Jurnal Pasca Sarjana Hukum UNS Vol III No. 2 Juli-Desember 2015
PENERAPAN DOKTRIN BUSINESS JUDGEMENT RULE SEBAGAI PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI OLEH KORPORASI (Analisis Putusan Mahkamah Agung Nomor 154 PK/Pid. Sus/2012 Dalam Perkara Pengadaan Solenoid Valve dan Thrustor Brake pada PT. PUSRI Palembang) Ananda Megha Wiedhar Saputri Mahasiswa Program Magister Ilmu Hukum, Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta Email :
[email protected]
Soehartono Dosen Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Abstract This research exams the application of the doctrine of Business Judgment Rule in Supreme Court Decision No. 154 PK / Pid. Sus / 2012 in the case of procurement of Solenoid Valve and Thrustor Brake PT. PUSRI Palembang and analyst corporate criminal liability in such cases. The Method was used based on the concept of law is law is the positive norms in the system ofnational regulation , and law is whats the judges is choossen by judges in concreto, and systemizing as judge made law so that belongs to doctrinal research. The aims of research law material, secondary law, and tertiary law materials. The technic collection data was got by library research, and data analizing by deduction method. Based on the results of research and discussion on the problems in this study, it can be concluded that the doctrine of the Business Judgment Rule can not be applied in the Supreme Court Decision Number 154 PK / Pid. Sus / 2012 in the case of procurement of Solenoid Valve and Thrustor Brake PT. PUSRI Palembang due to the doctrine of Business Judgment Rule can only be applied to directors and managers Keywords: business judgment rule, corporation, criminal liability Abstrak Penelitian ini mengkaji penerapan doktrin Business Judgement Rule dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor : 154 PK / Pid. Sus / 2012 dalam perkara Pengadaan Solenoid Valve dan Thrustor Brake pada PT. PUSRI Palembang dan menganalisis pertanggungjawaban pidana korporasi dalam kasus tersebut. Metodologi yang digunakan didasarkan pada konsep hukum bahwa hukum adalah norma-norma positif di dalam sistem perundang-undangan hukum nasional, dan hukum adalah apa yang diputuskan oleh hakim in concreto, dan tersistematisasi sebagai judge made law, sehingga tergolong pada penelitian doktrinal. Tujuan penelitiannya, dikategorikan ke dalam penelitian . Jenis data yang digunakan adalah data sekunder, yang terdiri dari 22
Ananda Megha Wiedhar Saputri. Penerapan Doktrin Business Judgement Rule ...
bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tertier. Teknik pengumpulan data diperoleh melalui studi kepustakaan, dan teknik analisis data metode deduksi. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, dapat disimpulkan bahwa doktrin Business Judgement Rule tidak dapat diterapkan dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 154 PK/ Pid. Sus/ 2012 dalam perkara Pengadaan Solenoid Valve dan Thrustor Brake pada PT. PUSRI Palembang dikarenakan doktrin Business Judgement Rule hanya dapat diberlakukan bagi direksi dan pertanggunggjawaban Kata Kunci: business judgement rule, korporasi, pertanggungjawaban pidana
A. Pendahuluan Perkembangan arus globalisasi yang sedemikian pesat mengubah dunia di semua lini kehidupan. Barbara Parker memberikan gambaran globalisasi ditandai dengan peningkatan makna yang terjadi di seluruh dunia yang menyebar dengan cepat, sebagaimana yang terungkap sebagai berikut: “there is growing sense that events occurring throughout the world are converging rapidly to shape a single, integrated world where economic, social, cultural, technological, business, other boundaries such as nations, national cultures, time, space, and business industries with increasing ease.” (Ade Maman Suherman, 2005: 15) Globalisasi menjadikan negara seakanakan tanpa batas. Sama seperti yang diungkapkan oleh Sera dan Ohmae, as a popular view of globalization is as the absence of borders and barriers to trade between nations (Ade Maman Suherman, 2005: 16). Globalisasi adalah karakteristik hubungan antara penduduk bumi yang melampaui batas-batas konvensional, seperti bangsa dan negara (Faruk HT dalam Supanto, 2010: 3). Dalam proses tersebut dunia dimanfaatkan (compressed) serta terjadi intensifikasi kesadaran terhadap dunia sebagai suatu ketentuan utuh (Roland Robertson dalam Pathorang Halim, 2013: 7).
