TANGGUNG JAWAB DIREKSI DALAM PERSEROAN TERBATAS BERDASARKAN PRINSIP FIDUCIARY RELATIONSHIP Erman, SH, Sp.N Dosen Fakultas Hukum Usahid Jakarta Abstract Management as an element of limited liability company is the main pillar to guarantee for continuing company business. The relationship between management and limited liability company are based on trust that is called the principle of Fiduciary Relationship. This principle is followed by limited liability company Act No.1 Year 1995 and Act No.40 Year 2007. Fiduciary Relationship could be divided into fiduciary duties, duties of skill and statutory duties. That’s why the management’s responsibilities are based on good faith and full responsibility to take care of company goals and representing company in litigation and non litigation processes. The managements responsibility will change from limited to unlimited responsibility, if they against those principles. Keywords: Management, company, limited liability, fiduciary, responsibility A. PENDAHULUAN Pada hakikatnya suatu perseroan terbatas (PT) memiliki dua sisi, yaitu pertama sebagai suatu badan hukum dan kedua pada sisi yang lain adalah wadah atau tempat diwujudkannya kerjasama antara para pemegang saham atau pemilik modal (Chatamarrasjid Ais, 2000: 25). Hal ini terlihat jelas dari ketentuan umum dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UUPT), sebagaimana dalam rumusan Pasal 1 butir 1 nya : “Perseroan Terbatas, yang selanjutnya disebut perseroan, adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam undang-undang ini serta peraturan pelaksanaannya”. Rumusan tersebut menunjukkan perseroan terbatas merupakan suatu “artificial person”, suatu badan hukum yang dengan sengaja diciptakan. Dengan demikian, PT adalah suatu subjek hukum yang mandiri, yang mempunyai hak dan kewajiban, yang pada dasarnya tidak berbeda dengan hak dan kewajiban subjek hukum manusia (Chatamarrasjid Ais, 2000: 25). Perbedaan antara manusia dan badan hukum adalah bahwa manusia dapat melakukan apa saja yang tidak dilarang oleh hukum, sedangkan badan hukum hanya dapat melakukan apa yang secara eksplisit atau implisit diizinkan oleh hukum dan atau anggaran dasarnya. Dengan demikian maksud dan tujuan PT mempunyai dua segi, di satu pihak merupakan sumber kewenangan bertindak bagi PT, dan di lain pihak menjadi pembatasan dari ruang lingkup kewenangan bertindak PT yang bersangkutan (Chatamarrasjid Ais, 2000: 28-29). Sebagai suatu badan hukum, perseroan terbatas dapat memiliki hak dan kewajiban yang dapat dimiliki oleh subyek hukum, seperti halnya dengan orang perorangan, dan guna melaksanakan segala hak dan kewajiban yang dimilikinya, perseroan terbatas memiliki organ dengan fungsi dan wewenang masing-masing.
Organ perseroan terbatas menurut Undang-Undang Perseroan Terbatas Nomor 40 Tahun 2007, terdiri dari ; (1) Direksi adalah Organ Perseroan yang berwenang dan bertanggung jawab penuh atas pengurusan Perseroan untuk kepentingan Perseroan, sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan serta mewakili Perseroan, baik di dalam maupun di luar pengadilan sesuai dengan ketentuan anggaran dasar. (2) Dewan Komisaris adalah Organ Perseroan yang bertugas melakukan pengawasan secara umum dan/atau khusus sesuai dengan anggaran dasar serta memberi nasihat kepada Direksi, dan (3) Rapat Umum Pemegang Saham, yang selanjutnya disebut RUPS, adalah Organ Perseroan yang mempunyai wewenang yang tidak diberikan kepada Direksi atau Dewan Komisaris dalam batas yang ditentukan dalam Undang-Undang ini dan/atau anggaran dasar. Dalam Perseroan Terbatas, direksi adalah pilar utama yang menjamin kelangsungan usaha perseroan. Disebut pilar utama karena keberadaan direksi itulah yang menjadikan PT sebagai person yang hidup. Tanpa direksi, PT hanya sekedar person yang lumpuh. Sebaliknya juga direksi tidak pernah ada kalau tidak pernah dibentuk. Karena itu PT ada sebab adanya direksi. Dengan demikian eksistensi PT dengan direksi bersifat simbiose mutualistis. Berdasarkan hal tersebut menarik untuk dikaji dalam suatu penulisan ilmiah dengan judul : “Tanggung Jawab Direksi Dalam Perseroan Terbatas Berdasarkan Prinsip Fiduciary Relationship” Karena itu, ruang lingkup masalah yang akan dikaji dalam suatu analisis penulisan ini adalah : Bagaimana kedudukan, tugas dan wewenang serta tanggung jawab direksi dalam perseroan terbatas. Dan apakah direksi dapat dikenakan tanggung jawab pribadi akibat perbuatan hukum perseroan terbatas. B. PEMBAHASAN Dalam penulisan ini, penulis menggunakan metode deskriptif analisis, dimana penguraiannya dilandasi suatu pemikiran untuk mengungkapkan Tanggung Jawab Direksi dalam Perseroan Terbatas. Dalam hal ini akan dianalisis kaitannya dengan kedudukan dan tugas serta tanggung jawab direksi dalam Perseroan Terbatas, baik berdasarkan skill maupun undangundang sebagaimana dianut dalam Undang-Undang Perseroan Terbatas Nomor 40 Tahun 2007. Untuk melakukan kajian analisis tersebut maka pendekatan yang dilakukan adalah yuridis-normatif, karena yang menjadi fokus dalam penulisan ini adalah makna esensi dari Tanggung Jawab Direksi dalam Perseroan Terbatas Dengan demikian, analisis penulisan ini menitikberatkan pada peraturan perundang-undangan, yaitu UU No. 40/2007 tentang Perseroan Terbatas.
