ditetapkan berdasarkan keputusan RUPS. Jika RUPS tidak menetapkan pembagian tugas dan wewenang semacam itu, maka anggota direksi sendiri yang menetapkannya berdasarkan keputusan direksi. 33 Ada 4 (empat) macam direktur perseroan, yaitu sebagai berikut : 1.
Direktur biasa, yakni direktur yang dipilih oleh rapat umum pemegang saham (RUPS) atau oleh anggaran dasar. Inilah direktur yang paling lazim dan banyak sekali terdapat dalam praktek.
2.
Direktur de facto, yaitu direktur yang tidak dipilih oleh rapat umum pemegang saham (RUPS) atau oleh anggaran dasar.
3.
Direktur substitusi atau direktur alternatif, yaitu direktur pengganti yang sifatnya sementara atau yang ditugaskan khusus untuk perbuatan tertentu.
4.
Direktur bayangan (shadow director), yaitu direktur yang bertugas hanya menjadi pajangan belaka, dimana setiap pekerjaan dilakukan atas suruhan
33
Legal Akses, ”Direksi”, http://www.legalakses.com/direksi/, (diakses pada tanggal 18 Oktober 2015 pukul 21.41).
Universitas Sumatera Utara
pihak lain, atau bahkan pihak lain yang melakukan tugas–tugas direksi. Misalnya direksi yang diangkat dengan perjanjian trustee, yang dalam hal ini lebih tepat disebut sebagai direktur boneka.34 Selain dari model direksi diatas, masih didapat lagi model direksi lain seperti direksi eksekutif, direksi non eksekutif, managing director, associate director, direktur permanen, direktur nominee, dan lain–lain.35 Syarat umum menjadi anggota direksi dinyatakan dalam Pasal 93 ayat 1 UUPT. Adapun syarat–syarat untuk menjadi anggota direksi dalam perseroan terbatas adalah: 1.
Orang yang mampu melaksanakan perbuatan hukum (orang yang dewasa atau cakap).
2.
Tidak pernah dinyatakan pailit.
3.
Tidak pernah dinyatakan bersalah sebagai anggota direksi atau komisaris yang menyebabkan pailitnya suatu perseroan terbatas.
4.
Bukan orang yang pernah dihukum karena melakukan tindak pidana yang merugikan keuangan negara dalam waktu 5 (lima) tahun sebelum pengangkatan. Anggota direksi diangkat oleh RUPS, kecuali untuk pertama kali anggota
direksi diangkat dengan mencantumkan susunan dan nama anggota direksi dalam akta pendirian dan anggota direksi diangkat untuk jangka waktu tertentu dengan kemungkinan diangkat kembali.36 Sebagai organ perseroan terbatas, direksi bertanggung jawab penuh atas kegiatan pengurusan perseroan kepentingan dan 34
Munir Fuady, Perseroan Terbatas Paradigma Baru (Bandung: PT.Citra Aditya Bakti, 2003), hlm. 52. 35 Ibid. 36 Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, Pasal 94.
Universitas Sumatera Utara
dalam mencapai tujuan perseroan, serta mewakili perseroan dalam segala tindakannya, baik di dalam maupun di luar pengadilan. Kedudukan direksi dalam perusahaan adalah sebagai ujung tombak dari perusahaan itu. Direksi yang bertugas untuk menyusun dan juga menjalankan strategi bisnis sebagai usaha dalam mencapai keuntungan bagi perusahaan. Setelah mencapai keuntungan, direksi harus bisa mempertahankan keuntungan yang telah dicapai itu, agar tidak berkurang tetapi agar terus bertambah. Tugas dan wewenang direksi sebagai pengurus perusahaan secara umum mencakup hal-hal sebagai berikut : 1.
Direksi bertanggung jawab penuh atas kepengurusan perusahaan untuk kepentingan perusahaan, sesuai dengan maksud dan tujuan perusahaan. Direksi juga bertugas untuk mewakili perusahaan baik di dalam maupun diluar pengadilan. Direksi berwenang menjalankan pengurusan sesuai dengan kebijakan yang dianggap tepat olehnya. Direksi yang terdiri atas dua anggota atau lebih, pembagian tugas dan wewenang pengurusan diantara anggota direksi ditetapkan berdasarkan RUPS. Jika RUPS tidak menetapkan, pembagian tugas dan wewenang direksi ditetapkan atas keputusan anggota direksi.
2.