Globalisasi menuntut segalanya serba cepat, dimana seseorang yang tidak dapat mengikuti perkembangan arus globalisasi akan tergilas. Globalisasi disebut juga suatu juggernaut dan akan membawa perubahan sosial besar dan ketidakpastian ekonomi dan kultural budaya. Juggernaut diartikan sebagai sesuatu kekuatan yang menggilas. Globalisasi dirasakan sebagai suatu kekuatan yang menggilas segala sesuatu yang ada di jalannya (juggernaut). Kekuatan ini membawa perubahan sosial besar yang menimbulkan ketakpastian ekonomi dan kultural dunia (world economic and cultural insecurity) (Supanto, 2010: 43). Globalisasi tidak hanya memberikan manfaat positif, sebaliknya terdapat pula modus kejahatan yang turut mengintai di dalamnya yang berkembang pula ke dalam bentuk baru. Sebagai contoh kejahatan yang dilakukan oleh korporasi di dalam bidang bisnis atau biasa disebut dengan kejahatan ekonomi atau economic crime atau kejahatan di bidang bisnis atau business crimes. Kejahatan bisnis dan keuangan kerapkali diidentikan sebagai perilaku menyimpang para pelaku ekonomi, dengan tujuan akhir mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya. Menyinggung mengenai konsep kejahatan, kejahatan tidak muncul secara tiba-tiba melainkan konsep kejahatan telah lama ada. Sebagaimana telah tertulis dalam Al Qur’an, kejahatan lahir ketika terjadi pembangkangan
23
Jurnal Pasca Sarjana Hukum UNS Vol III No. 2 Juli-Desember 2015
dari iblis terhadap perintah Allah untuk hormat kepada manusia. Semenjak saat itu, iblis berjanji untuk selalu menggoda manusia interest antara manusia dan iblis dapat dipandang sebagai embrio kejahatan. Bermula dari perasaan iri, sombong, dan dengki kejahatan itu dimulai (Maskun, 2013: 43). Kejahatan tidak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat, mereka ibarat “dua sisi mata uang yang saling terkait”. Saling keterkaitannya itu, dikatakan oleh Lacassagne (Agus Raharjo dalam Maskun, 2013: 43) bahwa masyarakat mempunyai penjahat sesuai dengan jasanya. Kekekalan konsep kejahatan yang tidak akan musnah hingga akhir zaman disebabkan karena kejahatan ada pada setiap diri manusia disampaikan oleh Freud (Erich Frommm dalam Maskun, 2013: 44) mengatakan bahwa hasrat manusia untuk merusak (jahat) sama kuatnya dengan hasrat untuk mencintai. Pendapat berbeda datang dari Lorens. Argumentasinya mengatakan bahwa keagresifan manusia merupakan insting yang digerakkan oleh sumber energi yang selalu mengalir, dan tidak selalu akibat rangsangan dari luar. Jadi, dapat dikatakan bahwa destruktivitas (kejahatan) selalu ada pada diri setiap manusia, hanya bagaimana meminimalkan potensi yang secara Frommm dalam Maskun, 2013: 44). Salah satu hal terpenting dari suatu tindak pidana atau biasa disebut delik, terletak pada ada tidaknya unsur kesalahan yang berada pada kehendak, keinginan atau kemauan dari pelaku kejahatan. Dalam doktrin “geen straf zonder schuld” memperlihatkan bahwa kesalahan merupakan dasar untuk menghukum pelaku kejahatan, karena “tidak dipidana tanpa adanya kesalahan” (an act does not make a person guity unless mind is guilty). Di samping unsur kesalahan (schuld), doktrin “actus non facitt reum, nisi mens sit rea” mensyaratkan adanya unsur 24