1. Kedudukan, Tugas dan Wewenang Direksi Direksi adalah organ perseroan terbatas, yang diangkat oleh RUPS, yang bcrtanggungjawab penuh atas pengurusan perseroan, yang dilaksanakan dengan itikad baik, untuk kepentingan usaha dan tujuan perseroan, serta mewakili perseroan baik di dalam maupun di luar pengadilan sesuai dengan ketentuan Anggaran Dasar (Pasal 1 butir 4 Undang-Undang Perseroan Terbatas Nomor 1 Tahun 1995), dengan pembagian tugas dan wewenang yang ditentukan oleh RUPS, karenanya dapat disimpulkan bahwa direksi memiliki 2 (dua) fungsi
utama, yaitu: (1) fungsi manajemen, dalam arti direksi melakukan tugas memimpin perseroan, dan (2) fungsi representasi, dalam arti direksi mewakili perseroan di dalam dan luar pengadilan. Direksi mewakili perseroan. Jadi direksi adalah pengurus perseroan, yang dapat bertindak untuk dan atas mana perseroan. Direksi adalah merupakan dewan direktur (Board of Directors) yang dapat merupakan satu orang direktur atau terdiri dari beberapa anggota direksi, yaitu satu orang sebagai Presiden Direktur atau Direktur Utama dan satu atau beberapa wakil Presiden Direktur serta satu atau beberapa Direktur (Hardjian Rusli, 1997: 121). Pengaturan tentang direksi dalam UUPT dilakukan dengan cara-cara (Munir Fuady, 2002: 79), sebagai berikut : Diatur dalam bagian-bagian yang khusus mengatur tentang direksi, yaitu dari Pasal 92 sampai dengan 107 UUPT, dan Diatur dalam bagian-bagian lain dari UUPT secara terpisah-pisah, yakni dalam bagian-bagian yang tidak khusus mengatur tentang direksi. Pasal 92 ayat (1 & 2) UUPT. Penjelasan pasal ini menyatakan bahwa ketentuan dalam ayat (1 & 2) ini menugaskan direksi untuk mengurus perseroan yang antara lain meliputi pengurusan sehari-hari dari perseroan. Rumusan pasal tersebut dapat dikatakan, apa yang menjadi makna arti kata “kepengurusan” tersebut diartikan bahwa direksi ditugaskan dan karenanya berwenang (Chatamarrasjid Ais, 2000: 40): a. Direksi mengurus kegiatan sehari-hari perseroan, dalam arti mengatur dan mengelola kegiatan usaha perseroan, sesuai dengan maksud dan tujua pendiriannya. b. Mengurus kekayaan perseroan, c. Untuk kepentingan dan tujuan perseroan, mewakili perseroan baik di dalam maupun di luar pengadilan. Berdasarkan prinsip Good Corporate Governance (Misahardi Wilamarta, 2002). Direksi bertugas untuk mengelola perseroan. Direksi wajib mempertanggungjawabkan pelaksanaan tugasnya kepada pemegang saham melalui RUPS. Untuk membantu pelaksanaan tugasnya, sesuai dengan prosedur yang telah ditetapkannya, direksi dapat menggunakan jasa professional yang mandiri sebagai penasehat. Setiap anggota direksi haruslah orang yang berwatak baik dan berpengalaman untuk jabatan yang didudukinya. Direksi harus melaksanakan tugasnya dengan baik demi kepentingan perseroan, dan direksi harus memastikan agar perseroan melaksanakan tanggung jawab sosialnya serta memperhatikan kepentingan dari berbagai pihak yang berkepentingan (Komite Nasional Kebijakan Corporate Governance, Pedoman Good Corporate Governance, hal 11). Undang-Undang Perseroan Terbatas memberikan syarat-syarat yuridis terhadap direksi dari suatu Perseroan Terbatas (Munir Fuady, 2002: 80-82), sebagai berikut : a. Direksi harus orang perorangan Ditegaskan dalam Pasal 93 ayat (1) UUPT UUPT Nomor 40 Tahun 2007, bahwa direksi haruslah orang perorangan. Dengan demikian, suatu badan hukum atau perkumpulan tidak dapat menjadi direksi dari suatu Perseroan Terbatas. b. Lebih dari satu orang untuk perusahaan tertentu. Pada prinsipnya suatu Perseroan Terbatas dapat hanya mempunyai satu orang direktur (direktur tunggal) atau lebih dari satu. Akan tetapi menurut Pasal 92 ayat (4) UUPT Nomor 40 Tahun 2007, dalam hal-hal tertentu, sebuah PT haruslah mempunyai paling sedikit 2 (dua) orang direktur, yaitu dalam hal-hal sebagai berikut : 1) Perseroan yang bidang usahanya mengerahkan dana masyarakat, atau 2) Perseroan yang menerbitkan surat pengakuan hutang, atau 3) Perseroan terbuka.
