PRINSIP BUSINESS JUDGMENT RULES TERHADAP UNSUR MELAWAN HUKUM PADA TINDAK PIDANA KORUPSI (STUDI KASUS: PUTUSAN 36/ Pid .B/TPK/2013/PN.JKT.PST DENGAN TERDAKWA HOTASI NABABAN MANTAN DIREKTUR PT MERPATI NUSANTARA AIRLINES) Hana Pertiwi & ChudrySitompul1 FakultasHukumUniversitas Indonesia
ABSTRAK Banyak sekali kasus mengenai tindak pidana korupsi yang berkaitan dengan pengambilan keputusan direksi dalam persero. Perbuatan direksi dalam pengelolaan persero seringkali yang dianggap menimbulkan kerugian tersebut dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi. Padahal jika dilihat dalam Undang-Undang No. 19 Tahun 2003 tentang BUMN, pengelolaan persero harus berdasarkan prinsip-prinsip perusahaan yang terdapat pada Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Penelitian ini membahas bagaimana pengaturan dalam penentuan kerugian Negara dalam tindak pidana korupsi serta bagaimana pengambilan keputusan dalam perjanjian perdata yang dilakukan oleh direksi persero dilindungi oleh prinsip Business Judgment Rules. Di akhir penelitian, peneliti berkesimpulan bahwa pengaturan kerugian Negara telah diatur dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi namun belum jelas mengatur mengenai kerugian Negara sehingga harus merujuk pada pengertian kerugian Negara pada Undang-Undang tentang Perbendaharaan Negara. Pada setiap pengambilan keputusan direksi persero yang telah berdasarkan prinsip kehati-hatian tidak dapat dikategorikan sebagai perbuatan tindak pidana korupsi karena sudah dilindungi oleh prinsip Business Judgment Rules. Kata Kunci: Tindak pidana koruspi, business judgment rules, unsur melawan hukum ABSTRACT There are so many cases of corruption related to the decision-making board of directors in state owned. Any losses incurred in the management of state-owned is often considered as a disadvantage State, and the acts of directors are considered to cause harm is categorized as a crime of corruption. In fact, when viewed in Law No. 19 of 2003 on state-owned enterprises, state-owned management must be based on firm principles contained in Law No. 40 of 2007 on Limited Liability Companies. So that the decision-making board of directors who have been in accordance with the procedures and the precautionary principle, the principle can be protected by The Business Judgment Rule, adopted in Article 97 paragraph (5) of Law No. 40 1
Hana Pertiwi adalah mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia yang telah mempertahankan skripsinya di hadapan sidang penguji. Chudry Sitompul adalah Dosen Fakultas Hukum UI yang memberikan bimbingan kepada Hana Pertiwi dalam menulis skripsinya yang berjudul “Prinsip Business Judgment Rules terhadap Unsur Melawan Hukum pada Tindak Pidana Korupsi (Studi Kasus: Putusan 36/ Pid .B/TPK/2013/PN.JKT.PST dengan Terdakwa Hotasi Nababan Mantan Direktur PT Merpati Nusantara Airlines)”. Tulisan ini merupakan ringkasan dari skripsi yang dimaksud
1
Prinsip Bussines ..., Hana Pertiwi, FH UI, 2013
of 2007. This study discusses how regulation in the State in determining the loss of corruption and how decision-making in a civil agreement made by the directors of stateowned protected by the Business Judgment Rules principle. At the end of the study, the researchers concluded that the loss of state regulation in the Law on Corruption Eradication has not been clearly set the losses that the State should refer to the sense of loss the State in the Law on the State Treasury. At each decision-making limited company directors who have been based on the principle of prudence can not be categorized as a criminal act of corruption because it is protected by the Business Judgment Rules principle Keywords: Corupption, business judgment rules, against unlawful Element A. PENDAHULUAN Menurut Prof. Hikmahanto Juwana,2 sudah cukup lama diwacanakan apakah uang BUMN, termasuk badan hukum yang didirikan negara, seperti Lembaga Penjamin Simpanan atau universitas berstatus badan hukum, merupakan uang negara. Bagi aparat penegak hukum, kerugian keuangan badan usaha milik negara adalah kerugian keuangan negara. Karena itu, mereka kerap mendakwa pengurus BUMN dengan UU Tindak Pidana Korupsi bila terjadi kerugian di BUMN. Aparat penegak hukum kerap menyidik, menuntut, bahkan memvonis bersalah pengurus BUMN karena adanya kerugian negara tanpa melihat dan membuktikan unsur "niat jahat". Padahal, niat jahat (mens rea) dan perbuatan jahat (actus reus) untuk memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi sangat penting dalam menentukan proses pidana. Memperkaya orang lain atau korporasi pun tak cukup sekadar "harga yang menguntungkan". Permasalahan yang timbul disini adalah Kalangan BUMN berpendapat bahwa pada saat kekayaan negara telah dipisahkan, maka kekayaan tersebut bukan lagi masuk di ranah hukum publik tetapi masuk di ranah hukum privat sehingga kekayaan tersebut bukan lagi menjadi kekayaan negara melainkan kekayaan perseroan. Namun kalangan Kejaksaan, berpendapat bahwa kekayaan negara yang dipisahkan kedalam suatu perseroan tetap merupakan kekayaan negara, hal ini mendasarkan pada Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi yang menyatakan bahwa keuangan negara termasuk juga uang yang dipisahkan di BUMN. Ketua Komisi Hukum Nasional, J.E Sahetapy mengatakan pihak yang pro perluasan definisi keuangan negara akan berpegang pada ketentuan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi. Apabila terjadi kerugian pada BUMN dan Persero, penegak hukum dan aparat negara menggunakan ketentuan pasal 2 huruf g Undang-Undang Keuangan Negara dan penjelasan umum Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi. Esensinya, penyertaan negara 2