subyektif yang berada di dalam diri pelaku kejahatan, yaitu: toerekeningsvatbaarheid (dapat dipertanggung- jawabkan) (D. Andhi Nirwanto, 2013: 2). Jauh sebelum era global berlangsung, sebenarnya telah dapat diprediksi pada Kongres PBB V tentang Pencegahan Kejahatan dan Pembinaan Pelanggar Hukum (The Prevention of Crime and Treatment of Offender) tahun 1975, yang dipertegas kembali dalam kongres PBB VII tahun 1985, menunjukkan bahwa terdapat kejahatan bentuk baru yang dilakukan oleh korporasi yang digerakkan oleh pengusaha terhormat yang membawa dampak yang sangat negatif pada perekonomian Negara yang bersangkutan (Andi Hamzah dalam Muladi dan Dwija, 2013: 4). Kejahatan jenis baru yang dimaksud bukan digerakkan oleh manusia pada umumnya, tetapi kejahatan tersebut digerakkan oleh sebuah badan yang dapat dipersamakan sebagai manusia pada umumnya. Badan tersebut dinamakan korporasi. Korporasi dalam perkembangan hukum pidana, dapat dimasukkan ke dalam subyek hukum, seperti halnya manusia, sehingga korporasi dapat dimintai pertanggungjawaban apabila melakukan kesalahan. Akan tetapi, pertanggungjawaban antara korporasi dan manusia sangat jauh berbeda, dan kejahatan yang dilakukan juga jauh berbeda. Korporasi tidak dapat berdiri sendiri. Dalam menjalankan kegiatan atau usahanya, korporasi dijalankan oleh seorang direktur, sehingga direktur dapat dimintai pertanggungjawaban atas tindakan korporasi tersebut. Sebagaimana yang dikemukakan oleh I.S. Susanto sebagai berikut: “Kekuasaan korporasi tersebut dalam bahasa ekonomi dijalankan melalui keputusan-keputusan dalam investasi, penentuan harga, lokasi, penelitian, dan desain terhadap produk, namun juga mempunyai akibat di bidang sosial dan politik seperti di bidang ketenagakerjaan,
Ananda Megha Wiedhar Saputri. Penerapan Doktrin Business Judgement Rule ...
persoalan-persoalan yang menyangkut kehidupan masyarakat setempat, serta kualitas hidup manusia pada umumnya. Oleh karenanya, tidaklah berlebihan bi la di kat akan bahwa kekuasaan korporasi yang luar biasa ini di dalam pelaksanaannya mempunyai pengaruh besar bagi kehidupan setiap orang sejak dalam kandungan hingga ke liang kubur. Udara yang kita hirup, air yang kita minum, makanan yang kita telan, pakaian dan alas kaki yang kita pakai, jalan yang kita lalui, kendaraan yang kita naiki, berita yang kita dengar, lihat, dan baca, masa depan yang kita rencanakan, bahkan perilaku di dalam kamar tidur pun seperti berapa anak yang kita kehendaki, semua berbau korporasi, baik melalui produknya maupun karena pencemarannya. Kehidupan, kesehatan, dan keselamatan dari sebagian besar rakyat secara langsung dan tidak langsung dikontrol oleh korporasi raksasa, seperti melalui tingkat harga dan karenanya juga pengangguran (I.S. Susanto dalam Muladi dan Dwija Priyatno, 2013: 6 - 7). Tidak semua tindakan direktur dapat dipidana. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (untuk selanjutnya disebut sebagai UUPT) mengecualikan tindakan direktur yang sudah dengan itikad baik dalam mengambil suatu keputusan, yang pada akhirnya nantinya berakibat merugikan perseroan. Perlindungan tersebut dinamakan doktrin Business Judgement Rule. Dalam kasus yang terjadi di PT. PUSRI Palembang terdapat hal yang menarik di mana doktrin Business Judgement Rule dijadikan salah satu novum dalam permohonan Peninjauan Kembali yang diajukan para terpidana, yang notabene selaku manager PT. PUSRI yang diberikan kewenangan oleh direksi dalam proses pengadaan Solenoid Valve dan Thrustor Brake. Oleh karena
itu penulis tertarik untuk melakukan studi kasus dengan perumusan masalah penerapan doktrin Business Judgement Rule serta pertanggungjawaban pidana korporasi yang terdapat dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor : 154 PK / Pid. Sus / 2012.