c. Cakap berbuat menurut hukum Persyaratan tersebut adalah layak, karena selaku direktur, maka yang bersangkutan akan banyak melakukan perbuatan hukum dalam rangka mewakili perusahaannya atau dalam rangka menjalankan tugas-tugasnya. d. Tidak pernah dinyatakan pailit selama masa tertentu UUPT mensyaratkan bahwa seseorang baru dapat diangkat menjadi direktur, manakala orang tersebut (secara pribadi) sebelumnya tidak pernah dinyatakan pailit oleh pengadilan yang berwenang untuk itu, kecuali putusan pernyataan pailit tersebut sudah melebihi janga waktu 5 tahun. e. Tidak pernah menjadi anggota direksi yang dinyatakan bersalah sehingga menyebabkan suatu perseroan menjadi pailit Selain persyaratan tidak pailit secara pribadi, bagi seorang direkur suatu perseroan disyaratkan pula bahwa yang bersangkutan tidak pernah dinyatakan bersalah oleh pengadilan, yang karena kesalahannya menyebabkan suatu perseroan menjadi pailit, kecuali jika keputusan pengadilan yang menyatakan bersalahnya itu sudah melebihi masa lima tahun. f. Tidak pernah dihukum karena melakukan tindak pidana yang merugikan keuangan negara selama masa tertentu. Persyaratan lain untuk seorang direktur adalah bahwa orang tersebut tidak pernah dihukum karena melakukan tindak pidana yang merugikan keuangan negara, kecuali dia telah 5 (lima) tahun atau lebih selesai menjalani hukuman tersebut. g. Diangkat oleh Rapat Umum Pemegang Saham Untuk menjadi direktur, seseorang harus diangkat oleh RUPS menurut tata cara dan syarat-syarat yang diatur oleh anggaran dasar perseroan tersebut dan sesuai peraturan perundangundangan yang berlaku. Hubungan tugas, kewajiban atau kewenangan, antara direksi dengan perseroan sebenarnya memiliki hubungan keterkaitan yang sangat erat. Hubungan tersebut dapat didefinisikan sebagai berikut : a. Perseroan adalah sebab bagi koberadaan direksi, karena apabila tidak ada perseroan maka tidak akan ada direksi, b. Tugas, kewajiban dan wewenang direksi adalah bersumber dari ketergantungan perseroan kepada direksi sebagai organ yang dipercayakan oleh Undang-Undang sebagai fungsi kepengurusan perseroan (Syarif Bastaman, 1996:2). Keadaan inilah yang kemudian melahirkan prinsip bahwa diantara direksi dan perseroan terdapat hubungan fiducia atau fiduciary relations (Munir Fuady, 2002: 33), yang berarti hubungan melaksanakan tugas berdasarkan kepercayaan untuk kepentingan yang bukan kepentingan pribadi. 2. Tanggung Jawab Direksi Dalam kaitannya dengan fiduciary relations, maka tugas dan kewajiban direksi dalam mengurus perseroan melahirkan tanggung jawab yang dapat diklasifikasikan (I.G. Rai Widjaya, 2002: 220) sebagai berikut : a. Tanggung Jawab Direksi berdasarkan kepercayaan, amanah atau fiduciary duties. b. Tanggung Jawab Direksi berdasarkan kecakapan, keahlian, kehati-hatian dan ketekunan atau duties of skill c. Tanggung Jawab Direksi berdasarkan undang-undang atau statutory duties. 2.1 Tanggung Jawab Direksi berdasarkan fiduciary duties.