Prof. Hikmahanto Juwana, Kompas tanggal 7 Juni 2013
2
Prinsip Bussines ..., Hana Pertiwi, FH UI, 2013
yang dipisahkan merupakan kekayaan negara yang menurut sifatnya berada dalam ranah hukum publik. Karenanya, apabila terjadi kerugian negara maka ketentuan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi dapat diberlakukan pada pengurus BUMN. Menurut Arifin Suryaatmadja, Ketentuan Pasal 23 Undang-Undang Dasar 1945 pasca perubahan,3 menjadi pembuka kerumitan dalam pengaturan keuangan negara karena semua keuangan dalam APBD dan BUMN Persero serta BUMD disebut sebagai keuangan negara, padahal sangat jelas dari sudut sistem maupun ketentuan peraturan perundang-undangan, pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan tersebut berbeda dengan APBN sebagai keuangan negara. Dengan demikian, secara tegas dari segi yuridis dan fungsinya sangat berbeda antara keuangan negara, keuangan daerah maupun keuangan BUMN Persero dan BUMD.4 Kesalahan dalam pengambilan keputusan ataupun akibat resiko bisnis yang menyebabkan perusahaan BUMN Persero mengalami kerugian termasuk kategori kerugian keuangan negara. Permasalahan ini mengakibatkan sebagian direksi BUMN Persero takut mengambil keputusan bisnis karena mereka selalu dihadapkan kepada ancaman resiko kerugian keuangan negara dan ancaman tindak pidana korupsi.5 a. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang tersebut, ada beberapa rumusan masalah yang akan dijawab dalam penelitian ini, yaitu: 1. Bagaimanakah pengaturan mengenai penentuan kerugian negara dalam Tindak Pidana Korupsi? 2. Apakah sengketa perjanjian kerjasama dengan pihak ketiga dapat dikualifikasi sebagai kerugian Negara? b. Tujuan Penelitian Berdasarkan apa yang telah diuraikan dalam latar belakang masalah dan pkok permasalahan, penelitian ini mempunyai tujuan, yaitu: 3
Arifin P. Soeriaatmadja, “Hukum Keuangan Negara Pasca 60 Tahun Indonesia Merdeka: Masalah dan Prospeknya bagi Indonesia Inc,” , diakses tanggal 2 Mei 2013 4
I.G. Rai Widjaya, Hukum Perusahaan, cet keenam, (Kesaint Blanc: Jakarta, 2006), hal. 104
5
Suhadibroto, Instrumen Perdata Untuk Mengembalikan Kerugian Negara Dalam Korupsi, (Newsletter KHN: Edisi Maret-April, 2004), hal 7
3
Prinsip Bussines ..., Hana Pertiwi, FH UI, 2013
1. Untuk mengetahui penentuan kerugian negara dalam Tindak Pidana Korupsi menurut Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. 2. Untuk mengetahui siapa saja subjek hukum tindak pidana korupsi dan ketentuan sanksi pidana terhadap tindak pidana korupsi, pertanggungjawaban pidana dalam Tindak Pidana Korupsi serta bagaimana jenis dan tipologi Tindak Pidana Korupsi dalam Undang-Undang No 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001. 3. Untuk mengetahui bagaimana pengambilan keputusan dalam suatu persero yang menimbulkan kerugian dapat dikategorikan memenuhi unsur melawan hukum dalam tindak pidana korupsi. 4. Untuk mengetahui bagaimana penerapan Business Judgment Rule dalam melindungi direksi persero terhadap pengambilan keputusan bisnis yang dialmbilnya dalam rangka pengelolaan persero. 5. Untuk mengetahui analisis penerapan prinsip Business Judgment Rules dalam kasus Tindak Pidana Korupsi Mantan Direktur PT. Merpati Nusantara Airlines.
B. TINJAUAN TEORITIS a. Bumn Sebagai Persero Persero atau Perusahaan Perseroan adalah salah satu bentuk Badan Usaha Milik Negara (BUMN), disamping bentuk Perum.6 Bentuk Persero dirancang seperti layaknya sebuah Perseroan Terbatas (PT). Pengaturan lama yang menunjukkan hal itu adalah Pasal 2 UU No. 9 Tahun 1969 yang menentukan bahwa Persero adalah perusahaan dengan bentuk Perseroan Terbatas yang diatur Kitab Undang-undang Hukum Dagang (Wetboek van Koophandel). Pengertian saat ini menurut Pasal 1 angka 2 UU No. 19 Tahun 2003 tentang BUMN (UU BUMN), Persero didefinisikan sebagai Badan Usaha Milik Negara yang 6
Undang-Undang No. 19 Tahun 2003 tentang BUMN , Pasal 9, Berdasar pasal tersebut diatur bahwa BUMN terdiri dari Persero dan Perum. Bentuk Persero dikenal pertama kali ketika diterbitkan Inpres No. 17 Tahun 1967 tentang Pengarahan dan Penyederhanaan Persahaan Negara ke dalam Tiga Bentuk Usaha Negara. Sebelum diterbitkannya Inpres 17 Tahun 1967 dan UU No. 9 Tahun 1969 tentang Bentuk-bentuk Usaha Negara, hanya dikenal satu bentuk usaha Negara yaitu Perusahaan Negara. Untuk efisiensi melalui Inpres 17 Tahun 1967 semua PN diubah bentuknya ke dalam tiga bentuk badan usaha Negara yaitu Perjan, Perum, dan Persero.
4
Prinsip Bussines ..., Hana Pertiwi, FH UI, 2013
berbentuk perseroan terbatas dengan modal minimal 51% (lima puluh satu persen) dimiliki Negara dengan tujuan mengejar keuntungan.7 Modal ini adalah minimal modal, dengan demikian semua perusahaan berbentuk PT adalah Persero apabila sahamnya antara 51% sampai dengan 100% dimiliki Negara. Dipakainya bentuk Persero sebagai usaha negara dengan konstruksi hukum sama dengan PT, tentu mempunyai alasan-alasan tertentu. Karakter yang menarik pada PT adalah statusnya sebagai badan hukum yang mempunyai kekayaan terpisah atau separate legal entity dan modal yang terbagi atas saham-saham (shares). Konsekuensi hukum dari separate legal entity adalah agar Persero dapat memiliki kekayaan dan bertindak sebagai subyek hukum atau rechtpersoon, membuat perjanjian, menuntut dan dituntut, melaksanakan hak-hak dan kewajiban yang diberikan oleh negara atau dalam istilah Chidir Ali agar mempunyai rechtsbevoegdheid.