B. Metode Penelitian Metodologi, juga dapat ditulis dengan metodologie (Kamus Bahasa Belanda) artinya ilmu tentang metode-metode. Metodologi (Kamus Besar Bahasa Indonesia) berarti ilmu tentang metode. Metodologi dalam arti yang umum berarti suatu studi yang logis dan sistematis tentang prinsip-prinsip yang mengarahkan suatu penelitian. Metodologi juga berarti cara ilmiah untuk mencari kebenaran (Setiono, 2010: 3-4). Metodologi penelitian hukum diartikan sebagai cara ilmiah untuk mencari dari kebenaran dari sebuah hukum. Adapun yang dimaksud hukum antara pakar satu dengan yang lainnya berbeda, sehingga terlebih dahulu perlu meluruskan, hukum dalam pengertian mana yang akan dipakai. Menurut Soetandyo Wignyosoebroto (dalam Setiono, 2010: 20), membagi hukum menjadi 5 (lima) konsep, yaitu: 1. Hukum adalah asas kebenaran dan keadilan yang bersifat kodrati dan berlaku universal; 2. Hukum adalah norma-norma positif di dalam sistem perundang-undangan hukum nasional; 3. Hukum adalah apa yang diputuskan oleh hakim in concreto, dan tersistematisasi sebagai judge made law; 4. Hukum adalah pola-pola perilaku sosial yang terlembagakan, eksis sebagai variabel sosial yang empirik; 5. Hukum adalah manifestasi makna-makna simbolik para perilaku sosial sebagai tampak dalam interaksi antar mereka.
25
Jurnal Pasca Sarjana Hukum UNS Vol III No. 2 Juli-Desember 2015
Penelitian ini mendasarkan hukum pada konsep kedua dan ketiga. Konsep ini disebut sebagai konsep normatif, yang menggambarkan hukum sebagai norma, baik diidentikkan sebagai keadilan yang harus diwujudkan (ius constituendum), ataupun norma yang telah diwujudkan sebagai perintah yang eksplisit dan secara positif telah terumus jelas (ius constitutum) untuk menjamin kepastiannya, dan juga berupa norma yang merupakan produk dari hakim (judgements) pada waktu hakim itu memutuskan suatu perkara dengan memperhatikan kemanfaatan dan kemaslahatan bagi para pihak yang berperkara. Karena setiap norma baik yang berupa asas norma, keadilan, ataupun yang telah dipositifkan sebagai hukum perundangundangan maupun judge made selalu eksis sebagai bagian dari suatu sistem doktrin atau ajaran, yaitu ajaran tentang bagaimana hukum harus ditemukan atau dicipta untuk menyelesaikan suatu perkara, maka setiap penelitian hukum yang mendasarkan hukum sebagai norma ini disebut sebagai penelitian normatif yang doktrinal dan metodenya disebut sebagai metode doktrinal (Setiono, 2010: 21-22). Dilihat dari segi sifatnya termasuk ke dalam penelitian eksploratif dengan bentuk penelitian preskriptif, yang dimaksudkan untuk mendapatkan saran-saran mengenai apa yang harus dilakukan untuk mengatasi masalah-masalah tertentu. Adapun dari sudut tujuan penelitiannya, dikategorikan ke dalam penelitian , yaitu bertujuan untuk menemukan masalah yang kemudian problem identification). Jenis data yang digunakan data sekunder, yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tertier (Soerjono Soekanto, 1984: 51). Teknik pengumpulan data diperoleh melalui studi kepustakaan dan menggunakan teknik analisis data metode deduksi yang berpangkal 26
dari pengajuan premis mayor (penyataan bersifat umum). Metode deduktif berpangkal dari pengajuan premis mayor (pernyataan bersifat umum), kemudian diajukan premis minor (bersifat khusus). Dari kedua premis itu kemudian ditarik suatu kesimpulan atau conclusion.
C. Hasil Penelitian dan Pembahasan 1. Penerapan doktrin Business Judgement Rule dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor : 154 PK / Pid. Sus / 2012 dalam perkara Pengadaan Solenoid Valve dan Thrustor Brake pada PT. PUSRI Palembang Didasarkan oleh amanat dari butir kelima Pancasila, Pemerintah dituntut untuk dapat menyelenggarakan kehidupan berbangsa dan bernegara yang berkeadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. Demi mewujudkan hal tersebut, pemerintah berkewajiban menyediakan kebutuhan rakyat dalam berbagai bentuk berupa barang, jasa, maupun pembangunan infrastruktur (Yohanes Sogar Simamora dalam Amiruddin, 2010: 1). Sejarah mencatat beberapa kali perubahan dan pergantian dalam pengaturan pengadaan bar ang dan j asa, di awal i dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 1973 tentang Pedoman Pelaksanaan APBN Tahun Anggaran 1973/1974, sampai pada akhirnya pada tahun 2015 telah dikeluarkan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2015 tentang Perubahan Keempat Atas Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Pada awalnya, pengaturan pelaksanaan pengadaan barang dan jasa oleh pemerintah disisipkan dalam Keppres tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), baru pada tahun 2000
Ananda Megha Wiedhar Saputri. Penerapan Doktrin Business Judgement Rule ...