Fiduciary duty adalah suatu doktrin yang berasal dari sistem hukum common law yang mengajarkan bahwa antara direktur dengan perseroan terdapat hubungan fiduciary. Sehingga pihak direktur hanya bertindak seperti seorang trustee atau agen semata-mata, yang mempunyai kewajiban mengabdi sepenuhnya dan dengan sebaik-baiknya kepada perseroan (Munir Fuady, 2002: 4). Munir Fuady mengemukakan bahwa seseorang memiliki tugas fidusia (fiduciary duty) apabila ia memiliki kapasitas fidusia (fiduciary capacity), yaitu apabila kegiatan usaha yang dilaksanakannya untuk kepentingan orang lain, atau asset yang dikelolanya merupakan milik orang lain, yang memiliki kepercayaan yang besar terhadap pelaksana tersebut, sehingga pelaksana itu memiliki kewajiban untuk melaksanakan apa yang dipercayakan kepadanya dengan itikad baik dan usaha yang maksimal. Lebih lanjut lagi dikemukakan bahwa antara pihak yang memiliki fiduciary capacity –dengan pemberi kepercayaan atau asset yang dipercayakan, memiliki hubungan fidusia (fiduciary relation) (Munir Fuady, 2002:33). Prinsip fiduciary duty sendiri berlaku bagi direksi dalam menjalankan fungsinya sebagai organ perseroan, pada dasarnya ada 2 (dua) fungsi utama dari direksi suatu perseroan (Munir Fuady, 2002: 60-61), yaitu : 1) Fungsi manajemen, dalam arti direksi melakukan tugas memimpin dan menjalankan perseroan. 2) Fungsi representasi, dalam arti direksi mewakili perusahaan di dalam dan di luar pengadilan. Prinsip mewakili perusahaan di luar pengadilan menyebabkan perseroan sebagai badan hukum akan terikat dengan transaksi atau kontrakkontrak yang dibuat oleh direksi atas nama dan untuk kepentingan perseroan. Sepanjang sejarah penerapan teori fiduciary duty ini, muncul beberapa pedoman dasar bagi direksi dalam menjalankan fiduciary duty terhadap perseroan yang dipimpinnya. Pedoman dasar tersebut (Munir Fuady, 2002: 61-62) adalah sebagai berikut : 1) Fiduciary duty merupakan unsur wajib (mandatory element) dalam hukum perseroan. 2) Dalam menjalankan tugasnya, seorang direksi tidak hanya harus memenuhi unsur itikad baik, tetapi juga harus memenuhi unsur tujuan yang layak’ (proper purpose). 3) Pada prinsipnya direktur dibebani prinsip fiduciary duty terhadap perseroan, bukan terhadap pemegang saham. Karena itu, hanya perusahaanlah yang dapat memaksakan direksi untuk melaksanakan tugas fiduciary duty. 4) Akan tetapi, dalam menjalankan fungsinya sebagai direktur, secara umum dia juga harus memperhatikan kepentingan stake holders, seperti pihak pemegang saham, dan buruh perusahaan. 5) Sungguhpun menyandang tugas sebagai direktur, direktur tetap bebas dalam memberikan suara dan pendapat sesuai dengan keyakinan dan kepentingannya dalam setiap rapat yang dihadirinya. 6) Direksi tetap bebas dalam mengambil Keputusan sesuai pertimbangan bisnis dan sense of business yang dimilikinya. Bahkan, pihak pengadilan tidak boleh ikut campur mempertimbangkan sense of business dari pihak direksi. 7) Dalam hal-hal dimana terdapat conflict of interest, seorang direksi dilarang atau setidaktidaknya dibatasi atau diawasi dalam menjalankan tugasnya. Pengawasan tersebut misalnya dengan memberlakukan prinsip keterbukaan informasi (disclosure) terhadap setiap transaksi yang ada conflict of interest. Secara konseptual, prinsip fiduciary duty ini mengandung 3 (tiga) faktor penting, yaitu :
a. Prinsip yang merujuk kepada kemampuan serta kehati-hatian tindakan direksi (Syarif Bastaman, 1996: 3). Prinsip duty of skill and care ini dapat dilakukan dengan berbagai cara, misalnya direksi harus memperhatikan hal-hal yang berkaitan dengan kegiatan usaha dari perseroan, menjalankan dan menghadiri rapat-rapat yang diperlukan, mengetahui syarat-syarat yang ditentukan oleh peraturan-peraturan perundangan dan melaksanakannya, menjalankan metode yang sewajarnya untuk dapat mengetahui kondisi yang terjadi di masyarakat sehubungan dengan kegiatan usaha perseroan, dan kesulitan-kesulitan yang mungkin timbul. Tanggung jawab direksi tidak hanya terbatas pada ketidakjujuran atau kesalahan manajemen semata, tetapi juga termasuk kelalaian, meskipun itu hanya berupa kesalahan yang kecil. Standar dari pelaksanaan prinsip duty of skill and care adalah bahwa direksi harus melaksanakan tugasnya untuk mengelola perseroan dengan itikad baik dan hati-hati sebagaimana orang biasa melaksanakan pengelolaan terhadap kekayaannya. Pelaksanaan itikad baik dan tanggung jawab inilah yang kemudian dikenal dengan prinsip duty of care. Sebenarnya yang dimaksud dengan duty of care adalah “kewajiban peduli”. Sikap peduli kepada perseroan diwujudkan