Terlepasnya Persero dari kekuasaan negara, mempunyai arti bahwa
segala akibat dan hutang yang timbul dari kegiatan Persero sebagai subyek hukum harus ditanggung oleh Persero sendiri. Tagihan pada Persero tidak dapat dituntut kepada harta kekayaan pribadi pengurus maupun pemegang sahamnya, meskipun seandainya sahamsaham dikuasai oleh satu orang saja.8 Hal ini penting untuk memisahkan harta Negara dari harta Persero, yang mempunyai budgeting dan accountant procedures sendiri, sehingga pihak ketiga hanya dapat menuntut sampai batas harta Persero, dan tidak dapat menggugat atau menagih pada Negara. Dalam perkembangannya banyak
masalah-masalah hukum yang timbul pada
kegiatan Persero. Asumsi untuk ini adalah akibat adanya pengaturan-pengaturan yang tidak berlaku secara konsisten atau tidak sinkron. Akibat penerapan yang tidak konsisten dan ketidaksinkronan ini menimbulkan pertentangan-pertentangan kaidah hukum (rechtsnorm) antara hukum privat dan hukum publik. Pertentangan-pertentangan yang terus menerus tentu berakibat mengaburkan batas-batas antara hukum publik dan hukum privat, yang pada akhirnya berpengaruh pada jaminan kepastian hukum (legal certainty, rechtszekerheid). Masalah-masalah hukum ini sangat penting untuk dikaji, terutama pada pertentangan kaidah terkait Persero dalam kedudukannya sebagai PT (privaatrechtelijk rehtspersoon) yang berada dalam lingkup hukum privat, dengan penerapan hukum atau penegakan hukum terkait kepentingan-kepentingan pemerintah yang berada dalam lingkup hukum publik. 7 8
Ibid, Pasal 1 Angka 2 Rudhy Prasetya, Op.Cit, hal. 50-51.
5
Prinsip Bussines ..., Hana Pertiwi, FH UI, 2013
b. Perusahaan Negara dan BUMN Pengertian kekayaan Negara yang dipisahkan yang tercantum dalam Penjelasan Pasal 4 ayat (1) UU BUMN tidak sinkron dengan cakupan pengaturan kekayaan yang dipisahkan dalam UU Keuangan Negara yang tercantum dalam Pasal 2 huruf (g). “Kekayaan yang dipisahkan” pada pengaturan ini dikaitkan dengan Perusahaan Negara. Padahal istilah Perusahaan Negara setelah UU BUMN, tidak dipergunakan lagi.9 Keluasan konsep juga terbukti pada rumusan Perusahaan Negara dalam UU Keuangan Negara. Pasal 1 angka (5) UU Keuangan Negara menentukan bahwa: “Perusahaan Negara adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian modalnya dimiliki oleh Pemerintah Pusat”.10 Seperti diketahui rumusan ini adalah definisi lama yang mengacu pada UU No. 19 tahun 1960. Keuntungan pemakaian definisi ini adalah dapat dipakai untuk semua bentuk usaha Negara, BUMN, termasuk PT-PT, yayasan-yayasan atau badan-badan usaha lain yang menggunakan uang Negara. Pengertian “kekayaan yang dipisahkan” pada konsep keuangan Negara, yang dikaitkan pada Perusahaan Negara, menekankan pada “kekayaan Negara yang dipisahkan” sebagai bentuk investasi pemerintah. Hal ini sebenarnya sejalan dengan konsep “kekayaan Negara yang dipisahkan” pada UU BUMN, namun penggunaan kata yang masih menggunakan “Perusahaan Negara” tidak sinkron dengan usaha penyatuan istilah usaha Negara menjadi BUMN. Kata “Perusahaan Negara” adalah kata yang telah diusahakan dihapus dalam konsep hukum BUMN, dengan tujuan bahwa bentuk BUMN hanyalah Perum dan Persero. Penggunaannya kembali, mengakibatkan dua pengertian usaha Negara yang berbeda. Berdasarkan pada Pasal 1 angka (5) UU Keuangan Negara dapat dikatakan bahwa dalam pengertian Perusahaan Negara tercakup pengertian BUMN yaitu Persero dan Perum.11 Berdasarkan fakta-fakta hukum pada pengaturan di atas nampak bahwa konsep pembedaan bentuk-bentuk usaha Negara yang sudah dimulai sejak tahun 1969 tidak diteruskan oleh UU Keuangan Negara. Oleh karena itu konsep kekhususan BUMN terkait “penyertaan” menjadi kabur. Pengertian Perusahaan Negara yang dipakai UU Keuangan Negara adalah pengertian UU No. 19 Tahun 1960. Perusahaan Negara berdasar UU No. 19 9
Ibid, Pasal 2 huruf g
10
Indonesia (e), Op. Cit, Pasal 1 angka 5
11
Ibid
6
Prinsip Bussines ..., Hana Pertiwi, FH UI, 2013
Tahun 1960 bertujuan untuk satu bentuk usaha Negara. Hal ini merupakan upaya sinkronisasi dan efisiensi berbagai bentuk usaha Negara saat itu. Pengertian lama yang dipakai oleh UU No. 19 Tahun 1960 bernuansa politik “ekonomi terpimpin”. Hal ini bisa saja terjadi karena UU Keuangan Negara adalah pengganti dari Indische Comptabiliteitswet (ICW) jo. UU No. 9 Tahun 1968; Indische Bedrijvenwet (IBW); dan Reglement voor het Administratief Beheer (RAB), yang pada saat itu dipakai sebagai dasar pengelolaan Perusahaan Negara (PN) yang didirikan berdasar UU No. 19 Tahun 1960. c. Kerugian Pemegang Saham dan Kerugian Negara Kedudukan Negara dalam Persero adalah sebagai pemegang saham sejajar dengan pemegang saham lainnya bila ada. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 14 ayat (1) UU BUMN. Dalam hukum perseroan, pemegang saham akan menderita kerugian apabila tidak menerima dividen atau harga saham turun. Tidak diterimanya deviden atau penurunan harga saham yang terjadi karena krisis ekonomi dapat dikatakan merugikan Negara. Hal ini adalah konsekuensi wajar yang harus ditanggung Negara sebagai pelaku bisnis. Bentuk PT merupakan badan usaha yang banyak menjadi pilihan karena mudahnya diketahui risiko yang akan ditanggung oleh pemegang saham. Risiko yang akan ditanggung pemegang saham apabila Persero merugi hanya sebatas saham yang ditanamkan.12 Tidak diterimanya dividen dan kemungkinan penurunan harga saham seharusnya juga merupakan risiko yang telah diperhitungkan pemegang saham pada saat membeli saham. Konstruksi kepemilikan yang demikian sebenarnya adalah konstruksi yang adil atau fair. Melalui lembaga saham, pemegang saham diuntungkan dalam beberapa hal berikut:13 a. pemegang saham tidak perlu melakukan monitor tentang kemungkinan kerugian perseroan (financial loss) karena tanggung jawabnya telah dibatasi sampai sejumlah saham yang ditanam; b. pemegang saham dapat mengurangi risiko individual, karena kerugian akan ditanggung bersama dengan pemegang saham lain. Dengan demikian risiko kerugian pemegang saham yaitu tidak menerima dividen, hilangnya capital gain (margin), dan hilangnya kekayaan Persero baik sebagian maupun 12