Tugas direksi yang utama adalah mengurus perusahaan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Direksi dalam melaksanakan tugas dan kewajiban nya harus didasari dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab. Setiap kesalahan dan atau kelalaian dalam menjalankan tugas dan atau kewajibannya tersebut akan membawa akibat
Universitas Sumatera Utara
pertanggungjawaban secara pribadi dari masing–masing anggota direksi atas setiap kerugian yang diderita oleh perseroan maupun para pemegang sahamnya. 37 Tanggung jawab direksi dalam hukum perseroan terbatas di Indonesia adalah bersifat tanggung renteng sebagaimana dianut dalam Pasal 97 ayat 3 UUPT yang berbunyi: “Setiap anggota direksi bertanggung jawab penuh secara pribadi atas kerugian perseroan apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai menjalankan tugasnya sesuai dengan ketentuan yang sebagaimana dimaksud pada ayat (2)” Tindakan satu direktur mengikat seluruh direksi. Ketika seorang direktur melakukan perbuatan hukum, maka tindakan tersebut dianggap diakui dan disetujui oleh direktur yang lain. Muncul pertanyaan ketika direktur lain tidak menyetujui dan tidak mengakui, apakah perusahaan harus bertanggung jawab, Bila diamati dari teori organ makan tindakan dari satu orang direktur saja adalah tindakan badan hukum, oleh karena itu badan hukum harus bertanggung jawab, asalkan tindakan tersebut menguntungkan perusahaan dan dilakukan direktur dalam batas–batas kewenangannya.38 Doktrin Business Judgment Rule berkembang dalam sistem hukum common law, seperti Inggris, Amerika Serikat, Australia, dan lain nya. Doktrin tersebut merupakan bentuk perlindungan bagi direksi. Business Judgment Rule menurut Roger LeRoy dan Gaylod A. Jentz adalah: “A rule that immunizes corporate management from liability for action that result in corporate losses or damages if the action are undertaken in good faith and are within both the power of the coporation and the authorithy of management to make.”39 Dalam terjemahan bebas dapat diartikan sebagai berikut: “Business Judgment Rule melindungi direksi atas keputusan bisnis yang merupakan transaksi korporasi, selama hal tersebut dilakukan dalam batas–batas kewenangan yang dimilikinya dengan penuh kehati–hatian dan itikad baik.” 37
Gunawan Widjaja & Ahmad Yani, Seri Hukum Bisnis : Perseroan Terbatas (Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2000), hlm. 111. 38 Robert Prayoko, Doktrin Business Judgment Rule Aplikasinya dalam Hukum Perusahaan Modern (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2015), hlm. 35. 39 Roger LeRoy dan Gaylod A. Jentz dalam buku Freddy Harris dan Teddy Anggorro:Hukum Perseroan Terbatas Kewajiban Pemberitahuan oleh Direksi (Bogor: Ghalia Indonesia, 2010), hlm. 58.
Universitas Sumatera Utara
Pakar hukum lain yaitu Robert Charles Clark memandang Business Judgment Rule sebagai aturan sederhana atas pertimbangan bisnis direksi yang tidak akan dibantah oleh pengadilan dan pemegang saham.40 Direksi tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban atas konsekuensi yang timbul dari putusan bisnisnya. Jika dikaitkan dengan doktrin Fiduciary Duty, maka doktrin Business Judgment Rule merupakan reaksi atas pembatasan diskresi yang timbul karena adanya kewajiban–kewajiban fiduciary bagi direksi dalam mengurus korporasi. Teori Fiduciary Duty yang merupakan suatu kewajiban yang ditetapkan undang–undang bagi seseorang yang memanfaatkan seseorang lain, dimana kepentingan pribadi seseorang yang diurus oleh pribadi lain nya, yang sifatnya hanya hubungan atasan–bawahan sesaat.41 Orang yang mempunyai kewajiban ini harus melaksanakannya berdasarkan suatu standar dari kewajiban (standart of duty) yang paling tinggi sesuai dengan yang dinyatakan dengan hukum.42 Fiduciary ini adalah seseorang yang memegang peran sebagai