dengan sikap mengelola perseroan selayaknya seseorang yang berhati-hati dalam mengerjakan kepentingan pribadinya, yang harus menjadi pedoman bagi direksi dalam nenjalankan perseroan. Kemudian sebagai parameter dipakai standar of care (Sutan Remy Sjahdeini, 2001: 100) atau standar kehati-hatian. Jadi bila direksi telah bersikap dan bertindak melanggar standard of care, maka direksi tersebut dianggap telah melanggar duty of carenya. Untuk menguji apakah direksi telah menjalankan prinsip duty of skill and care ini, ada beberapa tolak ukur yang dapat digunakan (Syarif Bastaman, 1996: 4), yaitu: 1) Apakah tindakan direksi tersebut telah dilakukan dengan itikad baik; 2) Apakah dalam kondisi yang sama, setiap orang dengan keahlian tertentu yang sama, yang memiliki posisi sebagai direksi, juga akan melakukan tindakan tersebut, untuk kepentingan perseroan atau untuk kepentingan pribadinya. 3) Apakah tindakan tersebut diambil dengan keyakinan bahwa hal tersebut semata-mata untuk kepentingan yang terbaik bagi perseroan. b. Prinsip yang merujuk kepada itikad baik dari direksi untuk bertindak semata- mata demi kepentingan dan tujuan perseroan (Syarif Bastaman, 1996: 3) Direksi harus bertindak semata-mata demi kepentingan perseroan, dan tidak mempergunakan perseroan untuk kepentingannya dan berorientasi kepada keuntungan pribadinya. Sesuai dengan fungsi representasi direksi, maka direksi berkewajiban untuk loyal kepada perseroan dan tidak terlibat dalam benturan kepentingan. Termasuk kewenangan pengurusan dipercayakan kepada direksi agar direksi dengan itikad baik senantiasa bertindak semata-mata demi kepentingan dan tujuan perseroan. c. Prinsip untuk tidak mengambil keuntungan pribadi atas suatu opportunity yang sebenarnya menjadi milik atau diperuntukkan bagi perseroan (Syarif Bastaman, 1996: 3) Menurut prinsip ini, direksi tidak boleh mengambil keuntungan secara pribadi atas suatu opportunity, yaitu keuntungan yang sebenarnya merupakan milik perseroan. Jadi doktrin ini mencegah adanya pengalihan atau penyelewenangan oleh direksi atas business opportunity yang seharusnya dimiliki oleh perseroan karena direksi terikat untuk tidak mengambil keuntungan
pribadi (no secret profit rule) atas opportunity yang seharusnya menjadi milik perseroan (I.G. Rai Widjaya, 2002: 22.4). 2.2 Tanggung Jawab Direksi berdasarkan Duties of Skill Dalam melakukan pengurusan perseroan, direksi harus dapat mengambil keputusan dalam waktu yang cepat dan tepat, karenanya direksi dituntut untuk memiliki skill atau kemampuan yang memadai dalam menjalankan tugasnya. Duties of Skill adalah kecakapan atau keahlian yang harus dimiliki oleh anggota direksi dalam menjalankan perseroan. Seorang anggota direksi dalam setiap tindakan pengambilan keputusan seyogyanya harus berdasarkan rational inverstigation dan consideration, sehingga setiap keputusannya mencerminkan implementasi dari duty of care. Dalam hubungannya dengan duties of skill ada tiga kriteria yang dapat digunakan sebagai tolak ukur apakah direksi telah memenuhi duty of care atau tidak (Syarif Bastaman, 1996: 4), yaitu: 1) Apakah tindakan direksi dilakukan dengan itikad baik (good faith) 2) Dalam kondisi yang sama, apakah setiap orang dengan keahlian dan kecakapan tertentu yang sama, juga akan mengambil tindakan tersebut dalam posisinya sebagai direksi, ataukah untuk kepentingan bisnis pribadinya. 3) Apakah tindakan tersebut diambil berdasarkan keyakinan bahwa tindakan tersebut sematamata untuk kepentingan terbaik perseroan. Direksi dapat dibebaskan dari tanggung jawab secara pribadi sekalipun tindakannya mengakibatkan kerugian pada perseroan akibat salah perhitungan atau ada hal lain di luar kemampuannya, apabila tindakan direksi dilakukan dalam kerangka “keputusan bisnis yang Lulus dan dibuat berdasarkan itikad baik” (Honest business decisions made in good faith). Konsep ini dikenal sebagai business judgment principle (Munir Fuady, 2002: 197-198) yang merupakan imbangan terhadap penerapan prinsip duty of skill and care dalam pelaksanaannya. Prinsip ini pada dasarnya terbagi dalam 2 (dua) hal, yaitu : 1) Business judgement rule, yang merupakan suatu konsep bahwa direksi harus bertindak berdasarkan itikad baik dengan informasi yang cukup dan diolah secara cakap berdasarkan kemampuannya; dan 2) Business judgement doctrine, yang merupakan suatu konsep bahwa tindakan direksi sah dan mengikat, sepanjang hal itu memang menjadi kewenangannya, atau tidak bersifat ultra vires atau di luar kewenangan perseroan (Syarif Bastaman, 1996: 5). Prinsip business judgement ini hanya dapat dipergunakan sebagai pembelaan, apabila ternyata tindakan direksi tidak membawa hasil sebagaimana yang diharapkan atau bahkan menimbulkan kerugian bagi perseroan, dalam hal akibat tersebut merupakan akibat mismanagement atau missjedgement saja, bukan merupakan akibat pertentangan kepentingan antara direksi dengan perseroan. 