Indonesia (d), Op. Cit, Pasal 3 ayat (1)
13
Prawirohamidjojo, Soetojo dan Marthelena Pohan, Op.Cit, hal 9
7
Prinsip Bussines ..., Hana Pertiwi, FH UI, 2013
seluruhnya pada saat pembubaran PT, harus telah diketahui atau paling tidak diperhitungkan oleh pemegang saham, dalam hal ini Negara. Untuk itu kajian pentingnya pendirian sebuah Persero oleh Menteri Keuangan, Menteri Teknis dan Menneg BUMN, pada tahapan pendirian sangat menentukan.14 Dalam konsep hukum privat, risiko kerugian pemegang saham disebut keuntungan yang seharusnya diperoleh. Jumlah keuntungan yang seharusnya diperoleh tidak dapat dipastikan, dan bentuknya tidak nyata. Untuk kerugian yang belum pasti, perhitungan ekonomis hanya bisa dipakai untuk kerugian karena pelanggaran hak (onrechtmatigedaad dalam arti sempit). Demikian pula dengan kerugian Negara akibat terjadinya penurunan harga saham. Upaya hukum yang dapat dilakukan apabila penurunan harga saham terjadi karena perbuatan melawan hukum atau kelalaian Direksi dan atau Komisaris, adalah berdasar Pasal 1365 BW (onrechtmatigedaad). Perlindungan hukum pemegang saham atas kemungkinan kerugian pada usahanya, dalam hukum perseroan diatur Pasal 97 ayat (6) dan Pasal 114 ayat (6) UUPT bahwa: “Atas nama Perseroan, pemegang saham yang mewakili paling sedikit 1/10 (satu persepuluh) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara dapat mengajukan gugatan melalui pengadilan negeri terhadap anggota Direksi dan atau Komisaris yang karena kesalahan atau kelalaiannya menimbulkan kerugian pada Perseroan”. C. METODE PENELITIAN Berdasarkan ilmu yang dipakai, penelitian ini merupakan penelitian mono-disipliner, dimana pemilihan metode penelitian didasarkan pada satu disiplin ilmu saja15, yaitu ilmu hukum. Meskipun peneliti juga akan melakukan riset terhadap ilmu pengetahuan lain yaitu ilmu sosiologi, pokok permasalahan yang harus dijawab dalam penelitian ini pada intinya adalah permasalahan dari segi hukum saja, sehingga penelitian ini tidak digolongkan sebagai penelitian inter-disipliner. Selain itu penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif atau penelitian kepustakaan yang dilakukan dengan cara meneliti bahan kepustakaan yang dilakukan dengan cara meneliti bahan kepustakaan atau data sekunder, seperti bahanbahan yang berasal dari buku, peraturan perundangan yang berlaku, artikel, internet dan 14 15
Peraturan Pemerintah No. 44 Tahun 2005, Pasal 10 Sri Mamudji, et al., Metode Penelitian dan Penulisan Hukum, ed.1, (Jakarta: Badan Penerbit
Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005), hal. 5.
8
Prinsip Bussines ..., Hana Pertiwi, FH UI, 2013
bahan tertulis lainnya. Penelitian ini menggunakan dua pendekatan, yaitu pendekatan kasus (case approach),
dan pendekatan undang-undang atau peraturan (statute approach).
Pendekatan kasus (case approach) adalah pendekatan yang dilakukan dengan cara melakukan telaah terhadap kasus-kasus yang berkaitan dengan isu yang di hadapi yang telah menjadi putusan pengadilan.16 Pendekatan undang-undang (statute approach) adalah pendekatan yang dilakukan dengan cara menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkutan paut dengan isu hukum yang sedang ditangani.17 Sedangkan berdasarkan tempat diperolehnya data, penelitian ini menggunakan data sekunder yaitu data yang diperoleh dari kepustakaan.17 Data sekunder yang digunakan terdiri dari bahan hukum primer, sekunder, dan tersier sebagai berikut.18 a. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat. Bahan yang digunakan yaitu peraturan perundang-undangan berupa Undang-Undang No 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang- Undang No. 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Undang-Undang No 19 tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara, Undang-Undang No. 1 Tahun 1995 jo. Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan yang menjelaskan bahan hukum primer. Bahan hukum sekunder yang akan digunakan oleh peneliti diantaranya adalah berupa buku-buku bertemakan Tindak Pidana Korupsi, Perseroan Terbatas, Keuangan Negara, BUMN, dan juga literatur berkenaan dengan doktrin mengenai kerugian Negara dalam Tindak Pidana Korupsi serta literatur terkait kasus-kasus kerugian Negara dalam Tindak Pidana Korupsi. c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan-bahan yang memberi keterangan bahan hukum primer dan sekunder. Salah satunya yang digunakan oleh peneliti adalah Kamus Hukum, yang dipergunakan untuk mencari makna istilah-istilah hukum yang ditemukan oleh peneliti dalam penelitian.18
16
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006), hlm.
17
Ibid., hal. 93.
18
Ibid . hal 118-119.
94.