suatu wakil (trustee) atau suatu peran yang disamakan dengan sesuatu yang berperan sebagai wakil, dalam hal ini peran tersebut didasarkan kepercayaan dan kerahasiaan (trust and confidence) yang dalam peran ini meliputi ketelitian (scrupulous), itikad baik (good faith), dan keterusterangan (candor).43 Doktrin Business Judgment Rule merupakan satu–satunya pertahanan yang dapat dipakai oleh direksi yang beritikad baik dalam melindungi dirinya dari gugatan korporasi, pemegang saham atau kreditor sehubungan dengan kerugian yang timbul akibat keputusan yang diambil oleh direksi. Business Judgment Rule berkaitan erat dengan kemampuan dari direktur untuk mengelola risiko. Manajemen resiko diperlukan karena seorang direktur bukanlah peramal yang mengetahui apa yang akan terjadi di masa yang akan datang. Begitu banyak resiko yang harus dihadapi oleh direktur ketika mengambil suatu keputusan. Direktur perusahan diwajibkan untuk mempunyai pemahaman yang penuh atas resiko yang mungkin terjadi. Seorang direktur diwajibkan untuk secara berkelanjutan mengevaluasi segala keputusan yang akan diambilnya, termasuk mengevaluasi segala kemungkinan sebelum diambilnya keputusan. Indonesia menganut 3 standar yang digunakan sebagai dasar pembenar suatu keputusan bisnis yaitu keputusan bisnis yang diambil harus dengan itikad 40
Robert Charles Clark dalam buku Freddy Harris dan Teddy Anggorro:Hukum Perseroan Terbatas Kewajiban Pemberitahuan oleh Direksi (Bogor:Ghalia Indonesia, 2010), hlm. 59. 41 Bismar Nasution, “Pertanggungjawaban Direksi Dalam Pengelolaan Perseroan”, http://bismar.wordpress.com/2009/12/23 (diakses pada tanggal 17 Oktober 2015 pukul 21.00). 42 Ibid. 43 Ibid.
Universitas Sumatera Utara
baik, dengan penuh tanggung jawab dan tidak untuk kepentingan pribadi direktur. Ketiga standar tersebut dapat lebih dipertajam sebagai berikut : 1.
Keputusan bisnis diambil dengan itikad baik.
2.
Direktur bertanggung jawab secara pribadi atas kesalahan yang dilakukan nya.
3.
Direktur dilarang memiliki conflict of interest dalam mengambil suatu keputusan bisnis.44
Ketiga standar tersebut tidak dapat dipisahkan dengan asumsi Business Judgment Rule yang menjadi pusat dari semua Business Judgment Rule dan tidak dapat dilepaskan pula dari prinsip–prinsip Business Judgment Rule yang menjadi penjabaran asumsi umum. Ketiga standar tersebut memberikan aturan yang menjadi arahan dalam mengambil keputusan bisnis. Business Judgment Rule memberikan dorongan kepada direksi agar berani mengambil keputusan serta mengambil resiko dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya mengurus perseroan serta tidak takut dan tidak berhati-hati secara berlebihan terhadap ancaman yang mengakibatkan direksi bertanggung jawab secara pribadi atas kerugian perseroan yang mungkin timbul akibat dari tindakan maupun keputusan bisnis direksi tersebut. Kondisi perekonomian yang dipengaruhi oleh berbagai faktor mengakibatkan perubahan iklim bisnis yang begitu cepat, serta persaingan bisnis yang semakin ketat, oleh karena itu direksi sebagai pengelola perseroan dituntut untuk bertindak cepat, apabila direksi terlampau lamban mengambil keputusan bukan tidak mungkin perseroan akan kehilangan peluang bisnis yang kemungkinan akan memberikan keuntungan bagi perseroan. Seorang direktur dalam mengambil keputusan bisnis tersebut harus mempertimbangkan dan meminimalkan resiko yang kemungkinan akan terjadi akibat keputusan bisnis yang diambilnya. C. Pengaturan Doktrin Business Judgment Rule Dalam Undang–Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (untuk selanjutnya disebut KUH Perdata) menyatakan tiap perbuatan yang melanggar hukum, yang 44
Robert Prayoko, Doktrin Business Judgment Rule Aplikasinya Dalam Hukum Perusahaan Modern (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2015), hlm. 75.