secara khusus diatur dalam Keppres Nomor 18 Tahun 2000 yang kemudian dicabut dengan Keppres Nomor 80 Tahun 2003 (Amiruddin, 2010: 2). Wa l a u p u n P e m e r i n t a h t e l a h aktif mengadakan perubahan demi penyempurnaan kegiatan pengadaan barang dan jasa pemerintah, korupsi pengadaan barang dan jasa, khususnya yang penulis soroti mengenai korupsi pengadaan barang dan jasa di lingkungan BUMN masih sangat mencengangkan dan fantastik dalam pengungkapan terjadinya tindak pidana. Pihak Kementerian BUMN sendiri juga telah menerbitkan berbagai aturan yang diberlakukan melalui Peraturan Menteri BUMN sebagai peraturan pelaksana UU BUMN, UU Keuangan Negara, UU Tipikor, dan lain-lain. Peraturan-peraturan tersebut mengatur berbagai hal, seperti pengadaan barang dan jasa, pelaksanaan Program Kemitraan dan Bi na Lingkungan, remunerasi pejabat BUMN, dan lain-lain. Seabrek peraturan perundang-undangan tersebut ternyata tidak menjamin BUMN bebas dari korupsi. Sebagai contoh, penerapan UU Tipikor di lingkungan BUMN sering tidak efektif dan tidak tepat sasaran. UU Tipikor bahkan membuat BUMN menjadi lamban dan tidak inovatif. Banyak pengurus BUMN yang tidak berani mengambil keputusan bisnis karena takut dikriminalisasi manakals keputusan bisnisnya mengakibatkan kerugian BUMN yang berujung kerugian keuangan negara. Hal ini berdampak para pengurus BUMN menjadi pragmatis dan BUMN sebagai suatu korporasi terjebak dalam pusarab menghadapi persaingan dengan badan usaha milik swasta. UU Keuangan Negara dan UU Tipikor telah membuat para pengurus BUMN takut dikriminalisasi dalam setiap pengambilan keputusan
bisnis yang diambil yang mengakibatkan kerugian BUMN. Kerugian BUMN adalah juga kerugian negara, sehingga setiap kerugian bisnis yang diderita oleh BUMN sangat rawan dikriminalisasi. Di sisi lain, BUMN dituntut dapat menjalankan bisnis bersaing dengan badan usaha milik swasta dan menciptakan laba (Marisi P. Purba, 2014: 2-3). Doktrin Business Judgement Rule bukan merupakan doktrin baru dalam hukum bisnis. Menurut Delaware Supreme Court, Business Judgement Rule diartikan sebagai a presumption that in making a business decision the Directors of a corporation acted on an informed basis, in good faith and in the honest belief that the action taken was in the best interest of the company. Absent an abuse af direction, that judgment will be respected by the court, eith the burden being on the party challenging the decision to establish facts rebutting the presumption. Cadwalader, seorang pengacara USA dari Cadwalader, Wickersham dan Taft LLP, BJR adalah asumsi yang dipakai oleh Pengadilan bahwa keputusan bisnis dibuat oleh Direktur yang independent dengan informasi yang cukup serta dengan itikad baik, di mana keputusan tersebut diyakini oleh Direktur sebagai keputusan bisnis yang terbaik bagi Perusahaan. Larry E. Ribstein dan Kelli A. Alces, Corman Professor, University of Illinois College of Law, and Associate, Gardner, Carton & Douglas, Chicago, Illinois, berpendapat bahwa BJR membuktikan bahwa pengadilan bukanlah ahli bisnis (business experts), dengan demikian tidak mudah bagi pengadilan untuk memutuskan apakah hasil keputusan bisnis yang buruk adalah akibat dari mismanagement. Pendapat ini berkaitan dengan keengganan Pengadilan untuk 27
Jurnal Pasca Sarjana Hukum UNS Vol III No. 2 Juli-Desember 2015