9
Prinsip Bussines ..., Hana Pertiwi, FH UI, 2013
D. PEMBAHASAN 1. Kasus Posisi Berdasarkan pada perjanjian sewa dua pesawat Boeing 737-400 dan Boeing 737-500 antara PT. Merpati Airlines dengan Thirdstone Aircraft Leasing Group (TALG). Keduanya sepakat atas Lease of Aircraft Summary of Term (LASOT) untuk pengadaan dua pesawat tersebut.Untuk pengadaannya, LASOT mewajibkan merpati menempatkan security deposit sebesar US$ 500.000 untuk masing-masing pesawat yang bersifat refundable.Untuk mencegah resiko, Merpati meminta uang tersebut tidak langsung diserahkan ke TALG, tapi kepada pihak independen sebagai penjaga deposit (custodian). TALG menyetujui dan mengajukan Hume and Associates, kantor hukum (law office) yang dipimpin Ted Hume dan Jon C Cooper untuk menjadi kustodian. Namun, TALG ingkar janji dalam pengadaan dua pesawat Boeing 737 yang seharusnya dikirim pada tanggal 4 Februari 2007 dan 29 Maret 2007 untuk Badan Usaha Milik Negara (BUMN) itu. Merpati menggugat pengelola TALG, Alan messner, sekaligus John C. Cooper, selaku custodian yang mengakibatkan uang Merpati US$ 1 juta melayang, ke Federal Court Washington DC. Hakim Richard J. Leon dalam putusannya di Pengadilan Distrik Columbia pada tanggal 8 Juli 2007 telah mengabulkan gugatan Merpati terhadap TALG dan menyatakan setuju dengan perhitungan kerugian yang disampaikan oleh Penggugat, dalam hal ini Merpati. Menurut Hakim Richard J. Leon, Tergugat TALG telah ingkar janji dalam pengadaan dua pesawat komersial yang menurut perjanjiannya harus diserahkan pada tanggal 4 Februari 2007 da 29 Maret 2007. Pengadilan memerintahkan TALG dan Alan Messner, sebagai pemilik TALG, untuk membayar refundable security deposit sebesar US$ 1.000.000 (Satu juta dollar Amerika Serikat) berikut bunganya kepada Merpati, yang pada kenyataannya uang tersebut baru dikembalikan sebesar US$ 4.793. Di Indonesia, organisasi yang mengatasnamakan Solidaritas Pegawai Merpati, melaporkan perkara ini ke berbagai instansi penegak hukum: Kejaksaan Agung, Markas Besar Kepolisian, dan Komisi Pemeberantasan Korupsi (KPK). Kasus ini kemudian diperiksa Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Mei 2007) dan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Intelijen (Mei 2008).Semua tidak meneruskan pemeriksaan lebih lanjut karena tidak ditemukan unsur pidana.Demikian pula pendapat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).Sebelumnya Badan Reserse dan Kriminal (Bareskrim) Mabes Polri menyelidiki kasus ini sejak Mei 2007. Dan lima bulan kemudian, pada 27 September 2007, Direktur III Pidana Korupsi & WCC mengeluarkan surat 10
Prinsip Bussines ..., Hana Pertiwi, FH UI, 2013
pemberitahuan yang menyatakan tidak ditemukan fakta perbuatan Tindak Pidana Korupsi dalam perkara tersebut. Pada 4 Juli 2011, Kejaksaan Agung kembali memeriksa Hotasi Nababan. Setelah diperiksa kembali, pada tanggal 16 Agustus 2011 Hotasi Nababan dinyatakan sebagai tersangka dengan tuduhan melakukan korupsi yang mengakibatkan kerugian kepada negara. Direktur Utama PT. MNA (Merpati Nusantara Airlines) didakwa dengan dakwaan berlapis: dakwaan primair : Pasal 2 ayat (1) Jo.Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 ayat (1) ke 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dakwaan subsidair : Pasal 3 jo. Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsisebagaimana telah diubah dengan Undangundang Nomor 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 ayat (1) ke 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Dengan tuntutan 4 Tahun penjara dan denda Rp. 500.000.000 (Lima ratus juta rupiah) subsidair 6 bulan kurungan pada sidang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta pada tanggal 29 Januari 2013. Direktur PT MNA dianggap bersalah telah menguntungkan diri sendiri dan orang lain atau korporasi, dalam pengadaan pesawat Boeing 737 seri 400 dan 500. 2. Analisis Hukum 2a. Analisis Pengaturan mengenai Penentuan Kerugian Kegara dalam Tindak Pidana Korupsi Berdasarkan pengertian kerugian Negara yang diatur Pasal 1 angka 22 UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, Terdapat tiga syarat yang harus dipenuhi yaitu: 1. adanya kekurangan baik uang, surat berharga, maupun barang; 2. jumlah yang pasti dan nyata; 3. akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai. Berdasarkan aturan ini, semua bentuk kekurangan atau pengurangan jumlah pasti dan terbukti dilakukan akibat perbuatan melawan hukum ataupun karena kelalaian, dapat dinyatakan sebagai kerugian Negara. Pada sisi lain Pasal 2 ayat (1) UU PTPK, menentukan tentang tindakan-tindakan yang mengakibatkan kerugian pada keuangan Negara dan atau perekonomian Negara. Merugikan perekonomian Negara yaitu merugikan perekonomian
11
Prinsip Bussines ..., Hana Pertiwi, FH UI, 2013
yang disusun sebagai usaha bersama, yang bertujuan memberikan manfaat, kemakmuran, dan kesejahteraan masyarakat.19 Berdasarkan kajian ini nampaklah perbedaan rumusan UU Perbendaharaan Negara dan UU PTPK. Pada UU Perbendaharaan Negara menggunakan rumusan kerugian negara dengan tekanan kekurangan atau pengurangan jumlah, sedangkan UU PTPK berusaha mencakup apa saja tidak hanya pengurangan jumlah, tetapi cukup pada tekanan kata dapat merugikan. Selain itu pada UU Perbendaharaan Negara digunakan rumusan perbuatan melawan hukum, sedangkan UU PTPK menggunakan rumusan secara melawan hukum. Perbedaan rumusan ini menunjukkan bahwa terdapat pemakaian konsep hukum yang berbeda antara kedua undangundang tersebut. UU Perbendaharaan Negara berlatar belakang konsep hukum administrasi, sedang UU PTPK berlatar belakang konsep hukum pidana. Dalam konsep hukum pidana perbuatan pidana (Strafbaarfeit) intinya adalah feit yang wederrechttelijk atau perbuatan yang melawan hukum.20 Ukuran normatif untuk menentukan dapat dipidananya perbuatan adalah nulla poena sine praevia legi poenali yang diatur Pasal 1 ayat (1) KUHP. Jadi untuk adanya pidana (straf) harus didahului oleh kriminalisasi perbuatan dalam peraturan perundang-undangan.21 Pada sisi lain rumusan perbuatan melawan hukum dalam hukum administrasi mengadopsi onrechtmatige daad dari konsep hukum privat. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa dua konsep pengaturan kerugian Negara dan atau kerugian keuangan Negara pada UU Perbendaharaan Negara dengan UU PTPK berbeda, meskipun kerugian Negara tentu saja dapat dimasukkan dalam kategori kerugian keuangan Negara. Pada dasarnya suatu kerugian (schade) dalam hukum privat menunjuk pada arti ekonomis yang dapat dinilai dengan uang saja sudah cukup. Oleh karena itu onrechtmatigedaad meliputi: a) perbuatan yang melanggar hak orang lain; dan b) bertentangan dengan kewajiban hukum dader.22 19
Indonesia (a), Op. Cit, Pasal 2 ayat (1)
20
Mariam Darus Badrulzamman ,Op.Cit, hal.5
21
Ibid.