Universitas Sumatera Utara
membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut. Pasal ini terdiri dari beberapa unsur, di antaranya adalah adanya suatu perbuatan yang dilakukan yang melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan yang menimbulkan kerugian. Pasal 1366 KUH Perdata sedikit menambahkan bahwa tanggung jawab seseorang tidak sebatas pada perbuatan yang dilakukan, melainkan terhadap kelalaian atau kesalahan. Dari kedua Pasal di atas, dapat ditafsirkan bahwa kerugian dapat ditimbulkan bukan hanya karena dilakukannya suatu perbuatan, namun juga dapat diakibatkan dari tidak dilakukannya suatu perbuatan. Pasal 97 ayat 5 UUPT berbunyi: “Anggota Direksi tidak dapat dipertanggungjawabkan atas kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (3) apabila dapat membuktikan: a. kerugian tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaiannya; b. telah melakukan pengurusan dengan itikad baik dan kehati-hatian untuk kepentingan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan; c. tidak mempunyai benturan kepentingan baik langsung maupun tidak langsung atas tindakan pengurusan yang mengakibatkan kerugian; dan telah mengambil tindakan untuk mencegah timbul atau berlanjutnya kerugian tersebut.” Pasal ini memberikan pengertian bahwa direksi bersalah atas kerugian perseroan dan wajib bertanggung jawab secara pribadi atas kerugian perseroan tersebut, apabila direksi ingin terbebas dari tanggung jawab pribadi atas kerugian perseroan tersebut, direksi dibebankan dengan pembuktian bahwa dia tidak bersalah sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 97 ayat 5 UUPT. Pasal 97 ayat 5 huruf a UUPT menjelaskan tentang dimana seseorang harus bertanggung jawab terhadap kesalahan atau kelalaiannya yang mengakibatkan kerugian. Pasal 97 ayat 5 huruf b UUPT menjelaskan itikad baik merupakan sesuatu yang diwajibkan dalam suatu perjanijan. Pendirian perseroan terbatas dilakukan dengan perjanjian maka harus dilandasi dengan itikad baik, dimana Pasal 1338 ayat 3 KUH Perdata menyatakan bahwa suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. Pasal 97 ayat 5 UUPT itu sendiri merupakan penerapan dari Pasal 1365 KUH Perdata, dimana setiap kerugian harus dipertanggungjawabkan. Hal-hal yang diatur dalam Pasal 97 ayat 5 UUPT sebenarnya termasuk dalam Fiduciary Duty, jadi sesuai ketentuan Pasal 97 ayat 5 UUPT, dalam hal adanya kerugian perseroan, direksi dianggap bersalah telah melanggar fiduciary
Universitas Sumatera Utara
duty dan untuk membebaskan diri dari tanggung jawab pribadi atas kerugian perseroan, direksi wajib membuktikan bahwa ia tidak bersalah dan tidak melanggar fiduciary duty yang tercantum dalam pasal tersebut. Diberlakukannya Pasal 97 ayat 5 UUPT, maka beban pembuktian berada pada direksi, sehingga Pasal 97 ayat 5 UUPT tidak dapat dikatakan melindungi direksi dari tanggung jawab pribadi atas kerugian perseroan, namun lebih tepat dikatakan sebagai salah satu upaya bagi direksi untuk membebaskan diri dari tanggung jawab pribadi atas kerugian perseroan yang disediakan oleh undang-undang, yang dalam hal ini adalah UUPT. Fiduciary Duty dalam Pasal 97 ayat 5 UUPT pada umumnya sama dengan Fiduciary Duty yang dikemukakan dalam definisi-definisi Business Judgment Rule yang harus dipenuhi direksi. Pasal 97 ayat 5 UUPT dengan doktrin Business Judgment Rule yang diterapkan di negara-negara di mana doktrin ini berkembang, di antaranya Amerika Serikat dan Inggris. Kemudian baik dalam Business Judgment Rule maupun Pasal 97 ayat 5 UUPT, keduanya dapat diterapkan hanya dalam hal adanya kerugian. Doktrin Business Judgment Rule melindungi direksi dalam melakukan suatu tindakan pengurusan terhadap perseroan, keputusan direksi dan tindakannya dianggap selalu benar dan untuk membantah anggapan itu, pihak yang tidak sependapat dengan anggapan itu harus membuktikan bahwa direksi telah melakukan pelanggaran Fiduciary Duty sehingga merugikan