turut campur dalam urusan internal perusahaan yang lebih dikuasai oleh manajemen perusahaan. Menurut Black’s Law Dictionary, BJR diartikan sebagai The presumption that in making business decisions not involving direct self interest or self dealing, corporate directors act on informed basis, in good faith, and in the believe that their actions are in the corporation’s best interest. Doktrin tersebut merupakan salah satu doktrin yang melindungi direksi, antara lain seperti doktrin Fiduciary Duty, doktrin Due Care and Loyalty, doktrin Derivative Suit, doktrin Piercing The Corporate Veil, doktrin Ultra Vires, doktrin Proper Purpose, dan doktrin Business Judgment Rule. Doktrin ini lahir sebagai akibat adanya doktrin Fiduciary Duty, yaitu prinsip duty of skill and care. Standar dari pelaksanaan duty of skill and care adalah bahwa direksi harus melaksanakan tugasnya untuk mengelola perseroan dengan itikad baik dan hatihati sebagaimana orang biasa (prudent man) melaksanakan pengelolaan terhadap kekayaannya (James D. Cox, Thomas Lee Hazen, dan Hodge O’neal dalam Hendra Setiawan Boen, 2008: 187), sehingga dapat pula digambarkan kalau doktrin Business Judgement Rule merupakan buah dari pohon yang bernama Fiduciary Duty (Hendra Setiawan Boen, 2008: 100-102). Doktrin ini berasal dari negara common law (Elizabeth S. Miller dan Thomas E. Rutledge dalam Hasbullah F. Sjawie, 2013: 225). Negara tersebut, antara lain Inggris, Amerika Serikat, Australia, dan sebagainya (Freddy Harris dan Teddy Anggoro, 2010: 58). Sebagaimana yang ditegaskan oleh Ralph A. Peeples : Model Business Corporation Act, the business judgment rule is derived from the common law…, Justice Brandeis 28
recognized and described the rule in 1917… In its narrowest form, the business judgment rule determines judicial conduct… Application of the rule requires judicial deference to corporate decisions and thus noninterference by the court..” (Ralph A. Peeples dalam Hendra Setiawan Boen, 2008: 46). D ok t r i n B u s i ne s s J ud ge m en t Rule merupakan suatu doktrin yang mengajarkan bahwa putusan direksi mengenai aktivitas perseroan tidak boleh diganggu gugat oleh siapapun, meskipun putusan tersebut kemudian ternyata salah atau merugikan perseroan, sepanjang putusan tersebut memenuhi syarat sebagai berikut (Munir Fuady, 2014: 186) : a. Putusan sesuai hukum yang berlaku, b. Dilakukan dengan itikad baik, c. Dilakukan dengan tujuan yang benar (proper purpose), d. Putusan tersebut mempunyai dasardasar yang rasional (rasional basis), e. Dilakukan dengan kehati-hatian (due care) seperti dilakukan oleh orang yang cukup hati-hati pada posisi yang serupa. f. Dilakukan dengan cara yang secara layak dipercayainya (reasonable belief) sebagai yang terbaik (best interest) bagi perseroan. Kesalahan dari direksi atas suatu perseroan masih dapat ditoleransi sampai kepada batas-batas tertentu saja. Adapun kesalahan direksi yang dapat ditoleransi adalah sebagai berikut (Munir Fuady, 2014: 188): a. Hanya salah dalam mengambil putusan (mere error of judgement). b. Kesalahan yang jujur (honest mistake, honest error in judgement). c. Kerugian perusahaan karena kesalahan pegawai perusahaan (kecuali jika tidak ada sistem pengawasan yang baik).
Ananda Megha Wiedhar Saputri. Penerapan Doktrin Business Judgement Rule ...