22
Prawirohamidjojo, Soetojo dan Marthelena Pohan, Op.Cit. hal. 3.
12
Prinsip Bussines ..., Hana Pertiwi, FH UI, 2013
Perhitungan ekonomis pada suatu kerugian berarti sangat luas. Sedangkan “merugikan keuangan Negara” dalam perumusan UU PTPK hanya menunjuk pada satu hal yaitu uang Negara yang mempunyai cakupan sangat luas. Apabila perumusan UU PTPK mengadopsi arti sempit onrechtmatigedaad bahwa perbuatan “merugikan keuangan Negara” adalah merupakan bentuk “pengurangan jumlah”, dan untuk itu masuk kategori “perbuatan yang melanggar hak orang lain”, maka tepat yang dikatakan Mariam Darus bahwa Pasal 1365 BW telah menjadi pengertian genus yang open norm. Bentuk “kekurangan” atau “pengurangan jumlah” dalam konsep UU Perbendaharaaan Negara, harus menunjuk pada jumlah yang “pasti dan nyata”. Hal ini sangat beralasan. Dalam konsep hukum privat, meskipun kerugian yang ada adalah akibat “pelanggaran suatu hak”, tetapi jumlah kerugiannya harus dapat diperhitungkan secara ekonomis dengan jumlah yang “pasti dan nyata”. Pada rumusan UU PTPK dipakai kata “dapat merugikan”, yang tentu menunjuk pada jumlah yang belum pasti karena terkait pada kata “dapat”. Untuk ini tidak dapat dijelaskan dalam konsep hukum pidana.
2b. Analisis Sengketa Perjanjian Kerjasama dengan Pihak Ketiga dapat Dikualifikasi sebagai Kerugian Negara Dalam hal ini penulis setuju dengan pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan bebas terhadap Terdakwa Hotasi Nababan. Perbuatan melawan hukum atau tidak didasarkan pada apakah pemberian Security Deposit itu tidak boleh dilakukan, bertentangan dengan undang-undang atau tidak mempunyai hak untuk memberikan Security Deposit. Jika memang biasa dalam bisnis sewa pesawat ada Security Deposit, maka terdakwa tidak melakukan perbuatan melawan hukum. Menurut pendapat Prof. Hikmahanto Juwana,23 Dalam Pasal 2 dan 3 UU PTPK tidak tercermin keharusan membuktikan adanya niat jahat. Dalam kedua pasal tersebut tidak ditemukan istilah "dengan sengaja". Kata "dengan sengaja" dalam hukum mempunyai makna harus adanya niat dan perbuatan jahat. Namun, harus dipahami dalam tindak pidana korupsi tanpa niat jahat tak mungkin ada korupsi. Meski UU PTPK tidak mencantumkan kata-kata "dengan sengaja", dalam tindak pidana korupsi harus tetap dibuktikan adanya niat jahat untuk memperkaya secara tidak sah. Jika tidak, kelalaian bahkan kerugian karena keputusan bisnis dalam BUMN akan berujung pada adanya tindak pidana korupsi. 23
Prof. Hikmahanto Juwana dalam Kompas 7 Juni 2013
13
Prinsip Bussines ..., Hana Pertiwi, FH UI, 2013
Bagian dari inti delik memperkaya orang lain agak tidak logis pada perkara ini, karena latar belakang memperkaya pihak asing tersebut tidak dapat dibuktikan adanya niat jahat (mens rea) karena dalam hal ini Terdakwa tidak menerima kick back (pemberian dari penerima Security Deposit kepada terdakwa) dan disamping itu kegiatan PT Merpati Nusantara Airlines untuk menyewa pesawat terbang sudah masuk dalam RKAP, Direksi PT Merpati Nusantara Airlines tidak memerlukan persetujuan Komisaris dan atau RUPS lagi, karena RKAP telah disahkan oleh RUPS dalam Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan sesuai dengan Anggaran Dasar PT Merpati Nusantara Airlines dan Pasal 64 Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Gagalnya penyerahan pesawat terbang yang disewakan tersebut belum menimbulkan kerugian keuangan Negara, karena pihak yang gagal tersebut harus membayar ganti rugi karena wanprestasi. Putusan Pengadilan Amerika Serikat yang menyatakan TALG wanprestasi terhadapi PT MNA, tidak menimbulkan kerugian Negara karena uang atau dana tersebut masih menjadi piutang PT MNA yang sampai saat ini masih dilakukan pengejaran terhadap uang tersebut. Mengenai aset BUMN adalah aset Negara, dalam Pasal 1 ayat (2) UU No. 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara menyatakan bahwa Perusahaan Persero, yang selanjutnya disebut Persero, adalah BUMN yang berbentuk perseroan terbatas yang modalnya terbagi dalam saham yang seluruh atau paling sedikit 51% (lima puluh satu persen) sahamnya dimiliki oleh Negara Republik Indonesia yang tujuan utamanya mengejar keuntungan. Selanjutnya Pasal 11 UU No. 19 Tahun 2003 menyebutkan terhadap Persero berlaku segala ketentuan dan prinsip-prinsip yang berlaku bagi perseroan terbatas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas yang telah diubah dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 2007. Karakteristik suatu badan hukum adalah pemisahan harta kekayaan badan hukum dari harta kekayaan pemilik dan pengurusnya. Dengan demikian suatu Badan Hukum yang berbentuk Perseroan Terbatas memiliki kekayaan yang terpisah dari kekayaan Direksi (sebagai pengurus), Komisaris (sebagai pengawas), dan Pemegang Saham (sebagai pemilik saham). Sebenarnya tidak ada yang salah dengan perumusan mengenai keuangan negara dalam penjelasan Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi yang menyatakan: “Keuangan negara yang dimaksud adalah seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun, yang dipisahkan atau yang tidak dipisahkan, termasuk didalamnya segala bagian kekayaan negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul karena : (a) berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggung jawaban pejabat lembaga Negara, baik ditingkat pusat maupun di daerah; 14
Prinsip Bussines ..., Hana Pertiwi, FH UI, 2013