perseroan. Hal ini didasarkan pada definisi-definisi yang ada seperti diungkapkan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa dengan diterapkannya doktrin Business Judgment Rule, maka beban pembuktian berada pada pihak yang menyatakan bahwa direksi telah bersalah dan bertanggung jawab atas kerugian perseroan. Antara doktrin Business Judgment Rule dengan Pasal 97 ayat 5 UUPT jelas terlihat bahwa perbedaan yang signifikan terdapat pada beban pembuktian, yaitu pihak yang mana yang diwajibkan membuktikan atas adanya kerugian dalam pengurusan perseroan oleh direksi. Mengenai pembuktian itu sendiri, KUH Perdata Pasal 1865 menyatakan bahwa setiap orang yang mendalilkan bahwa ia mempunyai sesuatu hak, atau, guna meneguhkan haknya sendiri maupun membantah suatu hak orang lain, menunjuk pada suatu peristiwa, diwajibkan membuktikan adanya hak atau peristiwa tersebut. Bunyi Pasal tersebut di atas berkaitan dengan Business Judgment Rule, bahwa dalam hal adanya pihak yang menganggap adanya kerugian akibat kesalahan direksi, maka pihak tersebut harus dapat membuktikan. Rumusan pembuktian dalam KUH Perdata tersebut disimpulkan bahwa pembuktian tersebut merupakan pembuktian untuk mendalilkan sesuatu dan bukan untuk menyangkal sesuatu. Sedangkan Pasal 97 ayat 5 UUPT merupakan pembuktian yang
Universitas Sumatera Utara
merupakan penyangkalan akan sebuah kesalahan dan tanggung jawab. Dari keterangan-keterangan yang tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa pembuktian yang dimaksud dalam doktrin Business Judgment Rule relevan dengan hukum pembuktian yang diatur dalam buku ke empat bab ke satu Pasal 1865 KUH Perdata. D. Batasan-Batasan Business Judgment Rule Business Judgment Rule merupakan penyeimbang dari doktrin Fiduciary Duty yang menekankan pada kewajiban dan larangan kepada direksi. Doktrin Fiduciary Duty menekankan bahwa seorang direksi dituntut standar prilaku tertentu dan kewajiban serta tanggung jawab yang harus dipenuhi, maka Business Judgment Rule sebaliknya adalah suatu pembebasan tanggung jawab pribadi atas segala kerugian yang terjadi akibat keputusan, tindakan dan perilaku bisnis yang dilakukan oleh direksi. Dengan adanya Business Judgment Rule, memberikan kelegaan kepada direksi dalam menjalankan roda kepemimpinan di perusahaan yang berbadan hukum perseroan terbatas. Sepintas ada pertentangan antar prinsip Fiduciary Duty dengan Business Judgment Rule, tetapi sebenarnya kedua hal tersebut bersifat komplementer atau saling melengkapi. Seorang direksi terbebas dari tanggung jawab direksi apabila ia dapat membuktikan diri bahwa telah melaksanakan prinsip-prinsip yang terkandung dalam Fiduciary Duty, misalnya telah melakukan duty of care, goodfaith, tidak melanggar doktrin Ultra Vires, tidak melakukan gross neglegence dan lain sebagainya. Business Judgment Rule merupakan pembelaan kepada para direksi karena prinsip ini menekankan bahwa anggota direksi tidak dapat dibebani tanggung jawab atas akibat-akibat yang timbul karena telah diambilnya suatu pertimbangan bisnis (Business Judgment Rule) oleh anggota direksi yang bersangkutan, sekalipun apabila pertimbangan ini keliru, kecuali dalam hal-hal tertentu. Dalam pengambilan keputusan, direksi harus menempatkan diri untuk dan atas nama perseroan. Konsekuensi baik dan buruknya segala sesuatu yang dibuatnya pada prinsipnya dipikul perseroan itu sendiri. Prinsip demikian berlaku baik dalam sistem hukum di Amerika maupun didalam sistem hukum Indonesia. Prinsip ini bukanlah suatu prinsip yang baku, karena dalam hal-hal tertentu konsekuensi dan tindakan direktur ini harus dipikul secara pribadi oleh direktur sendiri walaupun dalam kenyataanya ia bertindak untuk dan atas nama perseroan. Menurut hukum di Amerika Serikat direktur akan bertanggung jawab secara pribadi jika dia menjalankan tugasnya tidak sesuai dengan standart tertentu, misalnya dengan sengaja menyalahgunakan dan menyelewengkan dana perusahaan.