2.3 Tanggung Jawab Direksi berdasarkan Statutory Duties. Selain tanggung jawab fiduciary duties dan duties of skill terhadap perseroan, anggota direksi juga memiliki tanggung jawab atau kewajiban terhadap Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Tanggung Jawab Direksi berdasarkan undang-undang (UU Nomor 40 Tahun 2007) tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut :
a. Tanggung jawab memberitahukan dan mengumumkan pengurangan modal sebagaimana diatur Pasal 44 ayat (2) UUPT (Pasal 44 ayat (2) UUPT No. 40/2007). b. Tanggung jawab menyimpan daftar pemegang saham pasal 50 ayat (1 dan 2) c. Tanggung jawab mencatat pemindahan hak atas saham atas nama, sebagaimana rumusan Pasal 56 ayat (3) UUPT. d. Tanggung jawab memberikan persetujuan atau penolakan pemindahan hak atas saham (Pasal 59 UUPT) e. Tanggung jawab membuat rencana kerja tahunan pasal 63. f. Tanggung jawab membuat laporan tahunan pasal 66. g. Menandatangani laporan tahunan sebagaimana rumusan Pasal 67 UUPT h. Menyerahkan perhitungan tahunan kepada akuntan publik dan menyampaikannya kepada RUPS sebagaimana ketentuan Pasal 68 UUPT. Direksiwajib menyerahkan perhitungan tahunan perseroan kepada akuntan publik untuk diperiksa apabila : 1) Kegiatan usalia Perseroan adalah menghimpun dan/atau mengelola dana masyarakat; 2) Perseroan menerbitkan surat pengakuan utang kepada masyarakat; 3) Perseroan merupakan Perseroan Tcrbuka; 4) Perseroan merupakan persero; 5) Perseroan mempunyai aset dan/atau jumlah peredaran usaha dengan jumlah nilai paling sedikit Rp 50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah); atau 6) Diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan. i. Menyelenggarakan RUPS sebagaimana ketentuan Pasal 79 ayat (1 dan 5). j. Tanggung jawab melakukan pengurusan sebagaimana rumusan Pasal 92 ayat (1) UUPT; bahwa kepengurusan perseroan dilakukan oleh direksi. Dalam melaksanakan kepengurusan dimaksud, direksi dibebankan tanggung jawab, antara lain : 1) Pembagian tugas dan wewenang setiap anggota Direksi ditetapkan oleh RUPS (Pasal 92 ayat (5) UUPT) 2) Direksi bertanggungjawab penuh atas pengurusan perseroan untuk kepentingan dan tujuan perseroan. 3) mewakili perseroan baik di dalam maupun di luar pengadilan (Pasal 98 UUPT) 4) Dalam hal anggota Direksi terdri lebih dari 1 (satu) orang, maka yang berwenang mewakili perseroan adalah setiap anggota Direksi kecuali ditentukan lain dalam undang-undang (Pasal 98 ayat (2) UUPT) 5) Setiap angota direksi wajib dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab menjalankan tugas untuk kepentingan dan usaha perseroan (Pasal 97 ayat (2) UUPT) k. Tanggung jawab membuat dan memelihara daftar pemegang saham, risalah RUPS, rapat direksi dan menyelenggarakan pembukuan sebagaimana ketentuan Pasal 100 UUPT. l. Tanggung jawab melaporkan kepemilikan saham, sebagaimana rumusan Pasal 101 UUPT, bahwa anggota direksi wajib melaporkan kepada perseroan mengenai kepemilikan sahamnya dan atau keluarganya pada perseroan tersebut dan perseroan lain. m. Direksi wajib meminta persetujuan RUPS untuk mengalihkan kekayaan Perseroan; atau menjadikan jaminan utang kekayaan Perseroan; yang merupakan lebih dari 50% (lima puluh persen) jumlah kekayaan bersih Perseroan dalam 1 (satu) transaksi atau lebih, baik yang berkaitan satu sama lain maupun tidak. (Pasal 102 ayat 1 UUPT)
n. Tanggung jawab memberikan kuasa tertulis sebagaimana rumusan Pasal 103 UUPT, bahwa direksi dapat memberi kuasa tertulis kepada 1 (satu) orang karyawan perseroan atau lebih atau orang lain untuk dan atas nama perseroan melakukan perbuatan hukum tertentu. o. Tanggung jawab mengajukan permohonan pailit, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 104 UUPT, sebagai berikut : 1) Direksi tidak berwenang mengajukan permohonan pailit atas Perseroan sendiri kepada pengadilan niaga sebelum memperoleh persetujuan RUPS, dengan tidak mengurangi ketentuan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. 2) Dalam hal kepailitan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terjadi karena kesalahan atau kelalaian Direksi dan harta pailit tidak cukup untuk membayar seluruh kewajiban Perseroan dalam kepailitan tersebut, setiap anggota Direksi secara tanggung renteng bertanggung jawab atas seluruh kewajiban yang tidak terlunasi dari harta pailit tersebut. 3) Tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berlaku juga bagi anggota Direksi yang salah atau lalai yang pernah menjabat sebagai anggota Direksi dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sebelum putusan pernyataan pailit diucapkan. 4) Anggota Direksi tidak bertanggungjawab atas kepailitan Perseroan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) apabila dapat membuktikan : a) Kepailitan tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaiannya; b) telah melakukan pengurusan dengan itikad baik, kehati-hatian, dan penuh tanggung jawab untuk kepentingan Perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan; c) tidak mempunyai benturan kepentingan baik langsung maupun tidak langsung atas tindakan pengurusan yang dilakukan; dan d) telah mengambil tindakan untuk mencegah terjadinya kepailitan. 5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) berlaku juga bagi Direksi dari Perseroan yang dinyatakan pailit berdasarkan gugatan pihak ketiga. p. Tanggung jawab bertindak sebagai likuidator sebagaimana rumusan Pasal 142 ayat (3) UUPT, bahwa dalam hal tidak ditunjuk likuidator, maka direksi bertindak selaku likuidator. 3. Tanggung Jawab Pribadi Terhadap Direksi Pada dasarnya pertanggung jawaban direksi adalah terbatas setelah dilakukan pendaftaran dan pengumuman Akta Pendirian yang telah disahkan Menteri Kehakiman. Akan tetapi, dalam keadaan tertentu tanggung jawab terbatas ini dapat menjadi tidak terbatas atau menjadi tanggung jawab pribadi ataupun tanggung renteng sesama anggota Direksi. Hal ini terutama berhubungan dengan konsep perring the corporate veil dan ultra vires. Doktrin piercing the corporate veil dapat diterapkan yang menyebabkan pihak direksi bertanggungjawab secara pribadi atas kegiatan yang dilakukan Perseroan Terbatas, dalam hal-hal sebagai berikut : a. Direksi tidak melaksanakan fiduciary duty kepada perseroan (Munir Fuady, 2002: 4-5). Prinsip fiduciary duty bagi direksi ini bersumber dari Pasal 97 ayat (2) UUPT Nomor 40 Tahun 2007, yang menyatakan: “Pengurusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib dilaksanakan setiap anggota Direksi dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab” Apabila direksi bersalah (sengaja) atau lalai dalam menjalankan kewajiban fiduciary duty tersebut, yakni tidak dengan itikad baik dan bertanggung jawab menjalankan tugas untuk
kepentingan perseroannya, maka berdasarkan Pasal 97 ayat (3) UUPT, pihak direksi bertanggungjawab secara pribadi (Pasal 97 ayat (3) UUPT Nomor 40 Tahun 2007). UUPT bahkan mengatur lebih jauh, dengan memberikan kewenangan gugatan doktrin piercing the corporate veil bukan hanya kepada pihak Ketiga yang dirugikan oleh perseroan, melainkan juga kepada pemegang saham perseroan yang dalam hal ini pemegang saham tersebut bertindak untuk dan atas nama perseroan, dalam hal ini pemegang saham minimal 10% dari seluruh saham dengan suara yang sah, sebagaimana digariskan Pasal 97 ayat (6) UU. Nomor 40 Tahun 2007. b. Dokumen perhitungan tahunan tidak benar; Direksi mempunyai kewajiban untuk menyediakan perhitungan tahunan perseroan yang benar. Apabila laporan tahunan tersebut ternyata tidak benar (dengan pembuktian biasa), maka direksi bersama dengan komisaris bertanggungjawab secara renteng, sebagaimana ketentuan Pasal 69 ayat (3) UUPT Nomor 40 Tahun 2007. c. Direksi bersalah dan menyebabkan perusahaan pailit; Apabila suatu perseroan pailit, maka tidak sekonyong-konyong (tidak demi hukum) pihak direksi bertanggungjawab secara pribadi. Agar pihak anggota direksi dapat dimintakan tangung jawab pribadi ketika suatu perusahaan pailit, haruslah memenuhi syarat sebagai berikut: 1) Terdapatnya unsur kesalahan (kesengajaan) atau kelalaian dari direksi. 2) Untuk membayar hutang dan ongkos-ongkos kepailitan, haruslah diambil terlebih dahulu dari asset-aset perseroan. Bila asset perseroan tidak mencukupi, barulah diambil asset direksi pribadi. 3) Diberlakukan pembuktian terbalik (omkering van bewijslast) bagi anggota direksi yang dapat membuktikan bahwa kepailitan perseroan bukan karena kesalahan (kesengajaan) atau kelalaiannya. d. Permodalan yang tidak layak; Permodalan yang tidak layak, misalnya modal terlalu kecil padahal bisnis perusahaan adalah besar. Dalam hal ini, selain pemegang saham yang berkewajiban menyetor saham yang harus bertanggungjawab, pihak direksi juga bertanggungjawab secara hukum, mengingat direksi sebagai pihak eksekutif dari perseroan dapat menimbang-nimbang kegiatan mana yang cocok untuk perseroan.