(b) berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggung jawaban Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah, yayasan, badan hukum dan perusahaan yang menyertakan modal negara, atau perusahaan yang menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan perjanjian dengan Negara.” “Kekayaan negara yang dipisahkan” dalam Badan Usaha Milik Negara (BUMN) secara fisik adalah berbentuk saham yang dipegang oleh negara, bukan harta kekayaan Badan Hukum Milik Negara (BUMN) itu. Dapat dikatakan telah terjadi salah pengertian dan penerapan apa yang dimaksud dengan keuangan negara. Begitu juga tidak ada yang salah dengan definisi keuangan negara dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara yang menyatakan keuangan negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut. Pasal 2 Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 menyatakan Keuangan negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1, meliputi, antara lain kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/perusahaan daerah. Penulis sependapat dengan pendapat Prof. Arifin dan Prof. Erman Radjagukguk bahwa kekayaan yang dipisahkan tersebut dalam BUMN adalah berbentuk saham yang dimiliki oleh negara, bukan harta kekayaan BUMN tersebut. Kerugian dari satu transaksi dalam PT. BUMN (Persero) berarti kerugian PT. BUMN (persero) tidak otomatis menjadi kerugian Negara. Pasal 66 Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas menyatakan bahwa dalam waktu enam bulan setelah tahun buku perseroan ditutup, Direksi menyusun laporan tahunan untuk diajukan kepada RUPS, yang memuat sekurang-kurangnya, antara lain perhitungan tahunan yang terdiri dari neraca akhir tahun buku yang baru lampau dan perhitungan laba/rugi dari buku tahunan yang bersangkutan serta penjelasan atas dokumen tersebut. Dengan demikian kerugian yang diderita dalam satu transaksi tidak berarti kerugian perseroan terbatas tersebut, karena ada transaksi-transaksi lain yang menguntungkan. Andaikata ada kerugian juga belum tentu secara otomatis menjadi kerugian perseroan terbatas, karena mungkin ada laba yang belum dibagi pada tahun yang lampau atau ditutup dari dana cadangan perusahaan. Dengan demikian tidak benar kerugian dari satu transaksi menjadi kerugian atau otomatis menjadi kerugian negara. Tetapi, dalam beberapa sidang 15
Prinsip Bussines ..., Hana Pertiwi, FH UI, 2013
pengadilan tindak pidana korupsi penuntutan terhadap terdakwa karena terjadinya kerugian dari satu atau dua transaksi. Sebenarnya dalam doktrin “Business judgment rule” menetapkan bahwa Direksi suatu perusahaan tidak bertanggung jawab atas kerugian yang timbul dari suatu tindakan pengambilan keputusan, apabila tindakan tersebut didasarkan kepada itikad baik dan hatihati. Direksi mendapatkan perlindungan tanpa perlu memperoleh pembenaran dari pemegang saham
atau
pengadilan
atas
keputusan
yang
diambilnya
dalam
pengelolaan
perusahaan.“Business judgment rule” mendorong Direksi untuk lebih berani mengambil resiko daripada terlalu berhati-hati sehingga perusahaan tidak jalan. Prinsip ini mencerminkan asumsi bahwa pengadilan tidak dapat membuat kepastian yang lebih baik dalam bidang bisnis daripada Direksi. Para hakim pada umumnya tidak memiliki keterampilan bisnis dan baru mulai mempelajari permasalahan setelah terjadi fakta-fakta. Dalam Pasal 97 ayat (5) UU Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas menetapkan bahwa: “Anggota Direksi tidak dapat dipertanggungjawabkan atas kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (3) apabila dapat membuktikan: a. Kerugian tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaiannya; b. Telah melakukan pengurusan dengan itikad baik dan kehati-hatian untuk kepentingan dan sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan; c. Tidak mempunyai benturan kepentingan baik langsung maupun tidak langsung atas tidak langsung atas tindakan pengurusan yang mengakibatkan kerugian; dan d. Telah mengambil tindakan untuk mencegah timbul atau berlanjutnya kerugian tersebut.” Posisi ini mengharuskan seorang direktur untuk tidak bertindak ceroboh atau tidak hati-hati dalam menjalankan tugasnya (duty of care) disamping itu dalam menjalankan tugasnya seorang direktur tidak boleh mengambil keuntungan untuk dirinya sendiri (duty of loyalty). Salah satu tolak ukur untuk memastikan apakah suatu kerugian tidak disebabkan oleh keputusan bisnis (business judgment) yang tidak tepat sehingga dapat menghindar dari pelanggaran prinsip kehati-hatian (duty of care) adalah: pertama, memiliki informasi tentang masalah yang akan diputuskan dan percaya bahwa inormasi tersebut benar, kedua, tidak memiliki kepentingan dengan keputusan yang diambil dan memutuskan dengan itikad baik,
16
Prinsip Bussines ..., Hana Pertiwi, FH UI, 2013
ketiga memiliki dasar rasional untuk mempercayai bahwa keputusan yang diambil adalah yang terbaik bagi perusahaan. Dalam kasus ini Terdakwa Hotasi Nababan telah memenuhi prinsip Business Judgment Rule, karena hal ini ditandai dengan diumumkannya pengadaan sewa pesawat MNA sehingga setiap lessor mengetahui. Terdakwa tidak memiliki konflik kepentingan dengan TALG dan tidak mengambil keuntungan dari kegiatan sewa pesawat. Terdakwa juga melaporkan perkembangan sewa pesawat dan penyelesaiannya kepada jajaran komisaris dan Menteri BUMN, termasuk gugatan perdata kepada TALG yang dimenangkan PT MNA. Terdakwa sudah berhat-hati dalam melakukan pembayaran Security Deposit dengan berusaha melakukan negoisasi untuk membayar secara non cash. Terdakwa juga sudah meminta kepada Laurence Siburian untuk mengecek kantor TALG dan Hume & Asc. Lebih daripada itu, dalam LASOT yang ditandatangani dan menjadi dasar pembayaran Security Deposit, dinyatakan Security Deposit bersifat refundable, akan dikembalikan kepada PT MNA jika perjanjian sewa menyewa pesawat batal. Berdasarkan analisis diatas, dapat disimpulkan bahwa Jaksa Penuntut Umum membuat kekeliruan dengan membawa kasus Hotasi Nababan yang murni sengketa perdata menjadi suatu tindak pidana korupsi. Perjanjian perdata yang didasarkan pada pengambilan keputusan direksi haruslah diselesaikan secara perdata bukan pidana, karena keputusan direksi yang telah memenuhi prosedur dan kehati-hatian telah dilindungi oleh prinsip Business Judgement Rule yang tercantum dalam Pasal 97 ayat (5) Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. E. KESIMPULAN Dari penjelasan serta analisis yang telah diuraikan sebelumnya, ada beberapa hal yang menjadi kesimpulan serta menjawab rumusan permasalahan dalam penelitian ini. Kesimpulan tersebut adalah sebagai berikut: 1.Bahwa kerugian Negara pada tindak pidana korupsi dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tidak diatur secara jelas sehingga unsur kerugian Negara tersebut harus melihat pada Undang-Undang lain yang mengaturnya, yaitu pada Pasal 1 angka 22 UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. Pada Pasal tersebut terdapat tiga syarat yang harus dipenuhi yaitu: 1. Adanya kekurangan baik uang, surat berharga, maupun barang;