Pengecualian kesalahan yang harus dipertanggungjawabkan, seperti (Munir Fuady, 2014: 188) : a. Kesalahan yang bertentangan dengan prinsip . Dalam hal ini termasuk jika ada unsur benturan kepentingan ( ). b. Kesalahan yang bertentangan dengan prinsip kehati-hatian (due care). Dalam hal ini termasuk jika ada unsur kesengajaan atau kelalaian. c. Kesalahan yang bertentangan dengan prinsip putusan yang bijaksana (prudence). d. Kesalahan yang bertentangan dengan prinsip itikad baik. e. Kesalahan yang bertentangan dengan prinsip tujuan bisnis yang benar (proper purpose). f. Kesalahan direksi karena tidak kompeten. g. Kesalahan karena melanggar hukum dan perundang-undangan yang berlaku. h. Kesalahan karena direksi kurang informasi (ill informed). i. Kesalahan karena dalam mengambil tindakan/putusan, direksi terlalu tergesa-gesa (hasty action). j. Kesalahan karena keputusan diambil tanpa investigasi dan pertimbangan yang rasional. Pencantuman doktrin Business Judgement Rule dalam novum yang diajukan oleh para terpidana dalam permohonan Peninjauan Kembali tidak dapat diterapkan sehingga putusan dari Majelis Hakim Peninjauan Kembali dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 154 PK/ Pid. Sus/ 2012 dalam perkara Pengadaan Solenoid Valve dan Thrustor Brake pada PT. PUSRI Palembang, karena doktrin Business Judgement Rule tidak dapat diterapkan pada manager. Tindakan para terpidana tidak dapat
dikategorikan suatu kelalaian. Perbuatan para terpidana termasuk kesengajaan, dalam hukum pidana diartikan sebagai willen and wetten (menghendaki dan mengetahui). Walaupun mereka tidak menerima sedikitpun dari kelebihan dari pembelian Solenoid Valve dan Thrustor Brake dari CV. Kuala Simpang, keduanya tetap dapat dipidana dengan tindak pidana korupsi. 2. Pertanggungjawaban pidana korporasi dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor : 154 PK / Pid. Sus / 2012 dalam perkara Pengadaan Solenoid Valve dan Thrustor Brake pada PT. PUSRI Palembang Kasus pengadaan Solenoid Valve dan Thrustor Brake dalam membebankan tanggung jawab kepada manager. Manager bertanggungjawab sepenuhnya terhadap tindakan yang telah mereka lakukan pada kegiatan pengadaan Solenoid Valve dan Thrustor Brake. Hukum pidana mengenal adanya 3 (tiga) doktrin pertanggungjawaban, yaitu pertanggungjawaban pidana langsung atau pidana pengganti atau vicarious liability, dan pertanggunjawaban pidana ketat atau strict liability. Pada kasus ini penulis menerapkan perusahaan dapat melakukan sejumlah delik secara langsung melalui orangorang yang sangat berhubungan erat dengan perusahaan dan dipandang sebagai perusahaan itu sendiri (Mahrus Ali, 2013: 105). Orang-orang yang sangat berhubungan erat dengan perusahaan Sebagaimana diungkapkan Mahrus Ali mengutip dari H.A. Palmer dan Henry Palmer dalam bukunya yang berjudul Harris’s Criminal Law, dan 29
Jurnal Pasca Sarjana Hukum UNS Vol III No. 2 Juli-Desember 2015
Andrew Weissmann dengan karya “A New Approach To Corporate Criminal Liability, serta Eric Colvin dalam karya Corporate Personality, mereka membedakan antara corporate criminal liability dan doktrin identifikasi. Menurutnya corporate criminal liability berhubungan erat dengan doktrin identifikasi, yang menyatakan bahwa tindakan dari agen tertentu suatu korporasi, selama tindakan itu berkaitan dengan korporasi, dianggap sebagai tindakan dari korporasi itu sendiri. Teori ini juga berpandangan bahwa agen tertentu dalam sebuah korporasi dianggap sebagai “directing mind” atau “alter ego”. Perbuatan dan mens rea para individu itu kemudian dikaitkan dengan korporasi. Jika individu diberi kewenangan untuk bertindak atas nama dan selama menjalankan bisnis korporasi, mens rea para individu itu merupakan mens rea korporasi. Dalam teori corporate criminal liability, orang-orang yang identik dengan korporasi bergantung kepada jenis dan struktur organisasi suatu korporasi, tapi secara umum meliputi the board of , atau para pejabat atau pengurus korporasi pada level yang sama dengan kedua pejabat tersebut (Eric Colvin dalam Mahrus Ali, 2013: 106). Sedangkan Yedidia Z. Stern memperluas cakupan orang-orang yang identik dengan korporasi meliputi the general meeting, board of directors, managing director, general manager, chief executive, and possibly individual directors, secretaries, and shop managers (Yedidia Z. Stern dalam Mahrus Ali, 2013: 107).