e. Perseroan beroperasi secara tidak layak; Apabila suatu perseroan beroperasi secara tidak layak, sehingga merugikan pihak ketiga atau bahkan merugikan pihak pemegang saham, maka pihak direksi sebagai pihak eksekutif perseroan dapat dimintakan bertanggung jawab secara pribadi, kecuali apabila direksi telah menjalankan tugasnya dengan benar sesuai prinsip-prinsip bisnis yang layak (business judgement rule) (Munir Fuady, 2002: 197-206). Sementara tanggung jawab pribadi direksi berdasarkan konsep ultra vires mengandung makna bahwa perseroan tidak dapat melakukan kegiatan d luar dari kekuasaan perseroan. Kekuasaan perseroan tersebut diperinci dalam anggaran dasarnya. Semula ketentuan tentang ultra vires ini di banyak negara diberlakukan dengan tegas, yakni transaksi yang demikian
dianggap batal demi hukum, dan direktur yang melakukan tindakan tersebut akan bertanggungjawab secara pribadi. Tetapi lama kelamaan ketentuan tentang ultra vires menjadi semakin relaks, baik terus menambah panjangnya list dari perkecualiannya, ataupun dengan memperluas penulisan ruang lingkup dari tujuan perseroan dalam anggaran dasar (Munir Fuady, 2002: 10-11). Chatamarrasjid Ais dalam hal ini berpendapat, bahwa perbuatan yang berada di luar kecakapan bertindak Perseroan terbatas (tidak tercakup dalam maksud dan tujuan PT) adalah perbuatan ultra vires. Pengertian ultra vires mengandung arti bahwa perbuatan tertentu, yang apabila dilakukan manusia adalah sah, ternyata berada di luar kecakapan bertindak PT sebagaimana diatur dalam Anggaran Dasar, dan atau berada di luar ruang lingkup maksud dan tujuannya. C. KESIMPULAN Perseroan Terbatas merupakan suatu badan usaha yang sempurna baik sebagai kesatuan ekonomi maupun sebagai kesatuan hukum. PT sebagai kesatuan ekonomi ditata oleh pranata hukum agar dapat berfungsi dan bertanggungjawab secara sempurna pula. Sebaliknya, PT sebagai kesatuan hukum mempunyai kedudukan sebagai Badan Hukum yaitu sebagai subyek yang mampu melakukan perbuatan hukum, sebagai pendukung hak dan kewajiban di dalam lalu lintas hukum. Direksi sebagai organ PT merupakan pilar utama yang menjamin kelangsungan usaha perseroan. Keberadaan direksi menjadikan PT sebagai person yang hidup. Tanpa Direksi, PT hanyalah sekedar person yang lumpuh. Direksi tidak pernah ada kalau tidak pernah dibentuk PT. Karena itu PT ada sebab adanya direksi. Karena itu hubungan direksi dengan PT dikenal dengan fiduciary relationship yakni suatu relasi yang didasarkan kepada suatu kepercayaan, suatu yang amanah. Dalam kaitannya dengan fiduciary relations, tanggung jawab direksi dalam mengurus perseroan dapat diklasifikasikan adanya : (1) tanggung jawab direksi berdasarkan kepercayaan, amanah atau fiduciary duties, (2) tanggung jawab direksi berdasarkan kecakapan, keahlian, kehati-hatian dan ketekunan atau duties of skill, (3) tanggung jawab Direksi berdasarkan undangundang atau statutory duties. Pada dasarnya prinsip tanggung jawab direksi terssebut adalah meletakan amanah pada direksi untuk melaksanakan pengurusan perseroan, dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab, untuk kepentingan dan tujuan perseroan, serta mewakili perseoan baik di dalam maupun di luar pengadilan. Pelanggaran terhadap ketentuan tersebut mengakibatkan direksi harus bertanggungjawab secara pribadi. Tanggung jawab pribadi direksi dimungkinkan terjadi dalam hubungannya dengan doktrin piercing the corporate veil dan ultra vires. D. DAFTAR PUSTAKA Ais, Chatamarrasjid; Menyingkap Tabir Perseroan (Piercing The Corporate Veil) Kapita Selekta Hukum Perusahaan, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000 Bastaman, Syarif; Tanggung Jawab Direksi, Kornisaris PT dan Beberapa Prinsip di Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995, Makalah disampaikan di Hotel Ibis, Jakarta, 19 Desember 1996 Fuady, Munir; Hukum Perusahaan Dalam Paradigma Hukum Bisnis, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2002
_____________; Doktrin-Doktrin Modern Dalam Corporate Law dun Eksistensinya Dalam Hukum Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2002 Indonesia, Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Prasetya, Rudhi; Kedudukan Mandiri Perseroan Terbatas Disertai Dengan Ulasan Menurut UU Nomor 1 Tahun 1995 Tentang Perseroan Terbatas; Bandung: Citra Aditya Bakti, 1995 Rusli, Hardijan; Perseroan Terbatas Dan Aspek Hukumnya; Jakarta, Pustaka Sinar Harapan, 1997 Sjahdeini, Sutan Remy; Tanggung Jawab Pribadi Direksi dan Komisaris, Jurnal Hukum Bisnis, Volume 14, Juli 2001 Widjaya, I.G.Rai; Hukum Perusahaan, Jakarta; Megapoin, Divisi dari Kesaint Blanc, 2002 Wilamarta Misahardi; Hak Pemegang Saham Minoritas Dalam Rangka Good Corporate Governance, Jakarta : Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2002