17
Prinsip Bussines ..., Hana Pertiwi, FH UI, 2013
Dalam hal menentukan adanya kekurangan baik uang, surat berharga, maupun barang, aparat penegak hukum sangat bergantung pada keterangan ahli yaitu BPK dan akuntan publik yang bersifat independen. 2. Jumlah yang pasti dan nyata; Kerugian Negara harus bersifat nyata dan pasti jumlahnya. Frasa “nyata dan pasti jumlahnya” ditafsirkan sebagai kerugian yang benar-benar telah terjadi dan besarannya dapat diperkirakan dalam hitungan yang obyektif. 3. Akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai. Kerugian Negara hanya terjadi sebagai akibat perbuatan melawan hukum.Bila tak terjadi perbuatan melawan hukum, baik sengaja mapun kelalaian, maka tidak ada kerugian Negara. Berdasarkan tiga syarat ini,semua bentuk kekurangan atau pengurangan jumlah pasti dan terbukti dilakukan akibat perbuatan melawan hukum ataupun karena kelalaian, dinyatakan sebagai kerugian Negara. 2.Kerugian yang terjadi pada perjanjian perdata yang menjadi sengketa antara BUMN dan pihak ketiga bukan merupakan suatu kerugian Negara. Hal ini dikarenakan bahwa pengaturan mengenai pengelolaan BUMN berdasarkan pada prinsip-prinsip perusahaan yang diatur dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, sehingga apabila terjadi suatu kerugian dalam BUMN akibat pengambilan keputusan oleh Direksi BUMN terhadap perjanjian perdata dengan pihak ketiga, tidak dapat dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi. Pengambilan keputusan direksi yang sesuai prosedur dan prinsip kehatihatian telah dilindungi oleh doktrin Business Judgment Rule yang diadopsi pada Pasal 97 ayat (5) UU Nomor 40 Tahun2007: “Anggota Direksi tidak dapat dipertanggung jawabkan atas kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (3) apabila dapat membuktikan: a) Kerugian tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaiannya; b) Telah melakukan pengurusan dengan itikad baik dan kehati-hatian untuk kepentingan dan sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan; c) Tidak mempunyai benturan kepentingan baik langsung maupun tidak langsung atas tidak langsung atas tindakan pengurusan yang mengakibatkan kerugian; dan d) Telah mengambil tindakan untuk mencegah timbul atau berlanjutnya kerugian tersebut.” Apabila para pemegang saham merasa dirugikan terhadap keputusan bisnis yang diambil oleh Direksi, maka pemegang saham dapat mengajukan gugatan secara perdata 18
Prinsip Bussines ..., Hana Pertiwi, FH UI, 2013
bukan pidana. Salah satu tolak ukur untuk memastikan apakah suatu kerugian tidak disebabkan oleh keputusan bisnis (business judgment) adalah: Pertama memiliki informasi tentang masalah yang akan diputuskan dan percaya bahwa informasi tersebut benar, Kedua tidak memiliki kepentingan dengan keputusan yang diambil dan memutuskan dengan itikad baik, Ketiga memiliki dasar rasional untuk mempercayai bahwa keputusan yang diambil adalah yang terbaik bagi perusahaan. 3.BUMN/BUMD merupakan badan hukum yang tidak sepenuhnya milik Negara, karena ada penyertaan saham privat yang pengaturan dan aturan hukum yang mengaturnya tunduk pada ketentuan UU Perseroan Terbatas No. 40 Tahun 2007 dan UU No. 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara, sehingga kerugian keuangan Negara dalam BUMN/ BUMD yang dilakukan oleh direksi sebagai akibat kebijakannya tidak dapat dikenakan sebagai tindakan korupsi sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU PTPK. F. SARAN Terhadap analisis dan kesimpulan yang telah dijelaskan, maka penulis memiliki beberapa saran sebagai pendukung yang akan dijelaskan sebagai berikut: 1. Penyempurnaan terhadap penjelasan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mengenai unsur melawan hukum materiil yang dinyatakan Mahkamah Konstitusi bertentangan dengan UUD 1945. 2. Para penegak hukum terutama kejaksaan dan penyidik agar dapat berhati-hati dalam melakukan penuntutan agar tidak merugikan pihak-pihak khususnya Direksi Persero atas pengambilan suatu keputusan bisnis pada pengelolaan persero yang pengaturannya terdapat dalam Undang-Undang Perseroan Terbatas. G. KEPUSTAKAAN Pradjonggo , Tjandra Sridjadja. 2010. Sifat Melawan Hukum Dalam Tindak Pidana Korupsi, cet keempat. Jakarta : Indonesia Lawyer Club Komisi Pemberantasan Korupsi. 2006. Memahami untuk Membasmi, Buku Saku untuk Memahami Tindak Pidana Korupsi. Jakarta: Komisi Pemberantasan Korupsi. Prasetya, Rudhy, Kedudukan Mandiri Perseroan Terbatas disertai dengan Ulasan Menurut UU No. 1 Tahun 1995, Bandung: Citra Aditya Bakti 19
Prinsip Bussines ..., Hana Pertiwi, FH UI, 2013
Indonesia. Undang-Undang Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. UU No. 31 tahun 1999. LN No. 140 tahun 1999. TLN No. 3874 Indonesia. Undang-undang tentang Badan Usaha Milik Negara. UU No. 19 tahun 2003. LN No. 70 tahun 2003, TLN No. 4297 Indonesia. Undang-undang Tentang Perseroan Terbatas. UU No. 40 tahun 2007. LN No. 106 tahun 2007. TLN No. 4756 Indonesia. Undang-undang tentang Keuangan Negara. UU No. 17 tahun 2003. LN No. 47 tahun 2003. TLN No. 4286
20
Prinsip Bussines ..., Hana Pertiwi, FH UI, 2013