D. Simpulan Berdasarkan pembahasan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa Doktrin Business Judgement Rule tidak dapat diterapkan dalam 30
Putusan Mahkamah Agung Nomor 154 PK/ Pid. Sus/ 2012 dalam perkara Pengadaan Solenoid Valve dan Thrustor Brake pada PT. PUSRI Palembang dikarenakan doktrin Business Judgement Rule hanya dapat diberlakukan bagi direksi. Terdakwa dalam kasus ini (manager) tidak dapat dilindungi oleh doktrin Business Judgement Rule. Pertanggunggjawaban pidana dalam kasus Pengadaan Solenoid Valve dan Thrustor Brake pada Putusan Mahkamah Agung Nomor 154 PK/ Pid. Sus/ 2012 dibebankan pada manager
E. Saran 1. Merubah Pasal 97 ayat (5) UU PT supaya memperluas ketentuan penerapan doktrin Business Judgement Rule dengan memasukkan manager dalam ketentuan tersebut selain direksi. 2. Menyamakan persepsi antar para penegak hukum (kepolisian, kejaksaan, hakim, dan KPK) atas adanya doktrin ini dan sosialisasi doktrin ini kepada para penegak hukum. 3. Memperbanyak sosialisasi terkait pengadaan barang dan jasa di lingkungan pemerintah beserta peraturan perundangundangan serta tahapannya kepada instansi pemerintah dan BUMN agar memahami hakikat pengadaan barang dan jasa.
Daftar Pustaka Ade Maman Suherman. 2005. Aspek Hukum dalam Ekonomi Global (Edisi Revisi), ctk. Kedua. Bogor: Ghalia Indonesia. Amiruddin. 2010. Korupsi Dalam Pengadaan Barang dan Jasa, ctk. Pertama. Yogyakarta: Genta Publishing. D. Andhi Nirwanto. 2013. Dikotomi Terminologi Keuangan Negara Dalam
Ananda Megha Wiedhar Saputri. Penerapan Doktrin Business Judgement Rule ...
Perspektif Tindak Pidana Korupsi, ctk. Pertama. Semarang: Aneka Ilmu. Freddy Harris dan Teddy Anggoro. 2010. Hukum Perseroan Terbatas: Kewajiban Pemberitahuan oleh Direksi, ctk. Pertama, Bogor: Ghalia Indonesia. Hasbullah F. Sjawie. 2013. Direksi Perseroan Terbatas serta Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, ctk. Pertama. Bandung: Citra Aditya Bakti. Hendra Setiawan Boen. 2008. Bianglala Business Judgment Rule, ctk. Pertama. Jakarta: Tatanusa. Mahrus Ali. 2013. Asas-asas Hukum Pidana Korporasi, Edisi Pertama, ctk. Pertama. Jakarta: Rajawali Pers. Maskun. 2013. Kejahatan Siber (Cyber Crime): Suatu Pengantar, ctk. Pertama, Jakarta: Kencana. Muladi dan Dwija Priyatno. 2013. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi (Edisi Revisi), ctk. Keempat. Jakarta: Kencana. Marisi P. Purba. 2014. Pengadaan Barang dan Jasa BUMN; Suatu Kaj ian
Terhadap Urgensi Penyusunan Standard Operating Procedure (SOP) Pengadaan Barang dan Jasa BUMN, ctk. Pertama, Yogyakarta: Graha Ilmu. Munir Fuady. 2014. Doktrin-Doktrin Modern Dalam Corporate Law dan Eksistensinya Dalam Hukum Indonesia, ctk. Pertama. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti. Pathorang Halim. 2013. Penegakan Hukum Terhadap Kejahatan Pencucian Uang di Era Globalisasi, ctk. Pertama. Yogyakarta: Total Media. Putusan Mahkamah Agung Nomor: 154 PK / Pid. Sus / 2012. Setiono. 2010. Pemahaman terhadap Metodologi Penelitian Hukum. Surakarta: Pascasarjana Universitas Sebelas Maret. Soerjono Soekanto. 1984. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press. Supanto. 2010. Kejahatan Ekonomi Global dan Kebijakan Hukum Pidana, Edisi Pertama, ctk. Pertama. Bandung: PT. Alumni.
31