Universitas Sumatera Utara
Seorang direksi dapat dilindungi dalam mengambil keputusan jika tidak ada unsur kepentingan pribadi, diputuskan berdasarkan informasi yang mereka percaya didasari oleh keadaan yang tepat dan secara rasional mempercayai bahwa keputusan yang diambilnya adalah yang terbaik untuk perusahaan. Tentu saja tidak semua keputusan dan kebijakan direksi dapat berlindung dengan alasan pertimbangan bisnis sehingga dapat dilindungi oleh Business Judgment Rule ini. Di Amerika serikat, ternyata pengadilan-pengadilan tidak seragam dalam merumuskan pengecualian-pengecualian Business Judgment Rule tersebut. Beberapa pengadilan berpendapat bahwa pertimbangan anggota direksi tidak dapat diganggu gugat kecuali apabila pertimbangan tersebut didasarkan atas suatu kecurangan (fraud), atau menimbulkan benturan kepentingan (conflict of interest), atau merupakan perbuatan yang melanggar hukum (illegality). Sementara beberapa pengadilan lain berpendapat bahwa seorang direktur yang mengambil alih pertimbangan telah menimbulkan kerugian bagi perseroan, tidak dilindungi oleh Business Judgment Rule, jika kerugian tersebut sebagai akibat kelalaian berat (gross negligence) anggota direksi yang bersangkutan. Doktrin Business Judgment Rule yang termuat didalam Pasal 92 ayat 1 dan 2 serta Pasal 97 ayat 5 UUPT sebagaimana yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya. Pasal 92 ayat 1 dan 2 berbunyi: (1) “Direksi menjalankan pengurusan Perseroan untuk kepentingan Perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan. (2) “Direksi berwenang menjalankan pengurusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan kebijakan yang dipandang tepat, dalam batas yang ditentukan dalam undang-undang ini dan/atau anggaran dasar.” Pasal 97 ayat 5 berbunyi: “Anggota Direksi tidak dapat dipertanggungjawabkan atas kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (3) apabila dapat membuktikan: a. kerugian tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaiannya; b. telah melakukan pengurusan dengan itikad baik dan kehati-hatian untuk kepentingan dan sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan; c. tidak mempunyai benturan kepentingan baik lansung maupun tidak langsung atas tindakan pengurusan yang mengakibatkan kerugian; dan d. telah mengambil tindakan untuk mencegah timbul atau berlanjutnya kerugian tersebut.” Pasal 97 ayat 5 UUPT yang telah disebutkan diatas merupakan suatu acuan dan sekaligus menjadi batasan bagi direksi dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya dalam pengelolaan perseroan, sehingga dapat diketahui
Universitas Sumatera Utara
apakah direksi dapat dilindungi oleh Business Judgment Rule atau tidak. Direksi dalam menjalankan kegiatan usaha sebagaimana maksud dan tujuan perseroan, tentu dihadapkan kepada risiko bisnis. Risiko ini terkadang berada di luar kemampuan maksimal direksi. Setiap manusia memiliki keterbatasan, guna melindungi ketidakmampuan yang disebabkan adanya keterbatasan manusia, maka direksi dilindungi oleh doktin Business Judgment Rule. Doktrin Business Judgment Rule dalam sistem hukum Indonesia sebagai doktrin dimana seorang direksi dapat dilindungi terhadap keputusannya dalam melakukan pengelolaan perusahaan berdasarkan doktrin Business Judgment Rule. Seorang direksi yang terbukti melanggar prinsip Fiduciary Duty, maka terhadap pelanggaran tersebut secara otomatis tidak dapat dilindungi oleh doktrin Business Judgment Rule, akan tetapi sepanjang dapat membuktikan sebaliknya bahwa direksi tersebut tidak melakukan pelanggaran terhadap Fiduciary Duty maka akan terlepas dari bentuk pertanggungjawaban. Doktrin Business Judgment Rule pada UUPT sangat jelas dapat memberikan perlindungan yang maksimal bagi direksi yang dianggap melanggar prinsip Fiduciary Duty, hanya dapat dibuktikan di dalam proses persidangan, hakimlah yang mempunyai peranan penting untuk menilai apakah tindakan yang dilakukan oleh direksi tersebut dapat dimintakan pertanggungjawaban secara pribadi atau tidak, olehnya itu dibutuhkan suatu pemahaman yang lebih terhadap implementasi dari Business Judgment Rule tersebut sehingga dapat berjalan sesuai yang diharapkan. Walaupun penerapan doktrin Business Judgment Rule masih diselimuti dengan berbagai persoalan dan kendala sebagaimana yang telah diuraikan diatas, tetapi harus ada pendekatan yang dilakukan agar ketentuan Pasal 97 ayat 5 UUPT dapat diimplementasikan. Khususnya untuk usaha perbankan, akan didekati dengan berbagai ketentuan dan kelaziman yang berlaku di dunia perbankan di samping ketentuan UUPT itu sendiri sebagai payung hukumnya.
Universitas Sumatera Utara